Anda di halaman 1dari 17

Remisi

1. pengurangan hukuman yg diberikan kpd orang yg terhukum: narapidana itu

mendapat -- krn membantu membongkar kejahatan narkotik

KEPRES NOMOR 174 TAHUN 1999

Pasal 2

Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 terdiri atas :

a. Remisi Umum, yang diberikan pada hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan

Republik Indonesia tanggal 17 Agustus; dan

b. Remisi Khusus, yang diberikan pada hari besar keagamaan yang dianut oleh

Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan, dengan ketentuan jika suatu

agama mempunyai lebih dari satu hari besar keagamaan dalam setahun, maka yang

dipilih adalah hari besar yang paling dimuliakan oleh penganut agama yang

bersangkutan.

Pasal 3

(1) Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat ditambah dengan remisi

tambahan apabila Narapidana dan Anak

Pidana yang bersangkutan selama menjalani pidana :

a. berbuat jasa kepada negara;

b. melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan; atau

c. melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lembaga

Pemasyarakatan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai berbuat jasa dan melakukan perbuatan yang

bermanfaat bagi negara atau bagi Institute for Criminal Justice Reform

www.icjr.or.id
kegiatan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan.

Remisi dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia


18 Aug 2010 Leave a Comment

by fatmapuspita in Notes about Law Information Center

Pada prinsipnya, remisi diberikan pada setiap narapidana yang berhak. Remisi bisa dihitung
sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak diperjualbelikan. Mungkin masyarakat masih
awam dengan istilah remisi dan implementasinya dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.

Menurut Pasal 1 Ayat 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia No.174 Tahun 1999, remisi
adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang
telah berkelakuan baik selama menjalani pidana. Merujuk pada Keppres tersebut, remisi
dihitung pada saat menjalani masa pidana dan tidak dihitung dengan mengakumulasi masa
penahanan.

Berbeda dengan yang disampaikan Menteri Hukum dan HAM seperti ditulis dalam Koran
Tempo 2 November 2006, yang menyatakan bahwa remisi yang diperoleh oleh seorang
narapidana bisa didapat dari akumulasi masa penahanan, bukan dihitung sejak vonis
pengadilan dijatuhkan. Karena pemahaman remisi sendiri sudah sangat jelas maka wajar
apabila pihak-pihak yang paham terhadap makna remisi menganggap pemberian remisi
kepada seorang narapidana bisa dikategorikan tidak sesuai.

DASAR HUKUM PEMBERIAN REMISI

1. Undang-undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (pasal 14).


2. Keputusan Presiden RI No.174 Tahun 1999 Tentang Remisi.
3. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan No.M.09.HN.02-01 Tahun 1999
tentang Pelaksanaan Keppres No.174 Tahun 1999 tentang Remisi.
4. Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No.M.04-HN.02.01 Tahun 2000 tentang
Remisi Tambahan bagi Narapidana dan Anak Didik.
5. Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No.M.03-PS.01.04 Tahun 2000 tentang Tata
Cara Pengajuan Permohonan Remisi Bagi Narapidana Yang Menjalani Pidana Penjara
Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara.

6. Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No.M.01-HN.02.01 Tahun 2001 tentang


Remisi Khusus Yang Tertunda dan Remisi Khusu Bersyarat serta Remisi Tambahan.

7. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan pemerintah
No.32/1999 tentang Syarat dan tata Cara Pelaksanaan hak Warga Binaan.

Ada beberapa jenis remisi pada Sistem Pemasyarakatan Indonesia :


1. Remisi Umum : Pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak
pidana pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus.
2. Remisi Khusus : Pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak
pidana pada Hari Besar Keagamaan yang dianut oleh yang bersangkutan dan dilaksanakan
sebanyak-banyaknya I (satu) kali dalam setahun bagi masing-masing agama.
3. Remisi Tambahan : Pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak
pidana yang berbuat jasa kepada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara
atau kemanusiaan atau melakukanperbuatan yang membantu kegiatan lembaga
pemasyarakatan.

Departemen Hukum dan HAM sebagai payung sistem pemasyarakatan Indonesia,


menyelenggarakan sistem pemasyarakatan agar narapidana dapat memperbaiki diri dan tidak
mengulangi tindak pidana, sehingga narapidana dapat diterima kembali dalam lingkungan
masyarakatnya, kembali aktif berperan dalam pembangunan serta hidup secara wajar sebagai
seorang warga negara.

Saat seorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka hak-haknya
sebagai warga negara akan dibatasi. Sesuai Pasal ayat 7 UU.No.12 Tahun 1995, narapidana
adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan.
Walaupun terpidana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap
dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.

Hak-hak tersebut adalah :


1. Hak untuk melakukan ibadah
2. Hak untuk mendapat perawatan rohani dan jasmani
3. Hak pendidikan
4. Hak Pelayanan Kesehatan dan makanan yang layak
5. Hak menyampaikan keluhan
6. Hak memperoleh informasi
7. Hak mendapatkan upah atas pekerjaannya
8. Hak menerima kunjungan
9. Hak mendapatkan remisi
10. Hak mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk mengunjungi keluarga
11. Hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat
12. Hak mendapatkan cuti menjelang bebas,
13. serta hak-hak lain sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Perlu diingat bahwa hak-hak tersebut tidak diperoleh secara otomatis tetapi dengan syarat
atau kriteria tertentu. Sama halnya dengan pemberian remisi.

Proses Pembinaan Narapidana

Ada 4 tahap dalam proses pembinaan narapidana Sistem Pemasyarakatan Indonesia. Remisi
sudah dapat dihitung semenjak yang bersangkutan yang telah berstatus narapidana menjalani
masa pidana atau dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia disebut dengan menjalani proses
pembinaan.

Dalam tahap pertama menjalankan proses pembinaan terhadap narapidana , lembaga


pemasyarakatan melakukan penelitian terhadap hal ikhwal narapidana; sebab dilakukannya
suatu pelanggaran. Pembinaan ini dilaksanakan saat yang bersangkutan berstatus sebagai
narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) masa pidananya. Pada tahap ini, pembinaan
dilakukan didalam lembaga pemasyarakatan dengan pengawasan maksimum.
Pada tahap kedua proses pembinaan, setelah yang bersangkutan telah menjalani 1/3 masa
pidana yang sebenarnya, serta narapidana tersebut dianggap sudah mencapai cukup kemajuan
maka kepada narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan yang lebih banyak dan
ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan dalam pengawasan medium security. Yang
dimaksud dengan narapidana telah menunjukkan kemajuan disini adalah dengan terlihatnya
keisyafan, perbaikan diri, disiplin dan patuh pada peraturan tata-tertib yang berlaku di
Lembaga.

Setelah menjalani 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya, maka wadah proses pembinaan
diperluas dengan asimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari 2 bagian yaitu yang pertama
waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan 1/2 dari masa pidananya.
Pada tahap ini pembinaan masih dilaksanakan dalam Lapas dalam pengawasan menengah
(medium security). Tahap kedua dimulai dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama
sampai dengan 2/3 masa pidananya. Dalam tahap lanjutan ini narapidana sudah memasuki
tahap asimilasi dan selanjutnya dapat diberikan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang
bebas dengan pengawasan minimum.

Setelah proses pembinaan telah berjalan selama 2/3 masa pidana yang sebenarnya atau
sekurang-kurangnya 9 bulan, maka pembinaan dalam tahap ini memasuki pembinaan tahap
akhir. Pembinaan tahap akhir yaitu berupa kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program
integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan selesainya masa
pidana. Pada tahap ini, bagi narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang
bebas atau pembebasan bersyarat. Pembinaan dilakukan diluar Lapas oleh Balai
Pemasyarakatan (BAPAS) yang kemudian disebut pembimbingan Klien Pemasyarakatan.

Besarnya Remisi Yang Diberikan Kepada Narapidana Dan Anak Pidana

1. Remisi Umum (17 Agustus)


a. Tahun Pertama apabila telah menjalani 6 bulan s/d 12 bulan, besarnya remisi 1 bulan.
b. Tahun Pertama apabila telah menjalani lebih dari 12 bulan, besarnya remisi 2 bulan.
c. Tahun Kedua, besarnya remisi 3 bulan.
d. Tahun Ketiga, besarnya remisi 4 bulan.
e. Tahun keempat, besarnya remisi 5 bulan.
f. Tahun kelima, besarnya remisi 5 bulan.
g. Tahun keenam, besarnya remisi 6 bulan.
h. Tahun ketujuh dan seterusnya, besarnya remisi 6 bulan.

2. Remisi Khusus (Idul Fitri, Natal, Nyepi dan Waisak)


a. Tahun Pertama apabila telah menjalani pidana 6 bulan sampai dengan 12 bulan, diberikan
remisi sebesar 15 hari.
b. Apabila telah menjalani 12 bulan atau lebih, diberikan remisi sebesar 1 bulan.
c. Tahun kedua dan ketiga, diberikan masing-masing 1 bulan.
d. Tahun keempat dan kelima , diberikan masing-masing 1 bulan 15 hari.
e. Tahun keenam dan seterusnya, diberikan remisi 2 bulan.

3. Remisi Tambahan
a. Berbuat jasa pada negara :
- Membela negara secara moral, material dan fisik dari serangan musuh.
- Membela negara secara moral, material dan fisik terhadap pemberontakan yang berupaya
memecah belah atau memisahkan diri dari Negara Kesatuan RI.
- Besarnya remisi : 1/2 dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang bersangkutan.
b. Melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan.
- Menemukan inovasi yang berguna untuk pembangunan bangsa dan negara RI.
- Turut serta mengamankan Lapas atau Rutan apabila terjadi keributan atau huru hara.
- Turut serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan bencana alam di lingkungan Lapas,
Rutan atau wilayah sekitarnya.
- Menjadi donor darah 4 (empat) kali atau salah satu organ tubuh bagi orang lain.
- Besarnya remisi yang diberikan sebesar 1/2 dari remisi umum yang diperoleh pada tahun
yang bersangkutan.
c. Melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lapas atau Rutan.
- Pemuka kerja.
- Melakukan pendidikan dan pengajaran kepada sesama narapidana dan anak didik.
- Besarnya remisi yang diberikan 1/3 dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang
bersangkutan.

Dengan mengetahui cara menghitung pemberian remisi maka masyarakat dapat membuat
estimasi angka remisi. Angka remisi yang didapat tentunya akan mengurangi jumlah masa
hukuman seorang narapidana, serta membuat seorang narapidana dapat lebih cepat kembali
kepada keluarga dan masyarakatnya sebagai warga negara yang baik, menyongsong masa
depan yang lebih baik.

*) Penulis adalah Pegawai Negeri Sipil pada Biro Humas Departemen Hukum dan HAM, R.I
–fatma puspita sari(fatma.puspita@depkumham.go.id) -jakarta | Kamis, 02 November 2006

.:: NEWS ::.

Author : Tri Wibowo Santoso


Fri, 03 Nov 2006 12:18:12 +0700

MA Pertanyakan Remisi Dasawarsa Tommy Soeharto

Jakarta – Mahkamah Agung (MA) mempertanyakan pemberian remisi dasawarsa

kepada Tommy Soeharto karena jumlah remisi yang diberikan tidak sesuai dengan

Undang-Undang tentang Pemasyarakatan.

Kepada VHR di kantornya, Jumat (3/11) pagi, Juru Bicara Mahkamah Agung Djoko
Sarwoko mengatakan, pemberian remisi kepada Tommy Soeharto yang mencapai 12

bulan 5 hari tidak tercantum dalam Undang-Undang Pemasyarakatan, khususnya

pasal yang mengatur tentang pemberian remisi. 

Djoko Sarwoko menuturkan, selama ini pihaknya belum mendengar adanya remisi

dasawarsa tersebut, karena Undang-Undang Pemasyarakatan hanya mengatur soal

remisi umum dan remisi khusus.

Oleh karena itu, menurut Djoko, kebijakan pemberian remisi dasawarsa itu harus

dijelaskan oleh Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin. Sebab, di dalam

undang-undang tersebut tidak disebutkan soal itu.

“Saya kira itu adalah kebijakan dari menterinya sendiri, tapi mungkin dia sudah ada

dasar pertimbangan sendiri,” ujarnya.

Sementara itu pengamat hukum Denny Indrayana saat dihubungi oleh VHR melalui

telepon Jumat (3/11) siang menyatakan belum menemukan dasar hukum tentang

pemberian remisi dasawarsa tersebut.

Denny berpendapat, remisi Tommy sangat subyektif karena hanya didasarkan pada

penilaian kelakukan baik yang bersangkutan selama menjalani tahanan di Lembaga

Pemasyarakatan Cipinang dan Nusakambangan. Kriteria penilaian kelakukan baik

sangat rawan penyalahgunaaan wewenang, dan bisa dijadikan sebagai komoditas.


“Saya kira perlu diperjelas lagi aturannya sehingga bisa lebih obyektif dan kalau

perlu dibuat statistiknya. Jika sudah melakukan ini maka perlu merombak budaya

koruptif yang dilakukan di dalam LP, sehingga petugasnya tidak mudah tergiur

oleh uang.”

Lebih lanjut Denny Indrayana juga mengkritik Departemen Hukum dan HAM yang

mempersilakan Tommy untuk melakukan perjalanan ke luar negeri meski tidak ada

cegah tangkal (cekal)yang dikenakan kepada putra bekas presiden Soeharto itu.

Menurut Denny, Tommy Soeharto pernah memiliki riwayat sebagai buronan. Jadi,

apabila Tommy melakukan perjalanan ke luar negeri, maka besar kemungkinan ia

dapat kembali menjadi buron.

Sebagaimana diketahui, Tommy Soeharto bebas dari penjara lebih cepat melalui

mekanisme pembebasan bersyarat dan mendapatkan remisi setiap tahunnya. Salah

satunya pemberian remisi dasawarsa yang mencapai 12 bulan. (Tri Wibowo/E1)

.:: NEWS ::.

Author : Angga Haksoro


Wed, 01 Nov 2006 14:56:53 +0700

Pembebasan Tommy Tak Penuhi Rasa Keadilan


Jakarta – Pembebasan bersyarat melalui pengurangan masa tahanan Hutomo

Mandala Putra yang akrab dipanggil Tommy Soeharto tidak memenuhi rasa

keadilan di masyarakat.

Menurut Ketua Badan Pengurus Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN)

Firmansyah Arifin, Rabu (1/11) siang di kantornya, meski sudah melalui mekanisme

aturan hukum yang berlaku, pembebasan bersyarat putra bungsu mantan presiden

Soeharto itu sama sekali tidak memperhatikan aspek kesetaraan pemberlakuan

hukum bagi seluruh warga negara.

Firmansyah Arifin beranggapan pengurangan masa tahanan sampai 38 bulan

Tommy Soeharto tidak mungkin diberikan jika yang bersangkutan bukan putra

mantan presiden Soeharto.

“Menurut pengamatan saya, yang paling menjadi persoalan dilihat dari rasa

keadilan kayaknya kok begitu gampang, begitu mudahnya pemerintah dalam hal ini

memberikan diskon yang sangat mudah dan berlebihan terhadap Tommy Soeharto.

Dugaan saya, kalau Tommy bukan anak mantan penguasa republik ini kayaknya

tidak mungkin hal itu terjadi.”

Firmansyah juga kecewa terhadap rendahnya kontrol eksternal mekanisme

pemberian pengurangan masa tahanan.

Sampai sejauh ini pemberian pengurangan masa tahanan dilakukan secara


berjenjang dan sangat subjektif atas usulan Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang

diajukan ke Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan, untuk kemudian

diusulkan kepada pemerintah.

Oleh karena itu Firmansyah mengusulkan untuk memanfaatkan Komisi

Ombudsman Nasional sebagai lembaga eksternal yang mengawasi pemberian

pengurangan masa tahanan narapidana.

Kasus kejanggalan pengurangan masa tahanan Tommy Soeharto bukanlah kasus

yang pertama. Terpidana kasus korupsi Bulog, Rahardi Ramelan, juga pernah

mendapatkan pengurangan masa tahanan peringatan Hari Kemerdekaan RI ketika

baru menjalani masa penjara selama dua hari.

Menurut peraturan, narapidana yang boleh mendapatkan pengurangan masa

tahanan adalah narapidana yang sudah menjalani hukuman penjara selama enam

bulan. (Angga Haksoro/E1)

:: NEWS ::.

Author : Muhammad Syafii


Thu, 02 Nov 2006 14:51:29 +0700

Tommy Soeharto Bebas karena Perlakuan Khusus


Jombang - Pembebasan bersyarat Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto

dari hukuman penjara terkait dengan kasus pembunuhan hakim agung Syafiuddin

Kartasasmita pada tahun 2001 dinilai banyak kalangan sangat bertentangan dengan

nilai-nilai keadilan.

Remisi atau pengurangan hukuman yang mencapai 37 bulan dari total masa

hukuman 10 tahun penjara yang diberikan kepada Tommy menunjukkan ada

perlakuan khusus dalam proses penegakan hukum.

Kepada radio komunitas Surga FM Jombang, Kamis (2/11) siang, Ketua Fraksi Partai

Demokrasi Indonesia Perjuangan DPRD Jombang Bella Sinanda mengatakan,

kemudahan proses bebasnya Tommy dari penjara menunjukkan ada perlakuan

khusus.

“Jadi, hukumnya itu yang bagaimana? Kalau memang itu dibenarkan secara hukum,

kan harus berlaku untuk semua orang, tidak hanya pada orang per orang,”  ujar dia.

Pendapat lain diungkapkan oleh ketua Front Perjuangan Pemuda Indonesia

Jombang, Handono Prasetyo. Menurut dia pembebasan Tommy menjadi bukti

ketidakjelasan sistem hukum di Indonesia. (Muhammad Syafii/E5)

Menyoal Komoditas Remisi bagi Napi


Kamis, 19 Agustus 2010

Dari balik jeruji besi, tiap


tahun, tiap tanggal 17
Agustus, bisa jadi adalah
hari yang sangat ditunggu
para napi.

Tanpa terkecuali keluarga


para napi. Mereka
harapharap cemas,
apakah nama sanak
saudara mereka masuk
daftar penerima remisi,
yang artinya akan
memperpendek masa mendekam di hotel prodeo tersebut, atau malah sebaliknya,
tidak mendapat remisi sama sekali.

Itu artinya, mereka mesti menunggu pada tahun mendatang lagi, dengan harapan
yang serupa. Remisi merupakan hak setiap napi yang dijamin undang-undang dan
peraturan pemerintah.

Bicara tentang remisi, publik di Indonesia barangkali masih ingat dengan remisi
yang diberikan terhadap Tommy Suharto. Konon, selama menjalani masa
pemidanaan di Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah, pangeran Cendana ini total
mendapat remisi lebih dari 2,5 tahun.

Plus pembebasan bersyarat. Juga remisi kilat yang diberikan kepada Rahadi
Ramelan. Ketika itu, hanya berselang beberapa hari setelah dirinya ditahan di Rutan
Cipinang, Rahadi pun mendapatkan remisi pada 17 Agustus tahun itu.

Dalam beberapa kasus, pemberian remisi memang dirasa cukup menggelitik. Setiap
tahunnya, catatan tentang pemberian remisi hanya sebatas pada jumlah dari napi
yang beruntung mendapatkan remisi tersebut.

Namun, dari data yang selalu diumumkan dan dilaporkan kepada Presiden oleh
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), tidak pernah diperinci kriteria
yang membuat para napi ini layak mendapatkan hak remisi atau napi lainnya yang
tidak mendapatkan remisi.

“Problem utama dalam aturan mengenai remisi adalah tentang tata cara pengajuan
remisi itu sendiri yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat. Prosedur pengajuan
ini tidak diatur secara terperinci dalam undang-undang.

Tidak mudah bagi masyarakat untuk mengetahuinya. Bahkan si terpidana sekalipun


atapun keluarganya,” kata Anggara dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).

Dalam Pasal 1 Ayat 1 Keputusan Presiden (Keppres) No 174 Tahun 1999, remisi
adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak
pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana.

Dasar hukum pemberian remisi di Indonesia mengacu pada beberapa ketentuan


hukum, yakni pada Pasal 14 Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang
Permasyarakatan, Keputusan Presiden No 174 Tahun 1999 tentang Remisi, dan
Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan No M .09. HN.02-01 Tahun
1999 tentang Pelaksanaan Keppres No 174 Tahun 1999 tentang Remisi.

Aturan lainnya adalah Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM No M.04-HN.02.01


Tahun 2000 tentang Remisi Tambahan bagi Narapidana dan Anak Didik, kemudian
Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM No.M.03- PS.01.04 Tahun 2000 tentang
Tata Cara Pengajuan Permohonan Remisi bagi narapidana yang menjalani pidana
penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara.

Terakhir adalah Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No.M.01-HN.02.01


Tahun 2001 tentang Remisi Khusus yang tertunda dan Remisi Khusus Bersyarat
serta Remisi Tambahan.

Menurut Anggara, terlalu berisiko manakala aturan tentang prosedur pengajuan


remisi yang menjadi hak dari setiap napi justru pengaturannya berada pada tingkat
keputusan menteri, yang notabene merupakan aturan di bawah undang-undang.

“Seharusnya perincian tentang prosedur dan tata caranya ini juga dituangkan dalam
undang-undang pemasyarakatan saja sehingga lebih jelas dan harus terperinci,”
kata Anggara.

Aturan hukum berdasar keputusan menteri, lanjut Anggara, sangat mudah berubah
sewaktuwaktu. Yakni merujuk pada kebijakan dari menteri-menteri yang menjabat
saat itu.

Kondisi ini bisa berdampak pada pengetahuan masyarakat, terutama para napi dan
keluarganya, tentang prosedur pengajuan remisi itu sendiri. Tidak hanya pada
tataran peraturan tentang remisi yang harus dikritisi.

Pada level mekanisme aturannya pun, Anggara melihat dalam kasus pemberian
remisi, adakalanya kekuasaan lebih dari pihak yang berwenang. “Heavy-nya lebih
ke pihak yang berwenang untuk memberikan remisi.

Sepertinya seorang narapidana itu tidak bisa memprotes kenapa dirinya tidak
diberikan remisi,” tambah Anggara.

Peluang Terbuka

Anggota Komisi III Bidang Hukum DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Eva Kusuma
Sundari melihat, dengan aturan-aturan hukum yang berlaku, peluang remisi
menjadi “komoditas” memang sangat terbuka.

Fenomena remisi menjadi sebuah komoditas tersebut, menurut Eva, setidaknya


sudah mulai terlihat pada kasus remisi yang diberikan kepada Tommy Suharto.
“Kasus bebasnya Tommy Suharto itu menunjukkan fenomena adanya komoditas
remisi,” tukas Eva.

Menurutnya, ada beberapa aturan dalam remisi yang bertabrakan dan menjadi
sarana jual beli remisi. Salah satunya adalah tata cara atau prosedur pengajuan
remisi yang dinilai terlalu berat pada pihak eksekutif, dalam hal ini Ditjen
Pemasyarakatan.

Dengan demikian, komoditas remisi menjadi peluang jual beli sangat terbuka,
terutama tahanan-tahanan yang kaya. “Tahanan yang kaya punya peluang besar
untuk membeli remisi,” tambah Eva.

Selama ini, prosedur pemberian hak remisi bagi para napi dimulai dengan penilaian
dari tim pengawas atau penilai yang merupakan orang dalam Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) atau Rumah Tahanan (Rutan).

Laporan tentang penilaian inilah yang kemudian diajukan pada Kepala Lapas atau
Rutan. Poin penilaian di antaranya menyangkut tingkah laku dari napi. Apakah si
napi yang bersangkutan berkelakuan baik sehingga layak untuk diberikan remisi
atau sebaliknya.

Setelah laporan tersebut, keputusan menyangkut nama-nama yang akan diajukan


sebagai penerima remisi diteruskan ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, yang
setelah diproses diserahkan kepada Kepala Lapas atau Rutan.

“Jadi, kecenderungannya memang berat di pemerintah atau pihak yang


berwenang,” pungkas Eva.
nik/L-1
REMISI UNTUK TINDAK PIDANA KORUPSI DAN TERORISME (sebuah

Komentar Pribadi dalam salah satu Koran)

Posted on August 30, 2010 by Rusmila| Leave a comment

Pada prinsipnya remisi (pengurangan masa hukuman) itu adalah sarana hukum

yang berwujud HAK yang diberikan oleh Undang-undang kepada Narapidana yang

telah memenuhi syarat-syarat tertentu.

Adanya remisi ini bertujuan untuk mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan

yang mengarah pada proses rehabilitasi dan resosialisasi narapidana melalui upaya-

upaya yang sifatnya edukatif, korektif dan defensif. Semua narapidana ataupun

Anak pidana yang telah memenuhi syarat tanpa terkecuali Narapidana dari Tindak

pidana Korupsi dan terorisme dapat mengajukan Remisi. Hal ini sudah

diamanatkan oleh Pasal 14 Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan, yang kemudian diatur juga dalam PP 32/1999 , diperkuat dengan

Keppres No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi, dan PP Nomor 28 Tahun 2006 tentang

Perubahan atas peraturan pemerintah nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata

cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan. Dari berbagai jenis remisi,

(mulai dari remisi umum, remisi khusus, remisi tambahan, dan remisi dasawarsa),

setiap tanggal 17 Agustus bertepatan dengan perayaan hari kemerdekaan RI, remisi

umum menjadi hak yang selalu ditunggu oleh para Napi. Karena pada saat itulah

remisi umum secara rutin diberikan kepada sebagian besar Napi yang telah

memenuhi syarat. Adapun syarat untuk memperoleh remisi umum ini adalah

berkelakuan baik selama proses pembinaan di dalam LP, telah melaksanakan pidana

lebih dari 6 bulan (terhitung dari tanggal penahanan hingga tanggal 17 Agustus

tahun terkait), tidak sedang dikenakan hukuman disiplin, tidak sedang


melaksanakan cuti menjelang bebas, dan tidak dijatuhi pidana kurungan pengganti

denda, tidak dijatuhi hukuman pidana seumur hidup ataupun pidana mati. Besaran

remisi yang diterima oleh para narapidana tersebut berbeda-beda, hal ini tergantung

pada masa pidana yang telah dijalaninya.

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 Keppres No. 174 Tahun 1999 tentang

Remisi, disebutkan bahwa Bagi napi yang telah menjalani pidana 6 sampai 12 bulan

diberikan remisi 1 bulan, untuk yang lebih 12 bulan dapat 2 bulan, bagi yang sudah

menjalani tahun kedua dapat 3 bulan, tahun ketiga 4 bulan, tahun keempat dan

kelima dapat 5 bulan, tahun keenam dan seterusnya dapat 6 Bulan setiap tahunnya.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, pada prinsipnya, baik napi korupsi, terorisme

ataupun tindak pidana lainnya tetap mendapatkan hak yang sama untuk

mendapatkan Remisi, dan hak tersebut telah dilindungi oleh UU. Hanya saja dengan

dikeluarkannya PP Nomor 28 Tahun 2006 yang merubah ketentuan dalam PP

Nomor 32 Tahun 1999, dan mengingat kekhususan dan dampak korupsi dan

terorisme ini demikian besarnya, maka Syarat-syarat pengajuan Remisi bagi Napi

tindak pidana khusus seperti halnya Tindak Pidana Korupsi dan Terorisme tersebut,

LEBIH DIPERKETAT. Dengan adanya PP tersebut, saat ini Tidak semua Korruptor

dan Teroris demikian mudah mendapatkan Remisi sebagaimana halnya napi tindak

pidana umum lainnya. Selain syarat-syarat dalam Keppres 174 / 1999 mengikat pula

pada napi korupsi dan terorisme, ada perbedaan syarat lainnya yang diatur dalam

Pasal 34 ayat 3 PP 28 Tahun 2006, yakni: napi korupsi, terorisme, narkotika dan

psikotropika, kejahatan HAM berat, dan kejahatan Transnational, baru dapat

mengajukan Remisi jika telah menjalani lebih dari 1/3 masa pidananya, dan telah

berkelakuan baik selama di LP. Selanjutnya, Remisi untuk napi tersebut diberikan

oleh Menteri Hukum dan HAM, setelah mendapatkan pertimbangan terlebih

dahulu dari Dirjen Pemasyarakatan. Khusus Napi Korupsi, ditambah lagi kriteria

tambahan bahwa kerugian Negara tidak boleh di atas 1 M, dan Sanksi Pidananya
tidak boleh lebih dari 2 tahun penjara. Untuk Tahun ini, terobosan untuk tidak

memberikan remisi untuk koruptor dan teroris memang akan dilakukan oleh

MenkunHam Patrialis Akbar.

Pendapat saya, keputusan untuk tidak memberikan Remisi untuk koruptor dan

Teroris ini harus memiliki landasan yuridis yang kuat dan alasan-alasan yg bisa

dipertanggungjawabkan., karena kalau tidak demikian, maka akan berkembang

pada pengurangan dan pelanggaran terhadap Hak-hak Napi itu sendiri

sebagaimana yang diatur dalam UU 12/1995. Keputusan tersebut akan menjadi baik,

jika memang tujuannya baik sebagai langkah preventif yang sifatnya integral.

Namun, takkan menjadi kurang baik jika keputusan tersebut hanya sekedar sarana

fragmentair dan reaktif untuk memuaskan Emosi Masyarakat karena sekarang

pemberantasan korupsi, menjadi trend dan hanya sekedar memberikan efek jera

atau balas dendam pada pelaku. Sebagai pemegang keputusan dapat tidaknya

diberikan remisi kepada Napi, Menkunham diharapkan lebih berhati-hati dalam

menyeleksi siapa yang patut dan tidak mendapatkan remisi tanpa mengabaikan

perasaan masyarakat dan tanpa mengabaikan hak napi itu sendiri. mengapa

demikian.?, pertama, karena secara yuridis, sudah jelas jika Setiap Napi yang telah

memenuhi syarat yang tercantum dalam peraturan mempuyai hak yang sama untuk

mendapatkan Remisi, jadi alasan-alasan yang menunda pemberian remisi napi

tersebut harus tetap dalam koridor yuridis dan seimbang antar berbagai

kepentingan. kedua, LP ini hanya sekedar salah satu sistem dalam menanggulangi

kejahatan, dan remisi ini hanyalah salah satu sub sistem untuk mewujudkan tujuan

pembinaan Napi tersebut.

Jika hanya remisi yang dijadikan terobosan hukum untuk mengantisipasi Korupsi

dan Terorisme, tanpa diimbangi dengan perbaiki sistem integral dari

pemasyarakatan khususnya, dan penegakan hukum pada umumnya, maka upaya

tidak memberikan Remisi tersebut terkesan sia-sia dan tanpa tujuan.


Bagaimanapun Ide dan tujuan dari pemasyarakatan itu sendiri adalah untuk

Rehabilitasi dan resosialisasi Napi melalui tindakan-tindakan yang edukatif, korektif

dan defensif, dan bukan bertujuan untuk sekedar menghukum. Para Napi itu ibarat

orang sakit harus disembuhkan dan dibina agar tidak mengulangi lagi

perbuatannya, dan bukan karena dia telah melakukan tindak pidana. sebagaimana

yang pernah disampaikan oleh Prof. Muladi jika pembinaan Napi itu adalah

theraupetic proccess. jadi segala tindakan yang diiberlakukan kepada Napi harus

dalam koridor teraupetis atau penyembuhan dan perbaikan.

Sampai saat ini Lembaga Pemasyarakatan belum menunjukkan hasil yang optimal

tdalam membina Napi, belum ada korelasi yang cukup signifikant antara lamanya

sanksi pidana dengan pengurangan jumlah tindak pidana (keberhasilan dalam

melakukan pembinaan Napi.) Jadi, kalaupun Napi Korupsi dan Teroris diputuskan

tidak mendapatkan remisi, namun sistem pembinaan dalam lembaga

pemasyarakatan, berikut dengan perangkat hukumnya itu sendiri tidak pernah

dibenahi, diperbaiki atau direformasi, maka sebenarnya keputusan dari tidak

diberikannya Remisi itu sendiri tidak akan menuai hasil yang maksimal..yang ada

malah semakin bermunculan pelaku-pelaku tindak pidana tersebut lainnya.

Anda mungkin juga menyukai