Anda di halaman 1dari 130

MATA AJAR

PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN TERINTEGRASI


(MPKT)

BUKU AJAR 1:
LOGIKA, FILSAFAT ILMU,
DAN PANCASILA

oleh

Dr. Irmayanti Meliono, M.Si


Y. P. Hayon, M.Hum
Agnes Sri Poerbasari, M.Si
Dr. Ita Syamtasiah
Dr. Suharto

PROGRAM DASAR PERGURUAN TINGGI


UNIVERSITAS INDONESIA
2009
Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
Terintegrasi

Editor :
Liberty P. Sihombing, S.S., M.A.

Depok, 2009
KATA PENGANTAR

Buku Ajar MPK Terintegrasi Program Dasar Pendidikan Tinggi Universitas Indonesia
merupakan revisi dari Modul MPKT 2004. Tujuan revisi ini ialah menambahkan materi
dan substansi liberal arts serta menyempurnakan materi ajar yang telah ada, yaitu
filsafat, logika, filsafat ilmu, etika, ideologi, Pancasila dan UUD 1945.
Berbagai komentar mengenai materi-substansi modul tersebut telah diterima oleh tim
penulis Buku Ajar MPKT. Komentar kritis dari berbagai pihak menjadi asupan bagi tim
penulis untuk melakukan evaluasi terhadap Modul MPKT yang lama. Perubahan dari
Modul MPK Terintegrasi menjadi Buku Ajar MPK Terintegrasi tahun 2009 ini telah
melalui evaluasi dan koreksi dari teknis hingga ke substansi materi.
Buku Ajar MPKT PDPT UI 2009 ini terdiri atas tiga, yaitu Buku Ajar I: Logika,
Filsafat Ilmu dan Pancasila, Buku Ajar II: Manusia, Ahlak, Budi Pekerti, dan
Masyarakat, dan Buku Ajar III: yaitu Bangsa, Negara, dan Lingkungan Hidup di
Indonesia. Ketiga nya saling berkaitan dan terintegrasi satu dengan lainnya.
Tim penyusun Buku Ajar MPKT 2009 mengucapkan terima kasih kepada para penulis
dan narasumber Modul MPKT 2004, MPKT dan Suplemen 2005, serta Modul MPKT
2006, yaitu Ibu S. Margaretha K., Bapak Suhardjo, Bapak Mudjilan, Bapak
Soerjohardjo, Bapak Chaidir Basrie, Ibu D.T.W. Soebagio, Bapak Didik Pradjoko,
Bapak Kasiyanto, Bapak Kresno Yulianto, Bapak H. Zakky Mubarak, dan Dr. dr. Peni
K.S. Muthalib.
Melalui ide dan pemikiran mereka di modul yang terdahulu, mereka telah memberikan
kontribusi yang besar bagi Buku Ajar MPK Terintegrasi.
Tim penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada Direktur Pendidikan Universitas
Indonesia, Prof. Dr. Multamia RMT Lauder, Mse, DEA, yang telah memfasilitasi
penyusunan dan penerbitan Buku Ajar MPKT 2009 ini, dan kepada Ibu Dra. Miranda
D.Z, M.Psi. serta berbagai pihak yang tidak dapat disebut satu persatu, atas kerja sama
yang baik selama ini.
Tiada gading yang tak retak, begitu juga dengan Buku Ajar MPKT 2009 ini, yang masih
jauh dari sempurna. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
yang budiman sangat diharapkan.

Depok, Agustus 2009


Tim Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ii
Pendahuluan 1
Bab I Filsafat 3
1.1 Sejarah Filsafat 3
1.2 Pengertian Filsafat 5
1.3 Kegunaan Filsafat 8
Bab II Logika 9
2.1 Definisi Logika 9
2.2 Jenis Logika 10
2.3 Kaidah-kaidah Berpikir Tepat dan Logis 15
2.4 Kesesatan Berpikir 34
Bab III Filsafat Ilmu 37
3.1 Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan 37
3.2 Revolusi Ilmu Pengetahuan 44
3.3 Pengertian Filsafat Ilmu Pengetahuan 45
3.4 Teori Kebenaran 48
3.5 Paradigma Ilmu Pengetahuan 49
Bab IV Etika 52
4.1 Definisi Etika 52
4.2 Etika Normatif dan Etika Terapan 54
4.3 Kaidah atau Norma Etika 59
4.4 Pentingnya Etika dalam Kehidupan Sehari-hari dan Kehidupan Ilmiah 63
BabV Ideologi 64
5.1 Pengertian Ideologi 64
5.2 Ideologi dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara 68
5.3 Bentuk-bentuk Ideologi 69
5.4 Macam-macam Ideologi 70
5.5 Ideologi-Ideologi dari Asia 82
5.6 Hambatan dan Tantangan dalam Berideologi Pancasila 85
5.7 Refleksi Kritis Terhadap Ideologi 86
Bab VI Pancasila Ditinjau dari Perspektif Keilmuan 88
6.1 Pancasila dan Filsafat Ilmu 88
6.2 Pancasila sebagai Sistem Nilai 93
6.3 Nilai Pancasila 95
6.4 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional 100
6.5 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional
dalam Bidang Poleksosbudhankam 105
Bab VII Undang-Undang Dasar 1945 109
7.1 Sejarah Terbentuknya UUD 1945 109
7.2 Pelaksanaan UUD 1945 111
7.3 Reformasi 113
7.4 Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 115
PENUTUP 119
KATA-KATA PENTING 121
DAFTAR PUSTAKA 123
PENDAHULUAN

Buku ajar ini merupakan kumpulan tulisan tentang berbagai pokok bahasan dan
subpokok bahasan yang membahas tentang filsafat, logika, filsafat ilmu, etika, ideologi,
Pancasila, dan UUD 1945. Meskipun bidang ilmu tersebut apabila dilihat secara
harafiah nampaknya saling bebeda, namun dalam perbedaannya memunculkan
keterpaduan yang logis dan sistematis. Keterpaduan tersebut dimaksudkan agar para
pembaca dapat melihat, mengerti dan memahami dengan jernih dan kritis terhadap
persoalan atau permasalahan yang muncul dan berkaitan dengan bidang tersebut.
Buku Ajar ini mengantarkan pada mahasiswa, fasilitator, narasumber ataupun
pembaca lain untuk belajar dan mengkaji tentang berbagai persoalan dalam kehidupan
manusia dan persoalan ilmiah yang berkaitan dengan dua tema besar yaitu filsafat dan
Pancasila. Pemahaman tentang Liberal Arts telah ada pada Buku Ajar 1, baik secara
eksplisit, maupun implisit, khususnya uraian mengenai filsafat dan logika, bahkan
dikembangkan ke persoalan filsafat ilmu dan ideologi. Dalam pembahasan tentang
filsafat tercakup uraian tentang filsafat itu sendiri, logika, filsafat ilmu dan etika. Untuk
itu pembahasan awal dalam modul ini adalah mengkaji tentang filsafat. Mengapa
pertama kali harus filsafat? Filsafat membawa kita untuk bersikap kritis terhadap
berbagai fenomena atau gejala di sekitar manusia. Sikap kritis berarti mengajak kita
untuk melihat dan mencari sesuatu dengan sikap jernih, sikap arif dan rasional. Pada
akhirnya sikap kritis tersebut membawa kita pada pencarian akan pengetahuan yang
lebih luas. Keinginan untuk mengetahui sesuatu akan menjadi lebih besar sehingga kita
sering bertanya dengan lebih mendalam terhadap sesuatu atau pengetahuan itu. Sikap
kritis juga mengarahkan kita untuk melakukan dialog dengan orang lain, teman,
masyarakat di luar lingkungan kita untuk membahas berbagai persoalan atau fenomena
yang sedang kita hadapi. Berdialog berarti kita mau membuka diri, belajar menghargai
pendapat orang lain serta berargumentasi (mengemukakan pendapat kita) dengan sikap
rasional.
Logika membawa pada kita untuk memiliki penalaran yang tepat dan lurus.
Berpikir tepat dan lurus, artinya pemikiran manusia berlandaskan pada kebenaran secara
rasional. Selain pernyataan yang benar dalam berlogika, muncul pula penalaran yang
lain, yaitu kesesatan berpikir (fallacy) atau pernyataan yang dianggap salah. Agar kita
tidak terjebak dalam kesesatan berpikir maka kita perlu belajar logika dengan baik.
Selain itu kaidah dalam logika atau hukum berpikir menunjukan bahwa melalui rasio
atau akal budi kita dapat membuat berbagai pernyataan yang benar dan tepat melalui
bahasa. Di dalam pemahaman yang lebih luas dan komprehensif, bahasa dapat dianggap
sebagai pengungkapan pengalaman kehidupan manusia. Dengan demikian dapatlah
dimengerti bahwa bahasa memegang peranan penting dalam penalaran manusia atau
berlogika.
Filsafat ilmu mengajak kita untuk secara kritis mempelajari ciri dan cara kerja
ilmu pengetahuan. Landasan filsafat ilmu adalah berpikir kritis, penalaran yang logis,
tepat, sistematis, serta rasional. Itu semua diperoleh ketika kita mempelajari filsafat dan
logika. Melalui filsafat ilmu, kita mengetahui bahwa landasan dalam proses kerja ilmiah
berada pada dua aspek, aspek teoretis dan aspek praksis (aplikatif). Aspek teoretis
berkaitan dengan pembenaran metodologis (context of justification) sedang aspek
praksis melibatkan penemuan teknologi (context of discovery). Kegiatan mahasiswa
mempelajari secara kritis proses kerja ilmiah memerlukan sikap tanggung jawab secara
etis atau moral. Apa artinya itu? Tanggung jawab mahasiswa secara etis atau moral
menuntut kedewasaan berpikir tentang “yang baik” ketika ia sedang belajar di
perguruan tinggi. Perilaku seperti plagiat, mencontek, berbuat onar, dan menggunakan
narkoba tidak dibenarkan secara etis (seperti halnya menurut agama dan hukum).
Studi tentang etika mengajar kita untuk harus peduli dan mendengarkan suara
hati, bebas bertanggungjawab, memahami apa itu hak dan kewajiban. Itu semua
menjadi sangat berharga dalam kehidupan kita manakala dapat diterapkan secara positif
pada perilaku kita yang mengarah pada perilaku yang baik.
Di samping itu, kita juga harus mempelajari pengertian, berbagai bentuk, dan
macam ideologi seperti kapitalisme, kolonialisme, liberalisme, sosialisme, feminisme,
dan ekologisme yang berasal dari Barat. Memahami berbagai ideologi, baik yang
berasal dari Asia maupun Barat akan memberikan nilai tambah bagi kita dalam
menghayati dasar negara kita. Pancasila merupakan ideologi yang terbuka untuk
dipahami dan dikritisi dengan arif, sehingga akan menjadi pegangan dan pola berpikir
bagi kita dan bagi generasi muda Indonesia.
Sebagai warga masyarakat dari bangsa Indonesia, kita juga harus mempelajari
pandangan hidup serta dasar negara kita, yaitu Pancasila. Pancasila harus dipelajari,
dipahami secara kritis, kita tidak boleh terjebak dalam pandangan harafiah dan sempit.
Pancasila akan menjadi sangat menarik apabila kita mempelajari tidak hanya
keberadaannya sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang selalu muncul dalam
setiap penataran saja, tetapi mempelajarinya secara keilmuan dan metafisis.
Mempelajari Pancasila secara metafisis artinya mengkaji bahwa di “belakang” kata
Pancasila terkandung gagasan atau ide tentang berbagai nilai (value) yang ada seperti
nilai moral, nilai kebersamaan, nilai kerukunan, nilai patriotisme, dan nilai persatuan.
Untuk itulah pemahaman Pancasila secara filosofis dan keilmuan sangat penting bagi
kita semua, agar kita memaknainya dengan arif dan kritis, sehingga terungkap melalui
perilaku yang bermakna (meaningfull action) pula.
Pembahasan mengenai UUD 1945, sejarah, pelaksanaan UUD 1945, reformasi
dan amandemen UUD 1945 melengkapi uraian tentang Pancasila. Pemahaman yang
kritis dan arif terhadap berbagai ideologi di luar Pancasila akan memberikan nilai
tambah bagi kita dalam menghayati dasar negara kita.
PENDAHULUAN

Buku ajar ini merupakan kumpulan tulisan tentang berbagai pokok bahasan dan
subpokok bahasan yang membahas tentang filsafat, logika, filsafat ilmu, etika, ideologi,
Pancasila, dan UUD 1945. Meskipun bidang ilmu tersebut apabila dilihat secara
harafiah nampaknya saling bebeda, namun dalam perbedaannya memunculkan
keterpaduan yang logis dan sistematis. Keterpaduan tersebut dimaksudkan agar para
pembaca dapat melihat, mengerti dan memahami dengan jernih dan kritis terhadap
persoalan atau permasalahan yang muncul dan berkaitan dengan bidang tersebut.
Buku Ajar ini mengantarkan pada mahasiswa, fasilitator, narasumber ataupun
pembaca lain untuk belajar dan mengkaji tentang berbagai persoalan dalam kehidupan
manusia dan persoalan ilmiah yang berkaitan dengan dua tema besar yaitu filsafat dan
Pancasila. Pemahaman tentang Liberal Arts telah ada pada Buku Ajar 1, baik secara
eksplisit, maupun implisit, khususnya uraian mengenai filsafat dan logika, bahkan
dikembangkan ke persoalan filsafat ilmu dan ideologi. Dalam pembahasan tentang
filsafat tercakup uraian tentang filsafat itu sendiri, logika, filsafat ilmu dan etika. Untuk
itu pembahasan awal dalam modul ini adalah mengkaji tentang filsafat. Mengapa
pertama kali harus filsafat? Filsafat membawa kita untuk bersikap kritis terhadap
berbagai fenomena atau gejala di sekitar manusia. Sikap kritis berarti mengajak kita
untuk melihat dan mencari sesuatu dengan sikap jernih, sikap arif dan rasional. Pada
akhirnya sikap kritis tersebut membawa kita pada pencarian akan pengetahuan yang
lebih luas. Keinginan untuk mengetahui sesuatu akan menjadi lebih besar sehingga kita
sering bertanya dengan lebih mendalam terhadap sesuatu atau pengetahuan itu. Sikap
kritis juga mengarahkan kita untuk melakukan dialog dengan orang lain, teman,
masyarakat di luar lingkungan kita untuk membahas berbagai persoalan atau fenomena
yang sedang kita hadapi. Berdialog berarti kita mau membuka diri, belajar menghargai
pendapat orang lain serta berargumentasi (mengemukakan pendapat kita) dengan sikap
rasional.
Logika membawa pada kita untuk memiliki penalaran yang tepat dan lurus.
Berpikir tepat dan lurus, artinya pemikiran manusia berlandaskan pada kebenaran secara
rasional. Selain pernyataan yang benar dalam berlogika, muncul pula penalaran yang
lain, yaitu kesesatan berpikir (fallacy) atau pernyataan yang dianggap salah. Agar kita
tidak terjebak dalam kesesatan berpikir maka kita perlu belajar logika dengan baik.
Selain itu kaidah dalam logika atau hukum berpikir menunjukan bahwa melalui rasio
atau akal budi kita dapat membuat berbagai pernyataan yang benar dan tepat melalui
bahasa. Di dalam pemahaman yang lebih luas dan komprehensif, bahasa dapat dianggap
sebagai pengungkapan pengalaman kehidupan manusia. Dengan demikian dapatlah
dimengerti bahwa bahasa memegang peranan penting dalam penalaran manusia atau
berlogika.
Filsafat ilmu mengajak kita untuk secara kritis mempelajari ciri dan cara kerja
ilmu pengetahuan. Landasan filsafat ilmu adalah berpikir kritis, penalaran yang logis,
tepat, sistematis, serta rasional. Itu semua diperoleh ketika kita mempelajari filsafat dan
logika. Melalui filsafat ilmu, kita mengetahui bahwa landasan dalam proses kerja ilmiah
berada pada dua aspek, aspek teoretis dan aspek praksis (aplikatif). Aspek teoretis
berkaitan dengan pembenaran metodologis (context of justification) sedang aspek
praksis melibatkan penemuan teknologi (context of discovery). Kegiatan mahasiswa
mempelajari secara kritis proses kerja ilmiah memerlukan sikap tanggung jawab secara
etis atau moral. Apa artinya itu? Tanggung jawab mahasiswa secara etis atau moral
menuntut kedewasaan berpikir tentang “yang baik” ketika ia sedang belajar di
perguruan tinggi. Perilaku seperti plagiat, mencontek, berbuat onar, dan menggunakan
narkoba tidak dibenarkan secara etis (seperti halnya menurut agama dan hukum).
Studi tentang etika mengajar kita untuk harus peduli dan mendengarkan suara
hati, bebas bertanggungjawab, memahami apa itu hak dan kewajiban. Itu semua
menjadi sangat berharga dalam kehidupan kita manakala dapat diterapkan secara positif
pada perilaku kita yang mengarah pada perilaku yang baik.
Di samping itu, kita juga harus mempelajari pengertian, berbagai bentuk, dan
macam ideologi seperti kapitalisme, kolonialisme, liberalisme, sosialisme, feminisme,
dan ekologisme yang berasal dari Barat. Memahami berbagai ideologi, baik yang
berasal dari Asia maupun Barat akan memberikan nilai tambah bagi kita dalam
menghayati dasar negara kita. Pancasila merupakan ideologi yang terbuka untuk
dipahami dan dikritisi dengan arif, sehingga akan menjadi pegangan dan pola berpikir
bagi kita dan bagi generasi muda Indonesia.
Sebagai warga masyarakat dari bangsa Indonesia, kita juga harus mempelajari
pandangan hidup serta dasar negara kita, yaitu Pancasila. Pancasila harus dipelajari,
dipahami secara kritis, kita tidak boleh terjebak dalam pandangan harafiah dan sempit.
Pancasila akan menjadi sangat menarik apabila kita mempelajari tidak hanya
keberadaannya sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang selalu muncul dalam
setiap penataran saja, tetapi mempelajarinya secara keilmuan dan metafisis.
Mempelajari Pancasila secara metafisis artinya mengkaji bahwa di “belakang” kata
Pancasila terkandung gagasan atau ide tentang berbagai nilai (value) yang ada seperti
nilai moral, nilai kebersamaan, nilai kerukunan, nilai patriotisme, dan nilai persatuan.
Untuk itulah pemahaman Pancasila secara filosofis dan keilmuan sangat penting bagi
kita semua, agar kita memaknainya dengan arif dan kritis, sehingga terungkap melalui
perilaku yang bermakna (meaningfull action) pula.
Pembahasan mengenai UUD 1945, sejarah, pelaksanaan UUD 1945, reformasi
dan amandemen UUD 1945 melengkapi uraian tentang Pancasila. Pemahaman yang
kritis dan arif terhadap berbagai ideologi di luar Pancasila akan memberikan nilai
tambah bagi kita dalam menghayati dasar negara kita.
BAB I
FILSAFAT

Pada bab ini akan dibahas tentang arti filsafat, dan sejarahnya, mulai dari
kemunculan filsafat di Yunani dan perkembangannya. Melalui pemahaman tentang
kurun waktu maka kita dapat mengetahui perkembangan filsafat ilmu pengetahuan
hingga saat ini serta definisi, objek dan metode, pola berpikir kritis, sistematis yang
dipakai dalam belajar filsafat serta dan kegunaannya.

1.1 SEJARAH FILSAFAT


Filsafat yang dibahas dalam tulisan ini mula-mula merujuk pada penelusuran
secara historis tentang perkembangan filsafat yang dimulai pada masa Yunani Kuna.
Pada masa itu (abad IV – VI SM), berfilsafat selalu dianggap sebagai upaya manusia
dalam mencari kebijaksanaan. Upaya ini tercermin dari etimologi kata filsafat,
philosophia, yang artinya senang, suka (philos) akan kebijaksanaan (sophia). Bagi
orang Yunani, senang akan kebijaksanaan selalu diarahkan kepada kepandaian yang
bersifat teoretis dan praktis. Kepandaian bersifat teoretis adalah upaya manusia mencari
pengetahuan yang penuh dengan gagasan dan idea atau konsep yang tentunya sejalan
dengan cara atau alam pikiran mereka. Pada mulanya gagasan (idea) bangsa Yunani
diarahkan untuk memahami alam semesta ini dengan cara membuat atau menghadirkan
mitos-mitos. Di dalam mitos-mitos itulah kekuatan alam semesta berada pada
genggaman para penguasanya yaitu para Dewa. Dengan demikian manusia (bangsa
Yunani) sangat tergantung pada alam pikiran yang bersifat magis bahkan dianggap tidak
rasional, karena hanya di tangan para Dewalah dunia dengan segala isinya itu hadir
diantara mereka.
Kepandaian yang bersifat praktis adalah upaya mencari pengetahuan yang
diarahkan untuk menemukan kegunaan pengetahuan itu. Apabila pengetahuan itu
bermanfaat, maka peran pengetahuan sangatlah penting bagi manusia. Bagi bangsa
Yunani, pengetahuan praktis adalah pengetahuan yang mendasarkan pada suatu
keterampilan dan memiliki tujuan tertentu. Ketrampilan atau keahlian membuat suatu
bangunan, suatu karya sastra, suatu karya musik, atau seni suara, dan keterampilan olah
tubuh atau berolahraga. Sebenarnya di dalam pengetahuan praktis tersebut, terdapat
upaya bangsa Yunani untuk menemukan cara bagaimana pengetahuan atau
keterampilan praktis itu muncul, berperan, berfungsi, dan berguna bagi kepentingan
manusia secara optimal.
Dalam perkembangannya kemudian, bangsa Yunani mengalami perubahan
dalam cara berpikir, cara untuk mendapatkan pengetahuan yang berbeda dengan yang
telah ada, yaitu mereka mulai mengembangkan daya penalaran yang lebih rasional dan
logis. Penalaran tersebut diaktualisasikan atau dalam pencarian sebab terdalam atau
“sebab pertama” dari alam semesta ini. Perubahan cara berpikir dari mitis ke logos
(rasional) memunculkan juga pandangan para filsuf yang berusaha menguak rahasia
alam dengan berbagai pendapat atau argumen yang lebih rasional. Filsuf alam yaitu
Thales, misalnya yang berpendapat bahwa asas di dunia ini adalah air, sementara
Anaximandros mengatakan asas itu adalah “yang tidak terbatas” (apeiron). Anaximenes
menyebut udara sebagai asas pertama. Beberapa filsuf lain yang secara tidak langsung
mewariskan pengetahuan pada umat di dunia ini ialah Plato (dengan dunia idea),
Aristoteles (dengan teori materi bentuk—hilemorfisme), Phytagoras (dengan dasar
perhitungan aritmatika dan dalil Phytagoras), dan Hipocrates (ahli pengobatan yang
dianggap sebagai Bapak Kedokteran).
Masa berikutnya adalah Abad Pertengahan (Middle Ages, abad I—IX). Awal
Abad Masehi ini ditandai oleh munculnya para pujangga Kristen yang mendasarkan
pengetahuan keagamaan secara teologis. Alam pemikiran manusia di masa itu bersifat
teosentris dan imago dei. Bersifat teosentris berarti pengetahuan manusia didasarkan
pada ajaran teosentris atau agama, sedang imago dei berarti bahwa manusia dianggap
sebagai citra Tuhan, berperilaku dan bertindak haruslah sesuai dengan keinginan Tuhan
dan ajaran keagamaan. Pada Abad Pertengahan terjadi pertukaran kebudayaan antara
bangsa Timur dengan bangsa Barat. Kebudayaan Arab mewarisi banyak karya Yunani
Klasik. Banyak filsuf Arab seperti Ibnu Sina sangat berminat pada ajaran Aristoteles
dan ia memberikan dasar ilmu pengetahuan kedokteran kepada Barat. Karya-karya
bangsa Yunani, khususnya ajaran Aristoteles, banyak diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab oleh para filsuf Arab, dan dari sanalah para filsuf Barat menerjemahkan dan
mempelajarinya serta mengembangkannya ke dalam pemikiran para filsuf Barat.
Setelah Abad Pertengahan, muncul Abad Renaissance (X—XVII). Abad ini
merupakan abad yang sangat memperhatikan dan berpusat pada “kekuatan” manusia,
tidak hanya kekuatan yang bersifat fisik, melainkan kemampuan akal budi manusia.
Pengertian Renaissance atau kelahiran kembali diartikan sebagai lahirnya atau
dihidupkannya kebudayaan Yunani Kuno dan Roma. Pada awalnya Abad Renaissance
ditandai dengan gerakan kesenian, yaitu suatu gerakan yang mencoba menghadirkan
karya-karya seni yang bernafaskan atau bergaya Yunani Kuno dan Roma. Berbagai
karya seni seperti seni pahat, seni lukis, seni bangun – arsitektur, dan kesusasteraan
sangat mewarnai kehidupan bangsa Eropa pada waktu itu. Gerakan kesenian itu disebut
juga Gerakan Seni Humanisme (memuncak pada abad XIV), yang pada karya-karya
seni itu bercirikan harmonisasi di setiap bidang atau bagian, baik dari struktur, bentuk,
ragam hias maupun estetisnya. Ciri lainnya adalah tampilnya nilai-nilai kemanusiaan,
karya seni dan manusia dilihat secara alamiah atau natural serta nilai keagungan, yaitu
menampilkan karya seni dalam kemegahan dengan membangun bangunan ataupun
patung, lukisan yang berukuran besar, tinggi, dan penuh dengan ragam hias/detil yang
sangat beragam. Dari gerakan seni humanisme ini manusia Renaissance mulai
mengadakan penyelidikan tentang pengetahuan yang mengarah pada kekuatan alam
semesta. Timbullah minat untuk menyelidiki ilmu pengetahuan kealaman dengan
keinginan yang sangat besar untuk menguak rahasia alam. Alam semesta diamati, dan
diselidiki dengan ketelitian yang sangat cermat yang didukung oleh pemikiran yang
sangat rasional, bahkan sangat kuantitatif. Inilah awal mula munculnya ilmu fisika, ilmu
kimia, ilmu kedokteran, dan biologi. Beberapa tokoh Abad Renaissance seperti
Pertrarca, Bocasio, Eramus, Michelangelo, Leonardo da Vinci, Galileo Galilei,
Copernicus, dan J. Keppler sangat berperan dalam perkembangan seni dan ilmu
pengetahuan kealaman di dunia ini.
Abad berikutnya adalah Abad Pencerahan (Aufklaerung) (abad XVIII). Puncak
kejayaan bangsa Eropa ditandai dengan hadirnya masa Aufklaerung (yang disebut juga
masa Pencerahan atau Fajar Budi). Abad ini merupakan kelanjutan dari masa
Renaissance, kemampuan akal budi manusia diaktualisasikan dengan munculnya ilmu
pengetahuan kealaman yang didukung oleh berbagai percobaan yang berlandaskan
aspek metodologis dan akademis. Faktor akademis yang telah dirintis sejak Abad
Renaissance memunculkan kaum intelektual di berbagai universitas di Eropa, yang
mencoba menggabungkan unsur teoretis dengan unsur praktis. Mereka berupaya agar
ilmu pengetahuan memiliki peran dan berguna bagi orang banyak. Gerakan intelektual
berkembang cepat di kawasan Eropa, seperti di Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda.
Salah satu sumbangan bagi kemajuan khasanah ilmu pengetahuan adalah munculnya
kaum ensiklopedis yang berusaha menyusun pemikiran-pemikiran tentang ilmu
pengetahuan, dan kesenian ke dalam sejumlah buku yang kemudian lebih dikenal
sebagai ensiklopedi. Salah satu ensiklopedi yang tertua adalah ensiklopedi Britanica.
Tokoh yang sangat terkenal dalam bidang fisika adalah Newton, David Hume tokoh
Empirisme dari Inggris, serta Voltaire, Montesquieu dan J.J. Rousseau yang berasal dari
Prancis, mereka adalah para ahli di bidang kenegaraan dan politik.
Setelah masa Aufklaerung, muncul masa pasca-Aufklaerung yang mulai
berlangsung pada abad XIX hingga abad XXI ini. Masa ini ditandai oleh kemajuan ilmu
pengetahuan yang sangat pesat. Ilmu filsafat telah berkembang sebagai ilmu filsafat
yang otonom, artinya memiliki objek, metode atau pendekatan yang disesuaikan dengan
perkembangan ilmu filsafat yang tetap berbasis ke-kritisan-nya dalam menganalisis
kajiannya. Sedang ilmu pengetahuan berkembang menjadi tiga kelompok besar, yaitu
ilmu pengetahuan kealaman, ilmu budaya, dan ilmu pengetahuan sosial. Ketiga cabang
ilmu pengetahuan tersebut berkembang pula sehingga memiliki banyak cabang ilmu.
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan manusia, maka pendekatan yang sifatnya
kajian lintas ilmu, atau multidisiplin, menyebabkan ilmu pengetahuan satu dengan
lainnya saling bekerja sama untuk menghadapi kebutuhan (juga intelektualitas) manusia
yang semakin kompleks. Untuk itulah para ilmuwan seakan-akan berlomba
menciptakan teknologi baru dalam mengantisipasi arus globalisasi yang semakin cepat.

1.2 PENGERTIAN FILSAFAT


Untuk menjawab pertanyaan misalnya, “Apa itu Filsafat?” tidaklah mudah.
Lebih mudah menjawab pertanyaan, “Apa itu Antropologi?” atau “Apa itu ilmu
kedokteran?” Menjawab pertanyaan itu orang dengan mudah dapat mengatakan bahwa
antropologi adalah ilmu yang mengkaji manusia dari aspek budaya, dan ilmu
kedokteran adalah ilmu yang mengkaji manusia dari aspek kesehatan. Pertanyaan “Apa
itu Filsafat?” mengajak kita untuk menjawabnya secara panjang lebar; kita tidak dapat
menjawabnya secara singkat. Mengapa? Pertanyaan itu sendiri–Apa itu filsafat?–
sebenarnya telah mengajak kita berfilsafat. Berfilsafat berarti berusaha mengajak orang
untuk bertanya. Dalam bertanya orang kadangkala menunjukkan sikap heran, skeptis,
atau ragu-ragu terhadap sesuatu yang ditanyakan. Berfilsafat dapat diartikan sebagai
upaya orang untuk mengetahui sesuatu dengan metode atau cara atau sikap tertentu.
Upaya mengetahui sesuatu harus dianggap sebagai suatu usaha manusia yang terus-
menerus untuk menggali sesuatu sampai ke akar-akarnya. Kecenderungan manusia
untuk mempertanyakan sesuatu secara terus menerus menyebabkan manusia menjadi
lebih kritis, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap sesuatu yang ingin
diketahuinya.
Oleh karena itu kita menelusuri pengertian filsafat lalu memberikan penjelasan
dan merumuskannya secara tepat. Pertama, filsafat dapat diartikan sebagai pengetahuan
yang mempelajari berbagai fenomena kehidupan manusia secara kritis. Kedua, filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari berbagai pemikiran manusia secara kritis.
Ketiga, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari dan mencari hakekat dari
berbagai fenomena kehidupan manusia. Keempat, filsafat adalah ilmu pengetahuan
yang bersifat kritis refleksif dalam penyelidikan terhadap objek kajian yang berkaitan
dengan aspek ontologis (realitas konkret), aspek epistemologis (kebenaran
pengetahuan), dan aksiologis (nilai atau value tentang kebaikan dan keindahan).
Secara historis, filsafat berasal dan didasari oleh latar belakang kebudayaan
bangsa Yunani. Arti philosophia ataupun filsafat secara etimologis (philos dan sophos)
berarti senang atau suka mencari kebijaksanaan ataupun kebenaran. Di masa lalu
“kebijaksanaan” ini oleh bangsa Yunani diartikan mencari pengetahuan yang berguna
bagi manusia ataupun mencoba mencari suatu kebenaran dalam proses berpikir
manusia. Pengetahuan yang bersifat praktis diarahkan misalnya bagaimana menjadi
manusia yang sehat, untuk itu olah raga atau olah tubuh sangatlah diminati. Lihat saja
bagaimana mula-mula Olimpiade (pertandingan olahraga dunia) itu muncul. Mulanya
untuk menjaga agar badan tetap sehat, dikembangkan cara untuk membinanya, seperti
misalnya dengan berlari. Mencari kebenaran dalam proses berpikir manusia sudah lama
dikenal oleh bangsa Yunani. Sebagai contoh, berdialog adalah upaya mencari kebenaran
dalam berkomunikasi. Socrates mengajarkan, dalam berdialog kita harus bersikap aktif,
dan dialektis dinamis, dan kita harus seperti seorang bidan yang membantu persalinan
seorang ibu (techne maieutike), membantu mengeluarkan segala persoalan yang ada dan
untuk itu “yang benar” dan “yang baik” haruslah dijunjung tinggi.
Di sisi lain, seiring dengan perkembangan manusia dan kemajuan ilmu
pengetahuan maka filsafat dapat dilihat dan dikaji sebagai suatu ilmu (science), yaitu
ilmu filsafat. Sebagai ilmu, filsafat haruslah memiliki objek dan metode yang khas dan
bahkan dapat dirumuskan secara sistematis. Ilmu filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
mengkaji seluruh fenomena yang dihadapi manusia secara kritis refleksif, integral,
radikal, logis, sistematis, dan universal (semesta). Lalu, apa sebenarnya fenomena
manusia itu, apa saja gejala yang terlihat ataupun berada di sekitar manusia? Fenomena
tersebut dapat diarahkan pada tema besar pada ilmu filsafat, yaitu ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Dengan demikian fenomena tersebut sangat berkaitan
dengan ketiga tema ilmu filsafat.
Tema yang pertama, ontologi, mengkaji tentang keberadaan sesuatu, membahas
tentang “ADA” (onta), yang dapat dipahami baik secara konkret, faktual maupun secara
epistemologi ataupun metafisis. Yang berkaitan dengan “ADA” misalnya wujud-wujud
fisik seperti alam, manusia benda-benda dan wujud yang epistemologi atau konseptual
misalnya Tuhan, penyebab pertama, gagasan ataupun idea-idea. Tema yang kedua,
epistemologi, membahas tentang pengetahuan (episteme) yang akan dimiliki manusia
apabila ia membutuhkannya. Pada dasarnya manusia selalu ingin tahu tentang sesuatu,
untuk itulah ia mencarinya dan epistemologi beranjak dari beberapa pertanyaan tentang
apa sebenarnya batas-batas pengetahuan itu dan seperti apa? Struktur pengetahuan itu
apa? Kebenaran pengetahuan itu apa? Tema yang ketiga, aksiologi, membahas tentang
kaidah norma dan nilai yang ada pada manusia. Norma-norma itu berada pada perilaku
manusia, berkaitan dengan “yang baik” dan “yang buruk”, yakni bagaimana seharusnya
menjadi manusia yang baik, dan ukuran atau norma-norma dan nilai-nilai apa yang
mendasarinya. Berbagai pertimbangan atas dasar moral dan etika diberlakukan pada
perilaku manusia tentang “yang baik” dan “yang buruk”, sedangkan pengalaman
tentang keindahan bagi seseorang menjadi semacam “ukuran” estetika dalam melihat
yang indah. Jadi, jelaslah bahwa semua hal yang berkaitan dengan ontologi,
epistemologi, dan aksiologi sangat erat dan menjadi sesuatu yang mengakar pada
manusia sesuai dengan tingkat perkembangannya secara intelektual.
Sebagai suatu ilmu, filsafat memiliki sasaran atau objek untuk dikaji. Objek
penelitian filsafat haruslah dilihat dari dua aspek. Aspek pertama adalah objek materi
(material), dan aspek kedua adalah objek forma (formal). Objek materi adalah bahan
atau sesuatu yang menjadi kajian penelitiannya. Materi atau bahan kajian dapat bersifat
sangat umum atau sangat luas sehingga orang belum dapat memfokuskannya secara
lebih terperinci. Untuk itulah aspek kedua, yaitu objek forma, berperan. Objek forma
adalah fokus perhatian seseorang terhadap objek materi yang dihadapinya atau, dengan
kata lain, salah satu aspek atau tema tertentu dalam penelitiannya. Bagi ilmu filsafat,
objek forma muncul dalam bentuk disiplin atau cabang ilmu filsafat tertentu. Sebagai
contoh, filsafat manusia adalah bentuk forma ilmu filsafat, karena manusia menjadi titik
pusat atau fokus perhatian, dan manusia akan dikaji dalam keterkaitan antara tubuh dan
jiwa. Contoh yang lain, filsafat ilmu pengetahuan adalah objek forma dari ilmu filsafat
karena permasalahan ilmu pengetahuan secara internal (cara kerja ilmiah) dan eksternal
(penemuan baru dalam kegiatan ilmiah) menjadi pusat perhatian dari ilmu filsafat dan
akan dikaji secara kritis dan filosofis.
Bagi ilmu filsafat, metode atau pendekatan terhadap kajiannya sangat penting.
Dengan metode yang tepat dan khas, orang diharapkan dapat memahami persoalan
filsafat atau problema filosofis dengan lebih baik. Berbagai metode yang sifatnya masih
sangat umum dapat membantu orang untuk menjelaskan dan memahami tema-tema
filsafat (ontologi, epistemologi, dan aksiologi). Metode-metode itu antara lain adalah
metode kritis-refleksif, metode dialektik-dialog (dari Socrates), metode fenomenologis
(Husserl), dan metode dialektika (Hegel).
Metode kritis refleksif adalah cara untuk memahami suatu objek atau
permasalahan dengan melihatnya secara mendalam dan mendasar untuk kemudian
merenungkannya kembali. Metode ini membutuhkan proses pemikiran yang terus-
menerus sampai seseorang telah menemukan kebenaran atau telah puas dengan apa
yang dikajinya. Selama ia masih meragukan dan ingin bertanya tentang sesuatu itu,
maka metode kritis refleksif tetap digunakannya.
Metode dialektik-dialog dari Socrates adalah cara untuk memahami sesuatu atau
objek kajiannya dengan melakukan dialog. Dialog berarti berkomunikasi dengan dua
arah; artinya, ada seseorang yang berbicara dan ada orang yang mendengarkan. Dalam
pembicaraan yang terus-menerus dan mendalam diharapkan orang dapat menyelesaikan
segala problema yang ada. Dialektik berarti proses pemikiran seseorang yang
mengalami perkembangan karena mempertemukan antara ide yang satu dengan ide
yang lainnya. Tujuan metode dialektik-dialog ini adalah mengembangkan cara
berargumentasi di mana posisi yang sifatnya dua arah itu dapat diketahui dan
dihadapkan satu dengan yang lainnya.
Metode fenomenologi, yang dikemukakan oleh seorang filsuf bernama Edmund
Husserl, adalah metode yang digunakan untuk melakukan persepsi (mengetahui dan
memahami) terhadap semua fenomena atau gejala yang berada di sekeliling manusia
dan untuk kemudian menemukan hakekat (eidos) dari seluruh fenomena itu. Eidos
diperoleh dengan cara mereduksi atau menanggalkan semua fenomena yang dianggap
tidak relevan dengan keinginan (kesadaran/rasionalitas) sehingga ditemukan fenomena
murni. Fenomena murni inilah yang disebut atau dikenal sebagai esensi dari fenomena
yang telah ada atau yang semula.
Metode yang bersifat dinamis, yaitu pendekatan induktif dan deduktif
diperkenalkan oleh seorang filsuf Yunani, Aristoteles. Metode ini mengajak kita
bernalar secara dinamis dan logis. Penalaran induktif (mengambil kesimpulan dari yang
sifatnya khusus ke yang umum) menawarkan suatu proses dinamis berpikir tentang
suatu realitas yang dihadapi sehingga mampu mengambil kesimpulan sangat tepat dari
apa yang telah diamati dan dipikirkan. Penalaran deduktif adalah penalaran yang
mencoba menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat umum ke yang khusus.
Metode dialektika ala Hegel adalah cara untuk memahami dan memecahkan
persoalan atau problema dengan berdasarkan tiga elemen, yaitu tesis, antitesis dan
sintesis. Tesis adalah suatu persoalan atau problem tertentu sedang antitesis adalah
suatu reaksi atau tanggapan ataupun komentar kritis terhadap tesis (argumen dari tesa)
tersebut. Apabila kedua elemen itu saling dihadapkan maka akan muncul sintesis, yaitu
kesimpulan. Metode ini bertujuan untuk mengembangkan proses berpikir yang dinamis,
dan memecahkan persoalan yang muncul karena adanya argumen yang saling
berkontradiksi atau berhadapan itu sehingga dicapai kesepakatan yang rasional sifatnya.
1.3 KEGUNAAN FILSAFAT
Suatu pertanyaan yang menggelitik adalah apakah ada manfaat atau faedahnya
orang belajar filsafat. Pertanyaan itu hendaknya dijawab dari berbagai sudut pandang.
Pertama, filsafat kita dudukkan sebagai sebuah sarana, sebuah kata benda. Dengan
melihatnya sebagai sebuah kata benda, maka filsafat muncul berupa suatu tindakan
tertentu atau perilaku tertentu dari seseorang yang di dalamnya termuat pandangan-
pandangan hidup ataupun keyakinannya ataupun ide-ide serta gagasan-gagasan. Dalam
keilmuan, filsafat dapat dilihat sebagai sebuah sarana (tools) bagi ilmu pengetahuan
untuk memecahkan berbagai problem secara kritis. Oleh karena itu semua orang dapat
mempelajarinya dan menggunakannya sebagai tool dalam kegiatan ilmiah. Kedua,
filsafat kita lihat sebagai suatu action–meaningfull action—yang dianggap sebagai
sebuah kata kerja. Sebagai sebuah kata kerja, maka yang berperan adalah manusia yang
sangat aktif mengisi tindakannya atau perilakunya (yang telah dipenuhi pandangan
hidup dan ide tertentu) dengan bermakna. Dengan bermakna berarti seseorang harus
bekerja keras untuk menyelesaikan segala masalah yang dihadapinya baik secara
individual maupun dalam kehidupan bermasyarakat (karena memiliki pandangan
tertentu, misalnya sikap arif dan moralitas yang baik). Ia dapat mengaktualisasikan
kehidupan bermaknanya dalam bentuk tertentu, misalnya dengan memiliki pekerjaan
tertentu, memiliki keluarga, atau memiliki teman secara bertanggungjawab dan
bermartabat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berfilsafat sangatlah erat dengan
kehidupan sehari-hari. Untuk itulah kita dapat menentukan faedah apa yang dapat kita
peroleh apabila kita belajar filsafat. Faedah pertama, filsafat atau berfilsafat mengajak
orang untuk bersikap arif dan berwawasan luas terhadap berbagai problem yang
dihadapi manusia sehingga mampu memecahkan problem tersebut dengan cara
mengidentifikasinya memudahkannya dalam memperoleh jawaban-jawabannya
tersebut. Faedah kedua, berfilsafat dapat membentuk pengalaman kehidupan seseorang
secara lebih kreatif atas dasar pandangan hidup, dan ide-ide yang muncul karena
keinginannya. Faedah ketiga, filsafat dapat membentuk sikap kritis seseorang dalam
menghadapi permasalahan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan
ilmiah.
BAB II
LOGIKA

Pada bab ini akan dikaji pengertian dan jenis logika. Logika sangat terkait
dengan pengalaman kebahasaan seseorang, yang dilakukan baik secara lisan maupun
tertulis. Bagaimana merumuskan sesuatu dengan tepat dan benar diuraikan dalam
bagian Definisi. Dibahas juga proposisi dan bentuk proposisi disertai dengan proses
penalaran baik secara langsung maupun tidak langsung, dan hukum silogisme. Proses
penalaran manusia sering mengalami “kesesatan berpikir” karena adanya pelanggaran
terhadap hukum silogisme, karena faktor bahasa, dan karena tidak adanya relevansi
antara premis dan kesimpulannya.

2.1 DEFINISI LOGIKA


Istilah logika, dari segi etimologis, berasal dari kata Yunani logos yang
digunakan dengan beberapa arti, seperti ‘ucapan, bahasa, kata, pengertian, pikiran, akal
budi, ilmu’ (Poespoprodjo, 1981: 2). Dari kata logos kemudian diturunkan kata sifat
logis yang sudah sangat sering terdengar dalam percakapan kita sehari-hari. Orang
berbicara tentang perilaku yang logis sebagai lawan terhadap perilaku yang tidak logis,
tentang tata cara yang logis, tentang penjelasan yang logis, tentang jalan pikiran yang
logis, dan sejenisnya. Dalam semua kasus itu, kata logis digunakan dalam arti yang
kurang lebih sama dengan ‘masuk akal’; singkatnya, segala sesuatu yang sesuai dengan,
dan dapat diterima oleh akal sehat.
Dengan hanya berdasar kepada arti etimologis itu, apa sebetulnya logika masih
belum dapat diketahui. Agar dapat memahami dengan sungguh-sungguh hakekat logika,
sudah barang tentu orang harus mempelajarinya. Untuk maksud itu, kiranya tepat kalau,
sebagai suatu perkenalan awal, terlebih dahulu dikemukakan di sini sebuah definisi
mengenai istilah logika itu.
Dalam bukunya Introduction to Logic, Irving M. Copi mendefinisikan logika
sebagai suatu studi tentang metode-metode dan prinsip-prinsip yang digunakan dalam
membedakan penalaran yang tepat dari penalaran yang tidak tepat (Copi, 1976: 3).
Dengan menekankan pengetahuan tentang metode-metode dan prinsip-prinsip, definisi
ini hendak menggarisbawahi pengertian logika semata-mata sebagai ilmu. Definisi ini
tidak bermaksud mengatakan bahwa seseorang dengan sendirinya mampu bernalar atau
berpikir secara tepat jika ia mempelajari logika. Namun, di lain pihak, harus diakui
bahwa orang yang telah mempelajari logika–jadi sudah memiliki pengetahuan mengenai
metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir–mempunyai kemungkinan lebih besar
untuk berpikir secara tepat ketimbang orang yang sama sekali tidak pernah berkenalan
dengan prinsip-prinsip dasar yang melandasi setiap kegiatan penalaran. Dengan ini
hendak dikatakan bahwa suatu studi yang tepat tentang logika tidak hanya
memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan mengenai metode-metode dan
prinsip-prinsip berpikir tepat, melainkan juga membuat orang yang bersangkutan
mampu berpikir sendiri secara tepat dan kemudian mampu membedakan penalaran yang
tepat dari penalaran yang tidak tepat. Ini semua menunjukkan bahwa logika tidak hanya
merupakan suatu ilmu (science), tetapi juga suatu seni (art). Dengan kata lain, logika
tidak hanya menyangkut soal pengetahuan, melainkan juga soal kemampuan atau
ketrampilan. Kedua aspek ini berkaitan erat satu sama lain. Pengetahuan mengenai
metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir harus dimiliki bila seseorang ingin melatih
kemampuannya dalam berpikir; sebaliknya, seseorang hanya bisa mengembangkan
keterampilannya dalam berpikir bila ia sudah menguasai metode-metode dan prinsip-
prinsip berpikir.
Namun, sebagaimana sudah dikatakan, pengetahuan tentang metode-metode dan
prinsip-prinsip berpikir tidak dengan sendirinya memberikan jaminan bagi seseorang
dapat terampil dalam berpikir. Keterampilan berpikir itu harus terus-menerus dilatih dan
dikembangkan. Untuk itu, mempelajari logika, khususnya logika formal secara
akademis sambil tetap menekuni latihan-latihan secara serius, merupakan jalan paling
tepat untuk mengasah dan mempertajam akal budi. Dengan cara ini, seseorang lambat-
laun diharapkan mampu berpikir sendiri secara tepat dan, bersamaan dengan itu, mampu
pula mengenali setiap bentuk kesesatan berpikir, termasuk kesesatan berpikir yang
dilakukannya sendiri.

2.2 JENIS LOGIKA


Logika dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa aspek atau sudut pandang.
Di antaranya ialah berdasarkan sumber dari mana pengetahuan logika diperoleh, sejarah
perkembangan, bentuk dan isi argumen, dan proses atau tata cara penyimpulan.

2.2.1 Sumber
Berdasarkan aspek ini kita mengenal adanya dua macam logika, yakni logika
alamiah dan logika ilmiah.
a) Logika Alamiah
Dari nama istilah itu saja sudah tampak apa maksudnya. Setiap manusia, dari
kodratnya, memiliki jenis logika ini justru karena ia adalah makhluk rasional. Sebagai
makhluk rasional, ia dapat berpikir. Hukum-hukum logika yang dibawa sejak lahir ini
memungkinkan manusia dapat bekerja dan bertindak, baik secara spontan maupun
disengaja. Dengan perkataan lain, dengan mendasarkan diri pada akal sehat saja,
manusia mampu berpikir dan bertindak. Tetapi, hukum-hukum logika ini hanya dapat
membantu manusia dalam menghadapi hal-hal keseharian yang bersifat rutin dan
sepele. Bila manusia mulai dihadapkan kepada masalah-masalah yang sulit dan
kompleks, maka logika alamiah dengan hukum-hukum akal sehatnya sudah tidak dapat
diandalkan. Dalam menghadapi masalah-masalah semacam itu manusia dituntut untuk
memiliki pengetahuan yang memadai mengenai hukum-hukum, cara-cara, metode-
metode bagaimana seharusnya bernalar, sehingga dengan demikian baik proses atau
prosedur penalaran maupun kesimpulan yang dihasilkannya betul-betul terjamin
kepastiannya. Untuk maksud itulah manusia membutuhkan logika ilmiah.
b) Logika Ilmiah
Uraian di atas memperlihatkan bahwa kelemahan-kelemahan logika alamiah
akan dapat diatasi bila manusia memiliki logika ilmiah. Jenis logika kedua ini mampu
membekali manusia dengan prinsip-prinsip, norma-norma, dan teknik-teknik tertentu,
yang apabila dipatuhi secara sungguh-sungguh, maka ketepatan proses penalaran
beserta keabsahan kesimpulan dapatlah dipertanggungjawabkan.
Dengan demikian, berbeda dengan logika alamiah yang didapat secara kodrati,
logika ilmiah justru harus diperoleh dengan mempelajari dan menguasai hukum-hukum
penalaran sebagaimana mestinya. Kemudian, dengan menerapkan hukum-hukum
tersebut secara terus-menerus, setiap bentuk kekeliruan penalaran dapat dihindari.

2.2.2 Sejarah Perkembangan


Ditinjau dari segi pertumbuhan dan perkembangannya, logika biasanya dikenal
dalam dua jenis, yakni logika klasik dan logika modern

a) Logika Klasik
Jenis logika ini merupakan ciptaan Aristoteles (384—322 seb. M), salah seorang
filsuf besar yang hidup di zaman Yunani kuno. Dia adalah orang pertama yang
melakukan pemikiran sistematis tentang logika. Karena alasan itu, logika ciptaannya itu
disebut juga logika Aristoteles atau logika tradisional. Namun demikian, ia sendiri tidak
menggunakan istilah logika, melainkan istilah analitika dan dialektika. Dengan analitika
dimaksudkan penyelidikan terhadap argumen-argumen yang bertolak dari putusan-
putusan yang benar; sedangkan dialektika adalah penyelidikan terhadap argumen-
argumen yang bertolak dari putusan-putusan yang masih diragukan kebenarannya.
Bagi Aristoteles logika bukanlah suatu ilmu di antara ilmu-ilmu lain. Hal ini
tampak dari organon (yang berarti ‘alat’), judul yang ia berikan kepada kumpulan
karangannya tentang logika. Menurut dia, logika merupakan alat untuk mempraktekkan
ilmu pengetahuan. Dengan perkataan lain, baginya logika adalah persiapan yang
mendahului ilmu-ilmu. Baru kemudian, pada permulaan abad III Masehi, Alexander
Aphrodisias mulai menggunakan istilah logika dengan arti seperti yang dikenal
sekarang (Bertens, 1979: 135—6).
Sampai pertengahan abad ke-19 pembicaraan mengenai logika tetap tidak
bergeser dari apa yang sudah ditetapkan Aristoteles dalam logika klasik dan tidak
mengalami perubahan sedikit pun.

b) Logika Modern
Suatu perkembangan baru dalam logika mulai tampak ketika beberapa ahli
matematika Inggris, seperti A. de Morgan (1806—1871) dan George Boole (1815—
1864), mencoba menerapkan prinsip matematika ke dalam logika klasik. Dengan
menggunakan lambang-lambang nonbahasa atau lambang-lambang matematis, mereka
berhasil merintis lahirnya suatu jenis logika lain, yakni logika modern, yang disebut
juga logika simbolis atau logika matematis, yang sejak pertengahan Abad ke-19
dibedakan dari logika klasik.

2.2.3 Bentuk dan Isi Argumen


Dengan bertolak dari segi bentuk dan isi argumen, logika dapat dibedakan atas
logika formal dan logika material. Logika formal membahas masalah bentuk argumen,
sedangkan logika material memusatkan perhatiannya pada masalah isi argumen.

a) Logika Formal
Persoalan mengenai bentuk penalaran, yang menjadi pusat penyelidikan dalam
logika formal, tidak lain merupakan persoalan yang menyangkut proses penalaran.
Dalam hal ini yang dipertanyakan adalah: apakah proses penalaran (dari premis-premis
ke kesimpulan) dalam suatu argumen tertentu tepat atau tidak, lurus atau tidak? Bila
ternyata proses penalarannya tepat, maka kesimpulan yang dihasilkan pasti tepat juga.
Dalam logika formal, argumen seperti itu disebut argumen yang sahih (valid). Jadi,
suatu argumen hanya dapat dikatakan sahih dari segi bentuk bila kesimpulan penalaran
tersebut memang diturunkan secara tepat atau lurus dari premis-premisnya atau, dengan
kata lain, bila kesimpulan yang ditarik itu sungguh-sungguh merupakan implikasi logis
dari premis-premisnya. Selain dari itu, bentuk argumen dikatakan tidak sahih. Jelaslah,
bahwa yang memainkan peranan kunci bagi sahih atau tidak sahihnya bentuk suatu
penalaran adalah premis-premis yang berfungsi sebagai landasan atau dasar
penyimpulan. Dengan demikian, penataan premis-premis yang keliru dengan sendirinya
akan berakibat pada kesimpulan yang keliru pula.

b) Logika Material
Bila logika formal berbicara tentang tepat tidaknya proses penalaran, maka
logika material berurusan dengan benar tidaknya proposisi-proposisi yang membentuk
suatu argumen. Itu berarti bahwa suatu argumen hanya dapat dikatakan benar dari segi
isi bila semua proposisi (premis-premis dan kesimpulan)-nya benar, artinya, semua
proposisi itu sesuai dengan kenyataan. Jadi, jika satu saja dari proposisi-proposisi dalam
suatu argumen tidak benar, maka argumen tersebut, sebagai satu kesatuan, dari segi isi,
dikatakan tidak benar.
Dengan demikian, dalam suatu argumen ada dua persoalan yang harus
dibedakan secara tegas, yakni kesahihan bentuk dan kebenaran isi. Pemahaman kita
mengenai kedua aspek tersebut kiranya dapat dibantu dengan memperhatikan Tabel 1:
Bentuk dan Isi Argumen.

Tabel 1: Bentuk dan Isi Argumen

LOGIKA LOGIKA
FORMAL ARGUMEN MATERIAL
(Bentuk) (Isi)
(1) Semua binatang adalah makhluk hidup.
Tidak sahih Semua kucing adalah makhluk hidup. Benar
Jadi, semua kucing adalah binatang.
(2) Semua binatang mempunyai sayap.
Sahih Semua mobil adalah binatang. Tidak benar
Jadi, semua mobil mempunyai sayap.
(3) Semua binatang mempunyai sayap.
Tidak sahih Semua mobil mempunyai sayap. Tidak benar
Jadi, semua mobil adalah binatang.
(4) Semua binatang adalah makhluk hidup.
Sahih Semua kucing adalah binatang. Benar
Jadi, semua kucing adalah makhluk hidup.

Argumen (1) di atas dari segi isi benar karena semua proposisinya sesuai dengan
kenyataan. Tetapi dari segi bentuk, argumen tersebut tidak sahih. Hal itu disebabkan
karena kesimpulan "Semua kucing adalah binatang" bukan merupakan implikasi logis
dari premis-premisnya. Dengan perkataan lain, kesimpulan "Semua kucing adalah
binatang" tidak dapat ditarik berdasarkan fakta bahwa "Semua binatang adalah
makhluk hidup" dan bahwa "Semua kucing adalah makhluk hidup".
Sebaliknya, argumen (2) dari segi isi tidak benar karena semua proposisinya
tidak sesuai dengan kenyataan. Namun, dari segi bentuk, argumen tersebut sungguh-
sungguh sahih. Atau, dapat dikatakan bahwa proses penalaran yang tampak dari
argumen (2) itu betul-betul tepat dan lurus. Mengapa? Karena, kalau saja premis-
premisnya ("Semua binatang mempunyai sayap" dan "Semua mobil adalah binatang")
benar, maka kesimpulan "Semua mobil mempunyai sayap" pasti benar juga. Jadi, proses
penarikan kesimpulan dalam argumen itu tepat sekali; kesimpulan itu sungguh-sungguh
merupakan implikasi logis dari premis-premisnya.
Dari argumen (3) dapat kita lihat bahwa, di samping isinya tidak benar (semua
proposisinya tidak sesuai dengan kenyataan), juga bentuknya tidak sahih. Atas dasar
premis-premis "Semua binatang mempunyai sayap" dan "Semua mobil mempunyai
sayap" tidak dapat kita simpulkan "Semua mobil adalah binatang".
Argumen (4) merupakan contoh argumen yang mengandung baik kebenaran isi
maupun kesahihan bentuk. Selain proposisi-proposisinya sesuai dengan kenyataan, juga
proses penalaran yang tercermin dari argumen tersebut sungguh-sungguh tepat.
Perlu pula ditekankan di sini, bahwa dalam konteks ilmu pengetahuan, setiap
argumen yang dibangun harus selalu memperhatikan kedua aspek itu bersama-sama.
Setiap argumen ilmiah harus selalu memperlihatkan kesahihan bentuk dan kebenaran
isi.

2.2.4 Proses Penyimpulan


Penyimpulan atau penalaran pada dasarnya merupakan suatu proses. Dalam
proses itu akal budi kita bergerak dari suatu pengetahuan lama yang sudah dimiliki,
menuju pengetahuan baru yang sebelumnya masih samar-samar.
Proses penyimpulan itu dapat menempuh dua jalan, yakni deduksi dan induksi.
Jenis-jenis logika yang berbicara mengenai kedua proses penalaran itu, masing-masing
disebut logika deduktif dan logika induktif.

a). Logika Deduktif


Logika deduktif secara khusus memperhatikan penalaran deduktif. Dalam
penalaran ini, akal budi bertolak dari pengetahuan lama yang bersifat umum, dan atas
dasar itu menyimpulkan suatu pengetahuan baru yang bersifat khusus. Penalaran
deduktif ini biasanya terwujud dalam suatu bentuk logis yang disebut silogisme.
Silogisme adalah argumen yang terdiri atas tiga proposisi atau pernyataan: proposisi
pertama dan kedua (premis-premis) merupakan titik tolak atau landasan penalaran,
sedangkan proposisi ketiga (kesimpulan) merupakan tujuan penalaran, yang dihasilkan
berdasarkan hubungan yang terjalin antara premis-premisnya. Dengan demikian,
hubungan antara premis-premis dan kesimpulan, dengan demikian merupakan
hubungan yang tak terpisahkan satu dari yang lain. Tepat tidaknya sifat hubungan
tersebut menjadi pusat pengamatan logika deduktif. Itu berarti, setiap argumen deduktif
selalu atau sahih atau tidak sahih, dan tugas logika deduktif adalah menjelaskan sifat
dari hubungan antara premis-premis dan kesimpulan dalam argumen yang sahih,
sehingga dengan itu kita dapat membedakan argumen-argumen yang sahih dari
argumen-argumen yang tidak sahih.
Dari premis-premis berikut
"Semua manusia berakal budi" dan
"Cecep adalah manusia"
kita dapat menyimpulkan bahwa "Cecep berakal budi". Kesimpulan itu kita turunkan
hanya lewat suatu analisis terhadap premis-premisnya tanpa bersandar pada pengamatan
inderawi atau observasi empiris mengenai diri Cecep; jadi, apriori sifatnya. Selain itu,
lewat analisis juga, kita menemukan bahwa kesimpulan "Cecep berakal budi"
merupakan konsekuensi yang sudah langsung terkandung di dalam premis-premisnya;
artinya, premis-premis "Semua manusia berakal budi" dan "Cecep adalah manusia"
terhubungkan sedemikian rupa sehingga "Cecep berakal budi" sungguh-sungguh sudah
tersirat di dalamnya. Dengan demikian, setiap argumen deduktif senantiasa memiliki
tiga ciri khas. Pertama, analitis; artinya kesimpulan ditarik hanya dengan menganalisa
proposisi-proposisi atau premis-premis yang sudah ada. Kedua, tautologis; artinya,
kesimpulan yang ditarik sesungguhnya secara tersirat (implisit) sudah terkandung dalam
premis-premisnya, ketiga, apriori; artinya, kesimpulan ditarik tanpa berdasarkan
pengamatan inderawi atau observasi empiris. Ciri-ciri tersebut memungkinkan setiap
argumen deduktif selalu dapat dinilai sahih atau tidak sahih. Oleh karena itu, suatu
argumen deduktif yang sahih dengan sendirinya juga menghasilkan kesimpulan yang
mengandung nilai kepastian mutlak.

b) Logika Induktif
Jenis logika ini berurusan dengan penalaran induktif. Tidak seperti dalam
penalaran deduktif, dalam penalaran induktif, akal budi justru beranjak dari
pengetahuan lama mengenai sejumlah kasus sejenis yang bersifat khusus, individual,
dan konkret yang ditemukan dalam pengalaman inderawi, dan atas dasar itu
menyimpulkan pengetahuan baru yang bersifat umum. Misalnya, observasi empiris
terhadap sejumlah orang Jawa dari berbagai profesi dan latar belakang pendidikan,
ternyata berturut-turut memperlihatkan hasil yang sama pula, yakni suka minum jamu.
Bila hasil observasi itu dituangkan dalam argumen induktif, maka bentuknya akan
tampak seperti dalam Tabel 2: Argumen Induktif.

Tabel 2: Argumen Induktif

ARGUMEN INDUKTIF

(A) (B)
Fauzi (orang Jawa, pengusaha) suka minum
Fauzi (orang Jawa, pengusaha) suka minum jamu.
jamu.
Sutrisno (orang Jawa, anggota DPR) suka Sutrisno (orang Jawa, anggota DPR) suka minum
minum jamu. jamu.
Shinta (orang Jawa, penyiarTV) suka minum Shinta (orang Jawa, penyiar TV) suka minum
jamu. jamu.
Jadi, semua orang Jawa suka minum jamu. Bachtiar (orang Jawa, pesulap) suka minum jamu.
Fadillah (orang Jawa, tukang baso) suka minum
jamu.
Dewi (orang Jawa, pedangdut) suka minum jamu.
Jadi, semua orang Jawa suka minum jamu

Dari kedua contoh argumen induktif—masing-masing (A) dan (B)—di atas


tampaklah bahwa kesimpulan-kesimpulannya merupakan generalisasi karena
kesimpulan-kesimpulan tersebut menyebutkan kasus yang lebih banyak jumlahnya
dibandingkan dengan jumlah kasus yang disebutkan dalam premis-premisnya. Dalam
hal seperti ini selalu ada bahaya bahwa orang melakukan generalisasi tergesa-gesa;
artinya, terlalu cepat menarik kesimpulan yang berlaku umum, sedangkan jumlah kasus
yang digunakan sebagai landasan dalam premis-premis tidak atau kurang memadai.
Untuk itu orang harus mempelajari ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam suatu
penelitian ilmiah agar kesimpulan yang berupa generalisasi tersebut dapat
dipertanggung-jawabkan kebenarannya.
Kedua contoh argumen di atas juga memperlihatkan bahwa kesimpulan-
kesimpulannya berbentuk sintesis atau penggabungan dari kasus-kasus yang digunakan
sebagai titik tolak penalaran. Karena itu, penalaran induktif sering disebut juga
penalaran sintetis. Selain itu, karena kasus-kasus yang menjadi titik tolak argumen
induktif merupakan hasil pengamatan inderawi, maka argumen induktif selalu bersifat a
posteriori.
Atas dasar itu, setiap argumen induktif selalu memiliki tiga ciri khas. Pertama,
sintetis; artinya, kesimpulan ditarik dengan jalan menyintesakan atau menggabungkan
kasus-kasus yang terdapat dalam premis-premis. Kedua, general artinya kesimpulan
yang ditarik selalu meliputi jumlah kasus yang lebih banyak atau yang lebih umum
sifatnya ketimbang jumlah kasus yang terhimpun dalam premis-premis. Ketiga,
aposteriori; artinya, kasus-kasus konkret yang dijadikan landasan atau titik tolak
argumen selalu merupakan buah hasil pengamatan inderawi. Ciri-ciri yang demikian itu
menyebabkan setiap argumen induktif tidak dapat dikatakan sahih atau tidak sahih, dan
kerena itu kesimpulannya pun tidak mungkin mengandung nilai kepastian mutlak.
Suatu argumen induktif hanya dapat dinilai lebih baik atau kurang baik,
tergantung seberapa besar (tinggi) derajat kebolehjadian (probabilitas) yang diberikan
premis-premis kepada kesimpulannya. Itu berarti, semakin banyak kasus sejenis yang
dijadikan landasan argumen (alasannya memadai), semakin besar (tinggi) probabilitas
kesimpulannya. Dan, semakin besar (tinggi) probabilitas kesimpulan suatu argumen
induktif, semakin baik argumen yang bersangkutan. Sebaliknya, semakin sedikit
(kurang) kasus sejenis yang digunakan sebagai titik tolak argumen (alasannya kurang
memadai), semakin kecil (rendah) probabilitas kesimpulannya. Dan, semakin kecil
(rendah) probabilitas kesimpulan suatu argumen induktif, semakin kurang baik argumen
induktif yang bersangkutan. Dengan demikian, mengenai kedua contoh argumen
induktif di atas, harus dikatakan bahwa argumen (A) kurang baik jika dibandingkan
dengan argumen (B), atau sebaliknya, argumen (B) lebih baik daripada argumen (A).
Dari uraian di atas jelaslah bahwa hanya dalam logika deduktif formal
diperhatikan tepat tidaknya sifat hubungan antara premis-premis dan kesimpulan dan
dengan demikian hanya dalam lingkup logika deduktif formallah, suatu penalaran atau
argumen dapat dikatakan sahih atau tidak sahih. Dengan kata lain, perbincangan tentang
tepat tidaknya atau logis tidaknya suatu penalaran hanya dapat dilakukan dalam konteks
logika deduktif formal. Atas dasar itu, bila dalam pembahasan selanjutnya dalam buku
ajar ini diuraikan tentang kaidah-kaidah berpikir tepat dan logis, maka yang
dimaksudkan adalah penalaran deduktif formal sedangkan penalaran induktif tidak akan
dibicarakan

2.3 KAIDAH-KAIDAH BERPIKIR TEPAT DAN LOGIS


Berpikir sebagai kegiatan akal budi pada inti pokoknya mengandung unsur yang
harus dipelajari satu demi satu. Dengan kata lain, keseluruhan kegiatan akal budi dapat
dibedakan dalam tiga tahap yang masing-masingnya memiliki prinsip-prinsip atau
kaidah-kaidah tersendiri namun tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain.
Ketiga unsur pemikiran atau ketiga tahap kegiatan akal budi tersebut dapat
disimak dalam Tabel 3: Unsur-unsur Penalaran..

Tabel 3: Unsur-unsur Penalaran (Tahap-tahap Kegiatan Akal Budi)


Aspek Mental Aspek Ekspresi Verbal

(1) Pengertian (1) Term

(Concept) (Term)

(2) Putusan (2) Proposisi

(Judgment) (Proposition)

(3) Penyimpulan (3) Silogisme

(Reasoning) (Syllogism)

2.3.1 Term

a) Term dan Kata


Dari Tabel 3: Unsur-unsur Penalaran terlihat bahwa term selalu merupakan
ungkapan lahiriah atas suatu pengertian. Sebagai ungkapan lahiriah dari pengertian,
term dapat terdiri dari satu kata atau lebih. Jadi, dengan term dimaksudkan kata atau
kelompok kata yang merupakan ungkapan lahiriah dari pengertian. Kata-kata seperti
meja, kursi, buku, mahasiswa, dan jembatan layang, masing-masing disebut term
karena merupakan ekspresi verbal dari pengertian-pengertian ‘meja’, ‘kursi’, ‘buku’,
‘mahasiswa’, dan ‘jembatan layang’.
Sebagai ekspresi verbal dari suatu pengertian tertentu, apabila diletakkan dalam
proposisi, maka term itu akan berfungsi sebagai subjek atau predikat. Dengan demikian,
dalam konteks proposisi, term dapat didefinisikan sebagai bagian dari proposisi (satu
kata atau lebih) yang berfungsi sebagai subjek atau predikat. Kata manusia adalah
sebuah term karena mewakili pengertian ‘manusia’ dan kata makhluk hidup adalah juga
sebuah term karena mewakili pengertian ‘makhluk hidup’. Apabila kata-kata itu
dihubungkan satu sama lain dalam proposisi menjadi “Manusia adalah makhluk hidup”,
maka manusia berfungsi sebagai term subjek, sedangkan makhluk hidup berfungsi
sebagai term predikat. Sebagai bagian dari proposisi, baik term subjek maupun term
predikat dapat saja terdiri atas sejumlah kata. Namun keseluruhan kata itu tetap
membentuk satu pengertian saja. Karena itu, dalam proposisi “Pria berkebangsaan
Lybia yang menjadi otak pembajakan pesawat Boeing 727 milik maskapai penerbangan
Hongkong itu bermaksud memaksa pilot untuk menerbangkan pesawat menuju Kuwait”,
maka term subjeknya adalah “pria berkebangsaan Lybia yang menjadi otak
pembajakan pesawat Boeing 727 milik maskapai penerbangan Hongkong itu”,
sedangkan “bermaksud memaksa pilot untuk menerbangkan pesawat menuju Kuwait”
maka adalah term predikat.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa setiap proposisi, betapapun sederhananya,
harus selalu terdiri atas dua bagian saja, yaitu term subjek dan term predikat; tidak ada
keterangan subjek, keterangan predikat, objek, atau pun keterangan-keterangan lainnya
sebagaimana lazimnya ditemukan dalam tata bahasa. Kesatuan antara term subjek dan
term predikat merupakan syarat mutlak bagi terbentuknya proposisi karena hanya
dengan itulah bisa tampak unsur pengakuan atau pengingkarannya, dan dengan
demikian dapat ditentukan pula benar atau salah.

b) Klasifikasi Term
Dalam logika, term dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa aspek, yaitu:
berdasarkan jumlah kata, luas, sifat, dan penggunaan arti.

1) Berdasarkan jumlah kata


Ditinjau dari segi jumlah kata, term dapat dikelompokkan atas dua macam, yaitu
term tunggal dan term majemuk.
(a) Term tunggal adalah term yang terdiri atas satu kata saja, misalnya: manusia,
binatang, rumah, gunung, dan pohon.
(b) Term majemuk adalah term yang terdiri atas dua kata atau lebih (beberapa kata),
misalnya kantor pos, rumah makan, jalan raya, arena balap sepeda, dan toko
serba ada.

2) Berdasarkan luas
Dari segi luas, term dapat dikenal dalam tiga jenis, yaitu term singular, term
partikular, dan term universal.
(a) Term singular adalah term yang dengan tegas menunjukkan satu benda, satu
individu, atau satu realitas tertentu, misalnya Pak Amir, Jawa, Gunung Merapi,
gadis tercantik di desa ini, dan danau itu.
(b) Term partikular adalah term yang menunjukkan hanya sebagian dari seluruh
luasnya; sekurang-kurangnya satu, dan yang satu itu tidak tertentu. Misalnya
beberapa gedung, banyak pengunjung, tidak semua peserta, seorang pelajar,
dan sebuah mangga.
(c) Term universal adalah term yang menunjukkan seluruh luasnya tanpa ada yang
dikecualikan, misalnya semua dokter, tak seekor pun, dan tak ada orang Jawa.

3) Berdasarkan sifat
Menurut sifatnya, term dapat dibedakan atas dua macam, yaitu term distributif dan
term kolektif.
(a) Term distributif
Suatu term disebut term distributif apabila pengertian yang terkandung dalam
term itu dapat dikenakan kepada semua anggota atau individu yang tercakup di
dalamnya, satu demi satu tanpa kecuali. Term manusia, misalnya. bersifat
distributif sejauh pengertian ‘manusia’ itu terkena pada setiap individu atau
siapa saja (Anton, Clara, Lina, Peter, Suzy, Lina, dan lain-lain) yang berada
dalam lingkup pengertian ‘manusia’. Begitu juga term binatang. Term ini
bersifat distributif karena mengandung pengertian yang dapat diterapkan pada
setiap individu atau apa saja (kambing, kuda, sapi, ular, bebek, buaya ular, dan
lain-lain) yang bernaung dalam lingkup pengertian ‘binatang’.
Bila term distributif itu menduduki posisi sebagai term subjek dalam proposisi,
maka untuk menentukan luasnya perlu diingat pedoman berikut: term subjek
yang bersifat distributif, sejauh berdiri sendiri dan tidak didahului atau diikuti
kata-kata yang menunjuk pada kuantitas, luasnya bisa universal dan dapat juga
partikular; jadi, tergantung konteksnya. Perhatikanlah contoh berikut.
(1) Manusia dapat khilaf.
(2) Ikan hidup di air.
(3) Ular itu binatang melata.
Ketiga proposisi di atas (1—3), secara berturut-turut memiliki term subjek yang
bersifat distributif (manusia. ikan, ular), yang masing-masing dalam
konteksnya, harus dipahami dalam luas universal. Amati pula contoh lain
berikut.
(4) Orang Batak pandai menyanyi.
(5) Wanita Solo senang memakai kebaya.
(6) Petani Jawa ulet dalam bekerja.
Ketiga proposisi di atas (4—6) secara berturut-turut rnemiliki term subjek yang
bersifat distributif (orang Batak, wanita Solo, petani Jawa), yang masing-
masing, dalam konteksnya, tidak dapat dipahami dalam luas universal,
melainkan partikular.
(b) Term kolektif
Suatu term disebut term kolektif apabila pengertian yang terkandung di
dalamnya, tidak dapat dikenakan kepada anggota-anggota atau individu-
individu yang tercakup di dalamnya satu demi satu, melainkan kepada
kelompok sebagai suatu keseluruhan. Term keluarga, misalnya, bersifat
kolektif karena pengertian ‘keluarga’ tidak menunjuk pada anggota-anggota
atau individu-individu yang berada dalam lingkup pengertian ‘keluarga’,
melainkan pada keluarga itu sendiri sebagai satu kesatuan kelompok atau
komponen. Jadi, yang dikenai pengertian 'keluarga' bukanlah individu-individu
dalam keluarga itu, melainkan komponennya. Di samping term keluarga, masih
terdapat sejumlah term lain yang bersifat kolektif, seperti: bangsa, masyarakat,
divisi, korps, rombongan, orkes, pasukan, armada, tim, partai, suku, dan
kesebelasan.
Apabila term kolektif itu menempati posisi sebagai term subjek dalam suatu
proposisi, maka untuk menentukan luasnya perlu digunakan pedoman berikut.
(1) Bila term subjek terdiri atas satu term kolektif yang berdiri sendiri tanpa
didahului atau diikuti kata-kata yang menunjuk pada kuantitas, maka luasnya
selalu universal. Contoh:
a) Kesebelasan adalah nama regu dalam olahraga sepakbola.
(dikenakan kepada semua kesebelasan).
b) Keluarga mempunyai peranan penting dalam pendidikan generasi muda.
(dikenakan kepada semua keluarga).
c) Orkes sangat membutuhkan kekompakan.
(dikenakan kepada semua orkes).
(2) Bila term subjek yang bersifat kolektif itu secara tegas menunjuk pada satu
kelompok atau satu komponen tertentu, maka luasnya adalah singular.
Contoh:
a) Keluarga Pak Lukman sedang berlibur ke luar negeri.
(menunjuk pada satu keluarga tertentu).
b) Tim terkuat dalam turnamen basket kali ini adalah tim "Garuda".
(menunjuk pada satu tim tertentu).
c) Pasukan itu berhasil menghalau para pengacau.
(menunjuk pada satu pasukan tertentu)

4) Berdasarkan penggunaan arti


Suatu term atau kata dapat digunakan dalam tiga macam arti, yaitu dalam arti
univok, ekuivok, dan analog.
(a) Univok
Suatu kata digunakan dalam arti univok bila kata tersebut digunakan untuk dua
hal (realitas) atau lebih dalam satu arti yang sama, Perhatikanlah bahwa
pasangan kata yang digarisbawahi dalam masing-masing contoh kalimat di
bawah ini memiliki satu arti yang sama.
1) Buku pelajaran lebih mahal harganya daripada buku novel.
2) Wajah puteri itu mirip benar dengan wajah ibunya.
3) Ditinjau dari segi martabatnya sebagai manusia, orang kota tidak berbeda
dengan orang desa.
(b) Ekuivok
Suatu kata digunakan dalam arti ekuivok bila dengan kata tersebut
dimaksudkan dua hal (realitas) yang sama sekali berbeda atau berlainan.
Amatilah contoh berikut ini.
1) Kata orang, bisa ular kobra bisa diramu sebagai obat untuk
menyembuhkan penyakit reumatik.
2) Informasi yang saya peroleh memang masih kabur tetapi tampaknya
narapidana kelas kakap itu sudah berhasil kabur dari penjara.
3) Menurut hemat saya, cara hidup hemat merupakan cara hidup yang paling
cocok dalam situasi krisis moneter dewasa ini.
(c) Analog
Suatu kata digunakan dalam arti analog bila kata tersebut digunakan untuk dua
hal (realitas) dalam arti yang sama tetapi sekaligus berbeda. Kata-kata dalam
arti analog ini biasanya digunakan bila orang ingin memperlihatkan kemiripan
antara dua hal (analogi berarti relasi kemiripan antara dua hal) dan itu terjadi
bila orang ingin membuat perbandingan antara satu hal dengan hal lainnya.
Analogi itu bisa dilakukan ke arah bawah (analogi - ke arah - bawah) yaitu dari
manusia ke taraf bawah manusiawi atau ke arah atas (analogi-ke arah-atas)
yaitu dari manusia ke taraf Tuhan (Bertens, 1987: 128—131). Sering kali
analogi atau perbandingan itu ditampilkan dalam bentuk kiasan (metafor).
Perhatikanlah bahwa pasangan kata yang digarisbawahi dalam masing-masing
contoh kalimat berikut ini digunakan dalam arti analog.
(1) Getaran dawai dan alat musik yang dimainkan penyanyi itu benar-benar
mencerminkan getaran jiwanya sendiri.
(2) Kobaran api yang menghanguskan benteng pertahanan mereka membuat
kobaran semangat para gerilyawan untuk terus berjuang semakin menjadi-
jadi.
(3) Senyuman bulan itu mirip benar dengan senyuman gadis desa.

Setelah memperoleh pemahaman yang baik tentang term, langkah berikut yang
harus dilakukan seseorang pada taraf awal dalam menekuni logika adalah menyusun
definisi agar dapat terhindar dari kekacauan pemahaman mengenai arti sebuah term.
Langkah ini pun hanya dapat dilalui secara mulus apabila yang bersangkutan menguasai
sungguh-sungguh isi dan luas pengertian dari term yang hendak didefinisikan dengan
terlebih dahulu mempelajari secara mendalam sub-tema seputar klasifikasi, baik
menyangkut jenis maupun hukum-hukum yang melandasinya (Hayon, 2005: 40—46).
2.3.2 Definisi

a) Pengertian Definisi
Kata definisi berasal dari bahasa Latin definire yang berarti ‘membatasi atau
mengurung dalam batas-batas tertentu’. Dalam rangka kegiatan ilmiah, definisi selalu
dihubungkan dengan suatu konsep atau suatu istilah tertentu yang hendak dijelaskan
artinya. Jadi, definisi secara sederhana dipahami sebagai penentuan batas pengertian
bagi sebuah istilah. Penentuan batas itu sedapat mungkin dilakukan secara singkat,
jelas, tepat, padat, dan lengkap sehingga konsep atau term yang hendak dirumuskan itu
dapat dimengerti secara jelas pula. Dengan demikian, definisi berarti penentuan batas
pengertian sebuah istilah atau konsep secara singkat, tepat,jelas, padat, dan lengkap
sehingga istilah yang hendak dirumuskan itu dapat dimengerti secara jelas dan dapat
dibedakan dari istilah-istilah yang lain.
Dari definisi tentang definisi di atas terungkap bahwa, di satu pihak, suatu
definisi yang baik haruslah berupa rumusan yang singkat, tepat, jelas, padat, dan
lengkap yang mencakup semua elemen yang terkandung dalam konsep yang
didefinisikan dan, di lain pihak, definisi itu harus juga mampu memperlihatkan
perbedaan antara konsep yang hendak dijelaskan itu dengan konsep lainnya.
Pendefinisian secara singkat, tepat, jelas, padat, dan lengkap ini sangat penting artinya
dalam kegiatan ilmiah karena dengan itu kemungkinan akan terjadinya kesimpangsiuran
pandangan serta kesalahpahaman mengenai sebuah konsep dapat dihindari. Kerancuan
pemahaman akan sangat sulit diatasi bila sejak awal suatu pembicaraan atau tulisan
ilmiah tidak terlebih dahulu dikemukakan apa yang dimaksud dengan sebuah konsep.
Dalam sebuah definisi selalu terkandung dua unsur, yaitu hal atau simbol yang
hendak didefinisikan (lazim disebut definiendum), dan hal atau (kumpulan) simbol yang
digunakan untuk menjelaskan arti definiendum (lazim disebut definiens). Dengan
rumusan lain, definiendum adalah istilah yang hendak dijelaskan artinya, sedangkan
definiens adalah perumusan atau penjelasan yang diberikan.

b) Aturan Definisi
Penyusunan definisi yang benar sudah barang tentu harus mengikuti sejumlah
aturan. Dalam tradisi ditetapkan lima aturan yang harus diperhatikan dalam membentuk
definisi yang benar. Satu per satu aturan-aturan itu akan diuraikan di bawah ini.
1) Definiens harus dapat dibolak-balikkan dengan definiendum.
Aturan ini mengandaikan bahwa luas definiens dan definiendum harus sama besar.
Perbedaan dalam luas mengakibatkan kedua unsur itu tidak dapat dipertukarkan
tempatnya. Karena itu, mendefinisikan sepatu sebagai ‘sesuatu yang digunakan
sebagai alas kaki’ tentu saja tidak tepat sebab luas pengertian ‘sesuatu yang
digunakan sebagai alas kaki’ (definiens) lebih besar daripada luas pengertian sepatu
(definiendum). Pembalikan tempat definiens dan definiendum ini merupakan cara
pengujian yang sangat efektif untuk meneliti tepat-tidaknya sebuah definisi.
2) Definiendum tidak boleh masuk ke dalam definiens.
Aturan ini mengingatkan kita kembali bahwa definisi pada hakekatnya merupakan
pembatasan pengertian terhadap suatu istilah atau term yang dilakukan dengan
tujuan agar istilah tersebut dapat dipahami artinya secara jelas dan dapat dibedakan
dari istilah-istilah lain. Karena itu, masuknya definiendum ke dalam definiens, entah
secara eksplisit atau implisit, sebetulnya hanya akan membuat definisi bergerak
melingkar (sirkular) atau berputar-putar untuk itu akhirnya kembali lagi pada titik
persoalan semula, dan dengan demikian definisi tersebut tidak menjelaskan apa-apa.
Ambillah contoh, bila seseorang mendefinisikan logika sebagai 'ilmu yang
mempelajari aturan-aturan logika' atau ‘ilmu yang mengkaji aturan-aturan agar
dapat berpikir logis’, maka bagi mereka yang ingin mengetahui apa sebetulnya
"logika" itu, definisi tersebut tidak memberikan manfaat sedikit pun karena
persoalan mengenai logika tetap tak terjawab.
3) Definiens harus sungguh-sungguh menjelaskan.
Aturan ini pun menegaskan bahwa setiap definisi yang baik harus selalu berusaha
agar istilah atau term yang didefinisikan betul-betul dipahami secara jelas. Untuk
maksud itu penggunaan kata-kata dalam definiens yang bersifat ambigu, tidak jelas
atau mengandung kiasan sedapat mungkin dihindari karena penggunaan kata-kata
semacam itu akan berakibat pada timbulnya kerancuan atau salah pengertian
terhadap definiendum-nya. Jadi, mendefinisikan advokat sebagai ‘orang yang
membela penjahat-penjahat’ sudah tentu akan menimbulkan salah pengertian.
Selain itu, dengan hanya menyebutkan contoh pun sesuatu definiens belum
terumuskan secara jelas, meskipun dari segi tertentu pemberian contoh memang
bermanfaat untuk membantu pemahaman yang lebih baik mengenai suatu istilah.
Sebagai contoh, janganlah mendefinisikan alat tulis dengan ‘misalnya bolpoin, pen,
kapur tulis, spidol, atau kertas.’
4) Definiens harus bersifat paralel dengan definiendum.
Maksud aturan ini ialah bahwa definiens harus mengandung perumusan yang tepat
tentang definiendum. Secara lebih tegas dapat dikatakan bahwa definiens harus
diawali dengan kata atau term yang sama strukturnya dengan definiendum. Jadi
janganlah misalnya, definiens dimulai dengan sebuah kata yang strukturnya adalah
kata benda, padahal definiendum-nya berstruktur kata sifat, atau sebaliknya.
Ambillah contoh, jujur adalah ‘orang yang bertutur atau bertindak sesuai dengan
suara hatinya’. Kiranya tak ada yang menyangkal bahwa jujur merupakan sifat yang
terdapat pada manusia (orang) dan hanya manusia (orang) memiliki sifat jujur, tetapi
definisi itu tidak dapat dibenarkan karena jujur bukanlah orang, dan orang bukanlah
jujur. Kedua kata atau term itu berbeda strukturnya. Yang satu (jujur) dalam
definiendum berstruktur kata sifat, sedangkan yang lain (orang) dalam definiens
berstruktur kata benda.
5) Definiens tidak boleh berbentuk negatif, sejauh masih dapat dirumuskan secara
afirmatif.
Penetapan aturan kelima ini berdasarkan alasan bahwa suatu definisi disebut definisi
yang benar bila definiens-nya mampu mengungkapkan apa sebenarnya makna dari
definiendum-nya. Dengan kata lain, tujuan setiap definisi yang benar hanya mungkin
dapat tercapai bila apa yang merupakan hakekat definiendum terungkap dalam
definiens-nya. Dalam definisi di mana definiens-nya berbentuk negatif, tujuan
tersebut tidak tercapai karena hakekat definiendum tidak terungkap. Jadi, orang
yang mendefinisikan sepak bola, sebagai, misalnya, ‘sejenis olahraga yang tidak
dimainkan dengan menggunakan tangan’, tidak menerangkan apa-apa mengenai
sepak bola.
Namun demikian, ada istilah-istilah atau term-term tertentu yang mau tidak mau
dirumuskan secara negatif karena tidak ada kemungkinan merumuskannya secara
afirmatif. Hal ini berlaku antara lain pada realitas-realitas yang sebenarnya bukanlah
merupakan realitas-realitas yang positif. Sebagai contoh, "Lumpuh adalah tidak
dapat berjalan". Definisi ini benar meskipun definiens-nya berbentuk negatif.
Alasannya ialah karena "tidak dapat berjalan" (definiens) sudah mengungkapkan
apa sebenarnya makna dari lumpuh (definiendum). Dengan kata lain, "tidak dapat
berjalan" sesungguhnya merupakan hakekat dari lumpuh.
2.3.3 Proposisi

a) Apa Itu Proposisi


Bila term merupakan ekspresi verbal dari pengertian, maka proposisi merupakan
ungkapan lahiriah dari putusan. Sebagai ungkapan lahiriah dari putusan, proposisi selalu
terdiri atas rangkaian term-term yang berfungsi sebagai subjek atau predikat. Hubungan
antara term subjek dan term predikat ini senantiasa berbentuk pengakuan atau
pengingkaran semata tentang sesuatu yang lain. Maka, proposisi dapat dirumuskan
sebagai pernyataan yang di dalamnya manusia mengakui atau mengingkari sesuatu
tentang sesuatu yang lain.

b) Unsur-unsur proposisi

Proposisi terdiri atas term subjek, term predikat, dan kopula.

1) Term subjek ialah sesuatu yang tentangnya pengakuan atau pengingkaran ditujukan.
2) Term predikat ialah sesuatu yang diakui atau diingkari tentang term subjek.
3) Kopula ialah penghubung antara term subjek dan term predikat, yang sekaligus
memberi bentuk (pengakuan atau pengingkaran) pada hubungan tersebut.
Perlu diketahui bahwa ketiga unsur tersebut hanya terdapat di dalam proposisi
kategoris standar. Adapun sebuah proposisi disebut proposisi kategoris jika apa yang
menjadi term predikat diakui atau diingkari secara mutlak (tanpa syarat) tentang apa
yang menjadi term subjek. Proposisi “Ayah membaca surat kabar” merupakan
proposisi kategoris karena membaca surat kabar (term predikat) diakui tanpa syarat
tentang ayah (term subjek). Begitu pula proposisi “Emilia tidak lulus ujian” tergolong
proposisi kategoris karena lulus ujian (term predikat) diingkari secara mutlak tentang
Emilia (term subjek). Sementara itu, sebuah proposisi kategoris hanya dapat disebut
standar jika proposisi kategoris itu memenuhi dua syarat: pertama, ketiga unsurnya
(term subjek, term predikat, dan kopula) dinyatakan secara eksplisit; dan kedua, term
subjek dan term predikat sama-sama berstruktur kata benda. Oleh karena itu "Lydia
cantik" bukanlah sebuah proposisi kategoris standar. Itu adalah sebuah sebuah proposisi
kategoris non-standar karena di samping kopulanya tidak dinyatakan secara eksplisit,
juga term subjek dan term predikat dari proposisi tersebut berbeda strukturnya: Lydia
(term subjek) berstruktur kata benda, sedangkan cantik (term predikat) berstruktur kata
sifat. Jika proposisi kategoris ini dijadikan standar, maka bentuknya harus menjadi
"Lydia adalah wanita yang cantik".
Proposisi kategoris (standar atau non-standar), dalam bahasa, selalu berbentuk
kalimat berita. Dengan demikian, mudah dimengerti mengapa setiap proposisi
(kategoris) selalu berupa kalimat, tetapi tidak setiap kalimat disebut proposisi.
Dalam logika, sebuah kalimat hanya dapat disebut proposisi bila memenuhi ciri-
ciri berikut:
(1) mengandung term subjek dan term predikat yang dihubungkan dalam sebuah
pernyataan;
(2) mengandung sifat pengakuan atau pengingkaran; dan
(3) mengandung nilai benar atau salah
Ciri pertama merupakan ciri pokok. Jika sebuah kalimat sudah memenuhi ciri
pertama, maka secara otomatis juga akan memenuhi kedua ciri berikutnya. Ambillah
contoh kalimat ”Kampus Universitas Indonesia terletak di wilayah Depok”. Ini adalah
proposisi karena memiliki term subjek “Kampus Universitas Indonesia” dan term
predikat “terletak di wilayah Depok” (ciri pertama); memiliki sifat pengakuan (ciri
kedua) karena “terletak di wilayah Depok” diakui tentang ”Kampus Universitas
Indonesia”; dan, akhirnya, dapat ditentukan bahwa memang benarlah demikian (ciri
ketiga). Jadi, sebuah proposisi, bagaimanapun sederhananya, harus memiliki dua unsur
pokok, yakni term subjek dan term predikat. Perlu diingatkan kembali bahwa dalam
logika tidak dikenal adanya objek, keterangan subjek, keterangan predikat atau
keterangan-keterangan lainnya sebagaimana lazimnya ditemukan dalam tata bahasa.
Dengan berpegang pada kaidah-kaidah tersebut maka jenis kalimat non-berita,
seperti kalimat seru, kalimat perintah, dan kalimat tanya seperti contoh berikut
(1) “Oh, Tuhan! Mengapa bencana ini hanya terjadi pada keluarga saya?”
(2) “Segera tinggalkan tempat ini!”
(3) “Di mana ayahmu bekerja?”
(4) “Selamat Hari Ulang Tahun, Adi. Semoga panjang umur.”
tidak dapat disebut proposisi.
Kecuali itu, dalam kehidupan sehari-hari, sering kita mendengar atau membaca
kalimat-kalimat yang meskipun mengandung berita atau pernyataan yang maknanya
dapat dipahami namun karena tidak memiliki term subjek dikategorikan sebagai
proposisi yang tidak logis. Di bawah ini dikemukakan beberapa contoh.
(1) Di sini menerima jahitan pakaian pria dan wanita.
(2) Dari pihak keluarga korban mengharapkan agar kepolisian segera mengungkap
kasus pembunuhan ini.
(3) Untuk tiga orang pemenang masing-masing akan mendapatkan hadiah
Rp500.000,00.
(4) Bagi mahasiswa yang mengambil mata kuliah MPKT harap berkumpul di aula.
(5) Dengan dinaikkannya tunjangan transport diharapkan akan meningkatkan
semangat kerja para karyawan.
Sebenarnya, di dalam logika masih ada jenis proposisi lain di mana term
predikat mengakui atau mengingkari term subjek dengan suatu syarat (tidak secara
mutlak) yang disebut proposisi hipotetis. Jenis proposisi ini tidak dibahas dalam buku
ajar ini; yang dibicarakan hanyalah proposisi kategoris.

c) Klasifikasi Proposisi Kategoris


Proposisi kategoris dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa aspek, yakni aspek
kuantitas, kualitas serta kuantitas dan kualitas.

1) Kuantitas proposisi
Kuantitas sebuah proposisi kategoris ditentukan oleh luas term subjeknya.
Karena luas suatu pengertian dapat berupa singular, partikular, dan universal, maka
proposisi kategoris, berdasarkan kuantitasnya, dapat dibedakan atas proposisi singular,
proposisi partikular, dan proposisi universal.
(a) Proposisi singular adalah proposisi yang luas term subjeknya singular. Artinya,
pengertian term subjek itu menunjuk hanya kepada satu hal, benda, atau individu
ter- tentu. Misalnya, “Gedung baru itu berlantai dua belas”.
(b) Proposisi partikular adalah proposisi yang luas term subjeknya partikular. Artinya
pengertian term subjek itu tidak menunjuk kepada keseluruhan luasnya, melainkan
hanya sebagian atau paling kurang satu, namun yang satu itu tidak tentu yang mana.
Misalnya, “Tidak semua binatang dapat dijinakkan”.
(c) Proposisi universal adalah proposisi yang luas term subjeknya universal. Artinya,
pengertian term subjek itu meliputi semua hal, benda, atau individu, yang terdapat di
dalamnya tanpa kecuali. Misalnya: "Semua manusia dapat mati".

2) Kualitas Proposisi
Ciri khas sebuah proposisi kategoris adalah bahwa di dalamnya selalu
terkandung unsur pengakuan (afirmasi) atau pengingkaran (negasi), dan karena itu
hanya tentang proposisi kategoris dapat dikatakan benar atau salah. Itu berarti kualitas
sebuah proposisi kategoris ditentukan oleh bentuk kopula yang digunakan. Atas dasar
itu, menurut kualitasnya, proposisi kategoris dapat dibedakan atas dua macam, yakni
proposisi afirmatif dan proposisi negatif.
(a) Proposisi afirmatif
Suatu proposisi dikatakan afirmatif apabila apa yang menjadi term predikat diakui
tentang apa yang menjadi term subjek. Proposisi "Karim adalah pedagang buah
apel", misalnya, berkualitas afirmatif, karena "pedagang buah apel" (term predikat)
dalam proposisi tersebut diakui tentang "Karim" (term subjek).
(b) Proposisi negatif
Suatu proposisi dikatakan negatif apabila apa yang menjadi term predikat diingkari
tentang apa yang menjadi term subjek. Proposisi "Dina bukan peragawati",
misalnya, berkualitas negatif, karena "peragawati" (term predikat) dalam proposisi
tersebut diingkari tentang "Dina" (term subjek).
(c) Kuantitas dan kualitas proposisi
Pengklasifikasian proposisi kategoris menurut kuantitas dan kualitas secara teoretis
akan menghasilkan enam macam proposisi, yakni, (1) Proposisi universal afirmatif,
(2) Proposisi partikular afirmatif, (3) Proposisi singular afirmatif, (4) Proposisi
universal negatif, (5) Proposisi partikular negatif, dan (6) Proposisi singular negatif.

Jika ditarik suatu garis perbandingan antara proposisi singular di satu pihak
dengan proposisi universal dan proposisi partikular di lain pihak, maka akan ternyata
bahwa dalam arti tertentu sifat proposisi singular lebih mempunyai persamaan dengan
proposisi universal ketimbang dengan proposisi partikular. Dalam proposisi singular
afirmatif "Irwan gemar bermain di pantai", sesungguhnya "gemar bermain di pantai"
diakui tentang seluruh (bukan sebagian) term subjek proposisi yang bersangkutan,
yang kebetulan adalah satu individu dan tertentu. Demikian pula dalam proposisi
singular negatif "Lindawati bukan mahasiswi Fakultas Psikologi UI" sesungguhnya
"mahasiswi Fakultas Psikologi UI" diingkari tentang seluruh (bukan sebagian) term
subjek proposisi yang bersangkutan, yang kebetulan adalah satu individu dan tertentu.
Karena alasan itulah, maka para ahli logika tidak membedakan lambang yang
digunakan, baik untuk proposisi universal afirmatif dan proposisi singular afirmatif,
maupun untuk proposisi universal negatif dan proposisi singular negatif. Dengan
demikian, di kalangan para ahli logika digunakan hanya empat lambang saja untuk
mewakili keenam macam proposisi di atas. Lambang-lambang yang dimaksud itu ialah
A, E, I, dan O, seperti terlihat pada Tabel 4: Proposisi Kategoris.

Tabel 4: Proposisi Kategoris

Afirmatif Negatif
Menurut kualitas
Menurut kuantitas

Universal / singular A E

Partikular I O

Proposisi A: Proposisi universal/singular afirmatif


Contoh:
"Semua penumpang selamat."
"Bandung terletak di wilayah Jawa Barat. "
Proposisi E: Proposisi universal/singular negatif
Contoh:
"Semua jalan di sini tidak beraspal."
"Hasan bukan peternak ayam."
Proposisi I: Proposisi partikular afirmatif
Contoh:
"Beberapa mahasiswa pandai menyanyi."
"Ada karyawan yang bergelar sarjana. "
Proposisi O: Proposisi partikular negatif
Contoh:
"Sebagian mahasiswa tidak dapat melanjutkan studi."
"Tidak semua binatang dapat berenang."

Dari penjelasan tentang keempat macam proposisi di atas, kiranya tampak jelas
bahwa dalam proposisi universal (A dan E) term subjeknya berdistribusi, sedangkan
dalam proposisi partikular (I dan O) term subjeknya tidak berdistribusi. Suatu term
disebut distributif apabila penggunaan term itu meliputi semua anggotanya secara
individual, satu demi satu, jadi tidak sebagai kelompok. Term yang berdistribusi itu
disebut term universal. Term yang tidak berdistribusi hanya meliputi sebagian dari
semua anggotanya, yaitu satu atau lebih. Term yang hanya meliputi satu anggotanya
saja atau lebih, akan tetapi tidak semuanya, disebut term partikular.

d) Luas Term Predikat


Jika luas term subjek menentukan kuantitas suatu proposisi, maka kualitas suatu
proposisi menentukan luas term predikatnya. Dalam hubungan dengan kualitas
proposisi, masalah pokok tentang luas term predikat adalah: apakah term predikat suatu
proposisi meliputi semua anggotanya secara individual (universal/berdistribusi) atau
hanya sebagian anggotanya (partikular/tidak berdistribusi). Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, kiranya perlu dicamkan hukum pokok mengenai luas term predikat, baik dalam
proposisi yang berkualitas afirmatif maupun dalam proposisi yang berkualitas negatif.

1) Luas term predikat dalam proposisi afirmatif


Hukum pokok berbunyi: Dalam proposisi afirmatif, luas term predikat selalu
partikular. Jika kita perhatikan sebuah proposisi A seperti "Semua kucing adalah
binatang", luas term "binatang" (predikat) bukan universal, melainkan partikular.
Dalam proposisi itu tidak dikatakan bahwa "Semua kucing" adalah "semua binatang",
melainkan "Semua kucing" adalah "sebagian binatang". Itu berarti luas term
predikatnya adalah partikular, yaitu hanya mewakili sebagian saja dari anggotanya
(tidak berdistribusi).
Selanjutnya, apabila kita perhatikan sebuah proposisi I, seperti "Sebagian
pejabat adalah koruptor", luas term koruptor (predikat) adalah juga partikular. Dalam
proposisi itu tidak dikatakan bahwa "Sebagian pejabat" adalah "semua koruptor",
melainkan dikatakan bahwa "sebagian pejabat" adalah "sebagian (dari) koruptor".
Kalau begitu term predikatnya meliputi hanya sebagian saja dari anggotanya; jadi, tidak
berdistribusi.
Pengecualian terhadap hukum ini hanya berlaku bagi proposisi A yang memiliki
corak tertentu. Pertama, hukum ini tidak berlaku pada proposisi A yang term subjek dan
term predikatnya sama-sama mempunyai luas universal. Corak proposisi semacam ini
hanya terdapat dalam definisi. Sebagaimana sudah dijelaskan, salah satu hukum definisi
mengatakan "Definens dan definendum harus dapat di bolak-balik". Untuk itu, luas dari
kedua bagian itu harus sama besarnya, yaitu sama-sama universal. Amatilah contoh
berikut ini.
(1) "Manusia adalah hewan yang berakal budi."
(2) "Janda adalah wanita yang pernah bersuami."
(3) "Dosen adalah orang yang mengajar di perguruan tinggi."

Ketiga pernyataan di atas tidak sekadar berupa proposisi, melainkan proposisi yang
berbentuk definisi, yakni definisi hakiki. Karena itu, luas term predikat dari masing-
masingnya bukan partikular, melainkan universal.
Kedua, hukum ini juga tidak berlaku pada proposisi A yang term subjek dan
term predikatnya sama-sama mempunyai luas singular. Seperti diketahui, term singular
adalah term yang pengertiannya menunjuk pada satu hal atau satu individu tertentu.
Perhatikanlah bahwa luas term predikat dari masing-masing proposisi berikut ini bukan
partikular, melainkan singular.
(4) "Tommy adalah putera sulung Tuan Jamal."
(5) "Sungai ini adalah sungai terpanjang di daerah ini."
(6) "Asri adalah wanita pertama yang menyaksikan kejadian itu."

2) Luas term predikat dalam proposisi negatif


Hukum pokok berbunyi: "Dalam proposisi negatif, luas term predikat selalu
universal." Dalam suatu proposisi E, seperti "Semua kelinci bukan gajah", term gajah
(predikat) sama sekali terpisah dari term kelinci (subjek); begitu juga sebaliknya. Itu
berarti gajah yang dimaksud dalam proposisi itu bukan hanya sebagian gajah,
melainkan semua (yang disebut) gajah. Dengan demikian, term gajah dalam proposisi
tersebut meliputi semua anggotanya; jadi, berdistribusi.
Demikian pula halnya dengan proposisi O, seperti "Sebagian bintang film bukan
penyanyi". Dalam proposisi tersebut term bintang film yang dimaksud (sebagian saja)
sama sekali terpisah dari term penyanyi; begitu juga sebaliknya. Itu berarti penyanyi
yang dimaksud dalam proposisi itu bukan hanya sebagian penyanyi, melainkan semua
penyanyi; dan karena itu term penyanyi dalam proposisi itu berlaku untuk semua
anggotanya; jadi, berdistribusi.
Satu-satunya pengecualian terhadap hukum ini terdapat pada proposisi E yang
luas term subjek beserta predikatnya sama-sama singular. Perhatikan ketiga proposisi
berikut ini.
(1) "Semarang bukan kota terbesar di lndonesia. "
(2) "Ingrid bukan puteri bungsu Nyonya Farida."
(3) "Menara ini bukan menara yang paling tinggi di kota ini."

Term predikat dari masing-masing proposisi di atas ini dengan jelas menunjuk pada satu
hal tertentu, dan karena itu luasnya bukan universal, melainkan singular.

2.3.4 Penyimpulan Deduktif dan Silogisme

a) Apa itu penyimpulan deduktif dan silogisme?


Sebagaimana telah dikemukakan, deduksi adalah proses pemikiran yang dengan
berpijak pada pengetahuan yang lebih umum, dan yang membuahkan kesimpulan yang
lebih khusus. Dalam penyimpulan (penalaran) deduktif itu, meskipun kesimpulan yang
diturunkan merupakan sesuatu yang baru, namun pada hakekatnya kesimpulan tersebut
sudah tersirat dalam premis-premisnya.
Ditinjau dari segi cara menurunkan kesimpulan, penyimpulan (penalaran) itu
dapat dibedakan atas dua macam, yaitu penyimpulan langsung dan penyimpulan tidak
langsung. Penyimpulan langsung adalah penalaran yang hanya bertolak dari sebuah
premis, dan, atas dasar itu, langsung menurunkan kesimpulan. Sebaliknya, sebuah
penalaran disebut penyimpulan tidak langsung jika proses penalaran itu bergerak dari
proposisi pertama (premis mayor) dan, dengan melalui proposisi kedua (premis minor),
menghasilkan kesimpulan. Penalaran tidak langsung inilah yang nantinya terwujud
dalam suatu bentuk (struktur) logis yang disebut silogisme.

1) Penalaran langsung
Salah satu prosedur yang lazim digunakan dalam mempraktekkan penalaran
langsung adalah melakukan konversi. Yang dimaksud dengan konversi adalah
pengungkapan kembali makna yang terkandung dalam sebuah proposisi dengan cara
menukarkan tempat term subjek dengan term predikatnya tanpa mengubah kualitas
proposisi tersebut. Itu berarti, bila dalam suatu proposisi terdapat suatu hubungan
tertentu antara term subjek dan term predikatnya, maka atas dasar itu dapat pula
disimpulkan mengenai hubungan antara term predikat dan term subjeknya. Jadi, jika
memang ternyata "S—P", maka dapat disimpulkan bahwa "P— S".
Agar kesimpulan dari sebuah penalaran langsung melalui proses konversi dapat
mempunyai makna yang sama (ekuivalen) dengan premisnya, maka perlu diperhatikan
hukum pokoknya yang berbunyi: Luas term predikat pada proposisi asal (premis)
harus sama besar dengan luas term tersebut pada proposisi baru (kesimpulan). Akan
tetapi, konversi yang menghasilkan kesimpulan yang benar-benar ekuivalen atau
semakna– dan karena itu juga senilai—dengan premisnya, hanya bisa dilakukan untuk
proposisi E dan proposisi I. Hal ini disebabkan baik proposisi E maupun proposisi I
masing-masing memiliki term subjek dan term predikat dengan luas yang sama besar.
Pada proposisi E, term subjek dan term predikat sama-sama mempunyai luas
universal. Dengan demikian proposisi E, jika dikonversi, tetap menjadi proposisi E.
Amatilah contoh berikut ini.
Premis : "Semua becak bukan mobil" (proposisi E).
Kesimpulan : "Semua mobil bukan becak" (proposisi E).
Premis dan kesimpulan dalam penalaran langsung di atas ekuivalen atau semakna
halnya dengan proposisi I. Term subjek dan term predikat pada proposisi I keduanya
mempunyai luas partikular. Dengan demikian proposisi I, jika dikonversi, tetap menjadi
proposisi I. Perhatikan contoh di bawah ini.
Premis : "Beberapa mahasiswa adalah penyanyi" (proposisi I).
Kesimpulan : "Beberapa penyanyi adalah mahasiswa" (proposisi I).
Premis dan kesimpulan dalam penalaran langsung di atas pun ekuivalen atau semakna.
Karena prosedur konversi untuk proposisi E dan proposisi I itu hanya berupa
penukaran tempat term subjek dan term predikat. maka disebut konversi sederhana.
Prosedur konversi sederhana tidak dapat dilakukan terhadap proposisi A. Hal ini
disebabkan dalam proposisi A (ingat: kualitasnya afirmatif!), luas term predikatnya
adalah partikular. Jika dikonversi secara sederhana begitu saja, maka term predikat,
yang dalam premis mempunyai luas partikular, akan memperoleh luas universal dalam
kesimpulan. Amatilah contoh di bawah ini:
Premis : "Semua emas adalah logam" (proposisi A).
Kesimpulan : "Semua logam adalah emas" (proposisi A).
Jelaslah bahwa kesimpulan itu salah. Karena itu, untuk mendapat konversi yang
tepat terhadap proposisi premisnya, maka term predikat (logam) pada premis tersebut
harus dibatasi luasnya dalam kesimpulan menjadi partikular. Dengan demikian,
konversi terhadap premis dalam penalaran langsung di atas seharusnya begini.
Kesimpulan: "Sebagian logam adalah emas" (proposisi I).
Jadi, proposisi A hanya dapat dikonversi menjadi proposisi I. Itulah sebabnya
untuk proposisi A hanya berlaku konversi terbatas. Pengecualian hanya bisa terjadi
apabila proposisi A itu memang merupakan sebuah definisi karena kedua unsur dalam
definisi, yakni definiens dan definendum, dituntut harus sama-sama mempunyai luas
universal agar dapat dipertukarkan tempatnya. Kalau begitu, kesimpulan dalam
penalaran langsung berikut ini benar sekaligus ekuivalen dengan premisnya.
Premis : "(Semua) manusia adalah makhluk yang berakal budi" (proposisi A).
Kesimpulan : "Semua makhluk yang berakal budi adalah manusia" (proposisi A).

Proposisi O tidak dapat dikonversi, karena dalam proposisi O luas term


predikatnya adalah universal. Itu berarti, sejalan dengan hukum pokok di atas, term
predikat itu harus diturunkan ke dalam kesimpulan dengan luas universal pula, dan
kalau begitu kesimpulannya selalu berupa proposisi E. Dengan demikian, kesimpulan
yang ditarik bukan hanya tidak ekuivalen dengan premisnya, tetapi juga selalu salah.
Amatilah contoh berikut ini.
Premis : "Sebagian bintang film bukan penyanyi" (proposisi O).
Kesimpulan : “Semua penyanyi bukan bintang film” (proposisi E)
Atau
Premis : “Sebagian manusia bukan dokter” (proposisi O)
Kesimpulan : “Semua dokter bukan manusia” (proposisi E)
Secara keseluruhan, prosedur konversi untuk semua jenis proposisi di atas dapat dilihat
pada Tabel 5: Prosedur Konversi.

Tabel 5: Prosedur Konversi

Jenis Proposisi asal Konversi


Proposisi

Semua mobil bukan becak.


E Semua becak bukan mobil.
(konversi sederhana)

Beberapa penyanyi adalah mahasiswa.


I Beberapa mahasiswa adalah penyanyi.
(konversi sederhana)

Sebagian logam adalah emas.


A Semua emas adalah logam.
(konversi terbatas)

O Sebagian bintang film bukan penyanyi. (tidak ada konversi)

2) Penalaran tidak langsung


Seperti dikatakan di atas, penalaran tidak langsung diwujudkan dalam satu
bentuk logis yang disebut silogisme. Karena menurut sifat pengakuan dan pengingkaran
term predikat tentang term subjek kita mengenal dua macam proposisi, yaitu proposisi
kategoris dan proposisi hipotetis, maka dalam pembicaraan tentang silogisme, kita juga
mengenal silogisme kategoris dan silogisme hipotetis.

(a) Silogisme Kategoris Standar


Silogisme kategoris (atau dengan singkat silogisme) adalah suatu bentuk logis
argumen deduktif yang terdiri atas dua premis dan satu kesimpulan, yang semuanya
merupakan proposisi-proposisi kategoris. Sementara itu, suatu silogisme kategoris
hanya dapat disebut standar jika semua proposisi yang terkandung di dalamnya
(premis-premis dan kesimpulan) merupakan proposisi-proposisi kategoris standar.
Kecuali itu, suatu silogisme kategoris standar selalu berisikan tiga term atau tiga kelas,
yang masing-masingnya hanya boleh muncul dalam dua proposisi silogisme.
Kesimpulan dari silogisme kategoris standar yang berupa proposisi kategoris
standar itu mengandung dua dari tiga term silogisme yakni term subjek (S) dan term
predikat (P). Term predikat dari kesimpulan disebut “term mayor” silogisme, sedangkan
term subjek dari kesimpulan disebut “term minor” silogisme. Jadi, dalam bentuk
silogisme kategoris standar, seperti
Semua pahlawan adalah orang dewasa.
Beberapa prajurit adalah pahlawan.
Jadi. Beberapa prajurit adalah orang berjasa.

Term prqjurit adalah term minor dan term orang berjasa adalah term mayor. Term
ketiga dari silogisme, yang tidak terdapat dalam kesimpulan, tetapi yang hanya termuat
dalam kedua premis, disebut “term menengah” (dilambangkan dengan M yang
merupakan singkatan dari (terminus) medius). Dalam contoh di atas, term pahlawan
adalah term menengah.
Term mayor dan term minor dari sebuah silogisme kategoris standar masing-
masing terkandung dalam salah satu dari kedua premis silogisme. Premis yang
mengandung term mayor disebut “premis mayor”, sedangkan premis yang mengandung
term minor disebut “premis minor”. Dalam silogisme di atas, premis mayor adalah
“Semua pahlawan adalah orang berjasa”, sedangkan premis minor adalah “Beberapa
prqjurit adalah pahlawan”.
Dalam silogisme standar, premis mayor selalu ditempatkan sebagai proposisi
pertama pada baris pertama, sedangkan premis minor selalu ditempatkan sebagai
proposisi kedua pada baris kedua. Premis mayor dan premis minor ini berfungsi sebagai
pangkal tolak seluruh penalaran. Kesimpulan penalaran diturunkan dengan
memperhatikan hubungan antara premis mayor dan premis minor tersebut atau, dalam
contoh di atas, antara term menengah (M) dengan term predikat (P) dalam premis
mayor, dan antara term subjek (S) dengan term menengah (M) dalam premis minor. Itu
berarti, kalau memang ternyata bahwa M sama dengan P, sedangkan S sama dengan M,
maka S mesti sama juga dcngan P:
M=P

S=M

... S = P

Penalaran yang menggunakan term menengah (M) untuk menarik kesimpulan


dalam sistem Aristoteles, disebut penalaran tidak langsung.

(b) Sifat Formal Argumen Silogistis


Dari segi tinjauan logika, bentuk argumen merupakan aspek yang paling
penting. Masalah kesahihan atau ketidaksahihan silogisme kategoris tergantung semata-
mata pada bentuk (forma)-nya dan sama sekali tidak tergantung pada isi (materi)-nya.
Dan, seperti sudah disinggung, pembicaraan tentang isi suatu silogisme kategoris adalah
pembicaraan tentang benar tidaknya proposisi-proposisi (premis-premis dan
kesimpulannya). Jadi istilah sahih dan tidak sahih hanya dapat dikenakan pada (bentuk)
argumen, sedangkan istilah-istilah benar dan tidak benar hanya dapat dikenakan pada
proposisi-proposisi.

Silogisme dengan bentuk, seperti


Semua M adalah P
Semua M adalah P
Jadi, semua S adalah P
adalah suatu argumen yang sahih tanpa memperhatikan isinya. Itu berarti, term-term apa
pun yang digunakan untuk menggantikan lambang-lambang "S", "P", dan "M" argumen
yang dilahirkan akan tetap sahih. Jika kita menggantikan lambang-lambang tersebut
dengan term-term mahasiswa-mahasiswa UI, hewan berakal budi, dan manusia, maka
kita akan memperoleh argumen yang sahih:
Semua manusia adalah hewan berakal budi
Semua mahasiswa UI adalah manusia
Jadi, semua mahasiswa UI adalah hewan berakal budi

Apabila, dalam bentuk yang sama, kita menggantikan lambang-lambang tersebut


dengan term-term lele, binatang yang hidup dalam air, dan ikan, maka
Semua ikan adalah binatang yang hidup dalam air.
Semua lele adalah ikan.
Jadi, semua lele adalah binatang yang hidup dalam air.
adalah juga argumen yang sahih.
Suatu silogisme kategoris yang sahih adalah argumen yang sahih secara formal,
sahih berdasarkan bentuknya saja. Ini menunjukkan bahwa silogisme lain, asal
menggunakan bentuk yang sama, juga tetap disebut sahih. Sebaliknya, jika suatu
silogisme tertentu ternyata tidak sahih, maka silogisme lain mana pun, sejauh
menggunakan bentuk yang sama, tetap juga tidak sahih. Perhatikanlah kedua contoh
berikut ini:

(1) Semua penyanyi adalah orang yang bersuara bagus.


Beberapa mahasiswa UI adalah orang yang bersuara bagus
Jadi, beberapa mahasiswa UI adalah penyanyi.
(2) Semua kelinci adalah binatang berkaki empat.
Semua kuda adalah binatang berkaki empat.
Jadi, semua kuda adalah kelinci.

Pada contoh (1) kita melihat bahwa premis-premis dan kesimpulannya, dari segi
isi (menurut kenyataan), adalah benar. Namun, dari segi bentuk, argumen itu tidak
sahih. Dalam contoh (2) kita melihat bahwa, dari segi isi, premis-premisnya benar
sedangkan kesimpulannya salah. Hal ini justru disebabkan jalan pikirannya tidak lurus;
dengan kata lain, argumen tersebut, menurut bentuknya, tidak sahih. Persoalan
mengenai bentuk argumen ini akan dengan lebih mudah dipahami bila kita mendalami
sungguh-sungguh semua seluk-beluk yang berkaitan dengan hukum-hukum silogisme.

b) Hukum Silogisme Kategoris


Untuk membangun suatu bentuk argumen silogistik yang sungguh-sungguh
logis, kita harus mematuhi kaidah-kaidah penyimpulan yang semuanya berjumlah
delapan hukum. Dari kedelapan hukum ini, empat di antaranya tentang term, dan empat
lainnya tentang proposisi (Hayon, 2005: 140-149)

c) Silogisme Hipotetis
Silogisme hipotetis adalah model argumentasi yang premis mayornya berupa
sebuah proposisi kondisional. Premis mayor ini terdiri atas dua bagian: bagian pertama
mengandung syarat (sebab) yang dimulai dengan “Jika”; lazimnya disebut antesedens,
dan bagian kedua mengandung apa yang disyaratkan (akibat) yang dimulai dengan
“Maka”; lazimnya disebut konsekuens. Dalam logika, premis mayor dari argumentasi
ini biasanya tersusun dalam empat pola, yakni:
(a) “Jika A, maka B.”
(b) “Jika A, maka bukan B.”
(c) “Jika bukan A, maka B.”
(d) “Jika bukan A, maka bukan B”
Argumentasi kondisional dengan premis mayor yang tersusun dalam empat pola
itu dikenal dalam dua jenis, yakni argumentasi kondisional dalam arti luas dan
argumentasi kondisional dalam arti sempit.

(1) Silogisme kondisional dalam arti luas


Jenis argumentasi ini secara keseluruhan memiliki empat bentuk, namun hanya
ada dua bentuk yang sahih, sedangkan dua bentuk lainnya tidak sahih.

(a) Bentuk Sahih


Agar bentuk argumentasi kondisional dalam arti luas ini dapat sahih, kita harus
berpegang pada dua hukum Pertama, proses penyimpulan harus bergerak dari pem-
benaran terhadap syarat (sebab) dalam antesedens (premis minor) kepada
pembenaran terhadap apa yang disyaratkan (akibat) yang termuat dalam konsekuens
(kesimpulan). Proses penyimpulan dengan tata aturan seperti ini disebut modus
ponens. Kita ambil sebuah contoh dengan mengikuti pola pertama sebagai berikut:
Jika Jones Ginting terserang flu burung,
maka ia mengalami sesak nafas.
Ternyata Jones Ginting terserang flu burung,
Jadi, ia mengalami sesak nafas.
Jalan pikiran ini logis.

Hukum kedua, proses penyimpulan harus bergerak dari pengingkaran terhadap apa
yang disyaratkan (akibat) yang termuat dalam konsekuens (premis minor) kepada
pengingkaran terhadap syarat (sebab) yang termuat dalam antesedens (kesimpulan).
Tata aturan penyimpulan seperti ini disebut modus tollens. Dengan mengambil
contoh dari pola yang sama, bentuk argumentasi itu menjadi demikian:
Jika Jones Ginting terserang flu burung, maka ia mengalami sesak napas.
Ternyata Jones Ginting tidak mengalami sesak napas. Jadi, ia tidak terserang
flu burung.
Jalan pikiran ini pun logis

(b) Bentuk yang tidak sahih


Ada dua bentuk tidak sahih yang diperoleh dari argumentasi konsidional ini. Bentuk
yang satu mirip dengan modus ponens di atas. Amatilah contoh di bawah ini:
Jika Jones Ginting terserang flu burung,
maka ia mengalami sesak napas.
Ternyata, Jones Ginting mengalami sesak napas.
Jadi, ia terserang flu burung.

Jalan pikiran seperti ini tidak logis karena proses penyimpulan tersebut masih
membuka peluang bagi adanya kemungkinan lain. Dari adanya kenyataan bahwa
“Jones Ginting mengalami sesak napas” (akibat), tidak dapat secara pasti
disimpulkan bahwa “Jones Ginting terserang flu burung”. Mungkin karena ada
penyebab lain.
Bentuk lain yang juga tidak sahih, mirip dengan modus tollens di atas. Perhatikan
contoh berikut:
Jika Jones Ginting terserang flu burung, maka ia mengalami sesak napas.
Ternyata, Jones Ginting tidak terserang flu burung. Jadi, ia tidak mengalami
sesak napas.
Jalan pikiran ini pun tidak logis karena masih terdapat kemungkinan lain. Dari
adanya kenyataan bahwa “Jones Ginting tidak terserang flu burung” (sebab), tidak
dapat secara pasti disimpulkan bahwa “Jones Ginting tidak mengalami sesak napas”
(akibat). Bisa saja Jones Ginting memang mengalami sesak napas tetapi
penyebabnya lain, bukan karena ia terserang flu burung.

(2) Silogisme Kondisional dalam arti sempit


Berbeda dengan argumentasi kondisional dalam arti luas, argumentasi
kondisional dalam arti sempit memiliki empat bentuk yang kesemuanya sahih. Hal ini
disebabkan argumentasi kondisional dalam arti sempit ini tidak membuka peluang bagi
adanya kemungkinan lain; jadi, eksklusif sifatnya. Tetapi agar keempat bentuk itu dapat
sahih semuanya, maka hanya ada satu aturan yang harus dipatuhi, yakni syarat (sebab)
yang terkandung dalam antesedens harus merupakan satu-satunya syarat (sebab). Untuk
itu frase “Jika…, maka….” harus diubah menjadi “Jika dan hanya jika…., maka….”
Dengan memakai rumusan ini, kita dapat menghasilkan empat bentuk argumentasi
kondisional yang sahih. Dengan menggunakan contoh yang sama, keempat bentuk sahih
tersebut menjadi demikian:
(a) Jika dan hanya jika Jones Ginting terserang flu burung, maka ia mengalami sesak
napas.
Ternyata, Jones Ginting terserang flu burung.
Jadi, ia mengalami sesak nafas.
(b) Jika dan hanya jika Jones Ginting terserang flu burung, maka ia
mengalami sesak napas.
Ternyata, Jones Ginting tidak mengalami sesak napas.
Jadi, ia tidak terserang flu burung.
(c) Jika dan hanya jika Jones Ginting terserang flu burung, maka ia
mengalami sesak napas.
Ternyata, Jones Ginting mengalami sesak napas.
Jadi, ia terserang flu burung.
(d) Jika dan hanya jika Jones Ginting terserang flu burung, maka ia
mengalami sesak napas.
Ternyata, Jones Ginting tidak terserang flu burung.
Jadi, ia tidak mengalami sesak napas.

2.4 KESESATAN BERPIKIR

Secara sederhana kesesatan berpikir (atau disingkat kesesatan) dapat dibedakan


dalam dua kategori, yaitu kesesatan formal dan kesesatan material. Kesesatan formal
adalah kesesatan yang dilakukan karena bentuk (forma) penalaran yang tidak tepat atau
tidak sahih. Kesesatan ini terjadi karena pelanggaran terhadap hukum-hukum silogisme.
Sebaliknya, kesesatan material adalah kesesatan yang terutama menyangkut isi (materi)
penalaran. Kesesatan ini dapat terjadi karena faktor bahasa (kesesatan bahasa) dan juga
karena memang tidak adanya hubungan logis atau relevansi antara premis dan
kesimpulannya (kesesatan relevansi).

2.4.1 Kesesatan Bahasa


Salah satu model kesesatan bahasa yang sering dilakukan orang adalah
kesesatan amfiboli. Kesesatan ini terjadi karena kekeliruan penempatan suatu kata atau
term dalam sebuah ungkapan (kalimat) sehingga makna ungkapan (kalimat) itu menjadi
bercabang. Akibatnya, timbul lebih dari satu penafsiran mengenai maknanya, padahal
hanya salah satu saja yang benar, dan yang lain pasti salah. Amatilah contoh berikut:
Putera pengusaha yang gemar bermain golf itu mengalami kecelakaan.
Kalimat itu mengandung ambiguitas atau percabangan arti. Hal ini bersumber
pada letak term “yang gemar bermain golf”. Yang dipersoalkan dalam konteks kalimat
itu ialah term tersebut menerangkan yang mana: Putera dari pengusaha atau pengusaha
itu sendiri? Kesesatan yang sama terlihat dalam kedua contoh berikut ini:
(1) Kami mengharapkan kehadiran Saudara pada acara pelantikan Dekan Fakultas
Psikologi yang baru.
(2) “Selamat Hari Ulang Tahun Golkar ke-41”

2.4.2 Kesesatan Relevansi


Kesesatan relevansi timbul apabila seseorang menarik kesimpulan yang tidak
relevan dengan premisnya. Artinya secara logis kesimpulan itu tidak merupakan
implikasi dari premisnya. Penalaran yang mengandung kesesatan relevansi sama sekali
tidak menampakkan sama sekali hubungan logis antara premis dan kesimpulannya. Di
bawah ini dikemukakan beberapa jenis kesesatan relevansi yang umum dilakukan.

a) Argumentum Ad Hominem
Ad Hominem secara harafiah berarti ‘mengacu pada orangnya’. Kesesatan
argumentum ad hominem terjadi bila seseorang berusaha untuk menerima atau menolak
suatu gagasan (ide) bukan berdasarkan faktor penalaran yang terkandung dalam gagasan
itu, melainkan berdasarkan alasan yang berhubungan dengan pribadi dari orang yang
melontarkan gagasan. Singkatnya, yang disoroti bukan penalarannya, melainkan
orangnya. Bila orangnya disenangi, pandangannya diterima, tetapi bila orangnya tidak
disenangi, pandangannya ditolak.
Contoh :
Dalam suatu rapat umum yang dipimpin oleh kepala desa, semua warga desa yang
hadir dimintai pandangannya mengenai cara-cara memelihara lingkungan desa
agar dapat terhindar dari bahaya demam berdarah. Marzuki, salah seorang warga
desa, juga ikut hadir dan memberikan pendapatnya. Tetapi pendapatnya langsung
ditolak oleh sebagian warga desa yang hadir. Alasannya ialah karena Marzuki itu
di desanya dikenal sebagai orang yang suka mabuk-mabukan.

b) Argumentum Ad Populum
Argumentum ad populum (dalam bahasa Latin, populus berarti ‘rakyat’ atau
‘massa’) adalah penalaran yang diajukan untuk meyakinkan para pendengar dengan
mengatasnamakan kepentingan rakyat atau orang banyak. Di sini pembuktian logis
tidak diperlukan. Yang dipentingkan ialah menggugah perasaan massa pendengar,
membangkitkan semangat dan membakar emosi orang banyak agar menerima suatu
pernyataan tertentu. Argumentum ad populum kerap dijumpai dalam kampanye politik,
pidato-pidato, dan propaganda-propaganda seperti yang terdapat dalam dunia iklan.
Simaklah contoh berikut ini yang diangkat dari pidato dalam sebuah kampanye
menjelang Pemilu.

“... Sejak awal tekad Golkar hanya satu, yakni memperjuangkan dan membela
kepentingan rakyat. Golkar memahami aspirasi rakyat, Golkar merasakan
penderitaan rakyat, Golkar tidak pernah meninggalkan rakyat, Golkar selalu
menyatu dengan rakyat, Golkar merupakan hati nurani rakyat. Karena itu siapa
pun yang menentang program Golkar, dia menentang perjuangan rakyat dan
yang menentang perjuangan rakyat, dia adalah musuh rakyat ... .”

c) Argumentum Ad Verecundiam
Jenis kesesatan relevansi ini disebut juga argumentum auctoritatis (dalam
bahasa Latin, auctoritas berarti ‘kewibawaan’) yang memang sangat mirip dengan
argumentum ad hominem. Dalam argumentum ad verecundiam atau argumentum
auctoritatis ini, nilai suatu penalaran terutama ditentukan oleh keahlian atau
kewibawaan orang yang mengemukakannya. Jadi, suatu gagasan diterima sebagai
gagasan yang benar hanya karena gagasan tersebut dikemukakan oleh seseorang yang
sudah terkenal karena keahliannya.
Contoh:
“Apa yang dikatakan oleh Prof. Dr. Solichin itu pasti benar karena beliau adalah
seorang psikolog ulung dan namanya sudah tidak asing lagi dalam dunia
pendidikan.”

d) Ignoratio Elenchi
Kesesatan ignoratio elenchi terjadi bila seseorang menarik kesimpulan yang
sebenarnya tidak memiliki relevansi dengan premisnya. Dengan demikian ketiga jenis
kesesatan yang sudah disebutkan terdahulu (argumentum ad hominem, argumentum ad
populum, dan argumentum ad verecundiam) dapat dikategorikan sebagai bagian dari
kesesatan ignoratio elenchi ini.
Ignoratio elenchi memperlihatkan loncatan sembarangan dari premis ke
kesimpulan yang sama sekali tidak ada kaitan dengan premis tadi. Karena itu hubungan
antara premis dan kesimpulan hanya suatu hubungan yang semu, bukan hubungan yang
sesungguhnya. Dalam kesesatan ini biasanya prasangka, kepercayaan mistis, emosi, dan
perasaan subjektif merupakan faktor-faktor yang memainkan peranan utama. Selidikilah
kedua contoh di bawah ini.
(1) Fitri itu puteri bungsu; pasti dia keras kepala.
(2) Saat melihat seekor kupu-kupu hinggap di jendela rumah, sang ibu rumah
tangga berkata kepada suaminya, “Pak, hari ini kita akan kedatangan tamu”.
e) Kesesatan karena Generalisasi Tergesa-gesa
Jenis kesesatan ini sebetulnya merupakan akibat dari induksi yang keliru karena
bertumpu pada hal-hal khusus yang tidak mencukupi. Orang yang melakukan kesesatan
ini biasanya tergopoh-gopoh menarik kesimpulan yang berlaku umum (general),
sementara percontoh (sample) yang dijadikan titik tolak kurang, atau bahkan tidak
memadai. Perhatikan ketiga contoh di bawah ini.
(1) Remaja-remaja masa kini sulit diajak berdialog.
(2) Supir-supir kendaraan umum di Jakarta lebih mengutamakan uang setoran
daripada keselamatan penumpang.
(3) Aksi-aksi unjuk rasa yang terjadi akhir-akhir ini berlatar belakang politik.

f) Kesesatan karena Komposisi


Kesesatan karena komposisi dilakukan bila seseorang berpijak pada anggapan
bahwa apa yang benar (berlaku) bagi satu atau beberapa individu dari suatu kelompok
tertentu, pasti juga benar (berlaku) bagi seluruh kelompok secara kolektif. Dengan kata
lain, kesesatan karena komposisi terjadi karena suatu predikat yang seharusnya hanya
dikenakan kepada satu atau beberapa individu dalam suatu kesatuan, oleh seseorang
justru dikenakan kepada kesatuan tersebut secara keseluruhan.
Contoh:
(1) Dari pernyataan “Polo itu seorang ayah pengedar shabu-shabu”, seseorang
menarik kesimpulan “Keluarga Polo itu juga pasti pengedar shabu-shabu.”
(2) Beberapa pemain depan kesebelasan Belanda, dalam pertandingan melawan
kesebelasan Brasil baru-baru ini, bermain sangat cermerlang. Minggu depan
kesebelasan Belanda itu akan berhadapan dengan kesebelasan Argentina.
Pasti tim Belanda itu akan tetap bermain bagus.

Setiap pernyataan yang bersifat ilmiah haruslah memenuhi tuntutan logis, kritis,
dan rasional. Dengan berbekalkan kemampuan berpikir logis yang kuat, seseorang dapat
memasuki bidang ilmu pengetahuan yang akan dibahas dalam bab berikut di bawah
judul Filsafat Ilmu.

BAB III
FILSAFAT ILMU

Pada bab ini akan dibahas tentang pengertian filsafat ilmu pengetahuan, ilmu
pengetahuan, dan pengetahuan serta persamaan dan perbedaan yang mendasar tentang
keduanya. Selain itu juga akan dikaji tentang cara kerja ilmu empiris yang sifatnya
induktif, cara kerja ilmu deduktif, dan ilmu-ilmu kemanusiaan. Pengenalan tentang
berbagai bentuk pengetahuan dan ilmu pengetahuan sangatlah berguna terutama dalam
menentukan dasar seseorang dalam memasuki dunia ilmu pengetahuan atau dunia
ilmiah.

3.1 PENGETAHUAN DAN ILMU PENGETAHUAN

3.1.1 Pengertian Pengetahuan


Bagi manusia hal utama yang sangat penting adalah keingintahuan tentang
sesuatu. Sesuatu itu dapat berupa apa saja, sesuatu yang tampak konkret, atau nyata
seperti meja, kursi, teman, alat-alat kedokteran, dan buku. Baginya apa yang nampak
dan diketahuinya akan menjadi sebuah pengetahuan. Untuk mendapatkan pengetahuan
itu, maka pengenalan akan pengalaman indrawi sangat menentukan. Seseorang dapat
membuktikan secara indrawi, secara konkret, secara faktual, dan bahkan ada saksi yang
mengatakan, bahwa benda itu, misalnya kursi, memang benar ada dan berada di ruang
kerja seseorang. Dengan pembuktian secara indrawi (karena sentuhan, penglihatan,
pendengaran, penciuman, daya pengecap, dan argumen-argumen yang menguatkannya)
maka sebenarnya telah muncul suatu kebenaran tentang pengetahuan itu. Bagaimana
sebenarnya pengetahuan berasal? Pengetahuan muncul karena adanya gejala. Gejala-
gejala yang melekat pada sesuatu misalnya bercak-bercak merah pada kulit tubuh
manusia, aroma bau tertentu karena seseorang sedang membakar sate ayam, bau yang
menyengat dari got yang sudah lama got itu tidak dibersihkan, semua gejala itu muncul
dihadapan kita. Kita harus “menangkap” gejala itu atas dasar pengamatan indrawi, atau
observasi yang cermat, secara empiris dan rasional. Pengetahuan yang lebih
menekankan adanya pengamatan dan pengalaman indrawi dikenal sebagai pengetahuan
empiris atau pengetahuan aposteriori. Setelah mengenal pengetahuan yang bersifat
empiris, maka pengetahuan empiris itu harus dideskripsikan, sehingga kita mengenal
pengetahuan deskriptif. Pengetahuan deskriptif muncul bila seseorang dapat
melukiskan, menggambarkan segala ciri, sifat, dan gejala yang nampak olehnya, dan
penggambaran tersebut atas dasar kebenaran (objektivitas) dari berbagai hal yang
diamatinya itu.
Pengalaman pribadi manusia tentang sesuatu yang terjadi berulang kali juga
dapat membentuk suatu pengetahuan baginya. Sebagai contoh, Ani merasa bahwa ia
akan terlambat kuliah di kampus (kuliah dimulai pukul 9 pagi) apabila berangkat dari
rumah pukul 7.30 pagi, karena perjalanan ke kampus membutuhkan waktu 2 jam.
Selama ini ia sering terlambat masuk kuliah karena berangkat dari rumah pukul 7.30
pagi. Untuk itu ia telah berpikir dan memutuskan bahwa setiap hari ia harus berangkat
pukul 6.30 agar tidak terlambat di kampus. Contoh tersebut menunjukkan bahwa
pemikiran manusia atau kesadaran manusia dapat dianggap juga sebagai sumber
pengetahuan dalam upaya mencari pengetahuan. Selain pengamatan yang konkret atau
empiris, kekuatan akal budi sangatlah menunjang. Kekuatan akal budi yang dikenal
sebagai rasionalisme, (yaitu pandangan yang bertitik tolak pada kekuatan akal budi)
lebih menekankan adanya pengetahuan yang sifatnya apriori, suatu pengetahuan yang
tidak menekankan pada pengalaman. Matematika dan logika adalah hasil dari akal budi,
bukan dari pengalaman. Sebagai contoh, dalam logika muncul pernyataan: “Jika benda
A tidak ada, maka dalam waktu yang bersamaan, benda itu, A pasti tidak dapat hadir di
sini”. Dalam matematika, perhitungan 2 + 2 = 4 merupakan penjumlahan itu sebagai
sesuatu yang pasti dan sangat logis.

3.1.2 Pengertian Ilmu Pengetahuan


Sebuah pernyataan yang muncul di benak orang ialah, sebenarnya ilmu
pengetahuan atau pengetahuan ilmiah itu apa? Apakah ada perbedaan antara
pengetahuan dengan ilmu pengetahuan? Untuk menjawab hal itu perlulah kita
mengulasnya dengan cermat. Ilmu pengetahuan muncul karena adanya pengalaman
manusia ketika ia mendapatkan pengetahuan tertentu melalui proses yang khusus.
Sebuah cerita tentang Newton, bagaimana ia menemukan teori gravitasi dalam ilmu
fisika bermula ketika ia merasakan sesuatu, yaitu apel yang jatuh dan menimpa
kepalanya saat sedang duduk di bawah pohon apel. Pengalaman tentang sesuatu itulah
yang menyebabkan orang kemudian berpikir dan berpikir lebih lanjut tentang sebab
peristiwa tersebut. Berkat ketekunan, kesabaran, keingintahuan serta didukung oleh
kepandaian dan inteligensi yang memadai dan daya kreativitas yang tinggi, seseorang
dapat menciptakan teori-teori atau hukum atau dalil dan teori-teori tersebut agar dapat
diterapkan bagi kepentingan umat manusia. Munculnya teknologi atau hasil dari ilmu
pengetahuan (berupa benda-benda di sekeliling manusia seperti mobil, pesawat terbang,
kereta api, komputer, dan telpon selular) dari masa ke masa telah menunjukkan bahwa
ilmu pengetahuan memang mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Tetapi pengalaman yang bersifat indrawi belumlah cukup untuk menghasilkan
ilmu pengetahuan. Pengalaman indrawi tersebut harus mengalami proses ilmiah yang
lebih lanjut, dan hal ini dikenal sebagai proses metodologis. Proses metodologis adalah
suatu proses kerja di dalam kegiatan ilmiah (misalnya dapat berada dalam suatu
laboratorium) untuk mengolah gejala-gejala pengetahuan dan bertujuan mendapatkan
kebenaran dari gejala-gejala tersebut. Untuk itulah di dalam setiap proses metodologis
atau proses kegiatan ilmiah, observasi atau pengamatan yang cermat terhadap objek
penelitian haruslah diperhatikan dengan benar. Pengamatan secara empiris atau indrawi
yang didukung oleh alat bantu tertentu seperti mikroskop, tape recorder, atau kuesioner
sangat membantu bagi seorang peneliti dalam mencari dan menemukan fakta
penelitiannya. Hasil dari ilmu pengetahuan yang mendasarkan pada pengamatan
indrawi dan faktual disebut ilmu pengetahuan empris. Ini berarti bahwa ilmu empiris
bergantung pada objek penelitian yang sangat konkret dan terlihat, tersentuh, terdengar
dan tercium oleh panca indra manusia. Di sisi lain, ilmu pengetahuan haruslah dapat
dilukiskan, digambarkan, diuraikan secara tertulis tentang segala ciri-ciri, sifat dan
bentuk dari gejala-gejalanya, dan ilmu pengetahuan semacam itu disebut ilmu
pengetahuan deskriptif. Contoh ilmu empiris adalah antara lain: ilmu kedokteran,
antropologi, arkeologi, ilmu teknik, biologi, ilmu kimia, dan ilmu fisika, sedang contoh
ilmu deskriptif adalah antara lain: ilmu filsafat, susastra, ilmu kedokteran, biologi, ilmu
keperawatan, sosiologi, dan antropologi.
Bagi seorang ilmuwan, lingkup ilmiah sangat mendukung dalam proses
penelitiannya. Lingkup ilmiah tersebut haruslah sangat dikenal dan diakrabinya. Ia
harus mengenal langkah-langkah dan istilah teknis dalam kegiatan penelitiannya. Ia
harus dapat berpikir logis, runtut dalam setiap langkah atau tahapan dalam setiap
penelitiannya. Tahapan penelitian atau cara kerja ilmiah lazimnya dilalui dengan proses
penalaran berikut.
a) Observasi: pengamatan terhadap objek penelitian yang merupakan fenomena yang
sifatnya konkret seperti manusia, bangunan, monumen, tumbuh-tumbuhan, dan
penyakit.
b) Fakta: suatu realitas yang dihadapi seorang peneliti, sesuatu yang dilihat atau sesuatu
yang terjadi yang berkaitan dengan gejala dalam fenomena seseorang.
c) Data: hasil atau sejumlah besaran atau kuantitas yang berasal dari fakta yang telah
ditemukan oleh si peneliti. Di dalam data inilah seorang peneliti telah menemukan
gejala yang lebih bersifat kuantitatif dan konkret/faktual dari objek penelitiannya,
misalnya, jumlah rumah sakit swasta di DKI Jakarta ada 30 buah, dan penderita
diabetes mellitus di Puskesmas Rawamangun pada bulan Maret 2006 berjumlah 10
orang.
d) Konsep: pengertian atau pemahaman tentang sesuatu (yang berasal dari fakta), dan
pemahaman itu berada pada akal budi atau rasio manusia. Konsep selalu dipikirkan
oleh manusia, dan oleh karenanya menjadi pemikiran manusia. Seseorang atau
peneliti yang memiliki konsep tertentu, atau konsep tentang sesuatu, maka ia harus
menuliskan konsep itu agar dapat dipahami oleh orang lain.
e) Klasifikasi atau penggolongan atau kategori: pengelompokan gejala atau data
penelitian ke dalam kelas-kelas atau penggolongan ataupun kategori atas dasar
kriteria-kriteria tertentu. Syarat klasifikasi atau penggolongan atau kategori haruslah
memiliki ciri, dan sifat yang homogen atau sama. Apabila ciri dan sifat dari gejala
itu tidak sama, maka klasifikasi gejala atau data penelitian itu tidak menunjukkan
kadar ilmiah yang benar.
f) Definisi: perumusan sesuatu yang disebut (yang disebut definiendum) dengan apa
yang dinamakan definiens. Definisi membantu seorang peneliti atau ilmuwan untuk
merumuskan sesuatu/ hal agar orang lain lebih mudah memahaminya. Ada beberapa
jenis definisi, yang masing-masing dijelaskan berikut ini.
(1) Definisi etimologis menjelaskan sesuatu atas dasar asal katanya. Misalnya kata
biologi berasal dari bahasa Yunani (bios dan logos), yang artinya ilmu yang
mempelajari tentang mahluk hidup
(2) Definisi stipulatif merumuskan sesuatu atau istilah tertentu yang akan
digunakan untuk masa depan. Pengertian masa depan adalah suatu pengertian
yang diarahkan pada kegiatan seminar, ceramah, isi buku dan dalam kegiatan
ilmiah tertentu istilah-istilah yang baru dimunculkan.
(3) Definisi deskriptif menjelaskan sesuatu atas dasar sejarah, ciri, sifat.
(4) Definisi operasional merumuskan pelaksanaan atau cara kerja dari fungsi dan
peran gejala, alat, atau benda tertentu. Definisi operasional lazim digunakan
dalam ilmu teknik, dan ilmu pengetahuan kealaman.
(5) Definisi persuasif merumuskan sesuatu dengan tujuan agar rumusan tersebut
dapat mempengaruhi pemikiran seseorang. Definisi persuasif sering dipakai
dalam kegiatan periklanan yang dimuat di media cetak atau ditayangkan di
media elektronik maupun kegiatan kampanye politik, dan sebagainya.
Harus dipahami bahwa setiap perumusan definisi selalu menggunakan pernyataan
bahasa. Dalam ilmu pengetahuan bahasa memegang peran penting karena dapat
mengungkapkan segala kegiatan penelitian seorang ilmuwan, baik secara lisan
maupun tertulis. Bahasa ilmiah (bahasa ilmu), yaitu bahasa yang digunakan seorang
ilmuwan dalam penelitiannya, sangatlah penting karena segala upaya pembenaran
metodologisnya berada di dalamnya, seperti penjelasan dalam perumusan hipotesis,
konsep, definisi, dan teori.
Proses penalaran ialah hipotesis dan teori.
g) Hipotesa: suatu ramalan atau prediksi dalam kegiatan penelitian yang harus
dibuktikan kebenarannya. Dalam hipotesis, perumusan masalah sangatlah penting.
Seorang peneliti harus mampu merumuskan permasalahan penelitian dengan cermat
dan teliti. Atas dasar hipotesis itu, akan membuat analisis lebih lanjut.
h) Teori: hubungan yang sedemikian rupa antara gejala satu dengan gejala lainnya dan
hubungan tersebut telah dibuktikan kebenarannya. Teori yang telah teruji
kebenarannya berasal dari hipotesis yang telah dirumuskan.

3.1.3 Cara Kerja Ilmu Empiris


a) Pengertian Ilmu Empiris
Ilmu Empiris adalah ilmu yang bertitik tolak dari pengalaman indrawi.
Pengalaman indrawi ialah sentuhan, penglihatan, pendengaran, penciuman, dan
pengecapan seseorang terhadap sesuatu yang diamatinya. Dengan demikian pengalaman
indrawi berkaitan dengan objek penelitian yang sifatnya sangat konkret, faktual. Dalam
pengamatan atau observasi terhadap objek, seorang peneliti dapat menggunakan sarana
untuk menunjang pengamatannya itu. Sarana itu dapat berupa alat-alat seperti
mikroskop, teleskop, thermometer, neraca dan alat-alat pengukur lainnya. Tujuan
pengamatan ialah untuk memperoleh atau menangkap semua gejala terhadap semua
objek yang diamati, lalu menjelaskannya dengan benar. Hasil pengamatan itu berupa
data awal yang harus dicatat dengan cermat, yang kelak akan sangat berguna bagi
analisis sebuah penelitian.
b) Objek Ilmu Empiris
Ilmu empiris memiliki objek yang dapat dibedakan dari dua aspek, yaitu objek
materi dan objek formal. Objek materi berupa apa saja yang dapat diamati oleh
manusia, seperti alam semesta dan manusia. Objek forma adalah pokok perhatian
seseorang terhadap sesuatu yang menjadi minatnya yang sangat khusus. Objek forma
atau aspek yang khusus dalam ilmu empiris dapat berupa, misalnya, minat yang sangat
tinggi terhadap kesehatan manusia, pertumbuhan dan perkembangan dari tumbuh-
tumbuhan atau hewan, dan adat-istiadat suatu bangsa/masyarakat tertentu. Dari hasil
objek forma yang beraneka ragam itulah muncul ilmu-ilmu tertentu yang sifatnya
empiris, misalnya ilmu kedokteran, biologi, ilmu teknik, botani, zoologi, antropologi,
dan ilmu sosiologi.
c) Pendekatan atau Metode Ilmu Empiris
Pendekatan atau metode merupakan cara seorang peneliti mendapatkan data saat
ia sedang melakukan pengamatan. Lazimnya di dalam ilmu empiris seorang ilmuwan
menggunakan pendekatan atau metode induktif yang mencoba menarik kesimpulan dari
penalaran yang bersifat khusus untuk sampai pada penalaran yang umum sifatnya. Pada
penalaran yang sifatnya khusus itu, seorang peneliti akan mengamati sesuatu atau
beberapa hal yang memiliki ciri-ciri yang khusus. Sebagai contoh, saat Toby melihat
buah jeruk yang diletakkan di dalam sebuah keranjang, ia memperhatikan bahwa kedua
puluh jeruk itu berwarna kuning dan bentuknya bulat. Atas dasar itulah Toby
menyimpulkan bahwa jeruk (yang berjumlah 20) yang berada di dalam keranjang
semuanya berwarna kuning dan bentuknya bulat. Metode induksi berguna bagi ilmu
empiris karena mendasarkan pada pengamatan faktual dan dipakai sebagai landasan
berpijak pada ilmu empiris.

3.1.4 Cara Kerja Ilmu-ilmu Deduktif


a) Pengertian Ilmu Deduktif
Ilmu deduktif adalah ilmu pengetahuan yang membuktikan kebenaran ilmiahnya
melalui penjabaran-penjabaran yang disebut deduksi. Berbeda dengan ilmu empiris
yang mendasarkan pengalaman indrawi, penjabaran-penjabaran itu melalui penalaran
yang berdasarkan hukum-hukum serta norma-norma yang bersifat logis. Hukum-hukum
serta norma-norma logis memunculkan suatu penalaran yang mencoba membuktikan
sesuatu atas dasar perhitungan yang sangat pasti. Dengan demikian, dalam ilmu
deduktif terdapat suatu penalaran yang diperoleh dari kesimpulan yang bersifat umum
untuk menuju ke penalaran yang bersifat khusus.
Ilmu-ilmu deduktif dikenal sebagai ilmu matematik. Penalaran yang deduktif
diperoleh dari penjabaran dalil-dalil, atau rumus-rumus yang tidak dibuktikan
kebenarannya melalui penyelidikan empiris, melainkan melalui penjabaran dalil-dalil
yang telah ada sebelumnya. Suatu dalil atau rumus matematika dibuktikan
kebenarannya berdasarkan dalil-dalil yang telah ada atau dalil lain, berdasarkan suatu
perhitungan/hitung-menghitung, ukur-mengukur, timbang-menimbang, bukan atas dasar
observasi. Dalam membuktikan kebenaran itulah kita mengenal adanya, pada awalnya
aritmatika, matematika, goniometri, ilmu ukur dan sebagainya. Asas matematika hanya
mengenal “logika dua nilai” (two value logic) yaitu benar dan tidak benar (salah).
Contoh yang sederhana adalah dua ditambah dua sama dengan empat. Itu berarti
penjumlahan tersebut memiliki nilai benar. Apabila kita mengatakan tiga kali empat
sama dengan lima belas, maka hasil itu dikatakan tidak benar (salah).
b) Objek Ilmu Deduktif
Objek ilmu deduktif adalah angka atau bilangan yang mungkin jumlahnya satu
atau lebih dari satu, yang dikenal dengan himpunan atau semacam deret. Objek itu
berupa lambang atau simbol yang digunakan sebagai relasi antar objek. Kita mengenal
angka Romawi (I, II, III, dan seterusnya) atau angka-angka Arab (1, 2, 3, dan
seterusnya), yang semuanya merupakan simbol atau lambang. Selain itu, kita juga
mengenal simbol dalam bentuk lain seperti +, -, >, <, Σ , dan %. Pemakaian simbol-
simbol dalam ilmu deduktif berguna agar validitas atau keabsahan dari pembuktian
penjabaran-penjabaran dalil atau axioma atau rumus terbukti tidak salah dan, oleh
karena itu, dianggap benar.

3.1.5 Cara Kerja Ilmu-ilmu Empiris yang Lebih Khusus: Ilmu Alam, Ilmu Hayat
dan Ilmu-Ilmu tentang Manusia

a) Cara Kerja Ilmu Alam


1) Pengertian Ilmu Alam
Ilmu alam adalah ilmu yang membahas gejala-gejala alam (gejala alam yang
tidak hidup). Sifat ilmu alam adalah empiris; artinya, gejala alam itu dianggap sebagai
fenomena yang dapat dibuktikan secara indrawi, dan konkret. Contoh Ilmu-ilmu alam
adalah geologi, astronomi, hidrologi, ilmu kimia, fisika, meteorologi, dan geodesi.
2) Sifat Ilmu Alam
Ada praanggapan bahwa ada hukum alam yang dapat dikenakan pada seluruh
gejala alam. Sifat hukum alam memiliki ciri kuantitatif, suatu ciri yang melekat pada
gejala alam yang muncul di masa lalu maupun di masa yang akan datang. Ciri
kuantitatif merujuk pada kenyataan bahwa gejala alam memiliki besaran tertentu dan
karenanya dapat dihitung, diukur secara matematis. Selain itu, hukum alam memiliki
sifat mekanistis, yaitu sifat keteraturan yang melekat pada gejala alam, dan sifat
keteraturan itu berjalan secara berkala serta memiliki siklus tertentu.
3) Pendekatan atau Metode Ilmu-ilmu Alam
Ada empat pendekatan atau metode ilmu-ilmu alam. Pertama, metode observasi
atau pengamatan melalui pancaindra manusia yang didukung oleh alat tertentu. Kedua,
metode deskripsi yang bertujuan untuk melukiskan atau menggambarkan gejala-gejala
alam serta interaksi di antara gejala-gejala alam itu. Ketiga, metode erklaeren atau
metode eksplanasi yang menerangkan berbagai hubungan gejala-gejala alam itu, yang
satu dengan yang lainnya. Keempat, metode kausalitas yang mencoba menjelaskan
gejala alam atas dasar hubungan sebab-akibat.

b) Cara Kerja Ilmu Hayat


1) Pengertian Ilmu Hayat
Ilmu hayat adalah ilmu pengetahuan yang membahas gejala alam yang bersifat
hidup, atau memiliki sifat kehidupan. Sifat ilmu hayat adalah empiris, artinya gejala
alam yang dianggap hidup dapat diamati secara indrawi atau faktual, nyata. Contoh
ilmu hayat adalah ilmu tumbuh-tumbuhan dan ilmu hewan (zoologi).
2) Sifat Ilmu Hayat
Sesuatu yang bersifat hidup memiliki organ-organ yang dapat tumbuh, mati,
berkembang biak. Setiap organ dapat memiliki sel, jaringan yang membentuk suatu
sistem yang memiliki nama, fungsi, peran/tugas, kegunaan serta tujuan tertentu. Sebagai
suatu sistem yang baik, maka setiap organ itu memiliki daya-daya hidup saling
melengkapi, saling menunjang sehingga sistem itu berjalan dengan sempurna.
3) Pendekatan atau Metode Ilmu-ilmu Hayat
Ada empat pendekatan atau metode ilmu-ilmu hayat. Pertama, metode kausal
yang berguna untuk melihat hubungan sebab-akibat yang berasal dari hubungan atau
interaksi antarorgan. Di dalam hubungan kausalitas itu sebenarnya terdapat semacam
“informasi” di antara masing-masing organ yang memungkinkan organ itu berproses
swakendali, yang disebut proses sibernetik. Proses sibernetik merupakan proses yang
dikendalikan oleh adanya informasi umpan balik dari organ-organ yang berjalan secara
teratur (mekanistis). Proses umpan balik tersebut diartikan sebagai hubungan timbal
balik di antara organisme. Sebagai contoh, daun mangga ketika masih tunas (kecil)
berwarna hijau muda, ketika tumbuh menjadi lebih besar berwarna hijau tua, dan ketika
daun itu mati berwarna kekuningan dan setelah mengering, maka daun itu gugur.
Selama pohon mangga itu masih hidup, maka terulang proses pertumbuhan daun itu,
dari tunas daun hingga daun berwarna hijau tua kemudian kekuningan, dan proses itu
disebut proses sibernetik (proses swakendali). Sementara itu, karena adanya asupan
informasi masing-masing organisme melalui sel fotografik maka proses itu dapat
berlangsung secara teratur.
Kedua, metode mekanistis, yaitu metode yang memunculkan adanya keteraturan
tentang sistem yang berlaku pada gejala atau daya hidup dari organisme. Metode
mekanistis memiliki tujuan tertentu yang disebut sebagai tujuan finalis (tujuan akhir)
agar sistem organisme berjalan dengan sempurna.
Ketiga, metode genetik, yaitu metode yang mengkaji secara historis bagaimana
terjadinya sebuah organ, sel atau jaringan tertentu.
Keempat, metode fungsional, yaitu metode yang melihat bahwa masing-masing
organisme itu memiliki fungsi tertentu yang memungkinkan sistem organ itu berjalan
dengan teratur dan baik.
c) Cara Kerja Ilmu-ilmu Kemanusian
1) Pengertian Ilmu-ilmu Kemanusiaan
Ilmu-ilmu kemanusiaan adalah ilmu yang mengkaji masalah kemanusiaan
seperti masalah budaya, sosial, politik, dan ekonomi, yang terdapat dalam masyarakat.
Ilmu-ilmu kemanusiaan memiliki objek kajian yang diamati secara empiris dan objek
itu dianggap kongkret karena masalah kemanusiaan itu memiliki objek yang khusus
yaitu manusia atau masyarakat tertentu. Contoh ilmu-ilmu kemanusiaan adalah
antropologi, ilmu susastra, ilmu arkeologi, ilmu sejarah, sosioplogi, dan ilmu ekonomi.
2) Sifat Ilmu-ilmu Kemanusiaan
Sifat yang paling menonjol dari ilmu-ilmu kemanusiaan adalah objeknya
berkaitan dengan manusia yang memiliki tindakan bermakna (meaningfull action).
Dengan tindakan bermakna manusia, atau seseorang, menghasilkan karya-karya tertentu
misalnya karya sastra seperti Romeo dan Juliet karya William Shakespeare dari Inggris,
karya seni seperti tari Pendet, dan lukisan Monalisa yang termashur karya
Michelangelo. Untuk itu, apabila ingin mengkaji ilmu-ilmu kemanusiaan dengan lebih
mendalam haruslah digunakan metode yang tepat agar objektivitas dan kebenaran
ilmiahnya dapat terungkap dengan benar dan sahih.
3) Pendekatan atau Metode Ilmu-ilmu Kemanusiaan
Metode yang sangat mendasar pada ilmu-ilmu kemanusiaan adalah metode
pemahaman (methode verstehen). Metode pemahaman digunakan untuk memahami,
meyakini tindakan-tindakan manusia ketika ia menciptakan suatu karya seni ataupun
terlibat dalam peristiwa sejarah seperti jatuhnya pemerintahan Orde Baru di Indonesia
pada tahun 1998. Di dalam metode pemahaman digunakan metode wawancara
mendalam (depth intervieuw) yang bertujuan memahami dengan lebih baik dan
mendalam tentang para pelaku budaya yang terlibat, misalnya pada peristiwa sejarah
atau saat menciptakan karya seni. Metode yang lain adalah metode deskripsi, yaitu
metode yang digunakan oleh para peneliti untuk mencatat, melukiskan dan
menggambarkan seluruh sifat dan karakteristik objek penelitiannya.
Pada awalnya ilmu-ilmu kemanusiaan hanya menggunakan metode kualitatif,
yaitu metode yang bertitik tolak dari nilai-nilai (values) kemanusiaan (nilai moral, nilai
budaya, nilai agama, nilai estetis/keindahan, dan sebagainya) dalam menganalisis data
penelitiannya. Tetapi dengan perkembangan dan demi kemajuan ilmu itu, maka ilmu-
ilmu kemanusiaan sejak awal abad XX ini telah menggabungkan metode statistik ke
dalam penelitiannya. Sebagai contoh, di dalam penelitian psikologi, ilmu sosial, dan
ilmu ekonomi, mereka telah menggunakan metode statistik dalam mengolah data
penelitiannya.

3.2 REVOLUSI ILMU PENGETAHUAN


Apa yang hendak kita ketahui tentang revolusi ilmu pengetahuan? Apakah
revolusi semacam itu memiliki kegunaan bagi kita? Sebenarnya revolusi macam apakah
itu? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu membutuhkan penjelasan yang cermat.
Revolusi ilmu pengetahuan muncul di Eropa pada abad XVII. Pada masa itu
Eropa dilanda krisis kehidupan yang cukup berat. Banyaknya pengangguran, kehidupan
perekonomian yang sangat tidak menguntungkan rakyat jelata, dan kehidupan
kenegaraan feodalisme yang sangat materialistis kapitalistis telah menumbuhkan
berbagai gejolak. Berbagai revolusi muncul dalam sejarah perjalanan bangsa Eropa,
seperti revolusi industri, revolusi pertanian, revolusi Prancis, serta revolusi ilmu
pengetahuan.
Revolusi ilmu pengetahuan terjadi pada abad XVII. Revolusi yang menandai
bangkitnya kelompok intelektual bangsa Eropa itu adalah sebuah revolusi tentang
perubahan cara berpikir serta persepsi manusia dalam mendapatkan pengetahuan bagi
dirinya. Perubahan persepsi manusia itu menyangkut bagaimana cara berada sebuah
objek yang menjadi pokok perhatian dalam kegiatan ilmiahnya. Sebuah objek (misalnya
benda) dalam penelitian haruslah tampil di depan seorang peneliti secara nyata, konkret.
Benda itu tampil secara konkret karena ada persentuhan indrawi si peneliti dengan
benda itu. Selain itu, benda tersebut dapat diukur dan terukur secara matematis sehingga
orang dapat mengamati berat, gerak, atau perubahan yang terjadi pada benda itu.
Revolusi ilmu pengetahuan adalah perubahan cara berpikir masyarakat
intelektual Eropa dari cara berpikir yang ontologis ke cara berpikir matematis-
mekanistis. Cara berpikir ontologis adalah warisan yang ditinggalkan bangsa Eropa
ketika pada Abad atau Masa Pertengahan (Middle Ages) diberlakukan hukum agama
bagi segala-galanya, termasuk kegiatan ilmu pengetahuan. Dunia yang dialami manusia
beserta pengetahuan yang dimilikinya merupakan keberadaan secara apa adanya
(natura), alamiah yang memang itu milik manusia. Keadaan itu berlangsung cukup
lama, hingga muncul Abad Renaissance yang mengubah segalanya. Manusia tidak lagi
menjadi citra Tuhan, tetapi manusia memiliki rasio atau kesadaran manusia (akal budi)
serta kreativitas keinginan untuk maju, memperbaiki kebudayaannya.
Dunia manusia dan pengetahuannya adalah dunia antroposentris, dunia yang
terpusat pada "kekuataan" akal budi manusia. Pada masa Renaissance dibangun
kejayaan bangsa Eropa, yaitu mulai dipelajarinya pengetahuan yang berlandaskan
rasionalitas dan empiristis. Berbagai peninggalan bangunan yang megah seperti karya
seni (seni lukis, seni pahat, dan arsitektur) di daratan Eropa menandai bangkitnya
bangsa Eropa untuk menguasai dunia seni maupun ilmu pengetahuan. Tokoh-tokoh
pembaharu Humanis Renaissance, seperti Leonardo da Vinci, Michelangelo, N.
Copernicus, J. Keppler, dan Galileo Galilei sangatlah termashur dengan karya-karya
seni dan penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Fenomena alam dan sosial budaya
dipelajari secara cermat untuk kemudian dimanfaatkan. Dari upaya yang cukup lama
dan tak kenal lelah, maka berkembanglah ilmu-ilmu pengetahuan kealaman seperti
fisika, ilmu kimia, dan kedokteran hingga ke Abad Aufklaerung (Abad Pencerahan),
abad XVIII. Perintis ilmu fisika adalah Sir Isaac Newton yang mendasarkan fisika
klasik dengan bukunya Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (Ilmu
pengetahuan alam berdasarkan prinsip-prinsip matematis). Sejak itulah ilmu
pengetahuan berkembang pesat dengan pendekatan matematis yang diterapkan dalam
kajiannya.
Cara berpikir matematis-mekanistis dalam revolusi ilmu pengetahuan yang
dipelopori oleh Newton menjadi semacam "gaya" para intelektual untuk membuat
analisis dalam penelitiannya. Pengamatan terhadap alam di sekitar para ilmuwan dilihat
sebagai sesuatu yang dapat diukur, dan benda dianggap memiliki kriteria tertentu (berat,
luas, isi, dan sebagainya.). Dengan pengamatan semacam itulah maka berbagai
pendekatan terhadap cara kerja ilmu pengetahuan dikembangkan. Pendekatan yang
bersifat kausalitas (hukum sebab-akibat) sangat mewarnai cara kerja ilmu pengetahuan.
Benda, atau sesuatu, memiliki sifat seperti alam semesta dan terstruktur sehingga
keteraturan hukum alam atau sifat mekanistis itu menjadi fokus dalam cara kerja ilmu.
Cara kerja ilmiah didukung oleh percobaan atau eksperimen yang selalu berusaha
menyempurnakan hasil percobaannya itu melalui usaha uji coba (trial and error). Di
dalam laboratorium, percobaan itu juga didukung oleh sebuah “model”, suatu tiruan dari
objek yang sesungguhnya, yang kemudian dijadikan sebagai objek penelitian. Dengan
model itu para peneliti dapat menganalisis dan mengembangkan penelitiannya dengan
lebih sempurna.
Akibat dari "perjalanan" dan proses revolusi ilmu pengetahuan, muncullah nilai-
nilai dasar pada cara berpikir manusia. Pertama, nilai alam. Alam semesta memiliki
tata susunan yang berada pada hukum alam, dan kosmos adalah sesuatu yang dianggap
memiliki struktur tertentu. Kedua, nilai budaya. Kemajuan manusia ditandai dengan
penguasaan terhadap ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk memajukan
kebudayaan manusia. Dengan kemajuan manusia, terutama dalam cara berpikir yang
antroposentris, manusia mampu mengubah kebudayaannya dan teknologinya menjadi
sesuatu yang sangat berarti dan bermakna bagi kehidupannya melalui proses belajar.
Ketiga, nilai ekonomi. Nilai ini tercipta karena para pelaku revolusi ilmu pengetahuan
memiliki semangat kerja yang tinggi. Para ilmuwan mulai menciptakan teknologi yang
tepat guna bagi kebutuhan masyarakat, sehingga muncullah mesin-mesin dalam
berbagai sektor industri. Pada awalnya industri berasal dari kerja rumahan (industri
rumahan) baru kemudian berkembang menjadi industri pabrikasi. Barang-barang yang
dihasilkan oleh mesin-mesin (industri pabrikasi) itu mampu menembus pasaran dengan
daya jual yang tinggi. Dengan demikian terciptalah nilai ekonomis yang menuntut
kemandirian, tanggung jawab, dan kerja sama di antara para pelaku ekonomi sehingga
nilai ekonomis dapat dimanfaatkan tidak hanya oleh sekelompok orang saja melainkan
juga oleh seluruh masyarakat.

3.3 PENGERTIAN FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN

3.3.1 Kedudukan Filsafat Ilmu


Filsafat Ilmu atau Filsafat Ilmu Pengetahuan berasal dari tradisi Filsafat Barat.
Diperkenalkan oleh sekelompok ahli ilmu pengetahuan kealaman dari universitas Wina,
pada abad XIX, Filsafat Ilmu menjadi mata ajaran di universitas tersebut. Para ahli ilmu
pengetahuan kealaman yang berasal dari berbagai disiplin ilmu (ilmu kimia, fisika,
matematika) itu, antara lain Moritz Schlick, Hans Hahn, dan Hans Reichenbach, telah
memberikan sumbangan yang besar kepada filsafat ilmu pada awal perkembangannya.
Dipelopori oleh Moritz Schlick, mereka tergabung dalam kelompok diskusi ilmiah yang
dikenal sebagai "Lingkaran Wina" (Viena Circle). Lingkaran Wina menginginkan
bahwa di dalam ilmu pengetahuan terdapat unsur pemersatu. Unsur pemersatu itu, yang
mereka sebut ilmu terpadu (unified science) haruslah bertitik tolak dari bahasa ilmiah
dan cara kerja ilmiah yang pasti dan logis.
Filsafat ilmu telah sangat berkembang dan menjadi kajian yang lebih modern.
Beberapa bidang keilmuan sangat membutuhkan proses kerja ilmiah yang relevan
dengan pokok perhatian atau fokus yang lebih spesifik. Contohnya adalah filsafat ilmu
kedokteran dan filsafat ilmu sosial. Dalam kajian tersebut fokus filsafat ilmu diarahkan
pada bagaimana ciri dan cara kerja kegiatan ilmiah diterapkan pada persoalan manusia
dan kesehatan atau kehidupan manusia dalam kehidupan sosial serta interaksi dengan
masyarakat. Secara historis, cikal-bakal filsafat ilmu telah diperkenalkan oleh bangsa
Yunani yang diawali oleh filsuf Aristoteles (abad VI seb.M). Dalam tradisi filsafat
Barat telah dikenal pula adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema-
tema tertentu, yakni ontologi, epistemologi dan aksiologi. Tema ontologi berbicara
tentang problem "ada", yaitu tema yang membahas masalah keberadaan sesuatu,
misalnya keberadaan makhluk hidup dan alam semesta, yang semuanya itu merupakan
keberadaan yang dapat ditangkap dan dibedakan secara empiris. Sisi lain tema ontologi
terdapat keberadaan sesuatu yang tidak dapat ditangkap dan hadir secara empiris, atau
konkret, yaitu metafisika. Metafisika (meta: di belakang, fisika: sesuatu yang konkret)
adalah sebagai sesuatu yang mengkaji tentang berbagai hal seperti gagasan, idea,
ataupun konsep. Gagasan ataupun konsep itu sebagai semacam prinsip yang muncul
atas dasar penalaran manusia. Prinsip itu sendiri memang tidak dapat dibuktikan secara
empiris, tetapi orang akan mengenal prinsip tersebut apabila diaktualisasikan melalui
sebuah tulisan. Sebagai contoh, gagasan Einstein tidak akan dikenal luas oleh
masyarakat ilmuwan apabila ia tidak membuktikan gagasannya dan menuliskan
gagasannya itu setelah melalui berbagai penelitian yang tidak kenal lelah secara uji coba
(trial error).
Tema kedua, epistemologi, ialah tema yang mengkaji pengetahuan (episteme
berarti ‘pengetahuan’). Dalam epistemologi dibahas berbagai hal seperti batas
pengetahuan, sumber pengetahuan, serta kriteria kebenaran. Batas pengetahuan adalah
pengalaman manusia dalam mengkaji sesuatu yang menjadi minat penelitiannya. Oleh
karena itulah ilmu pengetahuan, misalnya ilmu kedokteran dengan psikologi sangat
berbeda, karena masing-masing ilmu itu memiliki ruang lingkup sendiri (objek forma
yang berbeda). llmu kedokteran membahas masalah kesehatan manusia yang berkaitan
dengan penyakit tertentu sedangkan psikologi membahas perilaku manusia dari aspek
kejiwaannya. Sumber pengetahuan manusia adalah akal budinya. Dengan akal budinya
manusia mampu berpikir tentang sesuatu, memikirkan gagasan untuk menciptakan
karya-karya seni atau teknologi, dan dengan akal budinya pula manusia dapat belajar,
berhubungan dengan orang lain, mampu berdialog tentang apa saja dengan siapa saja.
Sedang kriteria kebenaran sebagai upaya pencarian objektivitas terhadap pengenalan
manusia yang bersifat empiris. Apa yang dilihat, misalnya sebuah kursi, maka kursi itu
haruslah sesuai dengan kriteria kursi, memiliki alas duduk, sandaran. Atas dasar itulah
maka objektivitas sebuah benda yang diamati memiliki kebenaran.
Tema ketiga, aksiologi, ialah tema yang membahas masalah nilai atau norma
yang berlaku dalam kehidupan manusia. Nilai diartikan sebagai sebuah penilaian
tentang apa yang telah dilakukan oleh manusia dalam kaitannya dengan relasi manusia,
baik atau buruknya tindakan manusia. Nilai (value) muncul dalam kehidupan manusia
dalam bentuk sebagai nilai yang berada dalam sistem kemanusiaan seseorang, misalnya
nilai moral/nilai etis, nilai budaya, nilai keagamaan/religius, dan nilai keindahan.
Sebagai contoh, Tedy memiliki nilai moral yang tinggi, ia bekerja sebagai seorang
arsitek di sebuah perusahaan kontraktor bangunan “Indah Selalu” dengan penuh
tanggung jawab dan dedikasi yang tinggi terhadap tugasnya. Ia tidak suka memfitnah
atau menjelek-jelekkan teman sejawatnya di hadapan atasannya dengan harapan ia dapat
menjadi orang kepercayaannya.
Dengan uraian di atas, maka sampailah kita pada pemetaan atau kedudukan
filsafat ilmu apabila ia diletakkan pada lingkup ilmu filsafat. Agaknya lingkup
epistemologi menjadi tempat yang tepat bagi filsafat ilmu.
Filsafat ilmu membahas persoalan ilmu pengetahuan dengan berbagai
problematiknya, terutama yang berkaitan dengan metodologi atau pembenaran ilmiah.
Dengan kata lain, ciri keilmiahan suatu ilmu pengetahuan dengan cara kerja ilmiah
menjadi bahan yang dikaji dalam filsafat ilmu. Sedang epistemologi membahas batas,
sumber, dan kebenaran pengetahuan, yang semuanya itu memerlukan kajian yang
bersifat rasional. Demikian juga filsafat ilmu mengkaji ciri dan cara kerja ilmu
pengetahuan berlandaskan rasionalitas atau akal budi manusia. Ini berarti bahwa
jembatan rasionalitas menjadi media bagi filsafat ilmu dengan aspek epistemologi untuk
menemukan kebenaran ilmiah atau validitas ilmu pengetahuan.

3.3.2 Tujuan dan Kegunaan Mempelajari Filsafat Ilmu


Tujuan mempelajari filsafat ilmu adalah untuk dapat (1) memahami persoalan
ilmiah dengan melihat ciri dan cara kerja setiap ilmu atau penelitian ilmiah dengan
cermat dan kritis; (2) melakukan pencarian kebenaran ilmiah dengan tepat dan benar
dalam persoalan yang berkaitan dengan ilmunya (ilmu budaya, ilmu kedokteran, ilmu
teknik, ilmu keperawatan, ilmu hukum, ilmu sosial, ilmu ekonomi dan sebagainya) dan
juga persoalan yang menyangkut seluruh kehidupan manusia seperti: lingkungan hidup,
peristiwa sejarah, dan kehidupan sosial politik; (3) memahami bahwa terdapat dampak
kegiatan ilmiah (penelitian) yang berupa teknologi ilmu (misalnya alat yang digunakan
oleh bidang medis, teknik, dan komputer) dengan masyarakat yaitu berupa tanggung
jawab dan implikasi etis. Contoh dampak tersebut ialah masalah euthanasia dalam
dunia kedokteran yang masih sangat dilematis dan problematis, penjebolan terhadap
sistem sekuriti komputer, pemalsuan terhadap hak atas kekayaaan intelektual (HAKI),
dan plagiarisme dalam karya ilmiah.

3.3.3 Cara Kerja dan Problema Filsafat Ilmu


Cara kerja filsafat ilmu haruslah dimulai dengansuatu anggapan bahwa setiap
ilmu pengetahuan merupakan ilmu yang bersifat: (1) sistematis (sistem dalam susunan
pengetahuan dan cara memperolehnya karena adanya berbagai hubungan gejala yang
teratur sehingga merupakan suatu keseluruhan yang utuh); (2) logis (gejala pengetahuan
diamati dan dianalisis secara rasional); (3) intersubjektif (kepastian ilmu pengetahuan
tidak melulu didasarkan pada emosi atau pemahaman si ilmuwan tetapi didasarkan dan
dijamin oleh sistem pengetahuan itu sendiri); (4) rasional; (5) serta memiliki cara kerja
ilmu pengetahuan yang mengupayakan pembenaran secara metodologis.
Dengan demikan filsafat ilmu dapat melihat bahwa refleksi kritis terhadap ciri
dan cara kerja ilmu pengetahuan dapat menunjukkan adanya dua aspek, yaitu aspek
internal dan aspek eksternal. Aspek internal lebih mengarah pada kegiatan ilmiah
yang bersifat metodologis. Aspek internal context of justification berkaitan erat dengan
pembenaran suatu pengetahuan. Sebagai contoh, ilmu kedokteran atau teknik akan
menjadi sangat kokoh apabila secara de jure memiliki landasan filosofis yaitu
kebenaran epistemologis (teori kebenaran atau teori pengetahuan). Aspek eksternal
context of discovery lebih mengarah pada hasil dari ilmu pengetahuan dan teknologi
yang dibuat oleh para ilmuwan di masa lalu hingga kini. Oleh karena itulah timbulnya
ilmu pengetahuan serta kegunaan ilmu itu dapat ditelusuri secara historis. Dalam rangka
penelusuran secara historis, secara de facto hasil ilmu dan teknologi diterima dan
digunakan oleh manusia sesuai dengan kebutuhannya. Teknologi berkembang seiring
dengan kemajuan dan perkembangan setiap ilmu.

3.4 TEORI KEBENARAN


Di bagian ini akan dijelaskan bahwa kebenaran dalam kegiatan ilmiah dan
filsafat ilmu bersumber pada kebenaran epistemologi. Kebenaran filsafat ilmu itu
mengacu pada teori pengetahuan atau teori kebenaran klasik yang terkait dengan tradisi
filsafat Barat. Teori pengetahuan dipandang sebagai teori kebenaran yang sifatnya
universal dan berlaku umum untuk berbagai bidang keilmuan (misalnya ilmu
kedokteran, teknik, ilmu ekonomi, dan ilmu budaya) yang bertujuan mencari
objektivitas dan kebenaran ilmiah.
Teori pengetahuan atau teori kebenaran dalam epistemologi terdiri atas tiga teori
kebenaran, yaitu teori korespondensi, teori koherensi dan teori pragmatik. Teori
korespondensi adalah teori kebenaran yang bersumber dari persesuaian antara seorang
subjek dengan objek yang dilihatnya. Sebagai contoh, seseorang akan mengatakan
bahwa yang dilihatnya adalah sebuah meja besi apabila kriteria meja besi (biasanya
berkaki empat, mempunyai daun, terbuat dari besi) itu sesuai benar dengan meja itu. Ini
berarti bahwa ada teori korespondensi dalam kasus itu. Teori koherensi akan terjadi
apabila ada persesuaian di antara beberapa subjek dengan objek yang diamatinya.
Sebagai contoh, semua orang di rumah Bapak Santoso setuju dan sepakat bahwa televisi
itu memiliki antena yang berwarna merah. Hal itu menunjukkan bahwa ada kebenaran
koherensi di antara semua orang di rumah bapak Santoso. Teori pragmatik adalah teori
kebenaran yang terjadi karena ada manfaat serta kegunaan dari sebuah ilmu
pengetahuan. Contoh, Tuti akan belajar dengan tekun di Fakultas Teknik Arsitektur agar
ia cepat lulus menjadi seorang arsitek dan dapat segera bekerja.
Teori kebenaran (teori korespondensi, koherensi dan pragmatik) yang ada pada
filsafat ilmu adalah sebagai dasar mencari kebenaran dalam setiap kegiatan ilmu
pengetahuan. Dalam pencarian kebenaran terjadi berbagai perubahan gejala,
peningkatan ataupun kemajuan bagi ilmu itu sendiri. Tiga teori kebenaran itu pun
mendukung pelaksanaan kegiatan ilmu secara konkret, yaitu sebagai penerapan antara
sisi teoretis dengan sisi praksis, praktek dan kegunaannya.
Di sisi lain, batas pengetahuan juga menjadi landasan dalam teori kebenaran.
Ruang lingkup pengetahuan adalah pengetahuan yang memiliki keluasan wilayah secara
tertentu. Melalui keluasannya yang terukur itu, pengetahuan dibatasi oleh pancaindera
manusia. Dengan demikian sejauh mata memandang terhadap apa yang dilihat kita,
maka hal menjadi pengetahuan manusia. Ini berarti bahwa pengetahuan manusia
bersumber pada indera manusia dan hasil pengetahuan itu disebut sebagai pengetahuan
indrawi atau pengetahuan empiris (empiris dari kata empêria yang artinya pengalaman
manusia muncul karena diperoleh oleh sentuhan indrawi). Selain pengetahuan indrawi,
terdapat pengetahuan non-indrawi yang juga menjadi sumber pengetahuan manusia.
Pengetahuan non-indrawi adalah pengetahuan yang berasal dari akal budi manusia atau
rasio manusia. Melalui akal budi atau rasio, manusia dapat berpikir, dapat memiliki
gagasan atau ide dan hasil dari kemampuan berpikir itu adalah pengetahuan non-indrawi
atau pengetahuan rasional.
Struktur pengetahuan juga menjadi landasan bagi teori kebenaran. Struktur
pengetahuan adalah susunan dari berbagai elemen pengetahuan yang dilandasi oleh
suatu konsep tertentu. Berbagai elemen pengetahuan seperti fenomena atau gejala atau
sesuatu yang berada di depan kita (gunung, pasien, rumah, mobil ambulans), ide tentang
masa depan sebuah negara, atau teori Newton, semua itu dapat menjadi elemen dari
"bangunan" pengetahuan kita. Sebenarnya, bangunan pengetahuan itu merupakan
kumpulan berbagai elemen yang disusun sedemikian rupa sehingga terbentuk bangunan
pengetahuan yang kokoh. Dalam proses itu terdapat pelaku yang sangat berperan, yaitu
subjek. Subjek ialah seseorang yang tertarik mencari pengetahuan atas dasar minat serta
keterarahan (intensionalitas), dan yang dicari itu adalah objek. Dengan demikian
terdapat interaksi antara subjek dengan objek dalam pencarian pengetahuan. Struktur
pengetahuan akan terjadi apabila terdapat hubungan atau interaksi antara subjek dengan
objek

3.5 PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN


Paradigma ilmu haruslah dilihat sebagai sebuah model penyelidikan ilmiah yang
digunakan sebagai pola dasar untuk berpikir, merencanakan usulan penelitian, atau
berbagai kasus penelitian seperti studi kasus pada ilmu-ilmu empiris, ilmu filsafat, dan
ilmu pengetahuan alam. Tujuan paradigma ilmu adalah menemukan kebenaran.
Kebenaran ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak mutlak (absolut). Setiap kebenaran
yang dimunculkan oleh paradigma tertentu terbuka untuk difalsifikasi atau dikaji
apabila kebenaran itu mulai digoyahkan oleh pendapat-pendapat baru.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, paradigma yang dianggap sebagai model
atau pola berpikir bagi seorang peneliti memiliki kriteria dasar seperti nilai kualitas,
nilai kuantitas, dan nilai kebenaran. Nilai-nilai yang dimiliki paradigma akan
membentuk sebuah model paradigma. Atas dasar itulah penulis meletakkan model dasar
pada paradigma. Paradigma ilmu mengenal enam paradigma dasar, yaitu (1) paradigma
kuantitatif, (2) paradigma kualitatif, (3) paradigma induktif-deduktif, (4) paradigma
piramida atau limas ilmu, (5) paradigma siklus empiris, dan (6) paradigma "rekonstruksi
teori".
Paradigma kuantitatif adalah model penyelidikan ilmiah yang bertitik tolak pada
perhitungan matematis. Objek penelitian yang menampilkan berbagai gejala atau
fenomena empiris harus dilihat sebagai "elemen" yang dapat dihitung dengan
perhitungan (besaran) tertentu dan untuk itu digunakan "alat" bantu perhitungan
matematis. Gejala-gejala medis pada pasien, seperti suhu tubuh, dapat diukur dengan
alat pengukur. Gejala gempa dapat diukur besar tekanannya dengan skala Richter.
Paradigma kualitatif adalah model penyelidikan ilmiah yang melihat kualitas-kualitas
objek penelitiannya seperti perasaan (emosi) manusia, pengalaman menghayati hal-hal
religius (sakral), keindahan suatu karya seni, peristiwa sejarah, dan simbol-simbol ritual
atau artefak tertentu. Kualitas-kualitas itu haruslah dinilai atau "diukur" berdasarkan
pendekatan tertentu (misalnya menggunakan metode semiotik, metode hermeneutik,
atau teori sistem) yang sesuai dengan objek kajiannya. Paradigma kualitatif
menghindari perhitungan matematis karena yang dicari adalah nilai (value) yang
muncul dari objek kajian yang bersifat khusus, bahkan sangat spesifik, unik, dan selalu
mengandung tindakan bermakna (meanin full action).
Paradigma induktif-deduktif adalah model penyelidikan ilmiah yang digunakan
sebagai pola berpikir seorang peneliti untuk memiliki penalaran yang induktif
(mengambil kesimpulan dari hal-hal yang khusus untuk sampai pada hal yang umum)
dan deduktif (mengambil kesimpulan dari penalaran yang bersifat umum untuk sampai
pada hal-hal yang khusus). Seseorang dapat menggunakan paradigma induktif-deduktif
secara bersamaan. Artinya ia dapar berpikir induktif dahulu untuk kemudian berpikir
secara deduktif, tetapi dapat pula menggunakan penalaran induktif atau deduktif saja.
Tujuan paradigma induktif-deduktif lebih bersifat aplikatif dalam penalaran dan
digunakan dalam suatu penelitian ilmiah agar seseorang dapat memiliki penalaran yang
logis dan konsep berpikir yang runtut. Sebagai contoh, penalaran induktif-deduktif
dapat diterapkan ketika mencari data, menggolong-golongkan data, merumuskan
masalah, dan sebagainya.
Paradigma piramida atau limas ilmu adalah model penyelidikan ilmiah dengan
menggunakan konsep yang bertujuan mengkonstruksi tahapan-tahapan kegiatan ilmiah
secara berlapis-lapis seperti bentuk piramida. Bagian bawah piramida merupakan bagian
yang paling dasar dan paling luas, sedangkan makin ke atas luas lapisan piramida makin
berkurang. Lapisan teratas merupakan kerucut piramida. Lapisan-lapisan itu
dimaksudkan sebagai gambaran proses penelitian yang mengacu kepada tahapan-
tahapan observasi, data, hipotesis, pengujian hipotesis, dan hasil penelitian yang berupa
teori baru. Pola pikir seorang ilmuwan dibentuk seperti model piramida berlapis: makin
ke atas, tujuan penelitian makin tercapai; puncak kerucut merupakan gambaran
ditemukannya sebuah teori baru. Bentuk atau model piramida lain adalah piramida
ganda. Piramida ganda atau bahkan piramida-piramida lain akan muncul apabila
seseorang mampu membuat piramida lain atas dasar landasan piramida yang telah ada.
Lihat Bagan 1: Model Piramida Ilmu.

Bagan 1: Model Piramida Ilmu

Piramida ganda Piramida terbalik


Piramida terbalik adalah suatu kerangka berpikir atau model piramida yang
berlandaskan sebuah teori. Kegiatan penelitian yang menggunakan model piramida
terbalik memulai proses kerjanya dari sebuah teori (yang telah dianggap baku). Melalui
teori, seorang peneliti akan memulai kegiatannya dengan observasi terhadap teori
tersebut. Observasi menentukan langkah berikutnya, yaitu tahap-tahap penelitian atau
lapisan-lapisan piramida) seperti data, permasalahan (hipotesis), pembuktian-pengujian
hipotesis, dan hasil penelitian yang berupa teori baru.
Paradigma siklus empiris sangat diakrabi ilmu-ilmu empiris. Paradigma tersebut
membutuhkan langkah awal, yaitu observasi yang bersifat induktif Beberapa tokoh
seperti de Groot dan Walter Wallace menampilkan siklus empiris yang beranjak pada
pengamatan faktual. Pada umumnya, paradigma siklus empiris memiliki komponen-
komponen yang saling berkaitan dan hubungan-hubungan yang sedemikian rupa
tersebut dapat dievaluasi secara siklus (periodik, berkala). Tahapan-tahapan dalam
siklus empiris akan membentuk pola berpikir bagi subjek (Ilmuwan/peneliti) dalam
melakukan kegiatan ilmiahnya. Walter Wallace mencoba menjelaskan paradigma siklus
empiris secara rinci dengan memperhatikan unsur metodologis. Paradigma siklus
empiris adalah model penyelidikan ilmiah yang sifatnya berkala, memiliki beberapa
elemen yang terdiri atas komponen informasi (data, konsep, kategori) dan komponen
kontrol metodologis (evaluasi, pengujian, teori). Kemampuan seseorang dalam
mengolah data dan pengujian hipotesis sangat menentukan hasil penelitiannya.
Paradigma "rekonstruksi teori" adalah model penyelidikan ilmiah yang berusaha
membangun (rekonstruksi) beberapa teori atau metode yang digunakan dalam sebuah
penelitian. Tujuan penggunaan paradigma rekonstruksi teori adalah untuk menunjang
proses penelitian agar berjalan lebih sempurna sehingga kebenaran ilmiahnya pun dapat
terjaga sesuai dengan proses metodologis yang berlaku. Untuk itu, seseorang yang ingin
menggunakan paradigma "rekonstruksi teori" haruslah memahami dengan benar teori-
teori yang akan digunakannya dan memastikan dengan benar bahwa teori-teori itu
saling menunjang dan berguna (dapat diterapkan) dalam penelitiannya. Berbagai
pertimbangan yang sifatnya rasional, misalnya penguasaan teori dan kemampuan
menerjemahkannya secara aplikatif, harus menjadi pertimbangan utama apabila
seseorang akan menggunakan paradigma "rekonstruksi teori".
Semua paradigma yang ada dapat digunakan oleh seorang peneliti dalam
penelitiannya. Sebagai konsep berpikir, model penyelidikan ilmiah sangatlah abstrak.
Paradigma digunakan untuk tujuan menuntun pola pikir seseorang ke arah norma
metodologis sehingga secara de jure dapat dipertahankan secara benar dan sahih.
Paradigma ilmu dapat diperkaya apabila si ilmuwan mampu merekonstruksikan
berbagai teori yang telah ada. Rekonstruksi tersebut harus disertai dengan sebuah
"catatan" bahwa berbagai teori yang akan direkonstruksi harus saling menunjang dan
sesuai dengan tujuan penelitian. Kemampuan ilmuwan mengabstraksi sangat diperlukan
agar rekonstruksi terhadap sebuah paradigma menjadi lebih sahih dan menunjang
kebenaran ilmiah.

BAB IV
ETIKA
Bab ini menguraikan rumusan etika dan pembagian etika menjadi etika
deskriptif, etika normatif, metametika, dan etika terapan. Sebagai ilmu tentang moralitas
manusia, muncul dalam perkembangannya etika profesi. Kaidah atau norma etika yang
berkaitan dengan moralitas seperti hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, nilai dan
norma, hak dan kewajiban akan diuraikan secara sistematis.

4.1 DEFINISI ETIKA


Etika adalah salah satu cabang dari filsafat yang bertitik tolak dari masalah nilai
(value) dan moral manusia yang berkenaan dengan tindakan manusia. Kata etika berasal
dari bahasa Yunani Kuno, ethos, yang artinya ‘cara bertindak’, ‘adat’, ‘tempat tinggal’,
‘kebiasaan’. Sedang kata moral berasal dari bahasa Latin, mos yang berarti sama dengan
etika. Istilah etika sendiri sudah dipakai oleh filsuf besar Yunani, Aristoteles (384—
3322 SM), untuk menunjukkan pengertian tentang filsafat moral.
Etika dibedakan dari semua cabang filsafat lain, karena tidak hanya
mempersoalkan keadaan manusia, melainkan juga bagaimana ia harus bertindak dan
berperilaku. Tindakan manusia adalah norma-norma moral yang dapat berasal dari
“suara batin – hati nurani”. Norma-norma ini merupakan bidang dan kajian etika.
Perumusan dari sudut etimologis belumlah cukup untuk memahami etika.
Penelusuran melalui beberapa rumusan atau sumber dapat memberikan gambaran yang
utuh tentang pengertian etika. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1993),
dijelaskan bahwa etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak
dan kewajiban (ahlak). Dalam KBBI tersebut dibedakan pula antara etika, etik dan
etiket. Etik ialah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan ahlak; atau, etik
adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Penjelasan ini mengingatkan kita tentang kode etik profesi seperti kode etik dokter,
kode etik profesional informasi, kode etik pegawai negeri, kode etik pustakawan, dan
sebagainya. Etiket adalah tata cara (adat, sopan santun, dan sebagainya) di masyarakat
beradab dalam memelihara hubungan yang baik dengan sesama manusia.
Di kalangan masyarakat luas, orang mengenal pula etiket sebagai label atau
penamaan tentang sesuatu yang dituliskan pada secarik kertas dan dilekatkan pada
benda tertentu (botol, kaleng, kotak, dan sebagainya). Dari ketiga kata tersebut, hanya
etika dan etik yang berkaitan dengan nilai, moral. Etiket tidak berkaitan atau
berhubungan dengan moral. Ada istilah lain (yang sebenarnya merupakan kata dasar
dari etika), yaitu ethos. Di dalam KBBI (1993) ethos dirumuskan sebagai pandangan
hidup yang khas dari suatu golongan sosial.
Dalam bahasa Indonesia, kata etos (ethos)1 dikaitkan dengan suatu profesi atau
cara bekerja seseorang atau sekelompok masyarakat. Muncullah ethos kerja pegawai
negeri, ethos kerja banker, ethos kerja profesional informasi, dan sebagainya. Arti
ethos kerja menurut KBBI 1993 adalah ‘semangat kerja yang menjadi ciri khas dan
keyakinan seseorang atau suatu kelompok’. Sebagian besar profesi memiliki aturan-
aturan tertentu yang tercermin dalam kode etik (profesi pengacara, wartawan, arsiparis,
dokter dan lain-lain).
Dari penjelasan tentang etika yang bersumber pada pengertian dasar, maka
pemahaman selanjutnya adalah memahami tentang etika dari aspek filosofis. Etika
merupakan bagian dari ilmu filsafat yang mempelajari berbagai nilai (value) yang
diarahkan pada perbuatan manusia, khususnya yang berkaitan dengan kebaikan dan

1
Kata ethos dari bahasa Yunani sudah lazim dipakai sesuai ejaan aslinya. Untuk itu sebaiknya kita
menggunakan ejaan aslinya dalam kebutuhan akademis maupun di luar masyarakat akademis agar pengertian
yang sebenarnya itu terungkap secara implisit.
keburukan dari hasil tindakannya. Perbuatan seseorang itu baik ataukah buruk di mata
orang lain telah menunjukkan tentang bagaimana penilaian orang lain terhadap dirinya.
Sedang bagi seseorang yang melakukan tindakan atau perbuatan tertentu diharapkan
darinya memunculkan keinginan atau kesadaran untuk berbuat baik. Berbuat baik tanpa
merugikan orang lain merupakan suatu kehendak yang sangat terpuji. Tetapi tidak
semua orang dapat melakukan perbuatan baik atau dianggap baik karena adanya
berbagai faktor seperti keinginan dirinya terlalu besar untuk misalnya tidak ingin
dipersalahkan dalam suatu hal, atau adanya konflik terhadap orang lain dan sebagainya.
Oleh karenanya dalam melakukan tindakan etis atau melakukan perbuatan baik
diperlukan berbagai pertimbangan yang sifatnya rasional.
Pertimbangan rasional artinya mempertimbangkan berbagai kemungkinan untuk
berbuat baik atau melakukan tindakan baik secara jernih, tanpa dilandasi oleh sikap
emosional yang berlebihan. Mempelajari etika haruslah dilandasi dengan pendekatan
rasional dan kritis agar etika itu dapat diterapkan pada tindakan keseharian seseorang,
baik dalam bekerja maupun melakukan relasi dengan orang lain. Selain itu, etika harus
dilihat dan dipahami di dalam cara seseorang bertindak atau berperilaku dalam
mengikuti aturan maupun norma-norma moralitas yang berlaku (moralitas tertentu)
serta bagaimana seseorang dapat mengambil sikap yang bertanggungjawab terhadap
berbagai norma moralitasnya.
Etika sering disebut filsafat tentang moral. Berfilsafat tentang moral berarti
melakukan refleksi atau merenungkan secara mendalam berbagai ajaran moral
(kebaikan) secara kritis. Harus dibedakan antara etika dengan moral. Etika tidak lain
mempelajari “keilmiahan” – secara kritis dan logis tentang tindakan manusia mengenai
“yang baik” dan “yang buruk”; atau, dengan kata lain, etika mempelajari berbagai
ajaran moral secara kritis dan logis. Sedang moral lebih merupakan nasihat-nasihat,
ataupun wejangan-wejangan yang berasal atau bersumber pada masyarakat, yang dapat
berupa ajaran-ajaran pada adat-istiadat suatu masyarakat dan ajaran agama. Moral lebih
menunjukan sifat yang aplikatif pada tindakan manusia tentang “yang baik” dan “yang
buruk”. Apabila orang tidak memiliki atau bertentangan dengan sikap baik atau moralis,
tidak etis, sering dikatakan orang itu immoral (bukan amoral, sebab amoral berarti
‘tidak berhubungan dengan konteks moral’).
Seperti lazimnya dalam ilmu pengetahuan, maka etika memiliki objek atau
sesuatu yang dibahas. Pokok bahasan yang sangat khusus pada etika adalah sikap kritis
manusia dalam menerapkan ajaran-ajaran moral terhadap perilaku manusia yang
bertanggung jawab. Ajaran-ajaran moral tersebut sangat menentukan tantang bagaimana
moral manusia itu “dibina” baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan non-
formal. Banyak yang mengatakan bahwa etika adalah ilmu yang bersifat praktis.
Pengertian praktis menunjukan bahwa etika sebagai ilmu yang lebih mengarah pada
kegunaan etika itu sendiri manakala menerapkannya pada perilakunya. Perilaku
seseorang tersebut ditunjukan pada kehidupan sehari-hari baik itu secara individual
maupun dalam kehidupan masyarakat.

4.2 ETIKA NORMATIF DAN ETIKA TERAPAN


Sebagai ilmu tentang moralitas, etika juga dapat dianggap sebagai ilmu yang
menyelidiki tingkah laku moral manusia. Di dalam perkembangannya, etika dibedakan
menjadi etika deskriptif, etika normatif dan metaetika (Bertens, 2001: 15—22). Dalam
bagian ini akan dibahas dahulu pembagian etika dan kemudian dibahas tentang etika
terapan.

4.2.1 Etika Deskriptif


Etika deskriptif memberikan gambaran tentang tingkah laku moral dalam arti
yang luas, seperti berbagai norma dan aturan yang berbeda dalam suatu masyarakat atau
individu yang berada dalam kebudayaan tertentu atau yang berada dalam kurun atau
periode tertentu. Norma atau aturan tersebut ditaati oleh individu atau masyarakat yang
berasal dari kebudayaan atau kelompok tertentu.
Sebagai contoh, masayarakat Jawa mengajarkan bertatakrama terhadap orang
yang lebih tua dengan menghormatinya, bahkan dengan sapaan yang halus merupakan
ajaran yang harus diterima. Apabila seseorang menolak melakukan hal itu, maka
masyarakat menganggapnya aneh; ia dianggap bukan orang Jawa.
Norma-norma tersebut berisi ajaran atau semacam konsep etis tentang yang baik
dan tidak baik, tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Dengan kata
lain, etika deskriptif mengkaji berbagai bentuk ajaran-ajaran moral yang berkaitan
dengan “yang baik” dan “yang buruk”. Ajaran tersebut lazim diajarkan oleh para
pemuka masyarakat pada masyarakatnya ataupun individu tertentu dan nampaknya
sering terdapat pada suatu kebudayaan manusia. Pemerian atau penggambaran etika
orang Jawa, atau etika orang Bugis, adalah contoh bentuk etika deskriptif.

4.2.2 Etika Normatif


Bagian yang dianggap penting dalam studi etika adalah etika normatif karena
ketika mempelajari etika normatif muncul berbagai studi atau kasus yang berkaitan
dengan masalah moral. Etika normatif merupakan etika yang mengkaji apa yang harus
dirumuskan secara rasional dan bagaimana prinsip-prinsip etis dan bertanggung jawab
dapat digunakan oleh manusia. Di dalam etika normatif hal yang paling menonjol
adalah munculnya penilaian tentang norma-norma tersebut. Penilaian tentang norma-
norma tersebut sangat sangat menentukan sikap manusia tentang “yang baik’ dan “yang
buruk”.
Dalam mempelajari etika normatif, dijumpai etika yang bersifat umum dan etika
yang bersifat khusus. Etika umum memiliki landasan dasar seperti norma etis/norma
moral, hak dan kewajiban, hati nurani, dan tema-tema itulah yang menjadi kajiannya.
Sedang etika khusus berupaya menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas perilaku
manusia yang khusus. Lama kelamaan etika khusus tersebut berkembang menjadi etika
terapan (applied ethics). Etika khusus mengembangkan dirinya menjadi etika individual
dan etika sosial. Etika individual menyangkut kewajiban dan sikap individu terhadap
dirinya sendiri. Sedang etika sosial berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola
perilaku manusia sebagai anggota umat manusia atau masyarakat. Bentuk etika sosial
yang diterapkan pada berbagai bentuk memunculkan kajian-kajian mengenai etika
keluarga, etika profesi (etika biomedis, etika perbankan, etika bisnis, dan sebagainya),
etika politik, dan etika lingkungan hidup.

4.2.3 Metaetika
Metaetika adalah kajian etika yang membahas ucapan-ucapan atau kaidah-
kaidah bahasa, khususnya yang berkaitan dengan bahasa etis (yaitu bahasa yang
digunakan dalam bidang moral). Kebahasaan seseorang dapat menimbulkan penilaian
etis terhadap ucapan mengenai “yang baik” dan “yang buruk” dan kaidah logika.
Sebagai contoh, sebuah tayangan iklan obat-obatan dengan merk tertentu di televisi
swasta sering menyesatkan banyak orang dengan slogan-slogan yang menganjurkan
untuk minum obat tertentu dengan khasiat semua penyakit yang diderita akan hilang
dan orang menjadi sehat kembali. Slogan-slogan tersebut sangat berlebihan dan ketika
orang mulai mengkritiknya, maka oleh sekelompok produsen dimunculkan sebuah
ucapan etis yang berbunyi: “Jika sakit berlanjut, hubungi dokter”. Ucapan etis tersebut
seakan menjadi semacam perilaku moral yang baik yang dihadirkan oleh sekelompok
produsen dan disampaikan agar masyarakat menjadi lebih “bijaksana” dalam meminum
obat.

4.2.4 Etika Terapan


Etika terapan (applied ethics) adalah studi etika yang menitikberatkan pada
aspek aplikatif teori etika atau norma yang ada. Etika terapan muncul akibat
perkembangan yang pesat dari etika dan kemajuan ilmu lainnya. Sejak awal Abad XX,
etika terapan menjadi suatu studi yang menarik karena terlibatnya berbagai bidang ilmu
lain (ilmu kedokteran, ilmu ekonomi, ilmu sosial, ilmu keperawatan, dan sebagainya)
dalam mengkaji etika.
Disebut etika terapan karena sifatnya yang praktis, yaitu memperlihatkan sisi
kegunaannya. Sisi kegunaan itu berasal dari penerapan teori dan norma etika ketika
berada pada perilaku manusia. Sebagai ilmu praktis, etika bekerja sama dengan bidang
ilmu lain dalam melihat prinsip yang baik dan yang buruk. Penyelidikan atau kajian
etika terapan meliputi dua wilayah besar, yaitu kajian yang menyangkut suatu profesi
dan kajian yang berkaitan dengan suatu masalah. Kajian tentang profesi berarti
membahas etika terapan dari sudut profesi tertentu, misalnya etika kedokteran, etika
politik, etika bisnis, etika keperawatan. Etika terapan yang meyoroti berbagai masalah
misalnya pencemaran lingkungan hidup menimbulkan kajian tentang etika lingkungan
hidup; pembuatan, pemilikan dan penggunaan senjata nuklir menimbulkan kajian
tentang etika nuklir; diskriminasi dalam berbagai bentuk (ras, agama, gender, warna
kulit, dan lain-lain) menyebabkan munculnya studi tentang hal itu (misalnya etika
feminisme dan etika multikultural). Jadi jelaslah bahwa etika terapan yang berkaitan
dengan masalah tersebut sangat diminati oleh masyarakat modern saat ini karena
topiknya aktual dan sangat relevan dengan kehidupan kontemporer.
a) Pengertian Etika Profesi
Bidang etika terapan yang dapat dipelajari secara lebih khusus adalah etika
profesi. Etika profesi merupakan bidang yang sangat diperlukan oleh dunia kerja,
khususnya yang berkaitan dengan kemajuan teknologi. Dalam arus globalisasi yang
sedemikian pesat ini, ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan sumber daya
manusia yang memiliki kecerdasan, keterampilan, serta kepandaian dalam mengolah
dan menguasai teknologi yang dihadapinya ketika ia bekerja. Selain menguasai
pendidikan formal, dan berpengalaman bekerja, sumber daya manusia itu membutuhkan
semacam sarana untuk berpijak dalam bidang yang digelutinya. Sarana itu adalah etika
profesi. Mengapa harus etika profesi? Etika profesi adalah etika yang berkaitan dengan
profesi atau etika yang diterapkan dalam dunia kerja manusia. Di dalam dunia kerjanya,
manusia membutuhkan pegangan, berbagai pertimbangan moral dan sikap yang bijak.
Secara lebih khusus, etika profesi dapat dirumuskan sebagai bagian dari etika
yang membahas masalah etis tentang bidang-bidang yang berkaitan dengan profesi
tertentu, seperti dokter (kedokteran), pustakawan (perpustakaan), arsiparis (kearsipan),
profesional informasi, ahli hukum, dan pengacara. Yang menjadi pertanyaan sekarang,
sebenarnya profesi itu apa? Profesi (dalam bahasa Latin: professues ) semula berarti
suatu kegiatan manusia atau pekerjaan manusia yang dikaitkan dengan sumpah suci.
Atas dasar sumpah itulah manusia harus bekerja dengan baik. Selain itu ada beberapa
istilah profesi yang harus dijelaskan, yaitu profesi yang menyangkut tindak bekerja
yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup serta
mengandalkan keahlian tertentu. Pengertian profesi yang lain, adalah sebagai perbuatan
seseorang yang dilakukan untuk memperoleh nilai komersial. Dalam perbuatan itu,
misalnya Tuan Komang bekerja sebagai pegawai administrasi perusahaan rokok BB. la
merasa tidak bahagia, tetapi ia terpaksa menerima pekerjaan itu (meskipun dengan
honor yang dianggapnya kurang memadai) karena mencari pekerjaan yang lebih
memadai sangat sulit. Selain itu terdapat pengertian profesi sebagai komunitas moral
(moral community) yang diikat oleh adanya cita-cita dan nilai bersama yang dimiliki
seseorang ketika ia berada dan bersama-sama dengan teman sejawat dalam dunia
kerjanya.
Di sisi lain, seorang profesional hendaknya memiliki sejumlah keahlian yang
diperolehnya secara formal, misalnya belajar di perguruan tinggi, sekolah tinggi dan
sebagainya. Perolehan keahlian secara formal sangat penting dan menjadi bagian
terpenting bagi seorang profesional ketika ia kelak disumpah atas dasar profesi tertentu.
Tidaklah mungkin seorang dokter melakukan sumpah jabatan (dokter) apabila ia belum
menyelesaikan studinya secara penuh. Dengan keahliannya seorang profesional bekerja
di suatu tempat, membuka praktek, memberikan pelayanan kepada khalayak yang
membutuhkannya.
Dalam kaitannya dengan profesinya itu, seorang profesional berhadapan dengan
klien atau pasien atau pemakai jasa, yaitu seseorang yang menaruh kepercayaan
terhadap dirinya sehingga profesional tersebut memberikan pelayanan tertentu atas
dasar keahliannya Untuk itu seorang profesional dapat menerima sejumlah honor atau
pembayaran atas pelayanan yang diberikannya. Hubungan professional –
klien/pasien/pemakai jasa berdasarkan semacam kontrak kerja atau perjanjian yang
disepakati bersama. Dengan kesepakatan itu seorang profesional wajib membela
kepentingan kliennya/pasiennya/pemakai jasa dan, sebaliknya, si klien/pasien/pemakai
jasa harus memberikan sejumlah pembayaran yang juga telah disepakati bersama.
Dalam hubungan kerja antara profesional–klien terdapat juga beberapa aspek moral atau
pertimbangan-pertimbangan etis. Aspek moral atau pertimbangan etis menjadi landasan
bagi kedua pihak untuk menjaga kepercayaan di antara mereka.
Segala bentuk pelayanan haruslah memiliki aspek pro bono publico (segala
bentuk pelayanan untuk kebaikan umum). Dalam hubungan pelayanan itu kebaikan
umum dapat beraspek ganda. Pertama, adanya profesional yang memiliki profesi
khusus, yang mementingkan pro lucro, yaitu demi keuntungan, sehingga pelayanan
diberikan kepada klien. Kedua, pro bono, demi kebaikan si klien, sehingga pelayanan
yang diberikan si profesional tidak semata-mata demi pembayaran. Dampak aspek-
aspek itudapat berupa timbulnya ketidakpastian dalam hubungan pelayanan (saling
tidak percaya sehingga antara si profesional dengan kliennya tidak terdapat hubungan
yang harmonis yang dapat berakibat pada pemutusan hubungan). Namun, aspek pro
bono dapat memunculkan profesional yang memiliki profesi luhur, yaitu profesi yang
semata-mata tidak mementingkan upah melainkan berdasarkan pengabdian pada
masyarakat, misalnya perawat, guru, dosen, dan rohaniwan.
Sesuatu yang tidak terpisahkan dari etika profesi adalah kode etik profesi yang
merupakan “akibat” dari hadirnya etika profesi, yang muncul karena etika profesi
tersebut berada dalam komunitas tertentu yang memiliki keahlian yang sama. Kode etik
profesi merupakan aturan atau norma yang diberlakukan pada profesi tertentu. Di dalam
norma tersebut muncul beberapa persyaratan atau kriteria yang bersifat etis dan harus
ditaati oleh para pemilik profesi. Di dalam masyarakat ilmiah seperti kedokteran, ilmu
perpustakaan, atau ilmu sejarah muncul kode etik yang berlaku bagi para dokter, para
pustakawan, atau sejarawan yang tergabung dalam “wadah” tertentu (Ikatan Dokter
Indonesia, Masyarakat Sejarah Indonesia, Himpunan Dosen Etika Seluruh Indonesia,
dan lain-lain).
Kode etik profesi yang tertua dipelopori oleh Hippocrates, seorang dokter
Yunani Kuno yang hidup pada Abad V SM, yang dianggap sebagai Bapak llmu
Kedokteran. Kode etik profesi itu kemudian terkenal dengan sebutan “Sumpah
Hippocrates”. Melalui pemikiran-pemikiran etis, produk etika profesi muncul dalam
masyarakat moral (moral community) yang dianggap memiliki cita-cita bersama dan
dipersatukan oleh latar belakang pendidikan yang sama dan keahlian yang sama pula.
Refleksi etis muncul di dalam kode etik profesi. Itu berarti bahwa kode etik dapat
diubah atau diperbaharui susunan “aturan”-nya atau dibuat baru demi situasi atau
kondisi yang baru akibat implikasi-implikasi yang muncul. Perubahan kode etik tidak
mengurangi nilai etis atau nilai moral yang telah ada, tetapi justru menjadi nilai tambah
bagi kode etik profesi itu sendiri.
Selain itu di dalam kode etik profesi termaktub pernyataan-pernyataan yang
berisikan pesan moral dan rasa tanggung jawab moral bagi yang akan menjalankan
profesi itu. Bila terjadi pelanggaran kode etik profesi, maka profesional yang melanggar
itu akan mendapatkan sangsi dari masyarakat moralnya (dalam hal ini institusi atau
lembaga yang memiliki masyarakat dengan keahlian tertentu). Tujuan sangsi tersebut
ialah untuk menyadarkan betapa pentingnya tanggung jawab moral ditegakkan di dalam
dunia profesi.
Sebagai sebuah kajian yang berkaitan dengan perilaku etis manusia yang
bekerja, etika terapan memiliki objek. Objek forma etika profesi adalah perilaku etis
atau perilaku manusia yang berkaitan dengan yang baik dan buruk. Untuk memperjelas
objek tersebut, haruslah disebut juga objek forma etika profesi. Objek forma atau pokok
perhatian dari etika profesi adalah perilaku manusia tentang yang baik dan buruk yang
berkaitan dengan pekerjaannya. Dan dalam kaitannya dengan pekerjaannya itu maka
seseorang hendaknya dapat memiliki kepekaan moralitas atau kepedulian etis untuk
bersikap baik terhadap sesama rekan kerja, dan sesama manusia yang berkaitan dengan
profesinya tanpa merugikan orang lain.
b) Etika Profesi sebagai Ilmu Praktis dan Terapan
Etika profesi hendaknya dilihat sebagai ilmu yang bersifat praktis. Oleh karena
itu, di dalam kajiannya etika profesi tidak meninggalkan segi atau landasan teoretisnya.
Sebagai ilmu praktis, etika profesi memiliki sifat yang mementingkan tujuan perbuatan
dan kegunaannya, baik secara pragmatis maupun secara utilitaristis dan deontologis.
Memandang etika profesi secara pragmatis berarti melihat bagaimana kegunaan
itu memiliki makna bagi seorang profesional melalui tindakan positif berupa pelayanan
terhadap klien, pasien atau pemakai jasa. Kegunaan yang bersifat utilitaristis akan
sangat bermanfaat apabila dapat menghasilkan perbuatan yang baik. Seorang arsitek
akan mendapatkan kebahagiaan apabila rancang bangunnya dipakai oleh orang lain dan
diterapkan dalam pembuatan rumahnya, dan pada akhirnya orang itu merasa puas atas
disain rumahnya.
Pada kegunaan etika profesi yang bersifat deontologis, kegunaan itu akan dinilai
baik apabila disertai kehendak baik. Pelayanan kesehatan di rumah sakit “X” akan
dinilai baik dan sangat berguna bagi masyarakat umum apabila para dokter rumah sakit
itu memiliki kehendak baik dalam menjalankan tugasnya. Kegunaan secara deontologis
tidak hanya menyaratkan unsur kehendak baik tetapi juga kewajiban, yakni apa yang
harus dilakukan. Kewajiban moral, menurut Kant, mengandung imperatif kategoris,
yakni perintah yang mewajibkan begitu saja, tanpa syarat. Seorang profesional
menjalankan kewajiban atau tugasnya yang memang menjadi tanggung jawabnya tanpa
harus diperingatkan berulang kali oleh pimpinannya. Di dalam penerapannya, yakni di
dunia kerja, seorang profesional harus dibimbing oleh norma moral, yaitu norma yang
mewajibkan tanpa syarat (begitu saja) tanpa disertai pertimbangan lain.
c) Metode atau Pendekatan Etika Profesi
Dalam mempelajari etika profesi, pendekatan yang harus dipakai adalah
pendekatan kritis refleksif dan dialogis. Pendekatan (metode) tersebut dipakai oleh
seseorang yang memiliki profesi tertentu (dokter, pustakawan, arsitek, dan sebagainya)
dalam menilai apa yang telah ia lakukan (tindakan) terhadap bidang atau pekerjaan
tertentu. Orang perlu merenungkan secara kritis dan mendialogkan segala sesuatu yang
telah ia lakukan selama bekerja, baik saat itu maupun di masa mendatang. Pendekatan
itu bertujuan agar seseorang profesional dapat bekerja dengan sebaik mungkin sehingga
tercapai tujuan yang diinginkan. Dalam berdialog, pertimbangan-pertimbangan moral
menjadi dasar bagi hubungan profesional dengan klien. Pertimbangan-pertimbangan
moral yang baik membutuhkan sikap awal yang jernih dalam melihat kasus/bentuk
pelayanan, norma etis, cara berpikir yang logis dan rasional, serta informasi yang
memadai tentang kasus atau bentuk pelayanan yang ditanganinya.
d) Peran Etika Profesi dalam Ilmu-ilmu Lain
Sebenarnya etika profesi itu milik siapa atau diletakkan di mana? Etika profesi
dapat diberlakukan pada, pertama, individu-individu yang memiliki kewajiban-
kewajiban tertentu seperti kewajiban seorang profesional informasi terhadap kliennya,
atau kewajiban seorang dokter terhadap pasiennya, atau kewajiban seorang pengacara
terhadap kliennya. Kedua, etika profesi dapat diterapkan pada kelompok-kelompok
tertentu yang memiliki profesi tertentu, misalnya kewajiban kelompok wartawan
terhadap masyarakat pembacanya, atau kewajiban kelompok ilmuwan atas hasil temuan
mereka yang berupa teknologi.
Di sisi lain, bidang-bidang yang bersifat multi disipliner atau kajian lintas ilmu
dapat menjadi media atau “lahan” penerapan etika profesi. Dengan perkembangan dunia
ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi, etika profesi menjadi semakin diperkaya
oleh ilmu-ilmu tersebut seperti munculnya etika profesi bagi ilmu-ilmu kesehatan, ilmu
teknik, dan ilmu komputer. Etika profesi mampu berdialog dengan berbagai ilmu,
bertahan dan dibutuhkan selama hubungan profesional-klien masih tetap ada.
Bagi seorang profesional yang bergerak di bidang tertentu seperti perpustakaan,
kedokteran, disain interior, atau dosen, etika profesi dapat berperan sebagai “kompas”
moral, penunjuk jalan bagi si profesional yang berdasarkan nilai-nilai etisnya: hati
nurani, kebebasan-tanggung jawab, kejujuran, kepercayaan, hak-kewajiban dalam
bentuk pelayanan terhadap kliennya. Peran yang kedua, etika profesi diharapkan dapat
menjamin kepercayaan masyarakat (klien-klien) terhadap pelayanan yang diberikan
oleh si profesional. Untuk itulah harus diciptakan semacam kode etik yang baik (kode
etik pustakawan, kode etik dokter, kode etik dosen, dan sebagainya).

4.3 KAIDAH ATAU NORMA ETIKA


Pada bagian ini akan dijelaskan tentang kaidah atau norma etika/moral yang
lazim dimunculkan pada etika normatif, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung
jawab, nilai dan norma, serta hak dan kewajiban.

4.3.1 Hati Nurani


Apakah yang dimaksud dengan hati nurani? Hati nurani, atau yang sering
disebut kata hati, suara hati, hati kecil, adalah penghayatan tentang yang baik dan yang
buruk yang berkaitan dengan tindakan nyata atau perilaku konkret manusia. Hati nurani
semacam nur (cahaya) yang menerangi hati kita. Suara hati atau hati nurani
memerintahkan atau melarang kita untuk melakukan sesuatu atau tindakan tertentu pada
saat tertentu pula. Suara hati tidak berbicara tentang yang umum, melainkan tentang
suatu situasi yang nyata. Sebagai contoh, Anti, seorang gadis remaja, ingin memiliki
sebuah telpon genggam tetapi orangtuanya enggan membelikannya. Tanpa
sepengetahuan orang tuanya, Anti sering ke kamar ayahnya dan diam-diam mengambil
uang dari dompet ayahnya. Uang itu akan digunakan untuk membeli telpon genggam.
Sebenarnya, ketika Anti mengambil uang tersebut, hati nuraninya “bekerja” –
memerintahkan untuk tidak mengambil uang tanpa sepengetahuan ayahnya. Tetapi Anti
tidak mengindahkan hati nuraninya, ia tertutup oleh keinginan yang kuat untuk
memiliki telepon genggam.
Contoh tersebut menunjukan bahwa Anti tidak mengikuti hati nuraninya. Tidak
mengikuti hati nurani secara tidak langsung telah menghancurkan moralitas pribadi dan
menghianati martabat yang terdalam pada kita. Hati nurani dikendalikan oleh kesadaran
manusia (akal budi manusia). Dengan kesadaran atau rasionalitasnya, manusia
sebenarnya mampu mempertimbangkan apa yang baik dan apa yang buruk baginya.
Kesadaran manusia atau rasionalitas atau akal budi manusia, sesungguhnya adalah
kemampuan manusia merefleksikan – merenungkan dirinya dengan lebih baik tentang
apa yang telah diperbuatnya. Kesadaran manusia mampu menilai bagaimana hati nurani
kita itu berperan di masa lalu atau masa yang akan datang. Perbuatan atau perilaku kita
di masa lalu dinilai oleh hati nurani yang sifatnya retrospektif. Perbuatan atau perilaku
kita itu di masa lalu buruk ataukah baik. Hati nurani prospektif dapat merencanakan
perbuatan yang akan kita lakukan di masa yang akan datang dan menilainya, apakah
perbuatan yang akan dilakukan itu nantinya baik atau buruk. Orang yang memiliki
pekerjaan tertentu perlu mengembangkan hati nurani secara total agar kepribadian etis
tetap terjaga dengan baik. Kedewasaan berpikir secara rasional akan membawa hati
nurani kepada suatu penilaian (judgment) yang lebih bijaksana dan apabila pernyataan-
pernyataan itu muncul mungkin saja bersifat subjektif maka pernyataan subjektif itu pun
berasal dari hati nurani yang sesuai dengan kualitas yang sebenarnya dari tindakannya
itu.

4.3.2 Kebebasan dan Tanggung Jawab


Kebebasan adalah salah satu unsur yang sangat hakiki dan manusiawi yang
dimiliki oleh manusia. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebebasan, dan
kebebasan itu melekat padanya tanpa mengenal perbedaan suku, ras, agama, derajat
maupun bentuk-bentuk lainnya. Di dalam bahasa Indonesia, kebebasan berasal dari kata
bebas, yang artinya tidak ada pembatasan atau tidak dibatasi oleh apa pun. Tetapi untuk
mengerti kata bebas, seyogianya kata itu dilekatkan pada kata benda sehingga
memperjelas arti kata itu sendiri. Sebagai contoh, seseorang mendapat tiket bebas
pesawat terbang untuk bepergian ke Bali, artinya orang itu mendapatkan tiket bepergian
ke Bali tanpa harus membayar sejumlah uang (seharga tiket tersebut). Kata lainnya,
pergaulan bebas berarti berteman dengan siapa pun tanpa mengendalikan norma sopan
santun dan adat-istiadat kebiasaan masyarakat setempat.
Apabila kata bebas itu dilekatkan pada seseorang maka ia menjadi seseorang
yang mampu menentukan diri sendiri, dan tidak dibatasi oleh orang lain atau
masyarakat dalam menentukan dirinya sendiri atau pun jalan hidupnya. Dengan
kebebasannya manusia “tampil” mengoptimalkan kemampuannya. Mungkin timbul
pertanyaan, “Mengapa kebebasan begitu berarti bagi banyak orang sehingga orang
seakan-akan berlomba-lomba mendapatkan kebebasan bagi dirinya?” Sebenarnya
dengan kebebasannya itu manusia menjadi lebih manusiawi dan lebih berbudaya, dan
itulah yang membedakannya dari makhluk lain di dunia ini. Perilaku hewan ditentukan
oleh perangsang dari luar dan insting dari dalam organnya. Seorang pakar filsafat
budaya, Ernst Cassirer mengatakan bahwa manusia lebih tinggi dari hewan, yang tidak
hanya menerima perangsang dan memiliki insting saja melainkan mampu menentukan
dan berperilaku melalui, dan sesuai dengan akal budinya. Dengan akal budinya,
martabat manusia ditampilkan melalui kebebasannya.
Kita berhak atas kebebasan kita. Tetapi apakah itu berarti bahwa kita dapat
bertindak sewenang-wenang atau berperilaku sesuai dengan kehendak kita tanpa ada
batasnya? Pertanyaan itu haruslah dijawab secara jernih. Sebagaimana disadari, manusia
adalah mahluk sosial. Sebagai makhluk sosial, seseorang selalu ada bersama dengan
orang lain, dengan sesamanya, dan ia menjadi bagian atau anggota dari suatu
masyarakat atau komunitas atau kelompok tertentu. Dengan demikian kebebasan yang
dimilikinya bukanlah kesewenangan, melainkan kebebasan yang secara hakiki dibatasi
oleh kenyataan bahwa ia adalah anggota masyarakat. Ia harus menyadari bahwa ia
hidup bersama orang lain yang memiliki kebebasan juga, dan ia berada pada suatu
lingkup yang sebenarnya dibatasi atau ditentukan oleh, misalnya, suatu keadaan,
peristiwa, situasi, ruang, waktu, atau aturan. Dengan pembatasan-pembatasan yang ada
itu, maka kebebasan yang diberikan oleh anggota masyarakat kepada seseorang
haruslah diisi dengan sikap, dan tindakan yang tepat. Orang itu sendirilah yang
menentukan sikap yang tepat dan sesuai dengan keinginan tanpa merugikan orang lain.
Menentukan sikap dan keinginan yang tepat adalah salah satu bentuk tanggung jawab
seseorang.
Ada hubungan yang erat antara kebebasan dengan tanggung jawab. Keputusan
atau tindakan yang diambil harus dipertanggung-jawabkan oleh diri sendiri, bukan oleh
orang lain. Seseorang tidak boleh melemparkan tanggung jawab kepada orang lain atas
perbuatan yang tidak dilakukan orang itu. Tidak setiap keputusan dapat disebut
bertanggung jawab. Bertanggung jawab haruslah sesuai dengan apa yang dilakukan oleh
seseorang, yang berkaitan dengan tugasnya dan kewajiban terhadap apa yang
dilakukannya dan terhadap harapan lainnya, dan itulah nilai-nilai kemanusiaannya yang
sebenarnya. Dengan demikian kebebasan yang dimiliki manusia haruslah diisi dengan
penuh makna tanpa kesewenang-wenangan.

4.3.3 Nilai dan Norma


Di dalam kehidupan manusia ada banyak nilai yang muncul, misalnya nilai
ekonomis, nilai moral, nilai etis, nilai estetis, dan nilai keagamaan. Nilai di sini
diartikan sebagai suatu perangkat untuk melakukan penilaian atas sesuatu. Hasil
penilaian dapat bersifat positif sejauh itu menguntungkan atau memberikan hasil yang
memuaskan bagi yang dinilai. Sedangkan hasil yang negatif menunjukkan bahwa
penilaian terhadap sesuatu dianggap tidak memuaskan, bahkan tidak benar, atau ada
semacam kesalahan yang terjadi ketika unsur-unsur nilai itu muncul. Setiap penilaian
atas sesuatu selalu berkaitan dengan kaidah, atau norma, atau semacam aturan yang
mendasarinya. Norma atau kaidah selalu memiliki semacam kriteria atau persyaratan
yang harus dipenuhi oleh seseorang ketika ia akan menilai sesuatu. Oleh karena itu
muncul anggapan bahwa norma dapat dianggap sebagai aturan atau kaidah sebagai
tolok ukur untuk menilai sesuatu. Dengan demikian terdapat banyak norma, seperti
norma benda, norma hukum, norma etiket dan norma moral.
Etika mengkaji nilai yang berasal dari moral, dari perbuatan yang baik dan
buruk yang dilakukan oleh seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa nilai moral berkaitan
dengan pribadi atau individu yang memiliki tanggung jawab. Nilai-nilai moral
menentukan apakah seseorang bersalah atau tidak bersalah, karena ia bertanggung
jawab atas apa yang diperbuatnya. Di dalam nilai moral terdapat norma moral yang
menentukan apakah tindakan kita baik atau buruk. Di antara norma-norma yang ada,
maka norma moral dianggap paling tinggi karena norma moral memberi kita berbagai
pertimbangan secara rasional tentang apa yang menjadi tolok ukur ketika kita
melakukan perbuatan tertentu. Apakah perbuatan atau tindakan itu memiliki kegunaan
bagi seseorang atau tidak, hanya orang itu saja yang mengetahuinya. Oleh karena itu
pertimbangan yang bersifat rasional sangat menentukan mutu dari tindakan seseorang.

4.3.4 Hak dan Kewajiban


Seperti halnya dengan kebebasan, hak merupakan elemen yang sangat
manusiawi yang dimiliki manusia. Pada dasarnya hak merupakan klaim yang dibuat
oleh orang, atau kelompok yang satu terhadap yang lain, atau terhadap masyarakat.
Dengan mempunyai hak, orang dapat menuntut bahwa orang lain akan memenuhi dan
menghormati hak itu. Hak itu dapat berupa hak atas warisan, hak atas tanah, atau hak
atas lingkungan alam. Bermacam jenis hak dapat memperjelas hak yang berkaitan
dengan moral. Untuk itu akan dijelaskan jenis-jenis hak seperti hak legal, hak khusus
dan hak umum, hak individual dan hak sosial, serta hak positif dan hak negatif.
a) Hak legal
Hak legal adalah hak yang didasarkan atas hukum dalam salah satu bentuk yang
dimunculkan melalui undang-undang, peraturan, atau dokumen yang sifatnya resmi,
atau yang berasal dari suatu lembaga atau instansi tertentu. Hak legal berfungsi dalam
sistem hukum dan didasari oleh prinsip hukum.
b) Hak khusus dan hak umum
Hak khusus adalah hak yang dimiliki oleh seseorang atau beberapa orang. Hak
tersebut timbul karena ada relasi khusus antara beberapa orang atau karena fungsi
khusus yang dimiliki seseorang terhadap orang lain. Sebagai contoh, orang tua
mempunyai hak bahwa anaknya akan patuh kepadanya dan, di pihak lain, anak
memiliki hak bahwa ia akan diberi makanan serta kebutuhan lainnya oleh orang tuanya.
Hak umum adalah hak yang diberikan kepada seseorang karena ia adalah manusia.
Tanpa kecuali, setiap orang memiliki hak tersebut. Hak umum sering disebut hak asasi
manusia (human right atau natural right).
c) Hak individual dan hak sosial
Hak individual adalah hak berupa kebebasan berpendapat, hak berserikat, hak
beragama, hak menetap di suatu tempat, dan sebagainya, yang dimiliki oleh individu
terhadap negara atau suatu masyarakat. Hak individual memperjuangkan hak hati nurani
masing-masing individu. Apabila hak individual diarahkan pada anggota masyarakat
atau suatu kelompok akan muncul hak yang sifatnya sosial. Jadi, hak sosial adalah hak
yang diperoleh seseorang ketika sebagai anggota suatu masyarakat ia berinteraksi
dengan anggota masyarakat lainnya. Contoh hak sosial adalah hak atas pelayanan
kesehatan, hak atas pendidikan. hak atas pekerjaan, dan hak mendapatkan upah yang
layak.
d) Hak positif dan hak negatif
Hak positif timbul apabila seseorang berhak atas tindakan orang lain kepadanya.
Sebagai contoh, seseorang yang ditabrak oleh sepeda motor sehingga terjatuh di jalan
berhak atas pertolongan orang lain. Contoh yang lain, sebagai seorang warganegara
lndonesia saya berhak atas makanan sehat, pendidikan yang baik, dan pelayanan
kesehatan.
Hak negatif timbul apabila seseorang bebas menginginkan, atau mendapatkan
atau menginginkan atau melakukan sesuatu. Contoh hak negatif adalah hak untuk
berbicara di depan kelas, hak untuk mendapatkan pendidikan tinggi di luar negeri, dan
sebagainya. Dalam hak negatif terkandung suatu maksud yaitu pihak lain atau orang
lain tidak dapat atau tidak boleh menghindari apa yang saya inginkan. Kebebasan
seseorang memungkinkan segala yang diinginkannya dan terwujud dalam hak-haknya.
e) Hak moral
Hak moral adalah hak seseorang yang didasari oleh prinsip atau peraturan etis.
Oleh karena itu, hak moral berada dalam sistem moral, yakni sistem yang memiliki
beberapa elemen atau kaidah moral (hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, hak dan
kewajiban). Kaidah itu saling terjalin sedemikian rupa, dan hasil sistem itu terwujud
dalam tindakan atau perilaku baik atau perilaku buruk manusia. Contoh hak moral ialah
hak seorang dosen untuk mengharapkan mahasiswanya berlaku jujur dalam menjawab
soal ujian.
Bagaimana dengan kewajiban? Kewajiban seseorang tergantung pada hak-hak
yang diperolehnya. Terdapat kewajiban atas hak legal, hak individual dan hak sosial,
hak khusus dan hak umum, serta hak negatif dan hak positif. Kewajiban yang harus
ditunaikan oleh seseorang tidak selalu sama dengan kewajiban orang lain. Hal itu
tergantung pada bagaimana hak-hak diperolehnya. Ketika ia berhak mendapatkan hak
individual, misalnya hak pendidikan di perguruan tinggi, maka ia harus melakukan
kewajiban sesuai dengan haknya itu, yaitu umpamanya membayar uang SPP secara
tepat waktu. Dengan demikian antara hak dan kewajiban terjadi korelasi atau hubungan
timbal balik. Kewajiban dapat terkait dengan hak orang tetapi dapat juga tidak. Menurut
J. S. Mill (Bertens, 2001: 194-196) kewajiban dengan hak orang lain disebut sebagai
kewajiban sempurna, karena adanya prinsip keadilan. Sedangkan kewajiban yang tidak
terkait dengan hak orang lain disebut kewajiban tidak sempurna karena tidak adanya
unsur keadilan.

4.4 PENTINGNYA ETIKA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI DAN


DALAM KEHIDUPAN ILMIAH
Setiap orang perlu bermoralitas, tetapi tidak setiap orang perlu beretika. Tetapi
mengapa dan untuk tujuan apa etika masih diperlukan di masa kini, di Abad
Globalisasi? Etika tidak langsung membuat kita menjadi manusia yang lebih baik (itu
tugas ajaran moral!), tetapi etika merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis
yang berhadapan dengan berbagai moralitas yang kadangkala membingungkan. Sebagai
pemikiran kritis dan sistematis, etika ingin menimbulkan suatu keterampilan intelektual,
yaitu keterampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis. Orientasi kritis
dibutuhkan untuk mengambil sikap yang wajar dalam suasana pluralisme moral yang
merupakan ciri khas zaman sekarang.
Ada beberapa alasan mengapa etika masih dibutuhkan saat ini. Pertama, terdapat
pandangan-pandangan moral yang beraneka ragam yang berasal dari berbagai suku,
kelompok, daerah, dan agama yang berbeda dan yang hidup berdampingan dalam suatu
masyarakat dan negara. Kedua, modernisasi dan kemajuan teknologi membawa
perubahan besar dalam struktur masyarakat yang akibatnya dapat bertentangan dengan
pandangan-pandangan moral tradisional. Ketiga, muncul berbagai ideologi yang
menawarkan diri sebagai penuntun kehidupan manusia, masing-masing dengan
ajarannya tentang kehidupan manusia.
Alasan-alasan tersebut yang memicu manusia untuk memikirkan dan
merenungkan kembali pentingnya etika dalam kehidupannya. Selama manusia berupaya
mencari jati dirinya, dan eksistensi dirinya, dan berada dalam suatu “situasi” kehidupan,
ia memerlukan semacam kompas moral, pegangan dan orientasi kritis agar tidak
terjebak, bingung atau ikut-ikutan saja dalam pluralisme moral yang ada, dan terlebur
dalam kehidupan yang nyata. Peran etika harus menjadi lebih nyata agar orang tidak
mengalami krisis moral yang berkepanjangan. Etika dapat membangkitkan kembali
semangat hidup manusia sehingga ia dapat menjadi manusia yang baik dan bijaksana
melalui eksistensi, dan profesinya.
Dalam kehidupan ilmiah, etika menjadi sangat penting. Pokok perhatiannya
ialah problem dan proses kerja keilmuan sehingga muncullah studi etika keilmuan.
Etika keilmuan menyoroti aspek bagaimana peran seorang ilmu-wan terhadap kegiatan
yang sedang dilakukannya (belajar, melakukan riset dan sebagainya). Tanggung jawab
ilmuwan dipertaruhkan ketika ia dalam proses kegiatan ilmiahnya, terutama dalam sikap
kejujuran ilmiah. Pokok perhatian lain dalam etika keilmuan adalah masalah bebas nilai.
Bebas nilai adalah suatu posisi atau keadaan di mana seorang ilmuwan memiliki hak
berupa kebebasan dalam melakukan penelitian ilmiahnya. Ia boleh meneliti apa saja
sejauh itu sesuai dengan keinginan atau tujuan penelitiannya. Kebalikan bebas nilai
adalah tidak bebas nilai. Tidak bebas nilai dalam suatu penelitian adalah munculnya
hambatan yang berasal dari luar (norma agama, norma hukum, norma budaya) ketika
seorang peneliti sedang menyelesaikan penelitiannya. Norma-norma tersebut menjadi
semacam “pagar” yang merintangi kebebasan si peneliti atas dasar tujuan dan
kepentingan norma tersebut. Sebagai contoh, ketika penelitian tentang bayi tabung
pertama kali dikemukakan, muncul penolakan dari berbagai pihak, terutama dari
kelompok agama. Penolakan itu karena kelompok agama berpendapat bahwa
munculnya makhluk baru (bayi) bukan berasal dari kreasi ilmuwan tetapi secara
alamiah berasal dari persatuan laki-laki dan perempuan dalam suatu perkawinan yang
disahkan oleh norma atau aturan agama.

BAB V
IDEOLOGI

Pembaca tentu tak asing lagi dengan ideologi-ideologi seperti fasisme,


liberalisme, sosialisme, dan Pancasila karena ideologi-ideologi itu seringkali
dilontarkan untuk merujuk pada ideologi yang dianut sekelompok orang atau untuk
menyebut ideologi diri sendiri. Sebagai contoh, seorang fasis akan melihat diri atau
bangsanya sebagai bangsa yang superior sehingga meremehkan bangsa lain. Sementara
itu, seorang sosialis akan menyuarakan hak-hak kelas pekerja, dan kelompok liberal
menyuarakan kebebasan individu dan menuntut negara-negara komunis atau sosialis
untuk tidak menutup mata terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Namun demikian, sekalipun istilah ideologi sering diucapkan, tak banyak orang
yang mengetahui maknanya secara tepat atau mengetahui nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya. Kenyataan ini ditegaskan oleh David Mclellan, seorang ilmuwan politik,
yang menyatakan bahwa ideologi merupakan konsep yang sulit dipahami (Heywood,
1998:5).
Apa yang diungkapkan Mclellan benar adanya mengingat ideologi dapat ditinjau
dari berbagai sudut pandang yang mengakibatkan lahirnya pengertian yang berbeda satu
sama lain. Sebagai gambaran, saat ini ideologi dapat dipahami sebagai pemikiran
politik, sebagai norma-norma keyakinan, sebagai bahasa, simbol, dan mitos, serta
sebagai kekuasaan elit. Keragaman sudut pandang tentulah mengaburkan pengertian
ideologi sehingga sebagian pembaca akan bertanya, “Apa ideologi itu?”
Untuk memahami apa ideologi itu, maka bab ini dibagi menjadi empat subbab:
pertama, uraian tentang pengertian ideologi; kedua, bentuk-bentuk ideologi; ketiga,
macam-macam ideologi; dan keempat, refleksi kritis terhadap ideologi. Melalui uraian
dalam subbab-sub tersebut, pembaca diharapkan dapat memahami pengertian ideologi,
fungsi ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan mampu mengkritisi
ideologi sebagai suatu sistem pemikiran. Akhirnya, dengan pemahaman dan sikap kritis,
pembaca dapat membangun pemikiran yang arif dan melakukan refleksi terus-menerus
terhadap nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi, khususnya Pancasila.

5.1 PENGERTIAN IDEOLOGI


Secara historis, pengertian ideologi mengalami perubahan dari masa ke masa.
Untuk itu, di sini diuraikan pengertian awal ideologi dan perubahan-perubahan makna
yang terjadi berikutnya. Ideologi (atau ideologie dalam bahasa Prancis) pertama kali
dikumandangkan oleh Antoine Destutt de Tracy (1754—1836). De Tracy, yang hidup
pada masa Revolusi Prancis, melihat bahwa ketika revolusi berlangsung banyak ide atau
pemikiran telah menginspirasi ribuan orang untuk menguji kekuatan ide-ide dalam
kancah pertarungan politik, dan mereka mau mengorbankan hidup demi ide-ide yang
diyakininya. Latar belakang inilah yang mendorong de Tracy untuk mengkaji ideologi.
Secara etimologis, kata ideologi berasal dari kata idea (‘ide,’ ‘gagasan’) dan
logos ‘ilmu’. Dalam rumusan de Tracy, ideologi diharapkan menjadi cabang ilmu
pengetahuan yang bertujuan mengkaji serta menemukan hukum-hukum yang melandasi
pembentukan serta perkembangan ide-ide dalam masyarakat sehingga ide-ide tersebut
dapat dijelaskan secara rasional, bebas dari prasangka ataupun takhayul-takhayul.
Dengan demikian, ideologi dalam pengertian de Tracy merupakan kritik terhadap ide-
ide ataupun keyakinan-keyakinan yang bercorak dogmatik dan tidak rasional. Upaya
kritis de Tracy ini tak lepas dari tujuannya untuk mencerahkan dan menunjukkan ide-
ide yang keliru di masyarakat, karena masyarakat Prancis saat itu masih dilingkupi oleh
dogma-dogma agama dan otoritas politik yang absolut (Eagleton, 1991: 64).
Upaya de Tracy mengalami kegagalan karena dalam kenyataannya, ideologi
tidak lagi menjadi keyakinan ilmiah tentang ide-ide melainkan, sebaliknya, telah
menjadi idealisme revolusioner. Akibatnya, kajian tentang ide-ide yang seharusnya
menjadi kajian rasional telah menjadi ajaran-ajaran ideologis. Sebagai contoh, ideologi
republikanisme dan liberalisme dipertentangkan dengan ideologi otoritarianisme yang
dianut oleh Napoleon. Bahkan, Napoleon, yang semula mendukung lembaga bentukan
de Tracy, kemudian berbalik menyerang dengan menyebut pengertian ideologi sebagai
hal yang doktriner–pengertian yang sampai kini melekat pada ideologi. Pada masa de
Tracy telah terlihat bahwa pengertian ideologi telah merosot dari ilmu tentang ide-ide
menjadi ide-ide doktriner dan melekat pada kekuasan.
Perubahan pengertian ideologi dari suatu ilmu tentang ide menjadi istilah yang
bercorak politis lahir seiring dengan tertibnya tulisan Karl Marx dan Friedrich Engels,
The German Ideology (1846). Dalam buku tersebut, Marx–yang menyorot masyarakat
kapitalis – mengemukakan bahwa ideologi lahir dari sistem masyarakat yang terbagi
dalam kelas-kelas. Kelas penguasa menguasai sarana-sarana produksi (material) dan
mengontrol produk-produk mental seperti ide-ide dan keyakinan-keyakinan. Kelas
penguasa pula yang mengatur produksi dan distribusi ideologi hingga, akhirnya, ide-ide
atau ideologi kelas penguasalah yang menguasai jamannya (Ball dan Dagger (ed.),
1995: 6).
Pandangan Marx tentang ideologi tersebut merupakan implikasi dari
pandangannya tentang masyarakat. Marx membagi kehidupan masyarakat ke dalam dua
bidang, yaitu bidang basis dan bangunan atas. Basis merupakan bidang produksi
kehidupan material yang terdiri atas tenaga-tenaga produksi dan hubungan-hubungan
produksi. Kedua unsur tersebut membentuk struktur organisasi sosial produksi yang
nantinya menciptakan hubungan-hubungan produksi yang selalu berupa hubungan-
hubungan kelas, seperti hubungan antara kelas pemilik modal dengan kelas pekerja.
Pada akhirnya, hubungan antarkelas tersebut melahirkan pertentangan kelas, yaitu
antara kelas atas (pemilik modal) dengan kelas bawah (pekerja). Bangunan atas atau
suprastruktur terdiri atas a) segala macam lembaga yang mengatur kehidupan bersama
namun di luar bidang produksi material, seperti: sistem pendidikan, sistem hukum,
sistem kesehatan, dan negara, dan b) semua sistem keyakinan, norma, nilai, makna,
termasuk di dalamnya adalah pandangan dunia, agama, filsafat, nilai-nilai budaya dan
seni (Magnis-Suseno, 2001: 143—145).
Adapun hubungan antara kedua bidang tersebut adalah sebagai berikut: bagian
basis, yang terdiri atas hubungan-hubungan produksi selalu berupa struktur kekuasaan,
khususnya struktur kekuasan ekonomi. Kekuasaan ekonomi yang dipegang oleh pemilik
modal menentukan bangunan atas, seperti kekuasaan politik dan ideologi. Dari analisis
ini jelaslah bahwa ideologi ditentukan oleh kekuatan ekonomi yang berada di bagian
basis. Oleh sebab itu, ideologi bukanlah sekumpulan ide-ide yang berpijak pada realitas
empiris (atau berangkat dari kenyataan) melainkan merupakan rekayasa mental karena
ia diciptakan oleh kekuatan-kekuatan yang membentuknya di bagian basis. Kekuatan
tersebut memerlukan ideologi untuk mempertahankan posisi dan kekuatannya; dengan
demikian, ideologi bersifat fungsional.
Analisis Marx tentang ideologi akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa
ideologi–dalam masyarakat kapitalis yang terpolarisasi antara kelas kapitalis (pemilik
modal) dan kelas pekerja–tidaklah berbicara tentang keberadaan atau kenyataan empiris
melainkan tentang kemanfaatan, kepentingan, dan pamrih. Ideologi merupakan ilusi,
pandangan yang menyesatkan tentang dunia, dan kepalsuan (Engels menyebutnya
sebagai kesadaran palsu). Disebut ilusi dan kepalsuan karena ideologi merefleksikan
kepentingan kelas penguasa, dan kelas ini sendiri tidak pernah mengakui diri sebagai
kelas penindas. Berkat ideologi, maka kaum kapitalis dapat menyembunyikan
kontradiksi dalam masyarakat hingga kaum proletar (pekerja) yang tereksploitasi tidak
menyadarinya, bahkan mendukung sistem kekuasaan yang ada. Contohnya adalah ide
tentang hak milik dalam liberalisme yang diusung sebagai ide universal namun dalam
kenyataannya hanya dinikmati oleh segelintir orang (Heywood, 1998: 7).
Yang menarik dari pandangan Marx adalah bahwa ia tak pernah menyebut ide-
ide pemikirannya sebagai ideologi melainkan sebagai sosialisme ilmiah. Barulah
kemudian para pengikutnya (kelompok Marxis) menyebut pemikiran-pemikiran Marx
sebagai ideologi. Pengikut Marx seperti Lenin dan Antonio Gramsci menunjukan minat
yang lebih besar lagi kepada kajian tentang ideologi. Hasil kajian mereka sangat
berpengaruh terhadap perkembangan pengertian ideologi.
Dalam pandangan Lenin, pemimpin Revolusi Sosialis Rusia, ideologi
merupakan ide-ide yang berasal dari kelas sosial tertentu yang berfungsi untuk
mendukung kepentingan-kepentingan kelas tersebut. Dengan kerangka berfikir ini maka
baik kaum borjuis maupun kaum proletar memiliki ideologi masing-masing.2 Dalam
buku yang ditulisnya pada tahun 1902, What is to be done?, Lenin menunjukkan bahwa
ideologi sosialis merupakan teori revolusioner yang digunakan untuk mendukung aksi
revolusioner. Sebagai suatu teori, ideologi sosialis merupakan hasil pemikiran teoretis
yang merefleksikan kepentingan kelas yang sesungguhnya. Di sini terlihat Lenin
mencampuradukkan pengertian ideologi sebagai ilmu pengetahuan dengan ide-ide yang
melayani kepentingan kelas. Akibatnya, Lenin telah mereduksi pengertian ideologi ke
dalam arti peyoratif atau negatif3 (pengertian peyoratif sendiri telah dirintis oleh Marx).
Setelah Lenin, seorang Marxis lain yang juga mengembangkan pengertian
ideologi adalah Antonio Gramsci. Titik tolak kajiannya adalah adanya hegemoni kaum
borjuis dalam masyarakat kapitalis. Dalam pemikirannya, sistem kapitalis dapat berdiri
kukuh karena ditopang oleh ketidaksetaraan kekuatan ekonomi dan politik, serta oleh
hegemoni ide-ide dan teori-teori borjuis. Yang dimaksud dengan hegemoni di sini
adalah suatu dominasi, sedang hegemoni ideologis mengacu pada kapasitas ide-ide
borjuis untuk menggeser ide atau pemikiran lawan hingga akhirnya ide-ide borjuis
diterima oleh akal sehat pada zamannya. Dikatakan dapat diterima oleh akal sehat
karena ideologi tersebut menyebar serta hidup di tiap lapisan masyarakat seperti dalam
karya-karya sastra, sistem pendidikan, dan media massa. Selain itu ideologi borjuis juga
digunakan dalam bahasa sehari-hari dan disebarkan melalui budaya-budaya populer.
Hegemoni borjuis, menurut Gramsci, hanya dapat ditentang di tingkat intelektual dan
politik melalui penciptaan hegemoni proletariat yang berbasis pada teori, nilai dan
prinsip-prinsip sosialis.
Marx dan kaum Marxis berpengaruh besar terhadap perkembangan pengertian
ideologi. Namun demikian, di luar kelompok ini, Karl Mannheim, seorang sosiolog
Jerman (1893—1947), mengkonstruksi konsep ideologi yang berbeda dari tradisi
Marxis. Ia menolak pendapat Marx yang menekankan ideologi dari sisi peyoratif atau
negatif, walaupun di sisi lain ia sepakat dengan Marx bahwa ide-ide ditentukan oleh
lingkungan sosial yang membentuknya. Dalam buku Ideology and Utopia (1924),
Mannheim mendefinisikan ideologi sebagai sistem pemikiran yang menjadi dasar
tatanan sosial. Di samping itu, ideologi juga mengekspresikan kepentingan-kepentingan
kelompok penguasa atau kelompok yang dominan di masyarakat. Selanjutnya,
Mannheim memilah ideologi menjadi dua jenis yakni ideologi partikular dan ideologi
total. Ideologi partikular merupakan ide-ide individu atau kelompok tertentu, sedangkan
ideologi total mengacu pada pandangan hidup (weltanschauung atau world view) yang
diyakini oleh suatu kelas sosial, masyarakat luas, dan bahkan berlaku pada suatu
periode jaman tertentu. Mannheim mengklasifikasikan kapitalisme liberal dan
Marxisme ke dalam tipe total ini.

2
Bandingkan dengan Marx yang menyatakan bahwa kaum proletar merupakan satu-satunya kelas yang
tidak membutuhkan ilusi dalam ideologi karena tujuan kelas ini adalah masyarakat tanpa kelas sehingga
ideologi tidak akan dibutuhkan lagi; Marx juga tidak pernah menyebut sosialismenya sebagai ideologi.
3
Raymond Geuss (dalam Eagleton, 1991:43) memilah definisi ideologi menjadi tiga jenis yakni a)
definisi deskriptif dalam arti antropologis, b) definisi peyoratif atau negatif (definisi model ini menghasilkan
pengertian ideologi sebagai ide-ide yang melegitimasi kekuasan, suatu ilusi atau kepalsuan), dan c) definisi
positif.
Menginjak tahun 1960-an, kajian tentang ideologi bergeser ke arah analisis
ideologi dari perspektif sosial dan politik, dan hasilnya adalah pengertian-pengertian
ideologi yang netral dan objektif. Contohnya adalah definisi Martin Seliger yang
menyebutkan bahwa ideologi merupakan seperangkat ide-ide. Melalui ide-ide tersebut
seseorang mampu menjelaskan dan menjustifikasi tujuan serta tindakan sosial yang
terorganisir; dengan kata lain, ideologi merupakan sistem pemikiran yang berorientasi
pada tindakan (Heywood, 1998: 8—11).
Dari uraian di atas jelaslah bahwa pengertian ideologi berkembang dari masa ke
masa. Pada awalnya, ideologi diartikan sebagai ilmu tentang ide (Destutt de Tracy)
kemudian berkembang ke arah pengertian yang bercorak peyoratif dan negatif (Marx
dan Marxis), di mana ideologi dipahami sebagai bentuk ilusi, kekuasaan, kesadaran
palsu dan hegemoni. Berikutnya, ideologi sebagai pandangan hidup (weltanschauung
atau world view) yang dikemukakan Mannheim. Terakhir, sejak tahun 1960-an, minat
terhadap kajian ideologi lebih difokuskan pada analisis sosial-politik sehingga lahirlah
definisi-definisi yang netral, antara lain pengertian bahwa ideologi merupakan
seperangkat ide yang berorientasi pada tindakan.
Ideologi dalam arti yang netral tentu saja memiliki kelemahan karena tidak
menjelaskan ideologi dari sudut baik atau buruk, benar atau salah, menindas atau
membebaskan, terbuka atau tertutup. Ideologi dalam arti yang netral juga sulit dikritisi,
karena dengan ke”netral”annya, ideologi dapat diartikan bermacam-macam, misalnya
sebagai pandangan hidup, doktrin (ajaran), atau filsafat politik.
Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam kajian ideologi yang
dibangun sejak tahun 1960-an itu, harus diakui bahwa kajian itu mampu menghasilkan
pengertian-pengertian ideologi yang bercorak deskriptif, di mana ideologi dipandang
sebagai objek studi dan riset sehingga nantinya ideologi dapat dipahami sebagai salah
satu bentuk pemikiran politik. Menurut Hardiman (dalam Eatwell dan Wright (ed.),
2001: ix), bila ideologi dipahami secara peyoratif semata maka yang timbul adalah
suatu sikap antipati atau alergi terhadap, atau meremehkan ideologi.
Penulis buku ajar ini mengadopsi definisi ideologi yang dikembangkan sejak
tahun 1960-an, yaitu dari Andrew Heywood (1998). Definisi Heywood digunakan
sebagai kerangka kerja untuk memahami pengertian ideologi dan untuk menjelaskan
peran ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun dasar pertimbangan
pemilihan ini adalah kenyataan bahwa pengertian ideologi yang dirumuskan Heywood
banyak membantu menjelaskan gejala ideologi yang kompleks.
Heywood (1998:12) mendefinisikan ideologi sebagai seperangkat ide yang
menjadi basis tindakan politik yang terorganisir. Dari pengertian singkat ini, Heywood
lalu mengembangkan tiga ciri ideologi yakni a) sebagai pandangan hidup (world view)
masyarakat, b) sebagai model, visi, dan cita-cita tentang tatanan masyarakat yang baik
di masa depan, dan c) sebagai pedoman bagi perubahan-perubahan politik yang
seharusnya dilakukan. Dari rumusan definisi serta ciri-ciri ideologi, Heywood kemudian
mengkasifikasikan gejala ideologi ke dalam dua bentuk.
Pada bentuk pertama, ideologi dapat dilihat sebagai bentuk pemikiran deskriptif
dan normatif, yang keduanya menghasilkan sintesis antara pemahaman dan komitmen.
Sebagai sintesis (gabungan) antara pemahaman dan komitmen, ideologi di satu sisi
berisi pengetahuan deskriptif, yaitu berupa peta intelektual tentang masyarakat dan
pandangan umum terhadap realitas. Melalui peta atau pandangan tersebut, seseorang
atau sekelompok masyarakat mampu menempatkan diri dalam suatu lingkungan sosial.
Di sinilah letak kapasitas ideologi sebagai pemersatu atau pengintegrasi individu-
individu atau kelompok-kelompok. Di sisi lain, ketika individu atau kelompok telah
memiliki pemahaman deskriptif yang sama, mereka akan memiliki keyakinan normatif
atau preskriptif pula yaitu berupa suatu komitmen tentang tatanan masyarakat di masa
kini maupun di masa mendatang. Dengan adanya corak normatif, maka ideologi
menjadi sistem keyakinan yang memiliki kekuatan dan mendorong sikap emosional
karena dapat menjadi alat untuk menyuarakan harapan, ketakutan, simpati dan
kebencian. Sintesis antara pemahaman dan komitmen pada dasarnya meleburkan gejala
ideologi sebagai fakta dan nilai, atau antara ciri (a) ideologi sebagai pandangan hidup
dan (b) ideologi sebagai cita-cita tentang tatanan masyarakat yang baik.4 Adanya
peleburan ini menyebabkan batas antara ideologi dengan ilmu pengetahuan menjadi
kabur sehingga ideologi dapat digunakan sebagai paradigma,5 yaitu sebagai seperangkat
prinsip, doktrin, dan teori yang dapat mendorong proses penelitian intelektual.
Pada bentuk kedua, ideologi dapat dilihat sebagai teori politik dan tindakan
politik. Keduanya akan menghasilkan sistesis antara pemikiran dan tindakan seperti
tercermin pada ciri (b), ideologi sebagai cita-cita tentang tatanan masyarakat yang baik
dan (c) ideologi sebagai pedoman perubahan politik yang diinginkan. Seliger (dalam
Heywood, 1998: 13) secara lebih mendalam mengkaji hal ini dengan memilah ideologi
ke dalam dua tingkat. Tingkat pertama adalah tingkat fundamental. Pada tingkat ini
ideologi mirip dengan filsafat politik6 karena di dalamnya dibicarakan teori-teori dan
ide-ide abstrak. Tingkat kedua adalah tingkat operatif. Pada tingkat ini ideologi
berbentuk gerakan-gerakan politik seperti mobilisasi massa dan perjuangan untuk
merebut kekuasaan. Dalam bentuk operatif, ideologi dapat dikenali dengan mudah
dalam slogan-slogan, retorika politik, manifesto partai ataupun dalam kebijakan-
kebijakan pemerintah.

5.2 IDEOLOGI DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA


Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita menjumpai adanya gejala
sebuah ideologi tertentu dihayati sebagai sumber nilai, misalnya liberalisme di AS,
sosialisme di Kuba, atau Pancasila di Indonesia. Satu pertanyaan dapat diajukan,
“Mengapa komunitas politik seperti negara bangsa memerlukan ideologi?” Salah satu
ciri yang menandai suatu bangsa adalah kemajemukan yang dapat berupa a)
kemajemukan budaya seperti ras, suku bangsa, agama, dan bahasa, atau b)
kemajemukan sosial seperti perbedaan-perbedaan yang diakibatkan oleh pekerjaan,
pendidikan, status ekonomi, dan kekuasaan yang dimiliki. Kemajemukan itu tentu saja
menimbulkan permasalahan sehubungan dengan penciptaan identitas bersama yang
merupakan hal mendasar dalam hidup berbangsa dan bernegara. Permasalahan identitas
bersama ini akan semakin jelas dalam pertanyaan-pertanyaan berikut: Bagaimana
individu mendefinisikan diri sebagai warga negara? bagaimana individu terhubung
dengan negara? Apakah nilai-nilai etnis dan agama mampu memberikan solidaritas
sebangsa? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dikatakan wajar karena kelompok-
kelompok masyarakat memiliki sistem nilai tersendiri yang digunakan untuk mengejar
kepentingan kelompok masing-masing. Mengingat beragamnya sistem nilai yang
4
Lihat deskripsi Heywood tentang ciri-ciri ideologi
5
Banyak definisi yang dapat diajukan untuk memahami paradigma, Guba (1990:18) mendefinisikan
paradigma sebagai sistem-sistem keyakinan yang menjadi titik tolak untuk menentukan apa penelitian itu serta
bagaimana pelaksanaannya. Masterman (dalam Lakatos dan Musgrave, 1989: 66) mengatakan bahwa
paradigma adalah seperangkat kebiasaan-kebiasaan ilmiah. Suatu pemecahan masalah akan dihasilkan bila
kebiasaan tersebut ditaati. Thomas Kuhn, filsuf yang memperkenalkan term paradigma, mendefinisikannya
lebih ke aspek sosiologis, dan bercorak prateori. Ia mendeskripsikan paradigma sebagai suatu capaian ilmiah,
suatu “wilayah” yang menuntut komitmen profesional. Namun yang menarik dari pendapat Kuhn adalah
bahwa kedudukan paradigma telah ada sebelum pembentukan teori, sudut pandang ataupun hukum. Ia
menggunakan term paradigma ketimbang teori untuk mendenotasikan apa yang ditolak dan digantikan dalam
revolusi ilmu pengetahuan (Lakatos dan Musgrave, 1989:2). Ilmuwan lain menggunakan term teori.
6
Ideologi dikatakan mirip namun tidak identik dengan filsafat politik kerena dalam ideologi tidak
dijumpai konsistensi dan koherensi internal sebagaimana layaknya dalam filsafat politik.
dimiliki kelompok masyarakat dan tak jarang pula satu sama lain saling bertentangan,
maka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diperlukan alat pemersatu dan suatu
identitas bersama sebagai landasan untuk menyusun tatanan masyarakat.
Dalam kajian yang dilakukan Andrain (1992:82—84) ditemukan empat tipe nilai
yang merupakan sumber pembentuk identitas bersama. Pertama, nilai primordial, yaitu
nilai-nilai yang bersumber pada nilai-nilai yang dihayati oleh kelompok-kelompok
etnis. Kedua, nilai sakral7 yang berasal dari nilai-nilai agama dan ideologi. Ketiga, nilai
personal yang muncul seiring dengan tampilnya pemimpin-pemimpin karismatik, yang
mampu mempersatukan bangsa. Keempat, nilai-nilai sipil yang tidak hanya mengacu
pada sikap hormat dan kesantunan dalam hidup berpolitik tetapi juga mengarah ada
penciptaan sistem politik yang mampu mengembangkan loyalitas warga negara
terhadap sistem politik, sementara ikatan warga terhadap kelompok-kelompok
budayanya tetap dipertahankan. Adapun nilai-nilai sipil yang dipandang penting adalah
nilai-nilai yang mengacu pada tertib hukum, kesejahteraan umum, dan pengembangan
sistem politik yang berlandaskan pada kekuasaan yang dimiliki bersama.
Ideologi merupakan bagian dari tipe nilai sakral yang, seperti telah
dikemukakan, merupakan salah satu sumber pembentuk identitas bersama. Ideologi
mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Alfian, 1986). Dengan demikian, melalui
ideologi yang dihayati, suatu masyarakat atau bangsa mengetahui ke arah mana
kehidupan bersama hendak dituju. Di samping memberikan arah dan tujuan dalam
hidup berbangsa dan bernegara, ideologi juga memiliki fungsi lain yang tak kalah
pentingnya. Fungsi yang perlu ditekankan di sini terkait dengan identitas bangsa karena
ideologi memiliki kecenderungan untuk memisahkan ingroup (kita) dari outgroup
(mereka atau bangsa lain). Oleh karena itu ideologi berfungsi untuk mempersatukan
(Sastrapratedja, 1993; 143).
Dari definisi-definisi yang dirumuskan oleh Heywood, Andrain, Alfian dan
Sastrapratedja, jelaslah bahwa suatu ideologi (dalam hal ini ideologi nasional)
merupakan salah satu sumber identitas bangsa yang mempersatukan seluruh unsur atau
kelompok masyarakat serta menjadi cita-cita bersama yang ingin dicapai suatu bangsa.
Pancasila dapat dicontohkan di sini. Dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia,
Pancasila telah diakui sebagai ideologi yang membentuk identitas bangsa sekaligus
menjadi acuan untuk membangun tatanan masyarakat yang dicita-citakan. Pengakuan
terhadap Pancasila sebagai ideologi nasional merupakan hasil konsensus seluruh
kelompok masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena adanya kesadaran bahwa Pancasila
yang di dalamnya terkandung nilai ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
kemanusiaan, kebangsaan, musyawarah dan keadilan sosial yang merupakan nilai-nilai
yang dipandang baik; oleh karenanya menjadi tujuan setiap warga negara Indonesia
untuk mengejarnya.

5.3 BENTUK-BENTUK IDEOLOGI


Ideologi dapat dipilah menjadi dua macam bentuk. Pertama, ideologi sebagai
sistem pemikiran yang tertutup. Bentuk ini mengacu pada ideologi yang memonopoli
kekuasaan, tidak mentolerir ide atau keyakinan yang bertentangan dengannya. Ideologi
7
Dalam pengertian Andrain, nilai sakral adalah nilai yang bertumpu pada keyakinan-keyakinan sakral
yaitu suatu komitmen pada tujuan akhir yang berada di luar realitas empiris. Konsep ini oleh Andrain juga
digunakan untuk merujuk pada sistem politik modern yang mengklaim diri bercorak sekular (memisahkan
kehidupan politik dari kehidupan agama). Namun demikian, dalam sistem modern tersebut, nilai-nilai seperti
profit (dalam kapitalisme), sosialisme-Marx, dan rasionalisme dihayati sebagaimana halnya agama, dan
diyakini sebagai sumber kebenaran. Nilai-nilai tersebut digunakan sebagai acuan untuk menetapkan
masyarakat yang ideal serta menuntut kesetiaan masyarakat.
menjadi instrumen kontrol sosial dan menuntut adanya kepatuhan (Heywood, 1998:10).
Ideologi semacam ini dapat dijumpai sebagai ideologi doktriner karena ajaran-ajaran
yang ada di dalamnya disusun secara jelas dan sistematis, diindoktrinasikan kepada
warga negara, dan pelaksanaannya pun diawasi secara ketat oleh aparat negara. Dalam
masyarakat, ideologi yang diperkenankan hidup hanya ideologi yang diakui negara saja.
Contohnya ialah komunisme di era tegaknya Uni Soviet, fasisme di Itali era Mussolini,
dan nazisme di Jerman era Hitler.
Kedua, ideologi sebagai bentuk pemikiran yang terbuka. Dalam ideologi
semacam ini terkandung komitmen terhadap kebebasan, toleransi, dan pengakuan
terhadap kemajemukan dalam masyarakat (Heywood, 1998:10). Ideologi sebagai
bentuk pemikiran yang terbuka juga disebut ideologi yang tidak ketat karena ajaran-
ajarannya tidak disusun secara terperinci, tidak diindoktrinasikan pada warga negara,
dan pelaksanaannya tidak diawasi secara ketat oleh negara. Ideologi ini dapat menerima
ideologi-ideologi lain sehingga dapat hidup berdampingan dengan ideologi-ideologi lain
di masyarakat. Contohnya adalah Pancasila.

5.4 MACAM-MACAM IDEOLOGI


Berbagai macam ideologi diuraikan berikut ini.

a) Liberalisme
Tampilnya ideologi liberalisme dilatarbelakangi oleh situasi di Eropa sebelum
abad ke-18 yang diwarnai oleh perang agama, feodalisme, dominasi kelompok
aristokrasi, dan bentuk pemerintahan yang bercorak monarki absolut. Dalam situasi
demikian, ide-ide liberal yang mencerminkan aspirasi kelas menengah (terdiri atas
kelompok industrialis dan pedagang) mulai diterima. Selanjutnya, dengan dukungan
pemikir-pemikir liberal klasik seperti John Locke, J.S. Mill, Herbert Spencer, Adam
Smith, dan David Hume, ide-ide liberal tersebut mulai tersistematisasi dan mewujud
dalam pemikiran ekonomi, politik maupun sosial, dan akhirnya, perkembangan
liberalisme sebagai ideologi politik, semakin mantap seiring dengan terjadinya Revolusi
Inggris (1688), Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Prancis (1789).
Ketiga Revolusi tersebut mengukuhkan dua prinsip hukum yang mendasari
politik liberal, yaitu (1) pernyataan tentang hak asasi manusia (HAM), dan (2) adanya
konstitusi yang menetapkan tatanan politik. Di tingkat praksis, kedua prinsip tersebut
menjiwai pedoman-pedoman dalam kehidupan bernegara. Pedoman-pedoman tersebut
antara lain ialah (1) adanya hukum yang tidak memihak dan berlaku umum (tidak ada
keistimewaan bagi kelompok ningrat, agamawan, atau golongan terpandang lainnya)
dan (2) hukum dibuat untuk menjamin sebesar mungkin hak yang sama bagi tiap
individu agar mereka dapat mengejar tujuan hidupnya (Eatwell dan Wright (ed.), 2001:
33).
Baik prinsip hukum maupun pedoman dalam tatanan politik tersebut dengan
tegas membuat perbedaan antara negara dan masyarakat sipil. Negara tidak lagi
diperkenankan untuk mengambil alih inisiatif individu. Capaian dalam hal ini tentu saja
terkait erat dengan prinsip-prinsip dasar yang melandasi liberalisme, yaitu
individualisme, kebebasan, keadilan dan kesetaraan, serta utilitarianisme (Vincent 1995:
321, 50, dan Heywood, 1998:27—28).
1) Individualisme
Individualisme merupakan inti pemikiran liberal yang menjiwai seluruh basis moral,
ekonomi, politik, dan budaya. Individualisme sendiri dapat didefinisikan sebagai
pemikiran yang menjunjung keberadaan individu, dan masyarakat hanya dipandang
sebagai sekumpulan individu semata. Individu memiliki otonomi dan merupakan
sumber seluruh nilai. Individu juga dianggap sebagai hakim yang terbaik bagi
dirinya serta dapat bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Bertitik tolak dari
pandangan ini, kelompok liberal beranggapan bahwa negara tidak berhak
mengintervensi kehidupan warga negara.
2) Kebebasan
Kebebasan dalam liberalisme dipandang sebagai “hak” yang dimiliki tiap orang
(Heywood, 1998:29). Hak ini yang memungkinkan tiap individu mendapat
kesempatan yang sama untuk mengejar kepentingannya. Dari perspektif liberalisme,
kebebasan tidak hanya dipandang sebagai hak melainkan juga sebagai kondisi yang
memungkinkan tiap-tiap individu dapat mengembangkan bakat dan ketrampilannya.
Pemikiran Liberalisme klasik memberi tempat kepada kebebasan negatif, yaitu tidak
adanya batasan-batasan eksternal terhadap individu sehingga ia dapat bertindak
sesuai dengan kehendaknya. Tetapi dalam pemikiran liberalisme modern–
ditekankan bahwa terhadap kebebasan individu haruslah seminimal mungkin untuk
mencegah kerugian di pihak lain. Pengertian ini kemudian dikenal dengan
kebebasan positif.
3) Keadilan dan kesetaraan
Nilai keadilan yang dijunjung kaum liberal dilandasi oleh komitmen terhadap nilai
kesetaraan. Tekanan liberalisme di sini adalah keyakinan bahwa secara universal
manusia memiliki hak yang sama, dan secara moral kedudukan manusia adalah
setara. Dengan demikian, tiap-tiap individu memiliki hak dan kesempatan yang
setara untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilannya. Walaupun tiap
orang terlahir dengan bakat dan kemampuan yang berbeda-beda, berkat kerja keras
mereka masing-masing akan mendapat reward. Tiap individu yang bekerja keras
mengembangkan kemampuannya berhak untuk mengakumulasi kekayaan. Oleh
sebab itu, menurut kaum liberal, kesetaraan kesempatan harus terbuka bagi tiap
individu agar mereka dapat menikmati hak-hak dan penghormatan yang sama.
Kaum liberal tidak melihat bahwa ide kesetaraan kesempatan akan mengarah pada
ketidaksetaraan sosial dan ekonomi.
4) Utilitarianisme
Prinsip utilitas atau manfaat adalah prinsip yang memungkinkan tiap-tiap individu
dapat mengkalkulasi apa yang secara moral baik dengan menjumlahkan
keuntungan/kenikmatan yang diperoleh dari setiap aspek tindakan yang dipilih. Di
tingkat masyarakat pun, prinsip ini dapat dijadikan pedoman untuk pengambilan
keputusan yang menguntungkan masyarakat banyak, yang kemudian dikenal
sebagai prinsip “the greatest happiness for the greatest number”. Pandangan
utilitarianisme ini berakar dari keyakinan bahwa tindakan individu selalu
termotivasi oleh kepentingan-kepentingan pribadi yang dapat didefinisikan sebagai
keinginan untuk mendapatkan keuntungan/kenikmatan dengan menghindari hal-hal
yang merugikan. Dengan demikian, pilihan tindakan individu selalu didasarkan
pada perhitungan jumlah keuntungan yang diperoleh ketimbang kerugiannya. Inilah
yang dimaksud dengan prinsip utilitas.

Liberalisme dapat dikatakan sebagai ideologi yang begitu menyatu dalam


kehidupan masyarakat Barat, namun tidak lepas dari kritik. Pada abad ke-20, bahkan
hingga awal abad ke-21 ini, telah banyak pihak yang mulai mempertanyakan prinsip-
prinsip dasar liberalisme klasik seiring dengan munculnya dampak industri modern. Hal
ini disebabkan kelompok liberal terlalu membesar-besarkan nilai kebebasan dan
kesetaraan kesempatan bagi individu, sementara dalam realitas, kesempatan dalam
bentuk peluang kerja tidak tersedia secara merata di masyarakat. Sebagai upaya untuk
menanggapi tantangan terhadap liberalisme klasik tersebut, dikembangkanlah
liberalisme modern yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat modern oleh tokoh-
tokoh seperti T.H. Green, L.T. Hobhouse, J.M. Keynes, John Rawls, dan Robert
Nozick.

b) Kapitalisme
Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, lahirlah pemikiran, teori, dan sistem
ekonomi baru yang dijiwai oleh semangat liberalisme yaitu kapitalisme. Kapitalisme
merupakan buah pikiran dari tokoh-tokoh seperti Adam Smith dan David Ricardo.
Keduanya menggagas ide-ide liberal dan rasional, khususnya tentang hakekat manusia
serta peran pemerintah dalam masyarakat sipil. Latar belakang pemikiran ini tidak lepas
dari kehidupan ekonomi pada saat itu yang berada di bawah sistem merkantilis–suatu
sistem ekonomi di mana pemerintah berperan besar dalam membatasi kegiatan-kegiatan
ekonomi guna mendorong ekspor dan membatasi impor.
Pandangan-pandangan Smith yang kemudian menjadi acuan kapitalisme klasik
dapat diringkas sebagai berikut (Heywood, 1998:52—53): Ekonomi adalah pasar dan
pasar ini bergerak sesuai dengan harapan serta keputusan-keputusan individu yang
bebas. Kebebasan dalam pasar dipandang sangat penting dan kebebasan itu meliputi: (a)
kemampuan pengusaha untuk memilih barang yang hendak diproduksi, (b) kebebasan
buruh untuk memilih majikan, dan (c) kemampuan konsumen untuk memilih produk-
produk yang hendak dibeli. Adapun relasi-relasi yang terbangun dalam pasar, yaitu
pengusaha–buruh dan penjual—pembeli, dilandasi oleh relasi yang bercorak sukarela
dan kontraktual.
Yang menarik dari kapitalisme klasik ini adalah bahwa tiap-tiap individu
memiliki kebebasan dan kepentingan pribadi. Namun demikian aktivitas ekonomi
sendiri beroperasi berdasarkan kekuatan-kekuatan pasar yang bercorak impersonal yang
secara alami akan menjadi daya dorong untuk menuju kemakmuran ekonomi. Kekuatan
pasar tersebut dikenal sebagai hukum penawaran dan permintaan yang dapat mengatur
pasar sedemikian rupa sehingga tidak memerlukan aturan-aturan dari luar, bahkan untuk
itu pasar harus dibebaskan dari intervensi pemerintah. Selain hukum penawaran dan
permintaan, Smith juga meyakini adanya invisible hand sebagai pihak yang mengatur
pasar. Dalam praktik, invisble hand digunakan untuk menjelaskan bagaimana masalah-
masalah ekonomi seperti pengangguran, inflasi, defisit neraca pembayaran, dll. dapat
terselesaikan oleh mekanisme dalam pasar itu sendiri. Selain mengurangi masalah-
masalah seperti pengangguran, kekuatan-kekuatan pasat tersebut dipercaya juga dapat
menjadikan kegiatan ekonomi semakin efisien. Efisiensi ekonomi didasari oleh
pemikiran bahwa tiap-tiap perusahaan yang terjun ke pasar memiliki motif untuk
mengejar profit, sehingga prosedur-prosedur yang dijalankan adalah bagaimana
mempertahankan biaya yang rendah. Pemborosan dan inefisiensi tidak dapat ditoleransi.
Namun demikian, pihak-pihak yang terlalu mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya
pun dapat dicegah melalui kompetisi antarprodusen. Sementara, di pasar konsumen
adalah raja. Oleh sebab itu, untuk mempertahankan keuntungan, perusahaan juga harus
mampu mengindentifikasi kebutuhan-kebutuhan konsumen serta memuaskan mereka.
Dapat diringkas bahwa menurut Adam Smith, kapitalisme mengandung
beberapa prinsip dasar (Heywood, 1998:52—53 dan Ebenstein, dkk, 2000:23—26),
yakni yang berikut.
1) Ekonomi pasar
Ini merupakan kegiatan ekonomi yang ditentukan oleh kekuatan pasar, seperti
penawaran dan permintaan. Hal ini dapat berjalan baik bila pihak-pihak eksternal,
yaitu pemerintah tidak melakukan intervensi di dalamnya. Pasar yang berupa relasi
pengusaha—pekerja dan penjual—pembeli dipercaya sebagai pengambil keputusan
yang efektif.
2) Pengakuan atas hak untuk memiliki harta pribadi (secara khusus berupa sarana-
sarana produksi seperti tanah dan pabrik). Harta milik pribadi ini tersebar pada
individu-individu dan tidak terkonsentrasi pada pemerintah.
3) Kompetisi
Prinsip ini bisa terlihat antarpengusaha maupun antarnegara. Di masa kini,
kompetisi dalam pasar bebas bisa menjadi isu politik yang kontroversial
menyangkut konsumen sebagai pihak yang diuntungkan karena barang-barang
impor menjadi murah, sementara, di sisi lain, buruh dalam negeri akan kehilangan
pekerjaan karena ketidakmampuan perusahaan-perusahaan dalam negeri tidak dapat
bersaing sehingga harus menurunkan atau menghentikan produksinya. Namun
demikian, para kapitalis tetap meyakini bahwa kompetisi antarbangsa dapat
membawa kehidupan ekonomi menjadi efektif dan produktif.
4) Profit
Kapitalisme memberi kesempatan seluas-luasnya untuk mencari keuntungan dan
hal ini difasilitasi oleh tiga hal, yakni (a) kebebasan berdagang, (b) kebebasan untuk
memiliki harta pribadi, dan (c) kebebasan untuk melakukan kontrak.

Selama abad ke-19, kapitalisme menjadi semacam dogma di Amerika Serikat


dan Inggris. Ideologi ini mencapai puncaknya ketika negara-negara tersebut
memberlakukan doktrin laissez—faire, di mana negara memiliki peran minimal dalam
bidang ekonomi sehingga kelompok bisnis benar-benar leluasa dalam menggerakkan
roda ekonomi. Keadaan berbalik ketika memasuki abad ke-20 Amerika Serikat dilanda
Depresi Besar pada tahun 1939 dan di Eropa berkecamuk Perang Dunia II. Pada situasi
demikian, kapitalisme justru menampilkan efek kontra produktif dari doktrin laisse–
faire. Menghadapi kemandegan ekonomi tersebut, lahir pemikiran J.M. Keynes dengan
karyanya General Theory of Employment, Interest and Money (1936). Pemikiran
Keynes menandai perubahan besar dalam liberalisme klasik karena ia menolak konsep
pasar bebas yang dapat mengatur dirinya sendiri, Sebaliknya, ia mendukung peran
pemerintah yang lebih besar di bidang ekonomi, yaitu dalam kebijakan tentang pajak,
suku bunga, fiskal, insentif investasi, dan penyediaan pekerjaan umum untuk menyerap
pengangguran (Heywood, 1998:61)
Pemikiran Keynes banyak diterapkan di negara-negara kapitalis seperti Amerika
Serikat. Dengan pemikiran Keynes, pemerintah mulai menerima tanggung jawab dalam
menangani masalah pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Tampilnya peran
pemerintah di bidang sosial dan ekonomi ini dikenal sebagai konsep negara
kesejahteraan yang menjunjung prinsip-prinsip (1) tiap anggota masyarakat berhak
menikmati standard kehidupan minimum, dan (2) negara kesejahteraan bertujuan
menyediakan lapangan kerja sebagai tujuan sosial tertinggi (Ebenstein, dkk., 2000:40).
Konsep negara kesejahteraan tidak luput dari berbagai tantangan. Hal ini terlihat
pada tahun 1980an, ketika Ronald Reagan menjadi Presiden Amerika Serikat dan
Margaret Thatcher menjadi Perdana Menteri Inggris. Keduanya mendorong kebijakan-
kebijakan yang bercorak neokonservatisme. Tujuannya adalah untuk mempromosikan
efisiensi dan pertumbuhan ekonomi dengan peran pemerintah seminim mungkin. Kedua
tokoh tersebut juga memegang komitmen terhadap keberlangsungan pasar bebas,
menekankan deregulasi, desentralisasi pemerintahan dan privatisasi sektor-sektor
publik.
Di satu sisi, kapitalisme memang dapat membawa kemakmuran ekonomi,
namun di sisi lain juga mengandung kelemahan yaitu lahirnya bentuk-bentuk monopoli
yang memperkecil keuntungan di pasar bebas. Selain itu, dalam ekonomi kapitalistis
juga dikenal siklus dari kemakmuran ke resesi atau depresi yang mengakibatkan
banyak orang sewaktu-waktu bisa menganggur.

c) Kolonialisme
Kolonialisme adalah paham tentang penguasaan oleh suatu negara atas
daerah/bangsa lain dengan maksud untuk memperluas wilayah negara itu. Faktor
penyebab timbulnya kolonialisme ialah keinginan untuk menjadi bangsa yang terkuat,
menyebarkan agama dan ideologi, kebanggaan sebagai bangsa yang “istimewa,”
keinginan untuk mencari sumber kekayaan alam dan tempat pemasaran hasil industri.
Ada beberapa tipe kolonialisme, yang yang berikut.
(1) Koloni penduduk: negeri asing yang kemudian menjadi tanah air baru karena
migrasi besar-besaran, misalnya Amerika Utara dan Kanada.
(2) Koloni kelebihan penduduk: seperti koloni-koloni bangsa Italia dan Jepang.
(3) Koloni deportasi: tanah koloni yang dikerjakan oleh orang-orang buangan,
misalnya Australia.
(4) Koloni eksploitasi: daerah jajahan yang dikerjakan hanya untuk mencari
keuntungan, misalnya Hindia Belanda.
(5) Koloni sekunder: tanah koloni yang tidak menguntungkan negeri “induk”, tapi
perlu dipertahankan karena kepentingan strategi.

d) Nasionalisme
Nasionalisme merupakan salah satu ideologi yang berpengaruh di Eropa pada
akhir abad ke-18 sampai dengan awal abad ke-20, dan di Asia-Afrika pada abad ke-20.
Dalam kurun waktu dua abad, nasionalisme telah merepresentasikan diri sebagai
ideologi yang berperan penting dalam pembentukan negara-bangsa (nation-state) di
ketiga belahan dunia tersebut. Dalam kajian-kajian tentang nasionalisme, titik tolak
pembahasan terletak pada bangsa (nation). Berpijak pada konsep bangsa ini
nasionalisme dapat dimengerti sebagai sebuah kesadaran nasional, ideologi politik, dan
gerakan politik yang mengarahkan suatu bangsa menuju pembentukan organisasi politik
yang ideal yaitu negara-bangsa. Negara bangsa adalah konsep di mana negara terdiri
dari satu bangsa, dan yang disebut bangsa di sini adalah rakyat yang berdaulat. Jadi
konsep bangsa yang digunakan tidak lagi mengacu pada aspek primordial seperti
kesatuan etnis atau bahasa, namun lebih pada aspek politis. Pembentukan negara-
bangsa, sebagai tujuan nasionalisme, mensyaratkan adanya pemahaman tentang bangsa
dalam arti modern, yaitu bangsa di mana para anggotanya memiliki kesadaran bahwa
mereka (1) tinggal dalam teritori yang sama sehingga menimbulkan rasa memiliki
negara yang sama, (2) memiliki identitas nasional yang terkristalisasi dari sejarah,
bahasa, dan budaya yang sama, dan (3) merupakan anggota bangsa yang sama. Ketiga
hal ini merupakan aspek-aspek yang dapat mempersatukan rakyat yang terpisah secara
geografis sekaligus menumbuhkan tanggung jawab politik bersama.
Bangsa dalam arti modern, seperti telah disebut, dicirikan oleh adanya tanggung
jawab politik bersama dari para anggotanya. Dalam sejarah, pembangunan bangsa
sebagai kesatuan politis dilatarbelakangi oleh gagasan kedaulatan rakyat yang
merupakan reaksi terhadap gagasan kedaulatan raja yang bercorak absolut. Gagasan
kedaulatan rakyat inilah yang kemudian melahirkan sebuah kata kunci yaitu warga
negara. Sebagai akibat dari lahirnya gagasan kedaulatan rakyat, maka dalam konteks
kenegaraan, negara dipahami sebagai tatanan politik yang melembagakan kehendak
rakyat. Rakyat adalah subjek hukum, pihak yang memahami diri sebagai pembuat
hukum itu sendiri. Selain itu, dengan adanya kesadaran dari rakyat bahwa mereka
adalah warga negara, maka rakyat (yang juga) sebagai anggota bangsa akan melihat diri
mereka sebagai kesatuan warga negara yang berhak menentukan pemerintahan sendiri.
Jadi, dalam pengertian bangsa yang modern, terdapat hubungan yang erat antara bangsa,
negara, dan rakyat sebagai warga negara. Adapun peran nasionalisme adalah sebagai
ideologi yang mendorong kesadaran rakyat menjadi kesadaran nasional untuk menuju
pembentukan negara-bangsa yang berdaulat.
Untuk memahami nasionalisme di Eropa pada abad ke-18—20 dan di Asia-
Afrika pada abad ke-20, maka dapat dijelaskan dari ideologi-ideologi lain yang
mengiringi pemikiran nasionalisme di kawasan-kawasan tersebut. Di Eropa,
perkembangan nasionalisme juga diiringi oleh ide-ide kedaulatan rakyat, liberalisme,
dan kapitalisme. Dalam paham liberalisme, kebebasan individu dijamin. Sebagai
akibatnya, tujuan negara dalam masyarakat yang liberal adalah untuk mempertahankan
kebebasan, melindungi harta milik dan mewujudkan kebahagiaan individu. Dengan
demikian, ketika nasionalisme, liberalisme, dan gagasan kedaulatan rakyat telah berhasil
mentransformasi bangsa-bangsa di negara-negara Eropa (khususnya Eropa Barat)
menjadi bangsa bercorak politis yang terdiri atas kesatuan warga negara, maka negara-
bangsa tak lebih dari sarana untuk melindungi kepentingan-kepentingan individu-
individu warga negara.
Dampaknya dalam hubungan antarnegara adalah bahwa yang disebut
kepentingan nasional sebenarnya tak lain dari kepentingan individu-individu atau warga
negara, yang wajib diwujudkan oleh negara. Bila tiap negara berkewajiban mewujudkan
kepentingan nasional maka dalam hubungan internasional akan muncul benturan
antarkepentingan nasional. Nasionalisme dan liberalisme (dan kemudian diikuti oleh
liberalisme dalam bidang ekonomi yaitu kapitalisme) yang berkembang di Eropa
akhirnya mendorong intensitas konflik internasional yang dipicu oleh persaingan
ekonomi disertai persaingan untuk melakukan ekspansi wilayah guna mendapat sumber
bahan mentah. Tiap negara berlomba membangun imperium dengan memperluas
wilayah-wilayah jajahan di kawasan Asia dan Afrika. Sebagai contoh, antara tahun
1870–1900 Inggris menguasai wilayah jajahan seluas 4.250.000 mil2, Prancis 3.500.000
mil2 dan Jerman + 1.000.000 mil2.
Nasionalisme dan kapitalisme di Eropa pada abad ke-18—19 telah melahirkan
negara-bangsa yang kokoh dan dengan kekuatan negara ini pula, suatu bangsa dapat
membangun koloni-koloni dan imperium. Semakin luas wilayah jajahan yang dimiliki,
semakin makmur suatu negara-bangsa. Sebaliknya, di Asia dan Afrika, kolonialisme
dan imperialisme bangsa-bangsa Eropa (yang kemudian diikuti oleh Jepang) telah
menyadarkan rakyat pribumi untuk melawan. Nasionalisme yang bercorak
antikolonialisme dan antiimperialisme merupakan jiwa dari seluruh gerakan nasional
untuk memerdekakan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika. Hasil perjuangan tersebut
dapat dilihat dari data bahwa di antara tahun 1945 dan 1960, terdapat 55 bekas wilayah
jajahan yang menjadi merdeka dan membentuk negara-negara berdaulat.
Pada abad ke-21 ini, nasionalisme tidak lagi menjadi isu sentral dalam masalah-
masalah global. Namun demikian, masih banyak negara yang harus menghadapi
masalah-masalah kebangsaan yang bertumpu pada upaya persatuan bangsa (nation
building) dan permasalahan ini umumnya terjadi di negara-negara yang terbentuk dari
bangsa yang multietnis dan multikultural. Contohnya adalah Uni Sovyet dan Yugoslavia
yang gagal dalam membangun kesatuan bangsa dari keragaman etnis, yang akhirnya
berujung pada pembubaran kedua negara tersebut. Selain itu, negara-negara seperti
Spanyol masih harus menghadapi gerakan separatis Basque. Sementara itu, negara-
negara seperti Irak, Sri Lanka dan bahkan Indonesia masih harus terus berjuang menuju
kesatuan bangsa ini.
e) Sosialisme
Sosialisme sebagai ideologi politik lahir pada abad ke-19. Ideologi ini
berkembang sebagai reaksi terhadap kehidupan sosial—ekonomi yang dibangun di
bawah sistem kapitalisme Eropa pada masa itu. Industrialisasi dan penerapan doktrin
laissez faire yang dipraktikkan oleh negara-negara kapitalis Eropa telah melahirkan
kelas buruh yang hidup miskin. Sementara itu, belum ada undang-undang yang
mengatur tentang upah, jam kerja, dan perlindungan terhadap buruh, anak, dan
perempuan. Pendek kata, buruh bekerja dalam kondisi pabrik-pabrik yang tidak
manusiawi. Tekanan terhadap buruh semakin meningkat dengan adanya ancaman
pengangguran di mana-mana. Kelas buruh yang baru tumbuh ini pun belum memiliki
orientasi untuk menghadapi para majikan yang sangat berkuasa dalam menentukan
tingkat upah maupun kondisi pabrik.
Baru pada akhir abad ke-19 sosialisme berhasil ditransformasikan ke dalam
serikat-serikat pekerja dan partai buruh. Kedua kelompok ini berhasil menekan para
pengusaha sehingga terjadi perbaikan-perbaikan kondisi kehidupan kelas buruh.
Sosialisme yang lahir di abad ke-19 ini sangat beragam karena di dalamnya terdapat
buah pemikiran tokoh-tokoh seperti Owen, Saint Simon, Fourier, Proudhon, dan Karl
Marx. Pemikiran mereka berbeda satu sama lain, namun terdapat beberapa nilai dasar
yang melandasinya (Heywood, 1998: 106—113).

1) Komunitas
Sosialisme melihat realitas manusia sebagai makhluk sosial yang mampu menangani
masalah-masalah sosial–ekonomi dengan kekuatan komunitas. Dengan kata lain,
sosialisme menekankan kapasitas manusia untuk bertindak secara kolektif daripada
secara individual (bandingkan dengan pandangan individualis dalam liberalisme, di
mana individu adalah otonom dan masyarakat hanya dipandang sebagai
penjumlahan dari individu). Kaum sosialis melihat bahwa individu hanya dapat
dipahami melalui kelompok-kelompok sosial di mana ia menjadi anggota. Manusia
dengan manusia lainnya merupakan camerad, saudara yang terikat oleh ikatan
kemanusiaan. Oleh sebab itu, ikatan-ikatan sosial seperti kelas, bangsa, dsb.
merupakan entitas politik yang sangat bermakna.
2) Kooperasi
Kelompok sosialis meyakini bahwa hubungan yang alami antarmanusia adalah
hubungan kooperasi, bukan hubungan kompetisi. Ini berbeda dengan pandangan
kelompok liberal yang melihat kompetisi sebagai hal yang alami karena manusia
secara alami mementingkan diri sendiri sehingga kompetisi dianggap sehat karena
mendorong orang bekerja keras guna mengembangkan seluruh kemampuannya.
Kelompok sosialis beranggapan bahwa kompetisi menempatkan manusia
berlawanan dengan manusia lainnya, mengingkari hakikat sosial serta menampilkan
keegoisan dan agresi. Sebaliknya, kooperasi mendorong manusia untuk saling
bekerja sama dan mengembangkan ikatan simpati. Komitmen terhadap kooperasi
menstimulasi timbulnya usaha-usaha kooperatif yang ditujukan untuk menggantikan
tipe-tipe usaha yang bercorak kompetitif.
3) Kesetaraan
Kelompok sosialis melihat bahwa dalam kapitalisme yang dibangun oleh ekonomi
yang liberal terlalu menekankan kompetisi dan kepentingan diri yang berdampak
pada ketidaksetaraan yang dialami manusia yang terefleksikan dalam struktur
masyarakat yang tidak setara pula. Ketidaksetaraan itu dipandang sebagai wujud
dari perlakuan yang tidak setara di masyarakat dan bukan karena sesuatu yang
alamiah. Dikatakan demikian karena kelompok sosialis tidak meyakini bahwa semua
individu memiliki kapasitas dan keterampilan (bandingkan dengan penjelasan
tentang kesetaraan kesempatan dalam liberalisme). Oleh sebab itu, sosialisme
menekankan adanya kesetaraan sosial sebagai jaminan bagi tiap orang untuk
mengembangkan seluruh potensi dirinya. Ketidaksetaraan sosial dipandang tidak
adil dan memicu persaingan serta kesenjangan sosial. Sebaliknya, kesetaraan sosial
memungkinkan manusia saling bekerja sama dan hidup harmonis—dua nilai yang
dianggap sebagai pilar keberadaan komunitas.
4) Kebutuhan dan keadilan
Nilai kesetaraan sosial dalam sosialisme terkait erat dengan teori tentang distribusi
kekayaan (reward) yang bercorak material di masyarakat. Jika liberalisme
menetapkan reward didistribusikan sesuai dengan kemampuan individu, maka
sosialisme lebih menekankan distribusi reward tersebut berdasarkan kebutuhan.
Menurut kelompok sosialis, kebutuhan-kebutuhan (needs) berbeda dengan keinginan
(want atau preference). Kebutuhan mencakup hal-hal pokok serta menuntut
keharusan untuk segera dipenuhi (ini sering disebut kebutuhan pokok). Hal ini
berbeda dengan keinginan yang diartikan sebagai keinginan personal dan sangat
dipengaruhi oleh faktor sosial-budaya. Kebutuhan pokok bersifat objektif dan
universal serta dibutuhkan oleh tiap orang tanpa memandang bangsa. Kriteria
kebutuhan pokok ini yang kemudian menjadi basis bagi prinsip keadilan.

5) Kepemilikan bersama atas sarana-sarana produksi


Kelompok sosialis melihat bahwa akar kompetisi dan ketidaksetaraan adalah harta
milik pribadi berupa harta produktif atau kapital. Jika kelompok liberal memandang
kepemilikan harta pribadi sebagai hal yang alami karena berasal dari jerih payah
individu, maka kelompok sosialis memiliki pandangan lain, yakni yang berikut (1)
Harta/kekayaan berasal dari tenaga manusia yang diupayakan secara kolektif; oleh
sebab itu, kekayaan harus dimiliki oleh komunitas dan bukan oleh individu. (2)
Harta milik pribadi melahirkan ketamakan dan sifat materialistis. (3) Harta milik
pribadi dapat menimbulkan konflik antara pengusaha dan pekerja, serta antara orang
kaya dan yang miskin.

Dari perspektif sejarah terlihat bahwa sosialisme merupakan ideologi politik


yang diadopsi oleh banyak kelompok atau negara, dari kelompok komunis revolusioner
di era Uni Soviet, kelompok nasionalis di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, rejim fasis
di Italia dan Jerman (sebelum P.D. II) hingga kelompok sosial demokrat di Eropa Barat.
Namun demikian, sosialisme dan komunisme (terutama) tak luput dari kritik, khususnya
mengenai kedudukan individu, hak milik pribadi, dan kontrol pemerintah dalam bidang
ekonomi.

f) Marxisme
Marxisme tampil sebagai sebuah ideologi politik setelah kematian Karl Marx
pada tahun 1863. Adapun tokoh-tokoh yang mengolah gagasan-gagasan Marx secara
sistematis dan komprehensif serta dapat diterapkan pada gerakan sosialis saat itu adalah
Engels, Karl Kautsky, dan Georgie Plekhanov.
Gagasan-gagasan Karl Marx sebenarnya dapat dikelompokkan dalam rumpun
sosialisme, tetapi Marx mengklaim bahwa sosialisme yang digagasnya adalah
sosialisme ilmiah dan revolusioner (untuk membedakannya dari sosialisme Fabian,
Owenis, Saint Simonis dan Fourieris yang disebutnya sebagai sosialisme utopis).
Pemikiran khas Marx adalah interpretasinya tentang sejarah masyarakat. Ia
menampilkan filsafat sejarah yang mencoba menjelaskan mengapa kapitalisme pada
akhirnya hancur dan sosialisme ditakdirkan untuk menggantikan kedudukan
kapitalisme. Letak perbedaan Marxisme dengan sosialisme lainnya adalah bahwa
pemikiran Marx membuat pemisahan antara teori dan praksis. Dari pemikiran Marx
tentang masyarakat dan sejarah, kemudian lahirlah suatu pemikiran yang oleh Engels
disebut materialis sejarah (lihat pengertian Marx tentang ideologi di subbab 5.1,
Pengertian Ideologi).
Marx menyorot salah satu prinsip dasar kapitalisme, yakni kompetisi. Ia
beranggapan bahwa demi kompetisi maka produktivitas produksi harus ditingkatkan,
dan dijual semurah mungkin. Jika hal ini berlangsung dalam jangka panjang, maka
semua bentuk usaha yang tidak diarahkan untuk mencari keuntungan akan kalah, dan itu
berarti hanya usaha-usaha komersial besar yang dapat hidup. Akhirnya, persaingan
hebat itu akan menyisakan dua kelas sosial saja yakni para pemilik modal besar dan
kelas buruh.
Kelas buruh akan semakin melarat karena pemilik modal terus menekan upah
agar daya saing meningkat. Namun demikian, kelas buruh, yang sebelumnya tidak
memiliki kesadaran kelas, lambat laun menjadi sadar bahwa mereka merupakan satu
kelas dan mengorganisasikan diri dalam serikat-serikat buruh. Tujuan perjuangan buruh
(proletariat) tidak lagi sekadar untuk menaikkan upah, melainkan juga untuk menghapus
hak milik kelompok kapitalis atas sarana-sarana produksi. Jadi di sini kapitalisme telah
melahirkan kelas buruh yang akan menghancurkannya sendiri. Kaum proletariat inilah
yang nantinya menjalankan revolusi sosial, merebut negara dan mendirikan
“kediktatoran proletariat”. Bentuk ini diperlukan untuk mencegah adanya revolusi
balasan dari kaum kapitalis. Setelah itu hak milik pribadi atas sarana-sarana produksi
dihapus dan dialihkan ke negara.
Menurut analisis Marx, selain hak milik pribadi terhapus, negara juga menjadi
layu dan mati. Proletariat menciptakan masyarakat tanpa kelas. Dalam masyarakat tanpa
kelas ini kediktatoran proletariat juga hilang. Akhirnya terciptalah masyarakat komunis
yang dicirikan oleh penghapusan kelas-kelas sosial, menghilangnya negara dan
penghapusan pembagian kerja (Magnis-Suseno, 2001:165—171). Perlu diketahui
bahwa konsep komunisme dalam pemikiran Marx berbeda dengan sistem komunis yang
dibangun Lenin, di mana negara menguasai seluruh sarana produksi.
Dominasi Marxisme dalam gerakan serikat buruh belum nampak pada awal abad
ke- 19. Pada masa itu, khususnya tahun 1820—1830-an, kelompok-kelompok sosialis
aliran Owenis, Saint Simonis dan Fourieris sudah mengawali gerakan buruh dan
berpengaruh pada gerakan yang lebih luas, sehingga pada tahun 1840-1860 wacana-
wacana ideologi sosialis telah diterima sebagai aspirasi kelas buruh di Eropa. Baru pada
tahun 1889 gagasan-gagasan Marx mendominasi gerakan buruh dan Asosiasi Buruh
Internasional II (Internationale II). Hampir semua partai sosialis, termasuk Partai Sosial
Demokrat Jerman (SPD) yang merupakan Partai Marxis terbesar di Eropa,
mengesahkan program-program proMarxis. Di kemudian hari, SPD banyak melahirkan
revisionis Marxisme yang bertujuan untuk menyesuaikan Marxisme dengan
perkembangan ekonomi negara-negara industri di akhir abad ke-20. Tokoh-tokoh
revisionis tersebut antara lain ialah: Eduard Bernstein dan Rosa Luxemburg.
Perkembangan Marxisme berikutnya terlihat pada Internationale III, yang
ditandai oleh meletusnya Revolusi Bolsheviks di Rusia (1914—1918). Sebagai
pemimpin revolusi, Lenin segera menetapkan Marxisme-Leninisme sebagai ajaran yang
paling benar namun ditentang oleh Rosa Luxemburg. Pertentangan tersebut dipicu oleh
kebijakan-kebijakan Lenin pada tahun 1918 yang menghapus hak-hak demokrasi di
Rusia.
Sejak tahun 1930, terjadi polarisasi dalam ideologi dan gerakan Marxisme. SPD
Jerman, misalnya, menjadi kelompok revisionis yang didasari oleh ide-ide demokrasi
sosial. Setelah itu juga lahir varian-varian seperti Trotskyisme, Stalinisme, Marxisme
revisionis, Marxisme humanis, Eurokomunisme, Maoisme, Marxisme Afrika, Marxisme
eksistensialis, Marxisme strukturalis, Marxisme feminis dsb. Hingga saat ini Marxisme
sebagai pemikiran masih tetap hidup dalam bentuk-bentuk yang reformis, demokratis,
dan revisionis (Vincent, 1995:90).

g) Fasisme dan Nazisme


Berakhirnya Perang Dunia I pada tahun 1918 menimbulkan tragedi bagi Eropa
dan dunia. Bagi negara-negara yang kalah perang, kenyataan ini tentu lebih
menyakitkan lagi. Jerman misalnya, harus menerima isi Perjanjian Perdamaian Versaille
(1919) yang isinya antara lain kedaulatan Jerman dikendalikan oleh Tentara
Pendudukan Sekutu. Dalam situasi negara yang kacau setelah perang, di mana korban-
korban sipil berjatuhan, dan kemiskinan yang merajalela, fasisme dan nazisme
ditawarkan sebagai ideologi maupun gerakan yang mampu membangkitkan kembali
kemakmuran, kehormatan dam kejayaan suatu negara bangsa.8 Istilah fasisme
dikumandangkan pertama kali pada tahun 1919, pada saat berdirinya gerakan Fasis di
Italia. Selanjutnya, sebagai sebuah ideologi, fasisme mengacu pada ideologi yang
diterapkan Mussolini di Italia pada tahun 1922—1939.
Fasisme dan nazisme memiliki beberapa kesamaan konsep dasar sehingga
nazisme sering disebut sebagai fasisme varian Jerman. Nazisme berasal dari kata Nazi
singkatan dari Nationalsozialistische yang menjadi ideologi Partai NSDAP
(Nationalsozialstische Deutsche Arbeiter Partei atau Partai Buruh Nasional Sosialis
Jerman). NSDAP menjadi terkenal berkat kemampuan pidato-pidato Hitler. Bagi kaum
Nazi, buku tulisan Hitler, Mein Kampf (Perjuanganku) mrupakan buku yang wajib
dibaca (Marbun, 1983:44-46). Nazisme diadopsi di Jerman antara tahun 1933—1938.
Secara umum, fasisme dan nazisme bertitik tolak dari konsep-konsep dasar
tentang (1) superioritas ras, (2) elit dan kepemimpinan yang karismatik, (3) negara
totaliter, (4) nasionalisme, (5) sosialisme, dan (6) militerisme (Hayes, 1973:19).
Pertama, konsep superioritas ras ini pada umumnya digunakan negara-negara
industri di Eropa Barat menjelang PD I untuk menemukan wilayah dan pasar di luar
negeri. Di antara negara-negara itu, Jerman dan Inggris menggunakan teori keunggulan
ras untuk menyembunyikan tujuan ekonomi-politik mereka. Ide atau konsep
keunggulan ras selanjutnya mendorong pemikiran-pemikiran atau konsep “negara
unggul”, yang ide-idenya ditopang oleh teori geografi politik seperti teori MacKinder,
Ratzel, dan Karl Haushoffer. Keseluruhan konsep tentang keunggulan ras, negara
unggul, dan geografi politik itu nantinya menjadi justifikasi ilmiah bagi gerak ekspansi
Jerman di bawah Hitler menjelang PD II. Secara khusus, konsep keunggulan ras tidak
ditekankan dalam pemerintahan fasis di Italia namun menjadi semacam doktrin di
Jerman dan Rusia (di kedua negara ini, populasi Yahudi cukup besar). Dampak dari
konsep yang bahkan menjadi mitos ini adalah lahirnya anti-Semitisme (anti-Yahudi).
Kaum Nazi berhasil mempropagandakan anti-Semitisme, dengan menuding kaum
Yahudi sebagai penyebab masalah ekonomi-sosial yang menghalangi dominasi bangsa
Jerman terhadap bangsa-bangsa Eropa.
Kedua, konsep elit dan pemimpin yang karismatik yang lahir dari situasi
masyarakat yang dilanda kahancuran dan ketidakpastian sosial-ekonomi. Dalam situasi
seperti ini, masyarakat membutuhkan pemimpin yang mampu mengangkat harga diri
bangsa dan memberi harapan. Mussolini maupun Hitler mampu menarik dukungan
8
Di sini terdapat ide nasionalisme dalam bentuk yang radikal yaitu chauvinisme.
massa karena keduanya mampu memberi harapan dengan mempropagandakan bahwa
bangsa mereka adalah bangsa elit yang ditakdirkan menguasai Eropa dan dunia. Untuk
itu diperlukan pemimpin yang tegas dan kuat. Pemimpin harus memiliki otoritas luas
dan disegani. Konsep pemimpin yang karismatik dan kuat inilah yang kemudian
mengakibatkan lumpuhnya demokrasi karena kekuasaan pemimpin yang tanpa batas.
Ketiga, konsep negara totaliter yang tidak mengenal demokrasi dan lebih
menekankan negara totaliter.9 Dalam negara model ini, kemajemukan bangsa
ditiadakan, dan negara mengontrol media massa, mengawasi serikat pekerja dan
melarang partai politik oposisi.
Keempat, konsep nasionalisme yang merupakan ide yang sangat berpengaruh
dalam fasisme dan nazisme karena nantinya gerakan fasisme dan nazisme selalu berupa
gerakan nasionalis. Hal ini dapat dilihat dari gerakan fasis dan nazi di Italia dan di
Jerman. Kedua negara fasis ini meyakini adanya keharusan untuk membuat kebijakan-
kebijakan luar negeri yang agresif. Namun demikian, nasionalisme yang dianut kaum
fasis adalah dalam bentuk yang radikal yaitu chauvinisme, seperti terlihat dari ajaran
tentang keharusan negara untuk melakukan aneksasi serta memegang teguh
machtpolitik (politik berdasarkan kekuasaan).
Kelima, konsep sosialisme yang terkandung dalam fasisme namun tidak
mengacu pada Marxisme melainkan pada pemikiran-pemikiran tentang pemerataan
ekonomi. Adapun tujuan ekonomi ini difokuskan untuk mendorong kemampuan
ekonomi seluruh unsur bangsa agar menjadi bangsa unggul. Pada umumnya, sosialisme
di negara-negara fasis mengijinkan usaha-usaha kelompok swasta tetapi negara tetap
menguasai bidang-bidang tertentu seperti transportasi.

Keenam, konsep militerisme yang menghendaki peran militer yang dominan,


seiring dengan konsep tentang negara totaliter di mana negara mendominasi seluruh
kehidupan warga negara. Militer merupakan organ negara yang berperan penting dalam
menjalankan kekuasaan negara. Hal ini dapat dilihat dari organ-organ SS
(Schutzstaffel), organ partai NSDAP Jerman yang bertugas mengontrol kehidupan
warga.
Fasisme dan nazisme kehilangan dukungan massa seiring dengan berakhirnya
PD II, setelah Jerman dan Italia kalah perang. Selain itu, kemampuan negara-negara
Eropa Barat membangun diri menjadi negara-negara makmur serta adanya hukum
internasional yang mengatur perilaku ekspansif negara-negara di dunia ini juga turut
melemahkan kedua ideologi tersebut. Yang menarik, selama tahun 1990-an, di Jerman
muncul gerakan Neo-Nazi. Dengan dimotori kaum muda, mereka melakukan
kerusuhan-kerusuhan. Walaupun kelompok ini seringkali menggunakan simbol-simbol
Nazi, tindakan-tindakan semacam itu lebih dipahami sebagai bentuk ketegangan sosial
dan tidak berakar pada ideologi politik,

h) Feminisme
Feminisme sebagai suatu pemikiran dan gerakan lahir di akhir abad ke-18,
setelah Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Perancis (1792). Pemikiran ini lahir
karena didorong oleh realitas di masyarakat yakni bahwa pada masa posisi perempuan
kurang menguntungkan dibandingkan dengan posisi laki-laki. Pada masa ini,
perempuan (baik dari kelas menengah–atas maupun kelas bawah) tidak memiliki hak-

9
Sebagai catatan, di dunia ini belum pernah ada satu negara pun yang berhasil mengintegrasikan seluruh
aspek bangsa secara total, bahkan Hitler dan Stalin pun (pemimpin Rusia) tidak pernah berhasil mengontrol
pikiran dan tingkah laku warga negaranya secara total.
hak seperti (1) hak untuk mendapat pendidikan, (2) hak untuk memilih dan dipilih (hak
politik), (3) hak untuk memasuki lapangan pekerjaan di masyarakat, khususnya pada
perempuan dari kelas menengahatas, dan (4) hak atas harta milik sehingga perempuan
yang menikah tidak memiliki harta sendiri yang sah dan segala harta yang diperolehnya
secara legal menjadi milik suaminya.
Sebagai akibat dari tiadanya hak-hak tersebut maka perempuan tidak dapat
masuk ke perguruan tinggi, parlemen, atau kantor-kantor dan tidak memiliki
kedudukan yang sama dengan laki-laki di hadapan hukum. Kondisi ini pada akhirnya
menimbulkan kesadaran akan ketidaksetaraan hak-hak perempuan dengan hak-hak laki-
laki dan kemudian mendorong pemikiran serta gerakan untuk menuntut hak-hak
perempuan. Gerakan feminisme mula-mula berlangsung di Amerika Serikat dan
kemudian menyebar ke Prancis dan Inggris. Gerakan ini dimotori oleh perempuan kelas
menengah-atas dengan tuntutannya yang terkenal, yaitu kesetaraan hak dengan laki-laki
di dunia kerja, dan pendidikan, serta hak untuk memilih dan dipilih.
Salah satu tokoh pemikir yang berpengaruh dan berperan dalam mendorong
kesadaran akan nasib perempuan pada masa itu adalah Mary Wallstonecraft dari
Inggris. Pada tahun 1792, ia menerbitkan buku Vindication of the Rights of Woman.
Lima puluh enam tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1848, pemikiran-pemikiran
Wallstonecraft dimuat dalam Konvensi Hak-hak Kaum Perempuan yang diadakan di
Seneca Falls, A.S.
Dalam sejarah gerakan terdapat satu gerakan perempuan yang dilandasi oleh
gagasan sosialis dengan tokoh pemikir seperti Clara Zetkin (1857-1933) dan Charlotte
Perkin Gilman (1860-1935). Kedua tokoh ini memandang bahwa tuntutan-tuntutan
feminisme sebenarnya bukanlah kesetaraan hak dengan laki-laki semata melainkan juga
meliputi perubahan secara total tatanan masyarakat yang penuh dengan ketidakadilan.
Dengan demikian, ideologi feminisme yang bercorak sosialis mengarah pada penciptaan
Dunia Baru yang berkeadilan dan tanpa penindasan.
Pada abad ke-21 ini, perempuan telah menikmati hasil perjuangan gerakan
feminisme. Pada saat ini tidak banyak orang yang masih mempersoalkan hak-hak
perempuan untuk memperoleh pendidikan, mendapatkan perlakuan yang sama di depan
hukum, mendapatkan pekerjaan di masyarakat atau memperoleh hak-hak politik.
Namun demikian, tidak berarti bahwa kaum perempuan telah terbebas dari diskriminasi
sama sekali. Gerakan perempuan di Indonesia misalnya, masih harus berjuang untuk
mendukung pembuatan undang-undang perlindungan. Tujuan undang-undang ini adalah
untuk melindungi perempuan dari dampak pekerjaan yang merugikan seperti
kecelakaan kerja, upah rendah, dan jam kerja yang panjang. Peraturan-peraturan lain
yang diperjuangkan meliputi penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),
perlindungan terhadap pekerja rumah tangga anak (untuk anak perempuan usia di
bawah 15 tahun), perlindungan terhadap perdagangan perempuan dan anak (trafficking),
perlindungan terhadap perempuan dan anak yang dilacurkan dan korban-korban
pemerkosaan.

i) Ekologisme
Sejak berakhirnya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur di akhir
tahun 1990-an, isu-isu global didominasi oleh isu-isu tentang globalisasi, ledakan
populasi, kemisikinan di Dunia Ketiga, dan lingkungan hidup.
Sebagai isu global, masalah lingkungan hidup merupakan salah satu yang
terpenting. Hal ini dapat dilihat dari diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi
(Earth Summit) tentang lingkungan dan pembangunan pada tahun 1992 di Rio de
Jeneiro. KTT ini dihadiri 100 kepala negara, 172 perwakilan resmi negara, 14 ribu
organisasi non pemerintah dan diliput oleh lebih dari 8.000 wartawan dari seluruh
dunia. Beberapa kesepakatan yang dihasilkan dalam KTT ini adalah konvensi tentang
lingkungan dan pembangunan, konvensi mengenai perubahan iklim, dan konvensi
tentang keanekaragaman hayati. Kesepakatan-kesepakatan ini tentu saja memberi
harapan bagi penyelamatan dan kehidupan lingkungan. Apa yang dicapai melalui KTT
tersebut merupakan hasil perjuangan dan pemikiran yang tak kenal lelah dari semua
pihak yang sangat peduli terhadap kelestarian lingkungan.
Untuk mendalami masalah lingkungan, di sini dikemukakan ideologi lingkungan
yaitu ekologisme (atau ekologi politik) dan environmentalisme. Keduanya peduli
terhadap lingkungan hidup tetapi berbeda dalam cara pandang. Kaum ekolog lebih
menekankan keterkaitan faktor-faktor ekonomi dan politik dengan degradasi lingkungan
sehingga timbul keyakinan bahwa kerusakan alam bisa diperbaiki melalui kerjasama
dengan para industrialis. Sebaliknya, kelompok environmentalis berpandangan untuk
membongkar jalinan ekonomi politik tersebut, bertindak berdasarkan gejala kerusakan
lingkungan. Dalam kehidupan aktual, publik sebenarnya tidak terlalu membedakan
keduanya dan bahkan menyamakan politik hijau (green politics) dengan ekologisme.
Hal ini terjadi karena publik terbiasa melihat gerakan kelompok hijau sebagai kelompok
penekan di tingkat internasional seperti Greenpeace dan Friends of Earth.
Sebagai sebuah ideologi politik kontemporer, ekologisme merupakan reaksi
terhadap proses industrialisasi yang cenderung memperluas produksi dan konsumsi
tanpa mempedulikan keterbatasan bumi. Cepat atau lambat, proses produksi akan
menghabiskan sumber daya alam melampaui kemampuan bumi untuk menyerap
pembuangan zat-zat beracun. Bila hal ini dibiarkan maka kualitas hidup manusia akan
semakin memburuk.
Pada masa modern ini, masyarakat industri di negara maju, yang kemudian
diikuti oleh negara-negara berkembang berlomba-lomba untuk mempercepat produksi
dan meningkatkan konsumsi demi tercapainya kemakmuran. Dampak dari segala
proses ini adalah pengurasan isi bumi (penggunaan energi fosil seperti batubara,
minyak, dan gas) dan penciptaan polusi yang tak terkendali (sebagai akibat limbah gas
seperti karbon dioksida dan metana), Fritz Schumacher dalam The Small is Beautiful
memperlihatkan bahwa industri modern dengan segala kecanggihan intelektualnya telah
menghabiskan unsur-unsur yang paling dasar di mana industri dibangun. Industrialisasi
pula yang membentuk cara berpikir manusia yang bertumpu pada “modal”. Modal
dipandang sebagai sesuatu yang diciptakan manusia dan dapat dihabiskan atau
diinvestasikan. Dari sudut pandang ekolog maupun environmentalis, bumi dan sumber
dayanya tidak dapat diperbaharui. Keduanya merupakan modal yang tidak diciptakan
manusia dan tentu saja tidak dapat ditingkatkan. Jadi, ekologisme di sini bertujuan
untuk membangun kepedulian terhadap hubungan antara manusia dengan lingkungan
serta antara manusia dengan dirinya sendiri.
Hasil gerakan-gerakan lingkungan hidup, baik dari kelompok environmentalis
maupun ekolog, telah membuahkan kesadaran global akan masalah-masalah lingkungan
hidup seperti pemanasan global. Gerakan-gerakan tersebut juga berhasil mendorong
pengurangan atau penghentian penebangan hutan yang tujuannya (1) menghindari
kelangkaan bahan genetika bagi pengembangan obat-obat baru, (2) menyerap karbon
dioksida, (3) membantu mengurangi pemanasan global, (4) mencegah erosi, (5)
melidungi suku-suku pribumi dari kehancuran lingkungannya, dan (6) menjadi wahana
kontemplasi terhadap keindahan yang ditumpulkan oleh industrialisasi. Secara formal,
keberhasilan gerakan ekologisme juga dapat dilihat dari penerapan berbagai kebijakan
tentang lingkungan di negara-negara maju. Bahkan di tingkat internasional telah
diadakan KTT Bumi yang kemudian melahirkan penandatanganan kovensi perubahan
iklim di PBB (United Nation Framework Convention on Climate Change) pada 9 Mei
1992.

5.5 IDEOLOGI-IDEOLOGI DARI ASIA


Secara historis, berbagai ideologi politik yang dideskripsikan di atas merupakan
ideologi-ideologi yang lahir dan berkembang di Barat. Liberalisme, misalnya,
merupakan reaksi kritis terhadap absolutisme yang tumbuh subur dalam masyarakat
feodal-klerikal dan bentuk monarki absolut di Eropa. Jawaban liberalisme atas
absolutisme tersebut adalah dengan mengajukan ide-ide jaminan hukum atas hak-hak
dan kebebasan individu, serta kesetaraan sosial.10 Berikutnya, sosialisme dan Marxisme
merupakan reaksi kritis terhadap liberalisme dan kapitalisme.
Sungguhpun ideologi-ideologi tersebut lahir dalam kultur masyarakat Barat,
tidaklah berarti bangsa-bangsa lain seperti di Asia, Afrika, dan Amerika Latin tidak
pernah mengembangkan ideologi masing-masing. Ketiga kawasan ini sebenarya telah
banyak melahirkan ideologi-ideologi politik. Sebagai contoh, sosialisme Arab
dicetuskan oleh Gamal Abdel Nasser dari Mesir, Maoisme digagas oleh Mao Tse Tung
dari China, Ujamaa dirumuskan oleh Julius Nyerere dari Afrika, serta ide-ide tentang
hak milik dan masyarakat komunitarian dikumandangkan oleh Jaimee Castillo dari
Amerika Latin. Lahirnya ideologi-ideologi politik di ketiga kawasan tersebut
merupakan reaksi kritis terhadap ideologi kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme
Barat, sehingga unsur-unsur dalam ideologi-ideologi bangsa Asia, Afrika, dan Amerika
Latin ini sarat dengan ide-ide nasionalisme dan antikolonialisme, dan sangat
menekankan ide keadilan sosial.11 Untuk mengenal dan memahami ideologi dari ketiga
kawasan, di sini dikemukan dua ideologi dari Asia untuk mewakili yakni Hind Swaraj
(Indian Home Rule) yang digagas Mahatma Gandhi dan Pancasila dari Indonesia.

a) Hind Swaraj
Hind Swaraj (berasal dari kata Hind yang berarti ‘bangsa India’ dan swaraj yang
berarti ‘pemerintahan sendiri’), adalah ideologi yang digagas oleh Mohandas
Karamchand Gandhi (1869-1948). Ia dikenal sebagai Bapak dan Guru bangsa India
yang wafat karena ditembak pada tahun 1948.
Sebagai sebuah ideologi, Hind Swaraj terdiri atas beberapa ide dasar yaitu
nasionalisme humanistis, sarvodaya (kesejahteraan sosial), ekonomi khadi serta
pemerintahan yang demokratis. Nasionalisme humanistis Gandhi bertumpu pada ajaran
ahimsa (prinsip menghormati kehidupan; dalam arti khusus adalah tidak melakukan
tindakan kekerasan apalagi pembunuhan) dan satyagraha (prinsip kekuatan jiwa dan
cinta akan kebenaran, yang dalam bahasa Inggris sering dipadankan dengan passive
resistance, non-violence atau perlawanan tanpa kekerasan/pasif). Dengan kedua prinsip
tersebut, gerakan kemerdekaan India di bawah Gandhi memiliki ciri-ciri seperti tidak
melakukan tindakan kekerasan tapi lebih memilih aksi-aksi semacam boikot dan
mengedepankan peralihan kekuasan secara damai melalui negosiasi dan gentlemen
agreement.
Hind Swaraj juga meliputi ide tentang tatanan sosial-ekonomi yang ideal, yang
disebut Sarvodaya (kesejahteraan untuk semua), yakni kesejahteraan dan kesetaraan
sosial bagi bangsa India. Ide tentang kesetaraan diangkat mengingat India masih

10
Bahasan tentang perkembangan ideologi ini dapat dibaca lebih lanjut dalam tulisan Fransisco Budi Hardiman,
dalam Pengantar untuk Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer oleh Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed)
(Jakarta: Mediator, 2001), x
11
Jepang yang tidak pernah dijajah, tentunya mengembangkan ideologi yang tidak memiliki unsur-unsur umum
yang dimiliki ideologi bangsa-bangsa Asia yang pernah berada di bawah kolonialisme.
menganut sistem kasta, di mana kaum Pariah atau kaum Harijan (kelompok yang
terpinggirkan) perlu diangkat, baik secara sosial maupun ekonomi, agar di dalam India
yang merdeka, kelompok ini juga memiliki tempat dan kekuatan.
Ide Gandhi tentang ekonomi disebut ekonomi khadi. Khadi sebenarnya adalah
kain tenun yang ditenun dengan charkha (alat tenun yang dijalankan oleh tenaga
manusia). Bagi Gandhi, kedua alat ini merupakan simbol sekaligus sarana untuk yang
mendukung sarvodaya; keduanya merupakan alat sederhana namun dapat menjadi
tumpuan jutaan rakyat miskin untuk memproduksi kain sendiri, hingga lepas dari
ketergantungan pada kain impor dari Inggris. Ekonomi khadi dengan demikian
merupakan simbol kemandirian ekonomi dari ketergantungan pada impor, dan simbol
kebebasan dari eksploitasi sistem industri pabrik yang diyakini Gandhi dapat
menimbulkan pengangguran di desa-desa.
Ide ramrajya (negara yang demokratis) dan gram swaraj (pemerintahan lokal
berbasis desa), merupakan dua ide Gandhi tentang negara dan kedaulatan negara yang
dicirikan oleh desentralisasi kekuasaan. Bentuk-bentuk pemerintahan semacam ini
diyakini oleh Gandhi dapat mewujudkan kedaulatan rakyat yang sesungguhnya, serta
dapat memberi ruang bagi semua bentuk aliran atau pemikiran individu (Poerbasari,
2007:183—189)
Tidak semua ide-ide dasar Gandhi termaktub di dalam konstitusi India. Ide
tentang ekonomi khadi, misalnya, sulit diadopsi, namun sebagai suatu jiwa atau
semangat kemandirian ekonomi, ide tersebut tetap hidup dalam kalbu bangsa India.

b) Pancasila
Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia yang dikumandangkan pertama
kali oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945, pada saat berlangsungnya sidang Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada awal pidato
dalam sidang tersebut, Soekarno menekankan pentingnya sebuah dasar negara. Istilah
dasar negara ini kemudian disamakan dengan fundamen, filsafat, pemikiran yang
mendalam, jiwa dan hasrat yang mendalam. Sementara di bagian lain, Soekarno juga
menyebut dasar negara sebagai Weltanschauung.12 Weltanschauung menurut Soekarno
adalah dasar yang mempersatukan seluruh perjuangan bangsa karena ia merupakan cita-
cita dan tujuan bersama, yaitu melawan imperialisme bangsa asing dan mencapai
kemerdekaan. Dan perjuangan suatu bangsa senantiasa memiliki karakter sendiri yang
berasal dari kepribadian bangsa.13 Sesuai dengan rumusan ini, maka sejak pertama kali
dikumandangkan, Pancasila diartikan sebagai ideologi (dalam arti Weltanschauung),
yang mencerminkan identitas, kepribadian bangsa, sekaligus merupakan alat pemersatu
seluruh bangsa untuk mencapai tujuan perjuangan kemerdekaan. Tujuan kemerdekaan
tersebut sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD ’45 adalah melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dunia dan keadilan sosial.
Pancasila, secara etimologis, berasal dari dua kata yaitu panca yang berarti
‘lima’ dan sila yang berarti ‘dasar’. Jadi, dari akar katanya, Pancasila berarti lima dasar,
yakni dasar bagi negara Indonesia yang merdeka. Semenjak dikumandangkan pada
12
Weltanschauung atau world view pada umumnya terdiri atas sejumlah nilai (konsep tentang apa yang dicita-
citakan), merupakan pandangan hidup, kerangka pemikiran yang memberikan suatu konsep tentang realitas
yang terintegrasi. Lihat juga pengertian Karl Mannheim tentang Weltanschauung dalam subbab VI.1.
Pengertian Ideologi.
13
Isi pidato selengkapnya lihat pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia,
“Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI),” (Jakarta, 1992 : 22-61)
tanggal 1 Juni 1945, Pancasila mengalami beberapa kali perubahan urutan sila maupun
kata. Dalam rumusan asli Soekarno urutannya ialah (1) Kebangsaan Indonesia, (2)
Internasionalisme atau peri kemanusiaan, (3) Mufakat atau demokrasi, (4)
Kesejahteraan sosial, dan (5) Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa atau prinsip Ketuhanan. Dalam Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, Pancasila
berubah menjadi (1) Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia,
(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan, dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perubahan
berikutnya terlihat dalam Mukaddimah UUD RIS tahun 1950, di mana rumusan dan
urutan sila dalam Pancasila adalah (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Peri
kemanusiaan, (3) Kebangsaan, (4) Kerakyatan, dan (5) Keadilan sosial.
Adapun rumusan dan urutan sila dalam Pancasila yang digunakan saat ini adalah
seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD’45, yakni (1) Ketuhanan yang Maha Esa,
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijakasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan (5)
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penempatan sila Ketuhanan yang Maha
Esa sebagai sila pertama dimaksudkan agar tidak hanya menjadi dasar untuk saling
menghormati antaragama, melainkan juga menjadi dasar yang kuat untuk memimpin ke
jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan, dan agar negara dan
pemerintah mempunyai dasar moral.
Dasar kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan kelanjutan dari praktek
hidup dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua sila ini bercorak universal, tidak terikat
oleh batas negara maupun bangsa. Dengan sila kedua, maka dalam perundang-
undangan, hak dan kewajiban warga negara diberi tempat seperti jaminan hak hidup dan
hak atas keselamatan seseorang.
Dalam sila Persatuan Indonesia, terkandung pengertian bahwa bangsa Indonesia
adalah satu, tidak terpecah-belah, dan hal ini diperkuat dengan lambang kesatuan
Bhinneka Tunggal Ika. Indonesia merupakan kesatuan di tengah luasnya wilayah dan
keragaman suku bangsa, adat, bahasa daerah, agama dan bahasa. Hanya dengan dasar
persatuan inilah bangsa dan negara tetap utuh; bila persatuan ini terpecah-belah,
Indonesia pun runtuh. Oleh sebab itu, persatuan Indonesia merupakan syarat hidup
bangsa dan negara Indonesia.
Sila berikutnya, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, menunjukan bahwa kerakyatan yang dianut oleh bangsa
Indonesia bukanlah kerakyatan yang mencari suara terbanyak melainkan dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dengan sila Ketuhanan dan
Kemanusiaan yang adil dan beradab, maka kerakyatan harus berpijak pada kebenaran,
keadilan, kebaikan, dan kejujuran. Dasar moral ini akan memelihara dasar kerakyatan
dari bujukan korupsi dan anarki yang senantiasa mengancam demokrasi. Sila
kerakyatan ini juga terkait erat dengan sila kelima, Keadilan sosial. Untuk mewujudkan
tujuan ini, maka demokrasi yang tepat bukanlah demokrasi liberal atau yang bercorak
totaliter. Sila kerakyatan dan keadilan sosial diharapkan mampu mewujudkan
demokrasi dan keadilan di bidang ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia.
Terakhir, sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan salah
satu tujuan negara, yakni mencapai Indonesia yang adil dan makmur. Sila ini menjadi
jiwa bagi pasal-pasal dalam UUD’45, seperti pasal 27 yang menyebutkan bahwa warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, Pancasila dapat diterima sebagai
ideologi nasional karena sifatnya yang menyatukan berbagai kelompok masyarakat,
memberi arah dan pedoman tingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
serta menjadi prosedur penyelesaian konflik (Surbakti, 1992:48).

5.6 HAMBATAN DAN TANTANGAN DALAM BERIDEOLOGI PANCASILA


Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, terdapat potensi konflik yang
besar mengingat adanya berbagai nilai yang dianut oleh berbagai kelompok masyarakat,
dan hal ini dapat pula bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Untuk itu perlu diketengahkan di sini hambatan dan tantangan, baik dari dalam negeri
maupun dari luar negeri.

1) Hambatan
Hambatan muncul karena adanya perbedaan aliran pemikiran, misalnya paham
individualisme dan paham golongan (class theory). Menurut paham individualistis,
negara adalah masyarakat hukum yang disusun atas kontrak semua individu dalam
masyarakat (kontrak sosial). Di sini kepentingan harkat dan martabat manusia dijunjung
tinggi. Hak kebebasan individu hanya dibatasi oleh hak yang sama yang dimiliki
individu lain, bukan oleh kepentingan masyarakat. Sementara itu, menurut paham
golongan (class theory), negara adalah suatu susunan golongan (kelas) untuk menindas
kelas lain. Paham ini berhubungan dengan paham materialisme sejarah (suatu ajaran
yang bertitik tolak pada hubungan-hubungan produksi dan kepemilikan sarana produksi
serta berakibat pada munculnya dua kelas yang bertentangan, kelas buruh dan kelas
majikan, dan semuanya itu terjadi dan berada dalam sejarah kehidupan manusia) .

2) Perbedaan Kepentingan
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa penafsiran Pancasila secara subjektif
dan kepentingan sendiri sama dengan membuat kabur Pancasila dan menjadi tidak
bermakna. Perbedaan kepentingan ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan pola
pikir masing-masing kekuatan politik, golongan, atau kelompok dalam masyarakat.

3) Bentuk-Bentuk Ancaman

Ada beberapa bentuk ancaman terhadap ideologi Pancasila.


Pertama ialah isu (penyebaran berita bohong dan fitnah atau desas desus dengan
tujuan
tertentu). Berikutnya, gejala-gejala/kecenderungan (antara lain pola hidup konsumtif,
sikap mental individualistis, pemaksaan kehendak, kemalasan, menurunnya disiplin,
menurunnya keteladanan, sikap acuh tak acuh, dan penyalahgunaan wewenang).
Dengan runtuhnya komunisme, ada pendapat yang cenderung pendapat yang
membenarkan paham kapitalisme di Indonesia. Selanjutnya, perbuatan, tindakan, dan
tingkah laku yang mengganggu (seperti tindak kekerasan dan pelanggaran hukum),
dan subversi (sabotase, spionisme, dan lain-lain).

4) Tantangan
a) Tantangan dari dalam negeri antara lain:
(1) Tantangan dari disintegrasi: adanya perpecahan-perpecahan yang disebabkan
tidak puasnya sikap daerah menimbulkan permasalahan-permasalahan yang
dapat menghancurkan persatuan dan kesatuan NKRI, antara lain: lepasnya
Timor Timur pada tahun 1999, adanya gerakan pengacau keamanan di
Papua.
(2) Permesta dan pemberontakan-pemberontakan lainnya sejak jaman Rovolusi.
(3) Tantangan dari masalah agama: adanya usaha-usaha yang timbul karena
keinginan untuk mengganti Pancasila dengan simbol-simbol keagamaan.
antara lain: Gerakan Aceh Merdeka, Gerakan Republik Maluku Selatan
Pemberontakan DI/TlI dan lain-lain.
(4) Tantangan dari masalah SARA: adanya perpecahan yang mengatas namakan
SARA menyebabkan beberapa peristiwa yang dapat menghancurkan
Pancasila antara lain: Peristiwa Poso, Peristiwa Tanjung Periok, Peristiwa
Sambas, dan Peristiwa Mei 1998.
b) Tantangan dari luar negeri, antara lain:
(1) Adanya tantangan dari ideologi lain yang ingin rnengganti ideologi Pancasila
dengan ideologi lain, misalnya ideologi Komunisme dalam peristiwa PKI
Madiun dan Pemberontakan G-30 S/PKl. Atau ideologi Liberal dalam
Peristiwa Ratu Adil dan Pembantaian di Sulawesi oleh Westerling.
(2) Adanya intervensi dari negara lain untuk menghancurkan NKRI contohnya
privatisasi BUMN atau campur tangan Amerika dalam penanganan hukum
dan keamanan di Indonesia.
Oleh karena itu Pancasila bagaimana pun juga akan berusaha untuk tetap
mempertahankan diri dari segala macam tantangan tersebut demi kelangsungan negara
Indonesia.

5.7 REFLEKSI KRITIS TERHADAP IDEOLOGI


Ideologi dapat ditinjau dari pelbagai sudut. Ideologi dapat menjadi sistem
pemikiran yang terbuka atau tertutup, ideologi dapat dimengerti sebagai ilusi dan
berorietntasi pada kekuasaan yang bersifat menindas. Namun, di sisi lain, ideologi juga
dapat menjadi pandangan (world view), pandangan hidup. Bertolak dari seluruh
pengertian tersebut, maka diperlukan refleksi kritis terhadap ideologi mengingat adanya
satu ciri penting yang melekat pada ideologi, yakni sifatnya yang futuristik (berisi cita-
cita tentang tatanan masyarakat yang baik di masa depan dan merupakan acuan untuk
melakukan perubahan politik). Ideologi berfungsi memberikan harapan akan dunia baru
yang lebih baik dari keadaan masa kini dan masa lampau yang kurang ideal, serta
memberikan langkah-langkah strategis untuk mencapai tujuan yang ideal. Oleh karena
itu, maka ideologi sangat menarik baik rakyat, baik secara rasional maupun emosional.
Sering ada kecenderungan ideologi dikeramatkan, dimitoskan sebagai sesuatu yang
mampu membawa keselamatan bagi bangsa, bahkan seluruh umat manusia. Dengan
demikian, ideologi diterima sebagai ajaran suci yang tidak bisa dibantah dan tertutup
bagi ide dan realitas baru sehingga menjadi steril, kaku, dan tidak berkembang.
Pengaruh ideologi sedemikian besarnya terhadap masyarakat sehingga, sebagai
eksesnya, bisa terjadi manusia dikorbankan untuk ideologi, dan bukan ideologi untuk
manusia. Karena ideologi menyangkut masalah strategi bernegara, tidak jarang
kelompok-kelompok masyarakat menggunakan ideologi sebagai alat untuk
mempertahankan dan memperoleh kepentingan diri secara sepihak dengan merugikan
pihak lain. Mengatasnamakan serta memperalat ideologi untuk mempertahankan dan
memperoleh kepentingan diri secara sepihak itu dapat mengakibatkan terjadinya suatu
”pengkhianatan” terhadap ilmu dan kebenaran. Misalnya dalam ilmu sejarah seringkali
terjadi ”penggelapan” kebenaran fakta historis, bahkan pemutarbalikan kenyataan demi
kepentingan pihak tertentu dalam membenarkan ideologinya.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang dapat
mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Sisi futuristik yang melekat
pada Pancasila sebagai ideologi ini di satu pihak, dapat membawa orang pada harapan
yang kurang realistik. Oleh karena itu, perlu selalu berdialog dengan kenyataan yang
ada. Dalam hal ini ilmu pengetahuan dapat berperan. Di pihak lain, sifat futuristik
ideologi mengimplikasikan bahwa kenyataan yang ada (sistem ekonomi, politik,
budaya) tidak dapat dipandang sebagai perwujudan yang telah tuntas dari sudut sebagai
ideologi—dalam hal ini ideologi Pancasila. Apabila sistem yang ada telah dianggap
perwujudan yang tuntas, maka fungsi ideologi hanya menjadi legitimasi atau
pembenaran saja dari status quo. Padahal ideologi harus mampu berfungsi menyoroti
kenyataan yang ada dan berfungsi kritis terhadap perwujudannya yang selalu belum
sempurna. Dengan kata lain, ideologi Pancasila dapat menjadi titik referensi bagi kritik
sosial (Sastrapratedja, 1993:143-144).

BAB VI
PANCASILA DITINJAU DARI PERSPEKTIF KEILMUAN

Untuk memahami relevansi Pancasila dalam kehidupan berbangsa di masa kini,


berikut ini Pancasila ditelaah dari perspektif filsafat ilmu untuk Pancasila dapat dikaji
secara kritis. Upaya ini dilakukan mengingat Pancasila sebagai suatu ideologi memiliki
sifat futuristik (Sastrapratedja, 1993:143). Nilai-nilai yang terkandung di dalam
Pancasila merupakan nilai-nilai yang dicita-citakan. Nilai-nilai itu sendiri masih bersifat
umum dan abstrak, yakni berupa patokan-patokan umum tentang sesuatu yang dicita-
citakan (Andrain, 1992:77). Nilai juga tidak selalu realistis dalam arti dapat diwujudkan
secara penuh dalam kehidupan sosial. Hal ini seringkali bertentangan dengan harapan
individu. Oleh karena itu, dialog terus-menerus dengan kenyataan yang ada sangat
diperlukan agar secara jernih kita dapat melihat bahwa sifat futuristik Pancasila tidak
serta merta mengimplikasikan bahwa sistem politik, ekonomi, dan budaya yang ada
merupakan perwujudan yang telah tuntas.
Apabila sistem yang telah ada dianggap sebagai perwujudan yang tuntas, maka
fungsi ideologi hanya menjadi pembenar dari status quo (Sastrapratedja, 1993:143).
Ideologi Pancasila harus mampu menyoroti kenyataan yang ada dan berfungsi kritis
terhadap perwujudan yang selalu belum sempurna. Dengan kata lain, ideologi Pancasila
harus menjadi acuan untuk melakukan kritik sosial, juga sebagai paradigma
pembangunan nasional yang menentukan pola pikir bangsa Indonesia dalam
menentukan kehidupan bernegara dan berbangsa.

6.1 PANCASILA DAN FILSAFAT ILMU

6.1.1 Pancasila dan Problem Epistemologis


Filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan yang melihat bagaimana kegiatan dan
proses (cara kerja) ilmiah serta ciri ilmu pengetahuan secara kritis. Ini berarti bahwa
dalam kegiatan filsafat ilmu akan bertumpu pada dua aspek, yakni aspek pembenaran
ilmiah (context of justification) dan aspek penemuan ilmu (context of discovery). Kedua
aspek itu mengarahkan kita sebagai pelaku ilmu (mahasiswa, peneliti, ilmuwan) untuk
memiliki sebuah “paspor” keilmuan (petunjuk atau pola berpikir) dalam berkecimpung
di dunia ilmu pengetahuan. “Paspor” itu berupa cara berpikir yang kritis, penalaran
yang logis, dan berkemampuan berdialog secara rasional dalam melihat berbagai
persoalan atau fenomena yang ada di sekitar kehidupan kita, baik kehidupan sehari-hari
maupun kehidupan ilmiah.
Aspek pembenaran ilmiah sangat memperhatikan keruntutan logis bagaimana
sebuah ilmu pengetahuan itu ditampilkan, apakah ilmu pengetahuan itu memiliki objek
untuk pengkajiannya, metodologi untuk dalam kegiatannya dan teori kebenaran. Sejalan
dengan analogi itu maka Pancasila hendak dikaji dari sudut pandang filsafat ilmu.
Apabila hal itu diterapkan, maka Pancasila haruslah dikaji dan dipahami dari aspek
pembenaran ilmiah secara epistemologis. Untuk itu Pancasila harus dianggap sebagai
sebuah fenomena yang di dalamnya terdapat pengandaian atau asumsi tentang objek,
metodologi atau metode atau pendekatan yang logis dalam melihat fenomena tersebut.
Pengandaian atau asumsi tersebut membawa kita pada suatu penalaran logis sehingga
kita dapat memberikan suatu ulasan yang bersifat kritis, dan rasional terhadap Pancasila.
Objek yang sedang kita hadapi atau kita teliti selalu memiliki dua aspek, yaitu
objek material dan objek formal (ini sejalan dengan yang kita pelajari dalam filsafat
ketika melihat sesuatu atau fenomena sebagai objek). Objek material adalah bahan atau
materi yang menjadi acuan suatu kajian kita, sedangkan objek formal adalah pokok
perhatian atau fokus perhatian dari objek material tadi. Jadi, apabila kita sedang
mempelajari Pancasila, maka ada dua objek yang akan dikaji, yaitu objek material dan
objek formal. Objek material Pancasila adalah wacana dan pengetahuan yang dimiliki
rakyat Indonesia yang bersumber pada berbagai pandangan hidup dan telah berakar
pada kebudayaan berbagai suku di Indonesia. Wacana tersebut menjadi pengetahuan
yang dimiliki oleh manusia Indonesia, baik dalam kehidupan individual, sosial,
berbangsa, dan bernegara. Objek formal Pancasila adalah lima sila yang ada pada
Pancasila dan termuat dalam pembukaan UUD 1945, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial
bagi seluruh bangsa Indonesia. Kelima sila itu, yang merupakan fokus perhatian dari
objek formal Pancasila, haruslah ditinjau dari kesesuaian perilaku manusia Indonesia
yang memiliki kemajemukan atau heterogenitas suku, pandangan hidup, nilai (value)
seperti nilai religius, moral (etika), kebersamaan dan toleransi, kemanusiaan, pluralitas,
keadilan intelektualitas, nasionalisme, dan kebangsaan.
Beragam nilai (value) pada Pancasila akan diuraikan lebih rinci pada bagian
lain, yaitu Pancasila sebagai sistem nilai. Kesesuaian persepsi dan perilaku dari butir
Pancasila dengan, misalnya, nilai (value) yang telah disebutkan di atas dan
menghasilkan perilaku individual atau perilaku kolektif yang baik dan sebenarnya juga
menghasilkan sebuah kebenaran secara korespondensi dan koherensi (dalam sudut
pandang epistemologi) dan sejalan dengan dasar etika secara deontologis dan
utilitaristis. Sebenarnya, itulah yang dikehendaki ketika kita melihat bahwa Pancasila
harus dipahami secara kritis dan rasional.
Persepsi manusia Indonesia, baik sebagai makhluk individual maupun makhluk
sosial, haruslah bertolak dari kesadaran atau cara berpikirnya yang dimulai ketika dia
belajar dalam pendidikan non-formal dan formal (pendidikan dasar, menengah, dan
tinggi). Kekhususan manusia terletak pada cara berpikir atau akal budinya dan
keinginannya atau kehendaknya.
Pendidikan tinggi membuat kita harus lebih kritis dalam memahami dan
memaknai Pancasila dengan tepat. Kita tidak boleh terjebak dalam fanatisme yang
sempit dalam memaknai Pancasila; kita harus terbuka dalam memandang Pancasila.
Pancasila harus dianggap sebagai “arena”, sebagai ajang untuk dikritisi, diinterpretasi,
dan dimaknai dengan rasionalitas manusia Indonesia yang benar dewasa secara
intelektual. Butir Pancasila yang ada dalam benak kita harus diaplikasikan dengan tepat
melalui perilaku yang tepat pula. Meminjam pandangan dalam filsafat ilmu, bahwa
pengetahuan harus berada pada dua tataran, yaitu teoretis dan praktis, maka kita pun
dapat mengatakan bahwa belajar dan memahami Pancasila dapat berada pada dua
tataran, yaitu teoritis dan praktis. Sisi teoretis adalah ketika kita belajar tentang butir
Pancasila dengan nilai dasar yang menyertainya serta dipahami dan dimaknai dengan
arif, dan sisi praktis pada perilaku konkret yang baik atau perilaku etis dalam seluruh
kehidupan manusia. Untuk dapat menjaga keseimbangan antara perilaku teoretis dan
praksis diperlukan metodologi dalam menerapkan nilai dasar tersebut.

6.1.2 Metodologi Pancasila


Metodologi adalah upaya seseorang (ilmuwan, calon ilmuwan/mahasiswa) untuk
mencari “jalan” atau cara yang tepat dalam suatu kegiatan ilmiah atau penelitian.
Demikianlah, kita dapat memiliki cara atau pendekatan yang dianggap tepat dan benar
dalam memahami Pancasila, khususnya yang berkaitan dengan nilai yang muncul dari
Pancasila itu (nilai dasar dan nilai praksis). Berbagai pendekatan, atau metode dalam
memahami Pancasila akan diuraikan berikut. Metode itu antara lain, observasi
(pengamatan), pemahaman (verstehen), interpretasi, teori kritis, dialog, pembauran
multikultural, integrasi, adaptasi, sosialisasi, dan seni budaya.
Metode observasi digunakan untuk mengamati berbagai gejala yang dialami
manusia, khususnya dalam melakukan berbagai tindakan dalam kapasitasnya sebagai
makhluk individu, makhluk sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perilaku
orang lain atau perilaku kita sendiri dapat diamati apakah sesuai dengan butir Pancasila
atau tidak.
Metode pemahaman (understanding method) adalah metode yang lazim
digunakan dalam bidang humaniora dan ilmu sosial. Tujuan metode pemahaman adalah
mencari makna tentang berbagai hal yang berkaitan dengan bidang humaniora dan
sosial seperti perilaku manusia, peristiwa sejarah, interaksi masyarakat dengan lembaga,
interaksi individu dengan individu lainnya, benda artefak (benda peninggalan atau
warisan budaya suatu masyarakat) yang masih ada, ritual masyarakat, dan kehidupan
beragama. Metode pemahaman bersifat subjektif; artinya, keterarahan seorang
pengamat (subjek) terhadap apa yang dihadapinya (objek) menggunakan rasa
empatinya, kesadaran (rasionalitas) yang dipenuhi oleh berbagai nuansa yang
menyertainya. Sebagai contoh, seorang mahasiswa ketika menghadiri upacara bendera
pada tanggal 17 Agustus yang dilaksanakan di Istana Merdeka Jakarta akan tersentuh
hatinya pada saat menyaksikan teks Proklamasi dikumandangkan kembali. Pembacaan
kembali teks Proklamasi itu sebenarnya hendak mengingatkan kita bahwa sekian tahun
yang lalu (17 Agustus 1945) bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan
negaranya. Hal itu juga untuk mengingatkan pada kita, bahwa sejak detik itu bangsa
Indonesia telah menjadi bangsa yang merdeka, bebas untuk menyongsong masa
depannya. Pesan (message) itulah yang ingin disampaikan oleh para generasi lama
kepada generasi baru melalui upacara 17 Agustus agar kita sekarang ini memaknainya
dengan baik dan arif.
Pancasila sebagai pengetahuan yang bersumber pada pandangan hidup bangsa
Indonesia harus dipahami dengan lebih objektif dan rasional. Artinya, pemahaman itu
harus dimulai dengan menelusuri secara historis atau mencari latar belakang mengapa
pengetahuan tentang Pancasila itu muncul dan menjadi landasan Negara Indonesia.
Latar belakang historis menjadi dasar lebih lanjut bagi kita untuk mengkaji butir
Pancasila. Pesan (message) yang sebenarnya berasal dari akar pandangan hidup
masyarakat Indonesia dan butir Pancasila itulah yang harus dicari dan dikembangkan.
Tugas generasi mudalah memahaminya dengan konteks yang lebih relevan, terutama
pada kondisi sekarang ini.
Metode interpretasi adalah metode untuk melakukan penafsiran terhadap
pemahaman suatu fenomena tertentu. Fenomena itu dapat berupa kehidupan masyarakat
Indonesia dalam konteks bernegara dan berbangsa dipayungi oleh pandangan hidupnya
yang kemudian menjadi landasan negara, yaitu Pancasila. Penafsiran terhadap Pancasila
berarti seseorang melakukan pemahaman terhadap makna butir Pancasila untuk
kemudian dimengerti dan direnungkan (direfleksikannya) dengan jelas. Seseorang yang
melakukan penafsiran terhadap butir Pancasila (misalnya butir pertama), maka ia
mengerti dengan benar kata dalam butir pertama itu dan kemudian apabila ia
berperilaku tertentu maka perilaku itu harus sejalan dengan pemahamannya terhadap
butir sila itu. Bagaimana mungkin seseorang meyakini Ketuhanan Yang Maha Esa dan
sejalan dengan imannya, tetapi di sisi lain melakukan tindakan buruk yaitu membunuh
seseorang dengan sadis?
Teori kritis adalah upaya metodologis atau metode yang mencoba
menggabungkan antara pemahaman filsafat dengan kehidupan sosial. Metode teori
kritis berusaha melihat bahwa realitas sosial sebagai fakta sosiologis dapat dipahami
sebagai kegiatan yang sifatnya konseptual. Kegiatan konseptual adalah kegiatan
pemikiran kritis manusia dalam melihat makna sesuatu di balik fakta yang sifatnya
empiris atau konkret. Dalam studi filsafat, kegiatan konseptual kadang-kadang disebut
sebagai usaha manusia yang sifatnya transendental atau metafisis. Dengan demikian
kegiatan konseptual adalah kegiatan rasionalitas seseorang dalam melihat hal di balik
(di belakang) fenomena atau perilaku konkret. Ketika kita berusaha menggali Pancasila
secara mendalam maka pendekatan teori kritis juga menawarkan kemungkinan
melakukan upaya kritik (lazim disebut kritik ideologi). Kritik ideologi ada dua macam,
yakni (1) kritik yang sifatnya transendental (konseptual) dengan menemukan syarat
yang memungkinkan pengetahuan berada dalam diri subjek, dan (2) kritik imanen yang
mencoba menemukan kondisi sosio-historis dalam konteks tertentu yang mempengaruhi
pengetahuan manusia. Jadi, dengan kata lain, kritik ideologi adalah pendekatan refleksif
diri yang membebaskan pengetahuan manusia itu apabila jatuh dan membeku dalam
aspek transendental dan imanen (Hardiman, 2003:19).
Dalam konteks Pancasila, teori kritis sebagai kritik ideologi mengemban tugas
untuk “membuka” kedok ideologis dari pemikiran pengetahuan yang berasal dari
kesadaran masyarakat dan mengatasi penindasan ideologis yang ditujukan pada tatanan
mormatif dalam kehidupan sosial. Pemikiran pengetahuan yang berasal dari masyarakat
dianggap sebagai cara berpikir masyarakat yang menekankan pola ideologis tertentu,
yang belum tentu sesuai dengan realitas sosial masyarakat Indonesia. Kedok ideologis
yang menekankan status quo masyarakatnya hendaknya dikritisi. Kedok ideologis
semacam itu muncul dalam berbagai bentuk interaksi sosial. Atas nama Pancasila
berbagai kelompok menginginkan paradigma Pancasila diubah sesuai dengan
kepentingannya masing-masing. Untuk menghindari hal semacam itu perlu dipikirkan
adanya teori kritis atau kritik ideologi yang mendorong praksis kehidupan politis
manusia.
Interaksi sosial, baik antara pihak pemimpin negara dengan masyarakat, maupun
antarindividu didasarkan pada cara berpikir kritis dengan menekankan unsur
emansipatoris. Pada saatnya nanti unsur itu membawa misi emansipatoris yang
mengarahkan masyarakat Indonesia lebih rasional melalui refleksi diri. Pancasila dapat
menjadi media untuk merefleksi diri manusia Indonesia dalam derap pembangunan di
tengah masyarakatnya. Di tengah derap pembangunan dalam masyarakat kita,
perubahan sosio kultural tidak hanya menghasilkan kemajuan tetapi juga ketimpangan.
Situasi ketidakadilan sosial menjadi suatu tantangan untuk diperbaiki dengan paradigma
kritik ideologi yang menekankan adanya realitas sosial sesungguhnya bukannya utopia.
Dan itu menjadi tugas para ilmuwan sosial khususnya untuk menyumbangkan
kontribusi intelektual dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Metode dialog adalah metode yang menekankan komunikasi atau alih informasi
melalui sifat yang dinamis dan dua arah. Dalam komunikasi yang sifatnya dua arah itu
sebenamya terdapat relasi antara si pembicara dengan si pendengar. Pada pembicaraan
yang komunikatif, peran si pembicara dapat menjadi pendengar dan, sebaliknya, si
pendengar dapat berperan sebagai pembicara. Pembicaraan yang komunikatif dengan
topik tertentu itu sebenamya mengandung pesan dari si pembicara terhadap lawan
bicaranya. Dalam konteks Pancasila, metode dialog dapat digunakan oleh seseorang
untuk memberikan informasi dan pesan tentang isi atau makna Pancasila kepada
pendengarnya. Agar pesan dapat diterima dengan baik, sosialisasi menjadi hal yang
penting. Melalui penyebaran informasi yang baik kepada masyarakat, Pancasila dapat
diterima oleh banyak orang. Bentuk sosialisasi dapat berupa penyebaran informasi, baik
secara tertulis (misalnya buku tentang Pancasila yang ditulis oleh para pakar berbagai
bidang), maupun lisan (misalnya dialog Pancasila di tengah para mahasiswa,
masyarakat perkotaan atau perdesaan, masyarakat lndonesia di luar negeri dan
sebagainya). Untuk itulah metode dialog Pancasila dengan sosialisasi yang tepat dapat
diharapkan menjangkau masyarakat luas dan dipahami secara kritis dan dapat menjadi
pedoman dalam berperilaku.
Dialog tentang Pancasila yang dilakukan di tengah masyarakat dapat
menumbuhkan dinamika cara berpikir memunculkan perdebatan dan berbagai argumen
(pendapat), baik pro maupun kontra. Dialog yang baik harus memunculkan semacam
sintesis (kesimpulan) yang menampung berbagai pendapat. Dengan demikian, tujuan
dan cita-cita Pancasila dapat tercapai dengan yang diinginkan.
Berbagai metodologi tersebut (observasi, pemahaman, interpretasi, dialog, dan
teori kritis) dapat menjadi "alat" untuk mencapai tujuan dan cita-cita Pancasila.
Masyarakat lndonesia yang memiliki sifat heterogen, suku, bahasa, adat istiadat, agama
dan kehidupan sosial menjadi semacam wacana yang tidak mudah dipahami atau dikaji.
Untuk itulah perlu adanya metodologi yang tepat dalam mengatasi heterogenitas
masyarakat atau masyarakat multikultural. Hal yang menjadi nilai tambah, yaitu
Pancasila sebagai ideologi negara dapat digunakan untuk mengatasi berbagai masalah
yang timbul karena sifat masyarakat lndonesia yang heterogen itu. Bagaimana caranya?
Salah satu cara dengan metode pemahaman (verstehen).
Metode pemahaman mengajak kita memahami bahwa setiap individu memiliki
identitas tertentu, yang berasal dan dibentuk dari latar belakang budaya, pendidikan,
agama, dan lingkungan. Setiap indentitas dari individu akan membentuk, atau melebur
menjadi, indentitas tertentu; dengan kata lain identitas individual menjadi landasan bagi
indentitas kolektif (masyarakat). Indentitas individu dan kolektif sebenarnya dipayungi
oleh pola pikir atau kesadaran masyarakatnya. Apabila setiap individu atau masyarakat
memahami betul tentang makna Pancasila, maka identitas individu dan kolektif akan
sejalan dengan nilai (value) dalam Pancasila, seperti nilai kebangsaan, moral, keadilan,
dan kejujuran. Penghargaan terhadap identitas individu, kolektif melalui kehidupan
yang layak secara ekonomis, kebebasan berpikir, keamanan dan perlindungan,
pendidikan, kebebasan beragama, kesehatan, dapat mengangkat harkat martabat bangsa
dan emansipatoris yang sesungguhnya. Masyarakat akan belajar bagaimana realitas
sosial yang sebenarnya itu harus dijalaninya secara kritis.
Metodologi yang tepat juga akan mengarahkan bagaimana Pancasila itu
terintegrasi dengan baik. Artinya, melalui masyarakat yang plural dan heterogen,
Pancasila juga dapat diterima generasi mudanya, diadaptasi, dan disesuaikan dengan
kebutuhan yang ada. Setiap warga masyarakat pasti memiliki cara untuk mengadaptasi
Pancasila, dan cara itulah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Pancasila
dapat menjadi ideologi yang terbuka karena dianggap sebagai "arena" yang terbuka
untuk didekati, diolah, dan diramu menjadi ideologi yang baik, tepat, dan cocok untuk
bangsa Indonesia. Pancasila dapat menjadi "payung besar" yang dapat menampung
berbagai hal, baik yang sifatnya memiliki nilai tambah maupun nilai kurang. Nilai
kurang itulah (seperti kurangnya pembauran multikultural dalam kehidupan masyarakat,
kurangnya toleransi beragama, kurangnya kebebasan akademis yang memberikan
kontribusi kehidupan intelektual di kampus, dan sebagainya) yang menjadi ancaman
sehingga tugas kita untuk melakukan refleksi dan kritik ideologi terhadap nilai kurang
tersebut.

6.2 PANCASILA SEBAGAI SISTEM NILAI


Bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan kenyataan dan kebenaran yang
berasal dari dirinya sendiri dan telah diterima sebagai filsafat dan pandangan hidup.
Karena itu, bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan ukuran dalam seluruh kegiatan
kemasyarakatan. Istilah Pancasila sebagai dasar negara, pertama kali diucapkan
dikemukakan oleh Ir. Soekarno dalam sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945.
Usulan Ir. Soekarno tersebut diterima secara bulat oleh seluruh anggota sidang
BPUPKI. Sila-sila dalam Pancasila adalah satu kesatuan yang saling berkaitan dan tidak
dapat dipisahkan satu sama lain karena merupakan satu susunan organik bertingkat dan
terstruktur berbentuk piramida.
Sila-sila di dalam Pancasila pada dasarnya dapat dibedakan atas “hakikat
Pancasila” yang bersifat umum dan universal yang merupakan “substansi sila-sila
Pancasila” sebagai pedoman pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, yaitu sebagai
dasar negara yang bersifat umum atau kolektif, dan pengamalan Pancasila yang bersifat
khusus dan konkret. Hakikat Pancasila adalah nilai-nilai yang terkandung di dalam sila-
sila Pancasila. Sebagai pedoman bernegara dan bermasyarakat, Pancasila merupakan
norma, sedangkan aktualisasi Pancasila merupakan realisasi konkret.

6.2.1 Struktur Pancasila


Untuk mengetahui susunan Pancasila yang terstruktur berbentuk piramida, maka
terlebih dahulu harus memahami suatu teori filsafat yang disebut hilemorfisme. (dari
bahasa Yunani hyle ‘materi’ dan morphe ‘bentuk, rupa’. Hilomorfisme diartikan sebagai
segala sesuatu yang berlangsung terus di dalam setiap perubahan tetapi ia sendiri tidak
berubah; olehnya terjamin suatu kesinambungan dan identitas. Teori itu dipergunakan
oleh Aristoteles sebagai landasan teori kausalitas yang kemudian dikembangkannya.
Intinya ialah bahwa setiap perubahan atas segala sesuatu mempunyai empat macam
sebab atau kausa, yaitu kausa materialis (sebab yang berhubungan dengan materi atau
bahannya); kausa formalis (sebab yang berhubungan dengan bentuknya); kausa efisien
(sebab yang berhubungan dengan efisiensinya); dan kausa finalis (sebab yang
berhubungan dengan tujuannya).
Beberapa ahli sudah mempergunakan teori ini, tetapi hanya melihat dari sejarah
terbentuknya Pancasila yaitu Pidato Lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1945 oleh Ir.
Soekarno, sebagai kausa materialis; maksud dan tujuan pidato tersebut sebagai kausa
finalis; sidang BPUPKI dan PPUPKI dalam merumuskan Pancasila sebagai kausa
efisien, dan rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai kausa formalis.
Pendekatan ini menjadi kabur, karena ternyata rumusan Pancasila mengalami beberapa
kali perubahan, seperti rumusan dalam Pidato 1 Juni 1945 berbeda dengan Piagam
Jakarta 22 Juni 1945, Pembukaan UUD 18-8-1945, Pembukaan Konstitusi RIS 1946,
Pembukaan UUD (S) 1950. Karena apabila demikian halnya, maka apakah
kausalitasnya akan berubah sesuai dengan perubahan rumusan Pancasila.
Lain halnya, apabila kita konsekuen dalam mempergunakan teori kausalitas,
yang kita mulai dengan mempelajari pemikiran Aristoteles tentang metafisika yang
menganggap objek-objek partikular sebagai substansi yang nyata, yang dirumuskan
demikian. Pertama, materi mengandaikan bentuk-bentuk yang berbeda, tetapi bentuk
permulaan bersifat tetap dan tidak berubah. Kedua, materi merupakan asas
kebolehjadian; bentuk (morphe) merupakan asas kenyataan atau aktualitas. Dengan
menyatukan materi dan bentuk dan memasukkan sebab ke dalam tindakan (entelechy)
pendekatan bertahap atas kesatuan dari semua benda menjadi tujuan dari alam semesta.
Alam semesta adalah dunia ideal, suatu keseluruhan organis yang saling berhubungan,
suatu sistem idea-idea (forma) yang abadi dan tetap. Idea-idea memberikan bentuk dan
kehidupan. Bentuk-bentuk adalah kekuatan yang diciptakan oleh pikiran itu sendiri.
Setiap organisme menjadi sesuatu hal melalui tindakan dari idea tujuan. Akhirnya,
keseluruhan hal tersebut diakibatkan oleh adanya empat sebab, sebagaimana dikatakan
oleh teori kausalitas.
Berdasarkan teori tersebut maka dapat diperoleh pemahaman bahwa Pancasila
adalah ideal; sila-sila dalam Pancasila merupakan keseluruhan organis yang saling
berhubungan. Sebagai ide filosofis, bentuk penerapannya dapat berbeda-beda, tetapi
sebagai bentuk awal (rumusan Pancasila 1 Juni 1945), esensinya bersifat tetap dan tidak
berubah. Rumusan Pancasila dalam Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 ialah
Kebangsaan (Nasionalisme), Internasionalisme (Perikemanusiaan), Mufakat
(Demokrasi), Kesejahteraan Sosial dan Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Hlm. 55
Sila-sila dalam Pancasila pada hakikatnya merupakan satu kesatuan yang
bersifat umum dan universal, yang bersumber pada hakikat dasar ontologis, yaitu
hakikat manusia yang “monopluralis”. Manusia sebagai individu memiliki susunan
kodrat jasmani, sifat kodrat (sebagai makhluk sosial) dan kedudukan kodrat sebagai
individu dan sosial sebagai makhluk Tuhan. Setiap unsur memiliki fungsi sendiri-
sendiri tetapi terikat dalam susunan satu kesatuan yang bersifat organis, sebagai
penjelmaan hakikat manusia yang monopluralis.
Susunan Pancasila adalah hierarkis dan berbentuk piramida artinya tersusun
dalam urutan luas (kuantitas) dan isi sifatnya (kausalitas), yang menunjukkan suatu
rangkaian tingkat dan luasnya serta isinya sifat yang merupakan pengkhususan sila-sila
di mukanya. Oleh karena itu antara kelima sila tersebut saling mengikat, sehingga
Pancasila merupakan kesatuan yang bulat.
Dari sisi kausalitas, sila pertama Pancasila yaitu kebangsaan, diartikan bahwa
bangsa adalah sekumpulan manusia sebagai makhluk individu dan sosial yang bebas;
oleh karena itu, segala bentuk penghalang kebebasan harus dihilangkan. Demikian pula
halnya, perjuangan bangsa Indonesia membebaskan diri dari penjajahan merupakan cara
untuk mempertahankan eksistensinya sebagai manusia dan/atau bangsa yang bebas
merdeka. Esensi sila pertama ini adalah kemanusiaan, asas yang menjadi bahan atau
materi atau sebab materil (Causa Materialis). Adapun struktur di atas Kebangsaan
adalah Internasionalisme atau peri kemanusiaan sebagai pelaksana esensi sila pertama,
yaitu kemanusiaan, yang merupakan sebab yang berhubungan dengan bentuk (Causa
Formalis). Asas kemanusiaan ini hanya dapat diberlakukan apabila seluruh aspek
kehidupan dilaksanakan berdasarkan demokrasi atau mufakat, hal yang merupakan
sebab efisien (Causa efisien). Secara bersama-sama, semuanya menuju Keadilan Sosial
yang menjadi sebab yang berhubungan dengan tujuan (Causa finalis). Struktur tersebut
dijalankan dengan landasan Ketuhanan Yang Berkebudayaan, yang menghormati
kebebasan beragama (freedom of religious), yang bebas untuk menjalankan agama dan
kepercayaannya masing-masing.
Berdasarkan kausalitas tersebut dapat diketahui bahwa nilai-nilai Pancasila
bersifat objektif karena, dari hakikat yang terdalam, Pancasila menunjukkan sifat-sifat
umum dan universal serta abstrak. Esensi nilai-nilai Pancasila akan tetap ada dalam
kehidupan manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu
akan tetap berlaku bagi bangsa Indonesia dan dapat diberlakukan bagi bangsa-bangsa di
dunia, karena mengandung makna yang dijadikan norma-norma dalam setiap aspek
kehidupan yang terpancar dalam adat istiadat, seni budaya, religi dan lain-lainnya, dan
sebagai filsafat negara Pancasila menjadi kaedah dan sumber dari segala sumber hukum.
Nilai-nilai Pancasila juga bersifat subjektif, karena timbul dari “diri sendiri” bangsa
Indonesia dan merupakan hasil pemikiran kritis dan reflektif filosofis. Di dalam nilai-
nilai subjektif Pancasila, terkandung tujuh nilai kerohanian, yaitu nilai-nilai religius,
moral, kemanusiaan, kebangsaan, keadilan, kebersamaan, dan toleransi, yang
merupakan manifestasi dari budi nurani dan kepribadian bangsa Indonesia.
Untuk dapat menelusuri nilai-nilai tersebut, maka terlebih dahulu harus
memahami susunan dan bentuk Pancasila 1 Juni 1945, dan perumusan Pancasila sebagai
Dasar Negara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 18-8-1945. yang
merupakan realisasi konkret dari Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara.

6.3 NILAI PANCASILA


Pada hakikatnya, segala sesuatu memiliki nilai. Hanya saja, nilai apa saja yang
ada dan bagaimana hubungan nilai itu dengan manusia, sebagai makhluk jasmani dan
rohani, para pemikir dan filsuf memiliki pandangan yang beragam sesuai dengan sudut
pandang masing-masing.
Max Scheler (1874-1928), seorang fenomenolog Jerman, menggolongkan nilai
menurut tinggi rendahnya dalam empat tingkatan, yaitu: nilai kenikmatan, nilai
kehidupan, nilai kejiwaan, dan nilai kerohanian. Nilai-nilai semacam itu terutama terdiri
atas nilai-nilai pribadi. Notonagoro menggolongkan nilai dalam tiga tingkatan, yaitu
nilai material, nilai vital, nilai kerohanian. Nilai kerohanian dibagi menjadi dua
tingkatan, yaitu nilai kebenaran (nilai yang bersumber pada rasio, akal budi, atau hasil
cipta manusia); nilai religius nilai kerohanian tertinggi dan bersifat mutlak, yang
bersumber pada Tuhan Yang Maha Esa). Menurut Notonagoro, nilai-nilai Pancasila
termasuk nilai-nilai kerohanian yang mengakui nilai-nilai material dan nilai-nilai vital.
(Notonagoro, 1980).
Darmodihardjo menyatakan bahwa di dalam nilai-nilai Pancasila terkandung
tujuh nilai-nilai kerohanian, yaitu nilai kebenaran, keadilan, kebaikan, kebijaksanaan,
etis, estetis, dan nilai religius, yang manifestasinya sesuai dengan budi nurani bangsa
Indonesia karena bersumber pada kepribadian bangsa.
Menurut Meliono, nilai-nilai yang melandasi Pancasila adalah nilai religius,
moral, kemanusiaan, kebangsaan, keadilan, kebersamaan, dan toleransi. Nilai-nilai yang
dimaksud di sini adalah nilai-nilai kerohanian.
Untuk dapat memahami nilai-nilai kerohanian Pancasila, maka terlebih dahulu
kita harus memahami pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, yang kemudian diterima
sebagai Dasar Filosofi Negara dan direalisasikan secara konkret dalam Pembukaan
UUD 1945.
Adapun rumusan Pancasila di dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 ialah
sebagai berikut, Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

6.3.1 Nilai-nilai Religius


Nilai religius adalah nilai yang berkaitan dengan keterikatan individu dengan
sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan sakral, suci, dan agung. Dalam kehidupan
sosial dan budaya, keterikatan seseorang dihubungkan dengan pandangan hidup suatu
masyarakat atau kehidupan beragama. Pada dasarnya setiap orang selalu memiliki
pandangan atau persepsi akan sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan yang
melebihi manusia. "Sesuatu" dalam pandangan orang yang beragama disebut Yang
Maha Kuasa, Allah, Sang Hyang Widi, Tuhan, dan sebagainya. Dengan nilai religius
orang mengukur hubungannya dengan Yang Sakral itu, apakah hubungan itu
berlangsung dengan baik ataukah tidak baik, sejalan dengan yang diyakininya.
Keterkaitan nilai religius dengan butir Pancasila, yaitu keterikatan terhadap Yang
Sakral, muncul dalam pembukaan UUD 1945 Yang Maha Kuasa menjadi "kendali" bagi
perilaku orang dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa. Nilai
religius dimaknai sebagai keterikatan dan ketergantungan pada kekuasaan Ilahi yang
dapat memberikan pedoman dan pencerahan bagi umat manusia. Di sisi lain, nilai
religius menjadi "penuntun" dalam keragaman bangsa lndonesia yang multi agama
dengan melihat bahwa religiositas (keterikatan terhadap yang sakral, agung) memiliki
sifat yang universal (kesemestaan). Nilai religius selalu berbicara tentang hubungan
manusia dengan Tuhan, baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal, Tuhan
dianggap oleh manusia sebagai "kekuatan" yang melebihi manusia, sebagai Yang Maha
Kuasa atau Yang Maha Tahu, yang oleh karenanya manusia sangat tergantung dan
menaruh hormat pada "kekuatan" itu. Sedangkan dalam hubungan secara horizontal,
nilai religius diungkapkan manusia melalui ekspresi atau perasaannya terhadap
kehidupan dan pengalaman beragama dengan saling menghargai, dan menghormati
kebebasan agama masing-masing.
Itulah sebabnya kita dapat mengatakan bahwa di mana, kapan, dan oleh siapa
pun nilai religius memiliki sifat universal. Meskipun latar belakang agama berbeda satu
dengan yang lain, kita dapat menjalin hubungan yang akrab dengan orang yang berbeda
agama dengan kita atas dasar nilai religiositas yang sifatnya universal. Bila nilai religius
diyakini dan dipahami dengan benar oleh masyarakat, toleransi agama dapat
ditumbuhkan. Untuk itu, penting memahami dan melaksanakan nilai religius yang baik
(yang telah ada pada butir Pancasila) agar muncul kehidupan religiositas yang “sehat”,
jauh dari fanatisme sempit.
Nilai religius muncul pada pembukaan UUD 1945 seperti yang berikut. Pertama,

pada alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 dinyatakan, “Atas berkat rahmat Tuhan yang
Maha Kuasa dan . . . . “ Kedua, pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945,
dinyatakan, “ . . . . dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa . . . .”

Pernyataan dalam alinea ketiga dan keempat UUD 1945 bermula dari penjelasan dalam
Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, di mana Ir. Soekarno menyatakan, “Prinsip
Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang
Indonesia hendaknya ber-Tuhan.”
Dijelaskan selanjutnya bahwa prinsip-prinsip Kebangsaan, Perikemanusiaan,
Mufakat dan Kesejahteraan Sosial adalah dilandasi oleh Ketuhanan. Keterangan
tersebut jelas merupakan pengakuan “Nilai Religius”; hal ini mengandung makna
bahwa negara Indonesia mengakui nilai-nilai religius, bahkan merupakan suatu dasar
negara Pancasila, dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, secar filosofis,
bangsa Indonesia mengakui bahwa manusia adalah mahluk Tuhan, sehingga
kemerdekaan dan negara Indonesia di samping merupakan hasil perjuangan bangsa
Indonesia juga yang terpenting adalah merupakan “berkat rahmat Tuhan Yang Maha
Esa”.

6.3.2 Nilai Moral


Nilai moral adalah nilai tentang kebaikan yang muncul sebagai akibat perilaku
orang, baik sebagai individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain atau
masyarakat. Ada beberapa pengertian tentang nilai moral yang bersumber pada etika.
Pertama, nilai dan norma moral yang ada dapat menjadi pegangan bagi seseorang atau
se kelompok dalam berperilaku. Kedua, nilai moral merupakan kumpulan asas tentang
perilaku tertentu atau kegiatan tertentu, misalnya kode etik. Kode etik dianggap sebagai
kumpulan nilai moral yang memiliki prinsip kebaikan dalam suatu organisasi profesi
seperti kode etik dokter, kode etik pengacara, dan kode etik dosen. Ketiga, nilai moral
yang bersumber pada etika atau filsafat moral yaitu suatu ilmu yang mengkaji tentang
prinsip yang baik dan yang buruk. Ini merupakan bahan refleksi bagi suatu penelitian
sistematis dan metodis.
Bagaimana nilai moral itu berkaitan dengan Pancasila? Rupanya nilai moral
yang dimaksud itu adalah nilai moral yang bersumber pada suatu prinsip kebaikan, dan
hal itu menjadi bahan untuk direfleksikan lebih lanjut, khususnya ketika kita mengkaji
dan memahami Pancasila. Prinsip kebaikan pada filsafat moral bersumber pada hati
nurani, kebebasan dan tanggung jawab, serta hak dan kewajiban. Sumber itu disebut
juga kaidah moral yang dapat menjadi pegangan seseorang dalam mengarahkan dirinya
menjadi manusia yang baik. Manusia yang baik diartikan sebagai Manusia lndonesia
yang baik yang harus memiliki sikap etis yang mengarahkan pada etika kewajiban dan
etika keutamaan (misalnya menjunjung kejujuran, dan keadilan dalam mengambil
keputusan, bekerja, dan berorganisasi dalam kehidupan masyarakat) dan berpegang
pada norma dan prinsip moral. Norma dan prinsip moral dapat dicari melalui kehidupan
beragama, dan bernegara dalam kehidupan yang menghargai perbedaan multikultural.
dan juga pada butir Pancasila.
Nilai moral dapat ditemukan dalam butir Pancasila seperti yang dikutip berikut
ini. Pertama, pada alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 dinyatakan, “ ... didorong oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas .... “ Kedua, pada
alinea keempat dinyatakan, “ ... Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa,
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab ... “
Sila kedua Pancasila adalah kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Dalam Pidato
Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengatakan, “Kita bukan saja harus
mendirikan Negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada
kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch
principle yang nomor dua, ...“ Prinsip kedua itu adalah Internasionalisme atau Peri
kemanusiaan, yang alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dirumuskan sebagai
“Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Sila ini tidak menyebutkan secara eksplisit kata
Indonesia, tetapi kata adil dan beradab merupakan ciri khusus dari kemanusiaan, dan
sebagai kesatuan dari sila-sila Pancasila, maka kata kemanusiaan di sini berbeda dengan
humanisme karena adanya ciri khusus tersebut.
Jadi, jelaslah bahwa pokok pikiran keempat, negara berdasarkan atas Ketuhanan
Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan nilai-
nilai Dasar Moral Negara. Prinsip negara sebagaimana terkandung dalam pokok pikiran
tersebut menunjukkan bahwa kehidupan bernegara, di samping berdasarkan hukum
perundang-undangan, juga harus tetap berdasarkan moralitas, karena kehidupan
berbangsa dan bernegara pada hakikatnya adalah untuk mencapai tujuan kemanusiaan
yang adil dan beradab dan bermartabat luhur.

6.3.3 Nilai Kebangsaan


Nilai kebangsaan adalah nilai tentang manusia yang secara kodrat memiliki hak
dan kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab, serta identitas yang membentuk
eksistensi manusia atau jati diri dalam kehidupan bernegara. Secara kodratiah setiap
orang memiliki nilai kemanusiaan seperti hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggung
jawab serta identitas tertentu. Dalam kehidupan bernegara, hal itu dipersatukan dengan
tujuan dan pandangan hidup. Persatuan antara nilai secara kodratiah dengan tujuan dan
pandangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat membentuk eksistensi dan jati diri
suatu bangsa. Bagi bangsa Indonesia, terutama generasi muda, jati dirinya akan tampil
dengan baik apabila dapat menampilkan nilai kebangsaan (hak dan kewajiban,
kebebasan dan tanggung jawab, serta identitas) dengan optimal dalam kehidupan
bernegara. Orang akan bangga dengan nilai kebangsaan yang dimilikinya, bangga
menjadi orang Indonesia, dan itu harus “diisi” dengan sikap yang menjunjung nilai
moral yang tinggi.
Nilai kebangsaan adalah prinsip pertama dalam Pancasila 1 Juni 1945. Prinsip
atau sila pertama ini kemudian direalisasikan secara konkret dalam pembukaan UUD
1945 dan dirumuskan sebagai sila Persatuan Indonesia.
Pada alinea kedua Pembukaan UUD 1945, dinyatakan,
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Kemudian, pada alinea ketiga dinyatakan,
“ ... dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas ...” Selanjutnya, pada alinea keempat dinyatakan, “... yang melindungi
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ... maka disusunlah
kemerdekaan Kebangsaan Indonesia ...“

Di dalam Pidato Lahirnya Pancasila dijelaskan bahwa bangsa Indonesia adalah


kesatuan antara manusia dan tanah airnya. Soekarno juga menjelaskan mengenai bangsa
dengan menunjuk teori geopolitik. Selanjutnya Ir. Soekarno mengatakan,
“Pendek kata bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekadar satu golongan
orang yang hidup dengan “le desire d’etre ensemble’. Di atas daerah kecil, seperti
Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa
Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang telah
ditentukan oleh Allah SWT, tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia
dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian. Seluruhnya! karena sudah ada “le desire
d’etre ensemble’, sudah terjadi charactergemeinschaft, Natie Indonesia.”
Selanjutnya ia mengatakan, “Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak
berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau
tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme.”

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diperoleh pengertian bahwa bangsa


Indonesia sebagai bagian dari umat manusia di dunia adalah makhluk Tuhan. Sebagai
makhluk Tuhan, pada hakikatnya manusia memiliki sifat kodrat sebagai makhluk
individu dan sosial. Oleh karena itu, pada hakekatnya bangsa merupakan penjelmaan
dari sifat kodrat manusia tersebut dalam merealisasikan harkat dan martabat
kemanusiaanya. Dalam usaha tersebut manusia tidak mungkin melakukannya sendiri.
Bangsa Indonesia terbentuk dalam proses sejarah yang panjang dan terdiri atas
bermacam-macam kelompok suku bangsa. Perbedaan tersebut tidak untuk
dipertentangkan tetapi justru dijadikan persatuan Indonesia, yang dituangkan dalam
suatu asas kerohanian yang merupakan satu kepribadian yang bersifat majemuk tunggal
yang disimbolkan dalam Lambang Garuda Pancasila dengan semboyan “Bhineka
Tunggal Ika”.

6.3.4 Nilai Keadilan


Nilai keadilan adalah nilai yang menjunjung norma berdasarkan
ketidakberpihakan, keseimbangan, dan pemerataan atas sesuatu hal. Norma tersebut
merupakan hal yang sangat manusiawi dan menjadi hak yang asasi dari manusia di
mana pun dan kapan pun. Sebagai sesuatu yang sangat manusiawi, nilai keadilan sering
diarahkan kepada kepentingan atau tujuan tertentu dalam kehidupan manusia. Nilai
keadilan dapat dimiliki oleh individu, tetapi juga berlaku di masyarakat. Sesuai asal
katanya yaitu adil, maka keadilan dapat diartikan sebagai tuntutan yang seimbang antara
hak dan kewajiban (Lihat modul PDPT, 2004: Bagian Akhlak dan Budi Pekerti, Bab III:
40-41). Dengan demikian, dalam nilai keadilan juga dibutuhkan berbagai pertimbangan
dalam melaksanakan tuntutan yang tidak berpihak, seimbang, begitu juga pada hak dan
kewajiban. Apabila nilai keadilan dihubungkan dengan Pancasila, maka nilai tersebut
diarahkan pada kepentingan individu dan masyarakat dalam kehidupan bernegara dan
berbangsa. Apakah seseorang atau masyarakat memiliki hak, misalnya hak atas
perlindungan keamanan sebagai warga masyarakat tanpa membedakan strata
masyarakat? Sudahkah warga masyarakat melakukan kewajibannya sebagai anggota
masyarakat dengan membayar restribusi listrik sesuai dengan yang harus dibayarkan?
Pertanyaan tersebut merupakan contoh tentang bagaimana nilai keadilan itu tampil
dalam perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai keadilan dalam UUD 1945 dan Pancasila tercantum sebagai berikut. Pada
alinea pertama Pembukaan UUD 1945, dinyatakan, “. . . . maka penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri
keadilan.” Lalu, pada alinea kedua Pembukaan UUD 1945 dinyatakan,“. . . ke depan
pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang Merdeka, bersatu, berdaulat, adil
dan makmur.” Kemudian, pada alinea keempat dinyatakan, “. . . . dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial . . . .“ Kalimat selanjutnya berbunyi, “. . . . dengan berdasar kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan
Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi
seluruh Rakyat Indonesia . . . .”

Di dalam Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945, Soekarno menyatakan,


“Keadilan ialah sociale rechtvaardigheid rakyat ingin sejahtera, Rakyat yang
tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia baru
yang di dalamnya ada keadilan . . . .“

Sila Kesejahteraan Sosial dalam rumusan Pancasila 1 Juni 1945 direalisasikan


secara konkret pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu “Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia.” Nilai Keadilan yang terkandung dalam Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia serta Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Dalam sila kelima terkandung
nilai-nilai keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan bersama (kehidupan sosial).
Keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan, yaitu
keadilan dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia yang satu dengan
yang lain, manusia dengan masyarakat, bangsa, dan negara, serta hubungan dengan
Tuhan Yang Maha Esa. Hal itu sesuai dengan tujuan negara yaitu melindungi segenap
bangsa dan tumpah darah Indonesia serta mewujudkan kesejahteraan umum ... serta
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (huruf miring dari penulis).

6.3.5 Nilai Kebersamaan dan Toleransi


Nilai kebersamaan dan toleransi adalah dua nilai yang saling melengkapi. Nilai
kebersamaan adalah nilai yang dimiliki oleh manusia dalam interaksinya dengan sesama
yang berkaitan dengan tujuan dan kepentingan tertentu. Sebagai makhluk sosial,
manusia selalu membutuhkan teman, hidup berdampingan dengan orang lain dalam
suatu situasi tertentu, misalnya bekerja, belajar, berorganisasi, dan melakukan ibadah.
Dalam interaksi itu biasanya terjadi kesepakatan, dan saling menghargai satu sama lain
atas dasar tujuan dan kepentingan tertentu. Nilai toleransi adalah nilai yang menghargai
berbagai pendapat dan keyakinan orang lain tentang sesuatu hal dan dalam situasi
tertentu. Menghargai pendapat atau keyakinan orang lain yang berbeda dengan kita
menjadi hal yang penting dalam bertoleransi dengan orang lain. Itulah sebabnya nilai
kebersamaan dan toleransi saling melengkapi. Kedua nilai itu diungkapkan dengan
perilaku tertentu, perilaku yang terjadi dalam interaksi dengan sesama.
Bagaimana nilai kebersamaan dan toleransi berkaitan dengan Pancasila? Nilai
kebersamaan dan toleransi haruslah dimiliki oleh setiap individu yang berinteraksi
dengan individu yang lainnya dan ada dalam kehidupan berbangsa atau bernegara. Nilai
kebersamaan dan toleransi menjadi milik individu secara rasional; artinya, individu
menghargai kebersamaan dan toleransi atas dasar kesadarannya dan pemahamannya
tentang hal itu. Dengan kata lain, nilai kebersamaan dan toleransi bukanlah nilai yang
harus dipaksakan melainkan muncul melalui kesadaran diri sendiri. Untuk dapat
mengetahui nilai-nilai kebersamaan dan toleransi yang terkandung di dalam Pancasila,
terlebih dahulu harus dimengerti isi Pembukaan UUD 1945.
Pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945 dinyatakan, “Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan.” Kemudian, pada alinea kedua dinyatakan, “. . . . ke depan pintu gerbang
kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
Selanjutnya, pada alinea ketiga, dinyatakan, “. . . . Supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas . . . . “ Akhirnya, pada alinea keempat dinyatakan,
“. . . . dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.”

Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan pengakuan atas “nilai moral” dan


hak kodrati manusia untuk hidup dalam kebersamaan dan toleransi. Hal ini mengacu
kepada eksistensi manusia atau bangsa, yang secara kodrati bebas dan merdeka untuk
bersama-sama menjalin kehidupan berbangsa dan bernegara atas dasar saling
menghormati, berdasarkan keadilan kemanusiaan, demi tercapainya tingkatan harkat
dan martabat manusia yang lebih tinggi, yang meliputi seluruh unsur kodrat manusia.

6.4 PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN NASIONAL

6.4.1 Pengertian Paradigma


Dalam Kamus Besar Bahasa lndonesia, salah satu arti kata paradigma ialah
‘kerangka berpikir’, yakni sebuah kerangka atau asumsi dasar yang menjadi landasan
suatu kegiatan pemikiran untuk menentukan metode, pola dan berbagai aspek yang
berkaitan dengan objek kegiatan. Istilah paradigma pertama kali dikembangkan oleh
Thomas S. Kuhn dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution.
Paradigma selalu berkaitan dengan gerak atau perubahan dalam suatu aktivitas.
Paradigma diperlukan agar aktivitas dapat berlangsung melalui gerak atau menimbulkan
perubahan tertentu secara sistematis, dan terarah, menuju sasaran yang diinginkan.
Dalam filsafat ilmu terdapat paham determinisme yang dikembangkan oleh
William Hamilton dari doktrin Thomas Hobbes yang mengatakan bahwa pengetahuan
bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal. Faham ini
menggambarkan sifat ilmu pengetahuan melalui pola tertentu. Dalam sebuah kegiatan
ilmiah, paradigma merupakan pilihan pada proses pikir atau metode tertentu, sehingga
kebenaran yang ditemukan terbatas pada pola atau metode yang dipergunakannya
tersebut. Budianto (2002: 81) menyatakan bahwa ilmu mengenal enam paradigma,
yaitu, (1) paradigma kuantitatif; (2) paradigma kualitatif; (3) paradigma induktif-
deduktif; (4) paradigma piramida atau limas ilmu; (5) paradigma siklus empiris; dan (6)
paradigma "rekonstruksi teori". Sekalipun dalam filsafat ilmu paradigma sering
dipertentangkan dengan pilihan bebas (karena telah membatasi kegiatan dengan metode
atau pola pikir tertentu sehingga kebenaran yang ditemukannya pun dipengaruhi oleh
metode atau pola pikir yang dipergunakannya tersebut), paradigma diperlukan agar
kegiatan yang dilakukan lebih terarah atau terpola secara sistematis, dan terdapat tolak
ukur yang jelas terhadap kebenaran yang ditemukannya. Paradigma sebenarnya tidak
membatasi pilihan bebas karena pilihan bebas bukan berarti "segalanya", sehingga tidak
ada arah, sistem, atau pola dalam berpikir.
Pancasila menjadi paradigma bangsa Indonesia; artinya, Pancasila menjadi
pilihan bangsa Indonesia yang memberikan arah atau pola kehidupan berbangsa dan
bernegara dalam berbagai bidang kehidupan, mulai dari bidang yang sangat mendasar,
yaitu berideologi hingga bidang yang sangat teknis, yaitu pembangunan. Melalui para
pendiri bangsa (founding fathers) dalam sidang-sidang BPUPKI dan kemudian oleh
PPKI, oleh bangsa Indonesia Pncasila diterima sebagai ideologi negara karena diyakini
mencerminkan karakter asli bangsa lndonesia melalui nilai luhur yang berlaku pada
masyarakat Indonesia.

6.4.2 Pengertian Pembangunan Nasional


Dalam Pembukaan UUD 1945, alinea keempat, disebutkan bahwa: Pemerintah
Negara lndonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa lndonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Perlindungan terhadap segenap
bangsa lndonesia [. . .] tersebut berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan lndonesia dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta
mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Dasar dalam
melakukan perlindungan [. . .] oleh Pemerintah Negara lndonesia dijadikan sebagai
Tujuan Nasional Indonesia.
Untuk mewujudkan tujuan nasional itu diperlukan kegiatan pembangunan secara
nasional, yaitu pembangunan yang berkesinambungan dan meliputi seluruh kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara. Hakikat dari pembangunan nasional itu adalah
pembangunan manusia lndonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia
seluruhnya dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan, dan pedomannya. Pembangunan
mencerminkan rangkaian gerak perubahan menuju kepada kemajuan dan kehidupan
yang lebih baik. Perubahan berarti pembaharuan. Dalam kerangka pembangunan
nasional, pembaharuan dilakukan dengan mengembangkan kepribadian bangsa
Indonesia sendiri sehingga tidak kehilangan identitas diri bangsa dengan tetap membuka
diri terhadap kemajuan yang positif dari bangsa lain, terutama kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Bahkan, dalam beberapa hal, perubahan itu perlu diadakan
dengan melakukan perombakan dalam tatanan yang sangat mendasar (Soeprapto,
2004:98). Dengan demikian, pembangunan nasional bertitik tolak pada kemampuan,
kemandirian, kebersamaan, keadilan, dan kemanfaatan bagi bangsa lndonesia.
Kerjasama dengan bangsa atau negara lain dalam tatanan global tetap diperlukan
sepanjang tidak menimbulkan ketergantungan dan tetap menjaga identitas diri bangsa,
kebebasan dan kemandirian sebagai sebuah bangsa yang merdeka.
Dalam praktik, pelaksanaan pembangunan nasional dilakukan melalui sebuah
kegiatan nasional yang mencerminkan program, pola, dan sasaran dalam tahapan
tertentu dengan tetap konsisten menuju terwujudnya tujuan nasional. Pembangunan
nasional menjadi kewajiban seluruh bangsa lndonesia, dengan pemerintah bersama
dengan lembaga legislatif dan eksekutif sebagai pemeran utama. Kesadaran akan
tanggung jawab secara nasional untuk melakukan pembangunan oleh seluruh unsur
masyarakat, bangsa, dan negara menjadi kunci keberhasilan pembangunan nasional.
Insan akademik sebagai unsur masyarakat terdidik, baik secara individu maupun
kolektif kelembagaan, menjadi modal penting dalam menentukan keberhasilan
pembangunan nasional.

6.4.3 Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ilmu Pengetahuan dan


Teknologi
Ilmu pengetahuan lahir melalui konsep berpikir metodologis, sedangkan
teknologi adalah studi tentang keterampilan untuk membuat sesuatu yang membutuhkan
sejumlah materi tertentu (alamiah dan buatan) disertai dengan aktivitas akal budi dan
keinginan atau tujuan tertentu (Meliono, 2002:16). Sebagai produk rohaniah manusia
tentang realitas alam (termasuk manusia sendiri), ilmu pengetahuan diperlukan dalam
kehidupan yang memberikan kepuasan batin (rasio), dan menjadi dasar pembangunan
teknologi. Adapun teknologi diperlukan oleh manusia untuk memberikan kemudahan
dan kesejahteraan demi terpenuhinya kebutuhan primer dan sekunder dalam
kehidupannya. Dari aspek kemanusiaan sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan wujud rasa syukur manusia kepada Tuhan
yang telah menciptakan manusia dengan potensi diri yang paling tinggi dibandingkan
dengan makhluk lain dan menyediakan alam sebagai sarana memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan tolak ukur kemajuan peradaban
suatu bangsa. Sesuai dengan fungsinya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
menjadi tolok ukur tingkat kemajuan dan kesejahteraan bangsa itu. Produk teknologi
tinggi bernilai ribuan kali lipat dibandingkan dengan produk alamiah yang dihasilkan
oleh tenaga alamiah manusia. Sebuah mobil dengan teknologi tinggi lebih mahal
daripada hasil panen padi petani dari seribu hektar yang dihasilkan dengan ribuan
tenaga kerja, atau, dengan kata lain, lahan pertanian yang luas, biaya yang besar dan
dengan resiko kegagalan panen yang besar.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan keuntungan yang
besar bagi manusia seperti terpenuhinya kebutuhan hidup, baik primer maupun
sekunder. Tetapi karena dipengaruhi oleh keinginan ego manusia yang kadang-kadang
tidak disadari, pengembangan itu juga dapat menimbulkan bencana atau kerugian bagi
manusia sendiri. Teknologi senjata nuklir, misalnya, memperlihatkan betapa ego
manusia telah menguasai akal sehat dan nuraninya. Ledakan sebuah senjata nuklir dapat
menimbulkan malapetaka kematian atau kesengsaraan hidup jutaan manusia dan
kerusakan alam yang luar biasa. Padahal teknologi nuklir sesungguhnya dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan damai, sumber energi. Dalam skala yang terbatas,
kerusakan lingkungan, dalam bentuk pencemaran udara atau terganggunya ekosistem,
juga merupakan dampak negatif dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang transportasi, industri obat pembasmi hama, dan lain-lain. Oleh karena itu
diperlukan panduan, kerangka dasar, atau paradigma dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Bagi bangsa Indonesia, Pancasila (sebagai dasar dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara) menjadi paradigma dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bentuk paradigma Pancasila itu teraplikasi melalui nilai Pancasila berikut.
(1) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan juga, manusia harus menyadari bahwa Tuhan Yang
Maha Esa menciptakan alam sebagai sarana kehidupan dan menciptakan
kemakmuran di alam kehidupan ini. Pemanfaatan alam harus dilakukan secara
proporsional dan diimbangi dengan pelestariannya. Sebagai makhluk yang ber-
Tuhan dan beragama, manusia harus mempergunakan karunia Tuhan dalam bentuk
kekayaan alam untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam rangka berbakti kepada
Tuhan. Hal itu berarti bahwa manusia tidak boleh berbuat berdasar keinginan dan
kepentingannya sendiri, tetapi terikat oleh norma-norma agama yang diberikan
Tuhan kepadanya.
(2) Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Di hadapan Tuhan, manusia mempunyai kedudukan yang sama. Tidak ada
kelebihan satu orang dari orang yang lainnya kecuali dalam hal taqwanya kepada
Tuhan, baik dalam bentuk peribadahan secara langsung kepada Tuhan melalui
kontribusi kebaikan sesama, maupun perbaikan lingkungan hidup. Pengembangan
dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi harus meningkatkan harkat dan
martabat manusia sebagai makhluk Tuhan. Dalam konteks kemanusiaan, hal itu
tidak boleh mengakibatkan terjadinya eksploitasi alam, atau, bahkan orang ataupun
kelompok orang lain. Semakin tinggi ilmu pengetahuan yang dikuasainya, manusia
harus semakin bersyukur kepada Tuhan, semakin tinggi tingkat amal kebaikannya,
dan tidak sombong atau lupa diri.
Nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi harus semakin penting dalam
pergaulan global. Hal ini disebabkan oleh adanya pandangan dan kepentingan yang
sempit suatu bangsa yang memiliki kelebihan dalam penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi, yang mengeksploitasi bangsa lain. Penjajahan pada abad ini
berkembang melalui strategi penciptaan ketergantungan suatu bangsa kepada
bangsa lain. Hal ini sering dilakukan atas nama kemanusiaan, tetapi justru
mengakibatkan kesengsaraan.
Sejak tahun 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah meletakkan landasan untuk
mencagah terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia melalui Deklarasi
Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights). Deklarasi yang berisi
penghormatan terhadap hak universal manusia ini menjadi acuan setiap negara
untuk mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam konteks bangsa dan negara yang
bersangkutan. Sekalipun tidak secara formal menyebutnya hak asasi manusia, pada
tahun 1945 secara implisit bangsa Indonesia telah menjadikan hak asasi manusia
sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui sila kedua
Pancasila, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Istilah yang sering disebut dalam
pengembangan teknologi ialah, misalnya, teknologi tepat guna, teknologi ramah
lingkungan.
(3) Persatuan lndonesia
Sejak awal masa kemerdekaan. bangsa lndonesia telah mengalami banyak hal yang
bertentangan dengan sikap persatuan bangsa, seperti berbagai pemberontakan atau
gerakan separatis. Negara Indonesia lahir melalui komitmen bersama dari berbagai
komponen bangsa yang plural dalam hal agama, etnis, bahasa, dan lain-lain.
Eksistensi bangsa dan negara Indonesia tergantung pada komitmen bersama untuk
menjaga persatuan dan kesatuan bangsa yang telah disepakati dan dijadikan dasar
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Komitmen tersebut tidak boleh
diingkari hanya karena aspirasi atau kepentingan sebagai anggota masyarakat
belum terpenuhi, atau mungkin karena kebijakan pemerintah dalam melaksanakan
fungsinya belum optimal. Kekurangan atau kesalahan kebijakan dalam mengelola
negara tidak bisa menjadi alasan untuk melakukan gerakan separatisme. Kita harus
berpikir secara rasional dan objektif, bahwa separatisme hanya menuruti ego dan
kepentingan sempit anggota masyarakat tertentu yang justru akan menyengsarakan
sebagian besar anggota masyarakat lainnya.
Bangsa dan negara Indonesia adalah satu kesatuan secara intergral. Konsep
persatuan dan kesatuan harus menjadi landasan dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pada tahun 1928 para pemuda lndonesia telah berikrar
melalui Sumpah Pemuda yang mengintegrasikan satu tanah air, satu bangsa, dan
satu bahasa persatuan.
(4) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan.
Prinsip kebersamaan dalam pluralitas untuk mencapai tujuan bersama dan mencari
solusi problem bersama dengan cara musyawarah yang dijiwai oleh sikap bijaksana
telah menjadi tekad kita dalam kehidupan berbangsa dan benegara. Sistem
musyawarah boleh saja berubah sesuai dengan kebutuhan pada masanya, begitu
pula teori-teori di bidang politik, sosial, budaya, dan lain-lainnya, tetapi perubahan
itu harus bertitik tolak dari kepentingan rakyat dan hak-hak rakyat secara
keseluruhan. Gerakan reformasi telah melahirkan perubahan-perubahan baru di
bidang politik dan sosial budaya yang mendasar. Pemilihan presiden dan kepala-
kepala daerah secara langsung, misalnya, merupakan perubahan mendasar dalam
sistem politik bangsa, tetapi itu tetap menghargai hak-hak rakyat sebagai pemegang
kedaulatan.
Dalam pengelolaan negara dengan penduduk yang besar (lebih dari 200 juta jiwa),
sistem perwakilan tetap diperlukan sekalipun hak politik warga negara untuk
memilih presiden dan kepala-kepala daerah telah dilakukan secara langsung. Dalam
bidang tertentu seperti pembuatan undang-undang, misalnya, tidak mungkin seluruh
rakyat melakukannya secara langsung. Pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam hal ini perlu diarahkan guna menjamin hak-hak rakyat dan
kemaslahatan.
(5) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat lndonesia
Unsur dominan dalam sila ini terletak pada keadilan hukum dan ekonomi, sekalipun
unsur-unsur lainnya tetap tercakup. Dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, nilai dan sila kelima ini dapat berupa pemerataan secara adil untuk
memperoleh kesempatan menuntut ilmu pengetahuan dan teknologi serta
memperoleh kesejahteraan hidup, di samping aspek yang lainnya.
Nilai sila kelima ini sesungguhnya memberikan amanah bagi setiap orang yang
memperoleh kepercayaan dalam bidang tertentu untuk menggunakan
kewenangannya bagi kepentingan rakyat secara keseluruhan. Oleh karena itu,
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merupakan penyimpangan dari nilai-nilai
luhur yang diamanatkan kepada para pemegang kekuasaan. Namun demikian,
masalah keadilan sosial ini sampai saat ini masih menjadi problem nasional yang
belum terpecahkan, sehingga muncul tindakan destruktif yang merugikan.

6.5 PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN NASIONAL


DALAM BIDANG POLEKSOSBUDHANKAM

Pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 alinea ke-IV tercantum tujuan
negara, yang salah satu di antaranya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum,
khususnya untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Untuk
mewujudkan kesejahteraan umum atau mencapai masyarakat adil dan makmur tersebut,
Republik ini harus membangun, bukan hanya secara fisik saja melainkan secara
keseluruhan—ini disebut dengan sebutan membangun manusia Indonesia seutuhnya.
Dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya, salah satu masalah penting dewasa
ini yang harus diatasi ialah rendahnya taraf kehidupan masyarakat Indonesia, karena hal
itu dapat menimbulkan kesenjangan sosial. Kesenjangan ini terlihat jelas, misalnya di
antara masyarakat yang tinggal di pedesaan dan yang tinggal di perkotaan. Kesenjangan
sosial juga terjadi di daerah perkotaan, yaitu antara masyarakat yang tinggal di daerah
kumuh dan yang tinggal di daerah elit. Untuk menanggulangi masalah ini perlu
dilakukan kerja sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah perlu
merumuskan dan melaksanakan kegiatan pengentasan kemiskinan di setiap daerah
Indonesia guna mewujudkan program pembangunan nasional secara keseluruhan.
Secara filosofis hakikat kedudukan Pancasila sebagai paradigma pembangunan
nasional mengandung konsekuensi bahwa dalam segala aspeknya pembangunan
nasional harus didasarkan pada hakikat nilai-nilai Pancasila karena hakikat nilai-nilai itu
memang didasarkan pada keberadaan manusia Indonesia sebagai subjek pendukung
sila-sila Pancasila sekaligus pendukung pokok negara Republik Indonesia. Hal ini
berdasarkan kenyataan objektif bahwa Pancasila dasar negara dan negara adalah
organisasi persekutuan hidup manusia. Oleh karena itu, dalam rangka mencapai
tujuannya melalui pembangunan nasional, negara harus dikembalikan pada dasar-dasar
hakikat manusia “monopluralis.” Unsur-unsur hakekat manusia “monopluralis” meliputi
susunan kodrat manusia, rokhani, (jiwa) dan raga, sifat kodrat manusia makhluk
individu dan mahluk sosial; serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi
berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena pembangunan
nasional merupakan upaya praktis untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka
pembangunan itu haruslah didasarkan pada paradigma hakikat manusia “monopluralis”
tersebut. Jadi, dalam realisasi pembangunan nasional di berbagai bidang untuk
mewujudkan peningkatan harkat dan martabat manusia secara konsisten berdasarkan
nilai-nilai hakekat kodrat manusia tersebut, maka pembanguan nasional harus meliputi
aspek jiwa (rohani) yang mencakup akal, rasa, dan kehendak; aspek raga (jasmani);
aspek individu; aspek makhluk sosial; aspek pribadi; dan juga aspek kehidupan
ketuhanannya. Berbagai bidang pembangunan nasional itu antara lain, ialah politik,
ekonomi, hukum, pendidikan, sosial budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan
kehidupan agama.

6.5.1 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Politik


Pembangunan dan pengembangan bidang politik harus bersendikan ontologi
manusia. Hal ini didasarkan pada kenyataan objektif bahwa manusia adalah subjek
negara sehingga kehidupan politik negara harus benar-benar untuk merealisasikan
tujuan demi harkat dan martabat manusia. Sistem politik negara harus berasaskan
tuntutan hak dasar kemanusiaan yang di dalam istilah ilmu hukum dan kenegaraan
disebut hak asasi manusia. Hal ini merupakan perwujudan hak atas martabat
kemanusiaan sehingga sistem politik negara harus mampu menciptakan sistem yang
menjamin hak-hak tersebut. Sistem politik negara juga harus berasaskan kekuasaan
yang bersumber pada hakikat manusia sebagai individu-makhluk sosial yang menjelma
sebagai rakyat. Rakyat merupakan asal mula kekuasaan negara. Oleh karena itu
kekuasaan negara harus didasarkan pada kekuasaan rakyat, bukan kekuasaan
perorangan atau kelompok.
Selain sistem politik negara, Pancasila memberikan dasar-dasar moral politik
negara, sebagaimana telah dikemukakan oleh para pendiri negara seperti Moh. Hatta
yang menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa, atas dasar
Kemanusiaan yang adil dan beradab. Menurut Moh. Hatta, hal ini memberikan dasar-
dasar moral supaya negara tidak berdasarkan kekuasaan. Oleh karena itu dalam politik
negara, para elit politik dan para penyelenggara negara harus berpegang teguh pada budi
pekerti kemanusiaan dan cita-cita moral rakyat yang luhur. Dalam sila Pancasila
tersusun atas urut-urutan sistematis, bahwa alam politik negara harus mendasarkan pada
kerakyatan (Sila IV). Adapun pengembangan dan aktualisasi politik negara berdasarkan
moralitas, berturut-turut ialah moral Ketuhanan (Sila I), moral kemanusiaan (Sila II)
dan moral persatuan, yaitu ikatan moralitas sebagai suatu bangsa (Sila III).
Dapat dikatakan bahwa pengembangan politik negara harus bersendikan
moralitas sebagaimana tertuang dalam sila-sila Pancasila. Dengan demikian, praktik-
praktik politik yang menghalalkan segala cara dengan memfitnah, memprovokasi, dan
menghasut rakyat yang tidak berdosa untuk diadu domba dapat dielakkan.

6.5.2 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Ekonomi


Pada awalnya pengembangan ekonomi didasarkan pada persaingan bebas yang
pada akhirnya menghasilkan yang kuat menang. Hal ini merupakan implikasi dan
perkembangan ilmu ekonomi pada akhir abad ke-18 yang menumbuhkan ekonomi
kapitalis. Atas dasar kenyataan objektif ini, maka pada awal abad ke-19 di Eropa
muncul pemikiran sebagai reaksi atas perkembangan ekonomi tersebut, yaitu
sosialisme-komunisme yang memperjuangkan nasib kaum proletar yang ditindas oleh
kaum kapitalis. Sistem ekonomi yang berdasarkan sosialisme komunisme mengandung
kelemahan seperti tidak mengakui kepemilikan individu sehingga tidak mendorong
lahirnya hak untuk berinisiatif dan berkompetisi. Oleh karena itu dipandang sangat
penting untuk mengembangkan sistem ekonomi yang bersifat humanistik.
Pengembangan ekonomi bukan hanya untuk mengejar pertumbuhan saja melainkan
demi kemanusiaan dan demi kesejahteraan seluruh rakyat.
Pengembangan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari nilai moral kemanusiaan.
Demikian halnya karena pada hakikatnya tujuan ekonomi adalah untuk memenuhi
kebutuhan manusia agar manusia menjadi lebih sejahtera. Jadi, ekonomi harus
berdasarkan kepentingan masyarakat umum, yaitu demi kesejahteraan masyarakat.
Harus dihindari pengembangan ekonomi yang didasarkan pada persaingan bebas,
monopoli, dan lainnya yang hanya menimbulkan, penderitaan dan kesengsaraan
manusia karena penindasan manusia lainnya. Dengan demikian perekonomian
Indonesia bersendikan kekeluargaan, sebagaimana dinyatakan pada butir kelima
Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. Keadilan sosial dalam
aspek ekonomi tersebut harus memenuhi kebutuhan hidup manusia secara layak.

6.5.3 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Budaya


Pembangunan aspek sosial budaya hendaknya didasarkan pada sistem nilai yang
sesuai dengan nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat di Indonesia. Nilai budaya itu
digunakan sebagai kerangka pikir bangsa Indonesa untuk melakukan reformasi di segala
bidang. Sangat disayangkan bahwa sebagai antiklimaks proses reformasi sering terjadi
kemandekan (stagnasi) nilai sosial budaya dalam masyarakat. Tidak mengherankan
bahwa di berbagai wilayah Indonesia dewasa ini muncul berbagai macam gejolak yang
sangat memprihatinkan antara lain amuk masa yang cenderung anarkis dan bentrok
antarkelompok masyarakat yang bermuara pada masalah politik.
Pengembangan sosial budaya harus mengangkat nilai-nilai Pancasila. Dalam
prinsip etika, Pancasila pada hakekatnya bersifat humanistik; artinya, nilai-nilai
Pancasila didasarkan pada nilai kebaikan yang bersumber pada harkat dan martabat
manusia sebagai makhluk yang berbudaya. Sebagaimana dirumuskan dalam sila kedua
Pancasila, “Kemanusiaan yang adil dan beradab,” maka Pancasila harus menjadi
sumber normatif bagi peningkatan humanisasi dalam bidang sosial budaya. Sebagai
kerangka berpikir manusia, Pancasila pun dapat menjadi (1) pendorong untuk bersikap
dalam kehidupan berbangsa, yaitu melepaskan simbol budaya dari keterikatan struktur
masyarakat, dan (2) transendentalisasi, yaitu meningkatkan derajat kemanusiaan dan
kebebasan rohani.
Dalam proses reformasi dewasa ini sering kita saksikan gejolak masyarakat yang
jauh dari nilai kemanusiaan yang beradab. Hal ini merupakan akibat perbenturan
kepentingan politik demi kekuasaan sehingga masyarakat melakukan aksi (demontrasi
yang disertai oleh kekerasan, penjarahan, dan lain-lain) sebagai akibat akumulasi
persoalan politik. Suatu aksi yang tidak beradab dan tidak manusiawi itu sering
mendapat afirmasi politis dari kalangan elit politik tertentu. Demikian pula
meningkatnya fanatisme di berbagai daerah mengakibatkan lumpuhnya keberadaban di
kalangan masyarakat. Oleh karena itu, suatu tugas berat bagi bangsa Indonesia
pascareformasi dewasa ini ialah mengembangkan aspek sosial budaya sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila, yakni Ketuhanan, nilai kemanusian, nilai persatuan, dan nilai
kerakyatan.

6.5.4 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Bidang Hankam


Negara pada hakikatnya merupakan masyarakat hukum. Demi tegaknya hak
warga negara maka diperlukan peraturan perundangan negara, baik dalam rangka
mengatur ketertiban warga negara, maupun dalam rangka melindungi haknya. Oleh
karena itu negara bertujuan melindungi segenap wilayah negara dan bangsa Indonesia.
Atas dasar pengertian ini, maka keamanan merupakan syarat mutlak tercapainya
kesejahteraan warga negara. Demi tegaknya integritas seluruh masyarakat negara
diperlukan suatu pertahanan negara. Untuk itu diperlukan aparat keamanan dan penegak
hukum. Oleh karena Pancasila sebagai dasar negara berlandaskan hakikat kemanusiaan,
maka pertahanan dan keamanan negara harus ditujukan pada tercapainya harkat
manusia sebagai pendukung pokok negara. Demikianlah pertahanan dan keamanan
negara harus diarahkan pada tujuan demi terjaminnya harkat dan martabat manusia,
khususnya hak asasi manusia. Pertahanan dan keamanan bukanlah untuk kekuasaan
sebab kalau demikian halnya sudah dapat dipastikan terjadi pelanggaran hak asasi
manusia.
Pertahanan dan keamanan negara bukan hanya untuk suatu kelompok warga
atau kelompok politik tertentu yang berakibat negara menjadi totaliter dan otoriter. Oleh
karena itu, pertahanan dan keamanan negara harus dikembangkan berdasarkan nilai
yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Pertahanan dan keamanan negara harus: (1)
ditujukan pada tercapainya kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa (sila pertama dan kedua); (2) dilakukan demi kepentingan seluruh warga
negara (sila ketiga); (3) mampu menjamin hak dasar persamaan derajat dan kebebasan
kemanusiaan (sila keempat) dan ditujukan pada terwujudnya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat (sila kelima). Dengan demikian, negara menjalankan fungsinya yang
sebenarnya sebagai suatu negara hukum, bukan sebagai suatu negara yang berlandaskan
kekuasaan.

CATATAN KRITIS
Dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia, Pancasila telah diakui sebagai
ideologi yang membentuk identitas bersama, sekaligus menjadi acuan untuk
membangun tatanan masyarakat yang dicita-citakan. Pengakuan terhadap Pancasila
sebagai ideologi nasional merupakan hasil konsensus seluruh kelompok masyarakat.
Hal ini dapat terjadi karena adanya kesadaran bahwa nilai-nilai yang terkandung di
dalam Pancasila, yakni nilai ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial, merupakan nilai-nilai yang dipandang baik
sehingga menjadi tujuan setiap warga negara Indonesia.
Sebagai makhluk sosial sekaligus individual, manusia Indonesia terkait dengan
berbagai fenomena dan latar belakang budaya yang berasal dari beragam suku yang ada
di Indonesia. Meskipun terdapat perbedaan, ada yang mempersatukan mereka, yaitu
cita-cita bersama menuju Indonesia Jaya dengan manusia Indonesia yang berkualitas
dan berkehidupan yang layak. Perilaku manusia yang baik menjadi inti tercapainya cita-
cita itu. Dalam kehidupannya bernegara dan berbangsa, hal itu menjadikan manusia
senantiasa memiliki hak dan kewajiban, baik hak maupun kewajiban individu dan
sosial. Dimensi sosial politis menekankan bagaimana, dalam hubungannya dengan
sesama, manusia harus mematuhi norma dan kewajiban moral.
Di samping itu, manusia Indonesia juga memiliki kebebasan dan tanggung
jawab sebagai makhluk yang hidup dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Kebebasan yang dimilikinya tidak mutlak. Sebagai contoh, ia tidak boleh berbuat
sesuka hatinya tanpa menghargai norma yang ada (misalnya norma agama, keluarga,
negara, universitas, dan tempat bekerja). Dalam kehidupan bermasyarakat, ia harus
menghargai sesama, baik yang memiliki pendapat yang sama maupun yang berbeda
dengannya, dan menghargai norma atau hukum positif yang ada serta kebijakan yang
berasal dari suatu lembaga negara, sejauh semuanya itu diterapkan untuk masyarakat
dan demi kebaikan bersama.
Sebagai akibat dari rumusan Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 maka Pancasila
merupakan sebuah peristiwa politik yang mengandung unsur filsafat politik tentang
dasar negara Republik Indonesia. Apa artinya itu? Kehidupan politis suatu negara dapat
dikaji secara kritis dengan melihat adanya norma dan kewajiban yang berkaitan dengan
kehidupan bernegara, misalnya konsep negara (state), kekuasaan (power), pengambilan
keputusan (decision making), kewenangan (authorithy), pembagian (distribution), serta
alokasi. Norma dan kewajiban itu haruslah sesuai dengan tujuan atau kepentingan
seluruh masyarakat.

BAB VII
UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Bab ini akan menguraikan sejarah terbentuknya Undang-Undang Dasar 1945


(UUD 1945), pelaksanaan UUD 1945, dan amandemen UUD 1945. Dengan dinamika
keberadaan UUD (termasuk di dalamnya amandemen), diharapkan kehidupan
ketatanegaraan Indonesia akan menjadi lebih baik.

7.1 SEJARAH TERBENTUKNYA UUD 1945


Bangsa Indonesia lahir dari sejarah dan kebudayaan yang tua melalui kebesaran
kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram, yang kemudian mengalami masa penjajahan yang
cukup panjang. Penjajahan telah membawa penderitaan yang sangat pedih. Bagi bangsa
Indonesia, wujud penderitaan yang diakibatkan oleh penindasan kaum penjajah ialah, antara
lain, dominasi di bidang politik; eksploitasi atau penghisapan di bidang ekonomi; masuknya
kebudayaan penjajah ke dalam kebudayaan Indonesia dengan berbagai cara, baik halus maupun
paksaan; dan diskriminasi di bidang sosial yang menempatkan bangsa penjajah pada kedudukan
yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bangsa Indonesia yang hanya dianggap sebagai
bangsa kelas rendah.
Penderitaan tersebut kemudian membangkitkan semangat bangsa Indonesia
untuk melawan penjajah tetapi perlawanan terhadap kaum penjajah melalui pergerakan
nasional baru terjadi pada awal abad XX, yang diawali dengan Pergerakan Budi Utomo
yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908. Berdirinya Budi Utomo disusul dengan
pendirian organisasi lain termasuk organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1928
lahirlah Sumpah Pemuda, yang merumuskan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia
dengan semboyan, “satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa Indonesia.” Setelah Sumpah
Pemuda timbullah angkatan yang secara tegas memperjuangkan Indonesia Merdeka.
Perjuangan melawan penjajah Belanda terus berlanjut hingga runtuhnya penjajahan
Pemerintah Hindia Belanda yang menyerah kepada Jepang pada tahun 1942.
Jepang memasuki Perang Dunia II pada tanggal 7 Desember 1941 dengan cara
menyerang kekuatan armada Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawai. Jepang
kemudian menyerang ke Selatan dan menduduki tanah jajahan negara-negara Barat.
Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat pada tanggal 9 Maret 1942. Sebelum
Jepang menyerbu Hindia Belanda, Jepang telah berpropaganda secara gencar bahwa
mereka akan membebaskan bangsa Asia dari penjajahan Barat, sehingga tidak
mengherankan bahwa kedatangan tentara Jepang mula-mula disambut dengan gembira
oleh rakyat. Namun, sesungguhnya Jepang tidak bermaksud untuk menolong atau
memerdekakan bangsa-bangsa Asia. Niat Jepang segera tampak dari tindakan kerasnya,
antara lain pernyataannya bahwa daerah-daerah yang diduduki Jepang segera mendapat
pemerintahan militer, melarang nasional mereka masing-masing.
Pada tahun 1944 tentara Jepang mengalami kekalahan di semua medan perang
pertempuran. Jepang kemudian mencoba mengambil hati bangsa yang dijajah seperti
Indonesia, Filipina, dan Birma. Ini dilakukan agar bangsa-bangsa tersebut tetap
membantunya dalam perang melawan sekutu. Pada tanggal 7 September 1944 di depan
parlemen di Tokyo pemerintah Jepang menjanjikan kemerdekaan bersyarat kepada
bangsa Indonesia: jika Jepang memenangkan perang, maka Indonesia diperbolehkan
melakukan hal-hal tertentu seperti mengibarkan bendera merah putih di samping
bendera Jepang, menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan membicarakan soal-soal
politik. Pada tanggal 1 Maret 1945 janji kemerdekaan itu diulang kembali, tetapi kini
tanpa syarat. Maka pada tanggal 29 April 1945 dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-
usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) beranggotakan 62 orang, dengan
Dr. Radjiman Wedyadiningrat sebagai ketua dan R. P. Soeroso sebagai ketua muda.
Badan itu ditugasi untuk mempelajari hal-hal yang diperlukan untuk menyelenggarakan
negara merdeka. Kemudian anggota BPUPKI ditambah jumlahnya sehingga menjadi 68
orang. Pada tanggal 28 Mei 1945 anggota BPUPKI dilantik oleh pembesar tertinggi
balatentara Jepang di Jawa dan pada tanggal 29 Mei keesokan harinya mulailah sidang
yang pertama BPUPKI yang berlangsung hingga tanggal 1 Juni 1945, dan sidang kedua
dari tanggal 10 Juli hingga 16 Juli 1945.
Melalui perdebatan yang sengit, pada tanggal 16 Juli 1945 BPUPKI berhasil
menyusun Rancangan Undang-Undang Dasar yang kemudian dilaporkan kepada
Pemerintah Balatentara Jepang disertai usulan agar dibentuk suatu badan baru yang
jangkauannya lebih luas. Atas dasar usulan itu maka dibentuklah Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 7 Agustus 1945. PPKI beranggotakan 21
orang dengan Ir. Soekarno sebagai ketua dan Drs. Moh Hatta sebagai wakil ketua.
Pada tanggal 9 Agustus 1945, ketua dan wakil ketua PPKI beserta mantan ketua
BPUPKI diminta menghadap Jendral Besar Terauchi, Panglima Besar Tentara Jepang
derah Selatan yang berkedudukan di Dalat, suatu kota di sebelah Utara kota Saigon
(Kota Ho Chi Minh). Dalam upacara singkat di Dalat tanggal 12 Agustus itu, Jendral
Besar Terauchi menyampaikan dua hal.
Pertama, Pemerintah Agung di Tokyo telah menyetujui kemerdekaan bangsa Indonesia.
Kedua, kapan kemerdekaan Indonesia itu akan diumumkan terserah kepada PPKI yang
dipimpin oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta.
Pada tanggal 14 Agustus 1945 para pejuang yang bergerak di bawah tanah
memberitahukan bahwa Jepang telah meminta berdamai kepada Sekutu. Mereka
meminta agar Ir. Soekarno sendiri, sebagai pemimpin rakyat, menyatakan kemerdekaan.
Dengan menyerahnya Jepang pada sekutu, maka semua janji Jepang untuk kemerdekaan
bangsa Indonesia telah dicabutnya, sehingga sejak itu bangsa Indonesia mengambil
putusan untuk menentukan nasib di tangannya sendiri. Hal ini membuktikan bahwa
kemerdekaan bangsa Indonesia bukan hadiah Jepang.
Teks Proklamasi disusun dan, setelah disetujui, kemudian ditandatangani oleh Ir.
Soekarno dan Drs Moh. Hatta, atas nama bangsa Indonesia, menjelang dinihari tanggal
17 Agustus. Pagi harinya, teks itu dibacakan oleh Ir. Soekarno di halaman rumahnya,
Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Isi lengkap teks proklamasi itu ialah sebagai berikut:

Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain
diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-
singkatnya.

Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun


‘45
Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno/Hatta.

Pernyataan proklamasi tersebut membawa bangsa Indonesia bebas dari


penjajahan Jepang. Dengan semangat persatuan, maka pada kesokan harinya, tanggal 18
Agustus 1945, ketua menambah anggota PPKI dari 21 orang menjadi 27 orang. Setelah
mengadakan perubahan yang mendasar atas Rancangan Undang-Undang Dasar yang
disusun oleh BPUPKI, yaitu sebagai akibat dihapuskannya “tujuh kata” dari sila
pertama dasar negara dalam Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar dan lain-
lain perubahan, maka pada tanggal 18 Agustus 1945 Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia yaitu UUD 1945, secara sah ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemedekaan
Indonesia. UUD 45 itu memuat (1) Pembukaan yang terdiri atas 4 alinea; (2) Batang
Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 yang berisi 37 Pasal yang dikelompokkan dalam
16 Bab, 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan; dan (3) Penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945 yang terbagi dalam Penjelasan Umum dan Penjelasan
Pasal demi Pasal.

7.2 PELAKSANAAN UUD 1945


Dalam kurun waktu 1945—1949, Undang Undang Dasar 1945 tidak dapat
dilaksanakan dengan baik karena berbagai situasi dan kondisi yang tidak stabil dalam
kehidupan politik. Usaha-usaha dilakukan untuk mempertahakan kemerdekaan yang
baru diproklamasikan. Sementara itu, pihak kolonial Belanda justru ingin menjajah
kembali Indonesia yang telah merdeka. Segala perhatian bangsa dan negara diarahkan
untuk memenangkan Perang Kemerdekaan.
Sistem pemerintahan dan kelembagaan yang ditentukan dalam Undang-Undang
Dasar 1945 belum dapat dilaksanakan. Dalam kurun waktu itu sempat diangkat
Anggota DPA Sementara, sedangkan MPR dan DPR belum dapat dibentuk. Dalam hal
ini masih diberlakukan ketentuan Aturan Peralihan pasal IV yang menyatakan,
“Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Petimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya
dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional.”
Dalam kurun waktu 1959—1966, sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Undang-
Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia. Sejak itu telah cukup banyak pengalaman yang diperoleh dalam melaksana-
kan Undang-Undang Dasar 1945. Apabila diadakan perbandingan mengenai
pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 untuk kurun waktu antara 1950-1965 (Orde
Lama) dan kurun waktu 1966—1998 (Orde Baru), maka terlihat serta dirasakan
kemajuan yang telah dicapai dalam pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara
murni dan konsekwen oleh Orde Baru. Pada masa Orde Lama, lembaga-lembaga negara
seperti MPR, DPR, DPA, dan BPK belum dibentuk berdasarkan Undang-Undang
seperti ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Lembaga-lembaga negara yang
dibentuk masih bersifat sementara. Pada masa Orde Lama, Presiden, selaku pemegang
kekuasaan eksekutif dan pemegang kekuasaan legislatif bersama-sama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat, telah menggunakan kekuasaannya dengan tidak semestinya.
Presiden telah mengeluarkan produk legislatif yaitu Undang-Undang (menurut UUD
1945 harus dengan persetujuan DPR) dalam bentuk Penetapan Presiden, tanpa
persetujuan DPR. Selain itu terdapat pula penyimpangan lainnya, antara lain:
 MPRS, dengan Ketetapan No. I/MPRS /1960 telah mengambil keputusan
menetapkan pidato Presiden tanggal 17 Agusrus 1959 yang berjudul “Penemuan
Kembali Revolusi Kita” yang lebih dikenal dengan Manifesto Politik Republik
Indonesia (Manipol) sebagai GBHN bersifat tetap, yang jelas bertentangan dengan
ketentuan UUD 1945.
 MPRS telah mengambil keputusan untuk mengangkat Ir. Soekarno sebagai
Presiden seumur hidup. Hal ini bertentangan dengan ketentuan UUD 1945, yang
menetapkan jabatan Presiden lima tahun.
 Hak budget DPR tidak berjalan karena setelah tahun 1960 Pemerintah tidak
mengajukan Rancangan Undang-Undang APBN untuk mendapat persetujuan DPR
sebelum berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan. Pada tahun 1960, karena
DPR tidak dapat menyetujuai rancangan Pendapatan dan Belanja Negara yang
diajukan oleh Pemerintah, Presiden membubarkan DPR hasil Pemilihan Umum
1955 dan membentuk DPR Gotong Royong, disingkat DPR-GR.
 Pimpinan lembaga-lembaga negara dijadikan menteri-menteri negara dan
Presiden sendiri menjadi ketua DPA, hal yang tidak sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Dasar 1945.
Itulah beberapa contoh kasus penyimpangan konstitusional yang serius terhadap
pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945. Penyimpangan itu mengakibatkan tidak
berjalannya sistem yang ditetapkan UUD 1945, memburuknya keadaan politik dan
keamanan, dan terjadinya kemunduran di bidang ekonomi yang mencapai puncaknya
dengan pemberontakan G-30 S PKI. Pemberontakan G-30 S PKI dapat digagalkan
berkat kewaspadaan dan kesigapan ABRI dengan dukungan kekuatan rakyat. Kemudian
lahirlah Orde Baru yang bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 secara murni dan konsekwen.
Dalam kurun waktu 1966-1998, dengan berlandaskan Supersemar (Surat
Perintah Sebelas Maret), pengemban Supersemar, Letnan Jendral TNI Soeharto,
membubarkan PKI dan ormas-ormasnya yang disambut dengan penuh kelegaan oleh
seluruh rakyat. Dengan semangat Supersemar itu pula Orde Baru mawas diri dan
melaksanakan koreksi total dengan cara konsistusional, terutama dalam menegakkan,
mengamankan, dan mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara
murni dan konsekwen.
Orde Baru telah berhasil menyalurkan aspirasi rakyat dalam mengadakan
koreksi terhadap penyimpangan, kekacauan, dan keadaan buruk di berbagai bidang
selama masa Orde Lama dengan cara konstitusional, artinya melalui sidang MPRS,
yaitu Sidang Umum MPRS IV tahun 1966, sidang Istimewa MPRS tahun 1967, dan
Sidang Umum MPRS V tahun 1968. Orde Baru berusaha melaksanakan Undang-
Undang Dasar 1945 sebaik-baiknya secara murni dan konsekuen. Pembentukan
lembaga-lembaga negara, MPR, DPA, DPR, BPK, dan M.A. diusahakan sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 menuntut bahwa
pembentukan lembaga negara menuntut harus dilakukan dengan Undang-Undang. Oleh
karena itu Pemerintah bersama dengan DPR berusaha keras membuat Undang-Undang,
antara lain:
 Undang-Undang No. 15 tahun 1969 tentang Pemilu;
 Undang No.16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan
DPRD;
 Undang-Undang No. 3 tahun 1967 tentang Dewan Pertimbangan Agung, yang
kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 4 tahun 1978;
 Undang-Undang No. 5 tahun 1973 tentang Susunan dan Kedudukan Badan
Pemeriksa Keuangan; dan
 Undang-Undang N0. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan–ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman yang menjadi landasan kerja bagi Mahkamah Agung dan
Badan-badan Peradilan lainnya.

Undang-Undang Dasar 1945 kurun waktu 1998 sampai dengan sekarang (masa
Reformasi). Dalam proses reformasi hukum dewasa ini, banyak yang melontarkan ide
untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Amandemen tidak dimaksudkan
untuk mengganti sama sekali UUD 1945, tetapi hanya merupakan suatu proses
penyempurnaan terhadap UUD 1945 tanpa dengan serta-merta mengubah UUD itu
sendiri. Amandemen lebih merupakan perlengkapan dan rincian yang dijadikan
lampiran otentik bagi UUD tersebut. Dengan sendirinya amandemen DIBUAT dengan
melakukan berbagai perubahan pada pasal DAN memberikan tambahan-tambahan
(Kaelan, 2003: 177; Mahfud, 199: 64).
Ide tentang amandemen terhadap UUD 1945 tersebut didasarkan pada suatu
kenyataan sejarah, bahwa selama masa Orde Lama dan Orde Baru, penerapan terhadap
pasal-pasal UUD telah menumbuhkan sentralisasi kekuasaan, terutama pada Presiden.
Orde Baru berupaya untuk melestarikan UUD 1945 bahkan memperlakukannya seakan-
akan bersifat keramat sehingga tidak boleh diganggu gugat. Demikianlah, tidak ada
sistem kekuasaan dengan “checks and balances”, terutama terhadap kekuasaan
eksekutif. Bagi bangsa Indonesia, proses reformasi terhadap UUD 1945 merupakan
suatu keharusan karena hal itu akan mengantar bangsa Indonesia ke arah tahapan baru
penataan ketatanegaraan.
Amandemen pertama terhadap UUD 1945 dilakukan pada tahun 1999 berupa,
dilakukan dengan memberikan tambahan dan perubahan terhadap pasal 9 UUD 1945.
Kemudian, secara berturut-turut, amandemen kedua dilakukan pada tahun 2000,
amandemen ketiga pada tahun 2001, dan amandemen terakhir pada tahun 2002 yang
disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Demikianlah bangsa Indonesia memasuki
suatu babak baru dalam kehidupan ketatanegaraan yang diharapkan membawa ke arah
perbaikan tingkat kehidupan rakyat. UUD 1945 hasil amandemen 2002 dirumuskan
dengan melibatkan sebanyak-banyaknya partisipasi rakyat dalam mengambil keputusan
politik, sehingga diharapkan sturuktur kelembagaan negara yang lebih demokratis ini
akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan ditetapkannya perubahan Undang-
Undang Dasar, maka Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 terdiri atas
pembukaan dan pasal-pasalnya (Tiga UUD Republik Indonesia, 2006: 196).

7.3 REFORMASI

Pada tahun 1997 bangsa Indonesia dilanda krisis, bukan hanya krisis di bidang
ekonomi dan moneter, melainkan juga krisis di bidang politik. Krisis tersebut yang
semula dipicu oleh ketidakmampuan pemerintah mengatasi gejolak moneter, membawa
implikasi politik yang besar yaitu krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Dalam
keadaan itu muncul desakan agar krisis di bidang ekonomi dan moneter segera diatasi.
Selain itu juga muncul desakan agar segera dilaksanakan reformasi menyeluruh,
terutama di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Sidang Umum MPR pada bulan Maret
1998 antara lain memilih dan mengangkat H.M. Soeharto sebagai Presiden RI untuk
ketujuh kalinya berdasarkan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1998 dan B.J. Habibie
sebagai Wakil Presiden berdasarkan Ketetapan MPR No. VI/MPR/1998.
Krisis moneter tersebut oleh para pakar diperkirakan akan berlangsung 2-3 tahun
lagi. Demonstrasi mahasiswa makin marak dan mulai diikuti oleh dosen dan
cendekiawan lain. Di tengah maraknya tuntutan reformasi, pada tanggal 1 Mei 1998
Presiden Soeharto mengundang Pimpinan DPR, Pimpinan Fraksi-fraksi di DPR, dan
Pimpinan ketiga organisasi sosial politik untuk membahas perkembangan situasi.
Pertemuan tersebut tidak mendapat tanggapan yang berarti dari para mahasiswa.
Mahasiswa menegaskan agar dilaksanakan reformasi politik. Selain mahasiswa, unjuk
rasa juga dilakukan oleh masyarakat umum.
Di tengah kesulitan ekonomi, pada tanggal 4 Mei 1998 pemerintah
mengeluarkan keputusan yaitu kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif dasar
listrik melalui Keputusan Presiden No. 69 dan 70 tahun 1998. Kebijakan tersebut
mendapat tanggapan serius dari Komisi V DPR yang kemudian meminta pemerintah
membatalkannya. Pemerintah dituding tidak memikirkan beban berat rakyat akibat
krisis moneter.
Aksi mahasiswa di sejumlah kota besar semakin berani dengan turun ke jalan.
Pada tanggal 12 Mei 1998 petang, empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas
ditembak petugas dari jembatan layang di luar kampus. Peristiwa bentrokan bermula
ketika para mahasiswa menolak permintaan petugas keamanan agar masuk ke areal
kampus sekitar pukul 6 sore. Aparat keamanan tidak sabar lagi dengan tindakan
persuasif, serentak melakukan tindakan pembubaran aksi mimbar bebas dan aksi duduk.
Bentrokan fisik tidak dapat dihindarkan. Sebagian mahasiswa lari menyelamatkan diri,
sebagian yang lain berusaha melawan petugas dengan melemparkan batu. Esok harinya,
tanggal 13-14 Mei 1998, terjadi huru-hara, pembakaran toko-toko dan penjarahan di
wilayah Jakarta, Tangerang, dan daerah lainnya yang memakan korban meninggal dan
kerugian harta benda yang sangat besar.
Akibat peristiwa Trisakti dan kerusuhan massal pada tanggal 13-14 Mei 1998,
muncul tuntutan rakyat agar MPR segera menyelenggarakan sidang istimewa dengan
meminta pertanggungjawaban presiden atau pengunduran diri secara konstitusional.
Para mahasiswa semakin gencar melakukan aksi menuntut diadakannya reformasi
menyeluruh, termasuk pergantian kepemimpinan nasional. Para tokoh kritis yang berdiri
di belakang mahasiswa mendesak penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR untuk
meminta pertanggungjawaban Presiden/Mandataris MPR atas krisis nasional yang
menimpa bangsa Indonesia. Dalam pertemuan dengan Presiden tanggal 16 Mei 1998,
Pimpinan DPR menyampaikan aspirasi masyarakat agar Pemerintah mengadakan
reformasi total Presiden mengundurkan diri, dan Sidang Istimewa MPR diadakan.
Kemudian, setelah mengadakan konsultasi dengan fraksi-fraksi, pada tanggal 18 Mei
1998 Pimpinan DPR membuat pernyataan. Ketua DPR Harmoko yang didampingi oleh
empat orang wakilnya, yaitu Syarwan Hamid, Abdul Gafur, Ismail Hasan Metareum,
dan Fatimah Akhmad, menyatakan agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya
mengundurkan diri demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada tanggal 19 Mei 1998 Presiden Suharto menyatakan menolak permintaan
tersebut. Presiden, sebagai Mandataris MPR menyatakan akan melaksanakan dan
memimpin reformasi nasional secepatnya. Untuk itu Presiden akan membentuk Komite
Reformasi dengan tugas untuk segera menyelesaikan Undang-Undang Pemilu, Undang-
Undang Kepartaian, Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD,
Undang-Undang Anti-Monopoli, Undang-Undang Anti-Korupsi, dan lain-lain sesuai
keinginan masyarakat. Pemilu akan dilaksanakan secepatnya berdasarkan Undang-
Undang Pemilu yang baru. Sidang Umum MPR hasil pemilu tersebut akan menetapkan
GBHN, memilih Presiden dan Wakil Presiden, dan ketetapan-ketetapan MPR lainnya.
Presiden menyatakan bahwa ia tidak bersedia lagi dicalonkan sebagai Presiden dan
akan segera mengadakan reshuffle kabinet Pembangunan VII yang dinamakan Kabinet
Reformasi.Gagasan Presiden itu tidak mendapat tanggapan positif dari mahasiswa dan
kelompok kritis. Gedung MPR/DPR dibanjiri oleh ribuan mahasiswa yang menuntut
reformasi secara menyeluruh dan mendesak agar diselenggarakan Sidang Istimewa
MPR. Selain itu mahasiswa minta agar presiden mundur.
Pada tanggal 21 Mei 1998 pagi, bertempat di Istana Merdeka, di hadapan
Pimpinan DPR yang juga merupakan Pimpinan MPR, Presiden Suharto menyatakan
berhenti sebagai Presiden RI. Ini dilakukan karena rencananya untuk membentuk
Komite Reformasi tidak terwujud. Dalam keadaan seperti itu baginya sangat sulit untuk
menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena
itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan setelah memperhatikan
pandangan Pimpinan DPR dan Pimpinan Fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, ia
memutuskan untuk berhenti sebagai Presiden RI terhitung sejak dibacakan pernyataan
itu pada tanggal 21 Mei 1998. Kemudian, sesuai dengan Pasal 8 UUD 1945, Wakil
Presiden B.J. Habibie melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/Mandataris MPR 1998-
2003. Mulai hari itu Kabinet Pembangunan VII demisioner. Untuk menghindari
kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, maka B.J.
Habibie mengucapkan sumpah jabatan Presiden di hadapan Mahkamah Agung RI
setelah Presiden Suharto mengumumkan pernyataan berhenti.
Namun, gerakan reformasi belum selesai. Para pengunjuk rasa tetap menuntut
diadakannya reformasi secara menyeluruh serta pemberantasan praktik korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN). Dalam pertemuan konsultasi antara Presiden B.J. Habibie
dengan pimpinan DPR beserta pimpinan fraksi-fraksi di DPR tanggal 28 Mei 1998
disepakati untuk mempercepat pemilu dan Sidang Istimewa MPR. Dalam rapat
Paripurna tanggal 29 Juni 1998 DPR secara resmi meminta MPR untuk melaksanakan
Sidang Istimewa MPR. Sidang Istimewa MPR dilaksanakan mulai tanggal 10
Nopember 1998; diharapkan bahwa semangat hari pahlawan dapat menjiwai sidang.
Beberapa ketetapan MPR dihasilkan, antara lain Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1998
tentang Pencabutan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum dan
Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang pencabutan Ketetapan MPR No.
II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). MPR
hasil Pemilu tahun itu mengadakan amandemen terhadap UUD 1945.

7.4 AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Sebelum diuraikan tentang amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945,


perlu dipaparkan terlebih dahulu tentang kapan dan bagaimana Pasal 37 dibahas dan
ditetapkan. Pasal tersebut, yang masuk dalam Bab XVI tentang Perubahan UUD, baru
dibicarakan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada rapat hari
pertama tanggal 18 Agustus 1945, tetapi dalam Rancangan UUD yang dibuat oleh
BPUPKI tidak tercantum pasal tentang Perubahan UUD. Pada rapat hari pertama itu,
anggota Iwa Kusuma Sumantri mengusulkan agar ada pasal tentang perubahan undang-
undang dasar. Menanggapi usul itu, Ketua PPKI Soekarno mempersilakan Prof.
Supomo berbicara. Menurut Supomo, memang harus ada Bab XVI tentang perubahan
undang-undang dasar. Ia mengusulkan sebuah pasal baru dengan dua ayat. Ayat (1)
berbunyi, “Untuk mengubah undang-undang dasar, sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir dalam persidangan.” Ayat (2),
“Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota
yang hadir”.
Dalam pembahasan pasal tersebut, anggota Ahmad Subardjo menyetujui kalimat
pertama, tetapi keberatan terhadap kalimat kedua dengan alasan hal itu akan menjadi
diktator dalam praktik kalau disebutkan dengan suara 2/3. Ia mengusulkan “dengan
suara terbanyak saja”, karena dengan adanya keinginan untuk mengubah itu sudah ada
jaminan yang baik. Setelah Supomo memberi penjelasan dan kemudian diadakan
pungutan suara, maka 16 orang anggota PPKI setuju dengan usul Supomo. Dengan
demikian kalimat kedua berbunyi, “Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-
kurangnya 2/3 daripada anggota yang hadir”. Ketika menutup pembicaraan Pasal 37
Ketua berkata, “Tuan-tuan, inilah bab pengunci dan pasal pengunci daripada undang-
undang dasar” Bunyi selengkapnya tentang Pasal 37, adalah sebagai berikut. “(1) Untuk
mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir. (2) Putusan diambil dengan persetujuan
sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir”.
Selesai membahas Pembukaan Undang-Undang Dasar, sebelum membahas
pasal-pasal UUD, Ketua PPKI Soekarno mengatakan, “…Tuan-tuan semuanya tentu
mengerti bahwa undang-undang dasar yang kita buat sekarang ini adalah undang-
undang dasar kilat. … Tuan-tuan nanti mengerti, ini sekadar undang-undang dasar
sementara, undang-undang dasar kilat, bahkan, barangkalai boleh dikatakan, inilah
revolute-grondwet. Nanti kita membuat undang-undang dasar yang lebih sempurna dan
lengkap…” Setelah UUD 1945 disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, undang-undang
dasar tersebut berlaku di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Akan tetapi ketika
negara Republik Indonesia berbentuk federal sejak tanggal 27 Desember 1949 hingga
17 Agustus 1950, UUD 1945 hanya berlaku; di wilayah negara Repubulik Indonesia
yang merupakan negara bagian dari Republik Indonesia Serikat. Mulai 17 Agustus 1950
hingga 5 Juli 1959 UUD 1945 tidak berlaku, yang berlaku adalah UUDS 1950. Baru
mulai 5 Juli 1959 setelah keluar Dekrit Presiden, UUD 1945 berlaku kembali di seluruh
wilayah negara RI.
Pada masa revolusi, Pasal 37 (Perubahan UUD) belum digunakan, demikian
pula pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966). Melihat bahwa pemerintah pada
masa Demokrasi Terpimpin telah melakukan penyelewengan dalam melaksanakan
UUD 1945, maka Pemerintah Orde Baru menyatakan tekad untuk melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Pada masa Orde Baru UUD
1945 disakralkan. Pembicaraan tentang amandemen terhadap pasal-pasal UUD 1945
merupakan hal yang tabu. Perubahan terhadap UUD 1945 menjadi makin sulit bahkan
terhalang setelah MPR pada tahun 1983 mengeluarkan ketetapan tentang Referendum
(Tap No. IV/MPR/1983). Dalam ketetapan tersebut dinyatakan bahwa MPR
berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak dan tidak akan
melakukan perubahan terhadapnya serta akan melaksanakan secara murni dan
konsekuen (Pasal 1). Jika MPR berkehendak untuk merubah UUD 1945, terlebih dahulu
harus meminta pendapat rakyat melalui referendum (Pasal 2). Referendum dilaksanakan
oleh Presiden/Mandataris MPR yang diatur dengan undang-undang.
Pada masa reformasi UUD 1945 tidak lagi disakralkan. Wacana tentang UUD
tersebut terbuka lebar. Ide tentang amandemen terhadap UUD 1945 didasarkan pada
suatu kenyataan sejarah selama masa Orde Lama dan Orde Baru, bahwa penerapan
terhadap pasal-pasal UUD 1945 adanya sentralisasi kekuasaan terutama kepada
Presiden. Oleh karena latar belakang politik inilah maka masa Orde Baru berupaya
untuk melestarikan UUD 1945. Menurut Deliar Noer, dua puluh lima dari tiga puluh
tujuh pasal UUD 1945 interpretatif, sehingga perlu penyempurnaan. Kemudian,
berdasarkan pemikiran-pemikiran lain dan dengan runtuhnya rezim Orde Baru, pada era
reformasi gagasan untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945 semakin kuat.
UUD 1945 tidak lagi disakralkan (Estiko, 201: 3). Beberapa partai politik mencantukan
amandemen terhadap UUD 1945 sebagai program partai. Hasil penelitian oleh
Lembaga Kajian dan Praksis Demokrasi ITB menunjukkan bahwa di antara 48 partai
politik sebanyak 38 partai politik menyatakan mendukung dilakukannya amandemen
terhadap UUD 1945. Partai yang mempunyai komitment tinggi untuk melakukan
amandemen adalah Partai Persatuan Pembangunan, Partai Bulan Bintang, dan Partai
Amanat Nasional. (Basroni, 2000:112).
Sebelum melakukan amandemen, MPR dalam Sidang Istimewa tahun 1998
terlebih dahulu mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Ketetapan MPR No.
IV/MPR/1983 tentang Referendum. Dengan dicabutnya ketetapan tersebut MPR tidak
perlu lagi minta pendapat rakyat untuk mengubah UUD 1945. Sidang Istimewa tersebut
juga membuat ketetapan (Ketetapan MPR No. XIII/MPR/1998) tentang pembatasan
masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI. Pasal 1 ketetapan tersebut berbunyi:
“Presiden dan Wakil Presiden RI memangku jabatan selama masa lima tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa
jabatan (Sekretariat Jenderal MPR, 2002: 1348).
MPR RI melakukan perubahan terhadap UUD 1945 dengan cara yang sama
seperti amandemen terhadap UUD Amerika Serikat. Artinya, pasal-pasal dari UUD
yang lama tetap tertulis, hanya saja sudah tidak berlaku lagi. Sedangkan pasal-pasal
amandemennya ditempatkan di akhir UUD seperti sebagai tambahan/lampiran. Dalam
tambahan atau lampiran itu dituliskan “Perubahan Pertama UUD Negara RI Tahun
1945” yang diikuti pasal-pasal perubahannya; selanjutnya, “Perubahan Kedua UUD
Negara RI Tahun 19945” diikuti pasal-pasal perubahannya; “Perubahan Ketiga UUD
Negara RI Tahun 1945” diikuti pasal-pasal perubahannya; akhirnya, “Perubahan
Keempat UUD Negara RI Tahun 1945” pasal-pasal perubahannya.
Amandemen atau perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan oleh MPR sebanyak
empat kali: pertama dalam Sidang Umum MPR Tahun 1999, kedua dalam Sidang
Tahunan MPR Tahun 2000, ketiga dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2001, dan
keempat dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Perubahan pertama UUD 1945,
MPR RI mengubah Pasal 5 Ayat (1); Pasal 7; Pasal 9; Pasal 13 Ayat (2); Pasal 14; Pasal
15; Pasal 17 Ayat (2) dan (3); Pasal 20, dan Pasal 21.
Perubahan kedua UUD 1945, MPR RI mengubah dan/atau menambah Pasal 18;
Pasal 18A; Pasal 18B; Pasal 19; Pasal 20 Ayat (5); Pasal 20A; Pasal 22A; Pasal 22B;
Bab IXA, Pasal 25E; Bab X, Pasal 26 Ayat (2), dan Ayat (3); Pasal 27 Ayat (3); Bab
XA, Pasal 28A; Pasal 28B; Pasal 28C; Pasal 28D; Pasal 28E; Pasal 28F; Pasal 28G;
Pasal 28H; Pasal 28I; Pasal 28J; Bab XII, Pasal 30; Bab XV, Pasal 36A; Pasal 36B; dan
Pasal 36C.
Perubahan ketiga UUD 1945, MPR RI mengubah dan/atau menambah Pasal 1
Ayat (2) dan (3); Pasal 3 Ayat (1), (3), dan (4); Pasal 6 Ayat (1) dan (2); Pasal 6A Ayat
(1), (2), (3), dan (5); Pasal 7A; Pasal 7B Ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7); Pasal
7C; Pasal 8 Ayat (1) dan (2); Pasal 11 Ayat (2) dan (3); Pasal 17 Ayat (4); Bab VIIA,
Pasal 22C Ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 22D Ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab VIIB,
Pasal 22E Ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6); Pasal 23 Ayat (1), (2), dan (3); Pasal 23A;
Pasal 23C; Bab VIIIA, Pasal 23E Ayat (1), (2), dan (3); Pasal 23F Ayat (1) dan (2);
Pasal 23G Ayat (1) dan (2); Pasal 24 Ayat (1) dan (2); Pasal 24A Ayat (1), (2), (3), (4),
dan (5); Pasal 24B Ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 24C Ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan
(6).
Perubahan keempat UUD 1945, MPR RI menetapkan hal-hal berikut:
(a) UUD Negara RI Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan
pertama, kedua, ketiga, dan perubahan keempat ini ialah UUD Negara RI Tahun
1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali
dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi
pada tanggal 22 Juli 1959 oleh DPR;
(b) Penambahan bagian akhir pada Perubahan Kedua UUD Negara RI Tahun 1945
dengan kalimat, “Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna MPR RI ke-
9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan MPR RI dan mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan;
(c) Pengubahan penomoran Pasal 3 Ayat (3) dan Ayat (4) Perubahan Ketiga UUD
Negara RI Tahun 1945 menjadi Pasal 3 Ayat (2) dan Ayat (3); Pasal 25E Perubahan
Kedua UUD Negara RI tahun 1945 menjadi Pasal 25A;
(d) Penghapusan judul Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung dan
pengubahan substansi Pasal 16 serta penempatannya ke dalam Bab III tentang
Kekuasaan Pemerintrahan Negara;
(e) Pengubahan dan/atau penambahan Pasal 2 Ayat (1); Pasal 6A Ayat (4); Pasal 8
Ayat (3); Pasal 11 Ayat (1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 Ayat (3); Bab
XIII, Pasal 31 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (4), dan Ayat (5); Pasal 32 Ayat (1), Ayat
(2); Bab XIV, Pasal 33 Ayat (4) dan Ayat (5); Pasal 34 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3),
dan Ayat (4); Pasal 37 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), dan Ayat (5); Aturan
Peralihan Pasal I, II, III; Aturan Tambahan Pasal I dan II.
Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar 1945, maka Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan
pasal-pasalnya (Tiga UUD Republik Indonesia, 2006:196).
PENUTUP

Sebagai kesimpulan dari Buku Ajar I ini ialah bahwa pemahaman tentang
filsafat sangat penting bagi pemahaman yang lebih lanjut, yaitu Pancasila. Filsafat
menjadi akar dan landasan dalam kegiatan orang untuk mencari pengetahuan, baik
pengetahuan sehari-hari maupun pengetahuan ilmiah. Dimulai dengan berpikir tepat
melalui belajar logika, orang atau siapa pun diajak mengenal, mempelajari, dan
mempraktikkan bagaimana proses penalaran manusia itu dan mengekspresikannya ke
dalam berbagai ujaran manusia. Tentu saja yang diminta adalah penalaran yang tepat
dan lurus, artinya kaidah dalam logika ditaati dengan benar.
Penalaran yang tepat dan benar membuahkan sikap yang kritis dalam
pemahaman manusia untuk mengenal berbagai fenomena di sekitarnya. Untuk itulah
pengenalan berbagai fenomena tersebut diarahkan dengan belajar filsafat sebagai suatu
ilmu. Belajar tentang objek materi dan objek forma, serta metode dalam filsafat
merupakan awal upaya seseorang untuk bersifat kritis. Pengetahuan tentang bagaimana
tiga tema filsafat, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi, sangat berguna dalam
penelusuran secara kritis bagi seseorang untuk mempelajari berbagai fenomena di
sekitarnya dan mengembangkannya dalam penalaran kritis yang lebih lanjut.
Filsafat ilmu menekankan context of justification dan context of discovery, sisi
teoretis dan praksis dari kegiatan ilmiah. Seorang ilmuwan dituntut berpijak pada
kebenaran, baik secara teoretis maupun praktis. Melalui tanggung jawab sebagai
seorang ilmuwan atau calon ilmuwan, perilaku baik dan jujur ditampilkan dalam
kegiatan ilmiahnya
Etika mengajak kita untuk menyadari bahwa perilaku baik dan buruk seseorang
timbul karena berbagai pertimbangan yang mengharuskan kita lebih arif dan bijaksana
tentang hal itu. Melalui pertimbangan yang melihat peran suara hati, kebebasan dan
tanggung jawab, serta hak dan kewajiban seseorang, diharapkan ia dapat berperilaku
etis dan memiliki kaidah moral yang baik, baik sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat.
Belajar tentang ideologi akan mengarahkan tujuan hidup seseorang dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, ideologi juga memiliki beberapa fungsi
lain yang tak kalah pentingnya. Fungsi yang perlu ditekankan di sini adalah sebagai
pembentuk identitas bangsa karena ideologi memiliki kecenderungan untuk
memisahkan ingroup (kita) dari outgroup (mereka). Oleh sebab itu ideologi berfungsi
untuk mempersatukan. Apabila kita bandingkan dengan agama, agama berfungsi juga
mempersatukan orang dari berbagai pandangan hidup, bahkan dari berbagai ideologi.
Sebaliknya, ideologi mempersatukan orang dari berbagai agama. Oleh karena itu pula,
ideologi juga berfungsi untuk mengatasi berbagai konflik atau ketegangan sosial. Di
sini, ideologi mampu berfungsi sebagai “solidarity making” dengan mengangkat
berbagai perbedaan ke dalam tatanan yang lebih tinggi.
Pemahaman Pancasila secara kritis berarti memahaminya dengan landasan
filosofis dan berpikir yang tepat. Untuk itulah pendekatan secara kritis dan logis dan
kritik ideologi menjadi sarana utama dalam mempelajari Pancasila. Pancasila
hendaknya dilihat sebagai suatu realitas, suatu kenyataan yang berasal dari warisan
pemikiran bangsa lndonesia di masa lalu. Sebagai suatu kenyataan yang dapat
dijabarkan melalui butir-butirnya, maka butir-butir itu memiliki substansi dan esensi.
Pendekatan secara logika membawa kita kepada pemahaman bahwa masing-masing
butir tersebut memiliki hubungan yang logis, keteraturan yang sistematis, dan terkait
erat dengan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Sedang pendekatan secara etis
mengajak kita untuk memahami bahwa di dalam Pancasila terdapat kaidah moral berupa
ajaran untuk berperilaku baik dalam pengamalannya. Selain itu, Pancasila juga harus
dilihat sebagai sebuah ideologi yang memiliki ajaran atau ide dengan tujuan tertentu
atau perubahan yang menyertakan kesejahteraan bagi rakyat. Oleh karena itu Pancasila
juga memiliki sifat sebagai ideologi terbuka bagi pembaharuan, bahkan ideologi yang
lain, sejauh itu tidak bertentangan dengan Pancasila. Perilaku etis dapat dihadirkan tidak
saja dalam kegiatan ilmiah tetapi juga ketika seseorang menjadi warga negara
Indonesia. Warga negara yang baik itulah yang ingin dicapai dan itu dapat terwujud
apabila kita menghargai dan memahami Pancasila dengan kritis dan arif.
Sebagai penutup, Buku Ajar I Logika, Filsafat Ilmu, dan Pancasila menjadi
bekal dan fondasi bagi mahasiswa untuk memahami berbagai materi dan substansi pada
Buku Ajar II Manusia, Ahlak, Budi Pekerti, dan Masyarakat, serta Buku Ajar III, yaitu
Bangsa, Negara, dan Lingkungan Hidup di Indonesia. Dengan demikian ketiga Buku
Ajar tersebut saling berintegrasi dan menjadi kesatuan yang terpadu, logis dan
sistematis dalam pengajaran MPKT PDPT.
KATA-KATA PENTING

1. Aksiologi: ilmu pengetahuan yang membahas tentang nilai (value) dan norma yang
berkenaan dengan kehidupan manusia. Aksiologi berkembang menjadi etika dan
estetika. Etika lebih menitikberatkan pada nilai kebaikan yang ada pada perilaku
manusia, sedang estetika membahas tentang pengalaman keindahan manusia yang
diungkapkan melalui perasaan dan persepsinya terhadap karya seni, dan bangun.
2. Epistemologi: ilmu pengetahuan yang membahas tentang sumber, batas, dan
kebenaran dari pengetahuan. Sebagai cabang dari ilmu filsafat, epistemologi juga
berkembang, dan lahirlah bidang ilmu seperti metodologi, logika, dan filsafat ilmu.
3. Etika: cabang dari ilmu filsafat, dan merupakan ilmu pengetahuan yang membahas
tentang prinsip baik dan buruk yang diterapkan pada perilaku seseorang atau
masyarakat.
4. Etika Normatif: salah satu bentuk/jenis etika yang bertitik tolak pada norma-
norma atau aturan yang membatasi manusia dalam berperilaku, misalnya suara hati,
prinsip kebebasan dan tanggungjawab, serta hak dan kewajiban.
5. Etika terapan: bentuk etika yang memiliki sifat praktis, dan dapat diterapkan dan
berguna pada suatu situasi, keadaan, atau lembaga tertentu. Contoh etika terapan
adalah etika profesi yang mengacu pada profesi tertentu, misalnya etika kedokteran,
etika keperawatan, etika bisnis, dan etika lingkungan.

6. Filsafat: ilmu pengetahuan yang mencari hakekat tentang segala sesuatu dari
realitas yang ada dan berlandaskan pada pemikiran yang bersifat rasional, kritis,
sistematis, logis, metodis, dan koheren.
7. Filsafat Ilmu: ilmu pengetahuan yang membahas ciri dan proses atau cara kerja
ilmiah secara kritis. Dalam proses kerja filsafat ilmu pengetahuan terdapat dua
aspek, yaitu aspek justifikasi yang menekankan secara de jure kebenaran ilmiah dan
aspek temuan (discovery) yang secara de facto berupa teknologi.
8. Ideologi: seperangkat ide yang menjadi basis tindakan politik yang terorganisir.
Ada tiga ciri ideologi yakni: a) sebagai world view (pandangan hidup) masyarakat;
b) sebagai model, visi, cita-cita tentang tatanan masyarakat yang baik di masa
depan; dan c) sebagai pedoman bagi perubahan-perubahan politik yang seharusnya
dilakukan.
9. Logika: ilmu tentang berpikir secara tepat. Mempelajari logika secara akademis
memungkinkan seseorang untuk mengetahui metode-metode dan prinsip berpikir.
Dengan dasar pengetahuan ini seseorang dituntut untuk terus menerus melatih dan
mengasah akal budinya sehingga mampu membedakan pemikiran yang tepat dan
teratur dari pemikiran yang sesat dan kacau.
10. Ontologi: ilmu pengetahuan yang membahas tentang keberadaan sesuatu secara
nyata, faktual dan konkret. Sebagai cabang dari ilmu filsafat maka ontologi dalam
perkembangannya memunculkan berbagai studi lain, seperti filsafat manusia,
filsafat budaya, dan metafisika.
11. Pancasila: dasar negara bangsa Indonesia. Sebagai dasar negara bangsa, Pancasila
dapat dikaji secara kritis. Ini berarti selain sebagai pandangan hidup, Pancasila
dapat diteliti sebagai suatu wacana dan ideologi yang ditinjau dari berbagai aspek
filsafat (mencari esensi dan substansi secara metafisis, kosmologis, logis, dan etis).
12. Revolusi Ilmu Pengetahuan: revolusi (perubahan) dalam cara berpikir manusia
untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah yang berlandaskan pada perhitungan
matematis dan aspek pragmatis (kegunaan), terjadi pada abad XVII di Eropa. Sejak
itu lahirlah bentuk ilmu pengetahuan yang memiliki objek yang konkret (terlihat
secara inderawi) dan terukur oleh perhitungan matematika, dan disebut sebagai
ilmu pengetahan kealaman. Contoh ilmu pengetahuan kealaman adalah ilmu
kedokteran, fisika, biologi, dan ilmu kimia.
13. Teori Koherensi: teori kebenaran yang melihat adanya persesuaian subjek dengan
sesuatu yang dilihatnya dan dalam persesuaian tersebut muncul kesepakatan yang
terjadi di antara subjek.
14. Teori Korespondensi: teori kebenaran yang berlandaskan pada persepsi seseorang
(subjek) terhadap sesuatu yang dilihatnya.
15. Teori Pragmatis: teori kebenaran yang bertitik tolak pada kegunaan dari sesuatu
yang diamati atau dikajinya.
DAFTAR PUSTAKA

Alfian, 1986. “Ideologi, Idealisme dan Integrasi Nasional” dalam Jurnal Prisma No. 8,
Agustus 1986.
Andrain, Charles F. 1992 Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial (Terjemahan
Luqman Hakim). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Ball, Terence dan Richard Dagger (ed.). 1995. Ideals and Ideologies (edisi ke-2). New
York: Harper Collins Publishers Inc.
Basroni, Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Tesis, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 2000.
Bertens, K. 1979. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius.
Bertens, K. 2001. Etika. Jakarta: Gramedia.
Budianto, Irmayanti M. 2002. Realitas dan Objektivitas: Refleksi atas Cara Kerja
Ilmiah, Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Copi, Irving M. 1976. Introduction to Logic. New York: The Mcmillan Company.
Eagleton, Terry. 1991. Ideology. London: Verso.
Eatwell, Roger dan Anthony Wright (ed.) 2003. Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer
(Terjemahan Marselus Ruben Payong). Jakarta: Penerbit Mediator.
Ebenstein, Alan (dkk). 2000. Today’s isms (ed. ke-7). New Jersey: Prentice-Hall,
Inc.
Guba, Egon G. (ed.). 1990. The Paradigma Dialog. Sage Publications.
Hardiman, Fransisco Budi. 2003. Kritik Ideologi. Yogyakarta: Buku Baik.
Hayes, Paul M. 1973. Fascism. London: George Allen & Unwin Ltd.
Hayon, Y. P. 2005. Logika: Prinsip-prinsip Bernalar Tepat, Lurus, dan Teratur (Edisi
revisi). Jakarta: ISTN.
Heywood, Andrew. 1998. Political Ideologies (ed.ke-2). New York: Palgrave.
Kaelan, M. S. 1999. Pendidikan Pancasila: Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta:
Pradigma.
Lakatos, Imre dan Alan Musgrave (ed.). 1989. Critism and the Growth of Knowledge.
Cambridge: Cambridge University Press.
Marbun, B.N.1983. Demokrasi Jerman, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Magnis-Suseno, Franz Magnis. 1982. Mengenal Pancasila: Pendekatan Melalui Etika
Pancasila, Yogyakarta: Hanindita
-------------. 1987. Mengenal Pancasila: Pendekatan Melalui Sejarah dan
Pelaksanaannya, Yogyakarta: Hanindita
--------------. 2001. Pemikiran Karl Marx. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Meliono, Irmayanti. 2002. Realitas dan Objektivitas: Refleksi atas Cara Kerja Ilmiah.
Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Notonagoro. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Jakarta: Pantjuran
Tujuh
Poespoprodjo. 1981. Logika, Ilmu Menalar, Bandung: Remaja Karya.
Sastrapratedja, M. 1993. “Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Budaya”, dalam
Pancasila sebagai Ideologi (Oetoyo Oesman dan Alfian (editor)), Jakarta:
BP-7 Pusat.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1992. “Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI)”. Jakarta: Sekretariat Negara Republik
Indonesia.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Vincent, Andrew. 1995. Modern Political Ideologies (ed. ke-2). Cambridge,
Massachussettes: Blackwell Publishers Inc.

***
TENTANG PENULIS

Irmayanti Meliono adalah pengajar tetap Program Studi Filsafat FIB UI dan fasilitator
PDPT UI – MPKT dan MPK Seni di lingkungan Universitas Indonesia. Latar belakang
pendidikannya adalah S1 Filsafat, S2 Program Studi Antropologi Program Pascasarjana
Universitas Indonesia (PPS UI) tahun 1992, dan S3 Filsafat di PPS UI tahun 1998. Saat
ini menjabat Ketua Departemen Kewilayahan FIB UI.

Y. P. Hayon adalah pengajar luar biasa pada Program Studi Filsafat FIB UI. Latar
belakang pendidikannya adalah Sarjana Muda STF Lenaldo Flores tahun 1974, Sarjana
Sastra (S1) UI tahun 1987 dan Magister Humaniora (S2) FSUI pada Program Studi
Filsafat tahun 1997.

Ita Syamtasiah adalah pengajar tetap Program Studi Sejarah FIB UI dan fasilitator
PDPT UI – MPKT di lingkungan Universitas Indonesia. Latar belakang pendidikannya
adalah S1 Sejarah FSUI tahun 1984, dan Magister Humaniora (S2) di Program Studi
Sejarah PPS FIB UI tahun 1992, dan doktor (S3) dengan konsentrasi Sejarah Peradaban
Islam di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Agnes Sri Poerbasari adalah fasilitator PDPT UI – MPKT di lingkungan Universitas


Indonesia. Latar belakang pendidikannya adalah S1 jurusan Hubungan Internasional di
FISIP Universitas Airlangga, dan S2 di Program Studi Kajian Wilayah Amerika,
Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Suharto adalah pengajar tetap Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia. Latar belakang pendidikannya adalah S1 Jurusan Sejarah FSUI
tahun 1972, S2 di UGM tahun 1993 dengan tesis berjudul Pagoeyoeban Pasoendan
1927-1942: Profil Pergerakan Etnonasionalis. Doktor ilmu sejarah (S3) diperolehnya di
UI pada tahun 2001 dengan disertasi berjudul Banten Masa Revolusi 1945—1949:
Proses Integrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai