Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

INTERFERENSI DAN INTEGRASI

Disusun oleh : Kelompok VI

Nama Anggota :

1. Burinda Tampang Allo ( 215 111 134)


2. Melani Parinding ( 215 111 044)
3. Anti Sulu Ramma ( 215 111 113 )
4. Lidya Andarias Pademme’
5. Sinta Yulianti Pindan (215 111 030)
6. Desnalia Masarrang
7. Gunawan Kondo Palette
8. Noberyanto Paseru
9. Rendi Ramba’ Panggalo
10. Martinus Sundallak

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SATRA INDONESIA


UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TORAJA
NOVEMBER, 2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah mata kuliah
sosiolinguistik yang membahas tenta “Interferensi dan Integrasi ” . Kami juga
berterimakasih kepada Ibu Rita Tanduk, M.Pd. selaku dosen mata kuliah
Sosiolinguistik.

Dalam penyusunan makalah ini ,kami menyadari bahwa masih banyak


kelemahan dan kekurangan sehingga saran dan kritik dari pembaca makalah ini
sangat di harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Kakondongan, Desember 2018

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman Sampul ........................................................................................... i

Kata Pengantar .............................................................................................. ii

Daftar Isi ....................................................................................................... iii

A. INTERFERENSI .............................................................................. 1
B. INTEGRASI......................................................................................

SIMPULAN ..................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................


PEMBAHASAN

A. INTERFERENSI
Interferensi  pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) untuk
menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan degan adanya
kontak bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh
penutur bilingual (dwibahasawan). Menurut Weinrich (dalam Chaer dan
Agustina, 1995:159) kontak bahasa merupakan peristiwa pemakaian dua
bahasa oleh penutur yang sama secara bergantian. Dari kontak bahasa itu
terjadi transfer atau pemindahan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang
lain yang mencakup semua tataran. Sebagai konsekuensinya, proses pinjam-
meminjam dan saling mempengaruhi terhadap unsur bahasa yang lain tidak
dapat dihindari. Dalam setiap kontak bahasa terjadi proses saling
mempengaruhi antara bahasa satu dengan bahasa yang lain. Sebagai akibatnya,
interferensi akan muncul, baik secara lisan maupun tertulis.
Penutur bilingual yang mempunyai kemampuan terhadap B1 dan B2
sama baiknya, tentu tidak menuai kesulitan untuk menggunakan kedua bahasa
karena bahasa itu terpisah dan bekerja sendiri-sendiri. Penutur bilingual yang
mempunyai kemampuan seperti ini oleh Ervin dan Osgod (1965: 139) disebut
kempuan yang sejajar. Sedangkan yang kemampuan terhadap B2 jauh lebih
rendah atau tidak sama dari kemampuan terhadap B1 nya disebut
berkemampuan bahasa yang majemuk. Penutur yang mempunyai kemampuan
majemuk ini biasanya mempunyai kesulitan dalam menggunakan B2-nya
karena akan dipengaruhi oleh B1-nya (Chaer dan Agustina, 2010: 120-123).
Menurut Listiyoningsih (2008:37) interferensi pada umumnya dianggap
sebagai gejala tutur (speech parole), hanya terjadi pada dwibahasawan dan
peristiwanya dianggap sebagai penyimpangan. Interferensi dianggap sebagai
sesuatu yang tidak perlu terjadi karena unsur-unsur serapan itu sudah ada
padanannya dalam bahasa penyerap. Cepat atau lambat sesuai dengan
perkembangan bahasa penyerap, interferensi diharapkan semakin berkurang
atau sampai batas yang paling minim.
Hartman dan Stork (1972: 15) tidak menyebut interferensi merupakan
pengacauan atau kekacauan, melainkan kekeliruan yang terjadi sebagai akibat
terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa
kedua.
Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan tersebut,
disimpulkan bahwa interferensi adalah penyimpangan penggunaan suatu
bahasa yang dipengaruhi oleh kebiasaan penutur menggunakan bahasa pertama
atau bahasa ibu.
Weinreich (1953) dalam bukunya Languange in Contact menyatakan
bahwa interferensi tampak dalam perubahan sistem suatu bahasa , baik
mengenai sistem fonologi, morfologi, sintaksis maupun sistem lainnya. Oleh
karena interferensi mengenai sistem suatu bahasa, maka lazim juga disebut
interferensi sistemik.
a. Interferensi Fonologi
Interferensi fonologi terjadi bila penutur itu mengidentifikasi fonem
sistem bahasa pertama (bahasa sumber atau bahasa yang sangat kuat
mempengaruhi seorang penutur) dan kemudian memakainya dalam sistem
bahasa kedua (bahasa sasaran). Dalam mengucapkan kembali bunyi itu, dia
menyesuaikan pengucapannya dengan aturan fonetik bahasa pertama.
Penutur bahasa Indonesia yang berasal dari Tapanuli mengucapkan
fonem pada kata dengan dan rembes dilafalkan menjadi [déngan] dan
[rémbés]. Penutur dari Jawa selalu menambahkan bunyi nasal yang homorgan
di muka kata-kata yang dimulai dengan konsonan /b/, /d/, /g/, dan /j/, misalnya
pada kata: /mBandung/, /mBali/, /nDaging/, /nDepok/, /ngGombong/,
/nyJambi/ dalam pengucapan kata-kata tersebut telah terjadi interferensi tata
bunyi bahasa Jawa dalam bahasa Indonesia. Penutur dari Bali biasanya
mengucapkan fonem /t/ menjadi apikoalveolar retrofleks [t], seperti pada kata-
kata [toko], [tutup], dan [mati]. Banyak penutur bahasa Indonesia dalam
berbahasa Inggris mengucapkan fonem /p/ bahasa Inggris pada kata-kata
seperti, Peter, Petrol, dan Pace menjadi [pit ], [petrol], dan [p is], padahal
seharusnya dengan aspirasi sehingga menjadi [p it ], [p etrol], [p is]. Di Jepang
kata dalam bahasa Inggris gasolini dilafalkan sebagai [gasorini], dan di Hawai
nama George dilafalkan sebagai [kioki].

b.  Interferensi Morfologi
Interferensi dalam bidang morfologi, antara lain terdapat dalam
pembentukan kata dengan afiks. Afiks-afiks suatu bahasa digunakan untuk
membentuk kata dalam bahasa lain. Umpamanya dalam bahasa Belanda dan
Inggris ada sufiks – isasi, maka banyak penutur bahasa Indonesia yang
menggunakannya dalam pembentukan kata bahasa Indonesia, seperti neonisasi,
tendanisasi, dan turinisasi. Bentuk –bentuk tersebut merupakan penyimpangan
dari sistematik morfologi bahasa Indonesia, sebab untuk membentuk nomina
proses dalam bahasa Indonesia ada konfiks pe-an. Jadi, seharusnya peneonan,
penendaan, dan penurian. Contoh lain dalam bahasa Arab ada sufiks –wi dan –
ni untuk membentuk adjektif ; maka, banyak penutur bahasa Indonesia yang
menggunakan sufiks itu seperti pada kata-kata manusiawi, bahasawi, surgawi,
dan gerejani. Penggunaan bentuk-bentuk kata seperti ketabrak, kejebak,
kekecilan, dan kemahalan dalam bahasa Indonesia baku juga termasuk
Interferensi, sebab imbuhan yang digunakan di situ berasal dari bahasa Jawa
dan dialek Jakarta. Bentuk yang baku adalah tertabrak, terjebak, terlalu kecil,
dan terlalu mahal.
c. Interferensi Sintaksis
Interferensi sintaksis terjadi apabila struktur bahasa lain (bahasa daerah,
bahasa asing, dan bahasa gaul) digunakan dalam pembentukan kalimat bahasa
yang digunakan. Penyerapan unsur kalimatnya dapat berupa kata, frase, dan
klausa. Interferensi sintaksis seperti ini tampak jelas pada peristiwa campur
kode. Berikut adalah contoh interferensi sintaksis.
- Planningku setelah lulus sarjana adalah melanjutkan sekolah ke luar
negeri.
- Mereka akan married bulan depan
- Nah karena saya sudah kadhung apik sama dia, ya saya tanda tangan
saja
( Nah karena saya sudah benar-benar baik dengan dia, maka saya tanda
tangani saja)
- Yah apa boleh buat, better laat dan noit ( Yah apa boleh buat, lebih baik
terlambat daripada tidak sama sekali ).
Dari contoh-contoh di atas, timbul pertanyaan apa bedanya interferensi
dengan campur kode, sebab contoh-contoh tersebut dapat juga dikategorikan
sebagai campur kode. Contoh di atas adalah kalimat-kalimat bahasa Indonesia
yang di dalamnya terdapat serpihan dari bahasa Inggris, Jawa, dan Belanda.
Oleh karena itu, jawaban terhadap pertanyaan di atas adalah barangkali begini :
campur kode mengacu pada digunakannya serpihan-serpihan bahasa lain dalam
menggunakan suatu bahasa tertentu ; sedangkan interferensi mengacu pada
adanya penyimpangan dalam menggunakan suatu bahasa dengan memasukkan
sistem bahasa yang lain.
Serpihan-serpihan berupa klausa dara bahasa lain dalam suatu kalimat
bahasa lain masih dapat dianggap sebagai suatu peristiwa campur kode dan
juga interferensi . Namun, dalam masyarakat Indonesia –Cina ( Cina-
Indonesia) di Jakarta Barat seperti yang dilaporkan Haryono ( 1990) , serpihan-
serpihan itu sudah terlalu besar sehingga sukar untuk disebut yang digunakan
bahasa Indonesia dengan serpihan bahasa Cina, atau yang digunakan bahasa
Cina dengan serpihan bahasa Indonesia . Contoh percakapan berikut ( diangkat
dari Haryono 1990);
Lokasi : kantor harian surat kabar Indonesia, bagian penerjemahan

Waktu : jumat, 7 Oktober 1988, pukul 15.00

Bahasa : Indonesia dan Cina Putunghoa

Penutur: informan IV dan informan V

Topik : tentang isi karangan/artikel

Informan IV :

     Wo zemyang inggai xie a. Wo bingung sekali cari timu apa ya.
    (Bagaimana ya saya harus menulisnya. Saya bingung sekali mencari
topik, apa ya).

Informan V :

Ni bubi bingung-bingung, zai zheli you hen dua shi, ni keyi na yize zuo
timu jiu xing la. Kenapa mesti bingung-bingung.

(Anda tidak perlu bingung, bukankah di sini banyak hal yang anda
dapat mengambil salah satu topik. Kenapa mesti bingung).

Informan IV :

Ni hui nayang shuo ia. Buat wo sulit memilihnya . Ni ti wo na yige ba

( anda bisa berkata demikian . Buat saya sulit memilihnya. Silahkan


anda mengambilkan buat saya).

Menurut Haryono, percakapan itu dilakukan dalam bahasa Indonesia,


sedangkan bahasa Cina merupakan serpihan-serpihan yang masuk ke
dalamnya. Dari segi kemurnian bahasa, interferensi pada tingkat apa pun
(fonologi, morfologi, dan sintaksis) merupakan penyakit, sebab merusak
bahasa. Bentuk kata jadian seperti ketabrak, kemahalan dan susunan kalimat
seperti “Hidangan itu telah dimakan oleh saya”. Begitu pula penggunaan unsur
bahasa lain dalam bahasa Indonesia dianggap juga sebagai suatu kesalahan.

Dari segi pengembangan bahasa, interferensi merupakan suatu


mekanisme yang sangat penting untuk memperkaya dan mengembangkan suatu
bahasa untuk mencapai taraf kesempurnaan bahasa sehingga dapat digunakan
dalam segala bidang kegiatan. Bahkan Hocket (1958) mengatakan bahwa
interferensi merupakan suatu gejala terbesar, terpenting dan paling dominan
dalam bahasa.

Kontribusi utama interferensi yaitu bidang kosakata. Bahasa yang


mempunyai latar belakang sosial budaya, pemakaian yang luas dan mempunyai
kosakata yang sangat banyak, akan banyak memberi kontribusi kosakata
kepada bahasa-bahasa yang berkembang dan mempunyai kontak dengan
bahasa tersebut. Dalam proses bahasa ini, ada tiga unsur penting yang
mengambil peranan dalam terjadinya proses interferensi yaitu:

a. Bahasa sumber (source language) atau biasa dikenal dengan sebutan


bahasa donor. Bahasa donor adalah bahasa yang dominan dalam suatu
masyarakat bahasa sehingga unsur-unsur bahasa itu kerapkali dipinjam
untuk kepentingan komunikasi antarwarga masyarakat.
b. Bahasa sasaran atau bahasa penyerap (recipient). Bahasa penyerap
adalah bahasa yang menerima unsur-unsur asing itu dan kemudian
menyelaraskan kaidah-kaidah pelafalan dan penulisannya ke dalam
bahsa penerima tersebut.
c. Unsur serapannya atau importasi (importation). Hal yang dimaksud di
sini adalah beralihnya unsur-unsur dari bahasa asing menjadi bahasa
penerima.

Menurut Soewito (1983: 59) interferensi dalam bahasa Indonesia dan


bahasa-bahasa nusantara berlaku bolak balik, artinya, unsur bahasa daerah bisa
memasuki bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia banyak memasuki bahasa
daerah. Tetapi dengan bahasa asing, bahasa Indonesia hanya menjadi penerima
dan tidak pernah menjadi pemberi.
Adapun faktor yang melatar belakangi timbulnya interferensi antara lain
sebagai berikut:
a. Kebiasaan penutur menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pertama.

Hortman dan Stoork dalam Alwasilah (1985: 131) menganggap bahwa


interferensi sebagai kekeliruan disebabkan terbawanya kebiasaan-kebiasaan
ujaran bahasa atau dialek bahasa ibu ke dalam bahasa atau dialek kedua.
Secara tidak sadar penutur menggunakan bahasa daerah ketika berbicara
dalam konteks bahasa Indonesia. Hal ini dapat dihindari oleh penutur, karena
sebenarnya kata-kata bahasa ibu yang digunakan oleh seoarang
dwibahasawan sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Interferensi
bahasa yang terjadi karena kebiasaan penutur menggunakan bahasa daerah
dapat dilihat dalam pembentukan kata (morfologis) dan struktur kalimat
(sintaksis).

b. Penutur ingin menunjukkan nuansa kedaerahan pada percakapannya.

Ada suatu kenyamanan ketika bertutur memakai bahasa daerah dengan


orang yang berasal dari daerah yang sama (misalnya sama-sama dari Bali
bertutur dengan bahasa Bali). Dengan penggunaan bahasa daerah percakapan
akan dirasakan akrab oleh penutur. Kala itu pula, terkadang terselip kata-kata
dari bahasa Indonesia yang bercampur dengan kata-kata dari bahasa Bali.
Misalnya pada kalimat Ampura Pak, tiang tidak bisa ikut pergi merika. Di
samping menunjukkan nuansa kedaerahan penutur juga bermaksud untuk
menghaluskan makna.

Selain faktor-faktor di atas menurut Weinrich (1970: 64-65) ada


beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya interferensi, antara lain:

a. Kedwibahasaan peserta tutur

Kedwibahasaan peserta tutur merupakan pangkal terjadinya interferensi


dan berbagai pengaruh lain dari bahasa sumber, baik dari bahasa daerah
maupun bahasa asing. Hal itu disebabkan terjadinya kontak bahasa dalam diri
penutur yang dwibahasawan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan
interferensi.

b. Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima

Tipisnya kesetiaan dwibahasawan terhadap bahasa penerima


cenderung akan menimbulkan sikap kurang positif. Hal itu menyebabkan
pengabaian kaidah bahasa penerima yang digunakan dan pengambilan unsur-
unsur bahasa sumber yang dikuasai penutur secara tidak terkontrol. Sebagai
akibatnya akan muncul bentuk interferensi dalam bahasa penerima yang
sedang digunakan oleh penutur, baik secara lisan maupun tertulis.

c.    Tidak cukupnya kosakata bahasa penerima

Perbendaharaan kata suatu bahasa pada umumnya hanya terbatas pada


pengungkapan berbagai segi kehidupan yang terdapat di dalam masyarakat
yang bersangkutan, serta segi kehidupan lain yang dikenalnya. Oleh karena
itu, jika masyarakat itu bergaul dengan segi kehidupan baru dari luar, akan
bertemu dan mengenal konsep baru yang dipandang perlu. Karena mereka
belum mempunyai kosakata untuk mengungkapkan konsep baru tersebut, lalu
mereka menggunakan kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkannya,
secara sengaja pemakai bahasa akan menyerap atau meminjam kosakata
bahasa sumber untuk mengungkapkan konsep baru tersebut. Faktor ketidak
cukupan atau terbatasnya kosakata bahasa penerima untuk mengungkapkan
suatu konsep baru dalam bahasa sumber, cenderung akan menimbulkan
terjadinya interferensi.

Interferensi yang timbul karena kebutuhan kosakata baru, cenderung


dilakukan secara sengaja oleh pemakai bahasa. Kosakata baru yang diperoleh
dari interferensi ini cenderung akan lebih cepat terintegrasi karena unsur
tersebut memang sangat diperlukan untuk memperkaya perbendaharaan kata
bahasa penerima.
d.    Menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan

Kosakata dalam suatu bahasa yang jarang dipergunakan cenderung


akan menghilang. Jika hal ini terjadi, berarti kosakata bahasa yang
bersangkutan akan menjadi kian menipis. Apabila bahasa tersebut dihadapkan
pada konsep baru dari luar, di satu pihak akan memanfaatkan kembali
kosakata yang sudah menghilang dan di lain pihak akan menyebabkan
terjadinya interferensi, yaitu penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari
bahasa sumber.

Interferensi yang disebabkan oleh menghilangnya kosakata yang


jarang dipergunakan tersebut akan berakibat seperti interferensi yang
disebabkan tidak cukupnya kosakata bahasa penerima, yaitu unsur serapan
atau unsur pinjaman itu akan lebih cepat diintegrasikan karena unsur tersebut
dibutuhkan dalam bahasa penerima.

e.    Kebutuhan akan sinonim

Sinonim dalam pemakaian bahasa mempunyai fungsi yang cukup


penting, yakni sebagai variasi dalam pemilihan kata untuk menghindari
pemakaian kata yang sama secara berulang-ulang yang bisa mengakibatkan
kejenuhan. Dengan adanya kata yang bersinonim, pemakai bahasa dapat
mempunyai variasi kosakata yang dipergunakan untuk menghindari
pemakaian kata secara berulang-ulang. Karena adanya sinonim ini cukup
penting, pemakai bahasa sering melakukan interferensi dalam bentuk
penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber untuk
memberikan sinonim pada bahasa penerima. Dengan demikian, kebutuhan
kosakata yang bersinonim dapat mendorong timbulnya interferensi.

f.    Prestise bahasa sumber dan gaya bahasa

Prestise bahasa sumber dapat mendorong timbulnya interferensi,


karena pemakai bahasa ingin menunjukkan bahwa dirinya dapat menguasai
bahasa yang dianggap berprestise tersebut. Prestise bahasa sumber dapat juga
berkaitan dengan keinginan pemakai bahasa untuk bergaya dalam berbahasa.
Interferensi yang timbul karena faktor itu biasanya berupa pamakaian unsur-
unsur bahasa sumber pada bahasa penerima yang dipergunakan.

g.    Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu

Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu pada bahasa penerima yang


sedang digunakan, pada umumnya terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan
kurangnya penguasaan terhadap bahasa penerima. Hal ini dapat terjadi pada
dwibahasawan yang sedang belajar bahasa kedua, baik bahasa nasional
maupun bahasa asing. Dalam penggunaan bahasa kedua, pemakai bahasa
kadang-kadang kurang kontrol. Karena kedwibahasaan mereka itulah kadang-
kadang pada saat berbicara atau menulis dengan menggunakan bahasa kedua
yang muncul adalah kosakata bahasa ibu yang sudah lebih dulu dikenal dan
dikuasainya.

B. INTEGRASI
Mackey (dalam Chaer dan Agustina, 2010:128) menjelaskan bahwa
integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu
dan dianggap sudah menjadi warga bahasa tersebut. Tidak dianggap lagi
sebagai unsur pinjaman atau pungutan.
Penerimaan unsur bahasa lain dalam bahasa tertentu sampai menjadi
berstatus integrasi memerlukan waktu dan tahap yang relatif panjang. Pada
mulanya seorang penutur suatu bahasa menggunakan unsur bahasa lain dalam
tuturannya sebagai unsur pinjaman karena terasa diperlukan, misalnya karena
di dalam B1 nya belum ada padanannya. Kalau kemudian unsur asing yang
digunakan itu bisa diterima dan digunakan juga oleh orang lain, maka jadilah
unsur tersebut berstatus sebagai unsur yang sudah berintegrasi.
Proses penerimaan unsur bahasa asing, khususnya unsur kosakata, di
dalam bahasa Indonesia pada awalnya tampak banyak dilakukan secara audial.
Artinya, mula-mula penutur Indonesia mendengar butir-butir leksikal
dituturkan oleh penutur aslinya, lalu mencoba menggunakannya. Apa yang
terdengar oleh telinga, itulah yang diujarkan, lalu dituliskan. Oleh karena itu,
kosakata yang diterima secara audial seringkali menampakkan cirri
ketidakteraturan bila dibandingkan dengan kosakata aslinya. Berikut contoh
kosakata bahasa Indonesia dengan bahasa bentuk aslinya.
klonyo - eau de cologne
dongkrak - domme kracht
atret - achter uit
persekot - voorschot
sopir - chauffeur
sirsak - zuursak
pelopor - voorloper
Pada tahap berikutnya, terutama setelah pemerintah
mengeluarkan Pedoman Umum Pembentukan Istilah dan Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan, penerimaan dan penyerapan
kata asing secara visual.  Artinya, penyerapan itu dilakukan melalui bentuk
tulisan dalam bahasa aslinya, lalu bentuk tulisan itu disesuaikan menurut aturan
yang terdapat dalam dua dokumen kebahasaan di atas.
Penyerapan unsur asing dalam rangka pengembangan bahasa Indonesia bukan
hanya melalui penyerapan kata asing yang disertai dengan penyesuain lafal dan
ejaan, tetapi banyak pula dilakukan dengan cara :
1) Penerjemahan langsung, artinya kosakata itu dicarikan padanannya
dalam bahasa Indonesia. Misalnya, airport menjadi bandar udara,
paardekracht menjadi tenaga kuda, Samen werking menjadi kerja sama,
joint venture menjadi usaha patungan, dan balance budget menjadi
anggaran berimbang
2) Penerjemahan konsep, artinya kosakata asing itu diteliti baik-baik
konsepnya lalu dicarikan kosa kata bahasa Indonesia yang konsepnya
dekat dengan kosakata asing tersebut. Misalnya, begroting post menjadi
mata anggaran , network menjadi jaringan, brother in law menjadi ipar
laki-laki, dan medication menjadi pengobatan.
Penyerapan dari bahasa-bahasa Nusantara, atau bahasa daerah, oleh
bahasa Indonesia tampaknya tidak begitu menimbulkan persoalan, sebab secara
linguistik bahasa-bahasa nusantara itu masih serumpun dengan bahasa
Indonesia. Apalagi penyerapan itu terjadi dalam bidang kosakata.  Kalau
sebuah kata serapan sudah ada pada tingkat integrasi, maka artinya serapan itu
sudah disetujui. Karena itu, proses yang terjadi dalam integrasi ini lazim juga
disebut konvergensi. 
Setiap unsur pinjaman yang terserap sebagai hasil proses inteferensi
akan sampai pada taraf integrasi, baik dalam waktu relatif singkat atau dalam
relatif lama, karena hingga saat ini sudah banyak bukti dalam bahasa apapun
yang mempunyai kontak dengan bahasa lain, bahwa setiap bahasa akan
mengalami inteferensi, yang kemudian disusul dengan peristiwa integrasi. Ada
beberapa kemungkinan yang akan terjadi pada bahasa resepien akibat
terjadinya peristiwa interferensi dan integrasi itu. Kemungkinan pertama,
bahasa resepien tidak mengalami pengaruh apa-apa yang sifatnya mengubah
sistem apabila tidak ada kemungkinan untuk mengadakan pembaruan atau
pengembangan di dalam bahasa resepien itu. Kemungkinan kedua, bahasa
resepien mengalami perubahan sistem, baik pada subsistem fonologi, subsistem
morfologi, subsistem sintaksis maupun subsistem lainnya.
- Pada subsistem fonologi, dulu bahasa Indonesia tidak mengenal atau
mempunyai fonem /f/, /x/, dan /s/; tetapi kini ketiga fonem itu telah
menjadi fonem bahasa Indonesia.
- Pada bidang morfologi terjadi pula peristiwa integrasi. Hal ini bisa
diketahui dengan sering dipakainya kata-kata kabupaten, manunggal,
praduga, wara-wiri, dan lain-lain yang berasal dari bahasa daerah. Juga
kata-kata diskualifikasi, klasifikasi, dispensasi, interferensi,
integrasi dan sebagainya adalah integrasi dari bahasa asing ke dalam
bahasa Indonesia.
- Dalam bidang sintaksis dulu bahasa Indonesia tidak mengenal
struktur Ayahnya si Ali sakit seharusnya Ayah si Ali sakit dan buku itu
sudah dibeli oleh saya seharusnya buku itu sudah saya beli.

Kemungkinan ketiga, kedua bahasa yang bersentuhan itu sama-sama


menjadi donor dalam pembentukan alat komunikasi verbal baru, yang disebut
dengan istilah pijin. Alat komunikasi yang disebut pijin ini terbentuk dari dua
bahasa atau lebih yang berkontak dalam satu masyarakat, mungkin
kosakatanya diambil dari bahasa yang satu dan struktur bahasanya diambil dari
bahasa lain. Atau bisa juga bahasa- bahasa tersebut sama-sama memberi
kontribusi baik dalam bidang kosakata maupun bidang tatabahasa. Pijin ini
digunakan sebagai alat komunikasi yang sifatnya cepat, terutama untuk
keperluan perdagangan. Untuk komunikasi dalam keluarga para penutur
menggunakan bahasa ibu masing-masing. Jadi, pijin tidak mempunyai penutur
asli. Tidak ada yang berbahasa pertama bahasa pijin. Kelak, apabila generasi
kedua dan generasi ketiga masyarakat pijin itu menggunakan juga pijin itu
dalam kehidupan sehari-hari, maka pijin itu disebut kreol.  Kreol adalah
pengembangan lebih lanjut dari pijin, yakni setelah pijin itu memiliki penutur
aslinya.
SIMPULAN

Interferensi adalah penyimpangan penggunaan suatu bahasa yang


dipengaruhi oleh kebiasaan penutur menggunakan bahasa pertama atau bahasa
ibu. Interferensi diklasifikasikan menjadi tiga jenis oleh Weinreich (1953)
dalam bukunya Language in Contact, antara lain interferensi fonologis,
morfologis, dan sintaksis.

Integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa


tertentu dan dianggap sudah menjadi warga bahasa tersebut. Tidak dianggap
lagi sebagai unsur pinjaman atau pungutan. Proses penerimaan unsur bahasa
asing, khususnya unsur kosakata, di dalam bahasa Indonesia pada awalnya
tampak banyak dilakukan secara audial.
DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.

http://putri-hardiyanti-blogspot.com/2014/12/interferensi-dan-integrasi.html
(diakses tanggal 30 November 2018)

https://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/hakikathakikikemerdekaan/interferensi-
dan-integrasi/ (diakses tanggal 30 November 2018)

http://detafitrianita03.blogspot.com/2017/01/makalah-interferensi-dan-
integrasi.html?=1 (diakses tanggal 30 November 2018)

http://studi-arab.blogspot.com/2016/01/makalah-interferensi-dan-integrasi.html?
m=1 (diakses tanggal 30 November 2108)

Anda mungkin juga menyukai