Anda di halaman 1dari 20

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu percobaan Mendel menyilangkan tanaman kacang ercis yang
tinggi dengan yang pendek. Tanamana yang dipilih adalah beruba tanaman galur
murni dari tetuanya yaitu tanaman jika menyerbuk sendiri tidak akan
menghasilkan tanaman yang berbeda dengannya. Hal ini tanaman tinggi akan
tetap menghasilkan tanaman tinggi. Begitu juga tanaman pendek akan selalu
menghasilkan tanaman pendek.
Cara menyilangkan galur murni tinggi dengan galur murni pendek, Mendel
mendapatkan tanaman yang semuanya tinggi. Selanjutnya tanaman tinggi hasil
persilangan

ini

dibiarkan

menyerbuk

sendiri.

Ternyata

keturunannya

memperlihatkan nisbah (perbandingan) tanaman tinggi terhadap tanaman pendek


fenotipe sebesar 3:1. Hal ini juga dilakukakn pada persilangan dihibrid. Hasil
perbandingan pada tanaman persilangan dihibrid ini memiliki perbandingan hasil
yang berbeda dengan persilangan monohibrid. Perbandingan yang dihasilkan
persilangan dihibrid fenotipenya sebesar 9:3:3:1 pada F2. Tetapi seringkali pada
persilangan ini hasil perbandingan terdapat yang tidak sesuai dengan
perbandingan yang telah ditetapkan Mendel. Hal ini terjadi karena adanya
pengaruh dari sifat gen yang bersifat homozigot letal bahkan interaksi gen.
Perbedaan dari nisbah perbandingan fenotipe yang ada diluar hukum
Mendel dapat dikatakan sebagai

sebagai penyimpangan hukum Mendel.

Penyimpangan ini disebabkan dari bebrpa pengaruh yang ada didalam maupun

90

luar. Hal ini menyebabkan perubahan juga padaa hasil fenotipe keturunannya.
Sehingga pada perubahan ini dapat diaplikasikan oleh para genetika atau
pemuliaan tanaman daplam merekayasa sifat-sifat dan membuat sifat baru pada
individu yang terdapat dalam golongan penyimpangan hukum Mendel ini.

B. Tujuan
Tujuan dari praktikum acara ini adalah mengidentifikasi beberapa bakteri
yang mengandung plasmid berdasarkan pola pita DNA plasmid hasil pemotongan
enzim restriksi dengan teknik RFLP.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Beberapa gen yang berinteraksi atau dipengaruhi oleh gen lain, digunakan
untuk menumbuhkan karakter. Gen-gen itu mungkin terdapat pada kromosom
sama (berangkai), mungkin pula pada kromosom berbeda. Setelah penemuan
Mendel dan penelitian awal tentang pewarisan sifat secara bebas, diketahui bahwa

91

tidak semua keturuan yang bersegregasi dapat dipisahkan menjadi kelas-kelas


yang jelas dengan nisbah yang sederhana. Keragaman nisbah genetika Mendel ini
dapat dijelaskan berdasarkan adanya interaksi gen, yaitu pengaruh satu alel
terhadap alel lain pada lokus yang sama dan juga pengaruh satu gen pada satu
lokus terhadap gen pada lokus lain (Crowder, 1993).
Penyimpangan semu Hukum Mendel merupakan peristiwa munculnya
perbandingan yang tidak sesuai dengan Hukum Mendel. Disebut penyimpangan
semu karena sebenarnya prinsip segregasi bebas tetap berlaku, tetapi karena gengen yang membawakan sifat memiliki ciri tertentu maka perbandingan yang
dihasilkan menyimpang dari Hukum Mendel. Penyimpangan semu Hukum
Mendel disebut juga dengan Hukum non-Mendel. Penyimpangan terjadi karena
ada beberapa gen saling mempengaruhi dalam menunjukkan fenotipe.
Perbandingan fenotipe dapat berubah, tetapi prinsip dasar dari cara pewarisan,
tetap sesuai dengan prinsip-prinsip Mendel. Beberapa cara penurunan sifat tidak
mengikuti Hukum Mendel II dengan rasio klasik Filial 2 yaitu 9:3:3:1. Kedua
pasang gen tersebut akan mengadakan interaksi yang menghasilkan fenotipe baru,
atau adapula terjadi penutupan ekspresi oleh pasangan gen lain yang disebut
Epistasis. Peristiwa dua gen atau lebih yang bekerjasama atau menghalanghalangi dalam memperlihatkan fenotipe, disebut interaksi gen. Interaksi gen mulamula ditemukan oleh William Bateson (1861-1926) dan R. C. Punnet (1906) pada
bentuk pial (jengger) ayam. Karena ada interaksi maka perbandingan fenotipe
keturunan

hibrid

menyimpang

dari

penemuan

Mendel,

disebut

juga

penyimpangan Hukum Mendel. Peristiwa penyimpangan persilangan monohibrida

92

dominan resesif menghasilkan F2 dengan perbandingan dominan : resesif = 3 : 1,


sedangkan dihibrida akan menghasilkan perbandingan 9 : 3 : 3 : 1. Pada kasus
tertentu, perbandingan tersebut tidak tepat sama dengan perbandingan tersebut.
Misalnya, persilangan monohibrida menghasilkan perbandingan 1 : 2 :1,
sedangkan persilangan dihibrida menghasilkan perbandingan 9 : 6 : 1 (Gen
duplikat dengan efek kumulatif) atau 15 : 1 (Polimeri atau Epistasis dominan
duplikat). Menurut Mendel fenotipe F2 itu ada 4 kelas, tetapi karena ada interaksi
susut menjadi 2 atau 3 kelas (Yatim, 1986).
Menurut Yatim (1986), bahwa Hukum-hukum mendel merupakan prinsip
dasar genetika. hukum Mendel terdiri atas 2 hukum, yaitu: 1.) Hukum Mendel I
adalah hukum pemisahan Mendel sebagai prinsip segregasi, hukum pemisahan
gen sealel dalam peristiwa pembentukan sel kelamin (gamet), pasangan-pasangan
alela memisah secara bebas dan berlaku untuk pembastaran dengan satu sifat beda
(monohibridisasi), baik dominansi maupun intermediet. 2.) Hukum Mendel II
(Hukum Kebebasan Mendel = Prinsip berpasang-pasangan secara bebas) dalam
peristiwa pembentukan gamet, alel-alel mengadakan kombinasi secara bebas
sehingga kombinasi sifat-sifat yang muncul dalam keturunannya beraneka ragam
dan berlaku untuk pembastaran dengan dua sifat beda (dihibridisasi) atau lebih,
baik dominansi maupun intermediet. Selain epistasis, ada beberapa peristiwa
penyimpangan Hukum Mendel yang lain, yaitu:

kriptomeri, hipostasis yang

merupakan lawan dari epistasis, dan gen komplementer (Yatim,1986).


Untuk dapat menentukan apakah suatu fenomena terutama yang berkaitan
dengan peristiwa penyimpangan hukum Mendel yang diamati sesuai atau tidak

93

dengan teori tertentu, perlu dilakukan suatu pengujian dengan melihat besarnya
penyimpangan nilai pengamatan terhadap nilai harapan. Selanjutnya besarnya
penyimpangan tersebut dibandingkan terhadap kriteria model tertentu. Dalam
percobaan persilangan akan dibandingkan frekuensi genotipe yang diamati
terhadap frekuensi harapannya dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

X =

(fofe)
fe

Untuk fo merupakan bentuk lain dari O (nilai observasi), sedangkan fe merupakan


bentuk lain dari E (Expectation / harapan). Jika nilai X hitung lebih kecil dari
nilai X tabel maka hipotesis diterima, berlaku juga sebaliknya (Suryo,1984).

III.

METODE PRAKTIKUM
A. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam praktikum acara ini meliputi bakteri


Escherichia. coli dalam LB cair hasil dari praktikum acara empat (Escherichia.
coli dengan plasmid yang diduga telah tersisipi gen trangenik dengan dua macam
primer, Bakteri E. coli dari koloni berwarna biru, control negative yang berisi air),

94

GTE, NaOH, SDS, Potassium asetat, isopropanol, agarosa, Buffer, enzim restriksi
EcoR1, TBE 1x, dan larutan perendam EtBr. Sedangkan alat yang digunakan
adalah tube 1.5 mL, mikropipet, tips, centrifuge, virtex, tanki elektroforesis, dam
hasil visualisasi dari foto UV.

B. Prosedur Kerja
1. Ekstraksi DNA Plasmid
Tahapan dalam melaksanakan ekstraksi DNA Plasmid sebagai berikut :
a) Escherichia coli dari hasil praktikum sebelumnya diambil dari tabung dan
dipindahkan ke tube 2 mL sebanyak 1500 mL;
a) Tube disentifus sampai terbentuk pellet dibagian bawah;
b) Supernatan dibuang;
c) Tahapan ke 1 dan 2 diulangi kembali untuk setiap tue dengan sampel
d)

berbeda;
Kedalam tabung ditambahkan GTE sebanyak 100 L lalu di vortex

sampai homogen;
e) Tabung yang telah homogeny kemudian di centrifuge sampai terbentuk
pellet dan diulangi tahapan ke-5 dan ke-6;
f) Supernatan dibuang;
g) Kedalam tabung kemudian ditambahkan NaOH dan SDS masing masing
sebanyak 100 L;
h) Tabung dikocok dengan cara dibolak balik perlahan sampai terbentuk
serat-serat halus dilapisan teratas;
i) Supernatan diambil dan dipindahkan kedalam tube baru lalu ditambahkan
isopropanol dingin;
j) Tube didiamkan selama 1 2 jam, sampai terbentuknya benang benang
halus;
k) Setelah dibolak- balik dan telah terbnetuk benang benang halus, kemudian
tabung dicentrifuge sampai terbentuk pellet;

95

l) Supernanatan diambil, dan pellet dilarutkan dengan H2O sampai homogen.

2. Pemotongan dengan Enzim Restriksi


Tahapan dalam pemotongan DNA plasmid dengan enzim restriksi sebagai berikut:
a) Masukkan 10 l larutan plasmid ke tabung sentrifus ukuran 1,5 ml, yang
b)
c)
d)
e)
f)
g)

telah disterilkan;
Tambahkan 2 l larutan penyangga;
Tambahkan 7,5 l air steril;
Tambahkan 0.5 l ezim restriksi EcoRI;
Kocok tabung selama 1 menit;
Inkubasi pada suhu 37oC selama 1 jam dengan digoyang pelan-pelan;
Setelah inkubasi hasil RFLP di masukkan ke dalam sumur gel, dan

elektroforesis;
h) di jalankan pada 50 V selama 1 jam;
i) Hasil dari elektroforesis kemudian gel agaros direndam di dalam larutan
EtBr selama 20 menit untuk menimbulkan warna saat visualisasi.
j) Hasil dari visualisasi gel agaros difoto dan dianalisis.

96

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil
(Terlampir)

B. Pembahasan
Menganalisis mengenai pembuktian dari hukum Mendel I dan hukum Mendel
II, tidak semua dari setiap individu akan menghasilkan anakan yang sesuai dengan
hasil perbandingan yang sudah ditentukan dalam hukum Mendel. Hal ini bisa saja
terjadi penyimpangan dari hukum Mendel. Penyimpangan dari hukum Mendel
disebabkan karena bebrapa factor yaitu adanya interaksi dari gen dan adanya gen
yang bersifat homozigot letal. Interaksi gen yaitu pengaruh satu alel terhadap alel
lain pada lokus yang sama dan juga pengaruh satu gen pada satu lokus terhadap
gen pada lokus lain. Keragaman nisbah ini dapat diketahui bahwa tidak semua
keturunan yang segregasi dapat dipisahkan menjadi kelas-kelas yang jelas dengan
nisbah yang sederhana.
Percobaan-percobaan persilangan sering kali memberikan hasil yang
seakan-akan menyimpang dari hukum Mendel. Hal ini tampak bahwa nisbah
fenotipe yang diperoleh mengalami modifikasi dari nisbah yang seharusnya
sebagai akibat terjadinya aksi gen tertentu. Secara garis beras modifikasi nisbah
Mendel dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu modifikasi nisbah 3:1 dan

97

modifikasi nisbah 9:3:3:1. Modifikasi nisbah 3:1 terdapat tiga peristiwa yang
menyebabkan terjadinya modifikasi nisbah 3:1, yaitu semi dominansi,
kodominansi, dan gen letal. Modifikasi nisbah 9:3:3:1 disebabkan oleh peristiwa
yang dinamakan epistasis, yaitu penutupan eksperesi suatu gen nonalelik. Hal ini
menunjukkan suatu gen bersifat dominan terhadap gen yang bukan alelnya. Ada
beberapa macam epistasis, masing-masing menghasilkan nisbah fenotipe yang
berada pada generasi F2.
Peristiwa semi dominansi terjadi apabila suatu gen dominan tidak menutupi
pengaruh alel resesifnya dengan sempurna, sehingga pada individu heterozigot
akan muncul sifat antara (intermedier). Dengan demikian, individu heterozigot
akan memiliki fenotipe yang berbeda dengan fenotipe individu homozigot
dominan. Akibatnya, pada generasi F2 tidak didapatkan nisbah fenotipe 3 : 1,
tetapi menjadi 1 : 2 : 1 seperti halnya nisbah genotipe. Contoh peristiwa semi
dominansi dapat dilihat pada pewarisan warna bunga pada tanaman bunga pukul
empat (Mirabilis jalapa). Gen yang mengatur warna bunga pada tanaman ini
adalah M, yang menyebabkan bunga berwarna merah, dan gen m, yang
menyebabkan bunga berwarna putih. Gen M tidak dominan sempurna terhadap
gen m, sehingga warna bunga pada individu Mm bukannya merah, melainkan
merah muda. Oleh karena itu, hasil persilangan sesama genotipe Mm akan
menghasilkan generasi F2 dengan nisbah fenotipe merah : merah muda : putih = 1 :
2 : 1 (Susanto, 2011).
Seperti halnya semi dominansi, peristiwa kodominansi akan menghasilkan
nisbah fenotipe 1 : 2 : 1 pada generasi F2. Bedanya, kodominansi tidak

98

memunculkan sifat antara pada individu heterozigot, tetapi menghasilkan sifat


yang merupakan hasil ekspresi masing-masing alel. Dengan perkataan lain, kedua
alel akan sama-sama diekspresikan dan tidak saling menutupi. Peristiwa
kodominansi dapat dilihat misalnya pada pewarisan golongan darah sistem ABO
pada manusia (lihat juga bagian pada bab ini tentang beberapa contoh alel ganda).
Gen IA dan IB masing-masing menyebabkan terbentuknya antigen A dan antigen B
di dalam eritrosit individu yang memilikinya. Pada individu dengan golongan
darah AB (bergenotipe IAIB) akan terdapat baik antigen A maupun antigen B di
dalam eritrositnya. Artinya, gen IA dan IB sama-sama diekspresikan pada individu
heterozigot tersebut. Perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang masingmasing memiliki golongan darah AB (Susanto, 2011).
Gen letal ialah gen yang dapat mengakibatkan kematian pada individu
homozigot. Kematian ini dapat terjadi pada masa embrio atau beberapa saat
setelah kelahiran. Akan tetapi, adakalanya pula terdapat sifat subletal, yang
menyebabkan kematian pada waktu individu yang bersangkutan menjelang
dewasa. Ada dua macam gen letal, yaitu gen letal dominan dan gen letal resesif.
Gen letal dominan dalam keadaan heterozigot dapat menimbulkan efek subletal
atau kelainan fenotipe, sedang gen letal resesif cenderung menghasilkan fenotipe
normal pada individu heterozigot. Peristiwa letal dominan antara lain dapat dilihat
pada ayam redep (creeper), yaitu ayam dengan kaki dan sayap yang pendek serta
mempunyai genotipe heterozigot (Cpcp). Ayam dengan genotipe CpCp
mengalami kematian pada masa embrio. Apabila sesama ayam redep dikawinkan,
akan diperoleh keturunan dengan nisbah fenotipe ayam redep (Cpcp) : ayam

99

normal (cpcp) = 2 : 1. Hal ini karena ayam dengan genotipe CpCp tidak pernah
ada. Sementara itu, gen letal resesif misalnya adalah gen penyebab albino pada
tanaman jagung. Tanaman jagung dengan genotipe gg akan mengalami kematian
setelah cadangan makanan di dalam biji habis, karena tanaman ini tidak mampu
melakukan fotosintesis sehubungan dengan tidak adanya khlorofil. Tanaman Gg
memiliki warna hijau kekuningan, sedang tanaman GG adalah hijau normal.
Persilangan antara sesama tanaman Gg akan menghasilkan keturunan dengan
nisbah fenotipe normal (GG) : kekuningan (Gg) = 1 : 2 (Susanto, 2011).
Peristiwa epistasis resesif terjadi apabila suatu gen resesif menutupi ekspresi
gen lain yang bukan alelnya. Akibat peristiwa ini,

pada generasi F 2 akan

diperoleh nisbah fenotipe 9 : 3 : 4. Contoh epistasis resesif dapat dilihat pada


pewarisan warna bulu mencit (Mus musculus). Ada dua pasang gen nonalelik
yang mengatur warna bulu pada mencit, yaitu gen A menyebabkan bulu berwarna
kelabu, gen a menyebabkan bulu berwarna hitam, gen C menyebabkan pigmentasi
normal, dan gen c menyebabkan tidak ada pigmentasi (Susanto, 2011).
Pada peristiwa epistasis dominan terjadi penutupan ekspresi gen oleh suatu
gen dominan yang bukan alelnya. Nisbah fenotipe pada generasi F2 dengan
adanya epistasis dominan adalah 12 : 3 : 1. Peristiwa epistasis dominan dapat
dilihat misalnya pada pewarisan warna buah waluh besar (Cucurbita pepo).
Dalam hal ini terdapat gen Y yang menyebabkan buah berwarna kuning dan
alelnya y yang menyebabkan buah berwarna hijau. Selain itu, ada gen W yang
menghalangi pigmentasi dan w yang tidak menghalangi pigmentasi. Persilangan

100

antara waluh putih (WWYY) dan waluh hijau (wwyy) menghasilkan nisbah
fenotipe generasi F2 dengan perbandingan 12:3:1 (Susanto, 2011).
Apabila gen resesif dari suatu pasangan gen, katakanlah gen I, epistatis
terhadap pasangan gen lain, katakanlah gen II, yang bukan alelnya, sementara gen
resesif dari pasangan gen II ini juga epistatis terhadap pasangan gen I, maka
epistasis yang terjadi dinamakan epistasis resesif ganda.

Epistasis ini

menghasilkan nisbah fenotipe 9 : 7 pada generasi F 2. Sebagai contoh peristiwa


epistasis resesif ganda dapat dikemukakan pewarisan kandungan HCN pada
tanaman Trifolium repens (Susanto, 2011).
Gen L menyebabkan terbentuknya enzim L yang mengatalisis perubahan
bahan dasar menjadi bahan antara berupa glukosida sianogenik. Alelnya, l,
menghalangi pembentukan enzim L. Gen H menyebabkan terbentuknya enzim H
yang mengatalisis perubahan glukosida sianogenik menjadi HCN, sedangkan gen
h menghalangi pembentukan enzim H. Dengan demikian, l epistatis terhadap H
dan h, sementara h epistatis terhadap L dan l. Persilangan dua tanaman dengan
kandungan HCN sama-sama rendah tetapi genotipenya berbeda (LLhh dengan
llHH) (Susanto, 2011).
Apabila gen dominan dari pasangan gen I epistatis terhadap pasangan gen II
yang bukan alelnya, sementara gen dominan dari pasangan gen II ini juga epistatis
terhadap pasangan gen I, maka epistasis yang terjadi dinamakan epistasis dominan
ganda. Epistasis ini menghasilkan nisbah fenotipe 15 : 1 pada generasi F 2. Contoh
peristiwa epistasis dominan ganda dapat dilihat pada pewarisan bentuk buah
Capsella. Ada dua macam bentuk buah Capsella, yaitu segitiga dan oval. Bentuk

101

segitiga disebabkan oleh gen dominan C dan D, sedang bentuk oval disebabkan
oleh gen resesif c dan d. Dalam hal ini C dominan terhadap D dan d, sedangkan D
dominan terhadap C dan c (Susanto, 2011).
Epistasis dominan-resesif terjadi apabila gen dominan dari pasangan gen I
epistatis terhadap pasangan gen II yang bukan alelnya, sementara gen resesif dari
pasangan gen II ini juga epistatis terhadap pasangan gen I.

Epistasis ini

menghasilkan nisbah fenotipe 13 : 3 pada generasi F2. Contoh peristiwa epistasis


dominan-resesif dapat dilihat pada pewarisan warna bulu ayam ras. Dalam hal ini
terdapat pasangan gen I, yang menghalangi pigmentasi, dan alelnya, i, yang tidak
menghalangi pigmentasi. Selain itu, terdapat gen C, yang menimbulkan
pigmentasi, dan alelnya, c, yang tidak menimbulkan pigmentasi. Gen I dominan
terhadap C dan c, sedangkan gen c dominan terhadap I dan I (Susanto, 2011).
Pada Cucurbita pepo dikenal tiga macam bentuk buah, yaitu cakram, bulat,
dan lonjong. Gen yang mengatur pemunculan fenotipe tersebut ada dua pasang,
masing-masing B dan b serta L dan l. Apabila pada suatu individu terdapat
sebuah atau dua buah gen dominan dari salah satu pasangan gen tersebut, maka
fenotipe yang muncul adalah bentuk buah bulat (B-ll atau bbL-). Sementara itu,
apabila sebuah atau dua buah gen dominan dari kedua pasangan gen tersebut
berada pada suatu individu, maka fenotipe yang dihasilkan adalah bentuk buah
cakram (B-L-). Adapun fenotipe tanpa gen dominan (bbll) akan berupa buah
berbentuk lonjong. Pewarisan sifat semacam ini dinamakan epistasis gen duplikat
dengan efek kumulatif (Susanto, 2011).

102

Selain mengalami berbagai modifikasi nisbah fenotipe karena adanya


peristiwa aksi gen tertentu, terdapat pula penyimpangan semu terhadap hukum
Mendel yang tidak melibatkan modifikasi nisbah fenotipe, tetapi menimbulkan
fenotipe-fenotipe yang merupakan hasil kerja sama atau interaksi dua pasang gen
nonalelik. Peristiwa semacam ini dinamakan interaksi gen. Peristiwa interaksi
gen pertama kali dilaporkan oleh W. Bateson dan R.C. Punnet setelah mereka
mengamati pola pewarisan bentuk jengger ayam. Dalam hal ini terdapat empat
macam bentuk jengger ayam, yaitu mawar, kacang, walnut, dan tunggal
(Susanto,2011).
Persilangan ayam berjengger mawar dengan ayam berjengger kacang
menghasilkan keturunan dengan bentuk jengger yang sama sekali berbeda dengan
bentuk jengger kedua tetuanya. Ayam hibrid (hasil persilangan) ini memiliki
jengger berbentuk walnut. Selanjutnya, apabila ayam berjengger walnut
disilangkan dengan sesamanya, maka diperoleh generasi F2 dengan nisbah
fenotipe walnut : mawar : kacang : tunggal = 9 : 3 : 3 : 1. Dari nisbah fenotipe
tersebut, terlihat adanya satu kelas fenotipe yang sebelumnya tidak pernah
dijumpai, yaitu bentuk jengger tunggal. Munculnya fenotipe ini, dan juga fenotipe
walnut, mengindikasikan adanya keterlibatan dua pasang gen nonalelik yang
berinteraksi untuk menghasilkan suatu fenotipe. Kedua pasang gen tersebut
masing-masing ditunjukkan oleh fenotipe mawar dan fenotipe kacang. Apabila
gen yang bertanggung jawab atas munculnya fenotipe mawar adalah R, sedangkan
gen untuk fenotipe kacang adalah P, maka keempat macam fenotipe tersebut

103

masing-masing dapat dituliskan sebagai R-pp untuk mawar, rrP- untuk kacang, RP- untuk walnut, dan rrpp untuk tunggal (Susanto, 2011).
Manfaat dalam mempelajari penyimpangan hukum Mendel ini, kita dapat
mengukur seberapa besar pengaruh gen yang bersegregasi terhadap alel yang akan
terbentuk dan peluang munculnya gen anakan baru. Kemudian dapat
meminimalisir kondisi yang kurang diinginkan dalam sebuah keturunan dengan
memperhatikan calon parental atau induknya untuk menurunkan keturunan yang
baik.
Hasil dari pengamatan yang dilakukan pada praktikum acar ini, dapat
diketahui bahwa dari 12 data tabulasi uji chi square menghasilkan x hitung yang
bervariasi. Hasil pengamatan tabulasi dari kelompok pertama yaitu pembuktian
penyimpangan hukum Mendel dari simulasi percobaan pengambilan kancing
warna baju sebanyak 90x. Warna kancing yang dilakukan pengambilan 90x yakni
warna hitam dan pink dengan perbandingan 15:1. Percobaan ini setelah dianalisis
dengan menggunakan uji chi-square menghasilkan x hitung sebesar 1,57,
sedangkan pada x tabel sebesar 3,84. Jumlah x htiung berarti signifikan, karena
x htiung lebih kecil dari x tabel. Percobaan pada pengambilan sampel 90x telah
dilaksanakan, kemudian pada pengambilan kancing warna sebanyak 160x
dilakukan dengan warna kancing yang sama serta perbandingannya. Percobaan ini
menghasilkan x hitung sebesar 2,160 setelah dilakukan pengambilan secara acak
(dikocok) dan dianalisis dengan uji chi square. Nilai x tabelnya sebesar 3,84,
sehingga data tersebut menanmpakkan hasil yang signifikan dan sesuai
perbandingan.

104

Percobaan yang dilakukan pada data kelompok 2 yaitu menggunakan


perbandingan 9:3:4 dengan warna kuning:hijau:merah. Nilai x tabel yang
digunakan sebesar 5,99. Pengambilan sampel kancing warna sebanyak 90x
menghasilkan x hitung sebesar 5,001, sehingga data tergolong signifikan karena
nilai angka pada x hitung lebih kecil dari x tabel. Percobaan pengambilan sampel
sebanyak 160x yang dilakukan dari kelompok 2. Sesuai hasil data yang sudah
dianalisis menggunakan metode uji chi square menghasilkan nilai x hitung
sebesar 0,233, artinya data ini tergolong signifikan dan sama dengan data
sebelumnya.
Pengujian dari kelompok 3 dengan perbandingan 9:6:1 menggunakan
kancing warna Hitam:Putih:Kuning. Pengujian dengan pengambilan kancing
warna sebanyak 90x menghasilkan data x hitung sebesaar 1,3615. Hal ini bila
dibandingkan dengan nilai x tabel akan menghasilkan nilai x hitung lebih kecil
dibanding dengan x tabel, karena jumlah x tabel sbesar 5,99. Pengujian pada
pengambilan sampel 160x menghasilkan nilai x hiutng sebesar 12,25, hal ini
menyebabkan data tidak signifikan karena nilai x hitung lebih besar dari nilai x
tabel, artinya data tidak sesuai dengan perbandingan.
Pengujian pengambilan kancing warna pada kelompok 4 menggunakan
perbandingan 13:3 dengan warna kancing Kuning:Hijau dan x tabel sebesar 5,99.
Pengambilan kancing sebanyak 90 x menghasilkan nilai x itung sebesar 0,0284
sedangkan pada pengambilan kancing warna sebanyak 160x menghasilkan niali x
hitung sebesar 1,24. Pengambilan sebanyak 16x menggunakan kancing warna
yang berbeda, kancing warna yang digunakan ialah warna Putih:Coklat dengan

105

perbandinga 13:3. Kedua hasil data dari nilai x hitung menghasilkan data yang
signifikan karena kedua nilai x hitung lebih kecil dibanding dengan x tabelnya.
Pengujian

pada

kelompok

yang

menggunakan

kancing

warna

coklat:kuning:hijau dengan perbandingan masing-masing 12:3:1 dan x tabel


sebesar 5,99. Pengujian pada pengambilan kancing sebanyak 90x menghasilkan
data nilai x hitung sebesar 0,384, sedangkan pengujian data dengan pengambilan
kancing sebanyak 160x dengan warna kuning:hijau:merah (perbandingan 12:3:1)
menghasilkan nilai x hitung sebesar 5,33. Kedua data ini tergolong signifikan
dengan perbandingan nilai x tabelnya, sehingga kedua data ini sesuai dengan
perbandingan. Pengujian dari kelompok enam memiliki nilai x tabel sebesar 3,84
dengan pengambilan sebanyak 90x menggunakan kancing warna kuning:ijau
perbandingannya 9:7, sedangkan dengan pengambilan kancing warna sebanyak
160x hijau:hitam dengan perbandingan 9:7. Pengambilan kancing warna sebnayak
90x menghasilkan nilai x hitung sebanyak 5,33, sedangkan dengan data
pengambilan sebnayak 160x nilai x hitung sebesar 0,0571. Artinya pada
pengambilan data sebanyak 90x nilai x hitung lebih besar dari x tabel sehingga
data tidak signifikan, sedangkan pada pengambilan data sebanyak 160x
menghasilkan

nilai x hitung lebih

kecil dari xtabel dan data tergolong

signifikan. Sesuai hasil pengamatan dan pengujian keenam data masing-masing


data berjumlah dua, bahwa hasil dari perngujian sesuia dengan literatur. Pengujian
yang sudah dianalaisis melalui uji x tersebut akan menghasilkan data dari sumber
nilai x hitung, kemudian dibandingkan dengan nilai x tabel yang sudah
ditentukan. Jika nilai frekuensi dari x hitung < x tabel artinya data tersebut

106

signifikan dan sesuai dengan perbandingan, begitu juga sebaliknya nilai frekuensi
x > x tabel maka data tidak dapata dikatan signifikan artinya tidak sesuai dengan
perbandingan.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Praktikum dalam acara lima yaitu penyimpangan hukum Mendel dapat


disimpulkan bahwa penyimpangan hukum Mendel dapat terjadi akibat dari
interaksi gen dan adanya gen yang bersifat gen letal. Beberapa macam dari
penyimpangan hukum Mendel yaitu berdasarkan modifikasi perbandingan nisbah

107

3:1 tergolong semi dominasi, kodominasi dan gen letal. Modifikasi perbandingan
nisbah 9:3:3:1 yaitu yang disebabkan karenaadanya epistasis (epistasis dominan,
epistasis resesif, epistasis dominan-resesif, epistasis dominan-duplikat, epistasis
resesif-duplikat, dan epistasis gen duplikat dengan efek kumulatif).

B. Saran

Praktikum pada acara ini sebaiknya praktikan dalam melakukan pengujian


pengambilan sampel kancing warna harus lebih teliti dan cermat serta dalam
perhitungan diperlukan menggunakan alat hitung mislnya kalkulator agar
perhitungan lebih cepat.

DAFTAR PUSTAKA

Crowder, L.V.1993.Genetika Tumbuhan. diterjemahkan oleh Ir. Lilik Kusdiarti,


M.Sc. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Cetakan keempat.
UGM Press. Yogyakarta.
Suryo.1984. Geneteika Strata 1. UGM Press. Yogyakarta.

Susanto,A.H. 2011. Genetika. Edisi Pertama. Graha Ilmu. Yogyakarta.

108

Yatim, W. 1986. Genetika. Tarsito. Bandung.


.

109

Anda mungkin juga menyukai