BAB 1
PENDAHULUAN
Penyakit kardiovaskular telah menjadi penyebab utama kematian di dunia. Menurut data
World Health Organization (WHO) pada tahun 2015 perkiraan jumlah kematian akibat
penyakit kardiovaskular mencapai 17,7 juta jiwa yang merupakan 31% dari total kematian di
seluruh dunia. Penyebab terbanyak dari angka kematian tersebut terutama disebabkan oleh
penyakit jantung koroner (PJK) yang mencapai 7,4 juta. Prevalensi akan terus meningkat
tanpa disadari oleh penderita itu sendiri (Tanto et al, 2014, hlm.748). Estimasi pada tahun
2020 PJK akan tetap menjadi penyebab kematian manusia dan akan terus meningkat
mencapai 23 juta jiwa pada tahun 2030.
PJK merupakan penyempitan pembuluh darah koroner yang memperdarahi jantung yang bisa
mengakibatkan suatu kondisi akut dimana suplai darah ke jantung terhenti yang disebut
sindroma koroner akut (SKA). Sindrom koroner akut lebih lanjut diklasifikasikan menjadi
Unstable Angina (UA), ST-segment Elevation Myocardial Infarct (STEMI) dan Non ST-
segment Elevation Myocardial Infarct (NSTEMI). SKA tipe STEMI sering menyebabkan
kematian mendadak, sehingga merupakan suatu kegawatdaruratan yang membutuhkan
tindakan medis secepatnya. (Erhardt, 2002).
Oklusi total arteri koroner pada STEMI memerlukan tindakan segera yaitu tindakan
reperfusi, berupa terapi fibrinolitik maupun Percutaneous Coronary Intervention (PCI), yang
diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala 12 jam) dapat dilakukan terapi reperfusi
bila pasien masih mengeluh nyeri dada yang khas infark (ongoing chest pain).
Meskipun tindakan PCI terbukti megurangi angka mortalitas dan morbiditas STEMI,
angka terjadinya reinfark atau rehospitalisasi masih sangat tinggi. Nyeri yang diakibatkan
oleh SKA menyebabkan ketidak nyamanan dan terjadinya penurunan fungsi tubuh yang
berdampak pada gejala fisik dan gejala psikoemosional, dapat mempengaruhi kualitas hidup.
Hal ini menyebabkan ketidak nyamanan pada perubahan psikologis seperti takut mati dan
takut terjadi kekambuhan ( Kim dan Kwon, 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Yudisfi Dwisa Junipa Wahyudi tentang Studi Komparasi Activities Of Daily Living
Pasca Perawatan Pada pasien Jantung berdasarkan Jenis Penyakit di RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2015, didapatkan penderita Akut Miokard Infark
(AMI) juga mengalami gangguan pada Activities of Daily Living sebanyak 7 dari 10
pasien. Semantara itu untukkategori aktifitas yang sering terganggu pada pasien jantung
adalah naik tangga, berjalan dan bahkan ada yang mengatakan sering merasa capek
dalam melakukan pergerakan, pada hasil ini sebagian besar dalam kategori mandiri
sebanyak 55 pasien (54%), ketergantungan sebagian 47 pasien (46%), ketergantungan
total 0 pasien (0%). Fenomena yang terjadi di RS Jantung dan Pembuluh darah Harapan Kita
pada 20 pasien yang telah dilakukan tindakan primary PCI yang dirawat pada periode
Januari-April 2020, 13 pasien tidak mau melakukan aktivitas minimal dikarenakan
terpasang beberapa peralatan medis pada tubuh pasien, 12 pasien merasa takut jika
beraktivitas akan muncul gejala seperti saat serangan. Sehingga berpengaruh terhadap
Activity Daily Living. Activitie’s of Daily Living (ADL) pada penyakit jantung dilihat
dari kemandirian penderita penyakit jantung untuk melakukan aktivitas selama dirawat
di rumah sakit. Berbagai kemunduran fisik mengakibatkan kemunduran gerak
fungsional baik kemampuan mobilitas ditempat tidur, berpindah, jalan/ambulasi,
kemunduran aktivitas makan, mandi, berpakaian, defekasi, berkemih, merawat rambut,
gigi serta kuku (Pudjiastuti, 2004)
Untuk mengatasi situasi seperti itu program rehabilitasi jantung sebagai program
pencegahan sekunder perlu di optimisasi. Peningkatan kapasitas funsional adalah faktor
prognostik yang lebih baik pada pasien post revaskularisasi jantung dan terbukti
meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi mortalitas. (Venturini, 2014). Program
rehabilitasi jantung merupakan salah satu prinsip penatalaksanaan pasien PJK. Pasien PJK
merupakan indikasi utama dianjurkan melaksanakan program rehabilitasi jantung (Deaner,
1999). Lebih lanjut Deaner (1999) menjelaskan program rehabilitasi jantung terdiri dari
empat fase, yaitu fase I selama pasien di rumah sakit, fase II segera setelah pasien keluar
rumah sakit, fase III segera setelah fase II masih dalam pengawasan tim rehabilitasi jantung,
dan fase IV merupakan fase pemeliharaan jangka panjang. Program rehabilitasi pada pasien
PJK bertujuan untuk memulihkan kondisi fisik, mental, sosial serta vokasional seoptimal
mungkin. Tujuan program rehabilitasi akan tercapai bila terdapat tiga komponen penting
dalam perencanaan dan atau menjalankan program. Komponen tersebut adalah penerapan
konsep rehabilitasi dini, pendidikan kesehatan bagi pasien beserta keluarganya, dan kesiapan
staf pelaksana dalam penanganan pasien PJK (Rokhaeni, Purnamasari, Rahayoe, 2001).
Di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita program rehabilitasi jantung hanya
terbatas pada pasien dengan peneatalaksanaan pasca bedah jantung. Sedangkan untuk pasien
SKA pasca tindakan PCI belum ada protokol khusus sehingga kadang setelah lebih dari 24
jam perawatan pasien masih takut untuk melakukan aktivitas ringan dan menambah jumlah
lama rawat di RS. Peran perawat sangat diperlukan untuk melaksakan rehabilitasi jantung
fase I, pemberian rehabilitasi ini berkolaborasi dan diawasi oleh dokter yang merawat. Saat
program rehabilitasi berjalan perawat perlu melakukan pemantauan atau observasi vital sign
dan melakukan evaluasi rekam jantung. Hal ini didukung oleh penelitian yang menjelaskan
bahwa saat dilakukan rehabilitasi jantung perlu adanya dokter sebagai penanggungjawab
perawatan dan perlu adanya observasi vital sign dan evaluasi rekam jantung (Piotrowicz,
2008).
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman empiris peneliti, penelitian tentang
pengaruh rehabilitasi jantung fase 1 terhadap activity of daily living pada pasien STEMI
pasca tindakan primary PCI masih sedikit dilakukan dan dikembangkan oleh perawat
terutama di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Oleh karena itu peneliti merasa
perlu dilakukan penelitian terkait pengaruh rehabilitasi jantung fase 1 terhadap activity of
daily living pada pasien STEMI pasca tindakan primary PCI.
METODA PENELITIAN
3. 1 Rancangan Penelitian
3.2.1 Populasi
3.2.1 Sample
a. Kriteria Inklusi
1) Hemodinamik pasien tidak stabil (TDS >200mmHg atau kurang dari 90mmHg)
Pada tahap persiapan peneliti akan mengurus perizinan ke Rumah Sakit terkait
penelitian dan perizinan etik. Setelah mendapatkan izin peneliti akan melakukan
sosialisasi rencana penelitian kepada ruang ICVCU khususnya tim keperawatan untuk
menjelaskan tujuan , manfaat serta prosedur penelitian. Peneliti juga akan memilih
perawat yang akan dilibatkan sebagai asisten penelitian. Setelah itu dilakukan
penyamaan persepsi antara perawat dan peneliti terkait program rehabilitasi jantung
fase 1 dan teknik pengambilan data.
3.5.2 Pelaksanaan
1) Peneliti dan asisten penelitian akan memilih sample dengan teknik consecutive
sampling dan sesuai kriteria inklusi
2) Peneliti akan memberikan informasi terkain tujuan dan prosedur penelitian kepada
pasien dan keluarga jika setuju pasien atau keluarga akan menandatangani informed
consent
3) Peneliti dan asisten akan melakukan pengambilan data skor barthel index awal
sebelum dilakukan intervensi
4) Pasien akan dibimbing untuk latihan rehabilitasi jantung fase 1 sesuai pedoman
selama 3 hari, lalu diukur kembali skor barthel index dihari ke 4
c) Entry data: Memasukan data kedalam komputer dengan menggunakan program perangkat
statistik SPSS
d) Cleaning: Pengecekan data yang sudah dimasukkan untuk memastikan bahwa data telah
bersih dari kesalahan pengkodean atau salah dalam membaca kode.
Analisis bivariat dalam penelitian ini menggunakan t test. Uji t digunakan dengan
petimbangan bahwa standar deviasi populasi sulit didapatkan. Syarat uji perbedaan dua mean
dependen adalah distribusi normal, kedua kelompok variabel dependen, jenis variabel ada
dua kelompok (Hastono, 2008).
3.7 Etika Penelitian
Dalam melaksanakan kegiatan penelitian peneliti telah memegang teguh sikap ilmiah
dan menggunakan prinsip etika penelitian keperawatan. Peneliti meyakini bahwa responden
dilindungi dengan menperhatikan aspek self determination, privasi, anonymity, informed
consent, dan protection from discomfort (Polit &Hungler,2005)
a. Self determination Responden mempunyai kebebasan untuk memilih bersedia atau tidak
ikut dalam kegiatan penelitian dengan sukarela.
d. Informed consent Untuk minta persetujuan menjadi responden, peneliti terlebih dahulu
memberikan penjelasan yang mencakup tujuan, manfaat latihan aktifitas, risiko dan
ketidaknyamanan dari intervensi, dan harapan peneliti terhadap responden. Setelah responden
memahami semua penjelasan yang diberikan, peneliti minta kesediaan responden yang setuju
untuk menanda tangani lembar persetujuan menjadi subyek penelitian.
e. Protection discomfort Peneliti menghormati prinsip bahwa responden bebas dari rasa
ketidaknyamanan. Peneliti menekankan jika responden merasa tidak aman dan tidak nyaman
selama intervensi latihan aktifitas seperti timbul gejala/masalah psikologis maka responden
diingatkan kembali untuk memilih berhenti sebagai responden atau terus melanjutkan dengan
disertai intervensi psikologis dari keperawatan. Apabila pasien mengalami respons fisiologis
selama latihan aktifitas seperti dada berdebar, nyeri dada, dan keluar keringat dingin maka
responden segera diistirahatkan dan kolaborasi dengan dokter untuk penangannya.
DAFTAR PUSTAKA
WHO. Media Centre: Cardiovascular disease. World Health Organization. 2017; 1-5.
Adib, M. (2009).Cara Mudah Memahami dan Menghindari Hipertensi, Jantung, Dan Stroke,
Yogyakarta:Dian Loka.
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, edisi revisi VI, Jakarta:
PT.Rineka Cipta.
Ariawan, I. (1998). Besar Dan Metode Sampel Pade Penelitian Kesehatan, Jakarta:FKM-UI.
Beswick, A.D., Rees, K., West, R.R., Taylor, F.C., Burke, M., Griebsch, I., Taylor, R.S.,
Victory, J. & Ebrahim, S. (2005). Improving Uptake And Adherence In Cardiac
Rehabilitation : Literature review, Journal Of Advanced Nursing 49 (5), 538-555,
diperoleh 14 April 2009.
Hoeman, S.P. (1996). Rehabilitation Nursing, Process And Application, Second Edition
Missouri : Mosby.
Ibanez B, James S, Agewall S, et al. (2017). 2017 ESC Guidelines for the Management of
Acute Myocardial Infarction in Patients Presenting With ST-Segment Elevation: The
Task Force for the Management of Acute Myocardial Infarction in Patients Presenting
With ST-Segment Elevation of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart
J 2017;Aug 26
Rokhaeni, H., Purnamasari, E. & Rahayoe, A.U. (2001). Buku Ajar Keperawatan
Kardiovaskuler, Jakarta: Bidang Diklat PK.Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Semeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2002). Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth,
edisi8, Volume 2, Jakarta : EGC.
Ulfah, (2000). Gejala Awal Dan Deteksi Dini Penyakit Jantung Koroner,
http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=10&tbl=artikel. diperoleh 22 Juni
2020.