BUKU AJAR 1:
LOGIKA, FILSAFAT ILMU,
DAN PANCASILA
oleh
Editor :
Liberty P. Sihombing, S.S., M.A.
Depok, 2009
KATA PENGANTAR
Buku Ajar MPK Terintegrasi Program Dasar Pendidikan Tinggi Universitas Indonesia
merupakan revisi dari Modul MPKT 2004. Tujuan revisi ini ialah menambahkan materi
dan substansi liberal arts serta menyempurnakan materi ajar yang telah ada, yaitu
filsafat, logika, filsafat ilmu, etika, ideologi, Pancasila dan UUD 1945.
Berbagai komentar mengenai materi-substansi modul tersebut telah diterima oleh tim
penulis Buku Ajar MPKT. Komentar kritis dari berbagai pihak menjadi asupan bagi tim
penulis untuk melakukan evaluasi terhadap Modul MPKT yang lama. Perubahan dari
Modul MPK Terintegrasi menjadi Buku Ajar MPK Terintegrasi tahun 2009 ini telah
melalui evaluasi dan koreksi dari teknis hingga ke substansi materi.
Buku Ajar MPKT PDPT UI 2009 ini terdiri atas tiga, yaitu Buku Ajar I: Logika,
Filsafat Ilmu dan Pancasila, Buku Ajar II: Manusia, Ahlak, Budi Pekerti, dan
Masyarakat, dan Buku Ajar III: yaitu Bangsa, Negara, dan Lingkungan Hidup di
Indonesia. Ketiga nya saling berkaitan dan terintegrasi satu dengan lainnya.
Tim penyusun Buku Ajar MPKT 2009 mengucapkan terima kasih kepada para penulis
dan narasumber Modul MPKT 2004, MPKT dan Suplemen 2005, serta Modul MPKT
2006, yaitu Ibu S. Margaretha K., Bapak Suhardjo, Bapak Mudjilan, Bapak
Soerjohardjo, Bapak Chaidir Basrie, Ibu D.T.W. Soebagio, Bapak Didik Pradjoko,
Bapak Kasiyanto, Bapak Kresno Yulianto, Bapak H. Zakky Mubarak, dan Dr. dr. Peni
K.S. Muthalib.
Melalui ide dan pemikiran mereka di modul yang terdahulu, mereka telah memberikan
kontribusi yang besar bagi Buku Ajar MPK Terintegrasi.
Tim penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada Direktur Pendidikan Universitas
Indonesia, Prof. Dr. Multamia RMT Lauder, Mse, DEA, yang telah memfasilitasi
penyusunan dan penerbitan Buku Ajar MPKT 2009 ini, dan kepada Ibu Dra. Miranda
D.Z, M.Psi. serta berbagai pihak yang tidak dapat disebut satu persatu, atas kerja sama
yang baik selama ini.
Tiada gading yang tak retak, begitu juga dengan Buku Ajar MPKT 2009 ini, yang masih
jauh dari sempurna. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
yang budiman sangat diharapkan.
Buku ajar ini merupakan kumpulan tulisan tentang berbagai pokok bahasan dan
subpokok bahasan yang membahas tentang filsafat, logika, filsafat ilmu, etika, ideologi,
Pancasila, dan UUD 1945. Meskipun bidang ilmu tersebut apabila dilihat secara
harafiah nampaknya saling bebeda, namun dalam perbedaannya memunculkan
keterpaduan yang logis dan sistematis. Keterpaduan tersebut dimaksudkan agar para
pembaca dapat melihat, mengerti dan memahami dengan jernih dan kritis terhadap
persoalan atau permasalahan yang muncul dan berkaitan dengan bidang tersebut.
Buku Ajar ini mengantarkan pada mahasiswa, fasilitator, narasumber ataupun
pembaca lain untuk belajar dan mengkaji tentang berbagai persoalan dalam kehidupan
manusia dan persoalan ilmiah yang berkaitan dengan dua tema besar yaitu filsafat dan
Pancasila. Pemahaman tentang Liberal Arts telah ada pada Buku Ajar 1, baik secara
eksplisit, maupun implisit, khususnya uraian mengenai filsafat dan logika, bahkan
dikembangkan ke persoalan filsafat ilmu dan ideologi. Dalam pembahasan tentang
filsafat tercakup uraian tentang filsafat itu sendiri, logika, filsafat ilmu dan etika. Untuk
itu pembahasan awal dalam modul ini adalah mengkaji tentang filsafat. Mengapa
pertama kali harus filsafat? Filsafat membawa kita untuk bersikap kritis terhadap
berbagai fenomena atau gejala di sekitar manusia. Sikap kritis berarti mengajak kita
untuk melihat dan mencari sesuatu dengan sikap jernih, sikap arif dan rasional. Pada
akhirnya sikap kritis tersebut membawa kita pada pencarian akan pengetahuan yang
lebih luas. Keinginan untuk mengetahui sesuatu akan menjadi lebih besar sehingga kita
sering bertanya dengan lebih mendalam terhadap sesuatu atau pengetahuan itu. Sikap
kritis juga mengarahkan kita untuk melakukan dialog dengan orang lain, teman,
masyarakat di luar lingkungan kita untuk membahas berbagai persoalan atau fenomena
yang sedang kita hadapi. Berdialog berarti kita mau membuka diri, belajar menghargai
pendapat orang lain serta berargumentasi (mengemukakan pendapat kita) dengan sikap
rasional.
Logika membawa pada kita untuk memiliki penalaran yang tepat dan lurus.
Berpikir tepat dan lurus, artinya pemikiran manusia berlandaskan pada kebenaran secara
rasional. Selain pernyataan yang benar dalam berlogika, muncul pula penalaran yang
lain, yaitu kesesatan berpikir (fallacy) atau pernyataan yang dianggap salah. Agar kita
tidak terjebak dalam kesesatan berpikir maka kita perlu belajar logika dengan baik.
Selain itu kaidah dalam logika atau hukum berpikir menunjukan bahwa melalui rasio
atau akal budi kita dapat membuat berbagai pernyataan yang benar dan tepat melalui
bahasa. Di dalam pemahaman yang lebih luas dan komprehensif, bahasa dapat dianggap
sebagai pengungkapan pengalaman kehidupan manusia. Dengan demikian dapatlah
dimengerti bahwa bahasa memegang peranan penting dalam penalaran manusia atau
berlogika.
Filsafat ilmu mengajak kita untuk secara kritis mempelajari ciri dan cara kerja
ilmu pengetahuan. Landasan filsafat ilmu adalah berpikir kritis, penalaran yang logis,
tepat, sistematis, serta rasional. Itu semua diperoleh ketika kita mempelajari filsafat dan
logika. Melalui filsafat ilmu, kita mengetahui bahwa landasan dalam proses kerja ilmiah
berada pada dua aspek, aspek teoretis dan aspek praksis (aplikatif). Aspek teoretis
berkaitan dengan pembenaran metodologis (context of justification) sedang aspek
praksis melibatkan penemuan teknologi (context of discovery). Kegiatan mahasiswa
mempelajari secara kritis proses kerja ilmiah memerlukan sikap tanggung jawab secara
etis atau moral. Apa artinya itu? Tanggung jawab mahasiswa secara etis atau moral
menuntut kedewasaan berpikir tentang “yang baik” ketika ia sedang belajar di
perguruan tinggi. Perilaku seperti plagiat, mencontek, berbuat onar, dan menggunakan
narkoba tidak dibenarkan secara etis (seperti halnya menurut agama dan hukum).
Studi tentang etika mengajar kita untuk harus peduli dan mendengarkan suara
hati, bebas bertanggungjawab, memahami apa itu hak dan kewajiban. Itu semua
menjadi sangat berharga dalam kehidupan kita manakala dapat diterapkan secara positif
pada perilaku kita yang mengarah pada perilaku yang baik.
Di samping itu, kita juga harus mempelajari pengertian, berbagai bentuk, dan
macam ideologi seperti kapitalisme, kolonialisme, liberalisme, sosialisme, feminisme,
dan ekologisme yang berasal dari Barat. Memahami berbagai ideologi, baik yang
berasal dari Asia maupun Barat akan memberikan nilai tambah bagi kita dalam
menghayati dasar negara kita. Pancasila merupakan ideologi yang terbuka untuk
dipahami dan dikritisi dengan arif, sehingga akan menjadi pegangan dan pola berpikir
bagi kita dan bagi generasi muda Indonesia.
Sebagai warga masyarakat dari bangsa Indonesia, kita juga harus mempelajari
pandangan hidup serta dasar negara kita, yaitu Pancasila. Pancasila harus dipelajari,
dipahami secara kritis, kita tidak boleh terjebak dalam pandangan harafiah dan sempit.
Pancasila akan menjadi sangat menarik apabila kita mempelajari tidak hanya
keberadaannya sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang selalu muncul dalam
setiap penataran saja, tetapi mempelajarinya secara keilmuan dan metafisis.
Mempelajari Pancasila secara metafisis artinya mengkaji bahwa di “belakang” kata
Pancasila terkandung gagasan atau ide tentang berbagai nilai (value) yang ada seperti
nilai moral, nilai kebersamaan, nilai kerukunan, nilai patriotisme, dan nilai persatuan.
Untuk itulah pemahaman Pancasila secara filosofis dan keilmuan sangat penting bagi
kita semua, agar kita memaknainya dengan arif dan kritis, sehingga terungkap melalui
perilaku yang bermakna (meaningfull action) pula.
Pembahasan mengenai UUD 1945, sejarah, pelaksanaan UUD 1945, reformasi
dan amandemen UUD 1945 melengkapi uraian tentang Pancasila. Pemahaman yang
kritis dan arif terhadap berbagai ideologi di luar Pancasila akan memberikan nilai
tambah bagi kita dalam menghayati dasar negara kita.
PENDAHULUAN
Buku ajar ini merupakan kumpulan tulisan tentang berbagai pokok bahasan dan
subpokok bahasan yang membahas tentang filsafat, logika, filsafat ilmu, etika, ideologi,
Pancasila, dan UUD 1945. Meskipun bidang ilmu tersebut apabila dilihat secara
harafiah nampaknya saling bebeda, namun dalam perbedaannya memunculkan
keterpaduan yang logis dan sistematis. Keterpaduan tersebut dimaksudkan agar para
pembaca dapat melihat, mengerti dan memahami dengan jernih dan kritis terhadap
persoalan atau permasalahan yang muncul dan berkaitan dengan bidang tersebut.
Buku Ajar ini mengantarkan pada mahasiswa, fasilitator, narasumber ataupun
pembaca lain untuk belajar dan mengkaji tentang berbagai persoalan dalam kehidupan
manusia dan persoalan ilmiah yang berkaitan dengan dua tema besar yaitu filsafat dan
Pancasila. Pemahaman tentang Liberal Arts telah ada pada Buku Ajar 1, baik secara
eksplisit, maupun implisit, khususnya uraian mengenai filsafat dan logika, bahkan
dikembangkan ke persoalan filsafat ilmu dan ideologi. Dalam pembahasan tentang
filsafat tercakup uraian tentang filsafat itu sendiri, logika, filsafat ilmu dan etika. Untuk
itu pembahasan awal dalam modul ini adalah mengkaji tentang filsafat. Mengapa
pertama kali harus filsafat? Filsafat membawa kita untuk bersikap kritis terhadap
berbagai fenomena atau gejala di sekitar manusia. Sikap kritis berarti mengajak kita
untuk melihat dan mencari sesuatu dengan sikap jernih, sikap arif dan rasional. Pada
akhirnya sikap kritis tersebut membawa kita pada pencarian akan pengetahuan yang
lebih luas. Keinginan untuk mengetahui sesuatu akan menjadi lebih besar sehingga kita
sering bertanya dengan lebih mendalam terhadap sesuatu atau pengetahuan itu. Sikap
kritis juga mengarahkan kita untuk melakukan dialog dengan orang lain, teman,
masyarakat di luar lingkungan kita untuk membahas berbagai persoalan atau fenomena
yang sedang kita hadapi. Berdialog berarti kita mau membuka diri, belajar menghargai
pendapat orang lain serta berargumentasi (mengemukakan pendapat kita) dengan sikap
rasional.
Logika membawa pada kita untuk memiliki penalaran yang tepat dan lurus.
Berpikir tepat dan lurus, artinya pemikiran manusia berlandaskan pada kebenaran secara
rasional. Selain pernyataan yang benar dalam berlogika, muncul pula penalaran yang
lain, yaitu kesesatan berpikir (fallacy) atau pernyataan yang dianggap salah. Agar kita
tidak terjebak dalam kesesatan berpikir maka kita perlu belajar logika dengan baik.
Selain itu kaidah dalam logika atau hukum berpikir menunjukan bahwa melalui rasio
atau akal budi kita dapat membuat berbagai pernyataan yang benar dan tepat melalui
bahasa. Di dalam pemahaman yang lebih luas dan komprehensif, bahasa dapat dianggap
sebagai pengungkapan pengalaman kehidupan manusia. Dengan demikian dapatlah
dimengerti bahwa bahasa memegang peranan penting dalam penalaran manusia atau
berlogika.
Filsafat ilmu mengajak kita untuk secara kritis mempelajari ciri dan cara kerja
ilmu pengetahuan. Landasan filsafat ilmu adalah berpikir kritis, penalaran yang logis,
tepat, sistematis, serta rasional. Itu semua diperoleh ketika kita mempelajari filsafat dan
logika. Melalui filsafat ilmu, kita mengetahui bahwa landasan dalam proses kerja ilmiah
berada pada dua aspek, aspek teoretis dan aspek praksis (aplikatif). Aspek teoretis
berkaitan dengan pembenaran metodologis (context of justification) sedang aspek
praksis melibatkan penemuan teknologi (context of discovery). Kegiatan mahasiswa
mempelajari secara kritis proses kerja ilmiah memerlukan sikap tanggung jawab secara
etis atau moral. Apa artinya itu? Tanggung jawab mahasiswa secara etis atau moral
menuntut kedewasaan berpikir tentang “yang baik” ketika ia sedang belajar di
perguruan tinggi. Perilaku seperti plagiat, mencontek, berbuat onar, dan menggunakan
narkoba tidak dibenarkan secara etis (seperti halnya menurut agama dan hukum).
Studi tentang etika mengajar kita untuk harus peduli dan mendengarkan suara
hati, bebas bertanggungjawab, memahami apa itu hak dan kewajiban. Itu semua
menjadi sangat berharga dalam kehidupan kita manakala dapat diterapkan secara positif
pada perilaku kita yang mengarah pada perilaku yang baik.
Di samping itu, kita juga harus mempelajari pengertian, berbagai bentuk, dan
macam ideologi seperti kapitalisme, kolonialisme, liberalisme, sosialisme, feminisme,
dan ekologisme yang berasal dari Barat. Memahami berbagai ideologi, baik yang
berasal dari Asia maupun Barat akan memberikan nilai tambah bagi kita dalam
menghayati dasar negara kita. Pancasila merupakan ideologi yang terbuka untuk
dipahami dan dikritisi dengan arif, sehingga akan menjadi pegangan dan pola berpikir
bagi kita dan bagi generasi muda Indonesia.
Sebagai warga masyarakat dari bangsa Indonesia, kita juga harus mempelajari
pandangan hidup serta dasar negara kita, yaitu Pancasila. Pancasila harus dipelajari,
dipahami secara kritis, kita tidak boleh terjebak dalam pandangan harafiah dan sempit.
Pancasila akan menjadi sangat menarik apabila kita mempelajari tidak hanya
keberadaannya sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang selalu muncul dalam
setiap penataran saja, tetapi mempelajarinya secara keilmuan dan metafisis.
Mempelajari Pancasila secara metafisis artinya mengkaji bahwa di “belakang” kata
Pancasila terkandung gagasan atau ide tentang berbagai nilai (value) yang ada seperti
nilai moral, nilai kebersamaan, nilai kerukunan, nilai patriotisme, dan nilai persatuan.
Untuk itulah pemahaman Pancasila secara filosofis dan keilmuan sangat penting bagi
kita semua, agar kita memaknainya dengan arif dan kritis, sehingga terungkap melalui
perilaku yang bermakna (meaningfull action) pula.
Pembahasan mengenai UUD 1945, sejarah, pelaksanaan UUD 1945, reformasi
dan amandemen UUD 1945 melengkapi uraian tentang Pancasila. Pemahaman yang
kritis dan arif terhadap berbagai ideologi di luar Pancasila akan memberikan nilai
tambah bagi kita dalam menghayati dasar negara kita.
BAB I
FILSAFAT
Pada bab ini akan dibahas tentang arti filsafat, dan sejarahnya, mulai dari
kemunculan filsafat di Yunani dan perkembangannya. Melalui pemahaman tentang
kurun waktu maka kita dapat mengetahui perkembangan filsafat ilmu pengetahuan
hingga saat ini serta definisi, objek dan metode, pola berpikir kritis, sistematis yang
dipakai dalam belajar filsafat serta dan kegunaannya.
Pada bab ini akan dikaji pengertian dan jenis logika. Logika sangat terkait
dengan pengalaman kebahasaan seseorang, yang dilakukan baik secara lisan maupun
tertulis. Bagaimana merumuskan sesuatu dengan tepat dan benar diuraikan dalam
bagian Definisi. Dibahas juga proposisi dan bentuk proposisi disertai dengan proses
penalaran baik secara langsung maupun tidak langsung, dan hukum silogisme. Proses
penalaran manusia sering mengalami “kesesatan berpikir” karena adanya pelanggaran
terhadap hukum silogisme, karena faktor bahasa, dan karena tidak adanya relevansi
antara premis dan kesimpulannya.
2.2.1 Sumber
Berdasarkan aspek ini kita mengenal adanya dua macam logika, yakni logika
alamiah dan logika ilmiah.
a) Logika Alamiah
Dari nama istilah itu saja sudah tampak apa maksudnya. Setiap manusia, dari
kodratnya, memiliki jenis logika ini justru karena ia adalah makhluk rasional. Sebagai
makhluk rasional, ia dapat berpikir. Hukum-hukum logika yang dibawa sejak lahir ini
memungkinkan manusia dapat bekerja dan bertindak, baik secara spontan maupun
disengaja. Dengan perkataan lain, dengan mendasarkan diri pada akal sehat saja,
manusia mampu berpikir dan bertindak. Tetapi, hukum-hukum logika ini hanya dapat
membantu manusia dalam menghadapi hal-hal keseharian yang bersifat rutin dan
sepele. Bila manusia mulai dihadapkan kepada masalah-masalah yang sulit dan
kompleks, maka logika alamiah dengan hukum-hukum akal sehatnya sudah tidak dapat
diandalkan. Dalam menghadapi masalah-masalah semacam itu manusia dituntut untuk
memiliki pengetahuan yang memadai mengenai hukum-hukum, cara-cara, metode-
metode bagaimana seharusnya bernalar, sehingga dengan demikian baik proses atau
prosedur penalaran maupun kesimpulan yang dihasilkannya betul-betul terjamin
kepastiannya. Untuk maksud itulah manusia membutuhkan logika ilmiah.
b) Logika Ilmiah
Uraian di atas memperlihatkan bahwa kelemahan-kelemahan logika alamiah
akan dapat diatasi bila manusia memiliki logika ilmiah. Jenis logika kedua ini mampu
membekali manusia dengan prinsip-prinsip, norma-norma, dan teknik-teknik tertentu,
yang apabila dipatuhi secara sungguh-sungguh, maka ketepatan proses penalaran
beserta keabsahan kesimpulan dapatlah dipertanggungjawabkan.
Dengan demikian, berbeda dengan logika alamiah yang didapat secara kodrati,
logika ilmiah justru harus diperoleh dengan mempelajari dan menguasai hukum-hukum
penalaran sebagaimana mestinya. Kemudian, dengan menerapkan hukum-hukum
tersebut secara terus-menerus, setiap bentuk kekeliruan penalaran dapat dihindari.
a) Logika Klasik
Jenis logika ini merupakan ciptaan Aristoteles (384—322 seb. M), salah seorang
filsuf besar yang hidup di zaman Yunani kuno. Dia adalah orang pertama yang
melakukan pemikiran sistematis tentang logika. Karena alasan itu, logika ciptaannya itu
disebut juga logika Aristoteles atau logika tradisional. Namun demikian, ia sendiri tidak
menggunakan istilah logika, melainkan istilah analitika dan dialektika. Dengan analitika
dimaksudkan penyelidikan terhadap argumen-argumen yang bertolak dari putusan-
putusan yang benar; sedangkan dialektika adalah penyelidikan terhadap argumen-
argumen yang bertolak dari putusan-putusan yang masih diragukan kebenarannya.
Bagi Aristoteles logika bukanlah suatu ilmu di antara ilmu-ilmu lain. Hal ini
tampak dari organon (yang berarti ‘alat’), judul yang ia berikan kepada kumpulan
karangannya tentang logika. Menurut dia, logika merupakan alat untuk mempraktekkan
ilmu pengetahuan. Dengan perkataan lain, baginya logika adalah persiapan yang
mendahului ilmu-ilmu. Baru kemudian, pada permulaan abad III Masehi, Alexander
Aphrodisias mulai menggunakan istilah logika dengan arti seperti yang dikenal
sekarang (Bertens, 1979: 135—6).
Sampai pertengahan abad ke-19 pembicaraan mengenai logika tetap tidak
bergeser dari apa yang sudah ditetapkan Aristoteles dalam logika klasik dan tidak
mengalami perubahan sedikit pun.
b) Logika Modern
Suatu perkembangan baru dalam logika mulai tampak ketika beberapa ahli
matematika Inggris, seperti A. de Morgan (1806—1871) dan George Boole (1815—
1864), mencoba menerapkan prinsip matematika ke dalam logika klasik. Dengan
menggunakan lambang-lambang nonbahasa atau lambang-lambang matematis, mereka
berhasil merintis lahirnya suatu jenis logika lain, yakni logika modern, yang disebut
juga logika simbolis atau logika matematis, yang sejak pertengahan Abad ke-19
dibedakan dari logika klasik.
a) Logika Formal
Persoalan mengenai bentuk penalaran, yang menjadi pusat penyelidikan dalam
logika formal, tidak lain merupakan persoalan yang menyangkut proses penalaran.
Dalam hal ini yang dipertanyakan adalah: apakah proses penalaran (dari premis-premis
ke kesimpulan) dalam suatu argumen tertentu tepat atau tidak, lurus atau tidak? Bila
ternyata proses penalarannya tepat, maka kesimpulan yang dihasilkan pasti tepat juga.
Dalam logika formal, argumen seperti itu disebut argumen yang sahih (valid). Jadi,
suatu argumen hanya dapat dikatakan sahih dari segi bentuk bila kesimpulan penalaran
tersebut memang diturunkan secara tepat atau lurus dari premis-premisnya atau, dengan
kata lain, bila kesimpulan yang ditarik itu sungguh-sungguh merupakan implikasi logis
dari premis-premisnya. Selain dari itu, bentuk argumen dikatakan tidak sahih. Jelaslah,
bahwa yang memainkan peranan kunci bagi sahih atau tidak sahihnya bentuk suatu
penalaran adalah premis-premis yang berfungsi sebagai landasan atau dasar
penyimpulan. Dengan demikian, penataan premis-premis yang keliru dengan sendirinya
akan berakibat pada kesimpulan yang keliru pula.
b) Logika Material
Bila logika formal berbicara tentang tepat tidaknya proses penalaran, maka
logika material berurusan dengan benar tidaknya proposisi-proposisi yang membentuk
suatu argumen. Itu berarti bahwa suatu argumen hanya dapat dikatakan benar dari segi
isi bila semua proposisi (premis-premis dan kesimpulan)-nya benar, artinya, semua
proposisi itu sesuai dengan kenyataan. Jadi, jika satu saja dari proposisi-proposisi dalam
suatu argumen tidak benar, maka argumen tersebut, sebagai satu kesatuan, dari segi isi,
dikatakan tidak benar.
Dengan demikian, dalam suatu argumen ada dua persoalan yang harus
dibedakan secara tegas, yakni kesahihan bentuk dan kebenaran isi. Pemahaman kita
mengenai kedua aspek tersebut kiranya dapat dibantu dengan memperhatikan Tabel 1:
Bentuk dan Isi Argumen.
LOGIKA LOGIKA
FORMAL ARGUMEN MATERIAL
(Bentuk) (Isi)
(1) Semua binatang adalah makhluk hidup.
Tidak sahih Semua kucing adalah makhluk hidup. Benar
Jadi, semua kucing adalah binatang.
(2) Semua binatang mempunyai sayap.
Sahih Semua mobil adalah binatang. Tidak benar
Jadi, semua mobil mempunyai sayap.
(3) Semua binatang mempunyai sayap.
Tidak sahih Semua mobil mempunyai sayap. Tidak benar
Jadi, semua mobil adalah binatang.
(4) Semua binatang adalah makhluk hidup.
Sahih Semua kucing adalah binatang. Benar
Jadi, semua kucing adalah makhluk hidup.
Argumen (1) di atas dari segi isi benar karena semua proposisinya sesuai dengan
kenyataan. Tetapi dari segi bentuk, argumen tersebut tidak sahih. Hal itu disebabkan
karena kesimpulan "Semua kucing adalah binatang" bukan merupakan implikasi logis
dari premis-premisnya. Dengan perkataan lain, kesimpulan "Semua kucing adalah
binatang" tidak dapat ditarik berdasarkan fakta bahwa "Semua binatang adalah
makhluk hidup" dan bahwa "Semua kucing adalah makhluk hidup".
Sebaliknya, argumen (2) dari segi isi tidak benar karena semua proposisinya
tidak sesuai dengan kenyataan. Namun, dari segi bentuk, argumen tersebut sungguh-
sungguh sahih. Atau, dapat dikatakan bahwa proses penalaran yang tampak dari
argumen (2) itu betul-betul tepat dan lurus. Mengapa? Karena, kalau saja premis-
premisnya ("Semua binatang mempunyai sayap" dan "Semua mobil adalah binatang")
benar, maka kesimpulan "Semua mobil mempunyai sayap" pasti benar juga. Jadi, proses
penarikan kesimpulan dalam argumen itu tepat sekali; kesimpulan itu sungguh-sungguh
merupakan implikasi logis dari premis-premisnya.
Dari argumen (3) dapat kita lihat bahwa, di samping isinya tidak benar (semua
proposisinya tidak sesuai dengan kenyataan), juga bentuknya tidak sahih. Atas dasar
premis-premis "Semua binatang mempunyai sayap" dan "Semua mobil mempunyai
sayap" tidak dapat kita simpulkan "Semua mobil adalah binatang".
Argumen (4) merupakan contoh argumen yang mengandung baik kebenaran isi
maupun kesahihan bentuk. Selain proposisi-proposisinya sesuai dengan kenyataan, juga
proses penalaran yang tercermin dari argumen tersebut sungguh-sungguh tepat.
Perlu pula ditekankan di sini, bahwa dalam konteks ilmu pengetahuan, setiap
argumen yang dibangun harus selalu memperhatikan kedua aspek itu bersama-sama.
Setiap argumen ilmiah harus selalu memperlihatkan kesahihan bentuk dan kebenaran
isi.
b) Logika Induktif
Jenis logika ini berurusan dengan penalaran induktif. Tidak seperti dalam
penalaran deduktif, dalam penalaran induktif, akal budi justru beranjak dari
pengetahuan lama mengenai sejumlah kasus sejenis yang bersifat khusus, individual,
dan konkret yang ditemukan dalam pengalaman inderawi, dan atas dasar itu
menyimpulkan pengetahuan baru yang bersifat umum. Misalnya, observasi empiris
terhadap sejumlah orang Jawa dari berbagai profesi dan latar belakang pendidikan,
ternyata berturut-turut memperlihatkan hasil yang sama pula, yakni suka minum jamu.
Bila hasil observasi itu dituangkan dalam argumen induktif, maka bentuknya akan
tampak seperti dalam Tabel 2: Argumen Induktif.
ARGUMEN INDUKTIF
(A) (B)
Fauzi (orang Jawa, pengusaha) suka minum
Fauzi (orang Jawa, pengusaha) suka minum jamu.
jamu.
Sutrisno (orang Jawa, anggota DPR) suka Sutrisno (orang Jawa, anggota DPR) suka minum
minum jamu. jamu.
Shinta (orang Jawa, penyiarTV) suka minum Shinta (orang Jawa, penyiar TV) suka minum
jamu. jamu.
Jadi, semua orang Jawa suka minum jamu. Bachtiar (orang Jawa, pesulap) suka minum jamu.
Fadillah (orang Jawa, tukang baso) suka minum
jamu.
Dewi (orang Jawa, pedangdut) suka minum jamu.
Jadi, semua orang Jawa suka minum jamu
(Concept) (Term)
(Judgment) (Proposition)
(Reasoning) (Syllogism)
2.3.1 Term
b) Klasifikasi Term
Dalam logika, term dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa aspek, yaitu:
berdasarkan jumlah kata, luas, sifat, dan penggunaan arti.
2) Berdasarkan luas
Dari segi luas, term dapat dikenal dalam tiga jenis, yaitu term singular, term
partikular, dan term universal.
(a) Term singular adalah term yang dengan tegas menunjukkan satu benda, satu
individu, atau satu realitas tertentu, misalnya Pak Amir, Jawa, Gunung Merapi,
gadis tercantik di desa ini, dan danau itu.
(b) Term partikular adalah term yang menunjukkan hanya sebagian dari seluruh
luasnya; sekurang-kurangnya satu, dan yang satu itu tidak tertentu. Misalnya
beberapa gedung, banyak pengunjung, tidak semua peserta, seorang pelajar,
dan sebuah mangga.
(c) Term universal adalah term yang menunjukkan seluruh luasnya tanpa ada yang
dikecualikan, misalnya semua dokter, tak seekor pun, dan tak ada orang Jawa.
3) Berdasarkan sifat
Menurut sifatnya, term dapat dibedakan atas dua macam, yaitu term distributif dan
term kolektif.
(a) Term distributif
Suatu term disebut term distributif apabila pengertian yang terkandung dalam
term itu dapat dikenakan kepada semua anggota atau individu yang tercakup di
dalamnya, satu demi satu tanpa kecuali. Term manusia, misalnya. bersifat
distributif sejauh pengertian ‘manusia’ itu terkena pada setiap individu atau
siapa saja (Anton, Clara, Lina, Peter, Suzy, Lina, dan lain-lain) yang berada
dalam lingkup pengertian ‘manusia’. Begitu juga term binatang. Term ini
bersifat distributif karena mengandung pengertian yang dapat diterapkan pada
setiap individu atau apa saja (kambing, kuda, sapi, ular, bebek, buaya ular, dan
lain-lain) yang bernaung dalam lingkup pengertian ‘binatang’.
Bila term distributif itu menduduki posisi sebagai term subjek dalam proposisi,
maka untuk menentukan luasnya perlu diingat pedoman berikut: term subjek
yang bersifat distributif, sejauh berdiri sendiri dan tidak didahului atau diikuti
kata-kata yang menunjuk pada kuantitas, luasnya bisa universal dan dapat juga
partikular; jadi, tergantung konteksnya. Perhatikanlah contoh berikut.
(1) Manusia dapat khilaf.
(2) Ikan hidup di air.
(3) Ular itu binatang melata.
Ketiga proposisi di atas (1—3), secara berturut-turut memiliki term subjek yang
bersifat distributif (manusia. ikan, ular), yang masing-masing dalam
konteksnya, harus dipahami dalam luas universal. Amati pula contoh lain
berikut.
(4) Orang Batak pandai menyanyi.
(5) Wanita Solo senang memakai kebaya.
(6) Petani Jawa ulet dalam bekerja.
Ketiga proposisi di atas (4—6) secara berturut-turut rnemiliki term subjek yang
bersifat distributif (orang Batak, wanita Solo, petani Jawa), yang masing-
masing, dalam konteksnya, tidak dapat dipahami dalam luas universal,
melainkan partikular.
(b) Term kolektif
Suatu term disebut term kolektif apabila pengertian yang terkandung di
dalamnya, tidak dapat dikenakan kepada anggota-anggota atau individu-
individu yang tercakup di dalamnya satu demi satu, melainkan kepada
kelompok sebagai suatu keseluruhan. Term keluarga, misalnya, bersifat
kolektif karena pengertian ‘keluarga’ tidak menunjuk pada anggota-anggota
atau individu-individu yang berada dalam lingkup pengertian ‘keluarga’,
melainkan pada keluarga itu sendiri sebagai satu kesatuan kelompok atau
komponen. Jadi, yang dikenai pengertian 'keluarga' bukanlah individu-individu
dalam keluarga itu, melainkan komponennya. Di samping term keluarga, masih
terdapat sejumlah term lain yang bersifat kolektif, seperti: bangsa, masyarakat,
divisi, korps, rombongan, orkes, pasukan, armada, tim, partai, suku, dan
kesebelasan.
Apabila term kolektif itu menempati posisi sebagai term subjek dalam suatu
proposisi, maka untuk menentukan luasnya perlu digunakan pedoman berikut.
(1) Bila term subjek terdiri atas satu term kolektif yang berdiri sendiri tanpa
didahului atau diikuti kata-kata yang menunjuk pada kuantitas, maka luasnya
selalu universal. Contoh:
a) Kesebelasan adalah nama regu dalam olahraga sepakbola.
(dikenakan kepada semua kesebelasan).
b) Keluarga mempunyai peranan penting dalam pendidikan generasi muda.
(dikenakan kepada semua keluarga).
c) Orkes sangat membutuhkan kekompakan.
(dikenakan kepada semua orkes).
(2) Bila term subjek yang bersifat kolektif itu secara tegas menunjuk pada satu
kelompok atau satu komponen tertentu, maka luasnya adalah singular.
Contoh:
a) Keluarga Pak Lukman sedang berlibur ke luar negeri.
(menunjuk pada satu keluarga tertentu).
b) Tim terkuat dalam turnamen basket kali ini adalah tim "Garuda".
(menunjuk pada satu tim tertentu).
c) Pasukan itu berhasil menghalau para pengacau.
(menunjuk pada satu pasukan tertentu)
Setelah memperoleh pemahaman yang baik tentang term, langkah berikut yang
harus dilakukan seseorang pada taraf awal dalam menekuni logika adalah menyusun
definisi agar dapat terhindar dari kekacauan pemahaman mengenai arti sebuah term.
Langkah ini pun hanya dapat dilalui secara mulus apabila yang bersangkutan menguasai
sungguh-sungguh isi dan luas pengertian dari term yang hendak didefinisikan dengan
terlebih dahulu mempelajari secara mendalam sub-tema seputar klasifikasi, baik
menyangkut jenis maupun hukum-hukum yang melandasinya (Hayon, 2005: 40—46).
2.3.2 Definisi
a) Pengertian Definisi
Kata definisi berasal dari bahasa Latin definire yang berarti ‘membatasi atau
mengurung dalam batas-batas tertentu’. Dalam rangka kegiatan ilmiah, definisi selalu
dihubungkan dengan suatu konsep atau suatu istilah tertentu yang hendak dijelaskan
artinya. Jadi, definisi secara sederhana dipahami sebagai penentuan batas pengertian
bagi sebuah istilah. Penentuan batas itu sedapat mungkin dilakukan secara singkat,
jelas, tepat, padat, dan lengkap sehingga konsep atau term yang hendak dirumuskan itu
dapat dimengerti secara jelas pula. Dengan demikian, definisi berarti penentuan batas
pengertian sebuah istilah atau konsep secara singkat, tepat,jelas, padat, dan lengkap
sehingga istilah yang hendak dirumuskan itu dapat dimengerti secara jelas dan dapat
dibedakan dari istilah-istilah yang lain.
Dari definisi tentang definisi di atas terungkap bahwa, di satu pihak, suatu
definisi yang baik haruslah berupa rumusan yang singkat, tepat, jelas, padat, dan
lengkap yang mencakup semua elemen yang terkandung dalam konsep yang
didefinisikan dan, di lain pihak, definisi itu harus juga mampu memperlihatkan
perbedaan antara konsep yang hendak dijelaskan itu dengan konsep lainnya.
Pendefinisian secara singkat, tepat, jelas, padat, dan lengkap ini sangat penting artinya
dalam kegiatan ilmiah karena dengan itu kemungkinan akan terjadinya kesimpangsiuran
pandangan serta kesalahpahaman mengenai sebuah konsep dapat dihindari. Kerancuan
pemahaman akan sangat sulit diatasi bila sejak awal suatu pembicaraan atau tulisan
ilmiah tidak terlebih dahulu dikemukakan apa yang dimaksud dengan sebuah konsep.
Dalam sebuah definisi selalu terkandung dua unsur, yaitu hal atau simbol yang
hendak didefinisikan (lazim disebut definiendum), dan hal atau (kumpulan) simbol yang
digunakan untuk menjelaskan arti definiendum (lazim disebut definiens). Dengan
rumusan lain, definiendum adalah istilah yang hendak dijelaskan artinya, sedangkan
definiens adalah perumusan atau penjelasan yang diberikan.
b) Aturan Definisi
Penyusunan definisi yang benar sudah barang tentu harus mengikuti sejumlah
aturan. Dalam tradisi ditetapkan lima aturan yang harus diperhatikan dalam membentuk
definisi yang benar. Satu per satu aturan-aturan itu akan diuraikan di bawah ini.
1) Definiens harus dapat dibolak-balikkan dengan definiendum.
Aturan ini mengandaikan bahwa luas definiens dan definiendum harus sama besar.
Perbedaan dalam luas mengakibatkan kedua unsur itu tidak dapat dipertukarkan
tempatnya. Karena itu, mendefinisikan sepatu sebagai ‘sesuatu yang digunakan
sebagai alas kaki’ tentu saja tidak tepat sebab luas pengertian ‘sesuatu yang
digunakan sebagai alas kaki’ (definiens) lebih besar daripada luas pengertian sepatu
(definiendum). Pembalikan tempat definiens dan definiendum ini merupakan cara
pengujian yang sangat efektif untuk meneliti tepat-tidaknya sebuah definisi.
2) Definiendum tidak boleh masuk ke dalam definiens.
Aturan ini mengingatkan kita kembali bahwa definisi pada hakekatnya merupakan
pembatasan pengertian terhadap suatu istilah atau term yang dilakukan dengan
tujuan agar istilah tersebut dapat dipahami artinya secara jelas dan dapat dibedakan
dari istilah-istilah lain. Karena itu, masuknya definiendum ke dalam definiens, entah
secara eksplisit atau implisit, sebetulnya hanya akan membuat definisi bergerak
melingkar (sirkular) atau berputar-putar untuk itu akhirnya kembali lagi pada titik
persoalan semula, dan dengan demikian definisi tersebut tidak menjelaskan apa-apa.
Ambillah contoh, bila seseorang mendefinisikan logika sebagai 'ilmu yang
mempelajari aturan-aturan logika' atau ‘ilmu yang mengkaji aturan-aturan agar
dapat berpikir logis’, maka bagi mereka yang ingin mengetahui apa sebetulnya
"logika" itu, definisi tersebut tidak memberikan manfaat sedikit pun karena
persoalan mengenai logika tetap tak terjawab.
3) Definiens harus sungguh-sungguh menjelaskan.
Aturan ini pun menegaskan bahwa setiap definisi yang baik harus selalu berusaha
agar istilah atau term yang didefinisikan betul-betul dipahami secara jelas. Untuk
maksud itu penggunaan kata-kata dalam definiens yang bersifat ambigu, tidak jelas
atau mengandung kiasan sedapat mungkin dihindari karena penggunaan kata-kata
semacam itu akan berakibat pada timbulnya kerancuan atau salah pengertian
terhadap definiendum-nya. Jadi, mendefinisikan advokat sebagai ‘orang yang
membela penjahat-penjahat’ sudah tentu akan menimbulkan salah pengertian.
Selain itu, dengan hanya menyebutkan contoh pun sesuatu definiens belum
terumuskan secara jelas, meskipun dari segi tertentu pemberian contoh memang
bermanfaat untuk membantu pemahaman yang lebih baik mengenai suatu istilah.
Sebagai contoh, janganlah mendefinisikan alat tulis dengan ‘misalnya bolpoin, pen,
kapur tulis, spidol, atau kertas.’
4) Definiens harus bersifat paralel dengan definiendum.
Maksud aturan ini ialah bahwa definiens harus mengandung perumusan yang tepat
tentang definiendum. Secara lebih tegas dapat dikatakan bahwa definiens harus
diawali dengan kata atau term yang sama strukturnya dengan definiendum. Jadi
janganlah misalnya, definiens dimulai dengan sebuah kata yang strukturnya adalah
kata benda, padahal definiendum-nya berstruktur kata sifat, atau sebaliknya.
Ambillah contoh, jujur adalah ‘orang yang bertutur atau bertindak sesuai dengan
suara hatinya’. Kiranya tak ada yang menyangkal bahwa jujur merupakan sifat yang
terdapat pada manusia (orang) dan hanya manusia (orang) memiliki sifat jujur, tetapi
definisi itu tidak dapat dibenarkan karena jujur bukanlah orang, dan orang bukanlah
jujur. Kedua kata atau term itu berbeda strukturnya. Yang satu (jujur) dalam
definiendum berstruktur kata sifat, sedangkan yang lain (orang) dalam definiens
berstruktur kata benda.
5) Definiens tidak boleh berbentuk negatif, sejauh masih dapat dirumuskan secara
afirmatif.
Penetapan aturan kelima ini berdasarkan alasan bahwa suatu definisi disebut definisi
yang benar bila definiens-nya mampu mengungkapkan apa sebenarnya makna dari
definiendum-nya. Dengan kata lain, tujuan setiap definisi yang benar hanya mungkin
dapat tercapai bila apa yang merupakan hakekat definiendum terungkap dalam
definiens-nya. Dalam definisi di mana definiens-nya berbentuk negatif, tujuan
tersebut tidak tercapai karena hakekat definiendum tidak terungkap. Jadi, orang
yang mendefinisikan sepak bola, sebagai, misalnya, ‘sejenis olahraga yang tidak
dimainkan dengan menggunakan tangan’, tidak menerangkan apa-apa mengenai
sepak bola.
Namun demikian, ada istilah-istilah atau term-term tertentu yang mau tidak mau
dirumuskan secara negatif karena tidak ada kemungkinan merumuskannya secara
afirmatif. Hal ini berlaku antara lain pada realitas-realitas yang sebenarnya bukanlah
merupakan realitas-realitas yang positif. Sebagai contoh, "Lumpuh adalah tidak
dapat berjalan". Definisi ini benar meskipun definiens-nya berbentuk negatif.
Alasannya ialah karena "tidak dapat berjalan" (definiens) sudah mengungkapkan
apa sebenarnya makna dari lumpuh (definiendum). Dengan kata lain, "tidak dapat
berjalan" sesungguhnya merupakan hakekat dari lumpuh.
2.3.3 Proposisi
b) Unsur-unsur proposisi
1) Term subjek ialah sesuatu yang tentangnya pengakuan atau pengingkaran ditujukan.
2) Term predikat ialah sesuatu yang diakui atau diingkari tentang term subjek.
3) Kopula ialah penghubung antara term subjek dan term predikat, yang sekaligus
memberi bentuk (pengakuan atau pengingkaran) pada hubungan tersebut.
Perlu diketahui bahwa ketiga unsur tersebut hanya terdapat di dalam proposisi
kategoris standar. Adapun sebuah proposisi disebut proposisi kategoris jika apa yang
menjadi term predikat diakui atau diingkari secara mutlak (tanpa syarat) tentang apa
yang menjadi term subjek. Proposisi “Ayah membaca surat kabar” merupakan
proposisi kategoris karena membaca surat kabar (term predikat) diakui tanpa syarat
tentang ayah (term subjek). Begitu pula proposisi “Emilia tidak lulus ujian” tergolong
proposisi kategoris karena lulus ujian (term predikat) diingkari secara mutlak tentang
Emilia (term subjek). Sementara itu, sebuah proposisi kategoris hanya dapat disebut
standar jika proposisi kategoris itu memenuhi dua syarat: pertama, ketiga unsurnya
(term subjek, term predikat, dan kopula) dinyatakan secara eksplisit; dan kedua, term
subjek dan term predikat sama-sama berstruktur kata benda. Oleh karena itu "Lydia
cantik" bukanlah sebuah proposisi kategoris standar. Itu adalah sebuah sebuah proposisi
kategoris non-standar karena di samping kopulanya tidak dinyatakan secara eksplisit,
juga term subjek dan term predikat dari proposisi tersebut berbeda strukturnya: Lydia
(term subjek) berstruktur kata benda, sedangkan cantik (term predikat) berstruktur kata
sifat. Jika proposisi kategoris ini dijadikan standar, maka bentuknya harus menjadi
"Lydia adalah wanita yang cantik".
Proposisi kategoris (standar atau non-standar), dalam bahasa, selalu berbentuk
kalimat berita. Dengan demikian, mudah dimengerti mengapa setiap proposisi
(kategoris) selalu berupa kalimat, tetapi tidak setiap kalimat disebut proposisi.
Dalam logika, sebuah kalimat hanya dapat disebut proposisi bila memenuhi ciri-
ciri berikut:
(1) mengandung term subjek dan term predikat yang dihubungkan dalam sebuah
pernyataan;
(2) mengandung sifat pengakuan atau pengingkaran; dan
(3) mengandung nilai benar atau salah
Ciri pertama merupakan ciri pokok. Jika sebuah kalimat sudah memenuhi ciri
pertama, maka secara otomatis juga akan memenuhi kedua ciri berikutnya. Ambillah
contoh kalimat ”Kampus Universitas Indonesia terletak di wilayah Depok”. Ini adalah
proposisi karena memiliki term subjek “Kampus Universitas Indonesia” dan term
predikat “terletak di wilayah Depok” (ciri pertama); memiliki sifat pengakuan (ciri
kedua) karena “terletak di wilayah Depok” diakui tentang ”Kampus Universitas
Indonesia”; dan, akhirnya, dapat ditentukan bahwa memang benarlah demikian (ciri
ketiga). Jadi, sebuah proposisi, bagaimanapun sederhananya, harus memiliki dua unsur
pokok, yakni term subjek dan term predikat. Perlu diingatkan kembali bahwa dalam
logika tidak dikenal adanya objek, keterangan subjek, keterangan predikat atau
keterangan-keterangan lainnya sebagaimana lazimnya ditemukan dalam tata bahasa.
Dengan berpegang pada kaidah-kaidah tersebut maka jenis kalimat non-berita,
seperti kalimat seru, kalimat perintah, dan kalimat tanya seperti contoh berikut
(1) “Oh, Tuhan! Mengapa bencana ini hanya terjadi pada keluarga saya?”
(2) “Segera tinggalkan tempat ini!”
(3) “Di mana ayahmu bekerja?”
(4) “Selamat Hari Ulang Tahun, Adi. Semoga panjang umur.”
tidak dapat disebut proposisi.
Kecuali itu, dalam kehidupan sehari-hari, sering kita mendengar atau membaca
kalimat-kalimat yang meskipun mengandung berita atau pernyataan yang maknanya
dapat dipahami namun karena tidak memiliki term subjek dikategorikan sebagai
proposisi yang tidak logis. Di bawah ini dikemukakan beberapa contoh.
(1) Di sini menerima jahitan pakaian pria dan wanita.
(2) Dari pihak keluarga korban mengharapkan agar kepolisian segera mengungkap
kasus pembunuhan ini.
(3) Untuk tiga orang pemenang masing-masing akan mendapatkan hadiah
Rp500.000,00.
(4) Bagi mahasiswa yang mengambil mata kuliah MPKT harap berkumpul di aula.
(5) Dengan dinaikkannya tunjangan transport diharapkan akan meningkatkan
semangat kerja para karyawan.
Sebenarnya, di dalam logika masih ada jenis proposisi lain di mana term
predikat mengakui atau mengingkari term subjek dengan suatu syarat (tidak secara
mutlak) yang disebut proposisi hipotetis. Jenis proposisi ini tidak dibahas dalam buku
ajar ini; yang dibicarakan hanyalah proposisi kategoris.
1) Kuantitas proposisi
Kuantitas sebuah proposisi kategoris ditentukan oleh luas term subjeknya.
Karena luas suatu pengertian dapat berupa singular, partikular, dan universal, maka
proposisi kategoris, berdasarkan kuantitasnya, dapat dibedakan atas proposisi singular,
proposisi partikular, dan proposisi universal.
(a) Proposisi singular adalah proposisi yang luas term subjeknya singular. Artinya,
pengertian term subjek itu menunjuk hanya kepada satu hal, benda, atau individu
ter- tentu. Misalnya, “Gedung baru itu berlantai dua belas”.
(b) Proposisi partikular adalah proposisi yang luas term subjeknya partikular. Artinya
pengertian term subjek itu tidak menunjuk kepada keseluruhan luasnya, melainkan
hanya sebagian atau paling kurang satu, namun yang satu itu tidak tentu yang mana.
Misalnya, “Tidak semua binatang dapat dijinakkan”.
(c) Proposisi universal adalah proposisi yang luas term subjeknya universal. Artinya,
pengertian term subjek itu meliputi semua hal, benda, atau individu, yang terdapat di
dalamnya tanpa kecuali. Misalnya: "Semua manusia dapat mati".
2) Kualitas Proposisi
Ciri khas sebuah proposisi kategoris adalah bahwa di dalamnya selalu
terkandung unsur pengakuan (afirmasi) atau pengingkaran (negasi), dan karena itu
hanya tentang proposisi kategoris dapat dikatakan benar atau salah. Itu berarti kualitas
sebuah proposisi kategoris ditentukan oleh bentuk kopula yang digunakan. Atas dasar
itu, menurut kualitasnya, proposisi kategoris dapat dibedakan atas dua macam, yakni
proposisi afirmatif dan proposisi negatif.
(a) Proposisi afirmatif
Suatu proposisi dikatakan afirmatif apabila apa yang menjadi term predikat diakui
tentang apa yang menjadi term subjek. Proposisi "Karim adalah pedagang buah
apel", misalnya, berkualitas afirmatif, karena "pedagang buah apel" (term predikat)
dalam proposisi tersebut diakui tentang "Karim" (term subjek).
(b) Proposisi negatif
Suatu proposisi dikatakan negatif apabila apa yang menjadi term predikat diingkari
tentang apa yang menjadi term subjek. Proposisi "Dina bukan peragawati",
misalnya, berkualitas negatif, karena "peragawati" (term predikat) dalam proposisi
tersebut diingkari tentang "Dina" (term subjek).
(c) Kuantitas dan kualitas proposisi
Pengklasifikasian proposisi kategoris menurut kuantitas dan kualitas secara teoretis
akan menghasilkan enam macam proposisi, yakni, (1) Proposisi universal afirmatif,
(2) Proposisi partikular afirmatif, (3) Proposisi singular afirmatif, (4) Proposisi
universal negatif, (5) Proposisi partikular negatif, dan (6) Proposisi singular negatif.
Jika ditarik suatu garis perbandingan antara proposisi singular di satu pihak
dengan proposisi universal dan proposisi partikular di lain pihak, maka akan ternyata
bahwa dalam arti tertentu sifat proposisi singular lebih mempunyai persamaan dengan
proposisi universal ketimbang dengan proposisi partikular. Dalam proposisi singular
afirmatif "Irwan gemar bermain di pantai", sesungguhnya "gemar bermain di pantai"
diakui tentang seluruh (bukan sebagian) term subjek proposisi yang bersangkutan,
yang kebetulan adalah satu individu dan tertentu. Demikian pula dalam proposisi
singular negatif "Lindawati bukan mahasiswi Fakultas Psikologi UI" sesungguhnya
"mahasiswi Fakultas Psikologi UI" diingkari tentang seluruh (bukan sebagian) term
subjek proposisi yang bersangkutan, yang kebetulan adalah satu individu dan tertentu.
Karena alasan itulah, maka para ahli logika tidak membedakan lambang yang
digunakan, baik untuk proposisi universal afirmatif dan proposisi singular afirmatif,
maupun untuk proposisi universal negatif dan proposisi singular negatif. Dengan
demikian, di kalangan para ahli logika digunakan hanya empat lambang saja untuk
mewakili keenam macam proposisi di atas. Lambang-lambang yang dimaksud itu ialah
A, E, I, dan O, seperti terlihat pada Tabel 4: Proposisi Kategoris.
Afirmatif Negatif
Menurut kualitas
Menurut kuantitas
Universal / singular A E
Partikular I O
Dari penjelasan tentang keempat macam proposisi di atas, kiranya tampak jelas
bahwa dalam proposisi universal (A dan E) term subjeknya berdistribusi, sedangkan
dalam proposisi partikular (I dan O) term subjeknya tidak berdistribusi. Suatu term
disebut distributif apabila penggunaan term itu meliputi semua anggotanya secara
individual, satu demi satu, jadi tidak sebagai kelompok. Term yang berdistribusi itu
disebut term universal. Term yang tidak berdistribusi hanya meliputi sebagian dari
semua anggotanya, yaitu satu atau lebih. Term yang hanya meliputi satu anggotanya
saja atau lebih, akan tetapi tidak semuanya, disebut term partikular.
Ketiga pernyataan di atas tidak sekadar berupa proposisi, melainkan proposisi yang
berbentuk definisi, yakni definisi hakiki. Karena itu, luas term predikat dari masing-
masingnya bukan partikular, melainkan universal.
Kedua, hukum ini juga tidak berlaku pada proposisi A yang term subjek dan
term predikatnya sama-sama mempunyai luas singular. Seperti diketahui, term singular
adalah term yang pengertiannya menunjuk pada satu hal atau satu individu tertentu.
Perhatikanlah bahwa luas term predikat dari masing-masing proposisi berikut ini bukan
partikular, melainkan singular.
(4) "Tommy adalah putera sulung Tuan Jamal."
(5) "Sungai ini adalah sungai terpanjang di daerah ini."
(6) "Asri adalah wanita pertama yang menyaksikan kejadian itu."
Term predikat dari masing-masing proposisi di atas ini dengan jelas menunjuk pada satu
hal tertentu, dan karena itu luasnya bukan universal, melainkan singular.
1) Penalaran langsung
Salah satu prosedur yang lazim digunakan dalam mempraktekkan penalaran
langsung adalah melakukan konversi. Yang dimaksud dengan konversi adalah
pengungkapan kembali makna yang terkandung dalam sebuah proposisi dengan cara
menukarkan tempat term subjek dengan term predikatnya tanpa mengubah kualitas
proposisi tersebut. Itu berarti, bila dalam suatu proposisi terdapat suatu hubungan
tertentu antara term subjek dan term predikatnya, maka atas dasar itu dapat pula
disimpulkan mengenai hubungan antara term predikat dan term subjeknya. Jadi, jika
memang ternyata "S—P", maka dapat disimpulkan bahwa "P— S".
Agar kesimpulan dari sebuah penalaran langsung melalui proses konversi dapat
mempunyai makna yang sama (ekuivalen) dengan premisnya, maka perlu diperhatikan
hukum pokoknya yang berbunyi: Luas term predikat pada proposisi asal (premis)
harus sama besar dengan luas term tersebut pada proposisi baru (kesimpulan). Akan
tetapi, konversi yang menghasilkan kesimpulan yang benar-benar ekuivalen atau
semakna– dan karena itu juga senilai—dengan premisnya, hanya bisa dilakukan untuk
proposisi E dan proposisi I. Hal ini disebabkan baik proposisi E maupun proposisi I
masing-masing memiliki term subjek dan term predikat dengan luas yang sama besar.
Pada proposisi E, term subjek dan term predikat sama-sama mempunyai luas
universal. Dengan demikian proposisi E, jika dikonversi, tetap menjadi proposisi E.
Amatilah contoh berikut ini.
Premis : "Semua becak bukan mobil" (proposisi E).
Kesimpulan : "Semua mobil bukan becak" (proposisi E).
Premis dan kesimpulan dalam penalaran langsung di atas ekuivalen atau semakna
halnya dengan proposisi I. Term subjek dan term predikat pada proposisi I keduanya
mempunyai luas partikular. Dengan demikian proposisi I, jika dikonversi, tetap menjadi
proposisi I. Perhatikan contoh di bawah ini.
Premis : "Beberapa mahasiswa adalah penyanyi" (proposisi I).
Kesimpulan : "Beberapa penyanyi adalah mahasiswa" (proposisi I).
Premis dan kesimpulan dalam penalaran langsung di atas pun ekuivalen atau semakna.
Karena prosedur konversi untuk proposisi E dan proposisi I itu hanya berupa
penukaran tempat term subjek dan term predikat. maka disebut konversi sederhana.
Prosedur konversi sederhana tidak dapat dilakukan terhadap proposisi A. Hal ini
disebabkan dalam proposisi A (ingat: kualitasnya afirmatif!), luas term predikatnya
adalah partikular. Jika dikonversi secara sederhana begitu saja, maka term predikat,
yang dalam premis mempunyai luas partikular, akan memperoleh luas universal dalam
kesimpulan. Amatilah contoh di bawah ini:
Premis : "Semua emas adalah logam" (proposisi A).
Kesimpulan : "Semua logam adalah emas" (proposisi A).
Jelaslah bahwa kesimpulan itu salah. Karena itu, untuk mendapat konversi yang
tepat terhadap proposisi premisnya, maka term predikat (logam) pada premis tersebut
harus dibatasi luasnya dalam kesimpulan menjadi partikular. Dengan demikian,
konversi terhadap premis dalam penalaran langsung di atas seharusnya begini.
Kesimpulan: "Sebagian logam adalah emas" (proposisi I).
Jadi, proposisi A hanya dapat dikonversi menjadi proposisi I. Itulah sebabnya
untuk proposisi A hanya berlaku konversi terbatas. Pengecualian hanya bisa terjadi
apabila proposisi A itu memang merupakan sebuah definisi karena kedua unsur dalam
definisi, yakni definiens dan definendum, dituntut harus sama-sama mempunyai luas
universal agar dapat dipertukarkan tempatnya. Kalau begitu, kesimpulan dalam
penalaran langsung berikut ini benar sekaligus ekuivalen dengan premisnya.
Premis : "(Semua) manusia adalah makhluk yang berakal budi" (proposisi A).
Kesimpulan : "Semua makhluk yang berakal budi adalah manusia" (proposisi A).
Term prqjurit adalah term minor dan term orang berjasa adalah term mayor. Term
ketiga dari silogisme, yang tidak terdapat dalam kesimpulan, tetapi yang hanya termuat
dalam kedua premis, disebut “term menengah” (dilambangkan dengan M yang
merupakan singkatan dari (terminus) medius). Dalam contoh di atas, term pahlawan
adalah term menengah.
Term mayor dan term minor dari sebuah silogisme kategoris standar masing-
masing terkandung dalam salah satu dari kedua premis silogisme. Premis yang
mengandung term mayor disebut “premis mayor”, sedangkan premis yang mengandung
term minor disebut “premis minor”. Dalam silogisme di atas, premis mayor adalah
“Semua pahlawan adalah orang berjasa”, sedangkan premis minor adalah “Beberapa
prqjurit adalah pahlawan”.
Dalam silogisme standar, premis mayor selalu ditempatkan sebagai proposisi
pertama pada baris pertama, sedangkan premis minor selalu ditempatkan sebagai
proposisi kedua pada baris kedua. Premis mayor dan premis minor ini berfungsi sebagai
pangkal tolak seluruh penalaran. Kesimpulan penalaran diturunkan dengan
memperhatikan hubungan antara premis mayor dan premis minor tersebut atau, dalam
contoh di atas, antara term menengah (M) dengan term predikat (P) dalam premis
mayor, dan antara term subjek (S) dengan term menengah (M) dalam premis minor. Itu
berarti, kalau memang ternyata bahwa M sama dengan P, sedangkan S sama dengan M,
maka S mesti sama juga dcngan P:
M=P
S=M
... S = P
Pada contoh (1) kita melihat bahwa premis-premis dan kesimpulannya, dari segi
isi (menurut kenyataan), adalah benar. Namun, dari segi bentuk, argumen itu tidak
sahih. Dalam contoh (2) kita melihat bahwa, dari segi isi, premis-premisnya benar
sedangkan kesimpulannya salah. Hal ini justru disebabkan jalan pikirannya tidak lurus;
dengan kata lain, argumen tersebut, menurut bentuknya, tidak sahih. Persoalan
mengenai bentuk argumen ini akan dengan lebih mudah dipahami bila kita mendalami
sungguh-sungguh semua seluk-beluk yang berkaitan dengan hukum-hukum silogisme.
c) Silogisme Hipotetis
Silogisme hipotetis adalah model argumentasi yang premis mayornya berupa
sebuah proposisi kondisional. Premis mayor ini terdiri atas dua bagian: bagian pertama
mengandung syarat (sebab) yang dimulai dengan “Jika”; lazimnya disebut antesedens,
dan bagian kedua mengandung apa yang disyaratkan (akibat) yang dimulai dengan
“Maka”; lazimnya disebut konsekuens. Dalam logika, premis mayor dari argumentasi
ini biasanya tersusun dalam empat pola, yakni:
(a) “Jika A, maka B.”
(b) “Jika A, maka bukan B.”
(c) “Jika bukan A, maka B.”
(d) “Jika bukan A, maka bukan B”
Argumentasi kondisional dengan premis mayor yang tersusun dalam empat pola
itu dikenal dalam dua jenis, yakni argumentasi kondisional dalam arti luas dan
argumentasi kondisional dalam arti sempit.
Hukum kedua, proses penyimpulan harus bergerak dari pengingkaran terhadap apa
yang disyaratkan (akibat) yang termuat dalam konsekuens (premis minor) kepada
pengingkaran terhadap syarat (sebab) yang termuat dalam antesedens (kesimpulan).
Tata aturan penyimpulan seperti ini disebut modus tollens. Dengan mengambil
contoh dari pola yang sama, bentuk argumentasi itu menjadi demikian:
Jika Jones Ginting terserang flu burung, maka ia mengalami sesak napas.
Ternyata Jones Ginting tidak mengalami sesak napas. Jadi, ia tidak terserang
flu burung.
Jalan pikiran ini pun logis
Jalan pikiran seperti ini tidak logis karena proses penyimpulan tersebut masih
membuka peluang bagi adanya kemungkinan lain. Dari adanya kenyataan bahwa
“Jones Ginting mengalami sesak napas” (akibat), tidak dapat secara pasti
disimpulkan bahwa “Jones Ginting terserang flu burung”. Mungkin karena ada
penyebab lain.
Bentuk lain yang juga tidak sahih, mirip dengan modus tollens di atas. Perhatikan
contoh berikut:
Jika Jones Ginting terserang flu burung, maka ia mengalami sesak napas.
Ternyata, Jones Ginting tidak terserang flu burung. Jadi, ia tidak mengalami
sesak napas.
Jalan pikiran ini pun tidak logis karena masih terdapat kemungkinan lain. Dari
adanya kenyataan bahwa “Jones Ginting tidak terserang flu burung” (sebab), tidak
dapat secara pasti disimpulkan bahwa “Jones Ginting tidak mengalami sesak napas”
(akibat). Bisa saja Jones Ginting memang mengalami sesak napas tetapi
penyebabnya lain, bukan karena ia terserang flu burung.
a) Argumentum Ad Hominem
Ad Hominem secara harafiah berarti ‘mengacu pada orangnya’. Kesesatan
argumentum ad hominem terjadi bila seseorang berusaha untuk menerima atau menolak
suatu gagasan (ide) bukan berdasarkan faktor penalaran yang terkandung dalam gagasan
itu, melainkan berdasarkan alasan yang berhubungan dengan pribadi dari orang yang
melontarkan gagasan. Singkatnya, yang disoroti bukan penalarannya, melainkan
orangnya. Bila orangnya disenangi, pandangannya diterima, tetapi bila orangnya tidak
disenangi, pandangannya ditolak.
Contoh :
Dalam suatu rapat umum yang dipimpin oleh kepala desa, semua warga desa yang
hadir dimintai pandangannya mengenai cara-cara memelihara lingkungan desa
agar dapat terhindar dari bahaya demam berdarah. Marzuki, salah seorang warga
desa, juga ikut hadir dan memberikan pendapatnya. Tetapi pendapatnya langsung
ditolak oleh sebagian warga desa yang hadir. Alasannya ialah karena Marzuki itu
di desanya dikenal sebagai orang yang suka mabuk-mabukan.
b) Argumentum Ad Populum
Argumentum ad populum (dalam bahasa Latin, populus berarti ‘rakyat’ atau
‘massa’) adalah penalaran yang diajukan untuk meyakinkan para pendengar dengan
mengatasnamakan kepentingan rakyat atau orang banyak. Di sini pembuktian logis
tidak diperlukan. Yang dipentingkan ialah menggugah perasaan massa pendengar,
membangkitkan semangat dan membakar emosi orang banyak agar menerima suatu
pernyataan tertentu. Argumentum ad populum kerap dijumpai dalam kampanye politik,
pidato-pidato, dan propaganda-propaganda seperti yang terdapat dalam dunia iklan.
Simaklah contoh berikut ini yang diangkat dari pidato dalam sebuah kampanye
menjelang Pemilu.
“... Sejak awal tekad Golkar hanya satu, yakni memperjuangkan dan membela
kepentingan rakyat. Golkar memahami aspirasi rakyat, Golkar merasakan
penderitaan rakyat, Golkar tidak pernah meninggalkan rakyat, Golkar selalu
menyatu dengan rakyat, Golkar merupakan hati nurani rakyat. Karena itu siapa
pun yang menentang program Golkar, dia menentang perjuangan rakyat dan
yang menentang perjuangan rakyat, dia adalah musuh rakyat ... .”
c) Argumentum Ad Verecundiam
Jenis kesesatan relevansi ini disebut juga argumentum auctoritatis (dalam
bahasa Latin, auctoritas berarti ‘kewibawaan’) yang memang sangat mirip dengan
argumentum ad hominem. Dalam argumentum ad verecundiam atau argumentum
auctoritatis ini, nilai suatu penalaran terutama ditentukan oleh keahlian atau
kewibawaan orang yang mengemukakannya. Jadi, suatu gagasan diterima sebagai
gagasan yang benar hanya karena gagasan tersebut dikemukakan oleh seseorang yang
sudah terkenal karena keahliannya.
Contoh:
“Apa yang dikatakan oleh Prof. Dr. Solichin itu pasti benar karena beliau adalah
seorang psikolog ulung dan namanya sudah tidak asing lagi dalam dunia
pendidikan.”
d) Ignoratio Elenchi
Kesesatan ignoratio elenchi terjadi bila seseorang menarik kesimpulan yang
sebenarnya tidak memiliki relevansi dengan premisnya. Dengan demikian ketiga jenis
kesesatan yang sudah disebutkan terdahulu (argumentum ad hominem, argumentum ad
populum, dan argumentum ad verecundiam) dapat dikategorikan sebagai bagian dari
kesesatan ignoratio elenchi ini.
Ignoratio elenchi memperlihatkan loncatan sembarangan dari premis ke
kesimpulan yang sama sekali tidak ada kaitan dengan premis tadi. Karena itu hubungan
antara premis dan kesimpulan hanya suatu hubungan yang semu, bukan hubungan yang
sesungguhnya. Dalam kesesatan ini biasanya prasangka, kepercayaan mistis, emosi, dan
perasaan subjektif merupakan faktor-faktor yang memainkan peranan utama. Selidikilah
kedua contoh di bawah ini.
(1) Fitri itu puteri bungsu; pasti dia keras kepala.
(2) Saat melihat seekor kupu-kupu hinggap di jendela rumah, sang ibu rumah
tangga berkata kepada suaminya, “Pak, hari ini kita akan kedatangan tamu”.
e) Kesesatan karena Generalisasi Tergesa-gesa
Jenis kesesatan ini sebetulnya merupakan akibat dari induksi yang keliru karena
bertumpu pada hal-hal khusus yang tidak mencukupi. Orang yang melakukan kesesatan
ini biasanya tergopoh-gopoh menarik kesimpulan yang berlaku umum (general),
sementara percontoh (sample) yang dijadikan titik tolak kurang, atau bahkan tidak
memadai. Perhatikan ketiga contoh di bawah ini.
(1) Remaja-remaja masa kini sulit diajak berdialog.
(2) Supir-supir kendaraan umum di Jakarta lebih mengutamakan uang setoran
daripada keselamatan penumpang.
(3) Aksi-aksi unjuk rasa yang terjadi akhir-akhir ini berlatar belakang politik.
Setiap pernyataan yang bersifat ilmiah haruslah memenuhi tuntutan logis, kritis,
dan rasional. Dengan berbekalkan kemampuan berpikir logis yang kuat, seseorang dapat
memasuki bidang ilmu pengetahuan yang akan dibahas dalam bab berikut di bawah
judul Filsafat Ilmu.
BAB III
FILSAFAT ILMU
Pada bab ini akan dibahas tentang pengertian filsafat ilmu pengetahuan, ilmu
pengetahuan, dan pengetahuan serta persamaan dan perbedaan yang mendasar tentang
keduanya. Selain itu juga akan dikaji tentang cara kerja ilmu empiris yang sifatnya
induktif, cara kerja ilmu deduktif, dan ilmu-ilmu kemanusiaan. Pengenalan tentang
berbagai bentuk pengetahuan dan ilmu pengetahuan sangatlah berguna terutama dalam
menentukan dasar seseorang dalam memasuki dunia ilmu pengetahuan atau dunia
ilmiah.
3.1.5 Cara Kerja Ilmu-ilmu Empiris yang Lebih Khusus: Ilmu Alam, Ilmu Hayat
dan Ilmu-Ilmu tentang Manusia
BAB IV
ETIKA
Bab ini menguraikan rumusan etika dan pembagian etika menjadi etika
deskriptif, etika normatif, metametika, dan etika terapan. Sebagai ilmu tentang moralitas
manusia, muncul dalam perkembangannya etika profesi. Kaidah atau norma etika yang
berkaitan dengan moralitas seperti hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, nilai dan
norma, hak dan kewajiban akan diuraikan secara sistematis.
1
Kata ethos dari bahasa Yunani sudah lazim dipakai sesuai ejaan aslinya. Untuk itu sebaiknya kita
menggunakan ejaan aslinya dalam kebutuhan akademis maupun di luar masyarakat akademis agar pengertian
yang sebenarnya itu terungkap secara implisit.
keburukan dari hasil tindakannya. Perbuatan seseorang itu baik ataukah buruk di mata
orang lain telah menunjukkan tentang bagaimana penilaian orang lain terhadap dirinya.
Sedang bagi seseorang yang melakukan tindakan atau perbuatan tertentu diharapkan
darinya memunculkan keinginan atau kesadaran untuk berbuat baik. Berbuat baik tanpa
merugikan orang lain merupakan suatu kehendak yang sangat terpuji. Tetapi tidak
semua orang dapat melakukan perbuatan baik atau dianggap baik karena adanya
berbagai faktor seperti keinginan dirinya terlalu besar untuk misalnya tidak ingin
dipersalahkan dalam suatu hal, atau adanya konflik terhadap orang lain dan sebagainya.
Oleh karenanya dalam melakukan tindakan etis atau melakukan perbuatan baik
diperlukan berbagai pertimbangan yang sifatnya rasional.
Pertimbangan rasional artinya mempertimbangkan berbagai kemungkinan untuk
berbuat baik atau melakukan tindakan baik secara jernih, tanpa dilandasi oleh sikap
emosional yang berlebihan. Mempelajari etika haruslah dilandasi dengan pendekatan
rasional dan kritis agar etika itu dapat diterapkan pada tindakan keseharian seseorang,
baik dalam bekerja maupun melakukan relasi dengan orang lain. Selain itu, etika harus
dilihat dan dipahami di dalam cara seseorang bertindak atau berperilaku dalam
mengikuti aturan maupun norma-norma moralitas yang berlaku (moralitas tertentu)
serta bagaimana seseorang dapat mengambil sikap yang bertanggungjawab terhadap
berbagai norma moralitasnya.
Etika sering disebut filsafat tentang moral. Berfilsafat tentang moral berarti
melakukan refleksi atau merenungkan secara mendalam berbagai ajaran moral
(kebaikan) secara kritis. Harus dibedakan antara etika dengan moral. Etika tidak lain
mempelajari “keilmiahan” – secara kritis dan logis tentang tindakan manusia mengenai
“yang baik” dan “yang buruk”; atau, dengan kata lain, etika mempelajari berbagai
ajaran moral secara kritis dan logis. Sedang moral lebih merupakan nasihat-nasihat,
ataupun wejangan-wejangan yang berasal atau bersumber pada masyarakat, yang dapat
berupa ajaran-ajaran pada adat-istiadat suatu masyarakat dan ajaran agama. Moral lebih
menunjukan sifat yang aplikatif pada tindakan manusia tentang “yang baik” dan “yang
buruk”. Apabila orang tidak memiliki atau bertentangan dengan sikap baik atau moralis,
tidak etis, sering dikatakan orang itu immoral (bukan amoral, sebab amoral berarti
‘tidak berhubungan dengan konteks moral’).
Seperti lazimnya dalam ilmu pengetahuan, maka etika memiliki objek atau
sesuatu yang dibahas. Pokok bahasan yang sangat khusus pada etika adalah sikap kritis
manusia dalam menerapkan ajaran-ajaran moral terhadap perilaku manusia yang
bertanggung jawab. Ajaran-ajaran moral tersebut sangat menentukan tantang bagaimana
moral manusia itu “dibina” baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan non-
formal. Banyak yang mengatakan bahwa etika adalah ilmu yang bersifat praktis.
Pengertian praktis menunjukan bahwa etika sebagai ilmu yang lebih mengarah pada
kegunaan etika itu sendiri manakala menerapkannya pada perilakunya. Perilaku
seseorang tersebut ditunjukan pada kehidupan sehari-hari baik itu secara individual
maupun dalam kehidupan masyarakat.
4.2.3 Metaetika
Metaetika adalah kajian etika yang membahas ucapan-ucapan atau kaidah-
kaidah bahasa, khususnya yang berkaitan dengan bahasa etis (yaitu bahasa yang
digunakan dalam bidang moral). Kebahasaan seseorang dapat menimbulkan penilaian
etis terhadap ucapan mengenai “yang baik” dan “yang buruk” dan kaidah logika.
Sebagai contoh, sebuah tayangan iklan obat-obatan dengan merk tertentu di televisi
swasta sering menyesatkan banyak orang dengan slogan-slogan yang menganjurkan
untuk minum obat tertentu dengan khasiat semua penyakit yang diderita akan hilang
dan orang menjadi sehat kembali. Slogan-slogan tersebut sangat berlebihan dan ketika
orang mulai mengkritiknya, maka oleh sekelompok produsen dimunculkan sebuah
ucapan etis yang berbunyi: “Jika sakit berlanjut, hubungi dokter”. Ucapan etis tersebut
seakan menjadi semacam perilaku moral yang baik yang dihadirkan oleh sekelompok
produsen dan disampaikan agar masyarakat menjadi lebih “bijaksana” dalam meminum
obat.
BAB V
IDEOLOGI
2
Bandingkan dengan Marx yang menyatakan bahwa kaum proletar merupakan satu-satunya kelas yang
tidak membutuhkan ilusi dalam ideologi karena tujuan kelas ini adalah masyarakat tanpa kelas sehingga
ideologi tidak akan dibutuhkan lagi; Marx juga tidak pernah menyebut sosialismenya sebagai ideologi.
3
Raymond Geuss (dalam Eagleton, 1991:43) memilah definisi ideologi menjadi tiga jenis yakni a)
definisi deskriptif dalam arti antropologis, b) definisi peyoratif atau negatif (definisi model ini menghasilkan
pengertian ideologi sebagai ide-ide yang melegitimasi kekuasan, suatu ilusi atau kepalsuan), dan c) definisi
positif.
Menginjak tahun 1960-an, kajian tentang ideologi bergeser ke arah analisis
ideologi dari perspektif sosial dan politik, dan hasilnya adalah pengertian-pengertian
ideologi yang netral dan objektif. Contohnya adalah definisi Martin Seliger yang
menyebutkan bahwa ideologi merupakan seperangkat ide-ide. Melalui ide-ide tersebut
seseorang mampu menjelaskan dan menjustifikasi tujuan serta tindakan sosial yang
terorganisir; dengan kata lain, ideologi merupakan sistem pemikiran yang berorientasi
pada tindakan (Heywood, 1998: 8—11).
Dari uraian di atas jelaslah bahwa pengertian ideologi berkembang dari masa ke
masa. Pada awalnya, ideologi diartikan sebagai ilmu tentang ide (Destutt de Tracy)
kemudian berkembang ke arah pengertian yang bercorak peyoratif dan negatif (Marx
dan Marxis), di mana ideologi dipahami sebagai bentuk ilusi, kekuasaan, kesadaran
palsu dan hegemoni. Berikutnya, ideologi sebagai pandangan hidup (weltanschauung
atau world view) yang dikemukakan Mannheim. Terakhir, sejak tahun 1960-an, minat
terhadap kajian ideologi lebih difokuskan pada analisis sosial-politik sehingga lahirlah
definisi-definisi yang netral, antara lain pengertian bahwa ideologi merupakan
seperangkat ide yang berorientasi pada tindakan.
Ideologi dalam arti yang netral tentu saja memiliki kelemahan karena tidak
menjelaskan ideologi dari sudut baik atau buruk, benar atau salah, menindas atau
membebaskan, terbuka atau tertutup. Ideologi dalam arti yang netral juga sulit dikritisi,
karena dengan ke”netral”annya, ideologi dapat diartikan bermacam-macam, misalnya
sebagai pandangan hidup, doktrin (ajaran), atau filsafat politik.
Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam kajian ideologi yang
dibangun sejak tahun 1960-an itu, harus diakui bahwa kajian itu mampu menghasilkan
pengertian-pengertian ideologi yang bercorak deskriptif, di mana ideologi dipandang
sebagai objek studi dan riset sehingga nantinya ideologi dapat dipahami sebagai salah
satu bentuk pemikiran politik. Menurut Hardiman (dalam Eatwell dan Wright (ed.),
2001: ix), bila ideologi dipahami secara peyoratif semata maka yang timbul adalah
suatu sikap antipati atau alergi terhadap, atau meremehkan ideologi.
Penulis buku ajar ini mengadopsi definisi ideologi yang dikembangkan sejak
tahun 1960-an, yaitu dari Andrew Heywood (1998). Definisi Heywood digunakan
sebagai kerangka kerja untuk memahami pengertian ideologi dan untuk menjelaskan
peran ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun dasar pertimbangan
pemilihan ini adalah kenyataan bahwa pengertian ideologi yang dirumuskan Heywood
banyak membantu menjelaskan gejala ideologi yang kompleks.
Heywood (1998:12) mendefinisikan ideologi sebagai seperangkat ide yang
menjadi basis tindakan politik yang terorganisir. Dari pengertian singkat ini, Heywood
lalu mengembangkan tiga ciri ideologi yakni a) sebagai pandangan hidup (world view)
masyarakat, b) sebagai model, visi, dan cita-cita tentang tatanan masyarakat yang baik
di masa depan, dan c) sebagai pedoman bagi perubahan-perubahan politik yang
seharusnya dilakukan. Dari rumusan definisi serta ciri-ciri ideologi, Heywood kemudian
mengkasifikasikan gejala ideologi ke dalam dua bentuk.
Pada bentuk pertama, ideologi dapat dilihat sebagai bentuk pemikiran deskriptif
dan normatif, yang keduanya menghasilkan sintesis antara pemahaman dan komitmen.
Sebagai sintesis (gabungan) antara pemahaman dan komitmen, ideologi di satu sisi
berisi pengetahuan deskriptif, yaitu berupa peta intelektual tentang masyarakat dan
pandangan umum terhadap realitas. Melalui peta atau pandangan tersebut, seseorang
atau sekelompok masyarakat mampu menempatkan diri dalam suatu lingkungan sosial.
Di sinilah letak kapasitas ideologi sebagai pemersatu atau pengintegrasi individu-
individu atau kelompok-kelompok. Di sisi lain, ketika individu atau kelompok telah
memiliki pemahaman deskriptif yang sama, mereka akan memiliki keyakinan normatif
atau preskriptif pula yaitu berupa suatu komitmen tentang tatanan masyarakat di masa
kini maupun di masa mendatang. Dengan adanya corak normatif, maka ideologi
menjadi sistem keyakinan yang memiliki kekuatan dan mendorong sikap emosional
karena dapat menjadi alat untuk menyuarakan harapan, ketakutan, simpati dan
kebencian. Sintesis antara pemahaman dan komitmen pada dasarnya meleburkan gejala
ideologi sebagai fakta dan nilai, atau antara ciri (a) ideologi sebagai pandangan hidup
dan (b) ideologi sebagai cita-cita tentang tatanan masyarakat yang baik.4 Adanya
peleburan ini menyebabkan batas antara ideologi dengan ilmu pengetahuan menjadi
kabur sehingga ideologi dapat digunakan sebagai paradigma,5 yaitu sebagai seperangkat
prinsip, doktrin, dan teori yang dapat mendorong proses penelitian intelektual.
Pada bentuk kedua, ideologi dapat dilihat sebagai teori politik dan tindakan
politik. Keduanya akan menghasilkan sistesis antara pemikiran dan tindakan seperti
tercermin pada ciri (b), ideologi sebagai cita-cita tentang tatanan masyarakat yang baik
dan (c) ideologi sebagai pedoman perubahan politik yang diinginkan. Seliger (dalam
Heywood, 1998: 13) secara lebih mendalam mengkaji hal ini dengan memilah ideologi
ke dalam dua tingkat. Tingkat pertama adalah tingkat fundamental. Pada tingkat ini
ideologi mirip dengan filsafat politik6 karena di dalamnya dibicarakan teori-teori dan
ide-ide abstrak. Tingkat kedua adalah tingkat operatif. Pada tingkat ini ideologi
berbentuk gerakan-gerakan politik seperti mobilisasi massa dan perjuangan untuk
merebut kekuasaan. Dalam bentuk operatif, ideologi dapat dikenali dengan mudah
dalam slogan-slogan, retorika politik, manifesto partai ataupun dalam kebijakan-
kebijakan pemerintah.
a) Liberalisme
Tampilnya ideologi liberalisme dilatarbelakangi oleh situasi di Eropa sebelum
abad ke-18 yang diwarnai oleh perang agama, feodalisme, dominasi kelompok
aristokrasi, dan bentuk pemerintahan yang bercorak monarki absolut. Dalam situasi
demikian, ide-ide liberal yang mencerminkan aspirasi kelas menengah (terdiri atas
kelompok industrialis dan pedagang) mulai diterima. Selanjutnya, dengan dukungan
pemikir-pemikir liberal klasik seperti John Locke, J.S. Mill, Herbert Spencer, Adam
Smith, dan David Hume, ide-ide liberal tersebut mulai tersistematisasi dan mewujud
dalam pemikiran ekonomi, politik maupun sosial, dan akhirnya, perkembangan
liberalisme sebagai ideologi politik, semakin mantap seiring dengan terjadinya Revolusi
Inggris (1688), Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Prancis (1789).
Ketiga Revolusi tersebut mengukuhkan dua prinsip hukum yang mendasari
politik liberal, yaitu (1) pernyataan tentang hak asasi manusia (HAM), dan (2) adanya
konstitusi yang menetapkan tatanan politik. Di tingkat praksis, kedua prinsip tersebut
menjiwai pedoman-pedoman dalam kehidupan bernegara. Pedoman-pedoman tersebut
antara lain ialah (1) adanya hukum yang tidak memihak dan berlaku umum (tidak ada
keistimewaan bagi kelompok ningrat, agamawan, atau golongan terpandang lainnya)
dan (2) hukum dibuat untuk menjamin sebesar mungkin hak yang sama bagi tiap
individu agar mereka dapat mengejar tujuan hidupnya (Eatwell dan Wright (ed.), 2001:
33).
Baik prinsip hukum maupun pedoman dalam tatanan politik tersebut dengan
tegas membuat perbedaan antara negara dan masyarakat sipil. Negara tidak lagi
diperkenankan untuk mengambil alih inisiatif individu. Capaian dalam hal ini tentu saja
terkait erat dengan prinsip-prinsip dasar yang melandasi liberalisme, yaitu
individualisme, kebebasan, keadilan dan kesetaraan, serta utilitarianisme (Vincent 1995:
321, 50, dan Heywood, 1998:27—28).
1) Individualisme
Individualisme merupakan inti pemikiran liberal yang menjiwai seluruh basis moral,
ekonomi, politik, dan budaya. Individualisme sendiri dapat didefinisikan sebagai
pemikiran yang menjunjung keberadaan individu, dan masyarakat hanya dipandang
sebagai sekumpulan individu semata. Individu memiliki otonomi dan merupakan
sumber seluruh nilai. Individu juga dianggap sebagai hakim yang terbaik bagi
dirinya serta dapat bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Bertitik tolak dari
pandangan ini, kelompok liberal beranggapan bahwa negara tidak berhak
mengintervensi kehidupan warga negara.
2) Kebebasan
Kebebasan dalam liberalisme dipandang sebagai “hak” yang dimiliki tiap orang
(Heywood, 1998:29). Hak ini yang memungkinkan tiap individu mendapat
kesempatan yang sama untuk mengejar kepentingannya. Dari perspektif liberalisme,
kebebasan tidak hanya dipandang sebagai hak melainkan juga sebagai kondisi yang
memungkinkan tiap-tiap individu dapat mengembangkan bakat dan ketrampilannya.
Pemikiran Liberalisme klasik memberi tempat kepada kebebasan negatif, yaitu tidak
adanya batasan-batasan eksternal terhadap individu sehingga ia dapat bertindak
sesuai dengan kehendaknya. Tetapi dalam pemikiran liberalisme modern–
ditekankan bahwa terhadap kebebasan individu haruslah seminimal mungkin untuk
mencegah kerugian di pihak lain. Pengertian ini kemudian dikenal dengan
kebebasan positif.
3) Keadilan dan kesetaraan
Nilai keadilan yang dijunjung kaum liberal dilandasi oleh komitmen terhadap nilai
kesetaraan. Tekanan liberalisme di sini adalah keyakinan bahwa secara universal
manusia memiliki hak yang sama, dan secara moral kedudukan manusia adalah
setara. Dengan demikian, tiap-tiap individu memiliki hak dan kesempatan yang
setara untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilannya. Walaupun tiap
orang terlahir dengan bakat dan kemampuan yang berbeda-beda, berkat kerja keras
mereka masing-masing akan mendapat reward. Tiap individu yang bekerja keras
mengembangkan kemampuannya berhak untuk mengakumulasi kekayaan. Oleh
sebab itu, menurut kaum liberal, kesetaraan kesempatan harus terbuka bagi tiap
individu agar mereka dapat menikmati hak-hak dan penghormatan yang sama.
Kaum liberal tidak melihat bahwa ide kesetaraan kesempatan akan mengarah pada
ketidaksetaraan sosial dan ekonomi.
4) Utilitarianisme
Prinsip utilitas atau manfaat adalah prinsip yang memungkinkan tiap-tiap individu
dapat mengkalkulasi apa yang secara moral baik dengan menjumlahkan
keuntungan/kenikmatan yang diperoleh dari setiap aspek tindakan yang dipilih. Di
tingkat masyarakat pun, prinsip ini dapat dijadikan pedoman untuk pengambilan
keputusan yang menguntungkan masyarakat banyak, yang kemudian dikenal
sebagai prinsip “the greatest happiness for the greatest number”. Pandangan
utilitarianisme ini berakar dari keyakinan bahwa tindakan individu selalu
termotivasi oleh kepentingan-kepentingan pribadi yang dapat didefinisikan sebagai
keinginan untuk mendapatkan keuntungan/kenikmatan dengan menghindari hal-hal
yang merugikan. Dengan demikian, pilihan tindakan individu selalu didasarkan
pada perhitungan jumlah keuntungan yang diperoleh ketimbang kerugiannya. Inilah
yang dimaksud dengan prinsip utilitas.
b) Kapitalisme
Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, lahirlah pemikiran, teori, dan sistem
ekonomi baru yang dijiwai oleh semangat liberalisme yaitu kapitalisme. Kapitalisme
merupakan buah pikiran dari tokoh-tokoh seperti Adam Smith dan David Ricardo.
Keduanya menggagas ide-ide liberal dan rasional, khususnya tentang hakekat manusia
serta peran pemerintah dalam masyarakat sipil. Latar belakang pemikiran ini tidak lepas
dari kehidupan ekonomi pada saat itu yang berada di bawah sistem merkantilis–suatu
sistem ekonomi di mana pemerintah berperan besar dalam membatasi kegiatan-kegiatan
ekonomi guna mendorong ekspor dan membatasi impor.
Pandangan-pandangan Smith yang kemudian menjadi acuan kapitalisme klasik
dapat diringkas sebagai berikut (Heywood, 1998:52—53): Ekonomi adalah pasar dan
pasar ini bergerak sesuai dengan harapan serta keputusan-keputusan individu yang
bebas. Kebebasan dalam pasar dipandang sangat penting dan kebebasan itu meliputi: (a)
kemampuan pengusaha untuk memilih barang yang hendak diproduksi, (b) kebebasan
buruh untuk memilih majikan, dan (c) kemampuan konsumen untuk memilih produk-
produk yang hendak dibeli. Adapun relasi-relasi yang terbangun dalam pasar, yaitu
pengusaha–buruh dan penjual—pembeli, dilandasi oleh relasi yang bercorak sukarela
dan kontraktual.
Yang menarik dari kapitalisme klasik ini adalah bahwa tiap-tiap individu
memiliki kebebasan dan kepentingan pribadi. Namun demikian aktivitas ekonomi
sendiri beroperasi berdasarkan kekuatan-kekuatan pasar yang bercorak impersonal yang
secara alami akan menjadi daya dorong untuk menuju kemakmuran ekonomi. Kekuatan
pasar tersebut dikenal sebagai hukum penawaran dan permintaan yang dapat mengatur
pasar sedemikian rupa sehingga tidak memerlukan aturan-aturan dari luar, bahkan untuk
itu pasar harus dibebaskan dari intervensi pemerintah. Selain hukum penawaran dan
permintaan, Smith juga meyakini adanya invisible hand sebagai pihak yang mengatur
pasar. Dalam praktik, invisble hand digunakan untuk menjelaskan bagaimana masalah-
masalah ekonomi seperti pengangguran, inflasi, defisit neraca pembayaran, dll. dapat
terselesaikan oleh mekanisme dalam pasar itu sendiri. Selain mengurangi masalah-
masalah seperti pengangguran, kekuatan-kekuatan pasat tersebut dipercaya juga dapat
menjadikan kegiatan ekonomi semakin efisien. Efisiensi ekonomi didasari oleh
pemikiran bahwa tiap-tiap perusahaan yang terjun ke pasar memiliki motif untuk
mengejar profit, sehingga prosedur-prosedur yang dijalankan adalah bagaimana
mempertahankan biaya yang rendah. Pemborosan dan inefisiensi tidak dapat ditoleransi.
Namun demikian, pihak-pihak yang terlalu mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya
pun dapat dicegah melalui kompetisi antarprodusen. Sementara, di pasar konsumen
adalah raja. Oleh sebab itu, untuk mempertahankan keuntungan, perusahaan juga harus
mampu mengindentifikasi kebutuhan-kebutuhan konsumen serta memuaskan mereka.
Dapat diringkas bahwa menurut Adam Smith, kapitalisme mengandung
beberapa prinsip dasar (Heywood, 1998:52—53 dan Ebenstein, dkk, 2000:23—26),
yakni yang berikut.
1) Ekonomi pasar
Ini merupakan kegiatan ekonomi yang ditentukan oleh kekuatan pasar, seperti
penawaran dan permintaan. Hal ini dapat berjalan baik bila pihak-pihak eksternal,
yaitu pemerintah tidak melakukan intervensi di dalamnya. Pasar yang berupa relasi
pengusaha—pekerja dan penjual—pembeli dipercaya sebagai pengambil keputusan
yang efektif.
2) Pengakuan atas hak untuk memiliki harta pribadi (secara khusus berupa sarana-
sarana produksi seperti tanah dan pabrik). Harta milik pribadi ini tersebar pada
individu-individu dan tidak terkonsentrasi pada pemerintah.
3) Kompetisi
Prinsip ini bisa terlihat antarpengusaha maupun antarnegara. Di masa kini,
kompetisi dalam pasar bebas bisa menjadi isu politik yang kontroversial
menyangkut konsumen sebagai pihak yang diuntungkan karena barang-barang
impor menjadi murah, sementara, di sisi lain, buruh dalam negeri akan kehilangan
pekerjaan karena ketidakmampuan perusahaan-perusahaan dalam negeri tidak dapat
bersaing sehingga harus menurunkan atau menghentikan produksinya. Namun
demikian, para kapitalis tetap meyakini bahwa kompetisi antarbangsa dapat
membawa kehidupan ekonomi menjadi efektif dan produktif.
4) Profit
Kapitalisme memberi kesempatan seluas-luasnya untuk mencari keuntungan dan
hal ini difasilitasi oleh tiga hal, yakni (a) kebebasan berdagang, (b) kebebasan untuk
memiliki harta pribadi, dan (c) kebebasan untuk melakukan kontrak.
c) Kolonialisme
Kolonialisme adalah paham tentang penguasaan oleh suatu negara atas
daerah/bangsa lain dengan maksud untuk memperluas wilayah negara itu. Faktor
penyebab timbulnya kolonialisme ialah keinginan untuk menjadi bangsa yang terkuat,
menyebarkan agama dan ideologi, kebanggaan sebagai bangsa yang “istimewa,”
keinginan untuk mencari sumber kekayaan alam dan tempat pemasaran hasil industri.
Ada beberapa tipe kolonialisme, yang yang berikut.
(1) Koloni penduduk: negeri asing yang kemudian menjadi tanah air baru karena
migrasi besar-besaran, misalnya Amerika Utara dan Kanada.
(2) Koloni kelebihan penduduk: seperti koloni-koloni bangsa Italia dan Jepang.
(3) Koloni deportasi: tanah koloni yang dikerjakan oleh orang-orang buangan,
misalnya Australia.
(4) Koloni eksploitasi: daerah jajahan yang dikerjakan hanya untuk mencari
keuntungan, misalnya Hindia Belanda.
(5) Koloni sekunder: tanah koloni yang tidak menguntungkan negeri “induk”, tapi
perlu dipertahankan karena kepentingan strategi.
d) Nasionalisme
Nasionalisme merupakan salah satu ideologi yang berpengaruh di Eropa pada
akhir abad ke-18 sampai dengan awal abad ke-20, dan di Asia-Afrika pada abad ke-20.
Dalam kurun waktu dua abad, nasionalisme telah merepresentasikan diri sebagai
ideologi yang berperan penting dalam pembentukan negara-bangsa (nation-state) di
ketiga belahan dunia tersebut. Dalam kajian-kajian tentang nasionalisme, titik tolak
pembahasan terletak pada bangsa (nation). Berpijak pada konsep bangsa ini
nasionalisme dapat dimengerti sebagai sebuah kesadaran nasional, ideologi politik, dan
gerakan politik yang mengarahkan suatu bangsa menuju pembentukan organisasi politik
yang ideal yaitu negara-bangsa. Negara bangsa adalah konsep di mana negara terdiri
dari satu bangsa, dan yang disebut bangsa di sini adalah rakyat yang berdaulat. Jadi
konsep bangsa yang digunakan tidak lagi mengacu pada aspek primordial seperti
kesatuan etnis atau bahasa, namun lebih pada aspek politis. Pembentukan negara-
bangsa, sebagai tujuan nasionalisme, mensyaratkan adanya pemahaman tentang bangsa
dalam arti modern, yaitu bangsa di mana para anggotanya memiliki kesadaran bahwa
mereka (1) tinggal dalam teritori yang sama sehingga menimbulkan rasa memiliki
negara yang sama, (2) memiliki identitas nasional yang terkristalisasi dari sejarah,
bahasa, dan budaya yang sama, dan (3) merupakan anggota bangsa yang sama. Ketiga
hal ini merupakan aspek-aspek yang dapat mempersatukan rakyat yang terpisah secara
geografis sekaligus menumbuhkan tanggung jawab politik bersama.
Bangsa dalam arti modern, seperti telah disebut, dicirikan oleh adanya tanggung
jawab politik bersama dari para anggotanya. Dalam sejarah, pembangunan bangsa
sebagai kesatuan politis dilatarbelakangi oleh gagasan kedaulatan rakyat yang
merupakan reaksi terhadap gagasan kedaulatan raja yang bercorak absolut. Gagasan
kedaulatan rakyat inilah yang kemudian melahirkan sebuah kata kunci yaitu warga
negara. Sebagai akibat dari lahirnya gagasan kedaulatan rakyat, maka dalam konteks
kenegaraan, negara dipahami sebagai tatanan politik yang melembagakan kehendak
rakyat. Rakyat adalah subjek hukum, pihak yang memahami diri sebagai pembuat
hukum itu sendiri. Selain itu, dengan adanya kesadaran dari rakyat bahwa mereka
adalah warga negara, maka rakyat (yang juga) sebagai anggota bangsa akan melihat diri
mereka sebagai kesatuan warga negara yang berhak menentukan pemerintahan sendiri.
Jadi, dalam pengertian bangsa yang modern, terdapat hubungan yang erat antara bangsa,
negara, dan rakyat sebagai warga negara. Adapun peran nasionalisme adalah sebagai
ideologi yang mendorong kesadaran rakyat menjadi kesadaran nasional untuk menuju
pembentukan negara-bangsa yang berdaulat.
Untuk memahami nasionalisme di Eropa pada abad ke-18—20 dan di Asia-
Afrika pada abad ke-20, maka dapat dijelaskan dari ideologi-ideologi lain yang
mengiringi pemikiran nasionalisme di kawasan-kawasan tersebut. Di Eropa,
perkembangan nasionalisme juga diiringi oleh ide-ide kedaulatan rakyat, liberalisme,
dan kapitalisme. Dalam paham liberalisme, kebebasan individu dijamin. Sebagai
akibatnya, tujuan negara dalam masyarakat yang liberal adalah untuk mempertahankan
kebebasan, melindungi harta milik dan mewujudkan kebahagiaan individu. Dengan
demikian, ketika nasionalisme, liberalisme, dan gagasan kedaulatan rakyat telah berhasil
mentransformasi bangsa-bangsa di negara-negara Eropa (khususnya Eropa Barat)
menjadi bangsa bercorak politis yang terdiri atas kesatuan warga negara, maka negara-
bangsa tak lebih dari sarana untuk melindungi kepentingan-kepentingan individu-
individu warga negara.
Dampaknya dalam hubungan antarnegara adalah bahwa yang disebut
kepentingan nasional sebenarnya tak lain dari kepentingan individu-individu atau warga
negara, yang wajib diwujudkan oleh negara. Bila tiap negara berkewajiban mewujudkan
kepentingan nasional maka dalam hubungan internasional akan muncul benturan
antarkepentingan nasional. Nasionalisme dan liberalisme (dan kemudian diikuti oleh
liberalisme dalam bidang ekonomi yaitu kapitalisme) yang berkembang di Eropa
akhirnya mendorong intensitas konflik internasional yang dipicu oleh persaingan
ekonomi disertai persaingan untuk melakukan ekspansi wilayah guna mendapat sumber
bahan mentah. Tiap negara berlomba membangun imperium dengan memperluas
wilayah-wilayah jajahan di kawasan Asia dan Afrika. Sebagai contoh, antara tahun
1870–1900 Inggris menguasai wilayah jajahan seluas 4.250.000 mil2, Prancis 3.500.000
mil2 dan Jerman + 1.000.000 mil2.
Nasionalisme dan kapitalisme di Eropa pada abad ke-18—19 telah melahirkan
negara-bangsa yang kokoh dan dengan kekuatan negara ini pula, suatu bangsa dapat
membangun koloni-koloni dan imperium. Semakin luas wilayah jajahan yang dimiliki,
semakin makmur suatu negara-bangsa. Sebaliknya, di Asia dan Afrika, kolonialisme
dan imperialisme bangsa-bangsa Eropa (yang kemudian diikuti oleh Jepang) telah
menyadarkan rakyat pribumi untuk melawan. Nasionalisme yang bercorak
antikolonialisme dan antiimperialisme merupakan jiwa dari seluruh gerakan nasional
untuk memerdekakan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika. Hasil perjuangan tersebut
dapat dilihat dari data bahwa di antara tahun 1945 dan 1960, terdapat 55 bekas wilayah
jajahan yang menjadi merdeka dan membentuk negara-negara berdaulat.
Pada abad ke-21 ini, nasionalisme tidak lagi menjadi isu sentral dalam masalah-
masalah global. Namun demikian, masih banyak negara yang harus menghadapi
masalah-masalah kebangsaan yang bertumpu pada upaya persatuan bangsa (nation
building) dan permasalahan ini umumnya terjadi di negara-negara yang terbentuk dari
bangsa yang multietnis dan multikultural. Contohnya adalah Uni Sovyet dan Yugoslavia
yang gagal dalam membangun kesatuan bangsa dari keragaman etnis, yang akhirnya
berujung pada pembubaran kedua negara tersebut. Selain itu, negara-negara seperti
Spanyol masih harus menghadapi gerakan separatis Basque. Sementara itu, negara-
negara seperti Irak, Sri Lanka dan bahkan Indonesia masih harus terus berjuang menuju
kesatuan bangsa ini.
e) Sosialisme
Sosialisme sebagai ideologi politik lahir pada abad ke-19. Ideologi ini
berkembang sebagai reaksi terhadap kehidupan sosial—ekonomi yang dibangun di
bawah sistem kapitalisme Eropa pada masa itu. Industrialisasi dan penerapan doktrin
laissez faire yang dipraktikkan oleh negara-negara kapitalis Eropa telah melahirkan
kelas buruh yang hidup miskin. Sementara itu, belum ada undang-undang yang
mengatur tentang upah, jam kerja, dan perlindungan terhadap buruh, anak, dan
perempuan. Pendek kata, buruh bekerja dalam kondisi pabrik-pabrik yang tidak
manusiawi. Tekanan terhadap buruh semakin meningkat dengan adanya ancaman
pengangguran di mana-mana. Kelas buruh yang baru tumbuh ini pun belum memiliki
orientasi untuk menghadapi para majikan yang sangat berkuasa dalam menentukan
tingkat upah maupun kondisi pabrik.
Baru pada akhir abad ke-19 sosialisme berhasil ditransformasikan ke dalam
serikat-serikat pekerja dan partai buruh. Kedua kelompok ini berhasil menekan para
pengusaha sehingga terjadi perbaikan-perbaikan kondisi kehidupan kelas buruh.
Sosialisme yang lahir di abad ke-19 ini sangat beragam karena di dalamnya terdapat
buah pemikiran tokoh-tokoh seperti Owen, Saint Simon, Fourier, Proudhon, dan Karl
Marx. Pemikiran mereka berbeda satu sama lain, namun terdapat beberapa nilai dasar
yang melandasinya (Heywood, 1998: 106—113).
1) Komunitas
Sosialisme melihat realitas manusia sebagai makhluk sosial yang mampu menangani
masalah-masalah sosial–ekonomi dengan kekuatan komunitas. Dengan kata lain,
sosialisme menekankan kapasitas manusia untuk bertindak secara kolektif daripada
secara individual (bandingkan dengan pandangan individualis dalam liberalisme, di
mana individu adalah otonom dan masyarakat hanya dipandang sebagai
penjumlahan dari individu). Kaum sosialis melihat bahwa individu hanya dapat
dipahami melalui kelompok-kelompok sosial di mana ia menjadi anggota. Manusia
dengan manusia lainnya merupakan camerad, saudara yang terikat oleh ikatan
kemanusiaan. Oleh sebab itu, ikatan-ikatan sosial seperti kelas, bangsa, dsb.
merupakan entitas politik yang sangat bermakna.
2) Kooperasi
Kelompok sosialis meyakini bahwa hubungan yang alami antarmanusia adalah
hubungan kooperasi, bukan hubungan kompetisi. Ini berbeda dengan pandangan
kelompok liberal yang melihat kompetisi sebagai hal yang alami karena manusia
secara alami mementingkan diri sendiri sehingga kompetisi dianggap sehat karena
mendorong orang bekerja keras guna mengembangkan seluruh kemampuannya.
Kelompok sosialis beranggapan bahwa kompetisi menempatkan manusia
berlawanan dengan manusia lainnya, mengingkari hakikat sosial serta menampilkan
keegoisan dan agresi. Sebaliknya, kooperasi mendorong manusia untuk saling
bekerja sama dan mengembangkan ikatan simpati. Komitmen terhadap kooperasi
menstimulasi timbulnya usaha-usaha kooperatif yang ditujukan untuk menggantikan
tipe-tipe usaha yang bercorak kompetitif.
3) Kesetaraan
Kelompok sosialis melihat bahwa dalam kapitalisme yang dibangun oleh ekonomi
yang liberal terlalu menekankan kompetisi dan kepentingan diri yang berdampak
pada ketidaksetaraan yang dialami manusia yang terefleksikan dalam struktur
masyarakat yang tidak setara pula. Ketidaksetaraan itu dipandang sebagai wujud
dari perlakuan yang tidak setara di masyarakat dan bukan karena sesuatu yang
alamiah. Dikatakan demikian karena kelompok sosialis tidak meyakini bahwa semua
individu memiliki kapasitas dan keterampilan (bandingkan dengan penjelasan
tentang kesetaraan kesempatan dalam liberalisme). Oleh sebab itu, sosialisme
menekankan adanya kesetaraan sosial sebagai jaminan bagi tiap orang untuk
mengembangkan seluruh potensi dirinya. Ketidaksetaraan sosial dipandang tidak
adil dan memicu persaingan serta kesenjangan sosial. Sebaliknya, kesetaraan sosial
memungkinkan manusia saling bekerja sama dan hidup harmonis—dua nilai yang
dianggap sebagai pilar keberadaan komunitas.
4) Kebutuhan dan keadilan
Nilai kesetaraan sosial dalam sosialisme terkait erat dengan teori tentang distribusi
kekayaan (reward) yang bercorak material di masyarakat. Jika liberalisme
menetapkan reward didistribusikan sesuai dengan kemampuan individu, maka
sosialisme lebih menekankan distribusi reward tersebut berdasarkan kebutuhan.
Menurut kelompok sosialis, kebutuhan-kebutuhan (needs) berbeda dengan keinginan
(want atau preference). Kebutuhan mencakup hal-hal pokok serta menuntut
keharusan untuk segera dipenuhi (ini sering disebut kebutuhan pokok). Hal ini
berbeda dengan keinginan yang diartikan sebagai keinginan personal dan sangat
dipengaruhi oleh faktor sosial-budaya. Kebutuhan pokok bersifat objektif dan
universal serta dibutuhkan oleh tiap orang tanpa memandang bangsa. Kriteria
kebutuhan pokok ini yang kemudian menjadi basis bagi prinsip keadilan.
f) Marxisme
Marxisme tampil sebagai sebuah ideologi politik setelah kematian Karl Marx
pada tahun 1863. Adapun tokoh-tokoh yang mengolah gagasan-gagasan Marx secara
sistematis dan komprehensif serta dapat diterapkan pada gerakan sosialis saat itu adalah
Engels, Karl Kautsky, dan Georgie Plekhanov.
Gagasan-gagasan Karl Marx sebenarnya dapat dikelompokkan dalam rumpun
sosialisme, tetapi Marx mengklaim bahwa sosialisme yang digagasnya adalah
sosialisme ilmiah dan revolusioner (untuk membedakannya dari sosialisme Fabian,
Owenis, Saint Simonis dan Fourieris yang disebutnya sebagai sosialisme utopis).
Pemikiran khas Marx adalah interpretasinya tentang sejarah masyarakat. Ia
menampilkan filsafat sejarah yang mencoba menjelaskan mengapa kapitalisme pada
akhirnya hancur dan sosialisme ditakdirkan untuk menggantikan kedudukan
kapitalisme. Letak perbedaan Marxisme dengan sosialisme lainnya adalah bahwa
pemikiran Marx membuat pemisahan antara teori dan praksis. Dari pemikiran Marx
tentang masyarakat dan sejarah, kemudian lahirlah suatu pemikiran yang oleh Engels
disebut materialis sejarah (lihat pengertian Marx tentang ideologi di subbab 5.1,
Pengertian Ideologi).
Marx menyorot salah satu prinsip dasar kapitalisme, yakni kompetisi. Ia
beranggapan bahwa demi kompetisi maka produktivitas produksi harus ditingkatkan,
dan dijual semurah mungkin. Jika hal ini berlangsung dalam jangka panjang, maka
semua bentuk usaha yang tidak diarahkan untuk mencari keuntungan akan kalah, dan itu
berarti hanya usaha-usaha komersial besar yang dapat hidup. Akhirnya, persaingan
hebat itu akan menyisakan dua kelas sosial saja yakni para pemilik modal besar dan
kelas buruh.
Kelas buruh akan semakin melarat karena pemilik modal terus menekan upah
agar daya saing meningkat. Namun demikian, kelas buruh, yang sebelumnya tidak
memiliki kesadaran kelas, lambat laun menjadi sadar bahwa mereka merupakan satu
kelas dan mengorganisasikan diri dalam serikat-serikat buruh. Tujuan perjuangan buruh
(proletariat) tidak lagi sekadar untuk menaikkan upah, melainkan juga untuk menghapus
hak milik kelompok kapitalis atas sarana-sarana produksi. Jadi di sini kapitalisme telah
melahirkan kelas buruh yang akan menghancurkannya sendiri. Kaum proletariat inilah
yang nantinya menjalankan revolusi sosial, merebut negara dan mendirikan
“kediktatoran proletariat”. Bentuk ini diperlukan untuk mencegah adanya revolusi
balasan dari kaum kapitalis. Setelah itu hak milik pribadi atas sarana-sarana produksi
dihapus dan dialihkan ke negara.
Menurut analisis Marx, selain hak milik pribadi terhapus, negara juga menjadi
layu dan mati. Proletariat menciptakan masyarakat tanpa kelas. Dalam masyarakat tanpa
kelas ini kediktatoran proletariat juga hilang. Akhirnya terciptalah masyarakat komunis
yang dicirikan oleh penghapusan kelas-kelas sosial, menghilangnya negara dan
penghapusan pembagian kerja (Magnis-Suseno, 2001:165—171). Perlu diketahui
bahwa konsep komunisme dalam pemikiran Marx berbeda dengan sistem komunis yang
dibangun Lenin, di mana negara menguasai seluruh sarana produksi.
Dominasi Marxisme dalam gerakan serikat buruh belum nampak pada awal abad
ke- 19. Pada masa itu, khususnya tahun 1820—1830-an, kelompok-kelompok sosialis
aliran Owenis, Saint Simonis dan Fourieris sudah mengawali gerakan buruh dan
berpengaruh pada gerakan yang lebih luas, sehingga pada tahun 1840-1860 wacana-
wacana ideologi sosialis telah diterima sebagai aspirasi kelas buruh di Eropa. Baru pada
tahun 1889 gagasan-gagasan Marx mendominasi gerakan buruh dan Asosiasi Buruh
Internasional II (Internationale II). Hampir semua partai sosialis, termasuk Partai Sosial
Demokrat Jerman (SPD) yang merupakan Partai Marxis terbesar di Eropa,
mengesahkan program-program proMarxis. Di kemudian hari, SPD banyak melahirkan
revisionis Marxisme yang bertujuan untuk menyesuaikan Marxisme dengan
perkembangan ekonomi negara-negara industri di akhir abad ke-20. Tokoh-tokoh
revisionis tersebut antara lain ialah: Eduard Bernstein dan Rosa Luxemburg.
Perkembangan Marxisme berikutnya terlihat pada Internationale III, yang
ditandai oleh meletusnya Revolusi Bolsheviks di Rusia (1914—1918). Sebagai
pemimpin revolusi, Lenin segera menetapkan Marxisme-Leninisme sebagai ajaran yang
paling benar namun ditentang oleh Rosa Luxemburg. Pertentangan tersebut dipicu oleh
kebijakan-kebijakan Lenin pada tahun 1918 yang menghapus hak-hak demokrasi di
Rusia.
Sejak tahun 1930, terjadi polarisasi dalam ideologi dan gerakan Marxisme. SPD
Jerman, misalnya, menjadi kelompok revisionis yang didasari oleh ide-ide demokrasi
sosial. Setelah itu juga lahir varian-varian seperti Trotskyisme, Stalinisme, Marxisme
revisionis, Marxisme humanis, Eurokomunisme, Maoisme, Marxisme Afrika, Marxisme
eksistensialis, Marxisme strukturalis, Marxisme feminis dsb. Hingga saat ini Marxisme
sebagai pemikiran masih tetap hidup dalam bentuk-bentuk yang reformis, demokratis,
dan revisionis (Vincent, 1995:90).
h) Feminisme
Feminisme sebagai suatu pemikiran dan gerakan lahir di akhir abad ke-18,
setelah Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Perancis (1792). Pemikiran ini lahir
karena didorong oleh realitas di masyarakat yakni bahwa pada masa posisi perempuan
kurang menguntungkan dibandingkan dengan posisi laki-laki. Pada masa ini,
perempuan (baik dari kelas menengah–atas maupun kelas bawah) tidak memiliki hak-
9
Sebagai catatan, di dunia ini belum pernah ada satu negara pun yang berhasil mengintegrasikan seluruh
aspek bangsa secara total, bahkan Hitler dan Stalin pun (pemimpin Rusia) tidak pernah berhasil mengontrol
pikiran dan tingkah laku warga negaranya secara total.
hak seperti (1) hak untuk mendapat pendidikan, (2) hak untuk memilih dan dipilih (hak
politik), (3) hak untuk memasuki lapangan pekerjaan di masyarakat, khususnya pada
perempuan dari kelas menengahatas, dan (4) hak atas harta milik sehingga perempuan
yang menikah tidak memiliki harta sendiri yang sah dan segala harta yang diperolehnya
secara legal menjadi milik suaminya.
Sebagai akibat dari tiadanya hak-hak tersebut maka perempuan tidak dapat
masuk ke perguruan tinggi, parlemen, atau kantor-kantor dan tidak memiliki
kedudukan yang sama dengan laki-laki di hadapan hukum. Kondisi ini pada akhirnya
menimbulkan kesadaran akan ketidaksetaraan hak-hak perempuan dengan hak-hak laki-
laki dan kemudian mendorong pemikiran serta gerakan untuk menuntut hak-hak
perempuan. Gerakan feminisme mula-mula berlangsung di Amerika Serikat dan
kemudian menyebar ke Prancis dan Inggris. Gerakan ini dimotori oleh perempuan kelas
menengah-atas dengan tuntutannya yang terkenal, yaitu kesetaraan hak dengan laki-laki
di dunia kerja, dan pendidikan, serta hak untuk memilih dan dipilih.
Salah satu tokoh pemikir yang berpengaruh dan berperan dalam mendorong
kesadaran akan nasib perempuan pada masa itu adalah Mary Wallstonecraft dari
Inggris. Pada tahun 1792, ia menerbitkan buku Vindication of the Rights of Woman.
Lima puluh enam tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1848, pemikiran-pemikiran
Wallstonecraft dimuat dalam Konvensi Hak-hak Kaum Perempuan yang diadakan di
Seneca Falls, A.S.
Dalam sejarah gerakan terdapat satu gerakan perempuan yang dilandasi oleh
gagasan sosialis dengan tokoh pemikir seperti Clara Zetkin (1857-1933) dan Charlotte
Perkin Gilman (1860-1935). Kedua tokoh ini memandang bahwa tuntutan-tuntutan
feminisme sebenarnya bukanlah kesetaraan hak dengan laki-laki semata melainkan juga
meliputi perubahan secara total tatanan masyarakat yang penuh dengan ketidakadilan.
Dengan demikian, ideologi feminisme yang bercorak sosialis mengarah pada penciptaan
Dunia Baru yang berkeadilan dan tanpa penindasan.
Pada abad ke-21 ini, perempuan telah menikmati hasil perjuangan gerakan
feminisme. Pada saat ini tidak banyak orang yang masih mempersoalkan hak-hak
perempuan untuk memperoleh pendidikan, mendapatkan perlakuan yang sama di depan
hukum, mendapatkan pekerjaan di masyarakat atau memperoleh hak-hak politik.
Namun demikian, tidak berarti bahwa kaum perempuan telah terbebas dari diskriminasi
sama sekali. Gerakan perempuan di Indonesia misalnya, masih harus berjuang untuk
mendukung pembuatan undang-undang perlindungan. Tujuan undang-undang ini adalah
untuk melindungi perempuan dari dampak pekerjaan yang merugikan seperti
kecelakaan kerja, upah rendah, dan jam kerja yang panjang. Peraturan-peraturan lain
yang diperjuangkan meliputi penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),
perlindungan terhadap pekerja rumah tangga anak (untuk anak perempuan usia di
bawah 15 tahun), perlindungan terhadap perdagangan perempuan dan anak (trafficking),
perlindungan terhadap perempuan dan anak yang dilacurkan dan korban-korban
pemerkosaan.
i) Ekologisme
Sejak berakhirnya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur di akhir
tahun 1990-an, isu-isu global didominasi oleh isu-isu tentang globalisasi, ledakan
populasi, kemisikinan di Dunia Ketiga, dan lingkungan hidup.
Sebagai isu global, masalah lingkungan hidup merupakan salah satu yang
terpenting. Hal ini dapat dilihat dari diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi
(Earth Summit) tentang lingkungan dan pembangunan pada tahun 1992 di Rio de
Jeneiro. KTT ini dihadiri 100 kepala negara, 172 perwakilan resmi negara, 14 ribu
organisasi non pemerintah dan diliput oleh lebih dari 8.000 wartawan dari seluruh
dunia. Beberapa kesepakatan yang dihasilkan dalam KTT ini adalah konvensi tentang
lingkungan dan pembangunan, konvensi mengenai perubahan iklim, dan konvensi
tentang keanekaragaman hayati. Kesepakatan-kesepakatan ini tentu saja memberi
harapan bagi penyelamatan dan kehidupan lingkungan. Apa yang dicapai melalui KTT
tersebut merupakan hasil perjuangan dan pemikiran yang tak kenal lelah dari semua
pihak yang sangat peduli terhadap kelestarian lingkungan.
Untuk mendalami masalah lingkungan, di sini dikemukakan ideologi lingkungan
yaitu ekologisme (atau ekologi politik) dan environmentalisme. Keduanya peduli
terhadap lingkungan hidup tetapi berbeda dalam cara pandang. Kaum ekolog lebih
menekankan keterkaitan faktor-faktor ekonomi dan politik dengan degradasi lingkungan
sehingga timbul keyakinan bahwa kerusakan alam bisa diperbaiki melalui kerjasama
dengan para industrialis. Sebaliknya, kelompok environmentalis berpandangan untuk
membongkar jalinan ekonomi politik tersebut, bertindak berdasarkan gejala kerusakan
lingkungan. Dalam kehidupan aktual, publik sebenarnya tidak terlalu membedakan
keduanya dan bahkan menyamakan politik hijau (green politics) dengan ekologisme.
Hal ini terjadi karena publik terbiasa melihat gerakan kelompok hijau sebagai kelompok
penekan di tingkat internasional seperti Greenpeace dan Friends of Earth.
Sebagai sebuah ideologi politik kontemporer, ekologisme merupakan reaksi
terhadap proses industrialisasi yang cenderung memperluas produksi dan konsumsi
tanpa mempedulikan keterbatasan bumi. Cepat atau lambat, proses produksi akan
menghabiskan sumber daya alam melampaui kemampuan bumi untuk menyerap
pembuangan zat-zat beracun. Bila hal ini dibiarkan maka kualitas hidup manusia akan
semakin memburuk.
Pada masa modern ini, masyarakat industri di negara maju, yang kemudian
diikuti oleh negara-negara berkembang berlomba-lomba untuk mempercepat produksi
dan meningkatkan konsumsi demi tercapainya kemakmuran. Dampak dari segala
proses ini adalah pengurasan isi bumi (penggunaan energi fosil seperti batubara,
minyak, dan gas) dan penciptaan polusi yang tak terkendali (sebagai akibat limbah gas
seperti karbon dioksida dan metana), Fritz Schumacher dalam The Small is Beautiful
memperlihatkan bahwa industri modern dengan segala kecanggihan intelektualnya telah
menghabiskan unsur-unsur yang paling dasar di mana industri dibangun. Industrialisasi
pula yang membentuk cara berpikir manusia yang bertumpu pada “modal”. Modal
dipandang sebagai sesuatu yang diciptakan manusia dan dapat dihabiskan atau
diinvestasikan. Dari sudut pandang ekolog maupun environmentalis, bumi dan sumber
dayanya tidak dapat diperbaharui. Keduanya merupakan modal yang tidak diciptakan
manusia dan tentu saja tidak dapat ditingkatkan. Jadi, ekologisme di sini bertujuan
untuk membangun kepedulian terhadap hubungan antara manusia dengan lingkungan
serta antara manusia dengan dirinya sendiri.
Hasil gerakan-gerakan lingkungan hidup, baik dari kelompok environmentalis
maupun ekolog, telah membuahkan kesadaran global akan masalah-masalah lingkungan
hidup seperti pemanasan global. Gerakan-gerakan tersebut juga berhasil mendorong
pengurangan atau penghentian penebangan hutan yang tujuannya (1) menghindari
kelangkaan bahan genetika bagi pengembangan obat-obat baru, (2) menyerap karbon
dioksida, (3) membantu mengurangi pemanasan global, (4) mencegah erosi, (5)
melidungi suku-suku pribumi dari kehancuran lingkungannya, dan (6) menjadi wahana
kontemplasi terhadap keindahan yang ditumpulkan oleh industrialisasi. Secara formal,
keberhasilan gerakan ekologisme juga dapat dilihat dari penerapan berbagai kebijakan
tentang lingkungan di negara-negara maju. Bahkan di tingkat internasional telah
diadakan KTT Bumi yang kemudian melahirkan penandatanganan kovensi perubahan
iklim di PBB (United Nation Framework Convention on Climate Change) pada 9 Mei
1992.
a) Hind Swaraj
Hind Swaraj (berasal dari kata Hind yang berarti ‘bangsa India’ dan swaraj yang
berarti ‘pemerintahan sendiri’), adalah ideologi yang digagas oleh Mohandas
Karamchand Gandhi (1869-1948). Ia dikenal sebagai Bapak dan Guru bangsa India
yang wafat karena ditembak pada tahun 1948.
Sebagai sebuah ideologi, Hind Swaraj terdiri atas beberapa ide dasar yaitu
nasionalisme humanistis, sarvodaya (kesejahteraan sosial), ekonomi khadi serta
pemerintahan yang demokratis. Nasionalisme humanistis Gandhi bertumpu pada ajaran
ahimsa (prinsip menghormati kehidupan; dalam arti khusus adalah tidak melakukan
tindakan kekerasan apalagi pembunuhan) dan satyagraha (prinsip kekuatan jiwa dan
cinta akan kebenaran, yang dalam bahasa Inggris sering dipadankan dengan passive
resistance, non-violence atau perlawanan tanpa kekerasan/pasif). Dengan kedua prinsip
tersebut, gerakan kemerdekaan India di bawah Gandhi memiliki ciri-ciri seperti tidak
melakukan tindakan kekerasan tapi lebih memilih aksi-aksi semacam boikot dan
mengedepankan peralihan kekuasan secara damai melalui negosiasi dan gentlemen
agreement.
Hind Swaraj juga meliputi ide tentang tatanan sosial-ekonomi yang ideal, yang
disebut Sarvodaya (kesejahteraan untuk semua), yakni kesejahteraan dan kesetaraan
sosial bagi bangsa India. Ide tentang kesetaraan diangkat mengingat India masih
10
Bahasan tentang perkembangan ideologi ini dapat dibaca lebih lanjut dalam tulisan Fransisco Budi Hardiman,
dalam Pengantar untuk Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer oleh Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed)
(Jakarta: Mediator, 2001), x
11
Jepang yang tidak pernah dijajah, tentunya mengembangkan ideologi yang tidak memiliki unsur-unsur umum
yang dimiliki ideologi bangsa-bangsa Asia yang pernah berada di bawah kolonialisme.
menganut sistem kasta, di mana kaum Pariah atau kaum Harijan (kelompok yang
terpinggirkan) perlu diangkat, baik secara sosial maupun ekonomi, agar di dalam India
yang merdeka, kelompok ini juga memiliki tempat dan kekuatan.
Ide Gandhi tentang ekonomi disebut ekonomi khadi. Khadi sebenarnya adalah
kain tenun yang ditenun dengan charkha (alat tenun yang dijalankan oleh tenaga
manusia). Bagi Gandhi, kedua alat ini merupakan simbol sekaligus sarana untuk yang
mendukung sarvodaya; keduanya merupakan alat sederhana namun dapat menjadi
tumpuan jutaan rakyat miskin untuk memproduksi kain sendiri, hingga lepas dari
ketergantungan pada kain impor dari Inggris. Ekonomi khadi dengan demikian
merupakan simbol kemandirian ekonomi dari ketergantungan pada impor, dan simbol
kebebasan dari eksploitasi sistem industri pabrik yang diyakini Gandhi dapat
menimbulkan pengangguran di desa-desa.
Ide ramrajya (negara yang demokratis) dan gram swaraj (pemerintahan lokal
berbasis desa), merupakan dua ide Gandhi tentang negara dan kedaulatan negara yang
dicirikan oleh desentralisasi kekuasaan. Bentuk-bentuk pemerintahan semacam ini
diyakini oleh Gandhi dapat mewujudkan kedaulatan rakyat yang sesungguhnya, serta
dapat memberi ruang bagi semua bentuk aliran atau pemikiran individu (Poerbasari,
2007:183—189)
Tidak semua ide-ide dasar Gandhi termaktub di dalam konstitusi India. Ide
tentang ekonomi khadi, misalnya, sulit diadopsi, namun sebagai suatu jiwa atau
semangat kemandirian ekonomi, ide tersebut tetap hidup dalam kalbu bangsa India.
b) Pancasila
Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia yang dikumandangkan pertama
kali oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945, pada saat berlangsungnya sidang Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada awal pidato
dalam sidang tersebut, Soekarno menekankan pentingnya sebuah dasar negara. Istilah
dasar negara ini kemudian disamakan dengan fundamen, filsafat, pemikiran yang
mendalam, jiwa dan hasrat yang mendalam. Sementara di bagian lain, Soekarno juga
menyebut dasar negara sebagai Weltanschauung.12 Weltanschauung menurut Soekarno
adalah dasar yang mempersatukan seluruh perjuangan bangsa karena ia merupakan cita-
cita dan tujuan bersama, yaitu melawan imperialisme bangsa asing dan mencapai
kemerdekaan. Dan perjuangan suatu bangsa senantiasa memiliki karakter sendiri yang
berasal dari kepribadian bangsa.13 Sesuai dengan rumusan ini, maka sejak pertama kali
dikumandangkan, Pancasila diartikan sebagai ideologi (dalam arti Weltanschauung),
yang mencerminkan identitas, kepribadian bangsa, sekaligus merupakan alat pemersatu
seluruh bangsa untuk mencapai tujuan perjuangan kemerdekaan. Tujuan kemerdekaan
tersebut sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD ’45 adalah melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dunia dan keadilan sosial.
Pancasila, secara etimologis, berasal dari dua kata yaitu panca yang berarti
‘lima’ dan sila yang berarti ‘dasar’. Jadi, dari akar katanya, Pancasila berarti lima dasar,
yakni dasar bagi negara Indonesia yang merdeka. Semenjak dikumandangkan pada
12
Weltanschauung atau world view pada umumnya terdiri atas sejumlah nilai (konsep tentang apa yang dicita-
citakan), merupakan pandangan hidup, kerangka pemikiran yang memberikan suatu konsep tentang realitas
yang terintegrasi. Lihat juga pengertian Karl Mannheim tentang Weltanschauung dalam subbab VI.1.
Pengertian Ideologi.
13
Isi pidato selengkapnya lihat pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia,
“Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI),” (Jakarta, 1992 : 22-61)
tanggal 1 Juni 1945, Pancasila mengalami beberapa kali perubahan urutan sila maupun
kata. Dalam rumusan asli Soekarno urutannya ialah (1) Kebangsaan Indonesia, (2)
Internasionalisme atau peri kemanusiaan, (3) Mufakat atau demokrasi, (4)
Kesejahteraan sosial, dan (5) Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa atau prinsip Ketuhanan. Dalam Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, Pancasila
berubah menjadi (1) Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia,
(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan, dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perubahan
berikutnya terlihat dalam Mukaddimah UUD RIS tahun 1950, di mana rumusan dan
urutan sila dalam Pancasila adalah (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Peri
kemanusiaan, (3) Kebangsaan, (4) Kerakyatan, dan (5) Keadilan sosial.
Adapun rumusan dan urutan sila dalam Pancasila yang digunakan saat ini adalah
seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD’45, yakni (1) Ketuhanan yang Maha Esa,
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijakasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan (5)
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penempatan sila Ketuhanan yang Maha
Esa sebagai sila pertama dimaksudkan agar tidak hanya menjadi dasar untuk saling
menghormati antaragama, melainkan juga menjadi dasar yang kuat untuk memimpin ke
jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan, dan agar negara dan
pemerintah mempunyai dasar moral.
Dasar kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan kelanjutan dari praktek
hidup dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua sila ini bercorak universal, tidak terikat
oleh batas negara maupun bangsa. Dengan sila kedua, maka dalam perundang-
undangan, hak dan kewajiban warga negara diberi tempat seperti jaminan hak hidup dan
hak atas keselamatan seseorang.
Dalam sila Persatuan Indonesia, terkandung pengertian bahwa bangsa Indonesia
adalah satu, tidak terpecah-belah, dan hal ini diperkuat dengan lambang kesatuan
Bhinneka Tunggal Ika. Indonesia merupakan kesatuan di tengah luasnya wilayah dan
keragaman suku bangsa, adat, bahasa daerah, agama dan bahasa. Hanya dengan dasar
persatuan inilah bangsa dan negara tetap utuh; bila persatuan ini terpecah-belah,
Indonesia pun runtuh. Oleh sebab itu, persatuan Indonesia merupakan syarat hidup
bangsa dan negara Indonesia.
Sila berikutnya, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, menunjukan bahwa kerakyatan yang dianut oleh bangsa
Indonesia bukanlah kerakyatan yang mencari suara terbanyak melainkan dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dengan sila Ketuhanan dan
Kemanusiaan yang adil dan beradab, maka kerakyatan harus berpijak pada kebenaran,
keadilan, kebaikan, dan kejujuran. Dasar moral ini akan memelihara dasar kerakyatan
dari bujukan korupsi dan anarki yang senantiasa mengancam demokrasi. Sila
kerakyatan ini juga terkait erat dengan sila kelima, Keadilan sosial. Untuk mewujudkan
tujuan ini, maka demokrasi yang tepat bukanlah demokrasi liberal atau yang bercorak
totaliter. Sila kerakyatan dan keadilan sosial diharapkan mampu mewujudkan
demokrasi dan keadilan di bidang ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia.
Terakhir, sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan salah
satu tujuan negara, yakni mencapai Indonesia yang adil dan makmur. Sila ini menjadi
jiwa bagi pasal-pasal dalam UUD’45, seperti pasal 27 yang menyebutkan bahwa warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, Pancasila dapat diterima sebagai
ideologi nasional karena sifatnya yang menyatukan berbagai kelompok masyarakat,
memberi arah dan pedoman tingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
serta menjadi prosedur penyelesaian konflik (Surbakti, 1992:48).
1) Hambatan
Hambatan muncul karena adanya perbedaan aliran pemikiran, misalnya paham
individualisme dan paham golongan (class theory). Menurut paham individualistis,
negara adalah masyarakat hukum yang disusun atas kontrak semua individu dalam
masyarakat (kontrak sosial). Di sini kepentingan harkat dan martabat manusia dijunjung
tinggi. Hak kebebasan individu hanya dibatasi oleh hak yang sama yang dimiliki
individu lain, bukan oleh kepentingan masyarakat. Sementara itu, menurut paham
golongan (class theory), negara adalah suatu susunan golongan (kelas) untuk menindas
kelas lain. Paham ini berhubungan dengan paham materialisme sejarah (suatu ajaran
yang bertitik tolak pada hubungan-hubungan produksi dan kepemilikan sarana produksi
serta berakibat pada munculnya dua kelas yang bertentangan, kelas buruh dan kelas
majikan, dan semuanya itu terjadi dan berada dalam sejarah kehidupan manusia) .
2) Perbedaan Kepentingan
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa penafsiran Pancasila secara subjektif
dan kepentingan sendiri sama dengan membuat kabur Pancasila dan menjadi tidak
bermakna. Perbedaan kepentingan ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan pola
pikir masing-masing kekuatan politik, golongan, atau kelompok dalam masyarakat.
3) Bentuk-Bentuk Ancaman
4) Tantangan
a) Tantangan dari dalam negeri antara lain:
(1) Tantangan dari disintegrasi: adanya perpecahan-perpecahan yang disebabkan
tidak puasnya sikap daerah menimbulkan permasalahan-permasalahan yang
dapat menghancurkan persatuan dan kesatuan NKRI, antara lain: lepasnya
Timor Timur pada tahun 1999, adanya gerakan pengacau keamanan di
Papua.
(2) Permesta dan pemberontakan-pemberontakan lainnya sejak jaman Rovolusi.
(3) Tantangan dari masalah agama: adanya usaha-usaha yang timbul karena
keinginan untuk mengganti Pancasila dengan simbol-simbol keagamaan.
antara lain: Gerakan Aceh Merdeka, Gerakan Republik Maluku Selatan
Pemberontakan DI/TlI dan lain-lain.
(4) Tantangan dari masalah SARA: adanya perpecahan yang mengatas namakan
SARA menyebabkan beberapa peristiwa yang dapat menghancurkan
Pancasila antara lain: Peristiwa Poso, Peristiwa Tanjung Periok, Peristiwa
Sambas, dan Peristiwa Mei 1998.
b) Tantangan dari luar negeri, antara lain:
(1) Adanya tantangan dari ideologi lain yang ingin rnengganti ideologi Pancasila
dengan ideologi lain, misalnya ideologi Komunisme dalam peristiwa PKI
Madiun dan Pemberontakan G-30 S/PKl. Atau ideologi Liberal dalam
Peristiwa Ratu Adil dan Pembantaian di Sulawesi oleh Westerling.
(2) Adanya intervensi dari negara lain untuk menghancurkan NKRI contohnya
privatisasi BUMN atau campur tangan Amerika dalam penanganan hukum
dan keamanan di Indonesia.
Oleh karena itu Pancasila bagaimana pun juga akan berusaha untuk tetap
mempertahankan diri dari segala macam tantangan tersebut demi kelangsungan negara
Indonesia.
BAB VI
PANCASILA DITINJAU DARI PERSPEKTIF KEILMUAN
pada alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 dinyatakan, “Atas berkat rahmat Tuhan yang
Maha Kuasa dan . . . . “ Kedua, pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945,
dinyatakan, “ . . . . dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa . . . .”
Pernyataan dalam alinea ketiga dan keempat UUD 1945 bermula dari penjelasan dalam
Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, di mana Ir. Soekarno menyatakan, “Prinsip
Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang
Indonesia hendaknya ber-Tuhan.”
Dijelaskan selanjutnya bahwa prinsip-prinsip Kebangsaan, Perikemanusiaan,
Mufakat dan Kesejahteraan Sosial adalah dilandasi oleh Ketuhanan. Keterangan
tersebut jelas merupakan pengakuan “Nilai Religius”; hal ini mengandung makna
bahwa negara Indonesia mengakui nilai-nilai religius, bahkan merupakan suatu dasar
negara Pancasila, dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, secar filosofis,
bangsa Indonesia mengakui bahwa manusia adalah mahluk Tuhan, sehingga
kemerdekaan dan negara Indonesia di samping merupakan hasil perjuangan bangsa
Indonesia juga yang terpenting adalah merupakan “berkat rahmat Tuhan Yang Maha
Esa”.
Pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 alinea ke-IV tercantum tujuan
negara, yang salah satu di antaranya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum,
khususnya untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Untuk
mewujudkan kesejahteraan umum atau mencapai masyarakat adil dan makmur tersebut,
Republik ini harus membangun, bukan hanya secara fisik saja melainkan secara
keseluruhan—ini disebut dengan sebutan membangun manusia Indonesia seutuhnya.
Dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya, salah satu masalah penting dewasa
ini yang harus diatasi ialah rendahnya taraf kehidupan masyarakat Indonesia, karena hal
itu dapat menimbulkan kesenjangan sosial. Kesenjangan ini terlihat jelas, misalnya di
antara masyarakat yang tinggal di pedesaan dan yang tinggal di perkotaan. Kesenjangan
sosial juga terjadi di daerah perkotaan, yaitu antara masyarakat yang tinggal di daerah
kumuh dan yang tinggal di daerah elit. Untuk menanggulangi masalah ini perlu
dilakukan kerja sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah perlu
merumuskan dan melaksanakan kegiatan pengentasan kemiskinan di setiap daerah
Indonesia guna mewujudkan program pembangunan nasional secara keseluruhan.
Secara filosofis hakikat kedudukan Pancasila sebagai paradigma pembangunan
nasional mengandung konsekuensi bahwa dalam segala aspeknya pembangunan
nasional harus didasarkan pada hakikat nilai-nilai Pancasila karena hakikat nilai-nilai itu
memang didasarkan pada keberadaan manusia Indonesia sebagai subjek pendukung
sila-sila Pancasila sekaligus pendukung pokok negara Republik Indonesia. Hal ini
berdasarkan kenyataan objektif bahwa Pancasila dasar negara dan negara adalah
organisasi persekutuan hidup manusia. Oleh karena itu, dalam rangka mencapai
tujuannya melalui pembangunan nasional, negara harus dikembalikan pada dasar-dasar
hakikat manusia “monopluralis.” Unsur-unsur hakekat manusia “monopluralis” meliputi
susunan kodrat manusia, rokhani, (jiwa) dan raga, sifat kodrat manusia makhluk
individu dan mahluk sosial; serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi
berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena pembangunan
nasional merupakan upaya praktis untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka
pembangunan itu haruslah didasarkan pada paradigma hakikat manusia “monopluralis”
tersebut. Jadi, dalam realisasi pembangunan nasional di berbagai bidang untuk
mewujudkan peningkatan harkat dan martabat manusia secara konsisten berdasarkan
nilai-nilai hakekat kodrat manusia tersebut, maka pembanguan nasional harus meliputi
aspek jiwa (rohani) yang mencakup akal, rasa, dan kehendak; aspek raga (jasmani);
aspek individu; aspek makhluk sosial; aspek pribadi; dan juga aspek kehidupan
ketuhanannya. Berbagai bidang pembangunan nasional itu antara lain, ialah politik,
ekonomi, hukum, pendidikan, sosial budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan
kehidupan agama.
CATATAN KRITIS
Dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia, Pancasila telah diakui sebagai
ideologi yang membentuk identitas bersama, sekaligus menjadi acuan untuk
membangun tatanan masyarakat yang dicita-citakan. Pengakuan terhadap Pancasila
sebagai ideologi nasional merupakan hasil konsensus seluruh kelompok masyarakat.
Hal ini dapat terjadi karena adanya kesadaran bahwa nilai-nilai yang terkandung di
dalam Pancasila, yakni nilai ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial, merupakan nilai-nilai yang dipandang baik
sehingga menjadi tujuan setiap warga negara Indonesia.
Sebagai makhluk sosial sekaligus individual, manusia Indonesia terkait dengan
berbagai fenomena dan latar belakang budaya yang berasal dari beragam suku yang ada
di Indonesia. Meskipun terdapat perbedaan, ada yang mempersatukan mereka, yaitu
cita-cita bersama menuju Indonesia Jaya dengan manusia Indonesia yang berkualitas
dan berkehidupan yang layak. Perilaku manusia yang baik menjadi inti tercapainya cita-
cita itu. Dalam kehidupannya bernegara dan berbangsa, hal itu menjadikan manusia
senantiasa memiliki hak dan kewajiban, baik hak maupun kewajiban individu dan
sosial. Dimensi sosial politis menekankan bagaimana, dalam hubungannya dengan
sesama, manusia harus mematuhi norma dan kewajiban moral.
Di samping itu, manusia Indonesia juga memiliki kebebasan dan tanggung
jawab sebagai makhluk yang hidup dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Kebebasan yang dimilikinya tidak mutlak. Sebagai contoh, ia tidak boleh berbuat
sesuka hatinya tanpa menghargai norma yang ada (misalnya norma agama, keluarga,
negara, universitas, dan tempat bekerja). Dalam kehidupan bermasyarakat, ia harus
menghargai sesama, baik yang memiliki pendapat yang sama maupun yang berbeda
dengannya, dan menghargai norma atau hukum positif yang ada serta kebijakan yang
berasal dari suatu lembaga negara, sejauh semuanya itu diterapkan untuk masyarakat
dan demi kebaikan bersama.
Sebagai akibat dari rumusan Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 maka Pancasila
merupakan sebuah peristiwa politik yang mengandung unsur filsafat politik tentang
dasar negara Republik Indonesia. Apa artinya itu? Kehidupan politis suatu negara dapat
dikaji secara kritis dengan melihat adanya norma dan kewajiban yang berkaitan dengan
kehidupan bernegara, misalnya konsep negara (state), kekuasaan (power), pengambilan
keputusan (decision making), kewenangan (authorithy), pembagian (distribution), serta
alokasi. Norma dan kewajiban itu haruslah sesuai dengan tujuan atau kepentingan
seluruh masyarakat.
BAB VII
UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain
diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-
singkatnya.
Undang-Undang Dasar 1945 kurun waktu 1998 sampai dengan sekarang (masa
Reformasi). Dalam proses reformasi hukum dewasa ini, banyak yang melontarkan ide
untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Amandemen tidak dimaksudkan
untuk mengganti sama sekali UUD 1945, tetapi hanya merupakan suatu proses
penyempurnaan terhadap UUD 1945 tanpa dengan serta-merta mengubah UUD itu
sendiri. Amandemen lebih merupakan perlengkapan dan rincian yang dijadikan
lampiran otentik bagi UUD tersebut. Dengan sendirinya amandemen DIBUAT dengan
melakukan berbagai perubahan pada pasal DAN memberikan tambahan-tambahan
(Kaelan, 2003: 177; Mahfud, 199: 64).
Ide tentang amandemen terhadap UUD 1945 tersebut didasarkan pada suatu
kenyataan sejarah, bahwa selama masa Orde Lama dan Orde Baru, penerapan terhadap
pasal-pasal UUD telah menumbuhkan sentralisasi kekuasaan, terutama pada Presiden.
Orde Baru berupaya untuk melestarikan UUD 1945 bahkan memperlakukannya seakan-
akan bersifat keramat sehingga tidak boleh diganggu gugat. Demikianlah, tidak ada
sistem kekuasaan dengan “checks and balances”, terutama terhadap kekuasaan
eksekutif. Bagi bangsa Indonesia, proses reformasi terhadap UUD 1945 merupakan
suatu keharusan karena hal itu akan mengantar bangsa Indonesia ke arah tahapan baru
penataan ketatanegaraan.
Amandemen pertama terhadap UUD 1945 dilakukan pada tahun 1999 berupa,
dilakukan dengan memberikan tambahan dan perubahan terhadap pasal 9 UUD 1945.
Kemudian, secara berturut-turut, amandemen kedua dilakukan pada tahun 2000,
amandemen ketiga pada tahun 2001, dan amandemen terakhir pada tahun 2002 yang
disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Demikianlah bangsa Indonesia memasuki
suatu babak baru dalam kehidupan ketatanegaraan yang diharapkan membawa ke arah
perbaikan tingkat kehidupan rakyat. UUD 1945 hasil amandemen 2002 dirumuskan
dengan melibatkan sebanyak-banyaknya partisipasi rakyat dalam mengambil keputusan
politik, sehingga diharapkan sturuktur kelembagaan negara yang lebih demokratis ini
akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan ditetapkannya perubahan Undang-
Undang Dasar, maka Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 terdiri atas
pembukaan dan pasal-pasalnya (Tiga UUD Republik Indonesia, 2006: 196).
7.3 REFORMASI
Pada tahun 1997 bangsa Indonesia dilanda krisis, bukan hanya krisis di bidang
ekonomi dan moneter, melainkan juga krisis di bidang politik. Krisis tersebut yang
semula dipicu oleh ketidakmampuan pemerintah mengatasi gejolak moneter, membawa
implikasi politik yang besar yaitu krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Dalam
keadaan itu muncul desakan agar krisis di bidang ekonomi dan moneter segera diatasi.
Selain itu juga muncul desakan agar segera dilaksanakan reformasi menyeluruh,
terutama di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Sidang Umum MPR pada bulan Maret
1998 antara lain memilih dan mengangkat H.M. Soeharto sebagai Presiden RI untuk
ketujuh kalinya berdasarkan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1998 dan B.J. Habibie
sebagai Wakil Presiden berdasarkan Ketetapan MPR No. VI/MPR/1998.
Krisis moneter tersebut oleh para pakar diperkirakan akan berlangsung 2-3 tahun
lagi. Demonstrasi mahasiswa makin marak dan mulai diikuti oleh dosen dan
cendekiawan lain. Di tengah maraknya tuntutan reformasi, pada tanggal 1 Mei 1998
Presiden Soeharto mengundang Pimpinan DPR, Pimpinan Fraksi-fraksi di DPR, dan
Pimpinan ketiga organisasi sosial politik untuk membahas perkembangan situasi.
Pertemuan tersebut tidak mendapat tanggapan yang berarti dari para mahasiswa.
Mahasiswa menegaskan agar dilaksanakan reformasi politik. Selain mahasiswa, unjuk
rasa juga dilakukan oleh masyarakat umum.
Di tengah kesulitan ekonomi, pada tanggal 4 Mei 1998 pemerintah
mengeluarkan keputusan yaitu kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif dasar
listrik melalui Keputusan Presiden No. 69 dan 70 tahun 1998. Kebijakan tersebut
mendapat tanggapan serius dari Komisi V DPR yang kemudian meminta pemerintah
membatalkannya. Pemerintah dituding tidak memikirkan beban berat rakyat akibat
krisis moneter.
Aksi mahasiswa di sejumlah kota besar semakin berani dengan turun ke jalan.
Pada tanggal 12 Mei 1998 petang, empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas
ditembak petugas dari jembatan layang di luar kampus. Peristiwa bentrokan bermula
ketika para mahasiswa menolak permintaan petugas keamanan agar masuk ke areal
kampus sekitar pukul 6 sore. Aparat keamanan tidak sabar lagi dengan tindakan
persuasif, serentak melakukan tindakan pembubaran aksi mimbar bebas dan aksi duduk.
Bentrokan fisik tidak dapat dihindarkan. Sebagian mahasiswa lari menyelamatkan diri,
sebagian yang lain berusaha melawan petugas dengan melemparkan batu. Esok harinya,
tanggal 13-14 Mei 1998, terjadi huru-hara, pembakaran toko-toko dan penjarahan di
wilayah Jakarta, Tangerang, dan daerah lainnya yang memakan korban meninggal dan
kerugian harta benda yang sangat besar.
Akibat peristiwa Trisakti dan kerusuhan massal pada tanggal 13-14 Mei 1998,
muncul tuntutan rakyat agar MPR segera menyelenggarakan sidang istimewa dengan
meminta pertanggungjawaban presiden atau pengunduran diri secara konstitusional.
Para mahasiswa semakin gencar melakukan aksi menuntut diadakannya reformasi
menyeluruh, termasuk pergantian kepemimpinan nasional. Para tokoh kritis yang berdiri
di belakang mahasiswa mendesak penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR untuk
meminta pertanggungjawaban Presiden/Mandataris MPR atas krisis nasional yang
menimpa bangsa Indonesia. Dalam pertemuan dengan Presiden tanggal 16 Mei 1998,
Pimpinan DPR menyampaikan aspirasi masyarakat agar Pemerintah mengadakan
reformasi total Presiden mengundurkan diri, dan Sidang Istimewa MPR diadakan.
Kemudian, setelah mengadakan konsultasi dengan fraksi-fraksi, pada tanggal 18 Mei
1998 Pimpinan DPR membuat pernyataan. Ketua DPR Harmoko yang didampingi oleh
empat orang wakilnya, yaitu Syarwan Hamid, Abdul Gafur, Ismail Hasan Metareum,
dan Fatimah Akhmad, menyatakan agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya
mengundurkan diri demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada tanggal 19 Mei 1998 Presiden Suharto menyatakan menolak permintaan
tersebut. Presiden, sebagai Mandataris MPR menyatakan akan melaksanakan dan
memimpin reformasi nasional secepatnya. Untuk itu Presiden akan membentuk Komite
Reformasi dengan tugas untuk segera menyelesaikan Undang-Undang Pemilu, Undang-
Undang Kepartaian, Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD,
Undang-Undang Anti-Monopoli, Undang-Undang Anti-Korupsi, dan lain-lain sesuai
keinginan masyarakat. Pemilu akan dilaksanakan secepatnya berdasarkan Undang-
Undang Pemilu yang baru. Sidang Umum MPR hasil pemilu tersebut akan menetapkan
GBHN, memilih Presiden dan Wakil Presiden, dan ketetapan-ketetapan MPR lainnya.
Presiden menyatakan bahwa ia tidak bersedia lagi dicalonkan sebagai Presiden dan
akan segera mengadakan reshuffle kabinet Pembangunan VII yang dinamakan Kabinet
Reformasi.Gagasan Presiden itu tidak mendapat tanggapan positif dari mahasiswa dan
kelompok kritis. Gedung MPR/DPR dibanjiri oleh ribuan mahasiswa yang menuntut
reformasi secara menyeluruh dan mendesak agar diselenggarakan Sidang Istimewa
MPR. Selain itu mahasiswa minta agar presiden mundur.
Pada tanggal 21 Mei 1998 pagi, bertempat di Istana Merdeka, di hadapan
Pimpinan DPR yang juga merupakan Pimpinan MPR, Presiden Suharto menyatakan
berhenti sebagai Presiden RI. Ini dilakukan karena rencananya untuk membentuk
Komite Reformasi tidak terwujud. Dalam keadaan seperti itu baginya sangat sulit untuk
menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena
itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan setelah memperhatikan
pandangan Pimpinan DPR dan Pimpinan Fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, ia
memutuskan untuk berhenti sebagai Presiden RI terhitung sejak dibacakan pernyataan
itu pada tanggal 21 Mei 1998. Kemudian, sesuai dengan Pasal 8 UUD 1945, Wakil
Presiden B.J. Habibie melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/Mandataris MPR 1998-
2003. Mulai hari itu Kabinet Pembangunan VII demisioner. Untuk menghindari
kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, maka B.J.
Habibie mengucapkan sumpah jabatan Presiden di hadapan Mahkamah Agung RI
setelah Presiden Suharto mengumumkan pernyataan berhenti.
Namun, gerakan reformasi belum selesai. Para pengunjuk rasa tetap menuntut
diadakannya reformasi secara menyeluruh serta pemberantasan praktik korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN). Dalam pertemuan konsultasi antara Presiden B.J. Habibie
dengan pimpinan DPR beserta pimpinan fraksi-fraksi di DPR tanggal 28 Mei 1998
disepakati untuk mempercepat pemilu dan Sidang Istimewa MPR. Dalam rapat
Paripurna tanggal 29 Juni 1998 DPR secara resmi meminta MPR untuk melaksanakan
Sidang Istimewa MPR. Sidang Istimewa MPR dilaksanakan mulai tanggal 10
Nopember 1998; diharapkan bahwa semangat hari pahlawan dapat menjiwai sidang.
Beberapa ketetapan MPR dihasilkan, antara lain Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1998
tentang Pencabutan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum dan
Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang pencabutan Ketetapan MPR No.
II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). MPR
hasil Pemilu tahun itu mengadakan amandemen terhadap UUD 1945.
Sebagai kesimpulan dari Buku Ajar I ini ialah bahwa pemahaman tentang
filsafat sangat penting bagi pemahaman yang lebih lanjut, yaitu Pancasila. Filsafat
menjadi akar dan landasan dalam kegiatan orang untuk mencari pengetahuan, baik
pengetahuan sehari-hari maupun pengetahuan ilmiah. Dimulai dengan berpikir tepat
melalui belajar logika, orang atau siapa pun diajak mengenal, mempelajari, dan
mempraktikkan bagaimana proses penalaran manusia itu dan mengekspresikannya ke
dalam berbagai ujaran manusia. Tentu saja yang diminta adalah penalaran yang tepat
dan lurus, artinya kaidah dalam logika ditaati dengan benar.
Penalaran yang tepat dan benar membuahkan sikap yang kritis dalam
pemahaman manusia untuk mengenal berbagai fenomena di sekitarnya. Untuk itulah
pengenalan berbagai fenomena tersebut diarahkan dengan belajar filsafat sebagai suatu
ilmu. Belajar tentang objek materi dan objek forma, serta metode dalam filsafat
merupakan awal upaya seseorang untuk bersifat kritis. Pengetahuan tentang bagaimana
tiga tema filsafat, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi, sangat berguna dalam
penelusuran secara kritis bagi seseorang untuk mempelajari berbagai fenomena di
sekitarnya dan mengembangkannya dalam penalaran kritis yang lebih lanjut.
Filsafat ilmu menekankan context of justification dan context of discovery, sisi
teoretis dan praksis dari kegiatan ilmiah. Seorang ilmuwan dituntut berpijak pada
kebenaran, baik secara teoretis maupun praktis. Melalui tanggung jawab sebagai
seorang ilmuwan atau calon ilmuwan, perilaku baik dan jujur ditampilkan dalam
kegiatan ilmiahnya
Etika mengajak kita untuk menyadari bahwa perilaku baik dan buruk seseorang
timbul karena berbagai pertimbangan yang mengharuskan kita lebih arif dan bijaksana
tentang hal itu. Melalui pertimbangan yang melihat peran suara hati, kebebasan dan
tanggung jawab, serta hak dan kewajiban seseorang, diharapkan ia dapat berperilaku
etis dan memiliki kaidah moral yang baik, baik sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat.
Belajar tentang ideologi akan mengarahkan tujuan hidup seseorang dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, ideologi juga memiliki beberapa fungsi
lain yang tak kalah pentingnya. Fungsi yang perlu ditekankan di sini adalah sebagai
pembentuk identitas bangsa karena ideologi memiliki kecenderungan untuk
memisahkan ingroup (kita) dari outgroup (mereka). Oleh sebab itu ideologi berfungsi
untuk mempersatukan. Apabila kita bandingkan dengan agama, agama berfungsi juga
mempersatukan orang dari berbagai pandangan hidup, bahkan dari berbagai ideologi.
Sebaliknya, ideologi mempersatukan orang dari berbagai agama. Oleh karena itu pula,
ideologi juga berfungsi untuk mengatasi berbagai konflik atau ketegangan sosial. Di
sini, ideologi mampu berfungsi sebagai “solidarity making” dengan mengangkat
berbagai perbedaan ke dalam tatanan yang lebih tinggi.
Pemahaman Pancasila secara kritis berarti memahaminya dengan landasan
filosofis dan berpikir yang tepat. Untuk itulah pendekatan secara kritis dan logis dan
kritik ideologi menjadi sarana utama dalam mempelajari Pancasila. Pancasila
hendaknya dilihat sebagai suatu realitas, suatu kenyataan yang berasal dari warisan
pemikiran bangsa lndonesia di masa lalu. Sebagai suatu kenyataan yang dapat
dijabarkan melalui butir-butirnya, maka butir-butir itu memiliki substansi dan esensi.
Pendekatan secara logika membawa kita kepada pemahaman bahwa masing-masing
butir tersebut memiliki hubungan yang logis, keteraturan yang sistematis, dan terkait
erat dengan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Sedang pendekatan secara etis
mengajak kita untuk memahami bahwa di dalam Pancasila terdapat kaidah moral berupa
ajaran untuk berperilaku baik dalam pengamalannya. Selain itu, Pancasila juga harus
dilihat sebagai sebuah ideologi yang memiliki ajaran atau ide dengan tujuan tertentu
atau perubahan yang menyertakan kesejahteraan bagi rakyat. Oleh karena itu Pancasila
juga memiliki sifat sebagai ideologi terbuka bagi pembaharuan, bahkan ideologi yang
lain, sejauh itu tidak bertentangan dengan Pancasila. Perilaku etis dapat dihadirkan tidak
saja dalam kegiatan ilmiah tetapi juga ketika seseorang menjadi warga negara
Indonesia. Warga negara yang baik itulah yang ingin dicapai dan itu dapat terwujud
apabila kita menghargai dan memahami Pancasila dengan kritis dan arif.
Sebagai penutup, Buku Ajar I Logika, Filsafat Ilmu, dan Pancasila menjadi
bekal dan fondasi bagi mahasiswa untuk memahami berbagai materi dan substansi pada
Buku Ajar II Manusia, Ahlak, Budi Pekerti, dan Masyarakat, serta Buku Ajar III, yaitu
Bangsa, Negara, dan Lingkungan Hidup di Indonesia. Dengan demikian ketiga Buku
Ajar tersebut saling berintegrasi dan menjadi kesatuan yang terpadu, logis dan
sistematis dalam pengajaran MPKT PDPT.
KATA-KATA PENTING
1. Aksiologi: ilmu pengetahuan yang membahas tentang nilai (value) dan norma yang
berkenaan dengan kehidupan manusia. Aksiologi berkembang menjadi etika dan
estetika. Etika lebih menitikberatkan pada nilai kebaikan yang ada pada perilaku
manusia, sedang estetika membahas tentang pengalaman keindahan manusia yang
diungkapkan melalui perasaan dan persepsinya terhadap karya seni, dan bangun.
2. Epistemologi: ilmu pengetahuan yang membahas tentang sumber, batas, dan
kebenaran dari pengetahuan. Sebagai cabang dari ilmu filsafat, epistemologi juga
berkembang, dan lahirlah bidang ilmu seperti metodologi, logika, dan filsafat ilmu.
3. Etika: cabang dari ilmu filsafat, dan merupakan ilmu pengetahuan yang membahas
tentang prinsip baik dan buruk yang diterapkan pada perilaku seseorang atau
masyarakat.
4. Etika Normatif: salah satu bentuk/jenis etika yang bertitik tolak pada norma-
norma atau aturan yang membatasi manusia dalam berperilaku, misalnya suara hati,
prinsip kebebasan dan tanggungjawab, serta hak dan kewajiban.
5. Etika terapan: bentuk etika yang memiliki sifat praktis, dan dapat diterapkan dan
berguna pada suatu situasi, keadaan, atau lembaga tertentu. Contoh etika terapan
adalah etika profesi yang mengacu pada profesi tertentu, misalnya etika kedokteran,
etika keperawatan, etika bisnis, dan etika lingkungan.
6. Filsafat: ilmu pengetahuan yang mencari hakekat tentang segala sesuatu dari
realitas yang ada dan berlandaskan pada pemikiran yang bersifat rasional, kritis,
sistematis, logis, metodis, dan koheren.
7. Filsafat Ilmu: ilmu pengetahuan yang membahas ciri dan proses atau cara kerja
ilmiah secara kritis. Dalam proses kerja filsafat ilmu pengetahuan terdapat dua
aspek, yaitu aspek justifikasi yang menekankan secara de jure kebenaran ilmiah dan
aspek temuan (discovery) yang secara de facto berupa teknologi.
8. Ideologi: seperangkat ide yang menjadi basis tindakan politik yang terorganisir.
Ada tiga ciri ideologi yakni: a) sebagai world view (pandangan hidup) masyarakat;
b) sebagai model, visi, cita-cita tentang tatanan masyarakat yang baik di masa
depan; dan c) sebagai pedoman bagi perubahan-perubahan politik yang seharusnya
dilakukan.
9. Logika: ilmu tentang berpikir secara tepat. Mempelajari logika secara akademis
memungkinkan seseorang untuk mengetahui metode-metode dan prinsip berpikir.
Dengan dasar pengetahuan ini seseorang dituntut untuk terus menerus melatih dan
mengasah akal budinya sehingga mampu membedakan pemikiran yang tepat dan
teratur dari pemikiran yang sesat dan kacau.
10. Ontologi: ilmu pengetahuan yang membahas tentang keberadaan sesuatu secara
nyata, faktual dan konkret. Sebagai cabang dari ilmu filsafat maka ontologi dalam
perkembangannya memunculkan berbagai studi lain, seperti filsafat manusia,
filsafat budaya, dan metafisika.
11. Pancasila: dasar negara bangsa Indonesia. Sebagai dasar negara bangsa, Pancasila
dapat dikaji secara kritis. Ini berarti selain sebagai pandangan hidup, Pancasila
dapat diteliti sebagai suatu wacana dan ideologi yang ditinjau dari berbagai aspek
filsafat (mencari esensi dan substansi secara metafisis, kosmologis, logis, dan etis).
12. Revolusi Ilmu Pengetahuan: revolusi (perubahan) dalam cara berpikir manusia
untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah yang berlandaskan pada perhitungan
matematis dan aspek pragmatis (kegunaan), terjadi pada abad XVII di Eropa. Sejak
itu lahirlah bentuk ilmu pengetahuan yang memiliki objek yang konkret (terlihat
secara inderawi) dan terukur oleh perhitungan matematika, dan disebut sebagai
ilmu pengetahan kealaman. Contoh ilmu pengetahuan kealaman adalah ilmu
kedokteran, fisika, biologi, dan ilmu kimia.
13. Teori Koherensi: teori kebenaran yang melihat adanya persesuaian subjek dengan
sesuatu yang dilihatnya dan dalam persesuaian tersebut muncul kesepakatan yang
terjadi di antara subjek.
14. Teori Korespondensi: teori kebenaran yang berlandaskan pada persepsi seseorang
(subjek) terhadap sesuatu yang dilihatnya.
15. Teori Pragmatis: teori kebenaran yang bertitik tolak pada kegunaan dari sesuatu
yang diamati atau dikajinya.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, 1986. “Ideologi, Idealisme dan Integrasi Nasional” dalam Jurnal Prisma No. 8,
Agustus 1986.
Andrain, Charles F. 1992 Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial (Terjemahan
Luqman Hakim). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Ball, Terence dan Richard Dagger (ed.). 1995. Ideals and Ideologies (edisi ke-2). New
York: Harper Collins Publishers Inc.
Basroni, Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Tesis, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 2000.
Bertens, K. 1979. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius.
Bertens, K. 2001. Etika. Jakarta: Gramedia.
Budianto, Irmayanti M. 2002. Realitas dan Objektivitas: Refleksi atas Cara Kerja
Ilmiah, Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Copi, Irving M. 1976. Introduction to Logic. New York: The Mcmillan Company.
Eagleton, Terry. 1991. Ideology. London: Verso.
Eatwell, Roger dan Anthony Wright (ed.) 2003. Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer
(Terjemahan Marselus Ruben Payong). Jakarta: Penerbit Mediator.
Ebenstein, Alan (dkk). 2000. Today’s isms (ed. ke-7). New Jersey: Prentice-Hall,
Inc.
Guba, Egon G. (ed.). 1990. The Paradigma Dialog. Sage Publications.
Hardiman, Fransisco Budi. 2003. Kritik Ideologi. Yogyakarta: Buku Baik.
Hayes, Paul M. 1973. Fascism. London: George Allen & Unwin Ltd.
Hayon, Y. P. 2005. Logika: Prinsip-prinsip Bernalar Tepat, Lurus, dan Teratur (Edisi
revisi). Jakarta: ISTN.
Heywood, Andrew. 1998. Political Ideologies (ed.ke-2). New York: Palgrave.
Kaelan, M. S. 1999. Pendidikan Pancasila: Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta:
Pradigma.
Lakatos, Imre dan Alan Musgrave (ed.). 1989. Critism and the Growth of Knowledge.
Cambridge: Cambridge University Press.
Marbun, B.N.1983. Demokrasi Jerman, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Magnis-Suseno, Franz Magnis. 1982. Mengenal Pancasila: Pendekatan Melalui Etika
Pancasila, Yogyakarta: Hanindita
-------------. 1987. Mengenal Pancasila: Pendekatan Melalui Sejarah dan
Pelaksanaannya, Yogyakarta: Hanindita
--------------. 2001. Pemikiran Karl Marx. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Meliono, Irmayanti. 2002. Realitas dan Objektivitas: Refleksi atas Cara Kerja Ilmiah.
Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Notonagoro. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Jakarta: Pantjuran
Tujuh
Poespoprodjo. 1981. Logika, Ilmu Menalar, Bandung: Remaja Karya.
Sastrapratedja, M. 1993. “Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Budaya”, dalam
Pancasila sebagai Ideologi (Oetoyo Oesman dan Alfian (editor)), Jakarta:
BP-7 Pusat.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1992. “Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI)”. Jakarta: Sekretariat Negara Republik
Indonesia.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Vincent, Andrew. 1995. Modern Political Ideologies (ed. ke-2). Cambridge,
Massachussettes: Blackwell Publishers Inc.
***
TENTANG PENULIS
Irmayanti Meliono adalah pengajar tetap Program Studi Filsafat FIB UI dan fasilitator
PDPT UI – MPKT dan MPK Seni di lingkungan Universitas Indonesia. Latar belakang
pendidikannya adalah S1 Filsafat, S2 Program Studi Antropologi Program Pascasarjana
Universitas Indonesia (PPS UI) tahun 1992, dan S3 Filsafat di PPS UI tahun 1998. Saat
ini menjabat Ketua Departemen Kewilayahan FIB UI.
Y. P. Hayon adalah pengajar luar biasa pada Program Studi Filsafat FIB UI. Latar
belakang pendidikannya adalah Sarjana Muda STF Lenaldo Flores tahun 1974, Sarjana
Sastra (S1) UI tahun 1987 dan Magister Humaniora (S2) FSUI pada Program Studi
Filsafat tahun 1997.
Ita Syamtasiah adalah pengajar tetap Program Studi Sejarah FIB UI dan fasilitator
PDPT UI – MPKT di lingkungan Universitas Indonesia. Latar belakang pendidikannya
adalah S1 Sejarah FSUI tahun 1984, dan Magister Humaniora (S2) di Program Studi
Sejarah PPS FIB UI tahun 1992, dan doktor (S3) dengan konsentrasi Sejarah Peradaban
Islam di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Suharto adalah pengajar tetap Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia. Latar belakang pendidikannya adalah S1 Jurusan Sejarah FSUI
tahun 1972, S2 di UGM tahun 1993 dengan tesis berjudul Pagoeyoeban Pasoendan
1927-1942: Profil Pergerakan Etnonasionalis. Doktor ilmu sejarah (S3) diperolehnya di
UI pada tahun 2001 dengan disertasi berjudul Banten Masa Revolusi 1945—1949:
Proses Integrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.