Gereja Belanda
Gereja ini dibangun pada jaman pemerintahan Hindia Belanda, sekarang bernama GPIB (Gereja
Protestan Indonesia bagian Barat). Letak gereja ini sama dengan masjid agung, sama-sama
berdiri di depan alon-alon kota Purworejo. Sampai saat ini masih berfungsi sebagai rumah
peribadatan dan melayani jemaah.
Orang menyebut Purworejo sebagal Kota Pensiunan. Itu karena kota kelahiran
Jenderal Ahmad Yani ini sunyi sepi. Obyek wisatanya pun kering. Namun, jika
terlanjur mampir di sini, cobalah dekati restoran trotoarnya, siapa tahu ada
nuansa lain yang ditemukan.
Ke Purworejo! kata saya pada teman yang menjemput di Bandara Adisucipto,
Yogyakarta.
Hah, apa yang mau dilihat di sana? jawab teman itu heran.
Kalau mau jalan-jalan, mendingan langsung saja ke Kebumen atau ke
Wonosobo. Di sana banyak obyek wisatanya. Di Purworejo nggak ada yang bisa
dinikmati, saran teman itu.
Saya ingin melihat dari dekat produksi mebel Jati Indah yang terkenal itu,
terangku, baru teman itu paham.
Memang, tak ada yang bisa dinikmati di Purworejo. Kota itu hanyalah sebuah
jalur antara Yogya dan kota-kota lain di pesisir selatan Pulau Jawa. Tenang dan
Sepi. Keadaan itu membuat banyak orang menjuluki Purworejo sebagai kota
pensiunan, tempat orang beristirahat di hari tua. Belakangan, setelah produksi
mebel Jati Indah membanjiri pasar furniture tanah air, orang baru mendekatkan
nama Purworejo dengan mebel kelas atas, setelah Jepara.
Jalan raya menuju Purworejo dari arah Yogya mulus, hampir tak ada yang
berlubang. Jalan di dalam kota ini juga beraspal halus. Meski pada hari kerja,
jalan dalam kota ini terlihat lengang, Dengan leluasa becak-becak melenggang
di jalan raya.
Masuk Purworejo, kita akan disambut oleh Monumen Jenderal Ahmad Yani.
Seakan-akan mengucapkan Selamat Datang patung Jenderal Besar dalam
ukuran raksasa ini, adalah monumen kebanggaan masyarakat. Di lokasi
monumen ini, masyarakat Purworejo kadang melewati sorenya dengan
berjalan-jalan.
Ahmad Yani sendiri lahir di sini dan sepanjang masa menjadi tokoh kebanggan
masyarakat Purworejo.
Menyimak sejarah pembentukan Kabupaten Purworejo, tampaknya pantas bila
wilayah ini mendapat gelar S3 (sampun sanget sepuh), Hari jadi kabupaten
ini 5 Oktober 901. Sekarang, tahun 2005, berarti usianya 1.104tahun!
Penetapan hari jadi Purworejo tidak lepas dari bukti sejarah primer, Prasasti
Kayu Ara Hiwang, berupa batu andesit yang ditemukan di Desa Boro Wetan,
Kecamatan Banyuurip. Dalam salah satu kalimat yang ditulis dalam bahasa
Jawa Kuno disebutkan tanggal, bulan, dan tahun yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi
kabupaten ini.
Kesan sebagai kota tua sangat terasa saat menelusuri wilayah ini. Tata kotanya
yang terkesan asri dan kuno, yang merupakan warisan tata guna lahan zaman
kolonial. Bangunan tua di alun-alun sebagai peninggalan zaman itu tampak
terawat dan masih digunakan, seperti Masjid Jami Purworejo yang dibangun
pada tahun 1834, rumah dinas bupati dibangun tahun 1840, atau gereja GPIB di
bangun tahun 1879.
Lahan terbuka, yang disebut alun-alun itu, seluas enam hektar juga
dipertahankan keasliannya oleh pemerintah setempat. Konon, alun-alun ini
terluas di seluruh Pulau Jawa. Di tengah alun-alun itu, ada dua pohon beringin,
yang konon juga sudah berusia ribuan tahun.
Peyek dan Ayam Gelinjang
Malam di Kota Purworejo adalah sepi. Begitu azan magrib berkumandang,
kesunyian mulai menyelimuti kota. Orang memilih berdiam dalam rumah dari
pada jalan-jalan di luar. Sekedar makan angin sekalipun, ogah rasanya bagi
masyarakat di kota ini. Oleh karena itu, jangan heran kalau di sini tak ada
pusat perbelanjaan, hiburan malam, apalagi cafe atau life music.
Makan? Mungkin ini satu-satunya acara di malam hari. Lokasi makan malam
pun tak banyak pilihan, kecuali di alun-alun. Lokasi makan yang terkenal di sini
adalah Ayam Panggang Mbak Purwati. Di sini, orang makan secara lesehan
dalam tenda yang dirancang begitu unik. Sambil makan, pengunjung dihibur
dengan alunan musik organ tunggal dengan penyanyi yang ala kadarnya. Tak
jarang pengunjung akan didaulat untuk menyumbangkan kebolehannya
bernyanyi.
Mbak Purwati sendiri, adalah penyanyi favorit di restorannya. Suaranya
memang tak kalah bila dibandingkan dengan Cici Paramida, lembut dan
menghanyutkan. Orangnya juga cantik, sehingga yang makan bisa berhenti
mengunyah begitu ia menyanyi. Katanya, bila sore-sore Mbak Purwati tampil
dalam dandanan aduhai, pasti sebentar lagi restorannya akan dikunjungi orang penting.
Masih di lokasi alun-alun, tepatnya di sebelah barat di depan Masjid Gedhe,
ada pedagang bajigur dengan rondenya. Kata orang, saking terkenalnya
bajigur dan ronde di sini, Sultan Yogya pun tergoda untuk mampir jika berada di
Purworejo. Warung ronde yang paling banyak dikunjungi orang adalah yang
bermerek Ronde Wawan, mungkin pemiliknya bernama Wawan.
Sambil menikmati bajigur dan ronde, kita bisa nimbrung berdiskusi soal
hal-hal yang up to date di Purworejo dan sekitarnya hingga masalah politik di
Jakarta. Sayangnya, arena makan di alun-alun tidak berlangsung lama. Begitu
jarum jam menunjukkan angka 10, lampu-lampu di restoran trotoar ini mulai
padam.
Arena makan malam mulai pindah ke Jalan Brigjend. Katamso, tepatnya di
depan RS Muhammadiyah. Orang menyebut restoran tengah malam ini dengan
nama Peyek Barokah. Berbagai jenis peyek bisa disantap di sini, seperti peyek
kacang, peyekteri, peyekiholo, peyek bayem, peyek geblek dan grubi. Peyeknya
gurih renyah, kacangnya gede-gede dan kriuk banget. Bukan hanya itu, gudeg,
lodeh, nasi rames dan seribu satu makanan khas Jawa juga bisa disantap di
sini.
Makan di Peyek Barokah bayangkan seperti santapan ala buffet. Namun jangan
pedulikan tata krama, boleh comot makanan lewat kepala orang atau lewat
atas piring orang yang sedang makan. Jangan pula tonjolkan status sosial
anda di sini, karena itu tidak penting. Semua pengunjung, tukang becak, tukang
ojek, sopir angkutan, kuli pasar, atau anda yang baru turun dari mobil sekalipun
hams rela berbaur jadi satu dengan satu tujuan: comot peyek.
Itu kalau di malam hari. Kalau ingin mencari makanan yang khas Purworejo di
siang hari, Pasar Grabag adalah tempat yang tepat. Lokasinya sangat mudah
dijangkau. Jika sampai di Pasar Grabag, jangan cari makanan lain, carilah
makanan bernama gelangan atau krimpying atau tenting. Penganan handmade
ini bentuknya cenderung lingkaran kecil, lubangnya kira-kira seukuran jari
kelingking, warnanya kuning kecoklatan alami karena tidak memakai bahan
pewarna.
Dikemas dengan sayatan-sayatan bambu, tiap sayatan biasanya untuk empat
biji lanting, satu tangkai biasanya terdiri dari lima untai dan satu gepok dapat
terdiri dari puluhan untai. Rasanya lain dari yang lain, gurihnya nJawani,
berbeda dengan lanting yang sudah dikemas dengan bungkusan plastic seperti
di toko-toko.
Masih soal makanan, di Tegalsari, sebelah utara Kota Purworejo, jugaterkenal
sebutan Ayam Gelinjang. Ayam Gelinjang terkenal karena yang dijual hanya
paha dan dadanya. Dari namanya orang bisa berpikir ayam ini lezat dan gurih.
Tapi Anda tidak dianjurkan untuk menyantapnya. Karena ayamnya adalah
ayam betina yang selalu mesem cengengesan dan doyan duit. Jadi, jelaslah,
Ayam Gelinjang itu bisa mendatangkan malapetaka jika didekati dan haram
hukumnya untuk disantap.
Transportasi
Purworejo terletak di jalur Selatan Jawa yang menghubungkan kota Jogjakarta
dengan kota-kota lain di pantai Selatan Jawa. Purworejo dapat ditempuh
melalui darat menggunakan moda transportasi jalan raya dan kereta api.
Stasiun besar di kabupaten ini terletak di Kutoarjo yang disinggahi kereta api
ekonomi jurusan Bandung - Jogja, Bandung - Madiun dan Purwokerto -
Surabaya serta kereta bisnis seperti Senja Utama Solo dan Senja Utama Jogja.
Kereta Eksekutif yang singgah di stasiun ini adalah Taksaka 2. Dari stasiun
Kutoarjo sendiri juga memberangkatkan kereta api sendiri yaitu Sawunggalih
Utama jurusan Purworejo - Pasar Senen serta Sawunggalih Selatan jurusan
Purworejo - Bandung Terminal bis utama di kabupaten ini terletak di antara
Purworejo - Kutoarjo tepatnya di kecamatan Banyuurip
Legenda
Tundan Obor : setiap musim penghujan, saat hujan rintik, pada senja hari
(surup), terdengar suara bergemuruh seperti kentongan ditabuh di sepanjang
kali Jali, dimana akan ditemukan beberapa barisan obor yang melayang
sepanjang sungai Jali, dari Gunung Sumbing hingga ke pantai, sampai saat ini
beberapa warga masyarakat masih meyakini hal ini (dan beberapa mengaku
masih menyaksikan). Sebagai bagian dari daerah pesisir pantai Selatan,
legenda Nyi Roro Kidul juga beredar luas dikalangan penduduk.
Kesenian
Purworejo memiliki dua kesenian yang khas : Jidur, tarian tradisional diiringi
musik perkusi tradisional seperti : Bedug, rebana, kendang. satu kelompok
penari terdiri dari 12 orang penari, dimana satu kelompok terdiri dari satu
jenis gender saja (seluruhnya pria, atau seluruhnya wanita). kostum mereka
terdiri dari : Topi pet (seperti petugas stasiun kereta), rompi hitam, celana
hitam, kacamata hitam, dan berkaos kaki tanpa sepatu (karena menarinya di
atas tikar), biasanya para penari dibacakan mantra hingga menari dalam
kondisi trance (biasanya diminta untuk makan padi, tebu, kelapa)kesenian ini
sering disebut juga dengan nama Dolalak
Dzikir Saman - kesenian ini mengadopsi kesenian tradisional aceh dan
bernuansa islami, dengan penari yang terdiri dari 20 pria memakai busana
muslim dan bersarung, nama Dzikir Saman diambil dari kata samaniyah(arab,
artinya : sembilan), yang dimaksudkan sembilan adegan dzikir. diiringi musik
perkusi islami ditambah kibord dan gitar. pada jeda tiap adegan disisipi
musik-musik yang direquest oleh penonton)
Tokoh dari Purworejo
* Jan Toorop, pelukis Belanda.
* A.J.G.H. Kostermans, pakar botani Indonesia.
* Jendral Ahmad Yani, pahlawan revolusi
* Kol. Sarwo Edi Wibowo, mertua presiden Susilo Bambang Yudhoyono
* Bustanul Arifin, mantan Kabulog Orde Baru
* Jenderal Urip Sumoharjo, pendiri TNI
* Syeh Imam Puro, Ulama Purworejo
* W.R.Soepratman, pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya (masih
Patung WR Supratman