Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angka kejadian penyakit alergi akhir-akhir ini meningkat sejalan dengan
perubahan pola hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan maupun zat-zat
yang ada di dalam makanan. Salah satu penyakit alergi yang banyak terjadi di
masyarakat adalah penyakit asma. Asma merupakan penyakit inflamasi kronis
saluran napas yang ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada
akibat penyumbatan saluran napas. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus
meningkat terutama di negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara
Asia Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan
bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien asma
pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat
setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang
masih jauh dari pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma
(GINA).1
Kasus asma meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari lima
belas tahun, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Beban global
untuk penyakit ini semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi penurunan
kualitas hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah,
peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan
kematian. Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia, hal ini tergambar dari data Studi Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab
kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada
SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh
Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi
1

paru 2/1000. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan
kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC),
didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma) 6,2 %
yang 64 % diantaranya mempunyai gejala klasik.2
Peran dokter dalam mengatasi penyakit asma sangatlah penting. Dokter
sebagai pintu pertama yang akan diketuk oleh penderita dalam menolong
penderita asma, harus selalu meningkatkan pelayanan, salah satunya yang sering
diabaikan adalah memberikan edukasi atau pendidikan kesehatan. Pendidikan
kesehatan kepada penderita dan keluarganya akan sangat berarti bagi penderita,
terutama bagaimana sikap dan tindakan yang bisa dikerjakan pada waktu
menghadapi serangan, dan bagaimana caranya mencegah terjadinya serangan
asma.3
B. Tujuan penulisan
Mengetahui tentang asma bronkhial secara menyeluruh yang meliputi
pemahaman yang lengkap mengenai definisi, anatomi dan fisiologi, patogenesis,
patofisiologi, faktor resiko, klasifikasi, diagnosa, pemeriksaan fisik dan
penunjang, diagnosa banding, komplikasi dan penatalaksanaan asma bronkhial.
C. Manfaat penulisan
1. Diharapkan tinjauan pustaka ini dapat menambah wawasan tentang asma
bronkhiale, mulai dari definisi sampai pengobatan asma.
2. Sebagai referensi untuk dapat memberikan informasi tentang asma
bronkhiale.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Asma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena
hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan;
penyempitan ini bersifat sementara/reversible.4
Asma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon
trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya
penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara
spontan maupun hasil dari pengobatan.5
Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis,fisiologis dan patologis. Ciriciri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari
yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan
adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas,
yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri
patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai
dengan perubahan struktur saluran napas.1
Status asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma
yang berat atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap
pengobatan yang lazim diberikan. Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau
perbaikan yang sifatnya hanya singkat, dengan pengamatan 1-2 jam.6
B. Anatomi dan fisiologi
Pernafasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang
mengandung oksigen kedalam tubuh. Serta menghembuskan udara yang banyak
mengandung karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh.
Penghisapan ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Secara
garis besar saluran pernafasan dibagi menjadi dua zona, zona konduksi yang
dimulai dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus segmentalis dan
berakhir pada bronkiolus terminalis. Sedangkan zona respiratoris dimulai dari
bronkiolus respiratoris, duktus alveoli dan berakhir pada sakus alveulus

terminalis. Saluran pernafasan mulai dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh
membran mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk kerongga hidung, udara
tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan
fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel thorak yang bertingkat,
bersilia dan bersel goblet. Permukaan epitel dilapisi oleh lapisan mukus yang
disekresi sel goblet dan kelenjar serosa. Partikel-partikel debu yang kasar dapat
disaring oleh rambut-rambut yang terdapat dalam lubang hidung. Sedangkan
partikel yang halus akan terjerat dalam lapisan mukus untuk kemudian dibatukkan
atau ditelan. Air untuk kelembapan diberikan oleh lapisan mukus, sedangkan
panas yang disuplai keudara inspirasi berasal dari jaringan dibawahnya yang kaya
dengan pembuluh darah, sehingga bila udara mencapai faring hampir bebas debu,
bersuhu mendekati suhu tubuh dan kelembabannya mencapai 100%.6
Udara

mengalir

dari

hidung

kefaring

yang

merupakan

tempat

persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Faring dapat dibagi
menjadi tiga bagian yaitu : nasofaring, orofaring dan laringofaring. Dibawah
selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga dibeberapa tempat terdapat folikel getah
bening yang dinamakan adenoid. Disebelahnya terdapat dua buah tonsil kiri dan
kanan dari tekak. Laring merupakan saluran udara dan bertindak sebagai
pembentukan suara terletak didepan bagian faring sampai ketinggian vertebra
servikalis dan masuk ke trakea di bawahnya. Laring merupakan rangkaian cincin
tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan mengandung pita suara. Diantara
pita suara terdapat glotis yang merupakan pemisah saluran pernafasan bagian atas
dan bawah. Pada saat menelan, gerakan laring keatas, penutupan dan fungsi
seperti pintu pada aditus laring dari epiglotis yang berbentuk daun berperan untuk
mengarahkan makanan ke esofagus, tapi jika benda asing masih bisa melampaui
glotis, maka laring mempunyai fungsi batuk yang akan membantu merngeluarkan
benda dan sekret keluar dari saluran pernafasan bagian bawah.6
Trakea dibentuk 16 sampai dengan 20 cincin tulang rawan, yang berbentuk
seperti kuku kuda dengan panjang kurang lebih 5 inci (9-11 cm), lebar 2,5 cm, dan
diantara kartilago satu dengan yang lain dihubungkan oleh jaringan fibrosa,
sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar (sel bersilia) yang

hanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna untuk mengeluarkan bendabenda asing yang masuk bersama udara pernafasan, dan dibelakang terdiri dari
jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan mukosa. Bronkus
merupakan lanjutan dari trakea ada dua buah yang terdapat pada ketinggian
vertebra torakalis ke IV dan V. Sedangkan tempat dimana trakea bercabang
menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut karina. Karina memiliki banyak
syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika batuk
dirangsang.7
Bronkus utama kanan lebih pendek , lebih besar dan lebih vertikal dari
yang kiri. Terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai tiga cabang. Bronkus utama kiri
lebih panjang,dan lebih kecil, terdiri dari 9-12 cicin serta mempunyai dua cabang.
Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak mengandung
alveoli (kantung udara) dan memiliki garis 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh
cincin tulang rawan, tapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukuranya dapat
berubah. Seluruh saluran uadara ,mulai dari hidung sampai bronkiolus terminalis
ini disebut saluran penghantar udara atau zona konduksi. Bronkiolus ini
mengandung kolumnar epitellium yang mengandung lebih banyak sel goblet dan
otot polos, diantaranya strecch reseptor yang dilanjutkan oleh nervus vagus.
Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional
paru , yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari : Bronkiolus respiratoris,
duktus alveolaris dan sakus alveolaris terminalis yang merupakan struktur akhir
dari paru.7
Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu
pertukaran gas dan keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas ada tiga
proses yang terjadi, yaitu:7
1. Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar masuknya udara
melalui cabang-cabang trakeo bronkial sehingga oksigen sampai pada alveoli
dan karbondioksida dibuang. Pergerakan ini terjadi karena adanya perbedaan
tekanan. Udara akan mengalir dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang
rendah. Selama inspirasi volume thorak bertambah besar karena diafragma
turun dan iga terangkat. Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan

tekanan intra pleura dari 4 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir) menjadi
sekitar 8mmHg. Pada saat yang sama tekanan pada intra pulmunal menurun
2 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir). Selisih tekanan antara saluran
udara dan atmosfir menyebabkan udara mengalir kedalam paru sampai
tekanan saluran udara sama dengan tekanan atmosfir. Pada ekspirasi tekanan
intra pulmunal bisa meningkat 1-2 mmHg akibat volume torak yang mengecil
sehingga udara mengalir keluar paru.
2. Proses kedua adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler
melalui membran alveoli-kapiler. Proses ini terjadi karena gas mengalir dari
tempat yang tinggai tekanan parsialnya ketempat yang lebih rendah tekanan
partialnya. Oksigen dalam alveoli mempunyai tekanan partial yang lebih
tinggi dari oksigen yang berada didalam darah. Karbondioksida darah lebih
tinggi tekanan partialnya dari pada karbondioksida dialveoli. Akibatnya
karbondioksida mengalir dari darah ke alveoli.
3. Proses ketiga adalah perfusi yaitu proses penghantaran oksigen dari kapiler ke
jaringan melalui transport aliran darah. Oksigen dapat masuk ke jaringan
melalui dua jalan : pertama secara fisik larut dalam plasma dan secara kimiawi
berikatan

dengan

hemoglobin

sebagai

oksihemoglobin,

sedangkan

karbondioksida ditransportasi dalam darah sebagai bikarbonat, natrium


bikarbonat dalam plasma dan kalium bikarbonat dalam sel-sel darah merah.
Satu gram hemoglobin dapat mengika 1,34 ml oksigen. Karena konsentrasi
hemoglobin rata-rata dalam darah orang dewasa sebesar 15 gram, maka 20,1
ml oksigen bila darah jenuh total ( Sa O2 = 100% ), bila darah teroksigenasi
mencapai jaringan . Oksigen mengalir dari darah masuk ke cairan jaringan
karena tekanan partial oksigen dalam darah lebih besar dari pada tekanan
dalam cairan jaringan. Dari dalam cairan jaringan oksigen mengalir kedalan
sel-sel sesuai kebutuhan masing-masing. Sedangkan karbondioksida yang
dihasilkan dalam sel mengalir kedalam cairan jaringan. Tekanan partial
karbondioksida dalam jaringan lebih besar dari pada tekanan dalam darah
maka karbondioksida mengalir dari cairan jaringan kedalam darah.7
Fungsi sebagai pengatur keseimbangan asam basa : pH darah yang normal
berkisar 7,35 7,45. Sedangkan manusia dapat hidup dalam rentang pH 7,0
6

7,45. Pada peninggian CO2 baik karena kegagalan fungsi maupun bertambahnya
produksi CO2 jaringan yang tidak dikompensasi oleh paru menyebabkan
perubahan pH darah. Asidosis respiratoris adalah keadaan terjadinya retensi CO 2
atau CO2 yang diproduksi oleh jaringan lebih banyak dibandingkan yang
dibebaskan oleh paru. Sedangkan alkalosis respiratorius adalah suatu keadaan
PaCO2 turun akibat hiperventilasi.7

Gambar 1. Anatomi dan Obstruksi Saluran Nafas Pada Asma


C. Patogenesis Asma
Pandangan tentang patogenesis asma telah mengalami perubahan pada
beberapa dekade terakhir. Dahulu dikatakan bahwa asma terjadi karena
degranulasi sel mast yang terinduksi bahan alergen, menyebabkan pelepasan
beberapa mediator seperti histamin dan leukotrien sehingga terjadi kontraksi otot
polos bronkus. Saat ini telah dibuktikan bahwa asma merupakan penyakit
inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan beberapa sel, menyebabkan
pelepasan mediator yang dapat mengaktivasi sel target saluran napas sehingga

terjadi bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema, hipersekresi mukus


dan stimulasi refleks saraf.8
1. Inflamasi Saluran Napas
Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat
kompleks, melibatkan faktor genetik, antigen, berbagai sel inflamasi, interaksi
antar sel dan mediator yang membentuk proses inflamasi kronik dan remodelling.8
a. Mekanisme imunologi inflamasi saluran napas
Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu imunitas humoral dan selular. Imunitas
humoral ditandai oleh produksi dan sekresi antibodi spesifik oleh sel limfosit
B sedangkan selular diperankan oleh sel limfosit T. Sel limfosit T mengontrol
fungsi limfosit B dan meningkatkan proses inflamasi melalui aktivitas
sitotoksik cluster differentiation 8 (CD8) dan mensekresi berbagai sitokin. Sel
limfosit T helper (CD4) dibedakan menjadi Th1dan Th2. Sel Th1 mensekresi
interleukin-2 (IL-2), IL-3, Granulocytet Monocyte Colony Stimulating Factor
(GMCSF), interferon- (IFN-) dan Tumor Necrosis Factor-(TNF-) sedangkan
Th2 mensekresi IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16 dan GMCSF. Respons
imun dimulai dengan aktivasi sel T oleh antigen melalui sel dendrit yang
merupakan sel pengenal antigen primer ( primary antigen presenting cells/
APC).
b. Mekanisme limfosit T-IgE
Setelah APC mempresentasikan alergen/antigen kepada sel limfosit T dengan
bantuan Major Histocompatibility (MHC) klas II, limfosit T akan membawa
ciri antigen spesifik, teraktivasi kemudian berdiferensiasi dan berproliferasi.
Limfosit T spesifik (Th2) dan produknya akan mempengaruhi dan mengontrol limfosit B dalam memproduksi imunoglobulin. Interaksi alergen pada
limfosit B dengan limfosit T spesifik alergen akan menyebabkan limfosit B
memproduksi IgE spesifik alergen. Pajanan ulang oleh alergen yang sama
akan meningkatkan produksi IgE spesifik. Imunoglobulin E spesifik akan
berikatan dengan sel-sel yang mempunyai reseptor IgE seperti sel mast,
basofil, eosinofil, makrofag dan platelet. Bila alergen berikatan dengan sel

tersebut maka sel akan teraktivasi dan berdegranulasi mengeluarkan mediator


yang berperan pada reaksi inflamasi.
c. Mekanisme limfosit Tnon IgE
Setelah limfosit T teraktivasi akan mengeluarkan sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL9, IL-13 dan GMCSF. Sitokin bersama sel inflamasi yang lain akan saling
berinteraksi sehingga terjadi proses inflamasi yang kompleks, degranulasi
eosinofil, mengeluarkan berbagai protein toksik yang merusak epitel saluran
napas dan merupakan salah satu penyebab hiperesponsivitas saluran napas
(Airway Hyperresponsiveness/AHR).

Gambar 2. Respon Immun Pada Asma


2. Hiperesponsivitas Saluran Napas
Hiperesponsivitas saluran napas adalah respons bronkus berlebihan yaitu
berupa penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik maupun
nonspesifik. Respons inflamasi dapat secara langsung meningkatkan gejala asma
seperti batuk dan rasa berat di dada karena sensitisasi dan aktivasi saraf sensorik
saluran napas. Hubungan antara AHR dengan proses inflamasi saluran napas
melalui beberapa mekanisme; antara lain peningkatan permeabilitas epitel saluran
napas, penurunan diameter saluran napas akibat edema mukosa sekresi kelenjar,
kontraksi otot polos akibat pengaruh kontrol saraf otonom dan perubahan sel otot
9

polos saluran napas. Reaksi imunologi berperan penting dalam patofisiologi


hiperesponsivitas saluran napas melalui pelepasan mediator seperti histamin,
prostaglandin (PG), leukotrien (LT), IL-3, IL-4, IL-5, IL-6 dan protease sel mast
sedangkan eosinofil akan melepaskan platelet activating factor (PAF), major
basic protein (MBP) dan eosinophyl chemotactic factor (ECF).8

Gambar 3. Penyempitan Saluran Napas Pada Asma


3. Sel Inflamasi
Banyak sel inflamasi terlibat dalam patogenesis asma meskipun peran tiap
sel yang tepat belum pasti.
a. Sel mast
Sel mast berasal dari sel progenitor di sumsum tulang. Sel mast banyak
didapatkan pada saluran napas terutama di sekitar epitel bronkus, lumen
saluran napas, dinding alveolus dan membran basalis. Sel mast melepaskan
berbagai mediator seperti histamin, PGD2, LTC4, IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5,
GMCSF, IFN- dan TNF. Interaksi mediator dengan sel lain akan
meningkatkan permeabilitas vaskular, bronkokonstriksi dan hipersekresi
mukus. Sel mast juga melepaskan enzim triptase yang merusak vasoactive
intestinal peptide (VIP) dan heparin. Heparin merupakan komponen penting

10

granula yang berikatan dengan histamin dan diduga berperan dalam


mekanisme anti inflamasi yang dapat menginaktifkan MBP yang dilepaskan
eosinofil. Heparin menghambat respons segera terhadap alergen pada subyek
alergi dan menurunkan AHR.
b. Makrofag
Makrofag berasal dari sel monosit dan diaktivasi oleh alergen lewat reseptor
IgE afinitas rendah. Makrofag ditemukan pada mukosa, submukosa dan
alveoli yang diaktivasi oleh mekanisme IgE dependent sehingga berperan
dalam proses infla-masi. Makrofag melepaskan berbagai mediator antara lain
LTB4, PGF2, tromboksan A2, PAF, IL-1, IL-8, IL-10, GM-CSF, TNF , reaksi
komplemen dan radikal bebas. Makrofag berperan penting sebagai pengatur
proses inflamasi alergi. Makrofag juga berperan sebagai APC yang akan
menghantarkan alergen pada limfosit.
c. Eosinofil
Diproduksi oleh sel progenitor dalam sumsum tulang dan diatur oleh IL-3, IL5 dan GMCSF. Infiltrasi eosinofil merupakan gambaran khas saluran napas
penderita asma dan membedakan asma dengan inflamasi saluran napas lain.
Inhalasi alergen akan menyebabkan peningkatan jumlah eosinofil dalam
kurasan bronkoalveolar (broncho-alveolar lavage = BAL). Didapatkan
hubungan langsung antara jumlah eosinofil darah tepi dan cairan BAL dengan
AHR. Eosinofil berkaitan dengan perkembangan AHR lewat pelepasan protein
dasar dan oksigen radikal bebas. Eosinofil melepaskan mediator LTC4, PAF,
radikal bebas oksigen, MBP, Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dan
Eosinophyl Derived Neurotoxin (EDN) sehingga terjadi kerusakan epitel
saluran napas serta degranulasi basofil dan sel mast. Eosinofil yang teraktivasi
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, peningkatan permeabilitas
mikrovaskular, hipersekresi mukus, pelepasan epitel dan merangsang AHR.
d. Neutrofil
Peran neutrofil pada penderita asma belum jelas. Diduga neutrofil
menyebabkan kerusakan epitel akibat pelepasan bahan-bahan metabolit
oksigen, protease dan bahan kationik. Neutrofil merupakan sumber beberapa

11

mediator seperti PG, tromboksan, LTB4 dan PAF. Neutrofil dalam jumlah
besar ditemukan pada saluran napas penderita asma kronik dan berat selama
eksaserbasi atau setelah pajanan alergen. Biopsi bronkus dan BAL
menunjukkan bahwa neutrofil me-rupakan sel pertama yang ditarik ke saluran
napas dan yang pertama berkurang jumlahnya setelah reaksi lambat berhenti.
e. Limfosit T
Didapatkan peningkatan jumlah limfosit T pada saluran napas penderita asma
yang dibuktikan dari cairan BAL dan mukosa bronkus. Biopsi bronkus
penderita asma stabil mendapatkan limfosit intra epitelial atipik yang diduga
merupakan limfosit teraktivasi. Limfosit T yang teraktivasi oleh alergen akan
mengeluarkan berbagai sitokin yang mempengaruhi sel inflamasi. Sitokin
seperti IL-3, IL-5 dan GM-CSF dapat mempengaruhi produksi dan maturasi
sel eosinofil di sumsum tulang (sel prekursor), memperpanjang masa hidup
eosinofil dari beberapa hari sampai minggu, kemotaktik dan aktivasi eosinofil.
f. Basofil
Peran basofil pada patogenesis asma belum jelas, merupakan sel yang
melepaskan histamin dan berperan dalam fase lambat. Didapatkan sedikit
peningkatan basofil pada saluran napas penderita asma setelah pajanan
alergen.
g. Sel dendrit
Sel dendrit merupakan sel penghantar antigen yang paling berpengaruh dan
memegang peranan penting pada respons awal asma terhadap alergen. Sel
dendrit akan mengambil alergen, mengubah alergen menjadi peptida dan
membawa ke limfonodi lokal yang akan menyebabkan produksi sel T spesifik
alergen. Sel dendrit berasal dari sel progenitor di sumsum tulang dan sel di
bawah epitel saluran napas. Sel dendrit akan bermigrasi ke jaringan limfe
lokal di bawah pengaruh GMCSF.
h. Sel struktural
Sel struktural saluran napas termasuk sel epitel, sel endotel, miofibroblas dan
fibroblas merupakan sumber penting mediator inflamasi seperti sitokin dan
mediator lipid pada respons inflamasi kronik. Pada penderita asma jumlah mio

12

fibroblas di bawah membran basal retikular akan meningkat. Terdapat


hubungan antara jumlah miofibroblas dan ketebalan membran basal retikular.8
4. Mediator Inflamasi
Banyak mediator yang berperan pada asma dan mem-punyai pengaruh
pada saluran napas. Mediator tersebut antara lain histamin, prostaglandin, PAF,
leukotrien dan sitokin yang dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus,
peningkatan kebocoran mikrovaskular, peningkatan sekresi mukus dan penarikan
sel inflamasi. Interaksi berbagai mediator akan mempengaruhi AHR karena tiap
mediator memiliki beberapa pengaruh.8
a. Histamin
Histamin berasal dari sintesis histidin dalam aparatus Golgi di sel mast dan
basofil. Histamin mempengaruhi saluran napas melalui tiga jenis reseptor.
Rangsangan pada reseptor H-1 akan menyebabkan bronkokonstriksi, aktivasi
refleks sensorik dan meningkatkan permeabilitas vaskular serta epitel.
Rangsangan reseptor H-2 akan meningkatkan sekresi mukus glikoprotein.
Rangsangan reseptor H-3 akan merangsang saraf sensorik dan kolinergik serta
menghambat reseptor yang menyebabkan sekresi histamin dari sel mast.
b. Prostaglandin
Prostaglandin (PG) D2 dan PGF2 merupakan bronkokonstrikstor poten.
Prostaglandin E2 menyebabkan bronkodilatasi pada subyek normal invivo,
menyebabkan

bronkokonstriksi

lemah

pada

penderita

asma

dengan

merangsang saraf aferen saluran napas. Prostaglandin menyebabkan kontraksi


otot polos saluran napas dengan cara mengaktifkan reseptor tromboksan
prostaglandin.
c. Platelet activating factor (PAF)
Dibentuk melalui aktivasi fosfolipase A2 pada membran fosfolipid, dapat
dihasilkan oleh makrofag, eosinofil dan neutrofil. Pada percobaan in vitro
ternyata PAF tidak menyebabkan bronkokonstriksi otot polos saluran napas,
jadi PAF tidak menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Kemungkinan
penyempitan saluran napas in vivo merupakan akibat sekunder edema saluran
napas karena kebocoran mikrovaskular yang disebabkan rangsangan PAF.

13

Platelet activating factor juga dapat merangsang akumulasi eosinofil,


meningkatkan adesi eosinofil pada permukaan sel endotel, merangsang
eosinofil agar melepaskan MBP dan meningkatkan ekspresi reseptor IgE
terhadap eosinofil dan monosit.
d. Leukotrien
Berasal dari jalur 5-lipooksigenase metabolisme asam arakidonat, berperan
penting dalam bronkokonstriksi akibat alergen, latihan, udara dingin dan
aspirin. Leukotrien dapat menyebabkan kontraksi otot polos melalui
mekanisme non histamin dan terdiri atas LTA4, LTB4, LTC4, LTD4dan LTE4.
Leukotrien

dapat

menyebabkan

edema

jaringan,

migrasi

eosinofil,

merangsang sekresi saluran napas, merangsang proliferasi dan perpindahan sel


pada otot polos dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular saluran napas.
e. Sitokin
Sitokin merupakan mediator peptida yang dilepaskan sel inflamasi, dapat
menentukan bentuk dan lama respons inflamasi serta berperan utama dalam
inflamasi kronik. Sitokin dihasilkan oleh limfosit T, makrofag, sel mast,
basofil, sel epitel dan sel inflamasi. Sitokin IL-3 dapat mempertahankan sel
mast dan eosinofil pada saluran napas. Inter-leukin-5 dan GM-CSF berperan
mengumpulkan sel eosinofil, Interleukin-4 dan IL-13 akan merangsang
limfosit B membentuk IgE.
f. Endotelin
Endotelin dilepaskan dari makrofag, sel endotel dan sel epitel. Merupakan
mediator

peptida

poten

yang

menyebabkan

vasokonstriksi

dan

bronkokonstriksi. Endotelin-1 meningkat jumlahnya pada penderita asma.


Endotelin juga menyebabkan proliferasi sel otot polos saluran napas,
meningkatkan fenotip profibrotik dan berperan dalam inflamasi kronik asma.
g. Nitric oxide (NO)
Berbentuk gas reaktif yang berasal dari L-arginin jaringan saraf dan nonsaraf,
diproduksi oleh sel epitel dan makrofag melalui sintesis NO. Berperan sebagai
vasodilator, neurotransmiter dan mediator inflamasi saluran napas. Kadar NO

14

pada udara yang dihembuskan penderita asma lebih tinggi dibandingkan orang
normal.
h. Radikal bebas oksigen
Beberapa sel inflamasi menghasilkan radikal bebas seperti anion superoksida,
hidrogen peroksidase (H2O2), radikal hidroksi (OH), anion hipohalida,
oksigen tunggal dan lipid peroksida. Senyawa tersebut sering disebut senyawa
oksigen reaktif. Pada binatang percobaan, hidrogen peroksida dapat
menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Superoksid berperan dalam
proses inflamasi dan kerusakan epitel saluran napas penderita asma. Jumlah
oksidan

yang

berlebihan

pada

saluran

napas

akan

menyebabkan

bronkokonstriksi, hipersekresi mukus dan kebocoran mikrovaskular serta


peningkatan respons saluran napas. Radikal bebas oksigen dapat merusak
DNA, menyebabkan pembentukan peroksida lemak pada membran sel dan
menyebabkan disfungsi reseptor adrenergik saluran napas.
i. Bradikinin
Berasal dari kininogen berat molekul tinggi pada plasma lewat pengaruh
kalikrein dan kininogenase. Secara in vivo merupakan konstriktor kuat saluran
napas dan secara in vitro merupakan konstriktor lemah. Pada penderita asma
bradikinin merupakan aktivator saraf sensoris yang menyebabkan keluhan
batuk dan sesak napas, menyebabkan eksudasi plasma, meningkatkan sekresi
sel epitel dan kelenjar submukosa. Bradikinin dapat merangsang serat C
sehingga terjadi hipersekresi mukus dan pelepasan takikinin.
j. Neuropeptida
Neuropeptida seperti substan P (SP), neurokinin A dan calcitonin gene-related
peptide (CGRP) terletak di saraf sensorik saluran napas. Neurokinin A
menyebabkan

bronkokonstriksi,

substan

menyebabkan

kebocoran

mikrovaskular dan CGRP menyebabkan hiperemi kronik saluran napas.


k. Adenosin
Merupakan faktor regulator lokal, menyebabkan bronkokonstriksi pada
penderita asma. Secara in vitro merupakan bronkokonstriktor lemah dan
berhubungan dengan pelepasan histamin dari sel mast.8

15

5. Mekanisme Saraf
Berbagai proses yang terjadi pada asma dapat disebabkan melalui
mekanisme saraf yaitu mekanisme kolinergik, adrenergik dan non adrenergik non
kolinergik. Kontrol saraf pada saluran napas sangat kompleks.
a. Mekanisme kolinergik
Saraf kolinergik merupakan bronkokonstriktor saluran napas dominan pada
binatang dan manusia. Peningkatan refleks bronkokonstriksi oleh kolinergik
dapat melalui neurotransmiter atau stimulasi reseptor sensorik saluran napas
oleh modulator inflamasi seperti prostaglandin, histamin dan bradikinin.
b. Mekanisme adrenergik
Saraf adrenergik melakukan kontrol terhadap otot polos saluran napas secara
tidak langsung yaitu melalui katekolamin/epinefrin dalam tubuh. Mekanisme
adrenergik meliputi saraf simpatis, katekolamin dalam darah, reseptor
adrenergik dan reseptor adrenergik. Perangsangan pada reseptor adrenergik
menyebabkan bronkokonstriksi dan perangsangan reseptor adrenergik akan
menyebabkan bronkodilatasi.
c. Mekanisme nonadrenergik nonkolinergik (NANC)
Terdiri atas inhibitory NANC (i-NANC) dan excitatory NANC (e-NANC)
yang menyebabkan bronkodilatasi dan bronkokonstriksi. Peran NANC pada
asma belum jelas, diduga neuropeptida yang bersifat sebagai neurotransmiter
seperti substansi P dan neurokinin A menyebabkan peningkatan aktivitas saraf
NANC sehingga terjadi bronkokonstriksi. Kemungkinan lain karena gangguan
reseptor

penghambat

saraf

NANC

menyebabkan

pemecahan

bahan

neurotransmiter yang disebut vasoactive intestinal peptide (VIP).8

D. Patofisiologi asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alegen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Asma
dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan syaraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I
(tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada
orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal

16

dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE
terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang
berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila sesorang menghirup
alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen
kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan
menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.
Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor
kemotaktik, eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal
pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen
bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi
saluran nafas.1
Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran nafas terjadi segera yaitu
10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan
respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada
otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam, bahkan
kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T,
sel mast dan antigen precenting cell (APC) merupakan sel-sel kunci fdalam
patogenesis asma.1
Pada jalur syaraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus, dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan reflek bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan menbuat epitel
saluran napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus
oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi
tanpa melibatkan sel mast, misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin,
asap, kabut, dan SO2. Pada keadaan tersebut, reaksi asma terjadi melalui reflek
syaraf. Ujung syaraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan
dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A, dan Calcitonin GenRelated Peptid (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya

17

bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan


aktifasi sel-sel inflamasi.1
Hipereaktivitas

bronkus

merupakan

ciri

khas

asma,

besarnya

hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang


merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara
digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut antara lain dengan uji
provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, dan inhalasi zat
nonspesifik.1
E. Faktor Resiko Asma
Secara umum faktor resiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan
faktor lingkungan.1
1. Faktor genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi
ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan
dengan faktor pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun
iritan.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan resiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang
sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan body mass index (BMI), merupakan faktor
resiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi
saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun
mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas

18

dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status
kesehatan.
2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur)
3. Faktor lain
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi,
jeruk, bahan penyedap, pengawet dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritosin,
tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain-lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh:parfum, household spray, dan lain-lain.
d. Ekspresi emosi berlebih
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu
dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma
yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami
stress/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelsaikan masalah
pribadinya. Karena jika stressnya belum diobati maka gejala asmanya
lebih sulit diobati.
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap
rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek
berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan resiko terjadinya gejala
serupa asma pada usia dini.
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga
tertentu. Sebagaian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktiviatas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling
mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas
biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.
h. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu

19

terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan


musim, seperti: musim hujan, musin kemarau, musim bunga (serbuk sari
beterbangan)
i. Status ekonomi
F. Gambaran Klinis Asma
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan
sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di
dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada
mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien
akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada
sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi,
dikenal dengan istilah cough variant asthma. Bila hal yang terakhir ini dicurigai,
perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau
uji provokasi bronkus dengan metakolin.9
Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan
gejala asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala
terhadap faktor pencetus non alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang,
infeksi saluran napas maupun perubahan cuaca.9
Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk
pada awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang
gejalanya tetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik
bila pasien dijauhkan dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya.
Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan bahan
tersangka yang ada di lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegakkan
diagnosis.9
G. Klasifikasi asma
Sebenarnya derajat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa
derajat asma persisten dapat berkurang atau bertambah. derajat gejala eksaserbasi

20

atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat
sebelumnya.
1. Klasifikasi menurut etiologi
Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etilogi, terutama
dengan bahan lingkungan yang mensensitisasi. Namun hal itu sulit dilakukan
antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui.
2. Klasifikasi menurut derajat berat asma
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menetukan obat yang
diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma
diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang, dan
persisten berat.
3. Klasifikasi menurut kontrol asma
Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya,
istilah kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau sembuh. Namun
pada asma, hal itu tidak realistis. Maksud kontrol adalah kontrol manifestasi
penyakit. Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan.
Tujuan pengobatan adalah memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk
waktu lama dengan pemberian obat yang aman, dan tanpa efek samping.
4. Klasifikasi menurut gejala
Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada
saat serangan. Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan
berat ringannya suatu penyakit. Pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru
berguna untuk mengklasifikasikan penyakit menurut berat ringannya.
Klasifikasi itu sangat penting untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan asma
ditentukan oleh berbagai faktor seperti gambaran klinis sebelum pengobatan
(gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi -2 agonis,
dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untukmengontrol asma (jenis
obat, kombinasi obat, dan frekuensi pemakaian obat). Asma dapat
diklasifikasikan menjadi intermitten, persisten ringan, persisten sedang, dan
persisten berat (Tabel 1).
Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan
danobat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat
ringannya serangan. Global initiative for asthma (GINA) melakukan
pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji
21

fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menetukan


terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan,
asma serangan sedang, dan asma serangan berat (tabel 2). Dalam hal ini perlu
adanya pembedaan antara asma kronik dengan serangan asma akut. Dalam
melakukan penilaian berat ringannya serangan asma, tidak harus lengkap
untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam
menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan
keterbatasan yang ada.1
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gejala pada orang dewasa1
Derajat Asma
Gejala
Gejala Malam
Faal Paru
intermitten
Bulanan
2 kali sebulan APE 80%
Gejala <1x/minggu,
VEP1 80% nilai
tanpa gejala di luar
prediksi APE
serangan
80% nilai
Serangan singkat
terbaik
Variabilitas APE
<20%
Persisten ringan Mingguan
>2 kali sebulan APE >80%
Gejala >1x/minggu,
VEP1 80% nilai
tetapi <1x/hari
prediksi APE
Serangan dapat
80% nilai
menggangu
terbaik
aktivitas dan tidur
Variabilitas APE
20-30%
Persisten
Harian
>2 kali sebulan APE 60-80%
sedang
Gejala setiap hari
-VEP1 60-80%
Serangan
nilai prediksi
menggangu
APE 60-80%
aktivitas dan tidur
nilai terbaik
Bronkodilator setiap
-Variabilitas APE
hari
>30%
Persisten berat Kontinyu
Sering
APE 60%
Gejala terus
VEP1 60% nilai
menerus
prediksi APE
Sering kambuh
60% nilai
aktivitas fisik
terbaik
terbatas
Variabilitas APE
>30%
Tabel 2. Klasifikasi Derajat Beratnya Serangan Asma9
Ringan
Sedang
Aktivitas
Dapat berjalan
Jalan terbatas

Berat
Sukar berjalan

22

Bicara
Kesadaran
Frekuensi
napas
Retraksi
otot-otot
bantu napas
Mengi

Dapat berbaring

Lebih suka duduk

Beberapa kalimat
Mungkin
terganggu
Meningkat

Kalimat terbatas
Biasanya
terganggu
meningkat

Umumnya tidak
ada

Kadang kala ada

Duduk
membungkuk ke
depan
Kata demi kata
Biasanya
terganggu
Sering >30
kali/menit
ada

Lemah sampai
sedang
<100

Keras

Keras

Frekuensi
100-120
>120
nadi
Pulsus
Tidak ada
Mungkin ada (10- Sering ada (>25
paradoksus (<10mmHg)
25mmHg)
mmHg)
APE sesudah >80%
60-80%
<60%
bronkodilato
r (%
prediksi)
PaCO2
<45mmHg
<45mmHg
<45mmHg
SaCO2
>95%
91-95%
<90%
Keterangan: dalam menentukan klasifikasi tidak seluruh parameter harus
dipenuhi.9
H. Diagnosis Asma
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang
merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak
umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi
maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala
berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit.1
Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus
udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi
dapat membantu identifikasi faktor resiko. Pada penderita dengan gejala konsisten
tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma
diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan
waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut

23

ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma diperlukan pengkajian kondisi


klinis serta pemeriksaan penunjang.1
1. Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat
hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah dan berair
(konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik)
disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian
cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat
berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat
asma, rhinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di
dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah.
Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan
karpet berbulu, sofa kain beludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur.
Apakah sesak seperti bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga,
apakah pasien merokok, orang lain yang merokok, di rumah atau lingkungan
kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin, atau
steroid.1
2. Pemeriksaan klinis
Untuk menetukan diagnosis asma harus dilakukan anamnesis secara rinci,
menetukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada
pemeriksaan fisik pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas,
dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan:
napas cepat sampai sianosis, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas
tambahan di leher, perut, dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan mengi,
ekspirasi diperpanjang.1,9
3. Pemeriksaan penunjang
a. Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga
untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
b. Peak flow meter/PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat
tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru.
Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan
diagnosis asma diperlukan pemeriksaan objektif (spirometer/FEV1 atau
24

PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena PFM


tidak begitu sensitif dibanding FEV, untuk diagnosis obstruksi saluran
napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk
pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam
diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
c. X-ray toraks.
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma
d. Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test), untuk menunjukkan adanya antibodi IgE
spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari
faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab
asma. Pemeriksaan darah IgE atopi dilakukan dengan cara radio allergo
sorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada
dermographism).
e. Petanda inflamasi
Derajat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak
berdasarkan atas penilaian objektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis
dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semikuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru,
pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara
yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi
menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic
Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi
endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi
tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
f. Uji hipereaktivitas bronkus/HRB
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan
dengan berbagai test provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan
nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi
saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis
yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping
ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya
berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2-20m, tidak dalam bentuk
nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis
25

dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi non spesifik untuk mengetahui
HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau
kering, histamin dan metakolin.1
I. Diagnosis Banding dan Komplikasi Asma
1. Diagnosis banding
a. Bronkitis kronik
Ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan dalam
setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Penyebab batuk kronik seperti
tuberkulosis, bronkitis atau keganasan harus disingkirkan dahulu. Gejala
utama batuk disertai sputum biasanya didapatkan pada pasien berumur
lebih dari 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya dimulai dengan batuk
pagi hari, lama kelmaan disertai mengi dan menurunnya kemampuan
kegiatan jasmani. Pada stadium lanjut, datap ditemukan sianosis dan
tanda-tanda cor pulmonal.
b. Emfisema paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema. Sedangkan batuk dan mengi
jarang menyertainya. Pasien biasanya kurus. Berbeda dengan asma, pada
emfisema tidak pernah ada masa remisi, pasien selalu sesak pada kegiatan
jasmani. Pada pemeriksaan fisik ditemukan dada kembung, peranjakan
napas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, dan suara napas sangat
lemah. Pemeriksaan foto dada menunjukkan hiperinflasi.
c. Gagal jantung kiri akut
Dulu gagal jantung kiri akut dikenal dengan nama asma kardial, dan bila
timbul pada malam hari disebut paroxyismal nokturnal dyspnea. Pasien
tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang
atau berkurang bila duduk. Pada anamnesis dijumpai hal-hal yang
memperberat atau memperingan gejala gagal jantung. Disamping ortopnea
pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan edema paru.
d. Emboli paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli antara lain adalah imobilisasi,
gagal jantung dan tromboflebitis. Disamping gejala sesak napas, pasien
batuk-natuk yang dapat disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin,
kejang, dan pingsan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya ortopnea,
takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, irama derap, sianosis, dan

26

hipertensi. Pemeriksaan elektrokardiogram menunjukkan perubahan antara


lain aksis jantung ke kanan.
e. Penyakit lain yang jarang
Seperti stenosis trakea, karsinoma bronkus, poliartritis nodusa.
2. Komplikasi asma
a. Pneumothoraks
b. Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
c. Atelektasis
d. Aspergilosis bronkopulmoner alergik
e. Gagal napas
f. Bronkitis
g. Fraktur iga
J. Pengobatan Asma
Pengobatan asma menurut GINA (Gobal Initiative For Asthma)
Para ahli asma dari berbagai negara terkemuka telah berkumpul dalam suatu
loka karya Global Initiative For Asthma Management And Prevention yag
dikoordinasikan oleh National Health, Lung And Blood Institute Amerika
Serikat dan WHO. Publikasi loka karya tersebut yang dikenal sebagai GINA
diterbitkan pada tahun 1995, dan diperbaharui tahun 1998 dan 2002 dan
hampir seluruh dunia mengikuti protokol pengobatan yang dianjurkan. Namun
cara pengobatan tersebut masih mahal bagi negara sedang berkembang.
Sehingga masing-masing negara dianjurkan membuat kebijakan sesuai dengan
kondisi sosial ekonomi serta lingkungannya.
Ada 6 komponen dalam pengobatan asma, yaitu:
a. Penyuluhan kepada pasien
Karena pengobatan asma memerlukan pengobatan jangka panjang, diperlukan
kerjasam antara pasien, keluarganya serta tenaga kesehatan. Hal ini dapat
tercapai bila pasien dan keluarganya memhami penyakitnya, tujuan
pengobatan, obat-obat yang dipakai serta efek samping.
b. Penilaian derajat beratnya asma
Penilaian derajat beratnya asma baik melaluipengukuran gejala, pemeriksaan
uji faal paru dan analisis gas darah sangat diperlukan untuk menilai hasil
pengobatan. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, banyak pasien asma yang

27

tanpa gejala, ternyata pada pemeriksaan uji faal parunya menunjukkan adanya
obstruksi salura napas.
c. Pencegahan dan pengendalian faktor pencetus serangan
Di harapkan dengan mencegah dan mengendalikan faktor pencetus serangan
asma makin berkurang atau derajat asma makin ringan.
d. Perencanaan obat-obat jangka panjang
Untuk merencanakan obat-obat anti asma agar dapat mengendalikan gejala
asma, ada 3 hal yang harus dipertimbangkan
1) Obat-obat anti asma
2) Pengobatan farmakologis berdasarkan sistem anak tangga
3) Pengobatan asma berdasarkan sistem wilayah bagi pasien.
e. Merencanakan pengobatan asma akut (serangan asma)
Serangan asma ditandai dengan gejala sesak napas, batuk, mengi, atau
kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Derajat serangan asma bervariasi dari
yang ringan sampai berat yang dapat mengancam jiwa. Serangan bisa
mendadak atau bisa juga perlahan-lahan dalam jangka waktu berhari-hari.
Satu hal yang perlu diingat bahwa serangan asma akut menunjukkan rencana
pengobatan jangka panjang telah gagal atau pasien sedang terpajan faktor
pencetus.
Tujuan pengobatan serangan asma yaitu:
1) Menghilangkan obstruksi saluran napas dengan segera
2) Mengatasi hipoksemia
3) Mengambalikan fungsi paru kearah normal secepat mungkin
4) Mencegah terjadinya serangan berikutnya
5) Memberikan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya mengenai caracara mengatasi dan mencegah serangan asma.
f. Berobat secara teratur
Untuk memperoleh tujuan pengobatan yang diinginkan pasien asma pada
umumnya memerlukan pengawasanyang teratur daritenaga kesehatan.
Kunjungan yang teratur ini diperlukan untuk menilai hasil pengobatan, cara
pemakaian obat, cara menghindari faktor pencetus serta oenggunaan alat peak
flow meter. Makin baik hasil pengobatan, kunjungan ini akan semakin jarang.9
Obat-obat anti asma
Pada dasarnya obat-obat anti asma dipakai untuk mencegah dan mengendalikan
gejala asma. Fungsi penggunaan obat anti asma antara lain:9

28

Pencegah (controller) yaitu obat-obat yang dipakai setiap hari, dengan tujuan
agar gejala asma persisten tetap terkendali. termasuk golongan ini yaitu obat-obat
anti inflamasi dan bronkodilator kerja panjang (long acting).obat-obat anti
inflamasi khususnya kortikosteroid inhalasi adalah obat yang paling efektif
sebagai pencegah. Obat-obat anti alergi,bronkodilator atau obat golongan lain
sering dianggap termasuk obat pencegah. Meskipun sebenarnya kurang tepat,
karena obat-obat tersebut mencegah dalam ruang lingkup yang terbatas misalnya
mengurangi serangan asma, mengurangi gejala asma kronik, memperbaiki fungsi
paru, menurunkan reaktifitas bronkus dan memperbaiki kualitas hidup. Obat anti
inflamasi dapat mencegah terjadinya inflamasi serta mempunyai daya profilaksis
dan supresi. Dengan pengobatan anti inflamasi jangka panjang ternyata perbaikan
gejala asma, perbaikan fungsi paru serta penurunan reaktifitas bronkus lebih baik
bila di bandingkan bronkodilator. Termasuk golongan pencegah adalah
kortikosteroid inhalasi, kortikosteroid sistemik, natrium kromolin, natrium
nedokromil, teofilin lepas lambat (TLL), agonis beta 2 kerja panjang hirup
(salmaterol dan formoterol) dan oral dan obat-obat anti alergi.9
Penghilang gejala (reliever) yaitu obat-obat yang dapat merelaksasi bronko
konstriksi dan gejala-gejala akut yang menyertainya dengan segera. Termasuk
dalam golongan ini yaitu agosnis beta 2 hirup kerja pendek (short acting),
kortikosteroid sistemik, anti koinergik hirup, teofilin kerja pendek, agonis beta2
oral kerja pendek.9
Agonis beta 2 hirup (fenoterol, salbutamol, terbutalin, prokaterol)
merupakan obat terpilih untuk gejala asma akut serta bila diberikan sebelum
kegiatan jasmani, dapat mencegah serangan asma karena kegiatan jasmani. Agonis
beta 2 hirup juga dipakai sebagai penghilang gejala pada asma periodik.9
Peran kortikosteroid sitemik pada asma akut untuk mencegah perburukan
gejala lebih lanjut. Obat tersebut secara tidak langsung mencegah atau
mengurangi frekuensi perawatan di ruang rawat darurat atau rawat inap.
Antikolinergik hirup atau ipatropium bromida selain dipakai sebagai tambahan
terapi agonis beta 2 hirup pada asma akut, juga dipakai sebagai obat alternatif
pada pasien yang tidak dapat mentoleransi efek samping agonos beta 2. Teofilin
29

maupun agonis beta2 oral dipakai pada pasien yang secara teknis tidak bisa
memakai sediaan hirup.9
Pengobatan farmakologis berdasarkan anak tangga
Berdasarkan pengobatan sistemik anak tangga, maka mnurut berat ringannya
gejala, asma dapat dibagi menjadi 4 derajat, obat yang dipakai setiap hari obatobat pencegah, dosis tinggi, kortikosteroid hirup, bronkodilator kerja panjang,
kortikosteroid oral jangka panjang (tabel 3).9
Tabel 3. Pengobatan asma jangka panjang menurut sistem anak tangga
Tahap
Asma Intermitten
Asma Persisten Ringan

Asma Persisten Sedang

Asma Persisten Berat

Obat Pencegah Harian


Tidak diperlukan
Kortikosteroid
hirup
500g
BDP
(beclomethasone
diproprionate)
atau
ekuivalen
Kortikosteroid
hirup
(200-1000 g BDP atau
ekuivalen) + LABA (long
acting beta agonist)

Pilihan Lain
Teofilin lepas lambat
Kromolin
Anti leukotrin
- Kortikosteroid hirup
500-1000g BDP atau
ekuivalen + teofilin lepas
lambat atau
- Kortikosteroid hirup
500-1000g BDP atau
ekuivalen + oral LABA
atau
- Kortikosteroid hirup
dosis
lebih
tinggi
>1000g
BDP
atau
ekuivalen
- Kortikosteroid hirup
dosis
lebih
tinggi
>1000g
BDP
atau
ekuivalen + anti leukotrin

Kortikosteroid
hirup
(>1000 g BDP atau
ekuivalen) + LABA satu
atau lebih obat berikut
bila diperlukan
- Teofilin
lepas
lambat
- Anti leukotrin
- LABA oral

30

Kortikosteroid
oral
Anti IgE

Pengobatan Asma Berdasarkan Sistem Wilayah Bagi Pasien


Sistem pengobatan ini dimaksudkan untuk memudahkan pasien mengetahui
perjalanan dan kronisitas asma, memantau kondisi penyakitnya, mengenal tandatanda dini serangan asma, dan dapat bertindak segera mengatasi kondisi tersebut.
Dengan mengunakan peak flow meter pasien diminta mengukur secara teratur
setiap hari, dan membandingkan nilai APE yang didapat pada waktu itu dengan
nilai terbaik APE pasien atau nilai prediksi normal.9
Seperti halnya lampu pengatur lalu lintas, berdasarkan nilai APE akan terletak
pada wilayah:9
Hijau Berarti Aman
Nilai APE luasnya 80-100% nilai prediksi, variabilitas kurang dari 20%. Tidur dan
aktivitas tidak terganggu. Obat-obat yang dipakai sesuai dengan tingkat anak
tangga saat itu. Bila 3 bulan tetap hijau, pengobatan ini diturunkan ke tahap yang
lebih ringan.
Kuning Berarti Hati-Hati
Nilai APE luasnya 60-80% nilai prediksi, variabilitas 20-30%. Gejala asma masih
normal, terbangun malam karena asma, aktivitas terganggu. Daerah ini
menunjukkan bahwa pasien sedang mendapat serangan asma.sehingga obat-obat
anti asma perlu ditingkatkan atau ditambah antara lain agonis beta 2 hirup dan bila
perlu kortikosteroid oral. Mungkin pula tahap pengobatan yang sedang dipakai
belum memadai, sehingga perlu dikaji ulang bersama dokternya.
Merah Berarti Bahaya
Nilai APE di bawah 60% nilai prediksi. Bila agonis beta 2 hirup tidak
memberikan respon, segera mencari pertolongan dokter. Bila dengan agonis beta 2
hirup membaik, masuk ke daerah kuning, obat diteruskan sesuai dengan wilayah
masing-masing. Pada wilyah merah, kortikosteroid oral diberikan lebih awal dan
diberikan oksigen.9

31

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Asma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena
hiperaktivitas

terhadap

rangsangan

tertentu,

yang

menyebabkan

peradangan; penyempitan ini bersifat reversible.


2. Fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu pertukaran gas dan
keseimbangan asam basa

32

3. Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang


melibatkan beberapa selPelepasan mediatorMengaktivasi sel target
saluran napas Bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema,
hipersekresi mukus dan stimulasi refleks saraf.
4. Faktor Resiko Asma : faktor genetik, lingkungan, dan faktor lain.
5. Gambaran Klinis Asma: asma klasik, asma alergik, dan asma karena
pekerjaan.
6. Klasifikasi asma berdasarkan etiologi, derajat berat asma, kontrol asma
dan gejala.
7. Diagnosis asma berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang.
8. Diagnosis banding: bronkitis kronik, emfisema paru, gagal jantung kiri
akut, emboli paru, dan penyakit lainnya.
9. Komplikasi asma: pneumothoraks, pneumodiastinum, atelektasis, dll.
10. Pengobatan asma menggunakan protokol pengobatan menurut GINA
B. Saran
1. Penderita asma sebaiknya menghindari faktor pencetus asma agar tidak
terjadi eksaserbasi.
2. Dokter seharusnya

memberikan

edukasi

dan

pendidikan

kepada

masyarakat, khususnya penderita asma


Bagan 1. Manajemen asma eksaserbasi akut

33

Bagan 2. Manajemen asma eksaserbasi akut pada Unit Gawat Darurat (UGD)

34

35

DAFTAR PUSTAKA
1. Rengganis, I. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhiale.
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI: Jakarta, Majalah Kedokteran
Indonesia, Volume: 58; No.11;Nopember 2008.
2. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H,
Siregar SP, et al. Allergy And Asthma, The Scenario In Indonesia. In:
Shaikh WA. Editor. Principles And Practice Of Tropical Allergy And
Asthma. Mumbai: Vicas Medical Publisher; 2006.707-36
3. Anonim. 2009. Patofisiologi asma.
http://ayosz.wordpress.com/2009/01/07/patofisiologi-asma/
4. Ohrui T, Yasuda H, Yamaya M, Matsui T, Sasaki H. Transient Relief Of
Asthma Symptoms During Jaundice: A Possible Beneficial Role Of
Bilirubin. Department of Geriatric and Respiratory Medicine, Tohoku
University School of Medicine
5. Tanjung, D. 2008. Asma bronhkiale.
http://forbetterhealth.wordpress.com/author/forbetterhealthy/asmabronkhiale diakses tanggal 22 mei 2011
6. Healthzone. 2008. Asma bronkhiale.
http://puskesmas-oke.blogspot.com/2008/12/asma-bronkial.html di akses
tanggal 25 Mei 2011
7. Alsagaff, H., Mukty, A. 2009. Anatomi dan Faal Pernapasan dalam
Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru, Edisi 6. Airlangga University Press:
Surabaya
8. Rahmawati, I., Yunus, F., Wiyono, WH. 2003. Artikel: Tinjauan
Kepustakaan Patogenesis dan Patofisiologi Asma. Bagian Pulmonologi
dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/ Rumah Sakit Persahabatan: Jakarta, Cermin Dunia Kedokteran
No. 141, 2003
9. Sukamto, Sundaru, H. 2006. Asma Bronkhiale Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta

TINJAUAN PUSTAKA

36

DAFTAR ISI
Halaman judul.. i
Halaman pengesahan.ii
Daftar isi.iii
BAB I PENDAHULUAN...1
A. Latar belakang masalah1
B. Tujuan penulisan 2
C. Manfaat penulisan... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA . 3
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.

Definisi .. 3
Anatomi Dan Fisiologi 3
Patogenesis Asma 7
Patofisiologi Asma 17
Faktor Resiko Asma 18
Gambaran Klinis Asma 20
Klasifikasi Asma . 21
Diagnosis Asma .. 24
Diagnosis Banding Dan Komplikasi Asma 26
Pengobatan Asma . 28

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN.....34


A. Kesimpulan34
B. Saran 34
DAFTAR PUSTAKA . 35

37

Anda mungkin juga menyukai