Anda di halaman 1dari 8

Persepsi Keluarga mengenai Faktor Psikososial Penyebab Gangguan

Skizofrenia
Ifonny Pasongli
Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan Surabaya
ifonnypasongli@hotmail.com
Maria Helena Suprapto, S.Psi., M.Psi., Psikolog
Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan Surabaya
mv_helena@yahoo.com
Firmanto Adi Nurcahyo, S.Psi., M.Si
Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan Surabaya
firmanto.adi@uphsurabaya.ac.id

ABSTRAK: Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang saat ini banyak dijumpai
dalam masyarakat. Namun, sebagian besar masyarakat belum memahami penyebab
munculnya gangguan sehingga memunculkan stigma yang berakibat buruk bagi
penderita. Berdasarkan masalah tersebut, peneliti mendesain sebuah penelitian
kualitatif untuk mengetahui bagaimana persepsi keluarga mengenai faktor penyebab
gangguan skizofrenia. Peneliti memfokuskan penelitian ini pada dua orang subjek
yang memiliki keluarga yang menderita gangguan skizofrenia. Pengumpulan data
dilakukan dengan teknik wawancara semi terstruktur. Data mentah dalam bentuk
verbatim dianalisis dengan melakukan pengkodean (coding). Peneliti menemukan
bahwa karena adanya pengaruh budaya dan kurangnya pengetahuan keluarga
mengenai gangguan skizofrenia, keluarga memiliki persepsi yang keliru mengenai
penyebab ganggguan. Keluarga menganggap penderita sebagai korban guna-guna.
Seiring dengan berjalannya penelitian, peneliti berusaha untuk membuka
pemahaman keluarga mengenai penyebab gangguan secara utuh dari sudut pandang
biopsikososial.
Kata kunci: skizofrenia, persepsi keluarga, penyebab skizofrenia.

Pendahuluan
Gangguan jiwa yang saat ini paling banyak ditemui di dalam masyarakat adalah
gangguan skizofrenia. Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa berat yang
ditandai dengan hilangnya kemampuan berpikir dan memecahkan masalah, gangguan
secara afektif, dan terganggunya relasi sosial (Arif, 2006). World Health Organization
(WHO) mengatakan bahwa 24 juta penduduk di dunia mengalami skizofrenia, tetapi 50%
diantaranya belum mendapatkan perawatan khusus (World Health Organization, 2011).
Di Indonesia, sekitar 2 juta orang mengalami skizofrenia. Namun, sebagian besar
masyarakat belum memahami dengan tepat mengenai gangguan skizofrenia.
Pada awalnya, penderita skizofrenia mendapatkan stigma dari keluarga dan
masyarakat. Stigma tersebut muncul karena adanya persepsi yang keliru dari keluarga dan
masyarakat mengenai gangguan skizofrenia. Penderita skizofrenia dianggap sebagai
orang gila karena terkena efek gaib atau guna-guna dan kemasukan roh halus (Hawari,
2009). Penderita dianggap sebagai aib keluarga yang harus disembunyikan bahkan
diterlantarkan. Penderita skizofrenia juga sering dikucilkan dari pergaulan, bahkan
dipasung agar tidak membahayakan (Eni, 2010). Stigma terhadap penderita skizofrenia

harus dihapuskan agar mereka bisa mendapat penanganan dan perlakuan yang tepat
(Hawari, 2009). Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman yang benar tentang gangguan
skizofrenia.
Penyebab gangguan skizofrenia dikategorikan menjadi faktor biologis, psikososial,
dan biopsikososial. (1) Faktor biologis penyebab gangguan skizofrenia berupa penurunan
gen skizofrenia dari satu generasi ke generasi berikutnya (Simanjuntak, 2008). Kendler
dan Diehl (dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2005) menemukan bahwa orang-orang yang
memiliki hubungan biologis dengan penderita gangguan skizofrenia lebih rentan
mengalami gangguan skizofrenia. (2) Faktor psikososial yaitu gabungan antara
kerentanan seseorang secara psikologis dan pengaruh lingkungan. Kondisi psikologis
tersebut dapat berupa toleransi yang rendah terhadap stresor (Hawari, 2009). Stresor
psikososial tersebut berupa masalah perkawinan, problem sebagai orang tua, masalah
dalam hubungan interpersonal, masalah pekerjaan, masalah lingkungan hidup, masalah
keuangan, keteraitan dengan masalah hukum, masalah perkembangan, penyakit fisik dan
cedera , faktor keluarga, dan peristiwa traumatik. (3) Faktor biopsikososial yaitu
gabungan antara faktor biologis, psikologis dan sosial (Kaplan, dkk., 2010). Hal ini
berarti bahwa gangguan skizofrenia bisa muncul ketika seseorang secara biologis
mewarisi gen atau kerentanan untuk menderita gangguan skizofrenia, sekaligus memiliki
kerentanan psikologis berupa ketidakmampuan beradaptasi terhadap permasalahan yang
muncul dari lingkungan sosial tempatnya berada (Plotnik, 2005).
Metode
Penelitian ini menggunakan paradigma interpretif yang bertujuan mengungkap
realitas mengenai penyebab gangguan skizofrenia menurut persepsi keluarga penderita.
Metode yang digunakan yaitu metode penelitian kualitatif dengan model studi kasus.
Menurut Creswell (dalam Herdiansyah, 2010), model studi kasus menekankan pada
proses pengeksplorasian secara intensif satu unit tunggal atau sistem terbatas (bounded
system) secara lebih mendalam dengan melibatkan berbagai sumber informasi.
Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah dua orang yang memiliki anggota keluarga
yang terkena gangguan skizofrenia. Subjek harus mengenal penderita sejak kecil agar
informasi yang diberikan lebih lengkap dan akurat.Selain subjek penelitian, peneliti juga
melakukan pengecekan data dari significant other yaitu anggota keluarga subjek yang
lain. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan validitas penelitian. Subjek dalam penelitian
ini adalah Lince, ibu angkat penderita skizofrenia bernama Ruben; dan Fera, ibu kandung
penderita skizofrenia bernama Raya. Significant other untuk Lince yaitu Lisa, adik
kandung Lince yang dulu tinggal serumah dengan Lince dan Ruben; dan untuk Fera yaitu
Wina, kemanakan Fera yang tinggal serumah dengan mereka. Penelitian dilaksanakan di
Rantepao, sebuah kota yang terletak di Kabupaten Toraja Utara.
Prosedur Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
wawancara berupa wawancara semi-terstruktur dan bentuk pertanyaan moderately open
question. Tujuannya yaitu menemukan penyebab skizofrenia secara lebih mendetail dan
peneliti tidak hanya berfokus pada pedoman wawancara melainkan dapat menggali lebih

dalam lagi (probing) jika ada hal-hal tertentu yang telah diutarakan oleh subjek atau
informan penelitian yang menurut peneliti masih perlu untuk dieksplorasi. Wawancara
dilakukan dengan berpedoman pada pedoman wawancara berupa butir-butir pertanyaan
sesuai dengan teori mengenai faktor psikososial penyebab gangguan skizofrenia yang
dikemukakan oleh Hawari (2009).

Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan sistem coding. Peneliti membuat open coding yaitu
menemukan kata kunci hasil wawancara dan diidentifikasikan dalam bentuk tema-tema.
Selanjutnya, informasi-informasi yang saling berkaitan dikumpulkan dalam bentuk axial
coding. Setelah itu, peneliti membuat selective coding untuk pemisahan antara data-data
yang sesuai dengan penelitian, data-data pendukung penelitian, dan data yang bisa
digunakan untuk penelitian selanjutnya. Terakhir, peneliti menyimpulkan bagaimana
persepsi keluarga mengenai persepsi keluarga mengenai faktor penyebab gangguan
skizofrenia.

Hasil dan Pembahasan


Keluarga adalah lingkungan yang paling dekat dengan seorang individu. Friedman
(dalam Suprajitno, 2004) mendefinisikan keluarga sebagai kumpulan dua orang atau lebih
yang hidup bersama dengan adanya ikatan aturan dan ikatan emosional. Ikatan emosional
yang terjalin antar anggota keluarga seharusnya menumbuhkan kepekaan satu dengan
yang lain. Ketika seorang anggota keluarga mengalami masalah, maka anggota keluarga
lainnya harus peka dalam melihat kondisi keluarganya tersebut. Dalam penelitian ini,
peneliti membahas tentang persepsi keluarga mengenai penyebab gangguan skizofrenia
pada anggota keluarga mereka yang menderita gangguan skizofrenia.
Persepsi menurut Harley dan Smith (dalam Martini & Farida, 2010) adalah suatu
proses pembuatan penilaian atau membangun kesan mengenai berbagai hal yang
ditangkap oleh indera manusia. Proses persepsi diawali dari adanya berbagai stimulus
yang ditangkap oleh indera kita, baik itu benda, orang, maupun peristiwa. Stimulusstimulus tersebut kemudian akan disalurkan ke dalam pikiran, mengalami proses seleksi,
pengorganisasian, dan pemaknaan (Martini & Farida, 2010). Jadi, persepsi keluarga yang
dimaksudkan dalam penelitian ini adalah bagaimana pihak keluarga membangun kesan
dan memberikan makna terhadap peristiwa yang dialami oleh anggota keluarga mereka
yang menderita gangguan skizofrenia.
Persepsi Awal Keluarga mengenai Penyebab Gangguan
Pada awal munculnya gangguan pada anggota keluarga dari masing-masing subjek,
kedua subjek penelitian beranggapan bahwa keluarga mereka itu terkena hal-hal mistis
yaitu guna-guna. Lince dan keluarga memaknai kejadian yang dialami oleh Ruben
sebagai akibat dari guna-guna. Persepsi tersebut muncul karena sebelum Ruben mulai

menunjukkan gejala gangguan, Ruben menghadiri upacara pemakaman ayahnya yang


dianggap meninggal karena guna-guna dari orang-orang yang iri terhadap jabatan yang
diperolehnya. Oleh karena hal tersebut, keluarga mengambil kesimpulan bahwa Ruben
juga menjadi korban guna-guna dari musuh ayahnya.
Hal serupa terjadi pada keluarga Fera. Pada awal munculnya gangguan pada Raya,
Fera memaknai kejadian itu sebagai akibat guna-guna seorang perempuan terhadap Raya.
Perempuan tersebut menyukai Raya, tetapi Raya tidak menyukainya. Hal itu membuat
perempuan tersebut mengancam akan mengguna-guna Raya. Persepsi tersebut semakin
diperkuat oleh pendapat seorang pendeta yang pada saat itu mendoakan Raya. Pendeta
mengatakan bahwa tubuh Raya dirasuki oleh roh halus.
Berdasarkan data-data tersebut ditemukan adanya persamaan persepsi antara kedua
subjek. Kedua subjek memaknai gejala tersebut sebagai pengaruh hal-hal mistis.
Kebudayaan dan nilai yang dianut oleh masyarakat di Toraja masih kental dengan
kepercayaan pada hal-hal mistis. Budaya dan nilai tersebut sangat memungkinkan kedua
subjek memiliki persepsi demikian. Robbins dan Judge (2008) menyatakan bahwa salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi cara seseorang mempersepsikan fenomena yang
terjadi di luar dirinya adanya faktor diri perseptor..
Respon Keluarga terhadap Penderita Skizofrenia
Pada saat kedua subjek melihat kondisi anggota keluarganya yang mulai
menunjukkan gejala gangguan, subjek tidak tinggal diam. Fera lebih sering mengikuti
seminar yang diadakan oleh mahasiswa keperawatan dan membaca buku-buku kesehatan.
Namun, suami Fera melakukan hal yang justru membuat kondisi Raya semakin parah.
Raya dikurung di dalam sebuah kamar khusus. Respons ini muncul karena adanya
persepsi yang keliru mengenai gangguan yang dialami oleh Raya. Sesuai dengan teori
yang disebutkan oleh Martini dan Farida (2010), salah satu faktor yang mempengaruhi
persepsi adalah latar belakang pendidikan. Ayah Raya hanya seorang lulusan sekolah
dasar, dan hal tersebut berkontribusi memunculkan pemahaman yang sempit mengenai
kondisi Raya.
Hal berbeda dilakukan oleh Lince. Kondisi Ruben yang semakin parah membuat
Lince berusaha mencari cara untuk menyembuhkan Ruben. Ruben dibawa ke seorang
psikiater. Pada saat itu, Ruben mau minum obat dan mulai ada perubahan pada
kondisinya. Namun, karena Ruben dan keluarga menjadi korban kerusuhan, kondisi
Ruben kembali parah. Lince dan keluarga membawa Ruben ke rumah sakit jiwa, tetapi
Ruben selalu berusaha kabur.
Status Prenatal dan Faktor Keturunan
Pada saat mengandung Raya, Fera dapat dikatakan tidak sehat secara fisik dan
psikologis. Kondisi keluarga yang banyak mengalami masalah membuat Fera merasa
tertekan. Fera juga merasa tidak cukup menyediakan asupan nutrisi bagi janin yang ada di
dalam kandungannya karena keterbatasan ekonomi. Selain itu, dalam keluarga Raya juga
ditemukan riwayat gangguan jiwa. Hal serupa ditemukan dalam keluarga Ruben.
Hubungan Interpersonal
Pada kasus Raya, hubungannya dengan teman-teman SMA menjadi sumber
masalah dan menyebabkan gangguan pada Raya. Raya tidak memiliki keterampilan sosial
untuk berhubungan dengan orang. Raya membatasi diri dalam bergaul, pemalu dan
pendiam. Oleh karena itu, teman-teman sekolah memanfaatkan kelemahan Raya untuk
melakukan bullying terhadap Raya. Raya dipaksa oleh temannya untuk ikut menonton
film porno dan minum-minuman keras. Raya juga diperas oleh beberapa temannya.

Perlakuan teman-temannya ini membuat Raya tertekan sehingga memunculkan gejala


skizofrenia.
Lingkungan Hidup
Pada kasus Ruben, Ruben sempat merasakan lingkungan sosial yang tidak aman
karena adanya kerusuhan. Walaupun situasi tersebut hanya terjadi sekali dalam kehidupan
subjek, tetapi menjadi peristiwa traumatik bagi Ruben. Lingkungan tempat tinggal Ruben
yang tidak aman inilah yang mempengaruhi kepribadian Ruben sehingga memunculkan
waham persekusi sebagai salah satu gejala skizofrenia. Hal ini didukung oleh teori yang
menyatakan bahwa lingkungan hidup yang berpotensi menyebabkan gangguan jiwa yaitu
lingkungan fisik dan sosial yang penuh krisis atau bermasalah, misalnya lingkungan yang
tidak aman karena adanya perang, bencana, serta rawan kriminalitas (Notosoedirdjo &
Latipun, 2001; Hawari, 2009).
Keadaan Ekonomi (Keuangan)
Pada kasus Raya, keadaan ekonomi keluarga yang tidak berkecukupan adalah salah
satu penyebab munculnya gangguan. Ayah Raya sering marah-marah kepada ibu Raya
dan Raya terkait masalah ekonomi. Kondisi tersebut yang kemudian menimbulkan
tekanan pada Raya yang mengarah pada gejala skizofrenia. Jadi, kondisi ekonomi bisa
digolongkan sebagai penyebab gangguan skizofrenia pada Raya.
Faktor Keluarga
Dalam kasus Raya, kondisi keluarga yang diwarnai pertengkaran khususnya
kondisi ibunya sebagai objek luapan kemarahan dari ayahnya sangat membebani Raya.
Hal tersebut menimbulkan konflik tersendiri dalam diri Raya. Hubungan antara kedua
orang tua yang selalu diwarnai oleh ketegangan dapat menimbulkan stres pada anak dan
remaja. Ketegangan dalam keluarga menuntut anak untuk menyesuaikan diri agar mampu
menanggulangi tekanan-tekanan yang muncul. Ketidakmampuan untuk menyesuaikan
diri dalam menanggulangi tekanan tersebut akan memunculkan gangguan yang serius
pada kejiwaan seseorang (Hawari, 2009). Hal ini sesuai dengan object relation theory
yang menjelaskan bahwa ketika seorang anggota keluarga mengalami suatu masalah,
maka dampaknya akan mengenai anggota keluarga lainnya (Arif, 2006).
Pada kasus Ruben, faktor keluarga yang berpengaruh pada munculnya gangguan
yaitu penanaman nilai dalam keluarga. Keluarga besar Ruben adalah keluarga pendeta,
begitu pula dalam keluarga tempat Ruben dibesarkan. Ibu angkat Ruben menginginkan
agar anak-anaknya disiplin dalam beragama. Penanaman kedisiplinan beragama dalam
keluarga Ruben mempengaruhi waham muncul. Ruben merasa sama seperti tokoh agama
Kristen, yaitu Yesus. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan seseorang
terhadap suatu agama, aktivitas keagamaan yang dilakukan, dan hidup dalam komunitas
agama yang kuat memiliki pengaruh terhadap gejala-gejala psikotik yang muncul,
misalnya pada munculnya halusinasi dan delusi (Gearing, Alonso, Smolak, McHugh,
Harmon, & Baldwin, 2010).
Peristiwa Traumatik
Kedua penderita skizofrenia dalam penelitian ini mengalami peristiwa traumatik
yang serupa terkait dengan faktor keluarga, yaitu child maltreatment. Child maltreatment
yaitu sebuah tindak kekerasan pada anak yang meliputi kekerasan secara fisik, seksual,
emotional maltreatment dan juga pengabaian (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Sejak
kecil, Ruben dan Raya sudah menjadi korban kekerasan fisik dari ayahnya yang

menganut pola asuh otoriter. Perlakuan-perlakuan keras dari ayah memberikan tekanan
besar pada Ruben dan Raya sehingga muncul trauma secara psikologis yang pada
akhirnya muncul sebagai gejala skizofrenia. Anak-anak yang dibesarkan dengan pola
pengasuhan seperti ini pada akhirnya tumbuh menjadi anak yang cenderung menarik diri
secara sosial, cemas, takut, dan tampak kurang percaya diri (Prasetya, 2003).
Ruben pada masa kecilnya merasakan emotional maltreatment berupa kurangnya
dukungan emosional dan kasih sayang dari orang tua. Ruben ditidurkan sendiri di dalam
kamar khusus dan menimbulkan ketakutan tersendiri bagi Ruben. Kondisi ini juga akan
mempengaruhi kejiwaan anak sehingga menimbulkan trauma (Read, dkk, 2001). Efekefek psikologis child maltreatment yang muncul pada subjek dapat berupa gangguan
dalam mengolah perasaan dan emosi, menghindari hubungan sosial, dan tidak
menemukan rasa aman serta kelekatan pada pengasuh yang telah melakukan kekerasan
kepadanya.
Ruben juga pernah menjadi korban kerusuhan. Peristiwa tersebut memunculkan
ketakutan dan kecurigaan yang besar dan berkepanjangan sehingga memunculkan waham
persekusi. Ketika melihat pesawat terbang, Ruben ketakutan dan meyakini bahwa
pesawat tersebut ditumpangi oleh teroris. Orang-orang disekitarnya juga dianggap
sebagai teroris yang akan mencelakainya.
Pada Raya, peristiwa traumatik lain yang dialami yaitu ketika Raya menjadi korban
bullying di sekolah. Menurut American Medical Association (2002), bentuk-bentuk
perilaku bullying secara umum terbagi tiga, yaitu verbal bullying, physical bullying, dan
non-verbal and non-physical bullying (AMA, 2002). Raya mengalami verbal bullying
berupa ancaman untuk memberikan uang kepada temannya dan penyebaran rumor yang
tidak benar mengenai Raya. Perlakuan temannya terhadap Raya menimbulkan perubahan
perilaku pada subjek. Raya menjadi malas dan berubah menjadi kasar. Peristiwa bullying
yang dialami oleh Raya melahirkan bullying yang lain. Raya mulai bersikap kasar
terhadap adik-adiknya.
Penyebab Gangguan Skizofrenia dari Sudut Pandang Multidimensional (Edukasi bagi
Keluarga)
Faktor biopsikososial penyebab gangguan skizofrenia dijelaskan menggunakan
teori diathesis-stress model. Menurut diathesis-stress model, individu memiliki
kerentanan secara biologis untuk menderita suatu gangguan. Kerentanan biologis ini
memiliki keterkaitan dengan kerentanan psikologis terhadap stres. Apabila seseorang
secara psikologis memiliki memiliki daya tahan atau toleransi yang rendah terhadap stres
dan secara genetik mewarisi gen skizofrenia, maka orang tersebut memiliki resiko yang
tinggi untuk menjadi skizofrenia (Durand & Barlow, 2006).
Pada penderita skizofrenia dalam penelitian ini ditemukan adanya faktor biologis
berupa faktor keturunan dan kondisi prenatal yang tidak stabil. Keluarga besar keduanya
memiliki riwayat gangguan sehingga secara genetik. Jadi, Ruben dan Raya sudah
mewarisi gen yang rentan terhadap gangguan skizofrenia. Menurut King, St-Helaire dan
Heidkamp (2010), adanya prenatal mothernal stress yang dialami oleh ibu hamil dapat
meningkatkan resiko anak terkena gangguan skizofrenia. Jadi, secara biologis, faktor
keturunan dan kondisi ibu Raya saat mengandung membuat Raya memiliki kerentanan
terhadap gangguan skizofrenia.
Kerentanan biologis yang dimiliki oleh Ruben dan Raya semakin diperkuat oleh
karakteristik kepribadian keduanya yang memiliki daya tahan yang rendah terhadap stres.
Individu yang memiliki kerentanan atau daya tahan yang rendah terhadap stres, hanya
membutuhkan sedikit pemicu untuk mengaktifkan kerentanan tersebut (Durand &
Barlow, 2006). Peristiwa dan kejadian menekan muncul dalam kehidupan subjek yang

menyebabkan ketahanan Ruben dan Raya terhadap stres semakin terancam. Kondisi
keluarga, peristiwa-peristiwa traumatik, masalah keuangan, hubungan interpersonal, dan
masalah lingkungan hidup muncul secara bertahap dalam kehidupan Ruben dan Raya.
Ruben dan Raya mengalami stres karena adanya kejadian-kejadian tersebut. Stres yang
dirasakan oleh keduanya kemudian mengaktifkan kembali kerentanan biologis yang ada
dalam diri mereka. Berdasarkan gejala-gejala yang muncul, Ruben dan Raya
dikategorikan sebagai penderita gangguan skizofrenia. Gejala-gejala tersebut terbagi
dalam tiga kategori gejala, yaitu gejala positif berupa halusinasi dan delusi, gejala negatif
berupa avolisi (hilangnya kemauan untuk melakukan pekerjaan) dan anhedonia (tidak ada
inisiatif untuk hal-hal yang menyenangkan termasuk berelasi secara sosial) dan gejala
tidak terorganisasi berupa pembicaraan kacau.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis data-data hasil penelitian, secara umum dapat disimpulkan
bahwa pada awal kemunculan gejala gangguan pada anggota keluarga yang saat ini
penderita skizofrenia, subjek belum memiliki persepsi yang tepat mengenai gangguan
tersebut. Subjek memaknai gangguan yang dialami oleh penderita skizofrenia secara
keliru. Persepsi yang keliru ini muncul karena tidak adanya pengetahuan subjek terkait
kesehatan mental, khususnya gangguan skizofrenia. Subjek menganggap bahwa
gangguan pada anak mereka muncul akibat guna-guna. Hal ini juga erat kaitannya dengan
latar belakang budaya subjek yang hidup di daerah dengan kondisi sosial masyarakat
yang masih dipengaruhi oleh nilai, adat istiadat, dan tradisi masyarakat yang masih
menaruh kepercayaan pada hal-hal mistis. Seiring dengan berjalannya waktu, subjek
mulai menggeser persepsi awal yang dimilikinya. Dari proses belajar, baik melalui bukubuku maupun informasi dari psikiater dan rumah sakit jiwa, subjek mulai memahami
penyebab gangguan pada penderita skizofrenia.
Kelemahan dalam penelitian ini adalah tidak adanya data pendukung berupa
Rekam Medik dari rumah sakit jiwa tempat subjek dirawat karena tidak mendapat izin
dari pihak rumah sakit. Data pendukung tersebut akan sangat membantu, khususnya
untuk mengetahui dengan lebih jelas mengenai faktor biologis penyebab gangguan
skizofrenia pada penderita.
Peneliti selanjutnya diharapkan bisa bekerja sama dengan pihak rumah sakit atau
pihak lain yang mampu memberikan penjelasan mengenai penyebab munculnya
gangguan pada penderita ditinjau dari faktor biologisnya agar pemberian edukasi kepada
keluarga penderita semakin lengkap. Peneliti juga perlu untuk melakukan penelitian pada
konteks budaya yang berbeda untuk semakin memperkaya gambaran tentang persepsi
keluarga mengenai gangguan skizofrenia.
References

Arif, I. S. (2006). Skizofrenia: Memahami


dinamika
keluarga
pasien.
Bandung: PT. Refika Aditama.
Duran, V. M., & Barlow, D. H. (2006).
Essentials of abnormal psychology
(fourth ed.). United States: Thomson
Wadeworth.

Eni. (2010). Lepas pasung hapus stigma.


Diunduh pada 2 Februari 2011, dari
http://bataviase.co.id/node/416926.
Gearing, R. E., Alonzo, D., Smolak, A.,
McHugh, K., Harmon, S., & Baldwind,
S. (2010). Association of religion with
delusions and hallucinations in the
context of schizophrenia: implications

for
engagement
and
adherence.
Schizophrenia Research xxx, xxxxxx.
Hawari, H. D. (2009). Pendekatan holistik
pada gangguan jiwa skizofrenia. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Kaplan, H. I., Sadock, B. J., & Grebb, J. A.
(2010).
Sinopsis
psikiatri:
Ilmu
pengetahuan perilaku psikiatri klinis. (I.
M. Wiguna, Penyunt., & W. Kusuma,
Penerj.) Tangerang: Binarupa Aksara.
Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B.
(2005). Psikologi Abnormal (W. C.
Kristiaji & Tim Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia, Pengalih bhs.).
Jakarta: Penerbit Gramedia.
Papalia, D. E., Feldman, R.D., & Olds, S. W.
(2009b). Human development. New
York: McGraw-Hill.
Plotnik, R. (2005). Introduction to psychology.
USA: Thomson Wadsworth.

Prasetya, G. T. (2003). Pola pengasuhan ideal.


Jakarta: Elex Media Komputindo.
Read, J., Perry, B. D., Moskowitz, A., &
Connolly, J. (2001). The contribution of
early traumatic events to skizofrenia in
some patient. Psychiatry, 64 (4), 319336.
Santrock, J. W. (2011). Perkembangan anak (P.
Pakpahan, Pengalih bhs). Jakarta:
Salemba Humanika.
Simanjuntak, J. (2008). Konseling gangguan
jiwa dan okultisme: Membedakan
gangguan jiwa dan kerasukan setan.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
World
Health
Organization.
(2011).
Schizophrenia. Mental health. Retrieved
February,
18
from
http://www.who.int/mental_health/mana
gement/schizophrenia/en/

Anda mungkin juga menyukai