Kajian Sanitasi TPI PDF
Kajian Sanitasi TPI PDF
VARENNA FAUBIANY
SKRIPSI
PENDARATAN
IKAN
MUARA
ANGKE
SERTA
Varenna Faubiany
C54104026
ABSTRAK
VARENNA FAUBIANY
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Judul Skripsi
Nama Mahasiswa
: Varenna Faubiany
NRP
: C54104026
Disetujui,
Komisi Pembimbing
NIP. 131123999
NIP. 131841725
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
KATA PENGANTAR
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian dengan judul Kajian Sanitasi di Tempat Pendaratan dan Pelelangan Ikan
Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke serta Pengaruhnya terhadap Kualitas Ikan
yang Didaratkan ini disusun berdasarkan penelitian di PPI Muara Angke, Jakarta
Utara pada bulan Maret 2008.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang berbagai
aktivitas yang menimbulkan dampak sanitasi di PPI Muara Angke, menentukan
dampak sanitasi dari berbagai aktivitas terhadap kualitas ikan yang didaratkan di PPI
Muara Angke dan menentukan upaya pengelolaan sanitasi yang baik di PPI Muara
Angke.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini
dan diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan terutama bagi
pengembangan pelabuhan perikanan di Indonesia.
Penulis
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
Halaman
xii
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang....
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian..
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pelabuhan Perikanan...
4
6
8
13
13
18
18
21
23
27
30
31
14
16
3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian.............................................................
33
33
33
35
ix
41
41
42
43
50
50
51
55
63
75
80
82
88
92
94
96
98
104
109
112
113
116
122
123
129
130
131
134
xi
DAFTAR TABEL
1. Kriteria mutu ikan segar...........................................................................
Halaman
21
23
34
36
38
40
44
45
47
48
55
12. Jenis kapal yang melakukan tambat di PPI Muara Angke, 2004-2007.....
56
13. Jumlah alat tangkap yang dioperasikan nelayan di PPI Muara Angke,
2003-2006.................................................................................................
57
14. Jumlah nelayan yang melakukan aktivitas bongkar dan sandar di PPI
Muara Angke, 2001-2003.........................................................................
59
15. Jumlah produksi, nilai produksi dan retribusi ikan lokal yang
didaratkan di PPI Muara Angke, 2003-2006............................................
61
63
89
95
96
106
109
111
112
113
xii
25. Kualitas ikan sebelum pengangkutan dari TPI pada keranjang 1.............
114
26. Kualitas ikan sebelum pengangkutan dari TPI pada keranjang 2.............
115
126
xiii
DAFTAR GAMBAR
1. Diagram sebab akibat................................................................................
Halaman
40
44
46
49
54
56
58
60
61
64
65
12. Tempat Pelelangan Ikan (TPI) PPI Muara Angke Jakarta Utara..............
66
13. Stasiun pengisian bahan bakar umum dwi fungsi PPI Muara Angke ......
68
69
71
16. Kantor UPT, PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta Utara.........................
73
77
78
79
79
84
85
86
87
90
98
xiv
99
100
102
121
124
125
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Peta lokasi penelitian................................................................................
Halaman
135
136
137
4. Contoh perhitungan...................................................................................
139
141
143
145
xvi
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Produk perikanan merupakan suatu produk yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan gizi terutama yang berasal dari protein
hewani. Ikan sebagai komoditas yang mudah dan cepat membusuk (high perishable
food), memerlukan penanganan yang cepat, bersih, cermat dan dingin (quick, clean,
careful and cool) sehingga mutu ikan dapat tetap dipertahankan sejak ikan diangkat
dari laut hingga ikan didistribusikan atau dipasarkan ke konsumen. Salah satu
mekanisme penanganan ikan dilakukan melalui penerapan sistem rantai dingin (cool
chain system) (Wibowo, 2006).
Ikan merupakan komoditi utama di suatu pelabuhan perikanan. Oleh karena itu,
kualitas ikan di suatu pelabuhan perikanan sangatlah penting untuk dijaga. Kualitas
ikan akan menentukan harga di pasaran. Semakin bagus kualitas ikan, maka harganya
akan semakin tinggi (Hanafiah dan Saefudin, 1983 diacu dalam Murdaniel, 2007).
Pengendalian kualitas ikan sangat diperlukan agar kesegaran ikan dapat
dipertahankan. Pentingnya menjaga kualitas ikan di suatu pelabuhan perikanan
berkaitan dengan salah satu fungsinya sebagai tempat pembinaan mutu hasil
perikanan. Apabila kualitas ikan yang ada di suatu pelabuhan perikanan baik, akan
menunjukkan bahwa pelabuhan perikanan dari segi fungsi pembinaan mutu hasil
perikanan sudah berjalan dengan optimal.
Dalam pengelolaan pelabuhan perikanan, seringkali masalah sanitasi dan
pengelolaan limbah menjadi terlupakan. Buruknya penanganan sanitasi dan
kurangnya sanitasi fasilitas memungkinkan terjadinya kerugian dalam perdagangan
ikan. Selain itu, buruknya sanitasi dapat berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat.
Hal ini disebabkan karena banyaknya binatang seperti lalat dan tikus yang berkeliaran
di sekitar tempat tersebut. Menurut Lubis (2006) bahwa permasalahan sanitasi seperti
banyaknya sampah dan limbah sisa atau buangan dari aktivitas-aktivitas di pelabuhan
perikanan dan para pengguna akan dapat menimbulkan pencemaran. Permasalahan
sanitasi banyak terjadi di tempat pendaratan dan pelelangan ikan karena di kedua
tempat ini terjadi pemusatan kegiatan pendaratan dan pemasaran ikan.
Pemilihan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke sebagai lokasi
penelitian karena PPI Muara Angke merupakan salah satu pelabuhan perikanan tipe D
yang mempunyai potensi produksi dan pemasaran hasil tangkapan yang cukup besar
dan strategis di Jakarta Utara. PPI Muara Angke juga merupakan basis armada
penangkapan ikan karena letaknya yang berbatasan langsung dengan Teluk Jakarta
(Malik, 2006). Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke memiliki keunggulan
dibandingkan dengan PPI lain yang berada di sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari
jumlah hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Muara Angke pada tahun 2007 yaitu
17.111.209 kg, lebih besar dibandingkan dengan jumlah hasil tangkapan yang
didaratkan di PPI Pasar Ikan, yaitu 722.305 kg (Anonymous, 2007). Namun, Ikanikan yang didaratkan di PPI Muara Angke, terkadang masih memiliki kualitas yang
buruk. Ikan-ikan dengan kualitas yang buruk berasal dari kapal-kapal yang
melakukan operasi penangkapan lebih dari satu bulan. Selain potensi perikanan yang
cukup besar, PPI Muara Angke juga memiliki potensi pemasaran yang cukup baik,
dilihat dari letak yang sangat strategis, yang terletak di DKI Jakarta dengan jumlah
penduduk yang sangat banyak, aksesibilitas ke tempat ini sangat baik, kondisi jalan
beraspal, sarana transportasi yang mudah untuk menuju lokasi ini dan didukung
dengan sarana yang memadai (Malik, 2006).
Sanitasi di tempat pendaratan ikan yaitu di dermaga bongkar maasih kurang
terjaga. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya ikan dan potongan-potongan ikan yang
berjatuhan di dermaga tersebut. Begitu pula dengan sanitasi di Tempat Pelelangan
Ikan (TPI), yaitu banyaknya limbah dari aktivitas pelelangan ikan seperti ikan utuh
dan potongan-potongan ikan yang berserakan di sekitar TPI, banyaknya genangan air,
puntung rokok dan orang yang meludah di sembarang tempat, menyebabkan sanitasi
di TPI menjadi kurang terjaga dengan baik. Sanitasi yang kurang baik berdampak
terhadap kualitas ikan yang didaratkan. Kualitas ikan yang didaratkan di PPI Muara
Angke, memiliki kualitas yang kurang baik. Hal ini terlihat dari ada beberapa kapal
yang mendaratkan ikan tidak layak konsumsi, atau memiliki nilai organoleptik < 6.
1.2 Tujuan
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah:
(1) Mendapatkan informasi tentang berbagai aktivitas yang menimbulkan dampak
sanitasi di tempat pendaratan dan pelelangan ikan PPI Muara Angke;
(2) Menentukan kualitas ikan yang didaratkan akibat dampak sanitasi di PPI Muara
Angke;
(3) Merumuskan upaya pengelolaan sanitasi yang baik di tempat pendaratan dan
pelelangan ikan PPI Muara Angke.
1.3 Manfaat
Manfaat yang dapat dihasilkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi
mengenai pentingnya penanganan ikan dengan menjaga sanitasi dan pengelolaannya
untuk mempertahankan kualitas. Selain itu, sebagai bahan pertimbangan bagi Pemda
DKI Jakarta untuk meningkatkan sanitasi di tempat pendaratan dan pelelangan ikan
PPI Muara Angke.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Pelabuhan
perikanan
mempunyai
fungsi
mendukung
kegiatan
yang
10
e) Pengawas perikanan;
f) Kesehatan masyarakat; dan
g) Karantina ikan
Pasal 23 menyebutkan bahwa fasilitas yang wajib ada pada pelabuhan perikanan
untuk operasional sekurang-kurangnya meliputi:
(1) Fasilitas pokok, antara lain dermaga, kolam perairan, dan alur perairan;
(2) Fasilitas fungsional, antara lain kantor, air bersih, listrik serta fasilitas penanganan
ikan; dan
(3) Fasilitas penunjang, antara lain pos jaga dan MCK
11
12
13
14
15
16
limbah dari industri pengolahan dan kapal-kapal yang berlabuh yang mencemari
saluran drainase dan kolam pelabuhan. Ravikumar (1993) diacu dalam Rusmali
(2004), menyebutkan bahwa sampah merupakan benda yang tidak terpakai, tidak
diinginkan dan dibuang, sedangkan limbah adalah sampah yang sudah mencemari.
Berdasarkan bentuk dan cara penanganannya, sampah dibagi menjadi:
(1) Sampah padat;
(2) Sampah cair/air buangan;
(3) Sampah gas dan partikel di udara;
(4) Kotoran manusia;
(5) Kotoran hewan; dan
(6) Sampah berbahaya.
Berdasarkan komposisi kimia, sifat mengurai dan mudah tidaknya terbakar, sampah
dibedakan menjadi sampah organik dan anorganik; degradable dan non-degradable
serta combustible dan non-combustible.
Limbah adalah campuran yang kompleks, terdiri atas mineral dan bahan-bahan
organik dalam berbagai bentuk, besar maupun kecil yang terapung dalam bentuk
suspensi atau larutan. Limbah selalu terjadi selama proses panen dan pengolahan
serta saat pemasaran. Air limbah (waste water) adalah kotoran dari masyarakat dan
rumah tangga dan juga yang berasal dari industri, air tanah, air permukaan serta air
buangan lainnya. Air limbah ini merupakan hal yang bersifat kotoran umum
(Sugiharto, 2005). Penentuan derajat kekotoran air limbah sangat dipengaruhi oleh
adanya sifat fisik yang mudah terlihat. Sifat fisik yang penting ialah kandungan zat
padat sebagai estetika yaitu kejernihan, bau dan warna serta temperatur (Widodo,
2001).
17
18
yaitu penanganan untuk limbah padat dan cair. Jenis limbah padat seperti bungkusan
plastik, kertas dan potongan kayu masih diproses secara konvensional dan sederhana.
Limbah padat yang ada di lingkungan pelabuhan dikumpulkan oleh tenaga kebersihan
di lapangan, lalu ditampung di Tempat Penampungan Sementara (TPS) di PPSJ.
Setelah itu, limbah padat tersebut diangkut menggunakan truk ke luar Jakarta yaitu
Bantar Gebang, Kabupaten Bekasi, sedangkan limbah padat yang bersifat organik
seperti kertas dan sisa-sisa potongan kayu dibakar di dalam kawasan PPSJ. Jenis
limbah cair dari sisa pengolahan dan pencucian ikan, dilakukan proses pengolahan
limbah secara biologis dan kimiawi di Unit Pengolah Limbah (UPL) PPSJ agar
limbah tersebut dapat dikembalikan ke laut tanpa mencemari lingkungan.
Pengolahan dan pemeliharaan sanitasi di PPSJ ini akan dijadikan acuan
pengelolaan yang baik. Hal ini dilakukan karena PPSJ merupakan pelabuhan
perikanan bertaraf internasional dan sudah memiliki pengelolaan limbah dan sanitasi
yang cukup baik.
19
distribusi. Persyaratan itu sendiri dapat berubah sesuai dengan keinginan pelanggan
dan kebutuhan sebuah perusahaan.
Kualitas biasanya tidak ditentukan oleh satu atribut atau dimensi tunggal,
melainkan oleh beberapa atribut atau dimensi yang menyatakan kualitas. Dimensi
kualitas produk, menurut Garvin diacu dalam Nurani (2007) adalah:
(1) Kinerja (performance) merupakan karakteristik operasi utama dari produk yaitu
seberapa baik suatu produk melakukan apa yang seharusnya dilakukan;
(2) Ciri-ciri atau keistimewaan tambahan (features) merupakan karakteristik sekunder
atau pelengkap, berupa pernak-pernik yang melengkapi atau meningkatkan fungsi
dasar produk;
(3) Kehandalan (relability) yaitu kemungkinan kecil akan mengalami kerusakan atau
gagal dipakai;
(4) Kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to specification) yaitu seberapa baik
karakteristik desain dan operasi sesuai dengan standar yang telah ditetapkan
sebelumnya;
(5) Daya tahan (durability) berkaitan dengan berapa lama produk dapat terus
digunakan;
(6) Kemudahan perbaikan (service ability) meliputi kecepatan, kenyamanan,
kompetensi, mudah direparasi dan penanganan keluhan yang memuaskan;
(7) Keindahan (aesthetics) yaitu daya tarik produk terhadap panca indera; dan
(8) Persepsi terhadap kualitas (perceived quality) tidak didasarkan pada produk tetapi
pada citra atau reputasi.
Pengertian kualitas ikan secara sederhana dapat diidentikkan dengan tingkat
kesegaran. Ikan segar adalah ikan yang masih mempunyai sifat sama seperti ikan
hidup baik rupa, bau, rasa, maupun teksturnya. Dengan kata lain ikan segar adalah
ikan yang baru saja ditangkap, belum mengalami pengolahan lebih lanjut dan belum
mengalami perubahan fisik maupun kimia atau yang masih mempunyai sifat sama
ketika ditangkap (Anita, 2003).
Kualitas ikan lebih menunjukkan pada penampilan estetika dan kesegaran atau
derajat pembusukan sampai dimana telah berlangsung, termasuk juga aspek
20
keamanan seperti bebas dari bakteri, parasit atau bahan kimia. Kualitas kesegaran
ikan dapat dievaluasi dengan metode sensori maupun instrumen. Kualitas ikan yang
baik adalah ikan yang telah ditangkap dengan cara yang baik, diolah dan ditangani
secara benar di pabrik serta mempunyai karakteristik tertentu, bentuk, ukuran,
penampakan, warna, bau, komposisi dan tekstur yang dimiliki ikan (Hardjito, 2006).
Peningkatan kualitas tidak dapat dipisahkan dari usaha peningkatan
produktivitas. Usaha yang berlebihan untuk mendorong produktivitas bisa
mengorbankan kualitas dari output yang dihasilkan.
Parameter
Penampakan fisik
2.
3
Mata
Insang
4.
5.
Bau
Lendir
6.
Tanda-tanda
Ikan cemerlang mengkilap sesuai jenisnya, badan ikan utuh,
tidak patah, tidak rusak fisik, bagian perut masih utuh dan liat
serta lubang anus tertutup.
Cerah (terang), selaput mata jernih, pupil hitam dan menonjol.
Insang berwarna merah, cemerlang atau sedikit kecoklatan, tidak
ada atau sedikit lendir.
Bau segar spesifik jenis atau sedikit bau amis yang lembut.
Selaput lendir di permukaan tubuh tipis, encer, bening,
mengkilap cerah, tidak lengket, berbau sedikit amis dan tidak
berbau busuk.
Ikan kaku atau masih lemas dengan daging elastis, jika ditekan
dengan jari akan cepat kembali, sisik tidak mudah lepas, jika
disayat tampak jaringan antar daging masih kuat dan kompak,
sayatan cemerlang dengan menampilkan warna daging asli.
21
22
Bakteri yang mengkontaminasi ikan hasil tangkapan dapat berupa bakteri yang
berasal dari air, kapal, dan pabrik pengolahan;
(2) Pengaruh cara penangkapan terhadap kualitas ikan
Metode dan alat tangkap mempengaruhi kualitas ikan yang ditangkap sehingga
perlu penyesuaian antara cara dan jenis alat tangkap dengan jenis ikan yang
ditangkap.
(a) Cara kematian: membunuh ikan dengan segera adalah lebih baik daripada
membiarkan ikan mati secara perlahan atau mengadakan perlawanan, karena
rigor mortis akan datang lebih lambat dan lebih lama berlangsungnya;
(b) Lamanya ikan pada alat tangkap: jika jangka waktu antara ikan tertangkap dan
diangkat dari air terlalu lama, maka ikan akan mati sebelum sampai di geladak
dan proses kemunduran mutu sudah mulai terjadi;
(c) Temperatur air: jika ikan mati pada alat penangkap sebelum diangkat dari air,
maka temperatur air merupakan faktor penting;
(d) Selektivitas alat tangkap: ikan yang berukuran kecil dari satu spesies
cenderung lebih cepat mengalami kemunduran mutu dibandingkan dengan
ikan yang lebih besar. Hal ini dapat dihindari dengan memakai mata jaring
yang besar sehingga ikan yang kecil tidak turut tertangkap; dan
(e) Faktor biologis: ikan yang tertangkap waktu perutnya penuh makanan akan
mengalami kemunduran mutu yang lebih cepat daripada ikan yang lapar
karena enzim sedang giat bekerja. Ikan yang sedang dalam masa bertelur juga
menunjukkan penurunan mutu yang relatif lebih cepat. Berdasarkan faktor
biologis ini dapat diciptakan alat tangkap yang selektif atau disesuaikan waktu
serta daerah penangkapannya.
(3) Pengaruh penanganan terhadap kualitas ikan
(a) Penanganan di kapal
Ada 3 faktor penting yang harus diperhatikan dalam penanganan ikan di kapal
yaitu suhu, waktu dan kebersihan dalam bekerja; dan
23
Kapal penangkap
24
25
26
Cara
pendinginan
ini
hendaknya
memperhitungkan
adanya
27
ikan yang dapat melakukan kontak dengan es, maka penurunan suhu tubuh ikan akan
semakin cepat.
28
29
30
31
ketidaksesuaian
dan
kesenjangan
yang
terjadi.
Ishikawa
(1989)
dalam
memilih
penyebab
penyebaran
dan
mengorganisasikan
32
3. METODOLOGI
34
plastik, kertas, puntung rokok dan ada tidaknya genangan lendir, darah ikan, dan air
sisa cucian ikan.
Data yang akan dikumpulkan pada penelitian ini secara rinci terlihat pada Tabel
3 berikut:
Tabel 3 Data yang dikumpulkan saat penelitian
Kelompok
Data
1. Data Primer
Cara pengambilan
data
Pengamatan
Pengamatan
Wawancara
Pengamatan,
wawancara
Pengamatan
Wawancara
Pengamatan,
wawancara
Pengamatan
Pengamatan,
Wawancara
Wawancara
Pengamatan
Pengamatan,
pengambilan sampel
Pengamatan,
wawancara
Pengamatan
Wawancara
Pengamatan,
Wawancara
35
Tabel 3 (Lanjutan)
2. Data Sekunder
1.
2.
3.
3. Data Tambahan
1.
2.
3.
Aktivitas pendaratan
- Produksi ikan yang didaratkan per
hari/bulan/tahun
- Jenis dan jumlah fasilitas pendaratan
Aktivitas pelelangan
- Jumlah/berat ikan yang dilelang per
hari/bulan/tahun
- Harga tiap jenis ikan pada saat pelelangan
- Jenis dan jumlah fasilitas pelelangan
Kondisi sanitasi
- Volume limbah padat dan cair per
hari/bulan/tahun
- Jumlah dan kapasitas fasilitas sanitasi
Potensi perikanan daerah Muara Angke
Keadaan umum daerah penelitian berupa letak
geografis lokasi penelitian dan kependudukan
Data dan nilai produksi ikan di PPI Muara
Angke
36
Fasilitas sanitasi seperti tempat cuci tangan dan toilet dengan jumlah yang
mencukupi;
Kendaraan
yang
mengeluarkan
asap
dan
binatang
yang
dapat
Mempunyai pasokan air bersih dan atau air laut yang bersih; dan
Mempunyai wadah khusus yang tahan karat dan kedap air untuk
menampung hasil perikanan yang tidak layak untuk dimakan.
Permasalahan
Indikator
Dampak yang
Ditimbulkan
1. Kolam Pelabuhan
2. Dermaga Bongkar
3. TPI
(2) Analisis penentuan sanitasi dari berbagai aktivitas terhadap kualitas ikan
dilakukan dengan menggunakan penentuan prosentase jumlah ikan tidak layak
konsumsi dan diagram sebab akibat untuk mengetahui kemunduran kualitas ikan
37
yang terjadi. Analisis penentuan prosentase jumlah ikan tidak layak konsumsi
digunakan untuk mengetahui apakah ikan-ikan yang didaratkan layak untuk
dikonsumsi. Diagram sebab akibat dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor
penyebab ikan-ikan tidak layak dikonsumsi.
1) Prosentase Jumlah Ikan yang Tidak Layak Konsumsi
Penentuan prosentase kualitas ikan yang tidak layak konsumsi, didasarkan pada
pembuatan peta kendali pn menurut Ishikawa (1989). Namun, dalam penelitian ini
tidak dibuat peta kendali, melainkan hanya sampai penentuan prosentase ikan cacat
(dalam hal ini adalah ikan tidak layak konsumsi atau ikan yang memiliki nilai
organoleptik <6). Hal ini dikarenakan sampel yang diambil, berasal dari beberapa
jenis kapal.
Fungsi dibuatnya proporsi yaitu untuk mengetahui banyaknya jumlah ikan cacat
yang didaratkan dari total jumlah ikan yang didaratkan di PPI Muara Angke. Proporsi
ikan yang cacat didefinisikan sebagai rasio banyaknya ikan sampel yang tidak
memenuhi syarat spesifikasi kualitas.
Ishikawa (1989) menyebutkan bahwa langkah-langkah dalam pembuatan
penentuan prosentase ikan tidak layak konsumsi adalah sebagai berikut:
(1) Mengumpulkan dan mencatat data yang menggambarkan jumlah yang akan
diteliti (n) dan jumlah produk cacat (pn). Sekurang-kurangnya dibutuhkan 20 kali
pengambilan sampel.
(2) Membagi data ke dalam subgrup.
(3) Menghitung bagian tidak layak konsumsi untuk setiap subgrup dan memasukkan
data ke dalam lembaran data. Pencarian bagian tidak layak konsumsi,
menggunakan rumus sebagai berikut:
p = jumlah ikan tidak layak konsumsi = pn
ukuran subgrup
n
Untuk menunjukkan persentase, dikalikan dengan 100
38
(4) Mencari rata-rata bagian tidak layak konsumsi, dengan menggunakan rumus:
Kualitas Ikan
39
Pelaku
Sanitasi PP
Langkah 4
Penanganan Ikan
40
Pelaku
Sanitasi PP
Penanganan Ikan
Gambar 1 Diagram sebab akibat.
Langkah 5
(3) Analisis deskriptif terhadap upaya pengelolaan sanitasi yang dilakukan pihak
pelabuhan dalam mengatasi permasalahan sanitasi yang ada dan membuat tabulasi
tentang upaya pengelolaan sanitasi yang telah dilakukan untuk mengatasi dampak
sanitasi dari aktivitas kepelabuhanan. Selanjutnya dilakukan studi literatur
terhadap contoh pengelolaan sanitasi di pelabuhan perikanan luar negeri.
Tabel 6 Contoh tabel analisis data upaya pengelolaan dampak sanitasi
No.
Aktivitas
Upaya pengelolaan
42
: Laut Jawa
Sebelah Selatan
Sebelah Barat
Sebelah Timur
43
pembudidaya ternak seperti itik, ayam buras, burung puyuh, perkutut serta olahan
hasil ternak (Anonymous, 2007).
Berdasarkan data Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil 2007, jumlah
penduduk Jakarta Utara sebanyak 1.180.967 orang, berada di tempat kedua terbanyak
setelah Jakarta Timur dengan jumlah penduduk sebanyak 2.166.390 orang. Padatnya
penduduk menimbulkan berbagai masalah di Jakarta Utara seperti perkelahian warga
atau masalah ketenagakerjaan. Jumlah penduduk yang begitu banyak menyebabkan
semakin tingginya angka pencari kerja, sedangkan lapangan kerja yang tersedia
terbatas. Hal ini akan mengakibatkan tertekannya subsektor perikanan, yaitu
banyaknya tenaga kerja yang masuk kedalam subsektor ini, dengan dibekali keahlian
seadanya. Tenaga kerja yang masuk kedalam subsektor perikanan biasanya banyak
yang menjadi buruh. Buruh tidak memerlukan keahlian khusus, karena hanya dengan
mengandalkan tenaga dan kekuatan pun sudah dapat menjadi buruh. Hal inilah yang
menyebabkan subsektor perikanan menjadi kurang maju.
44
2003
2004
Tahun
2005
2006
2007
958
909
810
729
765
562
685
617
554
431
439
1.481
679
462
57
823
3.941
502
1.492
683
467
49
795
3.988
451
1.343
615
421
45
726
3.601
406
1.209
554
379
39
653
3.240
430
1.276
659
354
34
760
3.413
5.461
5.582
5.028
4.523
4.609
Sumber: Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, 2007
3500
3000
Perahu
2500
Motor Tempel
2000
Kapal Motor
1500
1000
500
0
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Sumber: Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, 2007
45
unit perahu tanpa motor dan 909 motor tempel. Jumlah armada terendah adalah pada
tahun 2006 yaitu 4.523 unit yang terdiri atas 3.240 unit kapal motor, 554 unit perahu
tanpa motor dan 729 unit motor tempel (Anonymous, 2007).
(2) Nelayan
Usaha penangkapan ikan tidak akan dapat berjalan dengan baik apabila tidak
dilengkapi dengan unit penangkapan ikan yang terdiri dari nelayan, alat tangkap dan
kapal perikanan. Oleh karena itu, nelayan merupakan salah satu komponen yang
berperan penting dalam suatu operasi penangkapan ikan. Nelayan merupakan salah
satu unsur yang terlibat secara langsung dalam kegiatan penangkapan ikan.
Jumlah nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan di wilayah Jakarta
Utara pada tahun 2007 tercatat sebanyak 19.234 jiwa. Jumlah tersebut dapat ditinjau
dari status kependudukan maupun status kepemilikannya. Jika ditinjau dari status
kependudukannya, nelayan terbagi atas 12.027 jiwa nelayan setempat dan 7.207
nelayan pendatang. Apabila ditinjau dari status kepemilikan usaha, maka nelayan
terbagi atas 4.103 orang nelayan pemilik dan 15.131 orang nelayan pekerja
(Anonymous, 2007). Perkembangan jumlah nelayan dari tahun 2003 hingga 2007
ditunjukkan pada Tabel 8:
2003
15.724
2004
16.426
2005
15.017
2006
13.516
2007
12.027
Pemilik
Pekerja
3.335
12.389
10.877
3.473
12.953
9.873
3.140
11.877
8.903
2.826
10.690
8.018
2.441
9.586
7.207
Pemilik
Pekerja
2.335
8.542
26.601
2.241
7.632
26.299
2.028
6.875
23.920
1.827
6.191
21.534
1.662
5.545
19.234
Pemilik
Pekerja
5.670
20.931
5.714
20.585
5.168
18.752
4.653
16.881
4.103
15.131
Nelayan penetap
(orang)
Nelayan pendatang
(orang)
Jumlah nelayan
(orang)
Sumber: Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, 2007
46
Berdasarkan Tabel 8 di atas dapat dilihat bahwa, sejak tahun 2003 hingga 2007
jumlah nelayan di Jakarta Utara mengalami penurunan. Hal ini terlihat dari jumlah
nelayan yang terus menurun setiap tahunnya. Walaupun demikian, jumlah nelayan
penetap mengalami peningkatan pada tahun 2004, tetapi kemudian mengalami
penurunan kembali pada tahun 2005, sedangkan jumlah nelayan pendatang setiap
tahunnya terus mengalami penurunan.
25000
Jumlah Nelayan
20000
15000
Nelayan Pemilik
Nelayan Pekerja
10000
5000
0
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Sumber: Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, 2007
47
(3) Mahalnya biaya perawatan kapal sehingga banyak kapal yang rusak tidak dapat
beroperasi;
(4) Semakin sulitnya hidup di Jakarta dan banyak tempat tinggal mereka yang
ditertibkan sehingga sebagian nelayan kembali ke daerah asalnya masing-masing;
dan
(5) Beralihnya fungsi kapal ikan menjadi kapal transportasi umum seperti kapal
barang dan kapal penumpang.
Jenis ikan
Cucut
Tenggiri
Tongkol
Tongkol
Golot-golot
Kembung
Kuwe
Layang
Selar
Tembang
Teri
Julung-julung
Bawal
Belanak
Beloso
Ekor Kuning
Kakap Merah
Kerapu
Kuro
Layur
Manyung
Pari
Peperek
Pisang-pisang
Cunang
Nama latin
Sphyma sp.
Scomberomorus commersoni
Auxis thazard
Euthynnus sp.
Chirocesntrus spp.
Rastrelliger sp.
Caranx sp.
Decapterus ruselli
Selaroides sp.
Sardinella gibbosa; S. Fimbriata
Stelophorus indicus; S. Devisi
Tylosorus crocodiles
Formio niger; Pampus argentus
Mugil sp.
Saurida spp.
Caeso erytrogaster; C.Cuning
Lutjanus malabaricus
Ephinephelus sp.
Polynemus
Trichiurus spp.
Arius thalassinus
Trigonidae
Leiognathus spp.
Casio chrysozomus
Muraenesex (Congresox) spp.
Sumber: Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, 2007
Kelompok
Pelagis Besar
Pelagis Besar
Pelagis Besar
Pelagis Besar
Pelagis Kecil
Pelagis Kecil
Pelagis Kecil
Pelagis Kecil
Pelagis Kecil
Pelagis Kecil
Pelagis Kecil
Demersal
Demersal
Demersal
Demersal
Demersal
Demersal
Demersal
Demersal
Demersal
Demersal
Demersal
Demersal
Demersal
Demersal
48
Jumlah produksi ikan di Jakarta Utara pada tahun 2007 sebanyak 31.763.259
kg. Jumlah ini merupakan produksi ikan yang didaratkan melalui darat dan laut. Ikan
yang didaratkan di Jakarta Utara berasal dari enam pelabuhan, yaitu Muara Baru,
Muara Angke, Pasar Ikan, Muara Kamal, Cilincing dan Kali Baru. Muara Angke
merupakan penyumbang terbesar produksi perikanan Jakarta Utara sebesar
17.111.209 kg (53,87%); disusul dengan Muara Baru sebesar 12.617.266 kg
(39,72%); Pasar Ikan, Muara Kamal, Cilincing dan Kali Baru masing-masing sebesar
722.305 kg (2,27%), 521.280 kg (1,64%), 263.959 kg (0,83%) dan 527.240 kg
(1,66%). Jumlah produksi perikanan ikan di TPI dan PPI Kota Jakarta Utara, tahun
2003-2007 dapat dilihat pada Tabel 10:
2003
2004
2005
2006
2007
12.209, 027
11.779,785
9.728,239
17.582,561
17.111,209
763,685
743,190
638,050
688,221
722,305
10.810,332
10.037,361
5.695,237
6.296,445
12.617,266
529,550
577,370
589,370
529,920
521,280
Cilincing
422,765
318,296
341,386
263,959
Kali Baru
240,575
326,715
326,801
424,144
527,240
24.553,169
23.887,186
17.295,993
25.862,677
31.763,259
Muara Angke
PPI
Pasar Ikan
Muara Baru
Kamal Muara
TPI
Jumlah
Sumber: Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, 2007
Berdasarkan Tabel 10, produksi perikanan Jakarta Utara sejak tahun 2003
hingga 2007 mengalami peningkatan. Pada tahun 2004 dan 2005, walaupun produksi
perikanan sempat mengalami penurunan, tetapi kemudian meningkat kembali pada
tahun 2006. Penurunan jumlah produksi hasil tangkapan ini disebabkan antara lain
oleh penurunan jumlah armada penangkapan yang beroperasi sehingga jumlah ikan
yang didaratkan pun menurun.
49
20000
18000
Jumlah Produksi
16000
14000
12000
10000
8000
6000
TPI Cilincing
4000
2000
0
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Sumber: Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, 2007
50
ini tentunya berakibat pada sanitasi pelabuhan perikanan, karena banyak hasil
tangkapan yang rusak ketika didaratkan.
4) Unit-unit Pengolahan Ikan di Jakarta Utara
Banyaknya hasil tangkapan yang didaratkan membutuhkan penanganan dan
pengolahan lebih lanjut. Salah satu dari tujuan penanganan adalah untuk
mempertahankan mutu dan meningkatkan nilai jual ikan. Berdasarkan jenis usaha
yang dijalankan, pengolahan ikan dibedakan menjadi dua yaitu tradisional dan
modern.
Pengolahan secara tradisional meliputi pengeringan atau pengasinan,
pengasapan, pengolahan pakan ternak dari ikan atau udang, pengolahan terasi dan
pengawetan kulit ikan. Daerah-daerah konsentrasi pengolahan tradisional di Jakarta
Utara adalah Muara Angke sebanyak 196 unit, Kali Baru sebanyak 80 unit dan Kamal
Muara sebanyak 20 unit, sedangkan pengolahan secara modern adalah fillet, loin,
tuna beku, ikan kaleng dan produk ikan lainnya. Sarana pengolahan modern ini
barada di Muara Baru.
4.2 Keadaan Umum Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke
4.2.1 Letak geografis dan topografi PPI Muara Angke
Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke dengan luas 65 ha, terletak di
daerah Muara Angke. Secara administratif terletak di Kelurahan Pluit, Kecamatan
Penjaringan, Kota Jakarta Utara. Kawasan Muara Angke berbatasan dengan:
Sebelah Utara
: Laut Jawa
Sebelah Selatan
: Kali Angke
Sebelah Timur
: Jalan Pluit
Sebelah Barat
: Kali Angke
51
ha); terminal (2,57 ha) dan lapangan sepak bola (1 ha) (UPT PPI Muara Angke,
2006).
Selanjutnya dikatakan bahwa kawasan Muara Angke mempunyai kontur
permukaan tanah datar, dengan ketinggian dari permukaan laut antara 0 sampai 1
meter. Geomorfologi kawasan pantainya lunak sehingga daya dukung tanah rendah
dan proses intrusi air laut tinggi, sedimen dasar laut dominan oleh lumpur (lempung
dan lanau). Pasang surut kawasan ini mempunyai sifat harian tunggal dan kisaran
antara surut tertinggi dan terendah adalah 1,2 meter dan gerakan periodik ini
walaupun kecil tetap berpengaruh pada kondisi pantai kawasan ini. Arus laut pada
musim barat berkecepatan 1,5 knot dengan ketinggian gelombang antara 0-1 meter
dan jika terjadi angin kuat gelombang dapat mencapai 1,5 sampai 2 meter.
PPI Muara Angke merupakan hasil reklamasi pantai sehingga mempunyai
tekstur tanah yang kurang stabil. Setiap tahun daerah tersebut mengalami penurunan
tanah 10 cm oleh karena itu selalu digenangi air laut bila terjadi gelombang pasang
(UPT PPI Muara Angke, 2003 diacu dalam Novri, 2006).
Sejak tahun 1976 secara keseluruhan kawasan ini dipersiapkan untuk
menampung kegiatan perikanan yang selama ini tersebar di beberapa lokasi. Untuk
memudahkan sekaligus lebih mengintensifkan pembinaan kepada masyarakat nelayan
dibuatlah sebuah desa nelayan dilengkapi dengan sarana penunjangnya. Rencana
tersebut, dapat terwujud apabila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta secara bertahap
terus melaksanakan pembangunan dengan memanfaatkan dana, baik yang bersumber
dari APBD, APBN maupun melibatkan sektor swasta. Pada tahun 1977, Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta menetapkan kawasan ini sebagai Pangkalan Pendaratan Ikan
dan Pusat Pembinaan Kegiatan Perikanan di DKI Jakarta (UPT PPI Muara Angke,
2006).
4.2.2 Pengelolaan PPI Muara Angke
1) Tugas UPT, PKPP dan PPI Muara Angke
Unit Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan
merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan
52
53
54
Struktur organisasi UPT, PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta Utara dapat
dilihat pada Gambar 5.
Kepala Unit
Subbag. Kepelabuhanan
Perikanan
Seksi Fasilitas
Kepala
TPI
Muara
Angke
Staff
Seksi Pemukiman
Nelayan, Keamanan dan
Ketertiban
Seksi Pelelangan
Kepala
TPI
Muara
Baru
Staff
Pasar
Grosir
Muara
Angke
Pasar
Grosir
Muara
Baru
Kepala
Pasar
Ikan
Kepala
PHPT
Staff
Staff
Staff
Staff
Gambar 5 Struktur organisasi UPT, PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta.
55
Instansi/Kelembagaan
1.
2.
3.
DPD, HNSI
4.
5.
Pos Kesehatan
6.
7.
56
Kapal-kapal ikan yang berlabuh di PPI Muara Angke dan melakukan kegiatan
bongkar muat antara lain: kapal gillnet, purse seine, trap (bubu) dan fish net. Alat
tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan di PPI Muara Angke adalah jaring
cumi, purse seine, jaring rampus, gillnet, bubu dan pancing (Laporan Tahunan PPI
Muara Angke, 2006).
Saat ini, kapal perikanan yang beraktivitas di PPI Muara Angke ada dua jenis,
yaitu kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut. Berikut disajikan tabel jenis kapal
yang melakukan aktivitas tambat di PPI Muara Angke.
Tabel 12 Jenis kapal yang melakukan tambat di PPI Muara Angke, 2004-2007
Ukuran (GT)
Jenis Kapal
Tahun
Jumlah
< 30
> 30
Pengangkut
Penangkap Ikan
2004
4.921
3.894
1.027
1.407
3.514
2005
5.209
3.873
1.336
1.468
3.741
2006
4.862
3.701
1.161
1.006
3.856
2007
4.300
3.662
636
1.008
3.292
4.000
3.500
3.000
Kapal < 30 GT
2.500
Kapal > 30 GT
2.000
Kapal Angkutan
1.500
1.000
500
0
2004
2005
2006
2007
Tahun
Gambar 6 Jumlah kapal yang melakukan tambat di PPI Muara Angke, 2004-2007.
57
Jumlah kapal terbanyak yang melakukan kegiatan tambat di PPI Muara Angke
adalah pada tahun 2005 yaitu 5.209 unit kapal. Kapal-kapal ini terdiri atas kapal
pengangkut 1.468 unit kapal dan kapal penangkap ikan 3.741 unit kapal. Berdasarkan
ukurannya, kapal-kapal ini terbagi menjadi dua jenis yaitu kapal dengan ukuran < 30
GT 3.873 unit kapal dan yang berukuran > 30 GT 1.336 unit kapal. Dari tahun 2004
hingga tahun 2007, jumlah kapal yang melakukan tambat di PPI Muara Angke
mengalami fluktuasi. Jumlah kapal mengalami kenaikan pada tahun 2005 dan
menurun kembali pada tahun 2006.
Tabel 13 Jumlah alat tangkap yang dioperasikan nelayan PPI Muara Angke,
2003-2006
Alat Tangkap
Tahun
2003
Purse
seine
227
Bukoami
0
Jaring
Cumi
0
Bubu
942
Cantrang
0
Gillnet
536
Lainnya
231
Jumlah
1936
2004
982
803
553
560
485
1.546
4929
2005
982
931
572
426
287
391
726
4315
2006
1.097
1.158
782
324
267
164
64
3856
Jumlah
3.288
2.892
1.907
2.252
554
1.576
2.567
58
alat tangkap bukoami menjadi alat tangkap yang terbanyak kedua yaitu 2.892 unit.
Jenis alat tangkap lainnya berjumlah 2.567 unit. Jumlah alat tangkap yang ada di PPI
Muara Angke mengalami kenaikan setiap tahunnya.
1800
Jum lah A lat Tangkap
1600
Purse Seine
1400
Bukoami
1200
Jaring Cumi
1000
Bubu
800
Cantrang
600
Gillnet
400
Lainnya
200
0
2003
2004
2005
2006
Tahun
Sumber: UPT PPI Muara Angke, 2006
Dilihat dari Gambar 7 di atas, terlihat bahwa jumlah alat tangkap yang
mengalami peningkatan setiap tahunnya adalah alat tangkap Purse Seine, Bukoami
dan Jaring Cumi. Alat tangkap Bubu, Cantrang dan Gillnet mengalami penurunan
dari tahun ke tahun.
(3) Nelayan
Komponen yang dibutuhkan dalam kegiatan penangkapan ikan adalah nelayan,
armada penangkapan dan alat tangkap. Nelayan merupakan salah satu pelaku (stake
holder) yang terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan secara langsung.
Nelayan yang berada di PPI Muara Angke meliputi nelayan penetap dan
nelayan pendatang. Nelayan penetap merupakan nelayan yang berdomisili di wilayah
Muara Angke, sedangkan nelayan pendatang merupakan nelayan yang berasal dari
luar wilayah Muara Angke. Status nelayan penetap maupun nelayan pendatang terdiri
59
dari 2 jenis nelayan, yaitu nelayan pemilik dan nelayan pekerja. Nelayan pemilik
merupakan nelayan yang memiliki modal berupa kapal maupun alat tangkap,
sedangkan nelayan pekerja adalah nelayan buruh yang berperan aktif dalam kegiatan
operasi penangkapan ikan (UPT PPI Muara Angke, 2003 diacu dalam Novri, 2006).
Berdasarkan statusnya, nelayan yang memanfaatkan PPI Muara Angke sebagai
tempat tambat labuh maupun bongkar muat terbagi atas nelayan penetap dan nelayan
pendatang (Shanticka, 2008). Klasifikasi nelayan tersebut dapat terbagi lagi menjadi
nelayan pekerja atau nelayan pemilik unit penangkapan ikan. Jumlah nelayan
berdasarkan pembagian tersebut dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Jumlah nelayan yang melakukan aktivitas bongkar dan sandar di PPI
Muara Angke, 2001-2003
Status Nelayan
Penetap
Pemilik
Pekerja
Pendatang
Pemilik
Pekerja
Jumlah Nelayan
Pemilik
Pekerja
2001
11.139
2.277
8.862
12.802
1.324
11.478
23.941
3.601
20.340
2002
14.628
2.979
11.703
11.671
1.813
9.858
26.353
4.792
21.561
2003
2.663
1.873
790
10.837
1.690
9.147
13.500
9.147
4.353
Berdasarkan Tabel 14 di atas, dapat terlihat bahwa jumlah nelayan PPI Muara
Angke pada tahun 2001 hingga tahun 2003 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2002
mengalami kenaikan tetapi pada tahun 2003 mengalami penurunan yang sangat
drastis. Penurunan ini disebabkan oleh makin jauhnya fishing ground atau daerah
penangkapan ikan, naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) dan mahalnya biaya
perawatan kapal.
Jumlah nelayan yang terbanyak adalah nelayan penetap pada tahun 2002 yaitu
14.628 orang dengan nelayan pemilik sebanyak 2.979 orang dan nelayan pekerja
11.703 orang. Jumlah nelayan paling sedikit adalah nelayan penetap, pada tahun 2003
berjumlah 2.663 orang yang terdiri dari nelayan pemilik 1.873 dan nelayan pekerja
790 orang.
60
25000
Jumlah Nelayan
20000
15000
Nelayan Pemilik
Nelayan Pekerja
10000
5000
0
2001
2002
2003
Tahun
61
Tabel 15 Jumlah produksi, nilai produksi dan retribusi ikan lokal yang didaratkan
di PPI Muara Angke, 2003-2006
Tahun
Produksi (Ton)
Nilai (Rp)
Retribusi (Rp)
2003
8.162,744
32.306.132.805
1.615.306.640
2004
8.189,192
33.311.092.549
1.659.825.565
2005
9.392,508
34.539.811.192
1.726.990.560
2006
10.675,824
35.768.529.845
1.788.426.492
Berdasarkan Tabel 15, dapat diketahui jumlah produksi perikanan PPI Muara
Angke yang terbanyak yaitu pada tahun 2006 yaitu sebanyak 10.675,824 ton dengan
nilai produksi Rp35.768.529.845,00. Besarnya retribusi yang diperoleh pihak
pelabuhan dari produksi perikanan yang didaratkan di PPI Muara Angke pada tahun
2006 adalah sebesar Rp1.788.426.492,00. Dalam perkembangannya, jumlah produksi
ikan di PPI Muara Angke mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan
jumlah produksi berbanding lurus dengan peningkatan nilai produksi dan retribusi.
12.000,00
Produksi Ikan
10.000,00
8.000,00
6.000,00
4.000,00
2.000,00
0,00
2003
2004
2005
2006
Tahun
62
0,75% dan di
Karimun Jawa dengan hasil tangkapan 1,41% (UPT PPI Muara Angke, 2006).
63
Fasilitas yang telah dibangun di PPI Muara Angke terdiri atas fasilitas pokok,
fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang. Fasilitas pokok pelabuhan terdiri dari
kolam pelabuhan, dermaga dan breakwater. Salah satu fasilitas fungsional adalah
gedung TPI, pasar pengecer ikan dan cold storage. Fasilitas penunjang terdiri atas
kantor pengawas pelabuhan, balai pertemuan nelayan dan MCK. Rincian fasilitas
yang dimiliki oleh PPI Muara Angke dapat dilihat pada Tabel 16.
Jenis Fasilitas
Jumlah/Volume/Luas
Fasilitas Pokok
Lahan PPI
Dermaga
Tanggul Pemecah Gelombang
Kolam Pelabuhan
Fasilitas Fungsional
Kantor UPT, PKPP dan PPI
Tempat Pelelangan Ikan
Tempat Pengepakan Ikan
Kios Gudang Kantor
Pasar Grosir Ikan
Pasar Pengecer Ikan
Kios Ikan Bakar
Workshop
Gudang Alat-alat Perikanan
Waduk Penampungan
Kolam Limbah (IPAL)
Bengkel Alat Kapal Tradisional
Cold Storage
SPBU Dwifungsi
Pabrik Es
Dock Tradisional
Sarana Docking Kapal 30 GT
Tiang Pengikat Kapal/Bolard
Fender Kayu
Tug Boat (KM. Baracuda Jaya II)
Ponton Keruk (KM. Baracuda Jaya III)
Fasilitas Penunjang
Kantor Pengawas Kapal Perikanan (WASKI)
MCK
65 Ha
403 m
1.700 m
63.993 m
1 Unit
2.212 m
30 Unit
40 Unit
870 Kios
150 Kios
24 Unit
8 Unit
12 Unit
1 Unit
1 Unit
5 Unit
2 Unit
1 Unit
1 Unit
5 Unit
4 Unit
122 Buah
450 m
1 Unit
1 Unit
1 Unit
3 Unit
Pada kawasan tersebut, telah dibangun Tempat Pelelangan Ikan (TPI), gedung
pasar grosir ikan, gedung pengecer ikan, kios, gudang, kantor yang dimanfaatkan oleh
para pengusaha perikanan, kios pujaseri, tempat pengepakan ikan dan berbagai
64
fasilitas penunjang lainnya. Fasilitas yang dibangun oleh pemerintah pada umumnya
dapat dimanfaatkan secara baik oleh para pengusaha dan memberikan manfaat luas
terhadap masyarakat perikanan, baik berupa penyediaan lapangan kerja maupun
keuntungan lainnya bagi masyarakat. Selain pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintah, kepada sektor swasta juga diberikan kesempatan untuk bersama-sama
pemerintah melaksanakan pembangunan kawasan. Kesempatan yang ditawarkan
pemerintah tersebut ditanggapi positif oleh para pengusaha.
.
Gambar 10 Kolam pelabuhan PPI Muara Angke Jakarta Utara
Sebagian besar kapal yang berlabuh adalah kapal yang berbobot 50 GT keatas,
sehingga kapal-kapal kecil (< 5 GT) pindah ke Kali Adem karena sangat riskan untuk
65
terjepit. Selain itu, kondisi kolam pelabuhan juga mengalami pendangkalan yang
disebabkan sedimentasi dan sisa-sisa badan kapal yang rusak dan tidak diangkat
(Novri, 2006).
(b) Dermaga Bongkar
Dermaga PPI Muara Angke memiliki ukuran panjang 403 meter dan terbuat
dari beton. Dermaga masih berfungsi dengan cukup baik namun perlu dilakukan
rehabilitasi secara rutin mengingat banyaknya kapal yang melakukan pembongkaran
mencapai 15 kapal per hari (Novri, 2006).
66
lampu pelayaran dan terdapat kerusakan di beberapa bagian bangunan dan terdapat
bangunan yang sudah terputus (UPT PPI Muara Angke, 2006).
(2) Fasilitas Fungsional
Fasilitas fungsional yang dimiliki oleh PPI Muara Angke adalah TPI, Stasiun
Pengisian Bahan Bakar Umum, Pasar Grosir Ikan, Pasar Pengecer Ikan, Cold
Storage, Tangki Air Bersih, Unit Pengepakan Ikan, Sarana Perbaikan Kapal dan
Docking serta Pabrik Es.
(a) Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Luas tempat pelelangan ikan di PPI Muara Angke adalah 2.212 m (Gambar
12). TPI PPI Muara Angke ini berada tepat di sebelah barat dermaga, sehingga
memudahkan dalam melakukan proses bongkar hasil tangkapan dan proses
pemindahan ikan dari dermaga bongkar menuju TPI. Dekatnya letak TPI dan
dermaga bongkar juga akan mempengaruhi kualitas ikan yang didaratkan akibat
pengaruh sinar matahari.
Gambar 12 Tempat Pelelangan Ikan (TPI) PPI Muara Angke Jakarta Utara.
67
Bangunan TPI secara fisik masih cukup baik, dengan saluran air yang masih
berfungsi. Gedung TPI memiliki fasilitas air bersih yang cukup dan baik, namun
kesadaran para pemilik ikan dan para pengguna TPI lainnya masih kurang dan jarang
memanfaatkan fasilitas yang disediakan sehingga kebersihan di sekitar TPI masih
terlihat kurang.
Tempat Pelelangan Ikan Muara Angke dianggap sudah memenuhi syarat TPI
yang baik. Hal ini didasarkan pada: bangunan TPI yang terlindung dan mempunyai
dinding yang mudah dibersihkan; dilengkapi dengan saluran pembuangan;
mempunyai penerangan yang cukup; tidak ada kendaraan yang mengeluarkan asap di
dalam TPI, dibersihkan secara teratur minimal setiap selesai pelelangan; dilengkapi
dengan tanda peringatan dilarang merokok, meludah, makan dan minum serta
diletakkan di tempat yang mudah dilihat dan mempunyai pasokan air bersih yang
cukup. Meskipun ada beberapa syarat yang belum terpenuhi, dapat dikatakan bahwa
TPI Muara Angke sudah memperhatikan masalah sanitasi sesuai dengan Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP. 01/MEN/2007 tanggal 05 Januari 2007
tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan.
Tempat pelelangan ikan mempunyai nilai strategis dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan nelayan. Di TPI tersebut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan
pelayanan lelang, sehingga diharapkan harga yang terjadi dalam proses lelang
tersebut merupakan harga optimal yang dapat diperoleh nelayan.
Tempat pelelangan ikan ini dalam satu hari melayani sekitar 15 kapal dan 45
perahu yang membongkar hasil tangkapannya. Produksi hasil tangkapan nelayan
tergantung pada faktor cuaca, musim dan jumlah kapal yang membongkar hasil
tangkapannya di TPI (UPT PPI Muara Angke, 2006).
68
69
dan daerah lain. Dalam satu malam perputaran perdagangan ikan di pasar grosir ratarata mencapai 35 ton.
Untuk meningkatkan pelayanan kepada pemakai fasilitas/pedagang ikan grosir
dan masyarakat pembeli ikan, maka telah dibangun penambahan atap grosir blok
Timur dan Barat melalui APBD tahun anggaran 2003, dan untuk memenuhi fasilitas
pasar grosir ikan pada tahun anggaran 2007-2008 akan dipindahkan ke sebelah Barat
pada lahan seluas 10.000 m. Pada lokasi pasar grosir lama nantinya akan dibangun
pasar ikan higienis.
70
71
Singapura, Malaysia dan Hongkong. Jenis ikan yang diekspor meliputi: udang, bawal,
ekor kuning, kakap merah, kerapu, tenggiri dan lain-lain. Bahan baku ekspor ikan ini
didapat dari 40% Tempat Pendaratan Ikan Muara Angke dan 60% didatangkan dari
daerah lain.
Fasilitas yang disediakan untuk pengepakan ikan ekspor ini terdiri dari gedung
pengepakan ikan sebanyak 30 unit dengan luas masing-masing 50-200 m, terdiri dari
bangunan satu lantai dan dua lantai. Kendala yang dihadapi para eksportir ikan Muara
Angke adalah kondisi gedung yang secara teknis tidak memenuhi syarat sanitasi dan
higienis yang disyaratkan Ditjen Perikanan dalam bentuk Sertifikat Kesempurnaan
Pengolahan serta kurangnya pasokan air bersih dan sering terjadi air pasang sehingga
sangat mengganggu aktivitas para pengepak/eksportir ikan.
Tangki air bersih ada 2 unit dengan total volume 20 m yang terletak di
dermaga muat di pintu gerbang PPI. Air bersih ini, banyak digunakan untuk
memenuhi kebutuhan pembersihan dermaga bongkar dan tempat pelelangan ikan.
72
(i) Pabrik Es
Guna memenuhi kebutuhan nelayan, pada tahun 2004 telah dibangun 1 unit
pabrik es dengan kapasitas 100.000 ton oleh PT. AGB ICE. Fasilitas yang tersedia
untuk memenuhi kebutuhan es sangat lengkap, yaitu sebuah pabrik dengan 4 buah
bak dan mesin pembuat es yang dapat menghasilkan 4.700 balok es per harinya.
Berdasarkan kapasitas produksi per harinya yang sangat besar, maka tidak ada sistem
penjatahan es dari pihak penyedia, berapapun jumlah kebutuhan es nelayan akan
dipenuhi. Harga es di PPI Muara Angke, dianggap sangat memuaskan bagi nelayan,
karena dinilai masih terjangkau dan wajar bagi nelayan, yaitu seharga Rp14.000,00
per balok.
73
Gambar 16 Kantor UPT, PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta Utara.
74
dengan ukuran 5x17 m. Pujaseri Masmurni ini dibangun pada tahun 1996 bertujuan
untuk menciptakan peluang pasar produk hasil perikanan khususnya jenis-jenis ikan
yang lazim dikonsumsi dalam bentuk bakar. Selain itu, diharapkan agar semakin
tumbuh kegemaran masyarakat untuk makan ikan dan menjadikan ikan sebagai
lauk/konsumsi sehari-hari. Sesuai dengan Perda DKI Jakarta No. 1 Tahun 2006 setiap
pemakaian fasilitas Pujaseri dikenakan biaya sewa sebesar 10.000/bulan per meter
persegi.
76
77
78
79
Perilaku para ABK tersebut dapat menurunkan mutu hasil tangkapan, karena
penanganan pada saat di atas kapal sangat penting dalam rangka mempertahankan
mutu ikan yang didaratkan. Apabila penanganan ikan di atas kapal tidak sesuai,
penurunan mutu ikan dapat terjadi lebih cepat. Penurunan mutu ikan yang
berlangsung di atas kapal menyebabkan mutu ikan terus menerus menurun lebih
cepat.
80
Menurut Malik (2006), bahwa nelayan di PPI Muara Angke, seringkali tidak
menyadari hal-hal yang tidak baik yang telah menjadi kebiasaan dalam membongkar
dan menangani hasil tangkapan. Selanjutnya dikatakan bahwa kebiasaan itu seperti
penggunaan sekop untuk memindahkan ikan, pencucian ikan dengan menggunakan
air kolam pelabuhan yang kotor, ikan dan potongan-potongan ikan yang berserakan
dan beberapa ikan terinjak pada saat pengangkutan ke TPI, hal tersebut menyebabkan
penurunan mutu ikan.
Setelah ikan selesai dibongkar, ikan diturunkan ke dermaga sambil menunggu
untuk diangkut ke dalam Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Ikan diletakkan dalam
kondisi terbuka, sehingga terkena sinar matahari langsung, ikan juga tidak diberi es,
sehingga
sangat
memungkinkan
terjadinya
penurunan
mutu
ikan.
Proses
pembongkaran ikan di dermaga bongkar ini berlangsung sekitar 3-4 jam, tergantung
kepada jenis kapal dan banyaknya jumlah hasil tangkapan. Kapal purse seine
membutuhkan waktu yang agak lama untuk membongkar seluruh hasil tangkapannya,
biasanya memerlukan waktu sekitar 4 jam.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, pembongkaran ikan dibedakan menurut
jenis dan kualitasnya. Ikan-ikan yang memiliki nilai ekonomis dan kualitas tinggi
seperti ikan kerapu, kakap, tenggiri, tongkol dan lain-lain. Biasanya setelah
dibongkar, ikan langsung dibawa ke perusahaan pengolahan yang dimiliki oleh
pemilik kapal. Ikan-ikan yang tidak memiliki nilai ekonomis tinggi dan kualitas yang
rendah seperti ikan semar, kembung, tembang dan lain-lain setelah dibongkar,
diangkut ke TPI untuk dilelang.
81
Persiapan yang dilakukan setelah ikan diturunkan dari kapal adalah penyusunan
keranjang di lantai dermaga. Ikan-ikan dipisahkan sesuai tujuan pengangkutannya.
Saat di lantai dermaga, ikan dibiarkan begitu saja terkena sinar matahari langsung dan
tidak menggunakan es serta tidak dicuci terlebih dahulu.
Pengangkutan ikan hasil tangkapan, baik langsung menuju ke perusahaan
maupun ke TPI menggunakan bantuan gerobak dorong atau lori. Pengangkutan
dilakukan oleh para kuli angkut. Pengangkutan ke perusahaaan tidak dilakukan oleh
kuli angkut yang berseragam. Kuli angkut di PPI Muara Angke, menggunakan dua
jenis seragam. Seragam orange untuk kuli angkut yang melakukan pembongkaran
ikan di atas dek dan mengangkut keranjang ikan ke dermaga bongkar. Seragam merah
untuk yang mengangkut hasil tangkapan dari dermaga bongkar ke TPI. Gerobak
dorong dapat memuat 6 keranjang ikan untuk sekali angkut, sedangkan lori dapat
memuat 3 keranjang ikan sekali angkut.
Kapal bubu biasanya lebih banyak mengangkut ikan hasil tangkapan langsung
ke perusahaan, karena ikan-ikan hasil tangkapannya biasanya merupakan ikan-ikan
komoditi ekspor seperti ikan kerapu dan kakap. Kapal purse seine, jaring cumi dan
gillnet mengangkut hasil tangkapannya ke TPI, untuk kemudian masuk ke pasar
grosir atau pengecer ikan serta tempat pengasinan.
Selama proses pengangkutan, baik dengan menggunakan gerobak dorong
ataupun lori, ikan-ikan tidak tertutup sehingga terkena sinar matahari langsung dan
terkontaminasi langsung dengan udara luar. Jumlah buruh atau kuli angkut yang
mengangkut hasil tangkapan untuk setiap kapal adalah 5-7 orang, secara bergantian
baik untuk mengangkut ke perusahaan maupun ke TPI.
Departemen Pertanian (1997) diacu dalam Rusmali (2004) menyebutkan bahwa
selama proses pengangkutan ikan, sebaiknya ikan diangkut melalui tempat yang
teduh dan tertutupi agar terhindar dari sinar matahari langsung. Pengaruh sinar
matahari langsung dapat menyebabkan penurunan mutu ikan lebih cepat. Berdasarkan
wawancara yang dilakukan dengan petugas dari TPI, dermaga bongkar tidak
dilengkapi dengan kanopi untuk melindungi ikan agar tidak terkena sinar matahari
langsung karena akan mengganggu saat kapal merapat di dermaga.
82
83
(5) Juru lelang mengumumkan dan memanggil peserta lelang untuk memulai proses
pelelangan;
(6) Ikan dilelang oleh juru lelang dimana jumlah peserta lelang sebanyak 70 orang
dan harga ditentukan oleh mekanisme pasar. Penawaran yang dilakukan bersifat
meningkat sampai tercapai harga penawaran yang tertinggi;
(7) Seluruh hasil transaksi dicatat oleh juru bakul. Pencatatan hasil transaksi
pelelangan meliputi: jenis, ukuran, berat dan harga ikan, nama nelayan dan nama
pemenang lelang. Setelah proses pelelangan selesai, maka data diserahkan kepada
petugas operator pelelangan;
(8) Peserta pemenang lelang umumnya melakukan pencatatan hasil transaksi dan
pemenang lelang biasanya langsung mengemasi ikannya. Setelah mencatat hasil
transaksi ikan, pemilik kapal menerima uang dari petugas kasir;
(9) Proses pembayaran oleh pemenang lelang dan penerimaan hasil penjualan oleh
pemilik kapal dilakukan sebagai berikut:
(a) Setelah operator menerima seluruh hasil transaksi pelelangan dari juru bakul,
kemudian membuat faktur lelang dengan cara melengkapi data dan
menetapkan besarnya retribusi jasa pelelangan ikan. Retribusi jasa pelelangan
ikan yang dibebankan kepada nelayan pemilik kapal ditetapkan sebesar 3%
dari nilai lelang dan yang dibebankan kepada pemenang lelang sebesar 2%.
Setelah itu, faktur lelang tersebut diserahkan kepada petugas kasir;
(b) Selanjutnya petugas faktur lelang memanggil pemenang transaksi dengan
pengeras suara agar membayar nilai transaksi penjualan ikan ditambah biaya
jasa pelelangan ikan 2%, dan memanggil nelayan pemilik kapal untuk
mengambil hasil transaksi sebesar harga penawaran setelah dipotong biaya
jasa retribusi 3%;
(c) Setelah uang hasil retribusi diserahkan oleh kasir kepada bendaharawan
penerima UPT PKPI (Unit Pelaksana Teknis Pengelola Kawasan Pendaratan
Ikan) Muara Angke.
Para peserta lelang di PPI Muara Angke adalah para pedagang, baik pedagang
pengumpul maupun eceran, yang berada di lingkungan sekitar PPI Muara Angke.
84
Para peserta lelang harus memiliki karcis lelang dengan mendaftarkan diri terlebih
dahulu, dan menyimpan uang deposit di kasir lelang.
Hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Muara Angke dipasarkan dengan sistem
lelang terbuka. Penyelenggara lelang ini adalah Koperasi Perikanan Mina Jaya
dibawah pengawasan langsung oleh kepala seksi pelelangan ikan UPT PPI Muara
Angke.
Lebih jelas, mekanisme pelelangan hasil tangkapan digambarkan pada Gambar
21 berikut:
Kapal Datang/masuk
pelabuhan
Proses Bongkar
Penimbangan
Pencatatan Produksi
Proses Pengolahan Ekspor
(Rekomendasi tidak lelang
untuk jaga mutu, retribusi 5%)
Pemenang Lelang/Bakul
85
Proses pelelangan ikan di PPI Muara Angke dari sisi teknis pelaksanaan secara
umum sudah terselenggara dengan lancar. Dari hasil pengamatan selama penelitian,
pihak TPI masih kurang memperhatikan mutu atau kualitas ikan. Kondisi di
lapangan, ketika proses pelelangan berlangsung, pihak TPI tidak membatasi jumlah
orang yang boleh masuk ke area pelelangan ikan sehingga setiap orang boleh saja
memasuki area pelelangan. Pihak TPI juga tidak memperhatikan peletakan ikan yang
akan dilelang. Ikan dalam keranjang diletakkan secara berhimpitan, sehingga tidak
ada celah antar keranjang satu dengan keranjang yang lain. Pada saat lelang, juru
lelang akan berdiri di atas keranjang ikan untuk menentukan harga. Hal ini dapat
menyebabkan kemunduran mutu ikan, karena kotoran di sepatu juru lelang dapat
mencemari ikan.
Jenis ikan yang diekspor dipasarkan langsung tanpa melalui pelelangan di TPI
tetapi melalui sistem lelang opouw. Sistem lelang ini merupakan sistem lelang
sandiwara. Pembeli ikan membeli ikan langsung kepada pemilik kapal dengan cara
tawar menawar seperti dalam pelelangan sampai mencapai harga yang disepakati
bahkan ikan yang dilelang akan dibeli kembali oleh pemilik kapal. Harga yang
berlaku untuk sistem lelang ini berbeda dengan sistem lelang murni yang sesuai
dengan yang telah ditetapkan oleh Pemda DKI Jakarta.
86
87
(3) SK. Gubernur KDKI Jakarta N0. 993 Tahun 2002 mengenai penunjukkan
koperasi perikanan sebagai penyelenggara pelelangan ikan.
Pembagian retribusi pelelangan ikan yang terjadi di PPI Muara Angke
dijelaskan pada Gambar 24:
Kas Daerah
Koperasi Penyelenggara
40%
Biaya Penyelenggaraan
Pelelangan
a. Biaya lelang (42,5%)
b.Keamanan&Ketertiban
(5%)
c.Pembinaan (7,5%)
Pemda
60%
Dana Sosial
a. Asuransi (7,5%)
b.Dana Paceklik
(7,5 %)
c. Tab Nelayan
dan Bakul (10%)
Biaya Administrasi
Kantor
a. Biaya Kantor (7,5%)
b. TAL (2,5%)
c. Pemeliharaan (10%)
Ikan yang akan dilelang, dicatat oleh petugas pencatat TPI berdasarkan jenis
ikan, pemilik/nama kapal dan berat ikan per keranjang. Setelah ditentukan pemenang
88
lelang, ikan diberi label yang berisi data mutu, berat dan pemenang/pemilik ikan per
keranjang. Lamanya proses pelelangan sekitar 3-4 jam sesuai dengan banyaknya
jumlah ikan yang dilelang.
Ikan-ikan yang akan dilelang diletakkan begitu saja di dalam keranjang tanpa
ada penambahan es. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya kualitas mutu ikan
seiring dengan bertambahnya waktu. Sehingga hal ini memerlukan perhatian yang
lebih baik untuk kedepannya oleh pihak TPI PPI Muara Angke.
Setelah selesai pelelangan, para pemilik ikan menyuruh para kuli angkut untuk
memindahkan ikan-ikan dari keranjang TPI ke keranjang masing-masing. Setelah
dipindahkan, ikan dibawa keluar TPI untuk kemudian diangkut menuju tempat
masing-masing pemilik ikan ataupun ke tempat pengasinan.
89
dibongkar. Hal ini disebabkan karena ikan yang pertama dibongkar merupakan ikan
yang paling akhir diperoleh dalam satu kali operasi penangkapan.
Penanganan ikan yang dilakukan oleh nelayan adalah dengan menggunakan es
balok, es balok yang dicampur dengan air laut dan dengan menggunakan freezer atau
pendingin. Pada Tabel 17 dapat dilihat penanganan yang dilakukan oleh nelayan
selama di atas kapal. Data diambil berdasarkan 20 kapal sampel yang diamati selama
penelitian berlangsung.
Jenis Pengawetan
1.
11 unit
2.
2 unit
3.
Menggunakan freezer/pendingin
7 unit
90
pada saat melelang ikan-ikan tersebut. Kemudian ikan langsung diangkut menuju TPI
atau perusahaan.
Selama pengangkutan ke TPI dan selama berada di dalam TPI untuk menunggu
proses pelelangan ikan, ikan tidak diberikan penanganan yang baik dalam upaya
untuk mempertahankan mutu ikan seperti penggunaan es batu dan pencucian dengan
air bersih. Lantai TPI pun kotor dengan ceceran darah, lendir, potongan ikan dan
genangan air yang dapat mempercepat penurunan mutu ikan, terlebih ikan berada di
dalam TPI untuk waktu yang cukup lama.
Menurut Departemen Pertanian (1997) diacu dalam Rusmali (2004)
menyebutkan bahwa selama dalam proses pelelangan, ikan harus ditempatkan pada
keranjang yang bersih dan harus tetap dipertahankan pada suhu dingin. Wadah yang
berisi ikan saat dipindahkan sebaiknya diangkat dan tidak diseret di lantai.
Berdasarkan pengamatan, di TPI Muara Angke masih banyak terdapat potongan
ikan, ceceran darah dan lendir serta genangan air di sekeliling keranjang ikan.
Keranjang yang digunakan saat proses pendaratan, pengangkutan, pelelangan dan
pendistribusian tidak dicuci dengan bersih. Pada permukaan dan sudut-sudut
keranjang masih tampak sisa-sisa darah dan lendir ikan yang menempel dan
mengering. Selain itu, sebagian keranjang yang sudah rusak dan belum diperbaiki
masih tetap dipergunakan. Kondisi ini dapat merusak kulit dan daging ikan yang
didaratkan dan pada akhirnya akan menurunkan mutu ikan itu sendiri.
91
pendaratan dan pelelangan ikan seperti kolam pelabuhan, dermaga bongkar dan TPI
umumnya dalam kondisi baik. Konstruksi bangunan TPI sudah memenuhi standar
dalam pembangunannya. Lantai TPI memiliki kemiringan 2 ke arah saluran
pembuangan. Hal ini bertujuan agar pada saat pembersihan TPI, air dapat langsung
mengalir masuk ke dalam saluran pembuangan. Gedung TPI juga sudah memiliki
atap dan dikelilingi pagar dan tembok untuk mencegah masuknya sinar matahari
langsung ke dalam ruangan.
Menurut Rusmali (2004), beberapa hal yang harus dipenuhi dalam persyaratan
sanitasi dan higienitas pelabuhan perikanan yaitu: lingkungan harus bersih dan tidak
terdapat debu berlebihan serta tidak memungkinkan masuknya binatang/hewan liar
atau peliharaan. Penerangan harus cukup dan saluran pembuangan harus baik,
sehingga tidak memungkinkan terjadinya genangan air. Menurut Menai (2007),
kebersihan dan sanitasi yang mengacu pada SSOP adalah: lantai, wadah peralatan
dibersihkan dan dicuci sebelum dan sesudah dipakai dengan menggunakan air yang
mengandung chlorine; peralatan kebersihan (sikat, sapu, alat semprot dan lain-lain)
tersedia setiap saat bila diperlukan, dan jumlahnya mencukupi; tempat pendaratan dan
penyimpanan ikan terpelihara kebersihannya; tempat sampah terbuat dari bahan yang
mudah dibersihkan, tahan karat, tidak bocor, jumlahnya cukup, mempunyai tutup dan
ditempatkan di tempat yang sesuai; tidak semua orang kecuali yang berkepentingan
masuk ke TPI dan sebelum masuk TPI harus mencuci tangan dan kaki di dalam bak
berisi air yang mengandung chlorine.
Berdasarkan pengamatan selama penelitian berlangsung, masih terdapat
beberapa kekurangan dalam pelaksanaan sanitasi dan kebersihan di kolam pelabuhan,
dermaga bongkar dan TPI. Sampah-sampah dan limbah yang berada di kolam
pelabuhan berasal dari aktivitas tambat labuh kapal-kapal perikanan. Dengan adanya
93
aktivitas tambat labuh ini, banyak ceceran oli dan minyak kapal yang menggenangi
dan mencemari perairan kolam pelabuhan.
Dalam proses pendaratan hasil tangkapan, keranjang (trays) yang digunakan
tidak dicuci bersih sehingga sisa-sisa darah dan lendir masih menempel dan
mengering. Di dermaga bongkar masih sering terlihat banyak potongan-potongan
ikan, sisik ikan, ceceran darah dan lendir ikan, bongkahan-bongkahan es serta
genangan air. Gerobak dorong dan lori yang digunakan juga tidak dicuci bersih.
Masih banyak sisik-sisik ikan yang menempel dan bekas ceceran darah dan lendir
ikan yang mengering.
Di lingkungan TPI terutama di dalam ruangan pelelangan ikan, sanitasi dan
kebersihannya juga masih kurang baik. Ruang pelelangan ini terlihat masih kotor
pada saat proses pelelangan akan berlangsung. Banyak ceceran darah dan lendir yang
menggenangi lantai TPI, potongan-potongan ikan yang berceceran, asap rokok yang
mengepul dalam ruangan dan orang-orang yang meludah sembarangan di dalam
ruangan. Saat proses pelelangan berlangsung, kerap kali terjadi polusi udara berupa
bau yang tidak sedap di dalam ruangan.
Berdasarkan wawancara dengan petugas TPI, ketersediaan air bersih untuk
membersihkan dermaga bongkar dan TPI dinilai cukup. Frekuensi pencucian setiap
harinya hanya dilakukan satu kali pada saat aktivitas pembongkaran dan pelelangan
hasil tangkapan selesai. Saluran pembuangan yang berada di sekitar TPI cukup lancar
dan tidak terjadi penyumbatan tetapi tetap masih ada sampah seperti bungkus dan
puntung rokok, plastik dan potongan-potongan ikan yang menggenang di dalamnya.
Kondisi sanitasi dan kebersihan yang kurang terjaga ini disebabkan oleh
kurangnya kesadaran masyarakat nelayan, para pelaku di TPI dan sekitarnya untuk
menjaga sanitasi dan kebersihan, baik ruangan, fasilitas dan juga ikan hasil tangkapan
yang didaratkan. Pencucian dermaga bongkar dan TPI seharusnya tidak hanya
menggunakan air bersih saja, melainkan menambahkan disinfektan untuk mencegah
terjadinya kontaminasi dengan bakteri dan untuk mengurangi bau tak sedap, seperti
yang terdapat di pelabuhan-pelabuhan perikanan Perancis (Lubis, 2007).
94
6.1.1
akibat aktivitas industri dan teknologi dapat dilihat dari adanya pencemaran udara,
pencemaran perairan dan pencemaran daratan. Ketiga macam pencemaran tersebut
akan mempengaruhi daya dukung alam dan pada akhirnya akan mengganggu
kelestarian lingkungan. Pencemaran tersebut dapat terjadi secara alamiah dan akibat
perbuatan manusia.
95
3. Pengangkutan ikan
4. Pelelangan ikan
96
6.1.2
limbah di suatu pelabuhan perikanan dapat berupa air limbah domestik (limbah kakus
dan uranil), limbah akibat aktivitas perikanan dan air limbah dari perkantoran (limbah
dapur dan kamar mandi). Limbah fisik akibat pencemaran yang dihasilkan aktivitas
pendaratan dan pelelangan ikan di PPI Muara Angke dapat dilihat pada Tabel 19
berikut ini.
Lokasi
Jenis limbah
Dampak
terhadap
lingkungan
Kotor dan
mengganggu alur
pelayaran
apabila
menumpuk
Dampak
terhadap
kualitas ikan
-
Kolam Pelabuhan
2. Pendaratan dan
penyortiran
ikan
Dermaga
Bongkar
Penurunan
kualitas ikan
3. Pengangkutan
ikan
Dermaga
Bongkar
Kotor, bau
4. Pelelangan
ikan
TPI
Penurunan
Kualitas Ikan
5. Pengangkutan
ikan dari TPI
ke perusahaan
dan pedagang
TPI
Penurunan
Kualitas Ikan
1. Pendaratan
kapal
97
98
6.1.3
mempengaruhi sanitasi pada Tabel 18, penyebab rinci dampak dari aktivitas
pendaratan dan pelelangan ikan terhadap sanitasi di kolam pelabuhan, dermaga
bongkar, TPI dan lingkungan sekitarnya diuraikan sebagai berikut:
(1) Kolam Pelabuhan
Limbah yang terdapat di kolam pelabuhan berupa limbah padat dan limbah cair.
Limbah padat terdiri dari potongan tubuh ikan, potongan kayu, sampah plastik, botolbotol plastik, dan sebagainya. Limbah cair yang terdapat di kolam pelabuhan berupa
ceceran oli dan minyak dari kapal, air sisa pencucian ikan, air sisa pencucian kapal
dan sebagainya.
Limbah-limbah ini berasal dari aktivitas-aktivitas para ABK, pada saat kapal
merapat di dermaga sambil menunggu pendaratan dan pembongkaran ikan, atau
setelah pembongkaran ikan selesai. Banyaknya limbah padat dan cair yang masuk ke
dalam kolam pelabuhan, bergantung kepada banyaknya kapal yang merapat di
dermaga.
Berdasarkan hasil wawancara dengan para ABK dan nahkoda, frekuensi
pencucian kapal adalah satu kali setiap proses pembongkaran hasil tangkapan selesai.
Pada saat pencucian kapal, ABK membuang limbah dan memasukannya ke dalam
99
kolam pelabuhan tanpa diolah terlebih dahulu, sehingga mencemari perairan kolam
pelabuhan.
Banyaknya jumlah limbah padat dan limbah cair yang terdapat di dermaga
bongkar dipengaruhi oleh banyaknya jumlah kapal yang mendaratkan ikan dan
jumlah ikan hasil tangkapan yang didaratkan setiap harinya. Pada saat penelitian,
rata-rata ikan yang didaratkan setiap kapal per harinya adalah sebanyak 3 ton.
Banyaknya limbah padat yang terdapat di dermaga terjadi karena penurunan ikan ke
dermaga bongkar dan pada saat akan diangkut dengan gerobak dorong atau lori, tidak
dilakukan dengan benar. Bahkan terjadi bantingan-bantingan ketika keranjang ikan
sampai di dermaga bongkar atau di atas gerobak dorong. Akibat dari bantingan
keranjang tersebut, ikan yang berada dalam keranjang berjatuhan ke dermaga bongkar
terutama untuk keranjang ikan yang penuh.
100
Penyortiran ikan dilakukan dengan cara memilih ikan berdasarkan jenis, ukuran
dan mutu ikan. Selanjutnya, ikan yang telah disortir dilemparkan satu persatu ke
masing-masing keranjang yang telah tersedia baik di atas dek maupun di dermaga.
Cara ini selain dapat menyebabkan kerusakan fisik tubuh ikan juga menyebabkan
ikan tercecer di lantai dek dan dermaga. Ceceran potongan ikan di luar keranjang
terjadi akibat penyortiran karena dilempar dan dilakukan dengan tergesa-gesa dan
cepat. Rata-rata per keranjang ikan yang disortir, terdapat satu sampai tiga ikan yang
jatuh dan tercecer di luar keranjang.
Kecerobohan dalam penyortiran ikan ini, menimbulkan limbah padat dan cair
berupa potongan tubuh ikan, genangan darah dan lendir ikan. Selain itu, para ABK
101
yang menyortir ikan tidak menggunakan sarung tangan. Hal ini dapat menyebabkan
ikan yang didaratkan mudah terkontaminasi zat asing atau mikroorganisme, yang
dapat menurunkan mutu ikan dan membahayakan bagi kesehatan orang yang
mengkonsumsinya.
Limbah non ikan seperti sampah bungkus plastik makanan, puntung rokok,
botol air mineral bekas, kertas dan air ludah juga ikut mengotori dermaga. Limbah
non ikan ini akibat banyaknya orang yang lalu lalang di dermaga baik para pekerja
maupun para pengunjung yang kurang memperhatikan masalah sanitasi dan
kebersihan lingkungan dengan membuang sampah sembarangan dan tidak pada
tempatnya.
Banyaknya
pengunjung
yang
keluar
masuk
dermaga
bongkar
(3)
bongkar yaitu potongan tubuh ikan, genangan darah dan lendir ikan serta limbah non
ikan seperti sampah plastik, puntung rokok dan air ludah. Limbah-limbah ini berasal
dari proses pengangkutan ikan dari dermaga bongkar ke TPI dan proses pelelangan
ikan.
Penanganan ikan di TPI yang tidak benar, mengakibatkan ikan mudah rusak dan
menurun kualitasnya. Keranjang ikan dipindahkan dari atas gerobak dorong atau lori
dengan sedikit bantingan. Bantingan ini menyebabkan ikan-ikan berjatuhan, terutama
dari keranjang-keranjang yang terisi penuh. Setelah itu, keranjang ikan diatur di lantai
102
TPI, dengan cara diseret menggunakan pengait oleh para pekerja dan kuli angkut.
Cara ini dapat mengakibatkan selain rusaknya keranjang juga dapat merusak lantai
TPI.
Penarikan keranjang menghasilkan limbah potongan tubuh ikan, darah dan
lendir ikan yang tercecer. Limbah ikan ini dihasilkan karena kerja buruh angkut yang
ceroboh dan terburu-buru, sehingga sebagian kecil ikan dan potongan tubuh ikan ada
yang tercecer. Darah dan lendir ikan yang dihasilkan terjadi karena selama ikan
berada di TPI tidak dilakukan pencucian.
Demikian
halnya
pada
pengangkutan,
keranjang
ikan
diseret
yang
mengakibatkan ceceran lendir dan darah ikan menyebar ke berbagai tempat di lantai
TPI. Pencucian dengan air bersih tidak dilakukan sehingga lantai yang dilumuri
genangan lendir dan darah ikan menjadi licin serta menyebabkan bau amis.
Sebelum pelelangan dimulai, para peserta lelang bebas keluar masuk TPI
dengan alasan ingin melihat-lihat terlebih dahulu ikan yang akan dibeli. Saat mereka
masuk dan melihat-lihat di dalam gedung TPI tidak jarang ada yang meludah dan
membuang puntung rokok sembarangan di lantai TPI. Peraturan tentang dilarang
merokok dan meludah sembarangan sudah ditempel di sekeliling pagar/tembok TPI.
Meskipun sudah tertempel dengan baik, masih banyak para peserta atau pengunjung
yang tidak menghiraukan. Tidak adanya pengawasan yang baik tentang hal ini
menyebabkan kejadian ini masih saja terus berulang setiap kali proses pelelangan
berlangsung.
103
104
(4)
saluran pembuangan adalah berupa potongan tubuh dan sisik ikan, sampah plastik
serta bungkus rokok. Penyebab terjadinya limbah di lingkungan sekitar TPI dan
dermaga dipengaruhi oleh aktivitas pengangkutan dan distribusi ikan.
Saluran pembuangan di sekitar TPI digunakan untuk menampung air sisa
pencucian lantai TPI dan air sisa pencucian keranjang (trays), gerobak dorong dan
lori. Tetapi banyak juga ditemukan sampah-sampah plastik, potongan ikan dan
bungkus serta puntung rokok didalamnya. Meskipun demikian, saluran pembuangan
ini tidak tersumbat sehingga tidak menimbulkan bau yang tidak sedap.
105
Pencemaran perairan berasal dari buangan limbah padat dan cair yang
mengotori kolam pelabuhan. Pencemaran perairan dapat menyebabkan terganggunya
aktivitas pelabuhan dan produktivitas pelabuhan menjadi kurang optimal, misal
dengan adanya pencemaran perairan dapat mengganggu kapal saat ingin masuk
kolam pelabuhan karena banyaknya sampah yang tergenang. Pencemaran air akibat
buangan bahan pencemar yang terakumulasi akan berdampak air menjadi sumber
terjadinya penyakit dan tidak dapat dimanfaatkan lagi.
Menurut Wardhana (1995) diacu dalam Rusmali (2004) mengatakan dampak
pencemaran udara terjadi akibat aktivitas yang mengakibatkan timbulnya bau,
penurunan kualitas udara dan kebisingan. Pencemaran udara berasal dari bau yang
tidak sedap yang timbul akibat kurangnya perhatian para pelaku aktivitas tersebut
terhadap sanitasi dan kebersihan.
Dampak kondisi sanitasi dan kebersihan yang tidak ditangani dengan baik di
PPI Muara Angke adalah: menimbulkan bau yang tidak sedap, mengganggu
kenyamanan dalam beraktivitas dan mengurangi nilai estetika/keindahan. Potongan
limbah ikan yang tercecer menyebabkan datangnya binatang dan serangga seperti
anjing, kucing, lalat dan tikus ke lokasi pendaratan dan pelelangan ikan baik di
dermaga maupun di TPI. Kehadiran binatang-binatang tersebut dapat mengganggu
kenyamanan beraktivitas dan dapat mencemari ikan yang didaratkan apabila terjadi
kontak langsung. Pencemaran ini dapat berupa masuknya bakteri merugikan melalui
binatang dan serangga tersebut sehingga dapat mempercepat proses pembusukan
ikan.
Dampak buruknya sanitasi di pelabuhan perikanan, secara tidak langsung juga
mempengaruhi harga ikan yang didaratkan. Buruknya sanitasi, mempengaruhi
kualitas ikan. Kualitas ikan yang buruk akan menyebabkan harganya menurun. Oleh
karena itu, sanitasi di suatu pelabuhan perikanan sangatlah penting untuk dijaga dan
dipelihara.
106
Permasalahan
a. Nelayan dengan pengetahuan
yang minim akan kebersihan;
b. Nelayan yang membuang sampah
sembarangan ke dalam kolam
pelabuhan;
c. Periode tambat kapal setelah
selesai bongkar agak lama.
2. Dermaga
bongkar
3. TPI
Indikator
a. Sampah yang
tergenang di
kolam
pelabuhan
cukup banyak;
b. Ceceran minyak
dan oli yang
tergenang di
kolam
pelabuhan.
a. Banyak terdapat
potongan tubuh
ikan yang
tercecer;
b. Banyak terdapat
genangan darah
dan lendir ikan;
c. Banyak terdapat
sisik-sisik ikan
yang tertinggal;
d. Banyak ikan
yang rusak
terlindas
gerobak dorong
atau lori di
lantai dermaga.
a. Banyak ikan
yang tercecer di
lantai;
b. Banyak
genangan darah
dan lendir ikan;
c. Bau tidak sedap.
Dampak
a. Kolam pelabuhan
menjadi kotor;
b. Pencemaran
perairan kolam
pelabuhan yang
mengancam
kehidupan
organisme
perairan tersebut.
a. Lantai dermaga
menjadi licin dan
becek;
b. Lantai dermaga
menjadi lebih
kotor dan berbau
amis;
c. Mengganggu
kenyamanan dan
kebersihan
lingkungan.
a. Kebersihan TPI
masih kurang
terjaga;
b. Pencemaran udara
akibat bau tak
sedap.
c. Penurunan
kualitas ikan
107
109
terangnya mulai suram; sayatan daging sangat cemerlang, berwarna asli, tidak ada
pemerahan sepanjang tulang belakang, perut agak lembek, ginjal mulai merah pudar,
dinding perut dagingnya utuh, bau netral; tidak berbau netral dan tubuh agak lunak,
elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang.
7.1 Kualitas Ikan Saat Setelah Pembongkaran di Atas Kapal dan Dermaga
Bongkar
Pengambilan sampel untuk melihat prosentase kualitas ikan yang tidak layak
konsumsi, dilakukan pada saat ikan selesai dibongkar dari atas kapal, hingga
didaratkan di dermaga bongkar. Pada saat penelitian berlangsung, terdapat 2 kapal
gillnet yang memiliki jumlah ikan tidak layak konsumsi sebanyak 20 ikan (100%)
sejak ikan didaratkan, atau dapat dikatakan bahwa ikan-ikan sudah rusak sejak ikan
masih berada di atas kapal, sehingga tidak dapat dilihat pengaruh sanitasi terhadap
kualitas ikan di 2 kapal tersebut. Dalam bab ini hanya akan dibahas 18 kapal saja.
Kualitas ikan setelah pembongkaran pada keranjang 1 dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21 Kualitas ikan saat setelah pembongkaran pada keranjang 1
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Jenis Kapal
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Gillnet
Jumlah
110
Keranjang 1 adalah keranjang yang berisi ikan-ikan yang berada di bagian atas
palkah. Ikan-ikan tersebut merupakan hasil tangkapan yang paling akhir pada suatu
operasi penangkapan. Keranjang 1 merupakan keranjang yang diturunkan pada awal
proses pembongkaran.
Berdasarkan Tabel 21 di atas, dapat dilihat bahwa dari 11 sampel kapal purse
seine, terdapat satu kapal yang memiliki jumlah ikan tidak layak konsumsi sebanyak
dua ekor ikan (20%). Terdapat dua buah kapal bubu yang memiliki jumlah ikan tidak
layak konsumsi yaitu sembilan ekor ikan (45%) untuk masing-masing kapal tersebut.
Hal ini dipengaruhi oleh waktu penangkapan yang berbeda dan penanganan yang
dilakukan untuk setiap jenis kapal.
Kapal purse seine melakukan operasi penangkapan relatif singkat dibandingkan
dengan kedua jenis kapal yang lain. Biasanya, kapal ini hanya melaut selama 5
hingga 14 hari, sedangkan kapal bubu melaut selama 14 hingga 20 hari. Waktu
penangkapan juga berpengaruh terhadap proses penanganan ikan yang dilakukan
selama berada di atas kapal.
Penanganan ikan yang dilakukan pada kapal purse seine adalah dengan
menggunakan es dan terkadang mencampurnya dengan air laut. Kapal bubu
menggunakan freezer/pendingin untuk mengawetkan ikan. Kapal gillnet hanya
menggunakan es untuk mengawetkan ikan. Jumlah es yang dibawa pada saat operasi
penangkapan akan mempengaruhi tingkat kesegaran ikan. Semakin lama operasi
penangkapan, es yang digunakan pun harus semakin banyak.
Penggunaan es di dalam palkah selama operasi penangkapan berlangsung akan
mempengaruhi tingkat kesegaran ikan. Penggunaan es harus sebanding dengan
jumlah hasil tangkapan. Tetapi, masih banyak nelayan yang tidak memperhatikan
masalah tersebut. Nelayan masih menggunakan perbandingan 2:1 untuk jumlah es
dan hasil tangkapan. Artinya, untuk pengawetan 2 kg ikan, hanya diberikan 1 kg es.
Hal inilah yang dapat menyebabkan tingkat kesegaran ikan berkurang.
Keranjang 2 dari masing-masing kapal merupakan keranjang yang berisi ikanikan yang berada di bagian bawah palkah. Ikan-ikan tersebut merupakan ikan yang
111
terlebih dahulu tertangkap pada saat operasi penangkapan berlangsung. Kualitas ikan
setelah pembongkaran pada keranjang 2 dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 Kualitas ikan saat setelah pembongkaran pada keranjang 2
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Jenis Kapal
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Gillnet
Jumlah
Berdasarkan Tabel 22, dapat dilihat bahwa jumlah ikan tidak layak konsumsi
yang terbanyak terdapat di kapal bubu, yaitu 8 ekor ikan (40%). Waktu operasi
penangkapan dan penanganan ikan yang dilakukan, mempengaruhi tingkat kesegaran
ikan tersebut. Pemberian es yang dilakukan juga tidak sesuai dengan jumlah hasil
tangkapan. Meskipun kapal bubu dalam pengoperasiannya menggunakan freezer
sebagai pendingin, tetapi masih terdapat ikan yang tidak layak konsumsi. Hal ini
disebabkan oleh rusaknya tubuh ikan karena lengket dengan dinding freezer. Selain
itu, cara penyortyiran yang kasar juga dapat mempengaruhi kualitas ikan.
Berdasarkan Tabel 21 dan 22, baik untuk keranjang 1 maupun keranjang 2
memiliki kisaran prosentase jumlah ikan tidak layak konsumsi antara 10-45%.
Dimana pada keranjang 1 hanya terdapat 3 kapal yang memiliki jumlah ikan tidak
layak konsumsi, sedangkan pada keranjang 2 hanya 5 kapal.
112
7.2 Kualitas Ikan Saat Sebelum Pelelangan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Pengambilan sampel untuk melihat prosentase kualitas ikan yang tidak layak
konsumsi, dilakukan pada saat ikan telah diangkut ke TPI, menunggu proses
pelelangan dimulai. Kualitas ikan sebelum pelelangan dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23 Kualitas ikan saat sebelum pelelangan pada keranjang 1
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Jenis Kapal
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Gillnet
Jumlah
Berdasarkan Tabel 23, tidak terjadi penurunan mutu ikan sejak saat setelah
pembongkaran, terlihat dari jumlah ikan tidak layak konsumsi pada keranjang 1 yang
tidak mengalami penambahan jumlah ikan tidak layak konsumsi pada saat sebelum
pelelangan. Hal ini dipengaruhi oleh waktu yang dibutuhkan setelah pembongkaran,
hingga ikan diangkut ke dalam TPI. Waktu yang dibutuhkan relatif singkat, sekitar 10
hingga 15 menit. Setelah pembongkaran, ikan dikumpulkan terlebih dahulu di
dermaga bongkar selama 10 hingga 15 menit, setelah itu ikan diangkut ke TPI.
Keranjang 2 dari masing-masing kapal, merupakan keranjang yang berisi ikanikan yang berada di bagian bawah palkah. Ikan-ikan tersebut merupakan ikan yang
terlebih dahulu tertangkap pada saat operasi penangkapan berlangsung. Kualitas ikan
sebelum pelelangan pada keranjang 2 dapat dilihat pada Tabel 24.
113
Jenis Kapal
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Gillnet
Jumlah
Berdasarkan Tabel 24, diketahui bahwa ikan di keranjang 2 pada saat sebelum
pelelangan pun tidak mengalami perubahan kualitas. Tingkat kesegaran ikan masih
sama dengan pada saat setelah pembongkaran selesai. Hal ini dipengaruhi oleh selang
waktu yang relatif singkat, yaitu antara 10 hingga 15 menit, sejak proses
pembongkaran hingga ikan diangkut ke TPI.
7.3 Kualitas Ikan Saat Sebelum Pengangkutan dari Tempat Pelelangan Ikan
(TPI)
Pengambilan sampel untuk melihat prosentase kualitas ikan yang tidak layak
konsumsi, dilakukan pada saat ikan telah selesai dilelang, menunggu diangkut keluar
TPI, menuju perusahaan atau pedagang. Kualitas ikan sebelum pengangkutan dari
TPI dapat dilihat pada Tabel 25.
114
Tabel 25 Kualitas ikan saat sebelum pengangkutan dari TPI pada keranjang 1
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Jenis Kapal
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Gillnet
Jumlah
Berdasarkan Tabel 25, terlihat bahwa terjadi penambahan jumlah ikan tidak
layak konsumsi, baik pada kapal purse seine, bubu maupun gillnet. Penambahan
jumlah ikan tidak layak konsumsi terbanyak terjadi pada kapal purse seine. Hal ini
dipengaruhi oleh waktu pelelangan yang cukup lama, selama 4 jam. Seperti telah
dikatakan sebelumnya, pelelangan terjadi dalam waktu yang lama, diakibatkan oleh
banyaknya jumlah ikan yang dilelang. Selama proses pelelangan terjadi, terdapat
banyak hal yang dapat menyebabkan turunnya kualitas ikan. Semakin lama waktu
pelelangan, maka akan semakin lama ikan dibiarkan berada dalam keadaan terbuka.
Hal ini dapat menyebabkan ikan terkontaminasi dengan udara luar. Selain itu,
semakin lama proses pelelangan, maka akan semakin lama ikan berada di antara
genangan lendir dan darah ikan yang tercecer di lantai TPI.
Keranjang 2 dari masing-masing kapal merupakan keranjang yang berisi ikanikan yang berada di bagian bawah palkah. Ikan-ikan tersebut merupakan ikan yang
terlebih dahulu tertangkap pada saat operasi penangkapan berlangsung. Kualitas ikan
sebelum pengangkutan dari TPI pada keranjang 2 dapat dilihat pada Tabel 26.
115
Tabel 26 Kualitas ikan saat sebelum pengangkutan dari TPI pada keranjang 2
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Jenis Kapal
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Gillnet
Jumlah
116
7.4 Diagram Sebab Akibat Kualitas Ikan Buruk Setelah Pembongkaran sampai
Sebelum Pengangkutan ke Perusahaan atau Pedagang
Hasil tangkapan yang didaratkan, setelah dibongkar sebelum didistribusikan,
terlebih dahulu mengalami proses pelelangan. Setelah pelelangan selesai, ikan-ikan
yang telah dilelang akan didistribusikan baik ke perusahaan, pengasinan maupun
langsung ke pedagang-pedagang pengecer atau grosir untuk dijual kembali ke
konsumen. Oleh karena itu, usaha untuk mempertahankan kualitas ikan sangat
penting. Kualitas ikan yang baik sangat berpengaruh terhadap harga ikan yang akan
dijual.
Pada saat pengamatan, ikan-ikan di TPI yang akan diangkut menuju perusahaan
atau pedagang mengalami penurunan kualitas, karena disebabkan oleh berbagai
faktor. Oleh karena itu, diperlukan analisis dengan menggunakan diagram sebab
akibat untuk mengetahui faktor-faktor penyebab dari permasalahan kualitas ikan tidak
layak konsumsi, sejak setelah pembongkaran hingga sebelum pengangkutan dari TPI
ke perusahaan atau pedagang.
Faktor penyebab utama ikan tidak layak konsumsi, sejak setelah pembongkaran
hingga sebelum pengangkutan dari TPI ke perusahaan atau pedagang, adalah pelaku,
sanitasi PPI, fasilitas PPI, proses pelelangan dan penanganan ikan. Faktor penyebab
utama kualitas ikan tidak layak konsumsi, pada saat setelah pembongkaran sampai
sebelum pengangkutan dari TPI ke perusahaan atau pedagang, mulai dianalisis sejak
ikan didaratkan di dermaga bongkar, masuk ke dalam TPI untuk pelelangan, hingga
ikan siap untuk diangkut dari gedung TPI menuju perusahaan atau pedagang. Setiap
faktor penyebab utama dibuat akar permasalahan lebih rinci disebut sebagai faktor
penyebab akar dari karakteristik kualitas (Murdaniel, 2007).
(1) Pelaku
Salah satu faktor penyebab utama kualitas ikan buruk saat sebelum
pendistribusian adalah pelaku. Akar permasalahan dari faktor utama dibagi menjadi
tiga. Pertama, kuli angkut yang bertugas untuk mengangkut hasil tangkapan sejak
ikan dibongkar sampai ikan siap untuk diangkut dari TPI ke perusahaan atau
pedagang, memiliki pengetahuan tentang penanganan ikan yang masih rendah dan
117
perlakuan terhadap ikan yang kurang baik. Sebagai contoh, ketika akan memindahkan
ikan dari keranjang TPI ke dalam keranjang pemenang lelang, yaitu meratakan ikan
dengan cara menginjak-injak ikan sampai rata, sehingga ikan dapat mengalami
kerusakan fisik.
Kedua, pemilik kapal yang selalu berdiri di atas keranjang ikan pada saat
pelelangan berlangsung menyebabkan air dan kotoran yang menempel di dasar sepatu
dapat mengotori badan ikan. Air dan kotoran tersebut dapat mempercepat terjadinya
proses pembusukan ikan. Ketiga, peserta lelang yang tidak menjaga kebersihan pada
saat mengikuti proses pelelangan. Peserta lelang yang merokok dan meludah
sembarangan, dapat mencemari tempat pelelangan ikan, sehingga mengembangkan
bakteri dan dapat mempercepat proses pembusukan. Hal ini dapat terjadi karena
terjadi kontaminasi antara ikan dengan lingkungan yang kotor.
Sesuai dengan standar yang ada, seharusnya orang yang tidak berkepentingan
dilarang masuk ke dalam TPI. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sebelum
masuk ke dalam TPI, hendaknya orang-orang tersebut mencuci tangan dan kaki di
dalam bak air yang berisi chlor. Alangkah lebih baik apabila para pelaku juga
mengganti sepatu yang digunakan dengan sepatu boot khusus, seperti halnya di
pelabuhan perikanan Perancis (Lubis, 2006). Hal ini dilakukan untuk mencegah
terjadinya kontaminasi ikan oleh bakteri dan kuman penyakit yang terbawa dari luar.
Penerapan hukum dan aturan yang jelas dapat menjadi salah satu upaya
pengelolaan untuk masalah pelaku ini. Penegakan hukum dan aturan yang baik dapat
mengurangi resiko ikan tidak layak konsumsi yang diakibatkan oleh pelaku.
(2) Fasilitas PPI
Akar permasalahan dari segi fasilitas PPI adalah: dermaga bongkar yang tidak
dilengkapi dengan kanopi, sehingga ikan dapat terkena sinar matahari langsung.
Sebelum diangkut ke TPI, ikan-ikan dibiarkan di dermaga bongkar. Hal ini dapat
menyebabkan penurunan mutu ikan. Tempat yang terbatas di Tempat Pelelangan Ikan
(TPI) juga menjadi salah satu akar permasalahan dari segi fasilitas PPI. Pada saat
musim puncak, banyak ikan yang tidak tertampung di dalam gedung TPI, sehingga
118
terpaksa dilelang di luar gedung TPI. Hal ini mengakibatkan bakteri yang ada akan
berkembang dengan cepat, karena pengaruh kontaminasi dengan udara luar dan sinar
matahari langsung yang dapat mempercepat proses pembusukan.
Akar permasalahan yang lain adalah penggunaan keranjang yang tidak dicuci
dengan benar. Hal ini dapat terlihat dari sisa bekas darah dan lendir yang masih
menempel dan mengering di dalam keranjang tersebut. Tangki air bersih yang berada
di sekitar area TPI, masih belum dapat memenuhi kebutuhan air bersih untuk
pencucian ikan. Pada saat pengamatan, terlihat masih banyak nelayan yang
menggunakan air kolam pelabuhan untuk mencuci ikan. Pasokan air bersih yang
cukup akan mengurangi salah satu resiko ikan tidak layak konsumsi akibat masalah
fasilitas PPI.
(3) Proses Pelelangan Ikan
Proses pelelangan ikan dimulai sejak pukul 08.00. Proses pelelangan ikan ini
dapat berakhir pada pukul 10.00, apabila sedang tidak banyak ikan dan pada pukul
12.00, ketika sedang musim puncak. Proses pelelangan ikan membutuhkan waktu
yang lama, terutama pada saat musim puncak, dimana jumlah ikan yang dilelang
sangat banyak bahkan terkadang sampai keluar gedung TPI. Waktu pelelangan yang
terlalu lama menyebabkan ikan mengalami penurunan kualitas, karena dibiarkan
terbuka dan tidak mendapatkan penanganan yang layak seperti tidak diberi es. Jumlah
peserta lelang yang terlalu banyak, juga dapat mempengaruhi kualitas ikan. Semakin
banyak jumlah orang yang ikut dalam pelelangan, maka akan semakin banyak kuman
yang ikut masuk dan mencemari ikan.
Jumlah orang yang terlalu banyak di dalam gedung TPI diakibatkan setiap
peserta lelang membawa sekitar 2-3 orang lain untuk menjaga ikan setelah ikan
dimenangkan. Selain itu, para kuli angkut juga banyak berkerumun di dalam gedung
TPI. Sebaiknya dilakukan penertiban orang-orang yang masuk ke dalam gedung TPI.
Pembuatan peraturan seperti SSOP yang dilakukan di pabrik pengolahan ikan penting
dilakukan dalam rangka menjaga kualitas ikan.
119
binatang-binatang
liar
tersebut
dapat
mengganggu
kenyamanan
beraktivitas, serta dapat mencemari ikan yang didaratkan apabila terjadi kontak secara
langsung. Hal ini dapat menyebabkan resiko masuknya bakteri ke dalam tubuh ikan,
sehingga dapat mempercepat proses pembusukan ikan. Penyapuan dan penyemprotan
lantai dermaga bongkar dan TPI harus dilakukan setiap kali proses pembongkaran
dan pelelangan ikan selesai. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi resiko
penurunan kualitas ikan akibat sanitasi PPI.
(5) Penanganan Ikan
Penanganan ikan terkadang sering dilakukan dengan kurang cermat. Pencucian
ikan dilakukan dengan menggunakan air kolam pelabuhan. Air kolam pelabuhan yang
kotor dan mengandung limbah, baik limbah padat maupun limbah cair, dapat
mencemari ikan.
Ikan-ikan yang akan dilelang tidak diberikan es sebagai pengawet, hanya
beberapa ikan saja yang diberikan es. Ikan-ikan yang diberikan es adalah ikan-ikan
yang memiliki kualitas ekspor, misalnya ikan kakap, ikan kerapu dan ikan tenggiri.
Hal ini mengakibatkan saat setelah selesai pelelangan dan akan didistribusikan, ikan
telah mengalami pemunduran kualitas yang cukup jauh, jika dibandingkan dengan
kualitas ikan pada saat setelah pembongkaran. Hal ini diindikasikan dengan jumlah
ikan tidak layak konsumsi yang mengalami peningkatan. Pemberian es merupakan
120
cara yang efektif dalam rangka mempertahankan kualitas ikan. Pemutusan rantai
dingin dalam penanganan ikan ini menyebabkan tingkat kesegaran ikan bervariasi.
Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989), kelayakan ikan sebagai sumber
makanan sangat dipengaruhi oleh mutu ikan itu sendiri. Ikan busuk mengandung
senyawa yang sangat berbahaya bagi tubuh manusia dan sebaiknya tidak dimakan,
diawetkan ataupun diolah lebih lanjut menjadi produk lain. Selanjutnya disebutkan
bahwa, pengawetan atau pengolahan ikan busuk akan menghasilkan produk yang
berkualitas rendah bahkan tidak bermanfaat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, secara umum ikan yang
didaratkan di PPI Muara Angke, terutama dari tiga jenis kapal yaitu purse seine, bubu
dan gillnet, masih dalam kondisi yang kurang baik. Dilihat dari nilai organoleptik
ikan yang masih banyak dibawah angka 6. Ikan-ikan tersebut sudah tidak layak
dikonsumsi dalam keadaan segar. Akan tetapi, berdasarkan hasil wawancara, di PPI
Muara Angke, ikan-ikan yang memiliki nilai organoleptik dibawah angka 6 tersebut,
masih dapat dikonsumsi tetapi harus diolah terlebih dahulu.
Pengolahan ikan yang dimaksud adalah pengeringan, pengasinan, pengasapan
dan pemindangan. Dalam kenyataannya, ikan-ikan yang memiliki nilai organoleptik
dibawah 6 sudah tidak layak konsumsi, baik dalam keadaan segar maupun mengalami
pengolahan terlebih dahulu. Hal ini akan menimbulkan rasa hambar dan gatal pada
saat dikonsumsi. Alangkah lebih baik, apabila ikan-ikan yang mengalami proses
pengolahan, juga merupakan ikan-ikan yang masih layak konsumsi, atau ikan-ikan
yang memiliki nilai organoleptik diatas 6.
Dapat disimpulkan bahwa, di PPI Muara Angke masih terdapat penyimpangan
ikan-ikan yang menjadi bahan baku usaha pengolahan, terutama usaha pengasinan
ikan. Apabila hal ini dibiarkan terus menerus, maka produk-produk olahan ini dapat
berbahaya bagi kesehatan manusia.
Fasilitas PPI
TPI
Penanganan Ikan
Pencucian Ikan di Kapal
dan Dermaga
Keranjang
Tempat Terbatas
Proses Pelelangan
Penggunaan Air
Kolam Pelabuhan
Tidak Dicuci
Bersih
Dermaga Bongkar
Tidak Menggunakan
Kanopi
Kurang Pengetahuan
Peserta Lelang
Tidak Menjaga
Kebersihan
Perilaku Pelaku
Terlalu Banyak
Kuli Angkut
Terlalu Lama
Jumlah Ikan yang
Dilelang
Terlalu Banyak
Pengawetan Ikan
Tidak Diberikan
Es
Limbah Padat
Limbah Padat
Pelelangan Ikan
Waktu Pelelangan
Pembongkaran Ikan
Limbah Cair
Limbah Cair
Sanitasi PPI
Gambar 30 Diagram sebab akibat kualitas ikan tidak layak konsumsi setelah pembongkaran hingga pengangkutan dari TPI
ke perusahaan atau pedagang.
121
123
8.2 Upaya Pengelolaan Sanitasi yang Dilakukan Pihak UPT PPI Muara Angke
Penanganan dan pemeliharaan sanitasi dan kebersihan berada di bawah
pengawasan langsung UPT PPI Muara Angke dan berkoordinasi dengan Seksi
Pelelangan Ikan. Kepala pelabuhan menugaskan kepada Kepala Seksi Pelelangan
Ikan untuk mengawasi kebersihan kawasan pendaratan dan pelelangan ikan.
124
Metode penanganan limbah di PPI Muara Angke dibedakan menjadi dua, sesuai
dengan jenis limbah yang ada, yaitu penanganan untuk limbah padat dan penanganan
untuk limbah cair. Jenis limbah padat seperti bungkusan plastik, kertas dan potonganpotongan kayu. Limbah padat yang ada di lingkungan pelabuhan dikumpulkan oleh
tenaga kebersihan di lapangan lalu ditampung di Tempat Penampungan Sementara
(TPS) PPI Muara Angke.
Limbah padat yang berada di dalam kolam pelabuhan dibersihkan secara rutin
setiap hari. Terdapat 3 buah kapal kebersihan yang disediakan oleh Dinas Kebersihan
Pemda DKI Jakarta (Gambar 31 dan Gambar 32), yaitu 2 buah kapal yang khusus
membersihkan kawasan kolam pelabuhan dan satu kapal yang bertugas untuk
membersihkan seluruh kawasan Pantai Utara Jakarta mulai dari daerah Kamal Muara
hingga Cilincing termasuk Muara Angke.
125
yang bertugas untuk membersihkan seluruh kawasan Pantai Utara Jakarta yang
berukuran lebih besar.
126
Tabel 27 Upaya pengelolaan sanitasi di PPI Muara Angke, berdasarkan dampak yang
ditimbulkan menurut aktivitas dan pelaku
No
1.
2.
3.
4.
Aktivitas PPI
Dampak yang Ditimbulkan
Upaya Pengelolaan
Tambat kapal Kolam pelabuhan menjadi kotor karena nelayan Pengoperasian kapalkapal pembersih dan
dan ABK membuang sampah ke dalam kolam;
pengangkut sampah
Banyak ceceran minyak dan oli yang berasal dari
di sekitar pelabuhan;
kapal menggenangi perairan pelabuhan.
Penerapan teknologi
oil catcher sehingga
minyak dan oli tidak
langsung mengotori
kolam pelabuhan.
Pendaratan,
Banyak ikan-ikan hasil tangkapan sampingan yang Pembersihan dan
penyortiran
penyemprotan lantai
langsung dibuang ke dalam kolam pelabuhan;
serta
dermaga setiap
Lantai dermaga bongkar yang becek dan licin
pembongkaran karena ceceran bekas es dan air yang ikut terbawa
pembongkaran
hasil
selesai;
di dalam keranjang;
tangkapan dari Sisa es yang digunakan langsung dibuang ke Pengambilan sisa es
kapal ke
oleh kuli angkut
dermaga dan berserakan;
dermaga
Banyak potongan ikan, ceceran lendir dan darah Penyapuan dan
bongkar
penyemprotan
ikan yang berceceran dan menggenangi dermaga;
dermaga bongkar
Penurunan kualitas ikan.
selesai bongkar.
Pelelangan
Penyemprotan dan
Bau yang kurang sedap di sekitar TPI;
ikan di
pencucian lantai TPI
Lantai yang becek karena genangan darah dan
Tempat
setiap selesai proses
lendir ikan;
Pelelangan
lelang meskipun
Lantai yang kotor karena potongan ikan yang
Ikan
tanpa disinfektan;
berceceran saat pengangkutan ikan dan
Kemiringan lantai
pemindahan ikan ke keranjang pemenang lelang;
sudah dibuat 2.
Peningkatan prosentase ikan tidak layak konsumsi.
Pelaku (ABK, Banyak sampah plastik yang terdapat di
Pemberian
Kuli angkut,
penyuluhan tentang
lingkungan dermaga dan TPI;
pemilik kapal Banyak ikan yang jatuh tercecer di lantai dermaga
pentingnya menjaga
dan peserta
sanitasi dan
dan TPI;
lelang)
kebersihan;
Banyak sampah plastik dan potongan ikan yang
Peningkatan
tergenang di kolam pelabuhan;
frekuensi
Banyak terdapat puntung rokok berserakan;
pengawasan;
Banyak ludah yang berceceran di lantai dermaga
Petugas pengawas
bongkar dan TPI.
sanitasi dan
kebersihan, siaga
setiap saat.
127
Penanganan pencemaran udara, seperti untuk mengurangi bau busuk atau bau
yang tidak sedap, dapat dilakukan dengan mengadakan program penanaman pohonpohon berdaun lebat di sekitar lingkungan dermaga bongkar dan TPI (Anonymous,
1993). Lingkungan sekitar dermaga bongkar dan TPI tidak memiliki lahan untuk
penanaman pohon. Oleh karena itu, PPI Muara Angke berusaha melakukan upaya
penanaman pohon dengan meletakkan pepohonan di dalam pot yang terbuat dari
drum bekas, di sekitar areal parkir TPI PPI Muara Angke.
Dilihat dari Tabel 27 di atas, upaya pengelolaan yang telah dilakukan oleh pihak
TPI PPI Muara Angke sudah baik. Pembersihan kolam pelabuhan, dermaga bongkar
dan TPI sudah dilakukan secara rutin. Berdasarkan pengamatan dan wawancara
dengan pihak TPI, meskipun sanitasi dan kebersihan masih kurang terjaga, pihak
UPT dan TPI PPI Muara Angke telah berusaha melakukan berbagai macam upaya
pengelolaan sanitasi dan kebersihan.
Pembersihan kolam pelabuhan dilakukan dengan menggunakan kapal
pembersih dan kapal pengangkut sampah. Para petugas menggunakan serok untuk
mengambil sampah-sampah yang ada di dalam kolam pelabuhan. Setelah sampah
dikumpulkan di kapal sampah, sampah kemudian dipindahkan ke dalam truk sampah
untuk kemudian diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang,
Kabupaten Bekasi.
Limbah padat di kolam pelabuhan dapat ditangani dengan baik, misalnya
penyaringan limbah padat dengan menggunakan kapal pembersihan secara rutin
setiap pagi. Limbah cair yang sudah masuk ke dalam kolam pelabuhan sulit untuk
ditangani. Meskipun dapat ditangani tetapi harus melalui proses yang sangat rumit
dan membutuhkan biaya yang banyak. Dalam rangka mencegah terjadinya ceceran oli
dan minyak yang berasal dari kapal masuk ke dalam kolam pelabuhan, lebih baik
apabila setiap kapal perikanan dilengkapi oleh oil catcher. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi jumlah minyak dan oli yang berasal dari kapal-kapal tersebut. Dengan
adanya teknologi ini, diharapkan minyak dan oli yang berasal dari kapal dapat
tersaring lebih dulu sebelum masuk ke dalam kolam pelabuhan.
128
9.1 Kesimpulan
1) Aktivitas yang memberi dampak terhadap sanitasi di tempat pendaratan dan
pelelangan ikan adalah proses pembongkaran, pengangkutan dan pelelangan ikan.
Ketiga aktivitas tersebut, menghasilkan jenis limbah fisik yang sama sehingga
menimbulkan kurangnya sanitasi di tempat pendaratan dan pelelangan ikan.
Limbah fisik tersebut antara lain potongan tubuh, genangan darah dan lendir ikan,
sisa bongkahan es untuk mengawetkan ikan, serta air sisa pencucian ikan.
2) Dampak dari sanitasi aktivitas pembongkaran, pengangkutan dan pelelangan ikan
yang kurang terjaga, menyebabkan penurunan kualitas ikan. Hasil analisis
prosentase ikan tidak layak konsumsi, berdasarkan data dua puluh kapal yang
melakukan pembongkaran di PPI Muara Angke, menunjukkan bahwa kualitas
ikan yang didaratkan tidak layak konsumsi. Pada saat pembongkaran, baik untuk
keranjang 1 maupun keranjang 2, kisaran prosentase ikan tidak layak konsumsi
adalah sekitar 10-45%. Pada saat pelelangan, prosentase jumlah ikan tidak layak
konsumsi tidak mengalami peningkatan, untuk dua keranjang. Rata-rata ikan
tidak layak konsumsi pada saat setelah pembongkaran adalah 1 ekor ikan untuk
masing-masing keranjang. Pada saat sebelum pengangkutan dari TPI, terjadi
penurunan kualitas. Kisaran prosentase jumlah ikan tidak layak konsumsi adalah
15-100%. Rata-rata ikan tidak layak konsumsi pada saat sebelum pengangkutan
dari TPI adalah 7 ekor ikan untuk keranjang 1, sedangkan 9 ekor ikan untuk
keranjang 2. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi sanitasi dan penanganan ikan di
pelabuhan perikanan, mempengaruhi penurunan kualitas ikan.
3) Upaya pengelolaan yang telah dilakukan dalam menangani limbah padat adalah
dengan melakukan penyapuan dan pengumpulan limbah padat, minimal setiap
kali setelah proses pembongkaran dan pelelangan ikan selesai dilakukan. PPI
Muara Angke masih belum dilengkapi dengan sistem IPAL (Instalasi Pengolahan
Air Limbah), sehingga limbah cair tidak mengalami pengolahan terlebih dahulu,
melainkan dialirkan langsung ke dalam saluran pembuangan, kemudian masuk ke
130
dan
pelelangan
ikan,
tidak
terbatas
hanya
setelah
proses
DAFTAR PUSTAKA
132
133
Nurani, TW. 2007. Manajemen Mutu. Laboratorium Sistem dan Optimasi Perikanan
Tangkap. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Rusmali, K. 2004. Analisis Aktivitas Pendaratan dan Pemasaran Hasil Tangkapan
dan Dampaknya terhadap Sanitasi di Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta,
Muara Baru DKI Jakarta [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Sudarma, D. 2006. Diktat Kuliah Penanganan Hasil Perikanan. Bogor: Departemen
Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Sugiharto. 2005. Dasar-Dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia.
Wibowo. 2001. Aspek Sanitasi dan Higiene pada Pengalengan Ikan Lemuru
(Sardinella longiceps) di PT. Maya Food Industries Pekalongan Jawa Tengah
[Laporan Magang]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Wibowo, H. 2006. Pengaruh Penggunaan Coolbox Diatas Kapal Penangkap Ikan
terhadap Mutu Kesegaran Ikan [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
135
Sumber: UPT, PKPP & PPI MUARA ANGKE, 2005 (data diolah kembali)
136
137
Nilai
9
8
7
6
5
4
3
1
9
8
7
6
5
4
3
2
1
9
Lapisan lendir di permukaan mulai keruh, agak putih susu, warna terangnya mulai suram
5
3
1
9
8
7
6
5
4
2
1
9
8
7
138
Bau susu, belum ada bau asam, ada bau ikan asin/bau cold storage
Bau susu asam, bau susu kental
Bau asam asetat, bau rumput atau bau sabun
Bau amoniak mulai tercium
Bau amoniak kuat, ada bau H2S
Bau busuk, bau indol
6. Konsistensi atau Tekstur
Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang
Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang, kadangkadang agak lunak sesuai jenisnya
Agak lunak, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang
Agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, agak mudah menyobek dari tulang belakang
Agak lunak, belum ada bekas jari bila ditekan, mudah menyobek daging dari tulang belakang
Lunak, bekas jari terlihat bila ditekan tapi cepat hilang, mudah menyobek dari tulang belakang
Lunak, bekas jari terlihat lama bila ditekan, mudah menyobek daging dari tulang belakang
Lunak, bekas jari terlihat lama apabila ditekan, mudah sekali menyobek daging dari tulang
belakang
Sangat lunak, bekas jari tidak mau hilang ditekan, mudah sekali menyobek dari tulang belakang
Sumber : SNI 01-2729-1992 diacu dalam Wibowo, 2006
6
5
4
3
2
1
9
8
7
6
5
4
3
2
1
139
b) Keranjang 2
p = ikan tidak layak konsumsi = ikan dengan nilai organoleptik < 6
ukuran subgrup
sampel ikan yang diambil
p = 17 = 0,85 atau 85%
20
140
3) Rata-rata proporsi ikan tidak layak konsumsi saat setelah pembongkaran dan
sebelum pelelangan
a) Keranjang 1
b) Keranjang 2
b) Keranjang 2
Jenis Ikan
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Mata
8
8
7
7
7
6
7
6
6
7
7
7
7
8
7
6
6
7
7
7
Insang
8
8
7
7
7
7
7
6
6
7
7
7
7
8
7
6
6
7
7
7
Lendir
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
Bau
8
8
8
8
8
7
8
7
7
8
8
8
8
8
8
7
7
8
8
8
Daging&Perut
8
8
7
7
7
7
7
7
7
8
8
8
8
8
7
6
6
7
7
7
Konsistensi
8
8
8
8
8
7
8
7
7
8
8
8
8
8
8
7
7
8
8
8
Rata-rata
8
8
8
8
8
7
8
7
7
8
8
8
8
8
8
7
7
8
8
8
141
Jenis Ikan
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Mata
8
8
8
8
8
7
8
7
7
8
7
7
7
8
8
8
8
8
8
8
Insang
9
9
9
9
8
7
8
8
8
8
8
7
8
9
9
9
9
8
8
8
Lendir
9
9
9
9
9
7
9
9
9
9
9
7
9
9
9
9
9
9
9
9
Bau
8
8
8
8
8
7
8
8
7
8
8
7
8
8
8
8
8
8
8
8
Daging&Perut
8
8
8
8
8
7
8
8
8
8
8
7
8
8
8
8
8
8
8
8
Konsistensi
8
8
8
8
8
7
8
8
8
8
8
7
8
8
8
8
8
8
8
8
Rata-rata
8
8
8
8
8
7
8
8
8
8
8
7
8
8
8
8
8
8
8
8
142
Jenis Ikan
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Mata
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
3
3
4
4
4
4
4
4
4
4
Insang
3
3
3
3
3
3
2
2
3
3
2
2
3
3
3
3
3
3
3
3
Lendir
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
Bau
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
Daging&Perut
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
3
3
4
4
4
4
4
4
4
4
Konsistensi
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
4
4
5
5
5
5
5
5
5
4
Rata-rata
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
4
4
5
5
5
5
5
5
5
5
143
Jenis Ikan
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Mata
2
2
2
1
1
2
1
1
2
2
2
1
1
1
2
2
2
1
2
2
Insang
3
3
3
2
2
3
2
2
3
3
3
2
2
2
3
3
3
2
3
3
Lendir
5
5
5
3
3
5
3
3
5
5
5
3
3
3
5
5
5
3
5
5
Bau
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Daging&Perut
4
4
4
3
3
4
3
3
4
4
4
3
3
3
4
4
4
3
4
4
Konsistensi
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Rata-rata
4
4
4
3
3
4
3
3
4
4
4
3
3
3
4
4
4
3
4
4
144
Lampiran 7 Data kualitas ikan sebelum pengangkutan dari TPI ke perusahaan atau pedagang
a) Keranjang 1 pada Kapal 13
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Jenis Ikan
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Mata
6
6
6
7
7
7
8
8
6
6
6
7
7
6
6
7
6
6
6
6
Insang
6
6
6
6
5
5
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
Lendir
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
Bau
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
Daging&Perut
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
5
5
6
6
6
6
6
Konsistensi
4
4
4
6
6
6
6
6
4
4
4
6
6
4
4
6
4
4
4
4
Rata-rata
6
6
6
6
6
6
7
7
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
145
Jenis Ikan
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Mata
5
5
5
5
5
6
6
6
6
6
5
5
5
4
4
4
5
5
5
5
Insang
6
6
6
6
5
6
5
6
6
6
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Lendir
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
Bau
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
Daging&Perut
5
5
5
4
4
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Konsistensi
4
4
4
4
4
5
5
5
5
5
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Rata-rata
6
6
6
5
5
6
6
6
6
6
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
146