Anda di halaman 1dari 87

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA GEL DAGING LUMAT

DAN BAKSO DARI DAGING LUMAT IKAN LAYARAN


(Istiophorus orientalis)

BAYU PRASETYO SUBEKTI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
RINGKASAN

BAYU PRASETO SUBEKTI. C34080022. Karakteristik fisika kimia gel daging


lumat dan bakso dari daging lumat ikan layaran (Istiophorus orientalis).
Dibimbing oleh DJOKO POERNOMO dan SUGENG HERI SUSENO.

Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani mengandung semua


jenis asam amino essensial yang diperlukan oleh tubuh manusia. Berbagai upaya
perlu dilakukan untuk meningkatkan konsumsi ikan, salah satunya dengan
diversifikasi pengolahan hasil perikanan. Pemanfaatan daging lumat ikan layaran
(Istiophorus orientalis) sebagai bahan pangan sumber protein diharapkan mampu
mengubah pola makan masyarakat yang masih rendah terhadap konsumsi ikan.
Penggunaan daging lumat ikan layaran (Istiophorus orientalis) diharapkan mampu
menjaga kandungan mineral dan dapat mengetahui informasi tentang karakteristik
fisika kimia daging lumat secara lengkap. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui karakteristik fisika kimia gel daging lumat dan bakso dari daging
lumat ikan layaran serta membandingkan bakso hasil penelitian dengan bakso
komersial.
Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu karakteristik fisika kimia
terhadap gel daging lumat serta karakteristik fisika kimia bakso ikan layaran.
Karakteristik gel dan bakso ikan yang dievaluasi meliputi analisis fisika, kimia
dan uji sensori.
Nilai gel daging lumat ikan layaran merupakan yang terbaik untuk bahan
pembuatan bakso ikan dibandingkan data pembanding. Komposisi kimia gel ikan
layaran untuk kadar air sebesar 76,13%, kadar protein 11,20%, kadar abu 2,80%,
kadar lemak 0,80%, kadar karbohidrat 9,07% dan protein larut garam sebesar
4,66%. Gel daging lumat ikan layaran menghasilkan kekuatan gel 1469,45 gf,
derajat putih 63,03%, WHC 56,44% dengan nilai uji lipat 4,90 dan uji gigit 7,47.
Penilaian sensori menunjukkan nilai antara 6,30-7,23 yang berarti panelis agak
suka hingga suka terhadap produk gel daging lumat ikan layaran.
Nilai kekuatan gel bakso daging lumat ikan layaran sebesar 755,65 gf,
derajat putih 67,6%, WHC 56,51%. Hasil analisis proksimat bakso untuk kadar air
sebesar 71,18%, kadar protein 8,37%, kadar abu 1,39%, kadar lemak 1,19%,
kadar karbohidrat 17,87%, protein larut garam 3,33% dan pH 5,82.
KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA GEL DAGING LUMAT
DAN BAKSO DARI DAGING LUMAT IKAN LAYARAN
(Istiophorus orientalis)

BAYU PRASETYO SUBEKTI


C34080022

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada


Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Karakteristik Fisika Kimia Gel Daging Lumat dan Bakso dari
Daging Lumat Ikan Layaran (Istiophorus orientalis)

Nama : Bayu Prasetyo Subekti


NIM : C34080022
Program Sarjana : Teknologi Hasil Perairan

Menyetujui :
Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II ,

Ir. Djoko Poernomo, B.Sc Dr. Sugeng Heri Suseno, S.Pi, M.Si
NIP : 19580419 198303 1 001 NIP : 19730116 199903 1 001

Mengetahui :
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., M.Phil.


NIP : 19580511 198503 1 002

Disahkan Tanggal :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Fisika


Kimia Gel Daging Lumat dan Bakso dari Daging Lumat Ikan Layaran
(Istiophorus orientalis) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2012

Bayu Prasetyo Subekti


C34080022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul
“Karakteristik Fisika Kimia Gel Daging Lumat dan Bakso dari Daging Lumat
Ikan Layaran (Istiophorus orientalis)“. Skripsi ini merupakan salah satu syarat
dalam menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada:
1 Alloh SWT. yang telah memberikan segala rahmat, nikmat, taufik serta
hidayahNya kepada penulis.
2 Ir. Djoko Poernomo, B.Sc selaku dosen pembimbing pertama yang telah
memberikan banyak pengalaman dan pembelajaran hidup serta bimbingan
selama penyusunan skripsi ini.
3 Dr. Sugeng Heri Suseno, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing kedua yang
memberikan arahan dan bimbingan selama penyusunan skripsi.
4 Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc selaku dosen penguji atas segala saran dan
perbaikan yang membangun dalam perbaikan skripsi ini.
5 Seluruh dosen dan staf THP yang telah memberikan ilmu dan saran yang
mendukung kepada penulis mulai dari kuliah hingga diselesaikannya
skripsi ini.
6 Keluarga terutama ibu dan bapak serta adik-adikku Andi Taufik Hidayat
dan Alya Rizky Fatimah, yang telah memberikan kasih sayang, semangat
tiada henti, doa yang tak pernah putus dan keceriaan yang membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7 Ameilda Larasati yang telah banyak mengingatkan dan memberikan
semangat tanpa kenal lelah.
8 Sahabat seperjuanganku : Ikhsan, Siska, Okta penulis ucapkan banyak
terimakasih atas keikhlasan, kebersamaan dan pengalaman yang jarang ini.
9 Ibu Emma, Mba Dini, Ibu Rubiyah dan Mas Zaky yang telah membantu
penulis selama melaksanakan penelitian di laboratorium.
10 Helmy, Hardi, Ikhsan, Ningrum, Yulista, Intan, Okta, Siska, Wulan, Fida,
Santika, terimakasih atas bantuannya.
11 Keluarga besar Impata terutama Kurniawan, Tekad, Andre, Edo, Fadly,
Danang, Rizal dan Nurma yang selalu memberikan waktunya untuk
mendengar keluh kesah dan memberikan semangat baru saat lelah.
12 Tim ADV 45 : Steven, Rico, Helmy, Hardi, Afif, Ipi, Epis, Rivi dan
Ningrum yang telah memberikan arti dalam sebuah persahabatan. Semoga
tetap diberikan rasa haus dan lapar dalam menaklukkan berbagai puncak.
13 Teman-teman THP 43, 44, 45, 46, 47 yang telah banyak membantu dan
memberikan semangat kepada penulis sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik.
14 Semua pihak yang telah membantu dalam melaksanakan dan
menyelesaikan skripsi yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
sehingga dapat menyempurnakan skripsi ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat
bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Bogor, Oktober 2012

Bayu Prasetyo Subekti


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Magetan pada tanggal


10 Juli 1989. Penulis merupakan anak pertama dari tiga
bersaudara dari pasangan Bapak Sugiharto dan Ibu Misinah.
Penulis memulai jenjang pendidikan formal di TK Bina
Kencana tahun (1995-1996) kemudian SDN Sumberdukun
Ngariboyo tahun (1996-2002) selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di
SLTPN 1 Magetan tahun (2002-2005). Pendidikan menengah atas ditempuh
penulis di SMAN 1 Magetan tahun (2005-2008). Penulis diterima di Institut
Pertanian Bogor pada tahun 2008, melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk
IPB) dengan mayor Teknologi Hasil Perairan dan minor Manajemen Fungsional.
Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam kepanitiaan kemahasiswaan
di Institut Pertanian Bogor dan berbagai kegiatan, antara lain sebagai atlet futsal,
sepak bola dan estafet PORIKAN (2010-2012) dan OMI (2010-2011). Penulis
pernah memenangkan medali emas dan perak cabang olahraga lompat jauh dan
lari gawang 110m pada Kejuaraan Atletik IPB 2009. Penulis pun aktif dalam
kejuaraan Pekan Karya tulis Mahasiswa pada tahun 2009-2011. Penulis pernah
menjabat sebagai wakil ketua Fisheries Processing Club (FPC) periode (2010-
2011). Selama menempuh pendidikan di IPB penulis pernah menjadi Asisten Luar
Biasa m.k Ekologi Perairan di Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan
(2010/2011) dan Koordinator Asisten Luar Biasa m.k Teknologi Pengolahan
Tradisional Hasil Perairan (2011/2012).
Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan dengan judul “Karakteristik Fisika Kimia Gel Daging Lumat
dan Bakso dari Daging Lumat Ikan Layaran (Istiophorus orientalis)“.
Dibimbing oleh Ir. Djoko Poernomo B.Sc dan Dr. Sugeng Heri Suseno, S.Pi, M.Si
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR............................................................................................vii
DAFTAR TABEL.............................................................................................. .viii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ ix
1 PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................. 1
1.2 Tujuan ........................................................................................................... 2
2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 3
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Layaran (Istiophorus orientalis) ................ 3
2.2 Komposisi Kimia Ikan Layaran (Istiophorus orientalis) ............................ 4
2.3 Protein Ikan.................................................................................................. 4
2.4 Pembentukan Gel ......................................................................................... 5
2.5 Bakso Ikan ................................................................................................... 6
2.6 Pembuatan Bakso Ikan ................................................................................ 7
2.6.1 Penghancuran daging ......................................................................... 7
2.6.2 Pembuatan adonan ............................................................................. 7
2.6.3 Pencetakan bakso ............................................................................... 8
2.7.4 Pemasakan .......................................................................................... 8
2.7 Bahan Pengikat dan Pengisi ........................................................................8
2.8 Bahan Tambahan ......................................................................................... 9
2.8.1 Garam ................................................................................................. 9
2.8.2 Gula .................................................................................................... 9
2.8.3 Air dan Es ........................................................................................... 9
2.8.4 Lada (Piper nigrum L.) .................................................................... 10
2.8.5 Bawang putih (Allium sativum)........................................................ 10
2.8.7 Bawang merah (Allium ascalonicum) .............................................. 10
3 METODOLOGI .............................................................................................. 11
3.1 Waktu dan Tempat..................................................................................... 11
3.2 Bahan dan Alat .......................................................................................... 11
3.3 Metode Penelitian ...................................................................................... 11
3.3.1 Uji organoleptik ikan layaran (Istiophorus orientalis).................... 12
3.3.2 Preparasi ikan layaran (Istiophorus orientalis) ............................... 12
3.3.3 Pembuatan gel ikan layaran (Istiophorus orientalis) ...................... 13
3.3.4 Pembuatan bakso ikan layaran (Istiophorus orientalis) .................. 14
3.4 Prosedur Analisis ....................................................................................... 15
3.4.1 Analisis organoleptik (Rahayu 1998).............................................. 15
3.4.2 Analisis fisika .................................................................................. 16
(1) Uji kekuatan gel (White dan Englar diacu dalam Alpis 2002) . 16
(2) Uji derajat putih (Park 1994 dalam Chaijan et al. 2004) .......... 16
(3) Uji lipat (Suzuki1981)............................................................... 17
(4) Uji gigit (Suzuki1981) .............................................................. 17
(5) Water Holding Capacity (WHC) (Hamm 1972 diacu dalam
Nantami 2011) .......................................................................... 17
3.4.3 Analisis kimia.................................................................................. 18
(1) Kadar air (AOAC 1995)............................................................ 18
(2) Kadar abu (AOAC 1995) .......................................................... 18
(3) Kadar protein dan total nitrogen (AOAC 1995) ....................... 19
(4) Kadar lemak (AOAC 1995) ...................................................... 19
(5) Kadar karbohidrat (by difference) ............................................. 20
(6) Protein larut garam (PLG) (Shuffle dan Galbraeth 1964 diacu
dalam Eryanto 2006) ................................................................. 20
(7) Nilai pH (Suzuki 1981) ............................................................. 20
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 21
4.1 Karakteristik Bahan Baku .......................................................................... 21
4.2 Komposisi Kimia Ikan Layaran (Istiophorus orientalis) .......................... 22
4.3 Rendemen Ikan Layaran (Istiophorus orientalis)...................................... 23
4.4 Karakteristik Gel Ikan Layaran (Istiophorus orientalis) ........................... 24
4.4.1 Karakteristik sensori........................................................................ 24
(1) Penampakan .............................................................................. 24
(2) Warna ........................................................................................ 25
(3) Rasa ........................................................................................... 25
(4) Aroma ....................................................................................... 26
(5) Tekstur ...................................................................................... 26
4.4.2 Karakteristik fisika .......................................................................... 27
(1) Uji lipat (folding test) ................................................................ 27
(2) Uji gigit (teeth cuting test) ........................................................ 28
(3) Kekuatan gel (gel strenght)....................................................... 28
(4) Derajat putih (whiteness) .......................................................... 29
(5) Daya mengikat air (WHC) ........................................................ 30
4.4.3 Karakteristik kimia .......................................................................... 30
(1) Kadar air.................................................................................... 30
(2) Kadar protein ............................................................................ 31
(3) Kadar abu .................................................................................. 31
(4) Kadar lemak .............................................................................. 32
(5) Kadar karbohidrat ..................................................................... 32
(6) Protein larut garam .................................................................... 33
4.5 Karakteristik Bakso Ikan Layaran (Istiophorus orientalis) ....................... 33
4.5.1 Karakteristik sensori........................................................................ 34
(1) Penampakan .............................................................................. 34
(2) Warna ........................................................................................ 35
(3) Rasa ........................................................................................... 36
(4) Aroma ....................................................................................... 37
(5) Tekstur ...................................................................................... 38
4.5.2 Karakteristik fisika .......................................................................... 40
(1) Uji lipat (folding test) ................................................................ 40
(2) Uji gigit (teeth cuting test) ........................................................ 41
(3) Kekuatan gel (gel strenght)....................................................... 42
(4) Derajat putih (whiteness) .......................................................... 44
(5) Daya mengikat air (WHC) ........................................................ 45
4.5.3 Karakteristik kimia .......................................................................... 47
(1) Kadar air.................................................................................... 47
(2) Kadar protein ............................................................................ 49
(3) Kadar lemak .............................................................................. 49
(4) Kadar abu .................................................................................. 50
(5) Kadar karbohidrat by different .................................................. 51
(6) Protein larut garam .................................................................... 51
(7) pH .............................................................................................. 52
5 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 53
5.1 Kesimpulan ................................................................................................. 53
5.2 Saran............................................................................................................ 53
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 54
LAMPIRAN ......................................................................................................... 61
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
1 Ikan layaran (Istiophorus orientalis) .................................................................. 3
2 Diagram alir uji organoleptik ikan layaran (Istiophorus orientalis)................. 11
3 Diagram alir preparasi ikan layaran (Istiophorus orientalis) ........................... 13
4 Diagram alir pembuatan gel ikan layaran (Istiophorus orientalis)................... 14
5 Diagram alir pembuatan bakso ikan layaran (Istiophorus orientalis) .............. 15
6 Diagram rendemen ikan layaran (Istiophorus orientalis)................................. 23
7 Nilai penampakan bakso ikan layaran dan bakso pembanding ........................ 34
8 Nilai warna bakso ikan layaran dan bakso pembanding................................... 35
9 Nilai rasa bakso ikan layaran dan bakso pembanding ...................................... 36
10 Nilai aroma bakso ikan layaran dan bakso pembanding .................................. 38
11 Nilai tekstur bakso ikan layaran dan bakso pembanding ................................. 39
12 Uji lipat bakso ikan layaran dan bakso pembanding........................................ 40
13 Uji gigit bakso ikan layaran dan bakso pembanding ....................................... 41
14 Kekuatan gel bakso ikan layaran dan bakso pembanding................................ 42
15 Derajat putih bakso ikan layaran dan bakso pembanding ................................ 44
16 WHC bakso ikan layaran dan bakso pembanding............................................ 46
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
1 Komposisi kimia ikan layaran (Istiophorus orientalis) per 100 gram daging ..... 4
2 Syarat mutu bakso ikan (SNI 01-3819-1995) ...................................................... 6
3 Nilai uji organoleptik kesegaran ikan layaran (Istiophorus orientalis) ............. 21
4 Komposisi kimia daging ikan layaran (Istiophorus orientalis).......................... 22
5 Karakteristik sensori gel daging lumat ikan layaran .......................................... 24
6 Karakteristik fisika gel daging lumat ikan layaran ............................................ 27
7 Karakteristik kimia gel daging lumat ikan layaran ............................................ 30
8 Hasil analisis proksimat, pH dan PLG bakso ikan layaran ................................ 47
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1 Lembar penilaian uji organoleptk ikan segar .................................................. 62
2 Lembar penilaian uji sensori (hedonik) ........................................................... 64
3a Lembar penilaian uji lipat ............................................................................... 65
3b Lembar penilaian uji gigit............................................................................... 65
3c Contoh perhitungan rendemen ........................................................................ 65
4 Rekapitulasi uji organoleptik ikan layaran ...................................................... 66
5 Rekapitulasi uji sensori, uji lipat dan uji gigit gel ikan layaran ...................... 67
6 Rekapitulasi uji sensori, uji lipat dan uji gigit bakso ikan layaran .................. 68
7a Rekapitulasi hasil analisis kekuatan gel.......................................................... 69
7b Rekapitulasi hasil analisis derajat putih.......................................................... 69
7c Rekapitulasi hasil analisis Water Holding Capacity (WHC).......................... 69
8a Rekapitulasi hasil analisis proksimat .............................................................. 70
8b Rekapitulasi hasil analisis Protein Larut Garam (PLG) ................................. 70
9a Grafik hasil analisis kekuatan gel pada gel ikan layaran ................................ 71
9b Grafik hasil analisis kekuatan gel pada bakso ikan layaran ........................... 71
10a Grafik hasil analisis kekuatan gel bakso ikan pembanding I ......................... 72
10b Grafik hasil analisis kekuatan gel bakso ikan pembanding II ........................ 72
11 Dokumentasi pembuatan bakso ikan layaran dengan bahan baku daging
lumat .............................................................................................................. 73
1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pangan dan gizi merupakan faktor penting dan mendasar dalam
menentukan kualitas sumberdaya manusia dan tingkat kehidupan masyarakat.
Salah satu faktor yang menyangkut zat gizi yang menentukan kualitas kesehatan
masyarakat adalah terpenuhinya kebutuhan protein dalam makanan sehari-hari.
Hasil perikanan merupakan salah satu sumber penghasil protein yang sangat
potensial yang mempunyai kandungan asam amino essensial yang lengkap dengan
nilai cerna yang tinggi (Peranginangin et al. 1999).
Salah satu komoditas perikanan yang jumlah produksinya terus meningkat
adalah ikan layaran (Istiophorus orientalis). Data KKP (2010), menunjukkan
bahwa volume produksi ikan layaran (Istiophorus orientalis) dari tahun 2004–
2008 yaitu 2.075, 2.054, 2.661, 3.878 dan 3.957 ton dengan rata-rata kenaikan
sebesar 19,07%. Volume produksi ikan layaran pada tahun 2009 merupakan yang
tertinggi, yaitu mencapai 6696 ton. Daerah penangkapan ikan layaran didominasi
perairan barat selatan kalimantan dan perairan utara jawa yang masing-masing
sebesar 1647 dan 1314 ton atau sekitar 25 dan 20% dari total penangkapan
(SIDATIK 2011). Peningkatan produksi ini tidak berbanding lurus dengan
konsumsi masyarakat terhadap ikan yang masih rendah. Jumlah konsumsi hasil
perikanan masyarakat Indonesia sebesar 24 kg/kapita/tahun, merupakan yang
terendah diantara negara-negara lain di ASEAN (FAO 2010 dalam WPI 2011).
Rendahnya konsumsi masyarakat terhadap ikan disebabkan kurangnya variasi
produk olahan hasil perikanan. Penganekaragaman produk hasil perikanan
merupakan salah satu cara untuk meningkatkan konsumsi ikan pada masyarakat.
Diversifikasi pengolahan hasil perikanan diharapkan dapat meningkatkan
pendayagunaan hasil perikanan untuk diolah menjadi produk baru sebagai
makanan bergizi tinggi, enak dan mudah didapat. Salah satu produk diversifikasi
perikanan yang digemari masyarakat adalah bakso.
Bakso ikan adalah produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku
lumatan daging (minced) atau surimi ditambah bahan pengisi berpati atau tepung
tapioka dan bumbu-bumbu yang dibentuk bulat-bulat dan direbus dalam air panas.
2

Mutu bakso ikan yang baik adalah yang berwarna putih bersih, tekstur kompak
dan kenyal, tidak rapuh atau lembek (Wibowo 2006).
Penelitian ini menggunakan ikan layaran (Istiophorus orientalis) yang
mengandung protein sebesar 23,4% bb (Leung et al. 1972) sehingga sangat cocok
untuk dimanfaatkan sebagai produk bakso ikan. Penelitian tentang karakteristik
fisika kimia daging lumat ikan layaran ini sangat penting dilakukan karena sampai
saat ini belum ada data base tentang karakteristik fisika kimia daging lumat secara
detail terutama ikan laut sehingga informasi yang diperoleh tentang daging lumat
masih sangat terbatas. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivator untuk
penelitian-penelitian selanjutnya mengingat Indonesia mempunyai jumlah spesies
ikan yang beranekaragam.

1.2 Tujuan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan:
1. Mengetahui karakteristik fisika kimia gel daging lumat ikan layaran
(Istiophorus orientalis).
2. Mengetahui karakteristik fisika kimia bakso daging lumat ikan layaran
(Istiophorus orientalis).
3. Membandingkan bakso hasil penelitian dengan bakso komersial.
3

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Layaran (Istiophorus orientalis)


Ikan layaran memiliki badan yang memanjang berwarna putih seperti
perak dengan punggung berwarna kehitaman. Kepala ikan layaran berbentuk
kerucut dengan paruh panjang, merupakan ikan perenang cepat. Sirip punggung
ikan layaran memiliki 20 jari-jari keras yang membentuk seperti layar berwarna
kebiruan. Habitat ikan layaran adalah di permukaan laut (pelagis dan epipelagis)
di atas lapisan termoklin. Ikan layaran banyak ditemukan di daerah perairan yang
dekat dengan pesisir dan pulau-pulau (Fishbase 2010). Daerah penyebaran ikan
layaran di Indonesia meliputi : Pelabuhan Ratu, Selat Bali, Laut Flores, Selat
Makasar, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Sawu, dan perairan barat Sumatera
(KKP 2006). Alat tangkap yang dapat digunakan untuk menangkap ikan layaran
biasanya adalah pancing, tuna long line, tetapi kadang-kadang juga tertangkap
dengan trawl.
Klasifikasi ikan layaran menurut Saanin (1984) sebagai berikut :
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Sub kelas : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Sub ordo : Scrombroide
Family : Isthiophoridae
Genus : Istiophorus
Spesies : Istiophorus orientalis.
Morfologi ikan layaran dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Ikan layaran (Istiophorus orientalis.)


Sumber : Fishbase (2010)
4

2.2 Komposisi Kimia Ikan Layaran (Istiophorus orientalis)


Ikan layaran merupakan salah satu ikan yang memiliki kandungan gizi
yang cukup lengkap. Komposisi kimia ikan layaran (Istiophorus orientalis) dapat
dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia ikan layaran (Istiophorus orientalis) per 100 gram
daging ikan
Komposisi Satuan Bagian yang dapat dimakan
Kalori Kal 129
Air % 72,4
Protein g 23,4
Lemak g 3,2
Total karbohidrat g -
Serat g -
Abu g 1
Calsium mg 9
Phospor mg 190
Fe mg 0,8
Sodium mg 71
Potasium mg -
Retinol mg 5
B-caroten eqivalen mg -
Thiamin mg 0,10
Riboflavin mg 0,06
Niasin mg 4,5
Ascorbic acid mg 1
Sumber : Leung et al. (1972)

2.3 Protein Ikan


Protein ikan menyediakan lebih kurang 2/3 dari kebutuhan protein hewani
yang diperlukan oleh manusia. Kandungan protein ikan relatif besar, yaitu antara
15-25%/100g daging ikan. Protein ikan terdiri dari asam-asam amino yang hampir
semuanya diperlukan oleh tubuh manusia. Kandungan asam amino dalam daging
ikan kaya akan lisin, tetapi kurang akan triptofan (Junianto 2003). Protein ikan
dibagi menjadi tiga, meliputi protein miofibril sebesar 70-80%, protein
sarkoplasma sebesar 18-28% dan jaringan ikat atau stroma sebesar 2-3%
(Alasalvar dan Taylor 2002).
Protein miofibril terdiri dari aktin, miosin dan protein regulasi
(tropomiosin, troponin dan aktinin). Miosin adalah protein yang paling penting
karena jumlahnya yang besar (50-60%) dari total miofibril. Aktin merupakan
5

protein miofibril terbesar kedua setelah miosin di dalam daging ikan, yaitu sekitar
20% dari total protein miofibril (Shahidi 1994). Aktin dan miosin bergabung
membentuk aktomiosin. Protein miofibril sangat berperan dalam pembentukan gel
dan proses koagulasi terutama dari fraksi aktomiosin (Suzuki 1981). Protein yang
larut dalam larutan garam lebih efisien sebagai pengemulsi dibandingkan dengan
protein yang larut dalam air (Junianto 2003).
Protein sarkoplasma merupakan jenis protein larut air yang diperlukan
untuk metabolisme anaerob sel otot, pembawa oksigen dan tidak berperan pada
pembentukan gel karena mengganggu cross-linking miosin selama pembentukan
matriks gel (Hall dan Ahmad 1992). Protein sarkoplasma mengendap pada
pemasakan dan tidak berkontribusi secara nyata pada teksur ikan (Alasalvar dan
Taylor 2002).
Protein jaringan ikat (stroma) merupakan protein struktural dan terdiri dari
sel-sel otot jaringan pengikat, berkas serat dan otot. Protein ini memelihara
struktur bentuk pada tulang, ligamen dan tendon. Jaringan ikat pada tempat
interstitial sel otot terdiri dari tiga protein ekstraselular (kolagen, retikulin dan
elastin) dan substansi dasar penyangga (Nakai dan Modler 2000).

2.4 Pembentukan Gel


Pembentukan gel merupakan proses gelasi yang tergantung pada
kemampuan protein untuk membentuk jaringan tiga dimensi sebagai hasil dari
interaksi antara protein-protein dan protein-air. Air berfungsi untuk mencegah
hancurnya matriks tiga dimensi menjadi massa yang kompak (Zayas 1997). Baier
dan Mc Clements (2005), menyatakan bahwa kemampuan pembentukan gel
berdasarkan atas kemampuan sebuah polimer menyusun protein untuk
membentuk ikatan silang (cross linking) dalam bentuk tiga dimensi dari protein.
Hudson (1992) membagi proses gelasi menjadi tiga bagian yang diawali
dengan proses denaturasi protein utuh dari bentuk terlipat menjadi tidak terlipat.
Tahap pertama terjadi interaksi hidrofobik. Pembentukan turbiditas terjadi pada
3-10 menit pemanasan pertama. Ikatan hidrogen menjadi stabil saat suhu naik dan
interaksi hidrofobik akan berlangsung lebih kuat. Jaczynski dan Park (2004)
menyatakan bahwa interaksi hidrofobik berfungsi untuk melepaskan energi bebas
yang dapat menstabilkan sistem protein.
6

Tahap kedua adalah oksidasi sulfihidril (Hudson 1992). Tahap ini menurut
Niwa (1992) pasta surimi akan mengeras, ikatan intermolekul disulfida (SS)
terbentuk melalui oksidasi dari dua residu sistein. Ikatan disulfida lebih intensif
terjadi pada suhu pemanasan yang lebih tinggi (di atas 80 oC).
Tahap ketiga adalah tahap peningkatan elastisitas gel yang terjadi ketika
pendinginan. Peningkatan elastisitas ini terjadi karena pembentukan ikatan
hidrogen kembali yang menyebabkan peningkatan terhadap kekerasan gel
(Hudson 1992).

2.5 Bakso Ikan


Bakso ikan dapat didefinisikan sebagai produk makanan berbentuk bulatan
atau lain yang diperoleh dari campuran daging ikan dan pati atau serealia dengan
atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diijinkan (BSN 1995).
Bahan yang diperlukan untuk pembuatan bakso yaitu: daging ikan, tepung tapioka
dan bumbu-bumbu. Bumbu bakso dapat berupa garam NaCl halus 2,5%,
sedangkan bumbu penyedap dibuat dari campuran bawang putih 3%, bawang
merah 2-2,5% dan lada sebesar 0,5% dari berat daging (Waridi 2004).
Kualitas bakso sangat ditentukan oleh kualitas jenis dan mutu ikan, jumlah
tepung yang digunakan dalam adonan, pemakaian bahan-bahan tambahan dan
cara pemasakannya (Daniati 2005). Jenis ikan juga dapat mempengaruhi tekstur
dan rendemen bakso yang diperoleh (Waridi 2004). Syarat mutu bakso
berdasarkan SNI 01-3819-1995 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Syarat mutu bakso ikan (SNI 01-3819-1995)


No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan:
1.1 Bau - Normal, khas ikan
1.2 Rasa - Gurih
1.3 Warna - Normal, putih tanpa warna
asing lainnya
1.4 Tekstur - Kenyal
2 Air % b/b Maks. 80,0
3 Abu % b/b Maks. 3,0
4 Protein % b/b Min. 9,0
5 Lemak % b/b Maks. 1,0
6 Boraks - Tidak boleh ada
7 Bahan tambahan makanan Sesuai SNI 01-0222-1987
7

dan revisinya
8 Cemaran logam:
8.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 2,0
8.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 20,0
8.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 100,0
8.4 Timah (Sn) mg/kg Maks. 40,0
8.5 Raksa (Mg) mg/kg Maks. 0,5
9 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 1,0
10 Cemaran mikroba:
10.1 Angka lempeng total koloni/g Maks. 1x107
10.2 Bakeri bentuk koli APM/g Maks. 4x102
10.3 Salmonella - Negatif
10.4 Staphylococcus aureus koloni/g Maks. 5x10
10.5 Vibrio cholerae - Negatif
Sumber : BSN (1995)

2.6 Pembuatan Bakso Ikan


Prinsip pembuatan bakso terdiri atas empat tahap yaitu: (1) penghancuran
daging; (2) pembuatan adonan; (3) pencetakan bakso dan (4) pemasakan. Proses
penggilingan daging harus diperhatikan kenaikan suhu akibat panas saat proses
penggilingan karena suhu yang diperlukan untuk mempertahankan stabilitas
emulsi adalah di bawah 20 oC. Pemasakan bakso setelah dicetak dilakukan dengan
cara perebusan dalam air mendidih atau dapat juga dikukus (Bakar dan Usmiati
2007).
2.6.1 Penghancuran daging
Penghancuran daging bertujuan untuk memperluas permukaaan daging
sehingga protein yang larut dalam garam mudah terekstrak keluar kemudian
jaringan lunak berubah menjadi mikro partikel (Wong 1989 dalam Astuti 2009).

2.6.2 Pembuatan adonan


Setelah daging lumat dibersihkan, daging ikan dicampur dengan garam
dan bumbu secukupnya. Setelah tercampur merata, ke dalam surimi tersebut
ditambahakan tepung tapioka sedikit demi sedikit sambil diaduk dan dilumatkan
hingga diperoleh adonan yang homogen. Pembentukan adonan bakso ikan
ditambahakan es sekitar 15-20% atau 30% dari berat daging ikan lumat (Wibowo
2006). Penggunaan es saat pengadonan dapat mempertahankan suhu adonan tetap
dingin yaitu sekitar 20 oC dan berpengaruh terhadap tekstur bakso karena dapat
mempertahankan stabilitas emulsi (Usmiati 2009).
8

2.6.3 Pencetakan bakso


Adonan yang sudah homogen dicetak menjadi bola-bola bakso yang siap
direbus atau dikukus. Pembentukan adonan menjadi bola bakso dapat dilakukan
dengan menggunakan tangan, caranya adalah adonan diambil dengan sendok
makan kemudian diputar-putar dengan menggunakan tangan sehingga terbentuk
bola bakso. Adonan yang keluar dari lubang ibu jari dan telunjuk membentuk
bulatan kemudian bulatan tersebut diambil dengan sendok (Wibowo 2006).

2.6.4 Pemasakan
Pemasakan bakso umumnya dilakukan dengan air mendidih dengan dua
kali perebusan agar permukaan bakso yang dihasilkan tidak keriput dan tidak
pecah akibat perubahan suhu yang terlalu cepat (Desrosier 1988). Lama waktu
perebusan bakso ikan yaitu selama 15 menit sehingga akan menghasilkan bakso
ikan berkualitas. Apabila bakso yang direbus sudah mengapung di permukaan air
berarti bakso sudah matang dan dapat diangkat. Kematangan bakso juga dapat
dilihat dengan melihat bagian dalam bakso. Jika diiris, bekas irisan bakso yang
sudah matang tampak mengkilap agak transparan, tidak keruh seperti adonan lagi
(Wibowo 2006).

2.7 Bahan Pengikat dan Pengisi


Penambahan bahan pengisi berfungsi untuk memperbesar jumlah produk
bakso. Bahan pengisi (filler) yang ditambahkan dalam pembuatan bakso adalah
tepung tapioka yang memiliki kandungan pati yang tinggi namun rendah protein.
Bahan pengikat berfungsi sebagai bahan pengental, memperbaiki stabilitas emulsi,
hasil irisan, aroma dan rasa, menahan lemak serta membentuk tekstur yang padat
dan menarik air (Wilson 1960).
Tepung tapioka merupakan bahan pengisi yang paling umum digunakan
dalam pembuatan bakso. Hal ini dikarenakan tapioka memiliki harga yang murah,
memberikan cita rasa netral serta warna terang pada produk bakso. Keberadaan
granula pati yang mengembang selama gelatinisasi pati tidak meningkatkan
elestisistas gel.
9

2.8 Bahan Tambahan


Bahan tambahan lain yang digunakan dalam penelitian pembuatan bakso
ikan ini antara lain garam, gula, air, lada, bawang putih dan bawang merah.
2.7.1 Garam
Garam merupakan bumbu yang biasanya ditambahkan pada adonan
pembuatan bakso untuk meningkatkan cita rasa dan pembentuk tekstur.
Pemakaian garam NaCl biasanya lebih banyak diatur oleh rasa, kebiasaan dan
tradisi daripada keperluan. Winarno (2008), menyatakan bahwa makanan yang
mengandung garam kurang dari 0,3% akan terasa hambar sehingga kurang
disenangi. Pemakaian garam dengan konsentrasi rendah (1–3%) tidak bersifat
membunuh bakteri, melainkan hanya memberikan cita rasa. Garam berfungsi
sebagai pengawet karena garam berperan sebagai penghambat mikroorganisme
tertentu. Pemakaian garam juga dapat mempengaruhi aktivitas air (a w) dari bahan,
sehingga dapat mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme. Garam dapat
mengakibatkan proses osmosis pada sel-sel mikroorganisme sehingga terjadi
plasmolisis (kadar air dalam sel bakteri berkurang, sehingga lama kelamaan dapat
menyebabkan bakteri mati) (Moeljanto 1992).

2.8.2 Gula
Gula merupakan senyawa kimia yang termasuk karbohidrat dengan rasa
manis yang digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan biasanya
digunakan untuk menyatukan sukrosa dari bit atau gula tebu (Buckle et al. 1987).
Gula tebu dihasilkan dari tanaman tebu (Saccharum officinarum L.). Gula juga
berfungsi sebagai pengawet karena memiliki sifat higroskopis. Kemampuannya
menyerap kandungan air dalam bahan pangan ini bisa memperpanjang masa
simpan (Saparinto dan Hidayati 2006).

2.8.3 Air dan Es


Air merupakan salah satu komponen penting dalam pembuatan bakso.
Kandungan air sekitar 45-55% dari berat total bakso, tergantung dari jumlah
cairan yang ditambahkan dan jenis daging (Soeparno 1994). Penambahan air atau
es berfungsi menurunkan suhu adonan selama proses cutter, sehingga mencegah
denaturasi protein akibat suhu yang meningkat saat cutting. Air atau es juga
10

berfungsi melarutkan protein miosin yang merupakan pembentuk emulsi sehingga


dihasilkan emulsi yang stabil. Protein miosin ini hanya dapat larut pada suhu
4-5 °C sehingga sangat penting menggunakan air dingin (Kramlich et al.1973).

2.8.4 Lada (Piper nigrum L.)


Lada atau merica merupakan rempah-rempah yang sering digunakan
dalam pengolahan makanan. Lada sering ditambahkan pada saat memasak ikan
atau daging. Lada mempunyai peranan dalam dehidrasi sehingga dapat berfungsi
sebagai penghambat pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan. Lada sangat
digemari karena memiliki dua sifat penting yaitu rasanya yang pedas dan
aromanya yang khas. Kedua sifat tersebut disebabkan kandungan bahan-bahan
kimia organik yang terdapat pada lada. Rasa pedas lada disebabkan oleh adanya
zat piperin dan piperanin serta hapisin (Rismunandar 1993).

2.8.5 Bawang putih (Allium sativum)


Bawang putih berfungsi sebagai penambah aroma dan untuk meningkatkan
cita rasa produk yang dihasilkan. Bawang putih mengandung senyawa allisin,
yang dapat menentukan bau khas bawang putih. Bawang putih juga mengandung
beberapa vitamin seperti thiamin, niasin, riboflavin, asam askorbat, vitamin B,
vitamin C dan sedikit vitamin A (Wibowo 1999).

2.8.6 Bawang merah (Allium ascalonicum L.)


Bawang merah umumnya digunakan sebagai bumbu masak. Bawang
merah memiliki kandungan kimia sebagian besar terdiri dari air sekitar 80-85%,
protein sebesar 1,5%, lemak sebesar 0,3% dan karbohidrat sebesar 9,2%. Umbi
bawang merah mengandung senyawa berikatan asam amino yang tidak berbau,
tidak berwarna dan dapat larut air. Ikatan asam amino ini disebut dengan allin
yang karena sesuatu hal berubah menjadi allicin (Wibowo 1999). Bawang merah
berperan sebagai antioksidan, dapat menurunkan bilangan peroksida dan kadar
asam lemak bebas sebagai indikasi tingkat kerusakan minyak (Panagan 2010).
11

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan April 2012
dan bertempat di beberapa laboratorium, yaitu Laboratorium Pusat Antar
Universitas (PAU) Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium
Pengolahan Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Laboratorium
Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan dan Laboratorium Organoleptik
Teknologi Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan untuk membuat bakso meliputi ikan layaran
(Istiophorus orientalis) yang diperoleh dari TPI Palabuhanratu, Sukabumi. Ikan
dibawa menggunakan cool box yang diberi es dengan perbandingan 2 : 1. Bahan
lain yang digunakan adalah tepung tapioka, bawang merah, bawang putih, garam
dapur, merica atau lada, air dan es batu serta bahan-bahan yang digunakan untuk
analisis kimia dan fisik antara lain akuades, HCl 0,1 N, K 2SO4, HgO, H2SO4,
NaOH 40 % dan H3BO3.
Alat yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan antara lain pisau,
talenan, baskom plastik, keranjang plastik, sendok, benang kasur, selongsong,
timbangan digital, meat grinder, food processor, stuffer, panci perebusan,
serokan, kompor dan kain kasa. Alat yang digunakan untuk analisis fisika dan
kimia antara lain oven, desikator, kompor, tanur, tabung Kjeldahl, erlenmeyer,
soxhlet, kondensor, labu lemak, waring blender, gelas kimia, termometer, pH
meter dan kertas saring.

3.3 Metode Penelitian


Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu penentuan kesegaran ikan
layaran dengan uji organoleptik, preparasi ikan, penimbangan daging lumat,
pembuatan gel daging lumat, pembuatan bakso daging lumat serta analisis
karakteristik fisika kimia gel dan bakso ikan layaran (Istiophorus orientalis).
12

3.3.1 Uji organoleptik ikan layaran (Istiophorus orientalis)


Penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel ikan layaran dari TPI
Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi-Jawa Barat. Ikan layaran yang diperoleh
disimpan dalam cool box yang diberikan tambahan es untuk tetap menjaga
kesegaran ikan. Ikan ditransportasikan hingga sampai ke laboratorium Preservasi
dan Pengolahan Hasil Perairan. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan benda
asing yang menempel, kemudian ikan diuji organoleptik untuk mengetahui
kesegaran ikan. Diagram alir uji organoleptik ikan layaran (Istiophorus orientalis)
dapat dilihat pada Gambar 2.

Ikan layaran segar

Penyimpanan ikan layaran dengan cool box yang diberi es (2:1)

Pencucian ikan layaran

Persiapan pengujian ikan layaran

Uji organoleptik ikan layaran

Score sheet

Gambar 2 Diagram alir uji organoleptik ikan layaran (Istiophorus orientalis)

3.3.2 Preparasi ikan layaran (Istiophorus orientalis)


Ikan layaran yang telah dilakukan pengujian kesegaran ikan kemudian
dipreparasi. Ikan layaran yang akan digunakan dicuci terlebih dahulu untuk
menghilangkan kotoran yang menempel, kemudian di fillet untuk memisahkan
daging ikan dengan bagian lain (kepala, isi perut, sirip dan tulang) serta dilakukan
pemisahan daging ikan dengan kulitnya. Setelah itu dilakukan pemisahan daging
merah serta serat daging ikan. Daging putih dilumatkan dengan menggunakan alat
penggiling daging (grinder). Setelah selesai, dilakukan pencampuran seluruh
bagian daging ikan yang sudah dilumatkan agar seluruh bagian daging ikan
layaran dapat tercampur dengan rata. Daging lumat yang sudah tercampur
13

dilakukan pembagian menjadi lima bagian yang sama rata. Diagram alir preparasi
ikan layaran (Istiophorus orientalis) dapat dilihat pada Gambar 3.

Ikan layaran

Pencucian

Pem-fillet-an

Pemisahan daging dan kulit

Penghilangan daging merah dan serat

Penggilingan dengan grinder

Pencampuran seluruh daging lumat

Pembagian daging lumat (5 bagian)

Gambar 3 Diagram alir preparasi ikan layaran (Istiophorus orientalis)

3.3.3 Pembuatan gel daging lumat ikan layaran (Istiophorus orientalis)


Daging lumat ditimbang dan dilakukan pencampuran dengan garam 2,5%
(b/b) menggunakan food processor hingga adonan homogen dan dicetak dengan
menggunakan tabung stainless. Hasil pencetakan tersebut kemudian direbus
dengan suhu 45-50 oC selama 20 menit dan dilanjutkan dengan suhu 80-90 oC
selama 30 menit. Analisis pada gel ikan yang dihasilkan dilakukan untuk
mengetahui karakteristik fisika dan kimia yang terbentuk pada gel ikan yaitu
dengan pengujian sensori, uji lipat, uji gigit, uji kekuatan gel, uji proksimat, uji
protein larut garam, uji derajat putih, dan uji WHC. Diagram alir pembuatan gel
daging lumat ikan layaran (Istiophorus orientalis) dapat dilihat pada Gambar 4.
14

Daging lumat

Penimbangan

Pencampuran dengan garam 2,5% (b/b)

Pengadonan hingga homogen dan lengket (adhesive)

Pencetakan dalam tabung stainless (diameter 3,25 cm; tinggi 3 cm)

Perebusan 45-50 OC (20 menit) dilanjutkan 80-90 OC (30 menit)

Gel ikan daging lumat

Gambar 4 Diagram alir pembuatan gel daging lumat ikan layaran (Istiophorus
orientalis)

3.3.4 Pembuatan bakso ikan layaran (Istiophorus orientalis)


Bahan baku yang digunakan adalah daging lumat beku. Prosedur
pembuatan bakso ikan adalah sebagai berikut, daging lumat beku dicincang dan
dimasukan ke dalam food processor kemudian ditambahkan garam 2,5% sambil
terus diaduk hingga terbentuk adonan yang lengket. Setelah itu, ditambahkan
bumbu-bumbu yaitu bawang merah 2,5%, bawang putih 4%, lada 1%, gula 2%
dan es sedikit demi sedikit. Selanjutnya ditambahkan tepung tapioka dengan
konsentrasi sebesar 10% dari berat daging lumat yang digunakan. Adonan diaduk
hingga benar-benar homogen selama 10-15 menit.
Adonan dicetak menyerupai bola kecil dengan menggunakan tangan
kemudian direbus 2 kali, yaitu perebusan I dengan suhu 40 oC selama ± 5 menit
dan perebusan II dengan suhu 90 oC selama ± 15 menit atau sampai bakso
mengapung. Bakso yang dihasilkan didinginkan untuk dilakukan uji sensori dan
analisis karakteristik fisika dan kimia. Analisis fisika yang dilakukan terdiri dari
uji lipat, uji gigit, uji kekuatan gel, uji derajat putih, uji pH dan uji WHC.
Analisis kimia yang dilakukan terdiri dari uji kadar air, uji kadar lemak, uji kadar
15

abu, uji kadar protein dan nitrogen, uji karbohidrat, uji protein larut garam, dan uji
pH. Diagram alir pembuatan bakso ikan layaran dapat dilihat pada Gambar 5.

Ikan layaran
Garam 2,5%
Bawang merah 2,5%
Pelumatan daging Bawang putih 4%
Gula 2%
Lada 1%
Pengadonan Air es
Tepung tapioka 10%
Minyak 10%
Pencetakan bakso

Perebusan I suhu 40oC selama ± 5 menit


Perebusan II suhu 90oC selama ± 15 menit

Pendinginan suhu ruang

Bakso
Gambar 5 Diagram alir pembuatan bakso ikan layaran (Istiophorus orientalis)

3.4 Prosedur Analisis


Analisis yang dilakukan pada penelitian ini meliputi uji organoleptik,
analisis fisika dan kimia. Uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan uji
scoring (skor mutu). Analisis fisika yang dilakukan terdiri atas uji kekuatan gel,
uji derajat putih, uji lipat, uji gigit dan uji WHC. Analisis kimia yang dilakukan
meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak,
kadar karbohidrat), protein larut garam dan pengukuran nilai pH.

3.4.1 Analisis organoleptik (Rahayu 1998)


Penilaian organoleptik atau penilaian sensorik merupakan metode
penilaian yang sering digunakan karena dapat digunakan secara cepat dan
langsung. Indera yang berperan dalam pengujian yaitu indera penglihatan,
penciuman, pencicipan, peraba dan pendengaran. Uji ini menggunakan panelis
16

yang dapat digolongkan menjadi panelis terbatas, panelis terlatih, panelis agak
terlatih, panelis tidak terlatih, dan panelis konsumen.
Uji organoleptik dengan menggunakan metode scoring atau skor mutu
berfungsi untuk menilai sifat organoleptik yang spesifik terhadap penampakan,
aroma, rasa dan tekstur dari suatu produk. Skala angka dan spesifikasi dari setiap
karakteristik mutu produk sudah dicantumkan dalam score sheet organoleptik.
Metode ini menggunakan skala angka 1 (satu) sebagai nilai terendah dan
angka 9 (sembilan) untuk nilai tertinggi. Batas penolakan untuk produk ini adalah
5 (lima) artinya bila produk perikanan yang diuji memperoleh nilai yang sama
atau lebih kecil dari lima maka produk tersebut dinyatakan tidak lulus standar dan
tidak bisa memperoleh Sertifikat Mutu Ekspor. Skala ini ditunjukan dengan
spesifikasi masing-masing produk yang dapat memberikan pengertian pada
panelis. Panelis pada uji organoleptik ini berjumlah 30 orang semi-terlatih.

3.4.2 Analisis fisika


Analisis fisika yang dilakukan terhadap surimi dan bakso ikan adalah uji
kekuatan gel, uji derajat putih, uji lipat, uji gigit dan uji WHC.

(1) Uji kekuatan gel (White dan Englar diacu dalam Alpis 2002)
Pengukuran kekuatan gel dilakukan secara obyektif dengan menggunakan
Texture analyzer (TA-XT21). Tingkat kekerasan bakso ikan dinyatakan dalam
gram force tiap cm2 (gf/cm2) yang berarti besarnya gaya tekan untuk memecah
deformasi produk. Sampel diletakkan dibawah probe berbentuk silinder pada
tempat penekanan, dengan sisi lebar ke atas, kemudian dilakukan penekanan
terhadap sampel dengan probe silinder tersebut. Kecepatan alat ketika menekan
sampel adalah 1 mm/s. Tekanan dilakukan sebanyak satu kali dan hasil
pengukuran akan tercetak pada kertas grafik dan dapat dilihat tinggi saat sampel
benar-benar pecah. Nilai tertinggi pada grafik menunjukkan nilai kekuatan gel
pada suatu bahan.

(2) Uji derajat putih (Park 1994 dalam Chaijan et al. 2004)
Derajat putih sampel dilakukan dengan Chromameter minolta, yaitu
analisis warna secara objektif yang mengukur warna yang dipantulkan oleh
permukaan sampel yang diukur. Skala warna yang digunakan untuk mengukur
17

tingkatan dari lightness L* adalah hitam (0) sampai cerah/terang (100), a* adalah
merah (60) sampai hijau (-60) dan b* adalah kuning (60) sampai biru (-60).
Nilai derajat putih dapat diketahui dari nilai lightness L* yang tertera pada
monitor Chromameter.

(3) Uji lipat (Suzuki 1981)


Uji pelipatan merupakan salah satu pengujian mutu surimi dan bakso yang
dilakukan dengan cara memotong sampel dengan ketebalan 4-5 mm. Potongan
sampel tersebut diletakkan diantara ibu jari dan telunjuk, kemudian dilipat untuk
diamati ada tidaknya retakan pada bakso. Tingkat kualitas dan contoh lembar
penilaian uji lipat dapat dilihat pada Lampiran 3a.

(4) Uji gigit (Suzuki 1981)


Uji gigit dilakukan untuk mengukur kekuatan produk. Uji ini memberi
taksiran secara subyektif dengan melatih 30 panelis. Pengujian dilakukan dengan
cara memotong atau menggigit sampel antara gigi seri atas dan bawah. Sampel
yang diuji memiliki ketebalan 5 mm dan berdiameter 12 mm. Tingkat kualitas dan
contoh lembar penilaian uji gigit dapat dilihat pada Lampiran 3b.

(5) Water Holding Capacity (WHC) (Hamm 1972 diacu dalam Nantami 2011)
Daya ikat air dapat diukur dengan menggunakan alat carverpress. Sampel
sebanyak 0,3 gram diletakkan dikertas saring dan dijepit dengan carverpress,
yaitu diantara dua plat jepitan berkekuatan 35 kg/cm 2 selama 5 menit. Kertas
saring yang digunakan yaitu Whatman no 40. Luas area bebas yaitu luas air yang
diserap kertas saring akibat penjepitan, dengan kata lain selisih luas antara
lingkaran luar dan dalam kertas saring. Bobot air bebas (jumlah air dalam gel dan
bakso yang terlepas) dapat dihitung sebagai berikut :

Berat air bebas =

% air bebas = berat air x 100%


mg sampel

WHC (%) = kadar air total daging (%) – kadar air bebas (%)
18

3.4.3 Analisis kimia


Analisis kimia yang dilakukan terhadap karakteristik surimi dan bakso
ikan meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak,
kadar karbohidrat), protein larut garam dan pengukuran nilai pH.

(1) Kadar air (AOAC 1995)


Prinsip analisis kadar air yaitu untuk mengetahui kandungan atau jumlah
air yang terdapat pada suatu bahan. Penetapan kadar air didasarkan pada
perbedaan berat contoh sebelum dan sesudah dikeringkan. Tahap pertama yang
dilakukan adalah mengeringkan cawan porselen yang akan digunakan dalam oven
pada suhu 105 oC selama 30 menit atau sampai didapat berat tetap, kemudian
didinginkan selama 30 menit dalam desikator dan setelah dingin beratnya
ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram ditimbang dan dimasukan kedalam cawan
kemudian dikeringkan dalam oven selama 12 jam pada suhu 100 oC sampai
102 oC. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan
setelah dingin ditimbang kembali. Perhitungan kadar air adalah sebagai berikut :

Kadar air (%) = x 100%

Keterangan : B = berat sampel (g)


B1 = berat cawan + sampel sebelum dikeringkan (g)
B2 = Berat cawan + sampel setelah dikeringkan (g)

(2) Kadar abu (AOAC 1995)


Prinsip penetapan kadar abu adalah dengan menimbang sisa mineral hasil
pembakaran bahan organik pada suhu 650 oC. Cawan kosong dipanaskan dalam
oven lalu didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang beratnya.
Sampel ditimbang sebanyak 5 gram dan diletakkan dalam cawan, kemudian
dibakar dalam kompor listrik sampai tidak berasap. Cawan kemudian dimasukkan
ke dalam tanur. Secara bertahap suhu tanur dinaikkan hingga mencapai suhu
650 oC hingga diperoleh abu yang berwarna putih keabu-abuan. Cawan kemudian
didinginkan dalam desikator, setelah dingin cawan ditimbang. Persentase dari
kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Kadar abu (%) = x 100%


19

(3) Kadar protein dan total nitrogen (AOAC 1995)


Penentuan total nitrogen dan kadar protein menggunakan metode mikro
Kjeldahl. Sampel sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam tabung Kjeldahl 30 ml
ditambahkan 1,9 g K2SO4, 40 mg HgO dan 2,5 ml H2S04, serta beberapa tablet
Kjeldahl. Sampel dididihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih
kemudian didinginkan. Isi abu dituangkan ke dalam alat destilasi, lalu dibilas
sebanyak 5-6 kali dengan akuades (20 ml). Air bilasan juga dimasukkan ke dalam
alat destilasi dan di tambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml.
Cairan yang berasal dari ujung tabung kondensor ditampung pada
Erlenmeyer 125 ml berisi larutan 5 ml H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran
metil merah 0,2% dalam alkohol dan metil biru 0,2% dalam alkohol 2:1).
Destilasi dilakukan sampai diperoleh kira-kira 200 ml destilat yang bercampur
dengan H3BO3 dan indikator dalam Erlenmeyer. Destilat dititrasi dengan HCL
0,02 N sampai terjadi perubahan warna seperti merah. Hal ini sama juga
dilakukan terhadap blanko. Kadar protein dapat dihitung berdasarkan kadar N
dengan rumus sebagai berikut:

Kadar N (%) = (ml HCL – ml blanko) x N HCL x 14,007 x 100%


mg sampel

Kadar protein (%) = %N x faktor konversi (6,25)

(4) Kadar lemak (AOAC 1995)


Sampel sebanyak 5 gram ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring
dan diletakkan pada alat ekstraksi soxhlet yang dipasang di atas kondensor serta
labu lemak dibawahnya. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak
secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan dilakukan refluks
selama minimal 16 jam sampai pelarut turun kembali ke dalam labu lemak.
Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak berisi lemak
hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven suhu 105 oC selama 5 jam.
Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit dan
ditimbang. Kadar lemak dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Kadar lemak (%) = x 100%


20

(5) Kadar karbohidrat (by difference)


Pengukuran kadar karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil
pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar
lemak sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangan. Hal ini
karena karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya. Kadar
karbohidrat dapat dihitung dengan mengunakan rumus:

Kadar karbohidrat (%) = 100% - (%air + %abu +%protein + %lemak)

(6) Protein larut garam (PLG) (Shuffle dan Galbraeth 1964 diacu dalam
Eryanto 2006)

Sampel sebanyak 5 gram ditambahkan 50 ml larutan NaCl 5% kemudian


dihomogenkan dengan waring blender selama 2-3 menit, suhu dijaga agar tetap
rendah. Setelah itu disentrifus pada 3400 x g selama 30 menit pada suhu 10 oC.
Selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas saring whatman no.1. Filtrat
ditampung dalam Erlenmeyer, disimpan pada suhu 4 oC. Sebanyak 25 ml
dianalisis kandungan proteinnya dengan menggunakan metode semi-mikro
Kjeldahl. Perhitungan kadar protein larut garam adalah:

Kadar PLG (%) = x 100%

Keterangan : A = ml titrasi HCl sampel


B = ml titrasi HCl sampel
W = berat sampel (g)

(7) Nilai pH (Suzuki 1981)


Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan alat pH meter yang
dinyalakan terlebih dahulu selama 15-30 menit. Elektroda dibilas dengan akuades
dan dikeringkan dengan tissue. Selanjutnya pH meter dikalibrasi dengan
mencelupkan batang probe pada buffer pH 4 lalu dicelupkan kembali pada buffer
pH 7 dibiarkan beberapa saat hingga stabil. Sampel sebanyak 5 g ditambahkan
akuades 45 ml, kemudian dihomogenkan dengan stirrer selama 2 menit.
Elektroda dicelupkan ke dalam sampel selama beberapa menit, nilai pH dibaca
setelah menunjukkan angka stabil.
21

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Bahan Baku


Penelitian ini menggunakan bahan baku ikan layaran (Istiophorus
orientalis) segar yang berasal dari perairan Banten yang dibeli di TPI
Palabuhanratu, Sukabumi. Ikan layaran yang diperoleh segera ditransportasikan
secara rantai dingin ke laboratorium untuk diuji organoleptik kemudian di
preparasi untuk memisahkan setiap bagian tubuh ikan, sehingga diperoleh daging
yang digunakan untuk bahan dasar pembuatan bakso ikan.
Ikan layaran yang digunakan pada penelitian ini memiliki spesifikasi bola
mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh; insang mulai
ada diskolorisasi, merah kecoklatan, sedikit lendir, tanpa lendir; lapisan lendir
mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan; sayatan daging mulai
pudar, spesifik jenis, sedikit pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut
daging utuh; bau netral; serta tekstur daging agak padat, agak elastis bila ditekan
dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. Spesifikasi ikan layaran
tersebut diperoleh dari uji organoleptik kesegaran ikan menggunakan
SNI 01-2729.1-2006 dengan skala satuan 1-9. Nilai uji organoleptik kesegaran
ikan layaran dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Nilai uji organoleptik kesegaran ikan layaran (Istiophorus orientalis)


No. Spesifikasi Nilai
1 Kenampakan mata 7
2 Kenampakan insang 5
3 lendir permukaan badan 7
4 Kenampakan dan warna daging 6
5 Bau 7
6 Tekstur 7
Rata-rata 7

Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata kesegaran ikan layaran bernilai 7.


Nilai uji organoleptik ini menunjukkan bahwa kesegaran ikan berada pada tahap
rigor mortis. Hal ini menunjukkan bahwa ikan ini masih memenuhi persyaratan
mutu dan keamanan pangan ikan segar. Persyaratan mutu dan keamanan pangan
ikan segar mempunyai nilai organoleptik minimal 7 (BSN 2006).
22

Rigor mortis terjadi akibat dari suatu rangkaian perubahan kimia yang
kompleks di dalam otot ikan setelah ikan mati. Sirkulasi darah akan berhenti dan
suplai oksigen berkurang menyebabkan glikogen berubah menjadi asam laktat
sehingga pH tubuh ikan dan jumlah adenosin trifosfat (ATP) menurun serta
ketidakmampuan jaringan otot mempertahankan kekenyalannya (Junianto 2003).
Ikan pada fase rigor mortis umumnya dimanfaatkan menjadi makanan
yang langsung diolah sedangkan untuk bahan baku pembuatan surimi yang paling
baik adalah menggunakan ikan pada fase pre rigor (Konogaya 1990). Sistem
rantai dingin yang belum berjalan secara optimal di pasar nelayan Palabuhanratu
menyebabkan kesegaran sampel ikan layaran yang didapatkan kurang prima.

4.2 Komposisi Kimia Ikan Layaran (Istiophorus orientalis)


Analisis kimia terhadap daging ikan layaran menggunakan analisis
proksimat. Analisis proksimat adalah analisis yang dilakukan untuk mengetahui
komposisi kimia suatu bahan yang terdiri atas kadar air, protein, abu, lemak dan
karbohidrat. Komposisi kimia dan kesegaran ikan sangat mempengaruhi
karakteristik mutu bakso ikan. Komposisi kimia daging ikan layaran dapat dilihat
pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi kimia daging ikan layaran (Istiophorus orientalis)


Komposisi Hasil penelitian Leung et al. (1972)
Kadar Air (%) 79,11±0,25 72,4
Kadar Protein (%) 12,43±0,02 23,4
Kadar Lemak (%) 0,39±0,15 3,2
Kadar Abu (%) 1,10±0,15 1
Kadar Karbohidrat (%) 6,97±0,39 -

Berdasarkan Tabel 4, dapat diketahui bahwa komposisi kimia ikan layaran


hasil penelitian berbeda dengan hasil penelitian Leung et al. (1972). Hampir
semua kandungan komposisi kimia yang dihasilkan berbeda jauh kecuali kadar
abu. Kadar karbohidrat dihitung berdasarkan by difference sehingga sangat
dipengaruhi oleh kadar air, protein, lemak dan abu. Perbedaan komposisi kimia
ikan layaran ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor internal
meliputi jenis dan golongan ikan, jenis kelamin serta sifat warisan, dan faktor
eksternal yang meliputi daerah tempat hidup ikan, musim, dan jenis makanan
23

yang tersedia (Hadiwiyoto 1993). Kadar lemak ikan layaran pada penelitian ini
dapat diklasifikasikan ke dalam ikan berlemak rendah karena kurang dari 5%
(Stansby 1982).

4.3 Rendemen Ikan Layaran (Istiophorus orientalis)


Rendemen adalah persentase bagian tubuh bahan baku yang dapat
dimanfaatkan. Rendemen merupakan parameter untuk mengetahui nilai ekonomis
dan efektivitas suatu produk atau bahan. Perhitungan rendemen didasarkan pada
presentase perbandingan bobot contoh dengan bobot total (Yunizal et al. 1998).
Bagian tubuh ikan layaran dibedakan menjadi beberapa bagian, antara lain adalah
daging, daging samping, tulang badan, kulit, jeroan, kepala, sirip, insang dan
bagian lain yang selama proses preparasi. Rendemen dari tiap bagian tubuh ikan
layaran dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Diagram rendemen ikan layaran (Istiophorus orientalis)

Gambar 6 menunjukkan bahwa rendemen terbesar ikan layaran adalah


daging sebesar 44,49% dari berat ikan utuh sebesar 20 kg, sedangkan daging
merah mempunyai rendemen 14,63%. Tulang badan, kulit, jeroan, kepala, sirip,
insang, dan rendemen lain mempunyai rendemen berturut-turut sebesar 9,26; 8,24;
7,63; 5,68; 2,37 dan 2,63%. Semakin besar rendemen maka semakin tinggi pula
nilai ekonomis dari produk tersebut, begitu pula sebaliknya, semakin kecil
rendemen maka semakin rendah nilai ekonomisnya atau keefektivitasan suatu
produk atau bahan (Yunizal et al. 1998).
24

4.4 Karakteristik Gel Daging Lumat Ikan Layaran (Istiophorus orientalis)


Karakteristik gel daging lumat ikan layaran pada penelitian ini
menggunakan pembanding dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu :
Pusparani (2003) yang menggunakan bahan baku daging merah ikan tuna mata
besar, Hendriawan (2002) dengan bahan baku daging merah ikan tuna, serta
Rahmawati (2005) yang menggunakan bahan baku ikan sapu-sapu. Pemilihan data
ini berdasarkan atas persamaan bahan baku yang berasal dari daging lumat dan
jenis pengujian yang paling mendekati kesamaan dengan penelitian ini.

4.4.1. Karakterisrik sensori


Karakteristik sensori merupakan indikator penting yang dapat
menunjukkan tingkat penerimaan konsumen terhadap suatu produk. Mutu sensori
pangan adalah sifat produk atau komoditas yang hanya dikenali atau diukur
dengan proses penginderaan (Soekarto 1985). Uji sensori yang dilakukan yaitu uji
kesukaan yang meliputi penampakan, warna, rasa, aroma dan tekstur. Uji tersebut
dilakukan untuk mengetahui tanggapan panelis terhadap produk yang dihasilkan
dan tingkat kesukaannya. Karakteristik sensori gel daging lumat ikan layaran
dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Karakteristik sensori gel daging lumat ikan layaran


Parameter Daging merah Daging
Layaran a Sapu-sapu d
tuna mata besar b merah tuna c
Penampakan 7,23 4,80 4,47 5,50
Warna 6,73 4,80 - 5,00
Rasa 6,57 - 4,00 5,40
Aroma 6,30 4,88 4,27 5,40
Tekstur 6,93 5,21 5,30 6,10
Keterangan : a = hasil penelitian c = Hendriawan (2002)
b = Pusparani (2003) d = Rahmawati (2005)

(1) Penampakan
Penampakan merupakan karakteristik pertama yang dinilai panelis dalam
mengkonsumsi suatu produk. Penampakan tidak menentukan tingkat kesukaan
konsumen secara mutlak, tetapi mempengaruhi penerimaan konsumen. Produk
dengan bentuk yang rapi, bagus, dan utuh pasti lebih disukai konsumen daripada
produk yang kurang rapi dan tidak utuh (Soekarto 1985). Tabel 5 menunjukkan
25

bahwa nilai penampakan gel ikan layaran merupakan yang tertinggi menurut
panelis 7,23 dibandingkan dengan penelitian lain, pada penampakan gel daging
merah ikan tuna mata besar, tuna dan sapu-sapu yang masing-masing bernilai
4,80; 4,47 dan 5,50. Hal ini berarti penilaian panelis terhadap penampakan gel
ikan layaran berada pada kriteria suka (BSN 2011). Penampakan gel ikan dapat
dipengaruhi oleh proses pemasukan daging pada casing sebelum perebusan
(Suzuki 1981). Pemasukan daging pada casing yang tidak rata dan menyeluruh
dapat mengakibatkan gel ikan menjadi berongga dan permukaan tidak rapi.
Daging merah ikan layaran yang banyak dihilangkan selama proses penanganan
menyebabkan pencetakan dapat dilakukan dengan mudah.

(2) Warna
Warna merupakan faktor penting bagi kebanyakan makanan baik yang
diproses maupun tidak diproses. Warna memegang peranan penting dalam
penerimaan makanan bersama-sama dengan aroma, rasa, tekstur dan penampakan
(de Man 1997). Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai warna gel ikan layaran
merupakan yang tertinggi yaitu 6,73 dibandingkan penelitian lain pada warna gel
daging merah ikan tuna mata besar dan sapu-sapu yang masing-masing bernilai
4,80 dan 5,00. Penilaian panelis terhadap warna gel ikan layaran berada pada
kriteria suka. Tata cara pelaporan hasil uji hedonik jika angka di belakang koma
lebih besar dari lima maka angka di depan koma naik satu angka sehingga nilai
warna gel ikan layaran adalah 7 (BSN 2011). Warna gel ikan layaran mempunyai
nilai yang tinggi karena dalam pembuatannya tidak menggunakan daging merah
sedangkan gel ikan tuna mata besar menggunakan daging merah. Hendriawan
(2002), menyebutkan bahwa daging merah pada ikan tuna mengandung pigmen-
pigmen dan darah yang dapat mengakibatkan gel ikan yang dihasilkan berwarna
gelap dan tidak cerah. Warna merah pada daging merah disebabkan kandungan
hemoprotein yang tinggi yaitu lebih dari 80% (Watanabe 1990).

(3) Rasa
Rasa merupakan faktor penting yang menjadi dasar diambilnya keputusan
oleh konsumen terhadap diterimanya suatu produk. Apabila sebuah produk
mempunyai rasa yang tidak enak, maka produk tersebut tidak akan diterima oleh
26

konsumen walaupun warna dan aromanya baik (Winarno 2008). Tabel 5


menunjukkan bahwa nilai rasa gel ikan layaran merupakan yang tertinggi yaitu
6,57 dibandingkan penelitian lain pada rasa gel daging merah ikan tuna dan sapu-
sapu yang masing-masing bernilai 4,00 dan 5,40. Hal ini berarti penilaian panelis
terhadap rasa gel ikan layaran berada pada kriteria suka (BSN 2011). Rasa gel
ikan diduga dipengaruhi oleh kandungan glutamat pada daging ikan serta tingkat
kesegaran ikan. Penambahan jumlah garam yang sama dengan tingkat kesukaan
panelis yang berbeda menunjukkan bahwa garam bukan menjadi faktor yang
mempengaruhi rasa gel ikan. Suzuki (1981) menyatakan bahwa penambahan
garam 2,5% sewaktu penggilingan bukan berfungsi sebagai bumbu atau
penambah cita rasa, tetapi untuk meningkatkan kekuatan ionik daging dan
melarutkan aktomiosin sehingga terbentuk sol. Uresti et al.(2004) menyatakan
larutan garam sangat berpengaruh nyata terhadap kekuatan gel ikan silver carp
(Hypopthalmicthys molitrix).

(4) Aroma
Aroma makanan dapat menentukan enak atau tidaknya makanan, bahkan
industri pangan menganggap uji aroma sangat penting karena dapat memberikan
hasil penilaian dengan cepat (Soekarto 1985). Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai
aroma gel ikan layaran merupakan yang tertinggi yaitu 6,30 dibandingkan
penelitian lain pada aroma gel daging merah ikan tuna mata besar, tuna dan sapu-
sapu yang masing-masing bernilai 4,88; 4,27 dan 5,40. Penilaian panelis terhadap
aroma gel ikan layaran berada pada kriteria agak suka (BSN 2011). Aroma gel
ikan diduga dipengaruhi oleh tingkat keamisan pada tiap-tiap jenis ikan.
Penggunaan daging lumat sebagai bahan baku gel ikan menyebabkan aroma amis
masih tercium jelas. Semua aroma gel ikan secara umum masih dapat diterima
oleh panelis kecuali aroma gel ikan tuna yang agak tidak disukai oleh panelis.

(5) Tekstur
Tekstur merupakan karakteristik yang sangat penting bagi produk gel
karena produk gel bersifat kenyal dan elastis (Tanikawa 1971). Tekstur adalah
halus atau tidaknya suatu irisan pada saat disentuh dengan jari atau indera
pengecap oleh panelis. Tekstur makanan dapat dievaluasi dengan uji mekanika
27

atau dengan analisis secara penginderaan menggunakan alat indera manusia


sebagai alat analisis.
Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai tekstur gel ikan layaran merupakan
yang tertinggi yaitu 6,93 dibandingkan penelitian lain pada tekstur gel daging
merah ikan tuna mata besar, tuna dan sapu-sapu yang masing-masing bernilai
5,21; 5,30 dan 6,10. Penilaian panelis terhadap rasa gel ikan layaran berada pada
kriteria suka (BSN 2011). Tekstur daging ikan layaran paling disukai panelis
karena mempunyai tekstur yang lembut. Daging ikan layaran mempunyai kadar
protein larut garam yang tinggi dibandingkan ikan tuna dan sapu-sapu (Tabel 7).
Kandungan lemak yang tinggi pada daging ikan tuna (Tabel 7) juga
mempengaruhi proses pembentukan gel. Kotoran, darah, lemak, haemoglobin, dan
protein sarkoplasma dapat menghambat pembentukan gel ikan (Suzuki 1981).

4.4.2 Karakteristik fisika


Karakteristik fisika yang dilakukan terhadap gel daging lumat ikan layaran
pada penelitian ini terdiri dari analisis uji lipat (folding test), uji gigit (teeth cuting
test), kekuatan gel (gel strenght), derajat putih (whiteness), dan Water Holding
Capacity (WHC). Karakteristik fisika gel daging lumat ikan layaran dapat dilihat
pada Tabel 6.

Tabel 6 Karakteristik fisika gel daging lumat ikan layaran


Parameter Daging merah Daging Sapu-
Layaran a
tuna mata besar b merah tuna c sapu d
Uji lipat 4,90 2,30 2,00 4,50
Uji gigit 7,47 5,00 6,30 5,70
Kekuatan gel (gf) 1469,45±7,14 220 210 350
Derajat putih (%) 63,03±0,31 - 8,60 20,32
WHC (%) 56,44±3,37 - - -
Keterangan : a = hasil penelitian c = Hendriawan (2002)
b = Pusparani (2003) d = Rahmawati (2005)

(1) Uji lipat (folding test)


Uji lipat bertujuan untuk mengetahui tingkat elastisitas gel ikan secara
subyektif. Uji lipat dilakukan terhadap produk untuk mengetahui kualitas
kekuatan gel dan secara luas digunakan oleh industri karena sederhana dan dengan
cepat dapat menunjukkan kekuatan gel dari suatu produk (Lanier 1992). Tabel 6
28

menunjukkan bahwa nilai uji lipat gel ikan layaran merupakan yang tertinggi yaitu
4,90 dibandingkan penelitian lain pada uji lipat gel daging merah ikan tuna mata
besar, tuna dan sapu-sapu yang masing-masing bernilai 2,30; 2,00 dan 4,50. Hal
ini berarti penilaian panelis terhadap uji lipat gel ikan layaran berada pada grade
AA (BSN 2009). Hasil uji lipat ini berkaitan langsung dengan tekstur gel,
terutama kekuatan gel. Semakin baik hasil uji lipat, mutu gel surimi yang
dihasilkan akan semakin baik (Shaban et al. 1985 dalam Santoso et al. 1997).

(2) Uji gigit (teeth cuting test)


Cara subyektif lain yang digunakan untuk mengukur kekuatan gel produk
gel ikan selain uji lipat adalah uji gigit. Uji gigit dilakukan dengan cara menggigit
sampel antara gigi seri atas dan gigi seri bawah. Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai
uji gigit gel ikan layaran merupakan yang tertinggi yaitu 7,47 dibandingkan
penelitian lain pada uji gigit gel daging merah ikan tuna mata besar, tuna dan
sapu-sapu yang masing-masing bernilai 5,00; 6,30 dan 5,70. Hal ini berarti
penilaian panelis terhadap uji gigit gel ikan layaran berada pada tingkata agak
kuat (BSN 2009). Nilai uji gigit ini sesuai dengan nilai uji lipat dan tekstur yang
menandakan penilaian panelis konstan. Tingginya nilai uji gigit pada gel ikan
layaran menunjukkan bahwa kekuatan gel ikan layaran tergolong bagus dan
melebihi melebihi standar penerimaan produk komersial. Istihastuti et al. (1997)
menyatakan bahwa produk komersial yang masih dapat diterima mempunyai nilai
uji gigit antara 5 sampai 6.

(3) Kekuatan gel (gel strenght)


Kualitas surimi yang baik secara umum ditentukan oleh kemampuan
daging dalam membentuk gel dengan campuran antara surimi dan garam,
pencetakan dalam casing yang sesuai dan perebusan (Suzuki 1981).
Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai kekutan gel ikan layaran merupakan
yang tertinggi yaitu 1469,45 gf dibandingkan penelitian lain pada kekuatan gel
ikan tuna mata besar, tuna dan sapu-sapu yang masing-masing bernilai 220 gf,
210 gf dan 350 gf. Nilai kekuatan gel ikan layaran yang tinggi dapat terjadi karena
tingginya PLG yang mencapai 4,66% dibandingkan PLG pada ikan lain
(Tabel 7). Rendahnya PLG ikan sapu-sapu disebabkan karena PLG ikan air tawar
29

lebih rendah daripada ikan air laut (Astawan et al. 1996). Djazuli et al. (2009),
menyatakan bahwa protein larut garam berperan sangat penting dalam
menentukan mutu fungsional surimi, terutama pembentukan gel dan tekstur.
Kadar lemak ikan layaran yang rendah juga menjadi faktor tingginya
kekuatan gel ikan layaran. Hal ini berbeda dengan kandungan lemak ikan tuna dan
tuna mata besar yang mencapai 5% (Tabel 7). Daging lumat ikan tuna
menggunakan daging merah yang mengandung pigmen-pigmen dan darah
(Hendriawan 2002) serta lebih dari 80% protein pada daging merah merupakan
mioglobin dan hemoglobin (Watanabe 1990). Suzuki (1981) menyatakan bahwa,
kotoran, darah, lemak, haemoglobin, dan protein sarkoplasma dapat menghambat
pembentukan gel ikan.
Daging lumat yang ditambahkan garam 2,5% mengakibatkan protein
miofibrilar (aktomiosin, miosin, aktin) menjadi terlarut dalam larutan garam dan
membentuk sol yang adhesif (Tanikawa 1971). Ion Cl - secara selektif menetralkan
muatan positif molekul protein, menggeser pH isoelektrik ke titik yang lebih
rendah, mengakibatkan kelarutan protein pada pH proses meningkat (Schepf 1992
dalam Fitrial 2000). Kekuatan ionik meningkat akibat penambahan garam juga
menyebabkan kestabilan protein terhadap panas menurun (Chen et al. 1995).
Pemanasan sol akan membentuk gel dengan struktur tiga dimensi yang dapat
menjerat air di dalamnya sehingga gel menjadi kenyal (Fitrial 2000).

(4) Derajat putih (whiteness)


Pengujian warna produk (derajat putih) dilakukan dengan menggunakan
alat Chromameter. Alat ini merupakan analisis warna secara obyektif untuk
mengukur refleksi warna permukaan produk yang dibandingkan dengan standar.
Semakin tinggi nilai derajat putih berarti produk tersebut semakin mendekati
standar (putih). Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai derajat putih gel ikan layaran
merupakan yang tertinggi yaitu 63,03% dibandingkan penelitian lain pada daging
merah ikan tuna dan sapu-sapu yang masing-masing bernilai 8,60 dan 20,32%.
Derajat putih gel ikan tuna yang rendah dapat dipengaruhi karena kadar air yang
rendah pada daging ikan tuna (Tabel 7). Gel dengan kadar air yang tinggi
memiliki nilai kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan gel ikan yang
kandungan airnya rendah (Park et al.1996).
30

(5) Daya mengikat air (WHC)


Daya mengikat air adalah kemampuan daging untuk mengikat air yang ada
dalam bahan maupun yang ditambahkan selama proses pengolahan, atau
kemampuan struktur bahan untuk menahan air bebas dari struktur tiga dimensi
protein (Zayas 1997). Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai WHC gel ikan layaran
sebesar 56,44%. Nilai ini lebih tinggi dari WHC daging lumat ikan cucut dan pari
sebesar 31,15% dan 33,60% (Yassin 2005), serta daging lumat ikan patin siam
sebesar 40% (Suryanti 2009). Perbedaan nilai WHC dapat disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain spesies, umur, fungsi otot, pH dan pemanasan (Offer
dan Knight 1988). Daya ikat air sangat berperan dalam pembentukan gel (Chairita
et al. 2009). Tekstur gel akan semakin baik bila daya serap air semakin baik pula
(Chen et al. 1995). Interaksi antara protein daging dan air secara signifikan akan
mempengaruhi karakteristik tekstur dari daging (Zayas 1997).

4.4.3 Karakteristik kimia


Karakteristik kimia yang dilakukan terhadap gel daging lumat ikan layaran
terdiri dari analisis proksimat meliputi kadar air, protein, abu, lemak dan
karbohidrat serta analisis protein larut garam. Karakteristik fisika gel daging lumat
ikan layaran dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Karakteristik kimia gel daging lumat ikan layaran


Parameter Daging merah Daging Sapu-
Layaran a
tuna mata besar b merah tuna c sapu d
Kadar air (%) 76,13±0,18 69,61 70,14 77,83
Kadar protein (%) 11,20±0,01 23,32 24,52 -
Kadar abu (%) 2,80±0,00 1,23 2,13 -
Kadar lemak (%) 0,80±0,01 5,60 5,09 -
Kadar karbohidrat (%) 9,07±0,17 0,24 - -
PLG (%) 4,66±0,01 3,58 3,58 1,61
Keterangan : a = hasil penelitian c = Hendriawan (2002)
b = Pusparani (2003) d = Rahmawati (2005)

(1) Kadar air


Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat
mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Kandungan air
dalam bahan makanan ikut menentukan penerimaan, kesegaran, dan daya tahan
31

bahan tersebut (Winarno 2008). Tabel 7 menunjukkan bahwa kadar air gel ikan
layaran sebesar 76,13% lebih rendah dari kadar air gel daging merah ikan tuna
mata besar dan tuna yang masing-masing sebesar 69,61 dan 70,14% tetapi lebih
besar dari gel ikan sapu-sapu sebesar 77,83%. Kadar air tiap jenis ikan
dipengaruhi oleh habitat dan jenis ikan. Ikan air tawar cenderung memiliki
kandungan air yang lebih tinggi dibandingkan ikan air laut. Hal inilah yang
menjadikan tekstur daging ikan air tawar lebih lembek. Lee (1984), menyatakan
bahwa kadar air maksimum untuk daging ikan lumat sebaiknya 78-80%.

(2) Kadar protein


Protein merupakan suatu zat makanan yang penting bagi tubuh, karena
selain berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur jaringan-jaringan baru yang
selalu terjadi di dalam jaringan tubuh. Protein digunakan sebagai bahan bakar
apabila keperluan energi mengandung N yang tidak dimiliki oleh lemak dan
karbohidrat (Winarno 2008). Tabel 7 menunjukkan bahwa kadar protein ikan
layaran sebesar 11,20% lebih rendah dari kadar protein gel daging merah ikan
tuna mata besar dan tuna yang masing-masing sebesar 23,32 dan 24,52%.
Hadiwiyoto (1993), menyatakan bahwa komposisi kimia daging ikan dapat
dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor internal meliputi jenis dan golongan
ikan, jenis kelamin serta sifat warisan, dan faktor eksternal yang meliputi daerah
tempat hidup ikan, musim, dan jenis makanan yang tersedia.

(3) Kadar abu


Kadar abu merupakan zat anorganik yang terkandung dalam suatu bahan
makanan. Tabel 7 menunjukkan bahwa kadar abu ikan layaran sebesar 2,80%
merupakan yang tertinggi dibandingkan kadar abu gel daging merah ikan tuna
mata besar dan tuna yang masing-masing sebesar 1,23 dan 2,13%. Kadar abu
daging berhubungan erat dengan kadar air dan kadar protein pada suatu jaringan
bebas lemak (Forrest et al.1975). Mineral yang tidak larut berasosiasi dengan
protein, karena mineral terutama berasosiasi dengan bagian non lemak, daging tak
berlemak biasanya memiliki kandungan mineral atau abu yang tinggi. Hal inilah
yang menyebabkan kadar abu ikan layaran lebih tinggi dari ikan tuna mata besar.
32

Kandungan mineral pada daging ikan tersebut tergolong rendah karena


bagian tubuh yang memiliki kadar mineral tinggi berasal dari bagian tubuh yang
tidak dapat dimakan (tulang, sisik, kepala, viscera dan sirip) daripada bagian yang
dapat dimakan seperti daging. Rosa et al. (2007) menyatakan bahwa abu yang
terdapat dalam daging umumnya terdiri atas fosfor, kalsium, iron, magnesium,
sulfur, sodium dan potassium.

(4) Kadar lemak


Lemak memiliki peranan yang penting dalam struktur dan fungsi sel
makhluk hidup. Sumber energi yang dihasilkan lemak lebih efektif bagi tubuh
daripada karbohidrat dan protein. Satu gram lemak dapat menghasilkan 9 kkal,
sedangkan karbohidrat dan protein menghasilkan 4 kkal/gram (Winarno 2008).
Tabel 7 menunjukkan bahwa kadar lemak ikan layaran sebesar 0,80% lebih
rendah dari kadar lemak gel daging merah ikan tuna mata besar dan tuna yang
masing-masing sebesar 5,60 dan 5,09.
Kandungan lemak lebih banyak terdapat pada daging merah dibandingkan
daging putih. Warna merah pada daging merah ikan tuna bukan disebabkan kadar
lemak yang tinggi tetapi karena kandungan hemoprotein yang tinggi, yaitu lebih
dari 80% hemeglobin. Kandungan mioglobin pada daging merah tuna dapat lebh
dari 3.500 mg/100 gr (Watanabe 1990) sehingga menyebabkan lebih mudah
terjadi proses ketengikan (Okada 1990 diacu dalam Chairita 2008).
Love (1970) diacu dalam Chairita (2008), menyatakan bahwa proporsi
daging merah dan daging putih bervariasi tergantung dari aktivitas ikan. Ikan-ikan
pelagis seperti herring dan mackerel yang gerakannya terus menerus, sebanyak
48% berat badannya terdiri dari daging merah sedangkan ikan demersal yang
berada di dasar dan gerakannya terbatas, proporsi daging merahnya sangat kecil.
Ikan layaran termasuk ikan pelagis, tetapi rendahnya kadar lemak ini dapat
disebabkan adanya pembuangan daging merah sebanyak 14,63% dari berat total
ikan (Gambar 7). Sehingga pada pengolahan ini hanya digunakan daging putih.

(5) Kadar karbohidrat


Karbohidrat dengan fungsinya yang berganda memegang peran penting
dalam berbagai pengolahan pangan. Karbohidrat merupakan bahan yang secara
33

alami memiliki fungsi memberikan tekstur yang baik. Karbohidrat dirancang


sebagai komponen yang memperkuat struktur produk pangan (Rompis 1998 diacu
dalam Nantami 2011). Tabel 7 menunjukkan bahwa kadar karbohidrat gel ikan
layaran merupakan yang tertinggi dengan nilai 9,07%. Kadar ini lebih tinggi
dibandingkan gel daging merah ikan tuna mata besar yang hanya 0,24% karena
kadar karbohidrat dihitung secara by difference. Rendahnya kadar protein dan
lemak dapat menyebabkan kandungan karbohidrat dan kadar lemak suatu bahan
meningkat.

(6) Protein larut garam


Protein larut garam adalah protein miofibril (kontraktil) yang terdiri dari
aktin, miosin dan protein regulasi (tropomiosin, troponin, dan aktinin).
Pengukuran kadar PLG penting dilakukan untuk mengetahui kandungan protein
miofibril dalam surimi yang berperan dalam pembentukan gel. PLG sangat
berperan dalam proses pembentukan gel diakibatkan terjadinya agregasi antara
aktin dan miosin pada saat diekstrak (Suzuki 1981). Tabel 7 menunjukkan bahwa
PLG gel ikan layaran merupakan yang tertinggi dengan nilai 4,66 dibandingkan
dengan PLG gel daging merah ikan tuna mata besar, tuna dan sapu-sapu yang
masing-masing sebesar 3,58; 3,58 dan 1,61. Rendahnya PLG ikan sapu-sapu
disebabkan karena PLG ikan air tawar lebih rendah daripada ikan air laut
(Astawan et al. 1996).
Fardiaz (1985), menyatakan bahwa protein miofibril khususnya
aktomiosin dapat diekstrak dari daging ikan dengan garam. Garam sebanyak
2-3,5% dari berat daging ikan yang digunakan dalam pembuatan produk gel ikan
secara komersial. Garam pengekstrak tidak boleh digunakan terlalu banyak, selain
karena rasanya menjadi terlalu asin, juga dapat menyebabkan penggumpalan
(salting out), sehngga protein tidak larut lagi dalam larutan garam yang dapat
menyebabkan gel ikan tidak terbentuk.

4.5 Karakteristik Bakso Ikan Layaran (Istiophorus orientalis)


Penelitian karakteristik bakso ikan layaran ini menggunakan dua bakso
pembanding. Bakso pembanding I adalah bakso yang dibeli dari Palabuhanratu
yang telah memiliki pasar dalam skala regional. Komposisi dari bakso ini adalah
34

ikan marlin, tepung tapioka, tepung sagu, bumbu, es, telur, monosodium glutamat.
Bakso pembanding II adalah bakso yang dibeli dari supermarket yang telah
memiliki pasar dalam skala nasional. Komposisi dari bakso ini adalah urimi, air,
tapioka, garam, bumbu, gula, penguat rasa mononatrium glutamat dan sekuestren
fosfat. Proses pembuatan dan bumbu-bumbu dari kedua bakso pembanding tidak
diketahui secara detail karena termasuk rahasia peruahaan.

4.5.1 Karakterisrik sensori


Analisis sensori yang dilakukan adalah uji kesukaan (hedonik) terhadap
bakso ikan layaran. Panelis diminta untuk memberikan tanggapan tentang tingkat
kesukaan atau ketidaksukaan. Tingkatannya disebut skala hedonik, dalam
analisisnya ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menurut
tingkat kesukaannya (Rahayu 1998). Analisis sensori yang dilakukan meliputi
parameter penampakan, warna, aroma, rasa dan tekstur yang dinilai dengan
menggunakan kepekaan indera.

(1) Penampakan
Penampakan merupakan parameter yang menentukan penerimaan dari
panelis karena banyak sifat mutu komoditas dinilai dengan penglihatan misalnya
bentuk, ukuran, warna dan sifat permukaan (halus, kasar, buram, cerah, homogen,
heterogen, datar dan bergelombang) (Nantami 2011). Nilai penampakan bakso
ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Nilai penampakan bakso ikan layaran dan bakso pembanding


35

Gambar 7 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap


penampakan bakso ikan berkisar antara 4,33 sampai 6,83. Nilai penampakan
bakso ikan ikan layaran merupakan yang tertinggi dengan nilai 6,83 dibandingkan
bakso pembanding I sebesar 4,33 dan bakso pembanding II sebesar 6,80.
Penampakan bakso ikan layaran mempunyai kriteria dapat diterima menurut
panelis yaitu agak suka mendekati suka (BSN 2011). Nilai ini juga telah
memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan untuk nilai sensori bakso ikan,
yaitu minimal 7 (BSN 2006). Berdasarkan BSN (2011) tata cara pelaporan hasil
uji hedonik jika angka di belakang koma lebih besar dari lima maka angka di
depan koma naik satu angka sehingga nilai penampakan bakso ikan layaran adalah
7.

(2) Warna
Warna merupakan indikator bagi kesegaran atau kematangan suatu
produk. Konsumen biasanya lebih menyukai bakso ikan dengan warna yang putih
meratatanpa adanya warna lain (Wibowo 2006). Menurut BSN (1995) bakso ikan
harus mempunyai warna yang normal. Nilai warna bakso ikan layaran dan bakso
pembanding dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Nilai warna bakso ikan layaran dan bakso pembanding

Gambar 8 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap warna


bakso ikan berkisar antara 4,7 sampai 7,1. Nilai warna bakso ikan layaran pada
penelitian ini sebesar 6,77 lebih tinggi dibandingkan dengan bakso pembanding I
sebesar 4,7 tetapi lebih rendah dibandingkan dengan bakso pembanding II sebesar
36

7,1. Warna bakso ikan layaran lebih kecil dari bakso pembanding II diduga karena
perbedaan pencucian, karena bakso pembanding II menggunakan daging surimi
sedangkan bakso ikan layaran berasal dari daging lumat. Jin et al. (2007) dan
Tahergorabi et al. (2012), menyatakan bahwa proses pencucian dapat
menghilangkan bahan-bahan larut air, lemak dan darah sehingga memperbaiki
warna. Bentis et al. (2005) melaporkan bahwa warna surimi dapat ditingkatkan
dengan meningkatkan siklus pencucian, waktu pencucian dan kuantitas air. Chen
et al. (1997) dalam Bentis et al. (2005) menyatakan bahwa waktu pencucian yang
lama akan menghasilkan daging lumat dengan hidrasi yang tinggi dan degradasi
protein miofibril, sehingga membuat proses dehidrasi berikutnya menjadi lebih
sulit dan dapat menghambat kemampuan pembentukan gel.
Warna bakso ikan layaran secara umum mempunyai kriteria dapat diterima
yaitu suka (BSN 2011) serta memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan
untuk nilai sensori bakso ikan, yaitu minimal 7 (BSN 2006).

(3) Rasa
Rasa merupakan salah satu faktor penentu daya terima konsumen terhadap
produk pangan. Rasa suatu bahan pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
senyawa kimia, temperatur, konsistensi dan interaksi dengan kompoen rasa lain
serta jenis dan lama pemasakan (Winarno 2008). Nilai rasa bakso ikan layaran
dan bakso pembanding dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Nilai rasa bakso ikan layaran dan bakso pembanding


37

Gambar 9 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap rasa


bakso ikan berkisar antara 3,57 sampai 6,43. Nilai rasa bakso ikan layaran pada
penelitian ini sebesar 6,37 lebih tinggi dibandingkan bakso pembanding I sebesar
3,57 tetapi lebih rendah dibandingkan bakso pembanding II sebesar 6,43. Rasa
bakso ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti jenis bumbu, konsentrasi
bumbu, bahan pengisi dan bahan pengikat. Perbedaan nilai rasa dari ketiga bakso
tersebut lebih disebabkan karena masing-masing bakso mempunyai komposisi dan
takaran bumbu yang berbeda. Rasa gurih pada bakso ikan layaran ditimbulkan
karena adanya kandungan asam glutamat yang cukup banyak pada daging ikan
layaran. Hirasa dan Takemasa (1998) dalam Suryanti (2009), menyebutkan pada
umumnya setiap rempah-rempah dapat memberikan flavor yang spesifik karena
kandungan komponen kimia dalam essential oil yang berbeda. Beberapa flavor
spesifik dapat ditimbulkan oleh komponen-komponen kimia yang terdapat pada
tanaman rempah-rempah seperti lada dan bawang putih. Lada mengandung
komponen kimia linalool, α,β-pinene, p-cymene. Bawang putih mengandung
komponen kimia dialiyl disulfide, dialiyl trisulfide dan allyl prolyl disulfide.
Bakso pembanding I mempunyai rasa yang paling rendah karena
menggunakan kandungan tepung yang tinggi sehingga dapat menutup rasa daging
(Koswara et al. 2001). Bakso pembanding II mempunyai nilai rasa tertinggi
karena menggunakan bahan penguat rasa mononatrium glutamat. Mononatrium
glutamat (MSG) dapat meningkatkan rasa yang diinginkan seperti rasa asin,
memperbaiki keseimbangan cita rasa makanan olahan dan mengurangi rasa yang
tidak diinginkan seperti rasa bawang yang tajam. MSG menyebabkan sel reseptor
rasa lebih peka sehingga dapat menikmati rasa dengan lebih baik (Winarno 2008).
Rasa bakso ikan layaran secara umum mempunyai kriteria dapat diterima
yaitu suka (BSN 2011) serta memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan
untuk nilai sensori bakso ikan, yaitu minimal 7 (BSN 2006).

(4) Aroma
Bakso ikan yang cenderung lebih disukai konsumen adalah bakso tanpa
aroma yang mengganggu seperti aroma amis, tengik, masam, basi ataupun busuk
(Wibowo 2006). Menurut SNI 01-3819-1995 bakso ikan mempunyai aroma yang
38

normal dan khas ikan. Nilai aroma bakso ikan layaran dan bakso pembanding
dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Nilai aroma bakso ikan layaran dan bakso pembanding

Gambar 10 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap aroma


bakso ikan berkisar antara 3,9 sampai 6,7. Nilai aroma bakso ikan ikan layaran
merupakan yang tertinggi dengan nilai 6,7 dibandingkan bakso pembanding I
sebesar 3,9 dan bakso pembanding II sebesar 6,63. Aroma dipengaruhi oleh
bumbu yang ditambahkan ke dalam adonan. Hirasa dan Takemasa (1998) dalam
Suryanti (2009), menyatakan bahwa tanaman rempah-rempah mengandung
banyak essential oil yang bersifat volatile dan dapat menimbulkan aroma dan
flavor. Komponen kimia essential oil yang banyak terdapatpada rempah-rempah
adalah eugenol, thymol, pellandrene, caryophylene, cineol, mathyl eugenol. Selain
itu, essential oil pada rempah-rempah juga mengandung terpene yang
mengandung banyak gugus karbon. Komponen terpene yang memiliki 10 gugus
karbon dinamakan monoterpene yang umumnya memiliki aroma yang kuat dan
bersifat sangat volatil.
Aroma bakso ikan layaran secara umum mempunyai kriteria dapat
diterima yaitu suka (BSN 2011) serta memenuhi persyaratan mutu dan keamanan
pangan untuk nilai sensori bakso ikan, yaitu minimal 7 (BSN 2006).

(5) Tekstur
Tekstur bakso ikan yang cenderung lebih disukai konsumen adalah bakso
ikan yang mempunyai tekstur kompak, tidak liat atau membal, tidak ada serat
daging, tanpa duri atau tulang, tidak lembek, tidak basah berair, serta tidak rapuh
39

(Wibowo 2006). Menurut BSN (1995) bakso ikan harus mempunyai tekstur yang
kenyal. Nilai tekstur bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada
Gambar 11.

Gambar 11. Nilai tekstur bakso ikan layaran dan bakso pembanding

Gambar 11 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap


tekstur bakso ikan berkisar antara 3,6 sampai 7,13. Nilai tekstur bakso ikan ikan
layaran merupakan yang tertinggi dengan nilai 7,13 lebih tinggi dibandingkan
bakso pembanding I sebesar 3,6 dan bakso pembanding II sebesar 7. Hal ini
diduga karena kedua bakso pembanding tersebut menggunakan surimi sehingga
protein larut garam akan terlarut lebih banyak selama proses pencucian. Protein
tersebut sangat berpengaruh terhadap pembentukan gel, sehingga mempengaruhi
tekstur yang dihasilkan. Rendahnya kadar air bakso pembanding I dapat
menyebabkan tekstur yang agak keras pada bakso ikan yang dihasilkan sehingga
mempengaruhi penilaian panelis. Hall (1992), menyatakan bahwa penambahan
garam sampai 0,2% dari berat bahan baku pada pencucian terakhir bertujuan
untuk menghilangkan air tetapi dapat melarutkan aktin dan miosin. Bakso
pembanding II mengandung sekuestran fosfat yang berfungsi untuk menstabilkan
warna, rasa dan tekstur (Winarno 2008).
Tekstur bakso ikan layaran mempunyai kriteria dapat diterima yaitu suka
(BSN 2011) serta memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan untuk nilai
sensori bakso ikan, yaitu minimal 7 (BSN 2006).
40

4.5.2 Karakteristik fisika


Karakteristik fisika yang dilakukan terhadap bakso ikan layaran pada
penelitian ini terdiri dari analisis uji lipat (folding test), uji gigit (teeth cuting test),
kekuatan gel (gel strenght), derajat putih (whiteness), dan daya mengikat air
(WHC).

(1) Uji lipat (folding test)


Uji lipat (folding test) dilakukan terhadap produk untuk mengetahui
kualitas kekuatan gel. Metode uji lipat cocok untuk memisahkan gel yang bermutu
tinggi dan bermutu rendah, tetapi metode tersebut tidak sensitif untuk
membedakan antara gel yang bermutu baik (good) dan yang bermutu sangat baik
(excellent). Uji lipat ditentukan dengan penilaian panelis melalui uji sensori
(Lanier 1992). Uji lipat bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat
pada Gambar 12.

Gambar 12. Uji lipat bakso ikan layaran dan bakso pembanding

Gambar 12 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap uji


lipat bakso ikan berkisar antara 1,8 sampai 4,77. Nilai uji lipat bakso ikan ikan
layaran merupakan yang tertinggi dengan nilai 4,77 lebih tinggi dibandingkan
dengan bakso pembanding I sebesar 1,87 dan bakso pembanding II sebesar 4,27.
Nilai uji lipat bakso ikan layaran dan bakso pembanding II menunjukkan bahwa
bakso tersebut memiliki tingkat elastisitas yang baik sedangkan bakso
41

pembanding I memiliki tingkat elastisitas yang kurang baik. Lee (1984)


menyatakan bahwa uji lipat dengan nilai tiga menunjukkan tingkat elastisitas
cukup baik dan nilai empat elastisitasnya baik. Semakin baik hasil uji lipat (makin
sukar retak) tersebut, maka dapat dinyatakan mutu gel ikan yang dihasilkan juga
semakin baik (Shaban et al. 1985 diacu dalam Santoso et al. 1997).
Rendahnya nilai uji lipat bakso pembanding I dapat terjadi karena
mengandung kadar air yang rendah yaitu 59,45%. Luo et al. (2008) menjelaskan
bahwa kekerasan dan uji lipat kamaboko meningkat dengan kandungan air 76%.
Pembentukan gel dari surimi menurun seiring peningkatan kadar air sehingga
menurunkan konsentrasi protein miofibril dan meningkatkan densitas ikatan
silang.

(2) Uji gigit (teeth cuting test)


Uji gigit (teeth cutting test) merupakan cara lain pengujian mutu gel ikan
secara sensori selain uji lipat. Pengujian ini dilakukan dengan cara memotong
(menggigit) sampel antara gigi seri atas dan gigi seri bawah. Uji gigit
memberikan tafsiran secara subyektif dengan 30 orang panelis. Tingkatan nilai
yang digunakan adalah skala 1-10 (1 = tekstur hancur; 10 = amat sangat kuat).
Uji gigit bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Uji gigit bakso ikan layaran dan bakso pembanding

Gambar 13 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap uji gigit


bakso ikan berkisar antara 5,53 sampai 8. Nilai uji gigit bakso ikan layaran pada
42

penelitian ini sebesar 7,43 lebih tinggi dibandingkan dengan bakso pembanding I
sebesar 5,53 tetapi lebih rendah dibandingkan dengan bakso pembanding II
sebesar 8.
Produk gel ikan yang memiliki kekuatan gel tinggi akan menghasilkan
nilai uji lipat dan uji gigit yang tinggi, dengan uji lipat pada kisaran nilai 4-5
(grade AA) dan uji gigit pada kisaran nilai 7-10 (BSN 2009). Hal ini
menunjukkan bahwa bakso ikan layaran dan bakso pembanding II termasuk
produk yang memiliki kekuatan gel tinggi berdasarkan penilaian panelis. Bakso
pembanding I tidak tergolong pada produk gel tinggi tetapi masih dapat diterima
dalam produk komersial. Istihastuti et al. (1997) menyatakan bahwa nilai kisaran
yang dapat diterima terhadap uji gigit produk-produk komersial ada pada kisaran
nilai 5-6.

(3) Kekuatan gel (gel strenght)


Kekuatan gel merupakan fase diantara padatan dan cairan yang terbentuk
dari ikatan kovalen dan non kovalen dalam struktur molekul protein dan
membentuk jaringan molekul tiga dimensi yang mampu menahan air.
Pembentukan sifat gelasi yang terdapat dalam protein daging terjadi karena
adanya penggunaan suhu tinggi (pemanasan). Hal ini menyebabkan jaringan
terbentuk secara irreversible karena molekul protein terdenaturasi
(Nakai dan Modler 1996). Kekuatan gel bakso ikan layaran dan bakso
pembanding dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Kekuatan gel bakso ikan layaran dan bakso pembanding


43

Gambar 14 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap


kekuatan gel bakso ikan berkisar antara 755,65 sampai 2219,2 gf. Nilai kekuatan
gel bakso ikan layaran merupakan yang terendah dengan nilai 755,65 gf. Nilai ini
lebih rendah dibandingkan dengan bakso pembanding I sebesar 2219,2 gf dan
bakso pembanding II sebesar 1171,85 gf. Perbedaan kekuatan gel ini dapat
dipengaruhi karena adanya proses pencucian, adanya bahan tambahan lain dan
kondisi serta perbedaan spesies ikan yang digunakan.
Proses pencucian dapat mengurangi protein larut air dan meningkatkan
protein larut garam (Rawdkuen et al. 2009). Ekstraksi protein larut garam dengan
pencucian dua kali dapat meningkatkan kekuatan gel ikan cucut (Fitrial 2000).
Pencucian juga dapat menurunkan aktivitas protease. Chang-Lee et al. (1989)
menyimpulkan bahwa aktivitas protease dapat menurun hingga 56,3% dengan
pencucian sebanyak dua kali dengan perbandingan air dan daging giling 3:1 (b/b).
Niki et al. (1984) yang dikutip oleh Chang-Lee et al. (1989) berpendapat bahwa
pencucian daging giling dengan larutab NaCl 0,45 M mampu menghilangkan
protease dari ikan Peruvian hake.
Protease merupakan enzim yang dapat mengganggu terbentuknya gel.
Shimizu et al. (1992) protease dapat menyebabkan menyebabkan protein miofibril
terlarut karena degradasi miosin rantai berat. Penambahan telur pada bakso
pembanding I selain berfungsi untuk memperbaiki tekstur juga dapat
meningkatkan kekuatan gel bakso. Morrissey et al. (1993) menyatakan bahwa
putih telur 3,0% dapat menghambat aktivitas protease sehingga dapat
meningkatkan nilai kekerasan dan elastisitas gel. Putih telur (1%) dapat
meningkatkan kekuatan gel dari 6161 menjadi 6597 g x mm pada surimi Pacific
whiting (Tabilo-Munizaga 2004).
Adanya penambahan bahan lain diduga dapat meningkatkan kekuatan gel
pada bakso pembanding I dan II. Bakso pembanding I mengandung bahan
tambahan STPP dan mengandung banyak tapioka yang dapat meningkatkan
kekuatan gel. Wu et al. (1985) dan Kim dan Lee (1987), menyatakan bahwa
penyerapan air oleh granula pati yang berada di dalam gel protein selama
perebusan menyebabkan granula mengembang dan mendesak matrik protein
sehingga gel protein menjadi padat dan kompak.
44

Bakso pembanding II mengandung bahan tambahan sekuestran fosfat yang


berfungsi untuk menstabilkan warna, rasa dan tekstur (Winarno 2008). Utomo et
al. (2004), menyatakan bahwa fungsi fosfat dapat mempertinggi daya ikat air oleh
protein ikan sehingga dapat memperbaiki tekstur ikan. Penambahan bahan
polifosfat bertujuan untuk menambah nilai kelembutan dan memperbaiki sifat
surimi, terutama sifat elastisitas dan kelembutan (Peranginangin et al. 1999).
Kondisi ikan sebelum diolah juga dapat mempengaruhi kekuatan gel
produk yang dihasilkan. Gomez-Guillen et al. (1998) menyatakan bahwa segera
setelah ikan ditangkap maka protein otot ikan akan mengalami peristiwa
proteolisis yang hebat dan akan mengakibatkan hilangnya kemampuan
membentuk gel. Penurunan terhadap kelarutan PLG ini berkorelasi positif
terhadap nilai kekuatan gel surimi, yang berarti bahwa semakin rendah nilai PLG
tersebut maka akan semakin rendah pula nilai kekuatan gel surimi yang
dihasilkan. Reynolds et al. (2002) menyatakan bahwa karena menurunnya
konsentrasi protein larut garam, ketegangan akan menurun dan kemampuan untuk
membentuk gel juga akan ikut menurun pula.

(4) Derajat putih (whiteness)


Kecerahan bakso ikan sangat menentukan kualitas bakso itu sendiri.
Umumnya bakso ikan yang berwarna putih paling banyak disukai oleh konsumen.
Derajat putih bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada
Gambar 15.

Gambar 15 Derajat putih bakso ikan layaran dan bakso pembanding


45

Gambar 15 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap


derajat putih bakso ikan berkisar antara 61,17 sampai 73,44%. Nilai derajat putih
bakso ikan layaran pada penelitian ini sebesar 67,6%. Nilai ini lebih tinggi
dibandingkan dengan bakso pembanding I sebesar 61,17% tetapi lebih rendah
dibandingkan dengan bakso pembanding II sebesar 73,44%.
Tingginya derajat putih pada bakso pembanding II dapat dipengaruhi
adanya proses pencucian. Bahrudin (2008), menyatakan bahwa pencucian selain
bertujuan meningkatkan kekuatan gel juga berfungsi meningkakan derajat putih.
Saat proses pencucian dan pemerasan berlangsung semua kotoran, lemak,
haemoglobin dan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel
ikut terlarut bersama air pencuci, sehingga semakin banyak pencucian, zat-zat
yang terlarut tersebut semakin banyak, yang mengakibatkan warna gel semakin
bersih dan putih.
Nielsen dan Pigott (1994), dan Julavittayanukul et al.(2006), menyatakan
bahwa pencucian surimi dapat melarutkan lemak, darah, enzim, protein
sarkoplasma dan garam anorganik yang dapat menghambat pembentukan gel.
Namun tetap ada beberapa senyawa seperti membran lipid yang tidak ikut tercuci
dan masih mengandung senyawa yang dapat mengalami oksidasi dan menurunkan
derajat putih (Reynolds et al. 2002). Hal inilah yang diduga menyebabkan
rendahnya derajat putih pada bakso pembanding I.
Kerusakan lemak yang utama adalah proses ketengikan yang disebabkan
proses autooksidasi radikal asam lemak tak jenuh dalam lemak (Winarno 2008).
Selain itu juga terjadi reaksi pencoklatan non-enzimatis lainnya yaitu reaksi
maillard. Pada reaksi ini, gugus amina (RNH2) dari protein berikatan dengan
gugus OH- dari gula pereduksi. Akibat ikatan ini, hasil yang paling nyata dapat
dilihat pada produk adalah perubahan aroma menjadi tidak enak dan warna
menjadi coklat yang sering dijadikan pertanda kemunduran mutu (Winarno 2008)
.
(5) Water Holding Capacity (WHC)
Water Holding Capacity (WHC) didefinisikan sebagai kemampuan daging
untuk menahan air didalamnya karena adanya tekanan/gaya dari luar. WHC
merupakan interaksi protein dengan air, sehingga dengan adanya perlakuan fisik
46

pada daging selama proses pengolahan menyebabkan terbentuknya sisi-sisi


molekul miofilamen daging yang dapat berikatan dengan air (Kerry et al. 2002).
WHC bakso ikan layaran dan bakso pembanding dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16 WHC bakso ikan layaran dan bakso pembanding

Gambar 16 menunjukkan bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap WHC


bakso ikan berkisar antara 56,51 sampai 63,29%. Nilai WHC bakso ikan layaran
merupakan yang terendah dengan nilai 56,51%. Nilai ini lebih rendah
dibandingkan dengan bakso pembanding I sebesar 63,29% dan bakso pembanding
II sebesar 60,96%.
WHC bakso ikan layaran merupakan yang terendah karena menggunakan
daging lumat, sedangkan bakso pembanding lain menggunakan bahan dasar
berupa surimi. Penelitian Suryanti (2009) pada ikan patin menunjukkan bahwa
nilai WHC daging lumat tanpa pencucian sebesar 39,96%, sedangkan WHC
surimi lebih tinggi yaitu 47,90%. Hal ini dikarenakan adanya penambahan larutan
garam selama pencucian. Penambahan garam mempengaruhi keterikatan air oleh
protein. Konsentrasi garam yang tinggi dapat menurunkan interaksi protein
dengan air karena garam juga bereaksi dengan air.
Penambahan polifosfat pada bakso pembanding berfungsi untuk
memperbaiki WHC dan memberikan sifat pasta yang lebih lembut pada produk-
produk olahan surimi. Biasanya polifosfat ditambahkan sebanyak 0,2-0,3% dalam
bentuk garam natrium tripolifosfat (Peranginangin et al. 1999).
47

WHC juga disebabkan oleh sifat pati yang mudah menyerap air. Hal ini
disebabkan oleh adanya ikatan hidrogen antara amilosa dan amilopektin dengan
protein atau sejenisnya, yang juga disertai oleh pelemahan kekuatan hidrogen.
Dengan demikian, molekul air akan menyusup diantara molekul pati dan protein
(Pandisurya 1983 diacu dalam Fatriani 2003).
Pendinginan bakso akan menyebabkan terjadinya penguatan ikatan
hidrogen antara molekul pati, protein dan molekul air. Penambahan jumlah tepung
tapioka akan meningkatkan zat yang menimbulkan terjadinya ikatan hidrogen
sehingga jumlah air yang tertahan akan semakin banyak (Pandisurya 1983 diacu
dalam Fatriani 2003). Hal inilah yang menyebabkan tinggi WHC pada bakso
pembanding I karena mengandung kadar karbohidrat tinggi yang menunjukkan
jumlah tepung tapioka yang diberikan lebih banyak (Tabel 8).

4.5.3 Karakteristik kimia


Karakteristik kimia yang dilakukan terhadap bakso ikan layaran pada
penelitian ini terdiri analisis proksimat, pH dan uji protein larut garam (PLG).
Analisis proksimat merupakan salah satu jenis analisis kimia yang umumnya
dilakukan untuk menguji bahan pangan. Analisis proksimat adalah analisis yang
dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia suatu bahan secara kasar yang
terdiri atas kadar air, protein, abu, lemak dan karbohidrat by different. Hasil
analisis proksimat, pH dan PLG bakso ikan layaran dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Hasil analisis proksimat, pH dan PLG bakso ikan layaran


Komposisi Ikan layaran Pembanding I Pembanding II
Kadar air (% bb) 71,18±0,01 59,45±0,16 73,80±0,05
Protein (% bb) 8,37±0,00 5,01±0,00 7,88±0,01
Lemak (% bb) 1,19±0,01 4,03±0,13 0,85±0,02
Kadar abu (% bb) 1,39±0,01 2,28±0,12 2,16±0,00
Karbohidrat (% bb) 17,87±0,52 29,23±0,09 15,31±0,01
PLG (% bb) 3,33±0,00 3,38±0,02 0,37±0,00
pH 5,82±0,01 5,63±0,02 6,62±0,01

(1) Kadar air


Kadar air merupakan data komposisi yang sangat penting dalam bahan
pangan maupun produk pangan, karena kadar air sangat menentukan kadar
komponen lainnya. Sebagai contoh, jika kadar air suatu bahan rendah karena
48

sebagian besar telah menguap maka kadar komponen lainnya akan mengalami
kenaikan, dan demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu dalam analisis pangan,
kadar air dan komponen lainnya selalu dicantumkan yang dinyatakan dalam basis
basah dan basis kering (Faridah et al. 2008).
Berdasarkan Tabel 8, kadar air yang terkandung pada bakso ikan layaran
sebesar 71,18%, lebih tinggi dibandingkan bakso pembanding I sebesar 59,45%,
tetapi lebih rendah dibandingkan bakso pembanding II sebesar 73,80%.
Rendahnya kadar air pada bakso pembanding I diduga disebabkan oleh perbedaan
komposisi dan bahan baku bahan yang digunakan. Semakin tinggi konsentrasi
tepung tapioka yang ditambahkan maka kadar air produk akan semakin rendah.
Fitrial (2000), menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi tepung tapioka yang
ditambahkan, kadar air gel ikan cucut semakin menurun. Hal ini terjadi karena
pati yang terkandung di dalam tapioka menambah berat total dan bersifat
menyerap air, sedangkan kandungan air yang ada di dalam daging tetap sehingga
persentase kandungan air menurun.
Nilai kadar air pada bakso pembanding II hampir sama dengan penelitian
Uju (2006) yang menggunakan ikan layaran dengan satu kali pencucian, yaitu
mencapai 73,74%. Kadar air ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian karena
adanya proses pencucian. Pencucian dapat meningkatkan sifat hidrofilik dari
daging ikan (Suzuki 1981).
Kadar air meningkat karena pada proses pencucian tidak hanya melarutkan
komponen larut air tetapi juga menyerap air pencucian ke dalam jaringan tubuh
ikan. Kelebihan air dalam jumlah banyak menyebabkan kerusakan pada jaringan
tubuh ikan sehingga produk gel sulit terbentuk. Air yang terserap banyak
berakibat pada terjadinya pengendapan (salting out) yang dapat mengganggu
crosslinking (Lehninger 1988)
Besarnya nilai kadar air pada suatu bahan akan mempengaruhi tingkat
keawetan produk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Syarief dan Halid (1992),
yaitu kadar air dalam bahan pangan sangat berhubungan dengan tingkat ketahanan
produk terhadap kerusakan akibat aktivitas enzim, aktivitas mikroba, aktivitas
kimiawi yaitu terjadinya ketengikan, dan reaksi-reaksi non-enzimatis yang dapat
49

menimbulkan perubahan organoleptik, penampakan, tekstur, cita rasa serta nilai


gizinya.
Ketiga bakso tersebut secara umum, telah memenuhi SNI untuk kadar air
bakso ikan. Hal ini karena kadar air ketiga bakso tersebut kurang dari 80 %,
sedangkan kadar air pada bakso ikan maksimal 80 % (BSN 1995).

(2) Kadar protein


Protein merupakan makro molekul yang paling banyak terdapat dalam sel
dan menyusun lebih dari setengah berat kering semua organisme makuk hidup,
sehingga protein sangat penting bagi tubuh. Protein berfungsi sebagai zat
pembangun, pengatur dan sebagai bahan baku apabila keperluan energi tidak
terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak yang ada di dalam tubuh (Lehninger 1988).
Berdasarkan Tabel 8, kadar protein yang terkandung pada bakso ikan
layaran sebesar 8,37%, lebih tinggi dibandingkan bakso pembanding I dan
pembanding II, yaitu masing-masing sebesar 5,01% dan 7,88%. Secara umum,
ketiga bakso tersebut tidak memenuhi SNI untuk kadar protein bakso ikan. Hal
ini karena kadar protein ketiga bakso tersebut kurang dari 9%, sedangkan kadar
protein pada bakso ikan maksimal 9% (BSN 1995).
Kadar protein bakso pembanding I rendah karena jumlah tapioka yang
ditambahkan banyak, menyebabkan kadar protein rendah dan kadar karbohidrat
semakin tinggi (Usmiati 2009). Rendahnya kadar protein bakso ikan layaran
disebabkan denaturasi proten selama pemanasan produk. Kadar protein ikan
sebelum mengalami pengolahan sebesar 12,43%. Usydus et al. (2009)
menyatakan bahwa terjadinya penurunan kandungan asam amino ikan laut herring
dari 6,62 g/100 g menjadi 5,50 g/100 g setelah terjadi proses pemanasan.

(3) Kadar lemak


Lemak terdapat pada hampir semua bahan pangan dengan kandungan yang
berbeda-beda. Tetapi lemak seringkali ditambahkan dengan sengaja ke dalam
bahan makanan dengan berbagai tujuan. Dalam pengolahan pangan, lemak
berfungsi sebagai media penghantar panas seperti minyak goreng, shortening
(metega putih), lemak (gajih), mentega dan margarin (Winarno 2008).
50

Berdasarkan Tabel 8, kadar lemak yang terkandung pada bakso ikan


layaran sebesar 1,19%, lebih rendah dibandingkan bakso pembanding I sebesar
4,03% tetapi lebih tinggi dibandingkan bakso pembanding II sebesar 0,85%.
Secara umum, hanya bakso ikan pembanding II yang tidak memenuhi SNI untuk
kadar lemak bakso ikan. Hal ini karena kadar lemak bakso pembanding II
tersebut kurang dari 1%, sedangkan kadar lemak pada bakso ikan minimal 1%
(BSN 1995).
Lemak pada bakso ikan layaran dapat berasal dari penggunaan minyak
goreng sebagai bahan tambahan pada adonan bakso ikan sebanyak 10% dari berat
daging. Nilai lemak yang tinggi pada bakso pembanding I diduga karena adanya
penambahan lemak hewani dan telur.

(4) Kadar abu


Abu merupakan residu organik dari proses pembakaran atau oksidasi
komponen organik bahan pangan. Kadar abu dar suatu bahan pangan
menunjukkn total mineral yang terkandung didalamnya untuk mengevaluasi nilai
gizi suatu bahan pangan. Unsur mineral di dalam tubuh berfungsi sebagai zat
pembangun dan pengatur, dimana unsur-unsur mineral ada yang bergabung
dengan zat organik dan ada juga yang berbentuk ion-ion bebas. Beberapa jenis
unsur mineral yang diperlukan tubuh adalah natrium, kalsium, fosfor, magnesium,
besi dan belerang (Winarno 2008).
Berdasarkan Tabel 8, kadar abu yang terkandung pada bakso ikan layaran
sebesar 1,39%, lebih rendah dibandingkan bakso pembanding I dan bakso
pembanding II yang masing-masing sebesar 2,28 dan 2,16%. Kadar abu daging
berhubungan erat dengan kadar air dan kadar protein pada suatu jaringan bebas
lemak. Mineral yang tidak larut berasosiasi dengan protein karena mineral
terutama berasosiasi dengan bagian non lemak, daging tak berlemak biasanya
memiliki kandungan mineral atau abu yang tinggi.
Tingginya kadar abu pada kedua bakso pembanding tersebut diduga
karena adanya penambahan bahan lain pada komposisi bakso ikan. Hal ini
dikarenakan dengan adanya proses pencucian seharusnya nilai kadar abu yang
dihasilkan rendah. Berdasarkan penelitian Hendriawan (2002), semakin banyak
pencucian maka garam-garam terlarut akan semakin banyak terbuang bersama air
51

pencucian sehingga kadar abu yang dihasilkan semakin menurun. Lee (1984) dan
Venugopal et al. (1994), menyatakan bahwa tujuan pencucian hancuran daging
ikan adalah untuk menghilangkan garam-garam anorganik, protein larut air,
pigmen dan kontaminan.
Penambahan phosphat dalam surimi dapat meningkatkan kadar abu karena
phosphat merupakan garam mineral. Kadar abu dalam surimi jauh lebih besar
dari pada daging lumat dengan pencucian karena dalam pengolahan surimi
diberikan sodium tripolyphospat (STPP) yang juga merupakan garam mineral.
Secara umum, ketiga bakso tersebut telah memenuhi SNI untuk kadar abu
bakso ikan. Hal ini karena kadar abu ketiga bakso tersebut kurang dari 3%,
sedangkan kadar air pada bakso ikan maksimal 3% (BSN 1995).

(5) Kadar karbohidrat by different


Karbohidrat memegang peranan penting dalam alam karena karbohidrat
merupakan sumber energi utama bagi hewan dan manusia. Selain itu, karbohidrat
juga memegang peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan
seperti penampakan, warna dan tekstur. Karbohidrat berfungsi untuk mencegah
terjadinya pemecahan protein yang berlebihan, kehilangan mineral dan membantu
metabolisme lemak dan protein (Winarno 2008).
Berdasarkan Tabel 8, kadar karbohidrat yang terkandung pada bakso ikan
layaran sebesar 17,87%, lebih tinggi dibandingkan bakso pembanding I sebesar
29,23% dan lebih rendah dibanding bakso pembanding II sebesar 15,31%.
Tingginya kadar karbohidrat pada bakso pembanding I dapat disebabkan adanya
penambahan tepung yang lebih dari 10% dari berat ikan. Nilai karbohidrat ini
sangat dipengaruhi oleh komponen lain seperti air, protein, abu dan lemak karena
menggunakan metode by different.

(6) Protein larut garam


Protein larut garam merupakan protein yang dapat berinteraksi dengan
garam sehingga dapat membentuk struktur jaringan protein daging yang kuat dan
dapat mengubah tekstur daging. Berdasarkan Tabel 8, protein larut garam yang
terkandung pada bakso ikan layaran sebesar 3,33%, lebih tinggi dibandingkan
bakso pembanding I sebesar 3,38% dan lebih rendah dibanding bakso
52

pembanding II sebesar 0,37%. Rendahnya nilai PLG pada bakso pembanding II


dapat disebabkan oleh jenis ikan yang berbeda serta penggunaan surimi sebagai
bahan awal. Pratiwiningsih (2004) menyatakan bahwa pembuatan surimi dapat
menurunkan PLG daging lumat ikan marlin dari 4,66 menjadi 2,69%. Hal serupa
juga terjadi pada ikan pullock yang mengalami penurunan PLG dari 18,1%
menjadi 5,99% setelah menjadi surimi (Park et al. 1996)

(7) pH
Nilai pH merupakan parameter pengamatan yang penting dalam analisis
pangan. Protein tersusun dari beberapa jenis asam amino yang diantaranya ada
yang memiliki sifat asam dan basa. Dalam kondis asam (pH rendah), gugus
amino bereaksi dengan H+, sehingga protein bermuatan positif, dan sebaliknya
dalam kondisibasa (pH tinggi) gugus amino bereaksi dengan OH - sehingga protein
bermuatan negatif (Winarno 2008).
Berdasarkan Tabel 8, nilai pH yang terkandung pada bakso ikan layaran
sebesar 5,82%, lebih tinggi dibandingkan bakso pembanding I sebesar 5,63%,
tetapi lebih rendah dibandingkan bakso pembanding II sebesar 6,62%. Nilai pH
yang rendah pada ikan layaran disebabkan karena ikan yang digunakan pada
penelitian ini sudah memasuki fase akhir rigor mortis yang ditandai dengan nilai
organoleptik ikan yang dibawah 7 pada parameter insang dan penampakan
sayatan daging.
Ikan layaran termasuk ikan berdaging merah yang mempunyai kandungan
glikogen tinggi yang digunakan untuk berenang dan bermigrasi dalam waktu lama
(Shimizu et al. 1992), sehingga setelah post-mortem akan cepat mengalami
glikolisis dan mengakumulasi asam laktat, yang menyebabkan pH daging ikan
turun secara cepat hingga mencapai pH 5,6 (Matsumoto dan Noguchi 1992).
Shimizu et al. (1992) menyebutkan bahwa ikan berdaging merah pada umumnya
memiliki pH yang rendah hingga mencapai pH 5,6-5,8, sedangkan ikan berdaging
putih memiliki pH yang lebih tinggi antara 6,1-6,5.
53

5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Simpulan hasil penelitian gel daging lumat dan bakso dari daging lumat
ikan layaran (Istiophorus orientalis) adalah :
1 Komposisi kimia gel ikan layaran untuk kadar air sebesar 76,13%, kadar
protein 11,20%, kadar abu 2,80%, kadar lemak 0,80%, kadar karbohidrat
9,07% dan protein larut garam sebesar 4,66%. Gel daging lumat ikan layaran
menghasilkan kekuatan gel 1469,45 gf, derajat putih 63,03%, WHC 56,44%
dengan nilai uji lipat 4,90 dan uji gigit 7,47.
2 Nilai kekuatan gel bakso daging lumat ikan layaran sebesar 755,65 gf, derajat
putih 67,6%, WHC 56,51%. Hasil analisis proksimat bakso untuk kadar air
sebesar 71,18%, kadar protein 8,37%, kadar abu 1,39%, kadar lemak 1,19%,
kadar karbohidrat 17,87%, protein larut garam 3,33% dan pH 5,82.
3 Berdasarkan uji hedonik bakso ikan layaran lebih disukai daripada bakso
pembanding I dan II meliputi penampakan, aroma, tekstur,dan uji lipat.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah perlu dilakukan
penelitian lanjutan dengan bahan baku ikan yang berbeda untuk mengetahui
karakteristik produk gel dan bakso ikan. Untuk memperbaiki kandungan protein
bakso ikan layaran, perlu ditambahkan sumber protein lain seperti ISP, telur atau
daging ikan lain. Selain itu, untuk proses komersialisasi perlu dilakukan
penambahan daging ikan jenis lain yang harganya lebih murah untuk mengurangi
biaya produksi dalam pembuatan bakso ikan.
54

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Method of


Analysis of The Association of Official Analitycal of Chemist. Arlington,
Virginia, USA: Published by The Association of Analitycal Chemist, Inc.
Alasalvar C, Taylor T. 2002. Seafood-Quality, Technology and Nutraceutical
Application. Berlin : Springer.
Alpis. 2002. Mempelajari pembuatan kloro karagenan dari rumput laut jenis
Eucheuma cottonii dengan penambahan beberapa konsentrasi KOH dan
KCl [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Astawan M, Wahyuni M, Santoso J, Sarifah J. 1996. Pemanfaatan ikan gurame
(Osphronemous gouramy Lac.) dalam pembuatan gel ikan. Buletin
Teknologi dan Industri Pangan. Vol VI. Hal: 9-15.
Astuti EF. 2009. Pengaruh jenis tepung dan cara pemasakan terhadap mutu bakso
dari surimi ikan hasil tangkap sampingan (HTS) [skripsi]. Bogor: Fakultas
Perikanan dan ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. Bakso Ikan. SNI 01-3819-1995.
Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
________________________________. 2006. Sesifikasi Bakso Ikan Beku Bagian
1. SNI 01-7266.1-2006. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
________________________________. 2006. Spesifikasi Ikan Segar I.
SNI 01-2729.1-2006. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
________________________________. 2009. Cara Uji Fisika Bagian 6.
SNI 2732.6:2009. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
________________________________. 2011. Petunjuk Pengujian Organoleptik
dan atau Sensori pada Produk Perikanan. SNI 2346:2011. Jakarta: Badan
Standarisasi Nasional.
Bahrudin. 2008. Penggunaan Na-sitrat pada jenis tepung yang berbeda dalam
pembuatan bakso kering ikan mata goyang (Priacanthus tayenus)
[skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan ilmu kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
Baier KS, Mc Clements DJ. 2005. Influence of covalent system on the gelation
mechanism of globular prortein : thermodynamic, kinetic and structural
aspects of globular protein gelation. Comprehensive Reviews in Food
Science and Food Safety. 4 : 43-45.
Bakar A, Usmiati S. 2007. Teknologi Pengolahan Daging. Bogor; Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.
Bentis CA, Zotos A, Petridis D. 2005. Production of fish-protein product (surimi)
from small pelagic fish (Sardinops pilchardusts), underutilized by the
industry. Journal of Food Engineering. 68 : 303-308.
55

Buckle KA, Edwards R, Fleat GH, Wooton M. 1985. Ilmu Pangan. Hari Purnomo
dan Andino, penerjemah: Bogor.
Chaijan M, Benjakul S, Visessanguan, Fautsman C. 2004. Characteristic and gel
properties of muscle from sardine (Sardinella gibbosa) and mackerel
(Rastralliger kanarguta) caught in Thailand. Food Research International
37:1021-1030.
Chairita. 2008. Karakteristik bakso ikan dari campuran surimi ikan laying
(Decapterus spp.) dan ikan kakap merah (Lutjanus sp.) pada penyimpanan
suhu dingin [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Chairita, Harddjito L, Santoso J, Santoso. 2009. Karakteristik bakso ikan dari
campuran surimi ikan laying (Decapterus sp.) dan ikan kakap merah
(Lutjanus sp.) pada penyimpanan suhu dingin. Jurnal Pengolahan Hasil
perikanan Indonesia 8 (1):46-58.
Chang-Lee MV, Pacheco-aguilar R, Crawford L, Lampila LE. 1989. Proteolitic
activity of surimi from Pasific whiting (Merluccius productus) and heat-set
gel texture. Journal of Food Science. 54(5):1116-1124.
Chen NH. 1995. Thermal stability and gel-forming ability af shark muscle as
related to ionic strength. Journal of Food Science 60(6): 1237-1240.
Daniati T. 2005. Pembuatan bakso ikan cucut dengan bahan tambahan jenis
tepung yang berbeda [Tugas akhir]. Semarang : Fakultas Teknik,
Universitas Negeri Malang.
DeMan JM. 1985. Principles of Food Chemistry. The AVI Publishing Company
Inc, Westport, Connecticut.
Desrosier NW. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Jakarta: UI-Press.
Djazuli N, Wahyuni M, Monintja D, Purbayanto A. 2009. Modifikasi teknologi
pengolahan surimi dalam pemanfaatan “by-catch” pukat udang di laut
Arafura. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia 12 (1): 17-30.
Eryanto I. 2006. Karakteristik surimi fillet ikan nila (Oreochromis niloticus) yang
disimpan pada suhu dingin [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Fardiaz D. 1985. Kamaboko, Produk Olahan Ikan yang Berpotensi Untuk
Dikembangkan. Media Teknologi Pangan. 1 (2).
Faridah DN, Kusumaningrum HD, Wulandari N, Indrasti D. 2006. Penuntun
Praktikum Analisis Pangan. Bogor ; Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor
Fatriani Y. 2003. Evaluasi penambahan tepung tapioka dan es batu pada berbagai
tingkat yang berbeda terhadap kualitas bakso sapi [skripsi]. Bogor:
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Forrest JCM, Aberle ED, Hedrick HB, Judge MD, Merrel MA. 1975. Principle of
Meat Science. WH. Freeman. San Francisco.
56

Fishbase. 2010. Istiophorus platypterus. http://www.fishbase.org/summary/


Istiophorus-platypterus.html. [14 Oktober 2011]
Fitrial Y. 2000. Pengaruh konsentrasi tepung tapioka, suhu dan lama perebusan
terhadap mutu gel daging ikan cucut lanyam (Carcharhinus limbatus)
[tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, IPB.
Gomez-Guillen MC, Montero P, Solas MT, Borderias AJ. 1998. Thermally
induced aggregation of giant squid (Dosidicus gigas) mantle proteins:
physicochemical contribution of added ingredients. J.Agric.Food Chem.
46: 3440-3446.
Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jilid I. Jakarta :
Penerbit Liberty.
Hall GM, Ahmad NH. 1992. Surimi and fish minced product. Dalam Hall GM
(editors). Fish Processing and Technology. New York: Blackie Academic
and Professional.
Hendriawan B. 2002. Kemampuan pembentukan gel surimi daging merah ikan
tuna (Thunnus sp.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Hudson BJF. 1992. Biochemistry of Food Proteins. London: Elsevier Applied Sci.
Istihastuti PR, Djalili N, Ratnawati, Handayani T. 1997. Pengaruh kesegaran ikan
nila (Oreochromis sp.) terhadap gel streght surimi. Jurnal Pasca Panen
Perikanan. Vol VII. Hal: 25-33.
Jaczynski J, Park JW. 2004. Physicochemical change in Alaska pollack surimi and
surimi gel as affected by electron beam. Journal of Food Science. 69 (1):
C53-C57
Jin SK, Kim IS, Kim SJ, Jeong KJ. 2007. Effect of muscle type and washing times
on physic-chemical characteristics and qualities of surimi. Journal of Food
Engineering 81: 618–623.
Julavittayanukul O, Benjakul S, Visessanguan W. 2006. Effect of compounds on
gel-forming ability of surimi from Bigeye Snapper (Priacanthus tayenus).
Food Hydrocolloids 20 : 1153-1163.
Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta : Penebar Swadaya.
Kerry et al. 2002. Meat Processing. Improving Quality. Woodhead Published
Limited. Cambridge England.
Kim JM, Lee CM. 1987. Effect of starch of textural properties of surimi gel.
Journal of Food Science. 52(3):722-725.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2006. Data produksi.
www.buku02.pdf [10 Oktober 2011].
____________________________________________. 2010. Data produksi.
www.buku02.pdf [10 Oktober 2011].
57

Konagoya. 1990. Keeping of freshness of wet fish. Di dalam: Motohiro T et. al,
editor. Science of Processing Marine Food Products. Volume 1.Hyogo:
Japan International Cooperation Agency.
Koswara S, Hariyadi P, Purnomo EH. 2001. Bakso daging. Jurnal Teknologi
Pangan dan Agroindustri 1 (8): 1411-2736.
Kramlich WE, Pearson AM, Tauber FW. 1973. Processed Meats. The AVI
Publishing Co., Westport-Connecticut.
Lanier TC. 1992. Measurement of surimi composition and functional properties.
Di dalam: Lanier TC, Lee CM, editor. Surimi Technology. New York:
Marcel Dekker.
Lee CM. 1984. Surimi Process Technology. Food Technology. 38(11): 69-80.
Lehninger AH. 1988. Biokimia :Jilid I. Penerjemah : Thenawijaya M. Jakarta :
Erlangga.
Leung WT, Ritva WRB, Flora HC. 1972. Food Table For Use In East Asia. Part I
& II. Roma.
Luo Y, Shen H, Pan D, Bu G. 2008. Gel properties of surimi from Silver Carp
(Hypophthalmichthys molitrix) as effected by heat treatment and soy
protein isolate. Food Hydrocolloids 22 : 1513-1519.
Matsumoto JJ, Noguchi SF.1992. Cryostabilization of protein in surimi. Di dalam
: Surimi Technology. Lanier TC, Lee CM, editors. New York : Marcel
Dekker.
Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Morrissey MT, Wu JW, Lin D, An H. 1993. Protease inhibitor effects on torsion
measurements and autolysis of Pasific whitting surimi. Journal of Food
Science. 58(5): 1050-1054.
Nantami N. 2011. Karakteristik sosis ayam dari surimi ikan lele dumbo (Clarias
gariepenus) dengan penambahan isolate protein kedelai [skripsi]. Bogor:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Nakai S, Modler HW. 1996. Food Proteins : Properties and Characterization.
VHC Publisher. USA
Nielsen RG, Pigott GM. 1994. Gel strenght increased in low-grade heat seat
surimi with blended phosphates. Journal of Food Science 2 (59): 246-250.
Niwa E. 1992. The chemistry of surimi gelation. Di dalam: Lanier TC, Lee CM,
editor. Surimi Technology. New York: Marcel Dekker.
Offer G, Knight P. 1988. The structural basis of water holding in meat. Di dalam :
Development in Meat Science-4. Lawrie R, editor. London : Elsevier
Applied Science.
Panagan AT. 2010. Pengaruh penambahan bubuk bawang merah (Allium
ascalonicum) terhadap bilangan peroksida dan kadar asam lemak bebas
minyak goreng curah. Jurnal Penelitian Sains. 10: 06-05.
58

Park S, Brewer MS, Novakofski J, Bechtel PJ and McKeith FK. 1996. Process
and characteristic for a surimi-like material made from beef or pork.
Journal of Food Science. 61(2):422-427.
Peranginangin R, Wibowo S, Fawzya YN. 1999. Teknologi Pengolahan Surimi.
Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi.Balai Penelitian Perikanan Laut.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta.
Pusparani R. 2003. Pemanfaatan tepung sukun (Altocarpus altilis) sebagai bahan
pengikat pada pembuatan kamaboko daging merah ikan tuna mata besar
(Thunnus obesus) [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.
Pratiwiningsih IT. 2004. Kajian sifat fungsional, mikrostruktur, dan pendugaan
umur simpan surimi kering dari ikan marlin (Makaira sp.) [thesis]. Bogor:
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rahayu WP. 1998. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Teknologi
Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Bogor: IPB.
Rahmawati D. 2005. Karakteristik fisika kimia gel ikan sapu-sapu (Hyposarcus
pardalis) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan ilmu kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Rawdkuen S, Sai-Ut S, Khamsorn S, Chaijan M, Benjakul S. 2009. Biochemical
and gelling properties of tilapia surimi and protein recovered using an
acid– alkaline process. Food Chemistry 112:112–119.
Reynolds J, Park JW, Choi YJ. 2002. Physicochemical properties of Pacific
Whiting surimi as affected by various freezing and storage conditions.
Journal of Food Science. 67(6): 2072-2078.
Rismunandar. 1993. Lada, Budidaya dan Tata Niaganya. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Rosa R, Bandara NM, Nunes ML. 2007. Nutritional quality of African catfish
Clarias gariepinus (Burchell 1822): a positive criterion for the future
development of the European production of Silurodei. International
Journal of Food Science and Technology 42:342-351.
[SIDATIK] Sistem Informasi Diseminasi Data Statistik Kelautan dan Perikanan.
2011. Statistik perikanan tangkap perairan laut. www.statistik.kkp.go.id.
[23 Maret 2012].
Saanin H.1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan I, Bandung : Bina cipta
Bandung.
Santoso J, Trilaksani W, Nurjanah, Nurhayati T. 1997. Perbaikan mutu gel ikan
mas (Cyprinus carpio) melalui modifikasi proses. Laporan Penelitian.
Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Saparinto C dan Hidayati D. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta:
Kanisius
Shahidi F. 1994. The chemistry, processing technology and quality of seafood an
interview. Di dalam : Shahidi F, Botta JR, editor. Seafood : Chemistry,
59

Processing Technology and Quality. London: Blackie Academic &


Professional.
Shimizu Y, Toyohara H, Lanier TC. 1992. Surimi production from fatty and
darkfleshed fish species. Di dalam: Lanier TC, Lee CM, editor. Surimi
Technology. New York: Marcel Dekker.
Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil
Pertanian. Jakarta : Bhratara Karya Aksara.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Stansby ME. 1982. Properties of fish oils and their application to handling of fish
and to nutritional and industrial use. Di dalam: RE Martin, editor. In
Chemistry and Biochemistry of Marine Food Products. Westport
Conecticut: AVI Publishing Company.
Suryanti. 2009. Kajian sifat fungsional daging lumat dan surimi ikan patin siam
(Pangasius hypopthalamus) serta aplikasinya menjadi dendeng giling dan
pendugaan umur simpannya [thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,
Instutut Pertanian Bogor.
Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein : Processing Technology. London :
Applied Science Publisher, Ltd.
Syarief R, Halid H. 1992. Teknologi Penyimpanan Pangan. Jakarta : Arcan.
Tanikawa E. 1985. Marine Product in Japan. Tokyo: Koseisha Koseikaku Co.
Ltd.
Tabilo-Munizaga G, Barbosa-Canovas GV. 2004. Color and textural parameters
of pressurized and heat-treated surimi gels as affected by potato starch and
egg white. Food Research International 37:767-775.
Tahergorabi R, Beamer SK, Matak KE, Jaczynski J. 2012. Salt substitution in
surimi seafood and its effects on instrumental quality attributes. Food
Science and Technology 48: 175–181.
Uju. 2006. Pengaruh penyimpanan beku surimi terhadap mutu bakso ikan jangilus
(Istiophorus sp.). Buletin Teknologi Hasil Perairan.9(2):46-55.
Uresti RM, Luis ST Telles, Ramirez JA, Vazquez M. 2004. Use of diary protein
and microbial transglutaminase to obtain low-salt fish product from
filleting wastefrom silver carp (Hypopthalmicthys molitrix). Food
Chemistry. 86:257-262.
Usmiati S. 2009. Bakso sehat. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 31
(6):13-14.
Usydus Z, Szilinder-Richert J, Adamczyk M. 2009. Protein quality and amino
acid of fish product availabe in Poland. Food Chemistry. 112:138-145.
Utomo AR, Ristiarini S, Reynaldo SR. 2004. Penentuan kombinasi terbaik
penambahan maltodekstrin de-12 dan STTP pada pengolahan surimi ikan
tongkol (Euthynnus affinis). Teknologi Pangan 18: 146-151.
60

Venugopal V, Doke SN, Nair PM. 1994. Gelation of shark myofibrillar protein by
week organic acids. Food Chemistry 50 (2): 185-190.
Wu MC, Lanier TC, Hamann DD. 1985. Thermal transitions of admixed
starch/fish protein systems during heating. Journal of Food Science.
50:20-25.
[WPI] Warta Pasar Ikan. 2011. Ikan penyuplai protein. Edisi Mei Volume 93.
Waridi. 2004. Pengolahan Bakso Ikan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Watanabe S. 1990. The chemistry of protein from marine animals. Dalam Science
of Processing Marine Food Product. Vol I. Editor Motohiro T, Kadota H,
Hashimoto K, Kayama M, Tokunaga T. Japan International Cooperation
Agency. Hyogo International Centre. Japan.
Wibowo S. 1999. Budidaya Bawang Putih, Merah dan Bombay. Jakarta : Penebar
Swadaya.
_________. 2006. Pembuatan Bakso Ikan dan Daging. Jakarta: Penebar Swadaya.
Winarno FG dan Rahayu TS. 1994. Bahan Tambahan untuk Makanan dan
Kontaminan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia.
Yasin AWN. 2005. Pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging
lumat ikan cucut pisang (Carcharinus falciformis) dan ikan pari kelapa
(Trygon sephen) terhadap karakteristik surimi yang dihasilkan [skripsi].
Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Yunizal, Suparno dan Nasran S. 1998. Usaha mengurangi kadar urea daging cucut
mentah dengan perebusan menggunakan superheated steam. Laporan
Penelitian Teknologi Perikanan. 28: 27-30.
Zayas JF. 1997. Functionality of Protein in Foods. Berlin: Springer Verlag.
61

LAMPIRAN
62

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar

Nama Panelis :
Tanggal pengujian :
Instruksi :
 Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan
pengujian.
 Berilah tanda √ pada nilai yang dipilih sesuai kode contoh yang diuji.
Kode sampel
Spesifikasi Nilai
Kenampakan
1 Mata
 Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih 9
 Cerah, bola mata rata, kornea jernih 8
 Agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-abuan,
7
kornea agak keruh
 Bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan,
6
kornea agak keruh
 Bola mata agak cekung, pupil keabu-abuan, kornea
5
agak keruh.
 Bola mata cekung, pupil mulai berubah menjadi
3
putih susu, kornea keruh.
 Bola mata sangat cekung, kornea agak kuning. 1
2 Insang
 Warna merah cemerlang, tanpa lendir. 9
 Warna merah kurang cemerlang, tanpa lendir. 8
 Warna merah agak kusam, tanpa lendir. 7
 Warna merah agak kusam, sedikit lendir. 6
 Mulai ada diskolorisasi, merah kecoklatan, sedikit
5
lendir, tanpa lendir.
 Warna merah coklat, lendir tebal. 3
 Warna merah coklat ada sedikit putih, lendir tebal. 1
3 Lendir permukaan
 Lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat cerah. 9
 Lapisan lendir jernih, transparan, cerah, belum ada
8
perubahan warna.
 Lapisan lendir agak keruh, warna agak putih, kurang
7
transparan.
 Lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak kusam,
6
kurang transparan.
 Lendir tebal menggumpal, mulai berubah warna
5
putih, keruh.
 Lendir tebal menggumpal, berwarna putih kuning. 3
 Lendir tebal menggumpal, warna kuning kecoklatan. 1
4 Daging (wana dan kenampakan)
 Sayatan daging sangat cemerlang, spesifik jenis, 9
63

tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang,


dinding perut daging utuh.
 Sayatan daging cemerlang, spesifik jenis, tidak ada
pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut 8
daging utuh.
 Sayatan daging sedikit kurang cemerlang, spesifik
jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang 7
belakang, dinding perut daging utuh.
 Sayatan daging mulai pudar, banyak pemerahan
sepanjang tulang belakang, dinding perut daging 5
agak lunak.
 Sayatan daging kusam, warna merah jelas sekali
sepanjang tulang belakang, dinding perut daging 3
lunak.
 Sayatan daging kusam sekali, warna merah jelas
sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut 1
daging lunak sekali.
5 Bau
 Bau sangat segar, spesifik jenis. 9
 Segar, spesifik jenis. 8
 Netral. 7
 Bau amonniak mulai tercium, sedikit bau asam. 5
 Bau amoniak kuat, ada bau H2S, bau asam jelas dan
3
busuk.
 Bau busuk sekali. 1
6 Tekstur
 Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit
9
menyobek daging dari tulang belakang.
 Agak padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit
8
menyobek daging dari tulang belakang.
 Agak padat, agak elastis bila ditekan dengan jari,
7
sulit menyobek daging dari tulang belakang.
 Agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari,
5
agak mudah menyobek daging dari tulang belakang.
 Lunak, bekas jari terlihat bila ditekan, mudah
3
menyobek daging dari tulang belakang.
 Sangat lunak, bekas jari ttidak hilang bila ditekan,
1
mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang.
(SNI 01-2729.1-2006)
64

Lampiran 2 Lembar penilaian uji sensori (hedonik)


Nama panelis :
Tanggal pengujian :
Jenis produk :
Berikan tanda √ pada nilai yang disukai dari contoh yang disajikan
Penampakan Tekstur Rasa
Spesifikasi Nilai
Kode sampel Kode sampel Kode sampel
Amat sangat suka 9
Sangat suka 8
Suka 7
Agak suka 6
Netral 5
Agak tidak suka 4
Tidak suka 3
Sangat tidak suka 2
Amat sangat tidak suka 1
(SNI 2346:2011)

Warna Aroma
Spesifikasi Nilai
Kode sampel Kode sampel
Amat sangat suka 9
Sangat suka 8
Suka 7
Agak suka 6
Netral 5
Agak tidak suka 4
Tidak suka 3
Sangat tidak suka 2
Amat sangat tidak suka 1
(SNI 2346:2011)
65

Lampiran 3a Lembar penilaian uji lipat

Nama panelis :
Tanggal pengujian :
Jenis produk :
Berikan tanda √ pada nilai yang disukai dari contoh yang disajikan
Spesifikasi Nilai Grade Kode sampel
Tidak retak bila dilipat dua kali 5 AA
Tidak retak bila dilipat satu kali 4 A
Sedikit retak bila dilipat satu kali 3 B
Retak bila dilipat satu kali 2 C
Hancur bila ditekan jari 1 D
(SNI 2732.6:2009)

Lampiran 3b Lembar penilaian uji gigit

Nama panelis :
Tanggal pengujian :
Jenis produk :
Berikan tanda √ pada nilai yang disukai dari contoh yang disajikan
Spesifikasi Tekstur dan Elastisitas Nilai Kode sampel
Amat sangat kuat 10
Sangat kuat 9
Kuat 8
Agak kuat 7
Normal 6
Agak lunak 5
Lunak 4
Sangat lunak 3
Amat sangat lunak 2
Hancur 1
(SNI 2732.6:2009)

Lampiran 3c Contoh perhitungan rendemen

Ikan layaran utuh = 20 kg = 20000 gram


Daging ikan = 8898 gram
Daging lumat = 7724 gram
 Perhitungan rendemen daging ikan =

 Perhitungan rendemen daging lumat =


66

Lampiran 4 Rekapitulasi uji organoleptik ikan layaran

Panelis Mata Insang Lendir Daging Bau Tekstur


1 6 5 8 7 7 7
2 5 3 8 5 8 5
3 6 6 6 7 7 7
4 8 3 6 7 5 8
5 8 5 7 7 7 8
6 5 5 8 5 8 9
7 6 3 6 5 5 7
8 6 6 8 7 8 8
9 6 7 3 5 9 8
10 5 7 6 7 8 8
11 6 5 7 7 5 7
12 5 6 5 5 5 5
13 3 1 5 3 5 7
14 6 3 6 7 5 5
15 1 1 5 3 5 7
16 5 5 5 5 5 5
17 6 6 7 5 5 7
18 6 5 8 5 7 8
19 5 5 6 5 7 5
20 6 8 7 8 8 9
21 8 8 7 9 8 8
22 7 6 6 5 7 8
23 6 6 7 5 8 5
24 8 7 8 8 7 9
25 7 6 6 7 8 5
26 7 6 6 5 5 7
27 7 7 6 5 8 7
28 6 6 9 8 7 9
29 6 6 9 8 7 9
30 6 7 6 7 7 7
Rata-rata 5,93 5,33 6,57 6,07 6,70 7,13
67

Lampiran 5 Rekapitulasi uji sensori, uji lipat dan uji gigit gel ikan layaran

Gel ikan layaran


Panelis
Penampakan Warna Rasa Aroma Tekstur Uji Lipat Uji Gigit
1 7 7 6 7 6 5 5
2 6 7 3 5 6 5 5
3 8 7 8 8 8 5 7
4 8 8 8 7 9 5 9
5 7 7 7 4 7 5 7
6 7 6 7 6 6 5 7
7 7 7 5 6 5 5 9
8 8 8 7 7 8 5 9
9 7 7 5 4 7 5 7
10 8 8 7 7 7 5 5
11 7 8 7 8 7 5 8
12 7 7 7 7 7 5 8
13 7 7 7 7 7 5 8
14 8 4 8 8 5 5 4
15 7 7 7 5 7 5 8
16 8 8 3 4 3 5 8
17 7 8 7 6 7 5 7
18 8 7 7 7 8 5 9
19 6 7 4 5 8 5 8
20 7 6 7 7 7 5 4
21 9 8 8 7 8 5 9
22 7 8 7 6 7 5 8
23 7 6 7 7 7 5 9
24 8 4 7 7 4 5 6
25 3 5 7 7 6 5 6
26 8 6 7 5 8 5 9
27 7 5 6 7 7 5 8
28 8 7 8 7 9 5 9
29 9 7 9 9 9 5 10
30 6 5 4 5 5 3 8
Rata-rata 7,23 6,73 6,57 6,30 6,93 4,90 7,47
68

Lampiran 6 Rekapitulasi uji sensori, uji lipat dan uji gigit bakso ikan
layaran

Bakso ikan layaran


Panelis
Penampakan Warna Rasa Aroma Tekstur Uji Lipat Uji Gigit
1 6 8 5 5 8 5 9
2 8 5 6 7 9 4 8
3 7 6 6 7 7 4 8
4 7 6 7 7 7 5 7
5 7 7 8 7 7 5 9
6 4 8 4 5 5 4 6
7 8 8 7 7 8 5 4
8 6 8 4 5 6 5 6
9 6 7 6 7 5 5 6
10 7 8 6 8 8 5 8
11 7 7 7 7 7 5 8
12 6 6 6 6 6 5 8
13 7 6 6 6 7 5 6
14 8 7 9 8 8 5 8
15 6 5 6 6 6 3 7
16 5 5 7 7 6 5 6
17 9 9 9 9 9 5 10
18 7 6 6 6 8 5 7
19 8 8 8 8 8 5 8
20 8 7 6 7 7 5 7
21 7 7 8 7 7 5 8
22 7 6 7 7 7 3 6
23 9 7 6 5 9 5 10
24 9 8 7 7 9 5 10
25 7 7 7 7 7 5 7
26 6 6 5 5 6 5 5
27 5 7 7 8 7 5 10
28 7 6 6 6 8 5 9
29 6 8 6 7 6 5 8
30 5 7 3 7 6 5 4
Rata-rata 6,83 6,77 6,37 6,70 7,13 4,77 7,43
69

Lampiran 7a Rekapitulasi hasil analisis kekuatan gel

Jenis produk Hasil (gf) Rata-rata (gf)


1464,4
Gel ikan layaran 1469,45
1474,5
755,7
Bakso ikan layaran 755,65
755,6
2267,3
Bakso ikan pembanding I 2219,20
2171,1
1154,8
Bakso ikan pembanding II 1171,85
1188,9

Lampiran 7b Rekapitulasi hasil analisis derajat putih

Jenis produk Hasil (%) Rata-rata (%)


63,2541
Gel ikan layaran 63,03
62,8109
67,6001
Bakso ikan layaran 67,60
67,6098
61,1733
Bakso ikan pembanding I 61,17
61,1670
73,4180
Bakso ikan pembanding II 73,44
73,4622

Lampiran 7c Rekapitulasi hasil analisis Water Holding Capacity (WHC)

Jenis produk Hasil (%) Rata-rata (%)


54,05
Gel ikan layaran 56,44
58,82
57,59
Bakso ikan layaran 56,51
55,43
62,11
Bakso ikan pembanding I 64,28
64,46
60,43
Bakso ikan pembanding II 60,96
61,48
70

Lampiran 8a Rekapitulasi hasil analisis proksimat


Air Abu Protein Lemak Karbohidrat
Jenis produk
(%) (%) (%) (%) (%)
76,00 2,80 11,20 0,79 9,21
Gel ikan layaran
76,25 2,79 11,20 0,80 8,97
Rata-rata 76,13 2,80 11,20 0,80 9,07
71,12 1,38 8,06 1,19 18,25
Bakso ikan layaran
71,23 1,39 8,68 1,18 17,52
Rata-rata 71,18 1,39 8,37 1,19 17,87
Bakso ikan pembanding 59,33 2,36 5,01 4,12 29,18
I 59,56 2,19 5,01 3,93 29,31
Rata-rata 59,45 2,28 5,01 4,03 29,23
Bakso ikan pembanding 73,83 2,16 7,87 0,83 15,31
II 73,76 2,16 7,89 0,86 15,33
Rata-rata 73,80 2,16 7,88 0,85 15,31
Keterangan : # Perhitungan rata-rata menggunakan pembulatan ke atas dengan
dua angka dibelakang koma
# Penghitungan kadar karbohidrat secara by different

Lampiran 8b Rekapitulasi hasil analisis Protein Larut Garam (PLG)

Jenis produk Hasil (%) Rata-rata (%)


4,6725
Gel ikan layaran 4,66
4,6515
3,3330
Bakso ikan layaran 3,33
3,3285
3,8757
Bakso ikan pembanding I 3,89
3,9005
0,3659
Bakso ikan pembanding II 0,37
0,3667
71

Lampiran 9a Grafik hasil analisis kekuatan gel pada gel ikan layaran

Lampiran 9b Grafik hasil analisis kekuatan gel bakso ikan layaran


72

Lampiran 10a Grafik hasil analisis kekuatan gel bakso ikan pembanding I

Lampiran 10b Grafik hasil analisis kekuatan gel bakso ikan pembanding II
73

Lampiran 11 Dokumentasi pembuatan bakso ikan layaran dengan bahan


baku daging lumat

Preparasi ikan Pemisahan bagian Penimbangan Penggilingan


tubuh ikan daging daging

Daging lumat Perebusan Pengeluaran Gel ikan


gel ikan

Daging lumat Penambahan Pengadonan Pencetakan


bahan lain

Perebusan Perebusan Pendinginan Bakso


daging lumat

Anda mungkin juga menyukai