PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sistem pernafasan berperan penting dalam pertukaran oksigen (O2) dengan
karbondioksida (O2). Secara fungsional sistem pencernaan terdiri dari trakea, bronkus,
bronkiolus, alveolus, dan paru-paru. Alveolus dikelilingi oleh pipa-pipa kapiler, baik alveolus
maupun kapiler tersusun oleh satu lapis sel yang memungkinkan terjadinya pertukaran antara
O2 dengan CO2. Oksigen dari udara masuk melalui bronkus, bronkiolus, alveolus dan terjadi
inspirasi lalu masuk ke sirulasi sistematik (darah) dan secara bersamaan CO2 didifusikan
keluar dari pipa-pipa kapiler masuk ke alveolus yang selanjutnya dikeluarkan dari tubuh
melalui pernapasan.
Secara umum fungsi sistem pernapasan untuk tujuan menyediakan oksigen bagi
semua sel tubuh, membuang CO2 dari seluruh tubuh, membantu pertahankan tubuh melawan
senyawa asing, dan menghasilkan suara untuk berbicara. Banyak sekali golongan dan jenis
obat yang bekerja di saluran pernapasan untuk menjaga fungsinya.
B. TUJUAN
· TUJUAN UMUM
Mengetahui dan mengerti obat yang bekerja pada saluran pernafasan
· TUJUAN KHUSUS
1. Mengetahui pengertian, mekanisme kerja, efek samping dari obat Rhinitis.
2. Mengetahui pengertian, mekanisme kerja, efek samping dari obat Bronkodilator.
3. Mengetahui pengertian, mekanisme kerja, efek samping dari obat Mukolistik dan
Ekspektoran.
4. Mengetahui pengertian, mekanisme kerja, efek samping dari obat Antitusif.
C. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian mekanisme efeksamping dari obat rhinitis ?
2. Apa pengertian mekanisme kerja efek samping dari obat bronkodilator?
3. Apa pengertian mekanisme kerja efek samping obat ekspetoran?
4. Apa pengertian mekanisme kerja efek samping obat antitusif ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. RHINITIS
Rhinitis adalah radang membran mukosa hidung yang ditandai dengan bersin, gatal,
hidung berlendir, dan kongesti atau hidung tersumbat. Rhinitis dapat terjadi karena
menghirup alergen, seperti debu, bulu binatang, serbuk sari bunga tertentu, asap rokok dn
polutan. Zat-zat tersebut berinteraksi dengan selmast merangsng pelepasan histamin,
leukotrin atau zat lain yang dapat menyebabkan konstriksi bronkus, udem, urtikaria, dan
infiltrasi sel.
Terapi rhinitis yang utama dalah pemberian antihistamin oral yang dikombinasikan
dengan dekongestan. Namun demikian, sering obat anti alergi diberikan secara topikal untuk
mengurangi efek sistemiknya. Efek samping kombinasi antihistamin dengan dekongestan
yang diberikan sistemik adalah sedasi atau ngantuk, insomnia dan aritmia (jarang). Secara
umum obat untuk terapi rhinitis yang sering disebut sebagai alergi rhinitis adalah :
1. Antihistamin (Penghambat Reseptor H1)
Histamin adalah zat yang secara alamiah terdapat da tersebar di seluruh tubuh. Tempat
penyimpanan utamanya adalah di sel mast dan basofil. Kerja histamin diperantarai oleh 2
repseptor yaitu reseptor H1 dan H2. Reseptor H2 kebanyakan terdapat di usus halus, bronkus,
dan sel parietal lambung. Histamin yang dilepaskan sel mast atau basofil akan berinteraksi
dengan reseptor menimbulkan gejala rhinitis yang telah disebutkan di atas. Interaksi dengan
reseptor H2 dapat memacu muntah atau mabuk perjalanan.
Antihistamin paling sering digunakan untuk terapi alergi atau alergi rhinitis. Penghambat
( reseptor bloker) H1 atau antihistamin akan menduduki reseptor H1 sehingga histamin tidak
dapat berinteraksi dengannya sehingga gejala alergi tidak timbul. Pengahmbat reseptor
histamin yang sering digunakan adalah difenhidramin, klorfeniramin, loratadin, terfenadin,
dan astemisol. Loratadin, terfenadin, dan astemisol relatif tidak menembus SSP sehingga efek
sedatifnya sangat kecil dibandingkan obat yang lain.
Jika terjadi kongesti, pemberian kombinasi antihistamin dengan dekongestan akan lebih
efektif dibandingkan dengan pemberian antihistamin saja.
PROSES
Difenhidramin
KEPERAWATAN
(Benadryl)
Kontraindikasi Interaksi
FARMAKOKINETIK FARMAKODINAMIK
Absorpsi : PO: diabsorbsi PO: Onset: 15-45 menit P: 1-4
baik jam, L: 4-8 jam
IM: Onset : 15-30 menit, P:1-4
Distribusi : PP: 82%
jam, L: 4-7 jam
Metabolisme:t1/2: 2-7jam IV: Onset : segera, P: 0,5-1 jam,
D: 4-7 jam
Eliminasi: sbg metabolit
dalam urin
EFEK TERAPEUTIK
Antihistamin D: PO: 25-50 mg, setiap 4-8 jam Untuk rinitis alergik, urtikaria,
Difenhidramin D: PO, IM, IV : 5 mg/kg/h dalam dan dipakai juga sebagai
(Benadry) 4 dosis terbagi, tidak lebih dari antitusif. Lihat gambar 28-1
300 mg/hari
D: IM:IV :10-50 mg dosis tunggal
Klorfeniramin D: PO: 2-4 mg, setiap 4-6 jam Untuk alergi dan juga rinitis
maleat ( Clor- A: 6-12 THN: 2 mg, setiap 4-6 alergik
Trimeton) jam
A; 2-6 thn: PO, 1 mg, setiap 4-6
jam
Fenotiasin ( aksi D: PO:IM: 12,5-25 mg, setiap 4-6 Untuk alergi, rinitis, dan
antihistamin) jam, PRN ( kalau perlu) mabuk darat
prometazine D:PO: 2,5 mg, q,i,d ( 4 kali Untuk alergi, rinitis
(penergan) sehari)
Trimeprazine A: 3-12 thn : O: 2,5, t.i.d ( 3 kali
(Temaril) sehari)
Turunan pepirazine D:PO: 25-100 mg, t.i.d., q.i.d Untuk alergi dan cemas,
(aksi antihistamin) A: ( <6 thn): 50 mg/hari dalam umtuk mencegah mual dan
Hydroxyzine dosis terbagi muntah
(Atarax)
FARAMAKOKINETIK
Difenhidramin dapat diberikan secara oral, intramuskular atau intravena. Zat ini
mudah diabsobsi oleh usus, tetapi absorpsi sistemik dari pemberian topikalsanagat
kecil. Zat ini sangat mudah berikatan dengan protein dan memiliki waktu paruh
dari 2 sampai 7 jam. Difenhidramin dimetabolisme oleh hati dan dieksresi dalam
urin.
Farmakodinamik
Efek samping yang paling sering adalah rasa ngantuk, pusing, letih dan gangguan
koordinasi. Bisa juga timbul ruam kulit dan gejala-gejala antikolergik, seperti
mulut kering, retensi urin, pandangan kabur dan mengi.
B. BRONKODILATOR
Istilah bronkodilator merujuk pada obat yang mempunyai efek mendilatasi atau
relaksasi bronkus. Obat ini sering digunakan sebagai antiasma. Bronkokonstriksi dapat terjadi
karena perangsangan parasimpatik atau hambatan simpatik dibronkus. Pada kasus asma
perangsangan terjadi karena meningkatnya kepekaan bronkus terhadap rangsang.
Konstriksi bronkus dapat diredakan atau dikurangi dengan pemberian agonis β2 atau
pemberian antagonis kolinergik serta obat golongan xantin.
1. Agonis β2
Agonis β2 dalam terapi dapat diberikan melalui oral,inhalasi,atau injeksi. Pilihan cara
penggunaan tergantung kecepatan dan lamanya efek yang diharapakan. Untuk mendapatkan
efek yang cepat cara pemberian inhalasi dan injeksi umumnya dipilih,untuk mendapatkan
efek yang lama seperti pada pencegahan serangan asma berulang,pemberian oral yang dipilih.
Inhalasi agonis β2 adalah terapi yang paling efektif yang tersedia untuk spasme bronkus akut
dan mencegah serangan asma yang dipicu oleh kelelahan. Reseptor β2 yang terdapat
dibronkus jika dirangsang akan menyebabkan dilatasi. Inilah alasan kenapa agonis β 2
digunakan untuk terapi asma. Perangsang reseptor β ada 2 yaitu yang selektif dan non
selektif. Yang selektif hanya merangsang reseptor β2 saja,yang tidak selektif merangsang baik
reseptor β2 maupun β1.
Agonis β selektif lebih disukai oleh karena hanya menyebabkan dilatasi bronkus tanpa
merangsang β1 yang berakibat peningkatan frekuensi dan kekuatan denyut jantung. Contoh
agonis β selektif yang sering digunakan sebagai bronkodilator adalah:
- Albuterol
- Terbutalin
- Salmeterol
- Salbutamol
- Fenoterol
2. Metil Xantin
Zat atau obat yang termasuk golongan Xantin yang digunakan dalam klinik adalah kafein,
teobromin, dan teofilin. Zat atau obat tersebut berasal dari tanaman the, kopi atau koka. Dari
golongan Xantin hanya teofilin yang dimanfaatkan sebagai bronkodilator.
Teofilin bekerja menghambat fosfodiesterase suatu enzim intraseluler yang berfungsi
menginaktivasi cyclic adenosin mono phosfat (cAMP). Hambatan terhadap fosfodiesterase
melibatkan peningkatan kadar cAMP di bronkus dan sel mast. Peningkatan cAMP
mengakibatkan dilatasi bronkus dan mengurangi pelepasan histamin dari sel mast.
Teofilin dapat diberikan secara oral, rektal atau injeksi IV. Dosis teofilin harus
diindividualisasi (perorangan) karena adanya variasi yang cukup besar antar pasien berkaitan
dengan absorbsi dan metabolismenya. Selain itu, teofilin mempunyai indek terapi sempit
(LD50/ED50 kecil), artinya antara dosis toksik dan dosis terapi jarahnya relatif kecil. Obat
yang indek terpinya sempit berpotensi menimbulkan efek toksik.
Dalam klinik, terdapat sedian tablet teofilin lepas lambat yang ditujukan untuk
menimbulkan efek samping (toksik) karena fluktuasi kadar obat dalam darah dan untuk
meningkatkan kepatuhan pasien. Ini mengingat terapi asma adalah bersifat kronik atau
menahun. Aminofilin adalah prepara larut dalam air dari teofilin karena penambahan
etilendiamin untuk meningkatkan kelarutan teofilin yang relatif sukar larut dalam air. Efek
samping utama dari teofilin adalah mual, muntah dan pada orang-orang tertentu dapat
menimbulkan muka merah (flusing), sakit kepala, dan hipotensi.
Karena efek sampingnya lebih besar dan efektivitasnya lebih kecil jika dibandingkan
dengan agonis β2 menyebabkan teofilin relatif jarang digunakan. Efektifitas teofilin sekitar ¼-
1/3 dari agonis β2 menjadikannnya bukan merupakan obat pilihan utama terapi asma.
3. Antikolinergik
Antikolinergik tidak secara luas digunakan untuk terapi asma atau bronkodilator,
meskipun berefek dilatasi bronkus. Ini disebabkan karena efek sampingnya lebig banyak
dibandingkan bronkodilator yang lain. Efek samping utamanya dalah mulut kering karena
berkurangnya sekresi kelenjar. Obat golongan ini baru diberikan jika obat-obat yang lain
kurang efektif atau hanya sebagai tambahan pada agonis β2. Contoh obat kolinergik adalah
ipatropium bromid yang pemberiannya melalui inhalasi.
4. Kortikosteroid
Efek utama kortikosteroid dalam terapi asma adalah menghambat inflamasi yang terjadi
di saluran pernafasan. Steroid digunakan terutama jika bronkodilator lain sudah kurang
efektif. Kortikosteroid dapat diberikan secara oral, inhalasi atau injeksi. Contoh
kortikosteriod adalah prednison, deksametason, beklometason, dan triamsinolon.
2) Dextrometorfan
Obat ini merupakn L – Isomer dari opioid (kodein) yang juga aktif sebagai antitusif,
namun tidak mempunyai efek analgetik. Obat ini tidak menimbulkan ketergantungan
sebagaimana kodein dan efek konstipasinya lebih ringan
3) Uap mentol
Uap mentol dapat menurunkan sensitifitas dari faring dan laring terhadap iritasi, sehingga
mengurangi timbulnya reflek batuk. Obat ini biasanya diberikan secara inhalasi atau bentuk
gosok.
Tabel antitusif dan dosis lazimnya
Nama obat Dosis lazimnya
Kodein 10-20 mg setiap 4-6 jam, maks
120mg
dextrometorfan 10-20 mg setiap 4 jam, maks 120mg
Antitusif bekerja pada pusat pengendali batuk di medula untuk menekan reflek batuk. Batuk
adalah cara tubuh untuk mengeluarkan secret atau material lain dari saluran nafas. Sakit leher
bisa menyebbkan batuk yang menigkatkan iritasi tenggorok. Jika batuk tidak prduktif dan
mengeritasi, boleh diberikan antitusif.
Permen keras dapat menurunkan batuk yang konstan dan mengiritasi dekstrometrofan, suatu
antitusif nonnarkotik, dipakai secara luas dengan bebas untuk mengobati flu. Gambar 28-2
mendaftarkan data obat yang berkaitan dengan dekstrometrofan.
Hidrobromid dekstrometrofan
(Bohitusin DM, Romilar,
Sucreta, Pediacare 1, Benylin
DM)
KONTRAINDIKASI INTERAKSI
Penyakit paru-paru Alkohol, narkotik, sedatif hipnotik,
obstruksi kronik ( COPD), barbiturat, antidepresan,
batuk produktif kronik pengahambat MAO
FARMAKOKINETIK FARMAKODINMIK
Kunci: PO: peroral. IK: Ikatan protein, t1/2 waktu paruh, TD: tidak
diketahui, WP: waktu puncak, LK: lama kerja, MAO: monamin
oksidae.
Hidrobromid dekstrometrofan
(Bohitusin DM, Romilar,
Sucreta, Pediacare 1, Benylin
DM)
KONTRAINDIKASI INTERAKSI
Penyakit paru-paru Alkohol, narkotik, sedatif hipnotik,
obstruksi kronik ( COPD), barbiturat, antidepresan,
batuk produktif kronik pengahambat MAO
FARMAKOKINETIK FARMAKODINMIK
Kunci: PO: peroral. IK: Ikatan protein, t1/2 waktu paruh, TD: tidak
diketahui, WP: waktu puncak, LK: lama kerja, MAO: monamin
oksidae.
Farmakokinetik
Dekstromekrofan tersedia dalam bentuk sirup atau cairan, kapsul yang bisa dikunyah, dan
pelega tenggorok. Nama dagangnya mencakup robitussin DM, Romilar, Pediacare I, Formula
Contac-Cold, Formula batuk Sucrets, dan banyak lainnya. Obat ini diabsopsi dengan cepat
presentase ikatan protein dan waktu paruhnya tidak diketahui, Dekstrametrofan
dimetabolisasi oleh hati.
Frmakodinamik
Destrometrofan adalah suatau antitusif nonarkotik yang menekan pusat batuk dimedula. Jika
batuk berlangsung lebih dari 1 mnggu dan ada demam atau ruam, harus berobat kedokter.
Klien yang memiliki penyakit sebelumnya harus segera mencari dokter. Depresi sistem sraf
pusat dapt meningkat bila obat ditelan dengan alkohol, narkotik, sedatif hipnotik, barbiturat,
anti depresi.
Onset kerja deksrtometrofan relatif cepat dan lama kerjanya 3-6 jam. Biasaya obat yang
mengandung dekstrometrofsn dapat dipakai beberapa kali sehari.
Antitusif tergolong dalam tiga tipe : nonnarkotik, narkotik atau preparat kombinasi,
biasanya obat-obat ini dipakai dalam kombinasi dengan agen-agen lain.
DEKONGESTAN HIDUNG DAN SISTEMIK (AMIN SIMPATOMETIK)
TABEL 28-2
OBAT DOSIS PEMAKAIAN DAN
PERTIMBANGAN
Ekspektoran
Ekspektoran melunakkan secret bronkus sehigga dapat dihilangkan dengan batuk. Obat ini
dapat dipakai dengan atau tanpa agen farmakologi lain. Ekspektoran didapat pada banyak
obat-obat yang dijual bebas bersama-sama dengan analgesik, antihistamin, dikongestan, dan
antitusif. Ekspektoran yang sering dipakai untuk preparat seperti itu adal guaya fenesin. Tbael
28-3tercantum daftar data obat antitusif dan ekspektoran. Hidrasi ( banyak cairan, misalnya
minum air yang banyak) adalah ekspektoran yang terbaik.
TABEL 28-3 ANTITUSIF DAN EKSPEKTORAN
Antitusif narkotik
Kodein D: PO: 10-20 mg,, setiap 4-6 Obat golongan II. Dapat menjadi
jam obat goongan V jika dikombinasi
sirup obat batuk. Biasanya
dicampur dengan antihistamin,
dekongestan, dan/ atau
ekspektoran.
Dekstrometrofan D: PO: 10-20 mg, setiap 4-6 Menekan batuk. Tidak menekan
(Romilar, sucrets) jam pernapasan. Tidak menimbulkan
A ( 6-12 th): 100-200 mg, toleransi.
setiap 4 jam
A (2-5 th) : 50-100 mg, setiap
4-6 jam
Kalium iodida D: PO: 0,3-0,6 mL, setiap 4- Merangsang sekresi dan cairan
6h (larutan) bronkus. Hindari jika terdapat
hiperkalamia. Dapat menimbulkan
rasa mual dan muntah.
A. KESIMPULAN
Rhinitis adalah radang membran mukosa hidung yang ditandai dengan bersin, gatal,
hidung berlendir, dan kongesti atau hidung tersumbat. Terapi rhinitis yang utama dalah
pemberian antihistamin oral yang dikombinasikan dengan dekongestan. Efek samping
kombinasi antihistamin dengan dekongestan yang diberikan sistemik adalah sedasi atau
ngantuk, insomnia dan aritmia (jarang). Secara umum obat untuk terapi rhinitis yang sering
disebut sebagai alergi rhinitis adalah : Antihistamin (Penghambat Reseptor H1), Agonis α-
adrenergik (Dekongstan), Kortikosteroid
Istilah bronkodilator merujuk pada obat yang mempunyai efek mendilatasi atau
relaksasi bronkus. Obat ini sering digunakan sebagai antiasma. Bronkokonstriksi dapat terjadi
karena perangsangan parasimpatik atau hambatan simpatik dibronkus. Konstriksi bronkus
dapat diredakan atau dikurangi dengan pemberian agonis β2 atau pemberian antagonis
kolinergik serta obat golongan xantin.
Asma, bronchitis, dan infeksi bronkus dapat menyebabkan produksi mucus. Kondisi
ini menyebabkan peningkatan penebalan mucus. Mucus mengandung glikoprotein,
polisakarida, debris sel dan cairan/eksudat infeksi. Infeksi pernafasan menghasilkan mucus
yang bersifat purulen atau menyebabkan infeksi, oleh karena itu harus segera dikeluarkan.
Perubahan dan banyaknya secret menyebabkan mucus sukar dikeluarkan secara ilmiah.
Ketika kondisi sudah mengganggu pernapasan pemberian mukolitik mungkin bermanfaat
untuk memudahkan pengeluaran mucus.
Batuk kering atau yang dikenal dengan batuk tidak produktif atau batuk tidak
menghasilkan secret, membuat tenggorokan gatal dan menyebabkan suara serak dan hilang.
Batuk sering dipicu oleh inhalasi partikel – partikel makanan, bahan iritan, asap rokok, atau
karena perubahan temperature. Batuk kering juga dapat merupakan gejala sisa dari infeksi
virus atau karena flu. Batuk jenis ini tidak memberikan gejala kecuali batuk itu sendiri, pasien
tidak merasa sakit, tidak ada kongesti atau gangguan pernapasan.
B. SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, kritik dan saran
yang bersifat membangun dari pembaca sekalian sangat penulis harapkan guna kesempurnaan
makalah ini di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Tujuan
C. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Obat rhinitis
B. Obat bronkodilator
C. obat ekspetoran
D. Obat antithusif
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
MAKALAH FARMAKOLOGI
“OBAT SALURAN PERNAFASAN”
OLEH :
1. ANISA NUR FITRIANI (201601044)
2. ARUM PUSPITA SARI (201601040)
3. LAILATUR ROSYIDA (201601049)
4. ROHMATUL MAULIDDIYAH (201601031)
5. SITI IDA HABIBATUL F. (201601007)
6. ERICK CAHYA PRANATA (201601025)