Anda di halaman 1dari 2

Studi double-blind secara acak pada Perbandingan antara

Diquafosol dan Larutan Tetes Mata Sodium Hyaluronat pada


Pasien Dry Eye

Latar Belakang: Dry eye merupakan sebuah kelainan multifaktorial pada air mata dan
permukaan mata yang berakibat pada ketidaknyamanan, gangguan penglihatan, dan
ketidakstabilan pada lapisan air mata yang berpotensi merusak permukaan mata. Penyebab
dry eye diduga karena adanya abnormalitas pada komposisi lapisan air mata atau jumlah air
mata itu sendiri. Adapun terapi konvensional pada pasien dengan dry eye yaitu artificial tear,
sodium hyaluronate, kortikosteroid, dan siklosporin. Namun agen-agen tersebut memiliki
kekurangan masing-masing dalam mengobati dry eye. Diquafosol adalan agonis P2Y2
purinegik reseptor, dimana reseptor ini terdapat hamper seluruh permukaan mata, termasuk
diantaranya di epitel konjungtiva palpebral, konjungtiva bulbi, sel goblet, adiposit, dan sel
epitel ductal kelenjar meibom. Cara kerjanya adalah mengaktifkan reseptor P2Y2 di
konjungtiva yang memicu sekresi cairan air mata dengan komponen aqueous dan musinnya,
sehingga meningkatnya kualitas dan kuantitas dari cairan air mata.
Tujuan: Untuk membandingkan efektivitas dan keamanan dari larutan tetes mata diquafosol
3% dengan larutan tetes mata sodium hyaluronate 0,1% pada pasien dengan dry eye.
Metodologi: Penelitian multisenter ini dilakukan secara double-blind acak pada 286 pasien
dry eye dengan menilai hasil pewarnaan flouresein dan pewarnaan rose Bengal. Efektivitas
dan keamanannya dinilai setelah dilakukan aplikasi obat dengan dosis tetesan 6x/hari selama
4 minggu.
Hasil: Setelah 4 minggu kemudian, didapatkan bahwa perubahan rerata antarkelompok dari
batas dasar dengan skoring pewarnaan flouresein adalah -0.03, dimana hal ini menunjukkan
bahwa tidak ada inferioritas dari doquafosol. Sedangkan, perubahan rerata dari batas dasar
dengan pewarnaan rose Bengal secara signifikan lebih rendah pada kelompok dengan
diquafosol (p=0.010), pada hal ini membuktikan keunggulannya. Insiden efek samping
adalah 26,4% pada kelompok diquafosol dan 18,9% pada kelompok dengan sodium
hyaluronate, dimana tidak ada perbedaan signifikan antar kedua kelompok.
Kesimpulan: Diquafosol(3%) dan sodium hyaluronate (0,1%) menunjukkan efektivitas yang
sama dalam perbaikan dry eye dengan skoring menggunakan pewarnaan flouresein,
sedangkan dengan skoring pewarnaan rose Bengal menunjukkan bahwa terdapat keunggulan
dari diquafosol. Hal ini menunjukan bahwa diquafosol memiliki efektivitas klinis yang lebih
baik dan ditoleransi cukup baik dengan profil keamanan yang baik juga.
Rangkuman dan Hasil Pembelajaran: Dari hasil penelitian diatas didapatkan hasil
pembelajaran yaitu dry eye merupakan kelainan pada kualitas maupun kuantitas dari air mata
itu sendiri, yang mana dapat menyebabkan keluhan seperti sensasi adanya benda asing pada
mata, gangguan penglihatan bahkan dapat menurunkan kualitas hidup pasien itu sendiri.
Berbagai terapi konvesional seperti artificial tear, sodium hyaluronate, kortikosteroid, dan
siklosporin telah digunakan untuk mengobati dry eye. Namun masing-masing agen tersebut
memiliki kekurangannya dalam mengobati dry eye. Pada hasil perbandingan antara
diquafosol dengan sodium hyaluronate menunjukkan bahwa diquafosol memiliki efektivitas
klinis yang lebih tinggi dan ditoleransi cukup baik dibandingkan dengan sodium hyaluronate.
Penelitian ini menambah pilihan terapi untuk pasien yang menderita dry eye dan tentunya
menambah pengetahuan bagi para klinisi mengenai masing-masing keunggulan dan
efekivitas antara penggunaan diquafosol dan sodium hyaluronate, sehingga dapat lebih bijak
menentukan terapi terbaik untuk pasien yang menderita dry eye kedepannya.

Thomas Albert Yudhistira (112015292)


Periode 3 April – 6 Mei 2017

Anda mungkin juga menyukai