10E00162
10E00162
TESIS
OLEH :
HERNA HUTASOIT
NIM :
047110006
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
HASIL TESIS
OLEH :
HERNA HUTASOIT
PEMBIMBING :
Dr. BEBY PARWIS, SpM
Prof. Dr. H. ASLIM D. SIHOTANG, SpM (K-VR)
Drs. H. ABDUL DJALIL AMRI ARMA, Mkes
TESIS
Telah disetujui
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------1. Dr. Delfi, SpM
Kepala Bagian
Pembimbing
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan Syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih
dan Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan berkatNya sehingga saya dapat
menyelesaikan penulisan tesis dengan judul Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak di
Kabupaten Tapanuli Selatan
Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh keahlian dalam bidang Ilmu Kesehatan Mata. Saya menyadari bahwa tesis ini
banyak kekurangannya dan masih jauh dari sempurna, namun demikian besar harapan saya
kiranya tulisan sederhana ini dapat bermanfaat.
Dengan selesainya laporan penelitian ini, perkenankanlah saya menyampaikan rasa terima
kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan
Dokter Spesialis di Fakultas Kedokteran USU Medan.
Dr. Delfi, SpM, Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK-USU Medan ; Dr. Rodiah
Rahmawaty Lubis,SpM, Sekretaris Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK-USU Medan ; Prof.
dr. H Aslim D Sihotang, SpM(K-VR), Ketua Program Studi Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan
Mata FK-USU Medan ; dr. Hj. Aryani Atiyatul Amra, SpM, Sekretaris Program Studi Dokter
Spesialis Ilmu Kesehatan Mata FK-USU Medan ; dan juga dr. H. Azman Tanjung, SpM,
selaku Kepala Bagian Ilmu Penyakit Mata pada saat saya diterima untuk mengikuti
pendidikan spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK-USU Medan.
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
Dr.Beby Parwis, SpM selaku pembimbing tesis saya, dan nara sumber yang penuh dengan
kesabaran telah meluangkan waktu yang sangat berharga untuk membimbing, memeriksa, dan
melengkapi penulisan tesis ini hingga selesai.
Dr. Abd. Jalil Amri Arma, M.Kes, yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk
membimbing saya dalam penyelesaian uji statistik tesis ini.
Seluruh Staf Pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK-USU Medan, yang secara
langsung telah banyak membimbing dan mendidik saya sejak awal hingga akhir pendidikan.
Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada yang terhormat guru
guru saya : Dr. H. Mohd. Dien Mahmud, SpM, Dr. H. Chairul Bahri AD,SpM, Dr. H. Azman
Tanjung, SpM, Dr. H. Abdul Gani, SpM, Prof. Dr. H. Aslim. D. Sihotang, SpM ( KVR ), Dr.
Masang Sitepu SpM, Dr. Hj. Adelina Hasibuan, SpM, Dr. H. Bachtiar, SpM, Dr. Suratmin,
SpM, Dr. Hj. Nurhaida Djamil SpM, Dr, Hj. Rizafatmi, SpM, Dr. H. Syaiful Bahri, SpM, Dr.
Beby Parwis SpM, Dr. Hj. Heriyanti Harahap, SpM, Dr. Hj. Aryani A. Amra,SpM, Dr. Delfi,
SpM , Dr Zaldi, SpM, Dr. Nurchaliza SpM, Dr. Masitha Dewi, SpM, Dr. Rodiah Rahmawaty
Lubis,SpM, Dr. Bobby RE Sitepu, SpM dan Dr. T.Siti Harilza Zubaidah, SpM atas
pengajaran, bimbingan, kritik dan saran yang telah saya terima selama menempuh pendidikan
keahlian ini.
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan dan sarana
kepada saya untuk bekerja sama selama mengikuti pendidikan di Departemen Ilmu Kesehatan
Mata.
Direktur RSU Dr. Pirngadi Medan dan Kepala SMF Ilmu Kesehatan Mata RSU Dr. Pirngadi
Medan yang telah memberikan kesempatan dan sarana kepada saya untuk bekerja selama
mengikuti pendidikan di Departemen Ilmu Kesehatan Mata.
Direktur RSU Kisaran dan Direktur RSU Kabanjahe yang telah memberikan kesempatan dan
sarana kepada saya untuk bekerja selama mengikuti pendidikan di Departemen Ilmu
Kesehatan Mata.
Ucapan terima kasih juga kepada Bupati dan Kadinkes Kabupaten Tapanuli Selatan yang
telah memberikan izin dan membantu saya dalam melakukan penelitian di Kabupaten
Tapanuli Selatan.
Kepada senior-senior saya, dr. Hasmui, SpM ; dr. Juniarson Barus, SpM ; dr. Sri Ninin, SpM ;
dr. Elly TES, SpM ; dr. Lylys Surjani, SpM ; dr. Andri Libra,SpM ; dr. R.Handoko, SpM ;
dr. Meianto, SpM ; dr. Januar Sitorus, SpM ; dr. Feriyani, SpM ; dr. Raja C Lubis, SpM ; dr.
Hj. Novie Diana Sari, SpM ; dr. Ira Karina Siregar, SpM ; dr. Andriyeni, SpM, dr. Nova
Arianti, SpM , terimakasih banyak atas segala bimbingan, bantuan dan dukungannya yang
telah diberikan selama ini.
Kepada teman teman belajar
Christina YY Bangun, dr.Cut Nori Altika, dr. Jenny Rahmalita, dr. Reni Guspita, dr. Iskandar
Mirza, dr. Muhammad, dr. Kaherma Sari, dr. Laszuarni, dr. Hasnawati, dr. Meriana Rasyid,
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
serta dr. Fithria Aldy khususnya yang sudah memberikan dorongan serta persahabatan yang
sangat berarti dan kebersamaan selama saya menjalani pendidikan.
Seluruh teman sejawat PPDS yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas
kebersamaan dan dorongan semangat yang telah diberikan selama ini.
Dokter Muda, Bidan, Paramedis, karyawan/karyawati, serta para pasien di Departemen Ilmu
Kesehatan Mata FK USU/ RSUP H. Adam Malik RSUD Dr. Pirngadi Medan yang
daripadanya saya banyak memperoleh pengetahuan baru, terima kasih atas kerja sama dan
saling pengertian yang diberikan kepada saya sehingga dapat sampai pada akhir program
pendidikan ini.
Kepada kedua orang tua saya yang terkasih, Bapak Alfred Hutasoit, SH SpN dan Ibu
Dameria Silaban, yang telah membesarkan, membimbing, mendoakan, serta mendidik saya
dengan penuh kasih sayang dari sejak kecil hingga kini serta memberikan bantuan dan
motivasi selama mengikuti pendidikan ini, saya ucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya.
Kepada yang saya sayangi Bapak Mertua saya, Drs. Hidup Bangun (Alm) dan Ibu Mertua
saya, Maria Sitepu (Almh) yang telah memberikan dorongan semangat serta doa kepada
saya dalam mengikuti pendidikan, saya ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya.
Buat Suamiku tercinta dan kukasihi, Dr.Arjuna Wijaya Bangun, terima kasih atas
pengertian, kesabaran, dorongan semangat, pengorbanan dan doa yang telah diberikan
untukku hingga dapat menyelesaikan pendidikan ini. Semoga Tuhan selalu memberkati rumah
tangga kita dan tetap memelihara cinta kasih kita.
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
Buat anakku terkasih, Simon Hadi Bangun, terimakasih anakku atas doa untuk mama yang
selalu Simon panjatkan setiap hari dan terimakasih atas pengorbananmu di hari-hari sibuk.
Simon merupakan inspirasi dan pendorong motivasi mama serta pemberi semangat untuk
menyelesaikan pendidikan ini.
Kepada abang saya, Parlindungan Hutasoit, SH ; Sautma Tulus Hutasoit, SE dan adik saya
Ir. Ani Puspita Hutasoit ; Dr.Lina Puspita Hutasoit, SpM ; Dr. Yonas Immanuel Hutasoit,
SpU serta saudara-saudara ipar saya, terimakasih atas dukungannya selama ini.
Akhirnya kepada seluruh keluarga handai tolan yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu
persatu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang telah banyak memberikan
bantuan, baik moril maupun materil, saya ucapkan banyak terima kasih.
Semoga Tuhan Allah selalu melimpahkan rahmat dan kasih sayangNya kepada kita semua.
Medan,
Desember 2009
Penulis
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI ....................................................................................................................vi
BAB I. PENDAHULUAN............................................... 1
1.1. LATAR BELAKANG ............................................................................... 1
1.2. RUMUSAN MASALAH .......................................................................... 4
1.3
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
BAB I
PENDAHULUAN
1972 telah mengajukan kriteria yang seragam dan definisi kebutaan sebagai suatu tajam
penglihatan yang kurang dari 3/60 (snellen) atau yang ekuivalen dengannya. Pada 1979 WHO
menambahkan dengan ketidaksanggupan hitung jari pada jarak 3 meter di ruang terbuka
dengan cahaya matahari.4
Pada 1977 International Classification of Diseases (ICD) membagi berkurangnya
penglihatan menjadi 5 kategori dengan maksimum tajam penglihatan kurang dari 6/18
Snellen, dimana kategori 1 dan 2 termasuk dalam low vision sedangkan kategori 3,4 dan 5
disebut blindness. Pasien dengan lapang pandangan 50 100 ditempatkan pada kategori 3 dan
lapangan pandangan kurang dari 50 ditempatkan pada kategori 4.( Tabel 1)4
Katarak senilis adalah penyebab kebutaan di dunia sebesar 48 % atau sekitar 18 juta
orang. Hal inilah yang menyebabkan peningkatan jumlah operasi katarak. Jumlah operasi
katarak per 100.000 populasi per tahun disebut dengan cataract surgery rate ( CSR ),
digunakan sebagai indikator untuk menilai usaha pemberantasan kebutaan akibat katarak. Di
negara maju ( Amerika Utara, Eropa Barat, Australia dan Selandia Baru ) CSR lebih dari
4000, dimana Australia paling tinggi di dunia, mencapai 6500. Di Afrika dan Cina, CSR
kurang dari 500. Di Amerika Tengah dan Selatan, Eropa Timur, dan Timur Tengah, CSR
kurang dari 1000. Di India, lebih dari 4000. Kebutaan akibat katarak ( <3/60 ) jarang dijumpai
pada negara dengan CSR lebih dari 4000, kecuali India, dimana prevalensi kataraknya sangat
tinggi.6
Tidak berarti bahwa CSR yang tinggi bertujuan untuk mengatasi kebutaan akibat
katarak. Ada beberapa alasan yang dikemukakan. Pertama, ambang penglihatan saat
dilakukan operasi operasi menurun. Di beberapa negara maju, tajam penglihatan 6/9 (
dibandingkan dengan definisi kebutaan menurut WHO <3/60 ) sudah dilakukan operasi
sehingga terjadi peningkatan jumlah operasi katarak 3-4 kali lipat di negara negara seperti
Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Swedia. Alasan kedua, kebanyakan operasi untuk
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
menurunkan kebutaan akibat katarak lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas. Alasan
menarik lainnya, insentif operator juga mempengaruhi keputusan untuk melakukan operasi
katarak.6
Di Indonesia, katarak merupakan penyebab utama kebutaan dengan prevalensi buta
katarak 0,78% dari prevalensi kebutaan 1,5% pada tahun 1996. Walaupun katarak adalah
penyakit usia lanjut, namun 16-20% buta katarak telah dialami oleh penduduk Indonesia pada
usia 40-54 tahun, yang menurut kriteria Biro Pusat Statistik (BPS) termasuk dalam kelompok
usia produktif. Makin tingginya angka harapan hidup penduduk Indonesia maka jumlah
penderita katarak makin meningkat, sehingga pelayanan bedah katarakpun makin bertambah.7
Blindness
Kebutaan karena katarak kejadiannya diperkirakan 0,1% dari jumlah penduduk per
tahun.1,8 Operasi katarak merupakan satu-satunya cara untuk mencegah kebutaan akibat
katarak yang dilakukan seluruh spesialis mata di Indonesia, baik di Rumah Sakit maupun
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
secara massal. Oleh karena keterbatasan laporan Rumah Sakit digabung dengan perkiraan
kasar, jumlah operasi katarak yang dilakukan saat ini tidak lebih dari 200.000 per tahun.9
Meskipun angka prevalensi buta katarak nasional sudah ditentukan, namun angka
prevalensi buta katarak ditiap-tiap daerah propinsi berbeda-beda, khusus untuk Sumatera
Utara yang memiliki 46 Rumah Sakit dan 402 Pusat Kesehatan Masyarakat, serta dokter mata
yang hampir tersebar merata diseluruh daerah, diperkirakan memiliki angka prevalensi buta
katarak yang jauh lebih kecil daripada angka prevalensi buta katarak nasional seperti
penelitian Handoko P di Tanjung Balai tahun 2004 didapat prevalensi kebutaan akibat katarak
sebesar 0,37%
10
dan penelitian Elly T.E Silalahi di Kabupaten Karo tahun 2004 didapat
1.2.
RUMUSAN MASALAH
Berapa angka kebutaan katarak untuk Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 2009
dan faktor faktor apa saja yang mempengaruhi angka kebutaan katarak tersebut.
1.3.
TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum :
Mendapatkan angka kebutaan akibat katarak untuk Kabupaten Tapanuli Selatan dan
faktor-faktor yang mempengaruhi kebutaan katarak.
Tujuan Khusus:
a. Untuk mengetahui karakteristik geografi Kabupaten Tapanuli Selatan
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
1.4.
MANFAAT PENELITIAN
1. Dengan penelitian ini dapat dibuat pemetaan tentang buta katarak di Kabupaten
Tapanuli Selatan.
2. Dapat dibuat kebijakan yang berkaitan dengan penatalaksanaan kebutaan akibat
katarak serta estimasi proyeksi kegiatan yang dapat menurunkan angka kebutaan
katarak.
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. DEFINISI
Lensa adalah suatu struktur transparan ( jernih ). Kejernihannya dapat terganggu oleh
karena proses degenerasi yang menyebabkan kekeruhan serabut lensa. Terjadinya kekeruhan
pada lensa disebut dengan katarak.14
B. ANATOMI
Lensa kristalin adalah struktur transparan, bikonveks yang berfungsi untuk: 15
Akomodasi
Lensa tidak mempunyai asupan darah ataupun inervasi syaraf, dan bergantung
sepenuhnya pada akuos humor untuk metabolisme dan pembuangan limbahnya. Terletak di
belakang iris dan di depan korpus vitreous. Posisinya ditopang oleh zonula zinni, terdiri dari
serabut serabut kuat yang melekat ke korpus siliaris.15
Diameter lensa adalah 9-10 mm dan tebalnya bervariasi dengan umur, mulai dari 3,5
mm (saat lahir) dan 5 mm (dewasa).14,15 Beratnya juga bervariasi antara 135 mg ( 0-9 tahun )
hingga 255 mg ( usia 40-80 tahun ). 14
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
Lensa mempunyai dua permukaan yaitu permukaan anterior dan posterior, dimana
kelengkungan permukaan posterior lebih besar dengan radius kurvatura 10 mm dibandingkan
permukaan anterior dengan radius kurvatura 6 mm.14,16 Kedua permukaan ini bertemu di
ekuator.14
Lensa dapat merefraksikan cahaya karena memiliki indeks refraksi, normalnya sekitar
1,4 di sentral dan 1,36 di perifer. Dalam keadaan nonakomodatif, kekuatannya 15-20 dioptri
(D).14
Struktur lensa terdiri dari :
1. Kapsul
Tipis, transparan, dikelilingi oleh membran hialin yang lebih tebal pada
permukaan anterior dibanding posterior.14 Kapsul lensa merupakan membran
basal yang dihasilkan oleh sel epitel lensa, dimana komposisi terbanyak adalah
kolagen tipe IV.16 Kapsul lensa paling tebal di zona preekuatorial anterior dan
posterior dan paling tipis pada bagian posterior sentral.15,17 Dengan
pertambahan umur, kapsul anterior menebal sekitar 2 lipatan.17
2. Serabut Zonular
Lensa disokong oleh serabut zonular berasal dari basal lamina nonpigmented
epithelium pars plana dan pars plikata daripada korpus siliaris. Zonular ini
masuk ke dalam lensa di regio ekuator. Diameter serabut adalah 5-30 m.15
Pada keadaan tidak berakomodasi, badan siliaris memegang zonula sedemikian
rupa sehingga zonula dalam keadaan tegang dan menyebabkan kapsul lensa
tertarik dan bentuknya kurang cembung (konveks). Saat berakomodasi,
kontraksi otot badan siliaris akan menyebabkan processus ciliaris terdorong
lebih jauh ke arah sentral, hal ini membuat zonula mengendur. Dengan tidak
adanya tarikan dari zonula, bentuk lensa menjadi lebih cembung (diameter
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
ketinggian berbeda. Dijumpai prevalensi katarak senilis yang lebih tinggi di Tibet
yakni 60 % dibandingkan di Beijing.18
1. Pekerjaan
3. Pendidikan
2. Lingkungan
Ultra violet
Radikal bebas
4. Nutrisi
antioksidan
5. Perokok
Gangguan Struktur protein
Katarak
6. Diare
7. Diabetes
Reaksi fotokimia
8. Alkohol
9. Obat-obatan
10. Gender
Gambar 1. Proses terjadinya katarak( dikutip dari Gambar II.3 Faktor Resiko Buta Katarak
Usia Produktif :Tinjauan Khusus terhadap enzim Glutation Reduktase dan Riboflavin Darah,
2000,p20)
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
3. Pendidikan
Dari beberapa pengamatan dan survei di masyarakat diperoleh prevalensi katarak
lebih tinggi pada kelompok yang berpendidikan lebih rendah. Meskipun tidak
ditemukan hubungan langsung antara tingkat pendidikan dan kejadian katarak,
namun tingkat pendidikan dapat mempengaruhi status sosial ekonomi termasuk
pekerjaan dan status gizi.7
4. Nutrisi
Walaupun defisiensi nutrisi dapat menyebabkan katarak pada hewan, tapi etiologi
ini sulit untuk dipastikan pada manusia.18,19 Beberapa penelitian mendapatkan
bahwa multivitamin, vitamin A, vitamin C, vitamin E, niasin, tiamin, riboflavin,
beta karoten, dan peningkatan protein mempunyai efek protektif terhadap
perkembangan katarak. Lutein dan zeaxantin adalah satu satunya karotenoid
yang dijumpai dalam lensa manusia, dan penelitian terakhir menunjukkan adanya
penurunan resiko katarak dengan peningkatan frekuensi asupan makanan tinggi
lutein (bayam, brokoli ). Dengan memakan bayam yang telah dimasak lebih dari
dua kali dalam seminggu dapat menurunkan resiko katarak.19
5. Perokok
Merokok dan mengunyah tembakau dapat menginduksi stress oksidatif dan
dihubungkan dengan penurunan kadar antioksidan, askorbat dan karotenoid.20
Merokok menyebabkan penumpukan molekul berpigmen 3 hydroxykhynurinine
dan chromophores, yang menyebabkan terjadinya penguningan warna lensa.
Sianat dalam rokok juga menyebabkan terjadinya karbamilasi dan denaturasi
protein.14
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
6. Diare
Dideskripsikan oleh Harding, diare berperan dalam kataraktogenesis melalui 4
cara yaitu malnutrisi, asidosis, dehidrasi, dan tingginya kadar urea dalam darah.21
Diare Kronis
malnutrisi
asidosis
dehidrasi
Ketidakseimbangan osmotik
antara ion & akuos
sianat
GSH
Inaktivasi enzim
Karbamilasi
protein
Unfolding
of protein
Katarak
Gambar 2. Skema spekulatif yang menggambarkan 4 cara utama dimana diare
dapat berpengaruh dalam kataraktogenesis( Dikutip dari Figure 4.14 Anatomy and
Physiology of Eye, 2005, p90)
7. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus dapat mempengaruhi kejernihan lensa, indeks refraksi, dan
amplitudo akomodatif. Dengan meningkatnya kadar gula darah, maka meningkat
pula kadar glukosa dalam akuos humor. Oleh karena glukosa dari akuos masuk ke
dalam lensa dengan cara difusi, maka kadar glukosa dalam lensa juga meningkat.
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
Sebagian glukosa tersebut dirubah oleh enzim aldose reduktase menjadi sorbitol,
yang tidak dimetabolisme tapi tetap berada dalam lensa.19
8. Alkohol
Peminum alkohol kronis mempunyai resiko tinggi terkena berbagai penyakit mata,
termasuk katarak. Dalam banyak penelitian alkohol berperan dalam terjadinya
katarak. Alkohol secara langsung bekerja pada protein lensa dan secara tidak
langsung dengan cara mempengaruhi penyerapan nutrisi penting pada lensa.22
9. Obat obatan
Data klinis dan laboratorium menunjukkan banyak obat yang mempunyai potensi
kataraktogenik. Obat obatan yang meningkatkan resiko katarak adalah
kortikosteroid, fenotiazin, miotikum, kemoterapi, diuretik, obat penenang, obat
rematik, dan lain lain. 18
10. Gender
Tingginya resiko perempuan terkena katarak sebenarnya tidaklah terlalu besar tapi
secara konsisten dijumpai dalam banyak penelitian penelitian. Tingginya
prevalensi pada perempuan terutama untuk resiko terjadinya katarak kortikal.18
D. GEJALA KLINIS
Kekeruhan lensa dapat terjadi tanpa menimbulkan gejala, dan dijumpai pada
pemeriksaan mata rutin. Gejala katarak yang sering dikeluhkan adalah :
1. Silau
Pasien katarak sering mengeluh silau, yang bisa bervariasi keparahannya mulai
dari penurunan sensitivitas kontras dalam lingkungan yang terang hingga silau
pada saat siang hari atau sewaktu melihat lampu mobil atau kondisi serupa di
malam hari. Keluhan ini khususnya dijumpai pada tipe katarak posterior
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
6. Sensitivitas kontras
Sensitivitas kontras mengukur kemampuan pasien untuk mendeteksi variasi
tersamar dalam bayangan dengan menggunakan benda yang bervariasi dalam hal
kontras, luminance dan frekuensi spasial. Sensitivitas kontras dapat menunjukkan
penurunan fungsi penglihatan yang tidak terdeteksi dengan Snellen. Namun, hal
tersebut bukanlah indikator spesifik hilangnya tajam penglihatan oleh karena
katarak.23
7. Myopic shift
Perkembangan katarak dapat terjadi peningkatan dioptri kekuatan lensa, yang
umumnya menyebabkan miopia ringan atau sedang.23 Umumnya, pematangan
katarak nuklear ditandai dengan kembalinya penglihatan dekat oleh karena
meningkatnya miopia akibat peningkatan kekuatan refraktif lensa nuklear
sklerotik, sehingga kacamata baca atau bifokal tidak diperlukan lagi. Perubahan ini
disebut second sight.24 Namun, seiring dengan perubahan kualitas optikal lensa,
keuntungan tersebut akhirnya hilang juga.23
E. TIPE KATARAK
Tiga tipe utama katarak senilis, adalah :
1. Katarak Nuklear
Beberapa derajat nuklear sklerosis dan penguningan dikatakan normal pada pasien
dewasa setelah melewati usia menengah. Secara umum, kondisi ini hanya sedikit
mengganggu fungsi penglihatan. Sklerosis dan penguningan dalam jumlah yang
berlebihan disebut katarak nuklear, yang menyebabkan kekeruhan sentral.19 Tingkatan
sklerosis, penguningan dan kekeruhan dievaluasi dengan slit-lamp secara oblik19,25 dan
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
pemeriksaan refleks merah dengan pupil dilatasi.19 Bila sudah lanjut, nukleus
berwarna coklat (katarak brunescent) dan konsistensinya keras.25
2. Katarak kortikal
Perubahan komposisi ion pada korteks lensa dan perubahan hidrasi pada serabut lensa
menyebabkan kekeruhan kortikal.19 Gejala katarak kortikal yang sering dijumpai
adalah silau19,25 akibat sumber cahaya fokal, seperti lampu mobil.19 Monokular
diplopia bisa juga dijumpai. Tanda pertama pembentukan katarak kortikal terlihat
dengan slitlamp sebagai vakuola dan celah air (water clefts) di korteks anterior atau
posterior.19
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan salah satu daerah yang berada di Sumatera
Utara. Secara geografis Kabupaten Tapanuli Selatan berada pada 0 10 1 50 Lintang
Utara, 9850 10010 Bujur Timur26,27 dan 0 1.915 m di atas permukaan laut. Kabupaten
Tapanuli Selatan menempati area seluas 4.367,05 km yang terdiri dari 12 Kecamatan dan
503 Desa. Area Kabupaten Tapanuli Selatan di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten
Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah, di sebelah Selatan berbatasan dengan Propinsi Sumatera
Barat dan Kabupaten Madina, di sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia dan
Kabupaten Madina dan di sebelah Timur berbatasan dengan Propinsi Riau dan Kabupaten
Labuhan Batu. Berdasarkan luas daerah menurut kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan,
luas daerah terbesar adalah kecamatan Sipirok dengan luas 577,18 km2 atau 13,22 persen
diikuti Kecamatan Sayur-matinggi dengan luas 519,60 km2 atau 11,90 persen. Sedangkan luas
daerah terkecil adalah Kecamatan Arse dengan luas 143,67 km2 atau 3,29 persen dari total
luas wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.26
Seperti umumnya daerah daerah lainnya yang berada di kawasan Sumatera Utara,
Kabupaten Tapanuli Selatan termasuk daerah yang beriklim tropis. Sehingga daerah ini
memiliki 2 musim yaitu : musim kemarau dan musim hujan.26
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
Sarana kesehatan yang ada di Kabupaten Tapanuli Selatan meliputi 3 Rumah Sakit
Umum Pemerintah. Sementara pada daerah Kecamatan dan Pedesaan Kabupaten Tapanuli
Selatan pada tahun 2007 ini memiliki sarana kesehatan yang cukup memadai yaitu : 16 buah
Puskesmas, 57 Puskesmas pembantu dan 547 buah Posyandu yang semuanya tersebar di tiap
Kecamatan.26
Kecamatan
Puskesmas
Puskesmas
Balai
Pembantu
Pengobatan
Puskesmas
Posyandu
Keliling
Batang
73
Sayurmatinggi
74
Angkola
57
26
Angkola Barat
40
Batang Toru
66
Marancar
29
Sipirok
12
49
Arse
30
Saipar Dolok
73
Aek Bilah
30
Muara Batang
Angkola
Timur
Angkola
Selatan
Hole
Toru
Tabel 2. Sarana/Pelayanan Kesehatan di Kabupaten Tapanuli Selatan (Sumber BPS. Prop.
Sumut 2008)
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
Tenaga Medis yang tersedia di Kabupaten Tapanuli Selatan, baik negeri maupun
swasta ada 43 orang Dokter Umum, 10 orang Dokter Gigi dan 1 orang Dokter Spesialis.
Dokter Spesialis Mata belum ada.26
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESA
3.1.
KERANGKA KONSEPSIONAL
Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan dan mengarahkan
asumsi mengenai elemen-elemen yang diteliti. Berdasarkan rumusan masalah yang telah
dipaparkan dalam latar belakang, tinjauan kepustakaan yang ada, maka kerangka konsep
digambarkan sebagai berikut:
KERANGKA KONSEP
SOSIAL
EKONOMI
BUDAYA TTG
PEMELIHARAAN
KES. MATA
GEOGRAFI
3.2.
SUMBER DAYA
MANUSIA
KEBUTAAN
KATARAK
SARANA DAN
PRASARANA
KESEHATAN
DEFINISI OPERASIONAL
-
Kebutaan katarak adalah penderita katarak dengan visus terbaik pada kedua mata
< 3/60
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
Geografi adalah kondisi alam apakah mudah/sulit dijangkau dari sarana dan
prasarana kesehatan yang tersedia, dimana hal tersebut akan mempengaruhi
cakupan pelayanan kesehatan yang akan diberikan
Sumber daya manusia adalah tenaga ahli khususnya Dokter Spesialis Mata dan
perawat mahir mata yang tersedia
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1.
DESAIN PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian survei dengan pendekatan Cross Sectional atau potong
lintang yang bersifat deskriptif , artinya subjek yang diamati pada saat monitoring biologik
dan pengukuran tingkat pengetahuan masyarakat dinilai dengan pengamatan pada saat
bersamaan ( transversal ) atau dengan satu kali pengamatan / pengukuran.
4.2.
tinggi dengan diwakili 6 kecamatan terpilih dengan penentuan sampel secara purposive.
4.3.
POPULASI PENELITIAN
Populasi penelitian adalah seluruh penduduk yang ada di wilayah kerja penelitian yang
4.4.
BESAR SAMPEL
Untuk mendapatkan data yang representatif yang mewakili satu Kabupaten Tapanuli
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
n=
Dimana :
n=
N=
Z=
Varians Populasi
( ai + P mi ) =
ai - 2 P ai mi + P mi
n-1
P
n-1
ai
mi
Mi
n
mi
ai
Jumlah kecamatan
Varians populasi
( ai + P mi )2
n -1
ai2 2 P ai Mi + P2 mi2
n -1
2894,282833
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
ai
mi
0,1
mi
n
mi
ai
291,8265
1,5 %
0,78
Kecamatan
Angkola Barat
Sayurmatinggi
Batang
Angkola
Sipirok
Batang Toru
Angkola Timur
Jlh
Penduduk
47087
36733
Jumlah
kebutaan
(mi)
706
551
Banyak
Kebutaan
(ai)
367
287
mi*mi
498867
303595
ai*ai
134894
82092
ai*mi
259411
157870
G=
6%
85
66
30771
30494
25918
23548
462
457
389
353
240
238
202
184
213042
209224
151142
124764
57607
56574
40869
33736
110782
108796
78594
64877
55
55
47
42
194551
2918
1517
1500635 405772 780330
351
Tabel 3 Distribusi Penduduk Kabupaten Tapanuli Selatan Sumber (BPS prop. Sumut tahun
2008)
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
4.5.
Kriteria inklusi :
-
semua penderita katarak dengan visus < 3/60 dan dengan pemeriksaan direk
ophthalmoskop dengan midriatikum dijumpai kekeruhan lensa
Kriteria eksklusi :
4.6.
IDENTIFIKASI VARIABEL
4.7.
sosial ekonomi
budaya
geografi
1. Snellen Chart
2. Direct ophthalmoskop
3. Senter
4. Lup
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
5. Tonometer Schiotz
6. Tropicamide 1 % tetes mata
7. Pantocain 0, 5 % tetes mata
8. Fenicol 1 % tetes mata
9. Alkohol 70 % dan kapas
10. Kapas steril
11. Kertas kuesioner
12. Alat tulis
4.8.
data karateristik dari sample, sarana dan prasarana didaerah penelitian. Daerah penelitian
untuk satu kabupaten akan diwakili oleh satu kecamatan terpilih berdasarkan informasi dari
dinas kesehatan dimana di wilayah itu dijumpai kasus katarak yang tidak tertangani yang
cukup tinggi, jika dibanding dengan kecamatan lain di kabupaten yang sama. Peneliti akan
mengunjungi seluruh unit pelayanan kesehatan di wilayah penelitian yang terdiri puskesmas
induk, puskesmas pembantu, bidan desa dan fasilitas kesehatan swasta. Kemudian peneliti
akan memberikan informasi kepada dokter umum/perawat/bidan yang bertugas diwilayah
penelitian tentang cara pengisian formulir kuesioner mengenai data pasien katarak yang
berkunjung ke unit pelayanan kesehatan, lalu penderita katarak dikumpulkan pada suatu
tempat dan waktu tertentu, kemudian peneliti akan memeriksa langsung sampel. Peneliti akan
tinggal di wilayah penelitian sampai seluruh pasien yang telah mengisi formulir kuesioner
diperiksa. Data akan disimpan dan dikomputerisasi dengan menggunakan software SPSS
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
4.9.
ANALISIS DATA
Analisa data dilakukan secara deskripsi dan disajikan dalam bentuk tabulasi data
Februari
1
Juli
4
Agustus
3
Desember
4
: Herna Hutasoit
Pembantu penelitian
: 1. Vanda Virgayanti
2. Herman
3. Lesus Eko Sakti
4.Iskandar Mirza B.
5.Fithria Aldy
6.Muhammad
7.Hasnawati
2.
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini berbentuk survei yang dilakukan pada tanggal 29 Juni 2009 sampai
dengan 31 Juli 2009 pada 6 kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan didapat penderita yang
mengalami kebutaan sebanyak 360 orang, dari beberapa desa yang terdapat sampel buta
dengan jumlah penduduk 29332 orang. Dimana dijumpai kebutaan dua mata yang sesuai
dengan kriteria WHO sejumlah 155 orang.
Jumlah sampel buta yang didapat dari 6 kecamatan adalah sebagai berikut, yaitu :
Kecamatan Angkola Barat : 22 jiwa, Kecamatan Sayurmatinggi : 103 Jiwa, Kecamatan
Batang Angkola : 99 jiwa, Kecamatan Sipirok : 43 jiwa, Kecamatan Batang Toru : 30 jiwa,
Kecamatan Angkola Timur : 63 jiwa.
Hal ini sesuai dengan rumus pengambilan sampel, dimana jumlah sampel yang
diambil sesuai dengan rumus Cluster dengan cara Propositional Allocation methode.
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
LAKI - LAKI
PEREMPUAN
< 10
10 20
10
12
21 30
31 40
11
15
41 50
12
14
51 60
16
49
61 70
22
89
71 80
22
55
> 80
16
JUMLAH
104
256
Dari tabel 5.1.1.1 distribusi sampel berdasarkan usia diatas, didapatkan jumlah sampel
terbanyak pada usia 61 -70 tahun yaitu 111 orang. Selanjutnya usia 71 - 80 tahun sebanyak
77 orang .
2. Jenis kelamin
Tabel 5.1.1.2. Sebaran sampel berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin
Laki laki
104
28,89
Perempuan
256
71,11
Jumlah
360
100
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
Hasil tabel 5.1.1.2. didapatkan sampel berjenis kelamin laki laki sebanyak 104 orang
( 28,89% ) dan perempuan sebanyak 256 orang ( 71,11% ).
3. Tingkat Pendidikan
Tabel 5.1.1.3. Sebaran sampel berdasarkan tingkat pendidikan.
Tingkat Pendidikan
Tidak Sekolah
63
17,50
SD
226
62,78
SMP
40
11,11
SMA
30
8,33
Akademi / PT
0,28
Jumlah
360
100
Hasil tabel 5.1.1.3. memperlihatkan bahwa sampel yang tidak sekolah sebanyak 63
orang, SD / sederajat 226 orang , SMP / sederajat 40 orang, SMA / sederajat 30 orang.
Akademi / Perguruan Tinggi 1 orang. Sebagian besar tingkat pendidikan sampel adalah
Sekolah Dasar atau yang sederajat.
4. Jenis pekerjaan
Tabel 5.1.1.4. Sebaran sampel berdasarkan jenis pekerjaan
Pekerjaan
Petani
Pengemudi
Pegawai
Ibu Rumah Tangga
Dagang / wiraswasta
Lainnya
Jumlah
Dari tabel 5.1.1.4. diatas tampak bahwa
N
%
251
69,72
3
0,83
5
1,39
25
6,95
35
9,72
41
11,39
360
100
petani merupakan porsi terbesar yaitu sebanyak 251
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
5. Suku Bangsa
Tabel 5.1.1.5. Sebaran sampel berdasarkan suku bangsa
Suku Bangsa
Jawa
1,39
Mandailing
232
64,44
Melayu
0.28
Batak lainnya
117
32,50
Minang
1,39
Jumlah
360
100
Berdasarkan tabel 5.1.1.5. diatas tampak bahwa suku Mandailing merupakan suku
yang terbanyak.
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
2.
Satu mata
Usia
5 - 20
2,88
1,42
21 - 40
7,00
41 - 60
7,12
15
20.76
61 - 80
53
75,71
50
69.44
>81
10
14,29
1,38
Jumlah
70
100
72
100
Jumlah
Satu Mata
72
50,70
Dua Mata
70
49,30
Jumlah
142
100
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
Dari tabel 5.1.2.2 di atas tampak bahwa penderita kebutaan katarak satu mata
lebih banyak dibandingkan dua mata yaitu sejumlah 72 orang, sedangkan penderita
dua mata sebanyak 70 orang.
3. Jenis Kelamin
Tabel 5.1.2.3 Sebaran Kebutaan Katarak Berdasarkan Jenis Kelamin
Dua mata
Satu mata
Jenis Kelamin
Laki laki
15
21,43
21
29,17
Perempuan
55
78,57
51
70,83
Jumlah
70
100
72
100
Dari tabel 5.1.2.3 tampak bahwa penderita kebutaan katarak lebih banyak
diderita oleh perempuan yaitu sebanyak 105 orang atau 73,94 %, sedangkan lakilaki sebanyak 37 orang atau 26,06 %.
4. Tingkat Pendidikan
Tabel 5.1.2.4 Sebaran Kebutaan Katarak Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat
Dua mata
Satu mata
Pendidikan
Tidak Sekolah
20
28,57
15
20,83
SD
48
68,57
46
63,89
SLTP
1,43
5,56
SLTA
1,43
9,72
Akademi / PT
Jumlah
70
100
72
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
100
Dari tabel 5.1.2.4 di atas tampak bahwa penderita katarak dua mata ataupun satu mata
lebih banyak terdapat pada penderita katarak dengan pendidikan sekolah dasar yaitu
sebesar 68,60 % dan 63,8 %.
5. Pekerjaan
Tabel 5.1.2.5 Sebaran Kebutaan Katarak Berdasarkan Pekerjaan
Dua mata
Satu mata
Pekerjaan
Petani
58
82,86
55
76,39
IRT
7,14
9,72
Dagang
1,42
1,39
Buruh
Pegawai
4,29
4,17
Pengemudi
Lainnya
4,29
8,33
Jumlah
70
100
72
100
Pekerjaan penderita kebutaan katarak dua mata yang terbanyak adalah petani
sebanyak 82,86 % diikuti dengan ibu rumah tangga sebanyak 7,14 %.
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
Dua mata
Satu mata
Katarak
< 1 tahun
1 2 tahun
16
22,86
18
25,00
> 2 tahun
54
77,14
54
75,00
Jumlah
70
100
72
100
Dari tabel 5.1.2.6 di atas tampak bahwa penderita kebutaan katarak dua mata
dan kebutaan satu mata kebanyakan mengeluhkan kebutaan selama >2 tahun,
yaitu sebesar 77,14 % dan 75 %
7. Riwayat Penyakit DM
Tabel 5.1.2.7 Sebaran Kebutaan Katarak Berdasarkan Riwayat Penyakit DM
Riwayat Penyakit
Dua mata
Satu mata
DM
DM
7,14
8,33
Tidak DM
65
92,86
66
91,67
Jumlah
70
100
72
100
Dari tabel diatas, terlihat bahwa kebanyakan penderita katarak dua mata
maupun satu mata tidak menderita DM yaitu 92,86% dan 91,67%.
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
8. Riwayat Merokok
Tabel 5.1.2.8 Sebaran Kebutaan Katarak Berdasarkan Riwayat Merokok
Riwayat Merokok
Dua mata
Satu mata
Merokok
18
25,71
21
29,16
Tidak Merokok
52
74,29
51
70,84
Jumlah
70
100
72
100
Dari tabel 5.1.2.8 di atas tampak bahwa kebanyakan penderita katarak dua
mata maupun satu mata tidak mempunyai riwayat merokok, yaitu sebesar 74,29 %
dan 70,84%.
9. Tempat berobat
Tabel 5.1.2.9 Sebaran Kebutaan Katarak Berdasarkan Tempat Berobat
Dua mata
Satu mata
Tempat Berobat
Puskesmas
31
44,29
14
19,44
RS Pemerintah
12,85
16
22,22
RS Swasta
7,14
9,73
Tradisional
7,14
6,95
Obati Sendiri
10
14,29
11,11
Dibiarkan
10
14,29
22
30,55
Jumlah
70
100
72
100
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
Dua Mata
Satu Mata
Kanan
Kiri
Kanan
Kiri
Nuklear
37
36
20
16
Kortikal
Subkapsular
Matur / Hipermatur
29
28
16
16
Komplikata
Jumlah
70
70
38
34
Posterior
Dari tabel 5.1.2.10 didapat jenis katarak yang terbanyak adalah nuklear baik pada dua
mata maupun satu mata.
Dua mata
Satu mata
Katarak
Tahu
10,00
12
16,67
Tidak Tahu
63
90,00
60
83,33
Jumlah
70
100
72
100
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
Dari tabel 5.1.2.11 di atas tampak bahwa penderita kebutaan katarak kebanyakan
tidak mempunyai pengetahuan tentang katarak. Ketiadaan pengetahuan mempengaruhi
penderita dalam menyikapi keadaannya.
Estimasi Pada CI 95 %
( Batas bawah ; Batas atas )
Prevalensi Kebutaan
70 / 29332 x 100 % = 0.24 %
( 0,1840 % ; 0,2960 % )
Angka Kebutaan
70 / 155 x 100 % = 45,16 %
(37,4 % ;
52,9 % )
(0,447 % ;
0,613 % )
5.2 PEMBAHASAN
Dari tabel 5.1.1.1 sampai tabel 5.1.1.5 tampak gambaran karakteristik penduduk
sampel sampel dari wilayah penelitian.
Dari tabel 5.1.1.1 dan 5.1.1.2 terlihat distribusi umur dan jenis kelamin menunjukkan
lebih banyak penduduk dalam usia 61 -70 tahun yaitu berkisar 30,83% dan jenis kelamin
terbanyak perempuan yaitu berkisar 71,11 %. Distribusi umur ini sesuai dengan gambaran
kependudukan di Indonesia umumnya. Seperti pada negara-negara yang sedang berkembang
lainnya seperti Burma dan India.
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
Dari tabel 5.1.1.3 terlihat distribusi bahwa tingkat pendidikan sebagian besar penduduk
mempunyai tingkat pendidikan hanya sampai sekolah dasar (SD) sederajat. Rendahnya
tingkat pendidikan ini menyebabkan rendahnya sumber daya manusia dan dampaknya ini juga
akan menyebabkan kurangnya pengetahuan penduduk tentang penyakit mata khususnya
katarak.
Dari tabel 5.1.1.4 terlihat bahwa sebagian besar penduduk mempunyai pekerjaan
sebagai petani yaitu sebesar 69,72%, hal ini sangat sesuai dengan daerah Indonesia yang
berdaerah agraris.
Dari tabel 5.1.1.5 terlihat bahwa suku terbanyak sebagai sampel dari 6 kecamatan
adalah suku Mandailing, diikuti suku batak lainnya.
Dari tabel 5.1.2.1 terlihat bahwa kelompok usia 61-80 tahun merupakan penderita
kebutaan katarak terbanyak baik pada dua mata yaitu sebesar 75,71% maupun pada kebutaan
katarak satu mata yaitu sebesar 69,44%. Katarak secara alamiah memang merupakan jenis
penyakit yang banyak diderita orang tua.
Dari tabel 5.1.2.2 terlihat bahwa penderita kebutaan katarak satu mata lebih banyak
dibandingkan dua mata yaitu sejumlah 72 orang, sedangkan penderita dua mata sebanyak 70
orang.
Dari tabel 5.1.2.3 terlihat bahwa penderita kebutaan katarak dua mata dan satu mata
lebih banyak diderita oleh perempuan yaitu 78,57 % dan 70,83%. Menurut Saw, Husain,
Gazzard dkk dalam satu penelitiannya di Riau tidak didapatkan perbedaan bermakna angka
kebutaan antara laki-laki dan perempuan.
Dari tabel 5.1.2.4 terlihat bahwa penderita katarak dua mata dan satu mata lebih banyak
terdapat pada mereka yang memiliki tingkat pendidikan rendah yaitu 68,57% dan 63,89%.
Menurut kepustakaan angka kebutaan banyak terjadi pada mereka yang mempunyai tingkat
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
pendidikan dasar ke bawah. Menurut suatu penelitian oleh Delcourt et al. resiko menderita
katarak lebih rendah pada mereka yang mempunyai pendidikan lebih tinggi.28
Dari tabel 5.1.2.5 terlihat bahwa sebagian besar penderita kebutaan katarak adalah
petani dan keadaan ini sesuai dengan kepustakaan bahwa pekerjaan dengan paparan matahari
lebih banyak mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kebutaan katarak. Pada suatu studi oleh
Neale et al. melaporkan adanya hubungan positif yang kuat antara pekerjaan yang terpapar
sinar matahari pada usia antara 20 dan 29 tahun dengan katarak nuklear. Paparan yang terjadi
di usia lebih lanjut mempunyai hubungan yang lebih lemah.28
Dari tabel 5.1.2.6 terlihat bahwa penderita kebutaan katarak kebanyakan telah menderita
kebutaan lebih dari 2 tahun. Hal ini menggambarkan bahwa perhatian masyarakat terhadap
kesehatan mata masih kurang.
Dari tabel 5.1.2.7 terlihat bahwa kebanyakan penderita kebutaan katarak dua mata
maupun satu mata tidak mempunyai riwayat diabetes melitus yaitu 92,86% dan 91,67%.
Telah kita ketahui bahwa penyakit DM merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
katarak, khususnya mereka yang berusia kurang dari 70 tahun.29
Dari tabel 5.1.2.8 terlihat bahwa kebanyakan penderita katarak tidak mempunyai
riwayat merokok. Telah diketahui juga bahwa merokok merupakan salah satu faktor
predisposisi untuk terjadinya katarak. Tan et al. melaporkan hubungan antara merokok dan
insidensi katarak jangka panjang dan operasi katarak. Efek merokok lebih besar pada mereka
yang merokok lebih dari 36 bungkus per tahun dibanding dengan yang tidak pernah merokok.
Orang yang belum lama merokok juga menderita katarak nuklear lebih cepat dari orang yang
tidak merokok. Tidak ada hubungan statistik yang signifikan antara status merokok dan
insidensi katarak kortikal atau PSC.28
Dari tabel 5.1.2.9 terlihat bahwa sebagian besar penderita kebutaan katarak dua mata
berobat ke Puskesmas yaitu sebesar 44,29% dan kebutaan katarak satu mata lebih banyak
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
membiarkan keluhannya yaitu sebesar 30,55%. Tidak adanya tenaga dokter spesialis mata
dan perawat mahir mata, maka pelayanan dan pemberian informasi yang benar kepada
masyarakat tentang penyakit mata khususnya kebutaan katarak tidak dapat dilakukan.
Dari tabel 5.1.2.10 terlihat bahwa jenis katarak yang banyak ditemukan yaitu nuklear.
Dari tabel 5.1.2.11 terlihat bahwa penderita kebutaan katarak kebanyakan tidak
mempunyai pengetahuan mengenai penyakitnya dan ini kemungkinan disebabkan oleh
tingkat pendidikan penduduk yang sebagian besar masih rendah.
kebutaan perlu pemberian pelayanan gratis bagi orang-orang yang tidak mampu. Terutama
penderita katarak, yang memerlukan bahan lensa tanam sebagai tambahan untuk
menanggulangi kebutaannya.
5.2.4 Hubungan faktor Sumber Daya Manusia dengan kebutaan akibat katarak
Sumber daya manusia di kabupaten Tapanuli Selatan terutama petugas kesehatan
belum memadai walaupun semua desa telah mempunyai bidan desa. Program puskesmas
tentang kesehatan mata yang juga termasuk dalaam 18 program pokok kesehatan puskesmas
belum terlaksana dengan baik. Khususnya mengenai tenaga Spesialis Mata yang masih belum
ada sampai sekarang di Kabupaten Tapanuli Selatan. Oleh karena itu perlulah menjadi
perhatian bagi kita semua khususnya bagi pengambil keputusan untuk pengadaan tenaga
Spesialis Mata yang sangat dibutuhkan di Kabupaten Tapanuli Selatan.
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
5.2.5 Hubungan faktor sarana dan Prasarana Kesehatan dengan kebutaan akibat
Katarak
Sarana dan Prasarana Kesehatan di Kabupaten Tapanuli Selatan belum memadai
dimana ada 1 (satu) RSU Pemerintah yang semestinya sudah dapat melakukan operasi
katarak terhadap penderita-penderita katarak, namun sampai sekarang belum bisa melayani
pelayanan kesehatan mata secara optimal oleh karena belum tersediannya sarana untuk
pelayananan kesehatan mata serta belum adanya tenaga dokter spesialis mata di Kabupaten
Tapanuli Selatan.
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Prevalensi Kebutaan Katarak adalah 0,24%, ini berarti lebih kecil dari
prevalensi Kebutaan Katarak secara nasional yaitu 0,78 %.
2. Faktor ketidaktahuan dan kurangnya pengetahuan tentang katarak merupakan
faktor penyebab tingginya prevalensi Kebutaan Katarak ini. Keadaan ini
sebagian besar disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dari sebagian
besar penduduk setempat.
3. Faktor Geografi pada penelitian ini tidak menjadi hambatan terhadap penderita
Katarak untuk mendapatkan pelayanan.
4. Faktor Pekerjaan masyarakat secara mayoritas adalah petani, yang mana faktor
pekerjaan ini sangat berpengaruh terhadap tingginya prevalensi untuk
terjadinya Kebutaan Katarak.
5. Faktor Budaya tentang Pemeliharaan Kesehatan Mata juga mempunyai
peranan terhadap keberhasilan penanggulangan Kebutaan Katarak dan hal ini
erat hubungannya dengan tingkat pendidikan.
6. Masih kurangnya tenaga medis maupun paramedis, hal ini terlihat dari tidak
adanya dokter spesialis mata dan tidak adanya tenaga paramedis yang mahir
dalam menangani penyakit penyakit mata di Kabupaten Tapanuli Selatan
tersebut.
7. Faktor Sarana dan Prasarana Kesehatan yang belum memadai untuk
memberikan pelayanan Kesehatan Mata, khususnya operasi katarak
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
B. SARAN
1. Untuk mengurangi penderita Kebutaan Katarak perlu dilakukan operasi
katarak secara gratis yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten
Tapanuli Selatan bekerjasama dengan Persatuan Dokter Mata Indonesia
(PERDAMI) Cabang Sumatera Utara, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
yang menaruh perhatian terhadap kesehatan khususnya kesehatan Mata serta
Fakultas Kedokteran Sumatera Utara.
2. Perlunya menambah dan menempatkan tenaga tenaga ahli, seperti dokter
spesialis mata dan perawat mahir mata serta penyediaan sarana untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan mata.
3. Penyuluhan tentang kesehatan mata terhadap masyarakat sebaiknya rutin
dilakukan di Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Posyandu dan tempat
pelayanan kesehatan lainnya agar masyarakat dapat semakin mengerti dan tahu
bahwa betapa pentingnya menjaga kesehatan mata serta semakin tahu bahwa
penyakit katarak dapat disembuhkan dengan cara operasi.
4. Masih perlu dilengkapi faktor prasarana yang memadai..
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kebutaan di Indonesia Merupakan Bencana Nasional. Available from :
http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1073465780,28036
2. Kebutaan RI Tertinggi di Asia. Available from :
http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=2865
3. 1,5 % Penduduk Indonesia Mengalami Kebutaan. Available from:
http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=3233
4. Khurana A.K. Community Ophthalmology in Comprehensive Ophthalmology, Fourth
Edition, Chapter 20, New Delhi, New Age International Limited Publisher, 2007, p
443 446.
5. World Blindness overview available in www.cureblindness.org
6. Dua HS. Said DG. Otri AM. Are we doing too many cataract operations? Cataract
surgery : a global perspective. British Journal Ophthalmology. Volume 93. No. 1.
January 2009. p1-2
7. Sirlan F. Faktor Resiko Buta Katarak Usia Produktif : Tinjauan Khusus Terhadap
Enzim Glutation Reduktase dan Riboflavin Darah; 2000. p 1,12,19-20
8. Pembentukan Komnas Penanggulan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan. Available
from : http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=647
9. Sirlain F, Blind Reduction Rate, Is It Important to Evaluate?, Majalah Opthalmologica
Indonesiana, Volume 33, No. 3, Sept-Des 2006, CV. Usaha Prima, Jakarta, 2006.
10. Pratomo H, Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak di Tanjung Balai Tahun 2004,
Bagian Ilmu Penyakit Mata FK USU, Medan, 2004, hal 3, 37-41
11. Silalahi E, Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak di Kabupaten Karo Tahun 2004,
Bagian Ilmu Penyakit Mata FK USU, Medan, 2004, hal 3, 37-41
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
12. American
Academy
of
Ophthalmology.
Cataract
in
International
Available
from
VVD.
Foster
CS.
Cataract,
Senile.
http://www.emedicine.com
14. Khurana AK. Community Ophthalmology in Comprehensive Ophthalmology. Fourth
Edition. Chapter 8. New Delhi. New Age International Limited Publisher; 2007. p
167-176
15. American Academy of Ophthalmology. Anatomy in Lens and Cataract. Section 11.
Chapter 1. Basic and Clinical Science Course; 2007-2008. p 5-9
16. Soekardi I. Hutauruk JA. Anatomi dan Fisiologi Lensa dalam Transisi menuju
Fakoemulsifikasi : Langkah-langkah menguasai teknik dan menghindari komplikasi.
Edisi I. Granit, Kelompok Yayasan Obor Indonesia. Jakarta; 2004. p 8-13
17. Steinert RF. Cataract Surgery : Techniques, Complications and Management. Second
Edition. Saunders. Philadelphia; 2004. p 9-12
18. Sperduto RD, Epidemiologic Aspects of Age-Related Cataract in Duanes Clinical
Ophthalmolgy. Volume 1. Chapter 73A. Revised Edition. Lippincot Williams &
Wilkins;2004. p 3-4
19. American Academy of Ophthalmology, Pathology in Lens and Cataract, Section 11.
Chapter 5. Basic and Clinical Science Course;2007-2008. p 45-48
20. Taylor A. Nutritional and Environmental Influences on Risk for Cataract in Duanes
Clinical of Ophthalmology. Volume 1. Chapter 72C. Lippincot Williams &
Wilkins;2004. p 4
21. Khurana AK. Khurana I. Anatomy and Physiology of Eye. India: CBS Publishers &
Distributors; 2005. p90
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
22. Cataracts.
Available
from:
http://www.umm.edu/patiented/articles/what_risk
_factors_cataracts_000026_5.htm
23. American Academy of Ophthalmology, Evaluation and Management of Cataract in
Adult in Lens and Cataract. Section 11. Chapter 7. Basic and Clinical Science Course ;
2007-2008. p 75-77
24. Langston DP. The Crystalline Lens and Cataract in Manual of Ocular Diagnosis and
Therapy. Fifth Edition. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia; 2002. p142
25. Kanski JJ. Lens in Clinical Ophthalmology A Systematic Approach. Sixth Edition.
Chapter 12. Philadelphia ST Louis. Elsevier Limited;2003. p337 - 338
26. Kabupaten Tapanuli Selatan Dalam Angka 2008, Badan Pusat Statistik Kabupaten
Tapanuli Selatan 2008.
27. Kabupaten
Tapanuli
Selatan
available
from
http://www.sumutprov.go.id/ongkam.php?me=potensi_tapsel
28. Sinha R. et al Etiopathogenesis of cataract : Journal review. Indian Journal of
Ophthalmology Vol.57 No.3; May June 2009. p248 249
29. Age-Related Eye Disease Study Research Group. Risk Factors Associated with AgeRelated Nuclear and Cortical Cataract A Case-control Study in the Age-Related Eye
Disease Study, AREDS Report No.5. Ophthalmology Vol. 108, Number 8, August
2001.p1406
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
Lampiran
LEMBARAN PERSETUJUAN PESERTA PENELITIAN
Umur
Pekerjaan
Alamat
Tapanuli Selatan,
(..)
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
2009
NOMOR :
I. PENGENALAN TEMPAT
a. Kabupaten
: Tapanuli Selatan
b. Kecamatan
:
c. Desa/Kelurahan
:
d. Daerah
:
1. Perkantoran
e. Letak Geografis
:
1. Pantai
2. Pedesaan
3. Dataran Rendah
2. Pegunungan
4. Dataran Tinggi
1. Listrik
3. Lampu minyak
2. Petromak
1. Air ledeng
3. Air hujan
4. Lainnya
5.Sumur Bor
6. Lainnya
Hub. Dg KK
.tahun
:1. Laki-laki
3.Jawa
2. Perempuan
5. Melayu
g. Lama Bekerja
h. Lokasi tempat kerja
2. IRT
4. Buruh 6. Pengemudi
..Tahun
.Bulan
1. Terbuka
2. Tertutup
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
Umur
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
NAMA RESPON :
V
A
NOMOR :
KANAN
KIRI
KANAN
KIRI
KANAN
KIRI
Sph
Cy
Ax
C
Jawab 2 = ya
KELAINAN-KELAINAN
1= Tidak
Kelainan Refraksi
Sikatrik Kornea
Katarak
Glaukoma
Afakia
Uveitis
Kelainan retina
Atropi Papil
Strabismus
10 Lainya
VI. KESIMPULAN
III. A VISUS LEBIH KECIL DARI 3/60 ATAU BUTA,
APAPENYEBAB KEBUTUHAN ?
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
REFRAKSI
KORNEA
LENSA
GLAUKOMA
RETINA
RADANG
TRAUMA
KEL PAPIL OPTIK
LAINNYA
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
4. Lainnya
3.Tidak tahu
Dibiarkan
lainnya
10. Kalau mengobati sendiri pakai apa? 1.Tetes/zalf 2.Air cuci mata 3.Ramuan tanaman. 4.dll
11.
1. Ya
2. Tidak
batang
tahun bulan
1. Ikan
3. Segar
1. Ya
2. Tidak
1. Ya
1. Ya
2. Tidak
2. Tidak
Kanan
1. Katarak Nuklear
2. Katarak Kortikal
3. Katarak Subkapsular Posterior
4. Katarak Matar / Hipermatur
5. Katarak Komplikata
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
Kiri
ALUR PENELITIAN
Pemeriksaan visus
Pemeriksaan TIO
> 21 mmHg
Eksklusi
Lensa jernih
Eksklusi
Katarak
Herna Hutasoit : Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.