1
publik dan berbagai konstruksi teks adalah hanya itu yang mampu diakses oleh
masyarakat Bali; dan hal itu sebenarnya panggung palsu dan teks-teks yang juga palsu.
Ketika para calon pejabat (para politikus Bali) tampil di ruang publik dan
berbicara tentang ”ajeg Bali”, misalnya, rakyat menerima ”kesejukan” dan ”harapan
kemuliaan”, dan ”rasa bangga”. Karena panggung politik publik itu palsu maka rakyat
Bali menerima teks-teks/wacana-wacana bohong. Karena akses rakyat terbatas dan
bahkan berjarak dengan pemain politik, teks-teks/wacana-wacana bohong tersebut
disulap menjadi kebenaran. Buku ini memberi pembaca ruang akses yang lebih luas.
Karena itulah, kita tahu ternyata, ”ajeg Bali” tersebut sama sekali bukan konsep murni
pelestarian kebudayaan Bali. Ajeg Bali adalah agenda perorangan yang dijadikan milik
bersama/milik publik melalui daya dukung media massa. Ajeg Bali adalah agenda yang
sebenarnya sangat mengejutkan: (1) swiping di agenda teratas, (2) agar lebih banyak
ada orang Bali dalam pemerintahan, (3) otonomi khusus bagi Bali (hal. 75). Inilah inti
wacana ajeg Bali yang sebenarnya. Jabaran-jabaran ajeg Bali di publik palsu atau
konsep ajeg Bali telah diinterpretasi sesuai dengan kebutuhan. Buku ini memberi kita
satu pandangan yang sama sekali lain dengan konstruksi-konstruksi teks/wacana di
ruang publik. Inilah sumbangan penting buku ini. Selama ini kita hanya tahu bahwa
ajeg Bali adalah pelestarian budaya Bali, sebagaimana hal itu pernah diperjuangkan
oleh Prof. Mantra (mantan Gubernur Bali), yang diwujudkan dalam Pesta Kesenian
Bali.
Kita berharap, pada bab VIII, ”Melampaui Ajeg Bali” akan memperoleh kajian
yang mendalam tentang sikap Bupati Jemberana (I Gede Winasa), yang dengan tegas
melawan kesombongan konsep ajeg Bali. Kita tahu, sikap I Gede Winasa sungguh tidak
ada dalam kerangka ajeg Bali. Sikap yang sangat kritis. Sayang sekali komunalisme Bali
yang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan lama yang berkonotasi mitologis-adat
(harmoni-harmoni yang dipaksakan), tidak bisa menerima sikap kritis I Gede Winasa.
Sementara itu, di panggung politik publik (panggung penuh kebohongan dan
kesombongan itu) dilemparkan kembali wacana tandingan: isu agama. Dalam hal ini
teks-teks ”bahwa ia telah beralih agama” dikontraskan dengan ”orang Bali adalah
Hindu”. Sekali lagi, sikap kritis tidak jalan: apa hubungan agama dengan jabatan
bupati? Karena sikap I Gede Winasa yang tidak masuk dalam ”kerangka ajeg Bali”
akhirya, kemajuan-kemajuan I Gede Winasa memimpin Jemberana seolah tidak ada
artinya. Tapi itulah yang dikonstruksi di panggung politik publik dan tidak demikian
halnya dengan apa yang dirasakan oleh rakyat Jemberana di panggung politiknya
sendiri: panggung rakyat.
Sehubungan dengan preman di sekitar kekuasaan, buku ini memberi kita
penjelasan yang lumayan. Kehadiran para preman atau peranan pecalang dalam
kegiatan-kegiatan politik, sering membingungkan kita. Ternyata, menurut buku ini
politik atau politisi memang bekerja sama dengan preman, ”...tetapi sekarang
Puspayoga tampaknya mengandalkan preman untuk menyelesaikan masalahnya” (hal.
56). Preman adalah perangkat untuk melakukan kontruksi teks atau membangun tekan-
tekanan di panggung politik: meredam suara-suara kritis, sebelum suara-suara itu usai.
Preman bertugas melakukan mobilisasi massa dan menciptakan ”sandiwara-sandiwara”
untuk mendapatkan legitimasi masyarakat.
Sesungguhnya masyarakat merasa tidak nyaman dengan peranan preman dalam
kegiatan politik. Buku ini memberi jawaban, mengapa politisi tidak bertindak tegas
terhadap preman-preman yang mengancam rasa nyaman-aman masyarakat? Inilah
2
keluhan masyarakat. Ternyata, preman dan kekuasaan itu atau preman dengan politisi
itu berpasangan. Tidak disadari bahwa kehadiran preman di panggung-panggung
politik mengurangi keterlibatan rakyat dalam politik. Jika hal itu ada maka pilihannya
adalah demokrasi elektoral (demokrasi yang tidak berdasarkan pada ketulusan tetapi
terjadi karena paksaan-paksaan). Yang berperan dalam pemaksaan-pemaksaan itu
adalah preman yang dimobilisasi jasanya oleh politisi.
Buku ini juga memberi kita satu pandangan bagaimana caranya melihat aktivitas
politik. Politik bukan milik rakyat. Politik milik sedikit orang kaya yang memiliki ambisi
berkuasa. Politik adalah panggung ekspresi atau panggung citra. Politik tidak jauh
berbeda dengan gaya hidup atau life style. Sayang sekali dalam kenyataan ini, rakyat
dilibatkan. Rakyat sebenarnya tidak tahu-menahu lebih-lebih rakyat yang apatis atau
rakyat yang diformat secara komunal-adat; rakyat yang tidak individual tetapi rakyat
dalam gerakan bersama atau individu-individu yang ditransformasi dalam
”kebersamaan”.
Di atas semua itu, buku ini tidak beranjak dari persoalan klasik Bali. Bali yang
dilukiskan sebagai cagar budaya dan telah masuk ke kancah dilematika nasional dan
internasional; identitas-identitas lama (kasta, seni, bahasa, agama, adat) yang semakin
tidak terjangkau atau tergantikan oleh identitas-identitas baru yang tidak bisa ditolak.
Yang patut dipertanyakan (dan itu juga tidak ditemukan dalam buku ini) adalah
benarkan orang Bali merasa terancam? Apakah rasa terancam itu tidak suatu konstruksi
belaka yang kelak akan mengisolasi orang Bali (seperti ilustrasi hal. 99)? Ada kesan,
buku ini menegaskan bahwa isolasi Bali (penolakan pendatang, menjadikan Bali sebagai
tanah Hindu: bersih dari agama dan etnik lain-kecuali wisatwan, orang Bali harus
mengambil segala kerja) adalah sama dengan ajeg Bali.