Anda di halaman 1dari 188

BAGIAN I

URBANISASI, KESEMPATAN KERJA DAN


KEBIJAKAN EKONOMI TERPADU
Asep Ahmad Saefuloh1

1 Penulis adalah Peneliti Madya Bidang Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pelayanan Data dan
Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI.

BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Migrasi menurut Schyrock and Siegel (1976:373) merupakan salah satu
faktor penyebab perubahan penduduk, dan juga menjadi faktor utama dalam
redistribusi penduduk di antara wilayah geografis dan tempat tinggal, sehingga
mempunyai pengaruh terhadap besar dan komposisi penduduk di suatu wilayah.
Migrasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu migrasi internal dan internasional, dan
dalam dalam migrasi internal termasuk didalamnya urbanisasi (Young, et al,
1980:115-126).
Urbanisasi sebagai fenomena migrasi internal telah terjadi di seluruh
belahan dunia. Sejarah memperlihatkan bahwa pada abad pertengahan
manusia awalnya tinggal di pedesaan dan tergantung pada sektor pertanian
dan perburuan, tetapi sebagai akibat dari perdagangan terjadi arus urbanisasi.
Meskipun awalnya menunjukkan perkembangan yang lambat, tetapi
menyebabkan timbulnya kota-kota baru (Heilbroner, 1982:63). Jika pada 1800
terdapat 3 persen penduduk dunia tinggal di perkotaan, maka pada 1900
hampir 14 persen daerah perkotaan telah memiliki penduduk 1 juta, dan pada
1950 penduduk dunia 30 persennya bertempat tinggal di perkotaan. Bahkan
jumlah kota dengan penduduk di atas satu juta penduduk telah tumbuh sampai
83 kota (United Nation, 1999).
Perkembangan berikutnya, pada 2009 terdapat 47 persen dari penduduk
dunia tinggal di perkotaan atau mencapai 3,42 miliar. Kemudian menurut
perkiraan pada 2050 terdapat 60 persen penduduk dunia atau 6,29 miliar yang
akan tinggal di perkotaan dan paling banyak terjadi di negara berkembang
(United Nation, 2010).

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu


Gambar.1 Penduduk Perkotaan dan Perdesaan Dunia 1950-2050

Sumber: United Nation, 2010.

Penjelasan lebih lanjut dari laporan State of World Population, pada 2008
sekitar 3,3 miliar warga dunia menjadi bagian dalam proses urbanisasi, atau
lebih dari separuh penduduk dunia, dan menurut UNFPA diperkirakan
menjadi lima miliar pada 2030. Perkiraan UNES-CAP urbanisasi di kawasan
Asia Pasifik mencapai tingkat tertinggi di dunia. Bahkan menurut Hugo
(2003), penduduk perkotaan sebesar 56,5 persen dari kawasan Asia tersebut
akan berada di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Masalah urbanisasi di Asia
Pasifik didorong oleh fakta bahwa kemajuan ekonomi umumnya terjadi di
kota, sementara aspek pertanian di perdesaan tidak tergarap secara optimal.
Urbanisasi di Indonesia diperkirakan mulai terjadi pada 1930. Perkiraan
ini diperoleh dengan menghitung besar rasio antara penduduk perkotaan
tahun 1961 dengan penduduk perkotaan 1930, dan terjadi 3,6 kali pelipatan
antara 1930-1961 (Rahardjo, 1985:179). Pelipatan ini menurut Hugo seperti
dikutip Rahardjo (1985) terjadi sebagai akibat adanya kebutuhan mendesak
untuk tenaga administrasi di perkotaan. Menurut Kitamura dan Rustiadi (tanpa
tahun), serta Rustandi dan Panuju (2000), urbanisasi di tahun 1930 didasarkan
dari terdapatnya penduduk sebesar 7,5 persen dari total penduduk yang tinggal
di kota. Tetapi, menurut Soegijoko dan Bulkin seperti dikutip Firman (1996:66)
urbanisasi mulai terjadi pada 1920 di mana proporsi penduduk perkotaan baru
mencapai 5,8 persen.

Asep Ahmad Saefuloh

Dalam perkembangannya, pertumbuhan urbanisasi di Indonesia


menjadi cepat setelah perang dunia kedua, dan penyebab utamanya adalah
ketidakamanan di area pedesaan. Pada 1961, terjadi peningkatan menjadi 15
persen penduduk yang tinggal di perkotaan. Kemudian pada 1980 tingkat
urbanisasi di Indonesia mencapai 22,3 persen, dan pada 1990 meningkat
lagi menjadi 30,9 persen. Kemudian angka ini meningkat kembali menjadi
35,9 persen pada 1995 (Chotib, 1997). Pada periode tersebut, pengukuran
tingkat urbanisasi didasarkan sensus penduduk 1980 dan 1990, di mana
suatu lokalitas dikategorikan sebagai urban bila memenuhi syarat kepadatan
penduduk 5.000 orang atau lebih per kilometer persegi, jumlah rumahtangga
pertanian 25 persen atau lebih kecil, memiliki delapan atau lebih jenis fasilitas
perkotaan (Firman, 1996:66). Sementara pengukuran urbanisasi pada sensus
penduduk 2000 terdapat dua variabel yang dipakai yaitu kepadatan penduduk
mulai kurang dari 500 orang sampai 8.500 orang atau lebih per km2, dan
tingkat persentase rumah tangga pertanian antara 70 persen atau lebih sampai
di bawah 5 persen (Setiawan, tanpa tahun).
Perkembangan terakhir urbanisasi di Indonesia, berdasarkan sensus 2010
telah mencapai 44,3 persen, dan diproyeksikan akan mencapai 56,2 persen pada
tahun 2025 (lihat tabel.1). Berdasarkan hal di atas menarik untuk dilakukan
analisis lebih lanjut terhadap persoalan urbanisasi, terutama dikaitkan dengan
masalah ketenagakerjaan dan perekonomiannya.
B. Permasalahan
Berdasarkan latarbelakang di atas, hal yang akan dibahas mengenai
persoalan urbanisasi di Indonesia, yaitu:
1. Bagaimana perkembangan urbanisasi di Indonesia, yang secara khusus
dilihat pada perkembangan di tingkat nasional, dan perkembangan
urbanisasi di Jakarta yang sudah mencapai tingkat urbanisasi 100 persen?
2. Bagaimana permasalahan kesempatan kerja yang muncul terkait dengan
urbanisasi?
3. Bagaimana kebijakan ekonomi terpadu yang harus dilakukan dalam rangka
mendukung keseimbangan perkotaan perdesaan?

BAB II
Kerangka Pemikiran

Hal pertama yang perlu dipahami tentang urbanisasi, adalah pemahaman


terhadap definisi urbanisasi. Meskipun, selama ini definisi urbanisasi masih
menjadi perdebatan, dan mencapai puncaknya pada tahun 1978. Pada waktu
itu, dalam sebuah simposium yang hasil perdebatannya tidak dapat diringkas
menjadi deskripsi pendek, tetapi disepakati bahwa perlu dicari teori umum
untuk perkotaan dan urbanisasi. Teori umum tersebut bukan gejala-gejala
umum yang mengakibatkan urbanisasi secara semesta sebagai perkembangan
yang berjalan dengan sendirinya sesuai dengan kemajuan manusia, melainkan
dianggap sebagai gejala-gejala yang mengandung bermacam-macam unsur
rakyat dalam suatu negara (Koyano, 1996:4). Namun demikian, pengertian
urbanisasi dalam literatur juga merujuk pada perpindahan penduduk dari desa
ke kota (Bintarto,1986 :27). Pengertian lebih lanjut selalu dikaitkan dengan
bertambahnya proporsi penduduk kota disebabkan oleh proses perpindahan
penduduk ke kota dan akibat perluasan daerah kota (Munir, 1981:199).
Menurut Firman (1996: 63), urbanisasi juga mempunyai makna lebih luas,
yaitu tingkat keurbanan (perkotaan) dalam suatu negara atau suatu wilayah.
Urbanisasi juga mengandung makna proses perubahan, yaitu proses perubahan
dari bersifat pedesaan (rural) menuju perkotaan (urban). Perubahan ini dapat
diindikasikan dari perubahan pola penggunaan tanah, dari yang bersifat
pertanian atau ciri pedesaan lain menjadi penggunaan tanah industri, jasa
atau ciri penggunaan tanah perkotaan lainnya. Perubahan juga dapat dilihat
dari mental dan gaya hidup penduduknya yang berperilaku pedesaan menjadi
perkotaan (Chotib, 1997: 989). Hal ini pula yang selalu dihubungkan antara
urbanisasi dengan urbanisme. Urbanisme menurut Koyano (1996:5) adalah
motivasi manusia untuk berpindah ke kota, dan menurut Acharya (2003: 5)
motivasinya adalah kesadaran untuk mencari kehidupan yang lebih baik, dan
untuk mempertahankan hidup (Broek, 1996).
7

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

Berdasarkan pengertian di atas, terdapat pembedaan urbanisasi dalam


pengertian luas dan sempit, yang sekaligus juga memperlihatkan dua
perspektif pendekatan dalam analisis urbanisasi. Dalam pengertian sempit,
urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota, sedangkan dalam
pengertian luas urbanisasi adalah pertambahan penduduk perkotaan dan
segala implikasinya. Pertambahan penduduk sendiri dapat disebabkan karena
pertambahan alamiah (pertumbuhan penduduk kota) dan pertambahan
karena adanya migrasi perpindahan penduduk dari desa ke kota. Implikasi
pertambahan penduduk perkotaan adalah meluasnya daerah perkotaan beserta
segala dimensinya, misalnya perubahan pola hidup menjadi perkotaan.
Dalam menganalisis urbanisasi tidak dapat dilepaskan dari teori migrasi,
di mana salah satunya adalah teori push and pull factor. Berdasarkan teori ini,
migrasi terjadi karena adanya perbedaan karakteristik di mana perkotaan
mempunyai daya tarik bagi pendatang (pull factor), misalnya kesempatan
mendapatkan pendapatan lebih tinggi, kesempatan pendidikan lebih tinggi,
fasilitas yang lebih lengkap dan sebagainya. Sedangkan pedesaan, mempunyai
faktor pendorong (push factor) misalnya berkurangnya sumber-sumber alam,
menyempitnya lapangan pekerjaan, bencana alam dan sebagainya (Munir, 1981;
Cox and Hemson, 2004; Roberts and Kannaley, tanpa tahun). Meskipun ada
demografer yang mengemukakan pendapat lain, tetapi dapat dikategorikan
kepada teori push and pull factor, misalnya Herr (1985:55-56) mengemukakan
bahwa urbanisasi terjadi karena sebagai akibat meningkatnya taraf kesejahteraan
suatu bangsa sehingga penduduknya berkeinginan untuk membelanjakan
barang dan jasa yang diproduksi di kota, dan terjadinya perubahan sifat dari
produksi makanan, yang diproduksi di urban.
Analisis urbanisasi yang sampai sekarang masih menjadi rujukan, yaitu
penjelasan dari Todaro. Meskipun teori ini dikenal sebagai teori migrasi
tetapi pada dasarnya bagian teori urbanisasi karena analisisnya melihat
perpindahan penduduk dari desa ke kota (pengertian urbanisasi sempit), di
mana desa dengan sektor pertanian yang memiliki surplus tenaga kerja dan
kota dengan sektor industri yang kekurangan tenaga kerja (Zhang, 2009).
Kemudian perpindahan akan terjadi jika upah sebagai daya tarik di kota lebih
tinggi dibandingkan di desa (anonim.a, tanpa tahun). Begitu juga tingkat
pengangguran yang tinggi di daerah asal akan mendorong tenaga kerja pindah
ke kota. Karena itu, kesempatan memperoleh pekerjaan baru di kota telah
mengerakan perpindahan penduduk secara masal dari daerah (United Nation,
1999). Berdasarkan studi empiris diketahuibahwa keluarga yang dikepalai oleh
8

Asep Ahmad Saefuloh

pengganggur akan lebih memutuskan untuk melakukan migrasi dibandingkan


yang lainnya, dan rata-rata pengangguran di daerah asal berpengaruh terhadap
migrasi keluar (anonim.b, tanpa tahun). Konsep ini banyak menjelaskan kasus
empirik urbanisasi di negara-negara miskin (Herrmann and Khan, 2008).
Lebih lanjut, meningkatnya migrasi desa-kota, berakibat jumlah orang yang
mencari pekerjaan di sektor industri semakin meningkat sedangkan jumlah
pekerja yang dibutuhkan semakin sedikit sehingga menghasilkan pengangguran
di perkotaan. seperti yang dijelaskan oleh Passay (1988), Boiroch (1991), Hugo
(1991), Forbes (1991), Steele (1991), Todaro and Stilkind (1991) dan Todaro
(1997). Ini berarti perkembangan industri tidak secepat perkembangan tenaga
kerja. Bahkan menurut Comola and Mello (2010), tingkat urbanisasi yang
tinggi menjadi faktor pendorong kenaikan upah.
Dalam pengertian yang luas, urbanisasi akan terkait dengan kontek
pembentukan kota. Pembentukan kota terjadi karena perubahan sistem
politik (Joszef, 2006; Parysek, 2010), bertujuan untuk pembangunan dan
pola aglomerasi termasuk memperbaiki ketidakseimbangan desa-kota
(Hugo, 2004; Meijers and Burger, 2009; Quigley, 2009). Dalam pendekatan
tersebut, analisisnya melihat pada dampak urbanisasi, misalnya implikasi bagi
ekonomi perkotaan.2 Implikasi urbanisasi menurut Bintarto (1986: 36-45)
akan memberikan dampak positif berupa bervariasinya sektor ekonomi dan
berkembangnya wirausaha. Namun, dalam konteks ketenagakerjaan, urbanisasi
menciptakan pengangguran, seperti yang dijelaskan sebelumnya sehingga akan
melahirkan kebijakan ketenagakerjaan tersendiri (Petsimeris, 2004).

2 Terdapat dua teori perkotaan (mainstream) yang dikenal saat ini yaitu the Chicago School of Urban
Sociology dan the Los Angeles School of Urban Geography yang didasarkan pada fenomena perkotaan
yang terjadi pada kota-kota di negara maju (Chicago dan Los Angeles). Kedua mainstream perkotaan
tersebut telah mendominasi wacana dalam perkotaan dan urbanisasi, bukan hanya di Amerika
Serikat dan Eropa tapi juga di negara-negara berkembang. The Chicago School of Urban Sociology yang
dikembangkan pada awal tahun 1920-an menjelaskan perkembangan perkotaan dikendalikan oleh
migrasi yang menghasilkan pola-pola ekologis. Sementara The Los Angeles School of Urban Geography
digagas pada akhir tahun 1990-an untuk menjelaskan perkembangan metropolitan Los Angeles di era
postmodern yang menekankan pentingnya peran ekonomi kapitalis dan globalisasi ekonomi politis.

BAB III
Pembahasan

A. Perkembangan Urbanisasi di Indonesia


Selama kurun 1980-1990 pola spasial urbanisasi di Indonesia memperlihatkan
konsistensi, artinya tidak terjadi pergeseran karena selama 10 tahun tersebut
tidak ada perubahan dalam wilayah-wilayah yang memperlihatkan tinggi
rendahnya tingkat urbanisasi. Tingkat urbanisasi semua propinsi di Indonesia
menunjukan peningkatan. Lima propinsi yang urbanisasinya di atas angka
nasional, yaitu DKI Jakarta, Kalimantan Timur, DI Yogyakarta, Sumatera
Utara dan Jawa Barat. Hal ini sangat beralasan karena lima propinsi tersebut
memiliki daya tarik ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan propinsipropinsi lainnya di Indonesia (Chotib, 1997).
Tabel.1. Tingkat Urbanisasi di Indonesia, 1990-2025
1990

1995

2000

2005

2015

2020

2025

Nanggroe Aceh Darussalam

Provinsi

15,8

20,5

23,6

28,8

2010
34,3

39,7

44,9

49,9

Sumatera Utara

35,5

41,1

42,4

46,1

50,1

54,4

58,8

63,5

Sumatera Barart

20,2

25,1

29,0

34,3

39,8

45,3

50,6

55,6

Riau

31,7

34,4

43,7

50,4

56,6

62,1

66,9

71,1

Jambi

21,5

27,2

28,3

32,4

36,5

40,6

44,5

48,4

Sumatera Selatan

29,3

30,3

34,4

38,7

42,9

47,0

50,9

54,6

Bengkulu

20,4

25,7

29,4

35,2

41,0

46,5

51,7

56,5

Lampung

12,5

15,7

21,0

27,0

33,3

39,8

46,2

52,2

43,0

47,8

52,2

56,5

60,3

63,9

Kepulauan Bangka Belitung


DKI Jakarta
Jawa Barat

100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0


34,5

42,7

50,3

58,8

66,2

72,4

77,4

81,4

Jawa Tengah

27,0

31,9

40,4

48,6

56,2

63,1

68,9

73,8

Yogyakarta

44,4

58,1

57,6

64,3

70,2

75,2

79,3

82,8

Jawa Timur

27,5

32,1

40,9

48,9

56,5

63,1

68,9

73,7

52,2

60,2

67,2

73,0

77,7

81,5

26,4

34,3

49,7

57,7

64,7

70,7

75,6

79,6

Banten
Bali

11

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu


Nusa Tenggara Barat

17,3

18,9

34,8

41,9

48,8

55,2

61,0

66,0

Nusa Tenggaran Timur

11,4

13,9

15,4

18,0

20,7

23,5

26,4

29,3

7,8

9,5

Timor Timur
Kalimantan Barat

20,0

21,7

24,9

27,8

31,1

34,8

39,0

43,7

Kalimantan Tengah

17,6

22,5

27,5

34,0

40,7

47,2

53,3

58,8

Kalimantan Selatan

27,1

30,0

36,2

41,5

46,7

51,6

56,3

60,6

Kalimantan Timur

48,8

50,2

57,7

62,2

66,2

69,9

73,1

75,9

Sulawesi Utara

22,8

26,3

36,6

43,4

49,8

55,7

61,1

65,7

Sulawesi Tengah

16,4

21,9

19,3

21,0

22,9

24,9

27,3

29,9

Sulawesi Selatan

24,2

28,3

29,4

32,2

35,3

38,8

42,6

46,7

Sulawesi Tenggara

17,0

22,4

20,8

23,0

25,6

28,5

31,8

35,5

25,4

31,3

37,0

42,8

48,2

53,2

19,1

24,6

25,3

26,1

26,9

27,9

28,8

29,9

28,9

29,7

30,6

31,5

32,5

33,6

Irian Jaya/Papua

24,2

25,8

22,2

22,8

23,5

24,3

25,1

26,0

Total Rata-Rata

30,4

35,9

35,2

39,8

44,3

48,6

52,6 56,23

Gorontalo
Maluku
Maluku Utara

Sumber: Sensus Penduduk 1990, 2000, 2010, dan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1995, 2005

Urbanisasi sendiri dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu pertumbuhan


alami penduduk daerah perkotaan, migrasi dari daerah perdesaan ke daerah
perkotaan, dan reklasifikasi desa perdesaan menjadi desa perkotaan. Proyeksi
penduduk daerah perkotaan pada proyeksi ini tidak dilakukan dengan
membuat asumsi untuk ketiga faktor tersebut, tetapi berdasarkan perbedaan
laju pertumbuhan penduduk daerah perkotaan dan daerah perdesaan (Urban
Rural Growth Difference/URGD). Namun begitu, dengan membuat asumsi
URGD untuk masa yang akan datang, berarti proyeksi secara tidak langsung
juga sudah mempertimbangkan ketiga faktor tersebut.
Tabel.1 menyajikan tingkat urbanisasi per provinsi dari 1990 sampai dengan
2025, dan menunjukan peningkatan terus menerus. Kemudian Gambar 2
menunjukkan bahwa di tahun 2025 diperkirakan 65% penduduk Indonesia
akan tinggal di perkotaan. Untuk beberapa provinsi, terutama provinsi di
Jawa dan Bali, tingkat urbanisasinya sudah lebih tinggi dari Indonesia secara
total. Tingkat urbanisasi di empat provinsi di Jawa pada 2025 sudah di atas
80 persen, yaitu di DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Banten. Jika
dibandingkan di Asia, seperti yang dijelaskan dalam Gambar.2, Indonesia
selama kurun 1970-2010 mengalami perkembangan urbanisasi yang lebih tinggi
dibandingkan Cina, India, Filipina, Tailand dan Vietnam.

12

Asep Ahmad Saefuloh


Gambar.2. Pertumbuhan Penduduk Asia 1970-2010

sumber: United Nation World Urbanization Prospect 2009 (Ellis, tanpa tahun)

Menurut Firman (tanpa tahun; 25), pola urbanisasi kurun 1980-2010


memiliki pola yang tetap, namun ke depan akan terjadi perubahan pola
urbanisasi di mana akan tingkat urbanisasi tercepat akan terjadi pada daerahdaerah kaya.
Analisis penduduk yang dikaitkan dengan urbanisasi dapat dilihat
pendekatan transisi mobilitas, menurut Skeldon seperti dikutip Chotib dan
Wongkaren (1996:153-156), transisi mobiltas penduduk di negara-negara
berkembang dibagi dalam tujuh tahap, yaitu: pertama, masyarakat pratransisi
(pre-transitional society) di mana sebagian besar mobilitas penduduk nonpermanen; kedua, masyarakat transisi awal (early transitional society) di mana
penduduk mulai mobil dari daerah perkotaan yang satu ke perkotaan yang lain
dengan kota besar sebagai tujuan utama migrasi dari penduduk kota kecil dan
menengah; ketiga, masyarakat transisi menengah (intermediate transitional society)
di mana penduduk migrasi dari daerah yang berdekatan dengan kota besar ke
kota besar tersebut; keempat, masyarakat transisi akhir (late transitional society) di
mana penduduk kebanyakan penduduk pindah tempat tinggal dari pedesaan
ke kota besar, dan ditandai dengan munculnya kota raya atau megacity; kelima,
masyarakat mulai maju (early advanced society) di mana terjadi suburbanisasi
dan dekonsentrasi penduduk perkotaan; keenam, masyarakat maju lanjut
(late advanced society) di mana urbanisasi sudah sangat tinggi dan penduduk
menyebar ke kota-kota kecil; ketujuh, masyarakat super maju, di mana mobilitas
permanen berkurang dan digantikan oleh mobilitas non permanen sekaligus
komunikasi elektronik.
13

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

Secara nasional sampai tahun 1995 menurut Chotib dan Wongkaren


(1996 :170-171), Indonesia baru memasuki tahap keempat transisi mobilitas,
tetapi ada beberapa propinsi yang sudah berada pada tahap kelima, dengan ciri
utamanya urbanisasi sudah mencapai 50 persen, dan mobilitas dari pedesaan
ke perkotaan sudah menurun. Pada tahap ini sudah dimulai dekonsentrasi
penduduk perkotaan, atau terjadinya peningkatan mobilitas penduduk dari
kota besar ke daerah pinggiran dan penyebaran penduduk perkotaan yang
semakin meluas. Dari perspektif ini sampai dengan 2010 tidak menunjukkan
perubahan, tetapi untuk Jakarta sudah mulai memasuki tahap keenam di mana
urbanisasi sudah sangat tinggi dan penduduk menyebar ke kota-kota kecil. Hal
ini terlihat dari perbedaan penduduk siang dan malam. Di tahun 2011, jumlah
penduduk Jakarta yang malam hari 9,6 juta jiwa, pada siang hari meningkat
hingga 15 juta. Ada sekitar 5,4 juta komuter dari luar Jakarta yang bekerja di
DKI Jakarta.3
Bila dilihat dari faktor penyebab urbanisasi di Indonesia, menurut
Tjiptoherijanto seperti dikutip Chotib (1997) belum ada penelitian khusus,
tetapi para demografer yakin bahwa 50 persen tingkat urbanisasi di suatu
wilayah dikontribusikan oleh pertumbuhan alamiah penduduknya. Migrasi
dari pedesaan ke perkotaan memberikan kontribusi sebesar 40 persen dan
reklasifikasi wilayah sebesar 10 persen. Urbanisasi seperti halnya migrasi sendiri,
terjadi karena reaksi atas peluang-peluang ekonomi di suatu wilayah, dan ini
merupakan usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan
tujuan mendapatkan pekerjaan di daerah tujuan atau untuk memperoleh
peluang hidup yang lebih baik. Meskipun begitu diduga faktor terpenting dari
urbanisasi menurut Kitamura dan Rustiadi (tanpa tahun), adalah sejalan dengan
pergeseran dalam struktur perekonomian dari pertanian menuju industrialisasi
sehingga akan mendorong perpindahan dari tenaga kerja dan pendapatan dari
sektor primer (pertanian) menuju sektor sekunder (industri dan jasa). Hal ini
sejalan dengan pemikiran Kitagawa (1996:306) bahwa urbanisasi di Indonesia
terlihat dari pemusatan penduduk di kota yang berasal dari desa pertanian,
di mana di kota terdapat daya tarik karena adanya pengembangan industri,
dan gejala ini nampak jelas terjadi di Pulau Jawa. Terutama di saat sekarang
ini, di mana pengaruh ekonomi global bagi wajah ekonomi perkotaan (contoh
DKI Jakarta), peningkatan masuknya arus modal dan FDI akan membutuhkan
3 Lebih lanjut lihat dalam, Mewujudkan Greater Jakarta, 9 Maret 2011 (http://www.suarapembaruan.
com/ tajukrencana/mewujudkan-greater-jakarta/4364, diakses 29 Mei 2011).

14

Asep Ahmad Saefuloh

tenaga kerja pada sektor-sektor padat karya, yang kemudian mendorong


kenaikan laju urbanisasi itu sendiri (Rahmat, tanpa tahun).
B. Perkembangan Kota Jakarta: Kasus Urbanisasi Seratus Persen
Jakarta termasuk kota yang mengalami perkembangan dalam kepadatan
penduduknya. Pada 1930 adalah sebesar 435 ribu orang (May dalam Usman,
1979), maka pada 1941 jumlahnya meningkat menjadi 544,8 ribu jiwa,
kemudian meningkat lagi menjadi 2,911 jiwa pada 1960 dan menjadi 6,603
juta jiwa pada 1980 (TOSS, tanpa tahun), dan terakhir di tahun Maret 2011
penduduk Jakarta meningkat lagi menjadi 8.525.062 jiwa (BPS, 2011). Jika pada
1950, Jakarta belum masuk kedalam 15 kota terpadat di dunia, tetapi dalam
jangka 45 tahun sudah menduduki peringkat ke 10 (Todaro, 1997: 5). Richard
L Forstall dalam peringkat tahun 2001 menempatkan Jakarta di urutan ketiga
kota terbesar di dunia, sementara demographia.com menempatkan di urutan
keempat, world-gazetteer menempatkan di urutan keenam, dan mongabay.com
menempatkan di urutan ketujuh, dan citypopulation.de menempatkan di urutan
kesepuluh (Samiadji, 2007).
Bertambah padatnya penduduk Jakarta tidak terlepas dari meningkatnya
proses urbanisasi, di mana prosesnya meningkat setelah era 1980-an (Evers,
2005). Jika pada 1980, urbanisasi ke Jakarta mencapai 93,69 persen, kemudian
meningkat menjadi 100 persen pada 1990 dan stabil 100 persen pada 1995.
Tingkat urbanisasi yang mencapai 100 persen berarti seluruh wilayah DKI
Jakarta merupakan daerah yang tergolong perkotaan. Berdasarkan hasil
penelitian LP3ES pada tahun 1976 hanya 14 persen penduduk asli Jakarta
sedangkan selebihnya adalah penduduk migran, dan para migran itu berasal
dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan dari pulau-pulau di luar Jawa yaitu 14 persen
(Papanek dan Siliban dalam Usman, 1979). Pada 2000 orang Betawi hanya
30 persen dari seluruh jumlah warga Ibu Kota.4 Dan sekarang diperkirakan,
jumlah orang Betawi hanya 10% dari seluruh Penduduk DKI Jakarta.5
Namun demikian dilihat dari arus migrasi secara netto, atau selisih antara
migrasi masuk dan keluar sudah terjadi negatif sejak tahun 1990. Migrasi netto
ini dihitung berdasarkan migrasi risen yaitu migrasi dimana tempat tinggal
seseorang pada saat pencacahan berbeda dengan tempat tinggal 5 tahun yang
4 Analisis lebih lanjut lihat dalam, Menjadi Asing di Rumah Sendiri, (http://www.facebook.com /
topic.php?uid=1070 23765987154&topic=3, diakses 29 Mei 2011).
5 Lebih lanjut lihat dalam, Melayu Betawi, (http://www.kapasitor.net/community/post/639, diakses
29 Mei 2011).

15

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

lalu. Tetapi jika dilihat dari jumlah penduduk yang terus meningkat maka ini
memperlihatkan pertumbuhan alamiah penduduk lebih besar.
Untuk meredam laju urbanisasi ke Jakarta, pada 1970 Pemerintah DKI telah
menempuh kebijakan untuk menanggulangi urbanisasi termasuk migran dengan
mengeluarkan SK Gubernur yang bermaksud menutup Jakarta bagi pendatang
baru. Sejalan dengan itu dilaksanakan usaha-usaha seperti penentuan daerah
bebas becak, penertiban pedagang kaki lima, pembongkaran gubuk-gubuk liar
dan pembatasan penerimaan pegawai yang bukan pegawai DKI Jakarta dan
penyebaran industri kepinggiran kota (Usman, 1979:9). Tetapi kebijakan ini
tidak dapat mengerem laju urbanisasi sehingga urbanisasi terus meningkat dan
mencapai 100 persen sejak tahun 1990 (sampai sekarang), sehingga penduduk
Jakarta semakin padat. Menurut Ananta (1995), menghalangi orang untuk
datang ke Jakarta bukanlah hal yang efisien, karena DKI Jakarta memberikan
suatu harapan hidup yang lebih baik dari daerah lain, orang akan selalu datang
ke Jakarta. Saat ini kebijakan Pemerintah DKI dalam rangka menahan laju
urbanisasi adalah melakukan operasi yustisia.6
Menurut Papanek seperti dikutip Usman (1979), Jakarta menarik bagi
kaum pendatang terutama dari pedesaan karena alasan sosial ekonomi serta
alasan lainnya, atau menurut Hugo dkk seperti dikutip Sasaki (1996 :499),
disebabkan karena ketidakseimbangan masyarakat dan ekonomi di antara
daerah-daerah di Indonesia menurut kemajuan urbanisasi. Sedangkan menurut
Nasution (1979: 27-30), Jakarta menarik perhatian bagi kaum pendatang karena
terdapat daya penarik, yaitu Jakarta sebagai pusat administrasi pemerintahan,
sistem politik pembangunan pemerintah, Jakarta sebagai pusat perekonomian,
Jakarta sebagai pusat kegiatan sosial, Jakarta sebagai pusat kebudayaan, sistem
komunikasi, fasilitas pendidikan dan alasan lainnya. Alasan tersebut tidak
banyak berubah untuk kondisi saat ini. Alasan utama mengapa orang tertarik
untuk bekerja di sektor formal perkotaan adalah tingkat upahnya relatif lebih
tinggi dibandingkan sektor formal di pedesaan atau di kota kecil, serta pola
pekerjaannya yang memberikan kondisi kerja yang relatif lebih baik. Juga
didukung dengan fasilitas modern yang lebih baik dan juga hubungan dengan
pusat kekuasaan atau pusat bisnis membuat daya tarik Jakarta menjadi jauh
lebih kuat serta peluang untuk pengembangan diri juga relatif lebih besar di
Jakarta (Samiadji, 2007).

6 Penjelasan lebih lanjut lihat dala, Pemprov DKI Anggarkan Rp900 Juta Operasi Yustisi, 7 Oktober
2008 (http://www.antaranews.com/ view/?i=1223323464&c=NAS&s=, diakses 29 Mei 2011).

16

Asep Ahmad Saefuloh

Berdasarkan studi oleh TOSS (tanpa tahun), terdapat dua tipe dari para
pendatang ke Jakarta. Pertama, orientasi karir di mana Jakarta sebagai pusat
karir dilandasi dengan percepatan yang tinggi pada struktur birokrasi. Ini
terjadi ketika pendapatan dari minyak mencapai 60 persen dari pendapatan
pemerintah. Akibatnya pemerintah mempunyai kelebihan dana sehingga
mampu mengembangkan struktur birokrasi dalam pemerintah pusat dan
lokal, sehingga pendatang bertujuan menjadi pegawai negeri dan membangun
karirnya di kota. Kedua, pendatang dengan tujuan mendapatkan penghidupan.
Motivasi dan lingkungan dari tipe pendatang bermacam-macam, mulai dari
bukan pedagang, pedagang dan penganggur. Tipe seperti ini tidak berorientasi
untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik, dan umumnya memiliki
level pendidikan yang lebih rendah dari para pendatang dengan tujuan karir.
Pendatang dengan tujuan mencari penghidupan ini terbagi dua yaitu mereka
yang bekerja di sektor formal dan mereka yang bekerja di sektor informal.
Pekerja di sektor informal, umumnya mereka yang gagal mendapatkan
pekerjaan di sektor formal, sehingga terpaksa bekerja di sektor informal,
misalnya menjadi pedagang kaki lima, penjual jasa dan penarik becak dan
pekerjaan sektor informal lainnya. Kelompok pekerja sektor informal juga
biasanya menghasilkan barang-barang yang murah dan juga menyediakan
jasa seperti transportasi jarak pendek, input untuk industri menengah kecil.
Pasar untuk jenis barang-barang seperti ini selalu eksis karena kelompok yang
berpendapatan relatif rendah di kota juga membutuhkan barang-barang seperti
ini. Oleh karena itu, walaupun Jakarta penuh sesak dengan berbagai rintangan
dan kesulitan, arus pendatang tetap mengalir (Samiadji, 2007).
Namun demikian faktor ekonomi, bukan satu-satunya faktor yang
menentukan mengapa terjadi urbanisasi ke Jakarta, karena beberapa studi di
kota besar lain menunjukkan bahwa jarak dan hubungan sosial antarpekerja
yang tinggal di kota juga memengaruhi meningkatnya urbanisasi. Migran yang
datang ke kota besar banyak yang sudah memiliki keluarga atau kenalan yang
sudah menetap di kota besar (Samiadji, 2011). Tetapi, menurut Kitagawa (1996:
306), pendatang yang datang ke Jakarta lalu menetap merupakan tujuan akhir
migrasinya.
Hal menarik dari fenomena urbanisasi dengan tujuan utama Jakarta,
telah memasuki masyarakat transisi akhir (late transitional society), yang
mengakibatkan terjadi perpindahan penduduk dari Jakarta ke daerah-daerah
penyangga (sub urban), yaitu daerah-daerah pinggiran di Bogor, Tanggerang
dan Bekasi (Botabek). Penduduk dari Jakarta Selatan merupakan yang paling
17

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

banyak melakukan perpindahan ke daerah sub urban. Terjadinya perpindahan


penduduk dari Jakarta ke daerah sub urban ini bisa disebabkan karena beberapa
faktor, antara lain terjadi pengusuran karena daerah asal telah dirubah menjadi
daerah bisnis, perkantoran dan perlebaran dan penambahan jalan. Faktor
lainnya karena alasan keluarga, terutama mereka keluarga muda, yang telah
memisahkan diri dari keluarga orang tuanya, dan mencari tempat tinggal di
daerah tersebut (TOSS, tanpa tahun).
Fenomena perpindahan penduduk dari Jakarta ke daerah-daerah
penyangga, menurut Spreitzhofer dan Heintel (1998:106), tidak terlepas dari
faktor demografi dan ekonomi, sebagai akibat konsekuensi politik pro barat
semenjak akhir 1960-an. Pemerintah Orde Baru dengan memperkenalkan
kebijakan liberalisasi dan deregulasi yang mentransportasikan latarbelakang
spasial dan sosial ekonomi dan mempercepat perubahan sektoral dengan
menggunakan tenaga kerja lokal. Akibat kebijakan ini, Jakarta menjadi pusat
bagi perkembangan bisnis dan perkantoran sehingga lahirlah kebijakan ruang
strategis dengan merelokasi perumahan penduduk kota ke daerah penyangga
(Botabek). Begitu juga dengan membangun kawasan industri dengan
menggunakan tenaga kerja dari Jakarta dan penduduk lokal. Tetapi karena
pertumbuhan industrialisasi sangat cepat, maka terjadi kekurangan tenaga
kerja, lalu diisi oleh pendatang. Tetapi pendatang pertumbuhannya lebih cepat
dari pertumbuhan industrialisasi sehingga berdampak kepada pertumbuhan
sektor informal dan pengangguran.
C. Permasalahan Kesempatan Kerja
Cepatnya pertumbuhan tenaga kerja di perkotaan disebabkan pertumbuhan
alami tenaga kerja di kota dibarengi dengan peningkatan tenaga kerja dari
pendatang. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi menurunnya
sumbangan sektor pertanian terhadap perekonomian, dikarenakan tenaga kerja
sektor pertanian di desa pindah ke kota dan lahan pertanian berubah fungsi
menjadi lahan yang tidak produktif. Begitu juga urbanisasi karena dorongan
mencari pekerjaan sejalan dengan kondisi ketenagakerjaan di perdesaan.
Berdasarkan Sakernas 2008, tingkat setengah pengangguran daerah perdesaan
tercatat dua kali lipat dari daerah perkotaan (41 persen dibanding 21 persen).
1. Perkembangan Pengangguran dan Kemiskinan
Dalam konteks kesempatan kerja, urbanisasi menyumbang terhadap
peningkatan pengangguran di perkotaan. Pada 1999, Jakarta dengan
18

Asep Ahmad Saefuloh

tingkat urbanisasi yang tinggi merupakan kota yang paling tinggi tingkat
penganggurannya, yaitu mencapai 13,2 persen, begitu juga dengan kota sub
urban-nya seperti Bekasi yang mencapai 13,5 persen, Tanggerang 9,2 persen
dan Bogor 12,4 persen. Pengangguran yang tinggi juga terjadi di kota-kota besar
lainnya, misalnya Bandung yang mencapai 13,4 persen, Surabaya 9,7 persen dan
Medan 14,4 persen (UNDP, 2001). Secara umum, berdasarkan data Sakernas
2006 tingkat pengangguran terbuka (TPT) pemuda di perkotaan lebih besar
dibandingkan pemuda di perdesaan, yaitu 20,83 persen dan 15,16 persen,
sedangkan berdasarkan data Sakernas 2007 TPT pemuda di perkotaan lebih
tinggi dibandingkan dengan TPT pemuda di perdesaan yaitu 19,70 persen dan
11,71 persen.
Tabel. 2. Penduduk Jakarta Berusia 15 Tahun Keatas dan Jenis Kegiatan, 2009
Kota Administrasi
Kepulauan Seribu
Jakarta Selatan
Jakarta Timur

Bekerja

Mencari
Pekerjaan

Bukan Akan
Kerja

Total

7. 391

967

5 .281

13. 639

961. 864

127. 679

549 .770

1 .639. 313

1. 025. 141

175. 437

697 .559

1 .898. 137

Jakarta Pusat

421. 117

59. 539

244 .558

725. 214

Jakarta Barat

1. 020. 289

109. 144

505 .990

1 .635. 423

Jakarta Utara

682. 588

96. 571

348 .196

1 .127. 355

4. 118. 390

569. 337

2. 351 .354

7 .039. 081

Jumlah / Total
2008

4. 191. 966

580. 511

2. 176 .604

6 .949. 081

2007

3. 842. 944

552. 380

2. 371 .599

6 .766. 923

2006

3. 531. 799

590. 022

2. 449 .913

6 .571. 734

2005

3. 565. 331

615. 917

2. 447 .567

6 .628. 815

3. 497. 359

602. 741

2. 520 .129

6 .620. 229

2004
sumber : BPS, 2009.

Pengangguran di perkotaan dikarenakan pertumbuhan industrialisasi di


kota pertumbuhannya tidak setinggi pertumbuhan tenaga kerja. Akibatnya daya
serap menjadi terbatas, dan tingkat kompetisinya tinggi. Hanya tenaga kerja
yang terampil yang dapat masuk sektor industri, terutama untuk industri jasa.
Sedangkan tenaga kerja yang tidak terdidik yang tidak terserap tidaklah semata
dilatarbelakangi dengan masalah kurangnya keterampilan, tetapi memang
karena daya serap yang terbatas. Pada akhirnya pendatang jenis ini akan masuk
ke dalam kegiatan sektor informal, tetapi bagi pendatang yang tidak siap terjun
ke sektor tersebut menjadi penganggur.

19

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

Dalam studi yang dilakukan oleh Jones dan Supratilah (1991: 322-324) yang
dilakukan di Jakarta, Surabaya dan Bandung pada tahun 1990, memperlihatkan
bahwa penganggur ini sebagian besar berusia muda, dan tingkat pengangguran
lulusan sekolah menengah dua kali daripada yang berpendidikan rendah dan
kelompok ini cenderung menganggur relatif lama. Ini timbul karena penganggur
yang berlulusan sekolah menengah cenderung tidak mau/segan untuk bekerja
di sektor informal, dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan rendah.
Secara khusus, perkembangan jumlah penganggur di Jakarta dijelaskan dalam
Tabel.2.
Tabel.3. Penduduk Miskin 2010
Provinsi

Perkotaan

Perdesaan

Total

Nangroe Aceh Darussalam

173.400

688.500

861.900

Sumatera Utara

689.000

801.900

1.490.900

Sumatera Barat

106.200

323.800

430.000

Riau

208.900

291.300

500.300

Jambi

110.800

130.800

241.600

Sumatera Selatan

471.200

654.500

1.125.700

Bengkulu

117.200

207.700

324.900

Lampung

301.700

1.178.200

1.479.900

21.900

45.900

67.800

Bangka Belitung
Kepulauan Riau

67.100

62.600

129.700

312.200

312.200

Jawa Barat

2.350.500

2.423.200

4.773.700

Jawa Tengah

2.258.900

3110.200

5.369.200

308.400

268.900

577.300

1.873.500

3.655.800

5.529.300

318.300

439.900

758.200

DKI Jakarta

DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali

83.600

91.300

174.900

Nusa Tenggara Barat

552.600

456.700

1.009.400

Nusa Tenggara Timur

107.400

906.700

1.014.100

Kalimantan Barat

83.400

345.300

428.800

Kalimantan Tengah

33.200

131.000

164.200

Kalimantan selatan

65.800

116.200

182.000

Kalimantan Timur

79.200

163.800

243.000

Sulawesi Utara

76.400

130.300

206.700

Sulawesi Tengah

54.200

420.800

475.000

Sulawesi Selatan

119.200

794.200

913.400

Sulawesi Tenggara

22.200

378.500

400.700

Gorontalo

17.800

192.000

209.900

20

Asep Ahmad Saefuloh


Sulawesi Barat

33.700

107.600

141.300

Maluku

36.300

342.300

378.600

7.600

83.400

91.100

Maluku Utara
Papua Barat

9.600

246.700

256.300

26.200

735.400

761.600

11.097.800

19.925.600

31.023.400

Papua
Indonesia
sumber: BPS, 2011.

Urbanisasi tidak hanya berdampak pada meningkatnya pengangguran di


perkotaan, tetapi juga berdampak pada persoalan kemiskinan perkotaan. Hal
ini terlihat dari beberapa provinsi yang perbandingan kemiskinan perkotaan
dan perdesaan mendekati seimbang, seperti Sumatera Utara, Riau, Jawa Barat,
Banten, Jawa Tengah dan Bali. Bahkan Jogjakarta dan Nusa Tenggara Barat,
kemiskinan perkotaannya melebihi kemiskinan perdesaannya (lihat tabel.3).
Terkait dengan kemiskinan perkotaan maka memiliki keeratan dengan
kemiskinan pedesaan. Pendatang yang di daerah asalnya miskin, kemudian
pindah ke kota tetapi di tidak berhasil mendapatkan pekerjaan yang baik
sehingga mereka masuk ke dalam rantai kemiskinan perkotaan. Mereka
menjadi penghuni kawasan kumuh dan mencari nafkah di sektor informal,
misalnya menjadi pemulung atau pengemis. Dalam kondisi seperti banyak
penelitian atau studi yang mengaitkan kemiskinan dengan status pekerjaan
sektor informal atau sebaliknya. Fenomena kemiskinan perkotaan juga
banyak dikaitkan dengan kemiskinan struktural dan kebudayaan kemiskinan.
Pandangan ini diilhami oleh penelitian Oscar Lewis terhadap penduduk
miskin di kota Mexico City, Puerto Rico, dan penduduk Puerto Rico di New
York City. Menurutnya kemiskinan akan menciptakan budayanya sendiri dan
elemen-elemennya sama saja bagi kaum miskin dimanapun. Meskipun begitu
untuk kasus kemiskinan kota di Indonesia dengan pendekatan ini belum
didukung dengan hasil penelitian.
Kemiskinan secara struktural pada umumnya justeru terjadi di daerah yang
pertumbuhan ekonominya tinggi. Ini memperlihatkan telah terjadi ketimpangan
dalam akses terhadap sumberdaya ekonomi, di mana akses tersebut dikuasai
oleh orang-orang kaya, sehingga akhirnya bagi kaum miskin akan melahirkan
pelanggengan kemiskinannya. Sedangkan kebudayaan kemiskinan diartikan
bahwa kemiskinan menjadi bagian dari hidup kaum miskin, dan mereka tidak
dapat lepas dari jerat kemiskinannya, karena budaya miskin tetap mereka
pelihara, misalnya tinggal di daerah kumuh dan bermatapencaharian di sektor
informal, kemudian budaya miskin tersebut juga dilakukan oleh seluruh
21

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

anggota keluarga mereka, saudara dan keturunannya. Dalam banyak kasus


kemiskinan adalah suatu profesi, mereka datang ke kota (misalnya Jakarta)
dengan berpenampilan sebagai orang miskin, dan berprofesi sebagai pengemis,
padahal di kampung asalnya tidak tergolong miskin. Terkait dengan kemiskinan
perkotaan ini, Jakarta merupakan salah satu contohnya. Perkembangan jumlah
penduduk miskin di Jakarta dijelaskan dalam Tabel.4.
Tabel.4. Penduduk Miskin 2010 (000)
Kota Administrasi

2005

2006

2007

2008

2009

Kepulauan Seribu

3,4

3,2

3,4

2,6

2,9

Jakarta Selatan

64

76,3

64

71,1

76,3

Jakarta Timur

71,2

85,1

71,2

79,8

94,6

Jakarta Pusat

28,5

43,6

28,5

31

34,5

Jakarta Barat

57,4

89,5

57,4

72,9

85,2

91,7

109,4

91,7

85,2

112,2

316,2

407,1

316,2

342,5

405,7

Jakarta Utara
DKI Jakarta
sumber: BPS, 2009

2. Pertumbuhan Sektor Informal


Terdapat pandangan yang memperlihatkan pertentangan tentang
kebudayaan kemiskinan, bahwa kemiskinan bagi pendatang hanya bersifat
sementara. Misalnya penelitian Abu Hamid dan Menno, khususnya di Kampung
Pisang, membuktikan bahwa kaum miskin di lokasi tersebut bukan disebabkan
oleh adanya suatu kebudayaan kemiskinan dan bukan pula oleh struktur sosial.
Mereka tetap bercita-cita dan tetap berusaha agar suatu kelak, bila telah berhasil
dan cukup modal, akan beralih ke rumah atau lokasi pemukiman yang lebih
layak dan membentuk usaha yang memberikan penghasilan yang cukup serta
memperoleh status usaha yang baik (Menno dan Alwi, 1992:62).
Menurut Adriani (tanpa tahun), ditinjau dari sisi kesempatan kerja, jumlah
pengangguran di perkotaan lebih disebabkan karena penurunan kesempatan
kerja sektor industri di wilayah tersebut. Sebaliknya jumlah pengangguran di
pedesaan lebih dipengaruhi oleh penurunan jumlah kesempatan kerja sektor
pertanian. Selanjutnya sesuai dengan penjelasan dari Petsimeris (2004) kebijakan
ketenagakerjaan di perkotaan harus melakukan pendekatan community base
development. Dalam konsep tersebut, termasuk adalah menggerak ekonomi
sektor informal. Seperti di Cina dengan mengembangkan produk budaya yang
berhasil menyerap industri informal (Hu, 2009).

22

Asep Ahmad Saefuloh

Konsep informalitas perkotaan ini tidak terlepas dari dikotomi sektor


formal dan sektor informal yang mulai dibicarakan pada awal tahun 1970-an.
Fenomena sektor informal merupakan fenomena yang sangat umum terjadi di
negara-negara berkembang. Persentase sektor informal di negara-negara Dunia
Ketiga seperti di Amerika Latin, Sub-sahara Afrika, Timur Tengah dan Afrika
Utara dan Asia Selatan berkisar antara 30-70 persen dari total tenaga kerja
(Rukmana, 2008).
Hugo (1991) dan Kundu (2009) menerangkan bahwa sektor informal
dalam ekonomi kota banyak menyerap kaum migran. Hal ini sangat beralasan
karena pertumbuhan sektor informal ini dipengaruhi oleh keadaan pendatang
sendiri. Tidak semua pendatang mampu mendapatkan pekerjaan di sektor
formal, terutama pendatang yang tidak memiliki keterampilan yang digunakan
di sektor formal. Karena umumnya pendatang dilatarbelakangi oleh faktor
pendorong di desa yang tidak memberikan jaminan hidup yang lebih baik,
sehingga memutuskan untuk pindah ke kota.
Hal ini sejalan dengan penjelasan Todaro (1997), bahwa sektor informal
perkotaan mempunyai keterkaitan dengan sektor pedesaan, yaitu mereka yang
bermatapencaharian di sektor informal perkotaan merupakan imbas dari
tenaga kerja tidak terampil yang datang dari pedesaan, sebagai akibat dari usaha
mereka untuk melepaskan diri dari kemiskinan di desa dan pengangguran.
Meskipun jaminan bahwa kehidupan dan kondisi pekerjaan serta pendapatan
di kota tidak lebih baik dibandingkan yang mereka miliki sebelum berpindah.
Pendapat tersebut memperlihatkan bahwa telah terjadi penggolongan tenaga
kerja pendatang, di mana tenaga terdidik masuk dalam jalur informal, yang
terkait dengan industrialisasi dan tenaga tidak terdidik di sektor informal.
Hal ini sejalan dengan kasus pada urbanisasi ke Jakarta, di mana terdapat dua
golongan pendatang yaitu orientasi karir dan pencari penghidupan, dimana
tingkat pendidikan orientasi karir lebih tinggi (terdidik), dan sebaliknya pencari
kehidupan umumnya berpendidikan rendah dan terjun ke sektor informal.
Dengan latarbelakang tersebut menjadikan sektor informal di perkotaan
mengalami pertumbuhan yang pesat. Dan bila dikaitkan dengan perpindahan
tenaga kerja dari desa ke kota, sebenarnya memperlihatkan mobilitas pekerjaan,
yaitu dari pertanian menuju sektor informal. Karena itu Amstrong dan McGee
seperti dikutip Hugo (1991) menyebutkan bahwa sektor informal perkotaan
dipengaruhi atau didasarkan atas mekanisme involusi yang sama dengan sistem
pertanian di Jawa. Hal ini sejalan dengan perubahan peranan pertanian terhadap
perekonomian, di mana sumbangannya semakin menurun dibandingkan
23

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

dengan peranan sektor industri. Selama lima dekade, pembangunan ekonomi


telah menunjukkan adanya transformasi struktur perekonomian dari sektor
pertanian ke sektor industri. Hal ini diperlihatkan oleh penurunan sumbangan
sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan pada saat yang
sama terjadi peningkatan sumbangan sektor industri. Sumbangan sektor
pertanian terhadap PDB sebesar 49,3% pada 1969 menjadi 26,1% pada 1983,
sedangkan sektor industri meningkat dari 9,2% menjadi 13,2% untuk periode
yang sama (Soedjito 1990). Penurunan sumbangan sektor pertanian terus
terjadi hingga mencapai 10,7% pada 2003, dan mencapai dibawah 10% pada
2007 (Budiman, 2010).
Pertumbuhan sektor informal ini juga tidak terlepas dari perkembangan
sektor formal (sektor modern) yang perkembangannya lebih lambat dari
pertumbuhan tenaga kerja, sehingga di pasar kerja dihadapkan pada kondisi
kelebihan tenaga kerja, misalnya di kota seperti Jakarta, Surabaya dan
Bandung (Jones dan Supratilah, 1991). Dan menurut studi Forbes (1991:348)
di Ujungpandang memperlihatkan bahwa perekonomian kota menyerap
pendatang sebagai pedagang kecil dan penjaja, karena lahan pekerjaan disektor
industri terbatas, karena para penjaja ini merupakan korban urbanisasi
tanpa industrialisasi. Memang secara teoritis urbanisasi harus diiringi dengan
industrialisasi, meskipun dalam kenyataannya sektor industri berkembang
tetapi pertumbuhannya tidak mampu mengimbangi pertumbuhan tenaga
kerja.
Menurut Soewarna seperti dikutip Tantu (1979:38), sektor informal
perkotaan dibagi dalam lima jenis: pertama, angkutan, yaitu penarik becak,
delman dan gerobak; kedua, perdagangan, yaitu pedagang kaki lima, makanan
dan minuman, pakaian, alat tulis menulis, barang bekas keperluan rumah
tangga; ketiga, pengolahan, yaitu membuat makan dan minuman, industri
kayu dan bahan makanan; keempat, bangunan, yaitu tukang teraso, tukang
besi, tukang batu dan tukang kayu; kelima, jasa-jasa, yaitu tukang jahit reparasi
arloji, radio, motor, kaca mata, berbagai jenis calo, tukang pijit, tukang lukis,
tukang sepuh, sol sepatu, dan sebagainya. Jones dan Supratilah (1991: 322324) mendefinisikan sektor informal yang menyerap kaum migran adalah
kegiatan distribusi komoditi skala kecil, dan kegiatan primer dan sekunder
lainnya di kota-kota, seperti penjahit, tukang reparasi sepatu dan barang bekas,
tukang becak, sekelompok kecil pelacur dan pengemis. Sedangkan menurut
Stelle (1991:392), sektor informal mencakup pendatang-pendatang baru yang
berusaha sendiri atau bekerja dalam keluarga. Selanjutnya Hugo (1991:342)
24

Asep Ahmad Saefuloh

menerangkan bahwa sektor informal di Jakarta dapat menunjukan asal


daerah dari seseorang (stereotype). Misalnya kelompok-kelompok sopir bus dan
kondektur berasal dari Sumatera, pedagang kaki lima dari Sumatera Barat,
pekerja galangan kapal dari Banten, dan tukang becak dari pantai utara Jawa.
Pendatang yang semakin besar juga membawa implikasi semakin ketatnya
pasar persaingan tenaga kerja formal. Mereka yang tersingkir dari pasar tenaga
kerja formal akhirnya harus masuk ke sektor informal. Studi yang pernah
dilakukan Centre for Policy and Implementation Study (CPIS) menunjukkan
pekerja sektor informal di Jakarta ternyata memperoleh pendapatan yang
cukup sebanding dengan pekerja di sektor formal (Samiadji, 2007).
Sampai saat ini memang belum ada kebijakan ataupun aturan yang mengatur
langsung secara khusus mengenai sektor informal, akan tetapi Pemerintah
sesungguhnya telah mengeluarkan kebijakan berupa Undang-Undang No. 26
tahun 2007 tentang Tata Ruang, bahwa sektor informal, termasuk pedagang
kaki lima (PKL), harus masuk dalam rencana tata ruang wilayah. Sebelum
adanya undang-undang tersebut, sebagai contoh untuk Jakarta Selatan,
keberadaan PKL di diakomodasi oleh Peraturan Daerah (Perda) Tahun 2002.
Dalam Perda itu, PKL memiliki tempat di pasar-pasar tradisional dan pusat
perbelanjaan modern. Dalam Perda tersebut dijelaskan kewajiban pengelola
mal untuk menyediakan 20 persen lahannya bagi PKL (Seftiani, tanpa tahun).
Ketersediaan lapangan pekerjaan sektor formal bukanlah satu-satunya
indikator ketersediaan lapangan kerja. Keberadaan sektor informal pun adalah
wujud tersedianya lapangan kerja. Cukup banyak studi di negara-negara Dunia
Ketiga yang menunjukkan bahwa tidak semua pelaku sektor informal berminat
pindah ke sektor formal. Bagi mereka mengembangkan kewirausahaannya
adalah lebih menarik ketimbang menjadi pekerja di sektor formal.
3. Kebijakan Ekonomi Terpadu
Urbanisasi menjadi fenomena penting bagi Indonesia karena diperkirakan
pada tahun 2025 jumlah penduduk yang akan tinggal di perkotaan mencapai
65% (lihat Gambar.3). Perkembangan proses urbanisasi sebenarnya tidak
terlepas dari kebijakan pembangunan perkotaan, khususnya pembangunan
ekonomi yang dikembangkan oleh Pemerintah. Sebagaimana diketahui
peningkatan jumlah penduduk akan berkorelasi positif dengan meningkatnya
urbanisasi di suatu wilayah. Dengan demikian ada kecenderungan bahwa
aktivitas perekonomian akan terpusat pada suatu area yang memiliki tingkat
konsentrasi penduduk yang cukup tinggi. Hubungan positif antara konsentrasi
25

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

penduduk dengan aktivitas kegiatan ekonomi ini akan menyebabkan makin


membesarnya area konsentrasi penduduk, sehingga menimbulkan apa yang
dikenal dengan nama daerah perkotaan.
Gambar.3 Tingkat Urbanisasi di Indonesia 1975-2025

sumber: MP3EI, 2011.

Perkembangan kota-kota di dunia yang begitu cepat dengan segala


permasalahannya memperlihatkan ketidakmampuan pemerintah (Eric et al,
2010). Begitu juga kasus di Indonesia, terutama perkembangan Jabotabek,
menurut Spreitzhofer (2005) terjadi karena tanpa kontrol. Di satu sisi, hal
ini memperlihatkan ketidakmampuan pemerintah provinsi dan kota, yang
sekaligus memperlihatkan begitu dominasi swasta (Dieleman, 2011) terutama
pengembang internasional. Sedangkan di sisi lain perkembangan urbanisasi
juga sejalan dengan penerapan sistem desentralisasi tetapi kurang didukung
dengan kapasitas kelembagaan. Begitu juga disumbang dengan rendahnya
kompetensi SDM pada organisasi pemerintah daerah, serta lambatnya berbagai
pengaturan yang terkait dengan aspek-aspek desentralisasi dan pengembangan
manajemen perkotaan (Sarosa, tanpa tahun; Bappenas dan PU, 2010). Kasus
ini juga dihadapi oleh Cina, di mana perkembangan sistem desentralisasi dan
reformasi ekonomi telah menimbulkan ketimpangan regional dan masalah
manajemen perkotaan (Akhmat and Bochun, 2010).
Namun demikian kebijakan pintu tertutup bagi pendatang sangat
tidak memungkinkan, karena berhadapan dengan kecepatan pertumbuhan
penduduk di pedesaan. Saat ini terdapat dua kebijakan utama yang dianut
di negara-negara berkembang, dan sekaligus melakukan pendekatan keduanya
(Alaci, 2010). Kebijakan pertama adalah mengembangkan daerah-daerah
26

Asep Ahmad Saefuloh

pedesaan agar memiliki ciri-ciri sebagai daerah perkotaan atau urbanisasi


pedesaan (Hutagaol, 2001), seperti yang dikembangkan di Cina (Wang and
Han, 2009). Kebijakan ini merupakan upaya untuk mempercepat tingkat
urbanisasi tanpa menunggu pertumbuhan ekonomi, yaitu dengan melakukan
beberapa terobosan yang bersifat non-ekonomi. Bahkan perubahan tingkat
urbanisasi tersebut diharapkan memacu tingkat pertumbuhan ekonomi.
Untuk itu perlu didorong pertumbuhan daerah pedesaan agar memiliki
ciri-ciri perkotaan, namun tetap pada nuansa pedesaan. Beberapa cara yang
sedang dikembangkan untuk mempercepat tingkat urbanisasi tersebut antara
lain dengan memodernisasi daerah pedesaan sehingga memiliki sifat-sifat
daerah perkotaan. Pengertian modernisasi daerah pedesaan tidak semata-mata
dalam arti fisik, seperti membangun fasilitas perkotaan, namun membangun
penduduk pedesaan sehingga memiliki ciri-ciri modern penduduk perkotaan.
Dalam hubungan inilah lahir konsep urbanisasi pedesaan.
Melalui kebijakan di atas, daerah pedesaan tersebut sudah dapat
dikategorikan sebagai daerah perkotaan. Untuk itu diperlukan sistem
perekonomian yang cocok dengan potensi daerah pedesaan. Jika konsep
urbanisasi pedesaan seperti di atas dapat dikembangkan dan disepakati, maka
tingkat urbanisasi di Indonesia dapat dipercepat perkembangannya tanpa
merusak suasana tradisional yang ada di daerah pedesaan dan tanpa menunggu
pertumbuhan ekonomi yang sedemikian tinggi. Kebijakan ini pada dasarnya
kebijakan untuk mereduksi faktor pendorong (push factor).
Kebijakan kedua, mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
baru, atau dikenal dengan istilah daerah penyangga pusat pertumbuhan. Hal ini
sejalan dengan UU No.52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan
dan Pembangunan Keluarga, khususnya pasal 33 ayat (3) huruf (c) yang
mengatur bahwa mobilitas penduduk internal meliputi pengarahan mobilitas
penduduk dan persebaran penduduk ke daerah penyangga dan ke pusat
pertumbuhan ekonomi baru dalam rangka pemerataan pembangunan antar
provinsi. Kebijakan ini merupakan upaya untuk mengembangkan kota-kota
kecil dan sedang yang selama ini telah ada untuk mengimbangi pertumbuhan
kota-kota besar dan metropolitan.
Sebagai contoh untuk Jakarta dapat mengembangkan konsep Greater Jakarta
adalah perluasan Jakarta tanpa penyatuan wilayah administratif atau wewenang
pemerintahan di bawah Pemprov DKI. Selain Depok, Bogor, Tangerang, dan
Bekasi (Debotabek), Cianjur, Cikampek, Subang, serta Purwakarta adalah
bagian dari Greater Jakarta. Greater Jakarta bukanlah konsep pencaplokan
27

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

wilayah oleh Jakarta, melainkan sebuah upaya koordinasi penataan wilayah.


Lewat konsep Greater Jakarta, beban Jakarta dibagi ke wilayah penyangga.
Kebijakan pengembangan perkotaan diklasifikasikan ke dalam tiga bagian.
Hal pertama, adalah kebijakan ekonomi makro yang ditujukan terutama untuk
menciptakan lingkungan atau iklim yang merangsang bagi pengembangan
kegiatan ekonomi perkotaan. Hal ini antara lain meliputi penyempurnaan
peraturan dan prosedur investasi (Zao and Liu, 2010), penyesuaian kebijakan
moneter dan fiskal, serta reformasi ketenagakerjaan (Lu and Gao, 2009).
Hal kedua adalah pola pengembangan kota yang mendukung pola kebijakan
pembangunan nasional menuju pertumbuhan ekonomi yang seimbang secara
operasional dituangkan dalam kebijakan tata ruang kota dan penanganan
masalah kinerja masing-masing kota.
Hal ketiga adalah kebijakan pengembangan perkotaan dilandasi konsepsi
yang meliputi pengaturan mengenai sistem kota-kota, terpadu, berwawasan
lingkungan, serta peningkatan peran masyarakat dan swasta. Peran serta
masyarakat melakukan pendekatan community base development berarti juga
akan menciptakan kesempatan kerja melalui pengembangan sektor informal
(Petsimeris, 2004). Dengan makin terpadunya sistem-sistem perkotaan yang
ada di Indonesia, akan terbentuk suatu hierarki kota besar, menengah, dan
kecil yang baik sehingga tidak terjadi dominasi salah satu kota terhadap kotakota lainnya.

28

BAB IV
Penutup

A. Kesimpulan
Urbanisasi di Indonesia, merupakan suatu proses alamiah dari kegiatan
mobilitas penduduk dan memperlihatkan perkembangan yang semakin
meningkat. Dalam analisis ini urbanisasi dilihat dalam dua konteks. Pada
konteks pertama di mana perpindahan penduduk dari desa ke kota. faktor
yang secara umum dapat menjelaskan mengapa terjadi perpindahan penduduk
dari desa ke kota adalah motivasi. Motivasi penduduk untuk berpindah ke
kota merupakan reaksi atas pengharapan hidup yang lebih baik. Dalam
kasus urbanisasi ke Jabotabek, Jakarta menjadi tujuan urbanisasi sebagai
tempat mendapatkan pekerjaan, tetapi karena perkembangan perkotaan yang
berdampak pada keterbatasan lahan untuk tempat perumahan telah menjadikan
daerah sub urban menjadi tempat tinggal.
Urbanisasi yang dibiarkan terjadi terus menerus pada suatu wilayah
tertentu saja akan berhadapan dengan batas daya tampung perkotaan. Sebagai
contoh Jakarta, dengan tingkat urbanisasi yang tinggi telah menimbulkan
permasalahan ekonomi perkotaan, yaitu tingginya tingkat pengangguran.
Meningkatnya pengangguran ini menunjukan bahwa perkembangan sektor
formal tidak mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja sehingga
urbanisasi dengan sendirinya mendorong pertumbuhan sektor informal.
Pertumbuhan sektor informal yang muncul di perkotaan di Indonesia
seharusnya dipahami dalam konteks transformasi perkotaan. Pergeseran sistem
ekonomi dari yang berbasis pertanian ke industri dan jasa menyebabkan
terjadinya urbanisasi seiring dengan intensitas sektor informal. Pemahaman
informalitas perkotaan dalam mencermati masalah sektor informal akan
menempatkan sektor informal sebagai bagian terintegral dalam sistem ekonomi
perkotaan. Salah satu wujud pemahaman ini adalah menyediakan ruang kota
untuk mewadahi kegiatan sektor informasi seperti keberadaan pedagang kak
lima.
29

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

Proses urbanisasi tidak dapat dihentikan, misalnya untuk kasus urbanisasi


di Jakarta, maka selama Jakarta masih memberikan harapan yang baik, berupa
potensi pertumbuhan ekonomi maka pendatang akan tetap menjadikan daerah
favorit tujuan migrasinya. Ukuran untuk menilai terkendali atau tidaknya suatu
proses urbanisasi; biasanya disebut sebagai primacy rate. Primacy rate ini diartikan
sebagai kekuatan daya tarik suatu Kota terhadap kota-kota di sekitarnya.
Sehingga semakin besar tingkat primacy menunjukkan keadaan yang kurang
baik dalam proses urbanisasi. Karena itu untuk mengurangi tingkat urbanisasi
di Jakarta, maka primacy rate Jakarta harus diturunkan atau disebarkan ke daerah
lain. Dengan demikian kebijakan pembangunan ekonomi harus memberikan
keseimbangan pertumbuhan ekonomi kepada daerah lain. Hal ini juga sejalan
dengan konsep pembangunan dengan sistem desentralisasi.
B. Rekomendasi
Problematika perkotaan yang muncul pada kota-kota besar di Indonesia
menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengelola perkotaan. Kebijakan
terkait dengan urbanisasi, pada dasarnya kebijakan yang terkait dengan
mobilitas penduduk dan pembangunan perkotaan. Terkait dengan mobilitas
penduduk dan pembangunan perkotaan, secara konseptual perlu memadukan
dua kebijakan, yaitu pengembangan urbanisasi perdesaan dan pertumbuhan
pusat-pusat ekonomi baru. Terkait dengan itu, maka perlu adanya dukungan
dari berbagai pemangku kepentingan. Terpenting dari hal tersebut adalah
perlunya kemauan politik yang kuat dari pemerintah pusat dan daerah, serta
didukung dengan peran serta dari legislatif sebagai pengawas atas implementasi
dari kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.

30

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Bintarto, R. Urbanisasi dan Permasalahannya. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.
Boiroch, Paul. Tingkat dan Ciri Pengangguran di Kota Negara Sedang
Berkembang. Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi (ed.), Urbanisasi,
Pengangguran Dan Sektor Informal Di Kota. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1991, pp.60-74.
Broek, Julien Van den. The Economics of Labor Migration. UK-Brookfield, USA:
Edward Elgar, Cheltenham, 1996.
Chotib. Dinamika Mobilitas Internal Dan Urbanisasi Di Indonesia: Kajian
Data Sensus Penduduk 1980, 1990 dan SUPAS 1995. Moh. Arsjad
Anwar, dkk (ed.), Widjojo Nitisastro 70 Tahun, Pembangunan Nasional: Teori,
Kebijakan dan Pelaksanaan. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 1997, pp.889907.
Chotib dan Turro S.Wongkaren. Pemercepatan Transisi Mobilitas. Aris
Ananta dan Chotib (ed.), Mobilitas Penduduk di Indonesia. Jakarta: Lembaga
Demografi FEUI dan BKKBN, 1996, pp.167-179
Firman, Tommy.1996. Pola Urbanisasi di Indonesia: Kajian Data Sensus
Penduduk 1980 dan 1990. Aris Ananta dan Chotib (ed.), Mobilitas
Penduduk di Indonesia. Jakarta: Lembaga Demografi FEUI dan BKKBN,
1996, pp.68-86.
Forbes, Dean. Penjaja di Ujungpandang. Chris Manning dan Tadjuddin
Noer Effendi (ed.), Urbanisasi, Pengangguran Dan Sektor Informal Di Kota.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991, pp.348-378.
Heilbroner, Robert L. Terbentuknya Masyarakat Ekonomi. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1982, pp.63-64.
31

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

Herr, Davis M. Masalah Kependudukan Di Negara Berkembang. Bina Aksara,


Jakarta, 1985, pp.54-59.
Hugo, Graeme J. Partisipasi Kaum Migran dalam Ekonomi Kota di Jawa
Barat. Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi (ed.), Urbanisasi,
Pengangguran Dan Sektor Informal Di Kota. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1991, pp.318-348.
Indonesia, Republik. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia 2010-2025, Kementerian Bidang Perekonomian,
2011.
Jones, Gavin dan Bondan Supratilah. Underutilization Tenaga Kerja di
Palembang dan Ujungpandang. Chris Manning dan Tadjuddin Noer
Effendi (ed.), Urbanisasi, Pengangguran Dan Sektor Informal Di Kota. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1991, pp.293-318.
Koyano, Shogo. Pendahuluan: Tema Can Cara Penelitian Urbanisasi Di Asia
Tenggara. Shogo Koyano (ed.), Pengkajian Urbanisasi Di Asia Tenggara.
Yogyakarta: Gadjah Masa University Press, 1996, pp.1-23.
Mazumdar, Dipak. Masalah Pengangguran di Semenanjung Malasyia. Chris
Manning dan Tadjuddin Noer Effendi (ed.), Urbanisasi, Pengangguran Dan
Sektor Informal Di Kota. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991, pp.187211.
Menno, S dan Mustamin Alwi. Kota dan Kemiskinan. dalam Antropologi
Perkotaan. Jakarta: Rajawali Pers, 1992, pp.59-68.
Munir, Rozi. 1981. Migrasi. Dasar-Dasar Demografi. Edisi 2000, Jakarta:
Lembaga Demografi dan LP FE-UI, pp.115-143.
Nasution, Agusfidar. Daya Tarik dan Daya Dorong Migrasi. Mulyanto Sumardi
dan Hans-Dieter Evers (ed.), Urbanisasi Masalah Kota Jakarta. Jakarta: Pusat
Pembinaan Sumber-Daya Manusia (PPSM), 1979, pp.25-36.
Quigley, John M. Urbanization, Aglomeration and Economic Development,
Spence et al (ed.), Urbanization and Growth. Washington, DC: The
International Bank for Reconstruction and Development / The World
Bank, 2009, pp.115-132.

32

Asep Ahmad Saefuloh

Rahardjo, Sri Pamoedjo. Urbanisasi dan Implikasi Kebijaksanaan Perkotaan.


Hendra Esmara (ed.), Memelihara Momentum Pembangunan. Jakarta:
PT.Gramedia Indonesia, 1985, pp.178-194.
Sasaki, Toshiro. Struktur Kota Besar Jakarta Dan Gerakan Jumlah Penduduk:
Struktur Industri dan Pemasukan Penduduk. Shogo Koyano (ed.),
Pengkajian Urbanisasi Di Asia Tenggara. Yogyakarta: Gadjah Masa University
Press, 1996, pp.489-511.
Shyrock, Henry S, and Jacob S. Siegel. The Methods and Materials of Demography.
London: Academics Press, 1976, pp.373-405.
Steele, Ross. Mobilitas Pekerjaan dan Penghasilan Migran di Surabaya. Chris
Manning dan Tadjuddin Noer Effendi (ed.), Urbanisasi, Pengangguran Dan
Sektor Informal Di Kota. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991, pp.378411.
Todaro, Michael P dan Jerry Stilkind. Dilema Urbanisasi. Chris Manning dan
Tadjuddin Noer Effendi (ed.), Urbanisasi, Pengangguran Dan Sektor Informal
Di Kota. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991, pp.4-33.
Tantu, Hammado. Sektor Informal di Jakarta. Mulyanto Sumardi dan
Hans-Dieter Evers (ed.), Urbanisasi Masalah Kota Jakarta. Jakarta: Pusat
Pembinaan Sumber-Daya Manusia (PPSM), 1971, pp.36-42.
Usman, M. Kasim. Migrasi di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Mulyanto
Sumardi dan Hans-Dieter Evers (ed.), Urbanisasi Masalah Kota Jakarta.
Jakarta: Pusat Pembinaan Sumber-Daya Manusia (PPSM), 1979, pp.9-17.
Young, Elspeth. Migration. David Lucas (ed.), Beginning Population Studies.
Canberra: The Australian National University, 1980, pp.133-129.
Jurnal
Akhmat, Ghulam and Yu Bochun. Rapidly Changing Dynamics of
Urbanization in China; Escalating Regional Inequalities and Urban
Management Problems, Journal of Sustainable Development, Vol.3, No.2,
2010, pp.153-158.

33

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

Alaci, Davidson Sunday Ashemi. Regulating Urbanisation in Subsaharan


Africa through Cluster Settlements: Lesson for Urban Mangers in
Ethiopia, Theoretical and Empirical Researches in Urban Management,
Vol.5, No.14, 2010, pp. 20-34.
Benedek, Joszef. Urban Policy and Urbanisation in the Transititon Romania,
Romanian Review of Regional Studies, Vol.2, No.1, 2006, pp.51-64.
Dieleman, Marleen. New Town Development in Indonesia: Renegotiating,
Shaping and Replacing Institutions, Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde, Vol. 167, No. 1, 2011, pp. 60-85 (http://www.kitlv-journals.
nl/index.php/btlv).
Eric, Misilu Mia, et al. Sustainable Urbanizations Challenge in Democratic
Republic of Congo, Journal of Sustainable Development, Vol.3, No.2, 2010,
pp.242-254.
Hu, Fang. Development of Cultural Industries to Promote Urban Economic
Development, International Journal of Business and Management, Vol.4,
No.10, 2009, pp.184-186.
Hutagaol, Parulian. Paradigma Baru Pengembangan Perdesaan Menuju
Masyarakat dan Kawasan Perdesaan yang Mandiri dalam Era Otonomi
Daerah, Jurnal Studi Pembangunan, Kemasyarakatan & Lingkungan, Vol. 3,
No. 1, 2001, pp.15-36.
Parysek, Jerzy J. Urban Polcy inthe Context of Contemporary Urbanisation
Process and Development Issues of Polish Cities, Journal of Urban and
Regional Analysis, Vol.2, No.2, 2010, pp.33-44.
Petsimeris, Susan Ball. Urban Policy Under New Labour: a New Dawn?
Journal of Dela, No.21, 2004, pp.171-181.
Soedjito, Bambang B. Perkembangan Kawasan Industri Di Indonesia. Jurnal
Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol1, No.1 September 1990, hal. 44-48.
Spreitzhofer, Gunter dan Martin Heintel. Urbanization in West Java in the
New Order Era: Demografic and Socio-economic Trends in Jabotabek
Region. Journal of Population, Vol.4, No.1, 1998, pp.89-111.

34

Asep Ahmad Saefuloh

Spreitzhofer, Gnter. Post-Suhartos Jabotabek Region: New Issues of


Demographic and Socio-economic Change in Western Java, Malaysian
Journal of Society and Space, Vol.1, No.1, 2005, pp. 1-10.
Wang, Hongxiang and Zhijun Han. Study on the County-level City in China,
Journal of Politics and Law, Vol.2, No.1, 2009, pp.50-54.
Zhao, Bing and Jinpeng Liu. Research on Pushing Effect of Urbanization on
China Western Investment, International Journal of Economics and Finance,
Vol.2, No.1, 2010, pp.182-185.
Zhang, Wei-bin. A Two-Sector Growth Model with Endogenous Human
Capital and Amenities, Interdisciplinary Description of Complex Systems,
Vol.6, No.2, 2009, pp.95-116.

Working Paper/Laporan/Makalah
Acharya, Sarthi. Labour Migration in The Transtitonal Economies in the
South-East Asia, Working Paper on Migration and Urbanization, Economic
and Social Commision for Asia and the Pacific, December 2003, pp.1-25.
Ananta, Aris. Transisi Kependudukan di Indonesia: Beberapa Masalah dan
Prospek Perekonomian. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap dalam
Bidang Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 24 Mei 1995.
Anonim.a. Mobility, Migration and Efficiency, pp. 379-402.
Anonim.b. In Search of A General Framework For Migration Analysis, pp.1545.
Direktorat Pembangunan Perdesaan Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional dan Direktorat Program Cipta Karya Pekerjaan Umum (Bappenas
dan PU). Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional
(KSPN) 2010-2025, Revisi 5 Desember 2010.
Comola, Margherita and Luiz de Mello. Fiscal Decentralization and
Urbanization in Indonesia, Working Paper No. 2010/58, May 2010, UNUWIDER, pp. 1-19.

35

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

Evers, Hans-Dieter. The End of Urban Involution and the Cultural


Construction of Urbanism in Indonesia, Paper read at a conference:
Asian Horizons: Cities, States and Societies, Singapore 1-3 August 2005,
pp.1-12.
Hugo, Graeme. Urbanization in Asia: An Overview, Paper prepared
for Conference on African Migration in Comparative Perspective,
Johannesburg, South Africa, 4-7 June, 2003, pp.1-34.
Hugo, Graeme. Forced Migration in Indonesia: Historical Perspectives,
Revised paper presented to International Conference on Toward New
Perspectives on Forced Migration In Southeast Asia, organised by Research
Centre for Society and Culture (PMB) at the Indonesian Institute of
Sciences (LIPI) and Refugee Studies Centre (RSC) at the University of
Oxford, Jakarta, 25-26 November 2004.
Herrmann, Michael and Haider A. Khan. Rapid Urbanization, Employment
Crisis and Poverty in African LDCs: A New Development Strategy and Aid
Policy, MPRA Paper No. 9499, July 2008.
Kundu, Amitabh. Urbanisation and Migration: An Analysis of Trend, Pattern
and Policies in Asia, Human Development Research Paper 2009/16, United
Nations Development Programme, June 2009.
Lu, Ming and Hu Gao. When Globalization Meets Urbanization: Labor
Market Reform, Income Inequality, and Economic Growth in the Peoples
Republic of China, ADBI Working Paper Series, No. 162, November 2009,
November 2009.
Meijers E.J. (Evert) and M.J. (Martijn) Burger. Urban Spatial Structure and
Labor Productivity in U.S. Metropolitan Areas, Paper presented at the
2009 Regional Studies Association annual conference Understanding and
Shaping Regions: Spatial, Social and Economic Futures, Leuven, Belgium,
April 6-8, 2009.
Passay N. Haidy A. Growth, Technical Progress, Migration and Unemployment:
An Empirical Study of Wage Rigidity Model of Labor Market in Indonesia.
Desertation. University of Pittsburgh, 1988.

36

Asep Ahmad Saefuloh

Rustandi, Ernan and Dyah Retno Panuju. A Study Spatial Pattern of


Suburbanization Process: A Case Study in Jakarta Suburb, Paper presented
in IGU-LCC Pre-Congress Meeting in Tsukuba, 8 August 2000.
Todaro, Michael P. Urbanization, Unemployment, and Migration in Africa: Theory
and Policy. Working Paper, No.104. 1997.
UNDP. Towards A New Consensus, Democracy and Human Development in
Indonesia, Indonesia Human Development Report 2001.
United Nation. Human Population: Fundamentals of Growth Patterns of
World Urbanization, World Urbanization Prospects, 1999.
United Nation. World Urbanization Prospects: The 2009 Revision, Economic
and Social Affairs, 2010.
Internet Karya Individual
Adriani, Dessy. Keragaan Pasar Kerja Pertanian-NoPertanian dan Migrasi
Desa-Kota: Telaah Periode Krisis Ekonomi, (http://ejournal.unud.ac.id/
abstrak/%281% 29%20soca-dessy%20adriani-pasar%20kerja%20ind%28
1 %29.pdf diakses 15 Mei 2011).
Brian, Roberts and Trevor Kannely . Chapter 2: Urbanization and
Suistainability in Asia, (http://www.unescap.org/esd/environment/
soe/2000/documents/ CH07. PDF, diakses 15 Mei 2011).
Cox, Kevin R. (with David Hemson and Alison Todes), Urbanization in
South Africa and the Changing Character of Migrant Labor, Department
of Geography, The Ohio State University, August 9, 2005, at: http://
geog-www.sbs.ohiostate.edu/faculty/kcox/cox1.pdf, this paper was also
published in South African Geographical Journal 86:1 (2004), 7-16.
Ellis, Peter D. Indonesias Urban Development: Toward Inclusive and
Suistainable Economic Growth, (http://siteresources.worldbank.org/
INTURBANDEVELOPMENT/Resources/336387-1296405826983/
Ellis.pdf, diakses 15 Mei 2011).
Firman, Tommy. The Dynamics of Indonesias Urbanization, 1980-2006,
(http:// paa2008.princeton.edu/download.aspx?submissionId=80063, diakses
15 Mei 2011).
37

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

Laboratory of Land Resources and Regional Planning (LLRRP). A Studi


of Spatial Patern of Suburbanization. Ernan Rustiadis Personal Page.
(http://www.hdp-ina.net/eman/sta-spt/j.htm, diakses 2 Mei 2002).
Kitamura, Teitaro dan Ernan Rustiadi. Basic Trends in Land Use/Cover
Change in Indonesia. (http:www.cger.nies.go.jp/lenGEC-1/19-Kitoerni.
pdf, diakses 2 Mei 2002).
Panjaitan, Budiman. Prorural dan Petani (yang) Bermartabat. 6 Okt 2010
(http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2010/10/06/2684/
prorural_dan_petani_yang_bermartabat/, diakses 8 Januari 2011).
Rahmat, Adipati. Evaluasi Urbanisasi Kota-kota di Indonesia dari perspektif
Ekonomi Perkotaan (Studi Kasus Kota DKIJakarta), (http://adipatirahmat.
wordpress.Com/2009/11/10/evaluasi-urbanisasi-kota-kota-di-indonesiada ri-perspektif-ekonomi-perkotaan-studi-kasus-kota-dki-jakarta/, diakses
29 Mei 2011).
Rukmana, Deden. Pedagang Kakilima Dan Informalitas Perkotaan, 3
April 2008 (http://www.jakartabutuhrevolusibudaya.com/2008/04/03/
pedagang-kakilima-dan-informalitas-perkotaan/, diakses 29 Mei 2011).
Samiadji, Bambang Tata, 70-80% Uang Nasional Berputar-putar di Jakarta,
18 Oktober 2007 (http://www.mail-archive.com/referensi@yahoogroups.
com/ msg00598.html, diakses 29 Mei 2011).
Seftiani, Sari. Kontribusi Migran Terhadao Pertumbuhan sektor Informal
di Perkotaan (Kasus di Jakarta Selatan), (http://ejournal.unud.ac.id/
abstrak/ 1%284%29.pdf, diakses 29 Mei 2011).
Setiawan, Nugraha. Perubahan Konsep Perkotaan di Indonesia dan Implikasinya
Terhadap Analisis Urbanisasi, (http://pustaka.unpad.ac.id/ w p-content/
uploads/2009/03/perubahan_konsep_perkotaan_di_indonesia.
pdf,
diakses 6 Mei 2011).
Silas, Johan. Indonesia 1997-1999, Post Crisis and the Need for Intervention.
Urban Poor Asia, Asian Coalition for Housing Rights, 2001. (http://www. achs.
net/sup_indon.htm, diakses 2 Mei 2002).

38

Asep Ahmad Saefuloh

Team for Overseas Scientific Surveys (TOSS). The Migrant in Jakarta.


Sociological Study in Southest Asia, International Joint. (http://www.
annaiwate-u.ac.jp/~betsurt/articlemigrant.htm, diakses 6 Mei 2002).
Wicaksono, Sarosa. Chapter 7: Indonesia, Urbanization and Sustainability
in Asia, pp.155-186 (www.adb.org/Documents/Books/Urbanization.../
chapter 07.pdf, diakses 15 Mei 2011).
Internet Karya non-Individual
Melayu Betawi, (http://www.kapasitor.net/community/post/639, diakses
29 Mei 2011).
Menjadi Asing di Rumah Sendiri, (http://www.facebook.com/topic.
php?uid=1070 23765987154&topic=3, diakses 29 Mei 2011).
Mewujudkan Greater Jakarta, 9 Maret 2011 (http://www.suarapembaruan.
com/ tajukrencana/mewujudkan-greater-jakarta/4364, diakses 29 Mei
2011).
Pemprov DKI Anggarkan Rp900 Juta Operasi Yustisi, 7 Oktober 2008
(http:// www.antaranews.com/view/?i=1223323464&c=NAS&s=, diakses
29 Mei 2011).

39

BAGIAN II
NILAI KERJA DAN PENINGKATAN KUALITAS TENAGA
KERJA WANITA PEKERJA RUMAH TANGGA
Dinar Wahyuni1

1 Penulis adalah peneliti xxxxxxxxxx??????????????

BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Bekerja merupakan hak asasi setiap orang. Fungsi pekerjaan adalah pertama,
meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian, baik untuk dirinya sendiri dan
keluarganya dan kedua, fungsi status. Seseorang yang memiliki pekerjaan yang
layak mempunyai status sosial lebih tinggi dibandingkan orang yang tidak
memiliki pekerjaan.2 Dari bekerja, individu akan memperoleh penghasilan yang
dapat digunakan untuk bertahan hidup, baik secara ekonomi maupun sosial
dan memperoleh status sosial dalam masyarakat. Begitu pentingnya arti bekerja,
Universal Declaration of Human Rights 1948 article 23 (1) menyatakan everyone
has the right to work, to free choice of employment, to just and favourable conditions
of work and to protection against unemployment. Dari pernyataan tersebut tampak
bahwa setipa orang berhak atas pekerjaan yang layak bagi diri dan keluarganya.
Bekerja merupakan hak asasi setiap orang. Dan jaminan atas pekerjaan yang
layak diberikan oleh negara.
Dalam tataran internasional, isu pekerjaan sebagai hak asasi juga
berkumandang dalam International Convenant on Economic, Social and Cultural
Rights. Konvenan ini mengakui hak asasi setiap orang di bidang ekonomi, sosial
dan budaya termasuk hak atas pekerjaan dalam pasal 6. Pemerintah Indonesia
kemudian meratifikasi konvenan tersebut ke dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social
and Cultural Rights. UUD 1945 sebenarnya telah mengatur pasal mengenai
hak atas pekerjaan bagi setiap warga dimana negara berkewajiban menjamin
pekerjaan bagi setiap warga negara. Pasal 27 ayat (2) menyatakan dengan tegas
bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan. Hal ini berarti negara wajib menjamin setiap
2 Ujianto Singgih Prayitno, 2009, Tantangan dan Agenda Pembangunan Sosial : Pemenuhan Hak
Dasar Manusia Dalam Didiet Widiowati (Ed.), Tantangan Pembangunan Sosial Di Indonesia, Jakarta :
Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI, h.16.

43

Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga

warga negara untuk mendapat pekerjaan yang layak tanpa kecuali. Namun
kenyataannya, negara belum mampu menjamin pekerjaan bagi setiap warganya.
Lapangan pekerjaan masih terbatas sedangkan angkatan kerja terus meningkat
dan hal ini merupakan masalah utama dalam pembangunan di Indonesia.
Akibatnya, kelompok dengan pendidikan terbatas termarginalkan dan bekerja
di luar negeri merupakan pilihan untuk tetap dapat bertahan hidup secara
ekonomi. Pemerintah kemudian melegalkan pengiriman tenaga kerja ke luar
negeri sejak tahun 1980-an dengan mengeluarkan berbagai kebijakan.
Indonesia merupakan salah satu negara pengirim tenaga kerja terbesar.
Menurut data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, sampai Februari
2010 total tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri mencapai 2.670.536
orang. Malaysia masih menjadi tujuan utama TKI dengan jumlah 1,2 juta
orang disusul Arab Saudi 927.500 orang. Sementara di Taiwan, TKI mencapai
130.000 orang, Hongkong 120.000 orang, Singapura berjumlah 80.150 orang,
Brunei Darussalam 40.450 orang, Bahrain sebanyak 6.500 orang, Kuwait
61.000 orang, UEA 51.350 orang dan Qatar 24.586 orang.3
Migrasi tenaga kerja ke luar negeri cenderung meningkat setiap tahunnya.
Trend yang terjadi saat ini adalah tenaga kerja Indonesia (TKI) lebih didominasi
perempuan dan pekerjaan yang ditekuni sebagai pekerja rumah tangga (PRT).
Menurut Dewi Novirianti, peneliti Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas
Indonesia yang disampaikan dalam acara diskusi publik akses terhadap
keadilan di Indonesia di Jakarta, kaum perempuan masih mendominasi
TKI yang bekerja di luar negeri dengan presantase TKI perempuan atau biasa
disebut tenaga kerja wanita (TKW) sekitar 78% dan 76% di antaranya bekerja
di sektor rumah tangga.4 Kecenderungan peningkatan jumlah TKW akan
terus berlanjut sejalan dengan globalisasi kerja dan terbatasnya peluang kerja
di dalam negeri. Selain membuka peluang baru, terbukanya kesempatan kerja
bagi wanita di luar negeri membuka resiko tertentu bagi perempuan.
Penelitian Roxanne dan Jane menyatakan bahwa menjadi TKW dapat
menjadi cara yang jitu bagi perempuan miskin di pedesaan untuk memperoleh
pekerjaan dan meningkatkan pendapatan, meskipun resiko diskriminasi,
kekerasan, eksploitasi dan masalah perbedaan budaya di tempat kerja harus
3 Ade Irawan, BPS: Jumlah TKI Arab Saudi Capai 1,5 Juta Orang, http://finance.detik.com/
read/2011/06/28/ 195709/1670973/4/bps-jumlah-tki-arab-saudi-capai-15-juta-orang, diakses 4 November
2011.
4 TKI Masih Didominasi Kaum Perempuan, http://kampungtki.com/baca/27581,diakses 4 November
2011.

44

Dinar Wahyuni

mereka terima.5 Terlepas dari resiko menjadi TKW, tidak sedikit TKW yang
berhasil membawa uang kembali ke kampung halamannya dan merupakan
suatu keberhasilan bagi mereka jika mampu berangkat menjadi TKI. Dengan
demikian, faktor ekonomi menjadi alasan utama perempuan bermigrasi ke luar
negeri.
Fenomena migrasi ke luar negeri sebenarnya bukan hal baru. Sejak jaman
penjajahan Belanda, kebijakan pemerintah Kolonial Belanda menempatkan
warga negara Indonesia ke Suriname dan Kaledonia Baru untuk menjadi kuli
kontrak. Dalam perkembangannya, lonjakan harga minyak dunia menyebabkan
lahirnya masyarakat kelas menengah di Saudi Arabia, dampaknya muncul
kebutuhan akan PRT yang menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat kelas
tersebut.6 Memasuki tahun 1990-an terjadi peningkatan arus migrasi ke luar
negeri. Peningkatan drastis jumlah TKI kel luar negeri terjadi tahun 1997
bersamaan dengan terjadinya krisis ekonomi dunia. TKI berasal dari kantongkantong TKI seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, Nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tenggara Timur. Sebagian besar dari TKI adalah perempuan yang tidak
memiliki keahlian khusus dengan tingkat pendidikan rendah. Bagi sebagian
perempuan khususnya di pedesaan, menjadi TKW PRT lebih menjanjikan
upah yang tinggi dibandingkan bekerja di kota-kota besar di Indonesia. Mereka
kurang menyadari resiko yang akan dialami TKW di luar negeri.
Perempuan lebih rentan kekerasan, karena di banyak negara perempuan
masih dianggap sebagai kelompok kelas dua yang harus tunduk dan patuh
terhadap kelompok kelas satu, yakni laki-laki. Bahkan di tingkat peraturan pun
diskriminatif gender, seperti visa akan diperoleh setelah calon TKW menjalani
serangkaian tes. Keadaan ini menyulitkan TKW mengingat pendidikan mereka
yang umumnya rendah. Di samping itu akan berdampak pada akses TKW
ke informasi tentang keuntungan dan kerugian bermigrasi, persyaratan dan
kondisi kerja, prosedur dan klaim-klaim hukum. 7
Pekerjaan PRT sering dikategorikan sebagai sektor informal dan berada
di ruang privat sehingga seringkali tidak ternaungi oleh hukum tenaga kerja
di negara penempatannya. Di Singapura, Malaysia bahkan Amerika Serikat,
5 Sudjana, Eggi, 2009, Melepas Ranjau TKI : Strategi Pemberdayaan Buruh Migran, Jakarta : RMBOOKS,
h. 34.
6 Naovalitha, Tita, 2007, Kompleksitas Mekanisme Penempatan BMP Ke Luar Negeri : Beberapa Permasalahan
dan Alternatif Solusinya, Jakarta : Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan World Bank.
7 Martin Sirait, George dkk, 2006, Hak Asasi Manusia Bagi Semua : Peran Institusional Nasional Hak Asasi
Manusia Dalam Melindungi Hak Asasi Buruh Migran Tidak Berdokumen dan Buruh Migran Perempuan,
Jakarta : Komnas Perempuan, h. 38.

45

Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga

Undang-Undang Setempat tidak memasukkan PRT dalam wilayah hukumnya,


akibatnya terjadi pembiaran terhadap kondisi eksploitatif. 8
PRT tidak jauh dari persoalan kekerasan, subordinasi dan diskriminasi.
Pekerjaan PRT lebih rentan terhadap kekerasan, baik kekerasan fisik maupun
kekerasan seksual karena didominasi oleh perempuan dengan pendidikan
rendah, pengetahuan dan ketrampilan yang kurang sehingga mereka tidak tahu
cara membela diri. BNP2TKI mencatat sepanjang tahun 2010, 5.495 TKW
PRT menjadi korban kekerasan. Dari jumlah tersebut, 1.097 orang mengalami
penganiayaan, 3.500 sakit akibat kondisi kerja tak layak dan 898 mengalami
kekerasan seksual dan tidak digaji.9 Kasus terbaru menimpa TKW asal Bekasi,
Ruyati. Ruyati sudah bekerja selama 10 tahun sebagai PRT di Arab Saudi harus
menerima hukuman pancung karena tuduhan membunuh ibu majikannya.
Sepanjang tahun 2009-2011 terdapat tiga TKW yang telah dieksekusi mati.
Sebelumnya kasus Darsem dan Sumiyati juga menjadi perbincangan berbagai
media. Darsem harus membayar denda sebesar 4,7 milyar agar lolos dari
hukuman pancung sedangkan Sumiyati mengalami kekerasan fisik dari
majikannya.
B. Permasalahan
Kasus-kasus yang dialami TKW PRT merupakan cerminan masih lemahnya
perlindungan negara terhadap warga negaranya. Ironis memang mengingat
remitansi yang disumbangkan TKW setiap tahunnya ke devisa negara. Bank
Indonesia mencatat remitansi TKI dari luar negeri mencapai US$ 73 milyar.
Untuk tahun 2011, pengiriman uang dari TKI selama kuartal pertama mencapai
US$ 1,6 milyar. Sehingga rata-rata TKI mengirimkan uang US$ 500 milyar
per bulan ke Indonesia.10 Di satu sisi TKW membantu perekonomian melalui
remintansi yang masuk ke devisa negara, di sisi lain resiko yang harus ditanggung
TKW kadang tidak sebanding dengan sebutannya sebagai pahlawan devisa.
Rendahnya pengetahuan dan ketrampilan PRT akan berpengaruh pada
cara mereka membela diri. Selama ini negara tujuan penempatan memandang
rendah TKW PRT sehingga muncul stereotipe negatif terhadap TKW. Hal
ini berhubungan dengan pengetahuan dan ketrampilan yang mereka miliki.
Rendahnya pendidikan TKW berpengaruh pada rendahnya kualitas TKW
8 Ibid, h. 41.
9 Sepanjang 2010, Tercatat 5.495 TKI Korban Kekerasan, http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu231/3483-sepanjang-2010-tercatat-5495-tki-korban-kekerasan.html, diakses 4 November 2011.
10 Muhammad Iqbal, Menimbang Moratorium TKI PRT Ke Arab Saudi, http://hukum.kompasiana.com/
2011/06/25/menimbang-moratorium-tki-prt-ke-arab-saudi/, diakses 4 November 2011.

46

Dinar Wahyuni

PRT dan berkolerasi dengan rendahnya kesadaran mereka tentang hak-haknya.


Tinggi rendahnya kualitas TKW PRT ditentukan pendidikan, dalam hal ini
pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki. Berdasarkan uraian tersebut,
terdapat permasalahan yang perlu dikaji lebih lanjut agar diperoleh solusi
terbaik. Terlebih lagi semakin meningkatnya jumlah TKW PRT, dimana TKW
lebih rentan terhadap kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi, tentu harus ada
upaya untuk mencegah kasus-kasus tersebut tidak terulang lagi. Selanjutnya
dirumuskan permasalahan yang akan dianalisis, yaitu :
1. Bagaimana nilai kerja PRT dan pengaruhnya terhadap stereotipe TKW
PRT?
2. Bagaimana upaya untuk meningkatkan kualitas TKW PRT?

47

BAB II
Kerangka Pemikiran

A. Konsep TKW PRT


Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
pasal 1 ayat (2), istilah tenaga kerja didefinisikan setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/ jasa baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Lebih lanjut pasal
3 menyebutkan pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan bentuk lain.
Sementara dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 pasal 1 ayat
(1), pengertian TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi
syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu
tertentu dengan menerima upah. Dari pengertian tersebut, TKI mencakup
pekerja laki-laki dan perempuan. TKI perempuan selanjutnya disebut dengan
istilah TKW.
Dalam Raperda Kota Yogyakarta tentang Perlindungan PRT dan Raperda
Pemprov DKI Jakarta tentang Libur Mingguan bagi PRT, PRT merupakan orang
yang tidak termasuk anggota keluarga yang bekerja pada seseorang atau beberapa
orang dalam rumah tangga untuk melakukan pekerjaan kerumahtanggaan
dengan memperoleh upah.11 Dengan dalam pengertian PRT terkandung empat
elemen, yaitu : pertama, orang yang bekerja, dalam hal ini PRT; kedua, orang
yang mempekerjakan PRT, yang kemudian disebut majikan; ketiga melakukan
pekerjaan kerumahtanggan; dan keempat, memperoleh upah.
Istilah pekerja dari PRT merupakan sebuah wacana baru yang
dikembangkan LSM dan ILO untuk mengganti kata pembantu. Dengan
perubahan ini diharapkan pekerjaan domestik diakui sebagai sebuah pekerjaan
yang bersifat formal dan dilindungi oleh hukum ketenagakerjaan.
11 Pekerja Rumah Tangga, http://jurnalperempuan.com/2011/05/pekerja-rumah-tangga-domestic-workers/,
diakses 5 November 2011.

49

Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga

Dari pengertian TKW dan PRT, dapat disimpulkan bahwa TKW PRT
merupakan TKI perempuan yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri
dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu, melakukan pekerjaan
kerumahtanggan dan memperoleh upah. Secara umum terdapat tiga kelompok
besar mobilitas TKW ke luar negeri, yaitu TKW pemburu ringgit, TKW
pemburu real dan TKW pemburu dollar.12
Keinginan perempuan bekerja ke luar negeri dipengaruhi oleh banyak
faktor. Stalker menjelaskan motivasi perempuan melakukan migrasi ke luar
negeri menggunakan perspektif individual dan struktural. Persepktif individual
memandang migrasi sebagai keputusan rasional, karena setiap individu
mempunyai berbagai macam pengetahuan dan pilihan dalam mencapai dan
memperbaiki kesejahteraan. Dalam hal individu berusaha mendapatkan
kombinasi dengan mempertimbangkan upah dan jaminan pekerjaan. Sedangkan
teori struktural memandang migrasi sebagai keputusan yang berkaitan dengan
adanya tekanan kondisi eksternal yang dihadapi migran. Tekanan keterbatasan
peluang kerja dengan upah sesuai dengan kebutuhan hidup dan kebutuhan
ekonomi keluarga yang mendorong perempuan kemudian memutuskan bekerja
ke luar negeri.13
Trend perempuan bermigrasi ke luar negeri berkaitan dengan rendahnya
income di daerah asal, sementara beban keluarga semakin tinggi. Terbukanya
kesempatan kerja yang luas di luar negeri akan dapat menyerap tenaga kerja
Indonesia dalam jumlah yang besar. Dengan persyaratan yang lebih mudah
dan tidak membutuhkan keahlian khusus mendorong perempuan tampil
kembali dalam kegiatan ekonomi. Ada kecenderungan pekerja perempuan
hanya beralih dari pekerjaan domestik dalam rumah tangga tanpa upah ke
pekerjaan domestik luar rumah dengan mendapat upah.14 Hal itu disebabkan
karakteristik TKW asal Indonesia sebagian besar memiliki pendidikan yang
relatif rendah.

12 Abdullah, Irwan, 2003, Sangkan Paran Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 191.
13 Nasution, Arif. 1999, Globalisasi dan Migrasi antar Negara, Bandung: Kerjasama Yayasan Adikarya
IKAPI, h. 43.
14 Ibid, h. 108.

50

Dinar Wahyuni

B. Nilai Kerja PRT


Selama ini, pekerjaan PRT dianggap sebagai pekerjaan domestik yang tidak
memerlukan keahlian dan ketrampilan khusus sehingga seringkali muncul
stereotipe yang mengakibatkan PRT mengalami inferioritas. Dalam masyarakat,
pembagian kerja seksual dibedakan menjadi dua, yaitu : 15
1. Teori nature menyatakan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan
adalah kodrat. Sifat psikologis yang berbeda antara laki-laki dan perempuan
dipengaruhi oleh faktor biologis. Perempuan lebih lemah daripada laki-laki
karena fungsi reproduksi yang dimiliki. Akibatnya perempuan hanya layak
bekerja di sektor domestik atau rumah tangga, sementara laki-laki di ruang
publik.
2. Teori nurture menyatakan bahwa faktor sosiokultural membentuk paradigma
masyarakat dalam melihat perbedaan status perempuan dan laki-laki dalam
pembagian kerja. Perbedaan itu yang membuat perempuan selalu tertinggal
dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan
perempuan dan laki-laki dalam perbedaan kelas. Dari sinilah kemudian
muncul stereotipe bahwa laki-laki lebih unggul dari perempuan sehingga
memiliki kesempatan yang lebih besar untuk bekerja di ruang publik.
Dalam masyarakat patriarki, perempuan ditempatkan sebagai makhluk
domestik (pekerja rumah tangga) sejak masa kanak-kanak hingga dewasa (peran
sebagai istri/ibu rumah tangga), sebaliknya laki-laki lebih diposisikan berperan
di dunia publik.16
Pekerjaan domestik cenderung diidentifikasikan sebagai pekerjaan yang
tidak memerlukan keahlian khusus dan perempuan dianggap lebih pantas
bekerja di ruang domestik. Pekerjaan itu mencakup pekerjaan yang dilakukan
di dalam rumah tangga seperti memasak, mencuci, menjaga kebersihan
rumah tangga sampai mengurus anak, tetapi ada juga pekerjaan domestik yang
memerlukan keahlian khusus seperti perawat lansia, babysitter dan sopir. Karena
tidak memberikan kontribusi dalam pertumbuhan ekonomi secara signifikan
maka pekerjaan domestik dianggap sebagai pekerjaan yang tidak bernilai dan
tidak produktif.

15 Budiman, Arief, 1985, Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita
Dalam Masyarakat, Jakarta : Gramedia, h. 4.
16 Ibid.

51

Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga

C. Stereotype TKW PRT


Rex Verona menyebut kondisi kerja TKW sebagai perilous, yakni powerless
(politically and socially), excluded (discriminated against), risky/vulnerable situations,
insecure future (especially upon return), large numbers, obligations (debts, dependent),
unprotected (legal protections, rights, social security), social and family problems/
family breakdown, image in society.17 Pandangan ini muncul dari kenyataan
bahwa mayoritas TKW bekerja di sektor informal sebagai PRT. Pekerjaan yang
dianggap rendah dan rentan terhadap penyalahgunaan dan pelanggaran oleh
majikan. Stereotipe yang melekat pada TKW PRT seringkali berpengaruh pada
perlakuan yang mereka terima.
Banyak stereotipe yang menggambarkan TKW PRT asal Indonesia rendah,
mudah diakali, gampangan, bodoh, terbelakang, dan sebagainya. Di tempat
tertentu TKW mendapat cap sebagai wanita murahan, pelacur, pemalas,
menggunakan magic dan guna-guna. Bahkan ada penelitian yang menunjukkan
terjadinya penghinaan TKW yang didasarkan pada negara, gender, kelas sosial
kewarganegaraan dan etnicity yang dilakukan majikan. 18
Di negara Arab Saudi, PRT diperlakukan seperti budak. Karena majikan
merasa sudah membeli sehingga PRT harus mau melakukan pekerjaan apa
saja yang diinginkan majikan. Seringkali TKW harus melakukan pekerjaan
yang tidak ada dalam perjanjian kerja. Jam kerja yang panjang melebihi
perjanjian kerja juga sering dialami TKW PRT. Tidak jarang ada majikan tidak
memberikan kesempatan pada TKW untuk melakukan ibadah karena dianggap
akan mengurangi jam kerja mereka. Ada juga majikan yang melarang TKW
keluar rumah, karena dikhawatirkan akan mempengaruhi TKW. Akibatnya
mereka tidak bisa bersosialisasi dengan teman sesama TKW. Waktunya habis
untuk mengerjakan pekerjaan di dalam rumah majikan. Hal ini yang sering
menghambat akses informasi ke TKW. Di kawasan Timur Tengah seperti
Taiwan juga berkembang stereotipe terhadap TKW Indonesia. Orang Taiwan
mempersepsikan TKW asal Indonesia setia dan pekerja keras tetapi bodoh.19
TKW cocok dalam pekerjaan yang sederhana, tidak memerlukan pengetahuan
yang tinggi dan dilakukan berulang-ulang, seperti mencuci, memasak, merawat
anak, membersihkan rumah atau dengan kata lain menjadi PRT. Berbeda lagi
17 Verona Rex, 1998, Situation of Asian Migrant Workers, dalam Sudjana, Eggi, 2009, Melepas Ranjau
TKI : Strategi Pemberdayaan Buruh Migran, Jakarta : RMBOOKS, h. 96.
18 Sudjana, Eggi, 2009, Melepas Ranjau TK: Strategi Pemberdayaan Buruh Migran, Jakarta: RMBOOKS, h. 99.
19 Ibid.

52

Dinar Wahyuni

dengan stereotipe di Malaysia. Orang Malaysia memandang bangsa kita sebagai


kelas pembantu sehingga PRT kita lebih dikenal dengan sebutan indon.
Munculnya stereotype negatif pada TKW PRT tidak terlepas dari rendahnya
tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan. Rendahnya pendidikan
akan mempengaruhi kualitas dari TKW tersebut. Lebih lanjut kualitas TKW
berkorelasi dengan pemahaman mereka terhadap hak-haknya sehingga ketika
ditimpa suatu masalah hukum, mereka lebih banyak berdiam diri bahkan ada
TKW yang kemudian bunuh diri karena tidak tahan dengan perlakukan majikan.
Selama ini TKW PRT kita sangat rentan dengan kekerasan, diskriminasi dan
eksploitasi di tempat kerja, seperti upah rendah dan tidak dibayar, jam kerja
yang panjang, penganiayaan, dan kerja ganda.
Stereotype terhadap TKW PRT akan mempengaruhi posisi tawarnya. Di
beberapa negara, TKW kita memiliki posisi tawar yang lemah karena karakter
mereka yang sebagian besar berpendidikan rendah, kurang pengalaman,
ketrampilan serta minimnya informasi yang didapat. Posisi tawar TKW semakin
rendah ketika mereka tidak memiliki dokumen resmi, terutama saat mereka
mendapat masalah berkaitan dengan hukum. Namun di luar stereotipe yang
disandang TKW PRT, tidak menyurutkan niat calon perempuan khususnya di
pedesaan untuk bermigrasi ke luar negeri. Terbukti saat ini terjadi perubahan
trend dimana perempuan lebih mendominasi migrasi ke luar negeri.

53

BAB III
Upaya Peningkatan Kualitas TKW PRT

A. Pendidikan dan Pelatihan Kerja


Pendidikan dan pelatihan merupakan salah satu jalur pendidikan yang
berbentuk non formal seperti tercantum dalam Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 26 ayat (3). Sedangkan pendidikan dan pelatihan
calon TKI menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor PER.23/MEN/IX/2009 tentang Pendidikan dan Pelatihan Kerja
Bagi Calon TKI Di Luar Negeri pasal 1 adalah proses pelatihan kerja untuk
memberi, memperoleh, meningkatkan dan mengembangkan kompetensi
kerja, produktivitas, disiplin, sikap dan etos kerja pada tingkat ketrampilan
dan keahlian tertantu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau
pekerjaan.
Setiap calon TKW yang akan dikirim ke luar negeri harus mendapat
pendidikan dan pelatihan kerja terlebih dulu. Sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI Di Luar
Negeri pasal 42, pendidikan dan pelatihan kerja bagi calon TKI dimaksudkan
untuk :
1. Membekali, meingkatkan dan mengambangkan kompetensi kerja calon
TKI;
2. Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang situasi, kondisi, adat
istiadat, budaya, agama, dan risiko bekerja di luar negeri;
3. Membekali kemampuan komunikasi dalam bahasa negara tujuan;
4. Memberi pengetahuan dan pemahaman tentang hak dan kewajiban calon
TKI/TKI.
Pendidikan dan pelatihan kerja mencakup penguasaan bahasa, sikap
dan perilaku, ketrampilan dan hal-hal lain terkait dengan pekerjaan TKW di
negara penempatan. Pendidikan dan pelatihan kerja akan bermanfaat ketika
mereka tertimpa kasus hukum, karena yang selama ini terjadi, kurangnya
55

Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga

pengetahuan TKW tentang hak dan kewajibannya menyebabkan mereka tidak


tahu cara membela diri. Dengan adanya pendidikan dan pelatihan kerja akan
meningkatkan kualitas TKW khususnya PRT sehingga kasus-kasus yang sering
menimpa dapat diminimalkan.
Setiap calon TKW berhak untuk mendapatkan dan meningkatkan
kompetensi kerja tersebut melalui pendidikan dan pelatihan kerja sesuai dengan
pekerjaan yang akan dilakukan. Kompetensi kerja merupakan kunci dalam
meningkatkan daya saing. Pendidikan dan pelatihan kerja dilaksanakan sesuai
dengan kebutuhan pasar kerja. Pendidikan dan pelatihan kerja dilaksanakan
oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah, swasta, perusahaan maupun lembaga
pelatihan kerja milik PPTKIS yang memiliki ijin atau terdaftar dan terakreditasi
oleh Lembaga Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja.
Materi dalam pendidikan dan pelatihan kerja meliputi pembinaan mental
kerohanian, pembinaan fisik, disiplin dan kepribadian, sosial budaya, adat
istiadat dan kondisi negara tujuan, peraturan perundangan di negera tujuan,
tata cara pemberangkatan dan kepulangan, informasi yang berkaitan dengan
perwakilan RI, kelengkapan dokumen TKW, isi perjanjian kerja dan hak
kewajiban TKW.20 Selain itu calon TKI juga harus mendapatkan jaminan
perlindungan hak keselamatan dan kesejahteraan selama bekerja di luar negeri.
Dengan demikian, penyelenggaraan penempatan TKI ke luar negeri harus
sesuai dengan arah pembangunan ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2000,
dimana pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk :
1. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimum.
2. Menciptakan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja
yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional.
3. Memberikan perlindungan bagi tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraannya.
4. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Dalam pendidikan dan pelatihan kerja, materi pelajaran telah ditentukan
secara garis besar oleh Kemenakertrans. Untuk bidang PRT, standar kualifikasi
ketrampilan (SKK) digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan kurikulum
materi pelatihan kerja untuk penempatan dalam maupun luar negeri. Dalam
20 Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. 104/A/Men/2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri Pasal 49.

56

Dinar Wahyuni

SKK, calon TKW harus memiliki dan menguasai pengetahuan dan ketrampilan
kerja sebagai berikut :21
Tabel 1. SKK PRT
No.

Indeks Pengetahuan dan Ketrampilan yang Dipersyaratkan

1.
Pembersihan ruangan dan perlengkapan
2.
Penataan perlengkapan ruangan
3.
Penggunaan peralatan dapur, makan dan minum
4.
Perawatan peralatan dapur, makan dan minum
5.
Penyiapan bahan makanan
6.
Pengolahan masakan keluarga
7.
Penghidangan makanan dan minuman
8.
Pencucian pakaian dan lena rumah tangga
9.
Penyeterikaan pakaian dan lena rumah tangga
10. Perawatan pakaian
11. Pengasuhan bayi
12. Perawatan bayi
13. Pengasuhan anak pra sekolah
14. Perawatan anak usia pra sekolah
15. Penggunaan telepon
16. Bahasa asing sesuai negara penempatan
17. Budaya negara penempatan
18. Pengetahuan hak dan kewajiban TKW
sumber: diolah dari Dinas Kependudukan Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Karanganyar.

Materi yang diutamakan dalam pendidikan dan pelatihan kerja calon


TKW adalah penguasaan bahasa asing, karena bahasa merupakan kunci utama
TKW dalam melakukan komunikasi dengan majikan. Banyak kasus yang
terjadi karena kurangnya penguasaan TKW terhadap bahasa majikan. Selain
itu, pengetahuan akan hak dan kewajiban calon TKW/TKW juga penting
diberikan saat pendidikan dan pelatihan kerja sehingga calon TKW/TKW
mengetahui hak dan kewajibannya.
Selama ini pelatihan kerja calon TKW pra penempatan dilaksanakan
200 jam. Dan hasilnya calon TKW kurang menguasai materi yang diberikan
sehingga kualitas TKW masih kurang memadai. Karena itu waktu pendidikan
dan pelatihan kerja harus disesuaikan dengan kebutuhan agar calon TKW
benar-benar menguasai seluruh materi dan dapat diterapkan ketika berada di
negara penempatan.
Paradigma baru peningkatan kualitas TKW bertumpu pada tiga pilar,
yakni standar kompetensi kerja, pelatihan berbasis kompetensi dan sertifikasi
21 Dermatoto, Argyo dan Atik Catur Budiati, 2007, Kajian Mengenai Pembekalan TKW yang akan Dikirim
Ke Luar Negeri dalam rangka Penyusunan Kebijakan Responsif Gender di Kabupaten Karanganyar, Laporan
Penelitian, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Surakarta : Universitas Sebelas Maret.

57

Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga

kompetensi oleh lembaga yang independen.22 Standar kompetensi akan menjadi


acuan dalam mengembangkan program pelatihan kerja sehingga disusun sesuai
kebutuhan pasar tenaga kerja. Standar kompetensi kerja dapat menggunakan
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), standar internasional
maupun standar khusus.
Guna memperbaiki pelatihan berbasis kompetensi, pemerintah membuat
sistem pengawasan terpadu yang terbagi dua pihak, yakni pemerintah dan
asosiasi BLK luar negeri serta asosiasi BLK luar negeri dengan asosiasi pengguna,
PPTKIS (dulu PJTKI). Setelah mengikuti pelatihan berbasis kompetensi,
calon TKW mengikuti sertifikasi kompetensi melalui uji kompetensi yang
diselenggarakan oleh lembaga sertifikasi profesi yang berwenang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
B. Revitalisasi Balai Latihan Kerja (BLK)
Berdasarkan data Kemenakertrans 2011, jumlah BLK yang sedang beroperasi
ada 237 BLK milik Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota terdiri 195 BLK
industri, 18 Balai Latihan Ketransmigrasian dan 24 Balai Pengembangan Balai
Pengembangan Produktivitas. Sedangkan Kemenakertrans mengelola 18 BLK
yang terdiri dari 11 BLK Industri, 6 Balai Latihan Ketransmigrasian dan 1 Balai
Pengembangan Balai Pengembangan Produktivitas. Sementara 58 BLK sedang
dibangun dan belum beroperasi.23
Peran BLK dalam meningkatkan kualitas TKW sangat besar, karena
itu BLK harus menjadi lembaga pelatihan berbasis kompetensi, tempat
uji kompetensi dan ISO serta menjadi balai layanan umum. Namun dalam
pelaksanaannya, banyak BLK yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan
jaman, baik dari segi kondisi bangunan, kelengkapan peralatan, serta jumlah
dan kualitas instruktur. Karena itu perlu dilakukan revitalisasi BLK agar mampu
meningkatkan kompetensi TKW. Ada tiga komponen dalam revitalisasi BLK,
yaitu peningkatan profesionalisme tenaga pengajar dan jumlah instruktur
pelatihan, peningkatan dan perbaikan peralatan pelatihan, serta perbaikan
sarana dan prasarana pelatihan.24 Tenaga pelatihan berperan penting karena
mempengaruhi penguasaan calon TKW terhadap materi yang diberikan.
Karena itu kualitas tenaga pelatihan dan instruktur harus benar-benar
22 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Nasional
bagian penjelasan.
23 Lima Komponen Utama Revitalisasi Balai Latihan Kerja, http://economy.okezone.com/read/2011/03/
24/320/438299/320/5-komponen-utama-revitalisasi-balai-latihan-kerja, diakses 6 November 2011.
24 Ibid.

58

Dinar Wahyuni

berkualitas dan profesional. Sasaran revitalisasi BLK dilakukan dengan cara


peningkatan kualitas program pelatihan berbasis kompetensi dan peningkatan
kualitas manajemen BLK.25 Guna mendukung program revitalisasi BLK,
Kemenakertrans mengalokasikan dana sebesar Rp 10 triliun. Dana tersebut
dipergunakan untuk memperbaiki fasilitas pelatihan, sarana prasarana serta
penataan kurikulum dan sumberdaya manusia tenaga instruktur.
Selain direvitalisasi, BLK juga perlu dilakukan reposisi, dengan cara
pemetaan dan pembangunan BLK sesuai kebutuhan. BLK Unit Pelaksana
Tingkat Pusat mempersiapkan kebutuhan tenaga kerja di dalam negeri dan
luar negeri sedangkan BLK Unit Pelaksana Tingkat Daerah mempersiapkan
tenaga kerja bagi perusahaan swasta di daerah. Melalui reposisi, BLK harus
menjadi lembaga pelatihan internasional yang disesuaikan dengan kebutuhan
pasar, khususnya luar negeri.26
C. Program Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas TKW, dilaksanakan pendidikan
dan pelatihan kerja yang memadai. Untuk keperluan itu, dibutuhkan biaya
yang tidak sedikit. Seringkali biaya menjadi hambatan bagi TKW untuk
berangkat ke luar negeri. Karena itu, pemerintah kemudian mengeluarkan
program KUR. Program KUR bertujuan membantu TKW dalam pembiayaan
proses penempatan kerja di luar negeri terutama pendidikan dan pelatihan,
memastikan TKW mendapatkan kontrak kerja yang jelas, mendorong TKW
untuk bekerja produktif dan mematuhi ikatan kontrak kerja dengan transparansi
pembayaran gaji melalui jasa perbankan.27 Anggaran program KUR berasal
dari APBN yang secara kumulatif mulai 2010-2014 sebesar Rp 10 triliun.
Adapun persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan dana KUR
tersebut adalah sebagai berikut :28
1. Berusia sekurang-kurangnya 18 tahun, dibuktikan dengan KTP atau akte
kelahiran/surat kenal lahir dari instansi berwenang.
2. Surat ijin suami/istri/orang tua/wali untuk bekerja di luar negeri.
3. Surat hasil medical check-up yang menyatakan fit untuk bekerja dari rumah
sakit/medical centre yang ditunjuk pemerintah.
25 Ibid.
26 Fungsi BLK, http://debuh.com/berita-berita-terbaru/fungsi-blk/55132/, diakses 6 November 2011.
27 TKI Dapat Kucuran Bantuan Kredit, http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/ketenagakerjaan/227-tkidapat-kucuran-bantuan-kredit, diakses 5 November 2011.
28 Ibid.

59

Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga

4. Berpendidikan sekurang-kurangnya lulus SLTP atau sederajat, dengan


bukti melampirkan salinan ijazah pendidikan terakhir.
5. Memiliki perjanjian penempatan dengan PPTKIS.
6. Memiliki perjanjian kerja dengan pengguna bagi TKI yang ditempatkan
oelh PPTKIS, pemerintah dan TKI yang bekerja secara perseorangan.
Penyaluran KUR dilakukan oleh TKW dibantu PPTKIS dengan mengajukan
aplikasi KUR kepada bank atau lembaga keuangan yang bekerjasama dengan
bank. Jangka waktu KUR maksimal sesuai dengan kontrak kerja dan tidak
melebihi 3 tahun. Tetapi TKI dapat mengajukan KUR untuk penempatan
kedua dan seterusnya selama masih bankable. Besarnya plafon kredit sampai
Rp 20 juta dengan bunga 22% per tahun, sedangkan plafon di atas 20 juta
mendapat bunga maksimal setara 14% per tahun.29
Program KUR harus dilaksanakan secara optimal guna peningkatan kualitas
kerja TKW di luar negeri. Kendala-kendala yang sering ditemui di lapangan
harus segera dicari solusinya. Selama ini bank kesulitan mengumpulkan
angsuran yang ditagihkan kepada TKW di luar negeri. Karena itu, perlu
diadakan kerja sama dengan perbankan di negara-negara penempatan TKW
dan saat ini sedang diupayakan oleh pemerintah. Kemudian penyaluran KUR
sekarang boleh dilakukan oleh lembaga keuangan dengan bekerjasama dengan
bank. Selain itu, mekanisme angsuran pinjaman bisa dibayarkan pihak kelaurga
TKW di daerah asal.

29 Ibid.

60

BAB IV
Kesimpulan

Pekerjaan PRT dianggap sebagai pekerjaan domestik yang tidak memerlukan


keahlian dan ketrampilan khusus dan pantas dilakukan perempuan. Karena
tidak memberikan kontribusi dalam pertumbuhan ekonomi secara signifikan
maka pekerjaan domestik dianggap sebagai pekerjaan yang tidak bernilai dan
tidak produktif. Nilai kerja PRT yang masih dipandang rendah, menyebabkan
muncul stereotipe negatif terhadap PRT. TKW PRT asal Indonesia digambarkan
rendah, mudah diakali, gampangan, bodoh, pemalas, menggunakan magic
dan guna-guna. Karena stereotipe yang disandang, TKW PRT kita seringkali
diperlakukan seperti budak.
Munculnya stereotipe negatif pada TKW PRT tidak terlepas dari rendahnya
tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan. Rendahnya pendidikan
akan mempengaruhi kualitas dari TKW tersebut. Dampak selanjutnya adalah
posisi tawar TKW PRT menjadi lemah. Posisi tawar TKW semakin rendah
ketika mereka tidak memiliki dokumen resmi, terutama saat mereka mendapat
masalah berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu dilakukan upaya-upaya
untuk meningkatkan kualitas TWK PRT.
Paradigma baru peningkatan kualitas TKW bertumpu pada tiga pilar,
yakni standar kompetensi kerja, pelatihan berbasis kompetensi dan sertifikasi
kompetensi oleh lembaga independen, yang diwujudkan melalui pendidikan
dan pelatihan kerja. Untuk bidang PRT, telah ditetapkan SKK sesuai kebutuhan
di negara penempatan.
Peran BLK dalam meningkatkan kualitas TKW sangat besar, karena itu BLK
harus menjadi lembaga pelatihan berbasis kompetensi, tempat uji kompetensi
dan ISO serta menjadi balai layanan umum. Salah satunya melalui revitalisasi
BLK yang mencakup peningkatan profesionalisme tenaga pengajar dan jumlah
instruktur pelatihan, peningkatan dan perbaikan peralatan pelatihan, serta
perbaikan sarana dan prasarana pelatihan. Selain direvitalisasi, BLK juga perlu
61

Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga

dilakukan reposisi, dengan cara pemetaan dan pembangunan BLK sesuai


kebutuhan.
Program KUR yang diluncurkan sejak 2010 harus dilaksanakan secara
optimal guna peningkatan kualitas kerja TKW di luar negeri. TKW dapat
memanfaatkan KUR guna pembiayaan proses penempatan TKW ke luar
negeri, terutama pendidikan dan pelatihan kerja. Kendala-kendala yang sering
ditemui di lapangan harus segera dicari solusinya.
Keberhasilan upaya peningkatan kualitas TKW PRT memerlukan
komitmen dan kerja keras dari berbagai pihak yang terkait, tidak terkecuali
DPR. DPR dapat terus memaksimalkan fungsinya dalam mendukung upaya
peningkatan kualitas TKW PRT. Dalam fungsi pengawasan, dilakukan
monitoring secara berkala terhadap kebijakan-kebijakan peningkatan kualitas
TKW PRT. Dengan demikian akan dihasilkan TKW yang mampu bersaing di
pasar kerja luar negeri.

62

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abdullah, Irwan, 2003, Sangkan Paran Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Budiman, Arief, 1985, Pembagian Kerja Secara Seksual : Sebuah Pembahasan
Sosiologis tentang Peran Wanita Dalam Masyarakat, Jakarta : Gramedia.
Dermatoto, Argyo dan Atik Catur Budiati, 2007, Kajian Mengenai Pembekalan
TKW yang akan Dikirim Ke Luar Negeri dalam rangka Penyusunan Kebijakan
Responsif Gender di Kabupaten Karanganyar, Laporan Penelitian, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Surakarta : Universitas Sebelas Maret.
Martin Sirait, George dkk, 2006, Hak Asasi Manusia Bagi Semua : Peran
Institusional Nasional Hak Asasi Manusia Dalam Melindungi Hak Asasi Buruh
Migran Tidak Berdokumen dan Buruh Migran Perempuan, Jakarta : Komnas
Perempuan.
Naovalitha, Tita, 2007, Kompleksitas Mekanisme Penempatan BMP Ke Luar Negeri
: Beberapa Permasalahan dan Alternatif Solusinya, Jakarta : Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan World Bank.
Nasution, Arif. 1999, Globalisasi dan Migrasi antar Negara, Bandung: Kerjasama
Yayasan Adikarya IKAPI.
Sudjana, Eggi, 2009, Melepas Ranjau TKI : Strategi Pemberdayaan Buruh Migran,
Jakarta: RMBOOKS.
Ujianto Singgih Prayitno, 2009, Tantangan dan Agenda Pembangunan Sosial:
Pemenuhan Hak Dasar Manusia Dalam Didiet Widiowati (Ed.), Tantangan
Pembangunan Sosial Di Indonesia, Jakarta : Pusat Pengkajian Pengolahan
Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI.

63

Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga

Peraturan Perundang-undangan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. 104/A/Men/2002 tentang Penempatan
Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri Pasal 49.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2006 tentang
Sistem Pelatihan Nasional bagian penjelasan.
Internet
Ade Irawan, BPS: Jumlah TKI Arab Saudi Capai 1,5 Juta Orang, http://finance.
detik.com/read/2011/06/28/195709/1670973/4/bps-jumlah-tki-arab saudicapai-15-juta-orang, diakses 4 November 2011.
Fungsi BLK, http://debuh.com/berita-berita-terbaru/fungsi-blk/55132/, diakses 6
November 2011.
Muhammad Iqbal, Menimbang Moratorium TKI PRT Ke Arab Saudi, http://
hukum.kompasiana.com/2011/06/25/menimbang-moratorium-tki-prt-ke-arabsaudi/, diakses 4 November 2011.
Lima Komponen Utama Revitalisasi Balai Latihan Kerja, http://economy.okezone.
com/read/2011/03/24/320/438299/320/5-komponen-utama-revitalisasibalai-latihan-kerja, diakses 6 November 2011.
Pekerja Rumah Tangga, http://jurnalperempuan.com/2011/05/pekerja-rumahtangga-domestic-workers/, diakses 5 November 2011.
Sepanjang 2010, Tercatat 5.495 TKI Korban Kekerasan, http://www.bnp2tki.
go.id/berita-mainmenu-231/3483-sepanjang-2010-tercatat-5495-tki-korbankekerasan.html, diakses 4 November 2011.
TKI Dapat Kucuran Bantuan Kredit, http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/
ketenagakerjaan/ 227-tki-dapat-kucuran-bantuan-kredit, diakses 5 November
2011.
TKI Masih Didominasi Kaum Perempuan, http://kampungtki.com/baca/27581,
diakses 4 November 2011.

64

BAGIAN III
PEMBATALAN SYARAT PENDIDIKAN MINIMUM
BAGI CALON TENAGA KERJA INDONESIA OLEH
MAHKAMAH KONSTITUSI
Luthvi Febryka Nola1

1 Penulis adalah calon peneliti Bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pelayanan Data, dan Informasi
(P3DI)Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat e-mail: febi_80@yahoo.com.

BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Amandemen ketiga Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) yang disyahkan pada tanggal 9
November 2011 telah menghasilkan lembaga baru dalam tata kenegaraan di
Indonesia yaitu Mahkamah Konstitusi (MK). Pembentukan MK bertujuan
untuk memperkuat rumusan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa, negara Indonesia adalah negara hukum. Menurut Albert
Van Dicey,2 ada 3 unsur utama dari negara hukum yaitu supremasi hukum,
persamaan kedudukan hukum bagi setiap warga negara dan perlindungan
terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). UUD Negara RI Tahun 1945 sebelum
amandemen telah mengandung 3 unsur negara hukum ini, akan tetapi karena
tidak adanya pengawasan mengakibatkan banyak produk peraturan perundangundangan dibawah UUD Tahun 1945 yang bertentangan dengan UUD Negara
RI Tahun 1945. Sehingga akhirnya konsep negara hukum menjadi tidak tercapai
karena banyak hak-hak warga negara yang dilanggar.
Belajar dari kondisi ini akhirnya dibentuklah MK yang bertugas mengawasi
konstitusi melalui salah satu kewenangannya menguji Undang-Undang
(UU) terhadap UUD Negara RI Tahun 1945.3 Ketika suatu UU dimintakan
pengujian maka MK akan mempertimbangkan faktor pembentukannya, materi
dan muatan UU yang dianggap bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun
1945.4 Faktor-faktor inilah kemudian yang mendasari keputusan MK untuk
membatalkan UU secara keseluruhan atau hanya beberapa bagian dari UU itu
saja.
2 Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, Bandung:
Alumni, 2008, hal.15.
3 Pasal 24C ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4 Efik yusdiansyah, Implikasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi terhadap Pembentukan Hukum Nasional
dalam Kerangka Negara Hukum, Bandung: CV Lubuk Agung, 2010, hal.94.

67

Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi

Semenjak dibentuk, MK telah menerima banyak perkara pengujian UU


termasuk permohonan pengujian terhadap UU No. 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UUTKI).
Setidaknya terdapat 2 putusan penting MK berkenaan dengan persyaratan
calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Putusan pertama tentang pembatalan
persyaratan pendidikan minimum, sedangkan putusan kedua penetapan
persyaratan usia calon TKI. Putusan kedua bukan pembatalan seperti putusan
pertama melainkan penetapan karena dianggap persyaratan usia calon TKI
tidak bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945.
Putusan MK tentang pembatalan syarat pendidikan calon TKI menarik
untuk dicermati karena banyak yang beranggapan bahwa putusan ini tidak
berpihak terhadap calon TKI/TKI akan tetapi lebih menguntungkan bagi
Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS). Sebelum dibatalkannya
persyaratan minimum pendidikan bagi calon TKI oleh MK, PPTKIS
kesulitan untuk memberangkatkan calon TKI yang berpendidikan dibawah
SLTP. Namun semenjak tidak adanya pembatasan pendidikan, 50% TKI
berpendidikan Sekolah Dasar (SD).5 Bahkan pada tahun 2009, Jumlah TKI
yang berpendidikan SD mencapai 70% dari jumlah TKI secara keseluruhan.6
Kelonggaran pengaturan ini didukung oleh kondisi ekonomi Indonesia yang
tidak kunjung membaik, kurangnya lapangan pekerjaan di dalam negeri dan
meningkatnya permintaan luar negeri terhadap TKI. Sehingga meningkatkan
minat Warga Negara Indonesia (WNI) untuk bekerja di luar negeri.
Orang yang buta huruf pun akhirnya dapat menjadi TKI. Data tahun
2009 yang diberikan oleh Migran Research International menyatakan bahwa
23%-24% buruh migran asal Indonesia yang rata-rata dikirim per bulan ke
Malaysia, ternyata buta huruf dan sebagian besar bekerja sebagai pembantu
rumah tangga (PRT).7 Kondisi tidak bisa baca tulis tentu sangat berbahaya bagi
diri pribadi mereka karena mereka harus melewati proses yang cukup panjang
untuk menjadi seorang TKI belum lagi harus terbang lintas negara dan harus
berhadapan dengan majikan serta aturan negara penempatan yang masih asing.
Sumiati, TKI yang disiksa majikannya di Arab Saudi pada bulan November 2010,
5 Ita Lismawati F. Malau & Luqman Rimadi, Kemenakertrans Disorot, Ini Kata Muhaimin, http://
nasional.vivanews.com/news/read/249494-kemenakertrans-disorot--ini-kata-muhaimin, diakses 12
Oktober 2011.
6 Marumpa, Tidak Ada Alasan Melarang TKI ke Luar Negeri, http://marumpa.wordpress.com/2009/06/
diakses 12 Oktober 2011.
7 24% TKI ke Malaysia Buta Huruf, http://matanews.com/2009/06/22/24-tki-ke-malaysia-buta-huruf/,
diakses 12 Oktober 2011.

68

Luthvi Febryka Nola

merupakan salah satu contoh TKI buta huruf yang mengalami penyiksaan.8
Calon TKI/TKI yang bisa baca tulis tetapi belum menamatkan pendidikan
SLTP juga rawan terhadap tindak kekerasan. Seperti kasus penyiksaan dan gaji
tidak dibayar yang menimpa Tuti, TKI asal Banten yang lulusan SD.9 Sehingga
kemungkinan adanya hubungan tingkat pendidikan dengan kemampuan
sesorang dalam melindungi diri sangat besar. Kemungkinan ini sepertinya tidak
menjadi salah satu pertimbangan bagi MK dalam memutuskan pembatalan
persyaratan pendidikan bagi calon TKI.
B. Permasalahan
Fenomena-fenomena yang terjadi pasca putusan MK tentang pembatalan
syarat pendidikan minimum bagi calon TKI membuat penulis tertarik untuk
memperdalam permasalahan TKI melalui pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah perlindungan terhadap TKI menjadi salah satu pertimbangan MK
dalam membatalkan syarat pendidikan minimum bagi calon TKI?
2. Bagaimanakah pengaruh negatif pembatalan syarat pendidikan minimum
oleh MK bagi perlindungan terhadap TKI dewasa ini?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa:
1. Pertimbangan MK dalam membatalkan syarat pendidikan minimum bagi
calon TKI.
2. Pengaruh negatif pembatalan syarat pendidikan minimum oleh MK bagi
perlindungan terhadap TKI.
Penulis berharap mampu memberi masukan dalam rangka revisi UUTKI.
Selain itu hasil penulisan ini diharapkan menjadi masukan akademis dan dapat
dimanfaatkan sebagai bahan referensi tambahan terkait masalah TKI.

8 Oryza A. Wirawan, Kadisnakertrans Tantangan Data Konkrit TKI Hadir, http://www.beritajatim.com/


detailnews.php/8/Peristiwa/2011-06-28/104532/Kadisnakertrans_Tantang_Data_Kongrit_TKI_
Dihadirkan, diakses 12 Oktober 2011.
9 Tak Kapok, TKI Korban Penganiayaan Majikan Kembali Berangkat ke Arab Saudi, http://www.republika.
co.id/berita/nasional/umum/11/05/12/ll2j29-tak-kapok-tki-korban-penganiayaan-majikan-kembaliberangkat-ke-arab-saudi, diakses 12 Oktober 2011.

69

Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi

D. Metodologi Penulisan
Penulisan ini merupakan penulisan deskriptif yang akan memberikan
gambaran yang lebih jelas tentang situasi sosial,10 termasuk mengenai dampak
putusan MK tentang pembatalan syarat pendidikan minimum calon TKI.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam tulisan ini adalah studi
kepustakaan dengan cara mengkaji atau mengutip berbagai teori, pendapat, data
dari sejumlah buku dan bahan-bahan rujukan lainnya yang dianggap relevan.11
Data yang telah dikumpulkan tersebut kemudian dianalisa secara kualitatif
dengan menggunakan data yang diperoleh dari hasil studi perpustakaan.
Dalam menganalisa data yang tidak secara jelas dan tegas dianut dalam
suatu peraturan perundang-undangan, penulis memperhatikan beberapa
penafsiran hukum yang dilakukan oleh hakim dan para ahli hukum. Penafsiran
tersebut adalah:12
1. Penafsiran substantif adalah mencocokkan fakta kasus dengan ketentuan
UU yang dilanggar.
2. Penafsiran sosiologis adalah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan
sosial dalam masyarakat.
3. Penafsiran historis berdasarkan sejarah dari pembentukan UU yang
bersangkutan atau sejarah hukum.

10 Mohammad Mulyadi, Penelitian Kuantitatif & Kualitatif serta Praktek Kombinasinya dalam Penelitian
Sosial, Jakarta: Publica Institute, 2010, hal. 53.
11 Ibid., hal. 161.
12 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, hal. 141-144.

70

BAB II
Kerangka Pemikiran

A. Putusan MK No. 019-020/PUU-III/2005


Putusan MK No. 019-020/PUU-III/2005 menyangkut 2 perkara, perkara
pertama adalah perkara No.019/PUU-III/2005 (perkara No.19) dan perkara
No. 020/PUU-III/2005 (perkara No. 20). Pemohon dalam perkara No.19
adalah asosiasi PPTKIS seperti: Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia
(APJATI) dan Asosiasi Jasa Penempatan Asia Pasific (AJASPAC). Sedangkan
pemohon untuk perkara No. 20 adalah yayasan Indonesia Manpower Watch
(IMW) yang diwakili oleh Soekitjoe J.G (Ketua Umum); Dicky R. Hidayat
(Wakil Ketua Umum) dan Kevin Givanni Abay (Sekretaris Umum). Perwakilan
dari IMW ini menyatakan bahwa mereka bertindak atas nama Yayasan IMW,
TKI serta PPTKIS.
Uji materil yang dimintakan oleh pemohon pada perkara No. 19 dan
No. 20 meliputi beberapa pasal dalam UUTKI. Berkaitan dengan ketentuan
Pasal 35 huruf d UUTKI, kedua pemohon sepakat bahwa ketentuan tersebut
dianggap telah bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD Negara RI
Tahun 1945. Pasal 35 huruf d UUTKI yang berbunyi, Perekrutan calon TKI oleh
pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah
memenuhi persyaratan ... d) berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (SLTP) atau yang sederajat. Sedangkan Pasal 28H ayat (2) UUD
Negara RI Tahun1945 berbunyi, Setiap orang berhak mendapat kemudahan
dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan.
Pemohon juga berpendapat bahwa ketentuan Pasal 35 huruf d UUTKI
telah mengakibatkan seseorang yang telah cukup dewasa tidak dapat bekerja di
luar negeri karena tidak memenuhi syarat pendidikan minimal SLTP. Ketentuan
ini secara tidak langsung merugikan pemohon karena 62% angkatan kerja di
Indonesia hanya lulusan SD atau sederajat.
71

Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi

Sedangkan pandangan MK terhadap ketentuan Pasal 35 huruf d UUTKI


berkaitan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 mengenai hak
untuk hidup sebagai salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun. Menurut MK, pelaksanaan hak untuk hidup tersebut harus didukung
oleh jaminan terhadap hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud
oleh Pasal 28D ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945. Jaminan terhadap hak
untuk bekerja akan membantu manusia untuk bertahan hidup dan mendapat
perlindungan terhadap hak-hak lainnya.
Selain itu MK juga berpandangan bahwa ketentuan tentang syarat tingkat
pendidikan bagi seseorang yang akan bekerja di luar negeri, sebagaimana
tercantum dalam Pasal 35 huruf d UUTKI, harus juga dilihat dari sudut
pandang adanya jaminan hak untuk bekerja. Hak untuk bekerja dijamin oleh
Pasal 27 ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang berkait erat dengan Pasal
28A UUD Negara RI Tahun 1945, terutama hak atas kehidupan, Pasal 28H
ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 hak atas hidup sejahtera lahir batin dan
Pasal 28J ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 tentang pembatasan hak dan
kebebasan.
Untuk ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 menyatakan
bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan UU dengan maksud untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Lebih lanjut MK berpendapat bahwa batasan tingkat pendidikan (SLTP) hanya
dapat dibenarkan apabila persyaratan pekerjaan memang memerlukan hal
tersebut. Pembatasan tingkat pendidikan di luar persyaratan yang ditentukan
oleh pekerjaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 35 huruf d UUTKI justru
tidak mempunyai dasar alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond) menurut Pasal
28J ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945.
Lagi pula, syarat pendidikan dalam Pasal 35 huruf d UUTKI menjadi tidak
relevan apabila dikaitkan dengan kewajiban konstitusional Pemerintah untuk
membiayai pendidikan dasar sesuai dengan Pasal 31 ayat (2) UUD Negara RI
Tahun 1945. Seandainya ketentuan tentang pendidikan dasar ini telah dipenuhi
oleh Pemerintah, dengan sendirinya angkatan kerja Indonesia sudah mencapai
tingkat pendidikan minimal SLTP.

72

Luthvi Febryka Nola

Berkenaan dengan legalitas pemohon, Hakim Konstitusi I Dewa Gede


Palguna berpendapat bahwa sesungguhnya tidak terdapat hak atau kepentingan
konstitusional pemohon dalam perkara ini karena syarat pendidikan dibebankan
kepada calon TKI. Sehingga, seandainya pun dianggap ada inkonstitusionalitas
pada ketentuan tersebut, maka yang memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan permohonan pengujian syarat pendidikan adalah calon
TKI/TKI, bukan pemohon. Oleh karena itu, dalil para pemohon sepanjang
menyangkut hal tersebut seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Akhirnya MK memutuskan perkara No. 20 tidak dapat diterima dengan
alasan legal standing pemohon. Sedangkan untuk perkara No.19 dikabulkan
terkait pengujian Pasal 35 huruf d UUTKI karena MK menganggap bertentangan
dengan UUD Negara RI Tahun 1945.
B. Teori Pengujian UU terhadap UUD
Pengujian terhadap peraturan perundang-undangan dikenal sebagai judicial
review. Pasal 24C UUD Negara RI Tahun 1945 menyerahkan kewenangan
melakukan judicial review UU terhadap UUD kepada MK. Putusan judicial
review MK ini bersifat final dan mengikat. Pengujian terhadap peraturan
perundang-undangan dikelompokkan pada 2 jenis yaitu pengujian formal
(formele toetsingrecht) dan pengujian materill (materiele toetsingrecht). Pengujian
formal adalah menguji masalah prosedural berkenaan dengan legalitas kopetensi
institusi yang membuatnya, sedangkan pengujian materiil merupakan pengujian
isi dari peratuan perundang-undangan apakah bertentangan dengan peraturan
yang derajatnya lebih tinggi dan/atau apakah suatu kekuasaan tertentu berhak
mengeluarkan suatu peraturan tertentu.13
Proses pengujian UU terhadap UUD sangat dipengaruhi oleh penafsiran
terhadap UUD itu sendiri. Perbedaan aliran penafsiranlah yang melahirkan
adanya permohonan pengujian UU terhadap UUD. Menurut Jimly
Asshiddiqie,14 terdapat 2 teori mengenai penafsiran UUD, yaitu:
1. Aliran orisinalisme, yang memahami teks konstitusi dengan mengandalkan
kekuatan bahasa atau kadang-kadang cenderung menafsirkan teks konstitusi
hanya secara harfiahnya saja.

13 Efik Yusdiansyah, Ibid., hal. 76.


14 Jimly Asshiddiqie, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Jakarta: Ind Hill Co., 1998, hal. 3745.

73

Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi

2. Aliran konstektualisme adalah pandangan yang lebih mengutamakan


nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam teks konstitusi dan
menghubungkannya dengan moralitas konvensional sekarang.
Menurut Efik Yusdiansyah putusan MK akan berdampak pada proses
pembentukan hukum oleh eksekutif dan legislatif.15 Adapun implikasi terhadap
legislatif adalah:16
1. Mengukuhkan konstitusionalitas suatu UU, sehingga keabsahan UU
tersebut semakin kuat. Faktor konstitusionalitas adalah keharusan materi
muatan UU tidak menyimpang dari materi UUD. Dampaknya adalah
ketaatan terhadap UU oleh masyarakat dan pemerintah akan tinggi karena
menganggap putusan MK tersebut telah sejalan dengan amanat dari UUD
Negara RI Tahun 1945. Ketaatan yang tinggi ini akan melahirkan tertib
hukum yang baik dalam masyarakat dan pemerintah. Putusan pemerintah
yang sesuai dengan putusan MK ini akan dianggap sebagai sikap yang baik
dan adil.
2. Meningkatkan kehati-hatian lembaga legislatif dalam membuat UU
supaya tidak terlalu banyak memperdebatkan masalah kepentingan fraksi
masing-masing dengan mengabaikan konstitusionalitas dari UU. Selain itu
pembuat UU agar selalu memperhatikan nilai-nilai dasar dalam hukum
berupa kesamaan, kebebasan dan solidaritas dalam setiap pembentukan
UU.
Sedangkan implikasi terhadap pembentukan hukum oleh lembaga
eksekutif dapat bersifat langsung maupun tidak langsung.17 Implikasi langsung
berhubungan dengan diadobsinya penggunaan metode penafsiran konstitusi
MK oleh eksekutif dalam membuat peraturan pelaksana dari suatu UU.18
Sedangkan implikasi tidak langsung berkaitan dengan kewenangan yang
dimiliki eksekutif dalam pembentukan materi muatan peraturan perudangundangan yang merupakan pendelegasian dari UU yang dibuat oleh lembaga
legislatif.19 Pembentukan peratuan perundang-undangan oleh eksekutif
bergantung kepada UU, sehingga apabila: 20
15
16
17
18
19
20

Efik Yusdiansyah, Op.Cit., hal. 156.


Ibid., hal. 165-168.
Ibid., hal. 171-173.
Ibid.
Ibid.
Ibid.

74

Luthvi Febryka Nola

1. UU dibatalkan seluruhnya oleh MK maka eksekutif harus mencabut semua


peraturan pelaksana dari UU tersebut.
2. Hanya pasal tertentu yang dibatalkan dan peraturan pelaksananya
melaksanakan pasal yang dibatalkan itu, konsekwensinya adalah eksekutif
harus mencabut peraturan pelaksana yang melaksanakan pasal dari UU
yang dinyatakan tidak berlaku.
3. Pasal tertentu yang dibatalkan sementara peraturan pelaksananya
melaksanakan pasal yang lain maka aturan pelaksana itu masih tetap
berlaku.
C. Perlindungan TKI
Pasal 1 angka 4 UU TKI telah memberikan definisi tentang perlindungan
TKI yaitu segala upaya untuk melindungi kepentingan calon TKI/TKI dalam
mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja. Namun
berdasarkan pengkajian terhadap UUTKI yang dilakukan oleh tim peneliti
ECOSOC menyatakan bahwa UUTKI tidak mengatur secara jelas kerangka
perlindungan sebagaimana dimaksud dalam judul dan ketentuan umum sehingga
mengisyaratkan tidak adanya perlindungan yang memadai, komprehensif dan
koheren.21 Lebih lanjut hasil penelitian tersebut menyatakan jika perlindungan
tidak ada, maka yang terjadi adalah dominasi urusan pemerintah dengan pihak
pebisnis swasta.22
Secara hukum, perlindungan meliputi perlindungan akan harkat dan
martabat serta pengakuan terhadap HAM yang dimiliki oleh subjek hukum
di dalam suatu negara berdasarkan perlindungan hukum dari kesewenangwenangan.23 Menurut Umu Hilmy, Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945
merupakan landasan dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum
di Indonesia.24 Konsep perlindungan HAM banyak tertuang dalam UUD Negara
RI Tahun 1945 terutama pada Pasal 28 huruf A sampai dengan J. Tindakan
pemerintah harus bertumpu dan bersumber dari konsep perlindungan dan
pengakuan terhadap HAM.25 Perlindungan hukum ada dua macam, yaitu:
21 Sri Palupi dkk., Atase Tenaga Kerja dan Perlindungan TKI antara Indonesia-Singapura-Malaysia, Jakarta:
The Institute for Ecosoc Rights, 2010, hal. 390.
22 Ibid.
23 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1987, hal. 205.
24 Umu Hilmy, Urgensi Perubahan UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di
Luar Negeri, Makalah dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX pada tanggal 14 Desember
2010, hal. 6-9.
25 Ibid., hal. 9.

75

Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi

1. Perlindungan hukum preventif yang memberikan kesempatan untuk


mengajukan keberatan atau pendapat sebelum suatu keputusan pemerintah
mendapat bentuk yang devinitif, tujuan dari perlindungan ini adalah untuk
mencegah munculnya sengketa antara pemerintah dengan rakyat.
2. Perlindungan hukum represif yaitu perlindungan yang bertujuan untuk
menyelesaikan sengketa. Perlindungan ini dilakukan oleh lembaga peradilan,
yaitu peradilan umum dan peradilan administrasi di Indonesia.26
Adapun permasalahan pokok dalam perlindungan TKI menurut Sri Palupi
ada sepuluh macam, yaitu:27
1. Perekrutan terkait masalah percaloan, perekrutan ilegal, pemalsuan
dokumen dan perdagangan orang.
2. Rendahnya kualitas pendidikan dan pelatihan.
3. Lemahnya pendataan dan pengawasan perlindungan TKI.
4. Lemahnya transparansi dan akuntabilitas manajemen migrasi kerja serta
pengawasan oleh masyarakat.
5. Minimnya akses TKI untuk mendapatkan keadilan.
6. Ketiadaan sistem pembiayaan penempatan.
7. Sistim asuransi dan jaminan sosial yang tidak berpihak terhadap TKI.
8. Lemahnya kelembagaan perlindungan TKI.
9. Sistem pemulangan yang tidak menguntungkan bagi TKI.
10. Ketiadaan layanan pendampingan pengelolaan hasil kerja dan peningkatan
keterampilan (reintegrasi).

D. Pendidikan Kemasyarakatan
Pendidikan adalah usaha manusia untuk menumbuhkan dan
mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani
sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan.28
Pendidikan tidak hanya dipandang sebagai usaha pemberian informasi dan
pembentukan keterampilan saja, namun diperluas sehingga mencakup usaha
untuk mewujudkan keinginan, kebutuhan, dan kemampuan individu sehingga
tercapai pola hidup pribadi dan sosial yang memuaskan, pendidikan bukan
26 Ibid.
27 Sri Palupi, Arah Perubahan UU 39/2004 untuk Efektifitas Perlindungan TKI Sesuai Standar, Makalah
dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hal. 14-15.
28 Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan: Komponen MKDK, Jakarta: Rineka Cipta, 2010, hal. 2.

76

Luthvi Febryka Nola

semata-mata sarana untuk persiapan hidup yang akan datang akan tetapi untuk
kehidupan anak sekarang yang sedang mengalami perkembangan menuju
tingkat kedewasaan.29
Dewasa ialah dapat bertanggung jawab terhadap diri sendiri baik secara
biologis, phisikologis, pedagogis dan sosiologis. Biologis berarti seseorang
tersebut telah akil baliq. Phisikologis berarti bermacam-macam fungsi
kejiwaannya telah berkembang sepenuhnya, matang secara sosial dan moral.
Pedagogis artinya apabila seseorang telah menyadari dan mengenal diri sendiri
atas tanggung jawab sendiri. Sosiologis artinya memenuhi syarat untuk hidup
bersama yang telah ditentukan oleh masyarakat, misalnya telah bisa saling
menghormati, tenggang rasa, harmonis dan mau membela kepentingan
bersama.30
Pendidikan bagi kehidupan manusia merupakan kebutuhan mutlak yang
harus dipenuhi sepanjang hayat. 31 Oleh sebab itu saat ini tengah dikembangkan
konsep pendidikan kemasyarakatan yaitu usaha sadar mengembangkan
kemampuan sosial, kultural keagamaan, kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, keterampilan, keahlian (profesi), yang dapat dimanfaatkan oleh rakyat
Indonesia untuk mengembangkan dirinya dan membangun masyarakat.
Pendidikan kemasyarakatan dapat dilaksanakan oleh berbagai lembaga
dengan berbagai program pendidikan, baik oleh pemerintah, pribadi, keluarga,
organisasi dan himpunan dalam masyarakat.32 Jalur pendidikan kemasyarakatan
ini tidak terikat dengan formalitas akademik.33 Secara konkret pendidikan
kemasyarakatan dapat memberikan:34
1. Kemampuan profesional untuk mengembangkan karier melalui kursus
penyegaran, penataran, lokakarya, seminar, konferensi ilmiah dan
sebagainya.
2. Kemampuan teknis akademis dalam suatu sistim pendidikan nasional,
seperti, sekolah terbuka, kursus tertulis, pendidikan melalui radio dan
televisi.
3. Kemampuan mengembangkan kehidupan beragama melalui pesantren,
pengajian, pendidikan agama di mesjid, gereja, sekolah minggu dan
sebagainya
29
30
31
32
33
34

Ibid., hal. 5.
Ibid., hal. 6.
Ibid., hal. 2.
Ibid., hal. 34.
Ibid., hal. 33.
Ibid., hal. 34-35.

77

Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi

4. Kemampuan mengembangkan kehidupan sosial budaya melalui sanggar


seni, teater, olah raga, bela diri, lembaga pendidikan spiritual dan
sebagainya
5. Keahlian dan keterampilan melalui sistem magang untuk menjadi ahli
bangunan dan sebagainya.
Pendidikan kemasyarakatan termasuk juga pendidikan formil. Jhon Vaizey
menganggap penting pendidikan formil karena kepandaian yang dimiliki
oleh seseorang adalah hasil dari pendidikan dan latihan formil yang biasanya
diberikan oleh sekolah dan perguruan tinggi.35 Walaupun dia tidak membantah
bahwa sebagian besar dipelajari pada waktu bekerja. Di negara-negara dengan
tingkat pendidikan formil yang tinggi ada suatu kesediaan untuk menerima
perubahan dan kesediaan untuk mengembangkan perubahan tersebut, hal
mana sangat berlawanan dengan konservatisme tradisionil dari masyarakat
lainnya.36

35 Jhon Vaizey, Pendidikan di Dunia Modern, diterjemahkan oleh L.P. Murtini, Jakarta: Gunung Agung
1987, hal. 33.
36 Ibid.

78

BAB III
Pembahasan

A. Pertimbangan Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Calon TKI


oleh MK
Pengajukan judicial review terhadap Pasal 35 huruf d UUTKI tentang
persyaratan pendidikan minimum bagi calon TKI diajukan oleh asosiasi
PPTKIS. Mereka beranggapan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan
beberapa pasal tentang HAM dalam UUD Negara RI Tahun 1945. Oleh
MK, permohonan tersebut dilakukan pengujian secara materil sesuai dengan
permintaan pemohon. Pertimbangan materil yang diberikan MK terhadap
Pasal 35 huruf d UUTKI adalah:37
1. Keberadaan Pasal 35 huruf d UUTKI secara tidak langsung bertentangan
dengan konsep hak hidup yang dirumuskan dalam Pasal 28I ayat (1) UUD
Negara RI Tahun 1945. Hak hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun dan harus didukung oleh jaminan terhadap hak untuk bekerja.
2. Pemberlakuan Pasal 35 huruf d UUTKI juga bertentangan dengan konsep
keadilan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28D ayat (2) UUD Negara RI
Tahun 1945. Pemberlakukan Pasal ini hanya akan menutup kesempatan
bagi sekelompok warga negara untuk mendapatkan pekerjaan karena tidak
memenuhi syarat yang dibebankan oleh UU.
3. Ketentuan Pasal 35 huruf d juga bertentangan dengan jaminan hak untuk
bekerja sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2); Pasal 28A hak untuk
mempertahankan hidup dan kehidupan dan Pasal 28H ayat (1) UUD Negara
RI Tahun 1945 hak atas hidup sejahtera lahir batin. Pembatasan syarat
pendidikan minimum membuat penduduk yang tidak memenuhi syarat
pendidikan tidak dapat kesempatan untuk bekerja di luar negeri. Padahal
tidak semua pekerjaan mengharuskan syarat pendidikan tertentu.

37 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 019-020/PUU-III/2005

79

Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi

4. Menurut Pasal 28J ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 pembatasan oleh
UU hanya dapat dilakukan dengan maksud untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis. Pembatasan pendidikan minimum dalam Pasal 35 huruf d
UUTKI bukanlah bagian dari pembatasan yang dimaksudkan Pasal 28J ayat
(2) UUD Negara RI Tahun 1945. Mahkamah berpendapat bahwa batasan
tingkat pendidikan (SLTP) hanya dapat dibenarkan apabila persyaratan
pekerjaan memang memerlukan hal tersebut.
5. Pasal 35 huruf d UUTKI menjadi tidak relevan apabila dikaitkan dengan
kewajiban konstitusional Pemerintah untuk membiayai pendidikan
dasar sesuai dengan Pasal 31 ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945. MK
berpendapat, seandainya program pendidikan dasar 9 tahun telah berhasil
dijalankan oleh Pemerintah, dengan sendirinya angkatan kerja Indonesia
sudah mencapai tingkat pendidikan minimal SLTP.
Kelima pertimbangan MK ini sangat perpedoman pada pasal-pasal
perlindungan HAM dalam UUD Negara RI Tahun 1945. MK berusaha
menafsirkan Pasal 35 huruf d UUTKI menggunakan teori penafsiran
kontekstualisme dengan mengutamakan nilai-nilai fundamental yang terkadung
dalam UUD Negara RI Tahun 1945 yaitu berkaitan dengan hak hidup, perlakuan
yang adil, pekerjaan yang layak, teori pembatasan hak dan hak memperoleh
pendidikan dasar. Selain itu MK juga berusaha menginterpretasikan UUTKI dan
nilai-nilai fundamental tersebut secara sosiologis dengan mempertimbangkan
aspek keadilan dalam masyarakat.
Adapun pertimbangan pertama, mengenai perumusan hak untuk hidup.
Pertimbangan ini kurang sesuai dengan kondisi Indonesia saat putusan MK
dibuat karena Indonesia bukan berada dalam posisi wabah kelaparan yang
membuat orang kehilangan hak hidup ketika tidak diberikan kesempatan
untuk bekerja ke luar negeri. Justu ketika warga negara yang tidak atau kurang
berpendidikan dikirimkan ke luar negeri akan membahayakan hak hidup dari
TKI itu sendiri. Hal ini terbukti dengan banyaknya TKI yang pulang ke tanah
air dalam kondisi tidak bernyawa.
Pertimbangan kedua, berhubungan dengan pembatasan syarat usia
yang dianggap bertentangan dengan konsep keadilan dalam mendapatkan
pekerjaan. Konsep keadilan memang terabaikan karena tidak semua pekerjaan
80

Luthvi Febryka Nola

mempersyaratkan pendidikan minimal SLTP. Sehingga pembatasan pendidikan


tidak akan adil bagi orang yang akan bekerja pada pekerjaan yang tidak
mempersyaratkan pendidikan dibawah SLTP.
Pertimbangan ketiga, bahwa pembatasan minimum pendidikan akan
membatasi hak orang untuk bekerja. Pertimbangan ini sejalan dengan kondisi
dalam negeri yang minim lapangan pekerjaan dan rendahnya upah, sedangkan
penawaran kerja dari luar negeri sangat tinggi dan menjanjikan upah yang lebih
baik. Kondisi ini tentu membuat orang yang tidak dapat bekerja di luar negeri
karena tidak memenuhi persyaratan pendidikan, akan merasa dirugikan karena
kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Pertimbangan keempat, berkaitan dengan tidak terpenuhinya syarat
pembatasan hak sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD Negara
RI Tahun 1945. Pasal tersebut hanya memperbolehkan pemberlakuan
pembatasan dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pembatasan persyaratan
pendidikan dianggap MK tidak memenuhi pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum sehingga menjadi sesuatu yang harus
dibatasi. Alasan ini sangat tepat karena secara moral dan agama, manusia
justru dianjurkan untuk bekerja dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sedangkan masalah keamanan adalah merupakan tanggung jawab negara untuk
melindungi warga negaranya sebagaimana dinyatakan dalam Alinea keempat
UUD Negara RI Tahun 1945. Perlindungan itu tidak dibatasi apakah warga
negara tersebut ada di dalam negeri atau di luar negeri. Ketertiban umum juga
tidak bisa dijadikan alasan karena persyaratan pendidikan justru membatasi
penduduk untuk bekerja. Sedangkan negara tidak mampu menyediakan
lapangan pekerjaan dan pembiayaan khusus bagi penduduk yang tidak bekerja.
Akibatnya pengangguran akan meningkat dan berbahaya bagi ketertiban
umum.
Pertimbangan kelima adalah pembatasan persyaratan pendidikan tidak
dapat dilakukan karena pemerintah belum berhasil dengan program pendidikan
dasar sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 31 ayat (2) UUD Negara RI
Tahun 1945. Pembatasan usia benar-benar tidak berpihak pada masyarakat
kecil karena disatu sisi mereka kesulitan sekolah karena belum berhasilnya
pemerintah namun disisi lain mereka dilarang bekerja keluar negeri karena
tidak memenuhi persyaratan pendidikan.
Dari kelima pertimbangan yang diberikan oleh MK terlihat bahwa kecuali
pertimbangan pertama, telah memenuhi unsur perlindungan terhadap HAM
81

Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi

dalam UUD Negara RI Tahun 1945. MK melihat perlindungan itu dilihat


dari sisi pekerjaan, keadilan, pendidikan dan pembatasan. Berdasarkan
hakikat konstitusional dari suatu negara hukum maka konsep perlindungan
membuat kekuasaan pemerintahan menjadi terbatas. Pemerintahan tidak
dapat sewenang-wenang dalam melanggar HAM warga negara. Penetapan syarat
minimum pendidikan bagi TKI disaat pemerintah belum mampu memberikan
pendidikan yang layak bagi setiap warga negara dianggap sebagai tindakan
sewenang-wenang. Oleh sebab itu sebagai bentuk perlindungan hukum dari
tindakan sewenang-wenang terhadap warga negara maka MK berwenang
memutus pembatalan syarat pendidikan minimum bagi TKI.
Putusan MK berkaitan dengan pembatalan persyaratan pembatasan
pendidikan bagi TKI merupakan usaha untuk melakukan perlindungan
hukum secara represif yaitu untuk menyelesaikan perkara yang diajukan oleh
PPTKIS. Umu Hilmy, menyatakan bahwa perlindungan ini diberikan oleh
peradilan, MK pada dasarnya adalah sebuah lembaga yudikatif dengan sifat
putusan final dan mengikat. Namun aliran kontektualitas yang digunakan
oleh MK dalam menafsirkan UU TKI benar-benar menggunakan moralitas
konvensional. Akibatnya konsep perlindungan menjadi kurang futuristik dan
dampaknya baru terasa saat ini disaat mem-booming-nya pengiriman TKI yang
kurang terdidik diiringi dengan meningkatnya kasus kekerasan terhadap TKI.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Jhon Vaizey, pada dasarnya
pendidikan formal itu penting karena berpengaruh kepada kesediaan seseorang
untuk menerima perubahan dan mengembangkannnya. Bekerja di luar negeri
tentu membawa perubahan besar bagi seseorang terutama untuk yang baru
pertama kali menjadi TKI. Tiap-tiap negara memiliki kebudayaan, bahasa,
kebiasaan dan teknologi yang berbeda, perbedaan inilah yang merupakan faktor
perubahan bagi TKI. Otomatis diperlukan kemampuan untuk menghadapinya
dan salah satunya dengan pendidikan. Pendapat ini memberi gambaran bahwa
yang penting itu adalah TKI siap menghadapi perubahan. Namun, untuk
meningkatkan kemampuan TKI dalam menghadapi perubahan tidak hanya
melalui pendidikan formal akan tetapi juga dapat melalui pendidikan informal
berbasis kopetensi seperti kursus dan pelatihan kerja.
Pendidikan kemasyarakatan adalah suatu cara untuk meningkatkan
kemampuan TKI. Konsep pendidikan kemasyarakatan sangat cocok dengan
kondisi Indonesia saat ini yang sistim pendidikan formalnya belum tertata
baik, penggunaan anggara pendidikan yang tidak jelas dan program-program
pendidikan yang kurang berhasil. Pendidikan kemasyarakatan akan sangat
82

Luthvi Febryka Nola

membantu pemerintah karena melibatkan semua unsur mulai dari pribadi,


organisasi masyarakat, LSM, badan hukum yang perduli dengan dunia
pendidikan di Indonesia. Konsep ini dapat dijadikan sebagai suatu program
reintegrasi sosial TKI yang dimulai sebelum TKI diberangkatkan, di negara
penempatan dan ketika kembali ke tanah air. Pendidikan kemasyarakatan ini
juga dapat ditujukan kepada keluarga TKI.
Sehingga seharusnya dalam memberikan pertimbangan, MK memberikan
rekomendasi tentang adanya suatu konsep perlindungan dengan cara
memperkuat ketentuan pendidikan dan pelatihan berbasis kopetensi dalam
UUTKI. Pembatalan begitu saja tanpa rekomendasi menjadikan banyaknya
penduduk berpendidikan rendah yang dikirim untuk menjadi TKI bahkan
para peneliti ECOSOC menganggap bahwa pengiriman TKI dari Indonesia
merupakan bentuk legalisasi perbudakan zaman modern.
Rekomendasi MK diluar hal yang dimohonkan oleh para pihak terdapat
pada putusan MK tentang Pasal 53 ayat (1) dan ayat (4) UU No 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) mengenai BHP. Putusan
MK pada kasus BHP tersebut adalah memperkuat pasal yang ada dengan
memberikan batasan-batasan pengaturan. Keputusan seperti ini nantinya akan
bersifat ultra petita yaitu tindakan hakim yang memutus melebihi apa yang
diminta oleh penggugat atau pemohon.38 Kelebihan dari adanya ultra petita
adalah terpenuhinya rasa keadilan substantif.39
Berdasarkan Pasal 45 A UU No. 8 tahun 2011 tentang Perubahan UU No.
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, MK dilarang melakukan ultra
petita. Namun hingga saat ini larangan tentang ultra petita menimbulkan pro dan
kontra dikalangan para praktisi dan ahli hukum. Belajar dari kasus persyaratan
TKI ini maka putusan ultra petita dari MK justru sangat diperlukan. Terutama
berkaitan dengan masalah perlindungan dan HAM yang konteknya akan saling
berkaitan. Permasalahan pembatalan persyaratan Pendidikan Minimum TKI
saja akan berkaitan dengan masalah pendidikan pelatihan, reintegrasi sosial
dan peran masyarakat dalam menegakkan sebuah peraturan. Sehingga pada
UU yang sifat pasalnya saling berkaitan satu sama lain maka ultra petita sangat
dibutuhkan.

38 Ultra Petita, http://hukumpedia.com/index.php?title=Ultra_petita, diakses 14 Oktober 2011.


39 Larangan Ultra Petita, DPR Abaikan Sejarah, http://hukumonline.com/berita/baca/lt4dfa00f5241e8/
larang-ultra-petita-dpr-abaikan-sejarah, diakses 14 Oktober 2011.

83

Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi

Ketakutan dengan adanya ultra petita akan membuat MK menjadi super


body sebenarnya dapat diatasi apabila peranan Komisi Yudisial (KY) dalam
pengawasan para hakim termasuk hakim konstitusi diperkuat. Sehingga para
hakim termasuk hakim konstitusi akan berhati-hati dalam mengeluarkan
putusan. Permasalahannya adalah berdasarkan putusan MK No. 005/
PUU-IV/2006, KY tidak dapat lagi melakukan penilaian terhadap hakim
konstitusi.
Menurut Mahfud MD,40 MK tidak boleh melakukan ultra petita karena
melewati kewengannya sebagai lembaga yudikatif, sedangkan kewenangan
membentuk UU berada ditangan legislatif. Lebih lanjut Mahfud MD
memberikan masukan, apabila suatu pasal dari UU terkait dengan pasal
lainnya, maka MK hanya dapat membatalkan pasal yang diajukan oleh
pemohon sedangakan untuk pasal terkait lainnya diserahkan kepada legislative
untuk melakukan review.41
Namun masukan Mahfud ini sesuai untuk pasal yang berkaitan yang jika
salah satu pasal dibatalkan maka pasal lainnya ikut batal, namun untuk kasus
pasal-pasal yang saling melengkapi pendapat ini mengandung kelemahan.
Kelemahannya adalah ketidakberlakuan pasal ini tidak membuat pasal lainnya
batal akan tetapi membuat konsep dari adanya pasal-pasal tersebut menjadi
tidak berlaku sempurna. Untuk itu diperlukan aturan tambahan untuk
melengkapi konsep aturan tersebut secara keseluruhan. Keuntungan dari sistim
seperti ini adalah UU akan diterapkan secara sempurna sesuai dengan tujuan
pembentukannya dan masukan dari MK juga akan dapat menjadi pedoman
legislatif dalam melakukan review serta menghindari produk hukum yang
nantinya dihasilkan oleh legislative di judicial review kembali oleh MK.
Selanjutnya hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna dalam perkara No.
019-020/PUU-III/2005, berpendapat bahwa sesungguhnya tidak terdapat hak
atau kepentingan konstitusional para pemohon dalam hubungan ini karena
syarat pendidikan dibebankan kepada calon TKI. Sehingga, seandainya pun
dianggap ada inkonstitusionalitas pada ketentuan tersebut, maka yang memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian
syarat pendidikan sebagaimana tercantum dalam pasal a quo adalah calon
TKI, bukan para pemohon. Oleh karena itu, dalil para Pemohon sepanjang
menyangkut hal tersebut seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
40 Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, hal.281.
41 Ibid., hal.282.

84

Luthvi Febryka Nola

Akhirnya MK memutuskan Perkara No. 20 tidak dapat diterima dengan


pertimbangan bahwa pemohon tidak memiliki legal standing dan Perkara No.19
dikabulkan untuk sebagian yaitu terkait Pasal 35 huruf d UUTKI karena
bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945. Permasalahan legal standing
ini seharusnya sudah dapat diminimalisasi sejak awal oleh MK. Sehingga MK
tidak perlu membuang waktu untuk masuk kedalam pokok perkara karena
kesalahan legal standing sejak awal dapat menyebabkan suatu kasus menjadi
tidak dapat diterima.
B. Pengaruh Negatif Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum bagi
Perlindungan TKI
Pasal 24C ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 telah mengatur bahwa
Putusan MK bersifat final. Sehingga terhadap putusan MK tidak dapat
dimintakan upaya hukum lainnya. Akibatnya beberapa keputusan MK
disinyalir bertentangan dengan azas hukum tidak dapat dimintakan upaya
hukum lanjutan seperti putusan MK terhadap penghapusan kewenangan KY
untuk mengawasi hakim konstitusi yang bertentangan dengan nemo judex in
causa sua yaitu memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri.42
Untuk itu telah dilakukan revisi terhadap UU MK dan Mahfud MD juga telah
mengeluarkan sepuluh teori yang harus dijadikan rambu-rambu bagi MK dalam
melakukan pengujian UU terhadap UU.
Selain itu sifat legal standing dalam permohonan yang diajukan kepada
MK juga berdampak luas karena jika permohonan dikabulkan maka putusan
berlaku juga bagi orang lain meskipun yang bersangkutan tidak disebut dalam
permohonan.43 Permasalahannya adalah hukum akan selalu berkembang
mungkin pada satu masa suatu ketentuan dianggap tidak tepat akan tetapi
dimasa depan ternyata ketentuan tersebut menjadi tepat maka akan sulit
mekanisme penyadurannya dalam UU apabila sudah pernah di judicial review
oleh MK. Mekanismenya tentu harus melakukan perubahan terlebih dahulu
terhadap UUD Negara RI Tahun 1945.
Dua permasalahan diatas adalah bentuk implikasi putuasan MK secara
umum. Sedangkan dampak putusan MK untuk permasalahan pembatalan
syarat pendidikan minimum bagi calon TKI maka perlu dianalisa dari sisi
pihak-pihak yang terkait dengan pasal ini. Adapun pihak-pihak yang terlibat
42 Ibid., hal. 283
43 Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, Yogyakarta:
UII Press, 2009, hal.33.

85

Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi

adalah pemerintah sebagai pelaksana peraturan; DPR sebagai legislatif yang


membentuk UU; TKI dan PPTKIS sebagai objek dari peraturan.
Dampak tidak langsung dari pembatasan syarat minimum pendidikan calon
TKI terhadap pemerintah adalah kementerian tenaga kerja dan transmigrasi
sebagai instansi yang bertanggung jawab mengurusi permasalahan TKI, tidak
dapat memasukkan persyaratan pendidikan bagi calon TKI dalam merumuskan
peraturan pelaksana dari UUTKI. Ketiadaan pembatasan soal pendidikan ini
mengakibatkan saat ini lebih dari 50% TKI lulusan SD. Rendahnya tingkat
pendidikan TKI ini meningkatkan tuntutan terhadap pemerintah untuk
meningkatkan pendidikan TKI khususnya dan masyarakat umumnya karena
rendahnya tingkat pendidikan dituding sebagai salah satu penyebab banyaknya
TKI yang bekerja disektor informal. Sektor informal ini memiliki banyak
kelemahan yaitu gaji yang rendah dan minimnya perlindungan misalnya:
tentang batas waktu kerja. Selain itu TKI di sektor informal juga rentan
terhadap kekerasan. Terhadap kondisi ini bahkan ada yang mengusulkan agar
pengiriman TKI hanya dilakukan pada sektor formal saja.
Dampak negatif dari pembatalan syarat pendidikan ini dapat ditekan oleh
pemerintah dengan memperketat persyaratan pendidikan dan pelatihan dalam
meningkatkan kopetensi TKI. Untuk menghindari ketentuan yang bersifat
ultra vires dapat disiasati dengan mengaturnya dalam rangka meningkatkan
pengawasan, koordinasi dan pembinaan terhadap sistem pendidikan dan
pelatihan TKI. Ultra vires adalah perbuatan penguasa otoritas publik atau
privat yang melampaui kekuasaan yang dimilikinya.44 Pengawasan dilakukan
terhadap pemberlakukan syarat minimum jam pelatihan yang harus ditempuh
TKI; koordinasi dapat dilakukan dalam pemberian sertifikasi kopetensi dan
akreditasi lembaga pelatihan bagi TKI; sedangkan pembinaan dapat dilakukan
dengan atau membuat modul yang standar dalam pendidikan dan pelatihan
terhadap TKI.
Berkaitan dengan teori dampak secara langsung putusan MK pada
eksekutif sebagiamana diungkapkan oleh Efik Yusdiansyah, maka dalam kasus
pembatalan persyaratan pendidikan ini justru dampaknya berkebalikan dari
teori yang diungkapkan oleh Efik. Pemerintah diwakili oleh Kemenakertrans
dalam rapat dengar pendapat dengan komisi IX DPR RI menuding bahwa
putusan MK ini telah berdampak buruk bagi perlindungan TKI karena
mengakibatkan meningkatnya pengiriman TKI yang berpendidikan rendah.
44 Apa itu Ultra Vires dalam hukum?, http://rangforjustice.blogspot.com/2011/08/apa-itu-ultra-viresdalam-hukum.html, diakses 17 Oktober 2011.

86

Luthvi Febryka Nola

Pembatalan syarat pendidikan bagi TKI tidak hanya berdampak negatif


pada pemerintah akan tetapi terhadap DPR sebagai lembaga legislatif. Saat
ini DPR sedang melakukan revisi terhadap UUTKI. Meski fakta dilapangan
memperlihatkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan merugikan perlindungan
terhadap TKI, namun DPR tidak dapat mengatur persyaratan ini lagi dalam
UU hasil revisi karena putusan MK bersifat final dan mengikat.
DPR hanya bisa mengatur persyaratan pendidikan apabila pemerintah
telah berhasil mendidik semua warga negara. Untuk itu dalam rangka revisi,
DPR dapat memperkuat aturan tentang pendidikan dan pelatihan bagi calon
TKI/TKI. Masalah pengawasan, koordinasi dan pembinaan harus diatur secara
detail dalam UU hasil revisi. Permasalahannya adalah pengaturan yang terlalu
rinci akan membuat peraturan perundang-undangan tersebut rentan terhadap
perubahan-perubahan.
Sedangkan dampak negatif pembatalan syarat pendidikan bagi calon TKI/
TKI adalah mereka sulit mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Bekerja
di sektor informal memiliki banyak kelemahan seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya. Perlindungan terhadap TKI berpendidikan rendah sulit dilakukan,
apalagi bila buta huruf. Para TKI tidak akan mengerti kontak kerja yang
ditandatangani, tidak mengetahui hak dan kewajiban sebagaimana terdapat
dalam kontrak. Sehingga majikan dapat melakukan tindakan sewenang-wenang
terhadap TKI.
Ilmu pendidikan juga menyatakan bahwa pendidikan berpengaruh
pada tingkat kedewasaan seseorang sehingga lebih matang secara biologis,
phisikologis, pedagogis dan sosiologis. Kematangan dari 4 unsur ini akan
membuat TKI dapat melindungi dirinya sendiri karena lebih tahan terhadap
tekanan dan dapat mencari jalan keluar apabila menghadapi permasalahan
dengan majikan.
Satu satunya pihak yang diuntungkan dengan penetapan syarat minimum
ini adalah PPTKIS. Sebelum pembatalan, TKI yang bisa direkrut oleh PPTKIS
sangat terbatas sedangkan sesudah pembatalan mereka dapat merekrut banyak
TKI tanpa terkendala masalah pendidikan. Berarti permohonan pembatalan
syarat pendidikan bagi TKI ini membawa keuntungan bagi PPTKIS dan
pendapat Sri Palupi yang menyatakan bahwa dominasi swasta menunjukkan
bahwa tidak ada perlindungan bagi TKI ada benarnya.

87

BAB IV
Penutup

A. Kesimpulan
Pertimbangan MK dalam membatalkan syarat pendidikan minimum
bagi calon TKI telah didasarkan pada pasal-pasal perlindungan HAM dalam
UUD Negara RI Tahun 1945. Akan tetapi terdapat pertimbangan yang
kurang tepat dengan kondisi saat putusan tersebut dikeluarkan yaitu terkait
dengan penggunaan Pasal 28I ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 tentang
hak hidup. Analisa terhadap pertimbangan MK telah memperlihatkan ultra
petita dapat dilakukan MK dalam rangka perlindungan terhadap TKI dengan
cara memberikan rekomendasi untuk menghindari dampak negatif dari
pembatalan persyaratan pendidikan minimum bagi calon TKI dalam UU.
Selain itu diketahui juga bahwa hendaknya dari awal MK telah memperhatikan
legal standing dari pemohon sehingga tidak membuang-buang waktu untuk
memeriksa materi.
Putusan MK No. 019-020/PUU-III/2005 berdampak negatif terhadap
pemerintah, DPR dan TKI. Satu-satunya yang diuntungkan dengan putusan
ini hanyalah PPTKIS. Hal ini berpengaruh terhadap konsep perlindungan TKI
secara umum.
B. Rekomendasi
MK dalam menguji suatu perkara hendaknya menggunakan penafsiran
futuristik atau melihat jauh ke depan. Selain itu sebelum memeriksa suatu
perkara hendaknya terlebih dahulu memperhatikan legal standing dari pemohon.
Sedangkan masukan untuk DPR terkait dengan akan dilakukannya revisi
terhadap UUTKI adalah:
1. Memperinci dan memperketat persyaratan kompetensi bagi calon TKI.
2. Meningkatkan mekanisme pengawasan, koordinasi dan pembinaan dalam
rangka pelaksanaan peraturan.
89

Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi

3. Penandatanganan kontrak kerja oleh TKI harus melibatkan aparat


pemerintahan dan aparat tersebut harus memastikan bahwa TKI benarbenar memahami hak dan kewajibannya yang tercantum dalam kontrak
kerja.
4. Pendidikan dan pelatihan bagi para calon TKI/TKI menggunakan
pendekatan pendidikan kemasyarakatan.

90

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah
Konstitusi, Yogyakarta: UII Press, 2009.
Efik yusdiansyah. Implikasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi terhadap
pembentukan Hukum Nasional dalam Kerangka Negara Hukum, Bandung: CV
Lubuk Agung, 2010.
Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan: Komponen MKDK, Jakarta: Rineka
Cipta, 2010.
Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah
Konstitusi, Bandung: Alumni, 2008.
Jhon Vaizey, Pendidikan di Dunia Modern, diterjemahkan oleh L.P. Murtini,
Jakarta: Gunung Agung 1987.
Jimly Asshiddiqie, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Jakarta: Ind
Hill Co., 1998.
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004.
Mohammad Mulyadi, Penelitian Kuantitatif & Kualitatif serta Praktek Kombinasinya
dalam Penelitian Sosial, Jakarta: Publica Institute, 2010.
Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali
Pers, 2009.
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: Bina
Ilmu, 1987.
Sri Palupi dkk., Atase Tenaga Kerja dan Perlindungan TKI antara IndonesiaSingapura-Malaysia, Jakarta: The Institute for Ecosoc Rights, 2010.
91

Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi

Makalah
Sri Palupi, Arah Perubahan UU 39/2004 untuk Efektifitas Perlindungan TKI Sesuai
Standar, Makalah dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).
Umu Hilmy, Urgensi Perubahan UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, Makalah dalam Rapat Dengar Pendapat
dengan Komisi IX pada tanggal 14 Desember 2010.
Peraturan Perundang-undangan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Lembaran Negara No.133 Tahun
2004. Tambahan Lembaran Negara No. 4445.
_____,UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lembaran
Negara No. 78 Tahun 2003. Tambahan Lembaran Negara No. 4301.
_____,UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi. Lembaran Negara No.70 Tahun 2011.
Tambahan Lembaran Negara No. 5226.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 019-020/PUU-III/2005.
Internet
24% TKI ke Malaysia Buta Huruf, http://matanews.com/2009/06/22/24-tkike-malaysia-buta-huruf/, diakses 12 Oktober 2011.
Apa itu Ultra Vires dalam hukum?, http://rangforjustice.blogspot.com/2011/08/
apa-itu-ultra-vires-dalam-hukum.html, diakses 17 Oktober 2011.
Ita Lismawati F. Malau & Luqman Rimadi, Kemenakertrans Disorot, Ini
Kata
Muhaimin,
http://nasional.vivanews.com/news/read/249494kemenakertrans-disorot--ini-kata-muhaimin, diakses 12 Oktober 2011.
Larangan Ultra Petita, DPR Abaikan Sejarah, http://hukumonline.com/berita/
baca/lt4dfa00f5241e8/larang-ultra-petita-dpr-abaikan-sejarah, diakses 14
Oktober 2011.
92

Luthvi Febryka Nola

Marumpa, Tidak Ada Alasan Melarang TKI ke Luar Negeri, http://marumpa.


wordpress.com/2009/06/ diakses 12 Oktober 2011.
Oryza A. Wirawan, Kadisnakertrans Tantangan Data Konkrit TKI Hadir, http://
www.beritajatim.com/detailnews.php/8/Peristiwa/2011-06 28/104532/
Kadisnakertrans_Tantang_Data_Kongrit_TKI_Dihadirkan, diakses 12
Oktober 2011.
Tak Kapok, TKI Korban Penganiayaan Majikan Kembali Berangkat ke Arab Saudi,
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/05/12/ll2j29tak-kapok-tki-korban-penganiayaan-majikan-kembali-berangkat-ke-arabsaudi, diakses 12 Oktober 2011.
Tingkat Kualitas Pekerja, http://www.suarapembaruan.com/tajukrencana/
tingkatkan-kualitas-pekerja/5173 diakses 13 Oktober 2011.
TKI Masih Bekerja di 3D, http://www.globalfmlombok.com/content/tki-masihbekerja-di-3d, diakses 17 Oktober 2011.
Ultra Petita, http://hukumpedia.com/index.php?title=Ultra_petita, diakses 14
Oktober 2011.

93

BAGIAN IV
PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN PEREMPUAN
Sali Susiana1

1 Peneliti Madya Bidang Studi Kemasyarakatan Studi Khusus Gender pada Pusat Pengkajian,
Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat e-mail: sali_susiana@
yahoo.com.

BAB I
Pendahuluan

Kebijakan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) ke


luar negeri telah berlangsung sejak pemerintahan Orde Baru, namun hingga
saat ini masih banyak permasalahan yang dihadapi, baik dari aspek penempatan
maupun aspek perlindungan. Masalah yang terkait dengan dua aspek tersebut
dapat terjadi pada setiap tahapan penempatan, mulai dari proses rekrutmen
di dalam negeri yang masih sarat dengan penyimpangan dan pelanggaran,
masalah yang dihadapi oleh TKI pada saat bekerja di negara tujuan, hingga
masalah yang muncul pasca-bekerja pada saat TKI telah kembali ke tanah air.
Selain itu, TKI yang bekerja di luar negeri juga rentan terhadap bahaya
penularan HIV/AIDS. Sebagai kelompok yang tersebar cukup besar di berbagai
negara, TKI juga tergolong warga negara yang sering bepergian ke luar negeri
dan bergaul dengan bermacam-macam kelompok orang, sehingga membuat
TKI rentan terhadap penularan virus HIV/AIDS. 2
Masalah yang terjadi pada saat TKI bekerja di negara tujuan bermacammacam, baik yang berkaitan dengan masalah hubungan kerja seperti
pelanggaran kontrak atau perjanjian kerja (misalnya gaji tidak dibayar atau
dibayar tetapi jumlahnya tidak sesuai dengan perjanjian sebelumnya, jumlah
jam kerja yang melebihi batas, jenis pekerjaan tidak sesuai dengan kontrak, dan
pemutusan hubungan kerja), hingga kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran
hak asasi manusia (HAM), seperti penganiayaan, perlakuan majikan yang tidak
manusiawi, tindak pelecehan seksual, hingga pembunuhan.
Salah satu kasus yang pernah mendapat perhatian masyarakat luas adalah
eksekusi terhadap Ruyati, seorang TKI yang dihukum pancung karena terbukti
membunuh majikannya dengan alasan untuk membela diri.3 Kasus lain yang
dihadapi oleh TKI yang pernah menjadi pemberitaan di media massa sebelum
2 TKI Rentan Penularan HIV/AIDS, http://www.pikiran-rakyat.com/node/164515, 7 November
2011, diakses 9 November 2011.
3 Indonesia Harus Segera Hapus Hukuman Mati, Kompas, 23 Juni 2011 halaman 3.

97

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan

kasus Ruyati terjadi adalah kasus penganiayaan oleh majikan terhadap TKI
bernama Sumiati binti Salam Mustapa asal Dompu, Nusa Tenggara Barat.
Dua kasus tersebut hanyalah sebagian dari potret buram yang dialami oleh
perempuan yang bekerja ke luar negeri sebagai pekerja migran atau tenaga kerja
wanita (TKW). Di samping kasus Ruyati dan Sumiati, sebenarnya masih banyak
kasus lainnya. Salah satu TKW yang mengalami nasib tragis adalah Kikim
Komalasari, yang diduga dianiaya dan dibunuh oleh majikannya.4 Jenazah
Kikim ditemukan di sebuah tempat sampah dalam kondisi leher terluka dan
baru dapat dipulangkan ke Indonesia selama berbulan-bulan kemudian setelah
berbagai upaya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.5
Kasus terbaru yang banyak diberitakan menyangkut TKW adalah ancaman
hukuman mati yang menimpa Tuti Tursilawati, TKW asal Cikeusik, Kabupaten
Majalengka, Jawa Barat. Tuti Tursilawati terancam hukuman pancung setelah
dituduh membunuh majikannya, Suud Malhaq Al Utaibi, pada 11 Mei 2010 di
Kota Thaif.6 Tuti memukul Suud dengan kayu hingga tewas karena melindungi
diri dari pelecehan seksual yang dilakukan majikannya.7
Di samping Tuti Tursilawati, masih ada puluhan TKI, terutama TKW
yang terancam hukuman mati di Arab Saudi. Begitu pula di beberapa negara
penempatan TKI lainnya seperti Malaysia dan Singapura. Saat ini warga negara
Indonesia (WNI), termasuk TKI yang terancam hukuman mati di luar negeri
berjumlah 218 orang.8 Jumlah WNI/TKI yang terancam hukuman mati di luar
negeri secara lebih rinci dapat dilihat dalam tabel berikut:
4 TKI Tewas Dibunuh di Saudi, Media Indonesia, 19 November 2010 halaman 16.
5 Kikim ditemukan dalam kondisi tewas di Kota Abha, Arab Saudi. Pemerintah melalui Satuan
Tugas Penanganan Kasus WNI/TKI di Luar Negeri yang Terancam Hukuman Mati (Satgas TKI)
berhasil memulangkan jenazah Kikim Komalasari, yang tiba di Jakarta pada tanggal 29 September
2011. Sebenarnya bulan Juli 2011 jenazah Kikim sudah dapat dibawa ke Indonesia, tetapi terhambat
karena kepolisian Arab menghilangkan paspor Kikim. Diduga pelakunya adalah oknum kepolisian
Saudi yang masih memiliki hubungan keluarga dengan majikan yang membunuh Kikim. Tujuan
penghilangan paspor itu agar apabila jenazah Kikim dipulangkan dengan surat perjalanan biasa,
maka di persidangan pengacara majikan yang membunuh Kikim dapat berdalih bahwa Kikim sengaja
kabur. Lihat Jenazah Kikim Gagal Dipulangkan, Republika, 12 Juli 2011 halaman 5, dan Paspor
Mendiang TKI DIhilangkan Aparat, Media Indonesia, 12 Juli 2011 halaman 4.
6 TKI Terancam Hukuman Mati Mundur Saja kalau Tak Mampu Selamatkan TKI! Ary Wibowo |
Inggried Dwi Wedhaswary | Jumat, 14 Oktober 2011 | 13:47 WIB http://nasional.kompas.com/
read/2011/10/14/13470656/Mundur.Saja.kalau.Tak.Mampu.Selamatkan.TKI., diakses 20 Oktober
2011.
7 Permohonan Ampunan Dikirim ke Saudi, http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/
view/435759/ diakses 14 Oktober 2011.
8 Disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Tim Khusus DPR RI terhadap Penanganan
Tenaga Kerja Indonesia di Saudi Arabia (Timsus TKI DPR RI) dengan Satuan Tugas Penanganan
Kasus WNI/TKI di Luar Negeri yang Terancam Hukuman Mati (Satgas TKI) pada tanggal 10 Oktober
2011.

98

Sali Susiana
Tabel 1
Jumlah WNI/TKI yang Terancam Hukuman Mati di Negara Penempatan TKI
No

Negara

Jumlah

1.

Malaysia

151 orang

2.

Arab Saudi

43 orang

3.

China

22 orang

4.
Singapura
2 orang
sumber: Satuan Tugas Penanganan Kasus WNI/TKI di Luar Negeri yang Terancam
Hukuman Mati (Satgas TKI), 10 Oktober 2011.

Dari 43 orang WNI/TKI yang terancam hukuman mati di Arab Saudi, 5


orang di antaranya telah mendapatkan putusan kasasi final (critical).9 Kelima
orang TKI tersebut berjenis kelamin perempuan, yaitu: (1) Tuti Tursilawati; (2)
Satinah binti Jumadi Ahmad; (3) Darmawati binti Tarjani; (4) Aminah binti
Haji Budi; dan (5) Siti Zaenab binti Duhri Rupa. Dari kelima orang tersebut,
kasus Tuti Tursilawati merupakan kasus yang paling berat, karena keputusan
pengadilan telah final. Keputusan penjatuhan hukuman mati/eksekusi telah
turun dari Raja Arab Saudi.10
Banyaknya permasalahan yang terjadi pada TKI, terutama TKW yang bekerja
sebagai pekerja rumah tangga (PRT) menjadi salah satu alasan Pemerintah
untuk melakukan moratorium (penghentian sementara) penempatan TKI
yang bekerja sebagai PRT ke negara-negara penerima TKI. Untuk negara
Arab Saudi, moratorium mulai diberlakukan pada tanggal 1 Agustus 2011,11
tidak lama berselang setelah terjadi kasus eksekusi hukuman mati terhadap
Ruyati. Tindakan ini merupakan respons Pemerintah terhadap desakan untuk
melakukan moratorium yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dan berbagai pihak lainnya, terutama organisasi masyarakat sipil dan aktivis
pekerja migran.
Sebelumnya Pemerintah juga telah melakukan moratorium dengan
Malaysia (25 Juni 2009),12 Kuwait (1 September 2009), dan Yordania (30
9 Menurut Juru Bicara Satgas TKI, per 5 November 2011 jumlah TKI yang terancam hukuman mati
berjumlah 44 orang. Lihat Masih Ada 44 TKI yang Terancam Hukuman Mati http://www.
tempointeraktif.com/hg/kesra/2011/11/05/brk,20111105-365055,id.html, 5 November 2011,
diakses 9 November 2011.
10 Rapat Dengar Pendapat (RDP) Tim Khusus DPR RI terhadap Penanganan Tenaga Kerja Indonesia
di Saudi Arabia (Timsus TKI DPR RI) dengan Satuan Tugas Penanganan Kasus WNI/TKI di Luar
Negeri yang Terancam Hukuman Mati (Satgas TKI), op.cit.
11 Moratorium TKI: Layanan Ke Arab Saudi Distop, Kompas, 28 Juni 2011 halaman 1.
12 Moratorium dengan Malaysia secara resmi telah berakhir pada tanggal 30 Mei 2011 ketika Pemerintah
melalui Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum
of Understanding/MoU) Perlindungan TKI Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Malaysia dengan pihak
Pemerintah Malaysia (melalui Menteri Sumber Manusia) di Bandung, Jawa Barat.

99

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan

Juli 2010). Selain tindakan moratorium, untuk melindungi TKI, Pemerintah


melalui Satgas TKI juga menunjuk kuasa hukum tetap secara jangka panjang
untuk ditempatkan di di Arab Saudi dan di Malaysia. Dengan demikian setiap
saat ada pengacara yang siap mendampingi TKI yang bermasalah di kedua
negara tersebut.13
Untuk melindungi TKI, Pemerintah juga mengambil langkah untuk
memulangkan TKI yang bermasalah dengan ijin tinggal di negara penempatan
TKI atau sering disebut dengan TKI overstayers. Dari Januari hingga akhir
Oktober 2011, berdasarkan data dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia di
Jeddah, Pemerintah telah memulangkan 17.254 orang warga negara Indonesia/
WNI dan TKI overstayers.14
Apakah langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah tersebut telah cukup
untuk melindungi TKI yang bekerja di luar negeri? Apabila dikaitkan dengan
fakta bahwa sebagian besar TKI yang bekerja di luar negeri adalah perempuan,
apakah perlindungan TKI selama ini telah memperhitungkan pengalaman
perempuan dan berperspektif gender? Tulisan ini akan berusaha memaparkan
bagaimana peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia mengatur
mengenai perlindungan terhadap pekerja migran, terutama pekerja migran
perempuan atau lebih dikenal dengan TKW dan berbagai permasalahan yang
selama ini mereka hadapi.

13 Pemerintah menyiapkan 4 orang pengacara, masing-masing 1 orang di Malaysia, 1 orang di Riyadh,


dan 2 orang di Jeddah. Arab Saudi dan Malaysia menjadi prioritas mengingat 80% kasus TKI terjadi
di dua negara tersebut. Baca Moratorium TKI: Layanan Ke Arab Saudi Distop, Kompas, op.cit.
14 Buruh Migran: Setelah Pulang, Lalu? Kompas, 5 November 2011 halaman 17.

100

BAB II
Peraturan Perundang-undangan tentang
Perlindungan Pekerja Migran

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD


NRI 1945) menjamin hak asasi setiap warga negara, termasuk perempuan
untuk bekerja dan memperoleh penghasilan. Hal itu terdapat dalam Pasal 27
ayat (2) yang menyatakan bahwa Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
UUD NRI 1945 sangat menjunjung tinggi HAM. Pengakuan atas HAM
manusia dalam UUD NRI 1945 bahkan diatur dalam bab tersendiri, yaitu
Bab XA tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Dari
beberapa pasal yang terdapat dalam Bab XA, Pasal 28D ayat (2) secara khusus
memberikan jaminan atas hak asasi manusia yang terkait dengan hak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja.
Secara khusus, jaminan atas hak asasi perempuan sebagai bagian dari HAM
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita
(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/
CEDAW) yang diratifikasi Pemerintah Indonesia pada tanggal 24 Juli 1984.
Sebelumnya Pemerintah Indonesia telah menandatangani konvensi tersebut
pada tanggal 29 Juli 1980 pada saat mengikuti Konperensi Perempuan se-Dunia
ke II di Kopenhagen.
Pasal 11 Konvensi CEDAW mengatur tentang hak yang sama bagi
perempuan dan laki-laki dalam ketengakerjaan, meliputi hak bekerja sebagai
hak asasi manusia, hak atas kesempatan kerja yang sama, secara bebas memilih
profesi dan pekerjaan, upah yang sama termasuk tunjangan dan perlakuan
yang sama sehubungan dengan pekerjaan yang sama nilainya, maupun hak

101

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan

atas jaminan sosial, perlindungan atas kesehatan dan keselamatan kerja, dan
perlindungan fungsi reproduksi.15
Secara nasional, kebijakan penempatan dan perlindungan terhadap pekerja
migran, termasuk pekerja migran perempuan, diatur dalam Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN).
Secara keseluruhan, UU PPTKILN terdiri dari 16 bab dan 109 pasal.
Dari keseluruhan pasal tersebut, terdapat 10 pasal yang mengatur mengenai
perlindungan calon TKI/TKI, terdiri dari 8 pasal yang terdapat dalam bab
khusus mengenai perlindungan TKI (Pasal 77 sampai dengan Pasal 84) dan
2 pasal yang terdapat dalam bab pembinaan (Pasal 87 dan Pasal 90). Apabila
dihitung secara kuantitas dengan persentase, maka dari 109 pasal yang ada,
hanya 10 pasal yang secara eksplisit mengatur mengenai perlindungan calon
TKI/TKI atau sekitar 9%.
Dalam UU PPTKILN, selain terdapat pasal yang mengatur mengenai
hak calon TKI dan TKI, juga terdapat bab yang khusus mengatur mengenai
perlindungan TKI. Hak calon TKI/TKI diatur dalam Pasal 8, yang menyatakan
bahwa:
Setiap calon TKI/TKI mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk:
1. Bekerja di luar negeri;
2. Memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja luar negeri dan
prosedur penempatan TKI di luar negeri;
3. Memperoleh pelayanan dan perlakuan yang sama dalam penempatan di
luar negeri;
4. Memperoleh kebebasan menganut agama dan keyakinannya serta
kesempatan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan
yang dianutnya;
5. Memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di Negara
tujuan;
6. Memperoleh hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama yang diperoleh
tenaga kerja asing lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
di negara tujuan;
7. Memperoleh jaminan perlindungan hukum sesuai dengan peraturan
perundang-undangan atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan
15 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.

102

Sali Susiana

martabatnya serta pelanggaran atas hak-hak yang ditetapkan seuai dengan


peraturan perundang-undangan selama penempatan di luar negeri;
8. Memperoleh jaminan perlindungan keselamatan dan keamanan
kepulangan TKI ke tempat asal;
9. Memperoleh naskah perjanjian yang asli.
Adapun masalah perlindungan TKI diatur dalam bab tersendiri, yaitu Bab
VI, mulai Pasal 77 sampai dengan Pasal 84. Dalam Pasal 77 dinyatakan bahwa
setiap calon TKI/TKI mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yang diberikan mulai dari prapenempatan, masa penempatan, sampai dengan purna-penempatan.
Dalam UU PPTKILN perlindungan terhadap TKI di luar negeri
dilaksanakan oleh Perwakilan Republik Indonesia (Pasal 78 ayat 1). Bahkan,
untuk memaksimalkan perlindungan tersebut, Pemerintah dapat menetapkan
jabatan Atase Ketenagakerjaan pada Perwakilan Republik Indonesia di
negara tertentu (Pasal 78 ayat 2). Selain itu, Perwakilan Republik Indonesia
juga berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
perwakilan Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) dan TKI yang
ditempatkan di luar negeri (Pasal 79).
Adapun bentuk perlindungan terhadap TKI selama masa penempatan
diatur dalam Pasal 80, yang berupa:
1. Pemberian bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di negara tujuan serta hukum dan kebiasaan internasional;
2. Pembelaan atas pemenuhan hak-hak sesuai dengan perjanjian kerja dan/
atau peraturan perundang-undangan di negara TKI ditempatkan.
Selain Perwakilan Republik Indonesia, PPTKIS juga bertanggung
jawab untuk memberikan perlindungan kepada calon TKI/TKI sesuai
dengan perjanjian penempatan. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 82 UU
PPTKILN.
Di samping diatur dalam bab tersendiri mengenai perlindungan (Bab
VI), perlindungan TKI juga diatur dalam Pasal 87. Dalam pasal ini dinyatakan
bahwa perlindungan TKI merupakan salah satu bidang pembinaan yang
menjadi kewajiban Pemerintah untuk melaksanakannya, selain pembinaan
dalam bidang informasi dan bidang sumber daya manusia.

103

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan

Bentuk pembinaan dalam bidang perlindungan TKI tersebut selanjutnya


diatur secara lebih terinci dalam Pasal 90, yang menyatakan bahwa pembinaan
oleh Pemerintah dalam bidang perlindungan TKI dilakukan dengan:
1. Memberikan bimbingan dan advokasi bagi TKI mulai dari pra-penempatan,
masa penempatan, dan purna-penempatan;
2. Memfasilitasi penyelesaian perselisihan atau sengketa calon TKI/TKI
dengan pengguna dan/atau pelaksana penempatan TKI;
3. Menyusun dan mengumumkan daftar mitra usaha dan pengguna
bermasalah secara berkala;
4. Melakukan kerja sama internasional dalam rangka perlindungan TKI.
Kebijakan tentang perlindungan TKI juga diatur dengan Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PERMEN 14/MEN/X/2010
tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke
Luar Negeri (Permenakertrans) yang ditetapkan pada tanggal 25 Oktober 2010.
Dalam Permenakertrans ini terdapat beberapa pasal yang mengatur mengenai
perlindungan TKI.
Dalam Bab II Bagian Kedua tentang Pendaftaran, Rekrut, dan Seleksi,
Paragraf 1 mengenai Pendaftaran, Pasal 8 ayat (1) ditegaskan bahwa pencari
kerja yang berminat bekerja di luar negeri harus mendaftarkan dirii pada
dinas kabupaten/kota dengan tidak dipungut biaya. Pembebasan biaya untuk
calon TKI ini juga berlaku pada proses selanjutnya, yaitu rekrutmen. Pasal 13
menyatakan bahwa Petugas PPTKIS dilarang memungut biaya rekrut kepada
calon TKI.
Calon TKI yang akan bekerja di luar negeri wajib mengikutii pembekalan
akhir pemberangkatan (PAP). Kegiatan ini menjadi tanggung jawab PPTKIS,
seperti diatur dalam Pasal 31 yang menegaskan bahwa PPTKIS wajib
mengikutsertakan calon TKI dalam Program PAP. Biaya pelaksanaan PAP ini
dibebankan kepada anggaran pemerintah dan/atau pemerintah daerah (Pasal
32 ayat (2) Permenakertrans).
Meskipun demikian, terdapat beberapa komponen biaya yang dapat
dibebankan kepada calon TKI yang diatur dalam Pasal 45 Permenakertrans.
Komponen tersebut meliputi:
1. Pengurusan dokumen jati diri;
2. Pemeriksaan kesehatan dan psikologi;
3. Pelatihan kerja dan sertifikasi kompetensi kerja;
4. Visa kerja;
104

Sali Susiana

5. Akomodasi dan konsumsi selama masa penampungan;


6. Tiket pemberangkatan dan retribusi jasa pelayanan bandara/airport tax;
7. Transportasi lokal sesuai jarak asal TKI ke tempat pelatihan/
penampungan;
8. Jasa perusahaan; dan
9. Premi asuransi.
Akan tetapi, untuk calon TKI yang telah ditanggung pengguna, PPTKIS
dilarang membebankan komponen biaya penempatan tersebut kepada
calon TKI (Pasal 45 ayat (2) Permenakertrans). Selain itu, PPTKIS juga wajib
mencantumkan besarnya biaya penempatan yang akan dibebankan kepada
calon TKI dalam Perjanjian Penempatan yang besarnya tidak boleh melebihii
biaya yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Hal inii
diatur dalam Pasal 47 Permenakertrans.
Ketika calon TKI telah bekerja di negara penempatan, PPTKIS wajib
memantau keberadaan dan kondisi TKI selama masa penempatan. Pemantauan
tersebut meliputi:
1. Nama dan alamat pengguna;
2. Kesesuaian jabatan dan tempat kerja;
3. Pemenuhan hak-hak TKI; dan
4. Kondisi dan permasalahan yang dihadapi oleh TKI.
Kegiatan pemantauan tersebut dapat dilakukan secara langsung oleh PPTKIS
maupun berkoordinasi dengan mitra usaha dan/atau pengguna di negara
penempatan. Kewajiban PPTKIS ini diatur dalam Pasal 55 Permenakertrans.
Tanggung jawab PPTKIS berlanjut hingga TKI pulang ke Indonesia. Pasal
56 Permenakertrans mengatur bahwa kepulangan TKI dari negara penempatan
sampai tiba di daerah asal menjadi tanggung jawab PPTKIS. Untuk memastikan
kepulangan TKI, PPTKIS harus menghubungi TKI dan/atau pengguna/mitra
usaha selambat-lambatnya 3 bulan sebelum berakhirnya perjanjian kerja.
PPTKIS juga wajib melaporkan jadwall kepulangan TKI kepada Perwakilan
Republik Indonesia di negara penempatan secara tertulis melalui mitra usaha
dan/atau perwakilan PPTKIS dengan tembusan kepada Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi dan Kepala BNP2TKI.
Khusus terkait dengan kepulangan TKI, terdapat Peraturan Kepala
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
Nomor PER.01/KA/SU/I/2008 tentang Pelayanan Kepulangan Tenaga Kerja
105

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan

Indonesia dari Luar Negeri di Lingkungan Bandar Udara Soekarno Hatta


(Perkap BNP2TKI) yang ditetapkan pada tanggal 23 Januari 2008. Dalam
diktum pertama peraturan ini dinyatakan bahwa pelayanan TKI yang pulang
dari luar negeri melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta dimulai sejak TKI
turun dari pesawat/garbarata, lounge TKI Terminal 2 D, Gedung Pendataan
Kepulangan TKI (GPKTKI) di Selapajang, hingga ke tempat tinggal TKI di
daerah asal.
Pelayanan kepulangan TKI tersebut dilakukan berdasarkan filosofi
dan semangat perlindungan kepada TKI yang dilaksanakan dengan prinsip
keterbukaan, keamanan, kenyamanan, kemudahan, cepat, koordinatif, dan
bebas dari pungutan yang tidak resmi sebagaimana dinyatakan dalam diktum
kedua Perkap BNP2TKI. Adapun ruang lingkup pelayanan kepulangan TKI
terdapat dalam diktum ketiga, yang meliputi:
1. Pemanduan keimigrasian;
2. Pelayanan barang bawaan TKI;
3. Pelayanan di lounge TKI;
4. Penyediaan transportasi menuju GPKTKI di Selapajang;
5. Pelayanan pendataan;
6. Pelayanan tiketing dan penjaluran;
7. Penyediaan jasa transportasi kepulangan TKI ke tempat tinggal TKI;
8. Penanganan TKI bermasalah;
9. Pelayanan kesehatan;
10. Pelayanan keamanan;
11. Pemanfaatan fasilitas gedung dan area bisnis;
12. Pelayanan TKI transit; dan
13. Pelayanan informasi dan pengaduan.
Untuk melaksanakan berbagai bentuk pelayanan tersebut, dibentuk Satuan
Pelayanan Kepulangan TKI yang dibantu tenaga honorer yang ditetapkan
dengan Keputusan Kepala BNP2TKI seperti ditetapkan dalam diktum keempat
Perkap BNP2TKI. Bahkan untuk menjamin efektivitas pelaksanaan pelayanan
kepulangan TKI, dibentuk Tim Pengawas. Hal ini terdapat dalam diktum
ketujuh Perkap BNP2TKI.
Perkap BNP2TKI juga dilengkapi petunjuk pelaksanaan yang terdapat
dalam Lampiran Perkap BNP2TKI. Dari tiga lampiran Perkap BNP2TKI, dua
lampiran di antaranya terkait dengan perlindungan terhadap TKI yang pulang
dari negara penempatan, yaitu:
106

Sali Susiana

1. Lampiran tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelayanan Kepulangan Tenaga


Kerja Indonesia dari Luar Negeri di Lingkungan Bandar Udara Soekarno
Hatta;
2. Lampiran tentang Kriteria Perusahaan Angkutan, Pemberian Sanksi dan
Pengecekan Kendaraan, Rumah Makan, Angkutan Pemulangan TKI.
Berdasarkan ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan TKI yang
terdapat dalam UU PPTKILN, Permenakertrans, dan Perkap BNP2TKI, maka
bila dilihat dari aspek waktu, perlindungan calon TKI/TKI meliputi tiga tahap,
yaitu:
1. Tahap pra-penempatan;
2. Tahap penempatan; dan
3. Tahap purna-penempatan/reintegrasi.
Adapun bila dilihat dari aktor yang bertanggung jawab untuk melaksanakan
perlindungan TKI, terdapat beberapa pihak, yaitu:
1. Pemerintah;
2. Perwakilan Republik Indonesia; dan
3. PPTKIS.
Keterkaitan antara berbagai pihak yang bertanggung jawab terhadap
perlindungan TKI, tahapan TKI ditempatkan, dan bentuk perlindungan yang
diatur dalam ketiga peraturan tersebut dapat disederhanakan dalam matriks
berikut:

107

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan


Matriks 1
Bentuk Perlindungan terhadap TKI Berdasarkan Tahap Penempatan dan Penanggung Jawab
TAHAP

PENANGGUNG JAWAB

BENTUK PERLINDUNGAN

Pra-penempatan

Pemerintah

1. Pemberian bimbingan dan advokasi


2. Fasilitasi penyelesaian perselisihan atau
sengketa calon TKI/TKI dengan pengguna
dan/atau pelaksana penempatan TKI

Penempatan

Pemerintah

Pemberian bimbingan dan advokasi

PPTKIS

Perlindungan sesuai perjanjian penempatan

Perwakilan Republik
Indonesia

1. Pemberian bantuan hukum;


2. Pembelaan atas pemenuhan hak-hak TKI

TAHAP

PENANGGUNG JAWAB

Purna-penempatan/ Pemerintah
reintegrasi
PPTKIS

BENTUK PERLINDUNGAN
Pemberian bimbingan dan advokasi
1. Pemanduan keimigrasian;
2. Pelayanan barang bawaan;
3. Pelayanan di lounge TKI;
4. Penyediaan transportasi menuju GPKTKI di
Selapajang;
5. Pelayanan pendataan;
6. Pelayanan tiketing dan penjaluran;
7. Penyediaan jasa transportasi kepulangan TKI
ke tempat tinggal TKI;
8. Penanganan TKI bermasalah;
9. Pelayanan kesehatan;
10. Pelayanan keamanan;
11. Pelayanan TKI transit; dan
12. Pelayanan informasi dan pengaduan.

Adapun di tingkat daerah, berdasarkan data dari Komnas Perempuan,


terdapat 3 peraturan daerah (perda) yang mengatur mengenai pekerja migran,
yaitu:16
1. Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2002 tentang Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia Kabupaten Cianjur ke Luar Negeri;
2. Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2005 tentang Pengerahan Calon
Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri Kabupaten Asal Sukabumi; dan
3. Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2006 tentang Penempatan,
Perlindungan, dan Pembinaan Tenaga Kerja Indonesia Asal Kabupaten
Lombok Timur.
16 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan
Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia, Laporan Pemantauan Komnas Perempuan tentang
Kondisi Pemenuhan Hak-hak Konstitusional Perempuan di 16 Kabupaten/Kota pada 7 Provinsi, Jakarta:
Komnas Perempuan, 2009, halaman 48.

108

BAB III
Masalah yang Dihadapi Pekerja Migran
Perempuan

Dari total 4,3 juta orang TKI yang bekerja di 41 negara, sekitar 65% di
antaranya memang masih didominasi oleh pekerja sektor informal. Mereka
berprofesi sebagai buruh bangunan, buruh perkebunan, dan PRT.17 Bagi banyak
perempuan miskin, bekerja di luar negeri sebagai TKW telah menjadi salah satu
alternatif yang dapat dipilih di tengah segala keterbatasan yang mereka hadapi.
Tidak mengherankan jika setiap tahun terjadi peningkatan jumlah TKW yang
bekerja ke luar negeri.
Setidaknya terdapat empat faktor yang dapat menjelaskan hal ini. Pertama,
adanya krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 yang telah menyebabkan
banyak perempuan kehilangan pekerjaan. Kedua, adanya peningkatan
permintaan terhadap pekerja perempuan di satu sisi dan terbatasnya kesempatan
kerja bagi pekerja tidak terlatih dengan upah yang memadai di sisi yang lain.
Ketiga, kebijakan pemerintah (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi)
yang mendorong perempuan untuk bekerja ke luar negeri melalui Perusahaan
Penempatan TKI Swasta (PPTKIS). Dan keempat, peran aktif dari para calo
yang membuat perempuan tergiur dan berani untuk bekerja ke luar negeri.18
Sejak krisis ekonomi yang terjadi tahun 1998, terdapat sekitar 400.000
orang yang secara resmi tercatat sebagai TKI setiap tahunnya.19 Data Bank
Dunia menunjukkan, pada tahun 2004, sekitar 80% dari TKI adalah TKW,
dan 95% di antaranya bekerja di sektor informal sebagai pembantu rumah
tangga atau profesi lain yang sejenis. Seperti perawat bayi (babysitter) atau orang
17 Rapat Dengar Pendapat (RDP) Tim Khusus DPR RI terhadap Penanganan Tenaga Kerja Indonesia
di Saudi Arabia (Timsus TKI DPR RI) dengan Satuan Tugas Penanganan Kasus WNI/TKI di Luar
Negeri yang Terancam Hukuman Mati (Satgas TKI) pada tanggal 10 Oktober 2011, op.cit.
18 Country Gender Assessment: Indonesia, op.cit., page 72-73.
19 Fact Sheet: Migration, Remittance, and Female Migrant Workers, Female Migrant Workers Research
Team Bank Dunia (World Bank), Januari 2006, page 1.

109

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan

lanjut usia (pramurukti).20 Data lain dari Bank Dunia menunjukkan, pada
tahun yang sama jumlah TKI yang terdaftar mencapai 380.688 orang, dan 83%
di antaranya adalah perempuan (TKW). Dari jumlah tersebut, lebih dari 90%
TKW bekerja di sektor informal sebagai PRT.21
Hingga tahun 2008 Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia (BNP2TKI) memperkirakan jumlah pekerja migran telah
mencapai 4.056.536 orang, yang tersebar di seluruh negara penempatan TKI.22
Sebagian besar di antaranya bekerja di negara-negara Timur Tengah seperti
Arab Saudi, Kuwait, dan Uni Emirat Arab, sedangkan sebagian lainnya ke
negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong.23
Pada tahun 2010 angka ini bertambah menjadi sekitar 4,31 juta orang dan
tersebar di 41 negara.24
Permasalahan yang dihadapi oleh perempuan yang bekerja sebagai
TKW tidak hanya terjadi ketika mereka sedang bekerja di rumah majikan.
Sebagaimana TKI pada umumnya, sebagian TKW juga menghadapi masalah
yang berkaitan dengan ijin tinggal (TKI overstayers). Dari hasil rekapitulasi yang
dilakukan oleh BNP2TKI, terlihat bahwa jumlah TKI overstayers yang berjenis
kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan dengan TKI laki-laki, seperti
terlihat dalam tabel berikut:
Tabel 2
Jumlah WNI/TKI Overstayers yang Dipulangkan dengan KM Labobar 22 April 2011
Kategori

Jumlah

Perempuan dewasa

2.132 orang

Laki-laki dewasa

31 orang

Anak-anak

93 orang

Bayi dan Balita


sumber: BNP2TKI

93 orang

Permasalahan menjadi lebih rumit, karena sebagian TKW perempuan yang


mengalami masalah dengan ijin tinggal tersebut sedang berada dalam kondisi
20 Country Gender Assessment: Indonesia, op.cit.,page 72.
21 Fact Sheet: Migration, Remittance, and Female Migrant Workers, op.cit., page 1.
22 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Instrumen Pemantauan Hak Asasi Manusia
(HAM) Pekerja Migran dan Mekanisme Penanganan Korban Pelanggaran HAM, Jakarta: Komnas
Perempuan, 2009, halaman 14.
23 Ibid.
24 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Teror dan Kekerasan terhadap Perempuan:
Hilangnya Kendali Negara, Catatan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2010, Jakarta: Komnas
Perempuan, 2010, halaman 29.

110

Sali Susiana

hamil. Berdasarkan data yang diperoleh dari petugas di Madinatul Hujjaj25 per
13 April 2011, dari 1.588 orang TKI yang berada di tempat tersebut, 87 orang
di antaranya sedang berada dalam kondisi hamil. Usia kehamilan mereka
bervariasi, mulai 1 bulan hingga 8 bulan. Berikut data rinci mengenai usia
kehamilan tersebut:
Tabel 3
Usia Kehamilan TKI/WNI Overstayers di Madinatul Hujjaj Jeddah Per 13 April 2011
Usia Kehamilan

Jumlah

1 bulan

1 orang

2 bulan

6 orang

3 bulan

17 orang

4 bulan

22 orang

5 bulan

20 orang

6 bulan

12 orang

7 bulan

6 orang

8 bulan

3 orang

Jumlah:
sumber: Madinatul Hujjaj, Jeddah, Arab Saudi.

87 orang

Menurut Irianto, masalah yang dihadapi pekerja migran secara umum


dapat diidentifikasi dalam beberapa tahapan, yaitu pada saat proses
rekrutmen, pra-pemberangkatan, penempatan di negara tujuan, dan pada saat
pulang ke kampung halaman.26 Pada saat proses rekrutmen, terdapat banyak
penipuan (informasi menyesatkan mengenai jenis dan kondisi pekerjaan),
penjeratan hutang, pemalsuan dokumen, dan tidak adanya kontrak yang
ditandatangani.27
Dalam tahap pra-pemberangkatan, masalah yang sering terjadi adalah calon
TKI terpaksa berhutang untuk memenuhi kebutuhan makan dan akomodasi
selama di tempat penampungan, masalah kesehatan, pemalsuan dokumen
resmi dan penahanan yang tidak sah.28 Kondisi fisik fasilitas akomodasi di
penampungan juga tidak memenuhi standar kesehatan.29 Selain itu, calon
TKI juga rawan terhadap tindak pelecehan seksual, kekerasan fisik, dan
25 Madinatul Hujjaj yang berada di Jeddah, Arab Saudi merupakan tempat penampungan sementara
bagi WNI/TKI overstayers yang akan dipulangkan ke Indonesia.
26 Sulistyowati Irianto, Akses Keadilan dan Migrasi Global, Kisah Perempuan Indonesia Pekerja Domestik di
Uni Emirat Arab, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011, halaman 12.
27 Misra dan Rosenberg, dalam Sulistyowati Irianto, ibid.
28 Country Report 2006, dalam Sulistyowati Irianto, ibid.
29 ibid.

111

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan

transportasi yang berbahaya.30 Adapun masalah yang dihadapi di negara tujuan


adalah pelanggaran hak pekerja, situasi kerja yang tidak aman, kekerasan fisik,
psikologis dan seksual, dikurung, terjerat hutang, tidak dibayar, pemotongan
gaji, dipenjara, identitas, dan dokumen perjalanan yang ditahan.31
Masalah yang dihadapi oleh pekerja migran perempuan lebih banyak lagi.
Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan), pekerja migran perempuan, terutama yang bekerja di sektor
domestik sebagai PRT dan pekerja yang tidak berdokumen (undocumented)
memiliki kerentanan yang tinggi untuk mengalami tindak pelanggaran HAM
yang disebabkan oleh jenis kelamin, karakter, tempat (locus) pekerjaan, dan
status hukum.32
Data dari BNP2TKI menunjukkan, pada tahun 2008 terdapat 3.470 kasus
penganiayaan, 1.889 kasus pelecehan seksual, 3.797 kasus gaji tidak dibayar,
1.547 kasus yang terkait dengan ketidaklengkapan dokumen, 8.742 kasus TKI
yang sakit akibat kerja, dan 633 kasus kecelakaan kerja.33 Walaupun kasus-kasus
tersebut tidak diperinci berdasarkan jenis kelamin dan jenis pekerjaan, namun
mengingat 90% TKI adalah perempuan yang bekerja di sektor domestik, maka
dapat disimpulkan bahwa sebagian besar dari TKI yang mengalami kasus
pelanggaran HAM adalah pekerja migran perempuan yang bekerja di sektor
tersebut.
Data yang dipaparkan oleh BNP2TKI tersebut belum termasuk kasus
yang dialami oleh pekerja migran tidak berdokumen (undocumented) yang
sering mengalami kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi. Setiap tahun
terdapat sekitar 30.000 orang pekerja migran yang dideportasi karena tidak
berdokumen.34 Pekerja migran yang dideportasi menghadapi perlakuan yang
tidak manusiawi sejak di tempat mereka bekerja hingga kepulangan ke tanah
air.
Masalah tersebut dapat terjadi di setiap negara tujuan TKI. Survei yang
dilakukan oleh Asosiasi Pekerja Migran Indonesia terhadap 1.085 TKI yang
bekerja di Hongkong menunjukkan temuan berikut:35
30 ibid.
31 Sulistyowati Irianto, ibid, halaman 13.
32 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Instrumen Pemantauan Hak Asasi Manusia
(HAM) Pekerja Migran dan Mekanisme Penanganan Korban Pelanggaran HAM, Jakarta: Komnas
Perempuan, 2009, op.cit.
33 ibid.
34 Data Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) tahun 2009 dalam Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan, ibid.
35 Komnas Perempuan sebagaimana dikutip Sulistyowati Irianto, op.cit., halaman 13.

112

Sali Susiana

1. Setidaknya 51% TKI dibayar lebih rendah dari upah minimum yang
ditetapkan pemerintah;
2. 47% TKI bekerja lebih dari 8 jam sehari;
3. 25% melakukan pekerjaan ilegal;
4. 16% tidak memiliki akomodasi yang layak.
Adapun data dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Arab
Saudi tentang kasus TKI menunjukkan, dari tahun 1994 hingga 1997 terdapat
12.534 kasus yang ditangani, 32% di antaranya berkaitan dengan pelanggaran
hak pekerja, seperti gaji yang tidak dibayar, pemotongan gaji, jam kerja yang
panjang, beban kerja yang berat, dan pelanggaran kontrak.36
Kasus yang dihadapi oleh TKI, terutama pekerja migran perempuan tidak
hanya berkaitan dengan pelanggaran hak pekerja, melainkan juga tindak
kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, maupun seksual. Berdasarkan laporan
Komnas Perempuan tentang survei pekerja domestik Indonesia di Hongkong
yang dilaksanakan pada Juli 2001, 60% (67 orang perempuan) dari responden
mengalami penyerangan seksual.37 Demikian pula dengan yang terjadi Arab
Saudi. Data dari KBRI di Arab Saudi menunjukkan selama tahun 19941997 terdapat 1.105 pekerja migran yang mengalami kekerasan fisik, 2.182
orang mengalami kekerasan psikologis, dan 612 orang mengalami kekerasan
seksual.38
Komnas Perempuan mengelompokkan berbagai bentuk pelanggaran HAM
yang dialami oleh pekerja migran menjadi beberapa kategori seperti terlihat
dalam tabel berikut:

36 Ibid.
37 Ibid.
38 Ibid.

113

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan


Tabel 4
Tindak Pelanggaran HAM terhadap Pekerja Migran
No

Kategori
Hak yang DIlindungi

Tindak Pelanggaran yang Mungkin Terjadi

Hak atas pekerjaan


dan sumber
penghidupan

1. Terjerat hutang;
2. Mengalami penipuan, tidak jadi berangkat ke negara tujuan;
3. Menunggu keberangkatan terlalu lama;
4. Diselundupkan tanpa dokumen yang sah;
5. Dipalsukan identitas diri untuk kepentingan kerja;
6. Gaji tidak dibayar;
7. Gaji dibayar setengah/tidak sesuai perjanjian;
8. Pemotongan gaji di luar prosedur;
9. Over charging;
10. Bekerja melebihi masa kontrak;
11. Tempat bekerja tidak sesuai perjanjian;
12. Bekerja melebihi jam kerja;
13. Pelarangan berkumpul dan mendirikan serikat pekerja;
14. Penolakan untuk ijin cuti, istirahat mingguan, dan pembayaran biaya
lembur;
15. Kondisi kerja yang tidak layak, buruk, atau berbahaya;
16. Tidak ada upaya hukum terhadap pelanggaran hak pekerja;
17. Pemberian paspor, visa, dan dokumen lain yang merupakan
dokumen untuk menjadi pekerja migran;
18. Paspor dan dokumen lain dihilangkan/diambil/dipegang pihak lain;
19. Pembatasan kebebasan untuk berpindah dari satu pekerjaan ke
pekerjaan lain.

Hak atas kesehatan


reproduksi

1. Pemeriksaan kesehatan tanpa ijin yang bersangkutan;


2. Pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi;
3. Pemaksaan aborsi;
4. Dipaksa bekerja dalam keadaan sakit;
5. Tidak mendapatkan layanan kesehatan ketika sakit;
6. Tidak ada jaminan keselamatan kerja.

Hak atas hidup,


kemerdekaan,
kesetaraan, integritas
diri, dan bebas dari
kekerasan

1. Dijual kepada perusahaan penyalur tenaga kerja yang lain;


2. Perkosaan;
3. Pelecehan seksual;
4. Penyiksaan;
5. Penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan
martabat;
6. Pembunuhan;
7. Perbudakan/tindakan setara perbudakan;
8. Penyekapan;
9. Perdagangan perempuan;
10. Dijual/dipekerjakan ke beberapa majikan;
11. Mendapat ancaman/intimidasi.

114

Sali Susiana
Hak atas kesetaraan
di depan hukum

1. Penolakan atas asas praduga tak bersalah;


2. Tidak mendapatkan waktu dan fasilitas yang memadai selama proses
peradilan dan di penjara;
3. Peradilan yang tidak bebas dan berpihak;
4. Penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang;
5. Tidak memperoleh pengadilan yang secepatnya;
6. Tidak mendapatkan akses ke pengadilan;
7. Tidak mendapatkan bantuan pembela;
8. Pelanggaran hak-hak narapidana.

Hak atas standar


hidup dan jaminan
sosial

1. Asuransi tidak dibayarkan, tidak dapat diklaim;


2. Pembatasan akses terhadap layanan kesehatan;
3. Tindakan yang melanggar hak-hak atas makanan yang sehat;
4. Pembatasan akses terhadap lingkungan yang sehat.

Hak sipil politik

1. Keluarga tidak mendapat informasi memadai tentang keberadaan


perempuan pekerja migran;
2. Larangan berkomunikasi dengan keluarga/teman;
3. Hilang kontak;
4. Pembatasan terhadap akses mendapatkan informasi;
5. Pembatasan/larangan hak untuk berkumpul, berserikat, atau
berorganisasi;
6. Larangan/pembatasan untuk mengenakan pakaian tertentu;
7. Larangan/pembatasan hak untuk kembali/pulang ke tempat/negara
asal;
8. Deportasi;
9. Larangan beribadah.

Hak atas budaya

1. Pembatasan penggunaan bahasa tertentu;


2. Pembatasan praktik budaya tertentu.
sumber: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Instrumen Pemantauan Hak Asasi Manusia
(HAM) Pekerja Migran dan Mekanisme Penanganan Korban Pelanggaran HAM, Jakarta: Komnas Perempuan,
2009, halaman 15-16.

Selain itu, hasil pemantauan Komnas Perempuan terhadap tiga perda yang
mengatur mengenai pekerja migran di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten
Cianjur (Provinsi Jawa Barat) serta Kabupaten Lombok Timur (Provinsi Nusa
Tenggara barat) menyimpulkan bahwa telah terjadi pelembagaan pengabaian
hak atas perlindungan dalam kebijakan pekerja migran.39 Pengabaian terhadap
hak atas perlindungan tersebut merupakan pelanggaran hak konstitusional
perempuan, yang secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

39 Ibid.

115

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan


Tabel 5
Pelanggaran Hak Konstitusional Pekerja Migran Perempuan
Pengalaman Perempuan

Hak yang Dilanggar

Jaminan Hak dalam Konstitusi

Tidak ada perlindungan, 1. Hak atas perlindungan dari


1. Pasal 28B ayat (2)
khususnya dari kerentanan
kekerasan dan diskriminasi
2. Pasal 28H ayat (2)
kekerasan seksual
2. Hak atas perlakuan khusus
3. Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat
3. Hak atas penghidupan yang layak
(2) dan pasal 28I ayat (1)
sumber: diolah dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Atas Nama Otonomi Daerah:
Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia, Laporan Pemantauan Komnas Perempuan
tentang Kondisi Pemenuhan Hak-hak Konstitusional Perempuan di 16 Kabupaten/Kota pada 7 Provinsi, Jakarta:
Komnas Perempuan, 2009.

Dari tabel tersebut jelas bahwa selain masalah yang dihadapi oleh TKI pada
umumnya, pekerja migran perempuan atau TKW juga menghadapi masalah
yang berkaitan dengan seksualitasnya. Pekerja migran perempuan lebih rentan
terhadap tindak kekerasan seksual daripada pekerja migran laki-laki.
Berdasarkan hasil pemantauan dari Komnas Perempuan terhadap tiga
perda yang mengatur mengenai pekerja migran, hanya satu perda yang sudah
berperspektif gender, yaitu perda Kabupaten Lombok Timur.40 Dalam perda
ini diatur mengenai batas usia minimum TKI adalah 18 tahun, sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hal
ini dimaksudkan agar perempuan pekerja migran telah memiliki kematangan
emosional.41 Sebaliknya, dua perda lainnya tentang pekerja migran lebih
mengutamakan masalah prapenempatan yang berkaitan dengan perijinan,
retribusi, dan biaya pembinaan.42
Permasalahan yang dihadapi TKI tidak hanya terjadi pada masa prapenempatan maupun pada saat penempatan. Ketika kembali ke tanah air,
mereka juga masih menghadapi berbagai persoalan, tidak terkecuali pekerja
migran perempuan. Studi yang dilakukan oleh Yayasan Jurnal Perempuan pada
tahun 2011 menemukan adanya berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran
HAM yang terjadi pada saat TKI telah berada di GPKTKI di Selapajang, Bandar
Udara Soekarno-Hatta, yaitu:43
1. Mekanisme seleksi TKW berdasarkan penampilan fisik;
2. Ketidakjelasan jadwal TKI ke kampung halaman;
3. Pembatasan hak TKI (tidak boleh dijemput pihak keluarga);
40
41
42
43

Ibid.
Ibid.
Ibid.
Iva Kusuma dkk, Sambutlah Kepulangan Kami: Studi Efektivitas dan Dampak Perlindungan Terminal
Khusus TKI, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2011 halaman 42-43.

116

Sali Susiana

4.
5.
6.
7.
8.
9.

Keterbatasan pengetahuan petugas mengenai trafficking;


Minimnya fasilitas yang berkaitan dengan fungsi reproduksi TKW;
Pemerasan oleh porter;
Pemerasan berkedok bisnis;
Pelecehan seksual;
Pemerasan di atas angkutan dalam perjalanan pulang ke kemapung
halaman.

Secara lebih rinci modus berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM
tersebut dapat dilihat pada matriks berikut:
Matriks 2
Modus Kekerasan dan Pelanggaran terhadap TKI di Terminal 4 GPKTKI
Bentuk Kekerasan

Lokasi

Uraian

Pelaku

Mekanisme seleksi
TKW berdasarkan
penampilan fisik

Terminal 2 Mencirikan TKW dengan penampilan/pakaian Petugas Pelayanan


tertentu (berpenampilan lugu dan berjilbab,
Keimigrasian
atau TKW dari Hongkong berpenampilan
seronok)

Ketidakjelasan
jadwal kepulangan
TKI ke kampung
halalman

Terminal 4 Transportasi darat:


Armada pengantar harus terisi penuh (berisi
10 kursi) dengan TKI lain yang sama daerah
tujuannya
Transportasi udara:
TKI baru dapat pulang bila petugas BNP2TKI
mendapatkan tiket dengan harga murah

Petugas Pelayanan
Tiketing

Pembatasan hak
(tidak boleh
dijemput keluarga)

Terminal 2 Beralasan untuk menyelamatkan TKI dari


Terminal 4 pemerasan dan penipuan, meskipun telah
dijelaskan bahwa keluarga sudah menunggu di
terminal 2

Petugas Pelayanan
Pemulangan

Pengetahuan
petugas terhadap
trafficking minim

Terminal 4 Petugas pendataan tidak cermat


mengklasifikasikan pengaduan atas kasus
kekerasan yang dilaporkan dan menganggapnya
sebagai persoalan biasa/imigrasi serta tidak
segera menghubungi pihak kepolisian/satgas
trafficking

Petugas
Pendataan,
Petugas
Penanganan TKI
Bermasalah

Minimnya fasilitas
kebutuhan khusus
TKW berkaitan
dengan fungsi
reproduksi

Terminal 4 Toilet tidak terawat;


Tidak tersedia ruang khusus untuk TKW hamil,
menyusui, dan membawa anak;
Ruang menginap di lantai 2 tidak aksesibel;
Ruang pelayanan psikologi tidak memadai;
Terbatasnya petugas.

117

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan


Pemerasan oleh
porter

Bus
Mengancam akan membuang kopor jika tidak
menuju
membayar jasa porter;
Terminal 4 Memaksa TKW untuk membayar seikhlasnya;
Meminta paksa barang berharga TKW
(misalnya telepon genggam).

Porter
Petugas Pelayanan
Barang Bawaan
TKI

Pemerasan
berkedok bisnis

Terminal 4 Kurs valuta asing di gerai penukaran uang di


atas rata-rata jharga pasar;
Memaksa dan mengintimidasi TKI untuk
menukarkan uang di tempat penukaran uang;
Harga pulsa dan makanan jauh di atas rata-rata
harga jual;

Pegawai
penukaran uang,
pegawai toko
handphone,
penjaga kantin

Pelecehan seksual

Terminal 4 Menyebut TKW dengan panggilan sayang

Petugas
penukaran uang

Pemerasan
di angkutan
pemulangan

perjalanan

Radius 2 km sebelum tiba di kampung


halaman, TKW satu persatu dipanggil ke
bangku sebelah pengemudi, kemudian diminta
memberikan uang tips secara paksa (hingga Rp
1 juta)

Petugas
penyediaan jasa
transportasi
(pengemudi,
kernet, dan
oknum polisi
yang mengawal)
sumber: Iva Kusuma dkk, Sambutlah Kepulangan Kami: Studi Efektivitas dan Dampak Perlindungan
Terminal Khusus TKI, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2011 halaman 42-43.

118

BAB IV
Penutup

Dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh TKI, termasuk di dalamnya


pekerja migran perempuan, terlihat bahwa pekerja migran perempuan memiliki
permasalahan yang lebih kompleks dibanding TKI laki-laki. Hal ini tidak
terlepas dari budaya patriarki yang masih berlaku pada sebagian masyarakat
dan terkait erat dengan seksualitas perempuan.
Pada saat bekerja di negara penempatan, perempuan masih dipandang tidak
lebih dari sekedar objek seksual, Hal ini membuat posisi perempuan rentan
terhadap berbagai tindak kekerasan seksual, mulai dari pelecehan seksual hingga
perkosaan. Kondisi tersebut masih berlanjut ketika pekerja migran perempuan
tiba di tanah air, dimana mereka sering mengalami pelecehan seksual dan
berbagai bentuk diskriminasi maupun pelanggaran HAM dari petugas yang
seharusnya melindungi mereka.
Hak atas perlindungan fungsi reproduksi perempuan juga belum
diperhitungkan dalam kebijakan penempatan dan perlindungan TKI.
Kebutuhan dan pengalaman perempuan yang berbeda dengan laki-laki tidak
digunakan sebagai dasar penyusunan kebijakan, sehingga kebijakan yang
dihasilkan belum berperspektif gender. Contoh paling sederhana adalah
kebutuhan akan pembalut bagi pekerja migran perempuan yang sedang
mendapat menstruasi. Demikian pula dengan pekerja migran perempuan yang
pulang dalam kondisi hamil, menyusui atau membawa anak karena berbagai
sebab.
Apabila melihat berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perlindungan TKI, terlihat bahwa aspek perlindungan masih belum
menjadi fokus utama dalam kebijakan penempatan dan perlindungan TKI ke
luar negeri. Sebagai contoh, UU PPTKILN lebih banyak mengatur mengenai
mekanisme penempatan daripada perlindungan TKI. Pada tingkatan yang lebih
rendah, Permenakertrans dan Perkap BNP2TKI yang mengatur kepulangan TKI
119

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan

sebenarnya lebih memperhatikan aspek perlindungan terhadap TKI dibanding


UU PTKILN, namun implementasi di lapangan masih menunjukkan banyaknya
pelanggaran terhadap kedua aturan tersebut.
Mengingat hak TKI termasuk di dalamnya pekerja migran perempuan telah
dijamin dalam konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan, maka
sudah saatnya kebutuhan dan pengalaman perempuan diperhitungkan dalam
penyusunan kebijakan yang berkaitan dengan penempatan dan perlindungan
TKI. Oleh karena itu, perspektif gender perlu diintegrasikan ke dalam seluruh
kebijakan yang berkaitan dengan penempatan dan perlindungan TKI, sehingga
diskriminasi dan pelanggaran HAM terhadap pekerja migran perempuan yang
selama ini masih terus berlangsung dapat diminimalisasi.

120

DAFTAR PUSTAKA

Country Gender Assessment: Indonesia, Southeast Asia Regional Department,


Regional and Sustainable Development Departement, Asia Development Bank,
Manila, Philippines, July 2006.
Fact Sheet: Migration, Remittance, and Female Migrant Workers, Female Migrant
Workers Research Team Bank Dunia (World Bank), Januari 2006.
Iva Kusuma dkk, Sambutlah Kepulangan Kami: Studi Efektivitas dan Dampak
Perlindungan Terminal Khusus TKI, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,
2011.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Atas Nama Otonomi
Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia,
Laporan Pemantauan Komnas Perempuan tentang Kondisi Pemenuhan Hakhak Konstitusional Perempuan di 16 Kabupaten/Kota pada 7 Provinsi, Jakarta:
Komnas Perempuan, 2009.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Instrumen Pemantauan
Hak Asasi Manusia (HAM) Pekerja Migran dan Mekanisme Penanganan Korban
Pelanggaran HAM, Jakarta: Komnas Perempuan, 2009.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Teror dan Kekerasan
terhadap Perempuan: Hilangnya Kendali Negara, Catatan Kekerasan terhadap
Perempuan Tahun 2010, Jakarta: Komnas Perempuan, 2010.
Liza Hadiz dan Sri Wiyanti Eddyono, Pembakuan Peran Gender dalam Kebijakankebijakan di Indonesia, Jakarta: LBH-APIK, 2005.
Sulistyowati Irianto, Akses Keadilan dan Migrasi Global, Kisah Perempuan
Indonesia Pekerja Domestik di Uni Emirat Arab, Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2011.
121

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan

Tim Peneliti dari The Institute for Ecosoc Rights, Atase Tenaga Kerja dan
Perlindungan TKI, Jakarta: The Institute for Ecosoc Rights, 2010.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Surat Kabar:
Buruh Migran: Setelah Pulang, Lalu? Kompas, 5 November 2011.
Indonesia Harus Segera Hapus Hukuman Mati, Kompas, 23 Juni 2011.
TKI Tewas Dibunuh di Saudi, Media Indonesia, 19 November 2010.
Jenazah Kikim Gagal Dipulangkan, Republika, 12 Juli 2011.
Paspor Mendiang TKI DIhilangkan Aparat, Media Indonesia, 12 Juli 2011.
Moratorium TKI: Layanan Ke Arab Saudi Distop, Kompas, 28 Juni 2011.
Dokumen Resmi:
Bahan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Tim Khusus DPR RI terhadap
Penanganan Tenaga Kerja Indonesia di Saudi Arabia (Timsus TKI DPR
RI) dengan Satuan Tugas Penanganan Kasus WNI/TKI di Luar Negeri
yang Terancam Hukuman Mati (Satgas TKI), 10 Oktober 2011.
Internet:
Permohonan Ampunan Dikirim ke Saudi, http://www.seputar-indonesia.
com/edisicetak/content/view/435759/ diakses 14 Oktober 2011.

122

Sali Susiana

TKI Terancam Hukuman Mati Mundur Saja kalau Tak Mampu Selamatkan
TKI! Ary Wibowo | Inggried Dwi Wedhaswary | Jumat, 14 Oktober 2011
| 13:47 WIB http://nasional.kompas.com/read/2011/10/14/13470656/
Mundur.Saja.kalau.Tak.Mampu.Selamatkan.TKI., diakses 20 Oktober
2011.
http://id.mg6.mail.yahoo.com/neo/launch?.rand=0s9fneik6sjr4 diakses 25
Oktober 2011.
Masih Ada 44 TKI yang Terancam Hukuman Mati http://www.
tempointeraktif.com/hg/kesra/2011/11/05/brk,20111105-365055,id.
html, 5 November 2011, diakses 9 November 2011.
TKI Rentan Penularan HIV/AIDS, http://www.pikiran-rakyat.com/node/
164515, 7 November 2011, diakses 9 November 2011.

123

BAGIAN V
DIPLOMASI PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN
INDONESIA
Humphrey Wangke1

1 Penulis adalah peneliti Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian Pengolahan
Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR-RI.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Prioritas
Pembangunan Nasional Tahun 2010 menyebutkan bahwa peningkatan,
pembinaan, dan perlindungan pekerja migran2 Indonesia merupakan salah satu
prioritas dalam pembangunan nasional bidang ekonomi. Sedangkan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2010-2014 menyebutkan, peningkatan
pelayanan dan perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI)
merupakan salah satu dari 8 sasaran Pembangunan Nasional bidang Politik
Luar Negeri dengan target pelayanan bagi 14.998 WNI bermasalah sampai
dengan tahun 2014. Indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan
ini antara lain adalah:3
1. Peningkatan jumlah pelayanan warga yang diperkuat;
2. Jumlah WNI yang mendapatkan fasilitas penampungan di Perwakilan RI
di luar negeri;
3. Jumlah WNI yang mendapatkan fasilitas repatriasi;
4. Jumlah WNI yang difasilitasi dalam proses deportasi;
5. Jumlah WNI yang mendapatkan fasilitas bantuan hukum;
6. Terbentuknya data base WNI dan BHI di tiap Perwakilan RI di luar
negeri.
Karena pekerja migran Indonesia merupakan bagian dari WNI yang
berada di luar negeri, maka dapat dipastikan bahwa pekerja migran Indonesia
merupakan bagian dari target pelayanan dan perlindungan yang diberikan
dalam kerangka RPJMN, dan isu perlindungan pekerja migran Indonesia
2 Secara internasional, pengertian pekerja migran adalah a person who is to be engaged, is engaged or
has been engaged in a remunerated activity in a State of which he or she is not a national, lihat pasal
2 International Convention of the Rights of All Migrant Workers and Their Family.
3 Teguh Wardoyo, SH., Diplomasi Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dalam Jurnal
Diplomasi, Vol. 2, No. 1, Tahun 2010, hal. 59-60.

127

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

adalah salah satu prioritas tidak hanya dalam diplomasi namun juga politik
luar negeri Indonesia. Dengan kata lain perlindungan kepentingan warga
negara merupakan misi primer dalam konteks hubungan diplomatik dan
konsuler. Karena mayoritas WNI yang berada di luar negeri merupakan pekerja
migran Indonesia yang bekerja di sektor-sektor informal dan rentan mengalami
berbagai permasalahan pelik pada masa penempatannya, maka diplomasi yang
bertujuan untuk perlindungan pekerja migran Indonesia serta pelayanan
dan perlindungan oleh diplomat Indonesia merupakan hal mutlak untuk
dilaksanakan dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Pekerja migran Indonesia yang
bekerja di luar negeri berada kurang lebih di 17 negara yang tersebar di wilayah
Asia Tenggara dan Timur seperti Singapura, Malaysia, Jepang, Taiwan, Korea
Selatan dan Hong Kong; wilayah Timur Tengah seperti Arab Saudi, Kuwait,
Mesir, Qatar dan Yordania, serta negara-negara di wilayah Eropa.
Dalam catatan Migrant Care, jumlah pekerja migran Indonesia yang bekerja
di luar negeri mencapai 6 juta orang.4 Dari jumlah tersebut hampir 80% adalah
perempuan yang mayoritas bekerja di sektor domestik atau pekerja rumah
tangga. Sementara untuk kawasan Asia Tenggara, menurut data dari Organisasi
Migrasi Internasioal (International Organization for Migration), terdapat 5 juta
pekerja migran.5 Dari jumlah tersebut, sebagian terbesar didominasi oleh
pekerja migran Indonesia. Seperti menurut catatan Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi, pada tahun 2010, jumlah pekerja migran Indonesia yang
bekerja di Malaysia tercatat 2.679.536 orang dengan jumlah remitansi mencapai
6,6 milyar dolar AS. Jumlah tersebut merupakan 65 persen dari total pekerja
migran yang bekerja di Malaysia. Kondisi yang sama juga terlihat di Singapura.
Dari 198.000 pekerja migran yang bekerja di Singapura, jumlah pekerja migran
Indonesia mencapai 80.150 orang. Sedangkan di Brunei Darussalam, dari
148.00 tenaga kerja yang bekerja di sana, jumlah pekerja migran Indonesia
mencapai 40.500 orang.
Meskipun jumlah pekerja migran Indonesia sangat besar, akan tetapi
perlindungan terhadap mereka selama ini sangat lemah. Berbagai aksi
kekerasan atau pelecehan terhadap pekerja migran Indonesia praktis terjadi di
hampir semua negara penempatan. Di Arab Saudi, Malaysia, Singapura, Hong
Kong, dan Taiwan, para pekerja migran Indonesia mendapatkan perlakuan
yang buruk. Sepanjang tahun 2009, menurut catatan Migrant Care, angka
4 Anis Hidayah, Wajah Diplomasi Perlindungan Perlindungan Buruh Migran Indonesia, dalam
Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1, Tahun 2010, hal. 104.
5 Titik Temu Masih Jauh, Kompas 15 April 2011, hal. 17.

128

Humphrey Wangke

kematian terhadap pekerja migran Indonesia mencapai 1.018 orang di seluruh


negara penempatan.6 Dari jumlah tersebut, 683 pekerja migran Indonesia atau
67% meninggal di Malaysia. Dari seluruh kematian tersebut, 54% diantaranya
adalah laki-laki, 39% adalah perempuan dan 7% tidak teridentifikasi. Dari
jumlah kematian tersebut, diketahui ada beberapa macam penyebab kematian,
diantaranya karena sakit, aksi kekerasan, kecelakaan kerja, kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian, kebakaran, bencana alam, bunuh diri dan lainlain. Karena itu sangat ironis bahwa ditengah-tengah besar remitansi yang
diterima negara terdapat angka kematian yang jumlahnya signifikan.
Untuk mencegah resiko semakin meningkatnya jumlah pekerja migran
Indonesia yang menjadi korban kekerasan di negara penempatan, pemerintah
Indonesia memutuskan untuk memberlakukan moratorium atau penghentian
sementara pengiriman tenaga kerja. Seperti pada bulan Mei 2009, pemerintah
Indonesia menghentikan sementara (moratorium) pengiriman pekerja migran
ke Malaysia. Demikian pula ke Arab Saudi, pemerintah menghentikan
sementara pengiriman pekerja migrannya sejak 1 Agustus 2011. Penghentian
ini dilakukan sebagai upaya untuk memaksa pemerintah Malaysia dan Arab
Saudi melakukan perlindungan terhadap para pekerja migran Indonesia yang
bekerja di negara tersebut. Selama MoU antara Indonesia-Malaysia belum
selesai diperbaharui, pemerintah Indonesia tidak akan mengirim tenaga kerja
ke negara tersebut.7
Namun masalahnya, perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri
tidaklah berdiri sendiri. Sebab, jika pemerintah tidak mampu menyediakan
lapangan pekerjaan alternatif di dalam negeri maka para pekerja migran
Indonesia tersebut akan mencari pekerjaan di luar negeri dengan segala resiko
yang harus diterima. Faktanya, moratorium yang diberlakukan pemerintah
tidak mampu membendung keinginan para pekerja migran Indonesia untuk
mencari pekerjaan di luar negeri. Kementerian Tenaga kerja dan Transmigrasi
mencatat mencatat tidak kurang dari 11.000 orang pekerja migran Indonesia
yang telah bekerja di Malaysia sejak moratorium diberlakukan. Dapat dipastikan
bahwa mereka berangkat melalui jalur ilegal. Dengan kata lain dapat dipastikan
bahwa tidak mudah membendung arus pekerja migran Indonesia ke Malaysia
tersebut. Ada tiga kendala yang menjadi penyebabnya, yaitu:8 pertama, kebijakan
6 Anis Hidayah, ibid, hal. 106.
7 Pada bulan Mei 2011, di Bandung, kedua negara telah menandatangani MoU yang diperbaharui.
8 Pemerintah Kembali Kirim TKI ke Malaysia, dalam http://bisniskeuangan.kompas.com/, diakses
tanggal 15 April 2011.

129

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

bebas visa berkunjung ke Malaysia. Kedua, penegakan hukum yang masih


lemah. Ketiga, terbukanya daerah perbatasan membuat pemerintah kesulitan
mendeteksi lalu lintas migrasi penduduk.
B. Permasalahan
Hingga saat ini belum ada kerangka hukum internasional yang mengatur
tentang migrasi pekerja migran. Kebijakan tentang migrasi umumnya
dilakukan oleh pemerintah pada tingkat nasional tanpa melakukan konsultasi
dengan pemerintah negara lainnya sejak hak untuk menentukan seseorang
boleh memasuki wilayah suatu negara atau tidak, apa tujuan, dan berapa
lama seseorang boleh tinggal, menjadi masalah kedaulatan negara. Dalam
banyak kasus, kebijakan semacam itu selanjutnya diimplementasikan melalui
persetujuan bilateral. Juga ada beberapa konvensi internasional terkait dengan
hak-hak pekerja migran dan keluarganya yang mempunyai peran penting
dalam memberikan perlindungan terhadap pekerja migran di seluruh dunia
namun sayangnya tidak dikuti dengan mekanisme penegakan atau kerangka
pengaturan migrasi internasional yang bersifat mengikat. Karenanya, banyak
negara pengirim yang mengembangkan kebijakan tentang pekerja migran
tanpa secara khusus mengacu pada hak-hak para pekerja migran. Terbatasnya
komitmen baik oleh negara pengirim maupun oleh negara penerima dalam
melindungi pekerja migran menjadikannya sangat rawan terhadap pelanggaranpelanggaran didalam semua tahapan proses migrasi. Memperhatikan kondisi
yang demikian itu, maka yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah
apa respon Indonesia terhadap pekerja migrannya yang sering mengalami
perlakuan yang tidak semestinya?
C. Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Bagaimana perlakuan buruk
yang dialami oleh para pekerja migran pada umumnya; 2. Apa pentingnya
pengaturan secara resmi pengiriman dan penempatan tenaga kerja migran; 3.
Bagaimana diplomasi yang dilakukan Indonesia dalam rangka meningkatkan
perlindungan terhadap para pekerja migrannya.

130

BAB II
Kerangka Pemikiran

Menteri Luar Negeri Indonesia Haji Agus Salim suatu ketika pernah
mengatakan politik luar negeri adalah apa yang kita mau sedangkan diplomasi
adalah apa yang kita dapat. Diplomasi pada dasarnya merupakan diskusi
atau proses perundingan yang dilakukan secara verbal dengan tujuan untuk
mempengaruhi atau mengubah posisi lawan bicara. Diplomasi juga dapat
berarti sebagai sebuah perundingan tentang suatu masalah yang sedang dihadapi
dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang dapat diterima oleh semua pihak.
Karena itu, diplomasi sering disebut sebagai seni karena setiap situasi yang
dihadapi memerlukan kemampuan dalam hal membujuk atau mempengaruhi
namun pada saat yang bersamaan juga harus bersikap tegas.9 Lebih luas lagi,
diplomasi seringkali digunakan sebagai upaya untuk memelihara komunikasi
terbuka diantara pihak-pihak yang memiliki berkepentingan yang berbeda
dengan harapan bahwa perbedaan pandangan ataupun perselisihan diantara
kedua belah pihak dapat diselesaikan secara damai.
Didalam ilmu hubungan internasional, pemahaman tentang diplomasi
salah satunya dapat kita ketahui dari pendapat yang dikemukakan oleh Ernest
Satow yang mengatakan diplomacy is the application of intellegent and tact to the
conduct of officials relation between the governements of independents states.10 Dari
pemahaman yang dikemukakan itu terlihat bahwa implementasi diplomasi
tidak dapat dipisahkan dari wewenang, fungsi dan tugas Kementerian Luar
Negeri. Namun seiring dengan berkembanganya globalisasi dan demokratisasi
di seluruh dunia, batas-batas profesional diplomasi telah meluas bukan lagi
menjadi wilayah yang secara tradisional milik para diplomat yang berada di

9 Lihat, Jennifer Aiken and Eric Brahm, Diplomacy, Guy Burgess and Heidi Burgess (eds.), Beyond
Intractability, Conflict Research Consortium, University of Colorado, Boulder, Januari 2005.
10 Lihat Lord Gore-Booth, (ed), Satows Guide to Diplomatic Practice, 5th edition, Longman Group Limited,
New York, 1979, hal. 3.

131

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

Kementerian Luar Negeri.11 Aktor-aktor diplomatik alternatif telah muncul


didalam dan di luar negara dan seringkali bertindak secara independen
diluar Kementerian Luar Negeri. Diplomasi sebagai profesi telah mengalami
perubahan definisi, kualifikasi dan ekspektasi dari apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan oleh seorang diplomat.
Diplomasi publik yang ditandai oleh partisipasi aktor-aktor bukan negara
dalam politik luar negeri dan hubungan internasional telah berkembang menjadi
fenomena baru yang banyak terjadi di negara-negara maju dan mulai diikuti oleh
negara-negara berkembang. Perbedaan antara masalah-masalah dalam negeri
dengan kebijakan luar negeri secara perlahan menjadi kabur berkat adanya
partisipasi multi aktor dalam diplomasi publik. Perkembangan penting dalam
kegiatan diplomatik yang tidak lagi dilakukan oleh pelaku tradisional seperti
Kementerian Luar Negeri pada akhirnya mengundang pertanyaan tentang
definisi diplomasi, peran dan tugas Kementerian Luar Negeri. Diplomat yang
berada di Kementerian Luar Negeri kini harus berhadapan dengan aktoraktor baru dan agenda-agenda baru, yang menuntut mereka harus melakukan
adaptasi terhadap perkembangan yang sedemikian cepat ini.
Di dalam proses adaptasi itu, ada Kementerian Luar Negeri yang
berupaya menghalangi masuknya aktor-aktor non tradisional tersebut ke
dalam arena internasional, atau ada Kementerian Luar Negeri yang secara
bertahap menerima peran pelengkap dalam pertemuan internasional. Ada
pula Kementerian Luar Negeri yang berhasil mengubah perannya dari yang
semula sebagai pelaku utama dalam kebijakan luar negeri menjadi koordinator
antar departemen dalam proses perumusan kebijakan luar negeri. Ada pula
Kementerian Luar Negeri yang berperan sebagai lembaga konsultasi dalam
pengambilan keputusan mengenai politik luar negeri dengan mendudukkan
diplomatnya sebagai anggota delegasi dalam perundingan internasional. Semua
perubahan ini mengindikasikan bahwa didalam era globalisasi saat ini, peran
dan fungsi negara telah semakin terbatas. Implementasi first track diplomacy
harus menyesuaikan dengan perkembangan globalisasi dunia saat ini.
Kecenderungan terhadap desentralisasi kekuasaan atau pengalihan
tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi telah
meningkat secara dramatis.12 Melalui pendekatan semacam ini, petugas
keamanan dan masyarakat yang berada di daerah akan lebih dilibatkan
11 Untuk lengkapnya lihat, Raymond Sayner and Lichia Yiu, International Economics Diplomacy:
Mutations in Post-modern Times, Netherlands Institute on International Relations Clingendael,
2001, hal. 3.
12 Ibid.

132

Humphrey Wangke

dalam mengatasi masalah kejahatan transnasional yang secara tradisional


selalu dimonopoli oleh pemerintah pusat. Sebagai ganti dari negosiasi antarnegara, maka pemerintah lokal diberi kewenangan untuk menjalin kerjasama
yang bersifat sektoral dengan pihak luar negeri. Partisipasi dari aktor-aktor
subnasional dalam hubungan antar negara telah membawa implikasi bagi
Kementerian Luar Negeri untuk lebih meningkatkan kapasitas diplomasi dan
diplomatnya.
Didalam perkembangannya, sejalan dengan pesatnya kemajuan teknologi
dibidang informasi dan komunikasi, diplomasi tidak hanya digunakan sebagai
ujung tombak perundingan dengan negara lain tetapi juga sebagai sarana
untuk menjelaskan kepentingan nasional ke luar negeri. Di samping itu,
diplomasi juga berfungsi untuk mengkomunikasikan apa yang terjadi di luar
negeri ke dalam negeri. Seperti masalah perubahan iklim dan korupsi yang
bukan hanya menjadi isu internasional tetapi juga telah menjadi ikon baru
kebijakan Indonesia untuk memperbaiki managemen kehutanan dan birokrasi
di Indonesia agar bebas dari korupsi. Pendekatan yang bersifat intermistik
semacam ini menuntut diplomasi harus mampu menjelaskan kepada masyarakat
tentang isu-isu yang berkembang di dalam negeri maupun yang di luar negeri
secara seimbang sebab baik isu yang berkembang di dalam negeri maupun isu
internasional mempunyai saling keterkaitan.
Sebagai sebuah proses perundingan yang bersifat formal, diplomasi yang
dilakukan pemerintah dapat berlangsung secara bilateral antara dua negara atau
multilateral melibatkan banyak negara, dan dapat berlangsung secara regional
atau global melalui organisasi internasional antar-pemerintah (IGO). Diplomasi
yang dilakukan pemerintah, pada dasarnya merupakan proses komunikasi yang
dilakukan secara resmi dalam mengambil keputusan dengan lawan bicara.13
Namun sejalan dengan kompleksnya permasalahan yang dihadapi negara-negara
di dunia, diplomasi saat ini tidak hanya melibatkan pemerintah saja tetapi juga
kalangan non pemerintah.14 Oleh karena itu menurut Melissen, diplomasi juga
berarti the mechanism of representation, communication and negotiation through
which states and other international actors conduct their business.15 Definisi yang
diberikan oleh Melissen ini memperlihatkan bahwa pelaku diplomasi bukan
hanya monopoli negara atau pemerintah saja tetapi juga bisa dilakukan oleh
aktor-aktor non-negara.
13 Susan Allen. Track I Diplomacy, dalam Guy Burgess and Heidi Burgess (eds.), op. cit.
14 Raymond Saner and Lichia Yiu, op. cit., hal.3
15 Jan Melissen, ed., Innovation in Diplomatic Practice, MacMillan, London, 1999, hal. xvi-xvii.

133

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

Pelibatan kalangan informal ini dibutuhkan karena tidak selalu


perundingan yang dilakukan oleh pemerintah berlangsung secara efektif. Tidak
jarang perundingan yang dilakukan pemerintah mengalami deadlock karena
masing-masing pihak tetap bersikukuh pada pendiriannya. Dalam kondisi
seperti ini, dialog tidak resmi yang dilakukan kalangan informal akan sangat
membantu terutama untuk memelihara suasana dialogis diantara para pihak.
Namun semakin luasnya representasi dan partisipasi kelompok kepentingan
yang berbeda juga membawa resiko.16 Di satu sisi akan mendorong terjadinya
demokratisasi proses politik pada tingkat nasional dan global namun di lain
sisi juga akan membuat diplomasi dan hubungan internasional menjadi rawan
terfragmentasi dan menjadi konflik terbuka karena terlalu banyak negara
dan aktor bukan negara yang harus berhadapan karena memiliki tujuan yang
berbeda.
Dalam masalah perlindungan pekerja migran Indonesia, kata diplomasi
ternyata bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri, tetapi juga terkait dengan
aktor atau pelaku, misi, pesan, argumentasi serta momentum.17 Momentum
mempunyai peran penting karena kebijakan pemerintah untuk melakukan
moratorium pengiriman pekerja migran di sektor informal karena ada satu
peristiwa kekerasan atau penganiyaan seperti kasus Siti Hajar di Malaysia
dan kasus Ruyati binti Satibi di Arab Saudi. Dari kejadian-kejadian seperti
itu pemerintah Indonesia kemudian melakukan evaluasi terhadap pengiriman
tenaga kerja ke Malaysia dan Arab Saudi dengan kebijakan moratorium.

16 Raymond Saner and Lichia Yiu, op. cit.


17 Lihat, Dai Bachtiar, Diplomasi Perlindungan WNI/TKI, dalam Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1,
Maret 2010, hal. 2.

134

BAB III
Pembahasan

A. Perlakuan Buruk terhadap Pekerja Migran


Salah satu tantangan terbesar yang kini dihadapi negara-negara di dunia
adalah lemahnya perlindungan terhadap hak-hak para pekerja migran. Belum
pernah terjadi sebelumnya begitu banyak orang yang bergerak meninggalkan
negara asal menuju ke segala penjuru dunia untuk mencari pekerjaan.18 Laju
pertumbuhan ekonomi global telah menciptakan lebih banyak pekerja migran
daripada sebelumnya. Pengangguran dan meningkatnya kemiskinan telah
mendorong banyak pekerja di negara-negara berkembang untuk mencari pekerjaan
di tempat lain, sementara negara-negara maju telah meningkatkan permintaan
mereka untuk tenaga kerja, khususnya tenaga kerja terampil. Akibatnya, jutaan
pekerja dan keluarga mereka melakukan perjalanan ke negara-negara selain
negara mereka sendiri untuk mencari pekerjaan. Saat ini diperkirakan terdapat
175 juta migran di seluruh dunia, sekitar setengahnya adalah pekerja migran
dan 15% diantaranya memiliki status yang tidak teratur.19 Dalam perkiraan itu,
tentu saja, tenaga kerja migran dari Asia termasuk didalamnya. Jumlah ini akan
terus berkembang seiring dengan semakin terbukanya hubungan antar-negara
dewasa ini yang menandai babak baru era globalisasi. Salah satu masalah serius
yang dihadapi oleh para tenaga kerja migran ini adalah pelanggaran terhadap
hak-hak dan kebebasan fundamental mereka.
Sungguh ironis, kemajuan ekonomi negara-negara di kawasan Asia
yang sangat luar biasa seperti yang dipublikasikan oleh Organisasi Buruh
Internasional tahun 2004 ternyata tidak diimbangi dengan perbaikan kondisi
18 Jumlah orang yang meninggalkan tanah kelahirannya meningkat pesat dari 76 juta orang pada tahun
1960-an menjadi 175 juta orang pada tahun 2000 dan 190,6 orang pada tahun 2005. Lihat, Graeme
Hugo, Internasional Migration and Development in Asia, makalah yang dipresentasikan dalam
Konperensi ke-8 International Conference of the Asia Pacific Migration Research Network , Fushou, Cina,
25-29 Mei 2007, hal. 2.
19 Untuk lengkapnya lihat, http://www.ilo.org/global/standards/subjects-covered-by-internationallabour-standards/migrant-workers/, diakses 19 September 2011.

135

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

sosial, ekonomi dan keamanan para pekerja migran.20 Di seluruh Asia, jutaan
tenaga kerja yang berasal dari Indonesia, Bangladesh, India, Nepal, Pakistan,
Sri Langka, Philipina, Vietnam dan Cina, bermigrasi mencari pekerjaaan di
negara lain. Migrasi tenaga kerja ini memiliki dampak positif maupun negatif.21
Secara positif, banyak kemajuan perekonomian negara-negara di kawasan Asia
yang terjadi karena kehadiran para pekerja migran itu. Bagi pekerja migran,
migrasi menawarkan kesempatan untuk mendapatkan upah yang lebih baik
daripada di negaranya sendiri. Sementara bagi negara pengirim, migrasi
merupakan peluang untuk menawarkan pekerjaan bagi warganya di luar negeri
sekaligus sebagai sumber devisa melalui remitan.22 Sedangkan bagi negara
penerima, migrasi tenaga kerja merupakan peluang untuk mendapatkan tenaga
kerja murah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.23
Sementara dari sisi negatif, bagi negara asal, masalah akan muncul sejak dari
perekrutan, persiapan pemberangkatan, sampai dengan penempatan. Tingginya
akan pengangguran, putus sekolah serta kemiskinan telah menciptakan tenaga
kerja dengan kualitas rendah dalam jumlah besar. Mereka akan mudah tertarik
bekerja di luar negeri karena gaji yang diterima lebih tinggi dibandingkan
pekerjaan yang sama di negara asalnya. Praktek-praktek perekrutan secara
illegal serta tingginya biaya perekrutan telah membawa para pekerja terjebak
dalam utang ketika hidup di luar negeri. Pekerja migran yang tidak cukup
terlatih seringkali tidak mengetahui tentang hak-hak yang dimilikinya sehingga
sangat mudah dieksploitasi. Sementara bagi negara-negara transit dan tujuan
akan menghadapi masalah-masalah yang terkait dengan migrasi secara illegal,
jaringan organisasi kejahatan perdagangan dan penyelundupan orang serta
masalah-masalah sosial lainnya.
Meskipun terlihat saling membutuhkan dan saling menguntungkan,
akan tetapi para pekerja migran seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak
adil. Ketidakadilan yang dialami buruh migran ini sangat beragam mencakup
pengupahan yang dibawah standar gaji pada umumnya, jam kerja yang
20 Untuk lengkapnya lihat Laporan ILO, Towards a fair deal for migrant workers in the global economy,
Genewa, 2004.
21 Graeme Hugo, International Migration and Development in Asia, makalah yang disampaikan
dalam Konperensi Internasional ke-8 International Conference of the Asia Pacific Migration Research
Network di Fuzhou, China, 25-29 May 2007, hal. 1.
22 IMF mendefinisikan remitan sebagai current private transfers from migrant workers who are
considered residents of the host country to recipients in the workers country of origin. Lihat, World
Bank, Migration and Remittances Factbook 2011, Second Edition, Washington DC, 2011, hal. xvi.
23 Siuaji Raja, An Analysis on Indonesia Migrant Workers From the Perspective of Human Rights,
Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1, Tahun 2010, hal. 133.

136

Humphrey Wangke

berlebihan, keselamatan yang terabaikan, perlakuan yang tidak manusiawi


sampai dengan menjadi korban trafficking.24 Mereka praktis tidak mendapatkan
kesempatan untuk berkeluh kesah dan selalu berada dalam ancaman di deportasi
jika kehadiran mereka tidak dilakukan secara resmi. Dari sinilah kemudian
muncul masalah hak asasi pekerja migran. Karena itu, tiba saatnya bagi semua
pihak untuk mencari cara atau mekanisme yang tepat dalam melindungi dan
memajukan hak-hak para pekerja migran, baik di negara asal maupun di negara
tujuan.
Kecenderungan terpenting dari migrasi tenaga kerja di Asia adalah
kepedulian pemerintah terhadap fenomena ini, termasuk didalamnya adalah
upaya untuk mengendalikan dan memperbesar keuntungan yang diperoleh
dari pergerakan tenaga kerja ini.25 Karena itu negara-negara di kawasan Asia
Tenggara yang memiliki tenaga kerja informal dalam jumlah besar kemudian
mendirikan lembaga-lembaga yang bertugas memfasilitasi atau mempermudah
pengiriman tenaga kerja migran ke luar negeri dengan tujuan untuk memperbesar
penerimaan negara melalui remitan yang dikirim oleh pekerja migrannya serta
dalam memberikan perlindungan.26 Keberadaan lembaga Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tidak
terlepas dari keinginan pemerintah Indonesia untuk melindungi tenaga kerja
migran Indonesia yang tereksploitasi di luar negeri. Demikian pula dengan
di Filipina terdapat Philippine Overseas Employment Administration (POEA) yang
dibentuk sejak tahun 1982 dengan tujuan untuk mengatur pola-pola perekrutan
dan penempatan pekerja migran Filipina di luar negeri.27
Buruknya perlindungan terhadap para pekerja migran bukan hanya
menjadi perhatian pengamat ataupun pemerintah saja tetapi juga parlemen.
Seperti dalam pertemuan Asia Pacific Parlementarians Forum yang berlangsung
di Ulan Bator, Mongolia, tanggal 23-27 Januari 2011, masalah pekerja migran
telah mendapat perhatian serius. Pertemuan tersebut berhasil membahas dan
menyepakati Resolution on Protection of the Rights of the Migrant Workers yang
24 Jacqueline Joudo Larsen, Migration and people trafficking in southeast Asia, Trends & Issues in crime
and criminal justice, Vol. 401, Australian Institute of Crimonology, November 2010, hal. 3.
25 Lihat, Dr. Manuel Orozco, Regional Integration? Trends and Patterns of Remittance flows within
South East Asia, terutama Bab II Migration Trends in Southeast Asia, August 2005, dalam http://www.
adb.org/Documents/Reports/Workers-Remittance/chap2.pdf, diakses tanggal 19 september 2011,
hal. 3-4.
26 Thailand, Filipina dan Indonesia merupakan contoh negara yang telah mendirikan lembaga
pemerintah baik di dalam negeri maupun di negara penempatan untuk melindungi tenaga kerja
migrannya. Lihat, Jacqueline Joudo Larsen, op cit.
27 Dovelyn Rannveig Agunias and Neil G. Ruiz, Protecting Overseas Workers: Lessons and Cautions
from the Philippines, dalam Migration Policy Institute, September 2007, hal. 6.

137

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

disponsori oleh Indonesia. Lahirnya resolusi itu tidak terlepas dari keprihatinan
Indonesia dan negara-negara peserta lainnya terhadap perlakuan buruk yang
seringkali dialami oleh para pekerja migran, terutama yang berhubungan
dengan hak-hak asasi mereka, seperti perlakuan diskriminasi, gaji yang rendah,
keselamatan yang terabaikan, serta menjadi kelompok masyarakat yang
terpinggirkan.
Dalam forum yang lebih luas seperti pertemuan Asian Parlementary
Assembly (APA) yang berlangsung di Solo, tanggal 28-29 September 2011,
masalah perlindungan pekerja migran kembali menjadi perdebatan hangat.
Dalam pertemuan tersebut, negara-negara peserta menyepakati Resolution on
the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers in Asia. Resolusi yang
diusulkan Delegasi DPRRI ini pada intinya menghendaki agar, baik negara
pengirim maupun negara penerima mempunyai persepsi dan komitmen yang
sama dalam menjamin dan meningkatkan perlindungan terhadap hak-hak dan
martabat para pekerja migran. Ini berarti bahwa baik negara pengirim maupun
negara penerima sama-sama membutuhkan adanya figur pekerja migran. Karena
itu perlu kerja sama untuk memndapatkan pemahaman dalam perlindungan
hak-hak asasi pekerja migran. Dalam kaitan ini, aspek perlindungan HAM
telah menjadi landasan utama dalam manajemen migrasi internasional sebab
bagaimanapun juga para pekerja migran ini telah memberikan kontribusi yang
nyata terhadap pembangunan ekonomi di negara penempatan maupun negara
pengirim.
Demikian pula di tingkat Asia Tenggara, anggota-anggota parlemen dari
negara-negara ASEAN telah menyelenggarakan sebuah seminar di ibukota
Kamboja, Pnom Penh, tentang peran parlemen dalam melindungi dan
memajukan hak-hak para pekerja migran di antara negara-negara anggota
ASEAN. Seminar yang berlangsung selama tiga hari pada bulan April 2011 pada
intinya bertujuan untuk meningkatkan kemitraan di antara parlemen negaranegara anggota ASEAN dalam memberikan perlindungan dan memajukan
hak-hak para pekerja migran. Migrasi penduduk yang bertujuan untuk mencari
pekerjaan ini telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat sebab
tidak jarang mereka menjadi korban dari kejahatan transnasional. Banyak
tenaga kerja wanita dan anak-anak menjadi korban eksploitasi dan perdagangan
orang.
Besarnya perhatian seperti di atas tidak terlepas dari posisi Asia yang telah
menjadi kawasan dengan tingkat migrasi pekerja migran yang tinggi, bukan
hanya dalam jangka pendek tetapi juga untuk jangka panjang. Kebanyakan
138

Humphrey Wangke

dari pekerja migran itu bukan hanya bekerja secara legal di negara tujuan
berdasarkan kontrak kerja jangka pendek, tetapi migrasi pekerja yang tidak
berdokumen juga telah berkembang pesat. Kecenderungan lainnya yang perlu
dicatat adalah meningkatnya jumlah pekerja migran wanita khususnya yang
berangkat secara perseorangan. Beberapa negara seperti Jepang dan Singapura
merupakan negara penerima pekerja migran. Sementara negara seperti
Indonesia dan Filipina merupakan negara pengirim tenaga kerja. Sedangkan
Malaysia sebenarnya bukan hanya negara penerima pekerja migran tetapi juga
pengirim.
Pergerakan manusia yang melibatkan pekerja migran secara ekonomi sangat
penting terutama bagi negara pengirim karena akan memberikan pemasukan
devisa dalam jumlah yang besar. Bagi negara yang mengalami surplus tenaga
kerja, remitan menjadi faktor utama migrasi tenaga kerja. Seperti Indonesia
yang pada tahun 2010 menurut Bank Dunia menerima remitan sebesar 7,1
milyar dolar Amerika Serikat28, dengan pendapatan terbesar dari Malaysia
yaitu 2,3 milyar dolar Amerika Serikat (35 persen) diikuti dengan Arab Saudi
sebesar 2,2 milyar dolar Amerika Serikat (32 persen), Hong Kong 425 juta
dolar Amerika Serikat (6,6 persen), Taiwan 425 juta dolar Amerika Serikat (6,4
persen), Singapora 425 juta dolar Amerika Serikat (6,4 persen), Uni Emirat
Arab 179 juta dolar AS (2,7 persen), dan Jepang 142 juta AS (2.1 persen).
Jumlah 7,1 milyar dolar AS tersebut sama artinya dengan 1,6 persen dari
GDP Indonesia dan sekitar sepertiga dari total investasi langsung (FDI) di
Indonesia.29 Dengan jumlah yang demikian besar, remitan menjadi salah satu
sumber pemasukan devisa bagi Indonesia. Akan tetapi, kebanyakan pekerja
migran Indonesia berasal dari Pulau Jawa dan Nusa Tenggara Timur sehingga
praktis hanya kedua provinsi itu yang paling diuntungkan sementara provinsi
lainnya tidak.
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh pekerja migran bukan hanya
membuat mereka menderita tetapi juga menciptakan kesulitan baru bagi
keluarga mereka dan masyarakat pada umumnya. Beragamnya persoalan yang
dihadapi oleh para pekerja migran pada akhirnya mengajak kita semua untuk
senantiasa mendiskusikan dan mencari solusi yang tepat atas permasalahan
yang dihadapi oleh para pekerja migran. Tentu saja, guna mengatasi masalah
seperti ini bukanlah dengan mencegah mereka melakukan migrasi, tetapi
28 Lihat, World Bank, op. cit., hal. 13.
29 International Organization for Migration (IOM) Indonesia, Remittances and Indonesia, Factsheets,
IOM, 2010, hal. 3.

139

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

bagaimana mencari cara yang tepat untuk melindungi mereka. Sudah tiba
saatnya untuk menilai para pekerja migran dari sisi kemanusiaan. Mereka harus
dilindungi karena keberadaan mereka di negara penempatan menyangkut citra
bangsa, baik bagi negara pengirim maupun negara penerima. Sudah waktunya
untuk memikirkan langkah-langkah strategis bagi keselamatan dan keamanan
para pekerja migran tersebut. Melalui dialog yang konstruktif antara negara
pengirim dan penerima diharapkan akan menemukan pemahaman yang sama
dan solusi dalam menangani masalah pekerja migran.
Bila dilihat dari perkembangannya, sudah pasti, jalan terbaik yang perlu
didahulukan adalah kerja sama secara formal antara negara pengirim dengan
negara penerima untuk memaksimalkan keuntungan yang didapat serta
mengurangi dampak negatif dari migrasi tenaga kerja. Menurut Wakil Presiden
Boediono, peningkatan kerjasama antara negara merupakan salah satu solusi
yang efektif untuk mengatasi celah hukum dan kelonggaran ketertiban antara
negara yang satu dengan lainnya.30 Komitmen dari kedua negara yaitu antara
negara pengirim dan penerima menjadi sangat penting dalam upaya melindungi
hak-hak asasi para pekerja migran. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah
mengembangkan kerja sama diantara negara-negara di Asia terutama untuk
mendapatkan kesamaan pandangan dalam perlindungan hak-hak asasi para
pekerja migran. Melalui kesamaan pandangan ini diharapkan dapat ditemukan
solusi bagi perlindungan terhadap hak-hak asasi para tenaga kerja migran.
Dalam jangka panjang, hal ini berarti akan mengurangi keberagaman sistem
dan standar penegakan hukum dan ketertiban pengiriman dan penerimaan
pekerja migran diantara negara yang berkepentingan.
B. Urgensi Pengaturan Secara Resmi
Para pekerja migran Indonesia menjadi korban perdagangan dan
penyelundupan orang atau bentuk-bentuk penyiksaan lainnya karena pemerintah
Indonesia belum menganggap penting pengaturan secara resmi. Untuk
mencegahnya, solusi yang paling mungkin dilakukan adalah dengan melakukan
pengiriman tenaga kerja keluar negeri secara resmi, melalui pengaturan yang
dilakukan oleh negara pengirim dengan negara penerima, sehingga setiap
pengiriman pekerja migran semuanya serba tercatat. Jika terjadi masalah
maka pemerintah kedua negara dengan mudah dapat segera mengatasinya.
Pengaturan secara resmi ini bukan hanya melibatkan pemerintahan di tingkat
pusat saja, tetapi di tingkat provinsi juga harus mempunyai satu devisi khusus
30 Lihat, Boediono: Kerja Sama Perkecil Celah Hukum, dalam Kompas, 12 Oktober 2011, hal. 3.

140

Humphrey Wangke

yang menangani dan mencegah masalah pengiriman pekerja migran secara


illegal.
Pengaturan secara resmi ini bisa dilakukan dengan membuat MoU antara
pemerintah RI dengan negara penempatan atau antara PPTKIS di Indonesia
dengan lembaga serupa di negara penempatan. Prinsipnya pengiriman dan
penempatan tenaga kerja di luar negeri harus dilakukan atas dasar Government
to Government atau Business to Business. Melalui pengaturan secara resmi ini,
akan lebih mudah untuk menyelesaikan masalah jika terjadi penyimpanganpenyimpangan didalam pelaksanaannya. Sebab akan lebih mudah ditelusuri
siapa yang bertanggung jawab jika ada pekerja migran Indonesia yang mengalami
mistreatment. Pengiriman tenaga kerja terjadi karena adanya faktor supply and
demand. Karena itu negara-negara yang menjadi tujuan penempatan harus diajak
berdialog untuk menyelesaikan masalah penyiksaan terhadap pekerja migran
Indonesia yang jelas-jelas sangat merendahkan martabat bangsa. Semua negara
tujuan penempatan hendaknya dapat memahami bahwa kesepakatan melalui
MoU yang mengatur tentang pengiriman dan penempatan tenaga kerja akan
memudahkan melakukan perlindungan terhadap para pekerja migran. Karena
itu, Indonesia harus berani menegosiasikan perjanjian bilateral dengan negara
penerima untuk meminimalkan terjadinya kekerasan terhadap para pekerja
migran Indonesia.
Pengiriman pekerja migran Indonesia secara ilegal hanya menguntungkan
pihak yang mengirim dan yang menerima tetapi tidak untuk yang dikirim,
sebab ia tidak mempunyai kepastian apapun tentang masa depannya. Ia hanya
akan menjadi korban eksploitasi sebab harus bekerja tanpa ada jaminan
berapa dan kapan gaji akan diterima sebab ketika bekerja majikan harus
membayar sejumlah uang kepada PPTKIS setempat sebagai dana kompensasi
dari pengiriman dan pembinaan pekerja migran Indonesia tersebut. Ketika
bekerja, passport mereka ditahan. Jika dikirim secara resmi maka akan mudah
diketahui ijin kerja mereka, gaji, tempat kerja dan lainnya. Pemerintah daerah
yang menjadi tempat transit juga akan lebih mudah mengatasi masalah jika
kondisinya telah teratur sejak awal. Jika tidak resmi, pemerintah daerah akan
kesulitan mengawasi adanya praktek-praktek trafiking.
Akan tetapi untuk melakukan pengiriman secara resmi, Indonesia juga
harus mampu mempersiapkan para pekerja migrannya secara secara baik.
Kualitas pekerja tetap harus menjadi pertimbangan utama serta telah memiliki
pengalaman yang mencukupi. Karena itu, Indonesia seharusnya sudah siap
dengan apa yang dilakukan Singapura yaitu memberlakukan tes masuk bagi
141

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

calon pekerja migran yang hendak bekerja di sana seperti tes bahasa Inggris.
Melalui mekanisme semacam ini berarti semua pekerja migran termasuk
yang berasal dari Indonesia bukan hanya harus mampu bekerja secara baik
dibidangnya tetapi juga harus mampu berkomunikasi secara baik dalam bahasa
Inggris.31 Persyaratan semacam ini sangat wajar bagi negara seperti Singapura
mengingat dari sisi upah dan perlindungan terhadap pekerja migran, Singapura
tergolong baik. Gaji pekerja migran di Singapura sekitar 3 juta rupiah sementara
di malaysia sekitar 2 juta rupiah lebih. Karenanya, persyaratan semacam itu
menjadi tantangan bagi Indonesia dan negara lainnya yang ingin menempatkan
pekerja migrannya di Singapura.
Selama ini, banyak pekerja migran Indonesia yang dikirim ke luar negeri
dalam kondisi yang belum siap pakai. Usia mereka umumnya belum mencukupi
serta tidak berpengalaman karena tidak mempunyai pengetahuan apapun
tentang urusan rumah tangga sehingga ketika sampai di tempat tujuan mereka
tidak siap pakai. Karenanya, tidak jarang diantara mereka ditempatkan tidak
seperti yang dijanjikan. Penyimpangan-penyimpangan seperti ini dilakukan
melalui jalur resmi artinya jumlah korban akan bertambah banyak jika kita
menghitung yang melalui jalur-jalur tidak resmi. Melihat kondisi yang menimpa
pekerja migran Indonesia di luar negeri maka salah satu solusi yang paling
efektif adalah mengirim tenaga kerja secara resmi. Sebab dengan demikian ada
kepastian bagi para pekerja migran Indonesia tentang jenis pekerjaan, dimana
ditempatkan, berapa gaji yang diterima, serta adanya jaminan sosial seperti
kesehatan. Dengan cara seperti ini, akan lebih mudah bagi pemerintah untuk
melacak bila terjadi penyimpangan terhadap para pekerja migran Indonesia.
Akan mudah bagi pemerintah untuk menanyakan kepada negara penerima
jika terjadi mistreatment terhadap pekerja migran Indonesia.
Pemerintah Indonesia tetap harus terlibat dalam penyiapan pekerja
migran yang hendak dikirim ke luar negeri untuk meyakinkan bahwa pekerja
migran Indonesia yang dikirim benar-benar terlatih dan siap pakai. Hal ini
perlu dilakukan sebab, pertama, meskipun cara-cara seperti ini dihindari oleh
PPTKIS maupun para calon pekerja migran sendiri karena membutuhkan
biaya yang tidak kecil, namun proses penyiapan ini sangat penting karena akan
menentukan daya saing pekerja migran itu sendiri serta menyangkut citra
Indonesia. Bangsa Indonesia menjadi dilecehkan karena terlalu banyak pekerja
migran tidak berkualitas yang dikirim ke luar negeri. Kedua, banyak pekerja
migran Indoensia yang dikirim secara ilegal tetapi ketika muncul masalah
31 RI Minta Singapura Ubah Kebijakan, Kompas, 25 Oktober 2011, hal. 19.

142

Humphrey Wangke

harus diselesaikan secara resmi melalui jalur diplomatik karena menyangkut


hubungan antar-negara. Ketiga, pengiriman pekerja migran Indonesia yang
dilakukan PPTKIS ijinnya dikeluarkan di Jakarta.
Pengiriman secara resmi hanyalah salah satu cara yang bisa ditempuh untuk
menghindari atau mengurangi kemungkinan terjadinya penyiksaan terhadap
para pekerja migran Indonesia di luar negeri. Cara lainnya yang bisa ditempuh
pemerintah adalah dengan melakukan moratorium atau penghentian sementara
pengiriman pekerja migran. Namun jika hendak melakukan moratorium,
pemerintah harus menyiapkan terlebih dahulu perangkat pengamanannya agar
tujuan moratorium itu bisa tercapai. Perangkat itu antara lain merumuskan
strategi pengamanan dengan bekerja sama dengan aparat kepolisian dan
intelijen untuk mencegah pengiriman menetapkan secara tegas jangka
waktu moratorium dengan target pencapaian strategi.32 Moratorium bukan
hanya berarti penghentian sementara pengiriman pekerja migran ke negara
penempatan tetapi juga sebagai cerminan sikap tegas pemerintah Indonesia
terhadap negara-negara penempatan yang terbukti tak menghormati hak-hak
pekerja migran Indonesia.33 Sebaliknya, moratorium juga berarti momentum
bagi Indonesia untuk mengevaluasi secara menyeluruh hingga terjadi perubahan
dan perbaikan terhadap perlindungan pekerja migran Indonesia di negara
penempatan.
Namun jika melihat kondisi sosial ekonomi masyarakat, moratorium atau
penghentian pengiriman pekerja migran Indonesia bukanlah solusi yang tepat
untuk Indonesia saat ini. Sebab jika itu dilakukan, bisa dipastikan bahwa
jumlah pengangguran di Indonesia akan meningkat sebab pemerintah masih
sulit menyediakan lapangan pekerjaan. Keberangkatan para pekerja migran
Indonesia yang bermasalah ke luar negeri, baik yang resmi maupun tidak
resmi, tidak terlepas dari kondisi ekonomi masyarakat. Mereka membutuhkan
pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan guna mencukupi kebutuhan
keluarga. Kegagalan implementasi moratorium antara Indonesia dengan
Malaysia dan Jordania tidak terlepas dari faktor kemiskinan ini. Karena itu,
pemberlakuan moratorium seharusnya dapat dijadikan momentum bagi
pemerintah untuk membenahi beberapa persoalan di sekitar pekerja migran
32 Lihat, Agus Pratiwi, Maids: From transnational exploitation to transnational strategy, dalam The
Jakarta Post, 13 Oktober 2011.
33 Hal ini bisa dilihat dari sikap Indonesia yang meminta Malaysia untuk membuat regulasi yang
mendorong pengguna TKI memenuhi hak-hak TKI antara lain hari libur, jam kerja dan passport yang
dipegang oleh TKI. Sebaliknya, Indonesia juga akan berupaya memperbaiki ketrampilan Tki yang
akan dikirim ke Malaysia. Lihat, 1 Desember, Moratorium Dicabut, dalam Kompas, 21 Oktober
2011.

143

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

Indonesia mulai dari perekrutan, pengiriman dan penempatan. Pemerintah


harus mengantisipasi terjadinya perdagangan orang, penempatan pekerja
migran tak berdokumen, atau pemberangkatan secara ilegal pekerja migran
Indonesia, pasca moratorium.
Opsi lainnya yang mungkin dapat dilakukan pemerintah adalah
memperbaiki sarana transportasi di perbatasan yang menjadi daerah transit
pengiriman pekerja migran. Buruknya kualitas transportasi di perbatasan turut
menyumbang terhadap buruknya kondisi perekonomian rakyat di perbatasan.
Padahal terjadinya trafiking dan penyelundupan orang tidak terlepas dari
kemiskinan yang terjadi di perbatasan. Karena buruknya transportasi di
perbatasan, lebih banyak orang yang menjual produk pertaniannya ke negara
tetangga, seperti yang terjadi di perbatasan Kalimantan Barat. Padahal
perbatasan darat tidak boleh dijadikan sebagai jalur perdagangan dengan
negara tetangga. Karena itu jika transportasi di perbatasan tertata rapi, bukan
hanya trafiking dan penyelundupan orang yang bisa dicegah tetapi juga akan
memajukan ekonomi dan sektor sosial seperti pendidikan dan kesehatan.
Tidak ada gunanya Indonesia menjadikan perbatasan sebagai beranda depan
jika kondisi sosial ekonomi masyarakat di perbatasan masih sangat terbelakang.
Namun dana yang dimilik pemerintah untuk membangun perbatasan masih
sangat terbatas, sehingga peluang terjadinya penyelundupan dan perdagangan
orang di kawasan perbatasan masih sangat terbuka seiring dengan terbatasnya
pembangunan di daerah perbatasan.
Upaya lainnya yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan
meratifikasi Konvensi PBB tentang Perlindungan Hak-hak Buruh Migran
dan Keluarga. Ratifikasi dapat menjadi landasan dasar yang memperkuat
pemerintah membuat perjanjian bilateral dengan negara penerima mengenai
perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia. Ratifikasi ini sebenarnya
mempunyai momentum yang tepat ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menyatakan dukungannya terhadap konvensi ILO 189 tentang disetujuinya
pembantu rumah tangga masuk ke tenaga kerja formal pada bulan Juni 2011.
Namun sayangnya hingga saat ini belum ada upaya dari pemerintah untuk
meratifikasinya.
C. Meningkatkan Kerjasama Regional
Indonesia sangat menyadari posisinya sebagai negara yang mengandalkan
pekerja migran sebagai salah satu sumber devisa negara. Karena itu berbagai

144

Humphrey Wangke

langkah antisipasi dilakukan, baik kedalam maupun keluar, agar kemungkinan


terjadinya perlakuan buruk terhadap para pekerja migran Indonesia dapat
dihindari. Jika kedalam Indonesia harus memperbaiki manajemen penyiapan,
pemberangkatan dan penempatan maka ke luar Indonesia dapat menggalang
kerja sama dengan negara-negara pengirim lainnya maupun dengan negara
penerima pekerja migran Indonesia. Dengan kata lain, komitmen Indonesia
untuk melindungi para pekerja migran dapat dilakukan mulai dari peningkatan
mekanisme pola-pola perekrutan dan pengiriman ke negara tujuan sampai
kegiatan diplomasi dan negosiasi ketika muncul masalah. Disamping itu,
Indonesia juga telah menandatangani berbagai kesepakatan internasional yang
terkait dengan kepentingan nasional dibidang ketenagakerjaan seperti dengan
meratifikasi Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, especially
Women and Children (Palermo Protocol) sebagai bentuk komitmen menolak
segala bentuk eksploitasi kemanusiaan. Lebih jauh lagi, Indonesia juga telah
menandatangani tetapi belum meratifikasi Konvensi PBB tentang Protection of
the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families.
Secara regional, Indonesia telah menggalang kerjasama dengan berbagai
negara, baik dengan sesama negara pengirim maupun dengan negara penerima
pekerja migran Indonesia. Namun pendekatan regional yang dilakukan
Indonesia selama ini lebih pada bentuk mekanisme konsultasi antar-negara
belum sampai pada satu kesepakatan yang bersifat mengikat. Dalam beberapa
tahun terakhir ini mekanisme semacam ini telah terbentuk dan Indonesia
terlibat aktif didalamnya. Mekanisme konsultasi ini antara lain Global Forum
for Migration and Development (GFMD), Ministerial Consultations for Asian Labour
Sending Countries (Colombo Process), Abu Dhabi Dialogue dan ASEAN Declaration
on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers. Banyak negara,
termasuk Indonesia, yang telah berupaya mengintegrasikan masalah pekerja
migran kedalam kebijakan luar negerinya, sehingga secara perlahan negaranegara yang terlibat didalamnya dapat saling mengetahui apa yang harus
dilakukan dalam melakukan perlindungan terhadap pekerja migran walaupun
belum dalam bentuk kesepakatan yang mengikat.
Colombo Process34 merupakan respon sekaligus upaya konkrit dari negaranegara pengirim dalam melindungi pekerja migrannya dari kemungkinan
praktek eksploitasi mulai dari tingkat perekrutan hingga penempatan, termasuk
menyediakan informasi dan orientasi sejak sebelum pemberangkatan serta
34 Negara-negara anggota Colombo Process adalah Bangladesh, China, India, Indonesia, Nepal, Pakistan,
Philippines, Sri Lanka, Thailand dan Vietnam.

145

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

bantuan yang dibutuhkan ketika sudah bekerja. Bantuan ataupun dukungan


semacam ini penting bagi pekerja migran karena posisi mereka yang sangat
rawan. Namun lebih dari itu, upaya ini dilakukan untuk mengoptimalkan
keuntungan yang diperoleh dari migrasi pekerja dengan memanfaatkan jalur
formal agar remitan yang diperoleh meningkat. Namun Colombo Process ini
hanya beranggotakan negara-negara pengirim pekerja migran, karena itu dalam
berbagai kesempatan mereka senantiasa menyerukan perlunya dialog antara
negara pengirim dengan negara penerima agar perlindungan terhadap para
pekerja migran dapat lebih efektif. Dalam pertemuan di Bali, September 2005,
Colombo Process berhasil mengundang negara-negara penerima seperti Bahrain,
Itali, Kuwait, Malaysia, Qatar, Korea Selatan, Saudi Arabia, dan Uni Emirat
Arab untuk berdialog mencari titik temu dalam perlindungan pekerja migran.
Walaupun tidak menghasilkan kesepakatan, akan tetapi dialog semacam ini
tetapi penting dalam upaya mencari kesamaan pandangan tentang perlindungan
pekerja migran.
Keikutsertaan negara-negara penerima dalam pertemuan konsultasi ke-3 di
Bali tahun 2005 tersebut telah menginisiasi pengembangan lebih lanjut dialog
antara negara pengirim dengan negara penerima. Pada bulan Januari 2008, Uni
Emirat Arab menjadi tuan rumah pertemuan konsultasi tingkat menteri antara
negara penerima dengan negara-negara anggota Colombo Process di Abu Dhabi.
Pertemuan konsultasi tingkat menteri yang kemudian dikenal dengan sebutan
Abu Dhabi Dialogue, untuk pertama kalinya berhasil mempertemukan negaranegara anggota Colombo Process dengan negara-negara anggota Dewan Kerjasama
Teluk (Gulf Cooperation Council), Yaman, dan dua negara penerima lainnya yaitu
Malaysia dan Singapura. Pertemuan ini bertujuan untuk menemukan forum
yang tepat untuk mendiskusikan gagasan-gagasan baru tentang perkembangan
manajemen mobilitas pekerja migran di Asia, meningkatkan penghasilan
pekerja migran, serta menciptakan kerjasama yang lebih besar diantara negaranegara yang berkepentingan.
Dalam pertemuan konsultatif ke-IV di Dhaka, Bangladesh, tahun 2010,
Indonesia mengusulkan kepada negara-negara Colombo Process agar pekerja
migran diberi kemudahan dalam mengakses komunikasi, khususnya pekerja
perempuan dan pekerja di sektor informal.35 Hal ini dilakukan untuk
mengurangi resiko kerja di rumah majikan. Pemerintah Indonesia berpendapat
bahwa resiko perempuan pekerja migran di sektor informal relatif lebih tinggi,
terutama di sejumlah negara Timur Tengah seperti Arab Saudi dan negara35 RI Usulkan Pekerja Migran Dilindungi, Suara Pembaruan, 23 April 2011, hal. 11.

146

Humphrey Wangke

negara teluk. Selama ini perempuan pekerja migran tidak memiliki akses
komunikasi, tidak boleh keluar rumah tanpa ijin, dan paspor ditahan oleh
majikan. Ini dilakukan dengan resiko kerja mengalami kekerasan, pelecehan
seksual dan bekerja lebih lama.
Di tingkat Asia Tenggara, ketika berlangsung KTT ke-12 negara-negara
ASEAN di Cebu, Filipina, pada tanggal 13 Januari 2007, para kepala negara
telah menandatangani Declaration on the Protection and Promotion of the Rights
of Migrant Workers. Dalam deklarasi tersebut, negara-negara anggota ASEAN
yang merupakan kombinasi antara negara pengirim dengan negara penerima
menyatakan bahwa mereka akan melakukan upaya untuk melindungi
dan memajukan hak-hak para pekerja migran. Sesuai dengan hukum dan
kebijakan nasionalnya, negara-negara anggota ASEAN mengambil langkahlangah yang menguntungkan bagi para pekerja migran. Tetapi lebih dari itu,
negara-negara ASEAN perlu meningkatkan kerjasamanya terutama dalam
mencegah dan mengatasi terjadinya penyelundupan dan perdagangan orang
yang berlatarbelakang pengiriman pekerja migran. Namun, hingga tahun
keempat setelah dokumen itu dilahirkan, tidak ada kemajuan berarti dari
proses pembahasan instrumen pekerja migran ASEAN yang dilakukan oleh
ASEAN Committee on Migrant Worker.36 Karena itu, Kelompok Kerja Indonesia
dan Gugus Tugas untuk Buruh Migran ASEAN mendesak agar Komite
Implementasi Deklarasi ASEAN untuk Perlindungan dan Promosi Hak-hak
Buruh Migran (ASEAN Committee on the Implementation of the ASEAN Declaration
on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Worker) segera mengadopsi
instrumen perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran di ASEAN yang
sifatnya mengikat secara hukum.
D. Kerjasama Bilateral
Pasal 11 UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia di Luar Negeri telah memberi mandat kepada pemerintah
untuk menempatkan pekerja migran kerja Indonesia di negara penempatan
atas dasar perjanjian secara tertulis antara pemerintah Indonesia dengan
pemerintah negara pengguna pekerja migran Indonesia atau pengguna
berbadan hukum di negara tujuan. Persetujuan bilateral tentang tenaga kerja
sangat penting bukan hanya berguna untuk mengatur kemudahan bagi tenaga
kerja dalam mencari pekerjaan tetapi juga dalam melakukan penempatan dan
36 Wahyu Susilo, ASEAN Bukan untuk Buruh Migran?, Kompas, 10 Mei 2011, hal. 6.

147

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

perlindungan.37 Tetapi sayangnya, negara-negara penerima pekerja migran


seringkali menghindari adanya persetujuan bilateral yang bersifat mengikat
mengingat kewajiban-kewajiban yang harus dijalaninya. Karena itu yang dipilih
biasanya kesepakatan dalam bentuk Memorandum of Understanding (MoU)
karena dapat diubah sewaktu-waktu tergantung pada kondisi ekonomi ataupun
pasar.
Meskipun lebih lunak, tetapi MoU tetap merupakan langkah penting dalam
mengatur masalah-masalah yang terkait dengan pekerja migran, terutama dari
sisi perlindungan. Bagi negara pengirim pekerja migran seperti Indonesia, ada
beberapa keuntungan yang didapat dari adanya MoU tentang pekerja migran,
yaitu:38
1. Meningkatkan akses ke pasar internasional bagi para pekerjanya;
2. Dapat merundingkan masalah gaji, kondisi tempat tinggal, ataupun
jaminan keamanan bagi pekerja migrannya terutama yang terkait dengan
dokumen keimigrasian;
3. Dapat meningkatkan kemampuan pekerjanya terutama melalui peluang
pelatihan yang disediakan negara penerima;
4. Kesempatan memperoleh peningkatan kemampuan penguasaan teknologi;
5. Dapat mengirim remitan secara berkala;
Tapi sayangnya, hingga saat ini Indonesia tercatat baru mempunyai 9
MoU (lihat tabel) dengan negara-negara penerima pekerja migran Indonesia.
Padahal menurut Anis Hidayah dari Migrant Care, pekerja migran Indonesia
memerlukan payung hukum untuk melindungi mereka dari penyiksaan.39
MoU merupakan salah satu pilihan dalam memberikan perlindungan terhadap
para pekerja migran Indonesia karena dapat dengan mudah mengatur supply
and demand pekerja migran, arus perpindahan pekerja migran secara tertib
dan memajukan niat baik dan kerjasama secara bilateral. Persetujuan bilateral
juga dapat mengatur tentang masalah-masalah yang terkait dengan privacy
pekerja migran seperti hari libur, gaji, akses komunikasi, passport, jangka
waktu bekerja dan prosedur pemulangan, ataupun pengaturan visa jika pekerja
tersebut tinggal lebih lama. Meskipun jumlah pekerja migran yang diatur dalam
37 IOM, International Migration and Migrant Workers Remittances in Indonesia, IOM, Filipina, 2010, hal.
19.
38 International Organization for Migration, Migration and Development:Achieving Policy Coherence,
Genewa, 2008, hal. 91.
39 Lihat, http://www.thejakartapost.com/news/2010/11/29/diplomacy-key-protecting-migrant-workerscommission.html, diakses tanggal 17 Februari 2011.

148

Humphrey Wangke

MoU sangat terbatas bila dibandingkan dengan total arus pekerja migran
internasional, akan tetapi persetujuan bilateral antara negara pengirim dengan
negara penerima dapat secara efektif mengatur proses perekrutan, pengiriman,
penempatan sampai dengan pemulangan pekerja migran. Secara tradisional,
persetujuan bilateral mengenai pekerja migran dikenal sebagai persetujuan
tentang akses pasar pekerja migran, tetapi pada era globalisasi seperti saat ini,
persetujuan bilateral lebih dimotivasi oleh kepentingan ekonomi, politik dan
tujuan pembangunan.
Tabel
MoU antara Indonesia dengan negara-negara tujuan pekerja migran Indonesia
No.

Negara

Tahun

Keterangan

Malaysia

2004
2006

Untuk sektor infomal


Untuk sektor formal

Korea Selatan

9 September 2008 Kesepakatan antar-pemerintah. Berlaku selama 2 tahun


setelah itu dapat di perbaharui

Taiwan

17 Desember 2004 Karena tidak mempunyai hubungan diplomatik,


penandatanganan dilakukan oleh perwakilan
perdagangan kedua negara

Jepang

19 Mei 2004

Kesekapatan antar-pemerintah. Berlaku selama 4 tahun


dan dapat diperbaharui

Jordan

2 Mei 2001

Berlaku selama 5 tahun dan diperpanjang secara


otomatis

Kuwait

30 Mei 1996

Berlaku selama 4 tahun dan diperpanjang secara


otomatis

Uni Emirat Arab 18 Desember 2007 Berlaku selama 4 tahun dan diperpanjang secara
otomatis

Qatar

7 Januari 2008

Australia

11 Agustus 2005

Kesepakatan antara pemerintah dan swasta. Berlaku


selama 5 tahun, dan diperpanjang secara otomatis
Sumber: International Migration and Migrant Workers Remittances in Indonesia, IOM, Filipina, 2010, hal. 120

Bila mengacu pada negara Filipina yang juga banyak menghasilkan pekerja
migran, negara ini memberikan perlindungan dengan melakukan sebanyak
mungkin perjanjian bilateral. Kesepakatan bilateral ini dilakukan untuk
memastikan bahwa pekerja migrannya memperoleh perlindungan dan gaji
yang semestinya. Tidak semua perundingan yang dilakukannya berlangsung
dengan lancar. Filipina juga terlibat dalam perundingan yang sulit dengan
Arab Saudi dalam mencari kesepakatan mengenai perlindungan terhadap para
pekerja migrannya yang tergolong unskilled labour. Karena itu sangat tepat jika
Indonesia juga mendesak Arab Saudi agar segera merundingkan kesepakatan
149

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

baru tentang pekerja migran dari Indonesia dengan tujuan agar para pekerja
migran Indonesia terlindungi.
Sejauh ini, pemerintah Indonesia dan Arab Saudi telah terlibat dalam
pembahasan memorandum of understanding (MoU) tentang penempatan dan
perlindungan pekerja migran Indonesia yang diharapkan selesai pada akhir
tahun 2011. Untuk itu, pada tanggal 11-15 Juli 2011, pemerintah Indonesia dan
Arab Saudi telah mengadakan Joint Working Committee (JWC) I yang merupakan
perundingan tahap awal untuk membahas pembuatan MoU. Pertemuan JWC I
ini dimaksudkan untuk meletakkan kerangka dasar kerja sama Indonesia - Arab
Saudi yang lebih kongkrit. Pertemuan ini menindaklanjuti hasil dari statement
of intent yang telah ditandatangani pada 28 Mei 2011, yang mengamanatkan
adanya MoU. JWC I ini langkah awal penyusunan MoU yang diharapkan dapat
mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak, memberikan keuntungan bagi
kedua negara, dan mampu meminimalisir permasalahan terkait penempatan
dan perlindungan pekerja migran Indonesia.
Kekosongan kesepahaman bilateral tentang penempatan dan perlindungan
pekerja migran Indonesia dengan Arab Saudi, menurut Anis Hidayah, sering
menciptakan ladang pembantaian bagi pekerja migran Indonesia.40 Hanya
masalahnya, perangkat hukum di Arab Saudi tidak mengatur tentang pekerja
migran yang tergolong unskillled labour. Karena itu, sejak tanggal 2 Juli 2011
pemerintah Arab Saudi memilih menghentikan pengeluaran visa kerja bagi
pekerja rumah tangga yang berasal dari Indonesia dan Filipina dengan alasan
pemerintah kedua negara memberlakukan persyaratan yang ketat dan tidak
adil. Keputusan pemerintah Arab Saudi itu mendahului keputusan pemerintah
Indonesia yang akan melakukan moratorium pengiriman pekerja migran ke
Arab Saudi mulai 1 Agustus 2011. Keputusan Indonesia melakukan moratorium
muncul setelah adanya eksekusi hukuman pancung terhadap pekerja migran
Indonesia asal Bekasi, Jawa Barat, Ruyati.41 Selain ke Arab Saudi, Moratorium
atau penghentian sementara pengiriman pekerja migran Indonesia sektor
informal khususnya PLRT saat ini juga berlaku ke Kuwait dan Yordania.

40 Anis Hidayah, Perlindungan Tanpa Evaluasi, Kompas, 23 April 2011, hal. 7.


41 Di samping Ruyati, banyak korban kekerasan majikan terhadap PLRT asal Indonesia seperti Sumiati
binti Salan Mustapha, seorang pekerja migran asal Dompu, NTB, yang harus menjalani perawatan
intensif di rumah sakit Jeddah setelah disiksa oleh majikannya. Atau pembunuhan terhadap Kikim
Komalasari, seorang pekerja migran dari Cianjur, yang mayatnya ditemukan ditempat pembuangan
sampah di Abha, Arab Saudi.

150

Humphrey Wangke

Sikap pemerintah Indonesia ini merupakan langkah maju karena tidak


lagi mempertimbangkan faktor untung rugi ketika memutuskan melakukan
moratorium. Pertimbangan kemanusiaan terutama mengenai perlindungan
terhadap hak-hak pekerja migran menjadi dasar keputusan itu. Artinya, pekerja
migran tidak lahgi dianggap sebagai barang komoditas. Karena itu pemerintah
Indonesia bertekad tidak akan mencabut moratorium hingga terwujud MoU
dengan Arab Saudi yang melindungi pekerja migran Indonesia. Tanpa regulasi
yang ketat, pekerja migran Indonesia hanya akan menjadi tumbal kemajuan
ekonomi Arab Saudi, apalagi kalau penempatannya tidak diimbangi dengan
perlindungan keselamatan. Melihat kondisi yang demikian, sudah saatnya bagi
pemerintah Arab Saudi untuk menempatkan masalah pekerja migran sebagai
salah satu fokus dalam kebijakan luar negerinya.
Perubahan sikap Indonesia terhadap pekerja migran juga nampak ketika
diketahui ada pekerja migran Indonesia di sektor informal yang menjadi
korban kekerasan di Malaysia. Indonesia segera memutuskan memberlakukan
moratorium terhadap Malaysia sejak Mei 2009. Indonesia berhasil menekan
Malaysia untuk merevisi MoU kedua negara tahun 2006 yang dianggap tidak
lagi memadai terhadap perlindungan pekerja migran Indonesia. Setelah melalui
perundingan yang sulit, akhirnya Indonesia dan Malaysia mendatangani MoU
terkait penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia di Malaysia
pada 30 Mei 2011. Melalui penandatanganan ini kedua pemerintah bertekad
untuk melakukan perbaikan-perbaikan substansial pada aspek penempatan
dan meningkatkan bentuk-bentuk perlindungan terhadap pekerja migran
Indonesia. Penandatanganan MoU ini akan diikuti dengan pembukaan kembali
pengiriman pekerja migran Indonesia ke Malaysia, khususnya sektor informal,
pada tanggal 1 Desember 2011. Namun sebelum itu, Pemerintah Indonesia dan
Malaysia akan mendapat laporan terlebih dahulu apakah amandemen terhadap
MoU tentang penempatan dan perlindungan TKI sudah dilaksanakan dengan
baik atau tidak.42
Belajar dari pengalaman yang terjadi di Malaysia dan Arab Saudi,
Pemerintah Indonesia harus melakukan diplomasi secara aktif dan konsisten
dalam melindungi dan mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap
para pekerja migran Indonesia. Terus berlanjutnya pelanggaran-pelanggaran
terhadap para pekerja migran Indonesia lebih banyak terjadi karena pemerintah
42 Malaysia nampaknya sangat membutuhkan pekerja informal dari Indonesia karena Kamboja yang
selama ini termasuk pemasok pekerja migran ke Malaysia memutuskan menghentikan pengiriman
pekerja migran karena banyaknya informasi negatif menyangkut lingkungan kerja para pembantu
rumah tangga. Lihat, Kamboja Stop Kirim Tenaga PRT ke Malaysia, Kompas, 18 Oktober 2011, hal. 8.

151

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

tidak serius memberikan perlindungan terhadap para pekerja migrannya


sehingga baik pemerintah maupun masyarakat penerima dengan mudah dapat
memperlakukan para pekerja migran Indonesia tidak sewajarnya. Lebih dari
itu, didalam negeri Indonesia harus berani memutus mata rantai pengiriman
pekerja migran Indonesia secara ilegal sebab masalah yang dihadapi pekerja
migran hanyalah muara dari berbagai permasalahan mulai dari penyiapan,
pengiriman dan perlindungan tenaga kerja Indonesia yang 80-90 persen terjadi
di Indonesia.

152

BAB IV
Kesimpulan

Globalisasi telah membantu mempercepat pergerakan manusia dari satu


negara ke negara lainnya secara legal maupun illegal. Migrasi ini, terutama
yang illegal, telah memberikan sejumlah masalah bagi pemerintah dalam
mengeluarkan berbagai kebijakan terkait dengan aspek hukum, politik
dan ekonomi. Sadar bahwa jumlah tenaga kerja Indonesia terus meningkat
sementara di dalam negeri pemerintah masih kesulitan untuk menciptakan
lapangan pekerjaan maka pengiriman pekerja migran ke luar negeri masih
merupakan pilihan yang paling menarik. Karena itu, menjaga dan memelihara
kerjasama bilateral dengan negara penempatan menjadi salah satu solusi yang
dilakukan pemerintah. Untuk sementara ini langkah yang diambil pemerintah
untuk melindungi para pekerja migran Indonesia yang berada di luar negeri
adalah:
1. memperbaiki nota kesepahaman (MoU) dengan negara penempatan,
2. menghentikan sementara (moratorium) pengiriman pekerja migran
Indonesia ke negara penempatan yang bermasalah, serta
3. meningkatkan pelatihan dan pembekalan TKI didalam negeri.
Pasal 11 UU No 39/2004 UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga kerja Indonesia di Luar Negeri menyatakan bahwa
pekerja migran Indonesia hanya dapat dikirim ke negara-negara yang telah
memiliki persetujuan tertulis. Namun implementasi dari pasal ini masih belum
berjalan seperti yang diharapkan sebab sejauh ini Indonesia baru memiliki
persetujuan tertulis dengan 9 negara. Seharusnya persetujuan semacam
ini dilakukan terhadap semua negara yang menjadi tujuan pekerja migran
Indonesia. Indonesia bisa belajar dari pemerintah Filipina bahwa persetujuan
bilateral merupakan sarana lainnya yang sangat efektif dalam memberikan
perlindungan kepada para pekerja migran.
153

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

Sudah saatnya bagi pemerintah Indonesia untuk memprioritaskan proses


ratifikasi Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and the
Members of Their Families. Konvensi yang mulai efektif berlaku pada tanggal 1
Juli 2003, telah diratifikasi oleh lebih dari 30 negara yang sebagian besar adalah
negara-negara penyedia jasa tenaga kerja. Urgensi dari ratifikasi konvensi ini
sangat jelas yaitu kondisi para pekerja migran Indonesia yang secara konstan
selalu terancam hak-hak asasinya. Melalui ratifikasi ini berarti Indonesia telah
turut secara internasional membangun dasar hukum bagi perlindungan pekerja
migran di luar negeri, termasuk pekerja Indonesia.

154

DAFTAR PUSTAKA

Anis Hidayah, Perlindungan Tanpa Evaluasi, Kompas, 23 April 2011.


Anis Hidayah, Wajah Diplomasi Perlindungan Perlindungan Buruh Migran
Indonesia, dalam Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1, Tahun 2010, hal. 104.
Dai Bachtiar, Diplomasi Perlindungan WNI/TKI, dalam Jurnal Diplomasi,
Vol. 2, No. 1, Maret 2010.
Dovelyn Rannveig Agunias and Neil G. Ruiz, Protecting Overseas Workers:
Lessons and Cautions from the Philippines, dalam Migration Policy Institute,
September 2007.
Graeme Hugo, Internasional Migration and Development in Asia, makalah
yang dipresentasikan dalam Konperensi ke-8 International Conference of the
Asia Pacific Migration Research Network , Fushou, Cina, 25-29 Mei 2007.
Jacqueline Joudo Larsen, Migration and people trafficking in southeast Asia,
Trends & Issues in crime and criminal justice, Vol. 401, Australian Institute of
Crimonology, November 2010.
ILO, Towards a fair deal for migrant workers in the global economy, IOM, Genewa,
2004.
Jan Melissen, ed., Innovation in Diplomatic Practice, MacMillan, London, 1999.
IOM, International Migration and Migrant Workers Remittances in Indonesia, IOM,
Filipina, 2010.
IOM, Migration and Development:Achieving Policy Coherence, IOM, Genewa,
2008.
IOM Indonesia, Remittances and Indonesia: Factsheets, IOM, Genewa,
2010.
155

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

Jennifer Aiken and Eric Brahm. Diplomacy, Beyond Intractability, Guy Burgess
and Heidi Burgess (eds.). Conflict Research Consortium, University of
Colorado, Boulder, Januari 2005.
Lord Gore-Booth, (ed), Satows Guide to Diplomatic Practice, 5th edition,
Longman Group Limited, New York, 1979.
Dr. Manuel Orozco, Regional Integration? Trends and Patterns of Remittance
flows within South East Asia, dalam http://www.adb.org/Documents/
Reports/Workers-Remittance/chap2.pdf, diakses tanggal 19 September
2011.
Pemerintah Kembali Kirim TKI ke Malaysia, dalam http://bisniskeuangan.
kompas.com/, diakses tanggal 15 April 2011.
Raymond Sayner and Lichia Yiu, International Economics Diplomacy:
Mutations in Post-modern Times, Netherlands Institute on International
Relations Clingendael, 2001.
RI Usulkan Pekerja Migran Dilindungi, Suara Pembaruan, 23 April 2011.
Siuaji Raja, An Analysis on Indonesia Migrant Workers From the Perspective
of Human Rights, Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1, Tahun 2010.
Susan Allen. Track I Diplomacy, dalam Guy Burgess and Heidi Burgess
(eds.), Beyond Intractability , Conflict Research Consortium, University of
Colorado, Boulder, Juni 2003.
Teguh Wardoyo, SH., Diplomasi Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di
Luar Negeri, dalam Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1, Tahun 2010.
Titik Temu Masih Jauh, Kompas, 15 April 2011.
Wahyu Susilo, ASEAN Bukan untuk Buruh Migran?, Kompas, 10 Mei 2011.
World Bank, Migration and Remittances Factbook 2011, Second Edition,
Washington DC, 2011.

156

BAGIAN VI
BATAS USIA TENAGA KERJA INDONESIA
(Studi tentang Implementasi Pasal 35 Huruf a UU No. 39
Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)
Dian Cahyaningrum1

1 Penulis adalah Peneliti Madya Bidang Hukum Ekonomi pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan
Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI, alamat e-mail: cahyaningrum@yahoo.com.

BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945)
Alinea Keempat adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Pencapaian
tujuan tersebut, khususnya perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia
sampai saat ini masih perlu dipertanyakan sehubungan dengan masih banyaknya
kasus yang menimpa tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri.
Di Provinsi Jawa Timur (Jatim), sebagaimana dikemukakan oleh Staf
Divisi Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia, Mike
Verawati, jumlah kasus TKI di Indonesia pada 2009 sekitar 4.750 kasus.
Jatim menempati posisi kedua dengan jumlah sekitar 1.400 kasus, setelah
Jawa Barat yaitu sebanyak 1.900 kasus.2 Terjadinya kasus yang menimpa TKI
dari Jatim juga dikemukakan oleh Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia
(SBMI), Mochamad Cholily bahwa Kabupaten Jember, Madiun, dan Sampang
menduduki peringkat terbanyak untuk kasus TKI asal Jatim yang meninggal
di luar negeri sejak Januari hingga Mei 2010. Di Jember telah terjadi 7 kasus
TKI meninggal di luar negeri, sedangkan di Madiun dan Sampang masingmasing ada 6 kasus TKI yang meninggal dunia di luar negeri dengan berbagai
penyebab, diantaranya penganiayaan, kecelakaan kerja, dan musibah di luar
jam kerja.3
2 Jabar, Terbanyak TKI Bermasalah. TKI Jatim Terbanyak, Tetapi Sedikit Kasus, 5 March 2010,
http://www.yipd.or.id/main/readnews/15741, diakses tanggal 21 Februari 2011.
3 Jawa Timur Duduki Peringkat Terbanyak TKI yang Meninggal, 27 Mei 2010, http://www.berita8.
com/news.php?cat=2&id=22678, diakses tanggal 21 Februari 2011

159

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

Sementara itu berdasarkan data dari Direktorat Perlindungan Warga


Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri
Tahun 2010, ada sebanyak 4.385 kasus yang menimpa TKI. Dari jumlah
tersebut, hanya sebanyak 1.776 kasus yang telah selesai diproses. Sisanya, yaitu
sebanyak 2.609 kasus masih dalam proses penanganan. Kasus-kasus tersebut
adalah gaji tidak dibayar: 582 kasus, majikan tidak sesuai: 208 kasus, tidak
betah/ingin kembali ke Indonesia: 30 kasus, berselisih paham: 5 kasus, jam
kerja tidak sesuai: 2 kasus, tindak kekerasan: 127 kasus, sakit: 146 kasus, beban
pekerjaan tidak sesuai: 128 kasus, pelecehan seksual: 51 kasus, dan lain-lain:
1.330 kasus.4
Dari hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Tim Khusus DPR RI
terhadap Penanganan Tenaga Kerja Indonesia di Saudi Arabia dengan Satuan
Tugas Penanganan Kasus WNI/TKI di Luar Negeri yang Terancam Hukuman
Mati pada tanggal 10 Oktober 2011, diperoleh informasi ada 218 orang WNI/
TKI yang terancam hukuman mati di berbagai negara, termasuk di negara
penempatan TKI. Adapun perincian WNI/TKI yang terancam hukuman mati
tersebut adalah di Malaysia: 151 orang, Arab Saudi: 43 orang, China: 22 orang,
dan Singapura: 2 orang. Khusus di Arab Saudi, dari 43 orang WNI/TKI yang
terancam hukuman mati, 5 orang di antaranya telah mendapatkan putusan
kasasi final (critical). Kelima kasus tersebut adalah: kasus Tuti Tursilawati,
Satinah binti Jumadi Ahmad, Darmawati binti Tarjani dan Aminah binti Haji
Budi, dan Siti Zaenab binti Duhri Rupa.5
Berbagai permasalahan yang menimpa TKI tersebut mendorong
pemerintah mengambil kebijakan menghentikan sementara (moratorium)
penempatan TKI ke Arab Saudi per 1 Agustus 2011. Sebelumnya pemerintah
juga telah melakukan moratorium dengan Malaysia per 25 Juni 2009, Kuwait per
1 September 2009, dan Yordania per 30 Juli 2010. Namun moratorium dengan
Malaysia secara resmi telah berakhir pada tanggal 30 Mei 2011 pada waktu
pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menandatangani
Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) Perlindungan
TKI Pekerja Rumah Tangga di Malaysia dengan pihak Pemerintah Malaysia
melalui Menteri Sumber Manusia di Bandung, Jawa Barat.6
4 Sumber: Database Direktorat Perlindungan WNI dan BHI 2010.
5 Data WNI/TKI yang terancam hukuman mati berasal dari Satuan Tugas Penanganan Kasus WNI/
TKI di Luar Negeri yang Terancam Hukuman Mati, yang disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat
(RDP) dengan Tim Khusus DPR RI terhadap Penanganan TKI di Arab Saudi.
6 Sali Susiana, Kebijakan Penempatan TKI Pasca-Moratorium, Parlementaria, Edisi 85 TH. XLII, 2011,
hal. 16.

160

Dian Cahyaningrum

Jika dikaitkan dengan upaya untuk melindungi TKI, kebijakan pemerintah


tersebut dapat dipahami. Namun moratorium tidak akan menyelesaikan masalah,
bahkan justru menimbulkan masalah lainnya. Sebagaimana dikemukakan
Anggota DPR Djamal Aziz dari Fraksi Hati Nurani Rakyat, ada 20 ribu orang
tiap bulan yang menggantungkan nasibnya sebagai TKI dan sektor lain. Selain
itu juga ada 300 perusahaan penyedia jasa TKI, disamping juga ada Balai Latihan
Kerja (BLK). Dengan demikian moratorium dapat mengakibatkan banyak orang
kehilangan pekerjaannya. Di samping itu, bekerja merupakan hak warga negara
yang dilindungi oleh undang-undang (UU). Oleh karena itu Pemerintah
tidak boleh melarang warga negara untuk bekerja karena larangan tersebut
akan melanggar UU.7 Moratorium dikhawatirkan juga akan mengakibatkan
terjadinya TKI ilegal karena berangkat ke luar negeri untuk bekerja melalui
jalur tidak resmi.
Langkah yang dianggap tepat oleh sebagian kalangan8 untuk menangani
berbagai kasus yang menimpa TKI adalah melakukan pembenahan terhadap
sistem penempatan dan perlindungan terhadap TKI di luar negeri. Langkah ini
perlu dilakukan karena diyakini persoalan TKI sebenarnya 80 persen persoalan
terjadi bukan di negara penerima melainkan pada proses rekruitmen yang
belum baik di dalam negeri. Oleh karena itu agar tidak terjadi lagi kasus yang
menimpa TKI, perlu dilakukan pembenahan terutama menyangkut proses
pengiriman TKI.9
Terkait dengan perlindungan TKI, Indonesia sebenarnya sudah memiliki
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang mulai berlaku pada tanggal 18
Oktober 2004. Salah satu upaya untuk memberikan perlindungan kepada TKI
adalah dengan memberlakukan syarat bagi calon TKI yang akan bekerja di
luar negeri. Syarat tersebut diantaranya adalah berusia sekurang-kurangnya 18
(delapan belas) tahun, kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada
pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu)
7 Benahi Perangkat Sistem Rekruitment dan Perlindungan TKI, Parlementaria, Ibid, hal. 14.
8 Salah satu kesimpulan yang dihasilkan dari Rapat Kerja (Raker) antara Timsus DPR RI dengan
Menteri Luar Negeri (Menlu), Kepala BNP2TKI, Dirjen Imigrasi kementerian Hukum dan HAM
pada tanggal 18 Januari 2011 adalah Permasalahan TKI telah terjadi sejak proses rekrutmen, pada
saat penempatan, saat bekerja, hingga kepulangan TKI kembali ke tanah air. Untuk itu Timsus
Penanganan TKI di Saudi Arabia mendesak Kemenakertrans, Kemenlu, BNP2TKI, Kemenhukham
untuk melakukan pembenahan menyeluruh dan konseptual terhadap sistem pengiriman dan
pemulangan TKI ke luar negeri. Perlu dilakukan audit kebijakan disetiap tahapan sehingga diperoleh
diagnosa tepat untuk perbaikan kebijakan maupun regulasi (Sekretariat Komisi IX DPR RI, Lapsing
Timsus DPR RI terhadap Penanganan TKI di Arab Saudi, Jakarta: 18 Januari 2011).
9 Mengurai Persoalan TKI yang Carut Marut, Parlementaria, op.cit, hal. 9

161

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

tahun (Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004). Sehubungan dengan hal ini
sangatlah menarik untuk mengkaji batas usia tenaga kerja Indonesia.
B. Perumusan Masalah
Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang banyak
menempatkan TKI untuk bekerja di luar negeri. Penempatan TKI ke luar negeri
tersebut telah mendatangkan banyak manfaat baik bagi TKI itu sendiri maupun
untuk Provinsi Jatim. Manfaat yang dirasakan oleh TKI adalah meningkatnya
perekonomian TKI beserta keluarganya. Sementara itu manfaat bagi Provinsi
Jatim adalah banyaknya remittance yang dihasilkan dari penempatan TKI ke
luar negeri, selain juga berkurangnya masalah pengangguran.
Meskipun penempatan TKI mendatangkan banyak manfaat, namun
tidak semua calon TKI diterima menjadi TKI untuk bekerja di luar negeri. Ini
disebabkan adanya syarat usia untuk menjadi TKI sebagaimana diatur dalam
Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004. Sehubungan dengan hal ini maka
permasalahan yang hendak dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimanakah
pengaturan syarat usia yang terdapat dalam Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun
2004? Dan bagaimanakah implementasi dari syarat usia khususnya bagi TKI
yang bekerja pada pengguna perseorangan yang diatur dalam Pasal 35 huruf a
UU No. 39 Tahun 2004 tersebut di Provinsi Jatim?
C. Tujuan dan Kegunaan
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan syarat usia yang
terdapat dalam Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 dan implementasi
dari Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 tersebut di Provinsi Jatim.
Adapun kegunaan dari kajian ini adalah sebagai bahan masukan bagi
Anggota DPR RI dalam melaksanakan fungsi legislasi, yaitu dalam merevisi
UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri, yang saat ini sedang dibahas di Komisi IX DPR RI.
Kajian ini juga berguna untuk mendukung Dewan dalam melaksanakan fungsi
pengawasan terhadap pelaksanaan UU No. 39 Tahun 2004.

162

BAB II
Kerangka Pemikiran

A. Tenaga Kerja Indonesia


Dalam UU No. 39 Tahun 2004 yang disebut dengan Tenaga Kerja Indonesia
yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang
memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk
jangka waktu tertentu dengan menerima upah (Pasal 1 angka 1). Sedangkan
yang dimaksud dengan calon TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang
memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri dan
terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan (Pasal 1 angka 2).
Ketertarikan TKI untuk bekerja di luar negeri erat kaitannya dengan teori
klasik push-pull dari Everett Lee yang menjelaskan bahwa karena daya tarik
di negara tujuan, dan daya dorong di negara asal menyebabkan mobilitas
penduduk untuk mencapai tujuannya.10 Sehubungan dengan teori tersebut,
faktor utama yang mengakibatkan terjadinya mobilitas tenaga kerja termasuk
TKI untuk bekerja di luar negeri adalah faktor ekonomi. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Aris Ananta bahwa kondisi perekonomian yang kurang
menarik di negara sendiri dan penghasilan yang cukup besar dan yang tampak
lebih menarik di negara tujuan menjadi pemicu terjadinya mobilitas tenaga
kerja secara internasional. Pendapatan yang meningkat di negara yang sedang
berkembang memungkinkan penduduk di negara berkembang untuk pergi
melintas batas negara, informasi yang sudah mendunia dan kemudahan
transportasi juga berperan meningkatkan mobilitas tenaga kerja secara
internasional.11
10 Everett Lee dalam Rianto Adi, Warta Demografi, No. 3 Tahun ke-28, Tahun 1998, hal. 17 dalam
Sali Susiana, Permasalahan Tenaga Kerja Wanita di Luar Negeri, Kajian, Vol. 5, No. 4, Desember
2000.
11 Aris Ananta, Liberalisasi Ekspor dan Impor Tenaga Kerja Suatu Pemikiran Awal, dalam I Dewa
Rai Astawa, Aspek Perlindungan Hukum Hak-Hak Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang disusun
dalam rangka memenuhi persyaratan Program Studi Ilmu Hukum, Semarang: Program Magister
Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2006, hal. 2.

163

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

Pada mulanya bekerja di luar negeri merupakan inisiatif dari masingmasing pribadi TKI secara perorangan atau melalui Pelaksana Penempatan
TKI Swasta (PPTKIS) berangkat ke luar negeri untuk bekerja. Adapun yang
dimaksud dengan PPTKIS (dulu disebut dengan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja
Indonesia atau PJTKI) dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 39 Tahun 2004 adalah
badan hukum yang telah memperoleh izin tertulis dari Pemerintah untuk
menyelenggarakan pelayanan penempatan TKI di luar negeri. Mengingat
jumlah TKI terus meningkat dan bekerja di luar negeri membawa dampak
positif maka sejak Pelita I (1969-1974) penempatan TKI ke luar negeri telah
menjadi program dari pemerintah.12
Meskipun kuantitas TKI terus meningkat, kualitas TKI masih perlu
dipertanyakan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Aris Ananta bahwa
saat ini negara lain cenderung menawarkan kepada TKI pekerjaan yang sering
disebut dengan pekerjaan 3-D (Dirty, Difficult, and Dangerous). Ini disebabkan
penduduk negara maju cenderung enggan atau jual mahal terhadap pekerjaan
tersebut. Sementara itu Indonesia memiliki jumlah tenaga kerja tidak terampil
yang berlebih dengan upah/penghasilan yang rendah. Di sisi lain, banyak negara
yang lebih maju dari Indonesia telah mencapai tahap pengimpor tenaga kerja
tidak terampil. Dengan demikian penawaran tenaga kerja tidak terampil dari
Indonesia mendapatkan permintaan tenaga kerja tidak terampil dari negara
yang lebih maju. Pasar tenaga kerja tidak terampil memang ada dan diduga amat
besar. Dalam bahasa yang lebih teknis, dikatakan bahwa terdapat latent demand
and supply untuk tenaga kerja tidak terampil dan murah dari Indonesia.13
B. Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi
Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) telah membawa banyak perubahan pada
sistem ketatanegaraan Indonesia, di antaranya hadirnya Mahkamah Konstitusi
(MK) sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang
menyebutkan Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

12 Warta Demografi, No. 3 Tahun ke-28 Tahun 1998.


13 Aris Ananta, Liberalisasi Ekspor dan Impor Tenaga Kerja Suatu Pemikiran Awal Penelitian Lembaga
Demografi, dalam I Dewa Rai Astawa, op.cit. hal.8-9.

164

Dian Cahyaningrum

Berpijak pada Pasal 24 ayat (2) UUD Tahun 1945, nampak bahwa MK
merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah
Agung (MA). Ini berarti MK terikat pada prinsip umum penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan
lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, MK memiliki wewenang sebagaimana
diatur dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945, yaitu: a)
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, b) memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, c) memutuskan pembubaran partai politik, d) memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan e) memberikan putusan
atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Lebih
lanjut MK diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
yang diundangkan dan mulai berlaku pada tanggal 13 Agustus 2003.
Terkait dengan kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD, sesuai
dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003, jika
MK berpendapat permohonan pemohon beralasan maka amar putusan MK
menyatakan permohonan dikabulkan (Pasal 56 ayat (2) UU No. 24 Tahun
2003). Sebaliknya jika tidak beralasan maka amar putusan MK menyatakan
permohonan tidak dapat diterima (Pasal 56 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003).
Terhadap permohonan yang dikabulkan, MK melakukan pemeriksaan untuk
kemudian memutuskan bertentangan atau tidaknya suatu UU, baik karena
pembentukan UU yang tidak sesuai atau tidak berdasarkan UUD maupun
mengenai materi ayat, pasal, dan/atau bagian suatu UU (Pasal 51 jo Pasal 56
UU No. 24 Tahun 2003). Hal ini mempunyai relevansi terhadap keberlakuan
suatu materi UU atau suatu UU, dengan implikasi yaitu kekuatan hukum
sebagian substansi atau seluruh materi UU (Pasal 57 ayat (1) dan (2) jo Pasal 58
UU No. 24 Tahun 2003).14
Berdasarkan kewenangannya untuk menguji konstitusionalitas suatu
UU maka MK melalui putusannya dapat menyatakan bahwa materi rumusan
dari suatu UU tidak mempunyai kekuatan hukum karena bertentangan
dengan UUD. Begitu pula terhadap suatu UU, MK dapat membatalkan
keberlakuannya karena tidak sesuai dan tidak berdasarkan UUD. Melalui
14 Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi Memahami Keberadaannya dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta: Rineka Cipta, April 2006, hal. 31.

165

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

penafsiran/interpretasi terhadap UUD 1945, MK berfungsi sebagai peradilan


yang secara positif mengoreksi UU yang dihasilkan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) bersama-sama Presiden dalam penyelenggaraan negara yang berdasarkan
hukum yang mengatur perikehidupan masyarakat bernegara. Dengan demikian
UU yang dihasilkan oleh legislatif (DPR bersama Presiden) diimbangi oleh
adanya pengujian (formal dan materiil) dari cabang yudisial yaitu MK.15
Perkara pengujian UU terhadap UUD merupakan perkara yang paling
banyak diterima oleh MK sejak MK dibentuk pada tanggal 13 Agustus 2003.
Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU, yaitu: a) perorangan warga
negara Indonesia; b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam UU; c) badan hukum publik atau privat;
atau d) lembaga negara.
Berdasarkan data dari MK, secara keseluruhan, dari awal pembentukan
MK hingga 15 Agustus 2008, MK telah menerima 152 perkara PUU dan
telah diputus sebanyak 150 perkara. Dari jumlah tersebut, MK telah menguji
sebanyak 73 UU dengan perincian pada tahun 2003 terdapat 16 UU, tahun
2004 sejumlah 14 UU, dan di tahun 2005 terdapat 12 UU, tahun 2006 ada 9
UU, tahun 2007 sebanyak 12 UU, dan pada tahun 2008 terdapat 10 UU yang
diuji. Dari 73 UU yang diuji oleh MK tersebut, terdapat 4 UU yang dibatalkan
secara keseluruhan dan 25 UU yang dibatalkan sebagian.16

15 Ibid.
16 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Lima Tahun Menegakkan Konstitusi, Gambaran Singkat
Pelaksanaan Tugas Mahkamah Konstitusi 2003-2008, Cetakan Pertama, Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Nopember 2008, hal. 19-23.

166

BAB III
Metode Penelitian

A. Waktu dan Tempat


Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan
menganalisis peraturan perundang-undangan yang mengatur penempatan dan
perlindungan TKI di luar negeri, khususnya UU No. 39 Tahun 2004.
Penelitian hukum ini dilakukan di Provinsi Jatim pada tanggal 7-13
November 2010. Alasan dipilihnya Provinsi Jatim karena provinsi ini merupakan
salah satu provinsi yang cukup besar dalam menempatkan TKI di luar negeri.
Hampir semua kabupaten/kota di Jatim menjadi daerah asal TKI, dengan
kantong-kantong TKI (daerah yang paling banyak dimana TKI berasal) di
antaranya Madura, Tulungagung, dan Trenggalek. Seiring dengan banyak TKI,
banyak pula kasus yang menimpa TKI dari Jatim.
Adapun instansi di daerah yang menjadi obyek penelitian adalah
Pemerintah Daerah Provinsi Jatim, Dinas Tenaga Kerja, Unit Pelaksana Teknis
Pelayanan Penempatan dan Perlindungan (UPTP3TKI) Provinsi Jatim, DPRD
Provinsi Jatim, Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS), Kepolisian, dan
perusahaan asuransi (PT Paladin).
B. Cara Pengumpulan Data
Sesuai dengan jenis penelitian ini, maka data yang diperlukan adalah data
primer dan data sekunder. Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan yang isinya
mengikat karena dikeluarkan oleh lembaga/pihak yang berwenang, meliputi
antara lain, peraturan perundang-undangan, perjanjian, dan konvensi. Bahan
hukum sekunder adalah bahan yang isinya membahas bahan hukum primer,
seperti: buku-buku, artikel, makalah, laporan penelitian, dan berbagai karya

167

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

tulis ilmiah lainnya.17 Data sekunder tersebut diperoleh dari perpustakaan,


internet, surat kabar, seminar, dan sebagainya.
Untuk mendukung data sekunder diperlukan data primer yang diperoleh
melalui wawancara secara mendalam dengan berpedoman pada daftar
pertanyaan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Adapun para pihak yang
diwawancara adalah para pejabat/pegawai Pemda Provinsi Jatim, Anggota
DPRD Komisi E Provinsi Jatim, para pejabat/pegawai di UPTP3TKI, polisi,
pejabat/pegawai Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS), para pejabat/
pegawai Dinas Tenaga Kerja, dan pegawai asuransi.
C. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh dari hasil
penelitian adalah metode analisis kualitatif. Metode ini dilakukan dengan
menginterpretasikan, menguraikan, menjabarkan, dan menyusun data yang
terkumpul baik data primer maupun data sekunder secara sistematis logis
sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan.

17 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:Rineka Cipta,1998, hal.103-104.

168

BAB IV
Hasil Penelitian dan Pembahasan

A. Syarat Usia TKI dalam Pasal 35 Huruf a UU No. 39 Tahun 2004


Bekerja merupakan hak asasi manusia yang dijamin dan dilindungi dalam
konstitusi. Jaminan dan perlindungan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 27
ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selain
itu, Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 juga menyebutkan bahwa setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja. Jaminan dan perlindungan hak warga negara atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak tersebut selanjutnya dijabarkan lebih
lanjut dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 38 ayat
(1) UU No. 39 Tahun 1999 menyebutkan setiap warga negara, sesuai dengan
bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.
Dalam tataran internasional, Indonesia juga telah meratifikasi International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang
Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) melalui UU No. 11 Tahun 2005
tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), yang
mulai berlaku pada tanggal 28 Oktober 2005. Pasal 6 International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights mengakui hak setiap orang atas pekerjaan.
Sebagai konsekuensi dari ratifikasi tersebut maka Indonesia harus melaksanakan
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dengan baik, yaitu
dengan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak setiap orang
untuk bekerja.
Berpijak pada landasan yuridis tersebut maka setiap warga negara
Indonesia berhak untuk bekerja, baik di dalam negeri maupun luar negeri
dengan menjadi TKI. Untuk memberikan perlindungan terhadap TKI,
Indonesia telah membentuk UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan
169

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Namun UU No.


39 Tahun 2004 tersebut dianggap oleh sebagian kalangan kurang memberikan
perlindungan terhadap TKI. Sebagaimana dikemukakan Ketua Panitia Kerja
(Panja) Revisi UU No. 39 Tahun 2004 yang sekaligus juga Wakil Ketua
Komisi IX, Supriyatno bahwa substansi UU No. 39 Tahun 2004 lebih banyak
mengatur tata niaga penempatan daripada tentang pengaturannya. Pasal yang
mengatur penempatan ada 66 pasal atau 38 persen dari 109 pasal, sedangkan
yang mengatur perlindungan hanya 8 pasal atau 7 persen. Oleh karena itu
wajar jika banyak kalangan yang berpendapat paradigma pengaturan tersebut
adalah komoditasasi TKI.18
Jika dicermati, pengaturan penempatan dalam UU No. 39 Tahun 2004
seharusnya tidak dianggap sebagai komoditasasi TKI karena pengaturan
penempatan yang baik pada akhirnya akan bermanfaat untuk melindungi
TKI itu sendiri. Penempatan yang baik dan sesuai prosedur dengan sendirinya
akan meminimalisasi terjadinya berbagai kasus yang menimpa TKI. Selain itu,
mengingat bekerja di luar negeri juga memiliki risiko tinggi maka diperlukan
kesiapan baik fisik dan mental dari TKI. Oleh karena itulah Pasal 35 UU No.
39 Tahun 2004 mempersyaratkan calon TKI sebagai berikut:
1. Berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon
TKI yang akan dipekerjakan pada pengguna perseorangan sekurangkurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun;
2. Sehat jasmani dan rohani;
3. Tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan; dan
4. Berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Pertama
(SLTP) atau yang sederajat.
Syarat calon TKI tersebut, khususnya syarat usia calon TKI dimaksudkan
untuk melindungi TKI. Hal ini dapat dilihat dari Penjelasan Pasal 35 huruf a
UU No. 39 Tahun 2004 yang menyebutkan sebagai berikut:
Dalam prakteknya TKI yang bekerja pada pengguna Perseorangan
selalu mempunyai hubungan personal yang intens dengan Pengguna,
yang dapat mendorong TKI yang bersangkutan berada pada keadaan
yang rentan dengan pelecehan seksual. Mengingat hal itu, maka pada
pekerjaan tersebut diperlukan orang yang betul-betul matang dari aspek
18 Revisi UU No. 39/2004 Kedepankan Perlindungan Penempatan TKI, Parlementaria, op.cit. hal.
13

170

Dian Cahyaningrum

kepribadian dan emosi. Dengan demikian resiko terjadinya pelecehan


seksual dapat diminimalisasi.
Namun Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 khususnya pada anak
kalimatkecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna
perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun telah
diajukan uji materiil (judicial review) ke MK karena dianggap bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945.
Pemohon judicial review tersebut adalah para calon TKI yang belum
berumur 21 tahun sehingga tidak dapat menjadi TKI yang bekerja pada
pengguna perseorangan. Adapun alasan pengajuan judicial review tersebut
intinya adalah bahwa Konstitusi telah menjamin hak setiap warga negara
atas pekerjaan dan imbalan yang layak bagi kemanusiaan dalam suatu
hubungan kerja. Hak tersebut harus diberikan pada semua orang dewasa, yang
berdasarkan konsepsi International Labour Organisation (ILO) dan UU No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang telah berusia di
atas 18 tahun. Dengan demikian, syarat usia sekurang-kurangnya 21 tahun bagi
TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan mencerminkan inkonsistensi
sikap pemerintah dan pembuat UU. Syarat tersebut dapat mengakibatkan
tertutupnya kesempatan bagi sekelompok warga negara untuk mendapatkan
pekerjaan dan hilangnya hak konstitusional seseorang untuk bekerja. Alasan
pembatasan usia tersebut untuk perlindungan TKI sebagaimana disebutkan
dalam Penjelasan Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 juga tidak tepat
dan mengesampingkan fakta bahwa semua TKI pada dasarnya rawan terhadap
pelecehan seksual. Selain itu kematangan pribadi dan emosi yang dijadikan
dasar/alasan adanya persyaratan usia juga bersifat relatif dan tidak terpaku
pada usia, selain juga tidak konsisten dengan diberlakukannya prosedur wajib
pemeriksaan kesehatan dan psikologi yang harus dilalui TKI. Berpijak pada
alasan/argumen tersebut maka Pemohon memohon kepada Majelis Hakim
MK untuk menerima permohonan mereka dan menyatakan Pasal 35 huruf a
UU No. 39 Tahun 2004 pada anak kalimat yang berbunyi kecuali bagi calon
TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya
berusia 21 tahun bertentangan dengan UUD Tahun 1945, oleh karenanya
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.19
Sehubungan dengan permohonan uji materi (judicial review) tersebut,
pembuat UU yaitu Pemerintah dan DPR pada dasarnya memberikan
19 Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 028-029/PUU-IV/2006.

171

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

keterangan yang senada yaitu bahwa pembatasan syarat usia untuk TKI yang
bekerja pada pengguna perorangan tidak dimaksudkan untuk melanggar
hak TKI untuk bekerja melainkan untuk memberikan perlindungan kepada
TKI. Perlindungan diperlukan karena ada kemungkinan tempat dan kondisi
kerja di negara tujuan tidak sesuai dengan harapan TKI. Selain itu TKI
yang bekerja pada pengguna perseorangan juga rentan terhadap perlakuanperlakuan yang dapat merendahkan harkat dan martabat kemanusiaannya
karena memiliki hubungan yang intens dengan pengguna. Berbagai kondisi
tersebut menghendaki adanya kesiapan fisik dan mental dari TKI untuk dapat
melindungi dirinya sendiri. Oleh karena itu TKI yang bekerja pada pengguna
perseorangan disyaratkan berusia sekurang-kurangnya 21 tahun karena di usia
tersebut TKI memiliki kematangan dari segi emosi dan kepribadian. Selain
itu, menurut DPR pembatasan usia tersebut juga diperlukan untuk menjamin
kesejahteraan anak baik dari segi lahir maupun batin sebagaimana diamanatkan
UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang memberikan batasan
umur anak yang dijamin kesejahteraannya sampai dengan usia 21 tahun.20
Setelah mendengar dan membaca keterangan dari berbagai pihak, sebelum
memberikan keputusan, MK memberikan pertimbangan bahwa negara memiliki
kewajiban untuk melindungi warga negara dan kepentingannya. Namun
dalam menjalankan kewajibannya untuk memberikan perlindungan kepada
warga negara yang berada di luar yurisdiksi teritorialnya, terdapat pembatasanpembatasan dan/atau larangan yang ditentukan oleh hukum internasional
yang berlaku umum (general international law) yang membatasi keleluasaan suatu
negara untuk melaksanakan kewajibannya tersebut. Akibatnya negara tidak
mungkin melakukan tindakan langsung dan seketika terhadap pelanggaran
hukum yang menimpa TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan. Ini berarti
pada tahap permulaan, langkah yang perlu diambil akan sangat bergantung
pada TKI itu sendiri dan ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut.
Sehubungan dengan hal ini, faktor kematangan kepribadian dan emosi TKI
yang bersangkutan sangat berperan. Oleh karena itu pembatasan usia 21 tahun
untuk TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan sebagaimana diatur
dalam Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 tidak dapat dikatakan sebagai
ketentuan yang menghalangi hak seseorang untuk bekerja, apalagi hak hidup.
Selain itu berpijak pada Pasal 1 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia dan International Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 12 Tahun
20 Ibid

172

Dian Cahyaningrum

2005, tidak dapat dikatakan bahwa Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun


2004 mengandung sifat diskriminatif. Berpijak pada argumen ini maka MK
menyatakan permohonan Pemohon yang mendalilkan Pasal 35 huruf a UU
No. 39 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat
(2) UUD 1945 tidak beralasan sehingga permohonan para pemohon harus
dinyatakan ditolak.21
Berpijak pada Pasal 47 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi yang menyebutkan bahwa putusan MK memperoleh kekuatan
hukum yang tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk
umum maka putusan MK yang menguatkan ketentuan pembatasan usia TKI
yang bekerja pada pengguna perseorangan sekurang-kurangnya 21 tahun
sebagaimana diatur dalam Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 memiliki
kekuatan hukum tetap. Dengan demikian semua pihak harus melaksanakan
keputusan MK tersebut dengan sebaik-baiknya.
B. Implementasi Pasal 35 Huruf a UU No. 39 Tahun 2004
Provinsi Jatim merupakan salah satu provinsi pengirim TKI ke luar negeri
yang besar. Berdasarkan Rekapitulasi Data Penempatan TKI ke Luar Negeri
Tahun 2008-2010 Dirinci Menurut Kabupaten/Kota Daerah Asal TKI Provinsi
Jatim, banyaknya TKI yang ditempatkan untuk bekerja di luar negeri pada
Januari-Desember 2008 mencapai 59525 orang; pada Januari-Desember 2009
sebanyak 46418 orang; dan pada Januari-Oktober 2010 sebanyak 45711 orang.
Hampir semua kabupaten/kota di Jatim menjadi daerah asal TKI, dengan
kantong-kantong TKI (daerah asal yang besar mengirim TKI) diantaranya
Gresik, Kabupaten Malang, Kabupaten Kediri, Kabupaten Madiun,
Tulungagung, Kabupaten Blitar, Ponorogo, Banyuwangi, Jember, Lamongan,
dan Magetan.22
Berdasarkan Rekapitulasi Data Penempatan TKI ke Luar Negeri Tahun
2008-2010 Dirinci Menurut Negara Tujuan dan Remittance Provinsi Jatim,
nampak bahwa negara-negara tujuan yang menjadi tempat TKI bekerja tersebar
baik di kawasan Asia, Timur Tengah dan Afrika yaitu Arab Saudi, Malaysia,
Singapura, Hongkong, Taiwan, Macau, Brunai Darusalam, Uni Emirat Arab,
Qatar, Bahrain, Abu Dhabi, Yaman, Rumania, Maldives, Yordania, New
21 Ibid.
22 Rekapitulasi Data Penempatan TKI Ke Luar Negeri Kurun Waktu: Tanggal 1 Januari s/d 31
Desember 2008; 1 Januari s/d 31 Desember 2009; dan 1 Januari s/d 31 Oktober 2010 Dirinci Menurut
Kabupaten/Kota Daerah Asal TKI Jawa Timur, data berasal dari Unit Pelaksana Teknis Pelayanan
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (UPTP3TKI) Provinsi Jawa Timur.

173

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

Zealand, Sychelles, dan Kuwait. Di antara kawasan tersebut, kawasan yang


paling banyak menjadi tujuan TKI bekerja adalah kawasan Asia, khususnya
Malaysia dan Hongkong. Namun tidak satu pun TKI yang bekerja di kawasan
Amerika atau pun kawasan Uni Eropa.23
Menurut Bapak A dan Bapak B, tidak adanya TKI yang bekerja di kawasan
Amerika dan Uni Eropa disebabkan peluang kerja di kawasan tersebut lebih
banyak membutuhkan tenaga kerja ahli (expert). Berbeda dengan kawasan Asia
yang banyak membutuhkan tenaga kerja informal seperti penata laksana rumah
tangga (PLRT).24 Penjelasan kedua orang tersebut dapat dipahami. Berdasarkan
data dari Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Penempatan dan Perlindungan
TKI (UPTP3TKI) Provinsi Jatim mengenai penempatan TKI formal-informal,
dilihat dari strukturnya, TKI lebih banyak yang bekerja di sektor informal jika
dibandingkan sektor formal. Pada bulan Desember 2008, TKI yang bekerja di
sektor informal ada 2.415 orang, sedangkan di sektor formal ada 1.952 orang.
Pada 1 Januari31 Desember 2009, jumlah TKI yang bekerja di sektor informal
sebanyak 31.593 orang, sedangkan di sektor formal sebanyak 14.825 orang.
Begitu pula pada Oktober 2010, TKI yang bekerja di sektor informal lebih
banyak yaitu 2.359 orang, sedangkan yang bekerja di sektor formal hanya 1.894
orang.25
Salah satu sektor informal yang diminati TKI untuk bekerja adalah menjadi
PLRT. Ini ditunjukkan Rekapitulasi Data Penempatan TKI ke Luar Negeri
Tahun 2009 Kurun Waktu Tanggal 1 Januari Sampai Dengan 31 Desember
2000 Dirinci Menurut Jabatan di Provinsi Jatim, dimana jumlah keseluruhan
TKI yang menjadi PLRT menempati urutan paling atas, yaitu sebanyak 21.318
orang, selanjutnya worker sebanyak 14.942 orang; caretaker ada 9.338 orang;
tukang mekanik/operator ada 621 orang; tukang perkebunan sebanyak 105
orang; penjahit ada 51 orang; elektronik ada 29 orang; konstruksi ada 13 orang;
dan pengemudi ada 1 orang.26

23 Rekapitulasi Data Penempatan TKI ke Luar Negeri Tahun 2008-2010 Dirinci Menurut Negara
Tujuan dan Remittance Provinsi Jawa Timur, data berasal dari Unit Pelaksana Teknis Pelayanan
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (UPTP3TKI) Provinsi Jawa Timur.
24 Bapak B (Kepala Pengelola Keuangan UPTP3TKI Provinsi Jatim) dan Bapak A (Pegawai UPTP3TKI
Provinsi Jatim), wawancara dilakukan pada tanggal 7 November 2010.
25 Disarikan dari data mengenai penempatan TKI formal-informal yang berasal dari UPTP3TKI Provinsi
Jatim.
26 Rekapitulasi Data Penempatan TKI ke Luar Negeri Tahun 2009 Kurun Waktu Tanggal 1 Januari
Sampai Dengan 31 Desember 2009 Dirinci Menurut Jabatan Provinsi Jawa Timur, data berasal dari
UPTP3TKI Provinsi Jatim.

174

Dian Cahyaningrum

Sehubungan dengan dikuatkannya Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun


2004 oleh Mahkamah Konstitusi (MK), maka calon TKI yang hendak bekerja
pada pengguna perseorangan sebagai PLRT harus berusia sekurang-kurangnya
21 (dua puluh satu) tahun. Namun pada prakteknya umur TKI banyak yang
dipalsukan. Berdasarkan data Jumlah TKI Terminasi yang Datang di Bandara
Juanda Sidoarjo pada tahun 2010 (dirinci berdasarkan jenis permasalahan TKI
dan negara tujuan penempatan TKI), sampai dengan Oktober 2010 ada 7
kasus TKI dipulangkan karena usia TKI belum memenuhi syarat.27
Tidak tertutup kemungkinan pemalsuan umur inilah yang menjadi salah
satu penyebab terjadinya berbagai kasus yang menimpa TKI. Ini disebabkan TKI
berada pada posisi rentan dan kurang memiliki kematangan psikis. Berdasarkan
data Kepulangan TKI yang Bermasalah di Provinsi Jatim tahun 2008, 2009,
dan Oktober 2010, kasus-kasus yang menimpa TKI diantaranya adalah dianiaya,
dilecehkan, belum mendapatkan gaji, dan diputuskan hubungan kerjanya
secara sepihak. Pada tahun 2008, jumlah kepulangan TKI yang bermasalah di
Provinsi Jatim ada sebanyak 6.732 orang. Jumlah ini meningkat pada tahun
2009 menjadi 7.914. Sedangkan pada tahun 2010, sampai dengan Oktober
2010, jumlah kepulangan TKI yang bermasalah ada sebanyak 5.672 orang.28
Meskipun pemalsuan umur dapat menimbulkan terjadinya berbagai
masalah/kasus yang menimpa TKI, penegakan hukum terhadap kasus tersebut
belum cukup baik. Pemalsuan umur masih terus terjadi, bahkan sebagaimana
diungkapkan oleh narasumber yang bekerja sebagai PPTKIS, pernah terjadi
aparat penegak hukum (polisi) melakukan pemerasan terhadap dirinya yang
diduga melakukan pemalsuan umur TKI.29 Hal ini patut disayangkan mengingat
polisi yang seharusnya menangani masalah pemalsuan umur dengan baik,
justru memanfaatkan kasus tersebut untuk kepentingannya.
Jika dianalisa, kasus pemalsuan umur terjadi karena seseorang terdorong
untuk menjadi TKI baik atas kemauan sendiri maupun atas desakan
atau disuruh orang tuanya. Berpijak pada teori push-pull dari Everett Lee,
sebagaimana dikemukakan oleh beberapa narasumber, faktor utama yang
mendorong seseorang menjadi TKI tersebut adalah kemiskinan dan adanya
27 Data mengenai Jumlah TKI Terminasi yang Datang di Bandara Juanda Sidoarja pada tahun 2010
Dirinci Berdasarkan Jenis Permasalahan TKI dan Negara Tujuan Penempatan TKI, data berasal dari
UPTP3TKI Provinsi Jatim.
28 Data Kepulangan TKI yang Bermasalah di Provinsi Jatim tahun 2008, 2009, dan Oktober 2010,
yang berasal dari UPTP3TKI.
29 Pemilik PPTKIS PT Orientasari Mahkota, wawancara dilakukan di PT. Orientasari Mahkota di
Provinsi Jatim, pada tanggal 9 November 2010.

175

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

desakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sementara kesempatan kerja di


dalam negeri sangat terbatas sedangkan di luar negeri cukup banyak dengan
penghasilan (gaji) yang cukup tinggi.30 Berbagai faktor tersebut menyebabkan
TKI melakukan berbagai upaya untuk menjadi TKI meskipun harus melanggar
aturan diantaranya dengan memalsukan umur agar memenuhi syarat Pasal 35
huruf a UU No. 39 Tahun 2004. Ironisnya kasus pemalsuan umur tersebut
kurang bisa dikontrol dengan baik karena ada kerjasama dengan aparat (Ketua
RT dan/atau kelurahan) dalam pembuatan identitas TKI.31
Sedangkan dari sisi pengusaha (PPTKIS), kasus pemalsuan umur terjadi
karena pengusaha terdorong untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya
dan agar bisnisnya di bidang penempatan TKI dapat berjalan dengan baik.
Dorongan atau motivasi tersebut dapat dipahami karena Pasal 14 ayat (2)
UU No. 39 Tahun 2004 mengatur bahwa perpanjangan Surat ijin Pelaksana
Penempatan TKI (SIPPTKI) dapat diberikan kepada PPTKIS jika PPTKIS
memenuhi syarat, diantaranya telah melaksanakan penempatan sekurangkurangnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari rencana penempatan pada
waktu memperoleh SIPPTKI dan memiliki neraca keuangan selama 2 (dua)
tahun terakhir tidak mengalami kerugian yang diaudit akuntan publik.
Dorongan tersebut menyebabkan PPTKIS tidak melakukan pemeriksaan
kembali atau bahkan justru melakukan pemalsuan identitas termasuk umur
TKI yang ditempatkannya. Sehubungan dengan pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh PPTKIS maka wajar jika ada sebagian pihak yang menghendaki
agar pemerintahlah yang sebaiknya melakukan penempatan TKI ke luar negeri.
Selain untuk keamanan dan perlindungan TKI, penempatan TKI ke luar
negeri oleh pemerintah juga didasarkan pada pertimbangan Pemerintahlah
yang dikenai kewajiban untuk memenuhi hak tiap warga negara atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UUD
Tahun 1945. Alasan lainnya, penempatan TKI ke luar negeri merupakan urusan
negara (pemerintah) karena berkaitan dengan hubungan antar negara.
Namun, langkah tersebut kurang tepat karena pemerintah memiliki
keterbatasan kapasitas untuk melakukan penempatan TKI ke luar negeri yang
jumlahnya terus meningkat. Selain itu, menurut narasumber, hal tersebut juga
30 Salah satu Anggota Komisi E, DPRD Provinsi Jatim, wawancara dilakukan di DPRD Provinsi
Jatim pada tanggal 11 November 2010. Faktor utama ini juga dikemukakan oleh Kepala Pengelola
Keuangan UPTP3TKI Provinsi Jatim, wawancara dilakukan pada tanggal 7 November 2010. Data
ini juga diperoleh dari jawaban tertulis yang berasal dari Disnaker Pemprov Jatim atas pertanyaan
penelitian yang dikirim sebelum Peneliti ke lapangan.
31 Bapak A (Pegawai UPTP3TKI Provinsi Jatim), wawancara dilakukan pada tanggal 7 November 2010.

176

Dian Cahyaningrum

dikhawatirkan akan menimbulkan protes dari PPTKIS jika PPTKIS dilarang


untuk menempatkan TKI ke luar negeri karena dianggap pemerintah tidak
memberdayakan PPTKIS.32 Pendapat narasumber tersebut dapat dibenarkan
karena tidak semua PPTKIS melakukan pemalsuan umur TKI bahkan justru ada
PPTKIS yang berupaya mencegah terjadinya pemalsuan umur yang dilakukan
oleh TKI itu sendiri sebagaimana yang dilakukan oleh PPTKIS PT Surya Pasifik
Jaya. Sebagaimana diungkapkan oleh pegawai PPTKIS PT Surya Pasifik Jaya,
upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya pemalsuan umur dan agar
perusahaannya tidak dipersalahkan atas pemalsuan umur adalah calon TKI
diminta untuk membuat pernyataan bahwa data yang diberikannya benar.33
Faktor lain yang juga menjadi penyebab terjadinya pemalsuan umur TKI
adalah tidak adanya data yang akurat mengenai calon TKI dan TKI di daerah
asal. Ini disebabkan Pasal 54 ayat (1) UU No. 39 Tahun 2004 mengatur PPTKIS
wajib melaporkan setiap perjanjian penempatan TKI kepada instansi Pemerintah
Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Aturan
tersebut cukup rancu dan dapat disalahgunakan karena PPTKIS dapat
melaporkan perjanjian penempatan kepada instansi pemerintah Kabupaten/
Kota di mana saja yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, bukan
di daerah asal TKI. Akibatnya, instansi ketenagakerjaan kabupaten/kota
mengalami kesulitan melakukan pendataan TKI yang berasal dari daerahnya.
Bahkan, menurut narasumber, kabupaten/kota yang seharusnya memiliki data
akurat justru meminta data dari UPTP3TKI Provinsi Jatim.34
Hal yang sama juga terjadi dengan rekom paspor. Sebagaimana dikemukakan
oleh salah satu pegawai UPTP3TKI Provinsi Jatim, rekom paspor yang selama
ini diatur dalam Peraturan Menteri hanya menyebutkan bahwa rekom paspor
dikeluarkan oleh dinas tenaga kerja (disnaker) kabupaten/kota. Ketentuan
seperti itu menyebabkan PPTKIS dapat meminta rekom paspor dari disnaker
kabupaten/kota mana pun yang bersedia memberikannya. Ironisnya, pihak
imigrasi mengeluarkan paspor selama ada rekom paspor tanpa peduli darimana
rekom paspor berasal. Akibatnya tidak ada kejelasan/keakuratan data TKI.35
Tidak dimilikinya data calon TKI dan TKI yang akurat menyebabkan daerah
32 Kepala UPTP3TKI Provinsi Jatim, wawancara dilakukan di UPTP3TKI Provinsi Jatim pada tanggal 8
November 2010.
33 Pegawai PPTKIS PT Surya Pasifik Jaya, wawancara dilakukan di PT Surya Pasifik Jaya pada tanggal 9
November 2010.
34 Ibid.
35 Bapak B (Pegawai UPTP3TKI Provinsi Jatim), wawancara dilakukan di UPTP3TKI Provinsi Jatim
pada tanggal 11 November 2010.

177

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

tidak dapat mengontrol dan melakukan pemeriksaan atas kebenaran identitas


TKI, termasuk umur TKI. Masalah ini diperparah dengan belum selesainya
proses administrasi kependudukan melalui pembuatan Kartu Tanpa Penduduk
(KTP) secara elektronik sehingga pemalsuan umur TKI makin terbuka lebar,
apalagi jika aparat terkait mau diajak bekerjasama untuk memalsukan umur
TKI.
Dengan melihat berbagai faktor yang menjadi penyebab terjadinya
pemalsuan umur sebagaimana dipaparkan maka upaya yang dapat dilakukan
untuk meminimalisasi atau bahkan jika memungkinkan menghilangkan sama
sekali masalah pemalsuan umur adalah dengan segera menyelenggarakan dan
mengelola administrasi kependudukan yang baik sesuai dengan UU No. 23
Tahun 2006 tentang Adminitrasi Kependudukan yang mulai berlaku pada
tanggal 29 Desember 2006. Dengan adanya administrasi kependudukan
tersebut, TKI memiliki dokumen kependudukan (meliputi biodata penduduk,
kartu keluarga, KTP, surat keterangan kependudukan, dan akta pencatatan
sipil) yang benar sehingga umur TKI sulit dipalsukan karena beberapa alasan
sebagai berikut:
1. Instansi pelaksana telah melakukan verifikasi dan validasi data dan
informasi yang disampaikan oleh penduduk dalam pelayanan pendaftaran
penduduk dan pencatatan sipil.
2. Setiap penduduk memiliki nomor kependudukan (NIK) yaitu nomor
identitas penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada
seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia.
3. KTP berlaku secara nasional dan setiap penduduk hanya diperbolehkan
memiliki 1 KTP. Selain itu dalam KTP juga disediakan ruang untuk
memuat kode keamanan dan rekaman elektronik pencatatan peristiwa
penting.
4. Adanya ancaman pidana bagi setiap penduduk yang dengan sengaja
memalsukan surat dan/atau dokumen kepada instansi pelaksana dalam
melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting (Pasal 93 UU
No. 23 Tahun 2006)
5. Adanya ancaman pidana bagi setiap orang yang tanpa hak dengan sengaja
mengubah, menambah, atau mengurangi isi elemen data pada dokumen
kependudukan (Pasal 94 UU No. 23 Tahun 2006)

178

Dian Cahyaningrum

Upaya lainnya yang juga penting untuk dilakukan adalah menciptakan


lapangan kerja khususnya di kabupaten/kota yang menjadi kantong-kantong
TKI. Dengan adanya upaya ini diharapkan seseorang tidak perlu lagi mencari
kerja di luar negeri dengan menjadi TKI. Penciptaan lapangan kerja ini juga
harus diiringi dengan upaya untuk menekan laju pertumbuhan penduduk.
Jika laju pertumbuhan penduduk tidak ditekan, dikhawatirkan lapangan kerja
yang tersedia tidak mampu mengakomodasi laju pertumbuhan penduduk
usia produktif sehingga terjadilah pengangguran yang pada akhirnya akan
mendorong seseorang menjadi TKI meskipun belum cukup umur sebagaimana
disyarakatkan dalam Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004.
Penciptaan lapangan kerja di dalam negeri juga diharapkan dapat membawa
dampak positif lainnya yaitu mengentaskan kemiskinan. Jumlah penduduk
miskin di Jatim masih cukup tinggi meskipun telah mengalami penurunan.
Berdasarkan data statistik dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jatim,
jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (penduduk miskin)
di Jawa Timur pada bulan Maret 2011 sebanyak 5,356 juta orang (14,23 persen),
turun dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2010 yang
sebesar 5,529 juta orang (15,26 persen).36 Penurunan jumlah penduduk miskin
ini perlu terus dilakukan karena salah satu faktor pendorong TKI yang belum
cukup umur bekerja ke luar negeri adalah masalah kemisikinan, sementara
kebutuhan hidup TKI dan keluarganya makin meningkat dan harus segera
dipenuhi.
Peningkatan kualitas TKI juga perlu terus dilakukan agar terjadi pergeseran
struktur TKI di Jatim, yaitu TKI yang bekerja pada sektor formal lebih banyak
jika dibandingkan dengan yang bekerja pada sektor informal misalnya dengan
menjadi PLRT. Dengan bekerja di sektor formal misalnya di perusahaan maka
TKI yang berusia 18 tahun sudah diperbolehkan untuk bekerja. Selain itu
bekerja pada sektor formal juga lebih terjamin perlindungan hukumnya karena
di beberapa negara misalnya Arab, tidak memasukkan PLRT sebagai tenaga
kerja formal sehingga kurang terjamin perlindungan hukumnya.
Selain upaya-upaya di atas, penegakan hukum juga perlu dilakukan secara
tegas kepada siapa saja yang melakukan pemalsuan umur TKI dan menempatkan
TKI yang tidak memenuhi syarat Pasal 35 UU No. 39 Tahun 2004. Dalam hal
ini pelaku pemalsuan umur dapat dijerat dengan Pasal 93 ataupun Pasal 94 UU
No. 23 Tahun 2006. Khusus bagi aparat kepolisian yang tidak melaksanakan
36 Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, Profil Kemiskinan di Jawa Timur Maret 2011, http://
jatim.bps.go.id/?cat=54, diakses tanggal 14 November 2011.

179

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

tugasnya menegakkan hukum dengan baik, bahkan melakukan tindakan


pemerasan atau pun pemalsuan umur TKI hendaknya dikenakan pidana yang
lebih berat dari pada pelaku orang biasa. Melalui berbagai upaya sebagaimana
telah dipaparkan diharapkan kasus pemalsuan umur TKI di Jatim tidak
terulang kembali. TKI diharapkan dapat bekerja dengan baik, aman, nyaman,
dan terlindungi.

180

BAB V
Penutup

A. Kesimpulan
Hukum menjamin hak setiap orang untuk bekerja baik di dalam negeri
maupun luar negeri dengan menjadi TKI. Mengingat bekerja di luar negeri
memiliki resiko yang tinggi dan rentan terhadap terjadinya berbagai permasalahan
yang mengancam harkat dan martabat manusia, sementara negara memiliki
keterbatasan dalam melakukan perlindungan karena di luar wilayah teritorial
maka Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 mempersyaratkan TKI khususnya
yang bekerja pada pengguna perseorangan berusia sekurang-kurangnya 21
tahun. Syarat usia ini tidak dimaksudkan untuk melanggar hak warga negara
untuk bekerja dan membatasi kesempatan seseorang untuk bekerja, melainkan
untuk memberikan perlindungan agar TKI memiliki kesiapan fisik dan mental
pada saat bekerja di luar negeri. Syarat usia TKI tersebut telah dikuatkan oleh
putusan MK yang telah menolak uji materi (judicial review) pemohon atas Pasal
35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004. Oleh karena itu ketentuan tersebut harus
dilaksanakan dengan baik oleh semua pihak.
Dalam tataran implementasi atau pelaksanaan Pasal 35 huruf a UU No. 39
Tahun 2004 di Provinsi Jatim, ditemukan adanya pelanggaran yaitu pemalsuan
usia TKI. Faktor pendorong yang menyebabkan pelanggaran tersebut adalah
kemiskinan TKI, sementara kesempatan kerja di dalam negeri terbatas;
adanya ambisi PPTKIS untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya; dan
penegakan hukum yang belum cukup baik oleh aparat. Beberapa upaya yang
dapat dilakukan untuk meminimalisasi atau mengatasi masalah pemalsuan
usia TKI adalah menyelenggarakan dan mengelola administrasi kependudukan
yang baik sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2006, menciptakan lapangan kerja
di dalam negeri, mengentaskan kemiskinan, meningkatkan kualitas TKI, dan
menegakkan hukum dengan baik.

181

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

B. Saran
Pemalsuan usia TKI menjadi salah satu penyebab terjadinya berbagai kasus
yang menimpa TKI. Oleh karena itu semua pihak harus melakukan segala
upaya untuk mencegah dan menangani masalah pemalsuan umur TKI, yaitu:
1. Pemerintah harus segera menyelesaikan proses administrasi kependudukan
berdasarkan UU No. 23 Tahun 2006, menciptakan lapangan kerja di dalam
negeri, mengentaskan kemiskinan, dan meningkatkan kualitas TKI.
2. Aparat penegak hukum harus melaksanakan tugasnya secara profesional
dalam menangani masalah pemalsuan umur dengan baik dan menindak
secara tegas pelaku pemalsuan umur.
3. Semua pihak, khususnya orang tua/suami/istri hendaknya tidak
melakukan pemaksaan dan memerintahkan anggota keluarganya yang
belum memenuhi syarat usia untuk menjadi TKI.
4. PPTKIS hendaknya mentaati dan melaksanakan semua peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai penempatan dan perlindungan TKI
dengan baik dan mengupayakan data TKI yang diterimanya adalah benar.

182

DAFTAR PUSTAKA

Buku/Majalah/Jurnal:
Burhan Ashshofa. Metode Penelitian Hukum. Jakarta:Rineka Cipta,1998.
I Dewa Rai Astawa. Aspek Perlindungan Hukum Hak-Hak Tenaga Kerja Indonesia
di Luar Negeri, yang disusun dalam rangka memenuhi persyaratan Program
Studi Ilmu Hukum. Semarang: Program Magister Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro Semarang, 2006.
Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay. Mahkamah Konstitusi Memahami
Keberadaannya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Cetakan
Pertama. Jakarta: Rineka Cipta, April 2006.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Lima Tahun Menegakkan Konstitusi,
Gambaran Singkat Pelaksanaan Tugas Mahkamah Konstitusi 2003-2008.
Cetakan Pertama. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Nopember 2008.
Mahkamah Konstitusi, Putusan Perkara No. 028-029/PUU-IV/2006.
Sali Susiana, Permasalahan Tenaga Kerja Wanita di Luar Negeri, Jurnal
Kajian, Vol. 5, No. 4, Desember 2000.
Sali Susiana, Kebijakan Penempatan TKI Pasca-Moratorium, Parlementaria,
Edisi 85 TH. XLII, 2011.
Warta Demografi, No. 3 Tahun ke-28 Tahun 1998.
Internet:
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, Profil Kemiskinan di Jawa Timur
Maret 2011, http://jatim.bps.go.id/?cat=54, diakses tanggal 14 November
2011.
183

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

Jabar, Terbanyak TKI Bermasalah. TKI Jatim Terbanyak, Tetapi Sedikit Kasus,
5 March 2010, http://www.yipd.or.id/main/readnews/15741, diakses
tanggal 21 Februari 2011.
Jawa Timur Duduki Peringkat Terbanyak TKI yang Meninggal, 27 Mei 2010,
http://www.berita8.com/news.php?cat=2&id=22678, diakses tanggal 21
Februari 2011.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri
UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

184

TENTANG PARA PENULIS

Asep Ahmad Saefuloh, SE, M.Si, lahir di Tasikmalaya 1 September 1971,


menjadi peneliti Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian
Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI sejak
tahun 1997. Jenjang kepangkatan Peneliti Madya (IVb) bidang Kebijakan
Publik. Latar belakang pendidikan adalah Sarjana Ilmu Ekonomi dan Studi
Pembangunan (IESP), Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surakarta/Sebelas
Maret Surakarta dan lulus tahun 1996. Kemudian melanjutkan studi pada
Program Magister Kajian Kependudukan dan Ekonomi Sumber Daya Manusia,
Universitas Indonesia (lulus tahun 2003). Saat ini sedang menempuh Program
S3 Bidang Manajemen Sumber Daya Manusia di Universitas Negeri Jakarta.
Dian Cahyaningrum, SH. MH., lahir di Demak, Mei 1973. Pendidikan
S1 Ilmu Hukum diselesaikan di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Semarang tahun 1996 kemudian menempuh Magister Ilmu Hukum di
Universitas Indonesia dengan program kekhususan Hukum Ekonomi (lulus
tahun 2004). Bekerja pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi
(P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI mulai tahun 1999 sebagai peneliti bidang
hukum ekonomi. Jabatan saat ini adalah Peneliti Madya IVa. Ditugaskan sebagai
anggota Tim Asistensi dan/atau Tim Pendamping pembahasan beberapa
Rancangan Undang-Undang (RUU), antara lain RUU Daerah Perbatasan,
RUU Perubahan tentang UU Perbankan, dan RUU Perubahan tentang UU
Perjanjian Internasional. Selain itu juga ditugaskan sebagai Tim Pendamping
dalam Tim Pemantau DPR RI tentang Pelaksanaan UU No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh dan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua; Tim Khusus DPR RI terhadap Penanganan TKI di
Arab Saudi, dan Tim Pengawasan DPR RI terhadap Pelaksanaan Tindak Lanjut
Rekomendasi DPR RI tentang Pengusutan Kasus Bank Century. Beberapa
penelitian yang telah dilakukan diantaranya bertema privatisasi sumber daya
air, membangun good corporate governance (GCG) pada BUMN, pengelolaan
investasi di wilayah perbatasan, penempatan dan perlindungan TKI di luar
negeri, dan pemanfaatan tanah adat untuk penanaman modal.
185

Tentang Para Penulis

Dinar Wahyuni, M.Si adalah calon peneliti Bidang Kesejahteraan Sosial pada
Pusat Pengkajian Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal
DPR RI sejak Februari 2010. Menyelesaikan studi S1 Jurusan Ilmu Sosiatri
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM)
tahun 2004. Kemudian melanjutkan studi S2 Jurusan Sosiologi Kebijakan dan
Kesejahteraan Sosial FISIPOL UGM dan lulus tahun 2007.
Humphrey Wangke, MSi, adalah Peneliti Madya (IVc) bidang Hubungan
Internasional pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI. Ditempatkan di P3DI sejak tahun 1990 saat
pertama lembaga ini dibentuk. Menyelesaikan studi S1 di FISIP Universitas
Jember tahun 1987. Selanjutnya menyelesaikan studi S2 di Kajian Wilayah
Amerika Universitas Indonesia tahun 1998. Pada tahun 2011 menerbitkan
buku Mencari Solusi Atas Perubahan Iklim.
Luthvi Febryka Nola, SH., MKn., lahir di Padang 29 Februari 1980. Pendidikan
S1 Ilmu Hukum diselesaikan di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
pada tahun 2003. Magister Kenotariatan diselesaikan di Universitas Indonesia
pada tahun 2009. Bekerja di Sekretariat Jendral DPR RI mulai tahun 2010
sebagai calon peneliti Bidang Hukum di Pusat Pengkajian Pengolahan Data
dan Informasi (P3DI).
Sali Susiana, M.Si adalah Peneliti Madya (IVc) Bidang Studi Kemasyarakatan
Studi Khusus Gender pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi
(P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Menjadi peneliti P3DI sejak tahun 1996.
Pendidikan sarjana dari Jurusan Sosiologi FISIPOL Universitas Gadjah Mada
(1995) dan Magister dari Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas
Indonesia (2005). Menjadi Anggota Tim Asistensi untuk Tim Khusus DPR
RI terhadap Penanganan TKI di Saudi Arabia (2011) dan beberapa Rancangan
Undang-Undang (RUU), antara lain RUU tentang Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga (2011) dan RUU tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender
(2011). Melakukan berbagai penelitian yang berkaitan dengan isu gender dan
perempuan, antara lain: Akses Perempuan terhadap Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Reproduksi: Studi di Provinsi Kepulauan Riau dan Sulawesi Tenggara (2011)
dan Implementasi Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah:
Studi di Kabupaten Jembrana Provinsi Bali (2010); dan Pengarusutamaan
Gender (Gender Mainstreaming) dalam Proses Legislasi dan Penyusunan
Anggaran atas biaya United Nations Development Program (2008). Menjadi editor
186

Tentang Para Penulis

dan kontributor dari beberapa buku yang diterbitkan oleh P3DI Setjen DPR
RI dan menulis beberapa artikel mengenai isu perempuan dan gender pada
jurnal ilmiah dan surat kabar, antara lain Urgensi Undang-Undang tentang
Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dalam Perspektif Feminis (Jurnal Legislasi
Indonesia Vol.7, No. 2 Agustus 2010); Kebijakan Penempatan TKI PascaMoratorium (Majalah Parlementaria, Edisi 85 Th XLII, 2011); Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (Majalah Parlementaria, Edisi 80 Th
XLI, 2010); dan Nasib UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (Kompas,
11 Agustus 2010). Terakhir menulis buku Perda Diskriminatif dan Kekerasan
terhadap Perempuan (2011).

187

Anda mungkin juga menyukai