Anda di halaman 1dari 11

Obat Yang Bekerja Dalam Sistem Pernafasan

Dosen Pengampu : dr. Fitri Indrawati, M.P.H

Oleh : Rombel 4
Santika Indriyani

6411414103

Intan Nurjannah Pratiwi Trisna

6411414104

Urlinda Rizki

6411414105

Emy Imroatus S.

6411414106

Yulia Stevani

6411414107

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Alloh SWT yang telah melimpahkan
rahmat-Nya, maka pada hari ini makalah yang berjudul Obat Yang Bekerja Dalam

Sistem Pernafasan dapat diselesaikan. Secara garis besar, makalah ini berisi tentang jenis
obat yang berhubungan sistem pernafasan.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung
penyusunan makalah ini. Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menyadari bahwa masih
terdapat beberapa kekurangan. Oleh karena itu, saran dari berbagai pihak sangat diharapkan
demi kemajuan selanjutnya.

Semarang, 6 Oktober 2015

Penyusun

BAB.1 PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Farmakologi berasal dari kata pharmacon berarti obat dan logos berarti ilmu
pengetahuan, sehingga secara harafiah farmakologi berarti ilmu pengetahuan tentang obat.
Namun, secara umum farmakologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari obat dan
cara kerjanya pada sistem biologi. Sedangkan untuk obat sendiri memiliki definisi yaitu
sebagai zat yang dapat mempengaruhi aktivitas fisik atau psikis menurut WHO (World
Health Organization ).
Farmakologi sebagai salah satu disiplin ilmu yang selalu menarik untuk diketahui karena
adanya kebutuhan masyarakat yang mendasar tentang kesehatan. Kebutuhan akan disiplin
ilmu tersebut perlu dijadikan perhatian, karena sangat dibutuhkan keahlian (expertise) dalam
disiplin tersebut.
Sistem pernapasan berperan penting dalam pertukaran oksigen (O2) dengan karbon
dioksida (CO2). Secara fungsional sistem pernapasan terdiri dari trakea, bronkus, bronkiolus,
alveolus dan paru-paru. Alveolus dikelilingi oleh pipa-pipa kapiler, baik alveolus maupun
kapiler tersusun oleh satu lapis sel yang memungkinkan terjadinya pertukaran antara O2
dengan CO2. Oksigen dari udara masuk melalui bronkus, bronkiolus, alveolus dan terjadi
inspirasi lalu masuk ke sirkulasi sistemik (darah) dan secara bersamaan CO2 di difusikan
keluar dari pipa-pipa kapiler masuk ke alveolus yang selanjutnya dikeluarkan dari tubuh
melalui pernapasan.
Secara umum fungsi sistem pernapasan untuk tujuan menyediakan oksigen bagi semua
sel tubuh, membantu pertahanan tubuh melawan senyawa asing, dan menghasilkan suara
untuk berbicara. Banyak sekali golongan dan jenis obat yang bekerja di saluran
pernapasanuntuk menjaga fungsinya.
Adapun yang perlu kita ketahui dalam makalah ini, akan dibahas jenis obat yaitu obat
untuk yerapi rhinitis, bronkodilator, mukolitik, ekspetoran dan antitusif.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana kajian obat saluran pernapasan dalam disiplin ilmu farmakologi?
2. Bagaimana mekanisme kerja dari obat saluran pernapasan dalam tubuh?
3. Bagaimana mekanisme cara kerja obat saluran pernapasan dalam tubuh?

1.3 TUJUAN
Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain :
1. Mengetahui tentang jenis obat saluran pernapasan
2. Mengetahui cara kerja obat dalam tubuh.
3. Mengetahui efek samping dari obat saluran pernapasan.
4. Memenuhi tugas Mata Kuliah Farmakologi.
1.4 MANFAAT
Hasil pembelajaran ini diharapkan dapat mempumyai manfaat bagi penulis dan pembaca.
1. Pengkajian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan bagi dunia ilmu
kesehatan.

A. Berbagai Jenis Antihistamin


1. H1-receptor antagonists
Dalam penggunaan umum, antihistamin merujuk hanya untuk antagonis H1, juga dikenal
sebagai antihistamin H1. Telah ditemukan bahwa antihistamin H1-agonis adalah benar-benar
berlawanan dengan reseptor histamin H1. Secara klinis, H1 antagonis digunakan untuk
mengobati reaksi alergi. Sedasi adalah efek samping yang umum, dan antagonis H1 tertentu,
seperti diphenhydramine dan Doksilamin, juga digunakan untuk mengobati insomnia.
Namun, antihistamin generasi kedua ini tidak melewati penghalang darah-otak, dan dengan
demikian tidak menyebabkan kantuk.

Azelastine
Brompheniramine

Buclizine

Bromodiphenhydramine

Embramine

Carbinoxamine

Fexofenadine

Cetirizine

Levocetirizine

Chlorpromazine (antipsychotic)

Loratadine

Cyclizine

Chlorpheniramine

Meclozine
(sering
digunakansebagai antiemetik)

Chlorodiphenhydramine

Olopatadine

Clemastine

Cyproheptadine

Orphenadrine
(sejenis
diphenhydramine
digunakan
terutama sebagai relaksan otot
rangka dan anti-Parkinson)

Desloratadine

Phenindamine

Dexbrompheniramine

Pheniramine

Deschlorpheniramine

Phenyltoloxamine

Dexchlorpheniramine

Promethazine

Dimenhydrinate (most commonly


used as an antiemetic)

Pyrilamine

Dimetindene

Quetiapine (antipsychotic)

Diphenhydramine (Benadryl)

Rupatadine

Doxylamine (most commonly used


as an OTC sedative)

Tripelennamine

Triprolidine

Ebastine

2. H2-receptor antagonists
Antagonis H2, seperti antagonis H1, juga agonis dan antagonis terbalik tidak benar. H2
reseptor histamin, ditemukan terutama di sel parietal dari mukosa lambung, digunakan untuk
mengurangi sekresi asam lambung, mengobati kondisi pencernaan termasuk tukak lambung
dan penyakit gastroesophageal reflux.

Cimetidine
Famotidine

Lafutidine

Nizatidine

Ranitidine

Roxatidine

Experimental: H3 and H4-receptor antagonists


Obat ini baru dalam tahap eksperimental dan belum memiliki penggunaan klinis,
meskipun sejumlah obat ini sedang dalam percobaan manusia. H3-antagonis memiliki
stimulan dan efek nootropic, dan sedang diselidiki untuk pengobatan kondisi seperti ADHD,
penyakit Alzheimer, dan skizofrenia, sedangkan H4-antagonis tampaknya memiliki peran
imunomodulator dan sedang diteliti sebagai obat anti-inflamasi dan analgesik .
3. H3-receptor antagonists

A-349,821

ABT-239

Ciproxifan

Clobenpropit

Conessine

Thioperamide

4. H4-receptor antagonists

Thioperamide

JNJ 7777120

VUF-6002

Lainnya

Atipical antihistamin Obat ini menghambat aktivitas enzimatik dekarboksilase


histidin:
Tritoqualine

catechin

Mast cell stabilizers


Mast cell stabilizers untuk menstabilkan sel mast untuk mencegah degranulasi dan
pelepasan mediator. Obat ini tidak biasanya digolongkan sebagai antagonis histamin, tetapi
memiliki indikasi serupa.

Cromoglicate (cromolyn)
Nedocromil

Beta 2 (2) adrenergic agonists

Obat Lain Dengan Khasiat Mirip Antihistamin


Banyak obat yang digunakan untuk indikasi lain memiliki aktivitas antihistaminergic
yang tidak diinginkan
Antihistamin H1 dikelompokkan dalam AH1 tradisional atau konvensional (generasi I), dan
AH1 non-sedatif (generasi I). Mereka dibagi dalam beberapa subkelas.

Etilendiamin Antazolin, tripelanamin, pirilamin.


Etanolamin Karbinoksamin, difenhidramin, doksilamin.

Alkilamin Klorfeniramin, deksklorfeniramin, dimetinden, feniramin.

Piperazin Setirizin, homoklorsiklizin, hidroksizin, oksatomid.

Piperidin Siproheptadin.

Fenotiasin Prometasin.

Lain-Lain Akrivastin, astemizol, azatadin, klemastin, levokobastin, loratadin,


mebhidrolin, terfenadin, ketotifen.

Golongan antihistamin generasi baru adalah setirizin, akrivastin, astemizol,


levokobastin, loratadin, dan terfenadin.

A. Farmakokinetik

Absorbsi AH1 berjalan sangat cepat setelah pemberian secara oral menyebabkan efek
sistemik dalam waktu kurang dari 30 menit. Hepar merupakan tempat metabolisme
utama (70-90%), dengan sedikit obat yang diekskresi dalam urin dalam bentuk yang
tidak berubah.

B. Penggunaan klinis
Antihistamin adalah obat yang paling banyak dipakai sebagai terapi simtomatik untuk reaksi
alergi yang terjadi. Semua jenis antihistamin sangat mirip aktivitas farmakologinya.
Pemilihan antihistamin terutama terhadap efek sampingnya dan bersifat individual. Pada
seorang pasien yang memberikan hasil kurang memuaskan dengan satu jenis antihistamin
dapat ditukar dengan jenis lain, terutama dari subkelas yang berbeda.
a)

Rinitis alergik musiman dan rinitis alergik perenial sangat baik reaksinya terhadap
antihistamin. Hampir
70-90% pasien rinitis alergik musiman mengalami
pengurangan gejala
(bersin, keluar ingus, sumbatan hidung). Hasil yang terbaik
didapat
bilamana antihistamin diberikan sebelum kontak. Walaupun pada rinitis
vasomotor hasilnya kurang memuaskan tetapi efek antikolinergiknya dapat
mengurangi gejala pilek.

b)

Urtikaria akut sangat bermanfaat untuk mengurangi ruam dan rasa gatal. Manfaatnya
pada urtikaria kronik kurang dan pada keadaan ini AH1 pilihan adalah yang berefek
sel rendah dan mempunyai masa kerja panjang, misal hidroksizin atau AH1 nonsedatif
lainnya. Pemberiannya cukup sekali sehari sehing meningkatkan kepatuhan. Apabila
gejala belum diatasi dapat dikombinasi dengan AH2, dan kalau perlu ditambah
simpatomimetik.

c)

Reaksi anafilaksis akut antihistamin H1 digunakan sebagai terapi tambahan setelah


epinefrin. Preparat yang banyak dipakai adalah difenhidramin. Pada serum sickness
antihistamin berfungsi untuk mengurangi urtikaria tetapi mempunyai efek yang kecil
terhadap artralgia, demam, dan tidak mengurangi lama penyakitnya. Pada dermatitis
kontak dan erupsi obat fikstum, antihistamin oral dapat mengurangi rasa gatal.
Hindari penggunaan antihistamin topikal karena dapat menyebabkan sensititasi.
Antihistamin juga dapat dipakai sebagai terapi tambahan pada reaksi alergi obat dan
reaksi akibat transfusi.

C. Efek samping
a)

Mengantuk Antihistamin termasuk dalam golongan obat yang sangat aman


pemakaiannya. Efek samping yang sering terjadi adalah rasa mengantuk dan
gangguan kesadaran yang ringan (somnolen).

b)

Efek antikolinergik Pada pasien yang sensitif atau kalau diberikan dalam dosis besar.
Eksitasi, kegelisahan, mulut kering, palpitasi dan retensi urin dapat terjadi. Pada
pasien dengan gangguan saraf pusat dapat terjadi kejang.

c)

Diskrasia Meskipun efek samping ini jarang, tetapi kadang-kadang dapat


menimbulkan diskrasia darah, panas dan neuropati.

d)

Sensitisasi Pada pemakaian topikal sensitisasi dapat terjadi dan menimbulkan


urtikaria, eksim dan petekie.

Efek Samping Lainnya


Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat
serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Efek samping yang
paling sering ialah sedasi, yang justru menguntungkan bagi pasien yang dirawat di RS
atau pasien yang perlu banyak tidur. Tetapi efek ini mengganggu bagi pasien yang
memerlukan kewaspadaan tinggi sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya
kecelakaan.
b) Pengurangan dosis atau penggunaan AH1 jenis lain mungkin dapat mengurangi efek
sedasi ini. Astemizol, terfenadin, loratadin tidak atau kurang menimbulkan sedasi.
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinitus, lelah,
penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euphoria, gelisah, insomnia dan
tremor.
a)

c)

Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan berkurang,
mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare, efek samping ini akan
berkurang bila AH1 diberikan sewaktu makan.

d)

Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria,
palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan. Insidens efek
samping karena efek antikolinergik tersebut kurang pada pasien yang mendapat
antihistamin nonsedatif.

e)

AH1 bisa menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi akibat
penggunaan lokal berupa dermatitis alergik. Demam dan foto sensitivitas juga pernah
dilaporkan terjadi.

f)

Selain itu pemberian terfenadin dengan dosis yang dianjurkan pada pasien yang
mendapat ketokonazol, troleandomisin, eritromisin atau lain makrolid dapat
memperpanjang interval QT dan mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel. Hal ini
juga dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat dan pasienpasien yang peka terhadap terjadinya perpanjangan interval QT (seperti pasien
hipokalemia).

g)

Kemungkinan adanya hubungan kausal antara penggunaan antihistamin non sedative


dengan terjadinya aritmia yang berat perlu dibuktikan lebih lanjut.

h)

INTOKSIKASI AKUT AH1 Keracunan akut AH1 terjadi karena obat golongan ini
sering terdapat sebagai obat persediaan dalam rumah tangga. Pada anak, keracunan
terjadi karena kecelakaan, sedangkan pada orang dewasa akibat usaha bunuh diri.
Dosis 20-30 tablet AH1 sudah bersifat letal bagi anak. Efek sentral AH1 merupakan
efek yang berbahaya.

i)

PAda anak kecil efek yang dominan ialah perangsangan dengan manifestasi
halusinasi, eksitasi, ataksia, inkoordinasi, atetosis dan kejang. Kejang ini kadangkadang disertai tremor dan pergerakan atetoid yang bersifat tonik-klonik yang sukar
dikontrol.

j)

Gejala lain mirip gejala keracunan atropine misalnya midriasis, kemerahan di muka
dan sering pula timbul demam. Akhirnya terjadi koma dalam dengan kolaps
kardiorespiratoar yang disusul kematian dalam 2-18 jam. Pada orang dewasa,
manifestasi keracunan biasanya berupa depresi pada permulaan, kemudian eksitasi
dan akhirnya depresi SSP lebih lanjut.

k)

PENGOBATAN INTOLSIKASI Pengobatan diberikan secara simtomatik dan suportif


karena tidak ada antidotum spesifik. Depresi SSP oleh AH1 tidak sedalam yang
ditimbulkan oleh barbiturate. Pernapasan biasanya tidak mengalami gangguan yang
berat dan tekanan darah dapat dipertahankan secara baik. Bila terjadi gagal napas,
maka dilakukan napas buatan, tindakan ini lebih baik daripada memberikan analeptic
yang justru akan mempermudah timbulnya konvulsi. Bila terjadi konvulsi, maka
diberikan thiopental atau diazepam.

l)

Sopir atau pekerja yang memerlukan kewaspadaan yang menggunakan AH1 harus
diperingatkan tentang kemungkinan timbulnya kantuk. Juga AH1 sebagai campuran
pada resep, harus digunakan dengan hati-hati karena efek AH1 bersifat aditif dengan
alcohol, obat penenang atau hipnotik sedative.

Chlorpheniramin maleat

Di Indonesia, Chlorpheniramin maleat atau lebih dikenal dengan CTM merupakan


salah satu antihistaminika yang memiliki efek sedative (menimbulkan rasa kantuk).
Namun, dalam penggunaannya di masyarakat lebih sering sebagai obat tidur
dibanding antihistamin sendiri. Keberadaanya sebagai obat tunggal maupun campuran
dalam obat sakit kepala maupun influenza lebih ditujukan untuk rasa kantuk yang
ditimbulkan sehingga pengguna dapat beristirahat. CTM memiliki indeks terapetik
(batas keamanan) cukup besar dengan efek samping dan toksisitas relatif rendah.
Untuk itu sangat perlu diketahui mekanisme aksi dari CTM sehingga dapat
menimbulkan efek antihistamin dalam tubuh manusia. Menurut Dinamika Obat
(ITB,1991), CTM merupakan salah satu antihistaminika H1 (AH1) yang mampu
mengusir histamin secara kompetitif dari reseptornya (reseptor H1) dan dengan
demikian mampu meniadakan kerja histamin.
Di dalam tubuh adanya stimulasi reseptor H1 dapat menimbulkan vasokontriksi
pembuluh-pembuluh yang lebih besar, kontraksi otot (bronkus, usus, uterus),
kontraksi sel-sel endotel dan kenaikan aliran limfe. Jika histamin mencapai kulit misal
pada gigitan serangga, maka terjadi pemerahan disertai rasa nyeri akibat pelebaran
kapiler atau terjadi pembengkakan yang gatal akibat kenaikan tekanan pada kapiler.
Histamin memegang peran utama pada proses peradangan dan pada sistem imun.

CTM sebagai AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan
bermacam-macam otot polos. AH1 juga bermanfaat untuk mengobati reaksi
hipersensitivitas dan keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen berlebih.
Dalam Farmakologi dan Terapi edisi IV (FK-UI,1995) disebutkan bahwa histamin
endogen bersumber dari daging dan bakteri dalam lumen usus atau kolon yang
membentuk histamin dari histidin.

Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan sistem saraf pusat dengan
gejala seperti kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat. Efek
samping ini menguntungkan bagi pasien yang memerlukan istirahat namun dirasa
menggangu bagi mereka yang dituntut melakukan pekerjaan dengan kewaspadaan
tinggi. Oleh sebab itu, pengguna CTM atau obat yang mengandung CTM dilarang
mengendarai kendaraan.

Rasa kantuk yang ditimbulkan setelah penggunaan CTM merupakan efek samping
dari obat tersebut. Sedangkan indikasi CTM adalah sebagai antihistamin yang
menghambat pengikatan histamin pada resaptor histamin.

D. Mekanisme kerja

1.

Antihistamin bekerja dengan cara kompetisi dengan histamin untuk suatu reseptor
yang spesifik pada permukaan sel. Hampir semua AH1 mempunyai kemampuan yang
sama dalam memblok histamin. Pemilihan antihistamin terutama adalah berkenaan
dengan efek sampingnya. Antihistamin juga lebih baik sebagai pengobatan profilaksis
daripada untuk mengatasi serangan.

2.

Mula kerja AH1 nonsedatif relatif lebih lambat; afinitas terhadap reseptor AH1 lebih
kuat dan masa kerjanya lebih lama. Astemizol, loratadin dan setirizin merupakan
preparat dengan masa kerja lama sehingga cukup diberi 1 kali sehari.

3.

Beberapa jenis AH1 golongan baru dan ketotifen dapat menstabilkan sel mast
sehingga dapat mencegah pelepasan histamin dan mediator kimia lainnya; juga ada
yang menunjukkan penghambatan terhadap ekspresi molekul adhesi (ICAM-1) dan
penghambatan adhesi antara eosinofil dan neutrofil pada sel endotel. Oleh karena
dapat mencegah pelepasan mediator kimia dari sel mast, maka ketotifen dan beberapa
jenis AH1 generasi baru dapat digunakan sebagai terapi profilaksis yang lebih kuat
untuk reaksi alergi yang bersifat kronik.

KESIMPULAN

Pada awalnya mekanisme antihistamin pada pengobatan penyakit alergik dikenal


sebagai blokade reseptor H1 terhadap histamin. Akhir-akhir ini dibuktikan bahwa
antihistamin mempunyai khasiat anti inflamasi. Mekanisme antihistamin dalam menghambat
radang melalui penekanan ekspresi molekul adhesi, menghambat migrasi sel radang telah
dibuktikan. Telah diteliti juga hubungan antihistamin dengan aktivitas konstitutif reseptor H1,
peningkatan aktivitas reseptor H1 yang disebabkan agonis misalnya histamin. Peningkatan
aktivitas reseptor H1 mengakibatkan peningkatan aktivitas NF-kB yang merupakan faktor
transkripsi yang berperan pada terjadinya reaksi radang, sedangkan antagonis H1 tidak dapat
mempengaruhi aktivitas reseptor H1. Akhir-akhir ini diduga beberapa antagonis H1
mempunyai khasiat sebagai inverse agonist yaitu menghambat aktivasi reseptor H1, yang
mengakibatkan penghambatan aktivasi NF- kB. Disimpulkan reaksi radang juga dapat
dihambat antihistamin. Pada pengobatan penyakit alergik, diharapkan antihistamin yang
mempunyai khasiat anti-inflamasi dapat mengurangi pemakaian kortikosteroid yang sering
menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Saut Sahat Pohan, Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 4, April 2007

Anda mungkin juga menyukai