Anda di halaman 1dari 10

c 


  

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K-3) terutama di industri


pertambangan merupakan salah satu faktor yang sangat penting demi
kelancaran kegiatan operasional sehingga timbulnya rasa aman dan nyaman bagi
pekerja untuk dapat bekerja secara optimal dan produktif.Pada prinsifnya
kecelakaan kerja dapat terjadi dikarenakan oleh kondisi yang tidak aman serta
kegiatan/aktifitas yang tidak aman.Dalam industri pertambangan seorang Kepala
Teknik Tambang (KTT) ditunjuk sebagai penanggung jawab penuh terhadap K-3
dan dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Pengawas Operasional dan
Pengawas Teknis.
Seiring dengan pernyataan prinsip ekonomi maka munculnya dilema yang
terjadi saat ini adalah dimana organisasi K-3 tersebut juga mendapatkan tugas
dari pemilik perusahaan untuk menekan biaya operasional, sehingga berusaha
melakukan penghematan terhadap biaya operasi, yang kenyataannya keputusan
yang diambil tidak memperhatikan aspek keselamatan. Karena keputusan
tersebut masih mengandung risiko tinggi tanpa melakukan pengamanan yang
baik, maka mengakibatkan terjadinya kecelakaan kerja. Sebenarnya SDM K-3
harus Memahami manajemen perubahan, memiliki pengetahuan proses
produksi serta mampu mengendalikan manajemen. Sehingga dapat menjaga
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K-3) dengan tetap memperhatikan prinsip
ekonomi. Manajemen keselamatan pertambangan meliputi ; menimbang dan
memperhitungkan bahaya yang potensial dimana akan membahayakan para
pekerja dan peralatan, melaksanakan dan memelihara / menjaga kendali yang
memadai termasuk kontrol pola penambangan,pendidikan dan latihan,
pemeliharaan peralatan tambang serta struktur menejemen yang ada harus
memadai untuk mengidentifikasi resiko dan penerapan kontrol.
Dalam melakukan pengelolaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada industri
pertambangan minerba-pabum (mineral, batubara dan panas bumi) kita harus
memahami perubahan lingkungan, memiliki Sistem Managemen Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (SMK-3) yang terintegrasi, memiliki kebijakan dan strategi
K3 yang menciptakan SDM berbudaya K3 khususnya di departemen operasi dan
perlu adanya rotasi jabatan di antara SDM Operasi, K3 dan Perawatan untuk
mendapatkan SDM yang kompeten.
Dengan memperhatikan karakter-karakter lingkungan pertambangan
maka pengelolaan program K3 pertambangan umum tidak mungkin dilakukan
secara ͞super ficial͟, bahkan untuk dapat mencakup seluruh karakter tersebut
serta untuk mendapatkan kinerja K3 yang tinggi maka pengelolaan K3 harus
dilakukan secara bersistem. Sistem menejemen K3 di lingkungan pertambangan
umum berkembang seiring dengan perkembangan industri itu sendiri, utamanya
setelah masuknya swasta asing.Dalam peraturan perundangan sub-sektor
pertambangan umum tidak secara eksplisit disebut adanya sistem menejemen
K3, namun dalam prakteknya seluruh perusahaan pertambangan umum telah
menerapkan dengan berbagai variasinya.Khusus untuk beberapa perusahaan
swasta asing ada yang langsung mengadopsi sistem menejemen K3 yang ada di
negara asalnya atau dari negara lain, seperti nasional occupational safety agency
( NOSA) dari afrika selatan, international safety rating (ISR), international Loss
control institute (ILCI) dari amareika, dan beberapa sistem yang dikembangakan
di austrlia. Dengan demikian perusahaan pertambangan umum tidak di wajibkan
untuk hanya menerapkan satu model sistem menejemen K3 yang seragam.
Sistem K3 negara lain yang diterapkan di indonesia, umumnya hanya
menekankan pengaturan dan pengawasan internal di dalam unit organisasi
perusahaan dan tidak menjelaskan bagaimana korelasi sistem manejemen K3
tersebut dengan pengawasan dan pembinaan dari sisi pemerintah ( inspektur
tambang ).
c     

Beberapa perusahaan pertambangan yang melakukan peledakan untuk


menghasilkan fragmentasi batuan overburden, dan menggunakan Nonel sebagai
inisiasi systemnya tentu tidak asing dengan istilah misfire. Hal ini berhubungan
dengan system Nonel yang tidak mempunyai kontrol terhadap misfire kecuali
dengan melakukan penyambungan secara benar dan final check dengan teliti.
Dengan kata lain, proses kontrol dilakukan secara fisik oleh seorang juru ledak.
Berbeda bila menggunakan system elektrik ataupun system dengan teknologi
muktahir yakni elektronik, misfire dengan mudah dapat dicegah bahkan sebelum
blasting mechine ditekan. Kedua system ini memiliki alat untuk mendeteksi
apakah sambungan antara surface delay dengan surface delay atau dengan
inhole delay telah tersambung dengan benar. Jadi, pada kedua metode ini,
misfire yang disebabkan oleh human error tidak tersambung- bisa dicegah sedini
mungkin. Adapun bila misfire terjadi pada system ini, boleh jadi dikarenakan oleh
hal lain, seperti kegagalan detonator, atau terjadinya kerusakan (putus) setelah
pengecekan atau analisa akhir dilakukan. Mengapa misfire harus dicegah?
Misfire yang terjadi mengakibatkan dua hal penting. Pertama berhubungan
dengan keselamatan kerja, misfire sangat berbahaya bila terjadi dan tidak
diketahui, apalagi bila misfire tidak ditemukan.Bahayanya adalah apabila Nonel,
detonator, atau booster terkena oleh alat gali, atau dozer yang mungkin tengah
bekerja di lokasi hasil suatu peledakan. Tentu saja fatality dan kerusakan berat
pada alat adalah potensi paling tinggi bila lubang misfire meledak dengan
sendirinya akibat gesekan, hantaman dari bucket atau blade alat berat tersebut.
Kedua adalah proses loss -kehilangan waktu produktif-, karena dengan
terjadinya misfire maka alat-alat produksi harus tetap berhenti bekerja
menunggu proses hingga juru ledak dapat mengontrol lubang-lubang misfire
tersebut. Keputusan untuk penembakan kedua pada lubang -lubang misfire,
tentu semakin menambah hilangnya waktu produksi.Dan bila dihitung, maka
dalam semingu, satu bulan, atau setahun, maka kehilangan waktu tidaklah
sedikit jumlahnya.
Beberapa tambang-tambang di Indoensia ataupun Australia, masih
menggunakan metode yang biasa disebut final check. Metode ini adalah proses
pengecekan sambungan antara inhole delay dan surface delay sebelum
penembakan (firing) dilakukan. Final check dilakukan oleh satu orang atau lebih,
dilakukan dengan berjalan dari baris pertama hingga baris terakhir, mengamati
sambungan secara satu persatu.Cara ini cukup effektif bila pelakunya
mengerjakannya dengan tenang, teliti, dan benar. Karena kelalaian dalam
mengamati sambungan akan berakibat misfire. Juga cara ini cukup efektif bila
dilakukan pada jumlah sambungan atau jumlah lubang yang tidak terlalu banyak
(100 - 300 lubang). Bagaimana bila lubang ledak berjumlah lebih dari 600 lubang
atau lebih? Data misfire yang disebabkan oleh kegagalan sambungan
(unconnected human error) di tambang batubara terbesar di Kaltim menunjukan:
pada tahun 2005 telah terjadi 8 kali misfire dari sekitar 400.000 sambungan
(1:50.000) dan akhir Agustus 2006 terjadi 9 kali misfire dari 350.000 sambungan
(1:38.888). Data misfire ini relatif bagus bahkan bila dibandingkan dengan
tambang-tambang di luar negeri yang menggunakan Nonel system yang sama.
Namun demikian hasil continous improvement menunjukan bahwa misfire akibat
kegagalan sambungan masih bisa diperkecil atau bahkan ditiadakan. Metode
baru pun telah dibuat dan diterapkan sejak September 2006 di tambang
tersebut.Metode ini tida k berbeda dengan metode sebelumnya, hanya
prinsipnya saja yang berubah.
Pertama, pengecekan sambungan dilakukan oleh orang yang melakukan
penyambungan itu sendiri.Tidak dibebankan kepada orang yang melakukan final
check seperti pada metode sebelumnya.Konsekuensinya, orang yang melakukan
penyambungan haruslah seorang juru ledak yang kompeten dan
bertanggungjawab penuh terhadap sambungan yang dibuatnya. Sambungan
harus 100% benar sebelum ia melanjutkan untuk menyambung pada lubang
berikutnya.
Kedua, memberi tanda pada sambungan sebagai identifikasi bahwa
sambungan telah dilakukan dengan benar dan agar mudah dikenali siapa yang
melakukannya.Tanda ini meggunakan pita warna.Bila ada tiga orang yang
melakukan penyambungan, maka digunakan pita dengan warna berbeda untuk
masing-masing orang. Ini sangat membantu pada proses investigasi bila misfire
terjadi. Akan mudah diketahui siapa yang melakukan penyambungan di lubang
tersebut. Jelas ini berbeda dengan metoda sebelumnya dimana tidak mudah
untuk mengetahui siapa yang melakukan sambungan sebelumnya bila misfire
terjadi.
Ketiga, final check dengan hanya melihat pita warna pada sambungan dan
meletakkan pita warna yg berbeda pada lubang yang telah dilewatinya sebagai
tanda bahwa orang kedua telah melihat lubang tersebut telah
disambung.Keuntungannya adalah juru ledak dapat melakukan final check
dengan cepat dan mudah.Bila juru ledak melihat lubang tanpa pita warna, berarti
sambungan belum ada dan dia bisa melakukan sambungan pada lubang tersebut.
Oleh karena itu, berapapun jumlah lubang yang akan diledakan, juru ledak akan
dengan mudah melakukan final check tanpa terjadi dua kali atau lebih
pengecekan pada satu lubang ledak.

Data terakhir dengan melaksanakan medote baru ini menunjukan hanya


terjadi sekali misfire dari 187.000 sambungan. Misfire yang terjadipun dapat
dengan mudah dideteksi siapa pelaku penyambungan dan dengan demikian
mudah pula untuk melakukan langkah-langkah perbaikan, baik terhadap pelaku
ataupun system itu sendiri.

º     
Sebuah makalah yang dibuat oleh peneliti dari  Mine afety and Health
Administration pada tahun 2001 menunjukkan bahwa terdapat empat kategori
utama kecelakaan kerja yang berhubungan dengan peledakan, yaitu (1)
keselematan dan keamanan lokasi peledakan; (2) batu terbang atau flyrock, (3)
peledakan premature (premature blasting) dan (4) misfre (peledakan mangkir).
Kasus yang terjadi di Adaro merupakan salah satu jenis kecelakaan kerja yang
ditenggarai disebabkan oleh arah peledakan (keselamatan peledakan) dan
terkena batuan hasil peledakan yang dapat dikategorikan sebagai flyrock (pada
jarak yang dekat).Ini merupakan situasi yang masuk akal karena seorang juru
ledak memang berada di daerah yang paling dekat dengan pusat kegiatan
peledakan.
Hal ini merupakan salah satu contoh perlunya pengetahuan yang lebih
mendalam dalam hal blasting management system (system pengaturan atau
pengontrolan peledakan) terhadap semua yang terlibat di dalam kegiatan
peledakan.Dalam suatu peledakan terdapat banyak hal-hal yang harus
diperhatikan untuk mendapatkan hasil peledakan sesuai dengan yang diinginkan
oleh tambang yang bersangkutan. Batuan yang diledakkan dalam hal ini bisa
berwujud batu bara itu sendiri dan batuan penutup (overburden and
interburden). Dalam tambang emas kita mempunyai istilah waste (sampah) dan
ore (bijih emas) yang harus diledakkan untuk memudahkan pengangkutan dan
pencucian atau proses permurnian bahan galian yang ditambang.
Kegiatan peledakan di tambang merupakan salah satu kegiatan yang
dianggap mempunya resiko cukup tinggi.Tapi bukan berarti kegiatan tersebut
tidak dapat dikontrol. Proses pemgontrolan kegiatan ini dapat dimulai dari
proses pencampuran ramuan bahan peledak, proses pengisin bahan peledak ke
lubang ledak, proses perangakain dan proses penembakan. Dalam kasus ini yang
memegang peranan penting adalah kontrol terhadap proses penembakan. Ada
beberapa hal yang perlu dilakukan adalah sebagi berikut.
A Desain peledakan.
Bagian ini memegang peranan penting dalam mengurangi kecelakaan
kerja yang berhubungan dengan aktivitas peledakan. Rancangan peledakan yang
memadai akan mengidentifikasi jarak aman; jumlah isian bahan peledak per
lubang atau dalam setiap peledakan; waktu tunda (delay period) yang diperlukan
untuk setiap lubang ledak atau waktu tunda untuk setiap baris peledakan; serta
arah peledakan yang dikehendaki. Jika arah peledakan sudah dirancang
sedemikian rupa, juru ledak dan blasting engineer harus berkordinasi untuk
menentukan titik dimana akan dilakukan penembakan (firing) dan radius jarak
aman yang diperlukan. Ini perlu dilakukan supaya juru ledak memahami potensi
bahaya yang berhubungan dengan broken rock hasil peledakan and batu terbang
(flyrock) yang mungkin terjadi.

A Training kepada juru ledak.


Hal ini sangat penting dilakukan, karena sumber daya ini memegang
peranan penting untuk menerjemahkan keinginan insinyur tambang yang
membuat rancangan peledakan. Hal ini sudah diatur dalam Keputusan Menteri,
yang mengharuskan setiap juru ledak harus mendapatkan training yang memadai
dan hanya petugas yang ditunjuk oleh Kepala Teknik Tambang yang
bersangkutan yang dapat melakukan peledakan. Juru ledak dari tambang
tertentu tidak diperbolehkan untuk melakukan peledakan di tambang yang lain
karena karakterisktik suatu tambang yang berbeda-beda.

A Prosedur kerja yang memadai.


Prosedur kerja atau biasa disebut SOP ( afe Operating Procedure) ini
memegang peranan penting untuk memastikan semua kegiatan yang
berhubungan dengan peledakan dilakukan dengan aman dan selalu mematuhi
peraturan yang berlaku, baik peraturan pemerintah maupun peraturan di
tambang yang bersangkutan. Prosedur ini biasanya dibuat berdasarkan
pengujian resiko (risk assessment) yang dilakukan oleh tambang tersebut
sebelum suatu proses kerja dilakukan. Prosedur ini mencakup keamanan bahan
peledak, proses pengisian bahan peledak curah, proses perangakaian bahan
peledak , proses penembakan (firing) termasuk jarak aman dan clearing daerah
disekitar lokasi peledakan. Jarak aman pada suatu peledakan (safe blasting
parameter) saat ini memang tidak mempunyai standard yang dibakukan,
termasuk tambang-tambang di Australia. Di dalam Keputusan Menteri -pun, tidak
dijelaskan secara detail berapa jarak yang aman bagi manusia dari lokasi
peledakan. Hal ini disebabkan oleh setiap tambang mempunyai metode
peledakan yang berbeda-beda tergantung kondisi daerah yang akan diledakkan
dan tentu saja hasil peledakan yang dikehendaki. Akan tetapi bukan berarti
setiap juru ledak boleh m enentukan sendiri jarak aman tersebut.Keputusan
mengenai keselamatan khususnya jarak aman tersebut berada pada seorang
Kepala Teknik Tambang yang ditunjuk oleh perusahaan setelah mendapat
pengesahan dari Kepala Pelaksana Inspeksi Tambang. Di tambang-tambang
terbuka di Indonesia, jarak aman terhadap manusia boleh dikatakan hampir
mempunyai kesamaan yaitu dalam kisaran 500 meter. Dari mana jarak ini
diperoleh? Jelas seharusnya dari hasil risk assessment (pengujian terhadap
resiko) yang telah dilakukan di tambang-tambang tersebut. Risk assessment ini
tidak saja berbicara secara teknik peledakan dan pelaksaannya, namun perlu juga
dimasukkan contoh-contoh hasil perbandingan dari tambang-tambang yang ada
baik di dalam ataupun luar negeri. Jarak aman dari hasil risk assessment inilah
yang seharusnya menjadi acuan bagi pembuatan prosedur kerja dalam lingkup
pekerjaan peledakan di lapangan. Walaupun ada beberapa tambang yang
membuat standard yang lebih kecil dari 500 meter; tapi hal itu diperbolehkan
sepanjang risk assessment sudah dilakukan dan sudah disetujui oleh Kepala
Teknik Tambang yang bersangkutan. Biarpun tidak menutup kemungkinan
terjadinya pelanggaran terhadap jarak aman dari peledakan, akan tetapi seorang
juru ledak yang kompeten semestinya akan mentaati aturan dan prosedur kerja.
Pelanggaran prosedur kerja akan berakibat fatal, baik bagi diri dia sendiri, teman
kerja maupun ada perusahaan tempat dia bekerja.
 
c cc 

c  
  c  
 c 



¢    


 ! "#$%&%#' 





¢   c c 
  
º  c c ¢¢ 
(c  c c
 )   



c
#%$%

Anda mungkin juga menyukai