PENDAHULUAN
Bahasa Jawa Ludruk (BLJ) terutama dipakai di pentas atau di dalam siaran
sandiwara ludruk. Akan tetapi, harus diingat bahwa pemakaian ragam bahasa ini,
BJL lebih tepat dipakai untuk bahasa yang digunakan di dalam sandiwara ludruk,
sedangkan di luar pentas atau siaran nama yang lebih tepat digunakan ialah bahasa
Jawa (BJ) dialek Surabaya. Penggunaan nama BJL dimaksudkan untuk lebih
Anggapan dasar kajian atau pembicaraan ini ialah bahwa BJL memiliki
membedakannya dengan kenyataan yang ada pada BJ ragam baku (BJB) atau BJ
yang dipakai di Sala dan Yogya. Oleh karena itu, metode deskriptif komparatif
suatu bentuk kata merupakan bentuk khas BJL, digunakan buku Baoesastra
Djawa (Kamus Bahasa Jawa) yang dihimpun oleh W.J.S. Poerwadarminta (1939)
sebagai pegangan. Apabila dibicarakan sebuah kata BJL, misalnya, maka untuk
mengetahui bagaimana kata itu di dalam kamus, di belakang kata itu disertakan
pada penggunaan kosa katanya, yakni BJnB menggunakan kosa kata baik yang
tidak dikenal dalam BJB maupun yang hanya dikenal sebagai BJ kasar. Lebih
lanjut dikatakannya bahwa BJnB ditandai dengan adanya variasi fonologis, seperti
pergeseran /i/ menjadi /e/ dan /u/ menjadi /o/ sebagaimana yang terdapat di dalam
dilakukan penulis berjudul Kajian Bentuk dan Lafal Kata Bahasa Jawa Ludruk
Bogor. Penelitian setebal 93 halaman ini membahas masalah bentuk dan lafal kata
BJL. Mengingat luasnya materi yang dibahas, maka cuplikan ini hanya
juga di dalam pertunjukan ketoprak dan wayang orang di Sala dan Yogya dapat
dikenal pemakaian BJ dialek Sala Yogya, maka di dalam sandiwara ludruk pun
kepada masyarakat di seluruh pelosok tanah air, dan lebih dari itu kegiatan ini
mengungkapkan khasanah kesenian daerah Jawa Timur. Tak pelak lagi kegiatan
ini merupakan petunjuk baik bagi pelestarian BJL. Ludruk memang kesenian
rakyat. Maka dari itu, bahasa yang digunakan pun bahasa rakyat. Dapat dikatakan
pulalah rakyat Jawa Timur, terutama rakyat Surabaya dan sekitarnya, bercakap-
cakap. Oleh karena itu, tepat sekali jika dikatakan bahwa BJL adalah pencerminan
BJ dialek Surabaya.
Jangan dikira bahwa penggunaan BJL ini hanya dilakukan oleh rakyat
jelata. Lapisan atas pun ternyata juga menggunakan ragam ini. Kepala daerah
ini. Kalaupum digunakan BI, logat Jawa Timuran ini pun masih tampak dalam
1) Yakapa negara kita bisa maju nek rakyate gak gelem melok giat membangun?
‘Bagaimana negara bisa maju kalau rakyatnya tidak mau ikut bergiat
membangun?’
4
2) Nek rakyate mlarat, kate mangan rasane gak mentala nguntal sega
sakpulukan. ‘Kalau rakyatnya melarat, mau makan rasanya tidak sampai hati
3) Sedolor-sedolor tani kabeh, wekasku mek loro, sepisan ojok congkrah ambek
meningkat terus’.
[nambotgae] adalah kosa kata khas BJL, yang dipakai oleh pejabat di dalam
pidatonya. D samping itu, diseling juga bahasa pemimpin itu dengan pemakaian
Sala Yogya kata-kata dengan bentuk dan lafal seperti itu tidak ada. Yang ada
ialah: kepriye [kpriye], ora [ora], melu [mElu], arep [arp], sedulur-sedulur
beberapa kata yang berbeda sama sekali, ada juga lafal dan bentuk kata dengan
dengan kenyataan yang terdapat di dalam BJB. Ciri-ciri itu ialah adanya:
sebagai berikut. Lambang [O] untuk mengucapkan /o/ seperti terdapat pada kata
apa [OpO]. Lambang [o] untuk mengucapkan /u/ tertutup seperti yang ada pada
kata empun [mpon]. Lambang [N] untuk mengucapkan /ng/ seperti terdapat pada
nggih [Ngeh]. Lambang [n] dipergunakan untuk melafalkan /ny/ pada kata
nyambutgae [nambotgae]. Lambang [D] untuk /d/ lingual yang di dalam pedoman
ejaan BJ digunakan /dh/, misalnya yang terdapat pada kata padha [pODO].
Lambang [E] dipakai untuk bunyi /e/ pada kata melok [mElO?]. Lambang [e]
untuk mengucapkan bunyi /e/ dan bunyi /i/ tertutup seperti terdapat pada kata
mering [mereN]. Lambang [?] untuk bunyi /k/ misalnya yang ada pada kata melok
dan entek [ntE?]. Sementara itu, [e] pepet tidak memakai lambang pelafalan. Jadi,
6
pada kata empun dan entek seperti dikemukakan di atas /e/ tidak dilambangkan,
ragam krama desa BJ dialek Surabaya. Pada kalimat a) dhite [Dite] ‘uangya’
berasal dari dhuwit [Duwet] + -e. Bentuk ragam krama-nya yang benar ialah
benar telas [tlas]. Nggo [Ngo] ‘dipakai untuk’ yang benar kangge [kaNge].
Pada b) bentuk nggih [Ngeh] ‘ya’ ragam krama-nya yang benar ialah
[poron] ‘mau’ yang benar purun [puron]. Dospundi [dOspundi] yang benar
kados pundi [kadOspundi]. Male [male] ‘lagi’ yang benar malih [maleh].
mangke [maNke]. Nek [nE?] ‘kalau’ yang benar menawi [mnawi]. Ditrima
ragam krama, lebih-lebih krama inggil ‘BJ ragam halus sekali’, menunjukkan
bahwa BJL hanya menggunakan dua ragam. Di dalam BJB digunakan tiga
dikemukakan beberapa kata lainnya yang merupakan kosa kata BJL dan
Mene aku gak mlebu, Ta. ‘Besuk pagi saya tidak masuk, Ta.’
Mene-mene nek kon sida rabi, takkeki kado. ‘Kelak kalau kau jadi kawin,
Gak kliru tah kon iku, Li? ‘Apa kamu tidak keliru, Li?’
Prasamu aku iki arek cilik tah? ‘Kaukira aku ini anak kecil, ya?’
Kon kok wis suwe gak ketok, nang endi? ‘Sudah lama kamu tidak
kelihatan, ke mana?’
Gak katene aku mara nang omahe. ‘Saya tidak akan datang ke rumahnya.’
sembuh.’
10
Ngono-ngono iku lak awake pena dhewe tah sing nggarahi? ’Hal-hal
Apaka se, Sri awakmu kok kuru? ‘Mengapa, Sri badanmu jadi kurus?’
Gak salah gak apa kok mara-mara aku gak direken. ‘Tidak salah tidak apa
Kon wis gak cinta barek aku tah, Cik? ‘Kau sudah tidak cinta lagi padaku,
Cik?’
Kandhakna terus terang, cek genah! ‘Beri tahu terus terang, biar jelas!’
Ngerti aku kon meneng terus, aku cekne ndang mole? ‘Saya tahu mengapa
Cekna talah, wong aku sik kangen mbek kon kok. ‘Biar sajalah, ‘kan aku
Nek kon gak nyepura aku, lak pole rusak awakku. ‘Kalau kau tidak mau
berantakan semua.’
selesai?’
Kon i lo apaka, Dhik, kok sentimen mbek aku saiki. ‘Mengapa. Dik, kau
Terose empun mantep kale kula, kok sakniki kale wong liya? ‘Katanya
Turene boten ajenge rabi-rabi nek boten kale Mas Di. ‘Katanya tidak akan
Kon adoh-adoh nang Jakarta iku telek apa? ‘Kamu jauh-jauh ke Jakarta
mencari apa?’
12
Mboksangkakna aku kate njromusna kon tah, Dhik? Gak katene. ‘Kaukira
Kon kate mbojuk aku, ya? ‘Kamu akan mendustai saya, ya?’
Arek wedok kok dijarna dolin nganti bengi, gak apik, Bu! ‘Anak
Kon sik cilik, laapan ajar-ajar dolin barang? ‘Kamu masih kecil,
Blaen, Kir, bojone Bowo digawa uwong. ‘Celaka, Kir, istri Bowo dibawa
orang.’
Maeng mula kon lak wis takkandhani tah. ‘Dari tadi kau ‘kan sudah saya
beri tahu.’
Kon jok lali mbek aku ya, Dhik! ‘Kau jangan lupa padaku ya, Dik!’
Koen lak wis ngerti nek aku tetep trisna barek koen. ‘Kau ‘kan sudah tahu
Namun, dari ke-24 kata itu kiranya sudah dapat diperoleh gambaran yang jelas
tentang adanya perbedaan kosa kata antara kedua dialek itu. Ke-24 kata itu
oleh Ayatrohaedi. Jadi, ke-24 kata itu merupakan kata-kata ciptaan baru yang
Di antara ke-24 kata itu dapat pula dilihat adanya kata-kata yang
dalam dialek atau bahkan bahasa lain. Kata mari, misalnya, di dalam BJ dialek
dalam BJ dialek Surabaya berarti ‘anak’, tetapi di dalam bahasa Madura (BM)
berarti ‘sabit’ (= BJB arit). Kata-kata mari, mbojuk, dan arek, yang terdapat di
dalam dialek atau bahasa lain dengan pengertian yang berbeda, rupanya
Tentang kata mene ‘besok pagi’ rupanya kata ini dipinjam langsung
BJK kata itu berarti ‘sekarang’, pada waktu ini, atau ‘segera’ (Wojowasito,
1970: 225). Sementara itu, di dalam bahasa Bali terdapat kata mani dengan
pengertian yang sama dengan mene (Kusuma, 1956: 30). Jika kemudian di
14
dalam BJ dialek Sala Yogya kata mene itu berubah menjadi sesuk, boleh jadi
peristiwanya sama dengan ilir dalam BJ dialek Surabaya (dalam BJK irir)
menjadi tepas dalam BJ dialek Sala Yogya, yang keduanya sama artinya
dengan ‘kipas’.
menambahkan fonem /w/, /u/, atau /uw/ pada kata sifat. Contoh:
peristiwa gedhe menjadi gedhi ‘besar sekali’, atau fonem /a/ menjadi /i/, pada
peristiwa abang [abaN] ‘merah’ menjadi abing [abiN] ‘merah sekali’, atau /a/
[O] menjadi /u/, pada peristiwa lara [lOrO] menjadi laru [lOru] ‘sakit sekali’.
[Nonowa]:
[Nonowa]:
Nek ana apa-apane, bapakmua sing tanggung jawab? ‘Kalau ada apa-
a]:
Kon kok ngantuk ae, rokoka? ‘Kamu kelihatan mengantuk, mau rokok?’
[spolowa]:
[gelota]:
Kon kok menthelengi aku terus, wani geluta? ‘Kamu memandangi aku
penambahan /a/ [O], misalnya pada kata lungguh [luNgoh] ‘duduk’ + /a/ [O]
menjadi lungguha [luNguO] ‘duduklah’ sebab pada peristiwa ini /a/ [O]
dalam BJB yang ada hanya penambahan fonem /a/ [O], yang di dalam BI
Iku artine (= BJB tegese) kon gak norut ambek wong tuwa. ‘Itu artinya kau
Rakyat desa kudu melok nyurahna tenaga (= BJB nyambut gawe) kanggo
membangun desanya.’
rakyat dengan segera akan lebih mengenal kosa kata BI. Akan tetapi, bagi
hal yang perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Yang terang bentuk-bentuk
bentuk demikian merupakan ciptaan-ciptaan baru sebagai salah satu ciri khas
Demikianlah beberapa ciri umum yang ada pada BJL, yang berbeda
sekali dengan yang terdapat di dalam BJB. Akan tetapi, perlu diingat bahwa
sekalipun berbeda dengan dialek lain, secara umum pemakai dialek lain
lain, seperti yang terlihat di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta,
D. SIMPULAN
2) Terdapat pemakaian kosa kata tertentu seperti: yakapa, mene, dan arek yang
5) Di dalam BJL terdapat pemakaian bentuk baur BJ-BI seperti perhatekna dan
nyurahna.
DAFTAR PUSTAKA
Pustaka Balimas.