Anda di halaman 1dari 9

Tugas Teologi dan Budaya Populer.

Dosen pengampu : Yahya Wijaya, PhD.


Mahasiswa : Desquart Ompusunggu (NIM: 50100283).
Thema : Individualisme dan relasionalisme dalam budaya populer
Merunut buku : William D. Romanowski, Eyes Wide Open: Looking for God in
popular culture (Ch. 7. The Christian cultural landscape, pgs.90-107), (Grand Rapids:
Brazos Press), 2002.

Romanowski (selanjutnya disebut sebagai penulis) memulai tulisan dalam bab ini dengan
mengetengahkan bagaimana masyarakat Amerika dengan sangat antusias mengikuti konser
musik Bruce Springsteen dan E Street Band. Penulis menyatakan dan juga diperkuat dengan
mengutip perkataan Springsteen, bahwa lagu dengan musik rock yang dibawakan oleh
Springsteen memiliki lirik yang menceritakan hidup apa adanya atau “the real life, not
fantasy”. Kebanyakan lagu Springsteen adalah tentang rakyat biasa yang mencoba untuk
tetap berharap dan bermimpi di tengah-tengah kehidupan yang penuh dengan ketidakpuasan
dan frustasi. Thema yang selalu dipakai adalah tentang menolak untuk menyerah, tidak
pernah putus asa, tetapi menemukan mimpi-mimpi baru untuk menggantikan atau
memperbaiki mimpi-mimpi yang telah hilang (seperti dalam lirik lagunya: you’ve gotta learn
to live with what you can’t rise above). Lagu-lagu Springsteen juga menggambarkan
kenyataan dunia yaitu perang, rasisme dan konflik kelas-kelas sosial (some folks are born
into a good life; other folks get it anyway anyhow) yang di dalamnya juga terdapat situasi
akan kesendirian, kebutuhan akan adanya hubungan pribadi, keinginan seksual, serta
pentingnya bergerak menuju masa depan. Artinya, bicara keberlangsungan hidup adalah
bicara tentang kepercayaan akan human spirit dan komunitas.

Penulis menyatakan bahwa apa yang dituangkan Springsteen dalam lagu-lagunya sejajar
dengan pandangan Orang Kristen tentang hidup (everybody’s got a hungry heart). Dalam
lagunya, Springsteen mungkin atau juga tidak mungkin, bahwa ada pengakuan akan
keberadaan manusia sebagai gambaran Allah dan juga manusia yang terjerumus ke dalam
dosa, dan inilah kenyataan keberadaan kemanusiaan dalam lirik lagunya (you’re born into
this life paying for the sins of somebody else’s past). Untuk mempertajam pendapat penulis
akan nilai Kekristenan Springsteen, penulis juga mengutip pendapat Andrew Greely yang
menyatakan bahwa karya Springsteen sebagai yang benar-benar Katolik. Greely berpendapat
bahwa Springsteen menyanyikan kenyataan agama yaitu dosa, pencobaan, pengampunan,

1
hidup, kematian, pengharapan di dalam gambaran yang mungkin berasal dari masa kecil
Springsteen sebagai seorang Katolik. Lebih jauh, Greely menggambarkan bagaimana
Springsteen bergumul dengan original sin (dosa asali), dan dengan keluh kesah Paulus
tentang keinginan untuk berbuat baik namun tidak dapat melakukannya (Roma 7: 18).
Menurutnya lagi bahwa Springsteen mengetengahkan akan adanya rasa bersalah, kekecewaan
terhadap kebebasan, kegagalan dan keputusasaan namun bukan menjadi tanpa harapan. Lagu-
lagunya diikat oleh “light and water as a symbol of rebirth” yang menawarkan pembaharuan
cinta dan hidup. Lebih jauh lagi Greely menyatakan “you assume that the church exists to
serve people by bringing a message of hope and renewal…you rejoice that such a troubadour
sings stories that maybe even he does not know are Chatolic”. Selanjutnya penulis
menambahkan bahwa dengan human condition yang dieksplor oleh seniman maka kita
sebagai penikmat dibuat untuk berhenti, melihat dan mendengar, artinya kita dijadikan sadar
dan “sensitive”.

Beberapa orang Kristen menjadikan iman sebagai issue dengan cara menjadikan seni populer
sebagai propaganda agama. Penulis menyarankan agar setiap nilai iman harus dijadikan
sebagai konteks terhadap seni (artistic engagement), sehingga iman bukanlah subjek yang
menjadikan seni populer Kristen akan tetapi sebagai perspektif yang melahirkan subjek.
Dengan demikian kualitas sebuah seni populer bukanlah berdasarkan apa yang kelihatan
namun berdasarkan nilai artistik dan perspektif hidup di dalamnya. Oleh karena itu untuk
menilai sebuah seni populer maka penulis menawarkan dasar berfikir Kekristenan yang harus
dipegang, yaitu:

1. Allah ada di dalam pekerjaan (karya), dan dia adalah realitas spiritual yang tidak
tampak namun ada.

2. Mempercayai orang-orang yang diam dalam landscap tersebut, dan iman itu adalah
integral dalam seluruh hidup.

3. Dosa manusia itu adalah nyata, dan evil (kejahatan, iblis) itu ada.

4. Allah menawarkan pengampunan, dan kemungkinan adanya penebusan.

Dengan dasar berfikir itu maka diharapkan bahwa setiap orang dapat bersatu dengan seni
populer secara lebih Kristiani.

2
a. Allah hadir di dalam karya di dunia ini

Para seniman populer telah menemukan bagaimana menggambarkan Allah dan fakta
supernatural. Contohnya adalah: Amy Grant yang menyanyikan Angels watching over me,
atau dalam film-film It’s a wonderful life, Michael, The Preacher’s wife, City of angels, “TV
show” Touched by an angel, juga dalam lagu Bette Midler God is watching us from a
distance, atau Joan Osborne yang berharap what if God were just a slob like one of us. Para
seniman mampu menggunakan dunia-dunia yang allegoris (kiasan) dengan cara memberikan
simbol untuk menggambarkan yang tidak terlihat tersebut (hal ini mengingatkan kita akan
Narnia, Middle earth, Magical london, Harry Potter, atau gambaran dunia dalam Star Wars).
Dengan menemukan dunia yang imaginatif (khayalan), maka para seniman mampu
menegaskan bahwa ada hal yang lebih nyata daripada pengalaman kita meskipun hal ini tidak
cocok dengan pengalaman hidup kita yang nyata. Para seniman Kristen terpanggil untuk
mengumumkan kemuliaan Allah (sebagai Pencipta dan Penguasa), sehingga kita melihatnya
dengan mata iman dan mengerti apa yang diinginkan Allah dalam hidup. Seniman populer
yang menegaskan prinsip kreasi dalam karyanya yaitu cinta, keadilan, penatalayanan,
kebenaran sejati, keberanian, dan kerukunan adalah sebagai pembuktian bahwa dunia adalah
ciptaan Allah. Para seniman populer juga menegaskan bahwa manusia juga berbagi sebuah
rasa akan keberdosaan, keinginan untuk mengerti kejahatan, kerinduan akan penebusan dan
harapan untuk hidup dalam dunia yang tanpa penderitaan dan kesedihan yang mendalam.
Film-film seperti American beauty, Gladiator, Places in the heart dan Dead man walking,
telah menunjukkan bahwa hanya hidup di dalam dunia milik Allah-lah, seseorang mampu
melahirkan kesaksian akan adannya dimensi yang tidak kelihatan tentang dunia yang kita
alami dalam kehidupan sehari-hari.

Pemahaman tentang kehadiran Allah di dunia ini menunjuk kepada dua cara presentasi
artistik yaitu ironi dan unreliable narrator (narator yang tidak dapat dipercaya). Contoh ironi
adalah dengan menggarisbawahi ketidaksinambungan antara dugaan-dugaan masyarakat
dengan apa yang sebenarnya yang terjadi, maka Alkitab berkata walaupun manusia
mempunyai banyak rancangan namun kehendak Allah-lah yang jadi (Amsal 19:21). Oleh
karena itu langkah setiap orang ditentukan oleh Allah (Amsal 20:24). Ironi yang lain dalam
Alkitab adalah dalam kitab Ester, dimana Allah tidak pernah disebut di sana, namun Allah
ada dalam setiap detail cerita yang berkarya untuk menyelamatkan bangsanya. Kemudian

3
cerita tentang Yunus (Kej. 37-50) menunjukkan bahwa upah dosa selalu bersifat ironi. Dalam
cerita tersebut rencana saudara-saudara Yusuf menjualnya ternyata pada akhirnya berbuah
penyelamatan dimana Yusuf menjadi pejabat penentu dalam pemerintahan Firaun dan
kemudian menyelamatkan kelurganya bahkan seluruh bangsa Israel selama masa kelaparan.
Sedangkan unreliable narrator adalah penyumbang kepada penceritaan gaya ironi dan
sekaligus juga menampilkan hidup apa adanya. Misalnya dalam film Citizen Cane, Courage
under fire dan JFK. Para seniman menafsirkan realitas dan mengundang para penonton untuk
membagikan apa yang mereka lihat dalam hidup, yaitu melihat dan menanggapi hal-hal
sesuai dengan cara mereka sendiri, sehingga dengan demikian karya seni populer diatur untuk
mendapatkan tanggapan yang emosional dan penilaian yang mendalam.

b. Mempercayai orang-orang (masyarakat)

Ruang lingkup Kekristenan diisi dengan “mempercayai” orang-orang, laki-laki maupun


perempuan untuk memuji dan melayani Allah. Iman adalah dimensi natural dunia ini, oleh
karena itu, setiap karya populer yang diciptakan oleh orang-orang Kristen harus menegaskan
bahwa orientasi iman adalah untuk seluruh hidup, dengan demikian jika sudah memahami
ketentuan iman maka dapat memahami karakter. Ada banyak sekali situasi kehidupan yang
memaksa kita untuk berfikir lebih dalam lagi di dalam istilah-istilah yang kita percayai,
demikian halnya karakter sangat dipengaruhi oleh apa yang mereka percayai dan bagaimana
cara mereka memahami hidup. Misalnya dalam film Wall street, tokoh Gordon Gekko
(Michael Douglas) diperankan sebagai seorang yang sangat tertarik dengan materialisme
sebagai yang utama dalam hidup, kemudian melengkapi dirinya dengan kesehatan, ketenaran,
kuasa dan sementara itu hidup di dalam bayang-bayang kekebalan, sehingga cara hidup dapat
menuntun kepada damai, keadilan, dan kebebasan tetapi juga kepada kegilaaan, tragedy dan
kematian. Inilah yang seharusnya menjadi karakter musik dan cerita Kekristenan yaitu benar-
benar rumit, memiliki kecacatan dan nyata. Setiap karakter dalam musik atau cerita tidak
selalu mulus dan tidak dapat diubah karna pada kenyataannya, motivasi setiap orang telah
tercampur aduk dan tidak ada lagi yang murni (Rom. 7: 18-20). Oleh karena itu seni populer
orang Kristen haruslah mengikat kompleksitas hidup sebagai hasil keterpurukan ekonomi,
penutupan-penutupan pabrik, bencana alam, penyakit, kecelakaan, dan sebagainya. Dan juga
sangat penting untuk dimengerti bahwa ras, kelas, seks dan genderdan faktor sosial yang lain
juga memberikan informasi tentang identitas dan tujuan hidup kita. Orang-orang Kristen
dapat memanfaatkan seni-seni populer untuk mengeksplor dinamika hidup manusia yang
memotivasi orang-orang dalam cara yang rumit dan menarik.

4
c. Dunia yang telah jatuh dalam dosa.

Martin Scorcese (seorang film director), suatu kali pernah menyatakan bahwa film yang
dibuatnya mengetengahkan “apa itu kemanusiaan, yaitu yang dibentuk dari kebaikan dan
kejahatan, dan dalam setiap orang maka kedua hal ini antara yang satu lebih menguasai yang
lain (kejahatan mungkin lebih menguasai kebaikan atau sebaliknya). Oleh karena itu, jika
orang-orang Kristen mau jujur maka mereka akan memproduksi seni-seni populer yang
menunjukkan kompleksitas hati manusia yang dipengaruhi oleh dosa asali. Misalnya yang
ditunjukkan dalam film The silence of the lamb dan Basic instinct, yang menunjukkan bahwa
meskipun dianggap hina dan menghancurkan namun kejahatan tetap merupakan hal yang
menarik bagi sebagian orang. Kekristenan harus lebih jujur lagi akan adanya dosa tetapi tidak
boleh mengagungkannya. Semua orang telah berdosa sejak dari awal dan lebih condong
untuk melakukan kejahatan. Seni populer yang jujur yang menggambarkan dunia milik Allah
adalah dengan menampilkan gambaran dan metapor kekacauan, ketidakadilan, luka,
kelaparan dan keterasingan oleh karena itu semua adalah bagian dari dunia yang telah jatuh
ke dalam dosa. Orang-orang Kristen tidak perlu menutup mata atau malu terhadap kenyataan
kejahatan dalam bentuk sentimentalisme, namun yang sulit bagi para seniman adalah
menyikapi hal-hal yang menjijikkan seperti kebrutalan, sifat buruk dan kepicikan tanpa harus
jatuh ke dalam bentuk-bentuk itu sendiri. Ada beberapa seniman yang gemar dan berani
melakukan dosa, beberapa di antaranya menggambarkan dunia berdosa sebagai kewajaran
sehingga tidak memerlukan keselamatan, dan beberapa menemukan keselamatan dalam
prestasi manusia.

d. Pengampunan dan keselamatan.

Dalam seni populer yang sama juga dalam hidup, kuasa pengampunan dan keselamatan
sama-sama bergerak dan sedikit memaksa. Banyak film-film Hollywood yang menunjukkan
kuasa penyelamatan roh manusia, roh yang diciptakan sesuai gambar Allah. Keselamatan
digambarkan sebagai bagian dari pergerakan manusia. Ketika hal ini terjadi maka harus ada
sedikit tindakan pertobatan dengan mengakhiri yang telah lama dan diperbaharui dengan
hidup yang baru. Contoh film ini adalah Schindler’s list, The shawshank redemption, Tender
mercies, Dead man walking dan bahkan film kontroversial Pulp fiction. Ruang lingkup
Kekristenan akan menunjukkan bahwa di dalam dunia yang telah jatuh ke dalam dosa, maka
dibutuhkan sumber keselamatan yang tentunya tidak mungkin berasal dari individu yang

5
penuh dosa tersebut. Memang tidak harus melulu dari Kristus yang harus digambarkan dalam
seni populer, namun dalam Alkitab sudah jelas dikatakan “Yaitu melalui anugrah yang telah
kamu terima dengan iman bukan dengan pekerjaan-pekerjaan, sehingga tidak seorangpun
dapat menyombongkan diri” (Ef. 2: 8-9). Keselamatan datang dari pengalaman-pengalaman
yang membuat kita takut akan ketidakberdayaan dan kehancuran kita. Seperti yang
dinyatakan dalam Alkitab, keselamatan dapat hadir di tempat yang paling gelap dan melalui
orang-orang yang tidak diinginkan: “Akan tetapi dimana dosa semakin bertambah, maka
anugerah akan bertambah di sana (Rom. 5:20). Keselamatan dapat mengganggu dan anugerah
dapat menghancurkan. Keselamtan akan mengacauakan arah dan tujuan hidup seseorang.
Kita tahu bahwa kita akan menjadi milik Kristus jika kita mengikuti perintahNya (1 Yoh. 2:
3-6), yaitu mengasihi orang lain seperti diri kita sendiri, lapar dan haus akan kebenaran,
memberikan kepada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar dan kepada Allah apa yang menjadi
hak Allah, mengasihi musuh, membuat hukum yang adil, mengampuni orang yang bersalah
kepada kita, melakukan keadilan, baik hati, dan berjalan dengan keerendahan hati dengan
Allah.

Happy Endings

Kebanyakan seni populer yang laku terjual banyak dan masuk box-office adalah yang
menampilkan happy ending sebagai yang diinginkan oleh penonton. Inilah tantangan besar
bagi seniman Kristen untuk mengikuti keinginan penonton sambil tetap mempertahankan
perspektif Kekristenan. Pada umumnya, happy ending ditampilkan dengan terencana, mudah
digapai dan hanya orang-orang yang “baik” yang mendapatkannya, menikah dengan orang
yang diinginkannya, dan hidup selamanya, sedangkan orang yang melakukan kesalahan akan
selalu dihukum, dan keadilan selalu membela orang yang tidak bersalah. Hal ini mungkin
agak lain dengan apa yang telah dituliskan dalam Alkitab yaitu dalam Rom. 8:28 “Yang
sesuai dengan kehendak Allah”, dalam Amsal 16: 25 “Kelihatan lurus tapi menuju maut”, dan
dalam Ibrani 11: 35-39, yaitu bahwa “Orang-orang benar tidak selamanya mendapatkan apa
yang mereka inginkan bahkan mereka dianiaya, dan tidak mendapatkan apa yang dijanjikan
Allah.” Jika kita percaya akan anugerah Allah maka kita akan lebih menyadari semua bentuk-
bentuk ketidakberhasilan di sekililing kita. Misalnya yang diceritakan dalam Alkitab tentang
Daud, dimana Allah sendiri yang menyatakan Daud sebagai orang yang menyenangkan
hatiNya (Kis. 13: 22), namun kemudian Daud melakukan kesalahan bahkan sampai kepada
keturunannya. Akan tetapi dalam masa akhir hidupnya, dia tetap memiliki status di hadapan
Allah (2 sam. 23: 5).

6
Penutup

Penulis menyatakan bahwa seni populer menunjukkan kepada kita arti akan banyak hal, atau
tujuan mereka dalam Kerajaan Allah, dengan cara menolong kita untuk mengeja pengalaman-
pengalaman kita atau dengan mempersembahkan pemahaman yang dalam tentang hidup kita
dan hidup orang lain. Seni populer mampu mengetengahkan hal yang terdalam dan tertinggi
dari pengalaman-pengalaman manusia, mencerahkan hidup duniawi kita, dan menuntun kita
untuk mengubah penafsiran-penafsiran yang artistik ke dalam dunia nyata. Menolong kita
untuk lebih menikmati, menguji, dan merasakan hidup itu sendiri; seni yang baik akan
membimbing audiens untuk bersatu dengan apa yang terjadi dalam dunia nyata ini.
Membantu kita melihat diri kita sebagai makhluk yang baik milik Allah namun berada dalam
dunia yang telah berdosa. Seni Kekristenan bukanlah tentang “ini adalah yang kita percayai,
dan inilah yang benar, ikut atau tidak”, melainkan “inilah hidup seperti yang kita lihat, apa
yang harus anda lakukan?”. Dalam hal ini terdapat emphati, sehingga audiens mencoba
sendiri dalam ukuran dan cara mereka, yaitu perspektif yang ditawarkan oleh seniman dan
penafsir.

TANGGAPAN.

Dalam bab ini penulis mencoba mengangkat kenyataan perfileman atau bentuk seni populer
yang berani untuk mengangkat kenyataan dunia. Penulis juga menekankan pentingnya
pengakuan akan apa yang telah terjadi saat ini di dalam dunia, yaitu kehancuran, penderitaan
dan banyak “bentuk-bentuk” kejahatan lainnya. Menurut penulis, seni Kekristenan harus
sudah terbuka akan hal ini.

Tentunya kita masih ingat juga akan film Indonesia yang mengangkat thema pluralisme di
Indonesia, film tersebut belum ada judul sehingga disebut “Tanda tanya” (?). Bisa jadi ini
merupakan salah satu film yang berani mengangkat kenyataan kehidupan pluralisme agama
dan etnis di Indonesia. Saya katakan sebagai yang berani karena melihat dampak kurang
‘enak’ yang dituai yaitu adanya isu-isu pengharaman film tersebut oleh MUI (Majelis Ulama
Indonesia) oleh karena kandungan film tersebut. Dalam wawancara dan pemberitaan di Metro
TV, dinyatakan bahwa apa yang ditampilkan dalam film tersebut terlalu berlebihan, yaitu
bagaimana mungkin seorang Muslim memerankan drama penyaliban Kristus, dan juga
penggambaran kelompok Islam yang mencoba memporakporandakan “warung makan china”

7
yang menjual menu yang mengandung daging babi dan buka pada hari ke dua hari raya Idul
Fitri sehingga karyawan yang Muslim pun harus masuk kerja. Kenyataan-kenyataan ini
seolah-olah ditentang oleh para narasumber dan juga penelepon yang menginginkan agar film
tersebut diharamkan. Namun hal yang menggembirakan adalah hasil penjualan untuk
pertunjukan tiket tersebut dan juga dukungan kepada film tersebut sangat memuaskan
produsernya.

Dari kedua tanggapan terhadap film tersebut nampak bahwa memang masih kuatnya agama
di Indonesia berkutat dengan dogma-dogma yang dipegangnya sehingga mengabaikan
kenyataan atau malah menutup-nutupinya, namun di pihak lain bahwa masyarakat Indonesia
sudah sadar akan keberadaan dan kenyataan pluralisme di Indonesia sehingga film tersebut
dianggap sebagai yang mencerahkan dan mengingatkan orang-orang di Indonesia. Ini sejajar
dengan apa yang dinyatakan dan disarankan oleh Romanowski, yaitu bahwa seni Kristen
yang baik adalah dengan mengetengahkan kenyataan dunia milik Allah yang telah jatuh ke
dalam dosa sehingga tidak semua selalu sempurna.

Dalam tema individualisme dan relasionalisme dalam budaya populer ini, Romanowski
dengan jelas telah menggambarkan akan adanya kesadaran spiritual setiap orang sebagai
audiens maupun sebagai seniman untuk melihat gambaran Allah sebagai realitas spiritual
yang tidak kelihatan namun ada, dan gambaran manusia yang memiliki kompleksitas hidup
sebagai hasil keterpurukan ekonomi, penutupan-penutupan pabrik, bencana alam, penyakit,
kecelakaan, dan sebagainya. Hal ini digambarkan dalam karya-karya seni populer. Namun
yang menjadi pertanyaan adalah apakah gereja sebagai wadah Kekristenan itu sendiri telah
menunjukkan kesadaran ini? Sehingga individu-individu dalam gereja mendapat tempatnya
dan menghayati imannya di dalamnya.

Apa yang ditakutkan oleh Romanowski dengan menyatakan “Seni Kekristenan bukanlah
tentang ‘ini adalah yang kita percayai, dan inilah yang benar, ikut atau tidak’, melainkan
‘inilah hidup seperti yang kita lihat, apa yang harus anda lakukan?’”, mungkin juga terjadi
dalam gereja, dimana dalam liturgi-liturgi gereja tidak muncul kenyataan dunia melainkan
dogma yang dinyatakan benar dan diakui gereja. Memang dalam menghadapi dunia saat ini
gereja tidak boleh kehilangan identitasnya. Namun apakah dogma yang selalu dimunculkan
dalam liturgi yang pada akhirnya mengabaikan kenyataan saat ini, adalah sebagai cara gereja
untuk mempertahankan diri? Bisa jadi dengan demikian gereja juga akan ikut menuntut
bahwa film “tanda tanya” adalah sebagai yang tidak layak untuk ditonton. Dengan demikian

8
gereja semakin dituntut untuk mempertahankan keutuhan komunitas dengan terus berefleksi
akan kenyataan saat ini. Atau jika tidak maka gereja akan ditinggalkan karena tidak mampu
beremphati dengan individu-individu di dalmnya. Sehingga masing-masing individu
mengambil langkahnya sendiri yang pada akhirnya menghilangkan jati diri gereja yang
sebenarnya sebagai garam dan terang yang menunjukkan jalan untuk sampai kepada mimpi
iman individu.

Namun perjuangan masing-masing agama dalam keberagaman juga perlu diantisipasi. Oleh
karena keinginan untuk mempertahankan komunitas dan melayani apa yang diinginkan oleh
para pengikutnya sebagai “audiens” saat ini sebagai yang menyadari keberagaman, maka
agama-agama berlomba mengakui kepluralan sebagai buah dari budaya populer sehingga
juga melupakan identitasnya. Dengan demikian individu-individu yang didalamnyapun
menjadi bingung oleh karena tidak ada pegangan dogma, yang pada akhirnya membuat
individu bergantung kepada keputusan sendiri oleh karena penghayatan imannya sendiri.
Sehingga pengalaman beragama ke depan akan mengikuti perkembangan kehidupan yang
semakin terindividualisasikan (Z. Bauman, The Individualized Society, 2001). Dalam situasi
seperti itu, ramalan Megatrends 2000 mungkin dibenarkan, agama formal akan semakin
mengarah pada bentuk-bentuk religositas; hal ini akan mengembangkan bentuk-bentuk
spiritualitas individual (meditasi, yoga, zen dsb.) dan mistik. Hal itu terjadi karena prinsip-
prinsip beragama yang mengalami transformasi radikal dalam zaman ini (kebebasan,
toleransi, pluralisme dsb.). Atau diperlukan pemikiran-pemikiran baru di bidang teologi, yang
diperlukan untuk mengatasi kecenderungan penghayatan eksistensial dan individual dari
agama-agama tersebut, yang belum bisa diramalkan.

Anda mungkin juga menyukai