Konsekuensi dari hal diatas adalah perlunya membahas dua aspek inti dalam
melihat pengaruh OP terhadap kebijakan, yaitu :
1. Perwakilan (komunikasi tentang kebijakan) Yaitu proses yang menjelaskan
bagaimana kekuasaan politik dan pengaruh seluruh rakyat atau sebagian
dari mereka terhadap tindakan pemerintah. Dengan persetujuan mereka,
dengan akibat yang mengikat seluruh komunitas yang diwakili oleh mereka.
Dengan demikian, perwakilan memerlukan alat untuk menyampakan
persetujuan yang dinyatakan atau disiratkan kepada pejabat untuk
masyarakat yang bersifat mengikat. Untuk itu, perlu alat untuk
menyampaikan informasi tentang kebijakan (memalui media) yang dapat
menampakkan tiga wajah opni yaitu; 1) Ungkapan populer dari banyak
warga negara; 2) Ungkapan simbolik dari massa atau dari satu warga
negara; 3) Ungkapan yang terorganisir dan tidak terorganisir.
2. Citra pembuat kebijakan sebagai sumber OP yang antara lain
menyangkut:
A. Opini rakyat dan kebijakan yang diekspresikan melalui kegiatan
pemilu dan jajak pendapat ( Poll ). Melalui keg pemilu : Hal ini selalu
diawali dengan kampanye politik (pencalonan) yang tujuannya
mengkomunikasikan pesan-pesan tentang kekecewaan terhadap
pelaksanaan pejabat pembuat kebijakan ataupun upaya mamperbaiki
kebijakan sbg perasaan atau suara hati dan tuntutan masy.
Opini publik sendiri dapat dilukiskan sebagai proses yang menggabungkan pikiran,
perasan, dan usul yang diungkapkan oleh warga negara secara pribadi terhadap
pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah yang bertanggung jawab
atas dicapainya ketertiban sosial dalam situasi yang mengandung konflik,
perbantahan, dan perselihan pendapat tentang apa yang akan dilakukan dan
bagaimana melakukannya (Dan Nimmo, 2006).
Sudah menjadi karakternya bahwa opini publik merupakan pendapat publik yang muncul
secara bebas dan bertanggung jawab sebagai respons atas kebijakan yang dibuat pemerintah;
opini tersebut disatukan oleh suatu isu tertentu dan saling mengadakan kontak satu sama lain
yang biasanya melalui media massa.
Dari karakter itu terdapat tiga hal penting yang perlu digarisbawahi, yakni adanya hak
kebebasan mengemukakan pendapat, adanya isu tertentu yang dilemparkan oleh opinion leader
ke tengah publik, dan adanya peran media massa untuk mentransformasi sebuah opini menjadi
opini publik.
Ketiga hal tersebut sangat sulit berkembang bahkan sulit terjadi di sebuah negara yang
tertutup dengan sistem yang totaliter. Kebebasan mengemukakan pendapat, berkembangnya
sebuah isu ke tengah publik dan peran media massa yang bebas namun bertanggung jawab
hanya mungkin terjadi di sebuah negara yang menganut sistem demokrasi.
Pada era Orde Baru banyak hal, terutama yang bersinggungan dengan kepentingan dan
kebijakan pemerintah, dilarang untuk didiskusikan secara terbuka. Di samping itu, media massa
juga dikontrol dengan sangat ketat sehingga tidak dapat menjadi media yang saling
menyampaikan informasi dan membentuk opini publik. Begitupun di negara-negara yang masih
menganut sistem diktator atau totaliterianisme, opini publik sulit untuk berkembang karena
besarnya peran pemerintah dalam mengontrol isu dan media massa.
Opini publik dianggap sebagai cerminan “kehendak rakyat”; opini publik dapat
dilukiskan sebagai proses yang menggabungkan pikiran, perasaan, dan usul yang diungkapkan
oleh warga negara secara pribadi terhadap pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat
pemerintah yang bertanggung jawab atas dicapainya ketertiban sosial dalam situasi yang
mengandung konflik, perbantahan, dan perselisihan pendapat tentang apa yang akan dilakukan
dan bagaimana melakukannya. Dengan kata lain, opini publik dapat menimbulkan kontroversi
antara pemerintah dan masyarakat sendiri mengenai sebuah kebijakan yang dibuat pemerintah.
Namun, tidak jarang juga opini publik justru diarahkan untuk menguatkan kebijakan pemerintah.
Dalam sistem demokrasi, ada kesepakatan bahwa publik berhak mengetahui berbagai
kebijakan yang diambil pemerintah karena menyangkut kehidupan masyarakat secara umum.
Kebijakan pemerintah itu disampaikan secara luas melalui media massa, kemudian publik
memberikan responsnya apakah setuju atau tidak dengan kebijakan yang diambil pemerintah.
Pada waktu tertentu, kebijakan yang telah diambil pemerintah dapat dianulir atau dikoreksi oleh
opini publik yang berkembang. Namun pada waktu yang lain bisa saja pemerintah tetap
menjalankan kebijakan yang telah diputuskannya meski opini publik yang berkembang sangat
menolak kebijakan itu; pada konteks yang kedua ini, pemerintah biasanya akan membuat opini
tandingan (counter opinion) di tengah masyarakat.
Lebih jauh, wacana demokrasi telah memposisikan opini publik sebagai landasan dasar
utama pemerintahan sebuah negara. Dalam bahasa dan simbol demokrasi universal,
pemerintahan dibentuk oleh dukungan orang-orang yang diperintah (the government by the
consent of the governed). Pada konteks ini, publik dianggap mempunyai posisi yang penting,
bahkan sangat penting dalam proses demokrasi sebuah negara.
Sampai di sini, tidak mengherankan jika pemerintahan demokratis memiliki kebiasaan
untuk bercermin dan mengukur kinerja pemerintahan negaranya melalui parameter opini publik.
Opini publik acapkali difungsikan sebagai landasan moralitas sekaligus rambu demokrasi oleh
pemerintah dan masyarakat di berbagai negara yang menganut demokrasi.
Namun yang perlu dicatat adalah opini pubik harus tetap berada pada posisinya yang
proporsional. Membiarkan opini publik bersifat dominan akan memberikan ekses yang kurang
menguntungkan dalam proses perngambilan keputusan dan pembuatan kebijakan. Di samping
itu, opini publik harus berjalan bersamaan dengan etika publik. Opini publik mengaktifkan
demokrasi. Tetapi ia dapat menonaktifkan politik. Opini publik diperlukan untuk mendasarkan
penyelenggaraan kebijakan yang merupakan suatu pekerjaan rutin demokrasi, tapi juga dapat
dimanfaatkan untuk mengamankan kepentingan pembuat kebijakan yang karena dengan itu
seolah-olah bersifat representatif dan legitimate. Artinya, atas nama opini publik, opsi kebijakan
dipilih. Tapi juga dengan menunggangi opini publik, kepentingan politik diselundupkan. Jadi,
demokrasi terselenggara secara teknis melalui opini publik, tanpa mempersoalkan fungsi
etisnya.
Jika ini terjadi, masalahnya baru menjadi kritis bila seseorang hendak memandang
politik dengan cara lain, yaitu sebagai sebuah proyek transformasi, karena menganggap
demokrasi telah menjadi malas, karena hanya berhenti dalam rutinitas institusional. Untuk
kebutuhan semacam itulah kita mengaktifkan kontra pikiran dari opini publik, yaitu etika publik.
Jadi, etika publik mengaktifkan kembali politik, dengan mempertanyakan isi, prosedur dan
fungsi opini publik. Artinya, melalui etika publik, politik dihidupkan sebagai soal ”konfrontasi
etik”, dan bukan ”konfirmasi statistik”.
Yang kemudian perlu diperhatikan lagi adalah peran media dalam demokrasi dan
pembentukan opini publik. Media yang bebas dan bertanggung jawab dijamin dalam sistem
demokrasi. Opini publik selalu bertalian sangat erat dengan kemampuan para penulis dan
pengelola media massa (cetak dan elektronik) dalam menyajikan pemberitaan, gambar ataupun
berbagai analisis dan pandangan mengenai suatu keadaan.
Dibandingkan aktor penyampai yang lain, seperti partai politik, kelompok kepentingan
dan tokoh-tokoh berpengaruh, posisi media massa dipandang sangat unik. Satu saat dia dapat
menempel ke atas menjadi corong pemerintah, di saat lain dia dapat mendekat ke bawah,
menjadi fasilitator kepentingan massa. Karena itu, menurut ahli politik dari Universitas Gajah
Mada (UGM) Riswandha Imawan, keleluasaan bergerak dari aktor-aktor politik yang datang
dari dunia pers, ruang gerak dan gaya berpolitiknya terasa lebih leluasa dibandingkan aktor-
aktor politik lain. Perkembangan opini publik di tengah-tengah masyarakat harus selalu
dicermati sebagai sebuah keadaan yang merangsang kreativitas para politisi dalam melakukan
trik-trik politiknya. Media melihat celah ini dan “memanfaatkannya.” Kondisi atau keadaan ini
menurut kalangan ahli merupakan cerminan kehidupan di suatu negara demokratis yang
sebenarnya. Bahkan sering diakui bahwa demokrasi merupakan “pemerintahan oleh opini
publik”.