Oleh : Rombel 4
Santika Indriyani
6411414103
6411414104
Urlinda Rizki
6411414105
Emy Imroatus S.
6411414106
Yulia Stevani
6411414107
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Alloh SWT yang telah melimpahkan
rahmat-Nya, maka pada hari ini makalah yang berjudul Obat Yang Bekerja Dalam
Sistem Pernafasan dapat diselesaikan. Secara garis besar, makalah ini berisi tentang jenis
obat yang berhubungan sistem pernafasan.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung
penyusunan makalah ini. Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menyadari bahwa masih
terdapat beberapa kekurangan. Oleh karena itu, saran dari berbagai pihak sangat diharapkan
demi kemajuan selanjutnya.
Penyusun
BAB.1 PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Farmakologi berasal dari kata pharmacon berarti obat dan logos berarti ilmu
pengetahuan, sehingga secara harafiah farmakologi berarti ilmu pengetahuan tentang obat.
Namun, secara umum farmakologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari obat dan
cara kerjanya pada sistem biologi. Sedangkan untuk obat sendiri memiliki definisi yaitu
sebagai zat yang dapat mempengaruhi aktivitas fisik atau psikis menurut WHO (World
Health Organization ).
Farmakologi sebagai salah satu disiplin ilmu yang selalu menarik untuk diketahui karena
adanya kebutuhan masyarakat yang mendasar tentang kesehatan. Kebutuhan akan disiplin
ilmu tersebut perlu dijadikan perhatian, karena sangat dibutuhkan keahlian (expertise) dalam
disiplin tersebut.
Sistem pernapasan berperan penting dalam pertukaran oksigen (O2) dengan karbon
dioksida (CO2). Secara fungsional sistem pernapasan terdiri dari trakea, bronkus, bronkiolus,
alveolus dan paru-paru. Alveolus dikelilingi oleh pipa-pipa kapiler, baik alveolus maupun
kapiler tersusun oleh satu lapis sel yang memungkinkan terjadinya pertukaran antara O2
dengan CO2. Oksigen dari udara masuk melalui bronkus, bronkiolus, alveolus dan terjadi
inspirasi lalu masuk ke sirkulasi sistemik (darah) dan secara bersamaan CO2 di difusikan
keluar dari pipa-pipa kapiler masuk ke alveolus yang selanjutnya dikeluarkan dari tubuh
melalui pernapasan.
Secara umum fungsi sistem pernapasan untuk tujuan menyediakan oksigen bagi semua
sel tubuh, membantu pertahanan tubuh melawan senyawa asing, dan menghasilkan suara
untuk berbicara. Banyak sekali golongan dan jenis obat yang bekerja di saluran
pernapasanuntuk menjaga fungsinya.
Adapun yang perlu kita ketahui dalam makalah ini, akan dibahas jenis obat yaitu obat
untuk yerapi rhinitis, bronkodilator, mukolitik, ekspetoran dan antitusif.
1.3 TUJUAN
Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain :
1. Mengetahui tentang jenis obat saluran pernapasan
2. Mengetahui cara kerja obat dalam tubuh.
3. Mengetahui efek samping dari obat saluran pernapasan.
4. Memenuhi tugas Mata Kuliah Farmakologi.
1.4 MANFAAT
Hasil pembelajaran ini diharapkan dapat mempumyai manfaat bagi penulis dan pembaca.
1. Pengkajian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan bagi dunia ilmu
kesehatan.
Azelastine
Brompheniramine
Buclizine
Bromodiphenhydramine
Embramine
Carbinoxamine
Fexofenadine
Cetirizine
Levocetirizine
Chlorpromazine (antipsychotic)
Loratadine
Cyclizine
Chlorpheniramine
Meclozine
(sering
digunakansebagai antiemetik)
Chlorodiphenhydramine
Olopatadine
Clemastine
Cyproheptadine
Orphenadrine
(sejenis
diphenhydramine
digunakan
terutama sebagai relaksan otot
rangka dan anti-Parkinson)
Desloratadine
Phenindamine
Dexbrompheniramine
Pheniramine
Deschlorpheniramine
Phenyltoloxamine
Dexchlorpheniramine
Promethazine
Pyrilamine
Dimetindene
Quetiapine (antipsychotic)
Diphenhydramine (Benadryl)
Rupatadine
Tripelennamine
Triprolidine
Ebastine
2. H2-receptor antagonists
Antagonis H2, seperti antagonis H1, juga agonis dan antagonis terbalik tidak benar. H2
reseptor histamin, ditemukan terutama di sel parietal dari mukosa lambung, digunakan untuk
mengurangi sekresi asam lambung, mengobati kondisi pencernaan termasuk tukak lambung
dan penyakit gastroesophageal reflux.
Cimetidine
Famotidine
Lafutidine
Nizatidine
Ranitidine
Roxatidine
A-349,821
ABT-239
Ciproxifan
Clobenpropit
Conessine
Thioperamide
4. H4-receptor antagonists
Thioperamide
JNJ 7777120
VUF-6002
Lainnya
catechin
Cromoglicate (cromolyn)
Nedocromil
Piperidin Siproheptadin.
Fenotiasin Prometasin.
A. Farmakokinetik
Absorbsi AH1 berjalan sangat cepat setelah pemberian secara oral menyebabkan efek
sistemik dalam waktu kurang dari 30 menit. Hepar merupakan tempat metabolisme
utama (70-90%), dengan sedikit obat yang diekskresi dalam urin dalam bentuk yang
tidak berubah.
B. Penggunaan klinis
Antihistamin adalah obat yang paling banyak dipakai sebagai terapi simtomatik untuk reaksi
alergi yang terjadi. Semua jenis antihistamin sangat mirip aktivitas farmakologinya.
Pemilihan antihistamin terutama terhadap efek sampingnya dan bersifat individual. Pada
seorang pasien yang memberikan hasil kurang memuaskan dengan satu jenis antihistamin
dapat ditukar dengan jenis lain, terutama dari subkelas yang berbeda.
a)
Rinitis alergik musiman dan rinitis alergik perenial sangat baik reaksinya terhadap
antihistamin. Hampir
70-90% pasien rinitis alergik musiman mengalami
pengurangan gejala
(bersin, keluar ingus, sumbatan hidung). Hasil yang terbaik
didapat
bilamana antihistamin diberikan sebelum kontak. Walaupun pada rinitis
vasomotor hasilnya kurang memuaskan tetapi efek antikolinergiknya dapat
mengurangi gejala pilek.
b)
Urtikaria akut sangat bermanfaat untuk mengurangi ruam dan rasa gatal. Manfaatnya
pada urtikaria kronik kurang dan pada keadaan ini AH1 pilihan adalah yang berefek
sel rendah dan mempunyai masa kerja panjang, misal hidroksizin atau AH1 nonsedatif
lainnya. Pemberiannya cukup sekali sehari sehing meningkatkan kepatuhan. Apabila
gejala belum diatasi dapat dikombinasi dengan AH2, dan kalau perlu ditambah
simpatomimetik.
c)
C. Efek samping
a)
b)
Efek antikolinergik Pada pasien yang sensitif atau kalau diberikan dalam dosis besar.
Eksitasi, kegelisahan, mulut kering, palpitasi dan retensi urin dapat terjadi. Pada
pasien dengan gangguan saraf pusat dapat terjadi kejang.
c)
d)
c)
Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan berkurang,
mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare, efek samping ini akan
berkurang bila AH1 diberikan sewaktu makan.
d)
Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria,
palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan. Insidens efek
samping karena efek antikolinergik tersebut kurang pada pasien yang mendapat
antihistamin nonsedatif.
e)
AH1 bisa menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi akibat
penggunaan lokal berupa dermatitis alergik. Demam dan foto sensitivitas juga pernah
dilaporkan terjadi.
f)
Selain itu pemberian terfenadin dengan dosis yang dianjurkan pada pasien yang
mendapat ketokonazol, troleandomisin, eritromisin atau lain makrolid dapat
memperpanjang interval QT dan mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel. Hal ini
juga dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat dan pasienpasien yang peka terhadap terjadinya perpanjangan interval QT (seperti pasien
hipokalemia).
g)
h)
INTOKSIKASI AKUT AH1 Keracunan akut AH1 terjadi karena obat golongan ini
sering terdapat sebagai obat persediaan dalam rumah tangga. Pada anak, keracunan
terjadi karena kecelakaan, sedangkan pada orang dewasa akibat usaha bunuh diri.
Dosis 20-30 tablet AH1 sudah bersifat letal bagi anak. Efek sentral AH1 merupakan
efek yang berbahaya.
i)
PAda anak kecil efek yang dominan ialah perangsangan dengan manifestasi
halusinasi, eksitasi, ataksia, inkoordinasi, atetosis dan kejang. Kejang ini kadangkadang disertai tremor dan pergerakan atetoid yang bersifat tonik-klonik yang sukar
dikontrol.
j)
Gejala lain mirip gejala keracunan atropine misalnya midriasis, kemerahan di muka
dan sering pula timbul demam. Akhirnya terjadi koma dalam dengan kolaps
kardiorespiratoar yang disusul kematian dalam 2-18 jam. Pada orang dewasa,
manifestasi keracunan biasanya berupa depresi pada permulaan, kemudian eksitasi
dan akhirnya depresi SSP lebih lanjut.
k)
l)
Sopir atau pekerja yang memerlukan kewaspadaan yang menggunakan AH1 harus
diperingatkan tentang kemungkinan timbulnya kantuk. Juga AH1 sebagai campuran
pada resep, harus digunakan dengan hati-hati karena efek AH1 bersifat aditif dengan
alcohol, obat penenang atau hipnotik sedative.
Chlorpheniramin maleat
CTM sebagai AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan
bermacam-macam otot polos. AH1 juga bermanfaat untuk mengobati reaksi
hipersensitivitas dan keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen berlebih.
Dalam Farmakologi dan Terapi edisi IV (FK-UI,1995) disebutkan bahwa histamin
endogen bersumber dari daging dan bakteri dalam lumen usus atau kolon yang
membentuk histamin dari histidin.
Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan sistem saraf pusat dengan
gejala seperti kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat. Efek
samping ini menguntungkan bagi pasien yang memerlukan istirahat namun dirasa
menggangu bagi mereka yang dituntut melakukan pekerjaan dengan kewaspadaan
tinggi. Oleh sebab itu, pengguna CTM atau obat yang mengandung CTM dilarang
mengendarai kendaraan.
Rasa kantuk yang ditimbulkan setelah penggunaan CTM merupakan efek samping
dari obat tersebut. Sedangkan indikasi CTM adalah sebagai antihistamin yang
menghambat pengikatan histamin pada resaptor histamin.
D. Mekanisme kerja
1.
Antihistamin bekerja dengan cara kompetisi dengan histamin untuk suatu reseptor
yang spesifik pada permukaan sel. Hampir semua AH1 mempunyai kemampuan yang
sama dalam memblok histamin. Pemilihan antihistamin terutama adalah berkenaan
dengan efek sampingnya. Antihistamin juga lebih baik sebagai pengobatan profilaksis
daripada untuk mengatasi serangan.
2.
Mula kerja AH1 nonsedatif relatif lebih lambat; afinitas terhadap reseptor AH1 lebih
kuat dan masa kerjanya lebih lama. Astemizol, loratadin dan setirizin merupakan
preparat dengan masa kerja lama sehingga cukup diberi 1 kali sehari.
3.
Beberapa jenis AH1 golongan baru dan ketotifen dapat menstabilkan sel mast
sehingga dapat mencegah pelepasan histamin dan mediator kimia lainnya; juga ada
yang menunjukkan penghambatan terhadap ekspresi molekul adhesi (ICAM-1) dan
penghambatan adhesi antara eosinofil dan neutrofil pada sel endotel. Oleh karena
dapat mencegah pelepasan mediator kimia dari sel mast, maka ketotifen dan beberapa
jenis AH1 generasi baru dapat digunakan sebagai terapi profilaksis yang lebih kuat
untuk reaksi alergi yang bersifat kronik.
KESIMPULAN