Nefrolitiasis
Nefrolitiasis
HASIL PENELITIAN
Dari hasil penelitian diperoleh sampel sebanyak 77 pasien yang didapatkan
dari seluruh pasien yang datang ke poliklinik urologi di RSUD dr. M.Yunus
Bengkulu pada periode penelitian. Sampel
menderita batu ginjal (nefrolitiasis) dan 39 pasien yang tidak menderita batu
ginjal.
A. Analisis Univariat
Analisis ini bertujuan untuk menjelaskan distribusi variabel bebas yaitu
jumlah dan jenis air minum yang dikonsumsi dan variabel terikat yaitu
kejadian batu ginjal (nefrolithiasis) dari hasil penelitian ke dalam bentuk
statistik dan persentase.
Tabel 4.1. Distribusi frekuensi responden berdasarkan penyakit
No
Penyakit
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
1
2
Batu ginjal
Tidak batu ginjal
Jumlah
38
39
77
49,4
50,6
100
54
Berdasarkan
konsumsi air minumnya tidak cukup lebih besar yaitu sebanyak 48 orang
(62,3%), dan responden yang jumlah konsumsi air minumnya cukup yaitu
sebanyak 29 orang (37,7%).
No
1
2
mengkonsumsi jenis air kadar mineral tinggi sebanyak 58 orang (75,3%), dan
responden yang tidak rutin mengkonsumsi jenis air kadar mineral tinggi
sebanyak 19 orang (24,7%).
No
1
2
55
No
1
2
No
1
2
No
1
2
56
No
1
2
No
1
2
57
58
Tabel 4.11. Analisis Chi-Square: Hubungan jenis konsumsi air minum (air
kadar mineral tinggi) terhadap kejadian batu ginjal
(Nefrolitiasis) di RSUD dr M.Yunus Bengkulu.
Penyakit
Batu
Tidak batu
Total
p
Rasio
ginjal
ginjal
Prevalensi
Air
Rutin
34
24
58
kadar
(58,6%)
(41,4%)
(100,0%
minera
Tidak
4
15
)
0,004
2,784
l tinggi
rutin
(21,2%)
(78,9%)
19
(100,0%
)
Total
38
39
77
(49,4%)
(50,6%)
(100,0%
)
Tabel 4.11 menunjukkan bahwa responden yang mengkonsumsi jenis air
dengan kadar mineral tinggi (air sumur) secara rutin, sebanyak 34 orang
(58,6%) mengalami penyakit batu ginjal, dan sebanyak 24 orang (41,4%) tidak
mengalami penyakit batu ginjal. Responden yang mengkonsumsi jenis air
dengan kadar mineral tinggi tidak rutin hanya sebagian kecil atau sebanyak 4
orang (21,2%) menderita batu ginjal dan justru sebaliknya, sebagian besar atau
sebanyak 15 orang (78,9%) tidak menderita penyakit batu ginjal.
Hasil analisis dari Tabel 4.11 dengan uji Chi-Square diketahui ada
hubungan yang signifikan antara jenis konsumsi air minum (air kadar mineral
tinggi) terhadap kejadian batu ginjal. Hal ini dibuktikan dengan p = 0,004
(p<0,05), dan nilai rasio prevalensi= 2,784 yang menunjukkan bahwa air kadar
mineral tinggi merupakan faktor risiko terjadinya batu ginjal.
59
Rutin
Tidak
rutin
Total
17
(70,8%)
21
(39,2%)
38
(49,4%)
7
(29,2%)
32
(60,4%)
39
(50,6%)
24
(100,0%)
53
0,011
(100,0%)
77
(100,0%)
1,788
60
61
62
63
Tabel 4.16. Analisis Chi-Square: Hubungan jenis konsumsi air minum (jus
jeruk) terhadap kejadian batu ginjal (Nefrolitiasis) di RSUD dr
M.Yunus Bengkulu.
Penyakit
Batu
Tidak batu Total
p
Rasio
ginjal
ginjal
Prevalensi
Jus Jeruk
Rutin
Tidak
rutin
Total
7
(29,2%)
31
(58,5%)
38
(49,4%)
17
(70,8%)
22
(41,5%)
39
(50,6%)
24
(100,0%)
53
0,017
(100,0%)
77
(100,0%)
0,499
64
Rutin
Tidak
rutin
Total
23
(41,1%)
15
(71,4%)
38
(49,4%)
33
(58,9%)
6
(28,6%)
39
(50,6%)
56
(100,0%)
21
0,018
(100,0%)
77
(100,0%)
0,575
65
C. Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel bebas mana
yang paling besar hubungannya yaitu antara (jumlah konsumsi air minum dan
jenis konsumsi air minum yang terdiri dari air yang mengandung kadar mineral
tinggi, softdrink soda, softdrink non soda, kopi, teh, alkohol dan jus jeruk)
dengan
variabel
tergantung
yaitu
batu
ginjal
(nefrolitiasis)
dengan
Variabel
Jumlah konsumsi air
Air kadar mineral
tinggi
Softdrink soda
Softdrink non soda
66
Koefisien
1,736
1,475
p
0,030
0,091
OR (IK95%)
5,67 (1,19-27,08)
4,37 (0,79-24,14)
1,605
1,399
0,059
0,086
4,98 (0,94-26,40)
4,05 (0,82-19,96)
Langkah 2
Kopi
Teh
Alkohol
Jus jeruk
-2,201
-0,838
-2,601
-1,598
0,007
0,300
0,044
0,069
0,11 (0,02-0,55)
0,43 (0,90-2,11)
0.07 (0,01-0,93)
0,20 (0,04-1,13)
2,022
1,587
0,007
0,059
7,56 (1,73-33,01)
4,89 (0,94-25,46)
1,464
1,380
-2,170
-2,580
-1,489
0,073
0,081
0,007
0,038
0,078
4,32 (0,87-21,44)
3,97 (0,84-18,75)
0,11 (0,02-0,55)
0,08 (0,01-0,86)
0,23 (0,04-1,18)
67
68
69
urin, di dapatkan nilai p= 0,003 (p<0,05). Selain itu pada penelitian Borghi et
al. (1999) yang mengatakan bahwa asupan cairan yang banyak, terutama air
putih merupakan pencegahan yang paling kuat dan juga paling ekonomis
terhadap terjadinya batu ginjal. Pada penelitian Curhan et al. (1996)
menyatakan bahwa adanya hubungan antara peningkatan asupan cairan
terhadap
kejadian
batu
ginjal,
dengan
resiko
relatif
sebesar
0,65
70
Pada Tabel 4.11 menunjukkan bahwa sebagian besar yang menderita batu
ginjal adalah subjek penelitian yang rutin mengkonsumsi air dengan kadar
mineral tinggi/air sumur (58,6%). Menurut Kristanto (2004) air yang
mengandung mineral tinggi mempengaruhi terjadinya batu ginjal, misalnya air
yang berasal dari sumur yang kesadahannya tidak sesuai. Air sumur pada
umumnya mengandung bahan-bahan metal terlarut, seperti Na, Mg, Ca dan Fe.
Air yang mengandung komponen mineral tersebut disebut air sadah. Menurut
Sastrawijaya (2002) kesadahan air yang tinggi dan dikonsumsi manusia dalam
jangka waktu yang lama, dapat menimbulkan gangguan ginjal akibat
terakumulasinya endapan CaCO3 dan MgCO3. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Arywibowo (2006) dan Haryanti (2006) yang menyatakan bahwa,
ada hubungan bermakna antara kualitas kesadahan total air bersih dengan
kejadian penyakit batu ginjal dan saluran kemih. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa, responden yang kadar kesadahan air bersihnya tidak
memenuhi syarat mempunyai risiko terkena penyakit batu ginjal dan saluran
kemih sebesar 5,9 kali lebih besar dari pada responden yang kadar kesadahan
air bersihnya memenuhi syarat. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Krisna
(2011) di wilayah kerja puskesmas Magasari kabupaten Tegal, menunjukkan
bahwa ada hubungan antara kesadahan air sumur dengan penyakit batu ginjal,
sehingga responden yang air sumurnya tidak memenuhi syarat mempunyai
faktor risiko 23 kali lebih besar terkena batu ginjal dibandingkan dengan
responden yang mempunyai kadar air sumur yang memenuhi syarat. Menurut
71
Haryanti (2006) air yang digunakan manusia tidak boleh mengandung kadar
kesadahan total melebihi 500 Mg/l CaCo3.
Pada Tabel 4.12 menunjukkan bahwa responden yang rutin (lebih dari satu
porsi perminggu) mengkonsumsi jenis minuman softdrink soda, sebagian besar
menderita batu ginjal (70,8%). Menurut Mercola (2015), minuman bersoda
berisiko terhadap terjadinya batu ginjal karena mengandung kalsium oksalat
sehingga akan meningkatkan proses pembentukan batu. Hal ini sejalan dengan
penelitian Ferarro et al. (2013) yang menyatakan bahwa, ada hubungan
konsumsi minuman jenis softdrink soda terhadap kejadian batu ginjal dengan
didapatkan nilai (p= 0,02). Nilai resiko relatif sebesar 1,20 menunjukkan
bahwa, responden yang mengkonsumsi minuman softdrink soda secara rutin
yaitu lebih dari satu porsi dalam seminggu, memiliki risiko 1,20 kali lebih
besar terkena batu ginjal dibandingkan responden yang tidak rutin. Selain itu
berdasarkan penelitian oleh Curhan et al. (1996) menyatakan bahwa, hubungan
konsumsi jenis minuman softdrink soda terhadap kejadian batu ginjal
didapatkan nilai resiko relatif sebesar 1,11(IK=95%{1,01-1,22}) menunjukkan
bahwa softdrink soda merupakan faktor resiko terjadinya batu ginjal.
Pada Tabel 4.13 menunjukkan bahwa responden yang rutin (lebih dari satu
porsi perminggu) mengkonsumsi jenis minuman softdrink non soda, sebagian
besar menderita batu ginjal (65,5%). Menurut Mercola (2015) minuman yang
mengandung kadar gula tinggi berisiko meningkatkan timbulnya batu ginjal
karena kandungan fruktosa di dalam minuman tersebut dapat menyebabkan
peningkatan ekresi kalsium, oksalat dan asam urat di urin sehingga memicu
terjadinya kristalisasi. Hal ini sejalan dengan penelitian Ferarro et al. (2013)
72
konsumsi kopi menurunkan risiko sebesar 10% untuk terkena batu ginjal.
Pada Tabel 4.15 menunjukkan bahwa responden yang rutin (lebih dari satu
porsi perminggu) mengkonsumsi jenis minuman alkohol, hanya sebagian kecil
yang menderita batu ginjal (11,1%). Menurut Ferraro et al. (2013) Alkohol
yang terdiri dari wine dan bir memiliki efek diuresis tetapi untuk
mekanismenya masih belum jelas. Dan penelitian ini sejalan dengan Curhan et
al. (1996) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara konsumsi alkohol
yang terdiri dari bir dengan nilai (p= 0,001) dan wine dengan nilai (p= 0,02)
73
terhadap kejadian batu ginjal. Selain itu penelitian yang dilakukan Ferraro et
al. (2013) menunjukkan bahwa red wine menurunkan risiko sebesar 31%,
white wine menurunkan risiko sebesar 33% dan bir menurunkan risiko sebesar
41% untuk terkena batu ginjal.
Pada Tabel 4.16 menunjukkan bahwa responden yang rutin (lebih dari satu
gelas perminggu) mengkonsumsi jenis minuman jus jeruk, hanya sebagian
kecil yang menderita batu ginjal (29,2%). Menurut Ferraro et al. (2013)
minuman jenis jus jeruk dapat menurunkan risiko terjadinya batu ginjal, karena
sitrat yang terkandung di dalam jus jeruk merupakan faktor inhibitor sehingga
dapat mencegah pembentukan kristal urin. Hal ini sejalan dengan penelitian
oleh Ferarro et al. (2013) yang menunjukkan bahwa, responden yang
mengkonsumsi jus jeruk secara rutin yaitu lebih dari satu gelas dalam
seminggu menurunkan risiko sebesar 12% untuk terkena batu ginjal
dibandingkan responden yang tidak rutin.
Tabel 4.17 menunjukkan bahwa responden yang rutin (lebih dari satu gelas
perminggu) mengkonsumsi jenis minuman teh, hanya sebagian kecil yang
menderita batu ginjal (41,1%). Penelitian ini tidak sejalan dengan Mercola
(2015) yang menyebutkan bahwa teh mengandung oksalat, sehingga dapat
meningkatkan resiko untuk terkena batu ginjal. Tetapi hal ini sejalan dengan
penelitian Ferraro et al. (2013) yang menyatakan bahwa konsumsi teh secara
rutin yaitu lebih dari satu gelas perminggu dapat menurunkan risiko sebesar
11% untuk terkena batu ginjal. Selain itu juga, berdasarkan penelitian Curhan
et al. (1996) menyatakan bahwa, dalam 240 ml minuman teh terdapat sekitar
17 mg kadar oksalat, sehingga kadar oksalat yang terkandung didalam teh
74
jumlahnya tidak terlalu berpengaruh untuk terjadinya batu ginjal, karena teh
lebih besar pengaruhnya terhadap peningkatan diuresis sehingga dapat
mencegah kristalisasi urin.
Pada Tabel 4.18 dalam hasil multivariat didapatkan bahwa variabel bebas
yang paling berpengaruh terhadap kejadian batu ginjal dilihat dari urutan OR
(Exp{B}) yang paling tinggi adalah (1) jumlah konsumsi air minum (OR =
7,56), jenis konsumsi air minum yang terdiri dari (2) air dengan kadar mineral
tinggi (OR = 4,89), (3) softdrink soda (OR = 4,32), (4) softdrink non soda (OR
= 3,97), (5) jus jeruk (OR = 0,23), (6) kopi (OR = 0,11) dan (7) alkohol (OR =
0,08). Berdasarkan analisis multivariat menunjukkan bahwa, tidak cukupnya
jumlah air minum yang dikonsumsi dan rutin mengkonsumsi jenis minuman
yang terdiri dari air kadar mineral tinggi, softdrink soda, dan softdrink non soda
merupakan faktor risiko terjadinya batu ginjal, sedangkan pengkonsumsian
secara rutin jus jeruk, kopi serta alkohol merupakan faktor protektif terjadinya
batu ginjal.
Menurut Siener and Hesse (2003) jumlah pengkonsumsian air minum
merupakan faktor hidrasi yang mempengaruhi terjadinya batu ginjal. Asupan
cairan yang tinggi dapat menghambat proses pembentukan batu, dengan cara
menurunkan komponen pembentuk batu di dalam urin dan sekaligus
mengencerkan konsentrasi urin oleh faktor inhibitor pembentuk batu. Pada
orang dengan kondisi dehidrasi, yang disebabkan oleh asupan cairan rendah
dan peningkatan pengeluaran air melalui pernafasan serta kulit, memiliki risiko
tinggi terkena batu ginjal, seperti pada orang yang jarang mengkonsumsi air
75
minum dan pelari maraton. Sebuah survei yang dilakukan pada peserta pelari
maraton di kota New York menemukan bahwa, pelari maraton memiliki resiko
tiga sampai lima kali lebih besar terkena penyakit batu dibandingkan yang
bukan pelari.
Berdasarkan penelitian Shuster et al. (1992) menyebutkan bahwa, dalam
populasi penelitiannya yang terdiri dari 1009 laki-laki dengan insiden penyakit
batu berulang, lalu subjek dipilih secara acak dan disarankan untuk
menghindari konsumsi softdrink soda, didapatkan bahwa subjek penelitian
yang mendapat saran tersebut bebas dari kekambuhan selama 3 tahun (64,6%).
Selain itu menurut penelitian yang dilakukan Agency for Healthcare Research
and Quality (2013) melaporkan bahwa dengan meningkatkan asupan cairan
dan menurunkan konsumsi minuman softdrink maka akan menurunkan resiko
kekambuhan terhadap penyakit batu ginjal. Menurut Stoller (2013) dianjurkan
minum 1500 ml air sampai 2000 ml air per hari untuk mencegah terjadinya
batu dan resiko kekambuhan, dengan mengkonsumsi cairan pada saat makan
dan ditingkatkan saat dua jam setelah makan sehingga diharapkan tubuh
menghasilkan 2000 ml air kemih yang cukup untuk mengurangi terjadinya batu
ginjal.
Tingginya angka kejadian batu ginjal pada hasil penelitian ini dikarenakan
banyaknya faktor yang mempengaruhi kejadian batu ginjal itu sendiri, salah
satunya adalah konsumsi air minum yang terdiri dari jumlah dan jenisnya
dimana faktor tersebut terbukti mempengaruhi peningkatan angka kejadian
76
batu ginjal di poliklinik urologi di RSUD dr.M. Yunus Bengkulu pada periode
penelitian.
Peneliti
menyadari
bahwa
penelitian
ini
memiliki
keterbatasan.
77
78
Daftar Pustaka
Albala DM, Morey AF, Gomella LG, Stein JP (2011). Oxford American
Handbook of Urology. New York : Oxford University Press, pp: 355-404
Alberto, Trinchieri (2008). Epidemiology of urolithiasis:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2781200/.
September 2015.
an
update.
Diakses
79
Curhan et al (1996). Prospective Study of Beverage Use and the Risk of Kidney
Stones. http://aje.oxfordjournals.org. Diakses oktober 2015.
Borghi L, Meschi T, Schianchi T, Briganti A, Guerra A, Allergri F, Novarini A
(1999). Urine Volume : Stone Risk Factor and Preventive Measure. Journal
Nephron. 81(1)31-37.
Dahlan MS (2012). Statistik untuk kedokteran dan kesehatan: Deskriftif, bivariat,
dan multivariat, dilengkapi dengan menggunakan SPSS. Edisi 5. Jakarta:
Salemba Medika.
Eric N, Taylor, Meir J, Stampfer, Curhan G (2004). Dietary Factors and the Risk
of Incident Kidney Stone in Men: new Insight after 14 years of Follow up.
Clinical Journal of the American Society of Nephrology.
Ferraro PM, Taylor EN, Gambaro G, Curhan GC (2013). Soda and Other
Beverages and the Risk of Kidney Stones. Clinical Journal of the
American Society of Nephrology.
http://cjasn.asnjournals.org/content/8/8/1389.full.pdf. Diakses September
2015.
Ganong WF (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: EGC. pp
725-740.
Guyton AC dan Hall JE (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta: EGC. pp 325-343.
Haryanti R (2006). Hubungan Kesadahan Air Sumur dengan Kejadian Penyakit
Batu Saluran Kencing di Kabupaten Brebes Tahun 2006. Universitas
Diponegoro. Skripsi.
Hasanuddin (2013). Faktor yang berhubungan dengan kejadian batu saluran
kemih di RSUP dr. Wahidin sudirohusodo Makassar. 3(5)1721-2302
Kasidas GP, Rose GA (1980). Oxalate content of some common foods:
determination by an enzymatic method. J Hum Nutr . pp 255-66.
Krisna (2011) Faktor Risiko Kejadian Suspect Penyakit Batu Ginjal di Wilayah
Kerja Puskesmas Margasari Kabupaten Tegal tahun 2010. Universitas
Negeri Semarang. Skripsi.
Lina Nur (2008) Faktor-faktor risiko kejadian batu saluran kemih pada laki-laki
(Studi Kasus di RS Dr. Kariadi, RS Roemani dan RSI Sultan Agung
Semarang). Universitas Diponegoro Semarang. Thesis.
80
81
Rule AD, Lieske JC, Li Xujian, Melton LJ, Krambeck AE, Bergstralh EJ (2014)
The ROKS Nomogram for Predicting a Second Symptomatic Stone
Episode. J Am Soc Nephrol 25:1-9. www.jasn.org. Diakses oktober 2015.
Sastrawijaya A (2002). Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta.
Sastroasmoro S, Ismael S (2011). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi
4. Jakarta: Sagung Seto, pp: 97.
Shuster J, Jenkins A, Logan C, et al (1992). Soft drink consumption and urinary
stone recurrence: a randomized prevention trial. J Clin Epidemiol 45:91116.
Siener R, Hesse A (2003) Fluid intake and epidemiology of urolithiasis. Journal
of European Association of Urology.
http://www.nature.com/ejcn/journal/v57/n2s/full/1601901a.html. Diakses
september 2015.
Sherwood L (2011). Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi 6. Jakart: EGC. pp
533-599.
Sjabani (2006). Ilmu penyakit dalam. Jilid I Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Snell, Richard S (2011). Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC. pp
747-771.
Stoller MD, Marshall L (2013). Smith & Tanaghos General Urology. 18 th ed.
Philadelphia : McGraw-Hil. Pp 249-279
Triyanti F (2007). Hubungan faktor- faktor heat stress dengan terjadinya
kristalisasi urin pada pekerja binatu dan dapur hotel X Medan. Universitas
Sumatera Utara. Thesis.
Trk C (chair), T. Knoll (vice-chair), A. Petrik (2014). Guidelines of urolithiasis.
Journal of European Association of Urology. http://uroweb.org/wpcontent/uploads/22-Urolithiasis_LR.pdf. Diakses september 2014
Yee V. Wong, Paul Cook, Bhaskar K. Somani (2015). The Association of
Metabolic
Syndrome
and
Urolithiasis.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4385647/.
Diakses
september 2015.
82