Hal.59-68 Peran Guru
Hal.59-68 Peran Guru
Abstrak
Kesadaran kritis lebih melihat pada aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Ciri-ciri pokok dari
pembelajaran yang membangun kesadaran kritis adalah belajar dari realitas atau pengalaman, tidak menggurui
dan dialogis. Pola pembelajaran searah kurang dapat menumbuhkan kesadaran kritis. Peran guru yang lebih
tepat untuk membangun kesadaran kritis adalah sebagai fasilitator, dan siswa sebagai subjek bukan objek
pembelajaran.
The critical consciousness tends to see the system and structural aspect as a problem source.The main
feature in developing the critical consciousness is learning from reality or experience, not dictating but
interacting. One way instructional process does not develop the critical consciousness
In improving the critical consciousness the teacher is expected to act more as a fasilitator, and the student
plays as the subject, not the object of learning process.
dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat. Oleh karena guru yang menjadi pusat
Kesadaran naif (naival consciousness), kesadaran segalanya, maka merupakan hal yang lumrah saja
ini lebih melihat ‘aspek manusia’ menjadi akar jika kemudian murid-murid mengidentifikasikan
penyebab masalah masyarakat. Pendidikan dalam diri seperti gurunya sebagai prototip manusia ideal
konteks ini tidak mempertanyakan sistem dan yang harus digugu dan ditiru. Sistem pendidikan
struktur yang ada sudah baik dan benar. yang bersifat satu arah yang menjadikan guru
Semuanya merupakan faktor “given” dan oleh sebagai subjek dan murid sebagai objek melahirkan
sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas hubungan yang otoriter antara guru dan murid.
pendidikan adalah bagaimana membuat dan Pada saatnya sistem dan praktek pendidikan
mengarahkan agar siswa dapat masuk seperti itu melahirkan generasi baru manusia-
beradaptasi dengan sistem yang sudah benar manusia penindas.
tersebut. Bagi Fraire, sistem pendidikan sebaiknya harus
Kesadaran kritis (critical consciousness), menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat
kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan manusia. Sistem pendidikan mapan selama ini
struktur sebagai sumber masalah. Paradigma telah menjadikan anak didik sebagai manusia-
kritis dalam pendidikan, melatih siswa dapat manusia yang terasing dan tercerabut (disinherited
untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ masses) dari realita dirinya sendiri dan karena ia
dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian telah dididik menjadi seperti orang lain yang
mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan bukan dirinya sendiri.
struktur itu bekerja, serta bagaimana Manusia pada dasarnya adalah kesatuan dari
mentransformasikannya. fungsi berpikir, berbicara dan berbuat.
Bagi Fraire pendidikan haruslah berorientasi Kemanunggalan karsa, kata dan karya disebut
kepada pengenalan realitas diri manusia dan praxis. Prinsip praxis inilah yang menjadi
dirinya sendiri, sistem pendidikan yang ada kerangka dasar sistem dan metodologi pendidikan
selama ini dapat diandaikan sebagai sebuah Fraire. Seperti yang digambarkan dalam diagram
“bank” (banking concept of education). Pelajar diberi di bawah ini :
ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat Bertindak
mendatangkan hasil yang berlipat ganda. Jadi
anak didik sebagai objek investasi dan sumber Bertindak
deposito potensial.
Dst ...
Secara sederhana Fraire menyusun daftar
antagonisme pendidikan “gaya bank” itu sebagai Berpikir
berikut :
Guru mengajar, murid belajar. Berpikir
Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-
apa. Gambar 1: Kerangka Dasar Sistem dan metodologi
Guru berpikir, murid dipikirkan. Pendidikan Praire
Guru bicara, murid mendengarkan. Dengan aktif bertindak dan aktif berpikir
Guru mengatur, murid diatur. sebagai pelaku, dengan terlibat langsung dalam
Guru memilih dan memaksakan pilihannya, permasalahan nyata, dan dalam suasana yang
murid menuruti. dialogis, maka pendidikan segera menumbuhkan
Guru bertindak, murid membayangkan kesadaran yang menjauhkan seseorang dari “rasa
bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan takut akan kemerdekaan” (fear of freedom). Proses
gurunya. kesadaran seseorang merupakan proses inti atau
Guru memilih apa yang akan diajarkan, mu- hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Dunia
rid menyesuaikan diri. kesadaran seseorang tidak boleh berhenti atau
mandeg, harus senantiasa berproses, berkembang
Guru mengacaukan wewenang ilmu dan meluas dari satu tahap ke tahap berikutnya,
pengetahuan dengan wewenang dari tingkat “kesadaran naïf” sampai ketingkat
profesionalismenya, mempertentangkannya “kesadaran kritis”, sampai akhirnya mencapai
dengan kebebasan murid-murid. tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam yaitu
Guru adalah subyek proses belajar, murid “kesadarannya kesadaran” (the consice of the
obyeknya. consiousness).
Jika seseorang sudah mampu mencapai tingkat adalah “mengajar”. Saat ini banyak guru yang
kesadaran kritis terhadap realitas, maka orang karena kesibukannya dalam mengajar lupa bahwa
itupun mulai masuk ke dalam proses pengertian siswa yang sebenarnya harus belajar. Jika guru
dan bukan proses menghafal semata-mata. Ia secara intensif mengajar tetapi siswa tidak intensif
menjadi orang yang mengerti bukanlah orang belajar maka terjadilah kegagalan pendidikan for-
yang menghafal, karena ia menyatakan diri atau mal. Jika guru sudah mengajar tetapi murid belum
sesuatu berdasarkan suatu “kesadaran”, belajar maka guru belum mampu membelajarkan
sedangkan orang yang menghafal hanya murid.
menyatakan diri atau sesuatu secara mekanis Menurut Yamamoto, belajar mengajar akan
tanpa perlu sadar apa yang dikatakannya, mencapai titik optimal ketika guru dan murid
darimana ia telah menerima hafalan yang mempunyai intensitas belajar yang tinggi dalam
dinyatakannya, dan untuk apa ia menyatakannya. waktu yang bersamaan. Kedudukan guru dan
siswa haruslah dianggap sejajar dalam belajar, jika
Berpikir Kritis kita memandang siswa adalah subyek pendidikan
(Sumarsono, 1993). Guru dan siswa sama-sama
Seseorang yang telah mencapai kesadaran kritis belajar, kebenaran bukan mutlak di tangan guru.
akan dapat berpikir kritis, tidak membeo saja, tetapi Guru harus memberi kesempatan seluas-luasnya
dapat melontarkan pertanyaan dan tanggapan bagi siswa untuk belajar dan memfasilitasinya agar
kritis. Kita membutuhkan orang-orang yang siswa dapat mengaktualisasikan dirinya untuk
mampu berpikir kritis untuk dapat menjawab belajar. Gurupun harus mengembangkan
tantangan masa depan pada era globalisasi yang pengetahuannya secara meluas dan mendalam
serba tidak pasti dan berubah sangat cepat. agar dapat memfasilitasi siswanya. Inilah peran
guru dari guru.
Berpikir kritis mencakup seluruh proses
mendapatkan, membandingkan, menganalisis, Kesalahan fatal yang dilakukan pendidik orang dewasa
adalah usaha dalam mendefinisikan fungsi dirinya
mengevaluasi, internalisasi dan bertindak
sebagai pelaku tunggal bagi perubahan tingkah laku dan
melampaui ilmu pengetahuan dan nilai-nilai. berbuat seolah-olah tugas prinsipnya adalah untuk
Berpikir kritis bukan sekedar berpikir logis sebab mengkomunikasikan ide-ide, mendesain latihan (exer-
berpikir kritis harus memiliki keyakinan dalam cise), untuk mengembangkan pengetahuan,
nilai-nilai, dasar pemikiran dan percaya sebelum keterampilan atau sikap tertentu untuk menentukan
didapatkan alasan yang logis dari padanya (Steven perubahan tingkah laku dan melakukan survey untuk
D. Schafersman, 1998). Berpikir kritis berarti mendeteksi kebutuhan. (Kezirow,1987)
berpikir tepat dalam pencarian relevansi dan andal Di samping orang tua, pelaku utama
tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai tentang pendidikan adalah guru, sehingga seringkali guru
dunia. Berpikir kritis adalah berpikir yang dalam paradigma lama berlaku sebagai sumber
beralasan, reflektif, bertanggung jawab dan utama ilmu pengetahuan dan menjadi segala-
terampil berpikir yang fokus dalam pengambilan galanya dalam pengajaran. Guru adalah orang
keputusan yang dapat dipercaya. yang digugu dan ditiru, sehingga tak pelak lagi guru
Seseorang yang berpikir kritis dapat menjadi orang yang setengah didewakan oleh
mengajukan pertanyaan dengan tepat, anak didiknya. Tetapi peran guru yang sentral
memperoleh informasi yang relevan, efektif dan dalam pendidikan kurang berpengaruh terhadap
kreatif dalam memilah-milah informasi, alasan pembelajaran siswanya. Hal ini tentunya sebatas
logis dari informasi, sampai pada kesimpulan hubungan formal yang tidak mendalam dalam
yang dapat dipercaya dan meyakinkan tentang membangun kesadaran siswa untuk belajar
dunia yang memungkinkan untuk hidup dan dengan sepenuh hatinya.
beraktifitas dengan sukses di dalamnya. Adalah Guru pada era sekarang bukan satu-satunya
tidak mungkin untuk mendapatkan aktualisasi sumber pengetahuan karena begitu luas dan cepat
diri tanpa melatih berpikir kritis. Kebiasaan akses informasi yang menerpa kita, sehingga tidak
berpikir kritis itu tidak akan terjadi tanpa didahului mungkin seseorang dapat menguasai begitu luas
oleh kesadaran kritis. dan dalamnya ilmu pengetahuan serta
perkembangannya. Akan lebih tepat jika guru
Peran Guru berlaku sebagai fasilitator bagi para siswanya
sehingga siswa memiliki kepandaian dalam
Peran guru dalam pendidikan formal (sekolah) memperoleh informasi, belajar memecahkan
masalah, menarik kesimpulan, menuliskan, selalu disalahkan. Hal ini kadang disebabkan
mengekspresikan apa yang diketahuinya, ini akan karena guru sendiri tidak memiliki pengetahuan
membuat siswa menjadi seorang pembelajar yang yang luas sehingga tidak memahami ada
luar biasa. bermacam-macam alternatif jawaban. Seringkali
Ki Hajar Dewantoro merumuskan peran guru guru beranggapan siswa yang banyak bertanya
dalam mendidik di sekolah sebagai berikut ing sebagai pengganggu, apalagi kalau
ngarso sung tulodo, di depan memberi teladan, ing pertanyaannya tidak dapat dijawab oleh guru.
madyo mangun karso, di tengah membangun Pola pengajaran demikian membuat siswa kita
kreativitas dan tut wuri handayani, di belakang tidak kreatif, tertekan, tidak bebas dalam
memberi semangat. Hingga sekarang peran ini mengungkapkan pemikirannya. Jika kita ingin
masih aktual dan menjadi dasar dari semua peran mengubah pendidikan kita maka metode
yang dijalankan seorang guru dalam mendidik, pengajaran di atas perlu diubah dengan metode
bagaimana guru berperan sebagai teladan, media- pengajaran yang membuat siswa aktif, model
tor sekaligus motivator dalam proses multinilai dan multikebenaran, bebas berbicara,
pembelajaran, dengan pendekatan/metode diperbolehkan salah, metode ilmiah dengan
apapun yang digunakan oleh guru. pencarian bebas, berpikir kritis, membahas
masalah masyarakat secara terbuka, hubungan
Pendidikan abad ke-21 diprediksi akan jauh guru-siswa dialogis (Paul Suparno, 1999)
berbeda dengan sebelumnya sehingga UNESCO
pada tahun 1977 sudah mulai menggali esensi dari Seperti yang diungkapkan Andy Hakim
pendidikan dan kemudian memperkenalkan The Nasoetion, dalam Ilmu untuk Kehidupan dan
Four Pillars of Education, yaitu Learning to know, Penghidupan, seorang murid SD dari suatu desa
Learning to do, Learning to live together, dan Learning mengajukan pertanyaan kritis sebagai berikut:
to be, untuk mengantisipasi perubahan yang bukan “Kalau saya seorang astronut dan membawa kipas
hanya linier tetapi mungkin eksponensial yang ke ruang angkasa, kemudian saya kipas-kipaskan,
diantisipasi akan terjadi di masyarakat yang apakah akan terjadi angin?”. Disusul oleh
mengglobal. pertanyaan dari seorang murid SMP sebagai
berikut: “Kalau saya nyalakan lilin, nyalanya
menuju ke atas. Akan tetapi, kalau lilin itu saya
Pembahasan balikkan sumbunya kearah bawah, mengapa
nyalanya tidak mengarah ke bawah, melainkan
Paolo Fraire mencoba untuk mengungkapkan ke atas juga sehingga melelehkan ujung lilin itu
kondisi kemanusiaan yang sedemikian rapuh lebih cepat?”. Ternyata pertanyaan-pertanyaan itu
dalam masyarakat kita dengan kejujuran tanpa cukup sukar dijawab oleh para guru, guru tidak
tedeng aling-aling. Pernyataan-pernyataan Fraire siap dalam menjawab pertanyaan kritis dari
memang sering kontroversial, meletup-letup dan muridnya. Guru tidak suka merangsang murid
memancing banyak pertanyaan bahkan kritik, untuk bertanya karena pengetahuan guru yang
namun fakta yang diungkapkannya adalah terbatas dan tidak memahami konsep-konsep sains
realitas tak terbantahkan di hampir semua, negara secara mendalam.
dunia ketiga. Dalam model banking seperti yang Guru harus menjadi agen perubahan dengan
diuraikan oleh Fraire, guru sangat aktif dan siswa mengubah paradigma berpikirnya terlebih dulu.
menjadi pasif dalam proses belajar mengajar di Guru harus siap dan dapat mengantisipasi dalam
sekolah. Gurulah yang berkuasa untuk menghadapi setiap perubahan yang terjadi, karena
menentukan semuanya, sedangkan siswa hanya dengan memberi kebebasan bagi siswa untuk
menurut saja. Siswa dijadikan objek dan tidak berpikir dan berekplorasi maka seringkali apa yang
mempunyai hak untuk ikut menentukan. Aktor dipikirkan dan ditemukannya berbeda dengan apa
utama adalah guru bukan siswa. Hal itu tampak yang selama ini menjadi pemahaman guru. Di
praktek guru seperti indoktrinasi sedangkan siswa samping itu guru harus terus menerus
hanya menerima apa yang diajarkan guru dan mengaktualisasikan diri, belajar memperluas dan
tidak boleh bertanya apalagi bersikap kritis. memperdalam pengetahuannya agar dapat
Guru seringkali menekankan pada hanya ada memfasilitasi siswa dalam belajar. Guru harus
satu nilai/jawaban yang benar, juga guru membuat dirinya kompeten dan profesional. Hal
mengharuskan siswa untuk menggunakan satu ini berarti guru perlu secara terus menerus
jalan saja, tanpa boleh menggunakan cara lain. mengembangkan kemampuannya dalam
Jika siswa mengungkapkan gagasan alternatif, menguasai disiplin ilmu yang diajarkannya serta
lelah.
metodologi pembelajaran. Guru diharapkan
4. Metode kuliah menekankan pada transfer
memberdayakan siswanya dalam proses
informasi dan fakta, lebih banyak
pembelajaran sehingga siswa benar-benar
mengandalkan pesan-pesan dari informasi
memperoleh pengalaman belajar melalui metode
dibandingkan denga faktanya.
pembelajaram yang tepat.
5. Rentang waktu peserta untuk dapat
berkonsentrasi penuh sangat terbatas, apalagi
Metode Ceramah ceramah dengan suara monoton. Rata-rata
orang melupakan 50% dari apa yang mereka
dengar.
Di antara berbagai metode pembelajaran siswa,
6. Penceramah biasanya tidak memiliki cara
metode ceramah banyak dipergunakan oleh guru
untuk memastikan seberapa jauh para peserta
dalam berbagai situasi dan tujuan. Pada masa lalu,
menangkap dan memahami apa yang
dan mungkin juga sampai sekarang, banyak
disampaikan penceramah, apalagi jika tidak
orang berpendapat seseorang yang disebut sebagai
ditinjau ulang selama ceramah atau setelah
guru berdiri di depan kelas sementara yang lain
ceramah.
duduk diam mendengarkan dan melaksanakan
perintahnya. Metode ini hingga sekarang masih Metode ceramah tidak membuat siswa berpikir
berlaku. Pusat pengetahuan hanya ada pada sang secara aktif, apalagi kritis sehingga metode ini tidak
guru. Metode mengajar seperti ini kurang tepat untuk dapat membangun kesadaran kritis
mengaktifkan siswa untuk memperoleh ilmu siswa. Dengan waktu yang terbatas serta jumlah
pengetahuan dan belajar tentang nilai-nilai. siswa yang banyak dalam kelas, guru tidak mampu
melayani berbagai pertanyaan siswa dengan baik.
Belajar secara aktif akan lebih baik jika proses
belajar itu didorong oleh metode pengembangan Menurut Vigotsky, proses belajar yang dapat
kemampuan dan pengetahuan yang diproses dari meningkatkan semangat siswa adalah dengan
pengalaman masing-masing. Metode ini akan berdiskusi, banyak bertanya, bereksplorasi, dan
menimbulkan suatu pengalaman belajar yang lain bermain (fun learning), sehingga kemampuan ver-
yang lebih menantang baik bagi guru maupun bal dan motoriknya berkembang, termasuk
siswa. Guru akan berperan sebagai fasilitator yang kemampuan berpikir kritisnya (higher order think-
mendorong semangat belajar siswanya, dan ing). Akan tetapi guru yang telah terbiasa dengan
menjadi faktor pendorong terjadinya perubahan. metode tertentu merasa telah nyaman dengan
metode tersebut cenderung mempertahankannya
sungguhpun hasilnya kurang dapat membuat
Kerugian dari Mendengarkan siswa berpikir kritis. Keengganan guru tersebut
dalam Metode Ceramah juga diungkapkan oleh Ratna Megawangi, dalam
Otonomi Sekolah, 2005, dengan mengatakan
Diakui bahwa metode ceramah efektif untuk “Masalah yang sering kami hadapi di Indonesia
penyampaian pelajaran yang bersifat kognitif Heritage Foundation, ketika melatih para guru
dengan jumlah siswa yang besar dalam suatu untuk mengubah metode pembelajaran di kelas
kelas. Akan tetapi penggunaan metode ini secara agar tujuan membangun manusia holistik yang
tidak tepat dapat menimbulkan hal-hal negatif berkarakter dapat tercapai, yaitu ketakutan dan
sebagai berikut: keengganan para guru untuk memperbaiki metode
1. Pengetahuan yang disampaikan hanya pembelajaran di kelas agar sesuai dengan teori-
didasarkan pada apa yang dimiliki teori yang berlaku (misalnya Piaget, Erik Erikson,
penceramahnya, ibarat komunikasi maka Vigotsky, dll).
hanya satu arah tanpa peran partisipan, dan
tak ada umpan balik dari pendengarnya. Bagaimana Cara Membangun
2. Ada kesenjangan pengetahuan antara
penceramah dan pendengarnya. Kesadaran Kritis?
Anggapannya peserta adalah orang yang
tidak berpengetahuan sama sekali sehingga Dari uraian di atas jelaslah bahwa membangun
harus diisi. kesadaran kritis tidak dapat dilakukan dengan
3. Peserta hanya menerima informasi secara pola pengajaran ceramah, seperti yang selama ini
pasif, maka mereka akan cepat bosan dan dilakukan oleh para guru.
Proses Pendidikan Kritis, menurut Mansour Fakih, 4. Kesimpulan: yaitu merumuskan makna atau
2001. hakekat dari apa yang dipelajari, sehingga
Suatu penyelenggaraan belajar-mengajar, terjadi pemahaman baru yang lebih utuh,
merupakan proses pendidikan kritis harus berupa prinsip-prinsip, kesimpulan umum
mencerdaskan sekaligus bersifat membebaskan dari kajian atas pengalaman.
pesertanya untuk menjadi pelaku (subjek) utama, 5. Tindakan: tahap akhir dari daur belajar ini
bukan sasaran perlakuan (objek), dari proses
adalah memutuskan dan melaksanakan
tersebut.
tindakan-tindakan baru yang lebih baik
Artinya bahwa siswalah yang aktif untuk mencari
berdasarkan pemahaman atau pengertian
pengetahuannya dan menentukan apa yang ingin
atas realitas tersebut, sehingga ada
dipelajari dan, guru berfungsi memfasilitasi siswa. kemungkinan menciptakan realitas baru yang
Ciri-ciri pokok dari pembelajaran yang lebih baik. Langkah ini diwujudkan dengan
membangun kesadaran kritis, yaitu : cara merencanakan tindakan dalam rangka
1. Belajar dari realitas atau pengalaman : yang menerapkan prinsip-prinsip yang telah
diajarkan bukan ajaran (teori, pendapat, disimpulkan.
kesimpulan, wejangan, dsb) tetapi realitas
Proses pengalaman belumlah lengkap,
nyata. Keabsahan pengetahuan seseorang sebelum didapatkan ajaran baru, pengalaman
ditentukan oleh pembuktiannya dalam baru, penemuan baru yang dilaksanakan dan diuji
realitas tindakan atau pengalaman langsung dalam perilaku yang sesungguhnya, dalam
bukan pada retorika teoritik. penerapan ini juga menimbulkan pengalaman
2. Tidak menggurui : guru dan murid sama- baru. Daur proses ini akan berulang kembali dari
sama belajar. awal, konsep learning by doing tercipta dalam daur
3. Dialogis : prosesnya bukan bersifat satu arah ini.
tetapi lebih pada diskusi kelompok, bermain
peran dsb dan menggunakan media (peraga, 5 1
grafik, audio visual, dsb) yang lebih Tindakan Rekontruksi
bermutu dan berguna bagi masa depan siswanya Poerwowidagdo, Judo MA, PhD. (2001).
Daftar
serta mencerdaskan Pustaka
kehidupan bangsa. Meningkatkan kualitas pendidikan Kristen
dalam menjawab perubahan zaman, dalam
Fakih, Mansour, dkk,. (2001). Pendidikan popular, pendidikan yang mendidik. butir-butir
membangun kesadaran kritis. Yogyakarta: In- pemikiran strategis-reflektif di seputar
sist pendidikan. Jakarta: Yudhistira
Hill, Lynne. (2005). Pembelajaran yang baik, dalam Schafersman, Steven D. (1998). Critical thinking and
Program Managing Basic Education (MBE) In- its relation to science and humanism,
donesia. http://www.mbeproject.net scahafesd@humanism.net.
Majalah BASIS, No. 01-02 tahun ke 47, edisi khusus Sumarsono. (1993). Pendidikan nilai dan profesi guru,
Menggugat Dunia Pendidikan Kita, Februari dalam Pendidikan nilai memasuki tahun 2000.
1998 Jakarta: Grasindo
Megawangi, Ratna. Otonomi sekolah. Suara Supeli, Karlina Laksono. Ringkasan pemikiran: Or-
Pembaruan Daily, 2005. http:// ang Tua di dalam Pendidikan Anak-Anak, Me-
www.suarapembaruan.com dia Kerja Budaya, http://
Nasution, Andi Hakim. (2000). Ilmu untuk mkb.kerjabudaya.org , 2003
kehidupan dan Penghidupan, dalam menggagas Tilaar, H.A.R. (1999). Beberapa agenda reformasi
paradigma baru pendidikan. Yogyakarta: pendidikan nasional. Magelang: Tera Indone-
Yayasan Kanisius sia
Paul, Suparno. (2000). Kurikulum SMU yang
menunjang pendidikan demokrasi, dalam
membuka masa depan anak-anak kita.
Mencari kurikulum pendidikan abad XXI.
Yogyakarta: Yayasan Kanisius