Anda di halaman 1dari 23

1.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara garis besar, bahan angan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu
bahan pangan asal tumbuhan (nabati) dan bahan pangan asal hewan (hewani).
Kedua bahan pangan ini memiliki karakteristik yang berbeda sehingga
memerlukan penanganan pwngolahan yang berbeda pula. Selanjutnya dalam hal
ini yanga diuraikan adaah bahan pangan hewani. Bahan pangan meiputi susu,
telur, daging, dan ikan serta produk produk olahanya yang bahan dasarnya
berasala dari hasil hewani.
Ada dua hal penting yang dipertimbangkan mengapa pengolahan pangan
perlu dilakukan. Yang pertama adalah untuk mendapatkan bahan pangan yang
aman untuk dimakan sehingga nilai gizi yang dikandung bahan pangan tersebut
dapat dimanfaatkan secara maksimal. Yang kedua adalah agar bahan pangan
tersebut dapat diterima, khususnya diterima secara sensori, yang meliputi
penampakan

(aroma,

rasa, mouthfeel, aftertaste)

dan

tekstur

(kekerasan,

kelembutan, konsistensi, kekenyalan, kerenyahan).


Di satu sisi pengolahan dapat menghasilkan produk pangan dengan sifatsifat yang diinginkan yaitu aman, bergizi dan dapat diterima dengan baik secara
sensori. Di sisi lain, pengolahan juga dapat menimbulkan hal yang sebaliknya
sehingga diperlukan suatu usaha optimasi dalam suatu pengolahan agar tidak
banyak mempengaruhi nilai gizi dan keamanan pangan.
Jika kita berbicara pengolahan pangan hewani maka sebenarnya kita
berbicara suatu proses yang terlibat dari mulai penanganan bahan pangan setelah
disembelih (sampai kepada usaha-usaha pengawetan dan pengolahan menjadi
produk jadi serta penyimpanannya.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan diadakannya penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa:
Mengetahui pengaruh pengolahan/pengawetan terhadap kandungan protein

2. PEMBAHASAN

2.1 Prinsip dan Tujuan Pengolahan Bahan Pangan


Pada prinsipnya pengolahan pangan dilakukan dengan tujuan:
1. untuk pengawetan,

pengemasan

(misalnya pengalengan);
2. untuk
mengubah
menjadi

dan

produk

penyimpanan
yang

produk

diinginkan

pangan
(misalnya

pemanggangan); serta
3. untuk mempersiapkan bahan pangan agar siap dihidangkan.
Semua bahan mentah merupakan komoditas yang mudah rusak, sejak
dipanen,

bahan

pangan

mentah,

baik

tanaman

maupun

hewan

akan

mengalami kerusakan melalui serangkaian reaksi biokimiawi. Kecepatan


kerusakan sangat bervariasi, dapat terjadi secara cepat hingga relatif lambat.
Satu faktor utama kerusakan bahan pangan adalah kandungan air aktif secara
biologis dalam jaringan.

Bahan mentah dengan kandungan air aktif secara

biologis yang tinggi dapat mengalami kerusakan dalam beberapa hari saja,
misalnya daging-dagingan.
Penanganan,

penyimpanan

dan

pengawetan

bahan

pangan

sering

menyebabkan terjadinya perubahan nilai gizinya, yang sebagain besar tidak


diinginkan.

Zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan akan rusak pada

sebagaian besar proses pengolahan karena sensitif terhadap pH, oksigen, sinar dan
panas atau kombinasi diantaranya. Zat gizi mikro terutama tembaga dan zat besi
serta enzim kemungkinan sebagai katalis dalam proses tersebut.
Selain proses pengolahan yang tidak diinginkan karena banyak merusak
zat-zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan, proses pengolahan dapat
bersifat menguntungkan terhadap beberapa komponen zat gizi yang terkandung
dalam bahan pangan tersebut, yaitu perubahan kadar kandungan zat gizi,
peningkatan daya cerna dan ketersediaan zat-zat gizi serta penurunan berbagai
senyawa antinutrisi yang terkandung di dalamnya.

Proses pemanasan bahan

pangan dapat meningkatkan ketersediaan zat gizi yang terkandung di


dalamnya, misalnya pemanasan kacang-kacangan (kedelai) mentah dapat
meningkatkan daya cerna dan ketersediaan protein yang terkandung di dalamnya.
Selain itu proses fermentasi kedelai dalam proses pembuatan tempe misalnya,
2

juga dapat menyebabkan terjadinya denaturasi protein yang akan meningkatkan


daya cerna protein tersebut.
Avidin dalam telur merupakan senyawa yang dapat mengikat biotin,
namun avidin akan rusak oleh adanya pemanasan dalam proses pengolahan.
Pada umumnya pemanasan akan meningkatkan daya cerna bahan pangan
sehingga

meningkatkan keguanaan

dalamnya.

zat-zat

gizi

yang

terkandung

di

Namun demikian, pemanasan yang berlebihan dapat menyebabkan

penurunan nilai sensoris dan nilai gizi produk pangan olahan.

Untuk itu,

maka kunci utama dalam proses pengolahan bahan pangan, baik di tingat
rumah tangga maupun di industri adalah melakukan optimisasi proses
pengolahan untuk menghasilkan produk olahan yang secara sensoris menarik
dan tinggi nilai gizinya.
Dari

uraian

sebelumnya

dapat

diketahui

bahwa

sangat

banyak

pengaruh berbagai pengolahan terhadap komponen zat gizi dalam bahan pangan,
mulai dari saat penanganan, penyimpanan maupun pengawetan. Pengaruh
pengolahan terhadap nilai gizi bahan pangan diantaranya adalah terhadap
nilai gizi protein.
2.2 Pengaruh Pengolahan Terhadap Nilai Gizi Protein
Pengolahan bahan pangan berprotein yang tidak dikontrol dengan baik
dapat menyebabkan terjadinya penurunan nilai gizinya. Sebagian besar pangan
asal hewani mengandung kadar protein yang tinggi atau menjadi pangan sumber
protein. Pengolahan dapat dilakukan secara fiisik, kimia atau biologis. Secara
fisik biasanya dilakukan dengan penghancuran atau pemanasan, secara kimia
dengan penggunaan pelarut organik, pengoksidasi, alkali, asam atau belerang
dioksida; dan secara biologis dengan hidrolisa enzimatis atau fermentasi.
Diantara cara pengolahan tersebut, yang paling banyak dilakukan adalah
proses pengolahan menggunakan pemanasan seperti sterilisasi, pemasakan dan
pengeringan.

Sementara itu kita ketahui bahwa protein merupakan senyawa

reaktif yang tersusun dari beberapa asam amino yang mempunyai gugus reaktif
yang dapat berikatan dengan komponen lain, misalnya gula pereduksi, polifenol,

lemak dan produk oksidasinya serta bahan tambahan kimia

lainnya seperti

alkali, belerang dioksida atau hidrogen peroksida.


Perlakuan dengan alkali dapat menyebabkan terjadinya rasemisasi asam
amino, perubahan bentuk L menjadi bentuk D. Selain itu juga dapat terjadi reaksi
antara asam amino yang satu dengan yang lain, misalnya terbentuknya
lisiolalanin dari lisin dan alanin. Hal tersebut dapat menyebabkan menurunnya
nilai gizi protein akibat terjadinya penurunan daya cerna protein dan ketersediaan
atau availabilitas asam-asam amino esensial. Selain itu reaksi antara protein
dengan gula pereduksi yang dikenal dengan reaksi Maillard, juga merupakan
penyebab

utama

terjadinya

kerusakan

protein

selama

pengolahan

dan

penyimpanan.
a. Reaksi Maillard
1. Reaksi Maillard Dalam Produk Bahan Pangan
Pemasakan dirumah-rumah tangga dan pengalengan makanan secara komersil
hanya memberi sedikit pengaruh terhadap nilai gizi protein bahan pangan.
Akan tetapi proses industri lainnya, yang menyangkut penggunaan panas pada
kadar air yang rendah, misalnya selama pengeringan dan pembakaran (roti),
serta proses penyimpanan selanjutnya dari produk yang dihasilkan, dapat
mengakibatkan penurunan gizi yang cukup besar. Reaksi Maillard dapat
terjadi, misalnya selama produksi pembakaan roti. Kehilangan tersebut
terutama terjadi pada bagian yang berwarna coklat (crust), yang mungkin
karena terjadinya reaksi dengan gula pereduksi yang dibentuk selama proses
fermentasi tetapi tidak habis digunakan oleh khamir (dari ragi roti). Meskipun
gulagula nonreduksi (misalnya sukrosa) tidak bereaksi dengan protein pada
suhu rendah, tetapi pada suhu tinggi ternyata dapat menimbulkan reaksi
Maillard, yang pada suhu tinggi terjadi pemecahan ikatan glikosidik dari
sukrosa dan menghasilkan glukosa dan fruktosa.
2. Reaksi Maillard (interaksi protein dan gula pereduksi)
Reaksi antara protein dengan gula-gula pereduksi merupakan sumber utama
menurunnya nilai gizi protein pangan selama pengolahan dan penyimpanan.
Reaksi Maillard ini dapat terjadi pada waktu pembuatan (pembakaran) roti,
produksi breakfast cereals (serpihan jagung, beras, gandum, dll) dan
pemanasan daging terutama bila terdapat bahan pangan nabati ; tetapi yang
paling penting adalah selama pengolahan susu (sapi) dengan pemanasan,
4

karena susu merupakan bahan pangan berprotein tinggi yang juga mengandung
gula pereduksi (laktosa) dalam jumlah tinggi.
Reaksi Maiilard terjadi antara gugus aldehid dari gula pereduksi
dengan gugus amina dari asam amino terutama epsilon-amino-lisin dan alfaamino asam amino N-terminal.

Raksi ini banyak terjadi pada pembakaran

roti, pembuatan breakfast cereal, pemanasan daging terutama apabila kontak


dengan bahan nabati, serta pengolahan susu bubuk. Yang terakhir merupakan hal
yang paling penting karena susu bubuk banyak digunakan untuk bayi dan anakanak, dimana ketersediaan asam-asam aminonya sangat penting artinya untuk
pertumbuhan.
Selain itu di dalam susu bubuk juga mengandung gula pereduksi,
sehingga mudah bereaksi dengan asam-asam amino yangterkandung di
dalam susu tersebut. Pada umumnya reaksi Maillar terjadi dalam dua tahapan,
yairu tahap reaksi awal (Gambar 1) dan reaksi lanjutan (Gambar 2).

Pada

tahap awal terjadi kondensasi antara gugus karbonil dari gula pereduksi
dengan gugus amino bebas dari asam amino dalam rangkaian protein.
Produk hasil kondensasi selanjutnya akan berubah menjadi basa Schiff
karena kehilangan molekul air (H2O) dan akhirnya tersiklisasi oleh Amadori
rearangement membentuksenyawa 1-amino-1-deoksi-2-ketosa (Gambar 1).
Senyawa deoksi-ketosil atau senyawa Amadori yang terbentuk merupakan bentuk
utama lisin yang terikat pada bahan pangan setelah terjadinya reaksi Maillard
awal.

Pada tahap ini secara visual bahan pangan masih berwarna seperti

aslinya, belum berubah menjadi berwarna coklat, namun demikian lisin dalam
protein bahan pangan tersebut sudah tidak tersedia lagi secara biologis
(bioavailabilitasnya menurun).

Gambar 1. Reaksi antara gugus aldehid glukosa dengan gugus amino


lisin yang terikat pada protein (reaksi Maillard awal).
Reaksi Maillard lanjutan dapatterjadi melalui tiga jalur (pathways),
dua diantaranya dimulai dari produk Amadori (senyawa deoksi-ketosil) dan
yang ketiga berasal dari degradasi Strecker. Reaksi tersebut berakhir dengan
pembentukan pigmen berwarna coklet yang disebut malanoidin (Gambar 2).

Gambar 2. Reaksi antara gula pereduksi dengan asam amino pada


protein (reaksi Maillard lanjutan).
Suatu penelitian menggunakan hewan percobaan (tikus) menunjukkan
bahwa produk reaksi Maillardbaik tahap awal maupun tahap lanjutan tidak dapat
dimanfaatkanoleh tubuh.

Semakin lanjut reaksi Maillard berlangsung, akan

semakin banyak produk reaksi yang ditemukan dalam feses tikus.

Keadaan

tersebut menunjukkan bahwa protein yang telah mengalami reaksi Maillar daya
cernanya akan menurun, sehingga dikeluarkan melalui feses. Selain itu, produk
yang dapat diserap ususpun tidak dapat digunakan oleh tubuh karena dalam urin
hewan percobaan tersebut terdeteksi adanya produk reaksi Maillard (Tabel 1).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penurunan nilai gizi protein akibat
reaksi Maillard terjadi sebagai berikut:
1. lisin dan sistin mengalami kerusakan sebagai akibat bereaksi dengan
senyawa karbonil atau dikarbonil dan aldehid, padahal lisin merupakan
salah satu asam amino esensial;
2. penurunan ketersediaan semua asam-asam amino, termasuk leusin yang
biasanya paling stabil, sebagai akibat terbentuknya ikatan silang (cross
linkage) antar asam-asam amino melalui produk reaksi Maillard; dan
3. penurunan daya cerna karena terhambatnya penetrasi enzim ke dalam
substrat protein atau karena tertutupnya sisi protein yang dapat diserang enzim
karena terjadinya ikatan silang tersebut.
Tabel 1. Ekskresi produk reaksi Maillard tahap awal dan lanjutan dalam urin
dan feses tikus percobaan

Sumber: Hurrell (1984)


b. Reaksi dengan senyawa polifenol
Selain reaksi Maillard kerusakan protein (asam amino) lain yang dapat
terjadi adalah karena terjadinya reaksi dengan senyawa polifenol yang berasal
dari tanaman seperti fenolat, flavonoiddan tanin. Senyawa polifenol tersebut akan
mudah teroksidasi dengan adanya oksigen dalam suasana alkali atau
terdapatnya enzim polifenolase, membentuk senyawa radikal orto-kuinon.
Senyawa orto-kuinon tersebut sangat reaktif dan apabila bereaksi dengan
protein dapat membentuk senyawa kompleks yang melibatkan asam amino lisin

sehingga ketersediaannya akan menurun. Selain itu senyawa kompleks proteinpolifenol tersebut sulit ditembus oleh enzim protease sehingga daya cerna
proteinnya juga rendah, sehingga secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa
nilai gizi protein tersebut juga akan turun. Pembentukan kompleks antara protein
dan senyawa polifenol dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Reaksi pembentukan senyawa kompleks antara protein dan senyawa


polifenol.
c. Pembentukan lisinoalanin
Pada umumnya pengolahan protein dengan alkali dillakukan untuk
memperbaiki sifat fungsional protein.

Ada dua hal yang perlu mendapat

perhatian yaitu pembentukan lisinolalanin dan rasemisasi asam amino, yang


keduanya dapat berakibat pada penurunan nilai gizi protein tersebut.
Lisinolalanin adalah senyawa N-epsilon-(DL-2-amino-karboksi-etil)-Llisin yang disingkat dengan LAL. Senyawa tersebut terdiri dari residu lisin yang
gugus epsilon-aminonya terikat pada gugus metil dari residu alanin.
Terdapat dua mekanisme pembentukan lisinolalanin yang diketahui, yaitu melalui
reaksi beta-eliminasi dan reaksi substitusi (Gambar 4a dan b).
Pembentukan lisinoalananin akan menurunkan daya cerna protein karena
ikatan silang (cross linkage).

Selain itu lisinolalanin juga bersifat toksik

apabila termakan,

yang

dapat menyebabkan

terjadinya kerusakan ginjal

(nephrocytomegaly), namun mekanismenya belum diketahui dengan jelas.


Banyak penelitian telah dilakukan untuk mempelajari parameter fisik dan
kimia yang mempengaruhi pembentukan lisinolalanin. Tujuan utamanya adalah
untuk mengurangi atau menghilangkan LAL dari protein yang diberi
perlakuan menggunakan alkali.

Dilaporkan bahwa LAL dapat terbentuk

pada pH 9, pembentukannya akan dipercepat pada pH antara 11-12 dan pada


kondisi suhu tinggi.

Gambar 4a. Mekanisme pembentukan lisinolalanin melalui reaksi betaeliminasi.

Gambar 4b. Mekanisme

pembentukan

lisinolalanin

melalui

reaksi

substitusi.
Struktur protein merupakan kriteria penting yang dapat mempengaruhi
pembentukan LAL. Jumlah LAL yang terbentuk tergantung pada konsentrasi lisin
dan residu sistein serta serin dalam protein, serta jarak antara lisin ke
residu sistin atau serin dalam rantai protein. Protein yang residu lisin dan sistin
atau serinnya berdekatan atau hanya dibatasi oleh satu atau dua residu lainnya
akan dapat segera membentu LAL.

d. Rasemisasi asam amino


Selain terbentuknya lisinoalanin, terjadinya rasemisasi asam amino
merupakan fenomena lain yang terjadi pada saat protein diperlakukan dalam
larutan alkali dan dapat mempengaruhi nilai gizi protein. Rasemisasi juga dapat
terjadi dalam suasana asam atau proses penyangraian (roasting), terutama
apabila terdapat lipidatau gula pereduksi.
Pada kejadian ini, asam amino bentuk L akan berubah menjadi bentuk D
yang tidak dapat digunakan oleh tubuh. Demikian pila ikatan peptida L-D, D-L
atau D-D dari protein juga tidak dapatdiserang oleh enzim proteolitik, sehingga
daya cerna protein menurun. Asam-asam amino D-lisin, D-teronin, D-triptofan,
D-leusin, D-isoleusin dan D-valin sama sekali tidak dapat digunakanoleh tubuh.
Sedangkan D-fenilalanin dapat menggantikan L-fenilalanin dan D-metionin dapat
digunakan sama baiknya dengan L-metionin oleh tubuh.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, akan terjadi rasemisasi asam amino
dalam larutan alkali yang berakibat terjadinya penurunan nilai biologis beberapa
asam mino tersebut.

Arginin, sistin, treonin dan sistein sebagian akan

rusak, sementara itu glutamin dan asparagin akan dideaminasi dalam larutan
alkali.
Dalam larutan asam, triptofan sedikit lebih mudah rusak, sistein
sebagian dikonversi menjadi sitin, serin dan treonin sebagian akan rusak.
Fenilalanin dan treonin sebagain akan rusak oleh sinar ultra violet. Semua asam
amino dalam bahan

pangan,

terutama

lisin,

treonin

dan

metionin

bersifatsensitif terhadap pemanasan kering dan radiasi. Oleh karena itu, dalam
proses pembakaran dan pemanggangan akan terjadi penurunan nilai biologis
protein secara signifikan.
e. Interaksi antara protein dan lipid teroksidasi
Penurunan nilai gizi protein juga dapat disebabkan karena terjadinya
interaski antara protein dengan lipid teroksidasi, yang seringkali tidak
diperhatikan

dalam proses

pengolahan

pangan.

Oksidasi

lipid

yang

mengandung asam lemak tidak jenuh berlangsung melalui tiga tahap:


1. pembentukan produk primer seperti lipid hidroperoksida;
2. degradasi hidroperoksida melalui radikal bebas dan membentuk produkproduk sekunder seperti aldehid, hidrokarbon dan lain-lain; serta
10

3. polimerisasi produk primerdan sekunder membentuk produk akhir yang stabil.


Produk-produk yang terbentuk tersebut dapat bereaksi dengan protein,
terutama dengan asam amino lisin, membentuk protein modifikasi yang sulit
dicerna oleh enzim proteolitik. Disamping itu, asam amino triptofan dan
asam amino lain yang mengandung sulfur juga dapat rusak teroksidasi oleh
adanya radikal bebas dan hidroperoksida.

2.3 Sifat-sifat Protein


2.3.1 Denaturasi
Denaturasi merupakan proses perubahan konfigurasi molekul protein
sehingga terjadi perubahan atau perusakan struktur sekunder, tersier dan
kuartenernya tanpa menyebabkan kerusakan ikatan peptide. Ada dua macam
denaturasi, pengembangan polipeptida dan pemecahan protein menjadi unit yang
lebih kecil tanpa disertai pengembangan molekul. Terjadinya kedua jenis
denaturasi ini tergantung pada keadaan molekul. Yang pertama terjadi pada rantai
polipeptida, sedangkan yang kedua terjadi pada bagian-bagian molekul yang
tergabung dalam ikatan sekunder.
Denaturasi merupakan suatu perubahan struktur sekunder, tersier, dan
kuartener terhadap molekul protein tanpa terjadinya pemecahan ikatan kovalen.
Perlakuan panas, pH ekstrim, empera gangguan fisik dan kimia dapat memicu
terjadinya denaturasi (Brown, 2000). Davidek et al. (1990) menyatakan bahwa
proses penggilingan daging menyebabkan protein terdenaturasi. Denaturasi oleh
panas dapat mempermudah hidrolisis protein oleh protease dalam usus halus.
Akan tetapi panas juga dapat menurunkan mutu protein akibat perombakan dan
terperisainya gugus amino-epsilon dari lisin protein asli yang menghambat
hidrolisis oleh tripsin (Karmas and Harris, 1989). Suhu antara 53 0C-630C
menyebabkan kolagen terdenaturasi. Protein otot mengalami denaturasi pada
kisaran suhu antara 500C-800C (1220F dan 1760F) (Tornberg, 2004).
Selain sifat-sifat yang umum, kebanyakan protein alam masih mempunyai
satu atau lebih sifat khusus. Sifat khusus tersebut misalnya : (a) daya angkut
oksigen; (b) mempunyai daya sebagai alat pengangkut lipida; (c) mempunyai

11

kelarutan tertentu dalam garam encer atau asam encer; dan (d) mempunyai
aktivitas sebagai enzim atau hormon.
Protein tersebut yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu yang
panas dan dingin, sinar ultraviolet, gelombang ultrasonik, pengocokan yang kuat,
suasana asam dan basa yang ekstrim, kation logam berat, penambahan garam
jenuh, serta bahan kimia seperti aseton, alkohol, dan sebagainya dapat mengalami
proses denaturasi. Denaturasi itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu proses
perubahan konfigurasi tiga dimensi molekul protein tanpa menyebabkan
kerusakan ikatan peptida.
Gelombang ultrasonik dapat merusak lingkar aromatik yang ada dalam
molekul protein, yang berakibat hilangnya interaksi hidrofobik yang terjadi karena
dua lingkar aromatik yang berdekatan. Radiasi sinar ultraviolet dan panas
memberikan energi kinetik pada protein dan menyebabkan atom-atom tervibrasi
cukup sepat sehingga merusak ikatan hidrogen. Radiasi sinar ultraviolet juga
dapat merusak ikatan peptida di dekat lingkar aromatik dalam molekul protein.
Kontak protein dengan beberapa bahan kimia tertentu dapat mengakibatkan
protein tersebut mengalami denaturasi. Penambahan deterjen pada kebanyakan
larutan protein menyebabkan interaksi hidrofobik pada bagian-bagian dalam
molekul protein menjadi rusak.
Perubahan pH yang terjadi karena penambahan asam mineral atau
penambahan basa pada protein dapat merusak ikatan garam yang terdapat pada
protein tersebut. Seperti kita ketahui, ikatan garam dalam molekul protein adalah
secara ionik dan terjadi karena gaya tarik menarik antara gugus COO dan gugus
NH3 yang berdekatan.
Terdapat 3 mekanisme denaturasi, yaitu (1) denaturasi protein akibat panas,
kondisi panas dapat memutuskan ikatan hydrogen dan interaksi hidrofobik non
polar yang menopang struktur sekunder dan tersier molekul protein. Hal ini di
karenakan suhu tinggi dapat meningkatkan energi kinetik dan menyebabkan
molekul penyusun protein bergerak atau bergetar sangat cepat sehingga
menyebabkan sisi hidrofobik dari gugus samping molekul polipeptida akan
terbuka. Proses denaturasi tersebut menurunkan kelarutan protein sehingga akan
terjadi koagulasi. (2) Denaturasi protein akibat asam basa, adanya asam dan basa

12

dapat memutuskan jembatan garam pada struktur tersier protein. Hal ini di
karenakan asam dan basa akan terdisosiasi menjadi produk bermuatan ionik.
Mekanisme denaturasi berlangsung ketika terjadi reaksi subsititusi antara ion
positif dan negatif di dalam garam dengan ion positif dan negatif yang berasal
dari asam atau basa yang ditambahkan. (3) Denaturasi protein akibat logam berat,
reaksi yang terjadi antara logam berat dengan protein akan mengakibatkan
terbentuknya protein-logam yang tidak larut. Protein akan mengalami presipitasi
bila bereaksi dengan ion logam. Pengendapan oleh ion positif (logam berat)
diperlukan pH larutan diatas pI karena protein bermuatan negative sedangkan
pengendapan oleh ion negative diperlukan pH larutan dibawah pI karena protein
bermuatan positif. Ion-ion positif yang dapat mengendapkan protein adalah; Ag+,
Ca2+, Zn2+, Hg2+, Fe2+,Cu2+ dan Pb2+, sedangkan ion-ion negatif yang dapat
mengendapkan protein adalah; ion salisilat, triklorasetat, piktrat, tanat dan sulfo
salisilat. Logam berat juga merusak ikatan disulfide karena afinitasnya yang tinggi
dan kemampuannya untuk menarik sulfur sehingga mengakibatkan denaturasi
protein.
Denaturasi dapat mengubah sifat protein alam, dan untuk bermacam-macam
protein, perubahan ini tidah seidentik menurut jenis proteinnya, misalnya (a)
aktivitas enzim atau hormon berkurang; (b) kelarutan dalam garam-garam atau
asam-asam encer menurun; (c) kemampuan membentuk cristal berkurang; dan (d)
stabilitasnya menurun sehingga menggumpal.
Dampak yang terjadi pada produk yang mengalami denaturasi dapat terjadi
perubahan seperti berkurang kelarutannya. Lapisan molekul protein bagian dalam
yang bersifat hidrofobik akan keluar, sedangkan bagian yang hidrofilik akan
terlipat ke dalam. Pelipatan atau pembalik akan terjadi bila larutan protein
mendekati pH isoelektris, lalu protein akan menggumpal dan mengendap.
Viskositas akan bertambah karena molekulmengembang dan menjadi asimetrik,
sudut putaran optis larutan protein juga akan meningkat. Protein akan mengalami
presipitasi bila bereaksi dengan ion logam. Pengendapan oleh ion positif (logam)
diperlukan pH larutan diatas pi karena protein bermuatan negatif, pengendapan
oleh ion negative diperlukan ph larutan di bawah pi karena protein bermuatan
positif. Protein akan mengalami kekeruhan terbesar pada saat mencapai ph

13

isoelektris yaitu pH dimana protein memiliki muatan positif dan negatif yang
sama, pada saat inilah protein mengalami denaturasi yang ditandai kekeruhan
meningkat dan timbulnya gumpalan.
2.3.2 Koagulasi
Koagulasi adalah proses penggumpalan partikel koloid karena penambahan
bahan kimia sehingga partikel-partikel tersebut bersifat netral dan membentuk
endapan karena adanya gaya grafitasi.
Menurut Winarno (1997) koagulasi terjadi setelah pengembangan molekul
protein yang terdenaturasi. Setelah protein terdenaturasi unit ikatan gugus reaktif
pada rantai polipeptida yang terbentuk cukup banyak sehingga protein tidak
terdispersi lagi sebagai suatu koloid. Koagulasi dapat terjadi pada suhu di atas
900C (Tornberg, 2004). Koagulasi maksimum terjadi pada saat Temperatur antara
600C-650C yang dicapai selama pemanasan (Davidek et al., 1990).
Mekanisme koagulasi terbagi menjadi 2, yaitu secara fisik dan secara kimia.
Koagulasi dapat terjadi secara fisik seperti : (1) Pemanasan, kenaikan suhu sistem
koloid menyebabkan tumbukan antar partikel-partikel sol dengan molekulmolekul air bertambah banyak. Hal ini melepaskan elektrolit yang teradsorpsi
pada permukaan koloid. Akibatnya partikel tidak bermuatan. contoh: darah (2)
Pengadukan, contoh: tepung kanji (3) Pendinginan, contoh: agar-agar. Sedangkan
secara kimia seperti penambahan elektrolit, pencampuran koloid yang berbeda
muatan dan penambahan zat kimia koagulan. Ada beberapa hal yang dapat
menyebabkan

koloid

bersifat

netral,

yaitu:

(1)

Menggunakan

prinsip

elektroforesis, proses elektroforesis adalah pergerakan partikel-partikel koloid


yang bermuatan ke elektrode dengan muatan yang berlawanan. Ketika partikel ini
mencapai elektrode, maka sistem koloid akan kehilangan muatannya dan bersifat
netral. (2) Penambahan koloid, dapat terjadi yaitu, koloid yang bermuatan negatif
akan menarik ion positif (kation), sedangkan koloid yang bermuatan positif akan
menarik ion negatif (anion). Ion-ion tersebut akan membentuk selubung lapisan
kedua. Apabila selubung lapisan kedua itu terlalu dekat maka selubung itu akan
menetralkan muatan koloid sehingga terjadi koagulasi. Makin besar muatan ion
makin kuat daya tariknya dengan partikel koloid,sehingga makin cepat terjadi
koagulasi. (Sudarmo,2004) (3) Penambahan elektrolit, jika suatu elektrolit

14

ditambahkan pada sistem koloid, maka partikel koloid yang bermuatan negatif
akan mengadsorpsi koloid dengan muatan positif (kation) dari elektrolit. Begitu
juga sebaliknya, partikel positif akan mengadsorpsi partikel negatif (anion) dari
elektrolit. Dari adsorpsi diatas maka terjadi koagulasi.
Dalam proses koagulasi, stabilitas koloid sangat berpengaruh.stabilitas
merupakan daya tolak koloid karena partikel-partikel mempunyai muatan
permukaan sejenis (negatif). Beberapa gaya yang menyebabkan stabilitas partikel,
yaitu : (1) Gaya elektrostatik yaitu gaya tolak menolak terjadi jika partikelpartikel mempunyai muatan yang sejenis (2) Bergabung dengan molekul air
(reaksi hidrasi) (3) Stabilisasi yang disebabkan oleh molekul besar yang
diadsorpsi pada permukaan.
Suspensi atau koloid bisa dikatakan stabil jika semua gaya tolak menolak
antar partikel lebih besardari ada gaya tarik massa, sehingga dalam waktu tertentu
tidak terjadi agregasi. Untuk menghilangkan kondisi stabil, harus merubah gaya
interaksi antara partikel denganpembubuhan zat kimia supaya gaya tarik menarik
lebih besar.Untuk destabilisasi ada beberapa mekanisme yang berbeda : (1)
Kompresi lapisan ganda listrik dengan muatan yang berlawanan (2) Mengurangi
potensial permukaan yang disebabkan oleh adsorpsi molekul yang spesifik
denganmuatan elektrostatik berlawanan (3) Adsorpsi molekul organik diatas
permukaan partikel bisa membentuk jembatan molekul diantara partikel (4)
Penggabungan partikel koloid kedalam senyawa presipitasi yang terbentuk dari
koagulan.
Secara garis besar (bedasarkan uraian diatas), mekanisme koagulasi adalah
destabilisasi muatan negatif partikel oleh muatan positip dari koagulan, tumbukan
antar partikel dan adsorpsi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi koagulasi : (1) Pemilihan bahan kimia,
untuk melaksanakan pemilihan bahan kimia, perlu pemeriksaan terhadap
karakteristik air baku yang akan diolah yaitu suhu, pH, alkalinitas, kekeruhan dan
warna. Efek karakteristik tersebut terhadap koagulan adalah suhu berpengaruh
terhadap daya koagulasi dan memerlukan pemakaian bahan kimia berlebih, untuk
mempertahankan hasil yang dapat diterima pH, nilai ekstrim baik tinggi maupun
rendah, dapat berpengaruh terhadap koagulasi. pH optimum bervariasi tergantung

15

jenis koagulan yang digunakan.Alkalinitas yang rendah membatasi reaksi ini dan
menghasilkan koagulasi yang kurang baik, pada kasus demikian, mungkin
memerlukan penambahan alkalinitas ke dalam air, melalui penambahanbahan
kimia alkali/basa ( kapur atau soda abu). Makin rendah kekeruhan, makin sukar
pembentukkan flok. Makin sedikit partikel, makin jarang terjadi tumbukan antar
partikel/flok, oleh sebab itu makin sedikit kesempatan flok berakumulasi.Warna
berindikasi kepada senyawa organik, dimana zat organik bereaksi dengan
koagulan, menyebabkan proses koagulasi terganggu selama zat organik tersebut
berada di dalam air baku dan proses koagulasi semakin sukar tercapai.
(2) Penentuan dosis optimum koagulan, untuk memperoleh koagulasi yang
baik, dosis optimum koagulan harus ditentukan. Dosis optimum mungkin
bervariasi sesuai dengan karakteristik dan seluruh komposisi kimiawi di dalam air
baku, tetapi biasanya dalam hal ini fluktuasi tidak besar, hanya pada saat-saat
tertentu dimana terjadi perubahan kekeruhan yang drastis (waktu musim
hujan/banjir) perlu penentuan dosis optimumberulang-ulang. (3) Penentuan pH
optimum, penambahan garam aluminium atau garam besi, akan menurunkan pH
air, disebabkan oleh reaksihidrolisa garam tersebut, seperti yang telah diterangkan
di atas. Koagulasi optimum bagaimanapun juga akan berlangsung pada nilai pH
tertentu.
Apabila muatan koloid dihilangkan, maka kestabilan koloid akan berkurang
dan dapat menyebabkan koagulasi atau penggumpalan. Penghilangan muatan
koloid dapat terjadi pada sel elektroforesis atau jika elektrolit ditambahkan ke
dalam sistem koloid. Apabila arus listrik dialirkan cukup lama kedalam sel
elektroforesis maka partikel koloid akan digumpalkan ketika mencapai elektrode.
Jadi koloid yang bermuatan negatif akan digumpalkan di anode, sedangkan koloid
yang bermuatan positif digumpalkan di katode. Koagulan yang paling banyak
digunakan dalam praktek di lapangan adalah alumunium sulfat [Al2(SO4)3]
karena mudah diperoleh dan harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan
jenis koagulan lain.
Beberapa contoh koagulasi dalam kehidupan sehari-hari dan industri : (1)
Pembentukan delta di muara sungai terjadi karena koloid tanah liat dalam air
sungai mengalami koagulasi ketika bercampur dengan elektrolit dalam air laut (2)

16

Pada pengolahan karet, partikel-partikel karet dalam lateks digumpalkan dengan


penambahan asam asetat atau asam format sehingga karet dapat dipisahkan dari
lateksnya (3) Lumpur koloidal dalam air sungai dapat digumpalkan dengan
menambahkan tawas. Sol tanah liatdalam air sungai biasanya bermuatan negatif
sehingga akan digumpalkan oleh ion Al 3+ dari tawas (alumunium sulfat) (4)
Asap dan tebu dari pabrik/ industri dapat digumpalkan dengan alat koagulasi
listrik dari Cottrel Asap dari pabrik sebelum meninggalkan cerobong asap
dialirkan melalui ujung-ujung logam yang tajam dan bermuatan pada tegangan
tinggi (20.000 75.000). Ujung-ujung yang runcing akan mengionkan molekulmolekul dalam udara. Ion-ion tersebut akan diadsorbsi oleh partikel asap dan
menjadi bermuatan. Selanjutnya, partikel bermuatan itu akan tertarik dan diikat
pad aelektroda yang lainnya. Pengendap cottrel ini banyak digunakan dalam
industri untuk dua tujuan yaitu mencegah udar oleh buangan beracun atau
memperoleh kembali debu yang berharga (misalnya debu logam) (5) Jika bagian
tubuh mengalami luka maka ion Al 3+ atau Fe 3+ segera nenetralkan partikel
albuminoid yang dikandung darah sehingga terjadi penggumpalan darah yang
menutupi luka.
2.3.3 Browning
Reaksi pencoklatan browning terdiri dari reaksi pencoklatan enzimatis dan
non-enzimatis. Reaksi pencoklatan enzimatis biasa terjadi pada buah-buahan dan
sayur-sayuran yang memiliki senyawa fenolik. Sedangkan reaksi pencoklatan
non-enzimatis yaitu karamelisasi, reaksi Maillard dan pencoklatan akibat vitamin
C. Namun, hanya akan dibahas karamelisasi dan reaksi Maillard saja. Warna
coklat karamel didapat dari pemanasan larutan sukrosa dengan amonium bisulfat
seperti yang digunakan pada minuman cola, minuman asam lainnya, produkproduk hasil pemanggangan, sirup, permen, pelet, dan bumbu kering. Larutan
asam (pH 2-4,5) ini memiliki muatan negatif (Fennema 1996). Terdapat tiga
kelompok karamel, yaitu karamelan, karamelen, dan karamelin, yang masingmasing memiki bobot molekul berbeda.
Reaksi Maillard terjadi antara gugus amin (asam amino) dan gula pereduksi
(gugus keton atau aldehidnya). Pada akhir reaksi terbentuk pigmen coklat
melanoidin yang memiliki bobot molekul besar. Reaksi yang diawali dengan

17

reaksi antara gugus aldehid atau keton pada gula dengan asam amino pada protein
ini membentuk glukosilamin. Selain gugus aldehid/keton dan gugus amino.
Faktor yang memengaruhi reaksi Maillard, adalah suhu, konsentrasi gula,
konsentrasi amino, pH, dan tipe gula. Berkaitan dengan suhu, reaksi ini
berlangsung cepat pada suhu 100oC namun tidak terjadi pada suhu 150oC. Kadar
air 10-15% adalah kadar air terbaik untuk reaksi Maillard, sedangkan reaksi
lambat pada kadar air yang terlalu rendah atau terlalu tinggi. Pada pH rendah,
gugus amino yang terprotonasi lebih banyak sehingga tidak tersedia untuk
berlangsungnya reaksi ini. Umumnya molekul gula yang lebih kecil bereaksi lebih
cepat dibanding molekul gula yang lebih besar. Dalam hal ini, konfigurasi
stereokimia juga memengaruh, misalnya pada sesama molekul heksosa, galaktosa
lebih reaktif dibanding yang lain.
Mekanismenya yaitu, pertama- tama gula dan amino bereaksi membentuk
aldosilami yang kemudian mengalami pengaturan kembali Amadori menjadi
ketosaamin. Setelah itu mengalami suatu seri reaksi kompleks yang akhirnya
menghasilkan polimer berwarna coklat yang disebut melanoidin. Laju
pencoklatan meningkat cepat karena peningkatan suhu dan pH di atas 6,8.
Dampak yang ditimbulkan pada produk perubahan yang terjadi karena
adanya proses browning non enzimatik pada produk yaitu menjadi kecoklatan dan
terjadi perubahan rasa yang diinginkan, seperti pada roti bakar. Namun terdapat
juga kerugian yang ditimbulkan, yaitu menurunkan nilai biologis protein terutama
untuk asam amino lisin, sehingga muncul tekstur dan rasa yang tidak disukai
2.4 Pengaruh Pengolahan Susu terhadap Protein
Proses utama yang banyak dipakai dalam pengolahan susu adalah metode
thermal. Metode thermal yaitu suatu proses pengolahan pangan konvensional
dengan menggunakan pemanasan antara 600C-1000C seperti pasteurisasi. Proses
ini digunakan untuk memperpanjang umur simpan dengan menginaktifkan
enzim dan menekan jumlah mikroorganisme di dalam susu. Namun seiring
dengan perkembangan teknologi cara ini dipandang sudah tidak efektif lagi karena
mempunyai dampak negatif seperti, melarutnya mineral, kalsium dan fosfor,

18

kerusakan whey protein, rendahnya daya tegang curd, berkurangnya kadar CO2,
berubahnya keseimbangan ion hidrogen dan berkurangnya pembentukan krim.
Penyimpanan susu pasteurisasi harus dilakukan pada suhu rendah yaitu
antara 2-8C. Masa simpan susu pasteurisasi rata-rata adalah 7 hari. Penyimpanan
pada suhu dibawah 0C tidak direkomendasikan karena dapat menimbulkan
kerusakan protein susu. Penyimpanan pada suhu ruang maksimal adalah 4 jam
dan segera dikonsumsi. Penyimpanan susu pada 2C dapat memperpanjang masa
simpan hingga 12 hari namun jika suhu penyimpanan susu pada kisaran 8C,
maka masa simpan susu hanya berkisar 5 hari.
Proses pengolahan susu cair dengan teknik sterilisasi atau pengolahan
menjadi susu bubuk sangat berpengaruh terhadap mutu sensoris dan mutu gizinya
terutama vitamin dan protein. Pengolahan susu cair segar menjadi susu UHT
sangat sedikit pengaruhnya terhadap kerusakan protein. Di lain pihak kerusakan
protein sebesar 30 persen terjadi pada pengolahan susu cair menjadi susu bubuk.
Kerusakan protein pada pengolahan susu dapat berupa terbentuknya pigmen
coklat (melanoidin) akibat reaksi Mallard (Ressang, 1988).
Pada pembuatan keju , Susu keju diberi perlakuan berupa pematangan awal
setelah penambahan kultur bakteri yang tepat untuk setiap tipe keju, dan dicampur
dengan rennet. Aktivitas enzim pada rennet menyebabkan susu terkoagulasi
menjadi jelly padat yang dikenal dengan koagulum. Secara konvensional proses
produksi keju adalah selama pengadukan, selama pemotongan, selama
pengeringan whey ,dan selama pengepresan/penekanan akan mempengaruhi jenis
produksi keju.Adapun yang mempengaruhi efektivitas pada produksi keju keras
dan semi-keras adalah adanya dekomposisi protein,dekomposisi laktosa,biang
bakteri,pematangan keju dan penyimpanan keju dimanakombinasi spesifik antara
suhu dan kelembaban relatif ( relative humidity atau RH) harus dijaga di dalam
ruangan penyimpanan yang berbeda selama masa tahapan-tahapan penyimpanan.
2.5 Pengaruh Pengolahan Daging terhadap Protein
Berikut ini adalah beberapa contoh kandungan protein daging sapi dalam
100 gr di berbagai produk olahan:

Jumlah Kandungan Protein Daging Sapi = 18,8 gr dalam 100 gr

19

Jumlah Kandungan Protein Daging Kornet Sapi = 16 gr dalam 100 gr


Jumlah Kandungan Protein Daging Asap = 32 gr dalam 100 gr
Jumlah Kandungan Protein Bakso = 4,12 gr dalam 100 gr
Jumlah Kandungan Protein Sosis Daging = 14,5 gr dalam 100 gr
Jumlah Kandungan Protein Dendeng Daging Sapi = 55 gr dlm 100 gr
Jumlah Kandungan Protein Abon Sapi = 18 gr dalam 100 gr
2.6 Pengaruh Pengolahan Telur terhadap Protein
Pengolahan telur dengan pemasakan menggunakan perebusan dan

pengukusan menghasilkan pengaruh yang berbeda terhadap protein yang


dikandungnya. Pada telur yang direbus menghasilkan kadar protein yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan pengukusan baik pada telur ayam kampung, telur
ayam ras dan telur itik.
2.7 Pengaruh Pengolahan Ikan terhadap Protein
Proses pengolahan dari ketiga

ikan teri menunjukkan

terjadinya

denaturasi protein yang menyebabkan berkurangnya kadar dan perubahan


daya cerna protein. Penurunan kadar dan perubahan daya cerna protein
berbeda-beda tergantung perlakuan yang diterima.
Untuk denaturasi protein, perendaman cuka pada proses pengolahan
formula A menyebabkan denaturasi sebesar 25,48%. Hal ini menyebabkan
penurunan kadar protein sebesar 3,82 gram.
Penurunan kadar protein ini disebabkan oleh terjadinya rasemisasi asam
amino, perubahan bentuk L menjadi D. Hal tersebut dapat menyebabkan
menurunnya nilai gizi protein akibat terjadinya penurunan avaibilitas asam
amino esensial. Penambahan jeruk nipis pada proses pengolahan formula A
menyebabkan denaturasi

sebesar

9,67%

dan pada

formula

B sebesar

12,55%.
Perbedaan ini terjadi karena perbedaan volume dan lama pendiaman
setelah pemberian cuka. Pada proses pengolahan formula A, jeruk nipis yang
digunakan sebanyak 1 ml dan lama pendiaman selama 1 menit. Sedangkan pada
formula B, jeruk nipis yang digunakan sebanyak 4,5 ml, dan didiamkan
selama 2 menit.

20

Perbedaan volume dan lama pendiaman menyebabkan perbedaan kadar


protein. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Ophart, C.E (dalam
Nurjanah, 2008) bahwa semakin lama protein bereaksi dengan asam,
kemungkinan besar ikatan peptida terhidrolisis sehingga struktur primer
protein rusak. Penambahan asam jawa pada formula C tidak menyebabkan
denaturasi protein tetapi meningkatkan kadar protein sebesar 0,51% atau
meningkat sebesar 0,05 gram. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
singkatnya pendiaman air asam jawa dengan ikan teri segar. Selain itu,
peningkatan kadar protein ikan kemungkinan berasal dari asam jawa.

21

3. PENUTUP
Berdasarkan

hasil

diskusi

dan

pengumpulan

informasi,

maka

kami

menyimpulkan:
1. Pengolahan dapat dilakukan secara fiisik, kimia atau biologis. Secara fisik
biasanya dilakukan dengan penghancuran atau pemanasan, secara kimia
dengan penggunaan pelarut organik, pengoksidai, alkali, asam atau
belerang dioksida; dan secara biologis dengan hidrolisa enzimatis atau
fermentasi.
2. Perlakuan protein dengan alkali dapat menyebabkan terjadinya rasemisasi
asam amino, perubahan bentuk L menjadi bentuk D. Selain itu juga dapat
terjadi reaksi antara asam amino yang satu dengan yang lain, misalnya
terbentuknya lisiolalanin dari lisin dan alanin.

Yang

menyebabkan

menurunnya nilai gizi protein akibat terjadinya penurunan daya cerna protein
dan ketersediaan atau availabilitas asam-asam amino esensial.
3. Reaksi Maillard, Reaksi dengan senyawa polifenol, Pembentukan lisinoalanin,
Rasemisasi asam amino, Interaksi antara protein dan lipid teroksidasi, yang
terjadi karena proses pengolahan juga merupakan penyebab utama terjadinya
kerusakan protein selama pengolahan dan penyimpanan.
4. Sifat-sifat protein diantaranya ada denaturasi, koagulasi dan browning

22

DAFTAR PUSTAKA
Damarjo,

Sumin.

2009. Pengantar

Kimia

Buku

Panduan

Mahasiswa

Kedokteran. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC


Damasceno, F, et al. 2008. Evaluation and Optimization Of Non Enzymatic
Browning Of Cajuina During Thermal Treatmentl. 1Vol. 25, No. 02, pp.
313 320, April June, 2008 Brazil
Fennema OR. 1996. Food Chemistry. New York: Marcell Dekker Inc
Harris RS and Karmas E. 1988. Nutritional Evaluation of Food Processing. Third
Edition, AVI Publ, Westport
MaggyThenawijaya, Lehninger. 1990. Dasar-DasarBiokimiaJilid 1. Jakarta
:Erlangga.
Muchtadi, D. 1989. Aspek Biokimia dan Gizi dalam Keamanan Pangan. Pusat
Antar UniversitasPangan dan Gizi. IPB.
Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Pusat Antar UniversitasPangan
dan Gizi. IPB.
Omaye S. 2004. Food and Nutritional Toxicology. CRC Press, Boca Raton, USA
Santoso, Hadi. 2008. Pengaruh Pemanasan dan Pengeringan daging buah kelapa
terhadap asam lemak bebas pada pembuatan tepung kelapa (The Impact of
Heating and Drying of Coconut Towards Fatty Acid in Coconut Powder
Production).Volume 4, Nomor 2, Desember 2008 Jakarta
Unggul, Sudarmo. 2004. Kimia SMA Jilid 2. Jakarta . Erlangga hal 198
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor. Bogor. MBrio Press
Winarno, F.G. 1992. Kimia PangandanGizi.Jakarta : PT. GramediaPusakaUtama.

23

Anda mungkin juga menyukai