BAGIAN I
A. IDENTITAS SISWA
Nama :M
Alamat : lakitan
Umur : 16 Tahun
Agama : Islam
Kelas :2A
Orang tua :H
Pekerjaan : Petani
C. SUMBER INFORMASI
Informasi diperoleh dari guru BK SMA Wachid Hasyim. Berdasar data
dari guru BK. Saudara As’ad tercatat rata-rata membolos 4 -5 kali
dalam satu bulan.
TEORI RUJUKAN
REMAJA
DELINKUEN
Ada beberapa pengertian tentang perilaku delinkuen, M. Gold dan J.
Petronio dalam (Sarwono, 2001) mengartikan kenakalan remaja sebagai
tindakan oleh seseorang yang belum dewasa yang sengaja melanggar
hukum dan yang diketahui oleh anak itu sendiri bahwa jika perbuatan itu
sempat diketahui oleh petugas hukum ia bisa dikenai hukuman.
Keputusan Menteri Sosial (Kepmensos RI No. 23/HUK/1996) menyebutkan
anak nakal adalah anak yang berperilaku menyimpang dari norma-norma
sosial, moral dan agama, merugikan keselamatan dirinya, mengganggu
dan meresahkan ketenteraman dan ketertiban masyarakat serta
kehidupan keluarga dan atau masyarakat (Pusda Depsos RI, 1999). B.
Simanjutak dalam (Sudarsono, 1995) memberii tinjauan secara
sosiokultural tentang arti Juvenile Delinquency atau kenakalan remaja,
suatu perbuatan itu disebut delinkuen apabila perbuatan-perbuatan
tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat
dimana ia hidup, atau suatu perbuatan yang anti-sosial dimana
didalamnya terkandung unsur-unsur normatif. Psikolog Bimo Walgito
dalam (Sudarsono, 1995) merumuskan arti selengkapnya dari Juvenile
Delinquency sebagai tiap perbuatan, jika perbuatan tersebut dilakukan
oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan, jadi
merupakan berbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh anak,
khususnya anak remaja. Sementara John W. Santrock (1995)
mendefinisikan, kenakalan remaja (Juvenile Delinquency) mengacu pada
suatu rentang perilaku yang luas, mulai dari perilaku yang tidak dapat
diterima secara sosial (seperti bertindak berlebihan disekolah),
pelanggaran (seperti melarikan diri dari rumah), hingga tindakan-tindakan
kriminal (seperti mencuri).
FAKTOR INTERNAL
Perilaku delinkuen pada dasarnya merupakan kegagalan sistem
pengontrol diri anak terhadap dorongan-dorongan instingtifnya, mereka
tidak mampu mengendalikan dorongan-dorongan instingtifnya dan
menyalurkan kedalam perbuatan yang bermanfaat. Pandangan
psikoanalisa menyatakan bahwa sumber semua gangguan psikiatris,
termasuk gangguan pada perkembangan anak menuju dewasa serta
proses adaptasinya terhadap tuntutan lingkungan sekitar ada pada
individu itu sendiri, barupa:
1. Konflik batiniah, yaitu pertentangan antara dorongan infatil
kekanak-kanakan melawan pertimbangan yang lebih rasional.
2. Pemasakan intra psikis yang keliru terhadap semua pengalaman,
sehingga terjadi harapan palsu, fantasi, ilusi, kecemasan (sifatnya
semu tetapi dihayati oleh anak sebagai kenyataan). Sebagai
akibatnya anak mereaksi dengan pola tingkah laku yang salah,
berupa: apatisme, putus asa, pelarian diri, agresi, tindak kekerasan,
berkelahi dan lain-lain.
3. Menggunakan reaksi frustrasi negatif (mekanisme pelarian dan
pembelaan diri yang salah), lewat cara-cara penyelesaian yang
tidak rasional, seperti: agresi, regresi, fiksasi, rasionalisasi dan lain-
lain.
FAKTOR EKSTERNAL
Disamping faktor-faktor internal, perilaku delinkuen juga dapat
diakibatkan oleh faktor-faktor yang berada diluar diri remaja, seperti
(Kartono, 1998):
1. Faktor keluarga, keluarga merupakan wadah pembentukan peribadi
anggota keluarga terutama bagi remaja yang sedang dalam masa
peralihan, tetapi apabila pendidikan dalam keluarga itu gagal akan
terbentuk seorang anak yang cenderung berperilaku delinkuen,
semisal kondisi disharmoni keluarga (broken home), overproteksi
dari orang tua, rejected child, dll.
2. Faktor lingkungan sekolah, lingkungan sekolah yang tidak
menguntungkan, semisal: kurikulum yang tidak jelas, guru yang
kurang memahawi kejiwaan remaja dan sarana sekolah yang
kurang memadai sering menyebabkan munculnya perilaku
kenakalan pada remaja. Walaupun demikian faktor yang
berpengaruh di sekolah bukan hanya guru dan sarana serta
perasarana pendidikan saja. Lingkungan pergaulan antar teman pun
besar pengaruhnya.
3. Faktor milieu, lingkungan sekitar tidak selalu baik dan
menguntungkan bagi pendidikan dan perkembangan anak.
Lingkungan adakalanya dihuni oleh orang dewasa serta anak-anak
muda kriminal dan anti-sosial, yang bisa merangsang timbulnya
reaksi emosional buruk pada anak-anak puber dan adolesen yang
masih labil jiwanya. Dengan begitu anak-anak remaja ini mudah
terjangkit oleh pola kriminal, asusila dan anti-sosial.
4. Kemiskinan di kota-kota besar, gangguan lingkungan (polusi,
kecelakaan lalu lintas, bencana alam dan lain-lain (Graham, 1983).
Perkembangan psikologis
Sumber: Hasbullah M. Saad, Perkelahian Pelajar: Potret Siswa SMU di DKI Jakarta,
(Yogyakarta:Galang Press, 2003), hal. 32.
BAGIAN III
1. HASIL OBSERVASI
Keterangan:
• Berilah tanda check list pada kotak penilaian yang sesuai dengan kondisi
siswa saat ini.
• Beri tanda check list pada kotak penilaian yang sesuai dengan kondisi
siswa saat ini.
Observasi disekolah dilakukan pada tanggal 24, 31 Mei & 7 Juni dan
observasi rumah dilakukan pada tanggal 25 Mei, 1 Juni dan 8 Juni, adapun
untuk aspek penilaian membolos sekolah digunakan data absensi kelas.
Hasil observasi menunjukkan As’ad adalah termasuk siswa yang tidak
begitu disukai oleh teman-teman temannya karena As’ad dalam
berkomunikasi dengan teman-temannya selalu menggunakan bahasa-
bahasa yang tidak positif seperti kata “jancuk” dan lain sebagainya. Cara
berpakaian As’ad juga tidak rapi, bajunya tidak pernah dimasukkan dan
rambutnya panjang. Selain itu As’ad juga tidak memiliki sopan santun
terhadap guru, ketika berada di dalam kelas A’ad selalu membuat gaduh
saat pelajaran sedang berlangsung, tidak pernah mencatat materi yang
diberikan oleh guru, tidak pernah mengikuti diskusi dan selalu duduk
paling belakang. As’at juga terkenal sebagai siswa yang tidak pernah
patuh terhadap peraturan-oeraturan sekolah, seperti tidak pernah
mengikuti kegiatan ekstra, selalu membolos dan tidak pernah serius
dalam mengikuti pelajaran.
2. HASIL WAWANCARA
Wawancara dilakukan pada tanggal 14 Juni, karena keterbatasan waktu
wawancara hanya dilakukan kepada As’ad untuk melengkapi hasil
observasi. Adapun hasil wawancara dengan As’ad secara verbatim
disajikan dibawah ini:
1. Faktor internal
Faktor emosi, dalam hal ini adalah ketidak mampuan subjek
secara emosi dalam mensikapi perlakuan orang tua yang terlalu
otoriter dan tidak memberi ruang diskusi pada subjek. Sehingga
subjek merespon sikap orang tua yang demikian dengan melakukan
perilaku-perilaku yang melanggar aturan-aturan keluarga dan
aturan-aturan sekolah. Ini senada dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Kartini Kartono (1998), bahwa gangguan
emosional pada anak-anak remaja, perasaan atau emosi
memberiikan nilai pada situasi kehidupan dan menentukan sekali
besar kecilnya kebagahiaan serta rasa kepuasan. Perasaan
bergandengan dengan pemuasan terhadap harapan, keinginan dan
kebutuhan manusia, jika semua terpuaskan orang akan merasa
senang dan sebaliknya jika tidak orang akan mengalami
kekecewaan dan frustrasi yang dapat mengarah pada tindakan-
tindakan agresif. Gangguan-gangguan fungsi emosi ini dapat
berupa: inkontinensi emosional (emosi yang tidak terkendali),
labilitas emosional (suasana hati yang terus menerus berubah,
ketidak pekaan dan menumpulnya perasaan.
2. Faktor eksternal
Pola asuh keluarga yang otoriter. Hal ini senada dengan yang
dikemukakan oleh Santrock, menurutnya faktor keluarga memang
sangat berperan dalam pembentukan perilaku menyimpang pada
remaja, gangguan-gangguan atau kelainan orang tua dalam
menerapkan dukungan keluarga dan praktek-praktek manajemen
secara konsisten diketahui berkaitan dengan perilaku anti sosial
anak-anak remaja , semidal overproteksi, rejected child dan
lain=lain(Santrock, 1995). Sebagai akibat sikap orang tua yang
otoriter menurut penelitian Santrock & Warshak (1979) di Amerika
Serikat maka anak-anak akan terganggu kemampuannya dalam
tingkah laku sosial. Kempe & Helfer menamakan pendidikan yang
salah ini dengan WAR (Wold of Abnormal Rearing), yaitu kondisi
dimana lingkungan tidak memungkinkan anak untuk mempelajari
kemampuan-kemampuan yang paling dasar dalam hubungan antar
manusia (Sarwono, 2001).
BAGIAN IV
PENANGANAN KASUS
Selain itu, konseling juga dilakukan kepada kedua orang tua As’ad, untuk
memberii pengertian kepada mereka akan pentingnya komunikasi dalam
keluarga. Selain itu konseling ditujukan untuk memberi pengertian kepada
orang tua, bahwa sangat disarankan kepada orang tua untuk
menempatkan anak pada pendidikan yang sesuai dengan minat anak.
Berkaitan dengan masalah As’ad orang tua dapat disarankan untuk
mencarikan solusi alternative untuk mengembangkan potensi yang
dimiliki As’ad, dengan memasukkan As’ad pada kursus Teknik Mesin.
Catatan: