Anda di halaman 1dari 12

Laporan Praktikum Hari, Tanggal : Kamis, 19 November 2015

Biokimia Umum Waktu : 08.00-11.00 WIB


PJP : Puspa Puspita Julistia, M.Sc
Asisten : Titin Rohmawati
Tuti Septi S.
Azra Zahrah N. I.
Maftuchin S.

ENZIM

Kelompok 13
Agus Zulhemi (C14140053)
Alfi Amalia (C14140003)
Desy Rahmatia (C14140066)
Randi Nurmansyah (C14140024)

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PENDAHULUAN

Enzim merupakan bagian dari protein, yang mengkatalisator reaksi-reaksi


kimia. Enzim juga dapat diartikan sebagai protein katalisator yang memiliki
spesifisitas terhadap reaksi yang dikatalisis dan molekul yang menjadi
substratnya. Aktivitas enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu konsentrasi
substrat, suhu, dan pH (Okoko dan Ogbomo 2010; Rickhal 2012). Enzim bekerja
dengan mengurangi energi aktivasi dari substrat tertentu. Mekanisme kerja enzim
yaitu dengan mengikat ke substrat sementara untuk membentuk sebuah kompleks
enzim-substrat yang lebih tidak stabil. Hal ini menyebabkan substrat mudah
bereaksi. Oleh karena itu, substrat tereksitasi ke tingkat energi lebih rendah
dengan membentuk produk reaksi yang baru. Selama berlangsungnya reaksi,
enzim dilepaskan dalam keadaan tidak berubah. Pelepasan enzim tetap utuh
sehingga bisa terus bereaksi dan menyebabkan enzim tetap efektif meski dalam
jumlah yang sangat kecil. Kegiatan enzim dapat berlangsung dengan baik jika
kondisi lingkungannya mendukung (Nyoman SA 2013).
Struktur enzim tersusun menjadi dua bagian yang saling berpasangan yaitu
apoenzim dan gugus prostetik. Apoenzim adalah bagian protein enzim yang
sifatnya tak tahan panas dan berfungsi sebagai menentukan kekhususan dari
enzim. Kofaktor dapat berupa senyawa anorganik yaitu ion logam, sedangkan
yang berupa senyawa organik non-protein adalah koenzim. Ion logam berperan
dalam proses katalisis maupun penyusunan struktural enzim. Menurut Dali et al
(2011), ion logam mempunyai peranan penting dalam menjaga kestabilan enzim
seperti sebagai pengatur aktivitas enzim, menghilangkan inhibitor, dan
sebagainya. Enzim yang memiliki kofaktor, disebut holoenzim. Sedangkan
koenzim disebut gugus prostetik apabila terikat sangat erat pada apoenzim. Akan
tetapi, koenzim tidak begitu erat dan mudah dipisahkan dari apoenzim. Koenzim
bersifat termostabil (tahan panas), karena mengandung ribosa dan fosfat. Fungsi
koenzim adalah menentukan sifat dari reaksinya. Misalnya, apabila koenzim
berupa NADP, maka reaksi yang terjadi adalah dehydrogenase sebab koenzim
NADP berfungsi sebagai akseptor hidrogen.
Amilase adalah enzim hidrolase glikosida yang mengkatalisis pemecahan
pati menjadi maltose dan gula lainnya (Souza et al 2010; Elhadi et al 2011).
Menurut Shipra et al (2011), jenis amilase yang terdapat pada sativa adalah α-
amilase. α-Amilase memiliki struktur tiga dimensi yang mampu mengikat substrat
yang menyebabkan kerusakan ikatan glikosidik antara amilosa dan amilopektin.
Salah satu zat yang dapat berfungsi sebagai aktivator atau inhibitor dalam proses
katalisis amilase adalah ion logam. Pada konsentrasi tertentu ion logam dapat
meningkatkan aktivitas enzim (aktivator) dan dapat juga menurunkan aktivitas
enzim (inhibitor). Hasil penelitian Dali S et al (2013) menunjukkan bahwa
penambahan logam CoCl2, MgCl2, NiCl2, dan CaCl2 pada konsentrasi 1 mM
maupun pada konsentrasi 10 mM dapat meningkatkan aktivitas enzim amilase,
sehingga bersifat aktivator. Sedangkan penambahan logam ZnCl2 baik pada
konsentrasi 1 mM maupun pada konsentrasi 10 mM dapat menurunkan aktivitas
enzim, sehingga bersifat inhibitor. Tujuan pratikum ini adalah untuk menentukan
sifat dan susunan pada air liur dan getah lambung.
METODE PRATIKUM

Tempat dan Waktu


Pratikum ini dilakukan pada Kamis, 19 November 2015 pukul 08.00-11.00
WIB, bertempat di Laboratorium Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan dalam pratikumi ini adalah tabung reaksi, gelas
piala, pipet tetes, pipet mohr, glass wool, gegep tabung reaksi, sudip, corong, dan
penangas air. Bahan-bahan yang digunakan adalah air liur, akuades, asam asetat
encer, lakmus PP, lakmus MO, pereksi biuret, pereaksi millon, pereaksi molisch,
klorida, sulfat, fosfat, pereaksi yodium, pereaksi benedict, dan larutan kanji 1%.

Prosedur Percobaan
Cara memproduksi air liur (saliva) yaitu praktikan berkumur berkali-kali
untuk membersihkan rongga mulut dan kemungkinan sisa-sisa makanan yang
tertinggal sehingga dapat mengkontaminasi saliva. Kemudian kertas saring yang
telah diberi asam asetat encer dimasukkan ke dalam mulut di bawah bagian lidah
untuk menghasilkan saliva. Saliva yang telah dihasilkan kemudian disimpan dan
disaring dengan glass wool. Selanjutnya saliva dibagi-bagi sesuai dengan volume
yang diminta.
Sifat Fisik dan Susunan Air Liur
Terdapat 7 pengujian yang dilakukan. Uji pertama dilakukan dengan
menggunakan urinometer. 5 ml air liur yang telah disaring diambil dan
dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian urinometer dimasukkan perlahan
lalu catat hasil berat jenis saliva tersebut dengan melakukan pembacaan garis-
garis urinometer. Uji kedua saliva diuji tentang keasamannya dengan kertas
lakmus. FF dan MO. Saliva yang telah disaring diteteska ke plat tetes. Kemudian
saliva diberi kertas lakmus FF dan MO untuk diukur dan diamati.
Uji ketiga untuk mengetahui kandungan gula pereduksi dengan uji biuret.
1 ml saliva dimasukkan ke dalam tabung reaksi menggunakan pipet ukur. 0,5 ml
NaOH 10% ditambahkan ke dalam tabung lalu dikocok. 1 tetes larutan CuSO4 1%
ditambahkan lalu dikocok. Amati perubahan warnanya.
Uji keempat yaitu uji millon, yang bertujuan untuk mengetahui adanya
unsur protein. 1 ml air liur dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambah 2
tetes pereaksi millon. Larutan tersebut dipanaskan selama 5 menit kemudian amati
perubahan warnanya.
Uji kelima yaitu uji molisch, tujuannya untuk mengetahui kandungan
karbohidrat. 1 ml saliva dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambah dengan
2 tetes pereaksi molisch. Setelah itu, larutan tersebut dikocok agar tercampur. 3
ml larutan H2SO4 pekat dimasukkan melalui dinding tabung. Amati perubahan
earna yang terjadi.
Uji keenam yaitu uji klorida. Uji klorida dilakukan dengan memasukkan 2
ml saliva ke dalam tabung reaksi. larutan tersebut ditambahkan 1 ml larutan
HNO3 10%. Kemudian 1 ml larutan A gNO3 10% ditambahkan pelan-pelan
sampai terlihat endapan. Uji ketujuh yaitu uji musin. Uji ini dilakukan dengan 2
ml saliva ditambah tetes demi tetes CH3COOH sampai terlihat endapan.
Uji ketujuh yaitu sulfat. Uji sulfat dilakukan dengan 2 ml saliva
ditambahkan dengan 1 ml HCl 10%. Kemudian ditambahkan juga larutan BaCl2
tetes demi tetes sampai terlihat endapan putih. Uji kedelapan yaitu uji fosfat.
Pertama, masukkan 1 ml larutan urea 10% ke dalam 2 ml saliva. Setelah itu,
masukkan pereaksi molibdat khusus dan campur hingga rata. Terakhir, amati
warna biru yang terbentuk.
Pengaruh Suhu pada Aktivitas Amilase Air Liur
Pertama, 4 tabung reaksi diisi 1 ml saliva dan 2 ml akuades lalu dikocok
hingga merata. Tabung 1 diletakkan pada penangan es yang bersuhu 10C, tabung
2 diletakkan pada suhu kamar ±25C, tabung 3 diletakkan pada penangas es yang
bersuhu 37C, dan tabung 4 diletakkan pada suhu 100C. Masing-masing tabung
diletakkan selama 15 menit.
Pengaruh pH terhadap Aktivitas Amilase Air Liur
Empat tabung reaksi yang telah berisi 1 ml saliva dan 2 ml larutan pati
disiapkan. Masing-masing tabung diisi 2 ml HCL, 2 ml asam asetat, 2 ml Na-
karbonat 0,1%, dan 2 ml akuades. Kocok dengan baik agar rata. Tiap tabung
tersebut diukur menggunakan indikator universal. Lalu, tabung-tabung tersebut
diletakkan pada penangas air pada suhu 37C selama 15 menit. Isi tabung dibagi
menjadi 2 bagian untuk melakukan uji iod dan uji benedict.
Uji iod dilakukan dengan beberapa tahap. Pertama, 1-2 tetes larutan
diteteskan pada papan uji. Lalu, 1 tetes larutan iod ditambahkan dan amati
perubahan warna yang terjadi. Uji benedict dilakukan untuk mengetahui adanya
gula pereduksi. Tahapan yang pertama yaitu 2,5 ml pereaksi benedict dimasukkan
ke dalam tabung reaksi. lalu, 4 tetes larutan ditambahkan dan kocok hingga
merata. Selanjutnya larutan didihkan selama 5 menit. Amati endapan yang
terbentuk.
Hidrolisis Pati oleh Amilase Air Liur
Satu ml saliva hasil uji di atas dimasukkan pada larutan pati, lalu dikocok.
Larutan tersebut disimpan pada suhu 37C. Setiap selang 1 menit pindahkan 1 tetes
ke papan uji dan teteskan pereaksi yodium. Lakukan tahap ini hingga larutan tidak
mengalami perubahan warna.
Hidrolisis Pati Mentah oleh Amilase Air Liur
Tepung pati dimasukkan ke dalam tabung reaksi. kemudian 5 ml akuades
ditambahkan lalu kocok. Larutan tersebut dibubuhi 10 tetes saliva dan disimpan
pada suhu 37C selama 20 menit. Selanjutnya, saring dan uji filtratnya terhadap
produk hidrolisis pati oleh amilase.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Berikut merupakan hasil pratikum dari beberapa sifat fisik enzim yang
telah kami lakukan.
Tabel 1 Sifat Fisik Saliva
Uji Hasil Gambar
pH :
Lakmus merah Basa

Fenoftalein Basa

Jingga metil Basa

Biuret +

Millon +

Molisch +

Klorida +

Sulfat -

Fosfat -

Keterangan :+ = Positif
- = Negatif
Menurut Soesilo et al (2005), saliva merupakan cairan mulut yang kompleks
terdiri dari campuran sekresi kelenjar saliva mayor dan minor yang ada dalam
rongga mulut. Saliva terdiri dari 99,5% air dan 0,5% substansi yang terlarut.
Beberapa komposisi saliva diantaranya protein, ion-ion organik, dan gas. Mucoid
merupakan sekelompok protein yang memberikan konsistensi mukus pada saliva
dan berperan sebagai glikoprotein karena rangkaian proteinnya panjang
denganikatan karbohidrat pendek. Enzim pada saliva dihasilkan oleh kelenjar
saliva. Namun, ada beberapa yang dibuat oleh bakteri dan leukosit yang ada pada
rongga mulut. Contoh enzim yang terdapat pada saliva yaitu amilase dan lisosom.
Contoh produk dari serum saliva yaitu albumin dan globumin. Di dalam saliva
juga terdapat sedikit waste product seperti urea dan uric acid. Ion-ion utama yang
terkandung dalam saliva adalah kalsium dan fosfat. Sedangkan ion-ion penyusun
saliva diantaranya potasium, sodium, klorida, sufat, dan sebagainya. Derajat
keasaman pH dan kapasitas buffer saliva ditentukan oleh susunan kuantitatif dan
kualitatif elektrolit di dalam saliva terutama ditentukan oleh susunan bikarbonat,
karena susunan bikarbonat sangat konstan dalam saliva dan berasal dari kelenjar
saliva. Derajat keasaman saliva dalam keadaan normal antara 5,6–7,0 dengan rata-
rata pH 6,7 (Anonim 2010).
Prinsip uji benedict pemanasan karbohidrat terhadap pereaksi benedict dapat
menimbulkan perubahan warna yaitu, warna dari biru ke hijau kekuning dan
kemerah-merahan yang menimbulkan endapan merah bata. Pada uji benedict akan
menunjukkan endpan merah bata apabila mengandung gula pereduksi dan
berwarna biru apabila tidak mengandung gula pereduksi saat dipanaskan. Uji iod
merupakan pengujian terhadap amilum atau pati. Pemberian iodium pada pati atau
amylase akan menghasilkan warna biru, dan dekstri- dekstrinnya berwarna biru.
Prinsip uji iod amilum atau pati apabila di uji reaksi dengan uji iod akan
menghasilkan warna biru, dan dekstrin-dekstrin menghasilkan warna anggur. Pada
sebagian pati dan glikogen yang terhidrolisiis dengan dan bereaksi dengan uji iod
akan tebentuk warna coklat (Cairns 2009).
Tabel 2. Pengaruh Suhu terhadap Aktifitas Amilase
Suhu Uji Gambar
(C) Iod Benedict Iod Benedict

10 + -

30 + -

37 + -

100 + -

Keterangan : + = Positif
- = Negatif
Pengaruh suhu terhadap aktivitas amilase air liur dilakukan untuk
menentukan seberapa besar suhu ketika enzim amilase masih dapat
menghidrolisis pati. Enzim amilase dapat menghidrolisis pati menjadi maltosa
kemudian hidrolisis akhir maltosa menjadi glukosa. Maltosa dan glukosa yang
merupakan gula pereduksi akan memberikan hasil positif pada uji Benedict,
sedangkan pada uji iod akan memberikan hasil negatif. Hasil negatif pada uji iod,
karena sudah tidak adanya pati akibat terhidrolisis oleh enzim amilase.
Berdasarkan percobaan yang dilakukan, enzim amilase bekerja pada suhu 10°C,
suhu kamar, dan 37°C sedangkan pada suhu 80°C enzim amilase tidak lagi dapat
menghidrolisis pati. Menurut Gilvery (1996), enzim amilase bersifat nonaktif
pada suhu rendah seperti suhu 10°C dan pada suhu tinggi seperti 80°C enzim
amilase dapat rusak. Enzim amilase pada suhu kamar dapat menghidrolisis pati
tetapi tidak bekerja secara optimum. Hal yang memengaruhi ketidaksesuaian
dengan literatur ini salah satunya ialah suhu yang digunakan lebih dari 10°C
sehingga enzim amilase masih dapat menghidrolisis pati. Enzim amilase juga
masih dapat menghidrolisis pati pada suhu ruang, akan tetapi enzim amilase ini
menghidrolisis pati secara optimum pada suhu 37°C.
Tabel 3. Pengaruh pH terhadap Aktifitas Amilase
Uji Gambar
pH
Benedict Iod Benedict Iod

1 - +

3 - +

5 + -

7 + -

Keterangan : + = Positif
- = Negatif
Pengaruh pH terhadap aktivitas amilase air liur dilakukan untuk
menentukan seberapa besar pH ketika enzim amilase masih dapat menghidrolisis
pati. Menurut Gilvery (1996), enzim amilase tidak bekerja pada pH rendah seperti
pH 1 dan juga rusak pada pH tinggi seperti pH 9. Enzim amilase pada pH 1 positif
untuk uji iod dan juga uji Benedict. Enzim amilase seharusnya memberikan hasil
positif untuk uji iod tetapi negatif untuk uji Benedict. Enzim amilase pada
percobaan juga bekerja pada pH tinggi yang mana seharusnya enzim ini tidak
mampu menghidrolisis pati lagi. Enzim amilase pada percobaan bekerja pada pH
5 dan 7 yang pada umumnya enzim tersebut bekerja pada sekitar pH tersebut.
Enzim amilase menghidrolisis pati secara optimum pada pH mendekati 7.
tabel 4. Hidrolisis Pati oleh Amilase
Waktu (menit)
Jenis Pati
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Matang
Iod + + + + + - - - -
Benedict + + + + + + + + +
Mentah
Iod + + + + + + + + -
Benedict + + + + + + + + -
Keterangan : + = Positif
- = Negatif
Hidrolisis pati matang dan pati mentah oleh amilase air liur untuk
meentukan kemampuan hidrolisis enzim amilase. Berdasarkan hasil percobaan,
pati matang menunjukkan hasil negatif pada uji iod begitu pula pada uji Benedict.
Hasil negatif pada uji iod menunjukkan bahwa enzim amilase telah menghidrolisis
pati menjadi dekstrin maupun glukosa. Hasil negatif pada uji Benedict
dikarenakan enzim amilase belum menghidrolisis pati secara sempurna. Enzim
amilase baru dapat menghidrolisis pati matang pada menit ke-25 yang ditunjukkan
dengan hasil negatif pada uji iod dan positif pada uji Benedict. Kemampuan
hidrolisis enzim amilase lebih cepat pada pati matang dibandingkan dengan pati
mentah, karena pati mentah memiliki struktur yang saling berikatan lebih kuat
dibandingkan dengan pati matang sehingga memerlukan waktu yang lebih lama
untuk enzim amilase agar dapat menghidrolisis pati mentah. Titik akromatik
merupakan suatu keadaan yang mana peraksi iod tidak lagi memperlihatkan
perubahan warna, karena enzim amilase telah menghidrolisis pati menjadi maltosa
maupun glukosa. Titik akromatik untuk hidrolisis pati matang yaitu pada menit
ke-25 sedangkan untuk hidrolisis pati mentah yaitu pada menit ke-40.
Enzim merupakan protein yang berperan sebagai biokatalisator dalam
reaksi-reaksi kimia dalam sistem biologis. Enzim memiliki kemampuan katalitik
sangat besar dan mampu mempercepat laju-laju reaksi dibandingkan reaksi yang
tidak melibatkan enzim. Enzim juga memiliki spesifitas terhadap substrat dari
reaksi yang dikatalisnya. Enzim sebagai biokatalisator bekerja dengan cara
menurunkan energi aktivasi tetapi tidak ikut bereaksi dalam proses reaksi , yaitu
cenderung terbentuk lagi sesudah reaksi selesai (Nyoman SA 2013).
Aktivitas enzim ditentukan oleh beberapa faktor, faktor-faktor utama yang
mempengaruhi aktivitas enzim yaitu suhu, pH, konsentrasi enzim, konsentrasi
substrat, inhibitor, dan aktivator. Setiap enzim memiliki kisaran suhu tertentu agar
bekerja optimum dalam reaksi, pada temperatur rendah reaksi enzimatis
berlangsung lambat, kenaikan temperatur akan mempercepat reaksi, hingga suhu
optimum tercapai dan reaksi enzimatis mencapai maksimum (Noviyanti 2005).
Begitu juga dengan pH, enzim memiliki kisaran pH tertentu agar bekerja
optimum. Konsentrasi enzim berbanding lurus dengan efektivitas kerja enzim.
Semakin tinggi konsentrasi, maka kerja enzim akan semakin baik dan cepat.
Enzim mempunyai spesifitas yang tinggi, apabila substrat cocok dengan enzim
maka kinerja enzim juga akan optimal, kinerja enzim terhadap substrat seperti
gembok dan kunci (lock and key). Inhibitor adalah zat yang dapat menghambat
kerja enzim, berdasarkan cara kerjanya inhibitor terbagi dua, inhibitor kompetitif
dan inhibitor nonkompetitif. Inhibitor kompetitif yaitu inhibitor yang bersaing
aktif dengan substrat untuk mendapatkan sisi aktif enzim, inhibitor nonkompetitif
yaitu inhibitor yang melekat pada sisi lain selain sisi aktif pada enzim, yang lama
kelamaan dapat mengubah sisi aktif enzim. Aktivator adalah zat yang dapat
mengaktifkan dan menggiatkan kerja enzim, sehingga kerja enzim lebih optimum
dan lebih cepat. Aktivator yang terlibat dalam kerja enzim terdiri dari ion-ion
anorganik seperti ion Ca2+, ion K+, Co, Mn, dan lain sebagainya (Dongoran 2004).
Enzim amilase merupakan enzim yang mampu mengkatalis proses hidrolisa
pati untuk menghasilkan molekul lebih sederhana seperti glukosa, maltosa, dan
dekstrin. Amilase adalah enzim yang mempunyai kemampuan memecah ikatan
glukosida pada polimer pati. Secara molekuler, pemecahan amilase dibantu oleh
residu asam amino pada sisi aktif enzim (Oyeleke 2009). Enzim amilase terbagi
dua yaitu α-amilase (EC 3.2.1.1) dan β-amilase (EC 3.2.1.2). α-amilase adalah
kalsium metalloenzymes, benar-benar tidak dapat berfungsi dengan tidak adanya
kalsium. α-amilase memotong karbohidrat rantai panjang pada lokasi acak di
sepanjang rantai pati, yang pada akhirnya menghasilkan maltotriosa dan maltosa
dari amilosa, atau maltosa, glukosa dan "limit-dextrin "dari amilopektin. α-
amilase cenderung lebih cepat kerjanya dibanding β-amilase karena dapat bekerja
di mana saja pada substrat. Secara fisiologis pada manusia, baik amilase ludah dan
pankreas adalah α-amilase. Juga ditemukan pada tumbuhan, jamur (ascomycetes
dan basidiomycetes) dan bakteri (Bacillus). β-amilase (EC 3.2.1.2) β-amilase
adalah bentuk lain dari amilase disintesis oleh bakteri, jamur, dan tanaman. β-
amilase mengkatalisis hidrolisis ikatan glikosidik kedua α-(1,4), bekerja
membentuk ujung nonreducing, memecah maltosa menjadi dua unit glukosa pada
suatu waktu. Selama pematangan buah, β-amilase memecah pati menjadi maltosa,
sehingga menghasilkan rasa manis pada buah yang matang. α-amilase dan β-
amilase dijumpai dalam biji, β-amilase muncul dalam bentuk tidak aktif sebelum
perkecambahan, sedangkan α-amilase dan protease muncul setelah
perkecambahan dimulai. Jaringan hewan tidak mengandung β-amilase (Shipra et
al 2011).
Holoenzim adalah enzim yang mengandung gugus protein dan gugus non
protein. Gugus yang bukan protein tadi dikenal dengan istilah kofaktor. Pada
kofaktor ada yang terikat kuat pada protein dan sukar terurai dalam larutan yang
disebut gugus prostetik dan ada pula yang tidak terikat kuat pada protein sehingga
mudah terurai yang disebut koenzim. Baik gugus prostetik maupun koenzim,
keduanya merupakan bagian yang memungkinkan enzim bekerja pada substrat.
Kofaktor bagi enzim amilase antara lain ion Cl-, Ca2+, Mg2+, Na+, K+, dan lain-lain
terutama pada α-amilase. Enzim amilase termasuk dalam holoenzim yang
mengandung gugus protein (Oyeleke 2009).
SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Sifat saliva berdasarkan pH-nya yaitu basa, dimana pada uji lakmus
merah, uji fenoftalein, dan uji jingga metil menunjukkan pH basa. Unsur-unsur
saliva terdiri atas protein, enzim, dan ion inorganik namun tidak mengandung
fosfat. Enzim yang terkandung yaitu enzim amilase. Dimana menurut hasil
pratikum, enzim amilase dapat bekerja pada pH rendah sekitar 1-3 dan pada suhu
dibawah 40C.

Saran
Sebaiknya perlu dilakukan pengujian terhadap ion anorganik lain yang
terdapat pada saliva dan dilakukan 2 kali pengulangan agar keakuratan hasil lebih
tinggi.
Daftar Pustaka
Anonim. 2010. Enzim Amilase. Diunduh pada 2015 November 26. Tersedia pada:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16857/4/Chapter%20II.pdf
Cairns D. 2009. Intisari Kimia Farmasi Edisi Kedua. Puspita Rini, penerjemah..
Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Essentials
of Pharmaceutical Chemistry Second Edition.

Dali S, Arfah R, Karim A, Patong AR. 2011. Eksplorasi Enzim Amilase dari
Mikroba yang Diisolasi dari Sumber Air Panas di Sulawesi Selatandan
Aplikasinya dalam Produksi Maltodekstrin. Diunduh pada 2015 November
23. Tersedia pada :
http://repository.unhas.ac.id:4001/digilib/files/disk1/354/--niwatidali-
17687-1-dr.seniw-).pdf.

Dongoran, Daniel S. 2004. Pengaruh Aktivator Sistein dan Natrium Klorida


terhadap Aktivitas Papain. Jurnal Sains Kimia. 8 (1) : 29-34.

Elhadi A, Elkhalil, Fatima YG. 2011. Biochemical Characterization of


Thermophilic Amylase Enzyme Isolated from Bacillus Strains.
International Journal of Science and Nature. 2(3): 616-620.
Gilvery G. 1996. Biokimia: Suatu Pendekatan Fungsional Edisi Ke-3. Surabaya:
Universitas Airlangga Press.
Lehninger AL. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Jilid 3. Maggy Thenawijaya,
Penerjemah. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Principles of
Biochemistry.
Noviyanti T. 2005. Pengaruh temperatur terhadap aktivitas enzim protease dari
daun sansakng (Pycnarrhena cauliflora Diels). JKK. 1 (1) : 31-34.

Nyoman SA. 2013. Meningkatnya Mutu Roti dengan Penambahan Enzim.


Diunduh pada 2015 November 25. Tersedia pada :
http://www.foodreview.biz/login/preview.php?view&id=55988
Okoko FJ, Ogbomo O. 2010. Amylolytic Properties of Fungi Associated with
Spoilage in Bread Continental. Journal Microbiology. 4 : 1-7.
Richkal H. 2012. Keterlibatan Enzim dalam Bahan Pangan Skala Industri
Makanan dan Minuman. Kendari (ID): Universitas Haluoleo.
Soesilo D, Santoso RE, Diyatri I. 2005. Peranan Sorbitol dalam Mempertahankan
Kestabilan pH Saliva pada Proses Pencegahan Karies. 38(1): 25-28.
Souza PM, Magalhaes PO. 2010. Application of Microbial A-Amylase in Industry.
Brazil (BR): Universidade de Brasilia.

Anda mungkin juga menyukai