Anda di halaman 1dari 11

Manajemen Preoperatif Anastesi Spinal pada

Herniotomi Et Causa Hernia Inguinalis


Lateralis Sinistra Repponibel
Dibuat oleh: Mega Prawithasari,Modifikasi terakhir pada Mon 06 of Sep, 2010 [04:06 UTC]

ABSTRAK

Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat
anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/ subaraknoid juga disebut sebagai
analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Hal –hal yang mempengaruhi anestesi spinal
ialah jenis obat, dosis obat yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh,
tekanan intraabdomen, lengkung tulang belakang, operasi tulang belakang, usia pasien, obesitas,
kehamilan, dan penyebaran obat. Di dalam cairan serebrospinal, hidrolisis anestetik lokal
berlangsung lambat. Sebagian besar anestetik lokal meninggalkan ruang subaraknoid melalui
aliran darah vena sedangkan sebagian kecil melalui aliran getah bening. Lamanya anestesi
tergantung dari kecepatan obat meninggalkan cairan serebrospinal. Pada kasus ini dilakukan
anastesi spinal subarachnoid karena dilakukan pembedahan pada abdomen pada bagian bawah
sesuai dengan indikasi anastesi spinal.

Keywords:

Anastesi spinal, subarachnoid, hernia Inguinalis lateralis repponibel

KASUS

Seorang laki-laki berusia 70 tahun datang ke RSUD dengan keluhan pada scrotum sebelah kiri
membesar hilang timbul, pasien mengaku tidak merasa nyeri, pasien mengaku scrotum sebelah
kiri tampak membesar terutama bila pasien mengangkat barang yang berat, maupun saat pasien
mengejan, keluhan dirasakan muncul sejak 2 tahun yang lalu. BAB tak ada gangguan, flatus
normal, tidak mual, tidak muntah, dan tidak ada keluhan BAK. Riwayat hipertensi, jantung,
diabetes mellitus, asma maupun alergi disangkal. Riwayat merokok ada. Riwayat anastesi
sebelumnya disangkal. Riwayat penyakit keluarga : Riwayat hipertensi, jantung, diabetes
mellitus, asma maupun alergi disangkal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan: keadaan umum
compos mentis, TD 140/90 mmHg, Rr 20 x/menit, N 72 x/menit, T 36,8 oC, hasil laboratorium
dalam batas normal. Pada status lokalis: testis teraba 2 buah, tampak benjolan di daerah
inguinalis sinistra,yang bisa dimasukkan kembali, nyeri tekan tidak ada, finger test ada teraba
tekanan ketika pasien diminta untuk mengejan,uji transluminasi tidak ada. Dokter merencanakan
untuk dilakukan herniotomi.

DIAGNOSIS
Diagnosis pasien adalah Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang maka:
Diagnosa pre-operasi : Hernia Inguinalis Lateralis Sn Repponibel; Status operasi : ASA I .

TERAPI

Penatalaksanaan anastesi pada pasien antara lain: Premedikasi berupa injeksi ondancentron HCL
4 mg intravena dan injeksi ketorolac 30 mg intravena. Dilanjutkan loading cairan (infus) RL 500
ml. Dilakukan regional anastesi berupa anastesi spinal dengan teknik subarachnoid block atau
SAB, dengan menggunakan jarum spinal ukuran 27 antara lumbal 4-5 disuntikan bupivacain 20
mg ditambah dengan clonidine hydrochloride 150 mcg. Selama operasi berlangsung diberikan
midazolam 3 mg intravena dan untuk mempertahankan oksigenasi pasien diberikan O2 3
liter/menit. Operasi selesai dalam waktu 1 jam, perdarahan dalam operasi kira-kira 70cc. Bila
pasien tenang dan stabil dengan Bromage score ≥ 3 maka dapat dipindah ke bangsal.

DISKUSI

Pada kasus ini pasien seorang laki-laki berusia 70 tahun dengan diagnosis Hernia Inguinalis
lateralis sinistra repponibeldan akan dilakukan herniotomi. Jenis anastesi yang digunakan adalah
regional anastesi-anastesi spinal dengan teknik subarachnoid block yaitu anastesi pada ruang
subarachnoid kanalis spinalis regio antara vertebra lumbal 4-5. Pemilihan teknik anastesi
berdasarkan pada faktor-faktor seperti usia, status fisik, jenis dan lokasi operasi, ketrampilan ahli
bedah, ketrampilan ahli anastesi dan pendidikan.

Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat
anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/ subaraknoid juga disebut sebagai
analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Dengan indikasi pada pasien yaitu akan
dilakukannya pembedahan pada daerah anogenital dimana indikasi untuk anastasi spinal antara
lain : bedah ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan sekitar rektum-perineum, bedah
obstetri-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah, dan pada bedah abdomen atas dan
bedah pediatri yang dikombinasikan dengan anastesia umum ringan. Premedikasi yang
digunakan pada kasus ini adalah ondancentron HCL 4mg dan ketorolac 30 mg. Ondancentron
adalah suatu antagonis 5-HT3, diberikan dengan tujuan mencegah mual dan muntah pasca
operasi agar tidak terjadi aspirasi dan rasa tidak nyaman. Dosis Ondancentron anjuran yaitu 0,05-
0,1 mg/KgBB. Pemberian ketorolac sebagai analgetik digunakan untuk mengurangi nyeri,
dengan cara menghambat sintesis prostaglandin di perifer tanpa mengganggu reseptor opioid di
SSP. Dosis awal pemberian adalah 10-30 mg, dapat diulang setiap 4-6 jam, untuk pasien normal
dibatasi maksimal 90 mg; untuk manula, pasien dengan BB <50 kg atau faal ginjal dibatasi
maksimal 60 mg. Induksi anastesi pada kasus ini adalah dengan menggunakan anastesi lokal
yaitu bupivacain 20 mg ditambah dengan clonidine hydrochloride 150 mcg. Bupivacain
merupakan obat anastesi lokal yang mekanismenya adalah mencegah terjadinya depolarisasi
pada membran sel saraf pada tempat suntikan obat tersebut, sehingga membran akson tidak dapat
bereaksi dengan asetil kolin sehingga membran tetap semipermeabel dan tidak terjadi perubahan
potensial. Hal ini menyebabkan aliran impuls yang melewati saraf  tersebut berhenti sehingga
segala macam rangsang atau sensasi tidak sampai ke sistem saraf pusat. Hal ini menimbulkan
parestesia, sampai analgesia, paresis sampai paralisis dan vasodilatasi pembuluh darah pada
daerah yang terblock. Bupivacain berikatan dengan natrium channel sehingga mencegah
depolarisasi. Dosis 1-2 mg/KgBB. Potensi 3-4x dari lidokain dan lama kerja 1-2x lidokain. Sifat
hambatan sensoris lebih dominan dibanding motoriknya. Penambahan clonidine pada kasus ini
dimaksudkan untuk memperpanjang durasi dari anastesi spinal. Pemilihan obat anastesi lokal
disesuaikan dengan lama dan jenis operasi yang dilakukan Selama operasi pasien diberi
midazolam 3 mg secara intravena, hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan kecemasan selama
operasi berlangsung, midazolam merupakan derivat dari benzodiazepin yang mempunyai khasiat
sedasi dan anticemas yang bekerja pada sistem limbik. Pemberian O2 3 liter/menit adalah untuk
menjaga oksigenasi pasien. Pada kasus ini tekanan darah pasien relatif stabil walaupun memang
mengalami penurunan dibanding tekanan darah saat pasien masuk. Sehingga saat operasi
berlangsung tidak diperlukan pemberian efedrin 10 mg intravena untuk membantu menaikkan
tekanan darah pasien. Efedrin merupakan vasopressor yang bekerja menstimuli reseptor alfa dan
beta berakibat pada peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan mempunyai efek relaksasi
otot polos bronkhus serta saluran cerna serta dilatasi pupil, dosis pemberian 5-10 mg dapat
diulang setelah 10 menit. Pengelolaan cairan:  Jam I, Maintenance cairan 2cc/KgBB/jam: 50 Kg
x 2cc = 100 cc. Puasa 6 jam tidak dihitung karena sejak puasa sudah terpasang RL. Stress operasi
: 4 cc/KgBB/jam: 50 Kg x 4cc = 200 cc. Jadi kebutuhan cairan jam I : 100cc + 200cc =
300cc/jam Setelah dilakukan operasi diketahui jumlah perdarahan pada ksus ini adalah 70cc.
EBV: 50 Kg x 75cc = 3750cc. EBV%: 70cc/3750cc x 100% = 1,87%. Karena perdarahan yang
keluar pada kasus ini < 20% EBV maka tidak diperlukan adanya transfusi darah. Kebutuhan
cairan dibangsal Maintenance 2cc/KgBB/jam : 50Kg x 2cc = 100cc/jam. Sehingga jumlah
tetesan yang dibutuhkan jika menggunakan infus 1cc ∞ 15 tetes. Maka, 100cc/60 x 15tetes = 25
tetes/menit. Pasien pindah ke ruang recovery dan dilakukan pemantauan keadaan umum, tekanan
darah, respirasi dan nadi. Bila pasien tenang dan stabil dengan bromage score ≥ 3 maka pasien
dapat dipindahkan ke bangsal , bromage score dipakai dalam penanganan pasien post op dengan
regional anastesi.  

DAFTAR PUSTAKA

1.       Latief, said. 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: FKUI

2.       Sari, Irma P. S. 2009. Anestetika Lokal. http://www.scribd.com/doc/19566098/. Diakses 5


MeI 2010

3.       Rochmawati, Anis. 2009. Makalah Tugas Farmakologi.


http://www.scribd.com/doc/30705426/29772928-Makalah-Tugas-Farmakologi-
i#source:facebook. Diakses 21 juli 2010

4.       Marwoto. 2000. Perbandingan Mula dan Lama Kerja Antara Lidokain- Buvivakain dan
Buvivakain pada Block Epidural. http://www.mediamedika.net/archives/105. Diakses 21 juli
2010

5.       Mutschler,E.1991.Dinamika Obat edisiV.Bandung:ITB                             

PENULIS
Mega Prawithasari Lubis, Bagian Anastesi, RSUD Setjonegoro, Kab.Wonosobo, Jawa Tengah

Identitas
Nama : WM
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 15 tahun
Alamat : Maasing, kec. Tuminting, kota Manado SULUT
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Siswa
MRS : 21 Oktober 2008

Keluhan utama :
Benjolan pada leher sebelah kiri

Riwayat penyakit sekarang :


Benjolan pada leher sebelah kiri dialami pendrita sejak kira-kira 3 tahun yang lalu.
Awalnya benjolan berukuran kecil, namun lama-kelamaan membesar samapai seukuran kira-kira
sebesar bola kelereng.
Benjolan tidak nyeri, tidak mengganggu waktu bernafas ataupun menelan.
Suara penderita tidak terganggu.
Riwayat jantung berdebar, mata melotot, susah tidur, sensitif terhadap suhu dingin, berkeringat
banyak, nafsu makan menurun, panurunan berat badan disangkal penderita.
BAB/BAK biasa.

Riwayat penyakit dahulu :


Riwayat penyakit jantung, darah tinggi, dan penyakit gula disangkal oleh penderita.
Riwayat penyakit keluarga :
Hanya penderita yang sakit seperti ini dalam keluarga.

Riwayat keadaan sosial :


Anak I dari 2 bersaudara.

Pemeriksaan Fisik :

Tanda vital : TD : 110/70 mmHg


Respirasi : 22 x/m
Nadi : 76 x/m
Suhu rektal : 36,8º C

Kepala (THT, mata dan mulut):


Inspeksi : conjungtiva anemis (-), scelera ikterik (-), eksoftalmus (-)
Palpasi : T.A.K

Leher :
Inspeksi : ® colli anterior sinistra :
Tampak massa ukuran diameter ± 3 cm, warna sama dengan sekitar, konsistensi kenyal, mobil,
nyeri tekan (-)
Palpasi : Pembesaran KGB (-)

Thoraks :
Inspeksi : pergerakan nafas simetris
Auskultasi : SP rhonkhi (-)/(-), whezing (-)/(-)
Palpasi : SF kanan = kiri
Perkusi : sonor kanan = kiri

Abdomen :
Inspeksi : datar, lemas
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-)
Perkusi : thympani, pekak hepar (+)

Tulang belakang : T.A.K

Extremitas :
Inspeksi : T.A.K
Palpasi : akral hangat

Neurologi : Refleks fisiologis (+/+), Refleks Patologis (-/-), tremor (-)

Rectal Toucher : TSA cekat, ampula kosong, mukosa licin.


Sarung tangan : feces (-), darah (-), lendir (-)

CVA : T.A.K
Suprapubis : T.A.K
Genitalia : T.A.K

Lab saat MRS :


Hb : 14,1 gr/dl
Lekosit : 7100
Trombosit : 184.000
CT : 7’
BT : 1’
Ureum : 19
Kreatinin : 0,9
SGOT : 9
SGPT : 10
GDS : 78 g/dL
T3 : 1,69 ng/dL
T4 : 106,35 ng/dL
TSH : 0,769 ng/dL
FT4 : 1,06 ng/dL
FT3 : 3,49 ng/dL
Hasil FNAB : struma colloides
Diagnosa kerja :
Struma nodosa nontoksik

Tindakan / Pengobatan :
- Pro isthmolobektomi tiroid sinistra
- Pro EKG
- Pro X(-)foto thoraks

Laporan operasi :

Waktu operasi : 22 Oktober 2008


Jenis operasi : Isthmolobektomi
Jam mulai operasi : 10.00 WITA
Jam selesai operasi : 12.30 WITA
Lamanya operasi : 2 JAM 30 menit
Jalannya operasi :
• Pasien terlentang dengan general anestesi
• Asepsis dan antisepsis lapangan operasi dan dipersempit dengan doek steril
• Insisi colar 2 jari dari atas incisura jugularis
• Diperdalam sampai m.platisma
• Dibuat flap ke atas dan bawah, flap ditegel
• Identifikasi midline dari m.pretekalis
• Midline dibuka secara tajam tiroid diluksir
• Identifikasi N.Laringeus recurent
• Identifikasi A.tiroidea inferior dan superior. Diligasi
• Jaringan tiroid dibebaskan dari trakea
• Kontrol perdarahan, pasang drain
• Luka operasi ditutup lapis demi lapis
• Operasi selesai

Intruksi post operasi :


IVFD RL : D5 28gtt/menit
Ceftriaxsone 2 x 1 gr iv
Ketorolac 3% in D5 100 ml/8 jam
Ranitidin 2x 1 amp IV
Observasi vital sign dan air way
Bila sudah sadar betul dan bising usus (+) normal, boleh minum bertahap

Follow up
22 Oktober 2008
S : (–)
O : vital sign alam batas normal
® colli anterior: luka operasi terwat baik
A : post op. Struma nodosa non toksik h.I
P : IVFD RL : D5 28gtt/menit
Ceftriaxsone 2 x 1 gr iv
Ketorolac 3% in D5 100 ml/8 jam
Ranitidin 2x 1 amp IV
Observasi vital sign dan air way
Boleh minum bertahap

23 Oktober 2008
S : (–)
O : vital sign alam batas normal
® colli anterior: luka operasi terwat baik, pus (-)
A : post op. Struma nodosa non toksik h.II
P : IVFD RL : D5 28gtt/menit
Ceftriaxsone 2 x 1 gr iv
Ketorolac 3% in D5 100 ml/8 jam
Ranitidin 2x 1 amp IV
Observasi vital sign dan air way
Boleh minum bertahap
24 Oktober 2008
S : (–)
O : vital sign alam batas normal
® colli anterior: luka operasi terwat baik, pus (-)
A : post op. Struma nodosa non toksik h.III
P : IVFD RL : D5 28gtt/menit
Ceftriaxsone 2 x 1 gr iv
Ketorolac 3% in D5 100 ml/8 jam
Ranitidin 2x 1 amp IV
Aff drain
Diet bubur
25 Oktober 2008
S : (–)
O : vital sign alam batas normal
® colli anterior: luka operasi terwat baik
A : post op. Struma nodosa non toksik h.1
P : aff infus
Cefixime 2 x 100mg tab
Asam mefenamat 3 x 500mg tab

DISKUSI

Seorang wanita umur 15 tahun datang dengan keluhan utama adanya benjolan pada leher sebeah
kiri. Benjolan ini dialami penderita sejak sekitar 3 tahun yang lalu. Awalmya benjolan berukuran
kecil, namun perlahan-lahan membesar sampai sekarang berukuran kira-kira sesbesar bola
kelereng. Benjolan ini tidak memberikan gangguan apa-apa pada penderita kecuali masalah
kosmetik, di mana penderita merasa tidak nyaman dengan leher yang ada benjolannya.
Riwayat jantung berdebar, mata melotot, susah tidur, sensitif terhadap suhu dingin, berkeringat
banyak, nafsu makan menurun, peneurunan berat badan disangkal oleh penderita. Hal ini
menandakan tidak adanya gejala-gejala klinis hipertiroid.
Penderita berdomisili di Maasing, kecamatan Tuminting, kota Manado. Dari tempat tinggal
penderita, maka bisa disingkirkan kemungkinan penderita mengalami kekurangan intake iodium.
Pada pemeriksaan klinis, vital sign penderita dalam batas normal. Tidak ditemukan eksoftalmus.
Pada leher ditemukan ® colli anterior sinistra tampak massa ukuran diemeter ± 3 cm, warna
sama dengan sekitar, konsistensi kenyal, mobil dan tidak ada nyeri tekan. Kelenjar getah bening
sekitar tidak mengalami pembesaran.
Dari pemerikasaan ini bisa disimpulkan bahwa karakteristik nodul pada penderita ini merupakan
nodul yang jinak.
Hasil pemeriksaan laboratorium menggambarkan fungsi tiroid yang normal. Dan hasil FNAB
menunjukkan nodul koloid yang tergolong pada nodul jinak.
Dengan demikian penderita ini didiagnosis dengan struma nodosa nontoksik.
Penanganan selanjutnya adalah dengan terapi pembedahan dengan indikasi pembedahan masalah
kosmetik.
Dilakukan ismolobektomi tiroid sinistra pada penderita ini, di mana dilakukan pengangkatan satu
sisi lobus tiroid.
Pasca operasi penderita diobservasi tanda-tanda vitalnya serta produksi drain. Bila penderita
sudah sadar betul boleh minum sedikit-sedikit, bila kemudian tidak ada gangguan boleh minum
bebas. Bila setelah 8 jam post operasi tadak ada gangguan, maka penderita bisa makan dan
minum bebas. Drain dilepas setelah 24 jam post operasi dengan produksi minimai

ODS LEUKOMA ET CAUSA ULKUS KORNEA POST TRAUMA PADA WANITA 73


TAHUN

ABSTRAK

Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan kornea.
Ulkus bisa dalam keadaan steril (tidak terinfeksi mikroorganisme) ataupun terinfeksi. Ulkus
terbentuk oleh karena adanya infiltrat yaitu proses respon imun yang menyebabkan akumulasi
sel-sel atau cairan di bagian kornea.Leukoma yaitu bercak putih seperti porselen yang tampak
dari jarak jauh, yang merupakan jaringan sikatrik setelah penyembuhan proses radang pada
kornea yang lebih dalam.

Seorang wanita,73 tahun mengeluh mata kanan kabur dan bola mata kanan berwarna putih
sejak 2 tahun yang lalu. Riwayat kecolok biji padi disawah. Pasien didiagnosis ODS leukoma et
causaulkus kornea post trauma, diberi obat chloramphenicol zalf mata.

kata kunci : leukoma, leukoma adheren, ulkus kornea

HISTORI

Pasien datang dengan keluhan mata kanan kabur, bola mata kanan berwarna putih dan terdapat
bekas luka sejak 2 tahun yang lalu. Riwayat pernah kecolok biji padi disawah.riwayat
pengobatan belum pernah.Riwayat keluhan serupa sebelumnya,alergi,diabetes
mellitus,hipertensi  disangkal.
Pemeriksaan fisik

OD:sclera injeksi nsiliar, kornea permukaan keruh,warna putih,bekas luka diameter 2 mm,iris tak
tampak.visus 1/~(tak terhingga).

OS: kornea terdapat arcus senilis.lain-lain dalam batas normal.visus 5/5.

Diagnosis :ODS leukoma et causa ulkus kornea post trauma

Terapi : chloramphenicol zalf mata3x1.

DISKUSI

Kornea adalah jaringan yang avaskuler, hal ini menyebabkan pertahanan pada waktu peradangan
tak dapat segera datang seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi.
Dengan adanya defek atau trauma pada kornea, maka badan kornea, wandering cells, dan sel-sel
lain yang terdapat pada stroma kornea segera bekerja sebagai makrofag, kemudian disusul
dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat di limbus dan tampak sebagai injeksi di
perikornea. Proses selanjutnya adalah terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuklear, sel plasma,
leukosit polimorfonuklear, yang mengakibatkan timbulnya infiltrat yang tampak sebagai bercak
berwarna kelabu, keruh dengan batas tak jelas dan permukaan tidak licin. Kemudian dapat terjadi
kerusakan epitel, infiltrasi, peradangan dan terjadilah ulkus kornea.Ulkus kornea adalah
hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan kornea. Ulkus bisa dalam
keadaan steril (tidak terinfeksi mikroorganisme) ataupun terinfeksi. Ulkus terbentuk oleh karena
adanya infiltrat yaitu proses respon imun yang menyebabkan akumulasi sel-sel atau cairan di
bagian kornea.Leukoma yaitu bercak putih seperti porselen yang tampak dari jarak jauh, yang
merupakan jaringan sikatrik setelah penyembuhan proses radang pada kornea yang lebih dalam.

Berdasarkan anamnesis,gejala,pemeriksaan oftalmologis pada pasien didiagnosis ODS leukoma


et causa ulkus kornea post trauma.

Faktor-faktor pencetus terjadinya ulkus kornea:


1.Adanya kelainan pada bulu mata (trikiasis) dan adanya insufisiensi sistem lakrimal, sumbatan
saluran lakrimal.
2.Faktor eksternal; luka pada kornea (erosio kornea) karena trauma, penggunaan lensa kontak,
luka bakar pada daerah muka.
3.Kelainan-kelainan kornea yang di sebabkan oleh: edema kornea kronik, exposure keratitis
(lagoftalmus, anestesi umum, koma, dan kelainan palpebra seperti koloboma).4
4.Kelainan-kelainan sistemik: malnutrisi, alkoholisme, sindroma Steven Jhonson, sindroma
defisiensi imun.
5.Obat-obatan yang menurunkan mekanisme imun misalnya kortikosteroid IDU (Idoryuridine),
anastetik lokal dan golongan imunosupresif lainnya.

Gejala kliniknya:
Ulkus kornea biasanya terjadi sesudah terdapatnya trauma ringan yang merusak epitel kornea.
Gejala-gejala yang ditimbulkan olehnya bervariasi tergantung dari jenis ulkus apakah steril atau
infektif, keadaan fisik pasien, besarnya ulkus dan virulensi inokulum. Ulkus akan memberikan
gejala mata merah, sakit mata ringan hingga berat, fotofobia, penglihatan menurun dan kadang
kotor.
Ulkus kornea akan memberikan kekeruhan berwarna putih pada kornea dengan defek epitel yang
bila diberi pewarnaan fluoresein akan berwarna hijau di tengahnya. Iris sukar dilihat karena
keruhnya kornea akibat edema dan infiltrasi sel radang pada kornea. Gejala yang dapat
menyertai adalah penipisan kornea, lipatan Descemet, reaksi jaringan uvea (akibat gangguan
vaskularisasi irirs), berupa suar, hipopion, hifema dan sinekhia posterior.
Biasanya kokus gram positif, stafilokokus aureus dan streptokokus pneumoni akan memberikan
gambaran ulkus yang terbatas, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih abu-abu pada anak
ulkus yang supuratif. Daerah kornea yang tidak terkena tetap berwarna jernih dan tidak terlihat
infiltrasi sel radang.

Pada mata kanan pasien ditemukan leukoma. Leukoma adalah suatu bercak putih porselen yang
tampak dari jarak jauh. Leukoma ini merupakan jaringan parut yang dihasilkan dari proses
penyembuhan peradangan pada bagian kornea yang lebih dalam.
Ulkus kornea menyebabkan terjadinya kekeruhan pada kornea; permukaan kornea tampak tidak
licin. Kekeruhan pada kornea pasien berwarna putih kelabu, keruh dengan batas tidak jelas dan
permukaan tidak licin. Kornea yang normal berwarna jernih dan transparan, tidak ada
vaskularisasi. Permukaan kornea yang tidak licin menandakan adanya defek pada permukaan
kornea akibat hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan. Tejadinya
kematian jaringan permukaan kornea pada pasien ini disebabkan oleh exposure sehingga
permukaan kornea menjadi kering. Karena kekeringan, permukaan kornea mudah mengalami
trauma dan iritasi kronis, karena jaringan lapisan epitel kornea tidak mendapatkan suplai nutrisi
dari air mata yang seharusnya terus-menerus membasahi permukaan kornea. Dengan demikian
kematian jaringan sangat mudah terjadi. Setelah ada kematian jaringan, maka terjadi proses
inflamasi yang ditandai dengan adanya infiltrat yang membuat kornea menjadi keruh. Prognosis
pada pasien ulkus kornea pada umumnya baik, tergantung pada ukuran dan dalamnya ulkus,
pengobatan dan faktor-faktor pencetus.

KESIMPULAN

Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan
kornea.Leukoma yaitu bercak putih seperti porselen yang tampak dari jarak jauh, yang
merupakan jaringan sikatrik setelah penyembuhan proses radang pada kornea yang lebih dalam.
Pengobatan umumnya untuk ulkus kornea adalah dengan sikloplegik, antibiotika yang sesuai
dengan sediaan topikal, dan pasien dirawat bila mengancam perforasi, pasien tidak dapat
memberi obat sendiri, tidak terdapat reaksi obat, dan perlunya obat sistemik. Pengobatan atau
terapi pada ulkus kornea bertujuan untuk menghalagi hidupnya bakteri dengan antibiotika, dan
mengurangi reaksi radang dengan steroid. Prognosis pada umumnya baik, tergantung pada
ukuran dan dalamnya ulkus, pengobatan dan faktor-faktor pencetus.
 

REFERENSI

1.      Ilyas,S., 2008 Penuntun Ilmu Penyakit Mata, 3rdEd. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.

2.      Wijana, N., 1993, Ilmu Penyakit Mata 3rdEd. Jakarta

3.      Vaughan, D. & Asbury, T., 2000 Oftalmologi Umum, 14thEd. Widya Medika, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai