Anda di halaman 1dari 19

PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH REHABILITASI JANTUNG FASE 1 TERHADAP PENINGKATAN


ACTIVITY OF DAILY LIVING PADA PASIEN STEMI PASCA TINDAKAN
PRIMARY PCI

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit kardiovaskular telah menjadi penyebab utama kematian di dunia. Menurut data
World Health Organization (WHO) pada tahun 2015 perkiraan jumlah kematian akibat
penyakit kardiovaskular mencapai 17,7 juta jiwa yang merupakan 31% dari total kematian di
seluruh dunia. Penyebab terbanyak dari angka kematian tersebut terutama disebabkan oleh
penyakit jantung koroner (PJK) yang mencapai 7,4 juta. Prevalensi akan terus meningkat
tanpa disadari oleh penderita itu sendiri (Tanto et al, 2014, hlm.748). Estimasi pada tahun
2020 PJK akan tetap menjadi penyebab kematian manusia dan akan terus meningkat
mencapai 23 juta jiwa pada tahun 2030.

PJK merupakan penyempitan pembuluh darah koroner yang memperdarahi jantung yang bisa
mengakibatkan suatu kondisi akut dimana suplai darah ke jantung terhenti yang disebut
sindroma koroner akut (SKA). Sindrom koroner akut lebih lanjut diklasifikasikan menjadi
Unstable Angina (UA), ST-segment Elevation Myocardial Infarct (STEMI) dan Non ST-
segment Elevation Myocardial Infarct (NSTEMI). SKA tipe STEMI sering menyebabkan
kematian mendadak, sehingga merupakan suatu kegawatdaruratan yang membutuhkan
tindakan medis secepatnya. (Erhardt, 2002).

Oklusi total arteri koroner pada STEMI memerlukan tindakan segera yaitu tindakan
reperfusi, berupa terapi fibrinolitik maupun Percutaneous Coronary Intervention (PCI), yang
diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala 12 jam) dapat dilakukan terapi reperfusi
bila pasien masih mengeluh nyeri dada yang khas infark (ongoing chest pain).

Meskipun tindakan PCI terbukti megurangi angka mortalitas dan morbiditas STEMI,
angka terjadinya reinfark atau rehospitalisasi masih sangat tinggi. Nyeri yang diakibatkan
oleh SKA menyebabkan ketidak nyamanan dan terjadinya penurunan fungsi tubuh yang
berdampak pada gejala fisik dan gejala psikoemosional, dapat mempengaruhi kualitas hidup.
Hal ini menyebabkan ketidak nyamanan pada perubahan psikologis seperti takut mati dan
takut terjadi kekambuhan ( Kim dan Kwon, 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Yudisfi Dwisa Junipa Wahyudi tentang Studi Komparasi Activities Of Daily Living
Pasca Perawatan Pada pasien Jantung berdasarkan Jenis Penyakit di RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2015, didapatkan penderita Akut Miokard Infark
(AMI) juga mengalami gangguan pada Activities of Daily Living sebanyak 7 dari 10
pasien. Semantara itu untukkategori aktifitas yang sering terganggu pada pasien jantung
adalah naik tangga, berjalan dan bahkan ada yang mengatakan sering merasa capek
dalam melakukan pergerakan, pada hasil ini sebagian besar dalam kategori mandiri
sebanyak 55 pasien (54%), ketergantungan sebagian 47 pasien (46%), ketergantungan
total 0 pasien (0%). Fenomena yang terjadi di RS Jantung dan Pembuluh darah Harapan Kita
pada 20 pasien yang telah dilakukan tindakan primary PCI yang dirawat pada periode
Januari-April 2020, 13 pasien tidak mau melakukan aktivitas minimal dikarenakan
terpasang beberapa peralatan medis pada tubuh pasien, 12 pasien merasa takut jika
beraktivitas akan muncul gejala seperti saat serangan. Sehingga berpengaruh terhadap
Activity Daily Living. Activitie’s of Daily Living (ADL) pada penyakit jantung dilihat
dari kemandirian penderita penyakit jantung untuk melakukan aktivitas selama dirawat
di rumah sakit. Berbagai kemunduran fisik mengakibatkan kemunduran gerak
fungsional baik kemampuan mobilitas ditempat tidur, berpindah, jalan/ambulasi,
kemunduran aktivitas makan, mandi, berpakaian, defekasi, berkemih, merawat rambut,
gigi serta kuku (Pudjiastuti, 2004)

Untuk mengatasi situasi seperti itu program rehabilitasi jantung sebagai program
pencegahan sekunder perlu di optimisasi. Peningkatan kapasitas funsional adalah faktor
prognostik yang lebih baik pada pasien post revaskularisasi jantung dan terbukti
meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi mortalitas. (Venturini, 2014). Program
rehabilitasi jantung merupakan salah satu prinsip penatalaksanaan pasien PJK. Pasien PJK
merupakan indikasi utama dianjurkan melaksanakan program rehabilitasi jantung (Deaner,
1999). Lebih lanjut Deaner (1999) menjelaskan program rehabilitasi jantung terdiri dari
empat fase, yaitu fase I selama pasien di rumah sakit, fase II segera setelah pasien keluar
rumah sakit, fase III segera setelah fase II masih dalam pengawasan tim rehabilitasi jantung,
dan fase IV merupakan fase pemeliharaan jangka panjang. Program rehabilitasi pada pasien
PJK bertujuan untuk memulihkan kondisi fisik, mental, sosial serta vokasional seoptimal
mungkin. Tujuan program rehabilitasi akan tercapai bila terdapat tiga komponen penting
dalam perencanaan dan atau menjalankan program. Komponen tersebut adalah penerapan
konsep rehabilitasi dini, pendidikan kesehatan bagi pasien beserta keluarganya, dan kesiapan
staf pelaksana dalam penanganan pasien PJK (Rokhaeni, Purnamasari, Rahayoe, 2001).

Di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita program rehabilitasi jantung hanya
terbatas pada pasien dengan peneatalaksanaan pasca bedah jantung. Sedangkan untuk pasien
SKA pasca tindakan PCI belum ada protokol khusus sehingga kadang setelah lebih dari 24
jam perawatan pasien masih takut untuk melakukan aktivitas ringan dan menambah jumlah
lama rawat di RS. Peran perawat sangat diperlukan untuk melaksakan rehabilitasi jantung
fase I, pemberian rehabilitasi ini berkolaborasi dan diawasi oleh dokter yang merawat. Saat
program rehabilitasi berjalan perawat perlu melakukan pemantauan atau observasi vital sign
dan melakukan evaluasi rekam jantung. Hal ini didukung oleh penelitian yang menjelaskan
bahwa saat dilakukan rehabilitasi jantung perlu adanya dokter sebagai penanggungjawab
perawatan dan perlu adanya observasi vital sign dan evaluasi rekam jantung (Piotrowicz,
2008).
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman empiris peneliti, penelitian tentang
pengaruh rehabilitasi jantung fase 1 terhadap activity of daily living pada pasien STEMI
pasca tindakan primary PCI masih sedikit dilakukan dan dikembangkan oleh perawat
terutama di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Oleh karena itu peneliti merasa
perlu dilakukan penelitian terkait pengaruh rehabilitasi jantung fase 1 terhadap activity of
daily living pada pasien STEMI pasca tindakan primary PCI.

1.2 Rumusan Masalah


Beberapa study menunjukan bahwa rehabilitasi jantung fase 1 efektif meningkatkan
ADL pada pasien PJK setelah dilakukan tindakan coronary artery bypass graft (CABG).
Sedangkan pengaruh rehabilitasi jantung fase 1 terhadap pasien STEMI pasca PCI belum
banyak dijelaskan pada artikel-artikel ilmiah keperawatan Indonesia. Oleh karena itu
penelitian ini akan menjawab pertanyaan "Apakah rehabilitasi jantung fase 1 berpengaruh
terhadap activity daily living pada pasien STEMI pasca tindakan primary PCI di RS Jantung
dan Pembuluh Darah Harapan Kita?"
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh rehabilitasi jantung
fase 1 terhadap activity daily living pada pasien STEMI pasca tindakan primary PCI di RS
jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik demografi pasien dengan STEMI pasca tindakan
primary PCI
b. Mengidentifikasi skor activity daily living pada pasien dengan STEMI pasca
tindakan primary PCI sebelum rehabilitasi jantung fase 1.
c. Mengidentifikasi skor activity daily living pada pasien dengan STEMI pasca
tindakan primary PCI setelah rehabilitasi jantung fase 1.
d. Mengidentifikasi perbedaan skor activity daily living pada pasien dengan STEMI
pasca tindakan primary PCI sebelum dan setelah rehabilitasi jantung fase 1.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Pelayanan Keperawatan
Memberikan manfaat kepada RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita
khususnya ruangan ICVCU tentang pentingnya pelaksanaan program rehabilitasi jantung fase
1 untuk pemulihan pasien STEMI pasca primary PCI secara fisik maupun psikologis.
Mengintensifkan program rehabilitasi jantung secara dini untuk meningkatkan activity daily
living pasien selama dirawat di rumah sakit.
1.4.2 Ilmu Keperawatan
Menambah konsep dan teori pengembangan ilmu keperawatan terutama dalam
perawatan pasien STEMI paca primary PCI khususnya rehabilitasi jantung fase 1.
1.4.3 Penelitian Keperawatan
Hasil penelitian ini akan menjadi data awal untuk pengembangan penelitian tentang
program rehabilitasi jantung .
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Infark Miokard Akut


2.1.1 Definisi dan Tipe PJK
Sindroma koroner akut (SKA) terdiri dari angina pektoris tidak stabil dan IMA.
Selanjutnya PJKdibagi menjadi dua, yaitu non-ST elevation myocardial infarction (NSTEMI)
atau PJKtanpa elevasi segmen ST dan STEMI atau infark yang disertai elevasi segmen ST.
Angina pektoris tidak stabil termasuk ke dalam sindroma koroner akut karena merupakan
prekursor terjadinya infark miokard. Infark miokard akut merupakan kondisi nekrosis
miokard akibat sindroma iskemia yang tidak stabil (Anderson dkk., 2017). Infark miokard
akut diklasifikasikan menjadi lPJKtipe, yaitu infark yang terjadi akibat aterotrombosis
koroner (tipe 1), infark yang terjadi akibat supply-demand mismatch (tipe 2), infark yang
menyebabkan kematian mendadak tanpa adanya konfirmasi atau bukti biomarka ataupun
perubahan EKG (tipe 3), infark yang terjadi pada saat tindakan intervensi koroner perkutan
(tipe 4a), infark yang terjadi akibat trombosis pada stent (tipe 4b), dan infark yang terjadi
pada tindakan coronary artery bypass surgery (CABG) (tipe 5) (Anderson dkk., 2017, Reed
dkk ., 2017).
2.1.2 Patofisiologi PJK
Pada sebagian besar kasus, PJKterjadi akibat rupturnya plak aterosklerotik atau erosi
endotel arteri koroner. Stenosis lumen minimal sebesar 70% diperlukan untuk terjadinya
keluhan angina. Saat terjadi ruptur plak, terjadi pengeluaran agen-agen trombogenik yang
mengakibatkan aktivasi platelet, inisiasi kaskade koagulasi, terbentuknya trombus mural, dan
embolisasi debris aterosklerotik yang mengikuti aliran darah. Kondisi hiperkoagulabilitas
turut memberi kontribusi terjadi ruptur fibroateroma yang lainnya, sehingga kadangkala
terdapat lebih dari satu lesi kulprit. Hasil akhir yang terjadi adalah nekrosis miosit yang
terdeteksi melalui peningkatan marker atau penanda nekrosis di darah perifer. Perbedaanya,
pada NSTEMI terjadi oklusi oleh trombus yang bersifat subtotal, tromboemboli pada
mikrovaskular distal serta diikuti adanya pembuluh darah kolateral, obstruksi yang dinamis
akibat spasme koroner, sehingga tidak akan terbentuk elevasi segmen ST pada rekaman EKG.
Pada STEMI, terjadi oklusi total oleh trombus yang mengakibatkan injury transmural
miokard pada dinding ventrikel yang divaskularisasi arteri koroner sehingga mengakibatkan
terbentuknya elevasi segmen ST pada rekaman elektrokardiografi (EKG) (Ibanez dkk., 2017).
2.1.3 Diagnosis PJK
Penegakan diagnosis PJKberdasarkan gejala klinis, pemeriksaan EKG, dan adanya
peningkatan biomarker atau penanda nekrosis miosit (Ibanez dkk., 2017). Gejala iskemia
yang muncul berupa angina atau nyeri di dada kiri yang dirasakan tembus hingga ke
punggung, menjalar ke lengan kanan atau rahang, kadang bisa dirasakan sebagai rasa berat
atau tertekan, disertai keringat dingin, mual muntah, pingsan, bahkan sampai kematian
mendadak. Kadangkala penderita mengeluhkan gejala yang tidak khas atau tidak spesifik,
seperti sesak napas, cepat lelah, mual dan muntah, sinkop, dan palpitasi (Ibanez dkk., 2017,
Yenni R, Susetyo P, 2017).
Semua penderita dengan kecurigaan PJKsebaiknya dilakukan pemeriksaan EKG 12
sadapan sebagai salah satu kriteria diagnosis paling tidak dalam 10 menit sejak kontak medis
pertama. Kalibrasi pengukuran EKG diatur menjadi 10 mm/millivolt. Kriteria diagnosis dari
EKG adalah mulai dari hasil yang normal yaitu sinus hingga terjadi perubahan EKG yang
sugestif. Pada kasus NSTEMI, EKG dapat menunjukkan hasil normal, perubahan ST segmen
berupa ST depresi, inversi gelombang T, dan lain sebagainya (non-elevasi segmen ST). Pada
kasus STEMI jelas terjadi perubahan EKG berupa elevasi segmen ST. Kriteria elevasi
segmen ST dinilai sugestif terhadap adanya kejadian koroner akut atau on going adalah, ST
elevasi diukur dari J point, terdapat elevasi segmen ST pada dua atau lebih sadapan yang
berhubungan, dengan elevasi sebesar ≥ 2,5 mm pada pria < 40 tahun, ≥ 2,0 mm pada pria ≥
40 tahun; ≥ 1,5 mm pada wanita di sadapan V2-V3 dan atau ≥ 1,0 mm di sadapan lainnya
(tanpa adanya hipertrofi ventrikel kiri atau blok berkas cabang kiri) (Ibanez dkk., 2017).
Kematian sel miokard ditandai dengan adanya pelepasan protein dari miosit yang mati
ke dalam sirkulasi. Diagnosis infark miokard ditegakkan bila terjadi peningkatan biomarker
troponin atau creatinine kinase-myocardial band (CK-MB) pada penderita dengan klinis
iskemia miokard. Pemeriksaan troponin lebih spesifik dan sensitif dibandingkan enzim
jantung lainnya seperti CK-MB dan mioglobin. (Susetyo P, 2017).
2.1.4 Tatalaksana PJK
Berbeda pada STEMI, prioritas tindakan ditujukan untuk reperfusi segera untuk
menekan perluasan area infark dan secara simultan diberikan antitrombotik. Pemilihan
strategi reperfusi pada penderita STEMI dapat melalui strategi intervensi PCI atau IKP,
pembedahan (coronary artery bypass graft/ CABG), atau medikamentosa melalui fibrinolitik.
Intervensi koroner perkutan primer atau primary PCI dilakukan untuk memperbaiki aliran
koroner dan mencegah iskemia yang rekuren. Primary PCI diindikasikan jika onset gejala
terjadi dalam 12 jam, ada kontraindikasi terhadap pemberian fibrinolitik, terlebih lagi jika
kondisi penderita yang mengalami syok kardiogenik dan gagal jantung akut. Primary PCI
juga direkomendasikan jika terdapat bukti iskemia masih berlangsung meskipun gejala sudah
berlangsung 12-24 jam. Dibandingkan fibrinolitik, PCI primer menghasilkan patensi arteri
yang terkait dengan infark, skor TIMI flow 3, namun risiko perdarahan akses yang lebih
tinggi (Reed dkk., 2017).
Komposisi trombus koroner penderita STEMI terdiri dari serat fibrin sebanyak 60%,
sedangkan sisanya terdiri dari platelet, eritrosit, kristal kolesterol, dan leukosit. Oleh karena
itu agen fibrinolitik merupakan salah satu indikasi terapi pada IMA. Fibrinolitik memiliki
periode terapi yang sempit dan efisiensi paling tinggi pada 3 jam pertama. American Heart
Association (AHA) dan European Society Cardiology (ESC) merekomendasikan terapi
fibrinolitik dalam 12 jam sejak onset gejala pada penderita tanpa kontraindikasi fibrinolitik.
Agen fibrinolitik yang direkomendasikan adalah streptokinase (SK), alteplase (tPA),
reteplase (r-PA), atau tenecteplase (TNK-tPA). Setelah dilakukan pemberian fibrinolitik,
penderita seringkali masih memiliki stenosis residual yang selanjutnya harus tetap
direncanakan tindakan angiografi koroner dan jika perlu dilanjutkan dengan tindakan
angiopasti koroner atau IKP (Puspitasari M, 2013).
Tindakan CABG direkomendasikan pada penderita PJKjika PCI primer gagal atau
tidak dapat dilakukan, anatomi koroner sesuai dengan indikasi CABG, terdapat iskemia
miokard persisten yang signifikan pada saat istirahat dan atau adanya ketidakstabilan
hemodinamik dan refakter terhadap terapi. Emergency CABG dapat dipertimbangkan dalam
6 jam setelah onset pada penderita STEMI yang tidak mengalami syok kardiogenik namun
bukan kandidat PCI ataupun fibrinolitik. Selain itu, direkomendasikan juga pada penderita
dengan syok kardiogenik yang sesuai dengan indikasi CABG tanpa memandang interval
waktu sejak onset infark hingga syok dan waktu sejak infark hingga CABG dilaksanakan.
Penderita dengan aritmia ventricular maligna, dengan stenosis left main atau triple vessel
disease merupakan indikasi emergency CABG (Puspitasari M, 2013).

2.2 Program Rehabilitasi Jantung


Rehabilitasi jantung adalah program yang diharapkan dapat mengembalikan
kesehatan pasien secara optimal dan mendorong perubahan gaya hidup pada pasien dengan
PJK (Boone, 1986; Hamilton, 1990, dalam Deaner, 1999). Rehabilitasi pada pasien PJK
adalah rangkaian usaha dalam membantu penyembuhan pasien agar dapat kembali dengan
cepat pada kehidupan normalnya atau mendekati kondisi sebelum sakit (Rokhaeni,
Purnamasari, Rahayoe, 2001). Tujuan dari rehabilitasi Jantung adalah mengurangi distres,
memperbaiki kualitas hidup, menurunkan kematian dan kesakitan, mengurangi resiko infark
ulang dengan memodifikasi faktor risiko, dan menurunkan kebutuhan prosedur invasif
(Deaner, 1999). Menurut Rokhaeni, Purnamasari, Rahayoe (2001) rehabilitasi pada PJK
untuk memulihkan kondisi fisik, mental, sosial serta vokasional pasien seoptimal mungkin
sehingga dapat melaksanakan aktifitas seperti sebelum sakit. Program rehabilitasi jantung
dibagi menjadi empat fase (Ginzel, 1996; Leon et al. 1990, dalam Deaner, 1999). Empat fase
tersebut adalah:
1. Fase I : dilakukan selama pasien dirawat di rumah sakit. Program difokuskan pada
ambulasi dini dan pendidikan kesehatan (Ginzel et al. 1996 dalam Deaner, 1999).
2. Fase II : adalah program setelah pasien keluar dari rumah sakit yang dilakukan selama
beberapa minggu. Kegiatan dilakukan dengan supervisi dari tim rehabilitasi terutama pada
latihan, diet, modifikasi faktor risiko, dan pendidikan kesehatan.
3. Fase III : segera setelah fase II, tetap dengan tindakan supervisi untuk pemeliharaan
kondisi yang telah dicapai. Fase ini berlangsung selama 4-6 bulan.
4. Fase IV : adalah fase yang tidak memerlukan supervisi dan berlangsung dalam waktu tak
terbatas. Tujuan pada fase ini untuk pemeliharaan pencapaian kondisi pasien yang optimal.
Miller, Taylor, Davidson, Hill, dan Krantz (1990, dalam Deaner, 1999) melakukan
penilaian bagaimana efek rehabilitasi jantung terhadap faktor risiko jantung, dan fungsi
umum psikososial. Disimpulkan fase II program rehabilitasi jantung sangat dianjurkan pada
pasien PJK walaupun masih memerlukan banyak penelitian. Hal ini senada dengan DHHS
(1995, dalam Deaner, 1999) yang mengungkapkan manfaat dari program rehabilitasi jantung
fase II antara lain: (1). Dapat memperbaiki modifikasi faktor risiko dan fungsi psikososial
secara umum (depresi, kecemasan, disfungsi seksualitas, kembali bekerja, dan
menghilangkan kebiasaan minum alkohol), (2). Dapat memperbaiki kadar lipid darah, fungsi
sistem muskuloskletal, managemen hipertensi, penurunan berat badan, penurunan kejadian
PJK, dan penurunan biaya hospitalisasi. Disimpulkan bahwa fase II rehabilitasi jantung
mempunyai peran penting dalam pemulihan pasien dengan PJK. Namum demikian
rehabilitasi jantung fase I juga mempunyai peranan yang penting untuk mengoptimalkan
fungsi jantung, menghilangkan masalah psikologis, dan meningkatkan pengetahuan pasien
untuk mengubah perilaku hidup sehat sehingga termotivasi untuk melanjutkan program
rehabilitasi jantung fase II setelah keluar dari rumah sakit.
Program rehabilitasi fase I merupakan program yang diberikan selama pasien dirawat
di rumah sakit. Program dilaksanakan sesegera mungkin pada pasien setelah hemodinamik
stabil sejak di ICCU/ CVCU, dan dilanjutkan setiap hari di ruang rawat inap hingga pasien
pulang (Rokhaeni, Purnamasari, Rahayoe, 2001). Kegiatan program rehabilitasi fase I terdiri
dari latihan aktifitas, dan pendidikan kesehatan.
Latihan aktifitas merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Gordon (2002,
dalam Kozier et al 2004, dalam Halimuddin, 2006) menjelaskan aktifitas dan latihan meliputi
(a).Aktifitas sehari-hari (activities of daily living) yang memerlukan pengeluaran energi, dan
(b). Jenis, kualitas, dan kuantitas latihan termasuk olah raga. Pelaksanaan aktifitas fisik dan
latihan yang teratur dapat meningkatkan kesehatan biopsikososial dan spiritual pasien (Potter
& Perry, 2005 dalam Halimuddin, 2006). Dalam program rehabilitasi jantung fase I kegiatan
latihan aktifitas diberikan selama 7-14 hari dengan beban latihan 2-3 mets. Jenis latihan
meliputi pemanasan selama lPJKmenit berupa latihan otot-otot lengan, tungkai, pinggul,
dilanjutkan dengan latihan inti seperti jalan atau sepeda statis dengan beban yang
ditingkatkan secara bertahap. Latihan diakhiri dengan pendinginan selama lPJKmenit.
Latihan aktifitas dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan respons pasien,
kebutuhan aktifitas, dan fungsi jantung. Smeltzer (2002) menjelaskan latihan aktifitas yang
diberikan pada pasien akut miokard infark selama dirawat di ICCU adalah:
1. Hari ke-1: tirah baring dengan pispot, bantu ADL (activity daily living).
2. Hari ke-2: latihan duduk ke kursi, bantu ADL.
3. Hari ke-3: latihan berjalan dengan bantuan, bantu ADL.
4. Hari ke-4: latihan berjalan dengan bantuan, bantu ADL.
5. Hari ke-5: latihan berjalan sendiri, bantu ADL.
6. Hari ke-6: latihan berjalan sendiri, bantu ADL.
7. Hari ke-7: melakukan aktifitas bertahap, bantu ADL.
8. Hari ke-8: melakukan aktifitas bertahap, bantu ADL.
Rumah sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (2001), membuat pedoman
latihan aktifitas program rehabilitasi jantung fase I selama di ICCU, sebagai berikut:
1. Hari ke-1: merawat diri dengan bantuan, makan sendiri, kaki berjuntai ke bawah, duduk di
kursi 15 menit1-2 kali setiap hari.
2. Hari ke-2: duduk di kursi 15-30 menit 3 kali sehari, merawat diri tanpa bantuan.
3. Hari ke-3: duduk di kursi dengan waktu tak terbatas, pindah ruangan dengan kursi roda,
jalan di sekitar kamar.
4. Hari ke-4: sesuai dengan kemampuan kapan saja dapat meninggalkan tempat tidur, jalan ke
kamar mandi, ruangan kelas, tetapi dengan pengawasan.
5. Hari ke-5: jalan ke ruang tunggu, jalan ke tempat telephone, jalan di gang rumah sakit.
6. Hari ke-6: mandi sendiri, berjalan dari dan ke ruangan sendiri dalam pengawasan.
7. Hari ke-7: melanjutkan aktifitas sebelumnya dalam pengawasan.
Latihan aktifitas bertahap tersebut untuk memberikan penyesuaian fisik pada pasien
PJK sehingga memperbaiki efisiensi jantung. Efisiensi jantung tercapai bila pekerjaan dan
aktifitas sehari-hari telah dapat dilakukan dengan frekuensi denyut jantung dan tekanan darah
yang rendah. Selama penyesuaian aktifitas pasien diobservasi adanya gejala dan tanda seperti
nyeri dada, dispneu, kelemahan, kelelahan, dan peningkatan frekuensi jantung. Evaluasi
program latihan aktifitas dilakukan pada akhir fase I yang mencakup perubahan aspek fisik
meliputi keluhan angina berkurang, dan adanya perbaikan kapasitas fungsional, perubahan
aspek mental seperti pasien tampak tenang, dan perubahan aspek pengetahuan berupa
perilaku dalam kepatuhan menjalani program latihan. Program rehabilitasi jantung dapat
membantu mengurangi kecemasan, dan memberi perasaan sehat pasien (Smeltzer & Bare,
2002).

2.3 Activity Daily of Living


2.3.1 Pengertian ADL
Brunner & Suddarth (2002) mengemukakan ADL atau Activity Daily Living adalah
aktivitas perawatan diri yang harus pasien lakukan setiap hari untuk memenuhi kebutuhan
dan tuntutan hidup sehari-hari. ADL adalah aktivitas yang biasanya dilakukan dalam
sepanjang hari normal; aktivitas tersebut mencakup, ambulasi, makan, berpakaian, mandi,
menyikat gigi dan berhias dengan tujuan untuk memenuhi/berhubungan dengan perannya
sebagai pribadi dalam keluarga dan masyarakat. Kondisi yang mengakibatkan kebutuhan
untuk bantuan dalam ADL dapat bersifat akut, kronis, temporer, permanen atau rehabilitative
(Potter dan Perry, 2005).
2.3.2 Macam - macam ADL
Sugiarto (2005) mengemukakan ada beberapa macam ADL, yaitu :
1. ADL dasar, sering disebut ADL saja, yaitu keterampilan dasar yang harus dimiliki
seseorang untuk merawat dirinya meliputi berpakaian, makan & minum, toileting, mandi,
berhias dan mobilitas. Ada juga yang memasukkan kontinensi buang air besar dan buang air
kecil dalam kategori ADL dasar ini.
2. ADL instrumental, yaitu ADL yang berhubungan dengan penggunaan alat atau benda
penunjang kehidupan sehari-hari seperti menyiapkan makanan, menggunakan telefon,
menulis, mengetik, mengelola uang kertas.
3. ADL vokasional, yaitu ADL yang berhubungan dengan pekerjaan atau kegiatan sekolah.
4. ADL non vokasional, yaitu ADL yang bersifat rekreasional, hobi, dan mengisi waktu
luang.
2.3.3 Faktor- faktor yang mempengaruhi ADL
Faktor–faktor yang Mempengaruhi kemampuan melakukan Activity of Daily Living
(ADL) Menurut Hardywinoto (2007), yaitu:
1. Umur dan status perkembangan
Umur dan status perkembangan seorang klien menunjukkan tanda kemauan dan kemampuan,
ataupun bagaimana klien bereaksi terhadap ketidakmampuan melaksanakan activity of daily
living. Saat perkembangan dari bayi sampai dewasa, seseorang secara perlahan–lahan
berubah dari tergantung menjadi mandiri dalam melakukan activity of daily living.
2. Kesehatan fisiologis
Kesehatan fisiologis seseorang dapat mempengaruhi kemampuan partisipasi dalam activity of
daily living, contoh sistem nervous mengumpulkan, menghantarkan dan mengolah informasi
dari lingkungan. Sistem muskuloskeletal mengkoordinasikandengan sistem nervous sehingga
dapat merespon sensori yang masuk dengan cara melakukan gerakan. Gangguan pada sistem
ini misalnya karena penyakit, atau trauma injuri dapat mengganggu pemenuhan activity of
daily living secara mandiri (Hardywinoto, 2007).
3. Fungsi Kognitif Tingkat kognitif dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam
melakukan activity of daily living. Fungsi kognitif menunjukkan proses menerima,
mengorganisasikan dan menginterpretasikan sensor stimulus untuk berpikir dan
menyelesaikan masalah. Proses mental memberikan kontribusi pada fungsi kognitif dapat
mengganggu dalam berpikir logis dan menghambat kemandirian dalam melaksanakan
activity of daily living (Hardywinoto, 2007).
4. Fungsi Psikososial Fungsi psikologi menunjukkan kemampuan seseorang untuk
mengingat sesuatu hal yang lalu dan menampilkan informasi pada suatu cara yang realistik.
Proses ini meliputi interaksi yang kompleks antara perilaku intrapersonal dan interpersonal.
Gangguan pada intrapersonal contohnya akibat gangguan konsep diri atau ketidakstabilan
emosi dapat mengganggu dalam tanggung jawab keluarga dan pekerjaan. Gangguan
interpersonal seperti masalah komunikasi, gangguan interaksi sosial atau disfungsi dalam
penampilan peran juga dapat mempengaruhi dalam pemenuhan activity of daily living
(Hardywinoto, 2007).
5. Tingkat stress Stress merupakan respon fisik nonspesifik terhadap berbagai macam
kebutuhan. Faktor yang dapat menyebabkan stress (stressor), dapat timbul dari tubuh atau
lingkungan atau dapat mengganggu keseimbangan tubuh. Stressor tersebut dapat berupa
fisiologis seperti injuri atau psikologi seperti kehilangan.
6. Ritme biologi Ritme atau irama biologi membantu makhluk hidup mengatur lingkungan
fisik disekitarnya dan membantu homeostasis internal (keseimbangan dalam tubuh dan
lingkungan). Salah satu irama biologi yaitu irama sirkardian, berjalan pada siklus 24 jam.
Perbedaaan irama sirkardian membantu pengaturan aktivitas meliputi tidur, temperatur tubuh,
dan hormon. Beberapa faktor yang ikut berperan pada irama sirkardian diantaranya faktor
lingkungan seperti hari terang dan gelap, seperti cuaca yang mempengaruhi activity of daily
living.
7. Status mental Status mental menunjukkan keadaan intelektual seseorang. Keadaan status
mental akan memberi implikasi pada pemenuhan kebutuhan dasar individu. Seperti yang
diungkapkan oleh Cahya yang dikutip dari Baltes, salah satu yang dapat mempengaruhi
ketidakmandirian individu dalam memenuhi kebutuhannya adalah keterbatasan status mental.
Seperti halnya lansia yang memorinya mulai menurun atau mengalami gangguan, lansia yang
mengalami apraksia tentunya akan mengalami gangguan dalam pemenuhan kebutuhan–
kebutuhan dasarnya (Hardywinoto, 2007).
BAB III

METODA PENELITIAN

3. 1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian yang


digunakan adalah Pra – Experimental Design dengan cara pendekatan, One –Group Pretest –
Posttest design ciri penelitian ini adalah rancangan penelitian dimana terdapat suatu
kelompok di observasi sebelum dilakukan treatment/perlakuan, dan selanjutnya diberi
perlakuan dan di observasi setelah diberikan perlakuan. (Treatment adalah sebagai variabel
independen, dan hasil adalah sebagai variabel dependen (Sugiyono, 2011).

3.2 Populasi dan Sample

3.2.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian yang akan diteliti


(Notoatmodjo, 2002). Dalam penelitian ini spopulasi adalah seluruh pasien dengan
diagnosa STEMI pasca primary PCI yang dirawat di ruang ICVU dan IWM RS Jantung
dan Pembuluh Darah Harapan Kita.

3.2.1 Sample

Sample dalam penelitian diambil dengan teknik consecutive sampling yaitu


sample ditetapkan dari subjek yang memenuhi kriteria penelitian dalam kurun waktu
tertentu sehingga jumlah sample yang diperlukan terpenuhi. Sample akan dipilih
berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.

a. Kriteria Inklusi

1) Pasien dengan diagnosa STEMI pasca tindakan primary PCI

2) Bersedia menjadi responden

3) Pasien bisa diajak berkomunikasi

4) Pasien bisa membaca dan menulis


b. Kriteria Ekslusi

1) Hemodinamik pasien tidak stabil (TDS >200mmHg atau kurang dari 90mmHg)

2) Pasien demam dan mengigil S: 37,5C

3) Pasien Takikardi atau Bradikardia

4) Pasien mempunyai komplikasi aritmia, CHF fungsional class III-IV

5) Pasien dengan masalah muskuloskeltal

3.3. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di ruangan ICVCU RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan


Kita (RSJPDHK), dengan pertimbangan bahwa RSJPDHK merupakan rumah sakit rujukan
nasional untuk pasien dengan penyakit jantung. Pertimbangan yang lain adalah karena
berdasarkan pengalaman dan pengamatan peneliti penelitian sejenis belum pernah dilakukan
di rumah sakit tersebut.

3.4 Instrumen Penelitian

3.4.1 Data Karakteristik responden

Data karakteristik responden diperoleh dengan cara wawancara terhadap


pasien dan melihat data rekam medis pasien.

3.4.2 Data Skor Activity Daily of Living

Untuk mengukur tingkat kemandirian ADL diganakan instrument barthel


index . Barthel index adalah suatu alat ukur status fungsional dasar berupa kuesioner
yang berisi atas 10 butir pertanyaan dengan skor antara 0-100, Skor 100 = Mandiri, 91-
99 = Ketergantungan Ringan, 62-90 = Ketergantungan sedang, 21-61 = Ketergantungan
Berat, 0-20 = Total dibantu.
3.5 Teknik Pengumpulan Data

3.5.1 Tahap Persiapan

Pada tahap persiapan peneliti akan mengurus perizinan ke Rumah Sakit terkait
penelitian dan perizinan etik. Setelah mendapatkan izin peneliti akan melakukan
sosialisasi rencana penelitian kepada ruang ICVCU khususnya tim keperawatan untuk
menjelaskan tujuan , manfaat serta prosedur penelitian. Peneliti juga akan memilih
perawat yang akan dilibatkan sebagai asisten penelitian. Setelah itu dilakukan
penyamaan persepsi antara perawat dan peneliti terkait program rehabilitasi jantung
fase 1 dan teknik pengambilan data.

3.5.2 Pelaksanaan

1) Peneliti dan asisten penelitian akan memilih sample dengan teknik consecutive
sampling dan sesuai kriteria inklusi

2) Peneliti akan memberikan informasi terkain tujuan dan prosedur penelitian kepada
pasien dan keluarga jika setuju pasien atau keluarga akan menandatangani informed
consent

3) Peneliti dan asisten akan melakukan pengambilan data skor barthel index awal
sebelum dilakukan intervensi

4) Pasien akan dibimbing untuk latihan rehabilitasi jantung fase 1 sesuai pedoman
selama 3 hari, lalu diukur kembali skor barthel index dihari ke 4

3.6 Pengolahan dan Analisa Data

3.6.1 Pengolahan Data

Data yang sudah diperoleh selanjutnya dilakukan pengolahan dengan menggunakan


software komputer melalui langkah sebagai berikut
a) Edit Data : Data yang sudah dikumpulkan dikoreksi kelengkapan dan kejelasannya, jika
ditemukan kesalahan maka dilakukan konfirmasi untuk mendapat data sebenarnya.

b) Coding: Data diklasifikasikan berdasarkan kategori. Stiap kategori jawaban berbeda


diberikan kode berbeda untuk memudahkan pengolahan data.

c) Entry data: Memasukan data kedalam komputer dengan menggunakan program perangkat
statistik SPSS

d) Cleaning: Pengecekan data yang sudah dimasukkan untuk memastikan bahwa data telah
bersih dari kesalahan pengkodean atau salah dalam membaca kode.

3.6.2 Analisis Data

3.6.2.1 Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan karakteristik subjek penelitian


dengan menghitung distribusi frekuensi dan proporsi dari masing-masing variabel,
selanjutnya data ditampilkan dalam bentuk tabel dan narasi. Analisis univariat untuk
mengestimasi parameter populasi untuk data numerik (umur dan skor barthel index). Data
kategorik (jenis kelamin, pengalaman pernah dirawat dengan diagnosa yang sama, dan
kategori barthel index) penyajiannya menggunakan distribusi frekuensi dengan persentase
(proporsi).

3.6.2.2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dalam penelitian ini menggunakan t test. Uji t digunakan dengan
petimbangan bahwa standar deviasi populasi sulit didapatkan. Syarat uji perbedaan dua mean
dependen adalah distribusi normal, kedua kelompok variabel dependen, jenis variabel ada
dua kelompok (Hastono, 2008).
3.7 Etika Penelitian

Dalam melaksanakan kegiatan penelitian peneliti telah memegang teguh sikap ilmiah
dan menggunakan prinsip etika penelitian keperawatan. Peneliti meyakini bahwa responden
dilindungi dengan menperhatikan aspek self determination, privasi, anonymity, informed
consent, dan protection from discomfort (Polit &Hungler,2005)

a. Self determination Responden mempunyai kebebasan untuk memilih bersedia atau tidak
ikut dalam kegiatan penelitian dengan sukarela.

b. Privacy/confidentiality Peneliti menjaga kerahasiaan responden yang mencakup


kerahasiaan informasi yang hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.

c. Anonymity Dalam pelaksanaan penelitian tidak menggunakan nama responden, tetapi


diganti dengan pengkodean nomor responden.

d. Informed consent Untuk minta persetujuan menjadi responden, peneliti terlebih dahulu
memberikan penjelasan yang mencakup tujuan, manfaat latihan aktifitas, risiko dan
ketidaknyamanan dari intervensi, dan harapan peneliti terhadap responden. Setelah responden
memahami semua penjelasan yang diberikan, peneliti minta kesediaan responden yang setuju
untuk menanda tangani lembar persetujuan menjadi subyek penelitian.

e. Protection discomfort Peneliti menghormati prinsip bahwa responden bebas dari rasa
ketidaknyamanan. Peneliti menekankan jika responden merasa tidak aman dan tidak nyaman
selama intervensi latihan aktifitas seperti timbul gejala/masalah psikologis maka responden
diingatkan kembali untuk memilih berhenti sebagai responden atau terus melanjutkan dengan
disertai intervensi psikologis dari keperawatan. Apabila pasien mengalami respons fisiologis
selama latihan aktifitas seperti dada berdebar, nyeri dada, dan keluar keringat dingin maka
responden segera diistirahatkan dan kolaborasi dengan dokter untuk penangannya.
DAFTAR PUSTAKA

WHO. Media Centre: Cardiovascular disease. World Health Organization. 2017; 1-5.

Kementrian Kesehatan. Situasi Kesehatan Jantung. Kemenkes RI. 2014;109(1):5–10.

Adib, M. (2009).Cara Mudah Memahami dan Menghindari Hipertensi, Jantung, Dan Stroke,
Yogyakarta:Dian Loka.

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, edisi revisi VI, Jakarta:
PT.Rineka Cipta.

Ariawan, I. (1998). Besar Dan Metode Sampel Pade Penelitian Kesehatan, Jakarta:FKM-UI.

Budiarto, E. (2002).Biostatika Untuk Kedokteran Dan Kesehatan Masyarakat, Jakarta:EGC

Beswick, A.D., Rees, K., West, R.R., Taylor, F.C., Burke, M., Griebsch, I., Taylor, R.S.,
Victory, J. & Ebrahim, S. (2005). Improving Uptake And Adherence In Cardiac
Rehabilitation : Literature review, Journal Of Advanced Nursing 49 (5), 538-555,
diperoleh 14 April 2009.

Carpenito, L.J. (2000). Diagnosa Keperawatan, Jakarta: EGC.

Daly, et al. (2002). Barriers to Participation in and Adherence to Cardiac Rehabilitation


Programs: A Critical Literature Review ,
http://www.medscape.com/viewarticle/431270, diperoleh 29 Nopember 2019

Evans,J. (2007). Depression, anxiety take toll on cardiac rehab,


http://findarticles.com/p/articles/mi_hb4345/is_7_35/ai_n29365477/, diperoleh 22 Juni
2019

Grace, S.L. et al. (2005).Cardiac Rehabilitation Phase I: Review Of Psychosocial Factors,


http://www.cardiacrehablothian.scot.nhs.uk/docs, diperoleh 10 Desember 2019

Hoeman, S.P. (1996). Rehabilitation Nursing, Process And Application, Second Edition
Missouri : Mosby.

Ibanez B, James S, Agewall S, et al. (2017). 2017 ESC Guidelines for the Management of
Acute Myocardial Infarction in Patients Presenting With ST-Segment Elevation: The
Task Force for the Management of Acute Myocardial Infarction in Patients Presenting
With ST-Segment Elevation of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart
J  2017;Aug 26

Notoatmodjo, S. (2000). Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta.

Rokhaeni, H., Purnamasari, E. & Rahayoe, A.U. (2001). Buku Ajar Keperawatan
Kardiovaskuler, Jakarta: Bidang Diklat PK.Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.

Semeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2002). Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth,
edisi8, Volume 2, Jakarta : EGC.

Sudarsono, S. & Tjokronegoro, A. (2004). Metodelogi Penelitian Bidang Kedokteran,


Cetakan kelima, Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Ulfah, (2000). Gejala Awal Dan Deteksi Dini Penyakit Jantung Koroner,
http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=10&tbl=artikel. diperoleh 22 Juni
2020.

Anda mungkin juga menyukai