Beberapa laporan ilmiah baik di dalam negeri atau luar negeri menunjukkan bahwa angka
kejadian alergi terus meningkat tajam beberapa tahun terahkir. Tampaknya alergi
merupakan kasus yang mendominasi kunjungan penderita di klinik rawat jalan Pelayanan
Kesehatan Anak.
Alergi pada anak tidak sesederhana seperti yang pernah kita ketahui. Sebelumnya kita sering
mendengar dari dokter spesialis penyakit dalam, dokter anak, dokter spesialis yang lain bahwa
alergi itu gejala adalah batuk, pilek, sesak dan gatal. Padahal alergi dapat menyerang semua
organ tanpa terkecuali mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan berbagai bahaya dan
komplikasi yang mungkin bisa terjadi. Belakangan terungkap bahwa alergi menimbulkan
komplikasi yang cukup berbahaya, karena alergi dapat mengganggu semua organ atau sistem
tubuh kita termasuk gangguan fungsi otak. Beberapa peneliti menyebutkan manifestasi gejala
tersebut dengan istilah “Brain Allergy” atau “Cerebral Allergy”. Karena gangguan fungsi otak
itulah maka timbul gangguan perkembangan dan perilaku pada anak seperti gangguan
konsentrasi, gangguan emosi, keterlambatan bicara, gangguan konsentrasi hingga autism.
Resiko dan tanda alergi dapat diketahui sejak anak dilahirkan bahkan sejak dalam
kandunganpun kadang-kadang sudah dapat terdeteksi. Alergi itu dapat dicegah sejak dini dan
diharapkan dapat mengoptimalkan tumbuh dan kembang anak secara optimal.
ALERGI MAKANAN
Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan system
tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan. Dalam beberapa kepustakaan alergi
makanan dipakai untuk menyatakan suatu reaksi terhadap makanan yang dasarnya adalah
reaksi hipersensitifitas tipe I dan hipersensitifitas terhadap makanan yang dasaranya adalah
reaksi hipersensitifitas tipe III dan IV.
Tidak semua reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan merupakan reaksi alergi
murni, Banyak terjadi penggunaan istilah alergi makanan untuk semua reaksi yang tidak
diinginkan dari makanan, baik yang imunologik atau non imunologik. Batasan lebih jelas dibuat
oleh American Academy of Allergy and immunology,The National Institute of Allergy and
infections disease yaitu :
Reaksi simpang makanan (Adverse food reactions) : istilah umum untuk reaksi yang tidak
diinginkan terhadap makanan yang ditelan. Reaksi ini dapat merupakan reaksi sekunder
terhadap alergi makanan (hipersensitifiotas) atau intoleransi makanan.
Sedangkan intoleransi Makanan (Food intolerance) adalah reaksi makanan nonimunologik dan
merupakan sebagian besar penyebab reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan. Reaksi ini
dapat disebabkan oleh zat yang terkandung dalam makanan karena kontaminasi toksik (misalnya
toksin yang disekresi oleh Salmonella, Campylobacter dan Shigella, histamine pada keracunan
ikan), zat farmakologik yang terkandung dalam makanan misalnya tiramin pada keju, kafein pada
kopi atau kelainan pada pejamu sendiri seperti defisiensi lactase, maltase atau respon
idiosinkrasi pada pejamu
MANISFESTASI KLINIK
Keluhan alergi sering sangat misterius, sering berulang, berubah-ubah datang dan pergi
tidak menentu. Kadang minggu ini sakit tenggorokan, minggu berikutnya sakit kepala, pekan
depannya diare selanjutrnya sulit makan hingga berminggu-minggu. Bagaimana keluhan yang
berubah-ubah dan misterius itu terjadi. Ahli alergi modern berpendapat serangan alergi atas
dasar target organ (organ sasaran).
Reaksi alergi merupakan manifestasi klinis yang disebabkan karena proses alergi pada
seseorang anak yang dapat menggganggu semua sistem tubuh dan organ tubuh anak.. Organ
tubuh atau sistem tubuh tertentu mengalami gangguan atau serangan lebih banyak dari organ
yang lain. Mengapa berbeda, hingga saat ini masih belum banyak terungkap. Gejala tergantung
dari organ atau sistem tubuh , bisa terpengaruh bisa melemah. Jika organ sasarannya paru bisa
menimbulkan batuk atau sesak, bila pada kulit terjadi dermatitis atopik. Tak terkecuali otakpun
dapat terganggu oleh reaksi alergi. Apalagi organ terpeka pada manusia adalah otak, sehingga
dapat dibayangkan banyaknya gangguan yang bisa terjadi.
Tabel 1. Manifestasi Kinis yang sering dikaitkan dengan alergi
Pada bayi : sering muntah/gumoh, kembung,“cegukan”, sering buang angin, sering “ngeden
/mulet”, sering REWEL / GELISAH/COLIK terutama malam hari), Sering buang air besar (> 3
kali perhari), tidak BAB tiap hari, BERAK DARAH
· Anak lebih besar : Sering muntah , nyeri perut, SULIT MAKAN disertai berat badan kurang
(biasanya setelah umur 4-6 bulan). Sering sariawan, lidah sering putih/kotor nyeri gusi/gigi,
mulut berbau, air liur berlebihan, bibir kering. Sering Buang air besar (> 2 kali/hari), sulit
buang air besar (obstipasi), kotoran bulat kecil hitam seperti kotoran kambing, keras, sering
buang angin, berak di celana.
· Pada bayi napas grok-grok. Anak lebih besar : Sering batuk, batuk lama (>2 minggu),
pilek, sinusitis, bersin, mimisan. tonsilitis (amandel), sesak, suara serak.
· Pembesaran kelenjar di leher dan kepala belakang bawah.
· Sering lebam kebiruan pada kaki/tangan seperti bekas terbentur.
· Kulit timbul bisul, kemerahan, bercak putih dan bekas hitam seperti tergigit nyamuk. Sering
menggosok mata, hidung atau telinga. Kotoran telinga berlebihan.
· Nyeri otot & tulang berulang malam hari
· Sering kencing, Bed wetting (Ngompol malam hari)
· Kepala,telapak kaki/tangan sering teraba hangat.Sering berkeringat (berlebihan)
· Mata gatal, timbul bintil di kelopak mata, mata sering berkedip, memakai kaca mata sejak
usia sangat muda (usia 6-12 tahun).
· Gangguan hormonal : tumbuh rambut berlebihadi kaki/tangan, keputihan.
· Sering sakit kepala, migrain.
Mekanisme alergi mengganggu system susunan saraf pusat khususnya fungsi otak masih belum
banyak terungkap. Namun ada beberapa kemungkinan mekanisme yang bisa menjelaskan,
diantaranya adalah : Alergi makanan mengganggu organ sasaran, Teori Abdominal Brain dan
Enteric Nervous Sistem, pengaruh reaksi hormonal pada alergi, teori Metabolisme sulfat
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dan patogenesis alergi mengganggu system susunan saraf pusat khususnya fungsi
otak masih belum banyak terungkap. Namun ada beberapa kemungkinan mekanisme yang bisa
menjelaskan, diantaranya adalah : Alergi makanan mengganggu organ sasaran, Teori Abdominal
Brain dan Enteric Nervous Sistem, pengaruh reaksi hormonal pada alergi, teori Metabolisme
sulfat
Alergi adalah suatu proses inflamasi yang tidak hanya berupa reaksi cepat dan lambat
tetapi juga merupakan proses inflamasi kronis yang kompleks dipengaruhi faktor genetik,
lingkungan dan pengontrol internal. Berbagai sel mast, basofil, eosinofil, limfosit dan molekul
seperti IgE, mediator sitokin, kemokin merupakan komponen yang berperanan inflamasi. Gejala
klinis terjadi karena reaksi imunologik melalui pelepasan beberapa mediator tersebut dapat
mengganggu organ tertentu yang disebut organ sasaran. Organ sasaran tersebut misalnya paru-
paru maka manifestasi klinisnya adalah batuk atau asma bronchial, bila sasarannya kulit akan
terlihat sebagai urtikaria, bila organ sasarannya saluran pencernaan maka gejalanya adalah diare
dan sebagainya. Sistem Susunan Saraf Pusat atau otak juga dapat sebagai organ sasaran,
apalagi otak adalah merupakan organ tubuh yang sensitif dan lemah. Sistem susunan saraf
pusat adalah merupakan pusat koordinasi tubuh dan fungsi luhur. Maka bisa dibayangkan kalau
otak terganggu maka banyak kemungkinan manifestasi klinik ditimbulkannya termasuk gangguan
perilaku pada anak. Apalagi pada alergi sering terjadi proses inflamasi kronis yang kompleks.
Pada alergi dapat menimbulkan gangguan pencernaan baik karena kerusakan dinding
saluran pencernan atau karena disfungsi sistem imun itu sendiri. Sedangkan gangguan
pencernaan itu sendiri ternyata dapat mempengaruhi system susunan saraf pusat termasuk
fungsi otak.Teori gangguan pencernaan berkaitan dengan Sistem susunan saraf pusat saat ini
sedang menjadi perhatian utama kaum klinisi. Penelitian secara neuropatologis dan
imunoneurofisiologis banyak dilaporkan. Teori inilah juga yang menjelaskan tentang salah satu
mekanisme terjadinya gangguan perilaku seperti autism melalui Intestinal Hypermeability atau
dikenal dengan Leaky Gut Syndrome. Golan dan Strauss tahun 1986 melaporkan adanya
Abdominal epilepsy, yaitu adanya gangguan pencernaan yang dapat mengakibatkan epilepsi.
Gangguan Metabolisme sulfat juga diduga sebagai penyebab gangguan ke otak. Bahan
makanan mengandung sulfur yang masuk ke tubuh melalui konjugasi fenol dirubah menjadi sulfat
dibuang melalui urine. Pada penderita alergi yang mengganggu saluran cerna diduga juga terjadi
proses gangguan metabolisme sulfur. Gangguan ini mengakibatkan gangguan pengeluaran sulfat
melalui urine, metabolisme sulfur tersebut berubah menjadi sulfit. Sulfit inilah yang mengganggu
organ kulit penderita. Diduga sulfit dan beberapa zat toksin inilah yang dapat menganggu fungsi
otak.
Keterkaitan hormon dengan peristiwa alergi dilaporkan oleh banyak penelitian.
Sedangatan perubahan hormonal itu sendiri tentunya dapat mengakibatkan manifestasi klinik
tersendiri. Lynch JS tahun 2001 mengemukakan bahwa pengaruh hormonal juga terjadi pada
penderita rhinitis alergika pada kehamilan. Sedangkan Landstra dkk tahun 2001 melaporkan
terjadi perubahan penurunan secara bermakna hormone cortisol pada penderita asma bronchial
saat malam hari. Penemuan bermakna dilaporkan Kretszh dan konitzky 1998, bahwa hormon
alergi mempengarugi beberapa manifestasi klinis sepereti endometriosis dan premenstrual
syndrome. Beberapa laporan lainnya menunjukkan keterkaitan alergi dengan perubahan
hormonal diantaranya adalah cortisol, metabolic, progesterone dan adrenalin.
Pada penderita alergi didapatkan penurunan hormon kortisol, esterogen dan metabolik.
Penurunan hormone cortisol dapat menyebabkan allergy fatigue stresse, sedangkan penurunan
hormone metabolic dapat mengakibatkan perubahan berat badan yang bermakna. Hormona lain
uang menurun adalah hormone esterogen. Alergi juga dikaitkan dengan peningkatan hormon
adrenalin dan progesterone. Peningkatan hormon adrenalin menimbulkan manifestasi klinis
mood swing, dan kecemasan. Sedangkan penongkatan hormone progesterone mengakibatkan
gangguan kulit, Pre menstrual Syndrome, Fatigue dan kerontokan rambut.
GANGGUAN NEUROANATOMI
Alergi dengan berbagai mekanisme yang berkaitan dengan gangguan neuroanatomi tubuh dapat
menimbulkan beberapa manifestasi klinis seperti sakit kepala, migrain, vertigo, kehilangan sesaat
memori (lupa). Beberapa penelitian menunjukkan hal tersebut, misalnya Krotzky tahun 1992
mengatakan migraine, vertigo dan sakit kepala dapat disebabkan karena makanan alergi atau
kimiawi lainnya.
Strel'bitskaia tahun 1974 mengemukakan bahwa pada penderita asma didapat gangguan
aktifitas listrik di otak, meskipun saat itu belum bisa dilaporkan kaitannya dengan manifestasi
klinik.
PENATALAKSANAAN
Penanganan alergi pada anak haruslah dilakukan secara benar, paripurna dan
berkesinambungan. Pemberian obat terus menerus bukanlah jalan terbaik dalam penanganan
alergi, tetapi yang paling ideal adalah menghindari penyebab yang bisa menimbulkan keluhan
alergi tersebut.
Obat-obatan simtomatis, anti histamine (AHi dan AH2), ketotifen, ketotIfen, kortikosteroid,
serta inhibitor sintesaseprostaglandin hanya dapat mengurangi gejala sementara, tetapi
umumnya mempunyai efisiensi rendah. Sedangkan penggunaan imunoterapi dan natrium
kromogilat peroral masih menjadi kontroversi hingga sekarang.
Penanganan khusus alergi pada anak dengan gangguan perkembangan dan kelainan perilaku
lain harus melibatkan beberapa disiplin ilmu, karena harus dipastikan bahwa tidak ada kelainan
organik, sistemik atau psikologis lainnya. Sehingga bila perlu dikonsultasikan pada neurology
anak, psikiater anak, dokter anak minat tumbuh kembang, endokrinologi anak dan
gastroenterologi anak.
Namun bila pendapat dari beberapa ahli tersebut bertentangan dan manifestasi alergi lainnya
jelas pada anak tersebut, maka tidak ada salahnya dilakukan penatalaksanaan alergi makanan
dengan eliminasi terbuka. Pengobatan tersebut harus dievaluasi dalam 3 minggu dengan
memakai catatan harian. Bila gangguan perkembangan dan perilaku tersebut terdapat
perbaikkan maka dapat dipastikan bahwa gangguan tersebut penyebab atau pencetusnya
adalah alergi makanan.
Sedangkan untuk mengatasi gejala gangguan perkembangan dan perilaku yang sudah
ada dapat dilakukan pendekatan terapi dengan terapi okupasi, terapi bicara, terapi sensory
integration, hearing atau vision therapy dan sebagainya.
PROGNOSIS
Prognosis gangguan perkembangan dan perilaku yang berkaitan dengan alergi tergantung dari
ada tidaknya kelainan organik otak seperti autism atau adanya fokus di otak. Bila dipastikan tidak
ada kelainan anatomis otak maka prognosisnya akan lebih baik. Biasanya bila gangguan tersebut
dikendalikan maka akan terlihat secara drastis perbaikkan gangguan perkembangan dan perilaku
tersebut. Pada gangguan jenis ini usia di atas 2 hingga 5 tahun ada kecenderungan membaik.
Namun bila didapatkan autism atau gangguan organik otak lainnya maka prognosisnya
lebih buruk. Namun bila gangguan tersebut diperberat oleh pencetus alergi maka
penatalaksanaan alergi dengan pengaturan diet akan sangat banyak membantu mengoptimalkan
kemampuan hidup penderita.
Bila terdapat riwayat keluarga baik saudara kandung, orangtua, kakek, nenek atau saudara
dekat lainnya yang alergi atau asma. Dan bila anak sudah terdapat ciri-ciri alergi sejak lahir atau
bahkan bila mungkin deteksi sejak kehamilan maka harus dilakukan pencegahan sejak dini.
Resiko alergi pada anak dikemudian hari dapat dihindarkan bila kita dapat mendeteksi dan
mencegah sejak dini.
Pencegahan alergi makanan terbagi menjadi 3 tahap, yaitu pencegahan primer, sekunder
dan tersier.
1. Pencegahan Primer , bertujuan menghambat sesitisasi imunologi oleh makanan
terutama mencegah terbentuknya Imunoglobulin E (IgE).. Pencegahan ini dilakukan
sebelum terjadi sensitisasi atau terpapar dengan penyebab alergi. Hal ini dapat dilakukan
sejak saat kehamilan.
2. Pencegahan sekunder, bertujuan untuk mensupresi (menekan) timbulnya
penyakit setelah sensitisasi. Pencegahan ini dilakukan setelah terjadi sensitisasi tetapi
manifestasi penyakit alergi belum muncul. Keadaan sensitisasi diketahui dengan cara
pemeriksaan IgE spesifik dalam serum darah, darah tali pusat atau uji kulit. Saat
tindakan yang optimal adalah usia 0 hingga 3 tahun.
3. Pencegahan tersier, bertujuan untuk mencegah dampak lanjutan setelah
timbulnya alergi. Dilakukan pada anak yang sudah mengalami sensitisasi dan
menunjukkan manifestasi penyakit yang masih dini tetap[i belum menunjukkan gejala
penyakit alergi yang lebih berat. Saat tindakan yang optimal adalah usia 6 bulan hingga 4
tahun.
Kontak dengan antigen harus dihindari selama periode rentan pada bulan-bulan awal
kehidupan, saat limfosit T belum matang dan mukosa usus kecil dapat ditembus oleh protein
makanan. Ada beberapa upaya pencegahan yang perlu diperhatikan supaya anak terhindar dari
keluhan alergi yang lebih berat dan berkepanjangan :
• Hindari atau minimalkan penyebab alergi sejak dalam kandungan, dalam hal ini oleh ibu.
Bila ibu hamil didapatkan gerakan atau tendangan janin yang keras dan berlebihan pada
kandungan disertai gerakan denyutan keras (hiccups/cegukan) terutama malam atau
pagi hari, maka sebaiknya ibu harus mulai menghindari penyebab alergi sedini mungkin.
Dalam keadaan seperti ini Committes on Nutrition AAP menganjurkan elinasi diet jenis
kacang-kacangan.
• Pemberian makanan padat dini dapat meningkatkan resiko timbulnya alergi. Bayi yang
mendapat makanan pada usia 6 bulan mempunyai angka kejadian dermatitis alergi yang
lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang mulai mendapat makanan tambahan pada
usia 3 bulan.
• Hindari paparan debu di lingkungan seperti pemakaian karpet, korden tebal, kasur kapuk,
tumpukan baju atau buku. Hindari pencetus binatang (bulu binatang piaraan kucing dsb,
kecoak, tungau pada kasur kapuk).
• Tunda pemberian makanan penyebab alergi, seperti ayam di atas 1 tahun, telor, kacang
tanah di atas usia 2 tahun dan ikan laut di atas usia 3 tahun.
• Bila membeli makanan dibiasakan untuk mengetahui komposisi makanan atau membaca
label komposisi di produk makanan tersebut.
• Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dapat mencegah resiko alergi pada bayi . Bila
bayi minum ASI, ibu juga hindari makanan penyebab alergi. Makanan yang dikonsumsi
oleh ibu dapat masuk ke bayi melalui ASI. Terutama kacang-kacangan, dan
dipertimbangkan menunda telur, susu sapi dan ikan. Meskipun masih terdapat beberapa
penelitian yang bertolak belakang tentang hal ini.
• Committes on Nutrition AAP menganjurkan pemberian suplemen kalsium dan vitamin
selama menyusui.
• Bila ASI tidak memungkinkan atau kalau perlu kurang gunakan susu hipoalergenik
formula untuk pencegahan terutama usia di bawah 6 bulan.Bila dicurigai alergi terhadap
susu sapi bisa menggunakan susu protein hidrolisat. Penggunaan susu soya harus tetap
diwaspadai karena 30 – 50% bayi masih mengalami alergi terhadap soya.
• Bila timbul gejala alergi, identifikasi pencetusnya dan hindari.
PENUTUP
Permasalahan alergi pada anak tampaknya tidak sesederhana seperti yang diketahui.
Sering berulangnya penyakit, demikian luasnya sistem tubuh yang terganggu dan bahaya
komplikasi yang terjadi tampaknya merupakan akibat yang harus lebih diperhatikan demi
terbentuknya tumbuhan dan kembang anak yang optimal.
Gangguan alergi dapat menggganggu neuroanatomis dan neuroanatomis fungsional
yang mengkibatkan gangguan perkembangan dan perilaku pada anak. Resiko dan gejala alergi
bisa diketahui dan di deteksi sejak dalam kandungan dan sejak lahir, sehingga pencegahan
gejala alergi dapat dilakukan sedini mungkin. Resiko terjadinya komplikasi dan gangguan sistem
susunan saraf pusat diharapkan dapat dikurangi.
Penanganan khusus alergi pada anak dengan gangguan perkembangan dan kelainan
perilaku lainnya adalah harus melibatkan beberapa disiplin ilmu, karena harus dipastikan bahwa
tidak ada kelainan organik, sistemik atau psikologis lainnya. Sehingga bila perlu dikonsultasikan
pada neurology anak, psikiater anak, dokter anak minat tumbuh kembang, endokrinologi anak
dan gastroenterologi anak. Namun bila pendapat dari beberapa ahli tersebut bertentangan dan
gangguan anatomis otak belum jelas maka bisa saja dilakukan penatalaksanaan alergi makanan
dengan diet eliminasi terbuka evaluasi perubahan atau perbaikan dari gangguan perilaku yang
timbul.