Latar Belakang
Kejadian mati mendadak masih merupakan penyebab kematian utama baik di negara
maju maupun negara berkembang seperti di Indonesia. Henti jantung (cardiac arrest)
bertanggung jawab terhadap 60% angka kematian penderita dewasa yang mengalami
penyakit jantung koroner (PJK). Di Eropa diperkirakan terdapat 700.000 kasus henti jantung
setiap tahunnya. Berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Indonesia
tahun 2007 yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2008 di
Jakarta, prevalensi nasional penyakit jantung adalah 7,2% (berdasarkan diagnosis tenaga
kesehatan dan gejala). Sebanyak 16 propinsi mempunyai prevalensi penyakit jantung di atas
prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau,
DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan
Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo,
dan Sulawesi Barat, (Riskesdas Indonesia Tahun 2007 hal.xiv).
Berdasar proporsi angka kematian di perkotaan pada kelompok umur 45 - 54 tahun,
penyakit jantung iskemik menduduki urutan ketiga (8.7%) sebagai penyebab kematian. Urutan
pertama adalah stroke (15.9%) dan urutan kedua adalah diabetes mellitus (14.7%). Pada
kelompok umur yang sama untuk daerah pedesaan, penyakit jantung iskemik merupakan urutan
nomor empat (lihat label 3.217 hal. 283 Riskesdas Indonesia Tahun 2008).
Dalam kondisi kritis akibat serangan jantung atau kegawatan KV, perawatan intensif
khusus yang berbeda dengan pelayanan intensif umum sangat dibutuhkan, mengingat karakter
penyakit maupun pasien yang berbeda. Pasien umumnya sadar dan sangat sensitif, sehingga
memerlukan suasana yang tenang sejak memasuki ruang gawat darurat hingga keruang intensif
dan perawatan biasa. Suasana tak nyaman dapat menimbulkan kegelisahan yang memicu
timbulnya aritmia dan akibat lain yang berdampak pada kematian.
Di samping itu, ada tiga perubahan yang terjadi pada populasi pasien dan ketersediaan
pelayanan dalam dua dekade terakhir, yang membutuhkan perubahan fungsi ICCU pada dekade
selanjutnya, yaitu:
(1) Kebijakan tatalaksana reperfusi segera (non-invasif maupun invasif), yang telah diadopsi
menjadi pelayanan standar pada Infarct Myocard Acute (IMA). Kebijakan ini menuntut
perhatian khusus dan kecepatan penanganan. Setelah penanganan segera yang berhasil,
pasien mengalami perbaikan yang drastis. Tatalaksana selanjutnya menjadi lebih
sederhana dibanding masa lalu, pemulihan lebih cepat, dan masa perawatan juga menjadi
lebih pendek.
(2) Profesi medis telah mencapai suatu tingkat spesialisasi di mana para Spesialis Jantung
dan Pembuluh Darah (Sp.JP) diwajibkan untuk memikirkan penanganan jangka panjang,
bukan hanya penanganan pada saat akut saja.
(3) Kemajuan ilmu dan teknologi telah mengembangkan berbagai alat canggih seperti: Intra
Aortic Ballon Pump (IABP), Left Ventricle Assist Device (LVAD) dan lain-lain yang
membutuhkan profesionalisme seorang dokter SpJP.
Standar Pelayanan Rumah Sakit yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI, Dirjen
Pelayanan Medik Direktorat RS Umum dan Pendidikan tahun 1994, menyebutkan bahwa
cakupan pelayanan intensif dibagi sesuai dengan bidangnya (dictum C), yaitu Intensive
Cardiovascular Care Unit (ICCU) dipimpin oleh dokter yang berwenang di bidangnya (Spesialis
Jantung dan Pembuluh Darah); suatu kondisi yang sudah sejak lama dianut oleh negara-negara
maju. Diharapkan minimal di semua rumah sakit tipe A dan B di Indonesia mempunyai ICCU yang
terpisah dari ICU umum, sehingga dapat menurunkan angka kematian akibat penyakit jantung
secara nasional. Oleh sebab itu, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
(PERKI) memandang perlu untuk membuat Standar Pelayanan Medis Intensive Cardiovascular
Care Unit (ICCU) di Indonesia.
Tatalaksana penyakit jantung Iskemik meliputi tatalaksana konservatif maupun
intervensi dalam bentuk revaskularisasi pembuluh darah coroner. Kehadiran laboratorium
kateterisasi jantung diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penyakit
jantung koroner.
Visi RSUD Gunung Jati Cirebon adalah menjadi rumah sakit tipe A di tahung 2018.
Kehadiran sebuah Pusat Jantung Terpadu yang meliputi semua bidang baik yang bersifat
intervensi maupun non intervensi bisa meningkatkan nilai tambah tersendiri. Bahkan di
beberapa Rumah Sakit lain di Indonesia, Pusat Jantung Terpadu menjadi salah satu unggulan
RS tersebut.
Tujuan jangka panjang yang diharapkan adalah terbentuknya Pusat Jantung Terpadu
yang melayani masyarakat kota Cirebon dan sekitarnya. Adapun sebagai tujuan jangka pendek
adalah terbentuknya Unit kateterisasi jantung yang di tunjang dan menunjang pelayanan
jantung intensif yang paripurna serta didukung pelayanan penunjang lainnya.
1.2.
TUJUAN
1.2.1. Tujuan Umum
1. Terwujudnya pelayanan ICCU yang menjadi acuan seluruh fasilitas pelayanan kesehatan
di wilayah III Cirebon, dalam upaya mewujudkan pelayanan yang berkualitas, terjangkau.
efektif dan efisien secara merata
2. Terwujudnya pelayanan ICCU yang bisa menunjang dan ditunjang oleh pelayanan
kateterisasi jantung.
1.3.
INDIKASI
yang
antaralain :
a.
Sindrom Koroner Akut (SKA) : tanpa atau dengan komplikasi, dan mungkin disertai
penyakit penyerta lainnya
b.
c.
Syok kardiogenik
d.
e.
f.
g.
h.
i.
Kegawatan Vaskular (diseksi aorta, emboli paru, sumbatan pembuluh vena dalam
dan arteri perifer)
j.
k.
1.4.
1.4.1.2.1.2.
1.4.1.3.
infark,
komplikasi
tindakan
jantung,
evaluasi
pengobatan infark miokard dan miokarditis.
- CKMB (Creatinine Kinase-MB), untuk menegakkan
diagnosis infark miokard, evaluasi pengobatan jantung.
- ACT (activated Clotting Time): untuk evaluasi faktor
pembekuan darah yang mendapat obat antikoagulan
yang akan dilakukan tindakan aff sheath post PCI.
- ApTT (activated partical Thromboplastine Time), untuk
menilai target pengobatan pasien yang mendapatkan
Unfractionated Heparin terutama pada pasien yang
disertai gangguan fungsi ginjal.
- Analisis Gas Darah (AGD) untuk menilai status asam
basa pasien terutama yang akan menjalani tindakan
ventilator maupun evaluasi weaning ventilator
- Elektrolit lengkap (Natrium, Kalium, Calcium, Chlorida,
Magnesium), untuk menilai status elektrolit yang bisa
mencetuskan kondisi aritmia (gangguan irama jantung)
dan kondisi metabolic lain.
- INR untuk menilai efek dan target pengobatan warfarin
pada pasien-pasien gangguan irama fibrilasi atrium,
pasca tindakan operasi katup buatan dan yang
mendapatkan triple antikoagulan,
- D-Dimer, untuk menilai dan membantu menegakkan
diagnosis Emboli paru akut, DIC.
- NT proBNP, untuk menegakkan diagnosis gagal jantung
1.4.2.3.3. Mesin X-ray mobile (berkoordinasi dengan SMF
Radiologi)
Untuk menilai anatomi jantung dan paru pasien dengan
segera,
menilai
hasil
tindakan
pemasangan
Endotracheal Tube (ETT), Subclavia Central Venous
Pressure (CVP), serta IABP
1.4.3. RUANGAN CATH LAB
Saat ini sedang dibangun
1.4.4. LOKASI
Mudah dijangkau dan satu lantai dengan cath lab dan ruang operasi
1.5.
KESIMPULAN
Pelayanan Cardiac intensive care dan kateterisasi jantung telah
berkembang sedemikan rupa sehingga menjadi sebuah kesatuan yang saling
menunjang. Tindakan revaskularisasi pada pasien jantung koroner memerlukan
tindakan di ruang kateterisasi jantung. Pasien-pasien yang dilakukan tindakan