Anda di halaman 1dari 5

Seorang petani tolol sedang asyik mengumpulkan kayu- kayu kering ketika dia mendengar jeritan.

Dia
menoleh kesana kemari, tapi tak melihat siapa- siapa. Jadi di teruskannya mengumpulkan kayu. Sekali lagi
terdengar jeritan. Kali ini dia mencari- cari dengan lebih teliti akhirnya di lihatnya seekor ular terjepit diantara
batu- batu. Petani itu meloncat mundur karena takut. Ular adalah binatang licik. Tapi, binatang itu memohon
mengiba iba “tolonglah aku tuan, keluarkan aku dari bawah batu ini.” “ya, aku bisa saja menolongmu,” jawab
si petani, “tapi untuk apa? Kamu pasti akan mematuk aku dan menyemburkan racunmu. Bagaimanapun ular
tetap ular.” “astaga, aku tak kan pernah berbuat sekeji itu,” kata ular. Akhirnya dengan mengabaikan akal
sehatnya petani itu mengangkat batu yang menindih ular. Dibiarkannya ular itu merayap keluar. Tiba- tiba
ular itu mematuknya. Nyaris! Untung petani itu masih sempat meloncat menghindarinya. “nah, benar, kan,”
teriak petani.”kamu ular licik. Aku tahu itu. Mengapa kau membalas budi baik dengan perbuatan keji? Aku
tak mengert.i” “ada alasannya,” jawab ular. “memang begitulah hukum rimba. Air susu harus di balas
dengan air tuba.” Petani itu tak sependapat dengan si ular. “tak semua orang setuju dengan pendapatmu
itu,” katanya. “jika ada orang yang berbuat baik terhadapku, aku akan selalu mengingatnya dan berusaha
membalas kebaikannya.” Ular itu hanya mendengus. “kita bertaruh saja,” katanya. “ carilah siapa yang
setuju dengan pendapatmu, maka kau akan kulepaskan.” Petani dan ular itupun berjalan bersama- sama.
Mereka bertemu dengan seekor kuda tua yang melangkah terseok- seok. Ekornya yang berambut jarang
dan lemah berusaha mengusir lalat yang merubung kakinya. Si petani bertanya, “menurut pendapatmu,
kuda tua, budi baik harus di balas dengan apa?” kuda menjawab, “dengan kejahatan.” “mengapa kau
berpendapat begitu”, tanya petani kecewa. “sebab,” katakuda tua itu sambil berusaha duduik dengan enak,”
waktu aku masih muda dan kuat, majikanku selalu merawatku dengan penuh kasih.” Kuda melanjutkan,
“aku di beri kandang yang hangat dan jerami serta padi- padian yang cukup. Boleh makan sekenyang-
kenyangku. Tapi... sekarang aku sudah tua dan lemah, aku diusirnya... begitu saja.” “nah, apa kataku,”
endus ular puas, “sekarang juga akan kupatuk engkau dengan gigiku yang berbisa.” “tunggu dulu,” tergesa-
gesa petani itu berseru. “sebaiknya kita tanyakan pada yang lain lagi.” Keduanya meneruskan perjalanan. Di
padang mereka melihat seekor domba sedang merumput. Petani bertanya padanya, “menurut pendapatmu,
domba, budi baik harus di balas dengan apa?” “dengan kejahatan,” kata domba tanpa menoleh. “mengapa
kau berpendapat begitu?” Domba menjawab, “aku selalu memberikan wol untuk majikanku, tapi dia jahat. Di
musim panas, dibiarkan nya buluku tumbuh lebat hingga aku pingsan kepanasan. Di musim dingin, di
cukurnya buluku, hingga aku beku kedinginan.” Ular mendesis, “bagus! Sekarang kupatuk kau dengan
taringku yang berbisa.” “sabar... sabar,” cegah si petani. “pasti ada pendapat lain lagi.” Merekapun berjalan
lagi. Untung, sebelum si ular melihat, petani itu telah melihat seekor rubah. Dia menyelinap dan berbicara
dengan rubah itu “ sebentar lagi aku akan menemuimu dengan seekor ular,” katanya menerangkan. “ kalau
ku tanya, jawablah bahwa budi baik harus di balas dengan budi baik juga. Nanti ku beri kau anak domba,
anak babi dan itik yang gemuk.” “boleh juga tawaranmu,” jawab rubah. Setelah itu, petani kembali berjalan
menjejeri ular. Tak lama kemudian mereka berpapasan dengan rubah. “menurut pendapatmu, rubah,” kata
petani,” budi baik harus di balas dengan apa?” “dengan kebaikan,” jawab rubah tersenyum, terbayang
olehnya daging lezat anak domba, anak babi, dan itik yang gemuk. Lalu ketiganya mengobrol, dan rubah
mendengar bagaimana tadi ular terjepit di bawah batu. Dia tak percaya. Jadi mereka kembali ke tempat
batu itu dan atas anjuran rubah, petani itu menindih kembali si ular dengan batu. Rubah benar- benar telah
menyelamatkan nya. Tapi malamnya, waktu rubah menagih janji, ternyata petani itu telah mengunci erat-
erat kandang domba, kandang babi, dan serta kandang itik. Malahan, petani itu mengusirnya dengan
acungan senapandan dua ekor anjing galak. “wah, kau jadi pintar, yah!” seru rubah. “memang benar kata
ular itu!”

Lebih lanjut tentang: Air Susu Di Balas Air Tuba


Seorang petani tolol sedang asyik mengumpulkan kayu- kayu kering ketika dia mendengar jeritan. Dia
menoleh kesana kemari, tapi tak melihat siapa- siapa. Jadi di teruskannya mengumpulkan kayu. Sekali lagi
terdengar jeritan. Kali ini dia mencari- cari dengan lebih teliti akhirnya di lihatnya seekor ular terjepit diantara
batu- batu. Petani itu meloncat mundur karena takut. Ular adalah binatang licik. Tapi, binatang itu memohon
mengiba iba “tolonglah aku tuan, keluarkan aku dari bawah batu ini.” “ya, aku bisa saja menolongmu,” jawab
si petani, “tapi untuk apa? Kamu pasti akan mematuk aku dan menyemburkan racunmu. Bagaimanapun ular
tetap ular.” “astaga, aku tak kan pernah berbuat sekeji itu,” kata ular. Akhirnya dengan mengabaikan akal
sehatnya petani itu mengangkat batu yang menindih ular. Dibiarkannya ular itu merayap keluar. Tiba- tiba
ular itu mematuknya. Nyaris! Untung petani itu masih sempat meloncat menghindarinya. “nah, benar, kan,”
teriak petani.”kamu ular licik. Aku tahu itu. Mengapa kau membalas budi baik dengan perbuatan keji? Aku
tak mengert.i” “ada alasannya,” jawab ular. “memang begitulah hukum rimba. Air susu harus di balas
dengan air tuba.” Petani itu tak sependapat dengan si ular. “tak semua orang setuju dengan pendapatmu
itu,” katanya. “jika ada orang yang berbuat baik terhadapku, aku akan selalu mengingatnya dan berusaha
membalas kebaikannya.” Ular itu hanya mendengus. “kita bertaruh saja,” katanya. “ carilah siapa yang
setuju dengan pendapatmu, maka kau akan kulepaskan.” Petani dan ular itupun berjalan bersama- sama.
Mereka bertemu dengan seekor kuda tua yang melangkah terseok- seok. Ekornya yang berambut jarang
dan lemah berusaha mengusir lalat yang merubung kakinya. Si petani bertanya, “menurut pendapatmu,
kuda tua, budi baik harus di balas dengan apa?” kuda menjawab, “dengan kejahatan.” “mengapa kau
berpendapat begitu”, tanya petani kecewa. “sebab,” katakuda tua itu sambil berusaha duduik dengan enak,”
waktu aku masih muda dan kuat, majikanku selalu merawatku dengan penuh kasih.” Kuda melanjutkan,
“aku di beri kandang yang hangat dan jerami serta padi- padian yang cukup. Boleh makan sekenyang-
kenyangku. Tapi... sekarang aku sudah tua dan lemah, aku diusirnya... begitu saja.” “nah, apa kataku,”
endus ular puas, “sekarang juga akan kupatuk engkau dengan gigiku yang berbisa.” “tunggu dulu,” tergesa-
gesa petani itu berseru. “sebaiknya kita tanyakan pada yang lain lagi.” Keduanya meneruskan perjalanan. Di
padang mereka melihat seekor domba sedang merumput. Petani bertanya padanya, “menurut pendapatmu,
domba, budi baik harus di balas dengan apa?” “dengan kejahatan,” kata domba tanpa menoleh. “mengapa
kau berpendapat begitu?” Domba menjawab, “aku selalu memberikan wol untuk majikanku, tapi dia jahat. Di
musim panas, dibiarkan nya buluku tumbuh lebat hingga aku pingsan kepanasan. Di musim dingin, di
cukurnya buluku, hingga aku beku kedinginan.” Ular mendesis, “bagus! Sekarang kupatuk kau dengan
taringku yang berbisa.” “sabar... sabar,” cegah si petani. “pasti ada pendapat lain lagi.” Merekapun berjalan
lagi. Untung, sebelum si ular melihat, petani itu telah melihat seekor rubah. Dia menyelinap dan berbicara
dengan rubah itu “ sebentar lagi aku akan menemuimu dengan seekor ular,” katanya menerangkan. “ kalau
ku tanya, jawablah bahwa budi baik harus di balas dengan budi baik juga. Nanti ku beri kau anak domba,
anak babi dan itik yang gemuk.” “boleh juga tawaranmu,” jawab rubah. Setelah itu, petani kembali berjalan
menjejeri ular. Tak lama kemudian mereka berpapasan dengan rubah. “menurut pendapatmu, rubah,” kata
petani,” budi baik harus di balas dengan apa?” “dengan kebaikan,” jawab rubah tersenyum, terbayang
olehnya daging lezat anak domba, anak babi, dan itik yang gemuk. Lalu ketiganya mengobrol, dan rubah
mendengar bagaimana tadi ular terjepit di bawah batu. Dia tak percaya. Jadi mereka kembali ke tempat
batu itu dan atas anjuran rubah, petani itu menindih kembali si ular dengan batu. Rubah benar- benar telah
menyelamatkan nya. Tapi malamnya, waktu rubah menagih janji, ternyata petani itu telah mengunci erat-
erat kandang domba, kandang babi, dan serta kandang itik. Malahan, petani itu mengusirnya dengan
acungan senapandan dua ekor anjing galak. “wah, kau jadi pintar, yah!” seru rubah. “memang benar kata
ular itu!”

Lebih lanjut tentang: Air Susu Di Balas Air Tuba


Seorang petani tolol sedang asyik mengumpulkan kayu- kayu kering ketika dia mendengar jeritan. Dia
menoleh kesana kemari, tapi tak melihat siapa- siapa. Jadi di teruskannya mengumpulkan kayu. Sekali lagi
terdengar jeritan. Kali ini dia mencari- cari dengan lebih teliti akhirnya di lihatnya seekor ular terjepit diantara
batu- batu. Petani itu meloncat mundur karena takut. Ular adalah binatang licik. Tapi, binatang itu memohon
mengiba iba “tolonglah aku tuan, keluarkan aku dari bawah batu ini.” “ya, aku bisa saja menolongmu,” jawab
si petani, “tapi untuk apa? Kamu pasti akan mematuk aku dan menyemburkan racunmu. Bagaimanapun ular
tetap ular.” “astaga, aku tak kan pernah berbuat sekeji itu,” kata ular. Akhirnya dengan mengabaikan akal
sehatnya petani itu mengangkat batu yang menindih ular. Dibiarkannya ular itu merayap keluar. Tiba- tiba
ular itu mematuknya. Nyaris! Untung petani itu masih sempat meloncat menghindarinya. “nah, benar, kan,”
teriak petani.”kamu ular licik. Aku tahu itu. Mengapa kau membalas budi baik dengan perbuatan keji? Aku
tak mengert.i” “ada alasannya,” jawab ular. “memang begitulah hukum rimba. Air susu harus di balas
dengan air tuba.” Petani itu tak sependapat dengan si ular. “tak semua orang setuju dengan pendapatmu
itu,” katanya. “jika ada orang yang berbuat baik terhadapku, aku akan selalu mengingatnya dan berusaha
membalas kebaikannya.” Ular itu hanya mendengus. “kita bertaruh saja,” katanya. “ carilah siapa yang
setuju dengan pendapatmu, maka kau akan kulepaskan.” Petani dan ular itupun berjalan bersama- sama.
Mereka bertemu dengan seekor kuda tua yang melangkah terseok- seok. Ekornya yang berambut jarang
dan lemah berusaha mengusir lalat yang merubung kakinya. Si petani bertanya, “menurut pendapatmu,
kuda tua, budi baik harus di balas dengan apa?” kuda menjawab, “dengan kejahatan.” “mengapa kau
berpendapat begitu”, tanya petani kecewa. “sebab,” katakuda tua itu sambil berusaha duduik dengan enak,”
waktu aku masih muda dan kuat, majikanku selalu merawatku dengan penuh kasih.” Kuda melanjutkan,
“aku di beri kandang yang hangat dan jerami serta padi- padian yang cukup. Boleh makan sekenyang-
kenyangku. Tapi... sekarang aku sudah tua dan lemah, aku diusirnya... begitu saja.” “nah, apa kataku,”
endus ular puas, “sekarang juga akan kupatuk engkau dengan gigiku yang berbisa.” “tunggu dulu,” tergesa-
gesa petani itu berseru. “sebaiknya kita tanyakan pada yang lain lagi.” Keduanya meneruskan perjalanan. Di
padang mereka melihat seekor domba sedang merumput. Petani bertanya padanya, “menurut pendapatmu,
domba, budi baik harus di balas dengan apa?” “dengan kejahatan,” kata domba tanpa menoleh. “mengapa
kau berpendapat begitu?” Domba menjawab, “aku selalu memberikan wol untuk majikanku, tapi dia jahat. Di
musim panas, dibiarkan nya buluku tumbuh lebat hingga aku pingsan kepanasan. Di musim dingin, di
cukurnya buluku, hingga aku beku kedinginan.” Ular mendesis, “bagus! Sekarang kupatuk kau dengan
taringku yang berbisa.” “sabar... sabar,” cegah si petani. “pasti ada pendapat lain lagi.” Merekapun berjalan
lagi. Untung, sebelum si ular melihat, petani itu telah melihat seekor rubah. Dia menyelinap dan berbicara
dengan rubah itu “ sebentar lagi aku akan menemuimu dengan seekor ular,” katanya menerangkan. “ kalau
ku tanya, jawablah bahwa budi baik harus di balas dengan budi baik juga. Nanti ku beri kau anak domba,
anak babi dan itik yang gemuk.” “boleh juga tawaranmu,” jawab rubah. Setelah itu, petani kembali berjalan
menjejeri ular. Tak lama kemudian mereka berpapasan dengan rubah. “menurut pendapatmu, rubah,” kata
petani,” budi baik harus di balas dengan apa?” “dengan kebaikan,” jawab rubah tersenyum, terbayang
olehnya daging lezat anak domba, anak babi, dan itik yang gemuk. Lalu ketiganya mengobrol, dan rubah
mendengar bagaimana tadi ular terjepit di bawah batu. Dia tak percaya. Jadi mereka kembali ke tempat
batu itu dan atas anjuran rubah, petani itu menindih kembali si ular dengan batu. Rubah benar- benar telah
menyelamatkan nya. Tapi malamnya, waktu rubah menagih janji, ternyata petani itu telah mengunci erat-
erat kandang domba, kandang babi, dan serta kandang itik. Malahan, petani itu mengusirnya dengan
acungan senapandan dua ekor anjing galak. “wah, kau jadi pintar, yah!” seru rubah. “memang benar kata
ular itu!”

Lebih lanjut tentang: Air Susu Di Balas Air Tuba


Siapa yang tidak tahu sifat serigala? Licik, serakah, egois, tak tahu balas budi dan sifat-sifat buruk lainnya.
Dongeng tentang serigala dan ilmuwan di atas menunjukkan sekurang-kurangnya tiga sifat untuk serigala,
yakni: berbohong, mangkir terhadap perjanjian dan berbuat baik terhadap orang lain hanya pada saat
mendapatkan keuntungan. Dalam dongeng, sifat-sifat seperti itu ditimpakan kepada hewan-hewan yang
membahayakan manusia seperti ular, singa, harimau, buaya, dan lain-lainnya.

Kalau serigala diceritakan selalu berbuat buruk, tidak demikian halnya dengan ular, singa, harimau dan
buaya itu. Mereka kadang-kadang memiliki perangai yang baik budi. Ular misalnya, walaupun gigitan dan
belitannya dapat membunuh manusia, tetapi kadang-kadang dapat diajak bersahabat. Beberapa fabel
menunjukkan bahwa ular itu memiliki rasa terima kasih. Ingat peristiwa yang dialami oleh Ida Sri Adnya
Dharmaswami dalam cerita Tantri. Ketika pendeta itu diikat akan dibunuh, ia diselamatkan oleh hewan-
hewan yang pernah ditolongnya, antara lain ular.

Sampai saat ini kami belum menemukan dongeng yang memperlihatkan perangai serigala yang baik budi.
Dalam dongeng berikut yang diperankan oleh ular dan petani, terlibat pula si serigala yang memperlihatkan
salah satu sifat buruknya di atas.

Seorang petani mendengar sebuah jeritan yang menimbulkan rasa iba. Didekatinya sumber jeritan itu.
Ternyata seekor ular terjepit batu. Mula-mula ia ragu-ragu apakah ular itu dapat menghargai pertolongan
atau tidak. Tetapi karena belas kasihnya, akhirnya petani itu melupakan akal sehatnya. Ular itu
diselamatkan. Namun sesaat kemudian, ular itu balik menyerang. Untung petani itu segera menghindar.

''Kamu ular licik!'' teriak petani. ''Mengapa kamu membalas budi baik dengan perbuatan buruk?''

''Di sini berlaku hukum rimba, Tuan!'' jawab ular itu. ''Ke mana pun Tuan bertanya, budi baik harus dibalas
dengan perbuatan buruk, itulah yang benar!''

Untuk menyelesaikan perbedaan pendapat itu, mereka lalu mohon pertimbangan hewan-hewan lain. Kalau
hewan-hewan lainnya juga membenarkan pendapat ular itu, maka sang ular berhak membunuh si petani.
Tetapi kalau sebaliknya, maka petani itu berhak menghukum ular. Ternyata hewan-hewan yang dijumpainya
seperti kuda dan domba membenarkan pendapat ular, yakni kebaikan dibalas dengan keburukan. Kuda dan
domba sudah pernah merasakan kekejaman manusia. Memang benar manusia tidak punya rasa terima
kasih. Oleh karena itu kebaikan harus dibalas dengan perbuatan buruk.

Ketika kedua makhluk yang bersengketa itu melihat serigala dari jarak jauh, timbul akal petani itu. Tanpa
setahu ular, petani itu bersekongkol dengan serigala. Kalau serigala itu mau menjawab sesuai dengan
kehendak petani, maka serigala itu akan mendapat upah anak domba, anak babi dan itik yang gemuk-
gemuk.

''Hai, serigala!'' seru ular sesaat kemudian. ''Menurut pendapatmu, kebaikan itu harus dibalas dengan apa?''
''Ya, tentu saja dengan kebaikan!'' jawab serigala tegas.

Petani itu sangat riang gembira karena telah memenangkan perkara. Ia lalu mengembalikan ular itu dalam
keadaan terjepit batu.
Setelah malam tiba, serigala mendatangi rumah petani untuk menagih upah. Petani itu membuka pintu, lalu
menodongkan senapan ke arah serigala. ''Air susu harus dibalas dengan air tuba, tahu?'' kata petani itu.

Siapakah di antara pelaku dongeng itu yang baik budi? Ular, kuda, domba, serigala ataukah petani? Ular
sudah jelas tidak berbaik budi karena ia menerapkan hukum rimba. Kuda dan domba juga tidak mau
menjalankan kebajikan, karena mereka pernah diperlakukan sangat kejam oleh manusia. Dan serigala mau
menuruti kehendak petani karena sogokan yang dijanjikan. Serigala itu berbuat bijak hanya pada saat
menguntungan.

Dan bagaimana petani? Bukankah perasaan petani itu sangat halus sehingga merasa belas kasihan kepada
ular yang kesakitan? Setelah berhadapan dengan berbagai masalah, yakni masalah dengan ular, masalah
dengan kuda, domba dan serigala, petani itu mulai belajar dari pengalaman. Ternyata belas kasihan itu
tidak hanya dijalankan menuruti perasaan, tetapi harus dibarengi dengan akal sehat.

Sesungguhnya yang menjadi persoalan adalah perilaku membalas kebaikan dengan keburukan atau
membalas air susu dengan air tuba. Pelaku kebajikan tidak perlu mempersoalkan kepada siapa pertolongan
diberikan. Mereka hanya mengenal bahwa setiap orang wajib berbuat baik, dan setiap orang wajib
menolong orang yang membutuhkan pertolongan.

Perangai buruk telah mendapatkan upahnya. Serigala dalam dongeng pertama, mati karena ditusuk oleh
lelaki tua, ular dalam dongeng kedua dikembalikan posisinya dalam keadaan terjepit batu. Sungguh mulia
perbuatan ilmuwan itu. Tetapi orang yang berbahaya pun, ia tetap mengulurkan tangan bantuannya. Tetapi
tidak demikian perbuatan petani. Pengalaman buruk dan pahit telah mengubah perangai petani itu. Ia harus
menodongkan senapan kepada serigala yang datang menagih upah.

Kita hanya bisa berharap semoga petani itu tetap berbuat kebajikan, kendatipun menggunakan akal
sehatnya.

Anda mungkin juga menyukai