Anda di halaman 1dari 1

Adalah Likurai.

Ia merupakan salah satu tarian tertua yang ditarikan sebagian besar


masyarakat Timor Indonesia hingga ke pelosok Timor Leste. Likurai merupakan sejenis
tarian yang didendangkan. Alkisah pada jaman dahulu, para feto (putri raja) akan
menyambut para meo (pahlawan) yang pulang dari peperangan sambil membawa
penggalan kepala para musuh yang kalah. Kepala-kepala ini lantas dibuang ke tanah oleh
para penari. Hal ini menyatakan sikap mereka bahwa kelak, anak cucu mereka diharapkan
mampu untuk menghina dan memenggal kepala para musuh seperti yang nenek moyang
mereka perbuat. Para pahlawan ini lantas diarak hingga ke depan latar yang ada di tengah
kampung dan para pemangku adat mulai menceritakan kembali jalannya pertempuran
lengkap dengan jumlah korban dan kepala yang terpenggal.

Secara harfiah, Likurai berasal dari dua suku kata. Liku yang berarti menguasai dan Rai
yang berarti tanah. Jadi tarian ini berarti “ menguasai bumi”. kata ini berasal dari klan Tetun
yang paling dominan di pulau Timor. Namun demikian tarian ini juga ditarikan oleh klan-klan
lain dan menamainya menurut bahasa mereka sendiri. Klan Buna menyebutnya  Teberai,
klan Kemak menyebutnya Dudubau serta klan Tetun selatan menyebutnya Taes Bibliku.
Apapun sebutannya, tarian ini tetap merepresentasikan satu hal. Yaitu ”penghormatan bagi
mereka yang menguasai bumi”.

Tarian ini ditarikan oleh sekelompok perempuan sambil menabuh tibar (gendang) yang
diselipkan di ketiak mereka. Para penari ini akan membentuk dua barisan dan di depan tiap
barisan berdiri dua orang pria yang memakai giring-giring kaki sambil membawa kelewang
(pedang). Dahulu, para penari pria diwajibkan untuk memakai tais (kain) untuk kaum pria
dan sarung untuk penari perempuan yang kesemuanya harus ditenun dari bahan-bahan
alam dan bukan olahan pabrik. Para penari perempuan yang ada di barisan paling depan
harus berasal dari kaum keluarga raja/bangsawan. Namun seiring berputarnya jaman, para
penari kini telah memakai pakaian olahan pabrik, seperti kemeja dan kebaya. Dalam barisan
para penari pun tidak ada lagi perempuan yang berasal dari kaum bangsawan. Kalaupun
ada, ia bisa saja di taruh di bagian tengah/belakang, tergantung selera sang koreografer dan
bukan seturut pakem-pakem adat yang berlaku.

Tarian ini diawali dengan tabuhan tibar salah seorang penari dan disusul oleh penari lain.
Ketika kekompakan irama telah dicapai maka mereka mulai meliuk-liukkan tubuh ke kiri dan
kekanan, terkadang sambil berjongkok dan membentuk formasi tertentu. Para penari pria
akan menghentakkan giring-giring kaki mereka sambil mengacungkan kelewang di tangan.
Mereka pun mulai berpantun dan mendendangkan syair-sayair kemenangan diselingi pekik-
pekik peperangan. Tabuhan tibar ini kian lama akan kian cepat dan keras, begitu pula
dengan gerak tubuh para penari. Terkadang para penari ini akan serempak berhenti
bergerak sehingga menimbulkan keheningan yang spontan. Secara umum tarian ini tampak
cantik, enerjik serta mampu membangkitkan bulu kuduk, apalagi kalau membayangkan
kepala manusia yang dahulu sempat berseliweran di antara kaki para penari. Meski
memakai alat musik yang sama, namun setiap klan memiliki iramanya sendiri-sendiri
sehingga kita mampu mengenali klan mana yang tengah menari tanpa harus melihat.

Anda mungkin juga menyukai