Anda di halaman 1dari 2

Gusnur Gazali Ashari (030.11.

118)
Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Bekasi
Periode 7 Maret 9 April 2016

Perbandingan antara diquafosol dan larutan tetes


mata sodium hyaluronate pada pasien dengan dry eye
Latar belakang: Dry eye merupakan sebuah kelainan multifaktorial pada air mata
dan permukaan mata yang berakibat pada ketidaknyamanan, gangguan penglihatan,
dan ketidakstabilan pada lapisan air mata yang berpotensi merusak permukaan mata.
Penyebab dry eye diduga karena adanya abnormalitas pada komposisi lapisan air mata
atau jumlah dari air mata itu sendiri. Adapun terapi konvensional pada pasien dengan
dry eye yaitu artificial tear, sodium hyaluronate, kortikosteroid, dan siklosporin.
Namun agen-agen tersebut memiliki kekurangannya masing-masing dalam mengobati
dry eye. Diquafosol adalah agonis P2Y2 purinergic reseptor, dimana reseptor ini
terdapat pada hampir seluruh permukaan mata, termasuk diantaranya di epitel
konjungtiva palbebra, konjungtiva bulbi, sel goblet, adiposit, dan sel epitel duktal
kelenjar meibom. Cara kerjanya adalah dengan mengaktifkan reseptor P2Y2 di
konjungtiva yang memicu sekresi cairan air mata dengan komponen aqueous dan
musin nya, sehingga meningkatkan kualitas dan kuantitas dari cairan air mata.
Tujuan: Untuk membandingkan efektivitas dan keamanan dari larutan tetes mata
diquafosol 3% dengan larutan tetes mata sodium hyaluronate 0.1% pada pasien
dengan dry eye.
Metode: Penelitian multisenter ini dilakukan secara double-blind acak pada 286
pasien dry eye dengan menilai hasil pewarnaan fluoresein dan pewarnaan rose bengal.
Efektivitas dan keamanan nya dinilai setelah dilakukan aplikasi obat dengan dosis
tetesan 6x/hari selama 4 minggu.
Hasil: Setelah 4 minggu kemudian, didapatkan bahwa perubahan rerata
antarkelompok dari batas dasar dengan skoring pewarnaan fluoresein adalah -0.03,
dimana hal ini menunjukkan bahwa tidak ada inferioritas dari diquafosol. Sedangkan,

perubahan rerata dari batas dasar dengan pewarnaan rose bengal secara signifikan
lebih rendah pada kelompok dengan diquafosol (p=0.010), hal ini membuktikan
keunggulannya. Insiden efek samping adalah 26.4% pada kelompok dengan
diquafosol dan 18.9% pada kelompok dengan sodium hyaluronate, dimana tidak ada
perbedaan signifikan antar kedua kelompok.
Kesimpulan: Diquafosol (3%) dan sodium hyaluronate (0.1%) menunjukkan
efektivitas yang sama dalam perbaikan dry eye dengan skoring menggunakan
pewarnaan fluoresein, sedangkan dengan skoring dengan pewarnaan rose bengal
menunjukkan bahwa terdapat keunggulan dari diquafosol. Hal ini menunjukkan
bahwa diquafosol memiliki efektivitas klinis yang lebih tinggi dan ditoleransi cukup
baik dengan profil keamanan yang baik pula.
Rangkuman dan hasil pembelajaran: Dry eye merupakan kelainan pada kuantitas
maupun kualitas dari air mata, yang dapat menyebabkan keluhan-keluhan seperti
sensasi adanya benda asing pada mata, gangguan penglihatanm bahkan dapat
menurunkan kualitas hidup pasien sendiri. Berbagai terapi konvensional seperti
penggunaan artificial tear, sodium hyaluronate, kortikosteroid, dan siklosporin telah
digunakan untuk menangani dry eye. Namun masing-masing agen tersebut memiliki
kekurangannya dalam mengobati dry eye. Pada penelitian ini, dilakukan perbandingan
antara diquafosol dan sodium hyaluronate. Hasilnya menunjukkan bahwa ternyata
diquafosol memiliki efektivitas klinis yang lebih tinggi dan ditoleransi cukup baik
dibandingkan dengan sodium hyaluronate. Penelitian ini menambah pilihan terapi
bagi pasien dengan dry eye dan tentunya menambah pengetahuan bagi para klinisi
mengenai masing-masing keunggulan dan efektivitas antara penggunaan diquafosol
dan sodium hyaluronate, sehingga dapat lebih bijak menentukan terapi terbaik bagi
pasien dengan dry eye kedepannya.

Anda mungkin juga menyukai