Anda di halaman 1dari 9

SOSILINGUISTIK

A. Interferensi
Interferensi didefinisikan sebagai penyimpangan tuturan dari norma bahasa
yang terjadi dalam ujaran kedwibahasaan sebagai akibat dari pengenalan anak
terhadap lebih dari satu bahasa, atau dengan kata lain sebagai akibat kontak bahasa.
Istilah interferensi ini pertama kali diperkenalkan oleh Weinrich pada tahun 1953
dalam bukunya Languages in Contact (Hoffmann, 1991). Interferensi merupakan fitur
dari kedwibahasaan yang sering muncul karena adanya pengaruh satu bahasa terhadap
bahasa lain.
Jendra (1991) memeperkenalkan istilah Interferensi dengan membedakannya
dengan intergrasi. Intergrasi didefinisikan sebagai penyusupan unsur suatu bahasa ke
dalam bahasa lain, tetapi ada perbedaannya dengan interferensi dalam beberapa hal.
Keduanya, baik interferensi maupun intergrasi merupakan akibat dari kontak bahasa
antara kedua masyarakat bahasa yang bersangkutan, keduanya sama-sama merupakan
penyusupan dari satu bahasa ke bahasa lain. Di samping itu, keduanya mempunyai
persamaan dalam hal proses kejadiannya, yang meliputi:
1. Adanya bahasa sumber atau bahasa donor, yaitu bahasa yang
menyusupkan sistemnya ke bahasa lain.
2. Adanya bahasa penerima yaitu bahasa yang disisipi bahasa lain.
3. Adanya unsur bahasa serapan, yaitu bahasa yang terserap.
Interferensi maupun intergrasi bisa meliputi semua komponen bahasa baik itu
pada bidang fonologi, morfologi, sintaksis, kosa kata maupun tata makna.
Perbedaan antara kedua istilah tersebut menurut jendra (1991) dapat dilihat
dari unsur bahasa penerimanya dan dari segi keluasan ruang gerak aspek penuturnya.
Interferensi merupakan gejala ujaran yang bersifat perorangan, sehingga ruang
geraknya sempit yang terjadi akibat gejala parole. Karena interferensi itu berupa
penyimpangan pada tataran tertentu, maka interferensi sering merupakan gejala
negatif. Dilihat dari sudut pandang sikap berbahasa, gejala interferensi juga bersifat
negatif karena kurang menguntungkan usaha pembinaan dan pengembangan.
Sebaliknya, intergrasi dianggap sebagai gejala bahasa yang ruang lingkupnya lebih
luas dari interferensi, yang terjadi pada lingkup langue atau langage karena unsur
bahasa tersebut tidak ada pada bahasa penerima sehingga unsur serapan dianggap
wajar dan bisa berlaku pada bahasa manapun. Dilihat dari sudut pandang
pengembangan bahasa, intergrasi menguntungkan bahasa penyerap atau penerima dan
sering unsur intergrasi bahasanya telah disesuaikan dengan kaidah bahasa penyerap.
B. Jenis-jenis Interferensi
Hoffmann (1991) mengatakan reterferensi dibagi menjadi 4 jenis yaitu:
1. Interferensi pada Tataran Fonologi
Interferensi pada tataran fonologi sering disebut ‘aksen asing’. Dwibahasawan
dewasa lebih sering menunjukkan fitur-fitur interferensi seperti tekanan, irama,
intonasi dan bunyi suara dari bahasa ibu merekan untuk bahasa kedua mereka
(Hoffmann, 1991). Interferensi dalam bentuk aksen asing ini lebih mudah untuk
diidentifikasi dibandingkan dengan bentuk interferensi yang lain. Contohnya
adalah pabelajar dari Bali Indonesia sering mengucapkan ‘three’ sama dengan
‘tree’ karena bunyi ‘th-‘ dibaca seperti halnya dalam bahasa Indonesia /t/ yang
ditransfer ke dalam bahasa Inggris. Contoh interferensi yang lain adalah intonasi,
terutama oleh dwibahasawan dewasa. Mereka sering menggunakan intonasi dalam
bahasa Ibu yang ditransfer ke dalam bahasa asing. Misalnya penutur bahasa
Norwegia mengucapkan intonasi naikpada akhir kalimat juga dipakai di Bahasa
Inggris sehingga setiap kalimat seolah-olahmemiliki intonasi untuk bertanya.
2. Interferensi pada Tataran Gramatikal
Jenis interferensi ini banyak meliputi aspek sintaksis seperti susunan kata,
penggunaan kata ganti, pola kata kerja dan sebagainya. Bidang sintaksis
merupakan perangkat bahasa yang agak sulit terkena pengaruh interferensi, tetapi
ada kalanya bidang ini bisa terkena pengaruh interferensi karena pengaruh
bahasanya demikian mendalam. Misalnya penutur Bali sering menggunakan
ekspresi berikut:
a. Gak marah gak dia.
b. Dia gak berani gak dia bilang demikian.
c. Dia gak masih tinggal di Bali.
Ketiga tuturan di atas mendapat pengaruh interferensi Bahasa Bali, yang kalau
dicari sumbernya akan berupa kalimat berikut:
a. “Ia sing gedeg sing ia”.
b. “Ia sing bani sing ia ngomongketo”.
c. “Ia sing nu nongos di Bali”.
Dalam Bahasa Indonesia yang benar bisa dituliskan sebagai berikut:
a. “Dia tidak marah”.
b. “Dia tidak berani bilang demikian”.
c. “Dia tidak lagi tinggal di Bali”.
3. Interferensi pada Tataran Leksikal
Perangkat kosa kata merupakan bagian yang paling mudah mendapat
pengaruh. Interferensi bisa terjadi pada tataran kosa kata karena dwibahasawan
meminjam satu kata dari bahasa lain ketika berbicara dengan seseorang yang
monolingual baik digunakan secara temporer atau permanen, kata yang dipinjam
mungkin disesuaikan agar peminjaman tidak begitu kentara. Interferensi biasanya
terjadi dari bahasa yang lebih kuat ke bahasa yang lebih lemah. Contoh pengaruh
interferensi dari bahasa Inggris misalnya miscall, out, dan sebagainya.

4. Interferensi pada Tataran Tulisan


Interferensi pada tataran tulisan adalah transfer sistem penulisan dari satu
bahasa ke bahasa yang lain (Hoffmann, 1991). Contohnya adalah seorang siswa
Indonesia yang menulis kata 'pensil dalam Bahasa Inggris karena pengaruh dari
Bahasa Indonesia. Terjadinya interferensi karena biasanya seseorang kurang
memahami aturan sistem penulisannya yang benar.

5. Interferensi pada Tataran Semantik


Jendra (1991) menambahkan jenis-jenis interferensi di atas dengan interferensi
pada tataran semantik yang sebenarnya terkandung pada perangkat kebahasaan
pada bidang kosa kata dan tatabahasa. Menurut Jendra, interferensi semantik,
memiliki tiga ragam, yaitu:
a. Interferensi semantik perluasan (semantic expansive interference) yang
dipakai untuk menjelaskan fenomena jika penyerapan unsur bahasa dari
bahasa sumber yang sekaligus menyerap konsep budayanya dan juga
namanya. Contohnya: politik, demokrasi dan sebagainya.
b. Interferensi penambahan (semantic additive interference). Interferensi ini
terjadi bila bentuk baru muncul berdampingan dengan bentuk lama tetapi
bentuk baru bergeser dari makna semula. Misalnya kata tuna netra
berdampingan dengan kata buta dan kata hamil berdampingan dengan kata
bunting dan sebagainya.
c. Interferensi semantik penggantian. Interferensi ini terjadi bila penggantian
nilai makna dari suatu bentuk kata lama menjadi konsep baru. Misalnya kata
amerta (Sansekerta) di Indonesia menjadi (Bali) menjadi 'merta' yang di dalam
bahasa Sansekerta berarti 'mati’.
Unsur serapan dalam peristiwa interferensi bisa menimbulkan kemungkinan bahwa kata
serap (loan words) akan mendorong terjadinya pembeharuan dalam bahasa penyerap,
atau pindah kode (loan shift) yaitu pemindahan unsur serapan secara total. Kemungkin
dampak lain adalah perubahan pada sistem fonologi maupun morpologis dari bahasa
penyerap.
C. Integrasi
Jika unsur serapan masuk ke bahasa lain dan unsur serapan itu belum dimiliki
oleh bahasa penyerap, maka akan terjadi proses integrasi. Dalam proses integrasi
unsur serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya
sehingga tidak terasa lagi sifat keasingannya. Penyesuaian bentuk unsur integrasi
biasanya tergantung pada perbedaan dan persamaan sistem bahasa sumber dan bahasa
penyerapnya, juga tergantung pada kebutuhan akan unsur serapan itu sendiri dan
sikap penutur bahasa penyerap, sehingga penyesuaiannya bisa menghabiskan waktu
yang cukup lama. Seperti halnya interferensi, integrasi juga terjadi pada berbagai
tataran, yaitu tataran fonologi, tataran morfologi dan tataran semantik (jendra, 1991).
Pada tataran fonologi, integrasi terjadi dengan memasukkan fonem ke dalam
bahasa lain. Contohnya adalah masuknya fonem bahasa asing /f,q, x,z,kh,sy/ ke dalam
Bahasa Indonesia (Jendra, 1991: 116).
Integrasi pada tataran morfologi terjadi pada bahasa Indonesia yang menerima
integrasi pada sufiks-wan dan-wati dari bahasa Sanskerta yang mulai sudah dipakai
secara produktif. Contoh integrasi dari Bahasa Bali, misalnya, masuknya kata 'ngaben
nyepi dan sebagainya. Contoh-contoh dari bahasa lain cukup banyak, dan proses
integrasinya bisa berjalan cepat tetapi juga bisa lambat. Ada kalanya unsur serapan
yang sebelumnya dianggap sebagai interferensi yang dianggap sebagai
penyimpangan, akhirnya bisa dianggap sebagai integrasi karena penyerapannya dan
pemakaiannya dinggap lazim dan dipakai oleh masyarakat. Hal ini banyak ditentukan
oleh sikap penutur bahasa penyerap selaku pemakai bahasa apakah pemakaiannya
diterima atau tidak.
Integrasi bidang semantik terjadi sejalan dengan integrasi pada tataran
kosakata. Contohnya adalah adanya integrasi semantik perluasan misalnya terjadi
pada kata presiden, gubernur, sejarah dan sebagainya.

SUMBER : Padmadewi, Ni Nyoman, Putu Dewi Merlyna, dan Nyoman Pasek


Hadi Saputra. (2014). SOSIOLINGUISTIK. Graha Ilmu. Yogyakarta.

INTERFERENSI DAN INTEGRASI


Interferensi dan integrasi juga merupakan dua topik dalam sosiolinguistik
yang terjedi sebagai akibat adanya penggunaan dua bahasa atau lebih dalam
masyarakat tutur yang multilingual.Keduanya juga erat berkaitan dengan masalah alih
kode dan campur kode yang sudah kita bicarakan pada bab yang lalu. Kalau alih kode
adalah peristiwa penggantian bahasa atau ragam bahasa oleh seorang penutur karena
adanya sebab-sebab tertentu dan dilakukan dengan sadar, sedangkan campur kode
adalah digunakannya serpihan-serpihan dari bahasa lain dalam menggunakan suatu
bahasa, yang mungkin memang diperlukan, sehingga tidak dianggap suatu kesalahan
atau penyimpangan, maka dalam peristiwa interferensi juga digunakannya unsur-
unsur bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa, yang dianggap sebagai suatu
kesalahan karena menyimpang dari kaidah atau aturan bahasa yang digunakan. Kalau
dilacak penyebab terjadinya interferensi ini adalah terpulang pada kemampuan si
penutur dalam menggunakan bahasa tertentu sehingga dia dipengaruhi oleh bahasa
lain. Biasanya interferensi ini terjadi dalam menggunakan bahasa kedua (B2), dan
yang berinterferensi ke dalam bahasa kedua itu adalah bahasa pertama atau bahasa
ibu.

1. Interferensi
Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) untuk
menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya
persentuhan bahasa tersebut dengan unsur- unsur bahasa lain yang dilakukan oleh
penutur yang bilingual. Penutur yang bilingual adalah penutur yang menggunakan
dua bahasa secara bergantian; dan penutur multilingual, kalau ada, tentu penutur
yang dapat menggunakan banyak bahasa secara bergantian. Namun, kemampuan
setiap penutur terhadap Bl dab B2 sangat bervariasi. Ada penutur yang menguasai
Bl dan B2 sama baiknya, tetapi ada pula yang tidak; malah ada yang
kemamapuannya terhadap B2 sangat minim. Penutur bilingual yang kempunyai
kemampuan terhada Bi dan Bahan itu kapa mempunyai kesulitan untuk
menggunakan kedua bahasan saja diperlukan, karena tindak laku kedua bahasa itu
terpisah dan bekerja sendiri-sendiri. Penutur bilingual yang mempunyai
kemampuan seperti ini oleh Ervin dan Osgood (1965:139) disebut berkemampuan
bahasa yang sejajar. Sedangkan yang kemampuan terhadap B2 jauh lebih rendah
atau tidak sama dari kemampuan terhadap Bl-nya disebut berkemampuan bahasa
yang majemuk. Penutur yang mempunyai kemampuan majemuk ini biasanya
mempunyai kesulitan dalam menggunakan B2-nya karena akan dipengaruhi oleh
kemampuan Bl-nya. Bagaimana proses berbahasa bagi penutur yang
berkemampuan majemuk dan sejajar ini dapat dibagankan sebagai berikut
(diangkat dengan sedikit modifikasi dari Ervin dan Osgood).
Interferensi reseptif dan interferensi produktif yang terdapat dalam tindak laku
bahasa penutur bilingual disebut interferensi perlakuan (Inggris: performance
interference). Interferensi perlakuan biasa terjadi pada mereka yang sedang belajar
bahasa kedua. Karena itu interferensi ini lazim juga disebut interferensi belajar
(Inggris: learning interference) atau interferensi perkembangan (Inggris:
developmental interference). Namun, di dalam studi sosiolinguistik yang banyak
dibicarakan adalah interferensi seperti yang dikemukakan oleh Weinreich (1953)
dalam bukunya Language in Contact. Interferensi yang dimaksud oleh Weinrich
adalah interferensi yang tampak dalam perubahan sistem suatu bahasa, baik
mengenai sistem fonologi, morfologi, maupun sistem lainnya. Oleh karena
interferensi mengenai sistim suatu bahasa, makna lazim juga disebut interferensi
sistemik. Dalam bahasa Indonesia interferensi pada sistem fonologi dilakukan,
misalnya, oleh para penutur bahasa Indonesia yang berasal dari Bali biasanya
mengucapkan fonem menjadi bunyi apikoalveolar retrofleks [t], seperti pada kata-
kata [toko], [tutup], dan [mati]. Banyak penutur bahasa Indonesia dalam
berbahasa Inggris mengucapkan fonem /p/ bahasa Inggris pada kata-kata seperti
<Peter>, <petrol>, dan <pace> menjadi [pite], [petrol], dan [peis), padahal
harusnya dengan aspirasi, sehingga menjadi [phip ], [phetrol], [pheis]. Di Jepang
kata Inggris gasolini dilafalkan sebagai [gasorini], dan di Hawai nama George
dilafalkan sebagai [kioki].
Dilihat dari segi "kemurnian bahasa", interferensi pada tingkat apa pun
(fonologi, morfologi, dan sintaksis) merupakan "penyakit", sebab "merusak"
bahasa. Jadi, perlu dihindarkan. Orang-orang yang berpaham purisme di Indonesia
tentu tidak dapat menerima bentuk- bentuk kata jadian seperti ketabrak,
kemahalan, tendanisasi, dan gerejani; dan susunan kalimat seperti, "Rumahnya
bapak Direktur kebanjiran juga", atau "Hidangan itu telah dimakan oleh saya".
Begitu juga penggunaan unsur bahasa lain dalam bahasa Indonesia dianggap juga
sebagai suatu kesalahan.
Namun, kalau dilihat dari usaha pengembangan bahasa, interferensi ini
merupakan suatu rahmat, sebab dia merupakan suatu mekanisme yang sangat
penting untuk memperkaya dan mengembangkan suatu bahasa untuk mencapai
taraf sebagai bahasa yang sempurna untuk dapat digunakan, Jaiam segala bidang
kegiatan Malah Hockett (1958) mengatakan bahwa interferensi merupakan satu
gejala terbesar, terpenting, dan paling dominan dalam bahasa di bidang fonologi,
Dial lihat sebelum berlakunya EYD tahun 1972, bunyi /f/ dan bunyi /x/ berasal
dari bahasa asing belum diakui berstatus sebagai fonem bahasa Indonesia. Tetapi
di dalam EYD telah diakui sebagai fonem karena terdapatnya pasangan-pasangan
minimal untuk bunyi-bunyi tersebut, antara lain pada kata-kata kapan X kafan dan
khas X kas (Seperti kita ketahui persyaratan untuk menentukan sebuah bunyi
berstatus sebagai sebuah fonem adalah terdapatnya pasangan minimal yang
mengandung bunyi tersebut).
Kiranya konstribusi terutama dari interferensi itu adalah dalam bidang
kosakata. Bahasa-bahasa yang mempunyai latar belakang sosial budaya dan
pemakaian yang luas (seperti bahasa Inggris dan bahasa Arab) dan karena itu
mempunyai kosakata yang secara relatif sangat banyak akan banyak memberi
kontribusi kosakata kepada bahasa-bahasa yang berkembang dan yang
mempunyai kontak dengan bahasa tersebut. Dalam proses ini bahasa yang
memberi atau mempengaruhi itu disebut bahasa sumber atau bahasa donor, dan
bahasa yang menerima disebut bahasa penyerap atau bahasa resepien, sedangkan
unsur yang diberikan disebut unsur serapan atau importasi. Dalam sejarah
perkembangannya, bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu banyak
menyerap unsur-unsur bahasa, baik dari bahasa asing (Arab, Cina, Sanskerta,
Belanda, Inggris, dan sebagainya.), maupun dari bahasa-bahasa Nusantara. Semua
unsur serapan itu, terutama serapan leksikal, turut membangun khazanah kosakata
bahasa Indonesia, sehingga bahasa yang digunakan dewasa ini telah dapat
memenuhi fungsinya sebagai bahasa modern, yang dapat digunakan untuk
berbagai ranah (domain) dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Sehubungan dengan adanya bahasa yang "kaya" dengan kosakata (seperti
bahasa Inggris dan bahasa Arab), dan bahasa yang masih berkembang yang
kosakatanya belum banyak, timbul pertanyaan, apakah hanya bahasa "kaya" yang
yang bisa menjadi donor, dan bahasa "miskin" hanya menjadi resepien, ataukah
sebaliknya: bahasa "miskin" juga juga dapat menjadi donor terhadap bahasa
"kaya". Menurut logika, memang hanya bahasa yang kayalah yang mempunyai
peluang untuk menjadi donor, sedangkan bahasa miskin hanya menjadi resepien,
dan tak berpeluang untuk menjadi bahasa donor. Namun, dalam kenyataannya,
karena bahasa itu erat kaitannya dengan budaya masyarakat penuturnya, maka
dapat dikatakan (tidak sejaian dengan pendapat Soewito) bahwa bahasa miskin
pun dapat menjadi donor kosakata kepada bahasa kaya, terutama untuk kosakata
yang berkenaan dengan budaya dan alam lingkungan bahasa donor. Dalam kamus
Longman Dictionary of Contemporary English (London, 1982, Longman Group
Ltd.) terdaftar banyak sekali kosakata bahasa Indonesia/Melayu yang sudah
Nazim digunakan dalam bahasa Inggris, seperti: bamboo, mango, kampong,
kapok, karma, orang utan, dan gorilla. Jadi, interferensi leksikal bukanlah
ditentukan oleh kaya dan miskin suatu bahasa, melainkan oleh pengaruh budaya
masyarakat bahasa yang melekat pada bahasa itu.

2. Integrasi
Di atas sudah disebutkan bahwa pada satu sisi interferensi dipandang sebagai
"pengacauan" karena "merusak" sistem suatu bahasa; tetapi pada sisi lain
interferensi dipandang sebagai suatu mekanisme yang paling penting dan dominan
untuk mengembangkan suatu bahasa yang masih perlu pengembangan. Pada
subsistem fonologi, morfologi, dan sintaksis memang interferensi lebih dekat
untuk disebut "pengacauan", tetapi pada subsistem kosakata dan semantik
interferensi mempunyai andil besar dalam pengembangan suatu bahasa. Dengan
interferensi kosakata bahasa resepien menjadi diperkaya oleh kosakata bahasa
donor, yang pada mulanya dianggap sebagai unsur pinjaman, tetapi kemudian
tidak lagi karena kosakata itu telah berintegrasi menjadi bagian dari bahasa
resepien. Dalam hal ini Mackey (1968) menjelaskan bahwa integrasi adalah unsur-
unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah
menjadi warga bahasa tersebut. Tidak dianggap lagi sebagai unsur pinjaman atau
pungutan.
Penerimaan unsur bahasa lain dalam bahasa tertentu sampai menjadi berstatus
integrasi memerlukan waktu dan tahap yang relatif panjang. Pada mulanya
seorang penutur suatu bahasa menggunakan unsur bahasa lain itu dalanı
tuturannya sebagai unsur pinjaman karena terasa diperlukan, misalnya, karena
dalam B1-nya unsur tersebut belum ada padanannya (atau bisa juga telah ada
tetapi dia tidak mengetahuinya). Kalau kemudian unsur asing yang digunakan itu
bisa diterima dan digunakan juga oleh orang lain, maka jadilah unsur tersebut
berstatus sebagai unsur yang sudah berintegrasi. Umpa- manya, kata Inggris
research pada tahun 60-an sampai tahun 70-an digunakan sebagai unsur yang
belum berintegrasi. Ucapan dan ejaannya masih menurut bahasa aslinya. Tetapi
kemudian ucapan dan ejaanya mengalami penyesuaian, sehingga ditulis sebagai
riset. Maka, sejak itu kata riset tidak dianggap lagi sebagai unsur pinjaman,
melainkan sudah menjadi kosakata bahasa Indonesia, atau kosakata bahasa Inggris
yang telah berintegrasi ke dalam bahasa Indonesia.
Proses penerimaan unsur bahasa asing, khususnya unsur kosakata, di dalam
bahasa (Indonesia) pada awalnya tampaknya banyak dilakukan secara audial.
Artinya, mula-mula penutur Indo- nesia mendengar butir-butir leksikal itu
dituturkan oleh penutur aslinya, lalu mencoba menggunakannya. Apa yang
terdengar oleh telinga, itulah yang diujarkan, lalu dituliskan. Oleh karena itu,
kosakata yang diterima secara audial seringkali menampakan ciri ketidakteraturan
bila dibandingkan dengan kosakata aslinya. Perhatikan contoh kosakata bahasa
Indonesia berikut, lalu bandingkan dengan bentuk aslinya. Sebelah kiri kosakata
bahasa Indonesia dan sebelah kanan bentuk aslinya.
Pada tahap berikutnya, terutama setelah pemerintah mengeluarkan Pedoman
Umum Pembentukan Istilah dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang
Disempurnakan (Lihat dalam Moeliono 1988), penerimaan dan penyerapan kata
asing dilakukan secara vi sual. Artinya, penyerapan itu dilakukan melalui bentuk
tulisab dalam bahasa aslinya, lalu bentuk tulisan itu disesuaikan menurut aturan
yang terdapat dalam kedua dokumen kebahasaan di atas. Umpamanya, system
menjadi sistem (bukan sistim), phonem menjadi fonem, stan- dard menjadi
standar, standardisation menjadi standardisasi (bukan standarisasi), hierarchy
menjadi hierarki (bukan hirarki), dan rep- ertoire menjadi repertoir (bukan
repertoar), Sedangkan unsur serapan yang dalam bahasa aslinya tidak ditulis
dalam aksara Latin, misalnya aksara Arab dan Sirilik, diserap dengan cara
transliterasi atau transkripsi. Dalam hal penyerapan visual ini, patut disimak kasus
penyerapan kata Prancis repertoire dan trotoir yang tulisannya (menurut sistem
ejaan bahasa Indonesia) tidak sesuai dengan lafalnya. Karena itu, meskipun
pedoman umum pembentukan istilah menetapkan harus menjadi repertoir dan
trotoir tetapi dalam masyarakat umum kita dapati bentuk repertoar dan trotoar. Ini
menunjukkan perkembangan bahasa itu bukannya tidak bisa diatur, melainkan
lebih sering bersifat alamiah.
Penyerapan unsur asing dalam rangka pengembangan bahasa Indonesia bukan
hanya melalui penyerapan kata asing itu yang disertai dengan penyesuaian lafal
dan ejaan, tetapi banyak pula dilakukan dengan cara (1) penerjemahan langsung,
dan (2) penerjemahan konsep. Penerjemahan langsung, artinya kosakata itu
dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Misalnya, air port menjadi bandar
udara, paardekracht menjadi tenaga kuda, samen werking menjadi kerja sama,
joint venture menjadi usaha patungan, dan balance budget menjadi anggaran
berimbang. Penerjemahan konsep artinya, kosakata asing itu diteliti baik-baik
konsepnya lalu dicarikan kosakata bahasa Indonesia yang konsepnya dekat
dengan kosakata asing tersebut. Misalnya, begroting post menjadi mata anggaran,
network menjadi jaringan, brother in law menjadi ipar laki-laki, dan medication
menjadi pengobatan.
Penyerapan dari bahasa-bahasa Nusantara, atau bahasa daerah, oleh bahasa
Indonesia tampaknya tidak begitu menimbulkan persoalan, sebab secara linguistik
bahasa-bahasa nusantara itu masih serumpun dengan bahasa Indonesia. Apalagi
penyerapan itu terjadi dalam bidang kosakata.
Kalau sebuah kata serapan sudah ada pada tingkat integrasi, maka artinya kata
serapan itu sudah disetujui dan converged into the new language. Karena itu,
proses yang terjadi dalam integrasi ini lazim juga disebut konvergensi.
Masih tersisa dua pertanyaan mengenai interferensi dan integrasi ini, yaitu
pertama, apakah setiap unsur pinjaman yang terserap sebagai hasil proses
interferensi akan sampai pada taraf integrasi, baik dalam waktu yang relatif
singkat maupun dalam waktu yang relatif lama. Kedua, apakah akibat peristiwa
interferensi dan integrasi pada bahasa resepien.
Pertanyaan pertama agak sukar dijawab; maka, jawabannya bisa "ya", bisa
pula "tidak". Dijawab "ya" karena hingga saat ini sudah banyak bukti: dalam
bahasa apa pun yang mempunyai kontak dengan bahasa lain, bahwa setiap bahasa
akan mengalami interferensi, yang peristiwa integrasi Sebaliknya, dijawab
"tidak", karena tampaknya tidak sedikit kosakata yang ber dijasatu bahasa, lalu
tersebar luas dan sifatnya menjadi universal sehingga orang tidak merasa perlu
menyerap sampai pada tingkat integrasi. Di dalam bahasa Indonesia, sejumlah
istilah musik seperti con brio, moderato, adagio, stakato, dan fortesimo menuli
pedoman pembentukan istilah disarankan untuk tidak diubah karena Birdt
internasionalnya. Selain istilah musik seperti di atas ada juga sejumlah istilah lain,
seperti vis-a-vis, cum suis, cum laude, loco citato, opere citato, dan ad interim
yang tidak perlu dilanjutkan penyerapannya sampai tingkat integrasi. Untungnya,
kata-kata yang berasal dari bahasa Latin itu, ejaannya tidak terlalu menyimpang
jauh dari ejaan bahasa Indonesia. Jadi, mudah diterima.
Pertanyaan kedua dapat dijawab begini: ada beberapa kemungkinan yang akan
terjadi pada bahasa resepien akibat terjadinya peristiwa interferensi dan integrasi
itul Kemungkinan pertama, bahasa resepien tidak mengalami pengaruh apa-apa
yang sifatnya mengubah sistem apabila tidak ada kemungkinan untuk
mengadakan pembaruan atau pengembangan di dalam bahasa resepien itu.)
(Bandingkan dengan Jakobson 1972:491) Pengaruh yang ada dalam bahasa
resepien pa ling-paling hanya menambah kosakata) seperti yang terjadi dewasa ini
pada bahasa Inggris. Kemungkinan kedua, bahasa resepien mengalami perubahan
sistem, baik pada subsistem fonologi, subsistem morfologi, subsistem sintaksis,
maupun subsistem lainnyal Untuk kemungkian kedua ini kita ambil bahasa
Indonesia sebagai contoh Sebagai bahasa yang sedang berkembang, sistem bahasa
Indonesia telah banyak mengalami perubahan akibat peristiwa interferensi dan
intgrasi. Pada subsistem fonologi, dulu bahasa Indonesia tidak mengenal atau
mempunyai fonem/f/,/x/, dan/s/; tetapi kini ketiga fonem itu telah menjadi fonem
bahasa Indonesia. Dulu bahasa Indo- nesia hanya memiliki pola silabel V, VK,
KV, dan KVK; tetapi kini telah bertambah dengan pola KKV, KKVK, dan KVKK.
Dalam dang morfologi dulu bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk-balam
seperti ketabrak (yang ada tertabrak), kemahalan (yang ada bentuk mahal), dan
tendanisasi (yang seharusnya ada penendaan); tetapi sekarang bentuk-bentuk
tersebut sudah lazim digunakan. Dalam subsistem sintaksis dulu bahasa Indonesia
tidak mengnal struktur Bapaknya si All sakit (yang ada adalah Bapak si Alis akif)
dan kue itu sudah dimakan oleh saya (yang ada adalah kue itu sudah saya makan);
tetapi kini struktur kalimat seperti itu telah biasa digunakan dalam bahasa
Indonesia. Bagi Weinreich (1968:1-2) yang berpendapat bahwa interferensi itu
mengandung pengertian penyusunan kembali pola-pola bahasa donor menurut
sistem bahasa resepien, memberi penegasan bahwa bagaimanapun juga, sedikit
atau banyak peristiwa interferensi itu akan memberi pengaruh bagi sistem bahasa
resepien.) Kemungkinan ketiga, kedua bahasa yang bersentuhan itu sama-sama
menjadi donor dalam pembentukan alat komunikasi verbal baru, yang disebut
dengan istilah pijin.
Alat komunikasi yang disebut pijin ini terbentuk dari dua bahasa atau lebih
yang berkontak dalam satu masyarakat, mungkin kosakatanya diambil dari bahasa
yang satu dan struktur bahasanya diambil dari bahasa lain. Atau bisa juga bahasa-
bahasa tersebut sama- sama memberi kontribusi baik dalam bidang kosakata
maupun bidang tata bahasa. Pijin ini digunakan sebagai alat komunnikasi yang
sifatnya cepat, terutama untuk keperluan perdagangan. Untuk komunikasi dalam
keluarga para penutur menggunakan bahasa ibu masing-masing. Jadi, pijin tidak
mempunyai penutur asli. Tidak ada yang berbahasa pertama bahasa pijin. Kelak,
apabila generasi kedua atau generasi ketiga masyarakat pijin itu menggunakan
juga pijin itu dalam kehidupan sehari-hari (karena mereka tidak menguasai lagi
bahasa asli leluhurnya), maka pijin itu disebut kreol. Jadi, sesungguhnya kreol
adalah perkembangan lebih lanjut dari pijin, yakni setelah pijin itu memiliki
penutur aslinya. Pijin ini terjadi hampir di seluruh tempat di mana ada kegiatan
perdagangan dan ada pertemuan berbagai penutur dari masyarakat tutur yang
berbeda. Kalau anda perhatikan peta berikut, diangkat dari Bright (1992), anda
bisa melihat di mana saja terdapat pijin dan kreol itu di seluruh dunia.

SUMBER: Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. (1995). SOSIOLINGUISTIK


Suatu Pengantar. PT. Rineka Cipta. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai