Anda di halaman 1dari 45

1

Kasus 1
Batuk Tak Kunjung Sembuh
Seorang laki-laki berusia 23 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan batuk
berdahak yang tak kunjung sembuh. Keluhan dirasakan sejak 3 bulan yang lalu
sehingga pasien sering tidak masuk kerja. Dalam 2 bulan terakhir pasien
mengeluh berat badan menurun, sering berkeringat pada malam hari, dan kadang
terdapat hemoptoe. Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya ronkhi pada apex
paru dan dokter menyarankan pasien untuk melakukan pemeriksaan rontgen
thoraks dan sputum BTA. Setelah didapatkan hasil pemeriksaan penunjang, dokter
menyampaikan rencana pengobatan pasien selama 6 bulan. Pasien merasa
keberatan dan menceritakan bahwa ia tinggal di daerah yang padat penduduknya,
serta banyak tetangganya yang menderita keluhan yang sama tetapi tidak
mendapatkan pengobatan selama itu.
STEP I
a. Hemaptoe adalah batuk darah dari paru atau saluran pernapasan di bawah pita

suara.
b. Ronkhi adalah bunyi gaduh yang dalam terdengar selama ekspirasi.
c. BTA merupakan basil tahan asam yang di lindungi peplidoglikan dan lipid
sehingga bisa tahan asam.
STEP II
1. Bagaimana mekanisme batuk berdahak?
2. Apa saja penyakit yang berkaitan dengan kasus?
3. Mengapa pasien berat badannya turun dan berkeringat pada malam hari hingga
muncul hemaptoe?
4. Mengapa pada pasien muncul suara ronkhi?
5. Mengapa dokter menyarankan untuk melakukan pemeriksaan rontgen thorax
dan sputum BTA?
6. Mengapa pengobatan dilakukan selam 6 bulan?
7. Apa hubungan antara tempat tinggal dengan keluhan pasien?

STEP III
1. Bagaimana mekanisme batuk berdahak?

Mikroorganisme masuk ke saluran nafas, bereaksi dengan sel mast dan


makrofag

sehingga

mengeluarkan

mediator

inflamasi

mengakibatkan

hipersekresi mukus. Impuls saraf aferen yang berjalan melalui N.Vagus ke


medulla otak mengkontraksikan otot abdomen dan diagframa maka tekanan
paru meningkat, terjadilah batuk berdahak. Oleh karena batuk yang terus
menerus mengakibatkan infeksi pada saluran nafas dan radang mukosa yang
memicu pecahnya pembuluh darah disekitar area tersebut sehingga terjadi
batuk berdarah.
2. Apa saja penyakit yang berkaitan dengan kasus?
a. TB
b. Pneumoni
3. Mengapa pasien berat badannya turun dan berkeringat pada malam hari hingga
muncul hemaptoe?
Pada orang dewasa yang sehat pada malam hari, istirahat atau tidut,
metabolism (BMR) menurun, sedangkan pada keadaan sakit TB yang
merupakan proses infeksi atau sakit TB metabolism meningkat, sehingga akan
timbul keringat pada malam hari.
Ada dua system di hipotalamus. Melanocortin (pro-opiomelanocortin)
merupakan system saraf serotoninergik. Jika melanocortin dirangsang maka
akan terjadi anorexia (tidak naosu makan). Skebalikannya, NPY bersifat
prophagic, artinya jika dirangsang maka nafsu makan akan meningkat.
Interaksi kedua system inilah yang mengatur imbang asupan dan pemakaian
energy. Pada banyak penyakit sistemik, sitokin factor pemicu proteilisis akan
diproduksi oleh sel darah putih, dan ini akan merangsang pembentukan
serotonin dan merangsang melanocortin. Efek perangsangan ini adalah
anoreksia. Serotonin berasal dari triptofan. Tripofan masu ke dalam system
saraf pusat melalui saluran yang sama dengan BCAA (branch-chained amino
acids). Jadi trriotifan bersaing dengan BCAA. Ada bukti bahwa peningkatan
triptofan di otak akan menyebabkan rasa letih (central fatigue). Pemberian
BCAA (leucine, isoleucine, valine) akan memblok masuknya triptofan, disusul
dengan penurunan serotonin. Kemudian napsu makan akan meningkat.
4. Mengapa pada pasien muncul suara ronkhi?
Tempat kelainan TB paru saat auskultasi sehingga menyebabkan ada suar
ronkhi.
Suara ronkhi terbagi menjadi 3, yaitu:
a. Ronkhi basah

b. Ronkhi kering
c. Ronkhi kasar
5. Mengapa dokter menyarankan untuk melakukan pemeriksaan rontgen thorax
dan sputum BTA?
Penyakit TB bisa menimbulkan gejala batuk hingga berdahak sehingg
diharuska uji sputum BTA
Rontgen thorax pada TB akan dihasilkan pada pleura terdapat selaput yang
menghalangi
Untuk memastikan tempat kelainan
6. Mengapa pengobatan dilakukan selam 6 bulan?
Prinsip pengobatan TB
a. Obat-obtan multi drug
b. Obat-obatn di minu teratur
c. Terapi obat terus menerus dan aman
d. Pengobatan TB selama 6 bulan (minimal)
e. Paling lama 9 bulan
7. Apa hubungan antara tempat tinggal dengan keluhan pasien?
a. Lembab
b. Sanitasi buruk
c. TB menular secara droplet
d. Mycobacterium tidak tahan sinar UV

STEP IV
1. Bagaimana mekanisme batuk berdahak?
Mikroorganisme masuk ke saluran nafas bereaksi dengan sel mast dan
makrofag mengeluarkan mediator inflamasi hipersekresi mukus
Impuls saraf aferen yang berjalan melalui N.Vagus ke medulla otak
mengkontraksikan otot abdomen dan diagframa tekanan paru meningkat
terjadilah batuk berdahak batuk yang terus menerus infeksi pada saluran
nafas dan radang mukosa memicu pecahnya pembuluh darah terjadi
batuk berdarah
2. Apa saja penyakit yang berkaitan dengan kasus?
A. TB

Tuberculosis
mycobacterium

adalah

penyakit

tuberculosis

yang

complex.

disebabkan
Kasus

oleh

tuberculosis

infeksi
(TB)

diklasifikasikan berdasarkan :
1) Berdasarkan letak anatomi penyakit
a. Tuberculosis paru : kasus TB yang mengenai parenkim paru

b. Tuberculosis ekstraparu : kasus TB yang mengenai organ selain paru


seperti pleura, kelenjar getah bening (termasuk mediastinum dan
hilus), abdomen, traktus genitor urinarius, kulit, sendi, tulang, dan
selaput otak.
2) Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak atau bakteriologi
a. Tuberculosis paru BTA positif, apabila :
i. Minimal satu dari dua kali pemeriksaan dahak menunukkan hasil
positif pada laboraturium yang memenuhi syarat quality external
assurance .
ii. Pada laboraturium yang belum memenuhi syarat EQA :
a) Dua atau lebih hasil pemeriksaan dahat BTA positif, atau
b) Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif dan didukung hasil
pemeriksaan foto toraks sesuai dengan gambaran TB yang
ditetapkan oleh klinis, atau
c) Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif ditambah hasil kultur
M.tuberculosis positif
b. Tuberculosis paru BTA negative, apabila :
i. Hasil pemeriksaan dahak negative tetapi hasil kultur positif, atau
ii. Jika hasil pemeriksaan dahak BTA dua kali negative di daerah yang
belum memiliki fasilitas kultur M.tuberculosis
iii. Hasil foto toraks sesuai dengan gambaran TB
3) Berdasarkan riwyat pengobatan sebelumnya
a) Pasien baru, merupakan pasien yang ssebelumnya belum pernah
mendapatkan pengobatan TB atau sudah pernah mendapatkan OAT
(Obat Anti Tuberkulosis) kurang dari satu bulan. Psien dengan hasil
dahak BTA positif atau negative dengan lokasi anatomi penyakit
dimanapun.

b) Pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya, merupakan pasien


yang sudah pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya minimal
selama satu bulan, dengan hasil dahak BTA positif atau negative
dengan lokasi anatomi penyakit dimanapun.
4) Berdasarkan status HIV
Status HIV pasien merupakan hal penting untuk keputusan pengobatan.
3. Mengapa pasien berat badannya turun dan berkeringat pada malam hari hingga
muncul hemaptoe?
Pada orang dewasa yang sehat pada malam hari, istirahat atau tidut,
metabolism (BMR) menurun, sedangkan pada keadaan sakit TB yang
merupakan proses infeksi atau sakit TB metabolism meningkat, sehingga akan
timbul keringat pada malam hari.
Ada dua system di hipotalamus. Melanocortin (pro-opiomelanocortin)
merupakan system saraf serotoninergik. Jika melanocortin dirangsang maka
akan terjadi anorexia (tidak naosu makan). Skebalikannya, NPY bersifat
prophagic, artinya jika dirangsang maka nafsu makan akan meningkat.
Interaksi kedua system inilah yang mengatur imbang asupan dan pemakaian
energy. Pada banyak penyakit sistemik, sitokin factor pemicu proteilisis akan
diproduksi oleh sel darah putih, dan ini akan merangsang pembentukan
serotonin dan merangsang melanocortin. Efek perangsangan ini adalah
anoreksia. Serotonin berasal dari triptofan. Tripofan masu ke dalam system
saraf pusat melalui saluran yang sama dengan BCAA (branch-chained amino
acids). Jadi trriotifan bersaing dengan BCAA. Ada bukti bahwa peningkatan
triptofan di otak akan menyebabkan rasa letih (central fatigue). Pemberian
BCAA (leucine, isoleucine, valine) akan memblok masuknya triptofan, disusul
dengan penurunan serotonin. Kemudian napsu makan akan meningkat.
4. Mengapa dokter menyarankan untuk melakukan pemeriksaan rontgen thorax
dan sputum BTA?
1. Pemeriksaan laboratorium darah
2. Pemeriksaan mantoux
3. Rontgen bercak seperti awan, batas tidak jelas
4. Terbentuknya cavitas karena adanya sarang TB
5. Mengapa pengobatan dilakukan selam 6 bulan?
Bakteri TB tahan lama pengobatannya 6 bulan
Pengobatan TB bisa jangka panjang ataupun jangka pendek
BTA (-) di ulang pemeriksaan BTA

Obat rifampisin itu untuk jangka panjang

Bagan:

TB

patofisiologi

Penegakan
diagnosis

Gejala klinis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan
penunjang
Prognosis
komplikasi

penatalaksanaan

Kategori OAT
Mekanisme
farmakologi
Efek samping
Interaksi obat

sosial

Lingkungan
Status gizi
DOTS
Pengetahuan

STEP V
1. Mempelajari mekanisme patofisiologi TB?
2. Bagaimana penegakan diagnosis TB?
3. Bagaimana penatalaksanaan TB?
4. Masalah social yang berkaitan dengan TB dan cara penanggulangannya?

STEP VI
Belajar mandiri

STEP VII
1. Mempelajari mekanisme patofisiologi TB?
A. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi pada mamalia yang disebabkan
oleh basil tuberkel mamalia ( Mycobacterium tuberculosis, M. bovis ).
Selama berabad-abad penyakit ini telah dikenal sebagai penyakit klinis dan
serius dan tersebar luas serta menimbulkan kematian dan ketidakmampuan
yang lama di seluruh dunia (Rudolph, 2006).
Ciri khas organisme dari basil tuberkulosis ialah bakteri batang tipis
berukuran sekitar 0,4 x 3 m. Basil tuberkulosis sejati ditandai dengan
tahan asam yaitu 95% etil alkohol mengandung 3% asam hidroklorat
(asam-alkohol) dengan cepat menghilangkan warna semua bakteri kecuali
Mycobacterium. Sifat tahan asam ini tergantung pada integritas selubung
yang terbuat dari lilin (jawetz, 2008).
Sifat pertumbahan, Mycobacterium adalah aorob obligat dan
mendapatkan energi dari oksidasi banyak komponen karbon sederhana.
Peningkatan CO2 mendukung pertumbuhan, aktivitas biokimia tidak khas
dan laju pertumbuhannya lebih lambat daripada kebanyakan bakteri.
Waktu replikasi basilus tuberkulosis sekitar 18 jam. Bentuk saprofitik
cenderung untuk tumbuh lebih cepat, untuk berproliferasi dengan baik

pada suhu 22-23C, untuk memproduksi pigmen, dan tidak terlalu bersifat
tahan asam bila dibandingkan dengan bentuk patogennya (jawetz, 2008).

Gambar 1 Mycobacterium tuberculosis


Patogenitas, manusia dan marmut sangat sensitif terhadap infeksi M.
tuberkolosis, sementara unggas dan sapi resisten. Mycobaterim bovis sama
-sama patogen untuk manusia (jawetz, 2008).
Komponen basil tuberkel, komponen ini terutama ditemukan pada
dinding sel. Komponen ini terdiri dari lipid, protein dan polisakarida. Lipid
pada beberapa hal bertanggung jawab pada sifat tahan asamnya. Protein ini
sebagai pembangkit reaksi tuberkulin, dan polisakarida ini dapat
menginduksi hipersinsitifitas tipe cepat dan dapat berperan sebagai antigen
dalam reaksi dengan serum pasien yang terinfeksi (jawetz, 2008).
B. Klasifikasi Tuberkulosis
a. Tuberkulosis Primer
Tuberkulosis paru,

tuberkulosis primer adalah penyakit terjadi

akibat infeksi primer oleh basil tuberkel dan mencakup kompleks primer
(lesi

parenkim

dan

nodus

limfatikus

regional)

serta

perluasan

komponennya secara langsung. Masa inkubasinya 2-8 minggu, saat ini


reaksi kulit belum positif terhadap tuberklulin. Bentuk awitan yang biasa
adalh perlahan lahan, dan kecuali anoreksia serta inaktivasi yang dapat
menyertai demam ringan, kesemuanya bersifat tidak khas, tidak ada gejala
lain yang menyertai. Pada akhir masa inkubasi, hipersensitifitas lambat
terlihat berupa reaksi tuberkulin kulit positif, kadang-kadang disertai

demam jangka pendek,dan eritema nodusum. Tanda radiologi sering


tampak saat ini, walaupun tidak ada gejala pernafasan. Infeksi primer
biasanya tidak berbahaya, kemudaian terjadi penyembuhan dengan
disertai perkapuran kompleks Ghon (yang kadang-kadang) timbul dalam
6 bulan, tetapi lebih sering 1-2 tahun setelah infeksi pada 70% pasien
(Rudolph, 2006).

Gambar 2 TB paru
Tuberkulosis paru primer yang progresif secara lokal, kadang
kadang komponen paru dari kompleks primer tidak mengikuti perjalanan
penyakit jinak yang bisa terjadi, tetapi berlanjut secara lokal. Awitan
bersifat

akut,

dengan

fokus

parenkim

yang

berlanjut

menjadi

bronkopneumonia atau penumonia lobaris. Daerah perkijuan membesar


dan perlahan-lahan melepaskan kandungan nekritiknya ke bronkus di
dekatnya, menyebabkan infeksi dan menimbulkan daerah pnemonia baru.
Bisa terjadi kavitas terbuka dan bisa tampak secara radiologi dalam fokus
primer (Rudolph, 2006).
Bisa terjadi penyembuhan secara terbuka, dengan absorpsi bahan
perkijuan, yang meninggalkan ruang yang dibatasi oleh jaringan parut
yang membentuk kapsul. Gejala yang paling sering adalah batuk demam
dan keringat malam. Pengeluaran sputum dan hemoptisis biasanya
terjadai pada penyakit lanjut dan perkembangan kavitas dan ulserasi
bronkus. Tanda fisik abnormal pada paru terutama berupa ronki, pekak,
dan berkurangnya suara nafas (Rudolph, 2006).
Penyakit nodus limfatikus trakeobronkialis dan endobronkialis,
tuberkulosis endobronkialis terjadi bila nodus limfatikus melekat ke
bronkus di dekatnya dan menekan dinding bronkus. Kemudian terjadi
perforasi dan membentuk fistula antara nodus dan bronkus, disertai

10

keluarnya bahan perkijuan sehingga menyebarkan ke segmen paru lain.


Frekuensi terjadi lesi segmental ini berkaitan dengan usia anak, dan resiko
pada bayi tinggi karena sempitnya bronkus. Saat awitan biasanya pada 6
bulan pertama infeksi, saat limfadenitis paling aktif (Rudolph, 2006).
Pada stadium dini penyakit bronkus biasanya tidak ada gejala.
Atelektasis biasanya terjadi perlahan lahan. Bila batuk menghebat
sering menjadi berbunyi keras dan proksimal. Mengi bisa terdengar
karena penyempitan lumen bronkus. Bilaendobronkial terkena terdapat
perbedaan lama lesi, seperti terlihta pada bronskopi, dari beberapa bulan
sampai tahun. Terjadi bronkiektasis pada kira kira 60 % pasien, tetapi
biasanya tidak menimbulkan gejala klinis (Rudolph, 2006).
Efusi pleura, pleuritis dan terjadi dengan frekuensi 5-35%, insiden
tertinggi terjadi pada orang dewasa muda, penyakit ini jarang pada anak
berusia dibawah 6 tahun. Pleuritis biasanya timbul dalam 6-12 bulan
sesudah terinfeksi, dan paling sering merupakan perluasan fokus
tuberkulosis subpleura. Yang lebih jarang penyakit ini terjadi sebagai
bagian dari penyebaran hematogen, dengan lesi pleura berasal dari
hematogen. Efusi biasanya unilateral (Rudolph, 2006).
Perjalanan klinis beragam mulai dari penyakit ringan dengan
malaise, batuk, demam dan penurunan berat badan samapai penyakit
dengan awitan akut dengan menggigil dan nyeri pleuritik. Nyeri atau rasa
tidak nyaman di dada, bila terjadi pada awal penyakit, bisa hilang, disertai
dengan penumpukan sejumlah cairan bermakna. Jumlah cairan yang
banyak bisa menimbulkan distres pernafasan. Pemeriksaan fisik biasanya
menunjukan perkusi pekakdan melemahnya suara nafas. Pada beberapa
pasien efusinya transien, yang berlangsung hanya beberapa hari, tetapi
lebih khas lagi, berkurang secara berangsur-angsur dalam beberapa bulan.
Prognosis pada anak baik, terjadinya pleuritis tidak meningkatkan resiko
komplikasi tuberkulosis berikutnya. Hal ini jelas berbeda dengan orang
dewasa, yaitu 50% efusi pleura terkait dengan tuberkulosis paru kronik
(Rudolph, 2006).

11

Diagnosa ditegakan dengan pemeriksaan cairan pleura, yang


biasanya jernih dan jarang berdarah, kandungan protein meningkat, hitung
sel (limfosit) lebih dari 1000 sel/l, dan kadar glukosa kurang dari 30
mg/dl. Basil tuberkel dibiakan pada 50% pasien. Sekitar 60% dari biopsi
jarum pleura parietal memperlihatkan tuberkel yang khas, dan sering kali
basil tuberkel terlihat pada pemeriksaan mikroskopik dan tumbuh pada
biakan. Pada separuh biakan jarum dengan adanya reaksi histologis yang
tidak khas, diagnosis pleuritis tuberkulosis bisa ditegakkan dengan biopsi
terbuka (Rudolph, 2006).
Tuberkulosis paru kronis, sering dikatakan tuberkulosis jenis dewasa
atau reinfeksi tuberkulosis paru kronis menggambarkan reinfeksi sebuah
sumber basil tuberkel yang sebelumnya sudah terbentuk dalam tubuh,
yang bersifat endogen. Sumber pada paru antara lain fokus parenkim asli,
nodus limfatikus regional, dan fokus simon berupa penanaman di apeks
yang terbentuk saat bakteremia dini fokus primer. Tuberkulosis paru
kronis umumnya tetap merupakan penyakit paru, berbeda dengan
tuberkulosis primer, yang mungkin merupakan fase awal penyakit
sistemik. Perbedaan ini berdasarkan kenyataan bahwa jaringan peka
terhadap tuberkulin, yang cenderung memicu percepatan reaksi cepat
yang membatasi basil tuberkel dan mencegah perluasan melalui limfe
(Rudolph, 2006).
Resiko timbulnya tuberkulosis paru kronis paling beswar pada masa
remaja, yang paling rentan adalah anak yang pernah mengalami infeksi
pertama saat berusia lebih dari 7 tahun. Lesi awal berupa daerah
pneumonia kecil yang bisa berkembang menjadi perkijuan dan pencairan,
sehingga menimbulkan kavitas. Gambaran klinis berupa infeksi
pernafasan dengan dispneu, malaise, batuk, dan demam, saat penyakit
berlanjut, jumlah sputum meningkat, bisa terjadi hemoptisis, dan pasien
tampak sakit kronis disertai penurunan berat badan (Rudolph, 2006).
Tuberkulosis hematogen, ada 3 jenis penyebaran secara hematogen
yaitu tuberkulosis hematogen tersembunyi, tuberkulosis hematogen
memanjang, dan tuberkulosis miliaris (Rudolph, 2006).

12

Tuberkulosis hematogen tersembunyi, pada awal perjalanan infeksi


awal, terjadi penyebaran sejumlah kecil basil tuberkel melalui jalur
limfohematigen. Walaupun basil bisa memasuki setiap organ tubuh, yang
paling sering dikenainya adalah apeks paru, limpa, dan nodus limfatikus
superfisial (Rudolph, 2006).
Tuberkulosis hematogen memanjang, tuberkulosis hematogen yang
lama disebabkan oleh keluarnya berbagai basil tuberkel melalui jalur
berkali-kali bila dinding pembuluh darah terkikis oleh perkijuan. Akibat
diseminata yang lama bisa berupa penyakit akut atau lama, karena
metastasis terus timbul kedalam fokus penyakit akut (Rudolph, 2006).
Tuberkulosis

miliaris

akut,

tuberkulosis

miliaris

merupakan

komplikasi dini tuberkulosis primer yang biasanya terjadi dalam 6


minggu setelah awitan penyakit serta paling sering mengenai bayi dan
anak kecil. Gambaran patologi disebabkan oleh invasi masif pada aliran
darah basil tuberkel dari fokus perkijuan yang mengikis pembuluh darah.
Basil tuberkel tersangkut dalam kapiler kecil dan membentuk tuberkel
dengan ukuran yang seragam yang berkisar dari 2 mm sampai lesi lebih
besar. Meskipun ukuran lesi berbeda, gambaran klinis biasanya tetap
(Rudolph, 2006).
Awitan tuberkulosis mungkin perlahan-lahan, dengan anoreksia,
penurunan berat badan, dan demam ringan. Sering terlihat gambaran
radiografi penyakit paru primer. Biasanya peninggian suhu badan yang
tiba-tiba sampai 39 atau 40C, yang mungkin menetap atau intermiten,
menunjukan awitan komplikasi. Bintik bintik yang jelas pada radigrafi
dada terlihat setelah 1-2 minggu serangan demam. Walaupun anak terlihat
sakit akut, hanya ditemukan sedikit tanda dan gejala pernafasan.
Selanjutnya , terjadi distres pernafasan dan sianosis. Temuan penyerta
adalah hepatosplenomegali dan limfadenofati pada 50% pasien. Tuberkel
koroid yang biasanya timbul beberapa minggu setelah awitan penyakit
ditemukan dengan berbagai frekuensi dan penyebaran generalisata (1387%). Meningitis terjadi pada kira-kira sepertiga pasien. Radiologi

13

memperlihatakan bahwa di seluruh paru terlihat penyebaran tuberkel yang


seragam, yang tampak sebagai bintik-bintik menyeluruh (Rudolph, 2006).
Tes tuberkulin negatif bisa ditemukan pada 10% pasien. Radigrafi
dada bersifat khas. Biopsi hati atau sumsum tulang untuk pemeriksaan
bakteriologi bisa menolong mendapatkan diagnosis cepat. Tuberkulosisi
miliaris yang diobati berespon lambat, demam menghilang dalam waktu
2-3 minggu. Prognosis saat ini sangat baik, kebanyakan pasien yang
diobati sembuh sempurna bila mereka tidak sekarat saat diagnosis.
Meskipun terapi sudah dihentikan anak harus diamati karena penyebaran
yang luas mungkin menyebabkan fokus dorman yang bisa kambuh
sebagai lesi aktif (Rudolph, 2006).

Gambar 3 TB Miliar
b. Tuberkulosis Ekstra paru

Meningitis tuberkulosis, meningitis adalah komplikasi tuberkulosis


yang berat. Meningitis merupakan komplikasi dini tuberkulosis primer,
yang biasanya terjadi dalam 12 bulan infeksi dan paling sering mengenai
anak berusia 5 tahun (Rudolph, 2006).
Patogenesis ini berdasarkan metastasis lesi perkijuan berbentuk
korteks serebrum selama awal penyebaran hematogen tersembunyi pada
infeksi primer. Saat lesi bertambah besar, lesi mencapai meningen yang
melapisi dan kemudian menginfeksi ruang subarakhnoid. Tempat di
meningen yang dikenai paling luas adalah sekitar batang otak, eksudat
gelatinosa yang tebal biasanya menyebabkan paresis saraf kranial ketiga
dan keenam serta menyumbat sisterna basalis, yang sering menimbulkan

14

hidrosefalus. Arteritis juga bisa menyebabkan penyumbatan pembuluh


darah dan infark jaringan otak (Rudolph, 2006).
Awitan tersembunyi, selalu ada demam. Muntah yang intermiten
terdapat pada separuh anak. Gejala yang paling menonjola adalah apati,
yang digambarkan oleh orang tua sebagai berkurangnya minat
menyeluruh atau pusing. Sering terjadi iritabilitas, anoreksia, dan sakit
kepala yang intermiten (Rudolph, 2006).
Perjalanan meningitis dapat dibagi menjadi 3 stadium. Stadium awal
berupa gejala umum yang tidak spesifik terjadi antara 1-2 minggu, saat
ini pasien sepenuhnya sadar dan tidak menampakan tanda-tanda neurologi
fokal. Stadium kedua bisa terjadi tiba-tiba disertai pusing, kaku kuduk,
tanda brudzenki dan kerning positif serta menigkatnya refleks tendon
dalam. Manisfestasi neurologis lainnya antara lain disorientasi, berbicara
tidak jelas, gerakan ekstremitas bersifat atetoid, dan tremor perifer. Pada
meningitis stadium ketiga pasien menjadi tidak responsif dan mengalami
opistotonus, kekauan descrebrasi, pernafasan tidak teratur, hemiplegia
atau paraplegia, dan sering terlihat tanda peningkatan intrakranial
(Rudolph, 2006).

Gambar 4 TB meningtis
Tuberkulosis tulang/sendi, tuberkulosis tulang atau sendi merupakan
suatu bentuk infeksi tuberkulosis ekstrapulmonal yang mengenai tulang
atau sendi. Insidensi tuberkulosis sendi berkisar 1-7 % seluruh TB. TB
tualng belakang merupakan kejadian tertinggi diikuti sendi panggul dan
sendi lutut pada TB tulang atau sendi. Umumnya TB tulang atau sendi

15

mengenai satu tulang atau sendi. TB tulang belakang dikenal sebagai


spondilitis tuberkuloisis, TB pada panggul disebut koksitis tuberkulosis,
sedangkan pada sendi lutut disebut gonitis tuberkulosis (Rudolph, 2006).
Manisfestasi klinis yang ditimbulkan bersifat lambat dan tidak khas
sehingga umumnya didiagnosis sudah dalam keadaan lanjut. Selain
dijumpai gejala umum TB pada anak, dapat dijumpai gejala spesifik
berupa bengkak, kaku, kemerahan, dan nyeri pada pergerakan. Tidak
jarang hanya gejala pembengkakan sendi saja yang dikeluhkan (Rudolph,
2006).
Gejala atau tanda pada TB tulang atau sendi bergantung pada lokasi
kelainan. Kelainan pada tulang belakang disebut gibbus menampakan
gejala benjolan pada tulang belakang yang umumnya seperti abses tetapi
tidak menunjukan tanda-tanda peradangan. Warna benjolan sama dengan
sekitarnya, tidak nyeri tekan, dan menimbulkan abses dingin. Apabila
dijumpai kelainan pada sendi panggul biasanya pasien berjalan pincang
dan kesulitan berdiri dan berjalan, dan kadang kadang ditemukan atrifi
otot paha dan betis (Rudolph, 2006).
Pemeriksaan penunjang untuk TB pada anak secara umum den
pemeriksaan foto pada lokasi yang dicurigai seperti tulang belakang,
sendi panggul, dan sendi lutut. Pada tahap awal biasanya menunjukan
gambaran osteoporosis regional periartikuler dan pembengkakakn
jaringan lunak sekitar sendi. Sedangkan pada tahap lanjut, terdapat
penyempitan celah sendi, destruksi tulang rawan sekitar sendi, dan lesi
osteolitik pada daerah epifisis. Untuk infeksi TB sendi gamabaran khas
osteoporosis periartikuler, detruksi tulang rawan disekitar sendi, dan
penyempitan. Pada kelainanTB tulang belakang destruksi tulang terjadi
pada

daerah

korpus,

serta

penyempitan

diskus

intervertebralis.

Pemeriksaan lain yang dianjurkan adalah aspirasi cairan sendi dengan


bantuan ultrasonografi. Gambaran yang terlihat berupa peningkatan sel,
penurunan glukosa, dan peningkatan protein, atau bahkan dapat
ditemukan BTA positif (sekitar 15-20% kasus). Pemeriksaan kultur
Mycobacterium

tuberculosis

dapat

dilakukan,

sedangkan

pada

16

pemeriksaan

histopatologis

dapat

dijumpai

perkijuan

(granuloma

tuberkulosis) (Rudolph, 2006).


Tatalaksana TB tulang dan sendi adalah dengan obat antituberkulosis
rifampisin, INH, PZA, dan etambutol selama 2 bulan pertama. Selain
medikamentosa pemberian terapi suportif juga diperlukan (Rudolph,
2006).
Pada TB tulang belakang harus diperhatikan adanya kelainan
neurologis atau tidak. Apabila ditemukan kelainan neurologis misalnya
berupa kelumpuhan, neritis perifer, maka tindakan neurologis

maka

tindakan bedah secara elektif. Indikasi tindakan bedah umumnya adalah


adanya kelainan neurologis, instabilitas spinal, dan tidak respon
(Rudolph, 2006).
Prognosis TB tulang atau sendi sangat bergantung pada derajat
kerusakan sendi atau tulangnya. Pada kelainan yang minimal umumnya
dapat kembali normal, tetapi pada kelainan yang sudah lanjut dapat
menimbulkan sekule (cacat) sehingga mengganggu mobilitas pasien
(PNTAI, 2005).

Gambar 5 TB tulang belakang


Tuberkulosis saluran kemih, mulai dengan penyebaran hematogen
basil tuberkel ke korteks ginjal fase dini infeksi awal. Hal ini dianggap
sebagai komplikasi lambat, karena interval antara infeksi primer dan
penyakit ginjal yang terjadi biasanya 4 tahun atau lebih. Nekrosis
perkijuan menghancurkan parenkim ginjal, dengan saluran saluran
fistula yang timbul menuju ke pelvis ginjal. Infeksi bisa menyebar melalui

17

ureter ke vesika urinaria, pada laki-laki ke prostat dan epididimis (PNTAI,


2005).
Pada stadium dini penyakit ginjal biasanya tidak ada gejala. Pertama
kali infeksi ditunjukan oleh piuria yang menetap yang pada biakan tidak
ditemukan bakteri. Ditemukan juga proteinuria dan hematuria secara
mikroskopis. Dikenainya vesica urinaria kemudian menimbulkan urgency
sering berkemih, dan hematuria. Epididimis mungkin merupakan
petunjuk pertama penyakit. Biakan urin biasanya positif dan basil
tuberkel. Pemeriksaan urologi untuk menentukan luasnya lesi (Rudolph,
2006).
Tuberkulosis kulit, infeksi kulit disebabkan oleh kontak langsung
basil tuberkel, yang penyakitnya setempat, maupun oleh penyebaran
hematogen sehingga sering kali lesi kulit menyebar dan dikenal sebagai
tuberkel sebagai tuberkulid papulonekrotik (Rudolph, 2006).
Eritema nodusum mungkin merupakan reaksi hipersensitivitas lokal
terhadap tuberkulin. Eritema nodusum ditandai oleh demam dan nodul
kemerahan dan atau keunguan dan nyeri (1-3 cm) yang biasanya terletak
dipermukaan anterior tibia dan permukaan ekstensor lengan bawah. Lesi
ini tidak mengandung tuberkel. Eritema nodusum tidak patogomonik
untuk tuberkulosis (Rudolph, 2006).
Tuberkulosis mata, tuberkulosis mata biasanya disebabkan oleh
infeksi primer, tetapi lebih sering oleh penyebaran hematogen.
Tuberkulosis primer pada konjungtiva disebabkan oleh inokulasi langsung
basil teberkel. Lesi berupa nodul abu-abu kekuningan yang sering bersatu
membentuk tukak. Nodus preaurikularis membesar dan bisa tetap
membesar meskipun konjungtivitis sembuh. Pada penyakit miliaris dapat
ditemukan tuberkel koroid dengan berbagai frekuensi (Rudolph, 2006).
Konjungtivitis

fliktenularis

menggambarkan

hipersensitivitas

terhadap tuberkulin dan ditandai dengan nodul gelatinosa kecil yang


keabu-abuan pada limbus. Oleh karena nodul ini sering terjadi setelah
reaksi hebat terhadap tes tuberkulin , harus hati-hati melakukan tes pada

18

individu yang mungkin sangat sensitif terhadap tuberkulin (Rudolph,


2006).
C. Epidemiologi dan Cara Penularan
Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan yang penting di dunia ini.
Pada tahun 1992 World Health Organitation (WHO) telah mencanangkan
tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004
menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun
2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif.
Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut
regional WHOjumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33
% dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah
pendduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2
kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk,
seperti terlihat pada tabel dibawah. Diperkirakan angka kematian akibat
TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO
tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB
terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar
39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di
Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup
tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul (PDPI,
2002).
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus
TB setelah India dan China. Setiap tahunterdapat 250.000 kasus baru TB
dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah
pembunuhnomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab
kematian nomor tiga setelah penyakit jantung danpenyakit pernapasan akut
pada seluruh kalangan usia (PDPI, 2002).

19

Gambar 6 Insidensi TB dunia


Cara penularan :
1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif
2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebabkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak
berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah
percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.
Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang
gelap dan lembab.
4. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kopositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
5. Faktor yang meungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan
oleh konsentrasi percikan dalam udara dan dalamnya menghirup udara
tersebut (PNPT, 2006).
D. Patogenesis
Basil tuberkel yang resisten terhadap pengeringan, di inhalasi dalam
droplet kecil dan diendapkan pada jalan nafas distal. Organisme ditelan
oleh makrofag alveolar, tempat mereka bereplikasi secara intraseluler,
bertahan terhadap pengaruh litik dari fusi fagolisosom. Makrofag yang
terinfeksi bermigrasi ke kelenjar getah bening hilus, antigen bakteri di
sajikan pada sel T, terutama sel CD 4+, dan mengaktifkannya sehingga
menyebabkan hipersensitifitas tipe lambat. Patologi disebabkan oleh

20

respon imun hospes terhadap organisme. Dari kelenjar getah bening ini,
basil dapat menyebar melalui vena limfatika atau secara hematogen
keseluruh

tubuh.

Respon

imun

yang

diinduksi,

terutama

yang

mengaktifkan magrofag, dapat mengandung replikasi organisme, seperti


ditunjukan oleh pembentukan granuloma yang terdiri dari sel epiteloid, sel
raksaksa langerhans, dan limfosit. Adanya respon hipersensitifitas lambat
terhadap Mycobacterium tuberculosis dievaluasi dengan uji kulit dengan
menggunakan

ekstrak

antigen

protein

yang

dimurnikan

dari

Mycobacterium tuberculosis yang dibunuh dengan panas. Fokus infeksi ini


dapat diklasifikasi, membentuk kompleks Ghon ( klasifikasi paru dengan
kelenjar getah bening , yang dapat inaktif selama bertahun tahun.
Namun, pada keadaan cocok, dan paling sering dalam 2 tahun pertama
pascainfeksi, organisme menghindari pembubuhan makrofag, mulai
bereplikasi secara lokal, dan menyebabkan penyakit reaktivasi, khususnya
pada bagian apeks paru atau tempat lain dalam tubuh. Faktor yang
meningkatkan kemungkinan reaktivasi adalah keadaan yang mendasari
yang mengurangi sel T CD4+ (helper), seperti infeksi HIV, usia (< 3 tahun),
terapi imunosupresif, terutama dengan kortikosteroid dan antibodi
terhadap faktor nekrosis tumor, malnitrisi, faktor genetik, pubertas, dan
kehamilan (PDPI, 2002).
Resiko paling besar untuk perkembangan kompleks primer, dengan
perluasan penyakit parenkim, terjadinya meningitis dan tuberkulosis
miliaris adalah dalam 12 bulan pertama setelah infeksi primer. Usia
merupakan faktor penting. Resiko anak yang terindeksi pada usia dibawah
5 tahun untuk mendapat meningitis atau penyakit miliaris dalam 12 bulan
adalah 40%, angka ini menurun untuk anak yang berusia antara 5 10
tahun dan kemudian meningkat lagi pada masa remaja. Lesi tulang timbul
sangat lambat dan jarang sebelum 5 tahun setelah terinfeksi (Behrman,
2010).
E. Patofisiologi
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB.
Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik

21

(droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman


TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik.
Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup
menghancurkan

sebagian

besar

kuman

TB.

Akan

tetapi,

pada

sebagiankecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB


dan kuman akanbereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag
yang terus berkembangbiak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat
tersebut. Lokasi pertama kolonikuman TB di jaringan paru disebut Fokus
Primer GOHN. Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran
limfe menuju kelenjar limferegional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai
saluran limfe ke lokasi fokus primer.Penyebaran ini menyebabkan
terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan dikelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus parubawah
atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe
parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan
terlibat adalahkelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan
antara focus primer,kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis)
dan saluran limfe yangmeradang (limfangitis).Waktu yang diperlukan
sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleksprimer secara
lengkap

disebut

sebagai

masa

inkubasi

TB.

Hal

ini

berbeda

denganpengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejakmasuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB biasanyaberlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan
rentang waktu antara 2-12 minggu.Dalam masa inkubasi tersebut, kuman
tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104,yaitu jumlah yang cukup untuk
merangsang respons imunitas seluler (Retno, FKUI).
F.

Faktor Resiko
a. Resiko infeksi TB
Faktor resiko terjadi infeksi TB antara lain adalah sebagai berikut :
anak yang memiliki kontak dengan orang dewasa dengan TB aktif,
daerah endemis, obat-obatan intravena, kemiskinan serta lingkungan
yang tidak sehat (Yuyun, FKUI).

22

Faktor resiko infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan


terhadap orang dewasa yang terinfeksius. Bakteri, bayi yang dari
seorang ibu dengan BTA positif memiliki resiko tinggi terinfeksi TB.
Semakin dekat bayi tersebut dengan ibunya, makin besar pula
kemungkinan bayi tersebut terpajan percikan renik (droplet nuclei)
yang infeksius (Yuyun, FKUI).
Resiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak-anak
akan lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum
yang positif, terdapat infiltrat luas pada lobus atas atau kavitas,
produksi sputum baynak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta
terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat, terutama sirkulasi udara
yang tidak baik (Yuyun, FKUI).
Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau
orang dewasa disekitarnya. Hal ini disebabkan oleh karena kuman TB
sangat jarang ditemukan dalam sekret endobronkial, dan jarang terdapat
batuk (Yuyun, FKUI).
b. Resiko penyakit TB
Orang yang terinfeksi kuman TB, tidak selalu akan mengalami
sakit TB. Berikut ini faktor-faktor yang dapat menyebabkan progresi
infeksi TB menjadi sakit TB (Yuyun, FKUI).
Faktor resiko yang pertama adalah usia. Anak < 5 tahun
memepunyai resiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi
sakit TB, mungkin karena imunitas selulernya belum berkembang
sempurna (imatur). Namun, resiko sakit TB ini akan berkurang secara
bertahap seiringpertambahan usia. Pada bayi < 1 tahun yang terinfeksi
TB, 43% -nya akakn menjadi sakit TB, sedangkan pada usia 1-5 tahun,
yang menjadi sakit hanya 24%, pada usia remaja 15%, dan pada dewasa
5-10%. Anak < 5 tahun memiliki resiko lebih tinggi mengalami TB
deseminata (seperti TB milier dan TB meningitis), dengan angka
kesakitan dan kematian yang tinggi. Resiko tertinggi terjadinya
progresivitas TB adalah pada dua tahun pertama setelah infeksi. Pada

23

bayi, rentangwaktu antara terjadi infeksi dan timbulnya sakit TB sangat


singkat dan biasanya timbul gejala yang akut (Yuyun, FKUI).
Faktor resikoyang lain adalah konversi ke tuberkulin dalam 1-2
tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromais (misalnya pada
infeksi

HIV,

keganasan,

transplantasi

organ,

pengobatan

imunokompromais), diabetus melitus, gagal ginjal kronik, dan silikosis.


Faktor yang tidak kalah penting pada epidemiologi TB adalah
status sosioekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan
penduduk, pengangguran, dan pendidikan yang rendah. Kurangnya
dana untuk pelayanan masyarakat. Dinegara maju, migrasi penduduk
termasuk faktor resiko, sedangkan di Indonesiahal ini belum menjadi
masalah yang berarti (Yuyun, FKUI).
Seperti telah disebutkan sebelumnya, keadaan imunokompromais
merupakan salah satu faktor penyakit TB. Pada infeksi HIV, terjadi
kerusakan sistem imun sehingga kuman TB yang dorman mengalami
aktivasi. Pandemi infeksi HIV dan AIDS menyebabkan peningkatan
pelaporan TB secara bermakna di beberapa negara. Diperkirakan bahwa
resiko terjadinya sakit TB pada pasien HIV dengan tuberkulin positif
adalah7-10% setahun. Pada tahun 1990, 4,6% kematian akibat TB
disebabkan oleh infeksi HIV dan diperkirakan akan meningkat lebih
dari 14% tahun 2000. Angka kejadian tuberkulosis yang telah menurun
pada awal abad ke-20 kembali meningkat pada akhir tahun 1980. Hal
tersebutterjadi bersamaan dengan meningkatnya epidemi HIV dan
resistensi multi-obat (Yuyun, FKUI).
2. Bagaimana penegakan diagnosis TB?
A. Tuberkulosis Paru
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
gejala respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.
a. Gejala respiratorik
a) Batuk 3 minggu
b) Batuk darah
c) Sesak napas
d) Nyeri dada
b. Gejala sistemik
a) Demam

24

b) Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam,


c) anoreksia, berat badan menurun (Konsensus TB).
Gejala umum TBC pada anak
1.

Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas
dan tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi

2.

yang baik (failure to thrive).


Nafsu makan tidak ada (anorexia) dengan gagal tumbuh dan berat

3.

badan tidak naik (failure to thrive) dengan adekuat.


Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria

4.
5.

atau infeksi saluran nafas akut) dapat disertai


keringat malam.
Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit biasanya

6.
7.

multipel paling sering didaerah leher ketiak dan


lipatan paha (inguinal).
Gejala gejala dari saluran nafas misalnya batuk lama lebih dari 30

8.
9.

hari (setelah disingkirkan sebab lain dari batuk)


tanda cairan didada dan nyeri dada.
Gejala-gejala dari saluran cerna misalnya diare berulang yang tidak
sembuh dengan pengobatan diare benjolan (masa) di abdomen dan
tanda-tanda cairan dalam abdomen (Konsensus TB),

Penegakan Diagnosa

25

GEJALA
Kontak

0
Tidak jelas

Tes Tuberkulin

Negatif

BB/Status gizi

Demam yang tidak


diketahui penyebabnya
Batuk kronik
Pembesaran kelenjar

BB/TB <
90% atau
BB/U < 80%
> 2 minggu

Tulang / Sendi
Foto thorax

Normal

3 mgg
Jumlah > 1,
ukuran
1 cm tidak
nyeri
Bengkak (+)
Sugestif TB
TOTAL

2
Laporan
keluarga,
BTA (-)
/tidak
tahu/BTA
tidak jelas
-

3
BTA (+)

Gizi buruk

Positif > 10mm,


atau > 5mm pada
keadaan
immunosupresif
-

SKOR

Tabel 1 Scoring untuk TB anak


1) Anamnesis
1. Berkurangnya berat badan 2 bulan berturut-turut tanpa sebab yang
jelas atau gagal tumbuh.
2. Demam tanpa sebab jelas, terutama jika berlanjut sampai 2 minggu.
3. Batuk kronik 3 minggu, dengan atau tanpa wheeze.
4. Riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa (Konsensus TB).

2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin
ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu
demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. (IPD:200 )
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit
umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru
pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan

26

segmen posterior , serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan


jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma &
mediastinum. (Konsensus TB ).
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi
yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran
kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan
metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar
tersebut dapat menjadi cold abscess (Konsensus TB).
Pada keadaan tuberculosis paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit
jadimenciut dan menarik sisi mediastium atau paru lainnya, bila jaringan
fibrotic amat luas yakni lebih luas dari setengah jumlah jaringan paru-paru,
akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya
meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti
terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung kanan. Disini akan didapatkan
tanda-tanda kor pulmonal gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardia,
sianosis, right ventricular lift, right atrial gallop, murmur graham-steel,
bunyi P2 yang mengeras, tekanan vena jugularis yang meningkat,
hepatomegali, asites, dan edema (Konsensus TB).

3) Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto
lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CTScan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran

bermacam-macam

bentuk

(multiform).

Gambaran

radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :


a) Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas paru dan segmen superior lobus bawah.

27

b) Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak


berawan atau nodular.
c) Bayangan bercak milier.
d) Efusi pleura unilateral

a)
b)
c)
d)
a)

(umumnya)

atau

bilateral

(jarang)

(Konsensus TB).
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
Kalsifikasi atau fibrotik
Kompleks ranke
Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura
Luluh Paru (Destroyed Lung ) :
Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru
yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran
radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan
fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau
penyakit

hanya

berdasarkan

gambaran

radiologik

tersebut

(Konsensus TB).
b) Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan
aktiviti proses penyakit (Konsensus TB).
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan
pengobatan dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak
negatif) :
a) Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua
paru dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas
chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus
dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2)
dan tidak dijumpai kaviti.
b) Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

28

Gambar 7 Foto Rontgen Pada TB Milier

Gambar 8 Foto Rontgen pada Tuberkulosis


2) Pemeriksaan Sputum BTA
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis,
menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan

dahak

untuk

menegakkan

diagnosis

dengan

mengumpulkan 3 bahan dahak yang dikumpulkan dalam dua hari


kunjungan yang berurutan yang dikenal dengan konsep Sewaktu-PagiSewaktu (SPS) (Konsensus TB).

29

a. Sewaktu : dahak dikumpulkan pada saat pasien yang diduga TB


dating berkunjung pertama kali. Saat pulang suspek membawa pot
penampung dahak..
b. Pagi : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot penampung dibawa sendiri kembali.
c. Sewaktu : dahak dikumpulkan pada hari kedia, saat pasien
menyerahkan dahak pagi hari.
Pemeriksaan dahak BTA lazimnya dilakukan 3 X berturutturut untuk menghundari faktor kebetulan. Bila hasil pemeriksaan
dahak minimal 2 X positif, maka pasien sudah dapat dipastikan sakit
TB paru (Hudoyo, 2008).
lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali
pemeriksaan ialah bila :
a.
b.

2 kali positif, 1 kali negatif Mikroskopik positif


1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali ,

c.
d.

kemudian
bila 1 kali positif, 2 kali negatif Mikroskopik positif
bila 3 kali negatf Mikroskopik negative
Untuk interpretasi pemeriksaan mikroskopis dahak pasien

dapat dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala


IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease) yaitu :
a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negative.
b. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
kuman yang ditemukan.
c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
e. Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)
3) Uji tuberkulin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi
TB di daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia
dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji
tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada
orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan
konversi dari uji yang dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila

30

kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau bula (Konsensus
TB).
Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif,
terutama pada malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya negatif
mungkin dapat menjadi positif jika diulang 1 bulan kemudian.
Sebenarnya secara tidak langsung reaksi yang ditimbulkan hanya
menunjukkan gambaran reaksi tubuh yang analog dengan ;
a. reaksi peradangan dari lesi yang berada pada target organ yang
terkena infeksi atau
b. status respon imun individu yang tersedia bila menghadapi agent
dari basil tahan asam yang bersangkutan (M.tuberculosis).
4) Pemeriksaan Darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan
indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED)
jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting
sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan
biologik penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon
terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi
tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa
menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam
keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif,
tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis.
Limfosit pun kurang spesifik (Konsensus TB).
5) Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda:
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat
mendeteksi respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang
terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah
kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.
b. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh
manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM)
yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir

31

plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, dan bila


di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam
jumlah yang memadai yang sesuai dengan aktiviti penyakit, maka
akan timbul perubahan warna pada sisir yang dapat dideteksi
dengan mudah.
3. Bagaimana penatalaksanaan TB?
A. KLASIFIKASI BERDASARKAN RIWAYAT SEBELUMNYA
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut
sebagai tipe pasien, yaitu:
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan
BTA bisa positif atau negatif
2. Kasus yang sebelumnya diobati
a. Kasus Kambuh(Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif
(apusan atau kultur).
b. Kasus setelah putus berobat(Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau
lebih dengan BTA positif.
c. Kasus setelah gagal(Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif
atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
3. Kasus Pindahan(Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan keregister lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
4. Kasus lain

32

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti


yang:
1) tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,
2) pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya,
3) kembali diobati dengan BTA negative.
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh,
gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang,
harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan
pertimbangan medis spesialistik. (DEPKES, 2011)
B. PENGOBATAN TUBERKULOSIS
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3
bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan
terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.

Tabel 2 Kategori pengobatan TB.


OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
Obat yang dipakai:
a. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
1) Rifampisin

33

2) INH
3) Pirazinamid
4) Streptomisin
5) Etambutol
b. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination) Kombinasi dosis tetap
ini terdiri dari :
1) Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150
mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg
dan
2) Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150
mg, isoniazid 75 mg dan pirazinamid. 400 mg

c. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)


1) Kanamisin
2) Kuinolon
3) Obat lain masih dalam penelitian makrolid, amoksilin + asam
klavulanat
4) Derivat rifampisin dan INH (PDPI, 2006).
C. Dosis OAT
1) Rifampisin
a. 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3X/ minggu atau BB > 60 kg :
600 mg BB 40-60 kg : 450 mg
b. BB < 40 kg : 300 mg
c. Dosis intermiten 600 mg / kali
2) INH
a. 5 mg/kg BB, maksimal 300 mg,
b. 10 mg /kg BB 3 X seminggu
c. 15

mg/kg

untuk dewasa.

BB

semingggu

atau

300

mg/hari

34

d. lntermiten : 600 mg / kali


3) Pirazinamid
a. Fase intensif 25 mg/kg
b. 35 mg/kg 3 X semingggu 50 mg /kg 2 X semingggu atau
c. BB > 60 kg: 1500 mg
d. BB 40-60 kg : 1 000 mg
e. BB < 40 kg: 750 mg
4) Etambutol
a. fase intensif 20 mg /kg
b. fase lanjutan 15 mg /kg
c. 30 mg/kg BB 3X seminggu
d. 45 mg/kg BB 2 X seminggu atau
e. BB >60kg : 1500 mg
f. BB 40 -60 kg : 1000 mg
g. BB < 40 kg : 750 mg
h. Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali
5) Streptomisin
a. 15mg/kgBB atau
a. BB >60kg : 1000mg
b. BB 40 - 60 kg : 750 mg
c. BB < 40 kg : sesuai BB
D. Efek Samping OAT :
Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan
tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek
samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek
samping sangat penting dilakukan selama

pengobatan.

Efek

samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan
dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat
dilanjutkan. (PDPI, 2006)
1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada
syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini

35

dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg


perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut
pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi
piridoksin (syndrom pellagra) (PDPI, 2006).
Efek samping berat dapat berupa hepatitis yang dapat timbul pada
kurang lebih 0,5% penderita. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau
ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada
keadaan khusus (PDPI, 2006).
2. Rifampisin
Efek

samping

ringan

yang

dapat

terjadi

dan

hanya

memerlukan pengobatan simtomatik ialah :


a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan,
muntahkadang-kadang diare
c. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan. (PDPI, 2006)
Efek samping yang berat tapi jarang terjadi ialah :
Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OA T
harusdistop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan
khusus
Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila
salah satu dari gejala ini terjadi,rifampisin harus segera dihentikan dan
jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang
Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas. Rifampisin
dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air
liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan
tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada penderita agar
dimengerti dan tidak perlu khawatir (PDPI, 2006).
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan
sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat
terjadi (beri aspirin) dan kadang- kadang dapat menyebabkan serangan
arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi

36

dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam,


mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain (PDPI, 2006).
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa
berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau.
Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis
yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB
perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan
penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat
dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena
risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi (PDPI, 2006).
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang
berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping
tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang
digunakan dan umur penderita (PDPI, 2006).
Risiko tersebut akan meningkat pada penderita dengan gangguan
fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga
mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan
ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi
0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan
makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli) (PDPI,
2006).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul
tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek
samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar
mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah
suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi
0,25gr (PDPI, 2006).
Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak
boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf
pendengaran janin. (PDPI, 2006)

37

Gambar 8 OAT dan dosisnya.


Panduan obat
Pengobatan TB terbagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif (2
bulan pertama) dan sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB
adalah minimal tiga macam obat pada fase intensif (3 bulan pertama)
dan dilanjutkan dengan dua macam obat fase lanjutan (4 bulan lebih).
Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk membunuh kuman
intraseluler dan ekstraseluler. Pemberian obat jangka panjang, selain
untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya kekambuhan (PDPI, 2006).
Berbeda dengan ornag dewasa, OAT pada anak diberikan setiap
hari, bukan 2 atau 3 kali dalm seminggu. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi ketidak teraturan menelan obat yang lebih sering terjadi
jika obat tidak ditelan setiap hari. Saat ini panduan obat yang baku
untuk sebagian besar kasus TB pada anak adalah panduan rifampisin,
isoniazid dan pyrazinamid, sedangkan pada fase lanjutan hanya
diberikan rifampisin dan isoniazid (PDPI, 2006).
Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal
seperti TB milier, meningitis TB, TB sistem skeletal, dan lain-lain, pada

38

fase intensif diberikan minimal 4 macam obat (rifampisin, isoniazid,


pirazinamid dan etambutol atau streptomisin). Pada fase lanjutan
diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan. Untuk kasus Tb
tertentu yaitu meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis
TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid
(prednisolon) dengan dosis 2-4 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis,
maksimal 60 mg dalam 1 hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah
2-4 minggu dengan dosis penuh, dilanjutkan tappering off selama 2-4
minggu. Pamduan OAT ini dapat dilihat pada tabel (PDPI, 2006).
FIXED DOSE COMBINATION (FDC)
Salah satu masalah dalam terapi Tb adalh keteraturan (adherence)
pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama yang jumlah obat yang
banyak. Untuk mengatasi hal tersebut, dibuat suatu sediaan obat kombinasi
dengan dosis yang telah ditentukan, yaitu FDC atau kombinasi dosis tetap
(KDT).
Keuntungan penggunaan FDC dalam pengobatan TB adalah sebagai berikut :
a) Menyederhanakna pengobatan dan mengurangi kesalahan penulisan
resep
b) Meningkatkan penerimaan dan keteraturan pasien
c) Memungkinkan petugas kesehatan untuk memberikan pengobatan
standar dengan tepat.
d) Mempermudah pengelolaan obat.
e) Mengurangi kesalahn penggunaan obat, sehingga mengurangi resistensi
f)

terhadap obat TB.


Mempercepat dan mempermudah pengawasan menelan obat sehingga

dapat mnegurangi beban kerja.


g) Mempermudah pennetuan dosis obat berdasarkan berat badan.
Saat ini masih tersedia obat panduan dalam bentuk kombipak, yaitu
tablet lepas masing-masing obat yang dimasukan dalam satu paket, lihat
tabel.

39

Gambar 9 Dosis FDC.


EVALUASI HASIL PENGOBATAN
Sebaiknya pasien kontrol tiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan
dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena
diagnosis TB pada anak sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosa.
Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi
klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang
terpenting

adalah

evaluasi

klinis,

yaitu

menghilangkan

atau

mengabaikannya kelainan klinis yang sebelumnya pada awal pengobatan,


misalnya penambahan berat badan yang bermakna, hilangnya demam,
hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan, dan lain-lain. Apabila respon
pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan.
Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu
dilakukan secara rutin, kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang
nyata/luas seperti TB milier, efusi pleura, atau bronkopneumonia TB. Pada
pasien TB milier foto rotgen toraks perlu diulang setelah 1 bulan untuk
evaluasi

hasil

pengobatan,

sedangkan

pada

efusi

pleura

TB

penanggulangan fito rotgen toraks dilakukan setelah 2 minggu. LED dapat


digunakan sebagai sarana evaluasi bila pada awal pengobatan nilainya
tinggi.
Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada
dan tidak terjadi penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil
dilakukan

evaluasi

lebih

lanjut

mengapa

tidak

ada

perbaikan.

40

Kemungkinan yang terjadi terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangani di


saran kesehatan terbatas, maka pasien di rujuk ke sarana yang lebih tinggi
atau konsultan paru anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi
kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan menelan obat,
kemungkinan adanya penyakit penyulit, serta evaluasi asupan gizi. Setelah
pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis , pengobatan dapat
dihentikan. Foto rotgen toraks ulang pada akhir pengobatan tidak perlu
dilakukan secara rutin. Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk
meminimalisasi residu subpopulasi persister M. tuberculosis bertahan
dalam tubuh, dan mengurangi secara bermakna kemungkinanterjadinya
kekambuhan. Pengobatan lebih dari 6 bulan pada TB paru tanpa
komplikasi menunjukan nangka kambuh yang tidak berbeda bermakna
dengan pengobatan 6 bulan (PNTA,2005).

Hasil pengobatan
1. Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan
pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya.
2. Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
3. Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab
apapun.
4. Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03
yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
5. Default (Putus berobat)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai.

41

6. Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
(PNPT, 2006)
Multi-drug Resisten (MDR-TB)
Bila kita berbicara mengenai insidens B tidak lepas dari masalah
MDR-TB. Yang dimaksud dengan MDR-TB adalah isolat. M. tuberkulosis
yang resisten terhadap dua atau lebih OAT lini pertama biasanya isoniazid
dan rifampisin. Manajemen TB semakin sulit dengan meningkatnya
resistensi terhadapt obat antituberkulosis yang biasa dipakai. Ada beberapa
penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu pemakaian obat
tunggal, penggunaan paduan yang tidak memadai termasuk pencampuran
obat yang tidak memadai termasuk pencampuran obat yang tidak
dilakukan secara benar, kurangnya kepatuhan minum obat,
Kejadian MDR-TB yang pasti sulit dilakukan karena kultur sputum
dan uji kepekaan obat tidak rutin dilaksanakan, ditempat-tempat dengan
prevalensi yang tinggi. Namun diakui bahwa MDR-TB merupakan
masalah yang terus meningkat. Diperkiranakan MDR-TB akan tetap
merupakan masalah di banyak daerah di dunia. Data mengenai MDR-TB
yang resmi di Indonesia belum ada. Menurut WHO bila pengendalian TB
tidak benar prevalensi MDR-TB mencapai 5,5% sedangkan dengan
pengendalian yang benar, yaitu dengan menerapkan strategi DOTS maka
prevalensi MDR-TB hanya 1,6% saja (WHO,1998). (PNTA, 2005)
4. Masalah sosial yang berkaitan dengan TB dan cara penanggulangannya?
Pendekatan DOTS
Kepatuhan pasien dikatakan baik apabila pasien meminum obat sesuai
dengan dosis yang ditentukan dalam pengobatan. Kepatuhan pasien ini
menjamin keberhasilan pengobatan dan mencegah resistensi. Salah satu upaya
untuk meningkatkan kepatuhan pasien adalah dengan melakukan pengawasan
langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment ).
DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) adalah strategi yang
telah direkomendasi oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan

42

tuberkulosis. Strategi ini telah dilaksanakan di indonesia sejak tahun 1995.


Penanggulangan dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan
yang tinggi.
Sesuia dengan rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atau 5 komponen,
yaitu sebagai berikut :
1) Komitmen politisi dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan
dana.
2) Diagnosis TBC pemeriksaan dahak secara mikroskopis
3) Pengobatan dengan panduan Obat Antituberkulosis (OAT) jangka pendek
dengan pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat (PMO)
4) Keseimbangan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
5) Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan
evaluasi program penanggulangan TBC.
Prevalensi dan insiden tuberculosis paru masih sangat tinggi dan sulit
diturunkan. Hal ini disebabkan karena adanya masalah medic dan non medik.
A. Yang termasuk dalam masalah medik :
a. Sifat penyakit tuberculosis merupakan penyakit kronik, dan perjalanan
penyakitnya lambat; terdapat masa tenang dan masa eksaserbasi.
b. Penggunaan OAT harus adekuat. Jika pemberiannya tidak adekuat, akan
timbul mutan yang resisten terhadap OAT yang diberikan.
c. Pasien sering berada didalam kedaan imunodepresi sehingga sistem
pertahanan tubuh tidak berhasil mengera dikasi kuman tuberculosis
walaupun kuman masih sensitive terhadap OAT.
d. Penderita juga mengidap diabetes mellitus sehingga OAT tidak bekerja
dengan efektif.
e. Penggunaan obat yang menuntut jangka waktu panjang sering
menimbulkan efek samping.
B. Yang termasuk dalam masalah non medik :
a. Kemiskinan masyarakat menyebabkan keadaan gizi yang rendah,
hygiene yang rendah, dan kesulitan membeli obat.
b. Pendidikan yang rendah tidak menimbulkan kesadaran tentang perlunya
berobat.
c. Keterlambatan dalam mendapat diagnosis. (djojodibroto, 2014)
KEGAGALAN PENGOBATAN
Sebab-sebab kegagalan pengobatan, antara lain :

43

a. Obat :
1. Paduan obat tidak adekuat.
2. Dosis obat tidak cukup.
3. Minum obat tidak teratur/tidak sesuai dengan petunjuk yang
diberikan.
4. Jangka waktu pengobatan kurang dari semestinya.
5. Terjadi resisten obat.
6. Resisten obat sudah harus diwaspadai yakni bila dalam 1-2 bulan
pengobatan tahap intensif, tidak terlihat perbaikan.
b. Drop out :
1. Kekurangan biaya pengobatan.
2. Merasa sudah sembuh.
3. Malasberobat/kurangmotivasi.
c. Penyakit :
1. Lesi paru yang sakit terlalu luas/sakit berat.
2. Penyakit lain yang menyertai tuberculosis seperti diabetes melitus,
alkoholisrae.
3. Adanya gangguan imunologis.
PENANGGULANGAN
a. Terhadap pasien yang sudah berobat secara teratur :
1) Menilai kembali apakah panduan obat sudah adekuat mengenai dosis
dan cara pemberiannya.
2) Lakukan pemeriksaan ujia kepekaan/tes resistensi kuman terhadap obat.
3) Bila sudah dicoba dengan obat-obat yang masih peka, tetapi ternyata
gagal juga, maka pertimbangkan terapi dengan pembedahan terutama
pada pasien dengan kavitas atau destroyed lung.
b. Terhadap pasien dengan riwayat pengobatan tidak teratur :
1) Teruskan pengobatan lama selama +3 bulan dengan evaluasi
bakteriologi setiap-tiap bulan.
2) Nilai kembali tesresisten kuman terhadap obat.
3) Bila ternyata terdapat resistensi terhadap obat, ganti dengan paduan
obat yang masih sensitif. (Sudoyo, 2011)

44

DAFTAR PUSTAKA
Andrea T. Cruz and Jefferey R. Stark. 2010. Pediatric Tuberculosis. American
Academy Pediatrics. 2010;31;13 DOI: 10.1542/pir.31-1-13
Atunah, Yuyun. 2008. Hubungan antara faktor-faktor kualitas lingkungan fisik
rumah dengan kejadian TB paru BTA positif. Departemen Kesehatan
Lingkungan FKM UI: Jakarta.
Behrman, Ricard E, Robert M. Kliegman, M.D. 2010. Nelson Esensi pediatri
ed.4. EGC: Jakarta
Brook G. F, Butel J.S, Ornston .L.N. 2007. Jawetz, Melnick, Aldelberg
Mikrobiologi Kedokteran Edisi 23. EGC: Jakarta
Dr. Tjandra Yoga Aditama,Sp.P, DTM&H, MARS. 2006. Jurnal Tuberkulosis
Indonesia vol.2 No.2. Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia
(PPTI). Jakarta ISBN: 1829 - 5118
Dr.Tjandra Yoga Aditama,SpP(K),MARS, dkk. 2006. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis (PNPT) ed. 2 cetakan pertama. DEPKES RI:
Jakarta.
Mansjoer, Arif. 2009. Kapita selekta kedokteran. Fakultas Kedokteran UI: Jakarta.
M. Rudolph, Abraham, Julein I.E. Hoffman, Colin D. Rudolph. 2006. Buku Ajar
Pediatri Rudolph ed. 20 vol. 1. EGC: Jakarta.
Pedoman & Penatalaksaan Tuberkulosis di Indonesia. 2002. Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia (PDPI): Jakarta.
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis cetakan ke-8. 2002. Depkes RI.
Jakarta.
Tim adaptasi Indonesia. Pedoman pelayanan kesehatan anak di Rumah Sakit
rujukan tingkat pertama di Kabupaten/WHO. 2009. Jakarta

45

UKK Pulmonologi PP DAI. . 2005. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak


(PNTA). Jakarta.
Werdhani, Retno asti. Patofisiologi, Diagnosis, dan Klasifikasi Tuberkulosis.
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai