Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Gejala Bahasa


Gejala bahasa ialah peristiwa yang menyangkut bentukan-bentukan kata atau
kalimat dengan segala proses pembentukannya (Badudu, 1985:47). Gejala bahasa
yang dalam bahasa Indonesia diistilahkan dengan kerancuan. Rancu artinya
kacau, jadi kerancuan artinya kekacauan. Yang dirancukan ialah susunan,
perserangkaian, penggabungan. Dua yang masing-masing berdiri sendiri
disatukan dalam satu perserangkaian baru yang tidak berpasangan atau
berpadanan.
Beberapa gejala bahasa ternyata banyak ditemukan di dalam bahasa gaul yang
digunakan remaja-remaja yaitu berupa penghilangan fonem (afaresis, sinkop,
apokop), penambahan fonem (efentesis, paragog), metasis, gejala adaptasi,
akronim, singkatan.
2.2 Gejala dalam Interferensi Bahasa
Hubungan yang terjadi antara kedwibahasaan dan interferensi sangat erat terjadi.
Hal ini dapat dilihat pada kenyataan pemakaian bahasa dalam kehidupan seharihari. Situasi kebahasaan masyarakat tutur bahasa Indonesia sekurang-kurangnya
ditandai dengan pemakaian dua bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu
dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Situasi pemakaian seperti inilah
yang dapat memunculkan percampuran antara bahasa daerah dan bahasa
Indonesia. Bahasa ibu yang dikuasai pertama, mempunyai pengaruh yang kuat
terhadap pemakaian bahasa kedua, dan sebaliknya bahasa kedua juga mempunyai
pengaruh yang besar terhadap pemakaian bahasa yang pertama. Kebiasaan untuk

memakai kedua bahasa lebih secara bergantian disebut kedwibahasaan. Peristiwa


semacam ini dapat menimbulkan interferensi.
Interferensi secara umum dapat diartikan sebagai percampuran dalam bidang
bahasa. Percampuran yang dimaksud adalah percampuran dua bahasa atau saling
pengaruh antara kedua bahasa. Hal ini dikemukakan oleh Poerwadarminto dalam
Pramudya (2006: 27) yang menyatakan bahwa interferensi berasal dari bahasa
inggris interference yang berarti percampuran, pelanggaran, rintangan. Istilah
interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1968: 1) untuk menyebut
adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan
bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang
bilingual. Penutur yang bilingual adalah penutur yang menggunakan dua bahasa
secara bergantian, sedangkan penutur multilingual merupakan penutur yang dapat
menggunakan banyak bahasa secara bergantian. Peristiwa interferensi terjadi pada
tuturan dwibahasawan sebagai kemampuannya dalam berbahasa lain.
Weinreich (1968: 1) juga mengatakan bahwa interferensi adalah bentuk
penyimpangan penggunaan bahasa dari norma-norma yang ada sebagai akibat
adanya kontak bahasa karena penutur mengenal lebih dari satu bahasa.
Interferensi berupa penggunaan bahasa yang satu dalam bahasa yang lain pada
saat berbicara atau menulis. Di dalam proses interferensi, kaidah pemakaian
bahasa mengalami penyimpangan karena adanya pengaruh dari bahasa lain.
Pengambilan unsur yang terkecil pun dari bahasa pertama ke dalam bahasa kedua
dapat menimbulkan interferensi.
Poedjosoedarmo (1989: 53) menyatakan bahwa interferensi dapat terjadi pada
segala tingkat kebahasaan, seperti cara mengungkapkan kata dan kalimat, cara
membentuk kata dan ungkapan, cara memberikan kata-kata tertentu, dengan kata
lain interferensi adalah pengaturan kembali pola-pola yang disebabkan oleh
masuknya elemen-elemen asing dalam bahasa yang berstruktur lebih tinggi,
seperti dalam fonemis, sebagian besar morfologis dan sintaksis, serta beberapa
perbendaharaan kata (leksikal).

2.3 Macam-Macam Gejala Bahasa


Macam-macam gejala bahasa terdiri dari :
2.3.1 Adisi
1. Protesis
Protesis yaitu peristiwa penambahan fonem diawal kata. Contoh gejala
protesis, seperti: mas menjadi emas, stri (Sansekerta) menjadi istri,
lang menjadi elang, mak menjadi emak, undur menjadi mundur,
arta menjadi harta.
2. Efentesis
Epentesis yaitu perubahan bentuk kata yang terjadi karena penyisipan fonem
ke dalam kata asal. Contoh gejala efentesis,
seperti: kapak menjadi kampak, sajak menjadi sanjak, peduli menjadi
perduli, baya menjadi bahaya, bhayankara menjadi bhayangkara,
jur menjadi jemur.
3. Paragog
Paragog adalah perubahan bentuk kata yang terjadi karena penyisipan
fonem di akhir kata asal. Contoh gejala paragog,
seperti: hulubala menjadi hulubalang, ina menjadi inang,
sila menjadi silah (pada kata dipersilahkan), pen menjadi pena,
datu menjadi datuk, hulubala menjadi hulubalang, conto menjadi contoh.
2.3.2 Reduksi
1. Afaresis
Afaresis adalah penghilangan fonem pada awal kata. Contoh:
umudik menjadi mudik, stani (Sansekerta) menjadi tani, empunya menjadi
punya, sampuh menjadi ampuh.
2. Sinkop
Sinkop adalah proses penghilangan fonem ditengah kata. Contoh gejala
sinkop, seperti: bahasa menjadi basa, sahaya menjadi saya,
gemericik menjadi gemercik, pelihara menjadi piara, mangkin menjadi
makin, niyata menjadi nyata, utpatti menjadi upeti.
3. Apokop
Apokop yaitu proses penghilangan fonem pada akhir kata. Contoh gejala
apokop, seperti: import menjadi impor, eksport menjadi ekspor,

sikut menjadi siku, riang menjadi ria, anugraha menjadi anugerah,


pelangit menjadi pelangi.
2.3.3

Adaptasi

Adaptasi ialah perubahan bunyi dan struktur bahasa asing menjadi bunyi dan
struktur yang sesuai dengan penerimaan pendengaran atau ucapan lidah bangsa
pemakai bahasa yang dimasukinya. Adaptasi atau penyesuaian dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:
1. Adaptasi fonologis adalah penyesuaian perubahan bunyi bahasa asing
menjadi bunyi yang sesuai dengan ucapan lidah bangsa pemakai bahasa yang
dimasukinya. Adaptasi ini menekankan pada lafal bunyi, misalnya:
Bahasa Asing atau Daerah
Fadhuli
(Arab)
Vooloper
(Belanda)
Chauffeur
(Belanda)
Trampil
(Jawa)
Kraton
(Jawa)

Bahasa yang Dimasukinya


Peduli
Pelopor
Sopir
Terampil
Keraton

2. Adaptasi morfologis adalah penyesuaian struktur bentuk kata. Perubahan


struktur bentuk kata ini pasti berpengaruh pada perubahan bunyi, misalnya:
Bahasa Asing
Schildwacht
(Belanda)
Parameswari
(Sanskerta)
Prahara
(Sanskerta)

2.3.4

Bahasa yang Dimasukinya


Sekilwak
Permaisuri
Perkara

Analogi

Analogi merupakan salah satu cara pembentukan kata baru. Dalam suatu bahasa
yang disebut analogi adalah suatu bentukan bahasa dengan meniru contoh yang
sudah ada. Dalam suatu bahasa yang sedang tumbuh dan berkembang,
pembentukan kata-kata baru (analogi) sangat penting sebab bentukan kata baru
dapat memperkaya perbendaharaan bahasa.

Menyatakan laki-laki
Menyatakan perempuan
Saudara
/a/
Saudari
/i/
Pemuda
/a/
Pemudi
/i/
Siswa
/a/
Siswa
/i/
Mahasiswa
/a/
Mahasiswi
/i/
Kedua bentuk kata itu terdapat perbedaan fonem, yaitu fonem /a/ dan /i/ pada
akhir kata. Fonem /a/ dan /i/ mempunyai fungsi menyatakan perbedaan jenis
kelamin laki-laki dan perempuan.
2.3.5

Kontaminasi

Dalam bahasa Indonesia, kata kontaminasi sama dengan kerancuan.


Kata rancu berarti campur aduk, kacau. Dalam bidang bahasa, kata rancu
(kerancuan) dipakai sebagai istilah yang berkaitan dengan pencampuradukan
dua unsur bahasa (imbuhan, kata, frase, atau kalimat) yang tidak wajar.
Perhatikan kata-kata sebagai berikut:
1. Dinasionalisirkan
2. Dipublisirkan
Pada contoh di atas, dapat kita lihat kerancuan akhiran {-ir} (Belanda)
dengan akhiran {-kan}. Baik akhiran {-ir} maupun akhiran {-kan} berfungsi
membentuk kata kerja. Pada bentuk rancu dinasionalisirkan
dan dipublisirkan, terjadi dua kali proses pembentukan kata kerja itu;
pertama, dengan akhiran {-ir}, dan kedua dengan akhiran {-kan}. Bentuk
dinasionalisasikan berasal dari tumpang tindih dua kata: dinasionalisir dan
dinasionalisasikan, kedua bentuk terakhir ini sama artinya.
Bentuk kata kerja di atas dalam pemakaian bahasa Indonesia bersaing
dengan kata-kata dinasionalisasikan dan dipublikasikan, yang hanya terjadi
satu kali proses pembentukkannya, yaitu dari kata benda nasional dan kata
benda publikasi. Peristiwa seperti diatas disebut kontaminasi bentukan kata.
2.3.6

Hiperkorek

Gejala hiperkorek merupakan proses pembetulan bentuk yang sudah betul lalu
malah menjadi salah. Gejala hiperkorek dapat kita perhatikan dalam uraian
berikut.

1. Fonem /s/ menjadi /sy/ ; sehat menjadi syehat, insaf menjadi insyaf, saraf
menjadi syaraf.
2. Fonem /h/ menjadi /kh/ : ahli menjadi akhli, hewan menjadi khewan,
rahim menjadi rakhim.
3. Fonem /p/ menjadi /f/ ; pasal menjadi fasal, paham menjadi faham.
4. Fonem /j/ menjadi /z/ ; ijazah menjadi izazah, jenazah menjadi zenazah.

2.3.7

Varian

Gejala varian sering kita jumpai dalam ucapan pejabat pada Era Orde Baru.
Vocal /a/ pada sufiks kan menjadi //. Misalnya: Direncanakan menjadi
direncanaken, digalakkan menjadi digalakken, diambilkan menjadi diambilken,
membacakan menjadi membacaken, membanggakan menjadi membanggaken,
berdasarkan menjadi berdasarken.

2.3.8

Asimilasi

Gejala asimilasi berarti proses penyamaan atau penghampirsamaan bunyi yang


tidak sama. Misalnya:
Alsalam > assalam > asalam;
Inmoral > immoral;
Mertua > mentua.

2.3.9

Disimilasi

Disimilasi adalah proses berubahnya dua buah fonem yang sama menjadi tidak
sama. Misalnya:
Vanantara

(Sanskerta)

>

belantara;

Citta

(Sanskerta)

>

cipta;

Sajjana

(Sanskerta)

>

sarjana;

Rapport

(Belanda)

>

lapor;

Lalita

(Sanskerta)

>

jelita;

Lauk-lauk

(Melayu)

>

lauk pauk.

2.3.10 Metatesis
Metatesis suatu pertukaran, adalah perubahan kata yang fonem-fonemnya
bertukar tempatnya. Contoh:
Rontal

>

lontar;

Beting

>

tebing;

Kelikir

>

kerikil;

Banteras

>

berantas;

Almari

>

lemari;

Apus

>

usap sapu;

Lebat

>

tebal.

2.3.11 Diftongisasi
Diftongisasi adalah proses perubahan suatu monoftong jadi diftong. Contoh:
Sodara

>

saudara;

Suro

>

surau;

Pulo

>

pulau;

Pete

>

petai;

Sate

>

satae;

Gule

>

gulai;

2.3.12 Monoftongisasi
Monoftongisasi adalah proses perubahan suatu diftong (gugus vocal) menjadi
monoftong. Contoh:
Gurau

>

guro;

Sungai

>

sunge;

Danau

>

dano;

Buai

>

bue;

Tunai

>

tune.

2.3.13 Anaptiksis
Anaptiksis adalah proses penambahan suatu bunyi dalam suatu kata guna
melancarkan ucapannya. Contoh:
Putra

>

putera;

Putri

>

puteri;

Slok

>

seloka;

Candra

>

candera;

Srigala

>

serigala.

2.3.14 Haplologi
Haplologi adalah proses penghilangan suku kata yang ada di tengah-tengah kata.
Contoh:
Sarnantara

>

sementara;

Budhidaya

>

budaya;

Mahardhika

>

merdeka.

2.3.15 Kontraksi

Kontraksi adalah gejala yang memperlihatkan adanya satu atau lebih fonem
yang dihilangkan. Kadang-kadang, ada perubahan atau penggantian fonem.
Contohny
Perlahan-lahan

>

pelan-pelan;

Bahagianda

>

baginda;

Tidak ada

>

tiada;

Tapian na uli

>

tapanuli.

2.4 Fenomena Bahasa Alay dan Gaul


Fenomena-fenomena dalam penggunakan bahasa yang marak digunakan pada
masa kini anatar lain :
1) Bahasa Alay
Kata Alay bisa diartikan sebagai Anak layangan, Anak lebay, Anak kelayapan,
dan lain sebagainya. Dimana anak-anak tersebut sering didefinisikan sebagai
anak-anak yang berkelakuan tidak biasa atau dapat dikatakan berlebihan. Anakanak ini ingin diketahui statusnya diantara teman-teman sejawatnya, mereka
ingin selalu memperlihatkan ke-eksis-an atau kenarsisan mereka dalam segala
hal. Misalnya dalam hal berpakaian, bertingkah laku, serta berbahasa (baik lisan
maupun tulis). Sesuai dengan pengertian tersebut, maka dapat diketahui bahwa
bahasa alay adalah bahasa yang digunakan oleh anak-anak alay (Hanuem, 2012).

Menurut Sahala Saragih, dosen Fakultas Jurnalistik, Universitas Padjajaran,


bahasa alay merupakan bahasa sandi yang hanya berlaku dalam komunitas
mereka. Penggunaan bahasa sandi tersebut menjadi masalah jika digunakan
dalam komunikasi massa atau dipakai dalam komunikasi secara tertulis. Dalam
ilmu bahasa, bahasa alay termasuk sejenis bahasa diakronik. Yaitu bahasa yang
dipakai oleh suatu kelompok dalam kurun waktu tertentu. Ia akan berkembang
hanya dalam kurun tertentu. Perkembangan bahasa diakronik ini, tidak hanya
penting dipelajari oleh para ahli bahasa, tetapi juga ahli sosial atau mungkin juga

politik. Sebab, bahasa merupakan sebuah fenomena sosial. Ia hidup dan


berkembang karena fenomena sosial (Hanuem,2012).

a. Karasteristik Bahasa Alay


Seiring dengan semakin banyaknya penggunaan bahasa alay pada
kalangan remaja, variasi atau karasteristiknya pun semakin beragam.
Antara lain:
a) Pemakaian huruf besar kecil yang berantakan dalam satu kalimat,
contohnya: kaMu Lagi nGapaiN?
b) Penggunaan angka sebagai pengganti huruf, contohnya: k4mu L49i
n94p4in?
c) Penambahan atau pengurangan huruf-huruf dalam satu kalimat,
contohnya: amue agie ngapaein?
d) Menambahkan atau mengganti salah satu huruf dalam kalimat,
contohnya: xmoe agie ngaps?
e) Penggunaan simbol-simbol dalam kalimat, contohnya: k@mu L@g!
nG@p@!n?
Contoh-contoh tersebut masih sangat sedikit, itu artinya masih banyak lagi
variasi-variasi atau karasteristik penggunaan bahasa alay di kalangan
remaja saat ini. Karasteristik tersebut juga tidak dapat diketahui dan
dijelaskan secara pasti karena kata-kata dalam bahasa alay itu sendiri tidak
mempunyai standar yang pasti, hanya disesuaikan oleh mood atau teknik
penulisan si pembuat kalimat (Hanuem, 2012).

b. Awal Mula Penggunaan Bahasa Alay


Dengan semakin berkembangnya teknologi, terutama berkembangnya situs
jejaring sosial, seperti facebook dan twitter. Pada tahun 2008, muncul suatu
bahasa baru dikalangan remaja, yang disebut dengan bahasa Alay.
Kemunculannya dapat dikatakan fenomenal, karena cukup menyita perhatian.
Bahasa baru ini seolah menggeser penggunaan bahasa Indonesia dikalangan
segelintir remaja. Mereka lebih tertarik untuk mengunakan bahasa alay yang
dapat digunakan sesuai keinginan mereka daripada menggunakan bahasa
Indonesia yang kaku dan baku (Hanuem, 2012).

Namun jika diteliti lebih lanjut, penggunaan bahasa alay ini sudah ada jauh
sebelum bahasa alay berkembang di facebook maupun twitter, yaitu ditandai
dengan maraknya penggunaan singkatan dalam mengirim pesan pendek atau
SMS (short message service). Hanya saja pada saat itu belum disebut dengan
bahasa alay. Selain itu ada banyak tambahan variasi yang menyebabkan
bahasa tersebut kemudian disebut dengan bahasa alay. Misalnya dalam bentuk
SMS biasa, km lg ngapa? yang maksudnya adalah kamu lagi ngapain?,
dan dalam bentuk SMS alay menjadi, xm Gy nGaps?. Tujuan awalnya
adalah sama yaitu untuk mengirimkan pesan yang singkat, padat, dan dapat
menekan biaya (Hanuem, 2012).
c.

Perkembangan Bahasa Alay

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa bahasa alay sudah mulai
berkembang pesat seiring dengan berkembangnya teknologi. Yang
sebelumnya hanya digunakan oleh kalangan tertentu, sekarang bahasa alay
sudah dapat digunakan oleh berbagai kalangan, tak terkecuali anak-anak. Yang
semula hanya digunakan dalam bentuk tulisan, sekarang bahasa alay sudah
banyak ditemukan dalam bentuk lisan. Bagaimana caranya? Banyak cara yang
digunakan untuk berbahasa alay dalam bentuk lisan, salah satunya yaitu
dengan memonyongkan bibir atau mendesah mengikuti kata-kata yang mereka
ucapkan(Hanuem, 2012).
Bagi mereka yang sudah terbiasa dan menyukai kebiasaan mereka berbahasa
alay, hal tersebut merupakan kesenangan dan kebanggaan tersendiri. Mereka
menginginkan untuk menjadi yang paling keren dari teman-temannya.
Mereka menganggap bahwa bahasa alay merupakan bentuk kreativitas yang
harus mereka kembangkan untuk mencapai sebuah kepuasan dan untuk
mendapatkan pujian dari teman-temannya. Namun dalam pandangan orang
lain yang tidak terbiasa mendengar atau menggunakan bahasa alay, hal
tersebut justru sangat norak dan kampungan. Mereka tidak mau menerima
adanya bahasa alay karena mereka terganggu dan menganggap bahasa alay

adalah bahasa yang sangat sulit untuk dipahamai serta tidak mudah
dimengerti(Hanuem, 2012).
2) Bahasa Gaul
Bahasa gaul adalah ragam bahasa Indonesia nonstandar yang lazim digunakan di
Jakarta pada tahun 1980-an. Ragam ini semula diperkenalkan oleh generasi
muda yang mengambilnya dari kelompok waria dan masyarakat terpinggir lain
(Chompik, 2012).
a. Struktur bahasa gaul
Ragam bahasa gaul remaja memiliki ciri khusus, singkat, lincah dan kreatif.
Kata-kata yang digunakan cenderung pendek, sementara kata yang agak panjang
akan diperpendek melalui proses morfologi atau menggantinya dengan kata yang
lebih pendek seperti memang menjadi emang.Kalimat-kalimat yang digunakan
kebanyakan berstruktur kalimat tunggal. Bentuk-bentuk elip juga banyak
digunakan untuk membuat susunan kalimat menjadi lebih pendek sehingga
seringkali dijumpai kalimat-kalimat yang tidak lengkap. Dengan menggunakan
struktur yang pendek, pengungkapan makna menjadi lebih cepat yang sering
membuat pendengar yang bukan penutur asli bahasa Indonesia mengalami
kesulitan untuk memahaminya.

Pengunaan awalan e
kata emang itu bentukan dari kata memang yang disispi bunyi e. Disini jelas
terjadi pemendekan kata berupa mengilangkan huruf depan (m). Sehingga
terjadi perbedaan saat melafalkan kata tersebut dan merancu dari kata

aslinya.
Kombinasi k, a, g
Kata kagak bentukan dari kata tidak yang bunyinya tid diganti kag. Huruf
konsonan pada kata pertama diganti dengan k huruf vocal i diganti a. Huruf

konsonan kedua diganti g. sehingga kata tidak menjadi kagak.


Sisipan e
Kata temen merupakan bentukan dari kata teman yang huruf vokal a
menjadi e. Hal ini mengakibatkan terjadinya perbedaan pelafalan (Chompik,
2012).

b. Pengaruh Bahasa Gaul Terhadap Eksistensi Bahasa Indonesia


Bahasa gaul dapat timbul dimana saja. Bahasa yang digunakan oleh anak muda
pada umumnya ini muncul dari kreativitas mengolah kata baku dalam bahasa
Indonesia menjadi kata yang tidak baku. Bahasa gaul kita dapati dimana saja,
karena bahasa gul dapat timbul di iklan tevisi, lirik lagu remaja, Novel remaja
dan banyak lagi. Inilah kenyataan bahwa tumbuhnya bahasa gaul ditengah
eksistensi bahasa Indonesia tidak dapat dihindari ini karena pengaruh
perkembangan alat komunikasi yang terus berkembang dan karena bahasa gaul
dipakai anak muda kebanyakan maka bahasa baku akan tergeser eksistensinya
(Chompik, 2012).
c.

Dampak Pengaruh Bahasa Gaul

Gejala bahasa yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan bahasa


Indonesia dianggap sebagai penyimpangan terhadap bahasa. Kurangnya
kesadaran untuk mencintai bahasa di negeri sendiri berdampak pada tergilasnya
atau lunturnya bahasa Indonesia dalam pemakaiannya dalam masyarakat
terutama dikalangan remaja. Apalagi dengan maraknya dunia kalangan artis
menggunakan bahasa gaul di media massa dan elektronik, membuat remaja
semakin sering menirukannya di kehidupan sehari-hari hal ini sudah menjadi
wajar karena remaja suka meniru hal-hal yang baru. Inilah yang menjadi awal
lunturnya bahasa Indonesia yang baik dan berganti dengan bahasa gaul
(Chompik, 2012).

DAFTAR PUSTAKA

Suyanto, Edi.2011.Membina, Memelihara, dan Menggunakan


Bahasa Indonesia Secara benar.Yogyakarta:Ardana Media.
Suyanto. 2012. Contoh makalah pengaruh bahasa gaul.
http://haneum.blogspot.com. Diakses pada tanggal 24 April 2016
pukul 13:10 WIB
http://hanuem.blogspot.com/2012/03/vbehaviorurldefaultvmlo.html Diakses pada 24 April 2016 pukul
13:10 WIB.
2012. Contoh makalah pengaruh bahasa gaul.
http://chompik.blogspot.com. Diakses pada tanggal 24 April 2016
pukul 13:20 WIB.
http://chompik.blogspot.com/2012/09/contoh-makalah-pengaruhbahasa-gaul.html Diakses pada 24 April 2016 pukul 13:20 WIB.
2012. Gejala bahasa. http:// seribahasaindonesia.blogspot.co.id.
Diakses pada 24 April 2016 pukul 13:43 WIB.

http://seribahasaindonesia.blogspot.co.id/2011/12/gejalabahasa.html Diakses pada 24 April 2016 pukul 13:43 WIB.


2014. Perubahaan bentuk kata. http://yunitasari.blogspot.co.id.
Diakses pada 1 Mei 2016 pukul 19:20 WIB.
http://yunitassari.blogspot.co.id/2014/05/perubahan-bentukkata.html Diakses pada 1 Mei 2016 pada pukul 19:20 WIB.

Anda mungkin juga menyukai