Ifonny Pasongli - Persepsi Keluarga Mengenai Faktor Penyebab Gangguan Skizofrenia - Revisi
Ifonny Pasongli - Persepsi Keluarga Mengenai Faktor Penyebab Gangguan Skizofrenia - Revisi
Skizofrenia
Ifonny Pasongli
Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan Surabaya
ifonnypasongli@hotmail.com
Maria Helena Suprapto, S.Psi., M.Psi., Psikolog
Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan Surabaya
mv_helena@yahoo.com
Firmanto Adi Nurcahyo, S.Psi., M.Si
Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan Surabaya
firmanto.adi@uphsurabaya.ac.id
ABSTRAK: Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang saat ini banyak dijumpai
dalam masyarakat. Namun, sebagian besar masyarakat belum memahami penyebab
munculnya gangguan sehingga memunculkan stigma yang berakibat buruk bagi
penderita. Berdasarkan masalah tersebut, peneliti mendesain sebuah penelitian
kualitatif untuk mengetahui bagaimana persepsi keluarga mengenai faktor penyebab
gangguan skizofrenia. Peneliti memfokuskan penelitian ini pada dua orang subjek
yang memiliki keluarga yang menderita gangguan skizofrenia. Pengumpulan data
dilakukan dengan teknik wawancara semi terstruktur. Data mentah dalam bentuk
verbatim dianalisis dengan melakukan pengkodean (coding). Peneliti menemukan
bahwa karena adanya pengaruh budaya dan kurangnya pengetahuan keluarga
mengenai gangguan skizofrenia, keluarga memiliki persepsi yang keliru mengenai
penyebab ganggguan. Keluarga menganggap penderita sebagai korban guna-guna.
Seiring dengan berjalannya penelitian, peneliti berusaha untuk membuka
pemahaman keluarga mengenai penyebab gangguan secara utuh dari sudut pandang
biopsikososial.
Kata kunci: skizofrenia, persepsi keluarga, penyebab skizofrenia.
Pendahuluan
Gangguan jiwa yang saat ini paling banyak ditemui di dalam masyarakat adalah
gangguan skizofrenia. Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa berat yang
ditandai dengan hilangnya kemampuan berpikir dan memecahkan masalah, gangguan
secara afektif, dan terganggunya relasi sosial (Arif, 2006). World Health Organization
(WHO) mengatakan bahwa 24 juta penduduk di dunia mengalami skizofrenia, tetapi 50%
diantaranya belum mendapatkan perawatan khusus (World Health Organization, 2011).
Di Indonesia, sekitar 2 juta orang mengalami skizofrenia. Namun, sebagian besar
masyarakat belum memahami dengan tepat mengenai gangguan skizofrenia.
Pada awalnya, penderita skizofrenia mendapatkan stigma dari keluarga dan
masyarakat. Stigma tersebut muncul karena adanya persepsi yang keliru dari keluarga dan
masyarakat mengenai gangguan skizofrenia. Penderita skizofrenia dianggap sebagai
orang gila karena terkena efek gaib atau guna-guna dan kemasukan roh halus (Hawari,
2009). Penderita dianggap sebagai aib keluarga yang harus disembunyikan bahkan
diterlantarkan. Penderita skizofrenia juga sering dikucilkan dari pergaulan, bahkan
dipasung agar tidak membahayakan (Eni, 2010). Stigma terhadap penderita skizofrenia
harus dihapuskan agar mereka bisa mendapat penanganan dan perlakuan yang tepat
(Hawari, 2009). Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman yang benar tentang gangguan
skizofrenia.
Penyebab gangguan skizofrenia dikategorikan menjadi faktor biologis, psikososial,
dan biopsikososial. (1) Faktor biologis penyebab gangguan skizofrenia berupa penurunan
gen skizofrenia dari satu generasi ke generasi berikutnya (Simanjuntak, 2008). Kendler
dan Diehl (dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2005) menemukan bahwa orang-orang yang
memiliki hubungan biologis dengan penderita gangguan skizofrenia lebih rentan
mengalami gangguan skizofrenia. (2) Faktor psikososial yaitu gabungan antara
kerentanan seseorang secara psikologis dan pengaruh lingkungan. Kondisi psikologis
tersebut dapat berupa toleransi yang rendah terhadap stresor (Hawari, 2009). Stresor
psikososial tersebut berupa masalah perkawinan, problem sebagai orang tua, masalah
dalam hubungan interpersonal, masalah pekerjaan, masalah lingkungan hidup, masalah
keuangan, keteraitan dengan masalah hukum, masalah perkembangan, penyakit fisik dan
cedera , faktor keluarga, dan peristiwa traumatik. (3) Faktor biopsikososial yaitu
gabungan antara faktor biologis, psikologis dan sosial (Kaplan, dkk., 2010). Hal ini
berarti bahwa gangguan skizofrenia bisa muncul ketika seseorang secara biologis
mewarisi gen atau kerentanan untuk menderita gangguan skizofrenia, sekaligus memiliki
kerentanan psikologis berupa ketidakmampuan beradaptasi terhadap permasalahan yang
muncul dari lingkungan sosial tempatnya berada (Plotnik, 2005).
Metode
Penelitian ini menggunakan paradigma interpretif yang bertujuan mengungkap
realitas mengenai penyebab gangguan skizofrenia menurut persepsi keluarga penderita.
Metode yang digunakan yaitu metode penelitian kualitatif dengan model studi kasus.
Menurut Creswell (dalam Herdiansyah, 2010), model studi kasus menekankan pada
proses pengeksplorasian secara intensif satu unit tunggal atau sistem terbatas (bounded
system) secara lebih mendalam dengan melibatkan berbagai sumber informasi.
Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah dua orang yang memiliki anggota keluarga
yang terkena gangguan skizofrenia. Subjek harus mengenal penderita sejak kecil agar
informasi yang diberikan lebih lengkap dan akurat.Selain subjek penelitian, peneliti juga
melakukan pengecekan data dari significant other yaitu anggota keluarga subjek yang
lain. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan validitas penelitian. Subjek dalam penelitian
ini adalah Lince, ibu angkat penderita skizofrenia bernama Ruben; dan Fera, ibu kandung
penderita skizofrenia bernama Raya. Significant other untuk Lince yaitu Lisa, adik
kandung Lince yang dulu tinggal serumah dengan Lince dan Ruben; dan untuk Fera yaitu
Wina, kemanakan Fera yang tinggal serumah dengan mereka. Penelitian dilaksanakan di
Rantepao, sebuah kota yang terletak di Kabupaten Toraja Utara.
Prosedur Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
wawancara berupa wawancara semi-terstruktur dan bentuk pertanyaan moderately open
question. Tujuannya yaitu menemukan penyebab skizofrenia secara lebih mendetail dan
peneliti tidak hanya berfokus pada pedoman wawancara melainkan dapat menggali lebih
dalam lagi (probing) jika ada hal-hal tertentu yang telah diutarakan oleh subjek atau
informan penelitian yang menurut peneliti masih perlu untuk dieksplorasi. Wawancara
dilakukan dengan berpedoman pada pedoman wawancara berupa butir-butir pertanyaan
sesuai dengan teori mengenai faktor psikososial penyebab gangguan skizofrenia yang
dikemukakan oleh Hawari (2009).
Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan sistem coding. Peneliti membuat open coding yaitu
menemukan kata kunci hasil wawancara dan diidentifikasikan dalam bentuk tema-tema.
Selanjutnya, informasi-informasi yang saling berkaitan dikumpulkan dalam bentuk axial
coding. Setelah itu, peneliti membuat selective coding untuk pemisahan antara data-data
yang sesuai dengan penelitian, data-data pendukung penelitian, dan data yang bisa
digunakan untuk penelitian selanjutnya. Terakhir, peneliti menyimpulkan bagaimana
persepsi keluarga mengenai persepsi keluarga mengenai faktor penyebab gangguan
skizofrenia.
menganut pola asuh otoriter. Perlakuan-perlakuan keras dari ayah memberikan tekanan
besar pada Ruben dan Raya sehingga muncul trauma secara psikologis yang pada
akhirnya muncul sebagai gejala skizofrenia. Anak-anak yang dibesarkan dengan pola
pengasuhan seperti ini pada akhirnya tumbuh menjadi anak yang cenderung menarik diri
secara sosial, cemas, takut, dan tampak kurang percaya diri (Prasetya, 2003).
Ruben pada masa kecilnya merasakan emotional maltreatment berupa kurangnya
dukungan emosional dan kasih sayang dari orang tua. Ruben ditidurkan sendiri di dalam
kamar khusus dan menimbulkan ketakutan tersendiri bagi Ruben. Kondisi ini juga akan
mempengaruhi kejiwaan anak sehingga menimbulkan trauma (Read, dkk, 2001). Efekefek psikologis child maltreatment yang muncul pada subjek dapat berupa gangguan
dalam mengolah perasaan dan emosi, menghindari hubungan sosial, dan tidak
menemukan rasa aman serta kelekatan pada pengasuh yang telah melakukan kekerasan
kepadanya.
Ruben juga pernah menjadi korban kerusuhan. Peristiwa tersebut memunculkan
ketakutan dan kecurigaan yang besar dan berkepanjangan sehingga memunculkan waham
persekusi. Ketika melihat pesawat terbang, Ruben ketakutan dan meyakini bahwa
pesawat tersebut ditumpangi oleh teroris. Orang-orang disekitarnya juga dianggap
sebagai teroris yang akan mencelakainya.
Pada Raya, peristiwa traumatik lain yang dialami yaitu ketika Raya menjadi korban
bullying di sekolah. Menurut American Medical Association (2002), bentuk-bentuk
perilaku bullying secara umum terbagi tiga, yaitu verbal bullying, physical bullying, dan
non-verbal and non-physical bullying (AMA, 2002). Raya mengalami verbal bullying
berupa ancaman untuk memberikan uang kepada temannya dan penyebaran rumor yang
tidak benar mengenai Raya. Perlakuan temannya terhadap Raya menimbulkan perubahan
perilaku pada subjek. Raya menjadi malas dan berubah menjadi kasar. Peristiwa bullying
yang dialami oleh Raya melahirkan bullying yang lain. Raya mulai bersikap kasar
terhadap adik-adiknya.
Penyebab Gangguan Skizofrenia dari Sudut Pandang Multidimensional (Edukasi bagi
Keluarga)
Faktor biopsikososial penyebab gangguan skizofrenia dijelaskan menggunakan
teori diathesis-stress model. Menurut diathesis-stress model, individu memiliki
kerentanan secara biologis untuk menderita suatu gangguan. Kerentanan biologis ini
memiliki keterkaitan dengan kerentanan psikologis terhadap stres. Apabila seseorang
secara psikologis memiliki memiliki daya tahan atau toleransi yang rendah terhadap stres
dan secara genetik mewarisi gen skizofrenia, maka orang tersebut memiliki resiko yang
tinggi untuk menjadi skizofrenia (Durand & Barlow, 2006).
Pada penderita skizofrenia dalam penelitian ini ditemukan adanya faktor biologis
berupa faktor keturunan dan kondisi prenatal yang tidak stabil. Keluarga besar keduanya
memiliki riwayat gangguan sehingga secara genetik. Jadi, Ruben dan Raya sudah
mewarisi gen yang rentan terhadap gangguan skizofrenia. Menurut King, St-Helaire dan
Heidkamp (2010), adanya prenatal mothernal stress yang dialami oleh ibu hamil dapat
meningkatkan resiko anak terkena gangguan skizofrenia. Jadi, secara biologis, faktor
keturunan dan kondisi ibu Raya saat mengandung membuat Raya memiliki kerentanan
terhadap gangguan skizofrenia.
Kerentanan biologis yang dimiliki oleh Ruben dan Raya semakin diperkuat oleh
karakteristik kepribadian keduanya yang memiliki daya tahan yang rendah terhadap stres.
Individu yang memiliki kerentanan atau daya tahan yang rendah terhadap stres, hanya
membutuhkan sedikit pemicu untuk mengaktifkan kerentanan tersebut (Durand &
Barlow, 2006). Peristiwa dan kejadian menekan muncul dalam kehidupan subjek yang
menyebabkan ketahanan Ruben dan Raya terhadap stres semakin terancam. Kondisi
keluarga, peristiwa-peristiwa traumatik, masalah keuangan, hubungan interpersonal, dan
masalah lingkungan hidup muncul secara bertahap dalam kehidupan Ruben dan Raya.
Ruben dan Raya mengalami stres karena adanya kejadian-kejadian tersebut. Stres yang
dirasakan oleh keduanya kemudian mengaktifkan kembali kerentanan biologis yang ada
dalam diri mereka. Berdasarkan gejala-gejala yang muncul, Ruben dan Raya
dikategorikan sebagai penderita gangguan skizofrenia. Gejala-gejala tersebut terbagi
dalam tiga kategori gejala, yaitu gejala positif berupa halusinasi dan delusi, gejala negatif
berupa avolisi (hilangnya kemauan untuk melakukan pekerjaan) dan anhedonia (tidak ada
inisiatif untuk hal-hal yang menyenangkan termasuk berelasi secara sosial) dan gejala
tidak terorganisasi berupa pembicaraan kacau.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis data-data hasil penelitian, secara umum dapat disimpulkan
bahwa pada awal kemunculan gejala gangguan pada anggota keluarga yang saat ini
penderita skizofrenia, subjek belum memiliki persepsi yang tepat mengenai gangguan
tersebut. Subjek memaknai gangguan yang dialami oleh penderita skizofrenia secara
keliru. Persepsi yang keliru ini muncul karena tidak adanya pengetahuan subjek terkait
kesehatan mental, khususnya gangguan skizofrenia. Subjek menganggap bahwa
gangguan pada anak mereka muncul akibat guna-guna. Hal ini juga erat kaitannya dengan
latar belakang budaya subjek yang hidup di daerah dengan kondisi sosial masyarakat
yang masih dipengaruhi oleh nilai, adat istiadat, dan tradisi masyarakat yang masih
menaruh kepercayaan pada hal-hal mistis. Seiring dengan berjalannya waktu, subjek
mulai menggeser persepsi awal yang dimilikinya. Dari proses belajar, baik melalui bukubuku maupun informasi dari psikiater dan rumah sakit jiwa, subjek mulai memahami
penyebab gangguan pada penderita skizofrenia.
Kelemahan dalam penelitian ini adalah tidak adanya data pendukung berupa
Rekam Medik dari rumah sakit jiwa tempat subjek dirawat karena tidak mendapat izin
dari pihak rumah sakit. Data pendukung tersebut akan sangat membantu, khususnya
untuk mengetahui dengan lebih jelas mengenai faktor biologis penyebab gangguan
skizofrenia pada penderita.
Peneliti selanjutnya diharapkan bisa bekerja sama dengan pihak rumah sakit atau
pihak lain yang mampu memberikan penjelasan mengenai penyebab munculnya
gangguan pada penderita ditinjau dari faktor biologisnya agar pemberian edukasi kepada
keluarga penderita semakin lengkap. Peneliti juga perlu untuk melakukan penelitian pada
konteks budaya yang berbeda untuk semakin memperkaya gambaran tentang persepsi
keluarga mengenai gangguan skizofrenia.
References
for
engagement
and
adherence.
Schizophrenia Research xxx, xxxxxx.
Hawari, H. D. (2009). Pendekatan holistik
pada gangguan jiwa skizofrenia. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Kaplan, H. I., Sadock, B. J., & Grebb, J. A.
(2010).
Sinopsis
psikiatri:
Ilmu
pengetahuan perilaku psikiatri klinis. (I.
M. Wiguna, Penyunt., & W. Kusuma,
Penerj.) Tangerang: Binarupa Aksara.
Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B.
(2005). Psikologi Abnormal (W. C.
Kristiaji & Tim Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia, Pengalih bhs.).
Jakarta: Penerbit Gramedia.
Papalia, D. E., Feldman, R.D., & Olds, S. W.
(2009b). Human development. New
York: McGraw-Hill.
Plotnik, R. (2005). Introduction to psychology.
USA: Thomson Wadsworth.