Anda di halaman 1dari 47

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Endometriosis merupakan suatu kondisi yang dicerminkan dengan

keberadaan dan pertumbuhan jaringan endometrium di luar uterus.


Jaringan endometrium itu bisa tumbuh di ovarium, tuba falopii, ligamen
pembentuk uterus, atau bisa juga tumbuh di apendiks, colon, ureter dan
pelvis.1 Endometriosis merupakan salah satu kelainan ginekologis yang
sering terjadi pada wanita usia reproduksi. Di negara-negara maju dan
berkembang

telah

banyak

penelitian

yang

dilakukan

terhadap

endometriosis, namun patogenesis dari endometriosis masih belum


diketahui secara pasti.2
Ada tiga dampak klinik endometriosis. Pertama , nyeri perut/pelvis,
baik nyeri haid, nyeri sanggama maupun nyeri spontan. Kedua adanya
benjolan, endometrioma yang mungkin memberikan dampak pendesakan
kearah jaringan sehat ovarium, ataupun kearah jaringan sekitar, ureter,
usus ataupun yang lain. Dampak klinik ketiga adalah infertilitas,
merupakan dampak klinik yang paling sering dijumpai. Dari populasi
wanita endometriosis didapatkan angka kejadian infertilitas sebesar 55 %
di Australia dan 43 % di UK.3 Endometriosis dijumpai 10-14% pada wanita
usia reproduksi dengan presentase gejala klinis dismenore 40-60% dan
terjadi 20-30% pada wanita subfertil.4
Endometriosis terjadi ketika salah satu jaringan normal dari lapisan
uterus, yaitu endometrium, tumbuh secara ektopik pada organ-organ
tubuh selain uterus. Jaringan ektopik endometrium dapat tumbuh di
hampir seluruh organ yang ada di tubuh manusia. Secara normal,
endometrium merupakan lapisan terdalam pada uterus selain peritoneum
dan miometrium. Lapisan endometrium berperan penting dalam proses
menstruasi dan proses berkembangnya uterus menuju uterus yang
matang dan siap menjadi tempat berkembangnya fetus pada masa
kehamilan. Jika jaringan endometrium tumbuh di luar uterus jaringan ini
akan menyebabkan iritasi dan inflamasi di organ dan rongga sekitar
1

tempat berkembangnya jaringan ektopik endometrium, pada akhirnya hal


tersebut akan menimbulkan gejala klinis sesuai dengan organ yang
menjadi tempat terjadinya endometriosis.5
Endometriosis memiliki gambaran bercak kecil, datar, gelembung
atau flek-flek yang tumbuh di permukaan organ-organ. 6 Lokasi tersering
dari endometriosis adalah daerah rongga pelvis, ovarium, ureter, septum
rektovaginal, tuba dan dalam jumlah yang cukup kecil dapat ditemukan
pada kandung kemih, perikardium, dan pleura. Pada beberapa kasus
yang ditemukan, gejala klinis yang paling banyak terjadi adalah nyeri
pelvis, dismenore, dispareuni, nyeri pelvis dan infertilitas. 7
Kista coklat endometriosis ini dapat menimbulkan masalah besar
dalam kesehatan dan terapi yang paling efektif belum didapatkan, karena
sedikit sekali informasi mengenai etiologi kista coklat itu sendiri. Dalam
laporan kasus ini akan dibahas mengenai pasien dengan endometriosis
khusus kista coklat. Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk membahas
mengenai gambaran lengkap tentang endometriosis, faktor resiko, cara
penegakan diagnosis, penatalaksanaan dan komplikasi yang dapat terjadi
pada pasien dalam laporan kasus ini. Dengan harapan laporan kasus ini
dapat menambah informasi dan wawasan mengenai kista coklat.
1.2 Tujuan
Tujuan pembahasan laporan kasus ini adalah :
1 Untuk mengetahui gambaran lengkap tentang endometriosis
2 Untuk mengetahui faktor resiko yang diduga berperan dalam
terjadinya kista coklat pada pasien dalam laporan kasus ini.
3 Untuk mengetahui bagaimana mendiagnosis kista coklat pada
pasien dalam laporan kasus ini.
4 Untuk mengetahui penatalaksanaan pada pasien dengan kista
coklat.
5 Untuk mengetahui prognosis pada pasien dengan kista coklat
1.3 Manfaat
Penulisan laporan

kasus

ini

diharapkan

dapat

meningkatkan

pengetahuan dan pemahaman dokter muda mengenai kista coklat dalam

hal pelaksanaan anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang, penegakan


diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi serta monitoring pada pasien
dengan kista coklat.

BAB 2
URAIAN KASUS
2.1 Identitas
Identitas Pasien
Register

: 1508060109

Nama

: Ny. M

Umur

: 34 th

Alamat

: Ds. Gandusari rt. 30/ rw. 10, Trenggalek

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Ibu rumah Tangga

Status

: Menikah 1x : 14 tahun

Agama

: Islam

Bangsa

: Indonesia

Identitas Pasangan
Nama

: Tn. H

Umur

: 54 th

Alamat

: Ds. Gandusari rt. 30/ rw. 10, Trenggalek

Pendidikan

: SMP

Pekerjaan

: Buruh

Agama

: Islam

Bangsa

: Indonesia

2.2 Subyektif

Ny. M/ 34 tahun/ menikah 1x, 14 th / Anak terakhir usia 13 tahun/


P1001 Ab000 / HPHT: 30 Juli 2015 / tidak memakai KB

Keluhan utama: benjolan di perut kurang lebih 3 bulan dan terasa


nyeri

Pasien rujukan dari RSUD dr. Soedomo Trenggalek dengan


diagnosis kista ovarii curiga keganasan

Pasien mengeluh benjolan di perut sejak 3 bulan yang lalu, makin


lama semakin membesar. Keluhan disertai nyeri.

5 Agustus 2015 pasien berobat ke RSUD Dr. Soedomo dan dicurigai


kista ovarii. Kemudian pasien dirujuk ke RSSA.

BAB dan BAK saat ini dalam batas normal, penurunan berat badan
disangkal, tidak didapatkan keluhan lain.

Menarche usia 12 tahun. Riwayat menstruasi 1 kali per bulan, lama


haid per siklus 5-6 hari dengan perdarahan sedang (3-4 pembalut
dalam sehari), nyeri haid (-), keputihan (-)

Riwayat kehamilan dan persalinan


NO.
1.

At/P/I
/Ab/E
At

BBLf

Cara lhr

Penolong

L/P

Umur

H/M

3500gr

spontan

Bidan

14th

Riwayat penyakit dahulu : hipertensi (-), penyakit jantung (-), DM (-),


penyakit ginjal (-)

Riwayat operasi sebelumnya : disangkal

Riwayat penyakit keluarga : ibunya mengalami pendarahan pada


usia 50 tahun. Sudah dirawat di rumah sakit tapi psien lupa
diagnosis pada ibunya. Ibu pasien meninggal 5 tahun yang lalu
karena penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan

Riwayat terapi : pasien belum pernah berobat sebelumnya.

2.3 Obyektif
2.3.1 Status Generalis
KU

: baik, CM, GCS 456

Vital Sign

: Tensi 110/70 mmHg


Nadi 80 kali/menit
RR 18 kali/menit
Tax 36.5o C

K/L

: anemis -/-, icterus -/-

Thoraks

: Cor: S1-S2 reguler, murmur (-)


Pulmo: Rhonki -/-, Wheezing -/-

Abdomen

: teraba massa kistik ukuran + 10x10cm, permukaan rata,


berbatas tegas, mobilitas terbatas, nyeri (-)

Ekstremitas : akral hangat, edema (-)


2.3.2 Status Genitalis
GE

: v/v fluor (-), flux (-)

Inspekulo

: v/v fluor (-), flux (-), OUE tertutup, licin, terdorong ke arah

kiri
VT

: v/v flux (-) minimal, fluor (-)


POMP tertutup, licin, terdorong ke arah kiri
CUAF dalam batas normal
Adnexa Parametrium D/S : massa kistic ukuran + 10x10
cm, permukaan rata, batas tegas, nyeri (-), mobilitas
terbatas
Cavum Douglas : tidak menonjol

2.4 Pemeriksaan Penunjang


- Laboratorium (tanggal 6 Agustus 2015)
Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Nilai rujukan

Hematologi
Hemoglobin

12,70

g/dL

11.4-15.1

Eritrosit

4,52

g/dL

4,0-5,0

Leukosit

8,83

4.700 -11.300

Hematokrit

37,40

38-42

Trombosit

412

103/L

142-424

Diff count

2,8/0,6/56,1/32,7/7,

MCV/MCH/MCHC

8
82,7/28,10/34,0
Faal hemostasis

PPT

10,70

Detik

11,5-11,8

APTT

31,20
Faal Hati

Detik

27,4-28,6

AST/SGOT

13

U/L

0-32

ALT/SGPT

11

U/L

0-33

4,62

g/dL

3,5 5,5

mg/dL

16.6-48.5/ <1.2

Albumin

Faal Ginjal
Ureum/Creatinin
Glukosa

22,50/0,74
Darah

Metabolisme Karbohidrat
100
mg/dL

<200

Sewaktu
Elektrolit Serum
Na/K/Cl

140/3,90/107

mmol/L

136-145/ 3,5-5/ 98-106

101,40

U/ml

<35

Penanda Tumor
Ca 125
-

Hasil USG Abdomen (tanggal 11 Juni 2015)

Tampak VU terisi cairan, tampak uterus ante fleksi & linier, tampak
massa dengan densitas ho,ogen, septa (-), kista (+), papil (-), asites
(-)

Hasil USG Ginekologi (tanggal 8nSeptember 2015)

Tampak lesi kistik berdinding tegas permukaan reguler, dengan


internal echo homogen didalamnya. Ukuran +11,9x10x6,9 cm pada
proyeksi adnexa kiri, disertai septa didalamnya yang dengan teknik
color doppler tampak vaskularisasi pada dinding septanya dengan
RI 0,6. Tidak tampak struktur ovarium kiri normal

Ovarium kanan : ukuran membesar +5x4,7

cm dengan korpus

luteum diameter +2 cm dan lesi kistik ukuran + 4,3x2,3 cm, dinding


reguler, disertai internal echo homogen tipis dengan teknik color
doppler tampak vaskularisasi pada dinding dengan RI 0,77
-

Tidak tampak echo cairan bebas intraperitoneum

Kesimpulan : massa kistik adnexa bilateral dengan skor B mode = 2


dan color doppler = 1

benign; sesuai gambaran Chocolate

cyst dextra & sinistra (domain sinistra)


2.5 Assessment
Cystoma ovarii suspect ganas
2.6 Planning Therapy

Konsultasi ke bagian kardiologi dan anastesi untuk persiapan


cysteretomy

2.7 Planning KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi)

Memberitahukan kepada pasien tentang penyakit yang diderita


pasien saat ini.

Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang rencana diagnosis dan


rencana terapi yang akan dilakukan pada pasien.

Menjelaskan tentang prognosa pasien.

BAB 3
PERMASALAHAN
3.1 Apa saja faktor resiko kista coklat pada pasien ini?
3.2 Bagaimana cara menegakkan kista cokelat pada pasien ini?
3.3 Bagaimana manajemen dan penatalaksanaan kista cokelat pada
pasien ini?
3.4 Bagaimana prognosis kista coklat pada pasien ini?

10

BAB 4
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN
4.1 Definisi
Endometriosis adalah suatu keadaan dimana jaringan endometrium
yang masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri. Jaringan ini terdiri atas
kelenjar-kelenjar dan stroma (Prawirohardjo, 2002). Kista endometriosis
adalah suatu jenis kista yang berasal dari jaringan endometrium. Ukuran
kista bisa bervariasi antara 0.4-4 inchi. Jika kista mengalami ruptur, isi dari
kista akan mengisi ovarium dan rongga pelvis (Lee, 2009).

Gambar 1. Kista Endometriosis pada Ovarium


(http://img.webmd.com/medscape/netbeacon.html)
4.2 Etiologi
Teori tentang terjadinya endometriosis adalah sebagai berikut:
1. Teori retrograde menstruasi
Teori pertama yaitu teori retrograde menstruasi, juga dikenal
sebagai teori implantasi jaringan endometrium yang viable (hidup)
dari Sampson. Teori ini didasari atas 3 asumsi:
1. Terdapat darah haid berbalik melewati tuba falopii
2. Sel-sel endometrium yang mengalami refluks tersebut
hidup dalam rongga peritoneum

11

3. Sel-sel endometrium yang mengalami refluks tersebut


dapat menempel ke peritoneumdengan melakukan invasi,
implantasi dan proliferasi. (Wellbery, 2015, Overton 2007)
Teori di atas berdasarkan penemuan:
1.

Penelitian terkini dengan memakai laparoskopi saat pasien


sedang haid, ditemukan darahhaid berbalik dalam cairan
peritoneum pada 75-90% wanita dengan tuba falopii paten.

2.

Sel-sel endometrium dari darah haid berbalik tersebut


diambil dari cairan peritoneum dandilakukan kultur sel
ternyata

ditemukan hidup dan

dapat melekat serta

menembus permukaan mesotelial dari peritoneum.


3.

Endometriosis lebih sering timbul pada wanita dengan


sumbatan kelainan mulerian daripada perempuan dengan
malformasi yang tidak menyumbat saluran keluar dari
darah haid.

4.

Insiden endometriosis meningkat pada wanita dengan


permulaan

menars,

siklus

haid

yang

pendek

atau

menoragia (Wellbery, 2015, Overton 2007).


2. Teori metaplasia soelomik
Teori ini pertama kali diperkenalkan pada abad ke-20 oleh
Meyer. Teori ini menyatakan bahwa endometriosis berasal dari
perubahan metaplasia spontan dalam sel-sel mesotelial yang
berasal dari epitel soelom (terletak dalam peritoneum dan pleura).
Perubahan metaplasia inidirangsang sebelumnya oleh beberapa
faktor seperti infeksi, hormonal dan rangsangan induksilainnya.
Teori ini dapat menerangkan endometriosis yang ditemukan pada
laki-laki, sebelum pubertas dan gadis remaja, pada wanita yang
tidak pernah menstruasi, serta yang terdapat ditempat yang tidak
biasanya seperti di pelvik, rongga toraks, saluran kencing dan
saluran pencernaan, kanalis inguinalis, umbilikus, dimana faktor
lain juga berperan seperti transpor vaskular dan limfatik dari sel
endometrium. (Wellbery, 2015, Overton 2007)

12

3. Teori transplantasi langsung


Transplantasi

langsung

jaringan

endometrium

pada

saat

tindakan yang kurang hati-hatiseperti saat seksio sesaria, operasi


bedah

lain,

atau

perbaikan

episiotomi,

dapat

mengakibatkantimbulnya jaringan endometriosis pada bekas parut


operasi dan pada perineum bekas perbaikan episiotomi tersebut
(Lee, 2009).
4. Teori genetik dan imun
Semua teori diatas tidak dapat menjawab kenapa tidak semua
wanita yang mengalami haid menderita endometriosis, kenapa
pada wanita tertentu penyakitnya berat, wanita lain tidak, dan juga
tidak dapat menerangkan beberapa tampilan dari lesi. Penelitian
tentang genetik danfungsi imun wanita dengan endometriosis dan
lingkungannya dapat menjawab pertanyaan di atas (Wellbery, 2015,
Overton 2007).
Endometriosis 6-7 kali lebih sering ditemukan pada hubungan
keluarga ibu dan anak dibandingkan populasi umum, karena
endometriosis mempunyai suatu dasar genetik. Matriks Metalo
Proteinase (MMP) merupakan enzim yang menghancurkan matriks
ekstraseluler dan membantu lepasnya endometrium normal dan
pertumbuhan endometrium baru yang dirangsang oleh estrogen.
Tampilan MMP meningkat pada awal siklus haid dan biasanya
ditekan oleh progesteron selama fase sekresi. Tampilan abnormal
dari MMP dikaitkan dengan penyakit- penyakit invasif dan
destruktif. Pada wanita yang menderita endometriosis, MMP yang
disekresi oleh endometri-um luar biasa resisten (kebal) terhadap
penekanan progesteron. Tampilan MMP yang menetap di dalam
sel-sel endometrium yang terkelupas dapat mengakibatkan suatu
potensi invasif terhadap endometrium yang berbalik arah sehingga
menyebabkan invasi dari permukaan peritoneum dan selanjutnya
terjadi proliferasi sel (Wellbery, 2015, Overton 2007).

13

Pada penderita endometriosis terdapat gangguan respon imun


yang menyebabkan pembuangan debris pada darah haid yang
membalik tidak efektif. Makrofag merupakan bahan kunci untuk
respon imun alami, bagian sistem imun yang tidak antigen-spesifik
dan

tidak

mencakup

memori

imunologik.

Makrofag

mempertahankan tuan rumah melalui pengenalan, fagositosis, dan


penghancuran mikroorganisme yang jahat dan juga bertindak
sebagai pemakan, membantu untuk membersihkan sel apoptosis
dan sel-sel debris. Makrofag mensekresi berbagai macam sitokin,
faktor pertumbuhan, enzim dan prostaglandin dan membantu
fungsi-fungsi faktor di atas, di samping merangsang pertumbuhan
dan proliferasi tipe sel yang lain. Makrofag terdapat dalam cairan
peritoneum normal dan jumlah serta aktifitasnya meningkat pada
wanita dengan endometriosis. Pada penderita endometriosis,
makrofag yang terdapat di peritoneum dan monosit yang beredar
teraktivasi sehingga penyakitnya berkembang melalui sekresi faktor
pertumbuhandan

sitokin

yang

merangsang

proliferasi

dari

endometrium ektopik dan menghambat fungsi pemakannya.


Natural killer juga merupakan komponen lain yang penting dalam
proses terjadinya endometriosis, aktifitas sitotoksik menurun dan
lebih jelas terlihat pada wanita dengan stadium endometriosis yang
lanjut (Wellbery, 2015, Overton 2007).
5. Faktor endokrin
Perkembangan dan pertumbuhan endometriosis tergantung
kepada estrogen (estrogen-dependent disorder). Penyimpangan
sintesa dan metabolisme estrogen telah diimplikasikan daam
patogenesa endometriosis. Aromatase, suatu enzim yang merubah
androgen, androstenedion dantestosteron menjadi estron dan
estradiol. Aromatase ini ditemukan dalam banyak sel manusia
seperti sel granulosa ovarium, sinsisiotrofoblas di plasenta, sel

14

lemak dan fibroblas kulit (Wellbery, 2015, Overton 2007). Lihat


gambar 2.

Gambar 2. Biosintesa estrogen wanita usia reproduksi


Kista endometriosis dan susukan endometriosis diluar
ovarium menampilkan kadar aromatase yang tinggi sehingga
dihasilkan estrogen yang tinggi pula. Dengan kata lain, wanita
dengan endometriosis mempunyai kelainan genetik dan membantu
perkembangan produksi estrogen endometrium lokal. Di samping
itu, estrogen juga dapat merangsang aktifitas siklooksigenase tipe2 lokal (COX-2) yang membuat prostaglandin (PG)E2, suatu
perangsang poten terhadap aromatase dalam sel stroma yang
berasal

dari

endometriosis,

sehingga

produksi

estrogen

berlangsung terus secara local (Wellbery, 2015, Overton 2007).


Lihat gambar 3.

15

Gambar 3. Sintesis estrogen pada susukan endometriosis


Estron

dan

estradiol

saling

dirubah

oleh

kerja

17-

hidroksisteroid dehydrogenase (17HSD), yang terdiri dari 2 tipe: tipe1 merubah estron menjadi estradiol (bentuk estrogen yang lebih poten)
dan tipe-2 merubah estradiol menjadi estron. Dalam endometrium
eutopik normal, progesteron merangsang aktifitas tipe-2 dalam kelenjar
epitelium, enzim tipe-2 inisangat banyak ditemukan pada kelenjar
endometrium fase sekresi. Dalam jaringan endometriotik, tipe-1
ditemukan secara normal, tetapi tipe-2 secara bersamaan tidak
ditemukan. Progesteron tidak merangsang aktiftas tipe-2 dalam
susukan endometriotik karena tampilan reseptor progesteron juga
abnormal. Reseptor progesteron terdiri dari 2 tipe: PR-A dan PR-B,
keduanya ini ditemukan pada endometrium eutopik normal, sedangkan
pada jaringan endometriotik hanya PR-A saja yang ditemukan
(Wellbery, 2015, Overton 2007).
4.3 Klasifikasi
Endometriosis dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori berdasarkan
lokasi dan tipe lesi, yaitu (Sud, 2009):
1. Peritoneal endometriosis
Pada awalnya lesi di peritoneum akan banyak tumbuh vaskularisasi
sehinggamenimbulkan perdarahan saat menstruasi. Lesi yang aktif akan
menyebabkan timbulnya perdarahan kronik rekuren dan reaksi inflamasi
sehingga tumbuh jaringan fibrosis dan sembuh.Lesi berwarna merah
16

dapat berubah menjadi lesi hitam tipikal dan setelah itu lesi akan
berubahmenjadi lesi putih yang miskin vaskularisasi dan ditemukan debris
glandular.
2. Ovarian Endometrial Cysts (Endometrioma)
Ovarian endometrioma diduga terbentuk akibat invaginasi dari korteks
ovarium setelah penimbunan debris menstruasi dari perdarahan jaringan
endometriosis. Kista endometrium bisa besar (>3cm) dan multilokus, dan
bisa tampak seperti kista coklat karena penimbunan darah dandebris ke
dalam rongga kista.
3. Deep Nodular Endometriosis
Pada endometriosis jenis ini, jaringan ektopik menginfiltrasi septum
rektovaginal atau struktur fibromuskuler pelvis seperti uterosakral dan
ligamentum utero-ovarium. Nodul-nodul dibentuk oleh hiperplasia otot
polos dan jaringan fibrosis di sekitar jaringan yang menginfiltrasi. Jaringan
endometriosis akan tertutup sebagai nodul, dan tidak ada perdarahan
secara klinis yang berhubungan dengan endomeriosis nodular dalam.
Ada

banyak

klasifikasi

stadium

yang

digunakan

untuk

mengelompokkan endometriosisdari ringan hingga berat, dan yang paling


sering digunakan adalah sistem American FertilitySociety (AFS) yang
telah direvisi (Tabel 1). Klasifikasi ini menjelaskan tentang lokasi dan
kedalaman penyakit berikut jenis dan perluasan adhesi yang dibuat dalam
sistem skor. Berikutadalah skor yang digunakan untuk mengklasifikasikan
stadium (Kandeel, 2008):
- Skor 1-5: Stadium I (penyakit minimal)
- Skor 6-15: Stadium II (penyakit sedang)
- Skor 16-40: Stadium III (penyakit berat)
- Skor >40: Stadium IV (penyakit sangat berat)

17

Tabel 1. Derajat endometriosis berdasarkan skoring dari Revisi AFS


(American Fertility Society, 2007)

Namun, secara garis besar endometriosis dibagi menjadi empat


tingkatan berdasarkan beratnya penyakit. Klasifikasi ini tergantung pada
lokasi,

penyebaran,

dalamnya

implantasi,

adanya

adhesi,

tingkat

keparahan adhesi, serta ada atau tidaknya maupun ukuran dari


endometrioma ovarium (gambar 2). Sebagian besar wanita mengalami
endometriosis stadium I dan II yang ditandai dengan implantasi yang
masih superfisial dan adhesi ringan. Stadium III dan IV ditandai dengan
adanya kista coklat serta adhesi yang lebih parah. Stadium dari
endometriosis tidak berkorelasi dengan ada tidaknya maupun keparahan
gejala klinis dari endometriosis. Pada stadium IV sangat sering terjadi
infertilitas.

18

Gambar 4. Skema klasifikasi staging endometriosis (American Fertility


Society, 2007)

19

Gambar 5. Adhesi akibat endometriosis


4.4 Histogenesis
Sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti dari terjadinya
endometriosis, namun sudah ada beberapa teori yang berusaha
menjelaskan proses histogenesis dari endometriosis. Ketiga teori tersebut
antara lain:
1 Teori Sampson
Teori histogenesis ini adalah salah satu teori yang paling
banyak diyakini sebagai penyebab terjadinya endometriosis.
Menurut teori ini, endometriosis terjadi karena adanya proses
regurgitasi darah haid melalui tuba kedalam rongga pelvis.
Penelitian menunjukkan bahwa didalam darah haid terdapat selsel endometrium yang masih hidup. Sel-sel yang masih hidup
inilah yang kemudian mengalami implantasi pada rongga pelvis.
Selain itu teori ini didukung juga dengan data bahwa pada wanita
dengan polimenore dan pada wanita yang mengalami stenosis
serviks

sehingga darah haidnya tidak dapat keluar, angka

kejadian endometriosis lebih tinggi. Namun teori ini tidak dapat


menjelaskan bagaimana endometriosis dapat terjadi pada
jaringan lain di luar pelvis seperti di paru, umbilikus, atau di
tempat lain.
2 Teori Robert Meyer
Teori dari Robert Meyer menyatakan bahwa endometriosis
terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel berasal dari selom

20

yang dapat mempertahankan hidupnya di daerah pelvis.


Rangsangan ini akan menyebabkan metaplasia dari sel-sel itu
sehingga terbentuk jaringan endometrium. Teori metaplasia
selom menunjukkan bahwa peritoneum parietalis adalah jaringan
pluripoten yang dapat mengalami transformasi metaplasia
menjadi jaringan yang mirip dengan endometrium normal
sehingga secara histologis sulit dibedakan. Karena ovarium dan
sel progenitor endometrium, saluran mullerian berasal dari epitel
selom,

maka

teori

ini

dapat

menjelaskan

dengan

baik

perkembangan endometriosis ovarium. Selain itu, teori ini juga


telah diperluas sampai mencakup peritoneum karena potensi
proliferasi dan diferensiasi dari mesotelium peritoneal. Teori ini
menarik pada kasus endometriosis tanpa adanya menstruasi,
seperti pada wanita premenarche dan menopause, dan pada
laki-laki dengan karsinoma prostat diterapi dengan estrogen dan
orchiektomi. Namun, tidak adanya endometriosis pada jaringan
lain yang berasal dari epitel selom menentang teori ini.
3 Teori Dmowski
Menurut teori ini faktor genetik dan imunologis sangat
berperan

terhadap

timbulnya

endometriosis.

Ditemukan

penurunan imunitas selular pada wanita yang mengalami


endometriosis. Pada cairan peritoneumnya ditemukan aktivitas
makrofag yang meningkat, aktivitas NK cell yang menurun, dan
penurunan aktivitas sel-sel limfosit. Makrofag disini akan
mengaktifkan
penurunan

jaringan
imunitas

endometriosis
tubuh

maka

dan
akan

karena

terjadi

menyebabkan

pertumbuhan sel-sel endometriosis tanpa hambatan. Regurgitasi


darah haid juga memegang peranan dalam proses ini. Makin
banyak regurgitasi haid, makin banyak juga sistem kekebalan
tubuh yang terpakai. Pada wanita dengan darah haid sedikit
dan/atau pada wanita yang jarang haid, sangat jarang ditemukan
endometriosis.
21

Selain beberapa teori diatas, terbuka juga pendapat bahwa


endometriosis bisa terjadi akibat penyebaran secara hematogen maupun
limfatik dan juga dengan implantasi langsung dari endometrium pada saat
operasi.

4.5 Gambaran Patologi


Gambaran mikroskopik dari endometrium sangat variabel. Lokasi yang
sering terdapat adalah pada ovarium dan biasanya bilateral. Pada ovarium
tampak kista-kista biru kecil sampai besar berisi darah tua menyerupai
coklat. Darah tua dapat keluar sedikit-sedikit karena luka pada dinding
kista dan dapat menyebabkan perlekatan antara permukaan ovarium
dengan uterus, sigmoid dan dinding pelvis. Kista coklat kadang-kadang
dapat mengalir dalam jumlah banyak kedalam rongga peritoneum karena
robekan dinding kista dan menyebabkan akut abdomen. Tuba pada
endometriosis biasanya normal (Prawirohardjo, 2010).
Sedangkan pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan ciri-ciri khas
bagi endometriosis yakni kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium dan
perdarahan bekas dan baru berupa eritrosit, pigmen hemosiderin dan selsel makrofag berisi hemosiderin. Di sekitarnya tampak sel-sel radang dan
jaringan ikat sebagai reaksi dari jaringan normal di sekelilingnya. Jaringan
endometriosis seperti juga jaringan endometrium di dalam uterus dapat
dipengaruhi oleh estrogen dan progesteron. Sebagai akibat dari pengaruh
hormon-hormon tersebut, sebagian besar sarang endometriosis berdarah
secara periodik yang menyebabkan reaksi jaringan sekelilingnya berupa
radang dan perlekatan (Prawirohardjo, 2010).
Pada

kehamilan

dapat

ditemukan

reaksi

desidual

jaringan

endometriosis. Apabila kehamilannya berakhir, reaksi desidual menghilang


disertai dengan regresi sarang endometriosis. Pengaruh baik dari
kehamilan kini menjadi dasar pengobatan endometriosis dengan hormone
untuk

mengadakan

apa

yang

dinamakan

kehamilan

semu

(pseudopregnancy) (Prawirohardjo, 2010),

22

4.6 Gejala Klinis


Biasanya keluhan yang dikeluhan oleh pasien berupa nyeri pelvis
kronis, terutama sebelum dan sesudah periode menstruasi. Nyeri juga
dirasakan saat melakukan hubungan seksual. Jika endrometriosis
menyebar pada bagian pencernaan, maka nyeri akan terjadi saat usus
bergerak. Jika endometriosis mengenai vesica urinaria maka nyeri akan
dirasakan saat berkemih. Perdarahan yang berlebihan saat menstruasi
juga bisa menjadi gejala dari endometriosis. Tetapi, banyak wanita dengan
endometriosis tidak merasakan gejala apapun.
1 Nyeri Menstruasi
Banyak wanita mengeluhkan adanya nyeri saat menstruasi,
yang umumnya adalah normal. Ketika nyeri semakin diraskan
semakin memberat maka akan disebu dismenorrhea dan mungkin
bisa menjadi gejala endometriosis atau kelainan pelvis lainnya
seperti fibrosis uterus atau adenomiosis. Nyeri yang hebar dapat
menyebabkan mual, muntah, dan diare. Dismenorrhea primer
dapat terjadi pada beberapa tahun awal periode menstruasi,
cenderung bertambah seiring bertambahnya usia atau pada usia
reproduktif,

dan

biasannya

tidak

berhubungan

dengan

endometriosis. Dismenorrhea sekunder terjadi saat usia tua dan


dapat meningkat seiring bertambahnya usia, meskipun beberapa
wanita dengan endometriosis tidak mengeluh adanya nyeri sama
sekali.
2 Nyeri Coitus
Endometriosis dapat menyebabkan nyeri saat berhubungan
seksual, yang dikenal sebagai dispareunia. Penetrasi penis yang
dalam dapat memicu nyeri karena tergoyangnya ovarium oleh
bekas luka jaringan (scar) yag berada pada bagian atas pada
vagina. Nyeri mungkin dapat disebabkan oleh goncangan pada
nodul dari endometriosis dibelakang uterus atau pada ligamen
uterosakral, yang menghubungkan serviks dan sacrum.
23

3 Infertilitas
Banyak penelitian yang menunjukkan keterkaitan antara
endometriosis dan infertilitas. Endometriosis dapat ditemukan pada
50% wanita yang infertil. Pasien infertil dengan endometriosis
ringan yang tidak ditangani memiliki kesempatan untuk hamil
sekitar 2% sampai 4.5% setiap bulan, dibandingkan pasangan
normal sekita 15% sampai 20% perbulan. Pasien infertil dengan
endometriosis sedang hingga berat mempunyai kesempatan hamil
kurang dari 2% tiap bulan. Meskipun endometriosis sangat
berhubungan dengan infertilitas, tetapi tidak semua wanita dengan
endometriosis mengalami infertilitas. Sebagai contohnya, beberapa
wanita yang menjalani prosedur steril tuba bisa juga mempunyai
endometriosis.
Diduga adanya hubungan penyebab dan efek antara
endometriosis dan penurunan kesuburan tetapi hal ini masih belum
bisa dibuktikan. Belum diketahui bagaimana endometriosis yang
inimal dan ringan dapat mengurangi fertilitas ketika tidak terjadi
perlekatan. Diduga endometriosis mengubah lingkungan pelvis
dalam jumlah minimal tetapi pada jalur yang penting. Teori ini
termasuk inflamasi, sistem imunitas, merubah hormon, fungsi
abnormal dari tuba falopi, atau mengganggu fertilisasi dan
implantasi. Lebih mudah mengerti bagaimana endometriosis
sedang dan berat dapat mengganggu fertilitas, ketika perlekatan
pada bagian mayor dari pelvis, ketika tampak perlekatan, maka
akan mengganggu pelepasan ovum, menghalangi sperma untuk
memasuki tuba falopi, dan mencegah kemampuan tuba falopi untuk
menangkap telur saat ovulasi.

4.7 Diagnosis
Diagnosis dari endometriosis dapat dievaluasi dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang lain. Endometriosis
24

dapat dipertimbangkan diawal sebagai diagnosis banding dari nyeri pelvis


di wanita muda untuk dapat mecegah kemunduran perkembangan, yang
sering terjadi pada 7-12 tahun, saat terjadi gejala dari diagnosis pasti.

Anamnesis
Tanda dan gejala dari endometriosis sangat bervariasi dan
mungkin berhubungan dengan kondisi dan proses patologi lain.
Evaluasi penuh dan penilaian terhadap nyeri pada pasien
dibutuhkan untuk diagnosis dan tatalaksana.
Nyeri yang berkaitan dengan endometriosis adalah sebagai berikut:
1 Nyeri menstruasi (dysmenorrhea)
2 Nyeri coitus (dyspareunia)
3 Nyeri miksi (dysuria)
4 Nyeri defekasi (dyschezia)
5 Tidak nyaman pada bagian punggung belakang atau
bagian perut
6 Nyeri pelvis yang kronis (nyeri abdomen dan nyeri
abdomen selama paling tidak 6 bulan)
Meskipun endometriosis dapatditunjukkan dengan gejala
diatas, beberapa wanita dengan endometriosis datang dengan
gejala yang asimtomatik, lesi mungkin secara tidak sengaja
ditemukan saat operasi. Dan juga, gejala mungkin tidak muncul
sesegera setelah menstruasi tetapi gejala berkembang nanti.
Dengan semua pasien yang mengalami keluhan utama nyeri
dan riwayat ginekologi seharusnya dilakukan penyingkiran semua
penyebab lain nyeri. Pada anamnesis juga dapat memberikan
pertanyaan kesehatan reproduksi lain (usia saat menstruasi
pertama, siklus menstruasi dan keteraturan siklus, kehamilan
sebelumnya, dan kontrasepsi oral atau kontrasepsi hormonal yang
digunakan).

Kontribusi

riwayat

pengobatan

dan

riwayat
25

pembedahan, seperti juga riwayat keluarga dengan endometriosis


atau kanker ginekologi, harus juga dilihat.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik penting untung memutuskan diagnosis
dan tatalaksana. Pemeriksan fisik menentukan posisi, ukuran, dan
mobilitas uterus. Nodul yang tidak bergerak, uterus yang ke arah
belakang mungkin adalah penyakit yang ganas. Pemeriksaan
retrovaginal mungkin diperlukan dan dapat meraba ligamen
uterosakral serta septum retrovaginal, yang menunjukkan adanya
nodul yang meradang untuk menunjukkan adanya infiltrasi
endometriosis.

Pemeriksaan

yang

dilakukan

saat

periode

menstruasi dapat meningkatkan kesempatan untuk mendeteksi


nodul yang berinfiltrasi dalam serta mengevaluasi nyeri.

Pemeriksaan Penunjang Lain


Ultrasonografi merupakan pemeriksaan penunjang pertama
untuk kasus yang dicurigai endometriosis. Juga bisa dipakai untuk
mendeteksi kista ovarium dan kelainan pelvis yang lain seperti
fibrosis uterus. Pemeriksaan darah dan pemeriksaan radiologi lain
dapat sedikit mendukung diagnosis pada kasus ini. Meskipun leveel
serum pada antigen kanker 125 (CA-125) mungkin dapat
meningkat pada endometriosis sedang dan berat, determinasi ini
tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin. Tetapi, beberapa
massa pelvis yang tidak terdiagnosa, menurut panduan SOGC
terdapat peningkatan, dimana level CA-125 merupakan komponen
dari resiko indeks keganasan.
Ketika endometriosis diperkirakan dapan menginvasi lebih
jauh (contohnya, invasi

pada usus atau

kandung

kemih),

pemeriksaan lain seperti colonoscopy, cystoscopy, ultrasonografi


rectal, dan MRI mungkin diperlukan.

26

Standar baku untuk diagnosis adalah dengan melihat


langsung saat laparoskopi dan histologi. Keparahan penyakit
sangat baik dideskripsikan dengan bentuk dan lokasi dari lesi
endometriosis dan oran lain yang terlibat. American Society for
Reproductive Medicine telah mengembangkan klasifikasi untuk
menunjukkan

stadium

dari

endomettriosis

saat

laparoskopi.

Klasifikasi ini terbatas pada tatalaksana klinis sejak stadium


penyakit tidak berhubungan dengan gejala pasien.
Diagnosis laparoskopi tidak dibutuhkan sebelum tatalaksana
pada semua pasien yang mengalami nyeri pelvis. Meskipun
laparoskopi menggunakan prosedur invasif yang minimalis, tetapi
masih

membawa

resiko

oprasi,

termasuk

perforasi

sistem

pencernaan dan kandung kemih, serta luka pada vaskuler.


4.8 Penatalaksanaan
Endometriosis bisa diterapi dengan medikamentosa dan/ atau
pembedahan. Pengobatan endometriosis juga bertujuan untuk
menghilangkan nyeri dan/ atau memperbaiki fertilitas (Wellbery, 2015,
Kapoor, 2009, Stoppler, 2009).

Endometriosis dan subfertilitas


Adhesi peritubal and periovarian dapat menginterferensi
dengan transportasiovum secara mekanik dan berperan
dalam menyebabkan subfertilitas. Endometriosis peritoneal
telah

terbukti

berperan

dalam

menyebabkan

subfertilitas dengan cara berinterferensi dengan motilitas


tuba, follikulogenesis, dan fungsikorpus luteum. Aromatase
dipercaya dapat meningkatkan kadar prostaglandin Emelalui
peningkatan ekspresi COX-2. Endometriosis juga dapat
menyebabkan subfertilitas melalui peningkatan jumlah sperma
yang terikat ke epitel ampulla sehingga mempengaruhi
interaksi sperm-endosal pingeal.

27

Pemberian medikamentosa pada endometriosis minimal atau


sedang

tidak

terbukti

meningkatkan

angka

kehamilan.

Endometriosis sedang sampai berat harus dioperasi.


Pilihan lainnya untuk mendapatkan kehamilan ialah inseminasi
intrauterin, superovulasi, dan fertilisasi invitro. Pada suatu
penelitian case-contol , rata-rata kehamilan dengan injeksi
sperma intrasitoplasmik tidak dipengaruih oleh kehadiran
endometriosis. Lebih jauh, analisi lainnya menunjukkan
peningkatan kejadian kehamilan akibat fertilisasi in vitro
dengan preterapi endometriosis tingkat 3 dan 4 dengan agonis
gonadotropin-releasing hormone (GnRH).

Terapi interval
Beberapa peneliti mempercayai bahwa endometriosis dapat
ditekan dengan pemberian profilaksis berupa kontrasepsi oral
kombinasi

berkesinambungan,

analog

GnRH,

medroksiprogesteron, atau danazol sebagai upaya untuk


meregresi penyakit yangasimtomastik dan mengatasi fertilitas
subsekuen.
Ablasi melalui pembedahan untuk endometriosis simptomatik
juga dapat meningkatkan kesuburan dalam 3 tahun setelah
follow-up.

Tidak ada hubungan antara endometriosis dengan abortus rekuren


dan tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa terapi
medikamentosa atau pembedahan dapat mengurangi angka
kejadian abortus.

Terapi medis: pil kontrasepsi oral kombinasi, danazol, agen


progestational, dan analog GnRH. Semua obat ini memiliki efek
yang sama dalam mengurangi nyeri dan durasinya.
Pil kontrasepsioral kombinasi berperan dalam supresi ovarium
dan memperpanjang efek progestin.
Semua agen progesteron berperan dalam desidualisasi dan
atrofi endometrium.
28

Medroksiprogesteron asetat berperan dalam mengurangi


nyeri

Megestrol asetat juga memiliki efek yang sama

Levonorgestrel intrauterine system (LNG-IUS) berguna


dalam mengurangi nyeri akibat endometriosis.

Analog GnRH berguna untuk menurunkan gejala nyeri, namun


tidak berefek dalam meningkatkan angka fertilitas. Terapi
dengan GnRH menurunkan gejalanyeri pada 85-100% wanita
dengan endometriosis.
Danazol

berperan

untuk

menghambat

siklus

follicle-

stimulating hormone (FSH) and luteinizing hormone (LH) dan


mencegah steroidogenesis di korpus luteum.

Terapi Bedah
Terapi bedah bisa diklasifikasikan menjadi terapi bedah konservatif
(jika fungsi reproduksi berusaha dipertahankan), semikonservatif
(jika kemampuan reproduksi dikurangi tetapi fungsi ovarium masih
ada), dan radikal (jika uterus dan ovarium diangkat secara
keseluruhan). Usia, keinginan untuk memperoleh anak lagi,
perubahan

kualitas

hidup,

adalah

hal-hal

yang

menjadi

pertimbangan ketika memutuskan suatu jenis tindakan operasi.


(Wellbery, 2015, Kapoor, 2009, Stoppler, 2009)
Pembedahan konservatif
Tujuannya adalah merusak jaringan endometriosis dan
melepaskan perlengketan perituba dan periovarian yang
menjadi sebab timbulnya gejala nyeri dan mengganggu
transportasi ovum.
o Pendekatan laparoskopi adalah metode pilihan untuk
mengobati endometriosis secara konservatif. Ablasi bisa
dilakukan dengan laser atau elektrodiatermi. Secara
keseluruhan, angka rekurensi adalah 19%. Pembedahan
ablasi laparoskopi dengan diatermi bipolar atau laser
efktif dalam menghilangkan gejala nyeri pada 87%. Kista
29

endometriosis dapat diterapi dengan drainase atau


kistektomi. Kistektomi laparoskopi mengobati keluhan
nyeri lebih baik daripada tindakan drainase. Terapi medis
dengan agonis

GnRH mengurangi ukuran kista tetapi

tidak berhubungan dengan hilangnya gejala nyeri.

Gambar 6. Laparoskopi Organ Reproduksi Interna


(American Fertility Society, 2007)
o Flushing tuba

dengan

media

larut

minyak

dapat

meningkatkan angka kehamilan pada kasus infertilitas


yang berhubungan dengan endometriosis.
o Untuk

dismenorhea

neurektomi
transeksi

presakral.
adalah

yang

hebat

Bundelsaraf

pada

vertebra

dapat

dilakukan

yang

dilakukan

sakral

III,

dan

bagiandistalnya diligasi
o Laparoscopic Uterine Nerve Ablation (LUNA) berguna
untuk mengurangi gejala dispareunia dan nyeri punggung
bawah.
o Untuk pasien dengan endometriosis sedang, pengobatan
hormonal

adjuvant

postoperative

efektif

untuk

mengurangi nyeri tetapi tidak ada berefek pada fertilitas.


Analog

GnRH,

danazol,

dan

medroksiprogesteron

berguna untuk hal ini.


Pembedahan semikonservatif

30

o Indikasi pembedahan jenis ini adalah wanita yang telah


melahirkan anak dengan lengkap, dan terlalu muda untuk
menjalani pembedahan radikal, dan merasa terganggu
oleh gejala-gejala endometriosis. Pembedahan yang
dimaksud adalah histerektomi dan sitoreduksi dari
jaringan endometriosis pelvis. Kista endometriosis bisa
diangkat karena sepersepuluh dari jaringan ovarium yang
berfungsi diperlukan untuk memproduksi hormon. Pasien
yang

dilakukan

histerektomi

dengan

tetap

mempertahankan ovarium memiliki risiko enam kalilipat


lebih besar untuk mengalami rekurensi dibandingkan
dengan

wanita

yang

dilakukan

histerektomi

dan

ooforektomi.
o Terapi medis pada wanita yang telah memiliki cukup anak
yang juga memiliki efek dalam mereduksi gejala.
Pembedahan radikal
o Histerektomi total dengan ooforektomi bilateral dan
sitoreduksi dari endometrium yang terlihat. Adhesiolisis
ditujukan

untuk

memungkinkan

mobilitas

dan

menormalkan kembali hubungan antara organ-organ di


dalam rongga pelvis.
o Obstruksi ureter memerlukan tindakan bedah untuk
mengeksisi begian yang mengalami kerusakan. Pada
endometriosis dengan obstruksi usus dilakukan reseksi
anastomosis jika obstruksi berada di rektosigmoid
anterior.

31

Gambar 7. Algoritma Penatalaksanaan Endometriosis


4.9 Diagnosis Banding
Adenomiosis uteri, radang pelvik, dengan tumor adneksa dapat
menimbulkan kesukaran dalam diagnosis. Pada kelainan di luar
endometriosis jarang terdapat perubahan- perubahan berupa benjolan
kecil di kavum Douglasi dan ligamentum sakrouterina. Kombinasi
adenomiosis uteri atau mioma uteri dengan endometriosis dapat pula
ditemukan. Endometriosis ovarii dapat menimbulkan kesukaran
diagnosis dengan kista ovarium. Sedangkan endometriosis yang
berasal

dari

rektosigmoid

perlu

dibedakan

dari

karsinoma

(Prawirohardjo, 2010).
4.10 Prognosis
Endometriosis dapat mengalami rekurensi kecuali telah dilakukan
dengan histerektomi dan ooforektomi bilateral. Angka kejadian
rekurensi endometriosis setelah dilakukan terapi pembedahan adalah
20% dalam waktu 5 tahun. Ablasi komplit dari endometriosis efektif

32

dalam menurunkan gejala nyeri sebanyak 90% kasus. Beberapa ahli


mengatakan

eksisi

lesi

adalah metode yang baik untuk menurunkan angka kejadian rekurensi


dari gejala-gejala endometriosis.
Pada kasus infertilitas, keberhasilan tindakan bedah berhubungan
dengan tingkat berat atau ringannya penyakit. Pasien dengan
endometriasis sedang memiliki peluang untuk hamil sebanyak 60%,
sedangkan

pada

kasus-kasus

endometriosis

yang

berat

keberhasilannya hanya 35%.


4.10

PEMBAHASAN

A. Faktor Resiko Kista Coklat pada Kasus


Endometriosis uteri adalah suatu keadaan di mana
jaringan endometrium yang masih berfungsi terdapat diluar
kavum uteri. Jaringan ini terdiri atas kelenjar-kelenjar dan
stroma yang peka terhadap hormon terutama esterogen. Bila
jaringan endometrium tumbuh menembus membrana basalis
dan terdapat di dalam miometrium, maka penyakit ini disebut
adenomiosis.

Ketika

kelenjar

dan

stroma

endometrium

ditemukan di rongga pelvik, ovarium, kavum Douglasi, rektum


maupun kandung kemih maka disebut endometriosis eksterna.
Insiden

endometriosis

pada

ovarium

menempati

urutan

pertama kejadian endometriosis eksterna. Secara khusus


penyakit ini disebut endometriosis ovarii atau endometrioma.
Umumnya akan terbentuk kista berdinding tipis rata berisi
cairan berwarna coklat, itu sebabnya endometrioma sering
disebut kista coklat (Prawirohardjo, 2011).
Insiden kista coklat sulit dikuantifikasi karena sering
gejalanya asimtomatis dan pemeriksaan yang dilakukan
untuk

menegakkan

Perempuan

dengan

diagnosis

sensitifitasnya

endometriosis

bisa

tanpa

rendah.
gejala,

subfertil, atau menderita rasa sakit pada daerah pelvis


33

terutama

waktu

menstruasi

(dismenorea).

Kejadian

endometriosis 10-20% pada usia reproduksi perempuan.


Jarang sekali terjadi pada perempuan pramenarke ataupun
menopause. Faktor resiko terutama yang terjadi pada
perempuan yang haidnya banyak dan lama, perempuan
yang menarkenya pada usia dini, perempuan dengan
kelainan saluran Mulleri, lebih sering dijumpai pada ras Asia
daripada Kaukasia (Dhooghe, 1996).
Berdasarkan

identitas

pasien,

diketahui

pasien

berusia 38 tahun, haid sejak usia 14 tahun, masih


mengalami haid terakhir pada 7 Juni 2015, sehingga pasien
belum memasuki masa menopause. Pasien telah menikah
dan

memiliki

anak,

dengan

riwayat

penggunaan

kontrasepsi KB suntik 5 tahun terakhir. Riwayat menstruasi 1


kali per bulan, lama haid per siklus 4-5 hari dengan
pendarahan sedang (3-4 pembalut sehari). Pasien juga
mengeluhkan

nyeri

yang

sangat

saat

haid.

Pasien

menyatakan tidak ada riwayat penyakit keluarga dengan


keganasan.
Berdasarkan identitas dan hasil anamnesa pasien,
maka tidak dijumpai kelainan pada usia menarche, maupun
siklus menstruasi. Diperkirakan, terdapat faktor keturunan
yang tidak diketahui. Pada penelitian Stefansson (2002),
faktor resiko kista coklat tidak hanya meningkat pada faktor
keturunan di saudara paling dekat (first-degree relatives) tapi
juga signifikan pada saudara jauh, keponakan hingga 5-6
generasi sebelumnya. Pada faktor resiko keturunan ini,
kemungkinan terdapat mutasi genetik yang diturunkan
misalnya pada kromosom 10q26 (Treloar, 2005), kromosom
20p13, gen EMX2 untuk perkembangan saluran reproduksi
(Daftary, 2004), atau PTEN, tumor suppressor gen (Bischoff,
2000). Riwayat penggunaan KB hormonal dapat menjadi
34

salah

satu

mengingat

faktor

resiko

kondisi

pembentukan

hyperesterogen

kista

dapat

coklat,
memicu

transformasi keganasan (Zanetta, 2000).

B. Penegakan Diagnosis Kista Coklat pada Kasus


Beberapa gejala klinik yang sering dijumpai pada pasien
dengan endometriosis eksterna diantaranya dismenorea, nyeri
pelvik, dyspareunia, diskezia dan subfertilitas (Prawirohardjo,
2011). Nyeri haid atau dysmenorea disebabkan oleh reaksi
peradangan akibat sekresi sitokin dalam rongga peritoneum,
akibat pendarahan local pada sarang endometriosis dan oleh
adanya infiltrasi endometriosis ke dalam syaraf rongga panggul
(Speroff,

2005).

Akibat

perlengketan,

lama-lama

dapat

mengakibatkan nyeri pelvik yang kronis. Rasa nyeri bisa


menyebar jauh ke dalam panggul, punggung, dan paha bahkan
menjalar sampai ke rectum dan diare. Duapertiga perempuan
dengan endometriosis mengalami rasa nyeri intermenstrual
(Dhooghe, 1996). Dispareunia paling sering timbul terutama
bila endometriosis sudah tumbuh di sekitar Kavum Douglasi
dan ligamentum sakrouterina dan terjadi perlengketan sehingga
uterus dalam posisi retrofleksi (Hadisaputra, 2006). Diskezia
atau keluhan sakit buang air besar muncul jika endometriosis
sudah tumbuh dalam dinding rekto sigmoid dan terjadi
hematokezia pada saat siklus haid. Perlengketan pada ruang
pelvis yang diakibatkan endometriosis dapat mengganggu
pelepasan oosit dari ovarium atau menghambat perjalanan
ovum untuk bertemu dengan sperma (Luthan, 2006).
Dari hasil anamnesis, didapatkan keluhan benjolan di
perut sejak 1 tahun yang lalu, makin lama makin membesar
dengan nyeri perut kanan sejak 1 bulan yang lalu. Selama
siklus menstruasi, pasien juga mengeluhan nyeri hebat.

35

Keluhan ini mengarah pada keberadaan massa di rongga pelvis


dengan nyeri kronis dan nyeri siklik (nyeri yang muncul saat
siklus menstruasi). Nyeri kronis pada pasien ini kemungkinan
disebabkan oleh invasi implantasi jaringan endometriosis pada
saraf sehingga membentuk jaringan saraf sensoris dan
simpatetis

yang

bersifat

hyperexcitable.

Hipereksitabilitas

jaringan saraf ini menghasilkan nyeri persisten yang terkadang


tetap ada walaupun telah dioperasi (Berkley, 2005). Nyeri siklik
pada pasien ini muncul karena jaringan endometrioma saat
siklus menstruasi menghasilkan sitokin proinflamasi dan
prostaglandin ke cairan peritoneum (Giudice, 2004). Untuk
mengkonfirmasi keluhan maka perlu dilakukan pemeriksaan
fisik diantaranya status generalis (termasuk palpasi abdomen),
dan status genitalia (termasuk vaginal touche).
Untuk
mengarahkan

mengkonfirmasi
penegakan

keluhan

diagnosis

pasien

kista

sekaligus

coklat,

maka

diharapkan pada pemeriksaan status generalis ditemukan


tanda-tanda vital dalam batas normal dan apabila kista
berukuran besar dapat teraba melalui palpasi abdomen. Pada
pemeriksaan

status

genitalia,

melalui

VT

didapatkan

pembesaran massa di adnexa, bisa mobile atau melekat pada


struktur di pelvis. Pemeriksaan bimanual dapat menghasilkan
nyeri saat palpasi nodul pada 43 pasien dengan endometriosis
yang telah menginfiltrasi dalam (Chapron, 2002). Namun pada
penelitian lain, pemeriksaan bimanual tidak didapatkan kelainan
padahal

setelah

pembedahan

dikonfirmasi

keberadaan

endometriosis (Nezhat, 1994). Dari hasil VT pada pasien ini


tidak didapatkan fluksus maupun keputihan. Portio tertutup
dengan permukaan yang licin. Pada adnexa parametrium
kanan teraba masa kistik berukuran 7x7 cm dengan permukaan
rata, berbatas tegas, mobile dan tidak nyeri. Pada adnexa kiri
tidak dijumpai masa dan nyeri tekan. Hasil ini konsisten dengan

36

gejala endometrioma. Untuk penegakan diagnosis, diperlukan


pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk
menegakan

diagnosis

endometrioma

yakni

ultrasonografi

(USG), magnetic resonance imaging (MRI), pemeriksaan serum


CA 125, bedah laparoskopi dan pemeriksaan patologi anatomi.
USG

hanya

dapat

digunakan

untuk

mendiagnosis

endometrioma berukuran >1cm. Pada pemeriksaan, perlu


ditentukan keberadaan septa, ketebalan dinding massa dan isi
kista. Karakteristik yang membedakan kista coklat dengan kista
ovarium lain yakni tampak gambaran internal eko di dalam
kista, terkadang bersepta dengan dinding tebal (Dodson, 1991).
Internal eko ini berasal dari deposisi hemosiderin akibat debris
menstruasi

yang

terperangkap

dalam

kista.

MRI

tidak

menawarkan pemeriksaan yang lebih superior dibandingkan


dengan USG. MRI dapat digunakan untuk melihat kista, massa
ekstraperitoneal,

adanya

invasi

ke

usus

dan

septum

rektovagina.
Pada pasien ini telah dilakukan dua kali pemeriksaan
ultrasonografi. Pemeriksaan pertama dilakukan pada tanggal 3
Mei 2015. Didapatkan uterus bersepta dengan lesi kistik di para
adnexa dekstra berukuran 9,01x6,96 cm berbatas tegas dan
bersepta. Pemeriksaan kedua dilakukan pada hari pasien
berkunjung ke Poli Ginekologi di RSSA dan dilakukan
pencitraan ultrasonografi ginekologi. Didapatkan xxx. Hasil
pemeriksaan ini mengkonfirmasi keberadaan kista, berbatas
tegas regular, bersepta dengan internal echo berukuran 11,6 x
5,3x8,4 pada adneka dextra. Secara khusus hasil pencitraan ini
mengarah ke kista coklat dengan adanya gambaran internal
eko.

37

Serum CA 125 adalah penanda tumor yang sering


digunakan untuk kanker ovarium. Pada endometriosis terjadi
peningkatan kadar CA 125. Namun pemeriksaan ini mempunyai
nilai sensitivitas yang rendah. Kadar CA 125 dapat meningkat
pada keadaan infeksi radang panggul, mioma, dan trimester
awal kehamilan. CA 125 dapat digunakan sebagai monitor
prognostik pascaoperatif endometriosis bila nilainya tinggi
berarti prognostic kekambuhannya tinggi. Bila didapati CA 125
>65mIU/ml

praoperatif

menunjukkan

derajat

beratnya

endometriosis (Speroff L, 2005). Peningkatan CA 125 pada


pasien

dengan

kista

endometrioma.

Hal

diekspresikan

oleh

semakin
ini

mengarahkan

disebabkan

epitel

tuba

antigen

falopi,

diagnosis
CA

125

endometrium,

endoserviks, pleura dan peritoneum. Pada pasien ini telah


dilakukan pemeriksaan serum CA 125. Didapatkan hasil kadar
serum CA 125 sebesar 134,70 U/ml dengan kadar normal <35
U/ml. Kadar serum yang tinggi ini menunjukkan ekspresi kanker
antigen

yang

tinggi,

dan

ditengarai

disebabkan

oleh

keberadaan kista coklat pada ovarium kanan.


Laparoskopi merupakan alat diagnostik baku emas untuk
mendiagnosis endometriosis. Lesi aktif yang baru berwarna
merah terang, sedangkan lesi aktif yang sudah lama berwarna
merah kehitaman. Lesi nonaktif terlihat berwarna putih dengan
jaringan parut. Pada endometriosis yang tumbuh diovarium,
dapat terbentuk kista

yang

berwarna

coklat kehitaman

(Adamson, 1993). Warna coklat kehitaman ini muncul akibat


deposisi

hemosiderin

akibat

debris

menstruasi

yang

anatomi

dibutuhkan

untuk

terperangkap dalam kista.


Pemeriksaan

patologi

mengkonfirmasi endometrioma. Untuk pemeriksaan patologi


anatomi akan diambil preparat dinding kista beserta cairan
dalam kista untuk diperiksa secara mikroskopis. Gambaran
38

mikroskopis kista coklat menunjukkan jaringan endometrium.


Apabila didapatkan gambaran sel atypical maka kemungkinan
besar lesi mengarah pada keganasan (Fukunaga, 1998).
Pada pasien ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
ultrasonografi dan laboratorium. Dapat disimpulkan pasien ini
dengan diagnosis kistoma ovarii dengan diferensial diagnosis
kista coklat. Penegakan diagnosis baru dapat dilakukan durante
operasi.
C. Manajemen dan Penatalaksanaan Kista Coklat pada Kasus
Pendekatan

diagnosis

dan

penatalaksanaan

endometrioma bergantung pada gejala yang ditemukan pada


pasien dan tujuan terapi. Apabila gejala utama pada pasien
adalah infertilitas, maka dilakukan penatalaksanaan induksi
fertilisasi tanpa mensupresi ovulasi. Disisi lain, jika pasien
mengeluhkan nyeri berat yang tidak tertangani dengan medikasi
dan tidak lagi menginginkan anak, maka diperlukan operasi
definitif. Pada pasien yang asimptomatik atau mengeluhkan
nyeri minimal, dapat dilakukan perawatan konservatif.
Bila pasien mengeluhkan nyeri ringan, maka dapat
diberikan

pengobatan

anti

nyeri.

Jaringan

endometriosis

diketahui mengekspresikan COX-2 lebih banyak dibanding


jaringan endometrium normal (Ota, 2001). Itu sebabnya,
diperlukan medikasi untuk menurunkan level prostaglandin
sehingga dapat meringankan gejala nyeri terkait endometrioma.
NSAID merupakan terapi lini pertama untuk wanita dengan
dysmenorea primer atau nyeri pelvis akibat endometriosis yang
telah dikonfirmasi dengan laparoskopi, juga pada wanita dengan
nyeri ringan atau sedang akibat endometriosis (Efstathiou,
2005). Adanya resiko penyakit jantung akibat penggunaan
jangka panjang COX-2 inhibitor, maka pengobatan diharapkan
39

dapat diberikan dengan dosis dan durasi paling minimal (Jones,


2005). NSAID yang dapat digunakan diantaranya ibuprofen,
naproxen, asam mefenamat atau ketoprofen.
Obat

lain

yang

dapat

mengatasi

nyeri

akibat

endometriosis yakni pemberian kontrasepsi oral kombinasi


(Vercellini, 1993). Pil kombinasi ini diketahui dapat menghambat
pelepasan gonadotropin, mengurangi volume menstruasi, dan
menekan ovulasi. Awalnya perlu dilakukan terapi sesuai siklus
menstruasi, jika nyeri tetap tidak berkurang, berikan terapi
berkelanjutan (tanpa jeda menstruasi atau withdrawal bleeding)
(Wiegratz, 2004). Terakhir, medikasi untuk terapi endometriosis
ialah progestin. Progestin diketahui memiliki efek antagonis
esterogen

pada

endometrium

dan

menyebabkan

atropi

endometrium. Berdasarkan penelitian Telimaa (1987), terdapat


perbedaan

yang

signifikan

pada

pemberian

medroxyprogesterone acetate (MPA) 100mg per hari secara per


oral selama 6 bulan terhadap resolusi implantasi endometrium
di luar cavum uterus, penurunan nyeri pelvis dan nyeri saat
defekasi.
Endometrioma seringkali memerlukan pembedahan.
Penentuan

teknik

pembedahan

yang

akan

dilakukan

berdasarkan ukuran lesi, usia pasien dan penemuan durante


operasi. Misalnya, pada wanita premenopause, lesi kecil
membutuhkan cystectomy dengan mempertahankan fungsi
reproduksi. Pada lesi yang lebih besar dapat dilakukan
oophorectomy karena akan sulit melakukan enukleasi kista
tanpa ruptur dan resiko malignansi lebih besar pada kista yang
besar (Okugawa, 2001). Diketahui cystectomy memberikan
penurunan yang signifikan pada nyeri panggul dibanding
metode drainase dan koagulasi (Beretta, 1998). Dan jumlah
kehamilan pasca cystectomy juga lebih tinggi dalam 24 bulan.
Endometrioma merupakan penyakit yang rekuren. Berdasarkan
40

penelitian Liu (2007), sekitar 15% kasus rekuren 2 tahun pasca


operasi.
Pasca operasi, apabila jaringan endometriosis masih
dicurigai tersisa di rongga pelvis maka perlu diberikan medikasi
berupa GnRH agonis, Danazol, kontrasepsi oral kombinasi,
progestin atau aromatase inhibitor. GnRH agonis merupakan
pilihan pertama medikasi yang dapat membantu menurunkan
nyeri pada pasien dengan endometrioma yang telah tegak
melalui pembedahan (Ling, 1999). Dalam tubuh, GnRH
diproduksi secara pulsatile dari hipofisis anterior. Produksi
pulsatile inilah yang akan merangsang produksi gonadotropin
yang menyebabkan pembentukan hormone steroid pada
ovarium dan proses ovulasi. Kadar GnRH yang kontinyu dan
tidak pulsatile justru diketahui dapat mendesensitisasi hipofisis
dan mengurangi pembentukan hormone pada ovarium (Rabin,
1980). Atas dasar ini, digunakanlah GnRH agonis untuk terapi
endometriosis.
Pada pasien ini masalah utama pasien berupa nyeri
kronik dengan benjolan yang besar dan serum antigen yang
meningkat.

Itu

sebabnya

disarankan

bagi

pasien

untuk

melakukan pembedahan SOVC (salphingo-ooforektomi vreeze


coupe) yakni pengangkatan kista sekaligus ovarium dan tuba
fallopi. Pengangkatan kista juga bermanfaat bagi pasien untuk
mencegah

ruptur

kista

yang

dapat

menyebabkan

akut

abdomen. Jika durante op ditegakan diagnosis endometriosis,


maka perlu dilakukan pengecekan apakah ada pertumbuhan
endometriosis di tempat lain. Pasca operasi, apabila masih
didapatkan jaringan (melalui pemeriksaan ultrasonografi), maka
direncanakan pemberian GnRH agonis yakni injeksi endrolin 1
bulan sekali selama 6 bulan.

41

D. Prognosis Kista Coklat pada Kasus


Pada dasarnya, endometriosis adalah penyakit yang
progresif, dan tidak secara langsung menyebabkan kematian.
Namun 50% wanita mengeluhkan gejala berulang dalam kurun
waktu 5 tahun setelah terapi farmakologis. Keluhan nyeri pada
pasien dapat diterapi dengan NSAID maupun pi kontrasepsi
kombinasi. Melalui pengobatan ini 80-85% pasien dengan nyeri
terkait endometriosis menyatakan keluhan berkurang. Terapi
pembedahan definitive (total hysterectomy dengan bilateral
salpingo-oophorectomy) dan peritoneal stripping menawarkan
hasil

jangka

panjang

yang

paling

menjanjikan

dalam

mengangkat nyeri. Namun alternative ini hanya dilakukan pada


pasien yang sudah tidak berencana tidak memiliki anak. Gejala
endometriosis biasanya berkurang seiring menopause maupun
kehamilan (Demco, 1998).

42

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1

Kesimpulan
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang, pasien dalam

laporan kasus ini didiagnosis dengan cystoma ovarii dengan diferensial


diagnosis

kista

coklat.

Pasien

ini

dicurigai

dengan

jenis

kista

endometriosis atau dikenal dengan kista cokelat dengan ditemukannya


massa kistik pada adneksa kanan dengan gambaran internal echo pada
pemeriksaan USG dan peningkatan CA 125 pada serum. Pasien ini
dikonsultasikan pada bagian jantung dan anastesi untuk persiapan oprasi
untuk pengangkatan lesi. Kemudian jaringan kista dilakukan pemeriksaan
PA. Terapi pasca operasi disesuaikan dengan hasil temuan..
.
5.2
Saran
1. Diperlukan deteksi dini terhadap semua penyakit kandungan
terutama kista cokelat karena dapat menyebabkan infertilitas,
oleh karena itu tenaga kesehatan hendaknya mneingkatkan
kemampuan dalam mendiagnosis penyakit kista coklat terutama
bila dijumpai gangguan berupa nyeri pelvic kronis, dan nyeri
haid.
2. Pentingnya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tentang
faktor resiko, dan deteksi dini terjadinya kista cokelat pada
wanita usia remaja sampai lanjut usia.
3. Pentingnya KIE pada pasien yang menderita kista cokelat untuk
menjalani pengobatan yang tepat.

43

DAFTAR PUSTAKA
Adamson GD, Hurd SJ, Pasta DJ, Rodriguez BD. Laparoscopic
Endometriosis

Treatment: is it better? Fertil Steril 1993; 59: 659-66.

American Fertility Society.

2007. Booklet Endometriosis A Guide for

Patients. American Society for Reproductive Medicine. Alabama.


(http://www.asrm.org/Patients/Booklet/Endometriosis. pdf (diaks
es 1 September 2015). 16 hal
American

Society

Endometriosis

guide

for

patient

http://www.asrm.org/Patients/patientbooklets/endometriosis.pdf [dia
kses 1 September 2015]
Beretta P, Franchi M, Ghezzi F, et al: Randomized clinical trial of two
laparoscopic treatments of endometriomas: cystectomy versus
drainage

and coagulation. Fertil Steril 70: 1176, 1998 [PMID:

9848316]
Dodson MG. Transvaginal Ultrasound, New York, Churchill Livingstone;
1991: 70-2
Dhooghe MT, Hill Aj. Endometriosis in, Berek JS, Adashi EY, Hillard PA
(ed), Novaks Gynecology. 12th Edition. Pensylvania: Williams & Wilkins,
1996: 887-905.
Endometriosis Research Foundation. (ERF) Diagnosis Endometriosis.
http://www.endometriosis.org/ endometriosis.html [diakses 2
september 2015]
Efstathioiu JA, Sampson DA, Levine Z, et al: Nonsteroidal antiinflammatory

drugs differentially suppress endometriosis in a

murine model. Fertil Steril 83: 171, 2005 [PMID: 15652904]


Farid. Endometriosis di Sekitar Kita. http://www.majalahfarmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews =201 [diakses 2
september 2015]

44

Hadisaputra, W. Tinjauan Perangai Imunopatobiologi sebagai Modalitas


Baruuntuk Menegakkan Diagnosis Endometriosis tanpa Visualisasi
Laparoskopi (Kajian Pustaka): Maj Obstet Ginekol Indones 2007;
31: 180-

Jones KD, Fan A, Sutton CJ: The ovarian endometrioma: why is it so


poorly

managed? Indicators from an anonymous survey. Hum

Reprod 17:845,

2002 [PMID: 11925370]

Journal of Obsterics and Gynaecology Canada. 2010. Endometriosis:


Diagnosis and Management. SOGC Clinical Practice Guidline.
Volume 2 No. 7.
Kandeel

M,

Endometriosis:

An

Update

http://www.gfmer.ch/GFMER_members/pdf/Endometriosis_Kandeel
_2008.pdf [diakses 2 september 2015]
Kapoor D, Davila. Endometriosis: Treatment & Medication. http//w
ww.emedicine.com[diakses 2 september 2015]
Lee

BM,

The

Endometriosis

cyst.http://ezinearticles.com/?Cyst-

Endometriosis---Cyst-in-the-Walls-of-the-Womb&id=1794678
[diakses 3 september 2015]
Ling FW: Randomized controlled trial of depot leuprolide in patients with
chronic

pelvic pain and clinically suspected endometriosis. Pelvic

Pain Study

Group Obstet Gynecol 93:51, 1999 [PMID: 9916956]

Liu X, Yuan L, Shen F, et al: Patterns of a risk factors for recurrence in


women

with ovarian endometriomas. Obstet Gynecol 109(6):1411,

2007 [PMID: 17540815]


Luthan D, Halim B, Adenin I. Endometriosis dan Tekhnologi Bantuan
Reproduksi Dalam: Darmasetiawan MS, Anwar INC, Djuwantono T,
Adenin I, Jamaan

T. (ed), Fertilisasi Invitro dalam Praktek Klinik.

Cetakan I. Jakarta: 2006: 107-14

45

Martin

DC.

Endometriosis

Staging,

http://www.memfert.com/endostage.htm[diakses

september

2015]
NHS

Evidence,

Annual

Evidence

Epidemiology

Update

on

Endometriosis

and

Aetiology.

http://www.library.nhs.uk/womenshealth/ViewResource.aspx?
resID=258981&tabID=290&catID=11472

[diakses

september

2015]
Oepomo TD. Congenital of TNF- in the peritoneal fluid and serum of
endometrioticpatients.
http://www.unsjournals.com/DD0703D070302.pdf [diakses 22 Juni
2015]
Okugawa K, Hirakawa T, Fukushima K, et al: Relationship between age,
histological type, and size of ovarian tumors. Int J Gynaecol Obstet
74:45,

20001 [PIMD: 11430940]

Ota H, Igarashi S, Sasaki M, et al: Distribution of cyclooxygenase-2 in


eutopic

and

ectopic

endometrium

in

endometriosis

and

adenomyosis. Hum Reprod 16: 561, 2001 [PMID: 11228229]


Overton C, Davis C, McMilliantL, Shaw R. An Atlas Of Endometriosis, 3 rd
ed. London: Informa Healthcare, 2007, p.2-3,36
Prawirohardjo. Ilmu Kandungan. Jakarta YBP-SP, 2010, p.314-36
Rabin D, McNeil LW: Pituitary and gonadal desensitization after
continuous

luteinizing hormone-releasing hormone infusion in normal

females. J Clin

Endocrinol Metab 51:873,1980 [PMID: 6774996]

Speroff L, Fritz MA. Clinical Gynecologic Endokrinology and Infertility.


Seventh Edition. Philadelphia: 2005: 1125-1130
Stoppler MC, Endometriosis
http://www.medicinenet.com/endometriosis/page3.
htm#tocg [diakses 2 september 2015]
Sud

S,

Tulandi

T,

Endometriosis

http://www.obgyn.net/medical.asp? page=/english/pubs/features/mc
46

gill-student-projects/endometriosis.

london.1999

[diakses

september 2015]
Vercellini P, Trespidi L, Colombo A, et al: A gonadotropin-releasing
hormone

agonist versus a low-dose oral contraceptive for pelvic pain

associated

with endometriosis. Fertil Steril 60: 75, 1993 [PMID:

8513962]
Weiss G, Maseelall P, Schott LL. Adenomyosis a Variant, not a disease?
Evidence from Hysterectomized Menopausal Women in the Study
of

Womens Health Across the Nation (SWAN). Fertil Steril 2009; 91:

201-6
Wellberry

C.

Diagnosis

and

Treatment

of

Endometriosis

(http://www.aafp.org/afp/991015ap/contentshtml

[diakses

2015,
2

september 2015]
Wiegratz I, Kuhl H: Long-cycle treatment with oral contraceptives. Drugs
64:

2447, 2004 [PMID: 15482002]

47

Anda mungkin juga menyukai