Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN POST PARTUM DENGAN SECTIO CAESAREA


DI RUANG OBSTETRI RSUP Dr. KARIADI SEMARANG

A. Pengertian Post Partum


Post partum adalah masa sesudah persalinan dapat juga disebut masa nifas
(puerperium) yaitu masa sesudah persalinan yang diperlukan untuk pulihnya kembali alat
kandungan yang lamanya 6 minggu. Post partum adalah masa 6 minggu sejak bayi lahir
sampai organ-organ reproduksi sampai kembali ke keadaan normal sebelum hamil (Bobak,
2010).
B. Adaptasi Psikologis
Menurut Hamilton, adaptasi psikologis ibu post partum dibagi menjadi 3 fase yaitu :
a. Fase taking in / ketergantungan
Fase ini dimuai hari pertama dan hari kedua setelah melahirkan dimana ibu membutuhkan
perlindungandan pelayanan.
b. Fase taking hold / ketergantungan tidak ketergantungan, fase ini dimulai pada hari ketiga
setelah melahirkan dan berakhir pada minggu keempat sampai kelima. Sampai hari ketiga ibu
siap untuk menerima peran barunya dan belajar tentang semua hal-hal baru. Selama fase ini
sistem pendukung menjadi sangat bernilai bagi ibu muda yang membutuhkan sumber
informasi dan penyembuhan fisik sehingga ia dapat istirahat dengan baik
c. Fase letting go / saling ketergantungan
Dimulai sekitar minggu kelima sampai keenam setelah kelahiran. Sistem keluarga telah
menyesuaiakan diri dengan anggotanya yang baru. Tubuh pasian telah sembuh, perasan
rutinnya telah kembali dan kegiatan hubungan seksualnya telah dilakukan kembali.
C. Perubahan Klinik Periode Post Partum
Periode post partum ialah masa enam minggu sejak bayi lahir sampai organ-organ
reproduksi kembali ke keadaan normal sebelum hamil. Periode ini kadang-kadang disebut
puerperium atau trimester keempat kehamilan (Bobak, 2004).
1

1. Sistem reproduksi
a. Proses involusi
Proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah melahirkan, proses ini
dimulai segera setelah plasenta keluar akibat kontraksi otot-otot polos uterus. Uterus, pada
waktu hamil penuh baratnya 11 kali berat sebelum hamil, berinvolusi menjadi kira-kira 500
gr 1 minggu setelah melahirkan dan 350 gr dua minggu setelah lahir. Seminggu setelah
melahirkan uterus berada di dalam panggul. Pada minggu keenam, beratnya menjadi 5060gr. Pada masa pasca partum penurunan kadar hormon menyebapkan terjadinya autolisis,
perusakan secara langsung jaringan hipertrofi yang berlebihan. Sel-sel tambahan yang
terbentuk selama masa hamil menetap. Inilah penyebap ukuran uterus sedikit lebih besar
setelah hamil.
b. Kontraksi
Intensitas kontraksi uterus meningkat secara bermakna segera setelah bayi lahir,
hormon oksigen yang dilepas dari kelenjar hipofisis memperkuat dan mengatur kontraksi
uterus, mengopresi pembuluh darah dan membantu hemostasis. Salama 1-2 jam pertama
pasca partum intensitas kontraksi uterus bisa berkurang dan menjadi tidak teratur. Untuk
mempertahankan kontraksi uterus, suntikan oksitosin secara intravena atau intramuskuler
diberikan segera setelah plasenta lahir.
c. Tempat plasenta
Segera setelah plasenta dan ketuban dikeluarkan, kontraksi vaskular dan trombus
menurunkan tempat plasenta ke suatu area yang meninggi dan bernodul tidak teratur.
Pertumbuhan endometrium ke atas menyebapkan pelepasan jaringan nekrotik dan mencegah
pembentukan jaringan parut yang menjadi karakteristik penyembuha luka. Regenerasi
endometrum, selesai pada akhir minggu ketiga masa pasca partum, kecuali pada bekas
tempat plasenta.
d. Lochea
Rabas uterus yang keluar setelah bayi lahir, mula-mula berwarna merah, kemudian
menjadi merah tua atau merah coklat. Lochea rubra terutama mengandung darah dan debris
desidua dan debris trofoblastik. Aliran menyembur menjadi merah setelah 2-4 hari. Lochea
serosa terdiri dari darah lama, serum, leukosit dan denrus jaringan. Sekitar 10 hari setelah
bayi lahir, cairan berwarna kuning atau putih. Lochea alba mengandung leukosit, desidua, sel
epitel, mukus, serum dan bakteri. Lochea alba bisa bertahan 2-6 minggu setelah bayi lahir.

2. Sistem endokrin
a. Hormon plasenta
Penurunan hormon human plasental lactogen, esterogen dan kortisol, serta placental
enzyme insulinase membalik efek diabetagenik kehamilan. Sehingga kadar gula darah
menurun secara yang bermakna pada masa puerperium. Kadar esterogen dan progesteron
menurun secara mencolok setelah plasenta keluar, penurunan kadar esterogen berkaitan
dengan pembengkakan payudara dan diuresis cairan ekstra seluler berlebih yang terakumulasi
selama masa hamil.
b. Hormon hipofisis
Waktu dimulainya ovulasi dan menstruasi pada wanita menyusui dan tidak menyusui
berbeda. Kadar prolaktin serum yang tinggi pada wanita menyusui tampaknya berperan
dalam menekan ovulasi. Karena kadar follikel-stimulating hormone terbukti sama pada
wanita menyusui dan tidak menyusui di simpulkan ovarium tidak berespon terhadap stimulasi
FSH ketika kadar prolaktin meningkat
3. Abdomen
Apabila wanita berdiri di hari pertama setelah melahirkan, abdomenya akan menonjol
dan membuat wanita tersebut tampak seperti masih hamil. Diperlukan sekitar 6 minggu untuk
dinding abdomen kembali ke keadaan sebelum hami.
4. Sistem urinarius
Fungsi ginjal kembali normal dalam waktu satu bulan setelah wanita melahirkan.
Diperlukan kira-kira dua smpai 8 minggu supaya hipotonia pada kehamilan dan dilatasi ureter
serta pelvis ginjal kembali ke keadaan sebelum hamil (Cunningham, dkk ; 1993).
5. Sistem cerna
a. Nafsu makan
Setelah benar-benar pulih dari efek analgesia, anestesia, dan keletihan, ibu merasa
sangat lapar.
b. Mortilitas
Secara khas, penurunan tonus dan motilitas otot traktus cerna menetap selam waktu
yang singkat setelah bayi lahir.
c. Defekasi
Buang air besar secara spontan bias tertunda selama dua sampai tiga hari setelah ibu
melahirkan.

6. Payu dara
Konsentrasi hormon yang menstimulasai perkembangan payu dara selama wanita
hamil (esterogen, progesteron, human chorionik gonadotropin, prolaktin, krotison, dan
insulin) menurun dengan cepat setelah bayi lahir.
a) Ibu tidak menyusui
Kadar prolaktin akan menurun dengan cepat pada wanita yang tidak menyusui. Pada
jaringan payudara beberapa wanita, saat palpasi dailakukan pada hari kedua dan ketiga. Pada
hari ketiga atau keempat pasca partum bisa terjadi pembengkakan. Payudara teregang keras,
nyeri bila ditekan, dan hangat jika di raba.
b) Ibu yang menyusui
Sebelum laktasi dimulai, payudara teraba lunak dan suatu cairan kekuningan, yakni
kolostrum. Setelah laktasi dimula, payudara teraba hangat dan keras ketika disentuh. Rasa
nyeri akan menetap selama sekitar 48 jam. Susu putih kebiruan dapat dikeluarkan dari puting
susu.
7. Sistem kardiovaskuler
a. Volume darah
Perubahan volume darah tergantung pada beberapa faktor misalnya kehilangan darah
selama melahirkan dan mobilisasi serta pengeluaran cairan ekstravaskuler. Kehilangan darah
merupakan akibat penurunan volume darah total yang cepat tetapi terbatas. Setelah itu terjadi
perpindahan normal cairan tubuh yang menyebapkan volume darah menurun dengan lambat.
Pada minggu ketiga dan keempat setelah bayi lahir, volume darah biasanya menurun sampai
mencapai volume sebelum lahir.
b. Curah jantung
Denyut jantung volume sekuncup dan curah jantung meningkat sepanjang masa
hamil. Segera setelah wanita melahirkan, keadaan ini akan meningkat bahkan lebih tinggi
selama 30 sampai 60 menit karena darah yang biasanya melintasi sirkuit utero plasenta
tibatiba kembali ke sirkulasi umum (Bowes, 1991).
c. Tanda-tanda vital
Beberapa perubahan tanda-tanda vital bisa terlihat, jika wanita dalam keadaan normal.
Peningkatan kecil sementara, baik peningkatan tekanan darah sistol maupun diastol dapat
timbul dan berlangsung selama sekitar empat hari setelah wanita melahirkan

8. Sistem neurologi
Perubahan neurologis selama puerperium merupakan kebalikan adaptasi neurologis
yang terjadi saat wanita hamil dan disebapkan trauma yang dialami wanita saat bersalin dan
melahirkan.
9. Sistem muskuluskeletal
Adaptasi sistem muskuluskeletal ibu yang terjadi selama masa hamil berlangsung
secara terbalik pada masa pascapartum. Adaptasi ini mencakup hal-hal yang membantu
relaksasi dan hipermobilitas sendi dan perubahan pusat berat ibu akibat pemsaran rahim.
10. Sistem integumen
Kloasma yang muncul pada masa hamil biasanya menghilang saat kehamilan
berakhir. Pada beberapa wanita, pigmentasi pada daerah tersebut akan menutap. Kulit kulit
yang meregang pada payudara, abdomen, paha, dan panggul mungkin memudar, tapi tidak
hilang seluruhnya.
D. Pengertian Sectio Caesarea
Mochtar (1998: 117) mengatakan seksio sesarea adalah suatu cara melahirkan janin
dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina, atau
seksio sesarea adalah suatu histeretomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim.
Sedangkan menurut Farrer (1999: 161) seksio sesarea merupakan pembedahan obstetrik
untuk melahirkan janin yang viabel melalui abdomen. Pendapat lain mengatakan bahwa
seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut
dan dinding uterus (Wiknjosastro, 2002: 863).
Dapat disimpulkan bahwa seksio sesarea merupakan suatu cara melahirkan janin
dengan membuat sayatan pada dinding perut untuk membuka dinding uterus.

E. Etiologi
Indikasi SC :
Indikasi klasik yang dapat dikemukakan sebagai dasar section caesarea adalah :
1. Prolog labour sampai neglected labour.
2. Ruptura uteri imminen
3. Fetal distress
4. Janin besar melebihi 4000 gr
5. Perdarahan antepartum
(Manuaba, I.B, 2001)
Sedangkan indikasi yang menambah tingginya angka persalinan dengan sectio:
1. Malpersentasi janin
a. Letak lintang
Bila terjadi kesempitan panggul, maka sectio caesarea adalah jalan /cara yang
terbaik dalam melahirkan janin dengan segala letak lintang yang janinnya hidup
dan besarnya biasa. Semua primigravida dengan letak lintang harus ditolong
dengan sectio caesarea walaupun tidak ada perkiraan panggul sempit. Multipara
dengan letak lintang dapat lebih dulu ditolong dengan cara lain.
b. Letak belakang
Sectio caesarea disarankan atau dianjurkan pada letak belakang bila panggul
sempit, primigravida, janin besar dan berharga.
2. Plasenta previa sentralis dan lateralis
3. Presentasi lengkap bila reposisi tidak berhasil.
4. Gemeli menurut Eastman, sectio cesarea dianjurkan bila janin pertama letak lintang
atau presentasi bahu, bila terjadi interior (looking of the twins), distosia karena
tumor, gawat janin dan sebagainya.
5. Partus lama
6. Partus tidak maju
7. Pre-eklamsia dan hipertensi
8. Distosia serviks

F. Jenis seksio sesarea


Ada beberapa jenis operasi seksio sesarea (Mochtar, 1998: 119), yang terdiri dari:
1. Seksio sesarea abdominalis, ada dua macam yaitu seksio sesarea transperitonealisasi
dan seksio sesarea ekstraperitonealisasi. Seksio sesarea transperitonealisasi sendiri
terdiri dari dua cara. Pertama seksio sesarea klasik dengan insisi memanjang pada
korpus uteri yang mempunyai kelebihan mengeluarkan janin lebih cepat, tidak
mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik, dan sayatan bisa diperpanjang
proksimal atau distal. Sedangkan kekurangan dari cara ini adalah infeksi mudah
menyebar secara intraabdominal karena tidak ada reperitonealisasi yang baik dan
untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi ruptura uteri spontan. Yang kedua
seksio sesarea ismika atau profunda dengan insisi pada segmen bawah rahim dengan
kelebihan penjahitan luka lebih mudah, penutupan luka dengan reperitonealisasi
yang baik, perdarahan kurang dan kemungkinan ruptura uteri spontan kurang/lebih
kecil. Dan memiliki kekurangan luka dapat melebar ke kiri, bawah dan kanan
sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak serta keluhan pada kandung
kemih post operatif tinggi.
2. Sedangkan seksio sesarea ekstraperitonealisasi, yaitu tanpa membuka peritoneum
parietalis, dengan demikian tidak membuka kavum abdominal.
3. Seksio sesarea vaginalis, menurut arah sayatan pada rahim, seksio sesarea dapat
dilakukan dengan sayatan memanjang (longitudinal), sayatan melintang (transversal)
dan sayatan huruf T (T-incision).

G. Patofisiologi
Adanya beberapa kelainan / hambatan pada proses persalinan yang menyebabkan bayi
tidak dapat lahir secara normal / spontan, misalnya plasenta previa sentralis dan lateralis,
panggul sempit, disproporsi cephalo pelvic, rupture uteri mengancam, partus lama, partus
tidak maju, pre-eklamsia, distosia serviks, dan malpresentasi janin. Kondisi tersebut
menyebabkan perlu adanya suatu tindakan pembedahan yaitu Sectio Caesarea (SC).
Dalam proses operasinya dilakukan tindakan anestesi yang akan menyebabkan pasien
mengalami imobilisasi sehingga akan menimbulkan masalah intoleransi aktivitas.
Adanya kelumpuhan sementara dan kelemahan fisik akan menyebabkan pasien tidak

mampu melakukan aktivitas perawatan diri pasien secara mandiri sehingga timbul
masalah defisit perawatan diri.
Selain itu, dalam proses pembedahan juga akan dilakukan tindakan insisi pada dinding
abdomen sehingga menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan, pembuluh darah,
dan saraf - saraf di sekitar daerah insisi. Hal ini akan merangsang pengeluaran histamin
dan prostaglandin yang akan menimbulkan rasa nyeri (nyeri akut). Setelah proses
pembedahan berakhir, daerah insisi akan ditutup dan menimbulkan luka post op, yang
bila tidak dirawat dengan baik akan menimbulkan masalah risiko infeksi.
Pada ibu post partum baik normal maupun dengan sectio caesarea, terjadi penurunan
kadar estrogen dan progesteron, yang kemudian merangsang peningkatan sekresi hormon
prolaktin yang merangsang sekresi kelenjar susu. Selain itu disekresikan pula hormon
oksitosin yang merangsang pengeluaran air susu dari kelenjar yang disebut proses
laktasi. Pengeluaran ASI yang efektif akan memenuhi kebutuhan nutrisi pada bayi,
sedangkan ejeksi atau pengeluaran ASI yang tidak efektif akan membuat payudara
bengkak dan mengeras sehingga menimbulkan masalah kurang pengetahuan teknik
menyusui.
H. Tekhnik penatalaksanaan
1.

Bedah Caesar Klasik/ Corporal.

a.

Buatlah insisi membujur secara tajam dengan pisau pada garis tengah korpus uteri

diatas segmen bawah rahim. Perlebar insisi dengan gunting sampai sepanjang kurang
lebih 12 cm saat menggunting lindungi janin dengan dua jari operator.
b.

Setelah cavum uteri terbuka kulit ketuban dipecah. Janin dilahirkan dengan

meluncurkan kepala janin keluar melalui irisan tersebut.


c.

Setelah janin lahir sepenuhnya tali pusat diklem ( dua tempat) dan dipotong

diantara kedua klem tersebut.


d.

Plasenta dilahirkan secara manual kemudian segera disuntikkan uterotonika

kedalam miometrium dan intravena.


e.

Luka insisi dinding uterus dijahit kembali dengan cara :

1) Lapisan I
Miometrium tepat diatas endometrium dijahit secara silang dengan menggunakan benang
chromic catgut no.1 dan 2
2) Lapisan II
8

lapisan miometrium diatasnya dijahit secara kasur horizontal (lambert) dengan benang
yang sama.
3) Lapisan III
Dilakukan reperitonealisasi dengan cara peritoneum dijahit secara jelujur menggunakan
benang plain catgut no.1 dan 2
f.

Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut dari sisa-sisa darah dan air

ketuban
g.

Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.

2.

Bedah Caesar Transperitoneal Profunda

a.

Plika vesikouterina diatas segmen bawah rahim dilepaskan secara melintang,

kemudian secar tumpul disisihkan kearah bawah dan samping.


b.

Buat insisi secara tajam dengan pisau pada segmen bawah rahim kurang lebih 1 cm

dibawah irisan plika vesikouterina. Irisan kemudian diperlebar dengan gunting sampai
kurang lebih sepanjang 12 cm saat menggunting lindungi janin dengan dua jari operator.
c.

Setelah cavum uteri terbuka kulit ketuban dipecah dan janin dilahirkan dengan cara

meluncurkan kepala janin melalui irisan tersebut.


d.
e.

Badan janin dilahirkan dengan mengaitkan kedua ketiaknya.


Setelah janin dilahirkan seluruhnya tali pusat diklem ( dua tempat) dan dipotong

diantara kedua klem tersebut.


f.

Plasenta dilahirkan secara manual kemudian segera disuntikkan uterotonika

kedalam miometrium dan intravena.


g.

Luka insisi dinding uterus dijahit kembali dengan cara :

1) Lapisan I
Miometrium tepat diatas endometrium dijahit secara silang dengan menggunakan benang
chromic catgut no.1 dan 2
2) Lapisan II
Lapisan miometrium diatasnya dijahit secara kasur horizontal (lambert) dengan benang
yang sama.
3) Lapisan III
Peritoneum plika vesikouterina dijahit secara jelujur menggunakan benang plain catgut
no.1 dan 2
h.

Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut dari sisa-sisa darah dan air

ketuban
9

i.

Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.

3.

Bedah Caesar Ekstraperitoneal

a.

Dinding perut diiris hanya sampai pada peritoneum. Peritoneum kemudia digeser

kekranial agar terbebas dari dinding cranial vesika urinaria.


b.

Segmen bawah rahim diris melintang seperti pada bedah Caesar transperitoneal

profunda demikian juga cara menutupnya.


4.
a.

Histerektomi Caersarian ( Caesarian Hysterectomy)


Irisan uterus dilakukan seperti pada bedah Caesar klasik/corporal demikian juga

cara melahirkan janinnya.


b.

Perdarahan yang terdapat pada irisan uterus dihentikan dengan menggunakan klem

secukupnya.
c.
d.

Kedua adneksa dan ligamentum rotunda dilepaskan dari uterus.


Kedua cabang arteria uterina yang menuju ke korpus uteri di klem (2) pada tepi

segmen bawah rahim. Satu klem juga ditempatkan diatas kedua klem tersebut.
e.

Uterus kemudian diangkat diatas kedua klem yang pertama. Perdarahan pada

tunggul serviks uteri diatasi.


f.

Jahit cabang arteria uterine yang diklem dengan menggunakan benang sutera no. 2.

g.

Tunggul serviks uteri ditutup dengan jahitan ( menggunakan chromic catgut ( no.1

atau 2 ) dengan sebelumnya diberi cairan antiseptic.


h.

Kedua adneksa dan ligamentum rotundum dijahitkan pada tunggul serviks uteri.

i.

Dilakukan reperitonealisasi sertya eksplorasi daerah panggul dan visera abdominis.

j.

Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis

Laporan Pendahuluan SC (Sectio Caesaria)


SC (Sectio Caesaria)
I. Pemeriksaan Penunjang
1.

Elektroensefalogram ( EEG )

Untuk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.


2.

Pemindaian CT

Untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.


3.

Magneti resonance imaging (MRI)


10

Menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapangan magnetik dan gelombang radio,


berguna untuk memperlihatkan daerah daerah otak yang itdak jelas terliht bila
menggunakan pemindaian CT.
4.

Pemindaian positron emission tomography ( PET )

Untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi,
perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak.
5.

Uji laboratorium

a.

Fungsi lumbal

b.

Hitung darah lengkap

c.

Panel elektrolit

d.

Skrining toksik dari serum dan urin

e.

AGD

f.

Kadar kalsium darah

g.

Kadar natrium darah

h.

Kadar magnesium darah

J.

: menganalisis cairan serebrovaskuler


: mengevaluasi trombosit dan hematokrit

Komplikasi
Yang sering terjadi pada ibu SC adalah :
1.

Infeksi puerperial : kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa nifas dibagi

menjadi:
a.
b.

Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari


Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan perut sedikit

kembung
c.
3.

Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik


Perdarahan : perdarahan banyak bisa terjadi jika pada saat pembedahan cabang-

cabang arteri uterine ikut terbuka atau karena atonia uteri.


4.

Komplikasi-komplikasi lainnya antara lain luka kandung kencing, embolisme paru

yang sangat jarang terjadi.


5.

Kurang kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya

bisa terjadi ruptur uteri.


Yang sering terjadi pada ibu bayi : Kematian perinatal

11

K. Penatalaksanaan
1.

Perawatan awal

a. Letakan pasien dalam posisi pemulihan


b. Periksa kondisi pasien, cek tanda vital tiap 15 menit selama 1 jam pertama, kemudian
tiap 30 menit jam berikutnya. Periksa tingkat kesadaran tiap 15 menit sampai sadar
c. Yakinkan jalan nafas bersih dan cukup ventilasi
d. Transfusi jika diperlukan
e. Jika tanda vital dan hematokrit turun walau diberikan transfusi, segera kembalikan ke
kamar bedah kemungkinan terjadi perdarahan pasca bedah
2.

Diet

Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu dimulailah
pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman dengan jumlah yang
sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca operasi, berupa air putih dan air teh.
3.

Mobilisasi

Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :


a. Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
b. Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini mungkin
setelah sadar
c. Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta
untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
d.

Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk

(semifowler)
e. Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar duduk
selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3 sampai hari
ke5 pasca operasi.
4.

Fungsi gastrointestinal

a. Jika tindakan tidak berat beri pasien diit cair


b. Jika ada tanda infeksi , tunggu bising usus timbul
c. Jika pasien bisa flatus mulai berikan makanan padat
d. Pemberian infus diteruskan sampai pasien bisa minum dengan baik
5.

Perawatan fungsi kandung kemih

a. Jika urin jernih, kateter dilepas 8 jam setelah pembedahan atau sesudah semalam
b. Jika urin tidak jernih biarkan kateter terpasang sampai urin jernih
12

c.

Jika terjadi perlukaan pada kandung kemih biarkan kateter terpasang sampai

minimum 7 hari atau urin jernih.


d. Jika sudah tidak memakai antibiotika berikan nirofurantoin 100 mg per oral per hari
sampai kateter dilepas
e. Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada penderita,
menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter biasanya terpasang
24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan keadaan penderita.
6. Pembalutan dan perawatan luka
a. Jika pada pembalut luka terjadi perdarahan atau keluar cairan tidak terlalu banyak
jangan mengganti pembalut
b.

Jika pembalut agak kendor , jangan ganti pembalut, tapi beri plester untuk

mengencangkan
c. Ganti pembalut dengan cara steril
d. Luka harus dijaga agar tetap kering dan bersih
e. Jahitan fasia adalah utama dalam bedah abdomen, angkat jahitan kulit dilakukan pada
hari kelima pasca SC
7.

Jika masih terdapat perdarahan

a. Lakukan masase uterus


b. Beri oksitosin 10 unit dalam 500 ml cairan I.V. (garam fisiologik atau RL) 60
tetes/menit, ergometrin 0,2 mg I.M. dan prostaglandin
8.

Jika terdapat tanda infeksi, berikan antibiotika kombinasi sampai pasien bebas

demam selama

48 jam :

a. Ampisilin 2 g I.V. setiap 6 jam


b. Ditambah gentamisin 5 mg/kg berat badan I.V. setiap 8 jam
c. Ditambah metronidazol 500 mg I.V. setiap 8 jam
9.

Analgesik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan

a. Pemberian analgesia sesudah bedah sangat penting


b. Supositoria

= ketopropen sup 2x/ 24 jam

c. Oral

= tramadol tiap 6 jam atau paracetamol

d. Injeksi

= penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu

10. Obat-obatan lain


a.

Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat diberikan

caboransia seperti neurobian I vit. C

13

11. Hal Hal lain yang perlu diperhatikan


a.

Paska bedah penderita dirawat dan diobservasi kemungkinan komplikasi berupa

perdarahan dan hematoma pada daerah operasi


b. Pasca operasi perlu dilakukan drainase untuk mencegah terjadinya hematoma.
c. Pasien dibaringkan dengan posisi semi fowler (berbaring dengan lutut ditekuk) agar
diding abdomen tidak tegang.
d. Diusahakan agar penderita tidak batuk atau menangis.
e. Lakukan perawatan luka untuk mencegah terjadiny infeksi
f. Dalam waktu 1 bulan jangan mengangkut barang yang berat.
g. Selama waktu 3 bulan tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat menaikkan tekanan
intra abdomen
h. pengkajian difokuskan pada kelancaran saluran nafas, karena bila terjadi obstruksi
kemungkinan terjadi gangguan ventilasi yang mungkin disebab-kan karena pengaruh
obat-obatan, anestetik, narkotik dan karena tekanan diafragma. Selain itu juga penting
untuk mempertahankan sirkulasi dengan mewaspadai terjadinya hipotensi dan aritmia
kardiak. Oleh karena itu perlu memantau TTV setiap 10-15 menit dan kesadaran selama
2 jam dan 4 jam sekali.
i. Keseimbangan cairan dan elektrolit, kenyamanan fisik berupa nyeri dan kenya-manan
psikologis juga perlu dikaji sehingga perlu adanya orientasi dan bimbingan kegi-atan
post op seperti ambulasi dan nafas dalam untuk mempercepat hilangnya pengaruh
anestesi.
j. Perawatan pasca operasi, Jadwal pemeriksaan ulang tekanan darah, frekuensi nadi dan
nafas. Jadwal pengukuran jumlah produksi urin Berikan infus dengan jelas, singkat dan
terinci bila dijumpai adanya penyimpangan
k. Penatalaksanaan medis, Cairan IV sesuai indikasi. Anestesia; regional atau general
Perjanjian dari orang terdekat untuk tujuan sectio caesaria. Tes laboratorium/diagnostik
sesuai indikasi. Pemberian oksitosin sesuai indikasi. Tanda vital per protokol ruangan
pemulihan, Persiapan kulit pembedahan abdomen, Persetujuan ditandatangani.
Pemasangan kateter fole

14

L. Pengkajian
1.
Sirkulasi
Perhatikan riwayat masalah jantumg, udema pulmonal, penyakit vaskuler perifer atau
stasis vaskuler (peningkatan resiko pembentukan thrombus).
2.
Intregritas ego
Perasaan cemas, takut, marah, apatis, serta adanya fakto-faktor stress multiple seperti
financial, hubungan, gaya hidup. Dengan tanda-tandatidak dapat beristirahat,
3.

peningkatan ketegangan, stimulasi simpatis.


Makanan/cairan
Malnutrisi, membrane mukosa yang keringpembatasn puasa pra operasi insufisiensi

pancreas/DMpredesposisi untuk hipoglikemia/ketoasidosis.


Pernapasan
Adanya infeksi, kondisi yang kronik/batuk, merokok
5.
Keamanan
4.

a.

Adanya alergi atau sensitive terhadap obat, makanan, plester dan larutan

b.

Adanya defisiensi imun

c.

Munculnya kanker/adanya terapi kanker

d.

Riwayat keluarga, tentang hipertermia malignan/ reaksi anestesi

e.

Riwayat penyakit hepatic

f.

Riwayat tranfusi darah

g.

Tanda munculnya proses infeksi

M. Diagnosa keperawatan
1.
2.

Nyeri b.d. terputusnya kontinuitas jaringan


Resti infeksi b.d. kurangnya proteksi akibat terbukanya

jaringan
3.

Defisit perawatan diri b.d gangguan mobilitas fisik

N. Intervensi keperawatan
No
DP
1.

Tujuan
Nyeri dapat
berkurang setelah

Intervensi

Rasional

1. Lakukan pengkajian nyeri


PQRST

1. Mengetahui deskripsi
nyeri yang dirasakan

perawatan 3 x 24

pasien
15

jam dengan kriteria

2. Ajarkan managemen nyeri

hasil:

relaksasi dan distraksi

Pasien tidak
mengeluh nyeri /
mengatakan

memiliki managemen
yang berbeda
3. Monitoring keadaan balutan
insisi luka post operasi

bahwa nyeri
sudah berkurang
Skala nyeri turun

3. Antisipasi nyeri
akibat luka post

4. Kolaborasikan pemberian

operasi

analgetik

menjadi 0-3

4. Mengurangi nyeri

Pasien dapat
mempraktekkan

2. Setiap skala nyeri

1.

teknik relaksasi

Kaji keadaan
balutan luka operasi pasien

atau distraksi

secara farmakologik
1. Memastikan balut
luka tetap tertutup
rapat

2.
2.

Kaji suhu tubuh


pasien

Setelah dilakukan

2. Suhu tubuh

asuhan keperawatan

mengindikasikan

selama 3x24 jam,

terjadinya infeksi

tidak terjadi infeksi


dengan kriteria

3.

Lakukan

3. Menjaga kesterilan

hasil:

prosedur ganti balut luka

luka dan mencegah

Tidak ada tanda-

operasi dengan prinsip steril

berkembangbiak-nya
organisme pada

tanda infeksi

daerah luka

seperti bengkak,
kemerahan, dan
luka bernanah
Suhu tubuh pasien
dalam keadaan
normal, tidak
demam

4. Beritahukan pasien untuk

4. Dengan adanya

menjaga daya tahan tubuh,

partisipasi dari

kebersihan luka, serta

pasien, maka

tanda-tanda infeksi dini

kesembuhan luka

pada luka

dapat lebih mudah


terwujud

5. Kolaborasikan pemberian
antibiotik

5. Mencegah terjadinya
infeksi secara

16

farmakologik
1. Kaji tingkat kemampuan
3.

Setelah di lakukan
tindakan
keperawatan selama

pasien untuk melakukan


personal hygine.

pemahaman pasien

2. Bantu pasien untuk

3x24 jam diharapkan

personal hygiene dan

defisit perawatan diri

libatkan keluarga.

teratasi dengan
kriteria hasil :
-

Tubuh pasien
bersih, baju

1. Mengkaji

3. Libatkan keluarga untuk


membantu dalam personal
hygiene pasien agar tidak
tergantung pada perawat

tentang personal
hygine
2. Meningkankan
kemampuan klien
tentang personal
hygine
3. Meningkatkan

selalu ganti,

kemampuan keluarga

rambut rapi.
Pasien dapat

untuk personal
hygine

mandi di kamar
mandi.

O. Referensi
Doenges, M E. 2000. Rencana Askep Pedoman Untuk Perencanaan Dan
Pendokmentasian Perawatan Pasien. Jakarta:EGC
Carpenito L. J. 2001. Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC
Winkjosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
SarwonoPrawirohardjo
Carpenito. 2001. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa keperawatan
dan masalah kolaboratif. Jakarta: EGC
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A. 2002. Asuhan Keperawatn Maternitas. Jakarta : Salemba Medika
17

Manuaba, Ida Bagus Gede. 2002. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana, Jakarta : EGC
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/126/jtptunimus-gdl-norhimawat-6281-2-babii.pdf

18

Anda mungkin juga menyukai