Anda di halaman 1dari 26

BAB 2.

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Post Partum Normal

2.1.1 Definisi Post Partum Normal


Post partum adalah masa sesudah persalinan dapat juga disebut masa nifas
(puerperium) yaitu masa sesudah persalinan yang diperlukan untuk pulihnya
kembali alat kandungan yang lamanya 6 minggu. Post partum adalah masa 6
minggu sejak bayi lahir sampai organ-organ reproduksi sampai kembali ke
keadaan normal sebelum hamil (Bobak, 2010). Partus di anggap spontan atau
normal jika wanita berada dalam masa aterm, tidak terjadi komplikasi, terdapat
satu janin presentasi puncak kepala dan persalinana selesai dalam 24 jam (Bobak,
2005).
Partus spontan adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan
cukup bulan dengan ketentuan ibu atau tanpa anjuran atau obatobatan
(Prawiroharjo, 2007).

2.1.2 Etiologi Partus Normal


Partus normal adalah proses pengeluaran hasil konsepsi yang telah cukup
bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir atau jalan lain,
dengan bantuan. Partus dibagi menjadi 4 kala :
a. Kala I, kala pembukaan yang berlangsung antara pembukaan nol sampai
pembukaan lengkap. Pada permulaan his, kala pembukaan berlangsung tidak
begitu kuat sehingga parturien masih dapat berjalan-jalan. Lamanya kala I
untuk primigravida berlangsung 12 jam sedangkan multigravida sekitar 8 jam.
b. Kala II, gejala utama kala II adalah His semakin kuat dengan interval 2 sampai
3 menit, dengan durasi 50 sampai 100 detik. Menjelang akhir kala I ketuban
pecah yang ditandai dengan pengeluaran cairan secara mendadak. Ketuban
pecah pada pembukaan mendekati lengkap diikuti keinginan mengejan. Kedua
kekuatan, His dan mengejan lebih mendorong kepala bayi sehingga kepala
membuka pintu. Kepala lahir seluruhnya dan diikuti oleh putar paksi luar.
Setelah putar paksi luar berlangsung kepala dipegang di bawah dagu di tarik ke
bawah untuk melahirkan bahu belakang. Setelah kedua bahu lahir ketiak di ikat
untuk melahirkan sisa badan bayi yang diikuti dengan sisa air ketuban.
c. Kala III, setelah kala II kontraksi uterus berhenti 5 sampai 10 menit. Dengan
lahirnya bayi, sudah dimulai pelepasan plasenta. Lepasnya plasenta dapat
ditandai dengan uterus menjadi bundar, uterus terdorong ke atas, tali pusat
bertambah panjang dan terjadi perdarahan.
d. Kala IV, dimaksudkan untuk melakukan observasi karena perdarahan post
partum paling sering terjadi pada 2 jam pertama, observasi yang dilakukan
yaitu tingkat kesadaran penderita, pemeriksaan tanda-tanda vital, kontraksi
uterus, terjadinya perdarahan. Perdarah dianggap masih normal bila jumlahnya
tidak melebihi 400 sampai 500 cc (Manuaba, 2010).

2.1.3 Manifestasi Klinik


Periode post partum ialah masa enam minggu sejak bayi lahir sampai organ-
organ reproduksi kembali ke keadaan normal sebelum hamil. Periode ini kadang-
kadang disebut puerperium atau trimester keempat kehamilan (Bobak, 2004).
1. Sistem reproduksi
a. Proses involusi
Proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah melahirkan,
proses ini dimulai segera setelah plasenta keluar akibat kontraksi otot-otot
polos uterus. Uterus, pada waktu hamil penuh baratnya 11 kali berat
sebelum hamil, berinvolusi menjadi kira-kira 500 gr 1 minggu setelah
melahirkan dan 350 gr dua minggu setelah lahir. Seminggu setelah
melahirkan uterus berada di dalam panggul. Pada minggu keenam,
beratnya menjadi 50- 60gr. Pada masa pasca partum penurunan kadar
hormone menyebabkan terjadinya autolisis, perusakan secara langsung
jaringan hipertrofi yang berlebihan. Sel-sel tambahan yang terbentuk
selama masa hamil menetap. Inilah penyebap ukuran uterus sedikit lebih
besar setelah hamil.

b. Kontraksi
Intensitas kontraksi uterus meningkat secara bermakna segera setelah bayi
lahir, hormon oksigen yang dilepas dari kelenjar hipofisis memperkuat dan
mengatur kontraksi uterus, mengopresi pembuluh darah dan membantu
hemostasis. Salama 1-2 jam pertama pasca partum intensitas kontraksi
uterus bisa berkurang dan menjadi tidak teratur. Untuk mempertahankan
kontraksi uterus, suntikan oksitosin secara intravena atau intramuskuler
diberikan segera setelah plasenta lahir.
c. Tempat plasenta
Segera setelah plasenta dan ketuban dikeluarkan, kontraksi vaskular dan
trombus menurunkan tempat plasenta ke suatu area yang meninggi dan
bernodul tidak teratur. Pertumbuhan endometrium ke atas menyebapkan
pelepasan jaringan nekrotik dan mencegah pembentukan jaringan parut
yang menjadi karakteristik penyembuha luka. Regenerasi endometrum,
selesai pada akhir minggu ketiga masa pasca partum, kecuali pada bekas
tempat plasenta.
d. Lochea
Rabas uterus yang keluar setelah bayi lahir, mula-mula berwarna merah,
kemudian menjadi merah tua atau merah coklat. Lochea rubra terutama
mengandung darah dan debris desidua dan debris trofoblastik. Aliran
menyembur menjadi merah setelah 2-4 hari. Lochea serosa terdiri dari
darah lama, serum, leukosit dan denrus jaringan. Sekitar 10 hari setelah
bayi lahir, cairan berwarna kuning atau putih. Lochea alba mengandung
leukosit, desidua, sel epitel, mukus, serum dan bakteri. Lochea alba bisa
bertahan 2-6 minggu setelah bayi lahir.
e. Serviks
Serviks menjadi lunak segera setelah ibu melahirkan. 18 jam pasca partum,
serviks memendek dan konsistensinya menjadi lebih padat dan kembali ke
bentuk semula. Serviks setinggi segmen bawah uterus tetap edematosa,
tipis, dan rapuh selama beberapa hari setelah ibu melahirkan.
f. Vagina dan perineum
Vagina yang semula sangat teregang akan kembali secara bertahap ke
ukuran sebelum hami, 6-8 minggu setelah bayi lahir. Rugae akan kembali
terlihat pada sekitar minggu keempat, walaupun tidak akan semenonjol
pada wanita nulipara.
2. Sistem endokrin
a. Hormon plasenta
Penurunan hormon human plasental lactogen, esterogen dan kortisol,
serta placental enzyme insulinase membalik efek diabetagenik
kehamilan. Sehingga kadar gula darah menurun secara yang bermakna
pada masa puerperium. Kadar esterogen dan progesteron menurun secara
mencolok setelah plasenta keluar, penurunan kadar esterogen berkaitan
dengan pembengkakan payudara dan diuresis cairan ekstra seluler
berlebih yang terakumulasi selama masa hamil.
b. Hormon hipofisis
Waktu dimulainya ovulasi dan menstruasi pada wanita menyusui dan
tidak menyusui berbeda. Kadar prolaktin serum yang tinggi pada wanita
menyusui tampaknya berperan dalam menekan ovulasi. Karena kadar
follikel-stimulating hormone terbukti sama pada wanita menyusui dan
tidak menyusui di simpulkan ovarium tidak berespon terhadap stimulasi
FSH ketika kadar prolactin meningkat (Bobak, 2004).
3. Abdomen
Apabila wanita berdiri di hari pertama setelah melahirkan, abdomenya
akan menonjol dan membuat wanita tersebut tampak seperti masih hamil.
Diperlukan sekitar 6 minggu untuk dinding abdomen kembali ke keadaan
sebelum hamil.
4. Sistem urinarius
Fungsi ginjal kembali normal dalam waktu satu bulan setelah wanita
melahirkan. Diperlukan kira-kira dua smpai 8 minggu supaya hipotonia pada
kehamilan dan dilatasi ureter serta pelvis ginjal kembali ke keadaan sebelum
hamil.
5. Sistem cerna
a. Nafsu makan
Setelah benar-benar pulih dari efek analgesia, anestesia, dan keletihan, ibu
merasa sangat lapar.
b. Mortilitas
Secara khas, penurunan tonus dan motilitas otot traktus cerna menetap
selam waktu yang singkat setelah bayi lahir.
c. Defekasi
Buang air besar secara spontan bisa tertunda selama dua sampai tiga hari
setelah ibu melahirkan.
6. Payudara
Konsentrasi hormon yang menstimulasai perkembangan payudara selama
wanita hamil (esterogen, progesteron, human chorionic gonadotropin,
prolaktin, krotison, dan insulin) menurun dengan cepat setelah bayi lahir.
a. Ibu tidak menyusui
Kadar prolaktin akan menurun dengan cepat pada wanita yang tidak
menyusui. Pada jaringan payudara beberapa wanita, saat palpasi
dailakukan pada hari kedua dan ketiga. Pada hari ketiga atau keempat
pasca partum bisa terjadi pembengkakan. Payudara teregang keras, nyeri
bila ditekan, dan hangat jika di raba.
b. Ibu yang menyusui
Sebelum laktasi dimulai, payudara teraba lunak dan suatu cairan
kekuningan, yakni kolostrum. Setelah laktasi dimula, payudara teraba
hangat dan keras ketika disentuh. Rasa nyeri akan menetap selama
sekitar 48 jam. Susu putih kebiruan dapat dikeluarkan dari puting susu.
7. Sistem kardiovaskuler
a. Volume darah
Perubahan volume darah tergantung pada beberapa faktor misalnya
kehilangan darah selama melahirkan dan mobilisasi serta pengeluaran
cairan ekstravaskuler. Kehilangan darah merupakan akibat penurunan
volume darah total yang cepat tetapi terbatas. Setelah itu terjadi
perpindahan normal cairan tubuh yang menyebapkan volume darah
menurun dengan lambat. Pada minggu ketiga dan keempat setelah bayi
lahir, volume darah biasanya menurun sampai mencapai volume sebelum
lahir.
b. Curah jantung
Denyut jantung volume sekuncup dan curah jantung meningkat sepanjang
masa hamil. Segera setelah wanita melahirkan, keadaan ini akan
meningkat bahkan lebih tinggi selama 30 sampai 60 menit karena darah
yang biasanya melintasi sirkuit utero plasenta tiba-tiba kembali ke
sirkulasi umum.
c. Tanda-tanda vital
Beberapa perubahan tanda-tanda vital bisa terlihat, jika wanita dalam
keadaan normal. Peningkatan kecil sementara, baik peningkatan tekanan
darah sistol maupun diastol dapat timbul dan berlangsung selama sekitar
empat hari setelah wanita melahirkan.
8. Sistem neurologi
Perubahan neurologis selama puerperium merupakan kebalikan adaptasi
neurologis yang terjadi saat wanita hamil dan disebabkan trauma yang
dialami wanita saat bersalin dan melahirkan.
9. Sistem muskuluskeletal
Adaptasi sistem muskuluskeletal ibu yang terjadi selama masa hamil
berlangsung secara terbalik pada masa pascapartum. Adaptasi ini mencakup
hal-hal yang membantu relaksasi dan hipermobilitas sendi dan perubahan
pusat berat ibu akibat pembesaran rahim.
10. Sistem integumen
Kloasma yang muncul pada masa hamil biasanya menghilang saat
kehamilan berakhir. Pada beberapa wanita, pigmentasi pada daerah tersebut
akan menutap. Kulit kulit yang meregang pada payudara, abdomen, paha,
dan panggul mungkin memudar, tapi tidak hilang seluruhnya.
2.1.4 Patofisiologi
1. Adaptasi Fisiologi
a. Involusi uterus
Proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah melahirkan, proses
ini dimulai segera setelah plasenta keluar akibat kontraksi otot-otot polos uterus.
Pada akhir tahap ketiga persalinan, uterus berada di garis tengah, kira-kira 2 cm di
bawah umbilicus dengan bagian fundus bersandar pada promontorium sakralis.
Dalam waktu 12 jam, tinggi fundus mencapai kurang lebih 1 cm di atas
umbilikus. Fundus turun kira-kira 1 smpai 2 cm setiap 24 jam. Pada hari pasca
partum keenam fundus normal akan berada di pertengahan antara umbilikus dan
simpisis pubis. Uterus, pada waktu hamil penuh baratnya 11 kali berat sebelum
hamil, berinvolusi menjadi kira-kira 500 gr 1 minggu setelah melahirkan dan 350
gr 2 minggu setelah lahir. Satu minggu setelah melahirkan uterus berada di dalam
panggul. Pada minggu keenam, beratnya menjadi 50-60 gr. Peningkatan esterogen
dan progesteron bertanggung jawab untuk pertumbuhan masif uterus selama
hamil. Pada masa pasca partum penurunan kadar hormone menyebapkan
terjadinya autolisis, perusakan secara langsung jaringan hipertrofi yang
berlebihan. Sel-sel tambahan yang terbentuk selama masa hamil menetap. Inilah
penyebap ukuran uterus sedikit lebih besar setelah hamil.
b. Kontraksi
Intensitas kontraksi uterus meningkat secara bermakna segera setelah bayi
lahir, diduga terjadi sebagai respon terhadap penurunan volume intrauterin yang
sangat besar. homeostasis pasca partum dicapai terutama akibat kompresi
pembuluh darah intramiometrium, bukan oleh agregasi trombosit dan
pembentukan bekuan. Hormon oksitosin yang dilepas dari kelenjar hipofisis
memperkuat dan mengatur kontraksi uterus, mengopresi pembuluh darah dan
membantu hemostasis. Salama 1-2 jam pertama pasca partum intensitas kontraksi
uterus bisa berkurang dan menjadi tidak teratur. Untuk mempertahankan kontraksi
uterus, suntikan oksitosin secara intravena atau intramuskuler diberikan segera
setelah plasenta lahir. Ibu yang merencanakan menyusui bayinya, dianjurkan
membiarkan bayinya di payudara segera setelah lahir karena isapan bayi pada
payudara merangsang pelepasan oksitosin.
2. Adaptasi psikologis
Menurut Hamilton (2005) adaptasi psikologis ibu post partum dibagi menjadi
3 fase yaitu :
a. Fase taking in / ketergantungan
Fase ini dimuai hari pertama dan hari kedua setelah melahirkan dimana ibu
membutuhkan perlindungandan pelayanan.
b. Fase taking hold / ketergantungan tidak ketergantungan
Fase ini dimulai pada hari ketiga setelah melahirkan dan berakhir pada
minggu keempat sampai kelima. Sampai hari ketiga ibu siap untuk
menerima peran barunya dan belajar tentang semua hal-hal baru. Selama
fase ini sistem pendukung menjadi sangat bernilai bagi ibu muda yang
membutuhkan sumber informasi dan penyembuhan fisik sehingga ia dapat
istirahat dengan baik
c. Fase letting go / saling ketergantungan
Dimulai sekitar minggu kelima sampai keenam setelah kelahiran. Sistem
keluarga telah menyesuaiakan diri dengan anggotanya yang baru. Tubuh
pasian telah sembuh, perasan rutinnya telah kembali dan kegiatan
hubungan seksualnya telah dilakukan kembali.

2.1.5 Komplikasi
a. Perdarahan
Perdarahan adalah penyebap kematian terbanyak pada wanita selama
periode post partum. Perdarahan post partum adalah : kehilangan darah lebih dari
500 cc setelah kelahiran kriteria perdarahan didasarkan pada satu atau lebih tanda-
tanda sebagai berikut:
1) Kehilangan darah lebih dai 500 cc
2) Sistolik atau diastolik tekanan darah menurun sekitar 30 mmHg
3) Hb turun sampai 3 gram % (novak, 1998)
Perdarahan post partum dapat diklasifikasi menurut kapan terjadinya
perdarahan dini terjadi 24 jam setelah melahirkan. Perdarahan lanjut lebih dari 24
jam setelah melahirkan, syok hemoragik dapat berkembang cepat dan menadi
kasus lainnya, tiga penyebap utama perdarahan antara lain :
1) Atonia uteri : pada atonia uteri uterus tidak mengadakan kontraksi dengan
baik dan ini merupakan sebap utama dari perdarahan post partum. Uterus
yang sangat teregang (hidramnion, kehamilan ganda, dengan kehamilan
dengan janin besar), partus lama dan pemberian narkosis merupakan
predisposisi untuk terjadinya atonia uteri.
2) Laserasi jalan lahir : perlukan serviks, vagina dan perineum dapat
menimbulkan perdarahan yang banyak bila tidak direparasi dengan segera.
3) Retensio plasenta, hampir sebagian besar gangguan pelepasan plasenta
disebabkan oleh gangguan kontraksi uterus.retensio plasenta adalah
tertahannya atau belum lahirnya plasenta atau 30 menit setelah bayi lahir.
4) Lain-lain
a) Sisa plasenta atau selaput janin yang menghalangi kontraksi uterus
sehingga masih ada pembuluh darah yang tetap terbuka
b) Ruptur uteri, robeknya otot uterus yang utuh atau bekas jaringan parut
pada uterus setelah jalan lahir hidup.
c) Inversio uteri (Prawirohardjo, 2000).
b. Infeksi puerperalis
Didefinisikan sebagai infeksi saluran reproduksi selama masa post partum.
Insiden infeksi puerperalis ini 1 % - 8 %, ditandai adanya kenaikan suhu > 38 0

dalam 2 hari selama 10 hari pertama post partum. Penyebab klasik adalah
streptococus dan staphylococus aureus dan organisasi lainnya.
c. Endometritis
Endometritis adalah infeksi dalam uterus paling banyak disebapkan oleh
infeksi puerperalis. Bakteri vagina, pembedahan caesaria, ruptur membrane
memiliki resiko tinggi terjadinya endometritis (Novak, 1999).

d. Mastitis
Mastitis yaitu infeksi pada payudara. Bakteri masuk melalui fisura atau
pecahnya puting susu akibat kesalahan tehnik menyusui, di awali dengan
pembengkakan, mastitis umumnya di awali pada bulan pertama post
partum.
e. Infeksi saluran kemih
Insiden mencapai 2-4 % wanita post partum, pembedahan meningkatkan
resiko infeksi saluran kemih. Organisme terbanyak adalah Entamoba coli
dan bakterigram negatif lainnya.
f. Tromboplebitis dan thrombosis
Semasa hamil dan masa awal post partum, faktor koagulasi dan
meningkatnya status vena menyebapkan relaksasi sistem vaskuler,
akibatnya terjadi tromboplebitis (pembentukan trombus di pembuluh darah
dihasilkan dari dinding pembuluh darah) dan thrombosis (pembentukan
trombus) tromboplebitis superfisial terjadi 1 kasus dari 500 750
kelahiran pada 3 hari pertama post partum.
g. Post partum depresi
Kasus ini kejadinya berangsur-angsur, berkembang lambat sampai
beberapa minggu, terjadi pada tahun pertama. Ibu bingung dan merasa
takut pada dirinya. Tandanya antara lain, kurang konsentrasi, kesepian
tidak aman, perasaan obsepsi cemas, kehilangan kontrol, dan lainnya.
Wanita juga mengeluh bingung, nyeri kepala, ganguan makan, dysmenor,
kesulitan menyusui, tidak tertarik pada seksual, kehilanagan semangat.

2.2 Konsep Dasar PEB


2.2.1 Definisi PEB
Pre eklampsia adalah sekumpulan gejala yang timbul pada wanita hamil,
bersalin dan nifas yang terdiri dari hipertensi, edema dan protein uria tetapi tidak
menjukkan tanda-tanda kelainan vaskuler atau hipertensi sebelumnya, sedangkan
gejalanya biasanya muncul setelah kehamilan berumur 28 minggu atau lebih.
(Nanda, 2012). Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu
kehamilan disertai dengan proteinuria (Prawirohardjo, 2008). Pre eklamsi adalah
timbulanya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia
20 minggu atau segera setelah persalinan (Mansjoer dkk, 2006). Sebelumnya,
edema termasuk ke dalam salah satu kriteria diagnosis preeklampsia, namun
sekarang tidak lagi dimasukkan ke dalam kriteria diagnosis, karena pada wanita
hamil umum ditemukan adanya edema, terutama di tungkai, karena adanya stasis
pembuluh darah.
Hipertensi umumnya timbul terlebih dahulu dari pada tanda-tanda lain.
Kenaikan tekanan sistolik > 30 mmHg dari nilai normal atau mencapai 140
mmHg, atau kenaikan tekanan diastolik > 15 mmHg atau mencapai 90 mmHg
dapat membantu ditegakkannya diagnosis hipertensi. Penentuan tekanan darah
dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat.
Proteinuria ditandai dengan ditemukannya protein dalam urin 24 jam yang
kadarnya melebihi 0.3 gram/liter atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1+
atau 2+ atau 1 gram/liter atau lebih dalam urin yang dikeluarkan dengan kateter
atau midstream yang diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam. Umumnya
proteinuria timbul lebih lambat, sehingga harus dianggap sebagai tanda yang
serius.
Walaupun edema tidak lagi menjadi bagian kriteria diagnosis pre-eklampsia,
namun adanya penumpukan cairan secara umum dan berlebihan di jaringan tubuh
harus teteap diwaspadai. Edema dapat menyebabkan kenaikan berat badan tubuh.
Normalnya, wanita hamil mengalami kenaikan berat badan sekitar 0.5 kg per
minggu. Apabila kenaikan berat badannya lebih dari normal, perlu dicurigai
timbulnya pre-eklampsia.
Preeklampsia pada perkembangannya dapat berkembang menjadi eklampsia,
yang ditandai dengan timbulnya kejang atau konvulsi. Eklampsia dapat
menyebabkan terjadinya DIC (Disseminated intravascular coagulation) yang
menyebabkan jejas iskemi pada berbagai organ, sehingga eklampsia dapat
berakibat fatal.
2.2.2 Klasifikasi PEB
Dibagi dalam 2 golongan :
1. Pre-eklampsi ringan, bila keadaan sebagai berikut :
a. Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi rebah
terlentang/tidur berbaring, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih,
atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara pengukuran sekurang-
kurangnya pada 2 x pemeriksaan dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6
jam.
b. Edema umum, kaki, jari tangan dan muka, atau kenaikan berat badan 1 kg
atau lebih perminggu.
c. Proteinuria kwantitatif 0,3 gr atau lebih perliter, kwalitatif 1+atau 2+ pada
urin kateter atau midstream ( Ida Bagus.1998).
2. Pre-eklampsi berat:
a. Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih
b. 5 gr atau lebih perliter
c. Oliguria, jmlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam
d. Keluhan subjektif :
1) Nyeri di epigastrium
2) Gangguan penglihatan
3) Nyeri kepala
4) Edema paru dan sianosis
e. Pemeriksaan :
1) Kadar enzim hati meningkat disertai ikterus
2) Perdarahan pada retina
3) Trombosit kurang dari 100.000/mm ( Ida Bagus. 1998).
2.2.3 Epidemiologi Dan Faktor Resiko Preeklampsia
Preeklampsia dapat di temui pada sekitar 5-10% kehamilan, terutama
kehamilan pertama pada wanita berusia di atas 35 tahun. Frekuensi pre-eklampsia
pada primigravida lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama
pada primigravida muda. Diabetes mellitus, mola hidatidosa, kehamilan ganda,
hidrops fetalis, usia > 35 tahun, dan obesitas merupakan faktor predisposisi
terjadinya pre-eklampsia.Penelitian berbagai faktor risiko terhadap hipertensi pada
kehamilan / preeklampsia /eklampsia.
a. Usia
Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua.
Pada wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat.Pada
wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi laten.
b. Ras/golongan etnik
Penyebab utama dari preeklamsi adalah terjadinya hipertensi. Menurut
penelitian di Journal of the america heart asosiation menyatakan bahwa orang
kulit hitam lebih beresiko tinggi menderita penyakit hipertensi di bandingkan
kulit putih contohnya pada warga america-afrika. Hubungan ras dan hipertensi
bukan sesuatu yang dapat dijelaskan oleh medis dan psikologis. Dalam
penelitian itu di temukan bahwa perbedaan tekanan darah pada orang amerika-
afrika karenan faktor makanan dimana jenis makanan yang mereka konsumsi
setiap hari sudah turun temurun dan relatif sangat di sukai. Asupan makanan
yang dikonsumsi penduduk kulit hitam mengadung garam. Dan padahal orang
kulit hitam peka garam.
c. Faktor keturunan
Jika ada riwayat pre-eklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor
risiko meningkat sampai + 25%.
d. Faktor gen
Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive trait), yang ditentukan genotip ibu
dan janin.
e. Diet/gizi
Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu (WHO).
Penelitian lain kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang
tinggi. Angka kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang obese/overweight.
f. Iklim / musim
Di daerah tropis insidens lebih tinggi
g. Tingkah laku/sosioekonomi
Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok
selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat
yang jauh lebih tinggi. Aktifitas fisik selama hamil : istirahat baring yang
cukup selama hamil mengurangi kemungkinan/insidens hipertensi dalam
kehamilan.
h. Hiperplasentosis
Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar,
dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik.
i. Diabetes mellitus
j. Angka kejadian yang ada kemungkinan patofisiologinya bukan pre-eklampsia
murni, melainkan disertai kelainan ginjal/vaskular primer akibat diabetesnya.

2.2.4. Etiologi
Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui secara
pasti, sehingga penyakit ini disebut dengan The Diseases of Theories.
Beberapa faktor yang berkaitan dengan terjadinya preeklampsia adalah :
1. Faktor Trofoblast
Semakin banyak jumlah trofoblast semakin besar kemungkina terjadinya
Preeklampsia. Ini terlihat pada kehamilan Gemeli dan Molahidatidosa. Teori ini
didukung pula dengan adanya kenyataan bahwa keadaan preeklampsia
membaik setelah plasenta lahir.
2. Faktor Imunologik
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan jarang timbul lagi
pada kehamilan berikutnya. Secara Imunologik dan diterangkan bahwa pada
kehamilan pertama pembentukan Blocking Antibodies terhadap antigen
plasenta tidak sempurna, sehingga timbul respons imun yang tidak
menguntungkan terhadap Histikompatibilitas Plasenta. Pada kehamilan
berikutnya, pembentukan Blocking Antibodies akan lebih banyak akibat
respos imunitas pada kehamilan sebelumnya, seperti respons imunisasi.
Fierlie FM (1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung adanya sistem
imun pada penderita Preeklampsia-Eklampsia :
a. Beberapa wanita dengan Preeklampsia-Eklampsia mempunyai komplek
imun dalam serum.
b. Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi system komplemen
pada Preeklampsia-Eklampsia diikuti dengan proteinuri.
Stirat (1986) menyimpulkan meskipun ada beberapa pendapat
menyebutkan bahwa sistem imun humoral dan aktivasi komplemen terjadi
pada Preeklampsia, tetapi tidak ada bukti bahwa sistem imunologi bisa
menyebabkan Preeklampsia.
3. Faktor Hormonal
Penurunan hormon Progesteron menyebabkan penurunan Aldosteron
antagonis, sehingga menimbulkan kenaikan relative Aldoteron yang
menyebabkan retensi air dan natrium, sehingga terjadi Hipertensi dan Edema.
4. Faktor Genetik
Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Preeklampsia / eklampsia bersifat
diturunkan melalui gen resesif tunggal.2 Beberapa bukti yang menunjukkan
peran faktor genetic pada kejadian Preeklampsia-Eklampsia antara lain:
a. Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
b. Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-
Eklampsia pada anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-
Eklampsia.
c. Kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-Eklampsia pada
anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat Preeklampsia-Eklampsia dan
bukan pada ipar mereka.

5. Faktor Gizi
Menurut Chesley (1978) bahwa faktor nutrisi yang kurang mengandung asam
lemak essensial terutama asam Arachidonat sebagai precursor sintesis
Prostaglandin akan menyebabkan Loss Angiotensin Refraktoriness yang
memicu terjadinya preeklampsia.
6. Jumlah primigravi, terutama primigravida muda
7. Distensi rahim berlebihan : hidramnion, hamil ganda, mola hidatidosa
8. Penyakit yang menyertai hamil : diaetes melitus, kegemukan
9. Jumlah umur ibu diatas 35 tahun ( Ida Bagus. 1998).

2.2.5 Manifestasi Klinis


Biasanya tanda-tanda pre eklampsia timbul dalam urutan :
1. Pertambahan berat badan yang berlebihan
2. Diikuti edema
3. Hipertensi
4. Akhirnya proteinuria.
Pada pre eklampsia ringan tidak ditemukan gejala gejala subyektif. Pada pre
eklampsia berat didapatkan :
1. Sakit kepala terutama di daerah frontal
2. Gangguan mata, penglihatan kabur
3. Rasa nyeri di daerah epigastrium
4. Mual atau muntah
5. Gangguan pernapasan sampai sianosis
6. Terjadinya gangguan kesadaran.
Gejala gejala ini sering ditemukan pada pre eklampsia yang meningkat dan
merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul.

2.2.6 Patofisiologi Pre Eklampsia


Sperof (1973) menyatakan bahwa dasar terjadinya Preeklampsia adalah
iskemik uteroplasentar, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara massa plasenta
yang meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi darah plasenta yang berkurang.
Disfungsi plasenta juga ditemukan pada preeklampsia, sehingga terjadi penurunan
kadar 1 -25 (OH)2 dan Human Placental Lagtogen (HPL), akibatnya terjadi
penurunan absorpsi kalsium dari saluran cerna. Untuk mempertahankan
penyediaan kalsium pada janin, terjadi perangsangan kelenjar paratiroid yang
mengekskresi paratiroid hormon (PTH) disertai penurunan kadar kalsitonin yang
mengakibatkan peningkatan absorpsi kalsium tulang yang dibawa melalui
sirkulasi ke dalam intra sel. Peningkatan kadar kalsium intra sel mengakibatkan
peningkatan kontraksi pembuluh darah, sehingga terjadi peningkatan tekanan
darah.
Teori vasospasme dan respons vasopresor yang meningkat menyatakan
prostaglandin berperan sebagai mediator poten reaktivitas vaskuler. Penurunan
sintesis prostaglandin dan peningkatan pemecahannya akan meningkatkan
kepekaan vaskuler terhadap Angiotensin II. Angiotensin II mempengaruhi
langsung sel endotel yang resistensinya terhadap efek vasopresor berkurang,
sehingga terjadi vasospasme. Penyempitan vaskuler menyebabkan hambatan
aliran darah yang menyebabkan hambatan aliran darah yang menyebabkan
tejadinya hipertensi arterial yang membahayakan pembuluh darah karena
gangguan aliran darah vasavasorum, sehingga terjadi hipoksia dan kerusakan
endotel pembuluh darah yang menyebabkan dilepasnya Endothelin 1 yang
merupakan vasokonstriktor kuat. Semua ini menyebabkan kebocoran antar sel
endotel, sehingga unsur-unsur pembentukan darah seperti thrombosit dan
fibrinogen tertimbun pada lapisan subendotel yang menyebabkan gangguan ke
berbagai sistem organ.
Fungsi organ-organ lain
1. Perubahan pada otak
Pada pre-eklampsi aliran darah dan pemakaian oksigen tetap dalam batas-
batasn ormal. Pada eklampsi, resistensi pembuluh darah meninggi, ini terjadi pula
pada pembuluh darah otak. Edema terjadi pada otak yang dapat menimbulkan
kelainan serebral dan kelainan pada visus. Bahkan pada keadaan lanjut dapat
terjadi perdarahan.
2. Perubahan pada uri dan rahim
Aliran darah menurun ke plasenta menyebabkan gangguan plasenta,
sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen
terjadi gawat janin. Pada pre-eklampsi dan eklampsi sering terjadi bahwa tonus
rahim dan kepekaan terhadap rangsangan meningkat maka terjadilah partus
prematurus.
3. Perubahanp ada ginjal
Filtrasi glomerulus berkurang oleh karena aliran ke ginjal kurang. Hal ini
menyebabkan filfrasi natrium melalui glomerulus menurun, sebagai akibatnya
terjadilah retensi garam dan air. Filnasi glomerulus dapat turun sampai 50% dari
normal sehingga pada keadaan lanjut dapat terjadi oliguria dan anuria.
4. Perubahan pada paru-paru
Kematian wanita pada pre-eklampsi dan eklampsi biasanya disebabkan
oleh edema paru. Ini disebabkan oleh adanya dekompensasi kordis. Bisa pula
karena terjadinya aspires pnemonia. Kadang-kadang ditemukan abses paru.
5. Perubahan pada mata
Dapat ditemukan adanya edema retina spasmus pembuluh darah. Bila ini
dijumpai adalah sebagai tanda pre-eklampsi berat. Pada eklampsi dapat terjadi
ablasio retinae, disebabkan edema intra-okuler dan hal ini adalah penderita berat
yang merupakan salah satu indikasi untuk terminasi kehamilan. Suatu gejala lain
yang dapat menunjukkan arah atau tanda dari pre-eklampsi berat akan terjadi
eklampsi adalah adanya: skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini disebabkan
perubahan peredaran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam
retina.
6. Perubahan pada keseimbangan air dan elektrolit
Pada pre-eklampsi ringan biasanya tidak dijumpai perubahan nyata pada
metabolisme air, elektrolit, kristaloid dan protein serum. Dan tidak terjadi
ketidakseimbangan elektrolit. Gula darah,bikarbonasn atrikusd an pH normal.
Pada pre-eklampsi berat dan pada eklampsi : kadar gula darah naik sementara
asam laktat dan asam organik lainnya naik sehingga cadangan alkali akan turun.
Keadaan ini biasanya disebabkan oleh kejang-kejang. Setelah konvulsi selesai zat-
zat organik dioksidasi sehingga natrium dilepas lalu bereaksi dengan karbonik
sehingga terbentuk bikarbonas natrikus. Dengan begitu cadangan alkali dapat
kembali pulih normal ( khaidir. 2009).

2.2.7 Komplikasi
1. Solusio plasenta
Solusio plasenta adalah lepasnya plasenta dari dinding rahim. Pada penderita
preeklamsi ini terjadi karena adanya vasospasme pada pembuluh darah yang
menyebabkan aliran darah ke plasenta terganggu. Sehingga nutrisi menuju ke
janin atau plasenta berkurang kemudian terjadi sianosis yang menyebabkan
plasenta lepas dari dinding rahim.
2. Hemolisis
Gejala kliniknya berupa ikterik. Diduga terkait nekrosis periportal hati pada
penderita pre-eklampsia.
3. Perdarahan otak: Merupakan penyebab utama kematian maternal penderita
eklampsia.
Kelainan mata: Kehilangan penglihatan sementara dapat terjadi. Perdarahan
pada retina dapat ditemukan dan merupakan tanda gawat yang menunjukkan
adanya apopleksia serebri.
4. Edema paru
Paru-paru menunjukkan berbagai tingkat edema dan perubahan karena
bronkopneumonia sebagai akibat aspirasi. Kadang-kadang ditemukan abses
paru-paru. Nekrosis hati: Terjadi pada daerah periportal akibat vasospasme
arteriol umum. Diketahui dengan pemeriksaan fungsi hati, terutama dengan
enzim.
5. Sindrom HELLP (hemolisis, elevated liver enzymes, dan low platelet).
Merupakan sindrom kumpulan gejala klinis berupa gangguan fungsi hati,
hepatoseluler (peningkatan enzim hati [SGPT,SGOT], gejala subjektif [cepat
lelah, mual, muntah, nyeri epigastrium]), hemolisis akibat kerusakan membran
eritrosit oleh radikal bebas asam lemak jenuh dan tak jenuh. Trombositopenia
(<150.000/cc), agregasi (adhesi trombosit di dinding vaskuler), kerusakan
tromboksan (vasokonstriktor kuat), lisosom.
6. Prematuritas
Kelainan ginjal: Berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan
sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Bisa
juga terjadi anuria atau gagal ginjal.
7. DIC (Disseminated Intravascular Coagulation):
DIC adalah gangguan serius yang terjadi pada mekanisme pembekuan darah
pada tubuh. Pada penderita preeklamsi terjadi proteinuria yaitu protein yang
keluar bersama urin akibat dari kerusakan ginjal. Sedangkan dalam mekanisme
pembekuan darah di perlukan fibrinogen yang merupakan protein. Sehingga
pada penderita preeklamsi karena terjadi kekurangan protein dalam darah
menyebabkan mekanisme pembekuan darah terganggu kemudian terjadinya
DIC.

2.2.9 Pemeriksaan Penunjang


Saat ini belum ada pemeriksaan penyaring yang terpercaya dan efektif
untuk preeklampsia. Dulu, kadar asam urat digunakan sebagai indikator
preeklampsia, namun ternyata tidak sensitif dan spesifik sebagai alat diagnostik.
Namun, peningkatan kadar asam urat serum pada wanita yang menderita
hipertensi kronik menandakan peningkatan resiko terjadinya preeklampsia
superimpose.
1. Laboratorium :
Pemeriksaan laboratorium dasar harus dilakukan di awal kehamilan pada wanita
dengan faktor resiko menderita preeklampsia, yang terdiri dari pemeriksaan kadar
enzim hati, hitung trombosit, kadar kreatinin serum, dan protein total pada urin 24
jam.
Pada wanita yang telah didiagnosis preeklampsia, harus dilakukan juga
pemeriksaan kadar albumin serum, LDH, apus darah tepi, serta waktu perdarahan
dan pembekuan. Semua pemeriksaan ini harus dilakukan sesering mungkin untuk
memantau progresifitas penyakitprotein uri dengan kateter atau midstream
( biasanya meningkat hingga 0,3 gr/lt atau +1 hingga +2 pada skala kualitatif ),
kadar hematokrit menurun, BJ urine meningkat, serum kreatini meningkat, uric
acid biasanya > 7 mg/100 ml.
2. USG : untuk mengetahui keadaan janin
3. NST : untuk mengetahui kesejahteraan janin

2.2.10 Penatalaksanaan PEB


1. Penatalaksanaan Medis
Pada penderita yang sudah masuk ke rumah sakit dengan tanda-tanda dan
gejala-gejala preeklamsi berat segera harus di beri sedativa yang kuat untuk
mencegah timbulnya kejang-kejang. Sebagai tindakan pengobatan untuk
mencegah kejang-kejang dapat di berikan:
a. Larutan sulfas magnesikus 40% sebanyak 10 ml (4 gr) disuntikan
intramuskulus bokonh kiri dan kanan sebagai dosis permulaan dan dapat di
ulang 4 gr tiap 6 jam menurut keadaan. Tambahan sulfas magnesikus
hanya diberikan bila diuresis baik, reflek patella positif, dan kecepatan
pernafasan lebih dari 16 per menit. Obat tersebut selain menenangkan,
juga menurunkan tekanan darah dan meningkatkan diuresis.
b. Klopromazin 50 mg intramuskulus.
c. Diazepam 20 mg intramuskulus
Digunakan bila MgSO4 tidak tersedia, atau syarat pemberian MgSO4 tidak
dipenuhi. Cara pemberian: Drip 10 mg dalam 500 ml, max. 120 mg/24
jam. Jika dalam dosis 100 mg/24 jam tidak ada perbaikan, rawat di ruang
ICU.
Sebagai tindakan pengobatan untuk menurunkan tekanan darah:
1) Hipertensi
2) Kardiotonika
Indikasinya bila ada tanda-tanda menjurus payah jantung, diberikan
digitalisasi cepat dengan cedilanid D. Penggunaan obat hipotensif pada
pre-eklamsia berat diperlukan karena dengan menurunnya tekanan darah
kemungkinan kejang dan apolpeksia serebri menjadi lebih kecil. Apabila
terdapat oliguria, sebaiknya penderita diberi glukosa 20% secara intravena.
Obat diuretika tidak si berikan secar rutin
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Prinsip Penatalaksanaan Pre-Eklampsia
1) Melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah
2) Mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia
3) Mengatasi atau menurunkan risiko janin (solusio plasenta, pertumbuhan
janin terhambat, hipoksia sampai kematian janin)
4) Melahirkan janin dengan cara yang paling aman dan cepat sesegera
mungkin setelah matur, atau imatur jika diketahui bahwa risiko janin atau
ibu akan lebih berat jika persalinan ditunda lebih lama.
Pathways Post Partum Normal

Perubahan Fisiologis Perubahan Psikologis

Proses Involusi Vagina dan Perineum Laktasi Taking in Taking hold Letting go

Kadar oksitosin dan Struktur dan karakter


Ruptur Jaringan Butuh perlindungan dan
kontraksi uterus payudara ibu Belajar mengenai
pelayanan Kondisi tubuh
perawatan diri dan bayi mengalami
Nyeri abdomen
Berfokus pada diri perubahan
Hormon Estrogen Aliran darah di Butuh
sendiri dan lemas
Nyeri Akut payudara berurai dari informasi
Kesiapan
uterus (involusi)
menjadi orang
Gangguan pola tidur Kurang tua
Trauma Personal Pembuluh Prolaktin Retensi darah di pengetahuan
Mekanis Hygiene kurang darah rusak pembuluh darah
baik
Pembentukan ASI
Bengkak

Nyeri Akut Genetalia kotor Perdarahan

Risiko Infeksi
ASI keluar Penyempitan pada
duktus intiverus

Payudara bengkak ASI tidak keluar Retensi ASI

Ketidakefektifan Mastitis
pemberian ASI
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan

2.2.1 Pengkajian

2.2.2 Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan involusi uterus, nyeri setelah melahirkan

2. Risiko infeksi berhubungan dengan laserasi dan proses persalinan

3. Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan kurang pengetahuan


cara perawatan payudara ibu menyusui

4. gangguan pola tidur berhubungan dengan respon hormonal psikologis dan


proses persalinan

5. Kesiapan menjadi orang tua


2.2.3 Intervensi

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Nyeri akut berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Kaji karakteristik nyeri dengan PQRST
involusi uterus, nyeri setelah selama 1x24 jam diharapkan nyeri 2. Kaji faktor-faktor yang mempengaruhi
melahirkan berkurang dengan kriteria hasil : reaksi klien terhadap nyeri
a. Klien mengatakan nyeri berkurang 3. Berikan posisi yang nyaman, tidak bising,
dengan skala nyeri 3-4 ruangan terang dan tenang
b. Klien terlihat rileks, wajah tidak tegang 4. Ajarkan klien teknik distraksi relaksasi
dan klien dapat tidur dengan nyenyak 5. Kolaborasi bersama dengan tim medis
c. TTV dalam batas normal pemberian analgetik
(Suhu : 36-370C, N : 60-100x/menit,
RR : 16-24x/menit, TD : 120/80mmHg)
Risiko infeksi berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Kaji daerah perineum dan vulva
kurang pengetahuan melakukan vulva selama 1x24 jam diharapkan tidak terjadi 2. Ajarkan vulva hygiene
hygiene infeksi dengan kriteria hasil : 3. Anjurkan klien untuk mencuci tangan
a. Klien dapat melakukan vulva
sebelum memegang daerah vulva
hygiene secara mandiri
b. Tidak terdapat tanda infeksi 4. Observasi tanda-tanda vital
c. TTV dalam batas normal 5. Kolaborasi bersama dengan tim medis
d. (Suhu : 36-370C, N : 60-100x/menit,
RR : 16-24x/menit, TD :
120/80mmHg)
Ketidakefektifan pemberian ASI Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Kaji pengetahuan klien mengenai laktasi
berhubungan dengan kurang selama 1x24 jam diharapkan klien dan perawatan payudara
pengetahuan cara perawatan payudara mengetahui cara perawatan payudara dengan 2. Ajarkan cara merawat payudara dan lakukan
kriteria hasil : breast care
3. Jelaskan mengenai manfaat menyusui dan
a. Klien mengetahui cara perawatan gizi yang diperlukan selama menyusui
payudara 4. Ajarkan cara menyusui yang benar
b. ASI dapat keluar 5. Kolaborasi bersama dengan tim medis

c. Payudara bersih, tidak bengkak dan tidak


nyeri

d. Bayi mau menyusu


DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, M.G dkk.(2013). Nursing Interventions Classification (NIC), 6th


Indonesian edition. Indonesia: Mocomedia.

Bobak. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas edisi 4. Jakarta : EGC

Hamilton. 2005. Dasar-dasar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC

Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. 2014. NANDA International Nursing Diagnoses:


Definitions & Classification, 20152017. 10nd ed. Oxford: Wiley
Blackwell.

Manuaba, et al. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB. Jakarta :
EGC

Moorhead Sue, dkk. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC), 5th


Indonesian edition. Indonesia: Mocomedia.

Prawirohardjo. 2007. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka

Anda mungkin juga menyukai