BIOPSIKOLOGI II
I.
II.
Nama Mahasiswa
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 18 tahun
Pendidikan
: Mahasiswa S1 Psikologi
Nama Percobaan
No. Percobaan
: 2.2
Nama Subjek
Nama Pemeriksa
Tanggal Percobaan
: 20 November 2014
Waktu Percobaan
Tempat Percobaan
TUJUAN PERCOBAAN
Mengetahui ada atau tidaknya gangguan pendengaran pada subjek.
DASAR TEORI
Dalam menerima bunyi, manusia menggunakan telinga. Telinga memiliki
reseptor untuk menerima dan mengolah getaran bunyi. Telinga juga dapat
berfungsi sebagai alat keseimbangan. (Abdullah, 2006)
Telinga manusia terbagi atas tiga bagian utama, yaitu:
a. Telinga Luar
Terdiri dari daun telinga, saluran telinga luar, dan gendang telinga.
Daun telinga tersusun atas tulang rawan dan mampu menerima
getaran bunyi. Gendang telinga berfungsi untuk meneruskan
gelombang suara ke telinga tengah.
b. Telinga Tengah
Terdiri atas Eustadius dan tiga tulang pendengaran. Bagian tengah
berisi udara untuk menjaga tekanan udara. Tiga tulang penengaran
yaitu tulang martil (maleus), tulang landasan (inkus), dan tulang
sanggurdi (stapes). Ketiga tulang tersebut membentuk rangkaian dan
rangkaian tersebut berfungsi mengirimkan getaran suara dari gendang
telinga menyeberangi rongga tengah ke jendela oval.
1
c. Telinga Dalam
Tersusun atas serambi (vestibulum), saluran lingkaran (kanal
semisirkularis) dan rumah siput (koklea). Vestibulum menjadi
penyambung dengan bagian-bagian tengah. Saluran setengah
lingkaran memiliki reseptor keseptor keseimbangan dan terdiri dari
tiga saluran. Koklea atau rumah siput berfungsi sebagai alat
pendengaran dan juga didalamnya terdapat cairan endolimfe untuk
keseimbangan.
Proses mendengar secara singkat dimulai dari bunyi masuk sampai ke
gendang telinga. Getaran diteruskan ke tulang-tulang pendengaran. Diteruskan ke
jendela oval hingga perlimfe bergetar, getaran diteruskan ke koklea, lalu
endolimfe bergetar. Organ korti menerima rangsangan lalu dihantarkan saraf
pendengaran menuju otak. (Abdullah, IPA Terpadu SMP dan MTs Jilid 3A, 2007)
Gangguan pendengaran dibagi menjadi dua jenis yang mempunyai
etiologi dan terapi yang berbeda. Tuli konduktif disebabkan oleh gangguan
hantaran getaran udara ke telinga dalam. Tuli sensorineural disebabkan oleh
penyakit yang timbul dimana saja antara organ korti dengan otak. Kedua jenis tuli
ini dapat dibedakan melalui garputala. (Burnside & McGlynn, 1995)
Tes yang pertama yaitu tes Rinne, garputala digetarkan dan tangkainya
dipasangkan pada prosessus mastoideus. Saat subjek sudah tidak mendengar lagi,
garputala diletakkan di dekat kanalis eksternus, bila terdengar maka hasil positif.
Hasil yang negatif terjadi sebaliknya. Hasil negatif mengindikasikan subjek
menderita tuli konduktif.
Tes yang kedua yaitu tes Weber, tes ini memastikan adanya tuli konduktif
atau adanya tuli sensorineural. Garputala digetarkan tepat di atas kepala, bila
normal, pasien akan mendengar suara tepat di garis tengah. Jika ada tuli konduktif
pada suatu telinga, suara akan terdengar lebih jelas pada telinga itu. Jika ada tuli
saraf pada salah satu telinga, bunyi tersebut akan terdengar lebih jelas pada telinga
awal (Burnside & McGlynn, 1995).
III.
IV.
JALANNYA PERCOBAAN
a. Percobaan Rine
2
HASIL PERCOBAAN
NO.
1
Percobaan
Hasil
Percobaan Rinne
a. Depan Telinga
Terdengar
Percobaan Weber
Terdengar jelas
KESIMPULAN
Dilihat dari hasil percobaan tersebut, subjek mampu mendengar
garputala di depan teliga lebih baik, dan subjek mendengar dengan jelas
getarannya. Hasil tersebut menandakan subjek mendapat hasil positif dalam tes
Rinne. Sesuai teori Burnside (1995), bila subjek mendapat hasil positif artinya
subjek tidak mengalami gangguan pendengaran konduktif. Selain itu, subjek juga
dapat mendengar jelas suara pada percobaan Weber, berarti subjek tidak
mengalami ketulian sesuai dengan teori Burnside (1995).
VII.
APLIKASI
a. Manusia biasanya mendengar melalui udara.
3
b. Bila ada ketulian konduktif, maka dapat menggunakan alat bantu dengar
melalui tulang pada telinga.
Yogyakarta, 23 Desember 2014
Penyusun
Afif Andhika Putra
Asisten
: Nabila Puspakesuma
Hasil
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. (2006). IPA Fisika SMP dan Mts Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Abdullah, M. (2007). IPA Terpadu SMP dan MTs Jilid 3A. Jakarta: Erlangga.
Burnside, J., & McGlynn, T. (1995). Diagnosis Fisik. Jakarta: EGC.