Anda di halaman 1dari 7

Assignment Lecture #1:

“Global Imbalance”

Oleh:

Arrie Wibowo W. (0906653932)


Astrida Renata L. (0906653970)
Devita Putri Hetasari (0906654020)
Maria Asri P. Sibuea (0906654323)

-November 2010-
MAGISTER MANAJEMEN
UNIVERSITAS INDONESIA
What is global imbalance?
Global imbalance mengacu kepada ketidakseimbangan curret account di level
global adalah kondisi di mana terjadi defisit current account yang besar dan surplus
pada negara berkembang dalam 10 tahun terakhir. Imbalance terpusat pada defisit
current account yang besar pada USA yang hampir mendekati 6% GDP di tahun
2006 dan surplus pada negara lainnya terutama pada negara berkembang di Asia,
Timur Tengah, dan Rusia. Oleh karena itu dapat dikatakan defisit current account
adalah nilai negatif pada net saving. Global imbalance memungkinkan agregat
demand global untuk mengejar agregat supply global karena adanya integrasi RRC
dan India dengan perekonomian dunia. Adanya gap antara saving dan investment
(defisit pada negara yang defisit current account-nya dan surplus pada negara yang
surplus current account-nya) juga bisa diartikan sebagai global imbalance. (Charles
Adams and Donghyun Park, 2009)

How did start?


Terdapat banyak perdebatan mengenai penyebab terjadinya imbalance namun
beberapa pakar sepakat bahwa penyebab utama imbalance berasal dari turunnya
saving USA. Pada tahun 2005 defisit current account USA diperkirakan mencapai
6,4 % GDP. Namun pada sisi lain terdapat surplus current account pada Jepang,
Cina, ekonomi Asia, dan negara penghasil minyak. Akibatnya tingkat USA saving
net mendekati 1% GDP. Baik saving pada swasta dan negeri berkontribusi pada
penurunan ini. Pada sektor swasta penurunan ini disebabkan oleh turunnya net
saving pada rumah tangga sehingga menyebabkan efek positif yang substansial
pada kesejahteraan (dipicu oleh asset price bubble dan melambungnya harga real
estate), juga akibat dari antisipasi kenaikan income dari positive productivity shock,
dan population aging. Rendahnya real interset rate dan tax incentive juga berperan
dalam menurunnya saving pada rumah tangga. Di sisi lain, pergeseran surplus
budget ke defisit sektor publik berkontribusi menurunkan national saving rate USA.
Selain itu, naiknya harga minyak menyebabkan surplus yang besar pada negara
penghasil minyak dan defisit pada USA sehingga dapat disimpulkan bahwa
memburuknya nilai current account USA disebabkan turunnya private saving dalam
jangka panjang, naiknya harga minyak, dan fiscal expansion. (IMF World Economic
Outlook (September 2005) and ECB staff calculations)

Is it sustainable?
Global imbalance merupakan isu global yang berdampak pada segala negara.
Resolusi dan pendekatan multirateral dapat membantu mengurangi risiko
konfrontasi antara Cina dan AS yang dianggap berperan besar pada global
imbalance. Namun global imbalance tetap akan berlanjut jika negara surplus tidak
berusaha mengurangi surplus current account-nya.
Sedangkan pada argumen yang optimis disebutkan bahwa, sementara
pembentukan external debt AS belum pernah terjadi sebelumnya, tidak ada yang
dapat mencegah negara itu dari membuat comparable current account yang defisit
pada short- atau mid-term. Mereka bahkan menyarankan bahwa deficit current
account AS bisa mencapai $ 2,1 milyar pada 2012, dan dunia masih akan
membiayai itu. Namun, mereka mengakui bahwa defisit tidak dapat dipertahankan
"selamanya". Dalam rangka untuk menurunkan defisit current account sampai
"tingkat berkelanjutan", katakanlah 3% dari GDP, US Dollar harus terdepresiasi lagi
sebanyak 23% dari level Januari 2007. Sekitar 28% depresiasi yang berlaku efektif
diperkirakan diperlukan untuk mencapai hasil yang sama. Namun, model ini kurang
fokus secara eksklusif pada pendekatan elastisitas dan tidak termasuk efek deflasi
di pasar asing sebagai mana mata uang asing menghargainya.
Dalam banyak kutipan artikel disebutkan bahwa, penyesuaian yang diperlukan
untuk membawa current account defisit AS ke tingkat “sustainable” adalah yang
terdiri dari kombinasi real-income dan efek harga relatif. Mereka berpendapat
bahwa 20% atau lebih dari penyesuaian exchange rate pada trade-weighted basis
mungkin perlu didasarkan pada asumsi yang wajar.
Jadi dapat disimpulkan bahwa defisit tidak bisa dipertahankan tanpa batas
waktu, tetapi sementara current account defisit AS sebesar 3% berkelanjutan,
bagaimana jalannya menuju ke sana dari situasi saat ini masih kontroversial.
Kebijakan switching-expenditure atau menaruh perhatian kepada income-output
effect merupakan beberapa saran yang dapat diajukan.

Why China should or should not revalue her currency?


China tidak perlu revaluasi mata uangnya. Menurut Linda Lim, Professor of
Corporate Strategy and International Business di University of Michigan Business
School, ketika saat ini dolar melemah terhadap euro, begitu pula dengan yuan. Ini
merupakan sifat alami currency peg. China bukannya "memanipulasi" mata
uangnya untuk membuat ekspornya murah. Sebaliknya, China hanya
mempertahankan nilai mata uangnya terhadap dolar seperti yang telah
dilakukannya selama sembilan tahun terakhir. Ini justru merupakan kelemahan
dolar yang telah menyebabkan yuan juga menjadi lemah.
Masih menurut Lim, impor Cina terlalu kecil untuk memberi dampak besar
terhadap ekonomi makro AS. Cina menyumbang kurang dari 10% dari seluruh
impor AS, dan impor Cina hanyalah kurang dari 2% PDB AS. Menyalahkan Cina
untuk jutaan pekerjaan yang hilang di AS selama resesi terakhir dan saat ini
"pemulihan pengangguran" merupakan hal yang keliru.
Kenaikan yuan justru dapat menghasilkan biaya sebanyak pekerjaan di AS
dapat menghasilkan uang. AS berasumsi bahwa revaluasi yuan akan mengurangi
impor AS dari Cina dan menyebabkan surplus perdagangan Cina dengan Amerika
Serikat. Tapi hal ini mengabaikan peran penting bahwa "surplus" pendapatan dolar
pada permainan China mendanai defisit anggaran AS yang sangat besar dan
dengan demikian menjaga suku bunga rendah. Cina sekarang merupakan Negara
kedua, setelah Jepang, yang membeli US Treasury bills, ketika investasi asing
lainnya ke AS semakin menurun dan menyebabkan dolar melemah.
Dengan kata lain, jika Cina berhenti menerima surplus dolar AS (atas dan di
atas apa yang dibutuhkan untuk impor) dan meminjamkannya ke pemerintah AS,
dolar akan semakin terpuruk dan turut serta membawa yuan, inflasi di As akan
meningkat, begitu juga suku bunga. Biaya dari pekerjaan yang hilang di As akan
semakin besar.
Jika yuan menguat tidak pada suku bunga AS, yuan juga tidak akan semakin
menguat di China. Pertama, revaluasi yuan akan membuat ekspor China lebih
mahal. Sementara ekspor AS hanya 11% dari PDB AS, ekspor China 25% dari PDB
Cina, dan penurunan ekspor akan memperlambat ekonomi secara keseluruhan.
Lebih kritis, peningkatan pengangguran akan mengancam stabilitas sosial di Cina,
di mana diperkirakan 30 juta atau lebih yang sudah keluar dari pekerjaan karena
PHK massal dari reformasi yang sedang berlangsung di perusahaan milik negara
dan penurunan hambatan impor berdasarkan aksesi China ke WTO pada tahun
2001. Kedua kebijakan ini dapat terganggu jika pertumbuhan yang dipicu ekspor
dan penciptaan lapangan kerja diperlambat.
Kedua, perubahan atau pencabutan mematok yuan terhadap dolar saat ini
dapat mengancam ketidakstabilan keuangan di Cina, yang memiliki biaya hutang
yang tinggi, sistem keuangan negara yang tidak efisien di mana terestimasi bahwa
sepertiga dari seluruh pinjaman tidak dapat diperbaiki.
Untuk China, revaluasi sekarang menimbulkan risiko yang tidak dapat diterima.
Tidak ada yang tahu dengan pasti berapa banyak mata uang yang over-atau under-
valued – estimasi dari under-valuation yuan berkisar dari 10% menjadi 40%. Cina
khawatir jika ia dengan mudah kembali me-‘re-peg’ mata uangnya, ia tidak
meyakinkan pasar keuangan bahwa nilai baru tersebut merupakan nilai
keseimbangan. Hal ini mungkin justru mengundang lebih banyak spekulasi untuk
pergerakan lebih lanjut dari mata uang tersebut, menggoyahkan dan mengecilkan
liberalisasi neraca modal.
Lebih buruk lagi, karena nilai ekuilibrium dolar AS juga tidak diketahui, mungkin
terus turun (terutama jika orang Cina menarik dana dari pasar obligasi AS sebagai
akibat dari pendapatan ekspor mereka yang turun), menyebabkan yuan untuk
sekali lagi menjadi "under-valued "dan memacu tekanan yang lebih besar untuk
revaluasi lebih lanjut. Politik dan ketidakstabilan keuangan di China yang dihasilkan
dari revaluasi yuan saat ini akan merusak sisa mesin utama pertumbuhan ekonomi
dunia – yaitu China sendiri.

Should China adopt a more flexible exchange rate system?


China seharusnya mengadopsi sistem flexible exchange rate. Hal ini adalah
untuk menjembatani kestabilan harga, yang mana merupakan salah satu motif bagi
pembentukan kerjasama moneter suatu regional.
Pada sistem moneter internasional diketahui terjadi suatu ketergantungan, yang
mana didukung oleh fakta bahwa keseimbangan neraca pembayaran (suatu
negara) saling berhubungan satu sama lain. Sehingga apabila satu negara memiliki
neraca perdagangan yang surplus maka negara-negara lain memiliki neraca
perdagangan yang defisit. Jadi suatu negara bergerak menuju surplus atau defisit
yang secara otomatis berpengaruh terhadap negara lain, yang mana ini memiliki
pengaruh di dalam sistem nilai tukar mata uang.
Sistem nilai tukar yang ada sekarang ini terlihat berat sebelah. China disini
memiliki sistem dua tingkat yang dengan ketat mengontrol capital account (bagian
neraca pembayaran yang terdiri atas arus keuangan internasional jangka pendek
dan jangka panjang). Sebagian besar mata uang lainnya tidak membedakan antara
current account (bagian neraca pembayaran yang terdiri atas ekspor dan impor
barang serta jasa) dan capital account. Ini membuat mata uang China, renminbi,
undervalued dan menjamin surplus perdagangan yang besar bagi China.
Kita tahu bahwa China telah muncul sebagai sebuah negara yang memimpin
dunia. Jika ia gagal memenuhi tanggung jawab kepemimpinan ini, sistem mata
uang global akan jatuh dan bersama itu jatuh pula ekonomi dunia. Bagaimanapun,
surplus perdagangan Cina pasti akan berkurang, tapi akan jauh lebih baik bagi Cina
jika itu terjadi akibat meningkatnya taraf hidup rakyat Cina, bukan akibat
menyurutnya ekonomi global.
Karena pemerintah China merupakan pihak yang diuntungkan secara langsung
dari surplus mata uang, seharusnya memiliki pandangan jauh ke depan untuk
menerima penurunan surplus mata uang serta mengakui keuntungan yang
tergantikan dengan mengkoordinasi kebijakan ekonominya dengan negara-negara
lainnya di dunia. Karena China perlu mengakui bahwa negara mereka tidak bisa
terus tumbuh tanpa memberikan perhatian yang lebih besar kepada kepentingan
mitra-mitra dagangnya.
Why Asian countries should focus on intra-regional trade?
Negara Asean memang seharusnya fokus pada intra-regional trade. Karena
intra-regional trade bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi diantara
negara-negara Asean. Seperti adanya kerjasama AFTA yang memiliki tujuan untuk
meningkatkan daya saing produk-produk Asean di pasar dunia dan menciptakan
pasar seluas-luasnya untuk menstimulus peningkatan FDI (Foreign Direct
Investment) di kawasan Asia Tenggara, dengan cara penghapusan tarif bea masuk
di negara-negara anggota ASEAN dianggap sebagai sebuah katalisator bagi efisiensi
produk yang lebih besar dan kompetisi jangka panjang, serta memberikan para
konsumen kesempatan untuk memilih barang-barang berkualitas.
Sehingga dalam intra-regional trade diharapkan dapat membuat tingkat
ketergantungan ekonomi yang tinggi, dan dapat mengikat perkembangan ekonomi
yang lebih luas serta dapat memperoleh manfaat ekonomi yang jauh lebih besar.
Karena pada awalnya inti kerjasama perdagangan ini adalah dengan
menggunakan ASEAN sebagai wilayah percobaan sebelum melangkah ke
persaingan global, yang mana kita lakukan secara bertahap. selain itu, semangat
kerja sama ekonomi ASEAN lainnya adalah menjadikan kawasan itu sebagai basis
produksi regional di mana setiap negara memproduksi barang tertentu dan saling
bertukar produk untuk memasok kebutuhan negara yang lain.

What kind of structural reforms need to be implemented by the surplus


countries, especially China, and the deficit countries, especially the U.S.?
Permasalahan GI membutuhkan kerjasama secara global terutama dalam
perencanaan dan pelaksanaan global policy dengan tujuan mendapatkan kembali
pertumbuhan ekonomi global ke jalur pertumbuhan yang kuat, berkelanjutan dan
seimbang. Hal ini dapat dilakukan dengan upaya bersama dalam pelaksanaan
kebijakan, termasuk konsolidasi fiskal yang ditargetkan untuk mengurangi utang
pemerintah dalam jangka menengah dan jangka panjang, beberapa penataan
terhadap nilai tukar dan reformasi struktural yang akan mendorong pertumbuhan
dan kesejahteraan. Structural reforms yang dapat dilakukan dengan fiscal
consolidation diterapkan dengan tujuan menginduksi konsumsi sehingga
mengurangi saving pada surplus countries dan menginduksi peningkatan saving
dan pengurangan konsumsi pada deficit countries. Hal tersebut dapat dilakukan
terlebih lanjut dengan cara: Amerika Serikat (deficit countries), meningkatkan
saving melalui konsolidasi fiskal dan peningkatan private saving serta
meningkatkan sektor eksportnya. Saving dapat diinduksi dengan cara melakukan
beberapa perubahan pada sistem perpajakan, menghapuskan distortionary tax
incentives, dan melakukan pengetatan pada masalah eksternalitas dari adanya
penggunaan bahan bakar fosil; Euro, melalui structural reforms yang bertujuan
untuk meningkatkan produktivitas dengan cara pro-competition product dan labour
market reforms sehingga akan berpeluang untuk meningkatkan potensi
pertumbuhan dan mengurangi pengangguran; Cina (surplus countries) melalui
reformasi kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan domestik dengan cara
meningkatkan social safety net termasuk kedalamnya adalah program pensiun dan
asuransi kesehatan, memperluas penyediaan layanan kesehatan, memfasilitasi
akses kredit terhadap household dan memperkuat kondisi lingkungan bisnis
(terutama sektor jasa) dan finansial.
(http://www.oecd.org/dataoecd/54/20/45652168.pdf).

What financial regulatory reforms and International Financial Institution


(IFI) reforms need to be taken to help resolve the Global Imbalance?
Financial regulatory reforms telah mencapai kesepakatan melalui Basel III
reforms yang menitikberatkan pada permasalahan capital requirements (ditetapkan
pada level 7%-9%) untuk international banking sebagai sistem penyangga
(buffering) resiko. Basel III reforms ini lebih fokus pada systematic risks, yaitu pada
sistematic liquidity issue dan kemudian melakukan pengukuran secara
komprehensif sehingga penetapan level yang cukup tinggi ini akan memberikan
perlindungan resiko yang lebih baik terutama terhadap resiko akibat aktivitas
capital market. Selain capital requirements, isu lain yang perlu diperhatikan adalah
derivatives market. Namun, permasalah pada financial regulatory reforms ini adalah
adanya unsur politik yang berperan sehingga perlu sistem kontrol yang baik dalam
proses implementasinya. International financial institution reform yang perlu untuk
diterapkan adalah koordinasi kebijakan fiskal, monetary, dan exchange rate melalui
Mutual Assessment Process. Hal ini dapat dilakukan dengan IMF sebagai pihak
intermediate yang melakukan penilaian terhadap MAP. Dialog yang berfokus pada
stabilitas finansial Asia perlu dilakukan untuk memperkuat financial market Asia.
Selain itu surplus countries perlu berfokus dengan perjanjian moneter internasional
seperti IMF, karena jika tidak negara-negara tersebut (seperti China) akan memiliki
foreign reserves yang terus terakumulasi.

Anda mungkin juga menyukai