Urbanisasi
Urbanisasi
1 Penulis adalah Peneliti Madya Bidang Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pelayanan Data dan
Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI.
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Migrasi menurut Schyrock and Siegel (1976:373) merupakan salah satu
faktor penyebab perubahan penduduk, dan juga menjadi faktor utama dalam
redistribusi penduduk di antara wilayah geografis dan tempat tinggal, sehingga
mempunyai pengaruh terhadap besar dan komposisi penduduk di suatu wilayah.
Migrasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu migrasi internal dan internasional, dan
dalam dalam migrasi internal termasuk didalamnya urbanisasi (Young, et al,
1980:115-126).
Urbanisasi sebagai fenomena migrasi internal telah terjadi di seluruh
belahan dunia. Sejarah memperlihatkan bahwa pada abad pertengahan
manusia awalnya tinggal di pedesaan dan tergantung pada sektor pertanian
dan perburuan, tetapi sebagai akibat dari perdagangan terjadi arus urbanisasi.
Meskipun awalnya menunjukkan perkembangan yang lambat, tetapi
menyebabkan timbulnya kota-kota baru (Heilbroner, 1982:63). Jika pada 1800
terdapat 3 persen penduduk dunia tinggal di perkotaan, maka pada 1900
hampir 14 persen daerah perkotaan telah memiliki penduduk 1 juta, dan pada
1950 penduduk dunia 30 persennya bertempat tinggal di perkotaan. Bahkan
jumlah kota dengan penduduk di atas satu juta penduduk telah tumbuh sampai
83 kota (United Nation, 1999).
Perkembangan berikutnya, pada 2009 terdapat 47 persen dari penduduk
dunia tinggal di perkotaan atau mencapai 3,42 miliar. Kemudian menurut
perkiraan pada 2050 terdapat 60 persen penduduk dunia atau 6,29 miliar yang
akan tinggal di perkotaan dan paling banyak terjadi di negara berkembang
(United Nation, 2010).
Penjelasan lebih lanjut dari laporan State of World Population, pada 2008
sekitar 3,3 miliar warga dunia menjadi bagian dalam proses urbanisasi, atau
lebih dari separuh penduduk dunia, dan menurut UNFPA diperkirakan
menjadi lima miliar pada 2030. Perkiraan UNES-CAP urbanisasi di kawasan
Asia Pasifik mencapai tingkat tertinggi di dunia. Bahkan menurut Hugo
(2003), penduduk perkotaan sebesar 56,5 persen dari kawasan Asia tersebut
akan berada di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Masalah urbanisasi di Asia
Pasifik didorong oleh fakta bahwa kemajuan ekonomi umumnya terjadi di
kota, sementara aspek pertanian di perdesaan tidak tergarap secara optimal.
Urbanisasi di Indonesia diperkirakan mulai terjadi pada 1930. Perkiraan
ini diperoleh dengan menghitung besar rasio antara penduduk perkotaan
tahun 1961 dengan penduduk perkotaan 1930, dan terjadi 3,6 kali pelipatan
antara 1930-1961 (Rahardjo, 1985:179). Pelipatan ini menurut Hugo seperti
dikutip Rahardjo (1985) terjadi sebagai akibat adanya kebutuhan mendesak
untuk tenaga administrasi di perkotaan. Menurut Kitamura dan Rustiadi (tanpa
tahun), serta Rustandi dan Panuju (2000), urbanisasi di tahun 1930 didasarkan
dari terdapatnya penduduk sebesar 7,5 persen dari total penduduk yang tinggal
di kota. Tetapi, menurut Soegijoko dan Bulkin seperti dikutip Firman (1996:66)
urbanisasi mulai terjadi pada 1920 di mana proporsi penduduk perkotaan baru
mencapai 5,8 persen.
BAB II
Kerangka Pemikiran
2 Terdapat dua teori perkotaan (mainstream) yang dikenal saat ini yaitu the Chicago School of Urban
Sociology dan the Los Angeles School of Urban Geography yang didasarkan pada fenomena perkotaan
yang terjadi pada kota-kota di negara maju (Chicago dan Los Angeles). Kedua mainstream perkotaan
tersebut telah mendominasi wacana dalam perkotaan dan urbanisasi, bukan hanya di Amerika
Serikat dan Eropa tapi juga di negara-negara berkembang. The Chicago School of Urban Sociology yang
dikembangkan pada awal tahun 1920-an menjelaskan perkembangan perkotaan dikendalikan oleh
migrasi yang menghasilkan pola-pola ekologis. Sementara The Los Angeles School of Urban Geography
digagas pada akhir tahun 1990-an untuk menjelaskan perkembangan metropolitan Los Angeles di era
postmodern yang menekankan pentingnya peran ekonomi kapitalis dan globalisasi ekonomi politis.
BAB III
Pembahasan
1995
2000
2005
2015
2020
2025
Provinsi
15,8
20,5
23,6
28,8
2010
34,3
39,7
44,9
49,9
Sumatera Utara
35,5
41,1
42,4
46,1
50,1
54,4
58,8
63,5
Sumatera Barart
20,2
25,1
29,0
34,3
39,8
45,3
50,6
55,6
Riau
31,7
34,4
43,7
50,4
56,6
62,1
66,9
71,1
Jambi
21,5
27,2
28,3
32,4
36,5
40,6
44,5
48,4
Sumatera Selatan
29,3
30,3
34,4
38,7
42,9
47,0
50,9
54,6
Bengkulu
20,4
25,7
29,4
35,2
41,0
46,5
51,7
56,5
Lampung
12,5
15,7
21,0
27,0
33,3
39,8
46,2
52,2
43,0
47,8
52,2
56,5
60,3
63,9
42,7
50,3
58,8
66,2
72,4
77,4
81,4
Jawa Tengah
27,0
31,9
40,4
48,6
56,2
63,1
68,9
73,8
Yogyakarta
44,4
58,1
57,6
64,3
70,2
75,2
79,3
82,8
Jawa Timur
27,5
32,1
40,9
48,9
56,5
63,1
68,9
73,7
52,2
60,2
67,2
73,0
77,7
81,5
26,4
34,3
49,7
57,7
64,7
70,7
75,6
79,6
Banten
Bali
11
17,3
18,9
34,8
41,9
48,8
55,2
61,0
66,0
11,4
13,9
15,4
18,0
20,7
23,5
26,4
29,3
7,8
9,5
Timor Timur
Kalimantan Barat
20,0
21,7
24,9
27,8
31,1
34,8
39,0
43,7
Kalimantan Tengah
17,6
22,5
27,5
34,0
40,7
47,2
53,3
58,8
Kalimantan Selatan
27,1
30,0
36,2
41,5
46,7
51,6
56,3
60,6
Kalimantan Timur
48,8
50,2
57,7
62,2
66,2
69,9
73,1
75,9
Sulawesi Utara
22,8
26,3
36,6
43,4
49,8
55,7
61,1
65,7
Sulawesi Tengah
16,4
21,9
19,3
21,0
22,9
24,9
27,3
29,9
Sulawesi Selatan
24,2
28,3
29,4
32,2
35,3
38,8
42,6
46,7
Sulawesi Tenggara
17,0
22,4
20,8
23,0
25,6
28,5
31,8
35,5
25,4
31,3
37,0
42,8
48,2
53,2
19,1
24,6
25,3
26,1
26,9
27,9
28,8
29,9
28,9
29,7
30,6
31,5
32,5
33,6
Irian Jaya/Papua
24,2
25,8
22,2
22,8
23,5
24,3
25,1
26,0
Total Rata-Rata
30,4
35,9
35,2
39,8
44,3
48,6
52,6 56,23
Gorontalo
Maluku
Maluku Utara
Sumber: Sensus Penduduk 1990, 2000, 2010, dan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1995, 2005
12
sumber: United Nation World Urbanization Prospect 2009 (Ellis, tanpa tahun)
14
15
lalu. Tetapi jika dilihat dari jumlah penduduk yang terus meningkat maka ini
memperlihatkan pertumbuhan alamiah penduduk lebih besar.
Untuk meredam laju urbanisasi ke Jakarta, pada 1970 Pemerintah DKI telah
menempuh kebijakan untuk menanggulangi urbanisasi termasuk migran dengan
mengeluarkan SK Gubernur yang bermaksud menutup Jakarta bagi pendatang
baru. Sejalan dengan itu dilaksanakan usaha-usaha seperti penentuan daerah
bebas becak, penertiban pedagang kaki lima, pembongkaran gubuk-gubuk liar
dan pembatasan penerimaan pegawai yang bukan pegawai DKI Jakarta dan
penyebaran industri kepinggiran kota (Usman, 1979:9). Tetapi kebijakan ini
tidak dapat mengerem laju urbanisasi sehingga urbanisasi terus meningkat dan
mencapai 100 persen sejak tahun 1990 (sampai sekarang), sehingga penduduk
Jakarta semakin padat. Menurut Ananta (1995), menghalangi orang untuk
datang ke Jakarta bukanlah hal yang efisien, karena DKI Jakarta memberikan
suatu harapan hidup yang lebih baik dari daerah lain, orang akan selalu datang
ke Jakarta. Saat ini kebijakan Pemerintah DKI dalam rangka menahan laju
urbanisasi adalah melakukan operasi yustisia.6
Menurut Papanek seperti dikutip Usman (1979), Jakarta menarik bagi
kaum pendatang terutama dari pedesaan karena alasan sosial ekonomi serta
alasan lainnya, atau menurut Hugo dkk seperti dikutip Sasaki (1996 :499),
disebabkan karena ketidakseimbangan masyarakat dan ekonomi di antara
daerah-daerah di Indonesia menurut kemajuan urbanisasi. Sedangkan menurut
Nasution (1979: 27-30), Jakarta menarik perhatian bagi kaum pendatang karena
terdapat daya penarik, yaitu Jakarta sebagai pusat administrasi pemerintahan,
sistem politik pembangunan pemerintah, Jakarta sebagai pusat perekonomian,
Jakarta sebagai pusat kegiatan sosial, Jakarta sebagai pusat kebudayaan, sistem
komunikasi, fasilitas pendidikan dan alasan lainnya. Alasan tersebut tidak
banyak berubah untuk kondisi saat ini. Alasan utama mengapa orang tertarik
untuk bekerja di sektor formal perkotaan adalah tingkat upahnya relatif lebih
tinggi dibandingkan sektor formal di pedesaan atau di kota kecil, serta pola
pekerjaannya yang memberikan kondisi kerja yang relatif lebih baik. Juga
didukung dengan fasilitas modern yang lebih baik dan juga hubungan dengan
pusat kekuasaan atau pusat bisnis membuat daya tarik Jakarta menjadi jauh
lebih kuat serta peluang untuk pengembangan diri juga relatif lebih besar di
Jakarta (Samiadji, 2007).
6 Penjelasan lebih lanjut lihat dala, Pemprov DKI Anggarkan Rp900 Juta Operasi Yustisi, 7 Oktober
2008 (http://www.antaranews.com/ view/?i=1223323464&c=NAS&s=, diakses 29 Mei 2011).
16
Berdasarkan studi oleh TOSS (tanpa tahun), terdapat dua tipe dari para
pendatang ke Jakarta. Pertama, orientasi karir di mana Jakarta sebagai pusat
karir dilandasi dengan percepatan yang tinggi pada struktur birokrasi. Ini
terjadi ketika pendapatan dari minyak mencapai 60 persen dari pendapatan
pemerintah. Akibatnya pemerintah mempunyai kelebihan dana sehingga
mampu mengembangkan struktur birokrasi dalam pemerintah pusat dan
lokal, sehingga pendatang bertujuan menjadi pegawai negeri dan membangun
karirnya di kota. Kedua, pendatang dengan tujuan mendapatkan penghidupan.
Motivasi dan lingkungan dari tipe pendatang bermacam-macam, mulai dari
bukan pedagang, pedagang dan penganggur. Tipe seperti ini tidak berorientasi
untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik, dan umumnya memiliki
level pendidikan yang lebih rendah dari para pendatang dengan tujuan karir.
Pendatang dengan tujuan mencari penghidupan ini terbagi dua yaitu mereka
yang bekerja di sektor formal dan mereka yang bekerja di sektor informal.
Pekerja di sektor informal, umumnya mereka yang gagal mendapatkan
pekerjaan di sektor formal, sehingga terpaksa bekerja di sektor informal,
misalnya menjadi pedagang kaki lima, penjual jasa dan penarik becak dan
pekerjaan sektor informal lainnya. Kelompok pekerja sektor informal juga
biasanya menghasilkan barang-barang yang murah dan juga menyediakan
jasa seperti transportasi jarak pendek, input untuk industri menengah kecil.
Pasar untuk jenis barang-barang seperti ini selalu eksis karena kelompok yang
berpendapatan relatif rendah di kota juga membutuhkan barang-barang seperti
ini. Oleh karena itu, walaupun Jakarta penuh sesak dengan berbagai rintangan
dan kesulitan, arus pendatang tetap mengalir (Samiadji, 2007).
Namun demikian faktor ekonomi, bukan satu-satunya faktor yang
menentukan mengapa terjadi urbanisasi ke Jakarta, karena beberapa studi di
kota besar lain menunjukkan bahwa jarak dan hubungan sosial antarpekerja
yang tinggal di kota juga memengaruhi meningkatnya urbanisasi. Migran yang
datang ke kota besar banyak yang sudah memiliki keluarga atau kenalan yang
sudah menetap di kota besar (Samiadji, 2011). Tetapi, menurut Kitagawa (1996:
306), pendatang yang datang ke Jakarta lalu menetap merupakan tujuan akhir
migrasinya.
Hal menarik dari fenomena urbanisasi dengan tujuan utama Jakarta,
telah memasuki masyarakat transisi akhir (late transitional society), yang
mengakibatkan terjadi perpindahan penduduk dari Jakarta ke daerah-daerah
penyangga (sub urban), yaitu daerah-daerah pinggiran di Bogor, Tanggerang
dan Bekasi (Botabek). Penduduk dari Jakarta Selatan merupakan yang paling
17
tingkat urbanisasi yang tinggi merupakan kota yang paling tinggi tingkat
penganggurannya, yaitu mencapai 13,2 persen, begitu juga dengan kota sub
urban-nya seperti Bekasi yang mencapai 13,5 persen, Tanggerang 9,2 persen
dan Bogor 12,4 persen. Pengangguran yang tinggi juga terjadi di kota-kota besar
lainnya, misalnya Bandung yang mencapai 13,4 persen, Surabaya 9,7 persen dan
Medan 14,4 persen (UNDP, 2001). Secara umum, berdasarkan data Sakernas
2006 tingkat pengangguran terbuka (TPT) pemuda di perkotaan lebih besar
dibandingkan pemuda di perdesaan, yaitu 20,83 persen dan 15,16 persen,
sedangkan berdasarkan data Sakernas 2007 TPT pemuda di perkotaan lebih
tinggi dibandingkan dengan TPT pemuda di perdesaan yaitu 19,70 persen dan
11,71 persen.
Tabel. 2. Penduduk Jakarta Berusia 15 Tahun Keatas dan Jenis Kegiatan, 2009
Kota Administrasi
Kepulauan Seribu
Jakarta Selatan
Jakarta Timur
Bekerja
Mencari
Pekerjaan
Bukan Akan
Kerja
Total
7. 391
967
5 .281
13. 639
961. 864
127. 679
549 .770
1 .639. 313
1. 025. 141
175. 437
697 .559
1 .898. 137
Jakarta Pusat
421. 117
59. 539
244 .558
725. 214
Jakarta Barat
1. 020. 289
109. 144
505 .990
1 .635. 423
Jakarta Utara
682. 588
96. 571
348 .196
1 .127. 355
4. 118. 390
569. 337
2. 351 .354
7 .039. 081
Jumlah / Total
2008
4. 191. 966
580. 511
2. 176 .604
6 .949. 081
2007
3. 842. 944
552. 380
2. 371 .599
6 .766. 923
2006
3. 531. 799
590. 022
2. 449 .913
6 .571. 734
2005
3. 565. 331
615. 917
2. 447 .567
6 .628. 815
3. 497. 359
602. 741
2. 520 .129
6 .620. 229
2004
sumber : BPS, 2009.
19
Dalam studi yang dilakukan oleh Jones dan Supratilah (1991: 322-324) yang
dilakukan di Jakarta, Surabaya dan Bandung pada tahun 1990, memperlihatkan
bahwa penganggur ini sebagian besar berusia muda, dan tingkat pengangguran
lulusan sekolah menengah dua kali daripada yang berpendidikan rendah dan
kelompok ini cenderung menganggur relatif lama. Ini timbul karena penganggur
yang berlulusan sekolah menengah cenderung tidak mau/segan untuk bekerja
di sektor informal, dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan rendah.
Secara khusus, perkembangan jumlah penganggur di Jakarta dijelaskan dalam
Tabel.2.
Tabel.3. Penduduk Miskin 2010
Provinsi
Perkotaan
Perdesaan
Total
173.400
688.500
861.900
Sumatera Utara
689.000
801.900
1.490.900
Sumatera Barat
106.200
323.800
430.000
Riau
208.900
291.300
500.300
Jambi
110.800
130.800
241.600
Sumatera Selatan
471.200
654.500
1.125.700
Bengkulu
117.200
207.700
324.900
Lampung
301.700
1.178.200
1.479.900
21.900
45.900
67.800
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
67.100
62.600
129.700
312.200
312.200
Jawa Barat
2.350.500
2.423.200
4.773.700
Jawa Tengah
2.258.900
3110.200
5.369.200
308.400
268.900
577.300
1.873.500
3.655.800
5.529.300
318.300
439.900
758.200
DKI Jakarta
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
83.600
91.300
174.900
552.600
456.700
1.009.400
107.400
906.700
1.014.100
Kalimantan Barat
83.400
345.300
428.800
Kalimantan Tengah
33.200
131.000
164.200
Kalimantan selatan
65.800
116.200
182.000
Kalimantan Timur
79.200
163.800
243.000
Sulawesi Utara
76.400
130.300
206.700
Sulawesi Tengah
54.200
420.800
475.000
Sulawesi Selatan
119.200
794.200
913.400
Sulawesi Tenggara
22.200
378.500
400.700
Gorontalo
17.800
192.000
209.900
20
33.700
107.600
141.300
Maluku
36.300
342.300
378.600
7.600
83.400
91.100
Maluku Utara
Papua Barat
9.600
246.700
256.300
26.200
735.400
761.600
11.097.800
19.925.600
31.023.400
Papua
Indonesia
sumber: BPS, 2011.
2005
2006
2007
2008
2009
Kepulauan Seribu
3,4
3,2
3,4
2,6
2,9
Jakarta Selatan
64
76,3
64
71,1
76,3
Jakarta Timur
71,2
85,1
71,2
79,8
94,6
Jakarta Pusat
28,5
43,6
28,5
31
34,5
Jakarta Barat
57,4
89,5
57,4
72,9
85,2
91,7
109,4
91,7
85,2
112,2
316,2
407,1
316,2
342,5
405,7
Jakarta Utara
DKI Jakarta
sumber: BPS, 2009
22
28
BAB IV
Penutup
A. Kesimpulan
Urbanisasi di Indonesia, merupakan suatu proses alamiah dari kegiatan
mobilitas penduduk dan memperlihatkan perkembangan yang semakin
meningkat. Dalam analisis ini urbanisasi dilihat dalam dua konteks. Pada
konteks pertama di mana perpindahan penduduk dari desa ke kota. faktor
yang secara umum dapat menjelaskan mengapa terjadi perpindahan penduduk
dari desa ke kota adalah motivasi. Motivasi penduduk untuk berpindah ke
kota merupakan reaksi atas pengharapan hidup yang lebih baik. Dalam
kasus urbanisasi ke Jabotabek, Jakarta menjadi tujuan urbanisasi sebagai
tempat mendapatkan pekerjaan, tetapi karena perkembangan perkotaan yang
berdampak pada keterbatasan lahan untuk tempat perumahan telah menjadikan
daerah sub urban menjadi tempat tinggal.
Urbanisasi yang dibiarkan terjadi terus menerus pada suatu wilayah
tertentu saja akan berhadapan dengan batas daya tampung perkotaan. Sebagai
contoh Jakarta, dengan tingkat urbanisasi yang tinggi telah menimbulkan
permasalahan ekonomi perkotaan, yaitu tingginya tingkat pengangguran.
Meningkatnya pengangguran ini menunjukan bahwa perkembangan sektor
formal tidak mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja sehingga
urbanisasi dengan sendirinya mendorong pertumbuhan sektor informal.
Pertumbuhan sektor informal yang muncul di perkotaan di Indonesia
seharusnya dipahami dalam konteks transformasi perkotaan. Pergeseran sistem
ekonomi dari yang berbasis pertanian ke industri dan jasa menyebabkan
terjadinya urbanisasi seiring dengan intensitas sektor informal. Pemahaman
informalitas perkotaan dalam mencermati masalah sektor informal akan
menempatkan sektor informal sebagai bagian terintegral dalam sistem ekonomi
perkotaan. Salah satu wujud pemahaman ini adalah menyediakan ruang kota
untuk mewadahi kegiatan sektor informasi seperti keberadaan pedagang kak
lima.
29
30
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bintarto, R. Urbanisasi dan Permasalahannya. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.
Boiroch, Paul. Tingkat dan Ciri Pengangguran di Kota Negara Sedang
Berkembang. Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi (ed.), Urbanisasi,
Pengangguran Dan Sektor Informal Di Kota. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1991, pp.60-74.
Broek, Julien Van den. The Economics of Labor Migration. UK-Brookfield, USA:
Edward Elgar, Cheltenham, 1996.
Chotib. Dinamika Mobilitas Internal Dan Urbanisasi Di Indonesia: Kajian
Data Sensus Penduduk 1980, 1990 dan SUPAS 1995. Moh. Arsjad
Anwar, dkk (ed.), Widjojo Nitisastro 70 Tahun, Pembangunan Nasional: Teori,
Kebijakan dan Pelaksanaan. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 1997, pp.889907.
Chotib dan Turro S.Wongkaren. Pemercepatan Transisi Mobilitas. Aris
Ananta dan Chotib (ed.), Mobilitas Penduduk di Indonesia. Jakarta: Lembaga
Demografi FEUI dan BKKBN, 1996, pp.167-179
Firman, Tommy.1996. Pola Urbanisasi di Indonesia: Kajian Data Sensus
Penduduk 1980 dan 1990. Aris Ananta dan Chotib (ed.), Mobilitas
Penduduk di Indonesia. Jakarta: Lembaga Demografi FEUI dan BKKBN,
1996, pp.68-86.
Forbes, Dean. Penjaja di Ujungpandang. Chris Manning dan Tadjuddin
Noer Effendi (ed.), Urbanisasi, Pengangguran Dan Sektor Informal Di Kota.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991, pp.348-378.
Heilbroner, Robert L. Terbentuknya Masyarakat Ekonomi. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1982, pp.63-64.
31
32
33
34
Working Paper/Laporan/Makalah
Acharya, Sarthi. Labour Migration in The Transtitonal Economies in the
South-East Asia, Working Paper on Migration and Urbanization, Economic
and Social Commision for Asia and the Pacific, December 2003, pp.1-25.
Ananta, Aris. Transisi Kependudukan di Indonesia: Beberapa Masalah dan
Prospek Perekonomian. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap dalam
Bidang Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 24 Mei 1995.
Anonim.a. Mobility, Migration and Efficiency, pp. 379-402.
Anonim.b. In Search of A General Framework For Migration Analysis, pp.1545.
Direktorat Pembangunan Perdesaan Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional dan Direktorat Program Cipta Karya Pekerjaan Umum (Bappenas
dan PU). Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional
(KSPN) 2010-2025, Revisi 5 Desember 2010.
Comola, Margherita and Luiz de Mello. Fiscal Decentralization and
Urbanization in Indonesia, Working Paper No. 2010/58, May 2010, UNUWIDER, pp. 1-19.
35
36
38
39
BAGIAN II
NILAI KERJA DAN PENINGKATAN KUALITAS TENAGA
KERJA WANITA PEKERJA RUMAH TANGGA
Dinar Wahyuni1
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Bekerja merupakan hak asasi setiap orang. Fungsi pekerjaan adalah pertama,
meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian, baik untuk dirinya sendiri dan
keluarganya dan kedua, fungsi status. Seseorang yang memiliki pekerjaan yang
layak mempunyai status sosial lebih tinggi dibandingkan orang yang tidak
memiliki pekerjaan.2 Dari bekerja, individu akan memperoleh penghasilan yang
dapat digunakan untuk bertahan hidup, baik secara ekonomi maupun sosial
dan memperoleh status sosial dalam masyarakat. Begitu pentingnya arti bekerja,
Universal Declaration of Human Rights 1948 article 23 (1) menyatakan everyone
has the right to work, to free choice of employment, to just and favourable conditions
of work and to protection against unemployment. Dari pernyataan tersebut tampak
bahwa setipa orang berhak atas pekerjaan yang layak bagi diri dan keluarganya.
Bekerja merupakan hak asasi setiap orang. Dan jaminan atas pekerjaan yang
layak diberikan oleh negara.
Dalam tataran internasional, isu pekerjaan sebagai hak asasi juga
berkumandang dalam International Convenant on Economic, Social and Cultural
Rights. Konvenan ini mengakui hak asasi setiap orang di bidang ekonomi, sosial
dan budaya termasuk hak atas pekerjaan dalam pasal 6. Pemerintah Indonesia
kemudian meratifikasi konvenan tersebut ke dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social
and Cultural Rights. UUD 1945 sebenarnya telah mengatur pasal mengenai
hak atas pekerjaan bagi setiap warga dimana negara berkewajiban menjamin
pekerjaan bagi setiap warga negara. Pasal 27 ayat (2) menyatakan dengan tegas
bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan. Hal ini berarti negara wajib menjamin setiap
2 Ujianto Singgih Prayitno, 2009, Tantangan dan Agenda Pembangunan Sosial : Pemenuhan Hak
Dasar Manusia Dalam Didiet Widiowati (Ed.), Tantangan Pembangunan Sosial Di Indonesia, Jakarta :
Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI, h.16.
43
Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga
warga negara untuk mendapat pekerjaan yang layak tanpa kecuali. Namun
kenyataannya, negara belum mampu menjamin pekerjaan bagi setiap warganya.
Lapangan pekerjaan masih terbatas sedangkan angkatan kerja terus meningkat
dan hal ini merupakan masalah utama dalam pembangunan di Indonesia.
Akibatnya, kelompok dengan pendidikan terbatas termarginalkan dan bekerja
di luar negeri merupakan pilihan untuk tetap dapat bertahan hidup secara
ekonomi. Pemerintah kemudian melegalkan pengiriman tenaga kerja ke luar
negeri sejak tahun 1980-an dengan mengeluarkan berbagai kebijakan.
Indonesia merupakan salah satu negara pengirim tenaga kerja terbesar.
Menurut data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, sampai Februari
2010 total tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri mencapai 2.670.536
orang. Malaysia masih menjadi tujuan utama TKI dengan jumlah 1,2 juta
orang disusul Arab Saudi 927.500 orang. Sementara di Taiwan, TKI mencapai
130.000 orang, Hongkong 120.000 orang, Singapura berjumlah 80.150 orang,
Brunei Darussalam 40.450 orang, Bahrain sebanyak 6.500 orang, Kuwait
61.000 orang, UEA 51.350 orang dan Qatar 24.586 orang.3
Migrasi tenaga kerja ke luar negeri cenderung meningkat setiap tahunnya.
Trend yang terjadi saat ini adalah tenaga kerja Indonesia (TKI) lebih didominasi
perempuan dan pekerjaan yang ditekuni sebagai pekerja rumah tangga (PRT).
Menurut Dewi Novirianti, peneliti Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas
Indonesia yang disampaikan dalam acara diskusi publik akses terhadap
keadilan di Indonesia di Jakarta, kaum perempuan masih mendominasi
TKI yang bekerja di luar negeri dengan presantase TKI perempuan atau biasa
disebut tenaga kerja wanita (TKW) sekitar 78% dan 76% di antaranya bekerja
di sektor rumah tangga.4 Kecenderungan peningkatan jumlah TKW akan
terus berlanjut sejalan dengan globalisasi kerja dan terbatasnya peluang kerja
di dalam negeri. Selain membuka peluang baru, terbukanya kesempatan kerja
bagi wanita di luar negeri membuka resiko tertentu bagi perempuan.
Penelitian Roxanne dan Jane menyatakan bahwa menjadi TKW dapat
menjadi cara yang jitu bagi perempuan miskin di pedesaan untuk memperoleh
pekerjaan dan meningkatkan pendapatan, meskipun resiko diskriminasi,
kekerasan, eksploitasi dan masalah perbedaan budaya di tempat kerja harus
3 Ade Irawan, BPS: Jumlah TKI Arab Saudi Capai 1,5 Juta Orang, http://finance.detik.com/
read/2011/06/28/ 195709/1670973/4/bps-jumlah-tki-arab-saudi-capai-15-juta-orang, diakses 4 November
2011.
4 TKI Masih Didominasi Kaum Perempuan, http://kampungtki.com/baca/27581,diakses 4 November
2011.
44
Dinar Wahyuni
mereka terima.5 Terlepas dari resiko menjadi TKW, tidak sedikit TKW yang
berhasil membawa uang kembali ke kampung halamannya dan merupakan
suatu keberhasilan bagi mereka jika mampu berangkat menjadi TKI. Dengan
demikian, faktor ekonomi menjadi alasan utama perempuan bermigrasi ke luar
negeri.
Fenomena migrasi ke luar negeri sebenarnya bukan hal baru. Sejak jaman
penjajahan Belanda, kebijakan pemerintah Kolonial Belanda menempatkan
warga negara Indonesia ke Suriname dan Kaledonia Baru untuk menjadi kuli
kontrak. Dalam perkembangannya, lonjakan harga minyak dunia menyebabkan
lahirnya masyarakat kelas menengah di Saudi Arabia, dampaknya muncul
kebutuhan akan PRT yang menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat kelas
tersebut.6 Memasuki tahun 1990-an terjadi peningkatan arus migrasi ke luar
negeri. Peningkatan drastis jumlah TKI kel luar negeri terjadi tahun 1997
bersamaan dengan terjadinya krisis ekonomi dunia. TKI berasal dari kantongkantong TKI seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, Nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tenggara Timur. Sebagian besar dari TKI adalah perempuan yang tidak
memiliki keahlian khusus dengan tingkat pendidikan rendah. Bagi sebagian
perempuan khususnya di pedesaan, menjadi TKW PRT lebih menjanjikan
upah yang tinggi dibandingkan bekerja di kota-kota besar di Indonesia. Mereka
kurang menyadari resiko yang akan dialami TKW di luar negeri.
Perempuan lebih rentan kekerasan, karena di banyak negara perempuan
masih dianggap sebagai kelompok kelas dua yang harus tunduk dan patuh
terhadap kelompok kelas satu, yakni laki-laki. Bahkan di tingkat peraturan pun
diskriminatif gender, seperti visa akan diperoleh setelah calon TKW menjalani
serangkaian tes. Keadaan ini menyulitkan TKW mengingat pendidikan mereka
yang umumnya rendah. Di samping itu akan berdampak pada akses TKW
ke informasi tentang keuntungan dan kerugian bermigrasi, persyaratan dan
kondisi kerja, prosedur dan klaim-klaim hukum. 7
Pekerjaan PRT sering dikategorikan sebagai sektor informal dan berada
di ruang privat sehingga seringkali tidak ternaungi oleh hukum tenaga kerja
di negara penempatannya. Di Singapura, Malaysia bahkan Amerika Serikat,
5 Sudjana, Eggi, 2009, Melepas Ranjau TKI : Strategi Pemberdayaan Buruh Migran, Jakarta : RMBOOKS,
h. 34.
6 Naovalitha, Tita, 2007, Kompleksitas Mekanisme Penempatan BMP Ke Luar Negeri : Beberapa Permasalahan
dan Alternatif Solusinya, Jakarta : Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan World Bank.
7 Martin Sirait, George dkk, 2006, Hak Asasi Manusia Bagi Semua : Peran Institusional Nasional Hak Asasi
Manusia Dalam Melindungi Hak Asasi Buruh Migran Tidak Berdokumen dan Buruh Migran Perempuan,
Jakarta : Komnas Perempuan, h. 38.
45
Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga
46
Dinar Wahyuni
47
BAB II
Kerangka Pemikiran
49
Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga
Dari pengertian TKW dan PRT, dapat disimpulkan bahwa TKW PRT
merupakan TKI perempuan yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri
dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu, melakukan pekerjaan
kerumahtanggan dan memperoleh upah. Secara umum terdapat tiga kelompok
besar mobilitas TKW ke luar negeri, yaitu TKW pemburu ringgit, TKW
pemburu real dan TKW pemburu dollar.12
Keinginan perempuan bekerja ke luar negeri dipengaruhi oleh banyak
faktor. Stalker menjelaskan motivasi perempuan melakukan migrasi ke luar
negeri menggunakan perspektif individual dan struktural. Persepktif individual
memandang migrasi sebagai keputusan rasional, karena setiap individu
mempunyai berbagai macam pengetahuan dan pilihan dalam mencapai dan
memperbaiki kesejahteraan. Dalam hal individu berusaha mendapatkan
kombinasi dengan mempertimbangkan upah dan jaminan pekerjaan. Sedangkan
teori struktural memandang migrasi sebagai keputusan yang berkaitan dengan
adanya tekanan kondisi eksternal yang dihadapi migran. Tekanan keterbatasan
peluang kerja dengan upah sesuai dengan kebutuhan hidup dan kebutuhan
ekonomi keluarga yang mendorong perempuan kemudian memutuskan bekerja
ke luar negeri.13
Trend perempuan bermigrasi ke luar negeri berkaitan dengan rendahnya
income di daerah asal, sementara beban keluarga semakin tinggi. Terbukanya
kesempatan kerja yang luas di luar negeri akan dapat menyerap tenaga kerja
Indonesia dalam jumlah yang besar. Dengan persyaratan yang lebih mudah
dan tidak membutuhkan keahlian khusus mendorong perempuan tampil
kembali dalam kegiatan ekonomi. Ada kecenderungan pekerja perempuan
hanya beralih dari pekerjaan domestik dalam rumah tangga tanpa upah ke
pekerjaan domestik luar rumah dengan mendapat upah.14 Hal itu disebabkan
karakteristik TKW asal Indonesia sebagian besar memiliki pendidikan yang
relatif rendah.
12 Abdullah, Irwan, 2003, Sangkan Paran Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 191.
13 Nasution, Arif. 1999, Globalisasi dan Migrasi antar Negara, Bandung: Kerjasama Yayasan Adikarya
IKAPI, h. 43.
14 Ibid, h. 108.
50
Dinar Wahyuni
15 Budiman, Arief, 1985, Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita
Dalam Masyarakat, Jakarta : Gramedia, h. 4.
16 Ibid.
51
Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga
52
Dinar Wahyuni
53
BAB III
Upaya Peningkatan Kualitas TKW PRT
Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga
56
Dinar Wahyuni
SKK, calon TKW harus memiliki dan menguasai pengetahuan dan ketrampilan
kerja sebagai berikut :21
Tabel 1. SKK PRT
No.
1.
Pembersihan ruangan dan perlengkapan
2.
Penataan perlengkapan ruangan
3.
Penggunaan peralatan dapur, makan dan minum
4.
Perawatan peralatan dapur, makan dan minum
5.
Penyiapan bahan makanan
6.
Pengolahan masakan keluarga
7.
Penghidangan makanan dan minuman
8.
Pencucian pakaian dan lena rumah tangga
9.
Penyeterikaan pakaian dan lena rumah tangga
10. Perawatan pakaian
11. Pengasuhan bayi
12. Perawatan bayi
13. Pengasuhan anak pra sekolah
14. Perawatan anak usia pra sekolah
15. Penggunaan telepon
16. Bahasa asing sesuai negara penempatan
17. Budaya negara penempatan
18. Pengetahuan hak dan kewajiban TKW
sumber: diolah dari Dinas Kependudukan Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Karanganyar.
57
Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga
58
Dinar Wahyuni
59
Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga
29 Ibid.
60
BAB IV
Kesimpulan
Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga
62
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdullah, Irwan, 2003, Sangkan Paran Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Budiman, Arief, 1985, Pembagian Kerja Secara Seksual : Sebuah Pembahasan
Sosiologis tentang Peran Wanita Dalam Masyarakat, Jakarta : Gramedia.
Dermatoto, Argyo dan Atik Catur Budiati, 2007, Kajian Mengenai Pembekalan
TKW yang akan Dikirim Ke Luar Negeri dalam rangka Penyusunan Kebijakan
Responsif Gender di Kabupaten Karanganyar, Laporan Penelitian, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Surakarta : Universitas Sebelas Maret.
Martin Sirait, George dkk, 2006, Hak Asasi Manusia Bagi Semua : Peran
Institusional Nasional Hak Asasi Manusia Dalam Melindungi Hak Asasi Buruh
Migran Tidak Berdokumen dan Buruh Migran Perempuan, Jakarta : Komnas
Perempuan.
Naovalitha, Tita, 2007, Kompleksitas Mekanisme Penempatan BMP Ke Luar Negeri
: Beberapa Permasalahan dan Alternatif Solusinya, Jakarta : Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan World Bank.
Nasution, Arif. 1999, Globalisasi dan Migrasi antar Negara, Bandung: Kerjasama
Yayasan Adikarya IKAPI.
Sudjana, Eggi, 2009, Melepas Ranjau TKI : Strategi Pemberdayaan Buruh Migran,
Jakarta: RMBOOKS.
Ujianto Singgih Prayitno, 2009, Tantangan dan Agenda Pembangunan Sosial:
Pemenuhan Hak Dasar Manusia Dalam Didiet Widiowati (Ed.), Tantangan
Pembangunan Sosial Di Indonesia, Jakarta : Pusat Pengkajian Pengolahan
Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI.
63
Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga
Peraturan Perundang-undangan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. 104/A/Men/2002 tentang Penempatan
Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri Pasal 49.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2006 tentang
Sistem Pelatihan Nasional bagian penjelasan.
Internet
Ade Irawan, BPS: Jumlah TKI Arab Saudi Capai 1,5 Juta Orang, http://finance.
detik.com/read/2011/06/28/195709/1670973/4/bps-jumlah-tki-arab saudicapai-15-juta-orang, diakses 4 November 2011.
Fungsi BLK, http://debuh.com/berita-berita-terbaru/fungsi-blk/55132/, diakses 6
November 2011.
Muhammad Iqbal, Menimbang Moratorium TKI PRT Ke Arab Saudi, http://
hukum.kompasiana.com/2011/06/25/menimbang-moratorium-tki-prt-ke-arabsaudi/, diakses 4 November 2011.
Lima Komponen Utama Revitalisasi Balai Latihan Kerja, http://economy.okezone.
com/read/2011/03/24/320/438299/320/5-komponen-utama-revitalisasibalai-latihan-kerja, diakses 6 November 2011.
Pekerja Rumah Tangga, http://jurnalperempuan.com/2011/05/pekerja-rumahtangga-domestic-workers/, diakses 5 November 2011.
Sepanjang 2010, Tercatat 5.495 TKI Korban Kekerasan, http://www.bnp2tki.
go.id/berita-mainmenu-231/3483-sepanjang-2010-tercatat-5495-tki-korbankekerasan.html, diakses 4 November 2011.
TKI Dapat Kucuran Bantuan Kredit, http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/
ketenagakerjaan/ 227-tki-dapat-kucuran-bantuan-kredit, diakses 5 November
2011.
TKI Masih Didominasi Kaum Perempuan, http://kampungtki.com/baca/27581,
diakses 4 November 2011.
64
BAGIAN III
PEMBATALAN SYARAT PENDIDIKAN MINIMUM
BAGI CALON TENAGA KERJA INDONESIA OLEH
MAHKAMAH KONSTITUSI
Luthvi Febryka Nola1
1 Penulis adalah calon peneliti Bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pelayanan Data, dan Informasi
(P3DI)Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat e-mail: febi_80@yahoo.com.
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Amandemen ketiga Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) yang disyahkan pada tanggal 9
November 2011 telah menghasilkan lembaga baru dalam tata kenegaraan di
Indonesia yaitu Mahkamah Konstitusi (MK). Pembentukan MK bertujuan
untuk memperkuat rumusan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa, negara Indonesia adalah negara hukum. Menurut Albert
Van Dicey,2 ada 3 unsur utama dari negara hukum yaitu supremasi hukum,
persamaan kedudukan hukum bagi setiap warga negara dan perlindungan
terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). UUD Negara RI Tahun 1945 sebelum
amandemen telah mengandung 3 unsur negara hukum ini, akan tetapi karena
tidak adanya pengawasan mengakibatkan banyak produk peraturan perundangundangan dibawah UUD Tahun 1945 yang bertentangan dengan UUD Negara
RI Tahun 1945. Sehingga akhirnya konsep negara hukum menjadi tidak tercapai
karena banyak hak-hak warga negara yang dilanggar.
Belajar dari kondisi ini akhirnya dibentuklah MK yang bertugas mengawasi
konstitusi melalui salah satu kewenangannya menguji Undang-Undang
(UU) terhadap UUD Negara RI Tahun 1945.3 Ketika suatu UU dimintakan
pengujian maka MK akan mempertimbangkan faktor pembentukannya, materi
dan muatan UU yang dianggap bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun
1945.4 Faktor-faktor inilah kemudian yang mendasari keputusan MK untuk
membatalkan UU secara keseluruhan atau hanya beberapa bagian dari UU itu
saja.
2 Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, Bandung:
Alumni, 2008, hal.15.
3 Pasal 24C ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4 Efik yusdiansyah, Implikasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi terhadap Pembentukan Hukum Nasional
dalam Kerangka Negara Hukum, Bandung: CV Lubuk Agung, 2010, hal.94.
67
Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi
68
merupakan salah satu contoh TKI buta huruf yang mengalami penyiksaan.8
Calon TKI/TKI yang bisa baca tulis tetapi belum menamatkan pendidikan
SLTP juga rawan terhadap tindak kekerasan. Seperti kasus penyiksaan dan gaji
tidak dibayar yang menimpa Tuti, TKI asal Banten yang lulusan SD.9 Sehingga
kemungkinan adanya hubungan tingkat pendidikan dengan kemampuan
sesorang dalam melindungi diri sangat besar. Kemungkinan ini sepertinya tidak
menjadi salah satu pertimbangan bagi MK dalam memutuskan pembatalan
persyaratan pendidikan bagi calon TKI.
B. Permasalahan
Fenomena-fenomena yang terjadi pasca putusan MK tentang pembatalan
syarat pendidikan minimum bagi calon TKI membuat penulis tertarik untuk
memperdalam permasalahan TKI melalui pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah perlindungan terhadap TKI menjadi salah satu pertimbangan MK
dalam membatalkan syarat pendidikan minimum bagi calon TKI?
2. Bagaimanakah pengaruh negatif pembatalan syarat pendidikan minimum
oleh MK bagi perlindungan terhadap TKI dewasa ini?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa:
1. Pertimbangan MK dalam membatalkan syarat pendidikan minimum bagi
calon TKI.
2. Pengaruh negatif pembatalan syarat pendidikan minimum oleh MK bagi
perlindungan terhadap TKI.
Penulis berharap mampu memberi masukan dalam rangka revisi UUTKI.
Selain itu hasil penulisan ini diharapkan menjadi masukan akademis dan dapat
dimanfaatkan sebagai bahan referensi tambahan terkait masalah TKI.
69
Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi
D. Metodologi Penulisan
Penulisan ini merupakan penulisan deskriptif yang akan memberikan
gambaran yang lebih jelas tentang situasi sosial,10 termasuk mengenai dampak
putusan MK tentang pembatalan syarat pendidikan minimum calon TKI.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam tulisan ini adalah studi
kepustakaan dengan cara mengkaji atau mengutip berbagai teori, pendapat, data
dari sejumlah buku dan bahan-bahan rujukan lainnya yang dianggap relevan.11
Data yang telah dikumpulkan tersebut kemudian dianalisa secara kualitatif
dengan menggunakan data yang diperoleh dari hasil studi perpustakaan.
Dalam menganalisa data yang tidak secara jelas dan tegas dianut dalam
suatu peraturan perundang-undangan, penulis memperhatikan beberapa
penafsiran hukum yang dilakukan oleh hakim dan para ahli hukum. Penafsiran
tersebut adalah:12
1. Penafsiran substantif adalah mencocokkan fakta kasus dengan ketentuan
UU yang dilanggar.
2. Penafsiran sosiologis adalah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan
sosial dalam masyarakat.
3. Penafsiran historis berdasarkan sejarah dari pembentukan UU yang
bersangkutan atau sejarah hukum.
10 Mohammad Mulyadi, Penelitian Kuantitatif & Kualitatif serta Praktek Kombinasinya dalam Penelitian
Sosial, Jakarta: Publica Institute, 2010, hal. 53.
11 Ibid., hal. 161.
12 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, hal. 141-144.
70
BAB II
Kerangka Pemikiran
Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi
72
73
Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi
74
75
Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi
D. Pendidikan Kemasyarakatan
Pendidikan adalah usaha manusia untuk menumbuhkan dan
mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani
sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan.28
Pendidikan tidak hanya dipandang sebagai usaha pemberian informasi dan
pembentukan keterampilan saja, namun diperluas sehingga mencakup usaha
untuk mewujudkan keinginan, kebutuhan, dan kemampuan individu sehingga
tercapai pola hidup pribadi dan sosial yang memuaskan, pendidikan bukan
26 Ibid.
27 Sri Palupi, Arah Perubahan UU 39/2004 untuk Efektifitas Perlindungan TKI Sesuai Standar, Makalah
dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hal. 14-15.
28 Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan: Komponen MKDK, Jakarta: Rineka Cipta, 2010, hal. 2.
76
semata-mata sarana untuk persiapan hidup yang akan datang akan tetapi untuk
kehidupan anak sekarang yang sedang mengalami perkembangan menuju
tingkat kedewasaan.29
Dewasa ialah dapat bertanggung jawab terhadap diri sendiri baik secara
biologis, phisikologis, pedagogis dan sosiologis. Biologis berarti seseorang
tersebut telah akil baliq. Phisikologis berarti bermacam-macam fungsi
kejiwaannya telah berkembang sepenuhnya, matang secara sosial dan moral.
Pedagogis artinya apabila seseorang telah menyadari dan mengenal diri sendiri
atas tanggung jawab sendiri. Sosiologis artinya memenuhi syarat untuk hidup
bersama yang telah ditentukan oleh masyarakat, misalnya telah bisa saling
menghormati, tenggang rasa, harmonis dan mau membela kepentingan
bersama.30
Pendidikan bagi kehidupan manusia merupakan kebutuhan mutlak yang
harus dipenuhi sepanjang hayat. 31 Oleh sebab itu saat ini tengah dikembangkan
konsep pendidikan kemasyarakatan yaitu usaha sadar mengembangkan
kemampuan sosial, kultural keagamaan, kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, keterampilan, keahlian (profesi), yang dapat dimanfaatkan oleh rakyat
Indonesia untuk mengembangkan dirinya dan membangun masyarakat.
Pendidikan kemasyarakatan dapat dilaksanakan oleh berbagai lembaga
dengan berbagai program pendidikan, baik oleh pemerintah, pribadi, keluarga,
organisasi dan himpunan dalam masyarakat.32 Jalur pendidikan kemasyarakatan
ini tidak terikat dengan formalitas akademik.33 Secara konkret pendidikan
kemasyarakatan dapat memberikan:34
1. Kemampuan profesional untuk mengembangkan karier melalui kursus
penyegaran, penataran, lokakarya, seminar, konferensi ilmiah dan
sebagainya.
2. Kemampuan teknis akademis dalam suatu sistim pendidikan nasional,
seperti, sekolah terbuka, kursus tertulis, pendidikan melalui radio dan
televisi.
3. Kemampuan mengembangkan kehidupan beragama melalui pesantren,
pengajian, pendidikan agama di mesjid, gereja, sekolah minggu dan
sebagainya
29
30
31
32
33
34
Ibid., hal. 5.
Ibid., hal. 6.
Ibid., hal. 2.
Ibid., hal. 34.
Ibid., hal. 33.
Ibid., hal. 34-35.
77
Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi
35 Jhon Vaizey, Pendidikan di Dunia Modern, diterjemahkan oleh L.P. Murtini, Jakarta: Gunung Agung
1987, hal. 33.
36 Ibid.
78
BAB III
Pembahasan
79
Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi
4. Menurut Pasal 28J ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 pembatasan oleh
UU hanya dapat dilakukan dengan maksud untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis. Pembatasan pendidikan minimum dalam Pasal 35 huruf d
UUTKI bukanlah bagian dari pembatasan yang dimaksudkan Pasal 28J ayat
(2) UUD Negara RI Tahun 1945. Mahkamah berpendapat bahwa batasan
tingkat pendidikan (SLTP) hanya dapat dibenarkan apabila persyaratan
pekerjaan memang memerlukan hal tersebut.
5. Pasal 35 huruf d UUTKI menjadi tidak relevan apabila dikaitkan dengan
kewajiban konstitusional Pemerintah untuk membiayai pendidikan
dasar sesuai dengan Pasal 31 ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945. MK
berpendapat, seandainya program pendidikan dasar 9 tahun telah berhasil
dijalankan oleh Pemerintah, dengan sendirinya angkatan kerja Indonesia
sudah mencapai tingkat pendidikan minimal SLTP.
Kelima pertimbangan MK ini sangat perpedoman pada pasal-pasal
perlindungan HAM dalam UUD Negara RI Tahun 1945. MK berusaha
menafsirkan Pasal 35 huruf d UUTKI menggunakan teori penafsiran
kontekstualisme dengan mengutamakan nilai-nilai fundamental yang terkadung
dalam UUD Negara RI Tahun 1945 yaitu berkaitan dengan hak hidup, perlakuan
yang adil, pekerjaan yang layak, teori pembatasan hak dan hak memperoleh
pendidikan dasar. Selain itu MK juga berusaha menginterpretasikan UUTKI dan
nilai-nilai fundamental tersebut secara sosiologis dengan mempertimbangkan
aspek keadilan dalam masyarakat.
Adapun pertimbangan pertama, mengenai perumusan hak untuk hidup.
Pertimbangan ini kurang sesuai dengan kondisi Indonesia saat putusan MK
dibuat karena Indonesia bukan berada dalam posisi wabah kelaparan yang
membuat orang kehilangan hak hidup ketika tidak diberikan kesempatan
untuk bekerja ke luar negeri. Justu ketika warga negara yang tidak atau kurang
berpendidikan dikirimkan ke luar negeri akan membahayakan hak hidup dari
TKI itu sendiri. Hal ini terbukti dengan banyaknya TKI yang pulang ke tanah
air dalam kondisi tidak bernyawa.
Pertimbangan kedua, berhubungan dengan pembatasan syarat usia
yang dianggap bertentangan dengan konsep keadilan dalam mendapatkan
pekerjaan. Konsep keadilan memang terabaikan karena tidak semua pekerjaan
80
Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi
83
Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi
84
85
Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi
86
87
BAB IV
Penutup
A. Kesimpulan
Pertimbangan MK dalam membatalkan syarat pendidikan minimum
bagi calon TKI telah didasarkan pada pasal-pasal perlindungan HAM dalam
UUD Negara RI Tahun 1945. Akan tetapi terdapat pertimbangan yang
kurang tepat dengan kondisi saat putusan tersebut dikeluarkan yaitu terkait
dengan penggunaan Pasal 28I ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 tentang
hak hidup. Analisa terhadap pertimbangan MK telah memperlihatkan ultra
petita dapat dilakukan MK dalam rangka perlindungan terhadap TKI dengan
cara memberikan rekomendasi untuk menghindari dampak negatif dari
pembatalan persyaratan pendidikan minimum bagi calon TKI dalam UU.
Selain itu diketahui juga bahwa hendaknya dari awal MK telah memperhatikan
legal standing dari pemohon sehingga tidak membuang-buang waktu untuk
memeriksa materi.
Putusan MK No. 019-020/PUU-III/2005 berdampak negatif terhadap
pemerintah, DPR dan TKI. Satu-satunya yang diuntungkan dengan putusan
ini hanyalah PPTKIS. Hal ini berpengaruh terhadap konsep perlindungan TKI
secara umum.
B. Rekomendasi
MK dalam menguji suatu perkara hendaknya menggunakan penafsiran
futuristik atau melihat jauh ke depan. Selain itu sebelum memeriksa suatu
perkara hendaknya terlebih dahulu memperhatikan legal standing dari pemohon.
Sedangkan masukan untuk DPR terkait dengan akan dilakukannya revisi
terhadap UUTKI adalah:
1. Memperinci dan memperketat persyaratan kompetensi bagi calon TKI.
2. Meningkatkan mekanisme pengawasan, koordinasi dan pembinaan dalam
rangka pelaksanaan peraturan.
89
Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi
90
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah
Konstitusi, Yogyakarta: UII Press, 2009.
Efik yusdiansyah. Implikasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi terhadap
pembentukan Hukum Nasional dalam Kerangka Negara Hukum, Bandung: CV
Lubuk Agung, 2010.
Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan: Komponen MKDK, Jakarta: Rineka
Cipta, 2010.
Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah
Konstitusi, Bandung: Alumni, 2008.
Jhon Vaizey, Pendidikan di Dunia Modern, diterjemahkan oleh L.P. Murtini,
Jakarta: Gunung Agung 1987.
Jimly Asshiddiqie, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Jakarta: Ind
Hill Co., 1998.
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004.
Mohammad Mulyadi, Penelitian Kuantitatif & Kualitatif serta Praktek Kombinasinya
dalam Penelitian Sosial, Jakarta: Publica Institute, 2010.
Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali
Pers, 2009.
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: Bina
Ilmu, 1987.
Sri Palupi dkk., Atase Tenaga Kerja dan Perlindungan TKI antara IndonesiaSingapura-Malaysia, Jakarta: The Institute for Ecosoc Rights, 2010.
91
Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi
Makalah
Sri Palupi, Arah Perubahan UU 39/2004 untuk Efektifitas Perlindungan TKI Sesuai
Standar, Makalah dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).
Umu Hilmy, Urgensi Perubahan UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, Makalah dalam Rapat Dengar Pendapat
dengan Komisi IX pada tanggal 14 Desember 2010.
Peraturan Perundang-undangan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Lembaran Negara No.133 Tahun
2004. Tambahan Lembaran Negara No. 4445.
_____,UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lembaran
Negara No. 78 Tahun 2003. Tambahan Lembaran Negara No. 4301.
_____,UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi. Lembaran Negara No.70 Tahun 2011.
Tambahan Lembaran Negara No. 5226.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 019-020/PUU-III/2005.
Internet
24% TKI ke Malaysia Buta Huruf, http://matanews.com/2009/06/22/24-tkike-malaysia-buta-huruf/, diakses 12 Oktober 2011.
Apa itu Ultra Vires dalam hukum?, http://rangforjustice.blogspot.com/2011/08/
apa-itu-ultra-vires-dalam-hukum.html, diakses 17 Oktober 2011.
Ita Lismawati F. Malau & Luqman Rimadi, Kemenakertrans Disorot, Ini
Kata
Muhaimin,
http://nasional.vivanews.com/news/read/249494kemenakertrans-disorot--ini-kata-muhaimin, diakses 12 Oktober 2011.
Larangan Ultra Petita, DPR Abaikan Sejarah, http://hukumonline.com/berita/
baca/lt4dfa00f5241e8/larang-ultra-petita-dpr-abaikan-sejarah, diakses 14
Oktober 2011.
92
93
BAGIAN IV
PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN PEREMPUAN
Sali Susiana1
1 Peneliti Madya Bidang Studi Kemasyarakatan Studi Khusus Gender pada Pusat Pengkajian,
Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat e-mail: sali_susiana@
yahoo.com.
BAB I
Pendahuluan
97
kasus Ruyati terjadi adalah kasus penganiayaan oleh majikan terhadap TKI
bernama Sumiati binti Salam Mustapa asal Dompu, Nusa Tenggara Barat.
Dua kasus tersebut hanyalah sebagian dari potret buram yang dialami oleh
perempuan yang bekerja ke luar negeri sebagai pekerja migran atau tenaga kerja
wanita (TKW). Di samping kasus Ruyati dan Sumiati, sebenarnya masih banyak
kasus lainnya. Salah satu TKW yang mengalami nasib tragis adalah Kikim
Komalasari, yang diduga dianiaya dan dibunuh oleh majikannya.4 Jenazah
Kikim ditemukan di sebuah tempat sampah dalam kondisi leher terluka dan
baru dapat dipulangkan ke Indonesia selama berbulan-bulan kemudian setelah
berbagai upaya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.5
Kasus terbaru yang banyak diberitakan menyangkut TKW adalah ancaman
hukuman mati yang menimpa Tuti Tursilawati, TKW asal Cikeusik, Kabupaten
Majalengka, Jawa Barat. Tuti Tursilawati terancam hukuman pancung setelah
dituduh membunuh majikannya, Suud Malhaq Al Utaibi, pada 11 Mei 2010 di
Kota Thaif.6 Tuti memukul Suud dengan kayu hingga tewas karena melindungi
diri dari pelecehan seksual yang dilakukan majikannya.7
Di samping Tuti Tursilawati, masih ada puluhan TKI, terutama TKW
yang terancam hukuman mati di Arab Saudi. Begitu pula di beberapa negara
penempatan TKI lainnya seperti Malaysia dan Singapura. Saat ini warga negara
Indonesia (WNI), termasuk TKI yang terancam hukuman mati di luar negeri
berjumlah 218 orang.8 Jumlah WNI/TKI yang terancam hukuman mati di luar
negeri secara lebih rinci dapat dilihat dalam tabel berikut:
4 TKI Tewas Dibunuh di Saudi, Media Indonesia, 19 November 2010 halaman 16.
5 Kikim ditemukan dalam kondisi tewas di Kota Abha, Arab Saudi. Pemerintah melalui Satuan
Tugas Penanganan Kasus WNI/TKI di Luar Negeri yang Terancam Hukuman Mati (Satgas TKI)
berhasil memulangkan jenazah Kikim Komalasari, yang tiba di Jakarta pada tanggal 29 September
2011. Sebenarnya bulan Juli 2011 jenazah Kikim sudah dapat dibawa ke Indonesia, tetapi terhambat
karena kepolisian Arab menghilangkan paspor Kikim. Diduga pelakunya adalah oknum kepolisian
Saudi yang masih memiliki hubungan keluarga dengan majikan yang membunuh Kikim. Tujuan
penghilangan paspor itu agar apabila jenazah Kikim dipulangkan dengan surat perjalanan biasa,
maka di persidangan pengacara majikan yang membunuh Kikim dapat berdalih bahwa Kikim sengaja
kabur. Lihat Jenazah Kikim Gagal Dipulangkan, Republika, 12 Juli 2011 halaman 5, dan Paspor
Mendiang TKI DIhilangkan Aparat, Media Indonesia, 12 Juli 2011 halaman 4.
6 TKI Terancam Hukuman Mati Mundur Saja kalau Tak Mampu Selamatkan TKI! Ary Wibowo |
Inggried Dwi Wedhaswary | Jumat, 14 Oktober 2011 | 13:47 WIB http://nasional.kompas.com/
read/2011/10/14/13470656/Mundur.Saja.kalau.Tak.Mampu.Selamatkan.TKI., diakses 20 Oktober
2011.
7 Permohonan Ampunan Dikirim ke Saudi, http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/
view/435759/ diakses 14 Oktober 2011.
8 Disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Tim Khusus DPR RI terhadap Penanganan
Tenaga Kerja Indonesia di Saudi Arabia (Timsus TKI DPR RI) dengan Satuan Tugas Penanganan
Kasus WNI/TKI di Luar Negeri yang Terancam Hukuman Mati (Satgas TKI) pada tanggal 10 Oktober
2011.
98
Sali Susiana
Tabel 1
Jumlah WNI/TKI yang Terancam Hukuman Mati di Negara Penempatan TKI
No
Negara
Jumlah
1.
Malaysia
151 orang
2.
Arab Saudi
43 orang
3.
China
22 orang
4.
Singapura
2 orang
sumber: Satuan Tugas Penanganan Kasus WNI/TKI di Luar Negeri yang Terancam
Hukuman Mati (Satgas TKI), 10 Oktober 2011.
99
100
BAB II
Peraturan Perundang-undangan tentang
Perlindungan Pekerja Migran
101
atas jaminan sosial, perlindungan atas kesehatan dan keselamatan kerja, dan
perlindungan fungsi reproduksi.15
Secara nasional, kebijakan penempatan dan perlindungan terhadap pekerja
migran, termasuk pekerja migran perempuan, diatur dalam Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN).
Secara keseluruhan, UU PPTKILN terdiri dari 16 bab dan 109 pasal.
Dari keseluruhan pasal tersebut, terdapat 10 pasal yang mengatur mengenai
perlindungan calon TKI/TKI, terdiri dari 8 pasal yang terdapat dalam bab
khusus mengenai perlindungan TKI (Pasal 77 sampai dengan Pasal 84) dan
2 pasal yang terdapat dalam bab pembinaan (Pasal 87 dan Pasal 90). Apabila
dihitung secara kuantitas dengan persentase, maka dari 109 pasal yang ada,
hanya 10 pasal yang secara eksplisit mengatur mengenai perlindungan calon
TKI/TKI atau sekitar 9%.
Dalam UU PPTKILN, selain terdapat pasal yang mengatur mengenai
hak calon TKI dan TKI, juga terdapat bab yang khusus mengatur mengenai
perlindungan TKI. Hak calon TKI/TKI diatur dalam Pasal 8, yang menyatakan
bahwa:
Setiap calon TKI/TKI mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk:
1. Bekerja di luar negeri;
2. Memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja luar negeri dan
prosedur penempatan TKI di luar negeri;
3. Memperoleh pelayanan dan perlakuan yang sama dalam penempatan di
luar negeri;
4. Memperoleh kebebasan menganut agama dan keyakinannya serta
kesempatan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan
yang dianutnya;
5. Memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di Negara
tujuan;
6. Memperoleh hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama yang diperoleh
tenaga kerja asing lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
di negara tujuan;
7. Memperoleh jaminan perlindungan hukum sesuai dengan peraturan
perundang-undangan atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan
15 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
102
Sali Susiana
103
Sali Susiana
Sali Susiana
107
PENANGGUNG JAWAB
BENTUK PERLINDUNGAN
Pra-penempatan
Pemerintah
Penempatan
Pemerintah
PPTKIS
Perwakilan Republik
Indonesia
TAHAP
PENANGGUNG JAWAB
Purna-penempatan/ Pemerintah
reintegrasi
PPTKIS
BENTUK PERLINDUNGAN
Pemberian bimbingan dan advokasi
1. Pemanduan keimigrasian;
2. Pelayanan barang bawaan;
3. Pelayanan di lounge TKI;
4. Penyediaan transportasi menuju GPKTKI di
Selapajang;
5. Pelayanan pendataan;
6. Pelayanan tiketing dan penjaluran;
7. Penyediaan jasa transportasi kepulangan TKI
ke tempat tinggal TKI;
8. Penanganan TKI bermasalah;
9. Pelayanan kesehatan;
10. Pelayanan keamanan;
11. Pelayanan TKI transit; dan
12. Pelayanan informasi dan pengaduan.
108
BAB III
Masalah yang Dihadapi Pekerja Migran
Perempuan
Dari total 4,3 juta orang TKI yang bekerja di 41 negara, sekitar 65% di
antaranya memang masih didominasi oleh pekerja sektor informal. Mereka
berprofesi sebagai buruh bangunan, buruh perkebunan, dan PRT.17 Bagi banyak
perempuan miskin, bekerja di luar negeri sebagai TKW telah menjadi salah satu
alternatif yang dapat dipilih di tengah segala keterbatasan yang mereka hadapi.
Tidak mengherankan jika setiap tahun terjadi peningkatan jumlah TKW yang
bekerja ke luar negeri.
Setidaknya terdapat empat faktor yang dapat menjelaskan hal ini. Pertama,
adanya krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 yang telah menyebabkan
banyak perempuan kehilangan pekerjaan. Kedua, adanya peningkatan
permintaan terhadap pekerja perempuan di satu sisi dan terbatasnya kesempatan
kerja bagi pekerja tidak terlatih dengan upah yang memadai di sisi yang lain.
Ketiga, kebijakan pemerintah (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi)
yang mendorong perempuan untuk bekerja ke luar negeri melalui Perusahaan
Penempatan TKI Swasta (PPTKIS). Dan keempat, peran aktif dari para calo
yang membuat perempuan tergiur dan berani untuk bekerja ke luar negeri.18
Sejak krisis ekonomi yang terjadi tahun 1998, terdapat sekitar 400.000
orang yang secara resmi tercatat sebagai TKI setiap tahunnya.19 Data Bank
Dunia menunjukkan, pada tahun 2004, sekitar 80% dari TKI adalah TKW,
dan 95% di antaranya bekerja di sektor informal sebagai pembantu rumah
tangga atau profesi lain yang sejenis. Seperti perawat bayi (babysitter) atau orang
17 Rapat Dengar Pendapat (RDP) Tim Khusus DPR RI terhadap Penanganan Tenaga Kerja Indonesia
di Saudi Arabia (Timsus TKI DPR RI) dengan Satuan Tugas Penanganan Kasus WNI/TKI di Luar
Negeri yang Terancam Hukuman Mati (Satgas TKI) pada tanggal 10 Oktober 2011, op.cit.
18 Country Gender Assessment: Indonesia, op.cit., page 72-73.
19 Fact Sheet: Migration, Remittance, and Female Migrant Workers, Female Migrant Workers Research
Team Bank Dunia (World Bank), Januari 2006, page 1.
109
lanjut usia (pramurukti).20 Data lain dari Bank Dunia menunjukkan, pada
tahun yang sama jumlah TKI yang terdaftar mencapai 380.688 orang, dan 83%
di antaranya adalah perempuan (TKW). Dari jumlah tersebut, lebih dari 90%
TKW bekerja di sektor informal sebagai PRT.21
Hingga tahun 2008 Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia (BNP2TKI) memperkirakan jumlah pekerja migran telah
mencapai 4.056.536 orang, yang tersebar di seluruh negara penempatan TKI.22
Sebagian besar di antaranya bekerja di negara-negara Timur Tengah seperti
Arab Saudi, Kuwait, dan Uni Emirat Arab, sedangkan sebagian lainnya ke
negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong.23
Pada tahun 2010 angka ini bertambah menjadi sekitar 4,31 juta orang dan
tersebar di 41 negara.24
Permasalahan yang dihadapi oleh perempuan yang bekerja sebagai
TKW tidak hanya terjadi ketika mereka sedang bekerja di rumah majikan.
Sebagaimana TKI pada umumnya, sebagian TKW juga menghadapi masalah
yang berkaitan dengan ijin tinggal (TKI overstayers). Dari hasil rekapitulasi yang
dilakukan oleh BNP2TKI, terlihat bahwa jumlah TKI overstayers yang berjenis
kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan dengan TKI laki-laki, seperti
terlihat dalam tabel berikut:
Tabel 2
Jumlah WNI/TKI Overstayers yang Dipulangkan dengan KM Labobar 22 April 2011
Kategori
Jumlah
Perempuan dewasa
2.132 orang
Laki-laki dewasa
31 orang
Anak-anak
93 orang
93 orang
110
Sali Susiana
hamil. Berdasarkan data yang diperoleh dari petugas di Madinatul Hujjaj25 per
13 April 2011, dari 1.588 orang TKI yang berada di tempat tersebut, 87 orang
di antaranya sedang berada dalam kondisi hamil. Usia kehamilan mereka
bervariasi, mulai 1 bulan hingga 8 bulan. Berikut data rinci mengenai usia
kehamilan tersebut:
Tabel 3
Usia Kehamilan TKI/WNI Overstayers di Madinatul Hujjaj Jeddah Per 13 April 2011
Usia Kehamilan
Jumlah
1 bulan
1 orang
2 bulan
6 orang
3 bulan
17 orang
4 bulan
22 orang
5 bulan
20 orang
6 bulan
12 orang
7 bulan
6 orang
8 bulan
3 orang
Jumlah:
sumber: Madinatul Hujjaj, Jeddah, Arab Saudi.
87 orang
111
112
Sali Susiana
1. Setidaknya 51% TKI dibayar lebih rendah dari upah minimum yang
ditetapkan pemerintah;
2. 47% TKI bekerja lebih dari 8 jam sehari;
3. 25% melakukan pekerjaan ilegal;
4. 16% tidak memiliki akomodasi yang layak.
Adapun data dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Arab
Saudi tentang kasus TKI menunjukkan, dari tahun 1994 hingga 1997 terdapat
12.534 kasus yang ditangani, 32% di antaranya berkaitan dengan pelanggaran
hak pekerja, seperti gaji yang tidak dibayar, pemotongan gaji, jam kerja yang
panjang, beban kerja yang berat, dan pelanggaran kontrak.36
Kasus yang dihadapi oleh TKI, terutama pekerja migran perempuan tidak
hanya berkaitan dengan pelanggaran hak pekerja, melainkan juga tindak
kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, maupun seksual. Berdasarkan laporan
Komnas Perempuan tentang survei pekerja domestik Indonesia di Hongkong
yang dilaksanakan pada Juli 2001, 60% (67 orang perempuan) dari responden
mengalami penyerangan seksual.37 Demikian pula dengan yang terjadi Arab
Saudi. Data dari KBRI di Arab Saudi menunjukkan selama tahun 19941997 terdapat 1.105 pekerja migran yang mengalami kekerasan fisik, 2.182
orang mengalami kekerasan psikologis, dan 612 orang mengalami kekerasan
seksual.38
Komnas Perempuan mengelompokkan berbagai bentuk pelanggaran HAM
yang dialami oleh pekerja migran menjadi beberapa kategori seperti terlihat
dalam tabel berikut:
36 Ibid.
37 Ibid.
38 Ibid.
113
Kategori
Hak yang DIlindungi
1. Terjerat hutang;
2. Mengalami penipuan, tidak jadi berangkat ke negara tujuan;
3. Menunggu keberangkatan terlalu lama;
4. Diselundupkan tanpa dokumen yang sah;
5. Dipalsukan identitas diri untuk kepentingan kerja;
6. Gaji tidak dibayar;
7. Gaji dibayar setengah/tidak sesuai perjanjian;
8. Pemotongan gaji di luar prosedur;
9. Over charging;
10. Bekerja melebihi masa kontrak;
11. Tempat bekerja tidak sesuai perjanjian;
12. Bekerja melebihi jam kerja;
13. Pelarangan berkumpul dan mendirikan serikat pekerja;
14. Penolakan untuk ijin cuti, istirahat mingguan, dan pembayaran biaya
lembur;
15. Kondisi kerja yang tidak layak, buruk, atau berbahaya;
16. Tidak ada upaya hukum terhadap pelanggaran hak pekerja;
17. Pemberian paspor, visa, dan dokumen lain yang merupakan
dokumen untuk menjadi pekerja migran;
18. Paspor dan dokumen lain dihilangkan/diambil/dipegang pihak lain;
19. Pembatasan kebebasan untuk berpindah dari satu pekerjaan ke
pekerjaan lain.
114
Sali Susiana
Hak atas kesetaraan
di depan hukum
Selain itu, hasil pemantauan Komnas Perempuan terhadap tiga perda yang
mengatur mengenai pekerja migran di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten
Cianjur (Provinsi Jawa Barat) serta Kabupaten Lombok Timur (Provinsi Nusa
Tenggara barat) menyimpulkan bahwa telah terjadi pelembagaan pengabaian
hak atas perlindungan dalam kebijakan pekerja migran.39 Pengabaian terhadap
hak atas perlindungan tersebut merupakan pelanggaran hak konstitusional
perempuan, yang secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
39 Ibid.
115
Dari tabel tersebut jelas bahwa selain masalah yang dihadapi oleh TKI pada
umumnya, pekerja migran perempuan atau TKW juga menghadapi masalah
yang berkaitan dengan seksualitasnya. Pekerja migran perempuan lebih rentan
terhadap tindak kekerasan seksual daripada pekerja migran laki-laki.
Berdasarkan hasil pemantauan dari Komnas Perempuan terhadap tiga
perda yang mengatur mengenai pekerja migran, hanya satu perda yang sudah
berperspektif gender, yaitu perda Kabupaten Lombok Timur.40 Dalam perda
ini diatur mengenai batas usia minimum TKI adalah 18 tahun, sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hal
ini dimaksudkan agar perempuan pekerja migran telah memiliki kematangan
emosional.41 Sebaliknya, dua perda lainnya tentang pekerja migran lebih
mengutamakan masalah prapenempatan yang berkaitan dengan perijinan,
retribusi, dan biaya pembinaan.42
Permasalahan yang dihadapi TKI tidak hanya terjadi pada masa prapenempatan maupun pada saat penempatan. Ketika kembali ke tanah air,
mereka juga masih menghadapi berbagai persoalan, tidak terkecuali pekerja
migran perempuan. Studi yang dilakukan oleh Yayasan Jurnal Perempuan pada
tahun 2011 menemukan adanya berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran
HAM yang terjadi pada saat TKI telah berada di GPKTKI di Selapajang, Bandar
Udara Soekarno-Hatta, yaitu:43
1. Mekanisme seleksi TKW berdasarkan penampilan fisik;
2. Ketidakjelasan jadwal TKI ke kampung halaman;
3. Pembatasan hak TKI (tidak boleh dijemput pihak keluarga);
40
41
42
43
Ibid.
Ibid.
Ibid.
Iva Kusuma dkk, Sambutlah Kepulangan Kami: Studi Efektivitas dan Dampak Perlindungan Terminal
Khusus TKI, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2011 halaman 42-43.
116
Sali Susiana
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Secara lebih rinci modus berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM
tersebut dapat dilihat pada matriks berikut:
Matriks 2
Modus Kekerasan dan Pelanggaran terhadap TKI di Terminal 4 GPKTKI
Bentuk Kekerasan
Lokasi
Uraian
Pelaku
Mekanisme seleksi
TKW berdasarkan
penampilan fisik
Ketidakjelasan
jadwal kepulangan
TKI ke kampung
halalman
Petugas Pelayanan
Tiketing
Pembatasan hak
(tidak boleh
dijemput keluarga)
Petugas Pelayanan
Pemulangan
Pengetahuan
petugas terhadap
trafficking minim
Petugas
Pendataan,
Petugas
Penanganan TKI
Bermasalah
Minimnya fasilitas
kebutuhan khusus
TKW berkaitan
dengan fungsi
reproduksi
117
Bus
Mengancam akan membuang kopor jika tidak
menuju
membayar jasa porter;
Terminal 4 Memaksa TKW untuk membayar seikhlasnya;
Meminta paksa barang berharga TKW
(misalnya telepon genggam).
Porter
Petugas Pelayanan
Barang Bawaan
TKI
Pemerasan
berkedok bisnis
Pegawai
penukaran uang,
pegawai toko
handphone,
penjaga kantin
Pelecehan seksual
Petugas
penukaran uang
Pemerasan
di angkutan
pemulangan
perjalanan
Petugas
penyediaan jasa
transportasi
(pengemudi,
kernet, dan
oknum polisi
yang mengawal)
sumber: Iva Kusuma dkk, Sambutlah Kepulangan Kami: Studi Efektivitas dan Dampak Perlindungan
Terminal Khusus TKI, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2011 halaman 42-43.
118
BAB IV
Penutup
120
DAFTAR PUSTAKA
Tim Peneliti dari The Institute for Ecosoc Rights, Atase Tenaga Kerja dan
Perlindungan TKI, Jakarta: The Institute for Ecosoc Rights, 2010.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Surat Kabar:
Buruh Migran: Setelah Pulang, Lalu? Kompas, 5 November 2011.
Indonesia Harus Segera Hapus Hukuman Mati, Kompas, 23 Juni 2011.
TKI Tewas Dibunuh di Saudi, Media Indonesia, 19 November 2010.
Jenazah Kikim Gagal Dipulangkan, Republika, 12 Juli 2011.
Paspor Mendiang TKI DIhilangkan Aparat, Media Indonesia, 12 Juli 2011.
Moratorium TKI: Layanan Ke Arab Saudi Distop, Kompas, 28 Juni 2011.
Dokumen Resmi:
Bahan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Tim Khusus DPR RI terhadap
Penanganan Tenaga Kerja Indonesia di Saudi Arabia (Timsus TKI DPR
RI) dengan Satuan Tugas Penanganan Kasus WNI/TKI di Luar Negeri
yang Terancam Hukuman Mati (Satgas TKI), 10 Oktober 2011.
Internet:
Permohonan Ampunan Dikirim ke Saudi, http://www.seputar-indonesia.
com/edisicetak/content/view/435759/ diakses 14 Oktober 2011.
122
Sali Susiana
TKI Terancam Hukuman Mati Mundur Saja kalau Tak Mampu Selamatkan
TKI! Ary Wibowo | Inggried Dwi Wedhaswary | Jumat, 14 Oktober 2011
| 13:47 WIB http://nasional.kompas.com/read/2011/10/14/13470656/
Mundur.Saja.kalau.Tak.Mampu.Selamatkan.TKI., diakses 20 Oktober
2011.
http://id.mg6.mail.yahoo.com/neo/launch?.rand=0s9fneik6sjr4 diakses 25
Oktober 2011.
Masih Ada 44 TKI yang Terancam Hukuman Mati http://www.
tempointeraktif.com/hg/kesra/2011/11/05/brk,20111105-365055,id.
html, 5 November 2011, diakses 9 November 2011.
TKI Rentan Penularan HIV/AIDS, http://www.pikiran-rakyat.com/node/
164515, 7 November 2011, diakses 9 November 2011.
123
BAGIAN V
DIPLOMASI PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN
INDONESIA
Humphrey Wangke1
1 Penulis adalah peneliti Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian Pengolahan
Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR-RI.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Prioritas
Pembangunan Nasional Tahun 2010 menyebutkan bahwa peningkatan,
pembinaan, dan perlindungan pekerja migran2 Indonesia merupakan salah satu
prioritas dalam pembangunan nasional bidang ekonomi. Sedangkan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2010-2014 menyebutkan, peningkatan
pelayanan dan perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI)
merupakan salah satu dari 8 sasaran Pembangunan Nasional bidang Politik
Luar Negeri dengan target pelayanan bagi 14.998 WNI bermasalah sampai
dengan tahun 2014. Indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan
ini antara lain adalah:3
1. Peningkatan jumlah pelayanan warga yang diperkuat;
2. Jumlah WNI yang mendapatkan fasilitas penampungan di Perwakilan RI
di luar negeri;
3. Jumlah WNI yang mendapatkan fasilitas repatriasi;
4. Jumlah WNI yang difasilitasi dalam proses deportasi;
5. Jumlah WNI yang mendapatkan fasilitas bantuan hukum;
6. Terbentuknya data base WNI dan BHI di tiap Perwakilan RI di luar
negeri.
Karena pekerja migran Indonesia merupakan bagian dari WNI yang
berada di luar negeri, maka dapat dipastikan bahwa pekerja migran Indonesia
merupakan bagian dari target pelayanan dan perlindungan yang diberikan
dalam kerangka RPJMN, dan isu perlindungan pekerja migran Indonesia
2 Secara internasional, pengertian pekerja migran adalah a person who is to be engaged, is engaged or
has been engaged in a remunerated activity in a State of which he or she is not a national, lihat pasal
2 International Convention of the Rights of All Migrant Workers and Their Family.
3 Teguh Wardoyo, SH., Diplomasi Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dalam Jurnal
Diplomasi, Vol. 2, No. 1, Tahun 2010, hal. 59-60.
127
adalah salah satu prioritas tidak hanya dalam diplomasi namun juga politik
luar negeri Indonesia. Dengan kata lain perlindungan kepentingan warga
negara merupakan misi primer dalam konteks hubungan diplomatik dan
konsuler. Karena mayoritas WNI yang berada di luar negeri merupakan pekerja
migran Indonesia yang bekerja di sektor-sektor informal dan rentan mengalami
berbagai permasalahan pelik pada masa penempatannya, maka diplomasi yang
bertujuan untuk perlindungan pekerja migran Indonesia serta pelayanan
dan perlindungan oleh diplomat Indonesia merupakan hal mutlak untuk
dilaksanakan dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Pekerja migran Indonesia yang
bekerja di luar negeri berada kurang lebih di 17 negara yang tersebar di wilayah
Asia Tenggara dan Timur seperti Singapura, Malaysia, Jepang, Taiwan, Korea
Selatan dan Hong Kong; wilayah Timur Tengah seperti Arab Saudi, Kuwait,
Mesir, Qatar dan Yordania, serta negara-negara di wilayah Eropa.
Dalam catatan Migrant Care, jumlah pekerja migran Indonesia yang bekerja
di luar negeri mencapai 6 juta orang.4 Dari jumlah tersebut hampir 80% adalah
perempuan yang mayoritas bekerja di sektor domestik atau pekerja rumah
tangga. Sementara untuk kawasan Asia Tenggara, menurut data dari Organisasi
Migrasi Internasioal (International Organization for Migration), terdapat 5 juta
pekerja migran.5 Dari jumlah tersebut, sebagian terbesar didominasi oleh
pekerja migran Indonesia. Seperti menurut catatan Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi, pada tahun 2010, jumlah pekerja migran Indonesia yang
bekerja di Malaysia tercatat 2.679.536 orang dengan jumlah remitansi mencapai
6,6 milyar dolar AS. Jumlah tersebut merupakan 65 persen dari total pekerja
migran yang bekerja di Malaysia. Kondisi yang sama juga terlihat di Singapura.
Dari 198.000 pekerja migran yang bekerja di Singapura, jumlah pekerja migran
Indonesia mencapai 80.150 orang. Sedangkan di Brunei Darussalam, dari
148.00 tenaga kerja yang bekerja di sana, jumlah pekerja migran Indonesia
mencapai 40.500 orang.
Meskipun jumlah pekerja migran Indonesia sangat besar, akan tetapi
perlindungan terhadap mereka selama ini sangat lemah. Berbagai aksi
kekerasan atau pelecehan terhadap pekerja migran Indonesia praktis terjadi di
hampir semua negara penempatan. Di Arab Saudi, Malaysia, Singapura, Hong
Kong, dan Taiwan, para pekerja migran Indonesia mendapatkan perlakuan
yang buruk. Sepanjang tahun 2009, menurut catatan Migrant Care, angka
4 Anis Hidayah, Wajah Diplomasi Perlindungan Perlindungan Buruh Migran Indonesia, dalam
Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1, Tahun 2010, hal. 104.
5 Titik Temu Masih Jauh, Kompas 15 April 2011, hal. 17.
128
Humphrey Wangke
129
130
BAB II
Kerangka Pemikiran
Menteri Luar Negeri Indonesia Haji Agus Salim suatu ketika pernah
mengatakan politik luar negeri adalah apa yang kita mau sedangkan diplomasi
adalah apa yang kita dapat. Diplomasi pada dasarnya merupakan diskusi
atau proses perundingan yang dilakukan secara verbal dengan tujuan untuk
mempengaruhi atau mengubah posisi lawan bicara. Diplomasi juga dapat
berarti sebagai sebuah perundingan tentang suatu masalah yang sedang dihadapi
dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang dapat diterima oleh semua pihak.
Karena itu, diplomasi sering disebut sebagai seni karena setiap situasi yang
dihadapi memerlukan kemampuan dalam hal membujuk atau mempengaruhi
namun pada saat yang bersamaan juga harus bersikap tegas.9 Lebih luas lagi,
diplomasi seringkali digunakan sebagai upaya untuk memelihara komunikasi
terbuka diantara pihak-pihak yang memiliki berkepentingan yang berbeda
dengan harapan bahwa perbedaan pandangan ataupun perselisihan diantara
kedua belah pihak dapat diselesaikan secara damai.
Didalam ilmu hubungan internasional, pemahaman tentang diplomasi
salah satunya dapat kita ketahui dari pendapat yang dikemukakan oleh Ernest
Satow yang mengatakan diplomacy is the application of intellegent and tact to the
conduct of officials relation between the governements of independents states.10 Dari
pemahaman yang dikemukakan itu terlihat bahwa implementasi diplomasi
tidak dapat dipisahkan dari wewenang, fungsi dan tugas Kementerian Luar
Negeri. Namun seiring dengan berkembanganya globalisasi dan demokratisasi
di seluruh dunia, batas-batas profesional diplomasi telah meluas bukan lagi
menjadi wilayah yang secara tradisional milik para diplomat yang berada di
9 Lihat, Jennifer Aiken and Eric Brahm, Diplomacy, Guy Burgess and Heidi Burgess (eds.), Beyond
Intractability, Conflict Research Consortium, University of Colorado, Boulder, Januari 2005.
10 Lihat Lord Gore-Booth, (ed), Satows Guide to Diplomatic Practice, 5th edition, Longman Group Limited,
New York, 1979, hal. 3.
131
132
Humphrey Wangke
133
134
BAB III
Pembahasan
135
sosial, ekonomi dan keamanan para pekerja migran.20 Di seluruh Asia, jutaan
tenaga kerja yang berasal dari Indonesia, Bangladesh, India, Nepal, Pakistan,
Sri Langka, Philipina, Vietnam dan Cina, bermigrasi mencari pekerjaaan di
negara lain. Migrasi tenaga kerja ini memiliki dampak positif maupun negatif.21
Secara positif, banyak kemajuan perekonomian negara-negara di kawasan Asia
yang terjadi karena kehadiran para pekerja migran itu. Bagi pekerja migran,
migrasi menawarkan kesempatan untuk mendapatkan upah yang lebih baik
daripada di negaranya sendiri. Sementara bagi negara pengirim, migrasi
merupakan peluang untuk menawarkan pekerjaan bagi warganya di luar negeri
sekaligus sebagai sumber devisa melalui remitan.22 Sedangkan bagi negara
penerima, migrasi tenaga kerja merupakan peluang untuk mendapatkan tenaga
kerja murah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.23
Sementara dari sisi negatif, bagi negara asal, masalah akan muncul sejak dari
perekrutan, persiapan pemberangkatan, sampai dengan penempatan. Tingginya
akan pengangguran, putus sekolah serta kemiskinan telah menciptakan tenaga
kerja dengan kualitas rendah dalam jumlah besar. Mereka akan mudah tertarik
bekerja di luar negeri karena gaji yang diterima lebih tinggi dibandingkan
pekerjaan yang sama di negara asalnya. Praktek-praktek perekrutan secara
illegal serta tingginya biaya perekrutan telah membawa para pekerja terjebak
dalam utang ketika hidup di luar negeri. Pekerja migran yang tidak cukup
terlatih seringkali tidak mengetahui tentang hak-hak yang dimilikinya sehingga
sangat mudah dieksploitasi. Sementara bagi negara-negara transit dan tujuan
akan menghadapi masalah-masalah yang terkait dengan migrasi secara illegal,
jaringan organisasi kejahatan perdagangan dan penyelundupan orang serta
masalah-masalah sosial lainnya.
Meskipun terlihat saling membutuhkan dan saling menguntungkan,
akan tetapi para pekerja migran seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak
adil. Ketidakadilan yang dialami buruh migran ini sangat beragam mencakup
pengupahan yang dibawah standar gaji pada umumnya, jam kerja yang
20 Untuk lengkapnya lihat Laporan ILO, Towards a fair deal for migrant workers in the global economy,
Genewa, 2004.
21 Graeme Hugo, International Migration and Development in Asia, makalah yang disampaikan
dalam Konperensi Internasional ke-8 International Conference of the Asia Pacific Migration Research
Network di Fuzhou, China, 25-29 May 2007, hal. 1.
22 IMF mendefinisikan remitan sebagai current private transfers from migrant workers who are
considered residents of the host country to recipients in the workers country of origin. Lihat, World
Bank, Migration and Remittances Factbook 2011, Second Edition, Washington DC, 2011, hal. xvi.
23 Siuaji Raja, An Analysis on Indonesia Migrant Workers From the Perspective of Human Rights,
Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1, Tahun 2010, hal. 133.
136
Humphrey Wangke
137
disponsori oleh Indonesia. Lahirnya resolusi itu tidak terlepas dari keprihatinan
Indonesia dan negara-negara peserta lainnya terhadap perlakuan buruk yang
seringkali dialami oleh para pekerja migran, terutama yang berhubungan
dengan hak-hak asasi mereka, seperti perlakuan diskriminasi, gaji yang rendah,
keselamatan yang terabaikan, serta menjadi kelompok masyarakat yang
terpinggirkan.
Dalam forum yang lebih luas seperti pertemuan Asian Parlementary
Assembly (APA) yang berlangsung di Solo, tanggal 28-29 September 2011,
masalah perlindungan pekerja migran kembali menjadi perdebatan hangat.
Dalam pertemuan tersebut, negara-negara peserta menyepakati Resolution on
the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers in Asia. Resolusi yang
diusulkan Delegasi DPRRI ini pada intinya menghendaki agar, baik negara
pengirim maupun negara penerima mempunyai persepsi dan komitmen yang
sama dalam menjamin dan meningkatkan perlindungan terhadap hak-hak dan
martabat para pekerja migran. Ini berarti bahwa baik negara pengirim maupun
negara penerima sama-sama membutuhkan adanya figur pekerja migran. Karena
itu perlu kerja sama untuk memndapatkan pemahaman dalam perlindungan
hak-hak asasi pekerja migran. Dalam kaitan ini, aspek perlindungan HAM
telah menjadi landasan utama dalam manajemen migrasi internasional sebab
bagaimanapun juga para pekerja migran ini telah memberikan kontribusi yang
nyata terhadap pembangunan ekonomi di negara penempatan maupun negara
pengirim.
Demikian pula di tingkat Asia Tenggara, anggota-anggota parlemen dari
negara-negara ASEAN telah menyelenggarakan sebuah seminar di ibukota
Kamboja, Pnom Penh, tentang peran parlemen dalam melindungi dan
memajukan hak-hak para pekerja migran di antara negara-negara anggota
ASEAN. Seminar yang berlangsung selama tiga hari pada bulan April 2011 pada
intinya bertujuan untuk meningkatkan kemitraan di antara parlemen negaranegara anggota ASEAN dalam memberikan perlindungan dan memajukan
hak-hak para pekerja migran. Migrasi penduduk yang bertujuan untuk mencari
pekerjaan ini telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat sebab
tidak jarang mereka menjadi korban dari kejahatan transnasional. Banyak
tenaga kerja wanita dan anak-anak menjadi korban eksploitasi dan perdagangan
orang.
Besarnya perhatian seperti di atas tidak terlepas dari posisi Asia yang telah
menjadi kawasan dengan tingkat migrasi pekerja migran yang tinggi, bukan
hanya dalam jangka pendek tetapi juga untuk jangka panjang. Kebanyakan
138
Humphrey Wangke
dari pekerja migran itu bukan hanya bekerja secara legal di negara tujuan
berdasarkan kontrak kerja jangka pendek, tetapi migrasi pekerja yang tidak
berdokumen juga telah berkembang pesat. Kecenderungan lainnya yang perlu
dicatat adalah meningkatnya jumlah pekerja migran wanita khususnya yang
berangkat secara perseorangan. Beberapa negara seperti Jepang dan Singapura
merupakan negara penerima pekerja migran. Sementara negara seperti
Indonesia dan Filipina merupakan negara pengirim tenaga kerja. Sedangkan
Malaysia sebenarnya bukan hanya negara penerima pekerja migran tetapi juga
pengirim.
Pergerakan manusia yang melibatkan pekerja migran secara ekonomi sangat
penting terutama bagi negara pengirim karena akan memberikan pemasukan
devisa dalam jumlah yang besar. Bagi negara yang mengalami surplus tenaga
kerja, remitan menjadi faktor utama migrasi tenaga kerja. Seperti Indonesia
yang pada tahun 2010 menurut Bank Dunia menerima remitan sebesar 7,1
milyar dolar Amerika Serikat28, dengan pendapatan terbesar dari Malaysia
yaitu 2,3 milyar dolar Amerika Serikat (35 persen) diikuti dengan Arab Saudi
sebesar 2,2 milyar dolar Amerika Serikat (32 persen), Hong Kong 425 juta
dolar Amerika Serikat (6,6 persen), Taiwan 425 juta dolar Amerika Serikat (6,4
persen), Singapora 425 juta dolar Amerika Serikat (6,4 persen), Uni Emirat
Arab 179 juta dolar AS (2,7 persen), dan Jepang 142 juta AS (2.1 persen).
Jumlah 7,1 milyar dolar AS tersebut sama artinya dengan 1,6 persen dari
GDP Indonesia dan sekitar sepertiga dari total investasi langsung (FDI) di
Indonesia.29 Dengan jumlah yang demikian besar, remitan menjadi salah satu
sumber pemasukan devisa bagi Indonesia. Akan tetapi, kebanyakan pekerja
migran Indonesia berasal dari Pulau Jawa dan Nusa Tenggara Timur sehingga
praktis hanya kedua provinsi itu yang paling diuntungkan sementara provinsi
lainnya tidak.
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh pekerja migran bukan hanya
membuat mereka menderita tetapi juga menciptakan kesulitan baru bagi
keluarga mereka dan masyarakat pada umumnya. Beragamnya persoalan yang
dihadapi oleh para pekerja migran pada akhirnya mengajak kita semua untuk
senantiasa mendiskusikan dan mencari solusi yang tepat atas permasalahan
yang dihadapi oleh para pekerja migran. Tentu saja, guna mengatasi masalah
seperti ini bukanlah dengan mencegah mereka melakukan migrasi, tetapi
28 Lihat, World Bank, op. cit., hal. 13.
29 International Organization for Migration (IOM) Indonesia, Remittances and Indonesia, Factsheets,
IOM, 2010, hal. 3.
139
bagaimana mencari cara yang tepat untuk melindungi mereka. Sudah tiba
saatnya untuk menilai para pekerja migran dari sisi kemanusiaan. Mereka harus
dilindungi karena keberadaan mereka di negara penempatan menyangkut citra
bangsa, baik bagi negara pengirim maupun negara penerima. Sudah waktunya
untuk memikirkan langkah-langkah strategis bagi keselamatan dan keamanan
para pekerja migran tersebut. Melalui dialog yang konstruktif antara negara
pengirim dan penerima diharapkan akan menemukan pemahaman yang sama
dan solusi dalam menangani masalah pekerja migran.
Bila dilihat dari perkembangannya, sudah pasti, jalan terbaik yang perlu
didahulukan adalah kerja sama secara formal antara negara pengirim dengan
negara penerima untuk memaksimalkan keuntungan yang didapat serta
mengurangi dampak negatif dari migrasi tenaga kerja. Menurut Wakil Presiden
Boediono, peningkatan kerjasama antara negara merupakan salah satu solusi
yang efektif untuk mengatasi celah hukum dan kelonggaran ketertiban antara
negara yang satu dengan lainnya.30 Komitmen dari kedua negara yaitu antara
negara pengirim dan penerima menjadi sangat penting dalam upaya melindungi
hak-hak asasi para pekerja migran. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah
mengembangkan kerja sama diantara negara-negara di Asia terutama untuk
mendapatkan kesamaan pandangan dalam perlindungan hak-hak asasi para
pekerja migran. Melalui kesamaan pandangan ini diharapkan dapat ditemukan
solusi bagi perlindungan terhadap hak-hak asasi para tenaga kerja migran.
Dalam jangka panjang, hal ini berarti akan mengurangi keberagaman sistem
dan standar penegakan hukum dan ketertiban pengiriman dan penerimaan
pekerja migran diantara negara yang berkepentingan.
B. Urgensi Pengaturan Secara Resmi
Para pekerja migran Indonesia menjadi korban perdagangan dan
penyelundupan orang atau bentuk-bentuk penyiksaan lainnya karena pemerintah
Indonesia belum menganggap penting pengaturan secara resmi. Untuk
mencegahnya, solusi yang paling mungkin dilakukan adalah dengan melakukan
pengiriman tenaga kerja keluar negeri secara resmi, melalui pengaturan yang
dilakukan oleh negara pengirim dengan negara penerima, sehingga setiap
pengiriman pekerja migran semuanya serba tercatat. Jika terjadi masalah
maka pemerintah kedua negara dengan mudah dapat segera mengatasinya.
Pengaturan secara resmi ini bukan hanya melibatkan pemerintahan di tingkat
pusat saja, tetapi di tingkat provinsi juga harus mempunyai satu devisi khusus
30 Lihat, Boediono: Kerja Sama Perkecil Celah Hukum, dalam Kompas, 12 Oktober 2011, hal. 3.
140
Humphrey Wangke
calon pekerja migran yang hendak bekerja di sana seperti tes bahasa Inggris.
Melalui mekanisme semacam ini berarti semua pekerja migran termasuk
yang berasal dari Indonesia bukan hanya harus mampu bekerja secara baik
dibidangnya tetapi juga harus mampu berkomunikasi secara baik dalam bahasa
Inggris.31 Persyaratan semacam ini sangat wajar bagi negara seperti Singapura
mengingat dari sisi upah dan perlindungan terhadap pekerja migran, Singapura
tergolong baik. Gaji pekerja migran di Singapura sekitar 3 juta rupiah sementara
di malaysia sekitar 2 juta rupiah lebih. Karenanya, persyaratan semacam itu
menjadi tantangan bagi Indonesia dan negara lainnya yang ingin menempatkan
pekerja migrannya di Singapura.
Selama ini, banyak pekerja migran Indonesia yang dikirim ke luar negeri
dalam kondisi yang belum siap pakai. Usia mereka umumnya belum mencukupi
serta tidak berpengalaman karena tidak mempunyai pengetahuan apapun
tentang urusan rumah tangga sehingga ketika sampai di tempat tujuan mereka
tidak siap pakai. Karenanya, tidak jarang diantara mereka ditempatkan tidak
seperti yang dijanjikan. Penyimpangan-penyimpangan seperti ini dilakukan
melalui jalur resmi artinya jumlah korban akan bertambah banyak jika kita
menghitung yang melalui jalur-jalur tidak resmi. Melihat kondisi yang menimpa
pekerja migran Indonesia di luar negeri maka salah satu solusi yang paling
efektif adalah mengirim tenaga kerja secara resmi. Sebab dengan demikian ada
kepastian bagi para pekerja migran Indonesia tentang jenis pekerjaan, dimana
ditempatkan, berapa gaji yang diterima, serta adanya jaminan sosial seperti
kesehatan. Dengan cara seperti ini, akan lebih mudah bagi pemerintah untuk
melacak bila terjadi penyimpangan terhadap para pekerja migran Indonesia.
Akan mudah bagi pemerintah untuk menanyakan kepada negara penerima
jika terjadi mistreatment terhadap pekerja migran Indonesia.
Pemerintah Indonesia tetap harus terlibat dalam penyiapan pekerja
migran yang hendak dikirim ke luar negeri untuk meyakinkan bahwa pekerja
migran Indonesia yang dikirim benar-benar terlatih dan siap pakai. Hal ini
perlu dilakukan sebab, pertama, meskipun cara-cara seperti ini dihindari oleh
PPTKIS maupun para calon pekerja migran sendiri karena membutuhkan
biaya yang tidak kecil, namun proses penyiapan ini sangat penting karena akan
menentukan daya saing pekerja migran itu sendiri serta menyangkut citra
Indonesia. Bangsa Indonesia menjadi dilecehkan karena terlalu banyak pekerja
migran tidak berkualitas yang dikirim ke luar negeri. Kedua, banyak pekerja
migran Indoensia yang dikirim secara ilegal tetapi ketika muncul masalah
31 RI Minta Singapura Ubah Kebijakan, Kompas, 25 Oktober 2011, hal. 19.
142
Humphrey Wangke
143
144
Humphrey Wangke
145
146
Humphrey Wangke
negara teluk. Selama ini perempuan pekerja migran tidak memiliki akses
komunikasi, tidak boleh keluar rumah tanpa ijin, dan paspor ditahan oleh
majikan. Ini dilakukan dengan resiko kerja mengalami kekerasan, pelecehan
seksual dan bekerja lebih lama.
Di tingkat Asia Tenggara, ketika berlangsung KTT ke-12 negara-negara
ASEAN di Cebu, Filipina, pada tanggal 13 Januari 2007, para kepala negara
telah menandatangani Declaration on the Protection and Promotion of the Rights
of Migrant Workers. Dalam deklarasi tersebut, negara-negara anggota ASEAN
yang merupakan kombinasi antara negara pengirim dengan negara penerima
menyatakan bahwa mereka akan melakukan upaya untuk melindungi
dan memajukan hak-hak para pekerja migran. Sesuai dengan hukum dan
kebijakan nasionalnya, negara-negara anggota ASEAN mengambil langkahlangah yang menguntungkan bagi para pekerja migran. Tetapi lebih dari itu,
negara-negara ASEAN perlu meningkatkan kerjasamanya terutama dalam
mencegah dan mengatasi terjadinya penyelundupan dan perdagangan orang
yang berlatarbelakang pengiriman pekerja migran. Namun, hingga tahun
keempat setelah dokumen itu dilahirkan, tidak ada kemajuan berarti dari
proses pembahasan instrumen pekerja migran ASEAN yang dilakukan oleh
ASEAN Committee on Migrant Worker.36 Karena itu, Kelompok Kerja Indonesia
dan Gugus Tugas untuk Buruh Migran ASEAN mendesak agar Komite
Implementasi Deklarasi ASEAN untuk Perlindungan dan Promosi Hak-hak
Buruh Migran (ASEAN Committee on the Implementation of the ASEAN Declaration
on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Worker) segera mengadopsi
instrumen perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran di ASEAN yang
sifatnya mengikat secara hukum.
D. Kerjasama Bilateral
Pasal 11 UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia di Luar Negeri telah memberi mandat kepada pemerintah
untuk menempatkan pekerja migran kerja Indonesia di negara penempatan
atas dasar perjanjian secara tertulis antara pemerintah Indonesia dengan
pemerintah negara pengguna pekerja migran Indonesia atau pengguna
berbadan hukum di negara tujuan. Persetujuan bilateral tentang tenaga kerja
sangat penting bukan hanya berguna untuk mengatur kemudahan bagi tenaga
kerja dalam mencari pekerjaan tetapi juga dalam melakukan penempatan dan
36 Wahyu Susilo, ASEAN Bukan untuk Buruh Migran?, Kompas, 10 Mei 2011, hal. 6.
147
148
Humphrey Wangke
MoU sangat terbatas bila dibandingkan dengan total arus pekerja migran
internasional, akan tetapi persetujuan bilateral antara negara pengirim dengan
negara penerima dapat secara efektif mengatur proses perekrutan, pengiriman,
penempatan sampai dengan pemulangan pekerja migran. Secara tradisional,
persetujuan bilateral mengenai pekerja migran dikenal sebagai persetujuan
tentang akses pasar pekerja migran, tetapi pada era globalisasi seperti saat ini,
persetujuan bilateral lebih dimotivasi oleh kepentingan ekonomi, politik dan
tujuan pembangunan.
Tabel
MoU antara Indonesia dengan negara-negara tujuan pekerja migran Indonesia
No.
Negara
Tahun
Keterangan
Malaysia
2004
2006
Korea Selatan
Taiwan
Jepang
19 Mei 2004
Jordan
2 Mei 2001
Kuwait
30 Mei 1996
Uni Emirat Arab 18 Desember 2007 Berlaku selama 4 tahun dan diperpanjang secara
otomatis
Qatar
7 Januari 2008
Australia
11 Agustus 2005
Bila mengacu pada negara Filipina yang juga banyak menghasilkan pekerja
migran, negara ini memberikan perlindungan dengan melakukan sebanyak
mungkin perjanjian bilateral. Kesepakatan bilateral ini dilakukan untuk
memastikan bahwa pekerja migrannya memperoleh perlindungan dan gaji
yang semestinya. Tidak semua perundingan yang dilakukannya berlangsung
dengan lancar. Filipina juga terlibat dalam perundingan yang sulit dengan
Arab Saudi dalam mencari kesepakatan mengenai perlindungan terhadap para
pekerja migrannya yang tergolong unskilled labour. Karena itu sangat tepat jika
Indonesia juga mendesak Arab Saudi agar segera merundingkan kesepakatan
149
baru tentang pekerja migran dari Indonesia dengan tujuan agar para pekerja
migran Indonesia terlindungi.
Sejauh ini, pemerintah Indonesia dan Arab Saudi telah terlibat dalam
pembahasan memorandum of understanding (MoU) tentang penempatan dan
perlindungan pekerja migran Indonesia yang diharapkan selesai pada akhir
tahun 2011. Untuk itu, pada tanggal 11-15 Juli 2011, pemerintah Indonesia dan
Arab Saudi telah mengadakan Joint Working Committee (JWC) I yang merupakan
perundingan tahap awal untuk membahas pembuatan MoU. Pertemuan JWC I
ini dimaksudkan untuk meletakkan kerangka dasar kerja sama Indonesia - Arab
Saudi yang lebih kongkrit. Pertemuan ini menindaklanjuti hasil dari statement
of intent yang telah ditandatangani pada 28 Mei 2011, yang mengamanatkan
adanya MoU. JWC I ini langkah awal penyusunan MoU yang diharapkan dapat
mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak, memberikan keuntungan bagi
kedua negara, dan mampu meminimalisir permasalahan terkait penempatan
dan perlindungan pekerja migran Indonesia.
Kekosongan kesepahaman bilateral tentang penempatan dan perlindungan
pekerja migran Indonesia dengan Arab Saudi, menurut Anis Hidayah, sering
menciptakan ladang pembantaian bagi pekerja migran Indonesia.40 Hanya
masalahnya, perangkat hukum di Arab Saudi tidak mengatur tentang pekerja
migran yang tergolong unskillled labour. Karena itu, sejak tanggal 2 Juli 2011
pemerintah Arab Saudi memilih menghentikan pengeluaran visa kerja bagi
pekerja rumah tangga yang berasal dari Indonesia dan Filipina dengan alasan
pemerintah kedua negara memberlakukan persyaratan yang ketat dan tidak
adil. Keputusan pemerintah Arab Saudi itu mendahului keputusan pemerintah
Indonesia yang akan melakukan moratorium pengiriman pekerja migran ke
Arab Saudi mulai 1 Agustus 2011. Keputusan Indonesia melakukan moratorium
muncul setelah adanya eksekusi hukuman pancung terhadap pekerja migran
Indonesia asal Bekasi, Jawa Barat, Ruyati.41 Selain ke Arab Saudi, Moratorium
atau penghentian sementara pengiriman pekerja migran Indonesia sektor
informal khususnya PLRT saat ini juga berlaku ke Kuwait dan Yordania.
150
Humphrey Wangke
151
152
BAB IV
Kesimpulan
154
DAFTAR PUSTAKA
Jennifer Aiken and Eric Brahm. Diplomacy, Beyond Intractability, Guy Burgess
and Heidi Burgess (eds.). Conflict Research Consortium, University of
Colorado, Boulder, Januari 2005.
Lord Gore-Booth, (ed), Satows Guide to Diplomatic Practice, 5th edition,
Longman Group Limited, New York, 1979.
Dr. Manuel Orozco, Regional Integration? Trends and Patterns of Remittance
flows within South East Asia, dalam http://www.adb.org/Documents/
Reports/Workers-Remittance/chap2.pdf, diakses tanggal 19 September
2011.
Pemerintah Kembali Kirim TKI ke Malaysia, dalam http://bisniskeuangan.
kompas.com/, diakses tanggal 15 April 2011.
Raymond Sayner and Lichia Yiu, International Economics Diplomacy:
Mutations in Post-modern Times, Netherlands Institute on International
Relations Clingendael, 2001.
RI Usulkan Pekerja Migran Dilindungi, Suara Pembaruan, 23 April 2011.
Siuaji Raja, An Analysis on Indonesia Migrant Workers From the Perspective
of Human Rights, Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1, Tahun 2010.
Susan Allen. Track I Diplomacy, dalam Guy Burgess and Heidi Burgess
(eds.), Beyond Intractability , Conflict Research Consortium, University of
Colorado, Boulder, Juni 2003.
Teguh Wardoyo, SH., Diplomasi Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di
Luar Negeri, dalam Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1, Tahun 2010.
Titik Temu Masih Jauh, Kompas, 15 April 2011.
Wahyu Susilo, ASEAN Bukan untuk Buruh Migran?, Kompas, 10 Mei 2011.
World Bank, Migration and Remittances Factbook 2011, Second Edition,
Washington DC, 2011.
156
BAGIAN VI
BATAS USIA TENAGA KERJA INDONESIA
(Studi tentang Implementasi Pasal 35 Huruf a UU No. 39
Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)
Dian Cahyaningrum1
1 Penulis adalah Peneliti Madya Bidang Hukum Ekonomi pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan
Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI, alamat e-mail: cahyaningrum@yahoo.com.
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945)
Alinea Keempat adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Pencapaian
tujuan tersebut, khususnya perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia
sampai saat ini masih perlu dipertanyakan sehubungan dengan masih banyaknya
kasus yang menimpa tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri.
Di Provinsi Jawa Timur (Jatim), sebagaimana dikemukakan oleh Staf
Divisi Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia, Mike
Verawati, jumlah kasus TKI di Indonesia pada 2009 sekitar 4.750 kasus.
Jatim menempati posisi kedua dengan jumlah sekitar 1.400 kasus, setelah
Jawa Barat yaitu sebanyak 1.900 kasus.2 Terjadinya kasus yang menimpa TKI
dari Jatim juga dikemukakan oleh Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia
(SBMI), Mochamad Cholily bahwa Kabupaten Jember, Madiun, dan Sampang
menduduki peringkat terbanyak untuk kasus TKI asal Jatim yang meninggal
di luar negeri sejak Januari hingga Mei 2010. Di Jember telah terjadi 7 kasus
TKI meninggal di luar negeri, sedangkan di Madiun dan Sampang masingmasing ada 6 kasus TKI yang meninggal dunia di luar negeri dengan berbagai
penyebab, diantaranya penganiayaan, kecelakaan kerja, dan musibah di luar
jam kerja.3
2 Jabar, Terbanyak TKI Bermasalah. TKI Jatim Terbanyak, Tetapi Sedikit Kasus, 5 March 2010,
http://www.yipd.or.id/main/readnews/15741, diakses tanggal 21 Februari 2011.
3 Jawa Timur Duduki Peringkat Terbanyak TKI yang Meninggal, 27 Mei 2010, http://www.berita8.
com/news.php?cat=2&id=22678, diakses tanggal 21 Februari 2011
159
Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)
160
Dian Cahyaningrum
161
Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)
tahun (Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004). Sehubungan dengan hal ini
sangatlah menarik untuk mengkaji batas usia tenaga kerja Indonesia.
B. Perumusan Masalah
Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang banyak
menempatkan TKI untuk bekerja di luar negeri. Penempatan TKI ke luar negeri
tersebut telah mendatangkan banyak manfaat baik bagi TKI itu sendiri maupun
untuk Provinsi Jatim. Manfaat yang dirasakan oleh TKI adalah meningkatnya
perekonomian TKI beserta keluarganya. Sementara itu manfaat bagi Provinsi
Jatim adalah banyaknya remittance yang dihasilkan dari penempatan TKI ke
luar negeri, selain juga berkurangnya masalah pengangguran.
Meskipun penempatan TKI mendatangkan banyak manfaat, namun
tidak semua calon TKI diterima menjadi TKI untuk bekerja di luar negeri. Ini
disebabkan adanya syarat usia untuk menjadi TKI sebagaimana diatur dalam
Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004. Sehubungan dengan hal ini maka
permasalahan yang hendak dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimanakah
pengaturan syarat usia yang terdapat dalam Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun
2004? Dan bagaimanakah implementasi dari syarat usia khususnya bagi TKI
yang bekerja pada pengguna perseorangan yang diatur dalam Pasal 35 huruf a
UU No. 39 Tahun 2004 tersebut di Provinsi Jatim?
C. Tujuan dan Kegunaan
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan syarat usia yang
terdapat dalam Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 dan implementasi
dari Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 tersebut di Provinsi Jatim.
Adapun kegunaan dari kajian ini adalah sebagai bahan masukan bagi
Anggota DPR RI dalam melaksanakan fungsi legislasi, yaitu dalam merevisi
UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri, yang saat ini sedang dibahas di Komisi IX DPR RI.
Kajian ini juga berguna untuk mendukung Dewan dalam melaksanakan fungsi
pengawasan terhadap pelaksanaan UU No. 39 Tahun 2004.
162
BAB II
Kerangka Pemikiran
163
Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)
Pada mulanya bekerja di luar negeri merupakan inisiatif dari masingmasing pribadi TKI secara perorangan atau melalui Pelaksana Penempatan
TKI Swasta (PPTKIS) berangkat ke luar negeri untuk bekerja. Adapun yang
dimaksud dengan PPTKIS (dulu disebut dengan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja
Indonesia atau PJTKI) dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 39 Tahun 2004 adalah
badan hukum yang telah memperoleh izin tertulis dari Pemerintah untuk
menyelenggarakan pelayanan penempatan TKI di luar negeri. Mengingat
jumlah TKI terus meningkat dan bekerja di luar negeri membawa dampak
positif maka sejak Pelita I (1969-1974) penempatan TKI ke luar negeri telah
menjadi program dari pemerintah.12
Meskipun kuantitas TKI terus meningkat, kualitas TKI masih perlu
dipertanyakan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Aris Ananta bahwa
saat ini negara lain cenderung menawarkan kepada TKI pekerjaan yang sering
disebut dengan pekerjaan 3-D (Dirty, Difficult, and Dangerous). Ini disebabkan
penduduk negara maju cenderung enggan atau jual mahal terhadap pekerjaan
tersebut. Sementara itu Indonesia memiliki jumlah tenaga kerja tidak terampil
yang berlebih dengan upah/penghasilan yang rendah. Di sisi lain, banyak negara
yang lebih maju dari Indonesia telah mencapai tahap pengimpor tenaga kerja
tidak terampil. Dengan demikian penawaran tenaga kerja tidak terampil dari
Indonesia mendapatkan permintaan tenaga kerja tidak terampil dari negara
yang lebih maju. Pasar tenaga kerja tidak terampil memang ada dan diduga amat
besar. Dalam bahasa yang lebih teknis, dikatakan bahwa terdapat latent demand
and supply untuk tenaga kerja tidak terampil dan murah dari Indonesia.13
B. Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi
Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) telah membawa banyak perubahan pada
sistem ketatanegaraan Indonesia, di antaranya hadirnya Mahkamah Konstitusi
(MK) sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang
menyebutkan Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
164
Dian Cahyaningrum
Berpijak pada Pasal 24 ayat (2) UUD Tahun 1945, nampak bahwa MK
merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah
Agung (MA). Ini berarti MK terikat pada prinsip umum penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan
lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, MK memiliki wewenang sebagaimana
diatur dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945, yaitu: a)
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, b) memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, c) memutuskan pembubaran partai politik, d) memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan e) memberikan putusan
atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Lebih
lanjut MK diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
yang diundangkan dan mulai berlaku pada tanggal 13 Agustus 2003.
Terkait dengan kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD, sesuai
dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003, jika
MK berpendapat permohonan pemohon beralasan maka amar putusan MK
menyatakan permohonan dikabulkan (Pasal 56 ayat (2) UU No. 24 Tahun
2003). Sebaliknya jika tidak beralasan maka amar putusan MK menyatakan
permohonan tidak dapat diterima (Pasal 56 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003).
Terhadap permohonan yang dikabulkan, MK melakukan pemeriksaan untuk
kemudian memutuskan bertentangan atau tidaknya suatu UU, baik karena
pembentukan UU yang tidak sesuai atau tidak berdasarkan UUD maupun
mengenai materi ayat, pasal, dan/atau bagian suatu UU (Pasal 51 jo Pasal 56
UU No. 24 Tahun 2003). Hal ini mempunyai relevansi terhadap keberlakuan
suatu materi UU atau suatu UU, dengan implikasi yaitu kekuatan hukum
sebagian substansi atau seluruh materi UU (Pasal 57 ayat (1) dan (2) jo Pasal 58
UU No. 24 Tahun 2003).14
Berdasarkan kewenangannya untuk menguji konstitusionalitas suatu
UU maka MK melalui putusannya dapat menyatakan bahwa materi rumusan
dari suatu UU tidak mempunyai kekuatan hukum karena bertentangan
dengan UUD. Begitu pula terhadap suatu UU, MK dapat membatalkan
keberlakuannya karena tidak sesuai dan tidak berdasarkan UUD. Melalui
14 Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi Memahami Keberadaannya dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta: Rineka Cipta, April 2006, hal. 31.
165
Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)
15 Ibid.
16 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Lima Tahun Menegakkan Konstitusi, Gambaran Singkat
Pelaksanaan Tugas Mahkamah Konstitusi 2003-2008, Cetakan Pertama, Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Nopember 2008, hal. 19-23.
166
BAB III
Metode Penelitian
167
Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)
168
BAB IV
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)
170
Dian Cahyaningrum
171
Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)
keterangan yang senada yaitu bahwa pembatasan syarat usia untuk TKI yang
bekerja pada pengguna perorangan tidak dimaksudkan untuk melanggar
hak TKI untuk bekerja melainkan untuk memberikan perlindungan kepada
TKI. Perlindungan diperlukan karena ada kemungkinan tempat dan kondisi
kerja di negara tujuan tidak sesuai dengan harapan TKI. Selain itu TKI
yang bekerja pada pengguna perseorangan juga rentan terhadap perlakuanperlakuan yang dapat merendahkan harkat dan martabat kemanusiaannya
karena memiliki hubungan yang intens dengan pengguna. Berbagai kondisi
tersebut menghendaki adanya kesiapan fisik dan mental dari TKI untuk dapat
melindungi dirinya sendiri. Oleh karena itu TKI yang bekerja pada pengguna
perseorangan disyaratkan berusia sekurang-kurangnya 21 tahun karena di usia
tersebut TKI memiliki kematangan dari segi emosi dan kepribadian. Selain
itu, menurut DPR pembatasan usia tersebut juga diperlukan untuk menjamin
kesejahteraan anak baik dari segi lahir maupun batin sebagaimana diamanatkan
UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang memberikan batasan
umur anak yang dijamin kesejahteraannya sampai dengan usia 21 tahun.20
Setelah mendengar dan membaca keterangan dari berbagai pihak, sebelum
memberikan keputusan, MK memberikan pertimbangan bahwa negara memiliki
kewajiban untuk melindungi warga negara dan kepentingannya. Namun
dalam menjalankan kewajibannya untuk memberikan perlindungan kepada
warga negara yang berada di luar yurisdiksi teritorialnya, terdapat pembatasanpembatasan dan/atau larangan yang ditentukan oleh hukum internasional
yang berlaku umum (general international law) yang membatasi keleluasaan suatu
negara untuk melaksanakan kewajibannya tersebut. Akibatnya negara tidak
mungkin melakukan tindakan langsung dan seketika terhadap pelanggaran
hukum yang menimpa TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan. Ini berarti
pada tahap permulaan, langkah yang perlu diambil akan sangat bergantung
pada TKI itu sendiri dan ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut.
Sehubungan dengan hal ini, faktor kematangan kepribadian dan emosi TKI
yang bersangkutan sangat berperan. Oleh karena itu pembatasan usia 21 tahun
untuk TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan sebagaimana diatur
dalam Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 tidak dapat dikatakan sebagai
ketentuan yang menghalangi hak seseorang untuk bekerja, apalagi hak hidup.
Selain itu berpijak pada Pasal 1 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia dan International Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 12 Tahun
20 Ibid
172
Dian Cahyaningrum
173
Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)
23 Rekapitulasi Data Penempatan TKI ke Luar Negeri Tahun 2008-2010 Dirinci Menurut Negara
Tujuan dan Remittance Provinsi Jawa Timur, data berasal dari Unit Pelaksana Teknis Pelayanan
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (UPTP3TKI) Provinsi Jawa Timur.
24 Bapak B (Kepala Pengelola Keuangan UPTP3TKI Provinsi Jatim) dan Bapak A (Pegawai UPTP3TKI
Provinsi Jatim), wawancara dilakukan pada tanggal 7 November 2010.
25 Disarikan dari data mengenai penempatan TKI formal-informal yang berasal dari UPTP3TKI Provinsi
Jatim.
26 Rekapitulasi Data Penempatan TKI ke Luar Negeri Tahun 2009 Kurun Waktu Tanggal 1 Januari
Sampai Dengan 31 Desember 2009 Dirinci Menurut Jabatan Provinsi Jawa Timur, data berasal dari
UPTP3TKI Provinsi Jatim.
174
Dian Cahyaningrum
175
Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)
176
Dian Cahyaningrum
177
Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)
178
Dian Cahyaningrum
179
Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)
180
BAB V
Penutup
A. Kesimpulan
Hukum menjamin hak setiap orang untuk bekerja baik di dalam negeri
maupun luar negeri dengan menjadi TKI. Mengingat bekerja di luar negeri
memiliki resiko yang tinggi dan rentan terhadap terjadinya berbagai permasalahan
yang mengancam harkat dan martabat manusia, sementara negara memiliki
keterbatasan dalam melakukan perlindungan karena di luar wilayah teritorial
maka Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 mempersyaratkan TKI khususnya
yang bekerja pada pengguna perseorangan berusia sekurang-kurangnya 21
tahun. Syarat usia ini tidak dimaksudkan untuk melanggar hak warga negara
untuk bekerja dan membatasi kesempatan seseorang untuk bekerja, melainkan
untuk memberikan perlindungan agar TKI memiliki kesiapan fisik dan mental
pada saat bekerja di luar negeri. Syarat usia TKI tersebut telah dikuatkan oleh
putusan MK yang telah menolak uji materi (judicial review) pemohon atas Pasal
35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004. Oleh karena itu ketentuan tersebut harus
dilaksanakan dengan baik oleh semua pihak.
Dalam tataran implementasi atau pelaksanaan Pasal 35 huruf a UU No. 39
Tahun 2004 di Provinsi Jatim, ditemukan adanya pelanggaran yaitu pemalsuan
usia TKI. Faktor pendorong yang menyebabkan pelanggaran tersebut adalah
kemiskinan TKI, sementara kesempatan kerja di dalam negeri terbatas;
adanya ambisi PPTKIS untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya; dan
penegakan hukum yang belum cukup baik oleh aparat. Beberapa upaya yang
dapat dilakukan untuk meminimalisasi atau mengatasi masalah pemalsuan
usia TKI adalah menyelenggarakan dan mengelola administrasi kependudukan
yang baik sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2006, menciptakan lapangan kerja
di dalam negeri, mengentaskan kemiskinan, meningkatkan kualitas TKI, dan
menegakkan hukum dengan baik.
181
Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)
B. Saran
Pemalsuan usia TKI menjadi salah satu penyebab terjadinya berbagai kasus
yang menimpa TKI. Oleh karena itu semua pihak harus melakukan segala
upaya untuk mencegah dan menangani masalah pemalsuan umur TKI, yaitu:
1. Pemerintah harus segera menyelesaikan proses administrasi kependudukan
berdasarkan UU No. 23 Tahun 2006, menciptakan lapangan kerja di dalam
negeri, mengentaskan kemiskinan, dan meningkatkan kualitas TKI.
2. Aparat penegak hukum harus melaksanakan tugasnya secara profesional
dalam menangani masalah pemalsuan umur dengan baik dan menindak
secara tegas pelaku pemalsuan umur.
3. Semua pihak, khususnya orang tua/suami/istri hendaknya tidak
melakukan pemaksaan dan memerintahkan anggota keluarganya yang
belum memenuhi syarat usia untuk menjadi TKI.
4. PPTKIS hendaknya mentaati dan melaksanakan semua peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai penempatan dan perlindungan TKI
dengan baik dan mengupayakan data TKI yang diterimanya adalah benar.
182
DAFTAR PUSTAKA
Buku/Majalah/Jurnal:
Burhan Ashshofa. Metode Penelitian Hukum. Jakarta:Rineka Cipta,1998.
I Dewa Rai Astawa. Aspek Perlindungan Hukum Hak-Hak Tenaga Kerja Indonesia
di Luar Negeri, yang disusun dalam rangka memenuhi persyaratan Program
Studi Ilmu Hukum. Semarang: Program Magister Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro Semarang, 2006.
Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay. Mahkamah Konstitusi Memahami
Keberadaannya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Cetakan
Pertama. Jakarta: Rineka Cipta, April 2006.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Lima Tahun Menegakkan Konstitusi,
Gambaran Singkat Pelaksanaan Tugas Mahkamah Konstitusi 2003-2008.
Cetakan Pertama. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Nopember 2008.
Mahkamah Konstitusi, Putusan Perkara No. 028-029/PUU-IV/2006.
Sali Susiana, Permasalahan Tenaga Kerja Wanita di Luar Negeri, Jurnal
Kajian, Vol. 5, No. 4, Desember 2000.
Sali Susiana, Kebijakan Penempatan TKI Pasca-Moratorium, Parlementaria,
Edisi 85 TH. XLII, 2011.
Warta Demografi, No. 3 Tahun ke-28 Tahun 1998.
Internet:
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, Profil Kemiskinan di Jawa Timur
Maret 2011, http://jatim.bps.go.id/?cat=54, diakses tanggal 14 November
2011.
183
Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)
Jabar, Terbanyak TKI Bermasalah. TKI Jatim Terbanyak, Tetapi Sedikit Kasus,
5 March 2010, http://www.yipd.or.id/main/readnews/15741, diakses
tanggal 21 Februari 2011.
Jawa Timur Duduki Peringkat Terbanyak TKI yang Meninggal, 27 Mei 2010,
http://www.berita8.com/news.php?cat=2&id=22678, diakses tanggal 21
Februari 2011.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri
UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
184
Dinar Wahyuni, M.Si adalah calon peneliti Bidang Kesejahteraan Sosial pada
Pusat Pengkajian Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal
DPR RI sejak Februari 2010. Menyelesaikan studi S1 Jurusan Ilmu Sosiatri
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM)
tahun 2004. Kemudian melanjutkan studi S2 Jurusan Sosiologi Kebijakan dan
Kesejahteraan Sosial FISIPOL UGM dan lulus tahun 2007.
Humphrey Wangke, MSi, adalah Peneliti Madya (IVc) bidang Hubungan
Internasional pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI. Ditempatkan di P3DI sejak tahun 1990 saat
pertama lembaga ini dibentuk. Menyelesaikan studi S1 di FISIP Universitas
Jember tahun 1987. Selanjutnya menyelesaikan studi S2 di Kajian Wilayah
Amerika Universitas Indonesia tahun 1998. Pada tahun 2011 menerbitkan
buku Mencari Solusi Atas Perubahan Iklim.
Luthvi Febryka Nola, SH., MKn., lahir di Padang 29 Februari 1980. Pendidikan
S1 Ilmu Hukum diselesaikan di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
pada tahun 2003. Magister Kenotariatan diselesaikan di Universitas Indonesia
pada tahun 2009. Bekerja di Sekretariat Jendral DPR RI mulai tahun 2010
sebagai calon peneliti Bidang Hukum di Pusat Pengkajian Pengolahan Data
dan Informasi (P3DI).
Sali Susiana, M.Si adalah Peneliti Madya (IVc) Bidang Studi Kemasyarakatan
Studi Khusus Gender pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi
(P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Menjadi peneliti P3DI sejak tahun 1996.
Pendidikan sarjana dari Jurusan Sosiologi FISIPOL Universitas Gadjah Mada
(1995) dan Magister dari Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas
Indonesia (2005). Menjadi Anggota Tim Asistensi untuk Tim Khusus DPR
RI terhadap Penanganan TKI di Saudi Arabia (2011) dan beberapa Rancangan
Undang-Undang (RUU), antara lain RUU tentang Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga (2011) dan RUU tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender
(2011). Melakukan berbagai penelitian yang berkaitan dengan isu gender dan
perempuan, antara lain: Akses Perempuan terhadap Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Reproduksi: Studi di Provinsi Kepulauan Riau dan Sulawesi Tenggara (2011)
dan Implementasi Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah:
Studi di Kabupaten Jembrana Provinsi Bali (2010); dan Pengarusutamaan
Gender (Gender Mainstreaming) dalam Proses Legislasi dan Penyusunan
Anggaran atas biaya United Nations Development Program (2008). Menjadi editor
186
dan kontributor dari beberapa buku yang diterbitkan oleh P3DI Setjen DPR
RI dan menulis beberapa artikel mengenai isu perempuan dan gender pada
jurnal ilmiah dan surat kabar, antara lain Urgensi Undang-Undang tentang
Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dalam Perspektif Feminis (Jurnal Legislasi
Indonesia Vol.7, No. 2 Agustus 2010); Kebijakan Penempatan TKI PascaMoratorium (Majalah Parlementaria, Edisi 85 Th XLII, 2011); Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (Majalah Parlementaria, Edisi 80 Th
XLI, 2010); dan Nasib UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (Kompas,
11 Agustus 2010). Terakhir menulis buku Perda Diskriminatif dan Kekerasan
terhadap Perempuan (2011).
187