Anda di halaman 1dari 8

RABU, 13 JANUARI 2010

Memilih Pasangan Idaman


Terikatnya jalinan cinta dua orang insan dalam sebuah pernikahan adalah perkara
yang sangat diperhatikan dalam syariat Islam yang mulia ini. Bahkan kita dianjurkan
untuk serius dalam permasalahan ini dan dilarang menjadikan hal ini sebagai bahan
candaan atau main-main.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

‫ النكاح والطلق والرجعة‬:‫ثلث جدهن جد وهزلهن جد‬

“Tiga hal yang seriusnya dianggap benar-benar serius dan bercandanya dianggap
serius: nikah, cerai dan ruju.’” (Diriwayatkan oleh Al Arba’ah kecuali An Nasa’i.
Dihasankan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah)

Salah satunya dikarenakan menikah berarti mengikat seseorang untuk menjadi


teman hidup tidak hanya untuk satu-dua hari saja bahkan seumur hidup, insya Allah.
Jika demikian, merupakan salah satu kemuliaan syariat Islam bahwa orang yang
hendak menikah diperintahkan untuk berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan
dalam memilih pasangan hidup.

Sungguh sayang, anjuran ini sudah semakin diabaikan oleh kebanyakan kaum
muslimin. Sebagian mereka terjerumus dalam perbuatan maksiat seperti pacaran
dan semacamnya, sehingga mereka pun akhirnya menikah dengan kekasih mereka
tanpa memperhatikan bagaimana keadaan agamanya. Sebagian lagi memilih
pasangannya hanya dengan pertimbangan fisik. Mereka berlomba mencari wanita
cantik untuk dipinang tanpa peduli bagaimana kondisi agamanya. Sebagian lagi
menikah untuk menumpuk kekayaan. Mereka pun meminang lelaki atau wanita yang
kaya raya untuk mendapatkan hartanya. Yang terbaik tentu adalah apa yang
dianjurkan oleh syariat, yaitu berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam
memilih pasangan hidup serta menimbang anjuran-anjuran agama dalam memilih
pasangan.

Setiap muslim yang ingin beruntung dunia akhirat hendaknya mengidam-idamkan


sosok suami dan istri dengan kriteria sebagai berikut:

1. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya

Ini adalah kriteria yang paling utama dari kriteria yang lain. Maka dalam memilih
calon pasangan hidup, minimal harus terdapat satu syarat ini. Karena Allah Ta’ala
berfirman,

‫ل َأْتَقاُكْم‬
ِّ ‫عنَد ا‬
ِ ‫ن َأْكَرَمُكْم‬
ّ ‫ِإ‬

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertaqwa.”
(QS. Al Hujurat: 13)

Sedangkan taqwa adalah menjaga diri dari adzab Allah Ta’ala dengan menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka hendaknya seorang muslim
berjuang untuk mendapatkan calon pasangan yang paling mulia di sisi Allah, yaitu
seorang yang taat kepada aturan agama. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun
menganjurkan memilih istri yang baik agamanya,

‫ فاظفر بذات الدين تربت يداك‬،‫ لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها‬:‫تنكح المرأة لربع‬

“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena


kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih
wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu
akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

‫إذا جاءكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه إل تفعلوه تكن فتنة في الرض وفساد كبير‬

“Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya,
maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan
kerusakan yang besar.” (HR. Tirmidzi. Al Albani berkata dalam Adh Dho’ifah bahwa
hadits ini hasan lighoirihi)

Jika demikian, maka ilmu agama adalah poin penting yang menjadi perhatian dalam
memilih pasangan. Karena bagaimana mungkin seseorang dapat menjalankan
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, padahal dia tidak tahu apa saja yang
diperintahkan oleh Allah dan apa saja yang dilarang oleh-Nya? Dan disinilah
diperlukan ilmu agama untuk mengetahuinya.

Maka pilihlah calon pasangan hidup yang memiliki pemahaman yang baik tentang
agama. Karena salah satu tanda orang yang diberi kebaikan oleh Allah adalah
memiliki pemahaman agama yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

‫من يرد ال به خيرا يفقهه في الدين‬

“Orang yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapat kebaikan akan dipahamkan
terhadap ilmu agama.” (HR. Bukhari-Muslim)

2. Al Kafa’ah (Sekufu)

Yang dimaksud dengan sekufu atau al kafa’ah -secara bahasa- adalah sebanding
dalam hal kedudukan, agama, nasab, rumah dan selainnya (Lisaanul Arab, Ibnu
Manzhur). Al Kafa’ah secara syariat menurut mayoritas ulama adalah sebanding
dalam agama, nasab (keturunan), kemerdekaan dan pekerjaan. (Dinukil dari
Panduan Lengkap Nikah, hal. 175). Atau dengan kata lain kesetaraan dalam agama
dan status sosial. Banyak dalil yang menunjukkan anjuran ini. Di antaranya firman
Allah Ta’ala,

ِ ‫طّيَبا‬
‫ت‬ ّ ‫ن ِلل‬
َ ‫طّيُبو‬
ّ ‫ن َوال‬
َ ‫طّيِبي‬
ّ ‫ت ِلل‬
ُ ‫طّيَبا‬
ّ ‫ت َوال‬
ِ ‫خِبيَثا‬
َ ‫ن ِلْل‬
َ ‫خِبيُثو‬
َ ‫ن َواْل‬
َ ‫خِبيِثي‬
َ ‫ت ِلْل‬
ُ ‫خِبيَثا‬
َ ‫اْل‬

“Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk
wanita-wanita yang keji pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik.
Dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula.” (QS. An Nur: 26)
Al Bukhari pun dalam kitab shahihnya membuat Bab Al Akfaa fid Diin (Sekufu dalam
agama) kemudian di dalamnya terdapat hadits,

‫ فاظفر بذات الدين تربت يداك‬،‫ لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها‬:‫تنكح المرأة لربع‬

“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena


kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih
karena agamanya (keislamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan
merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)

Salah satu hikmah dari anjuran ini adalah kesetaraan dalam agama dan kedudukan
sosial dapat menjadi faktor kelanggengan rumah tangga. Hal ini diisyaratkan oleh
kisah Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat yang paling dicintai oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dinikahkan dengan Zainab binti Jahsy
radhiyallahu ‘anha. Zainab adalah wanita terpandang dan cantik, sedangkan Zaid
adalah lelaki biasa yang tidak tampan. Walhasil, pernikahan mereka pun tidak
berlangsung lama. Jika kasus seperti ini terjadi pada sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, apalagi kita?

3. Menyenangkan jika dipandang

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang telah disebutkan,


membolehkan kita untuk menjadikan faktor fisik sebagai salah satu kriteria memilih
calon pasangan. Karena paras yang cantik atau tampan, juga keadaan fisik yang
menarik lainnya dari calon pasangan hidup kita adalah salah satu faktor penunjang
keharmonisan rumah tangga. Maka mempertimbangkan hal tersebut sejalan dengan
tujuan dari pernikahan, yaitu untuk menciptakan ketentraman dalam hati.

Allah Ta’ala berfirman,

‫سُكُنوا ِإَلْيَها‬
ْ ‫سُكْم َأْزَواجًا ّلَت‬
ِ ‫ن َأنُف‬
ْ ‫ق َلُكم ّم‬
َ ‫خَل‬
َ ‫ن‬
ْ ‫ن آَياِتِه َأ‬
ْ ‫َوِم‬

“Dan di antara tanda kekuasaan Allah ialah Ia menciptakan bagimu istri-istri dari
jenismu sendiri agar kamu merasa tenteram denganya.” (QS. Ar Ruum: 21)

Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan 4 ciri
wanita sholihah yang salah satunya,

‫وان نظر إليها سرته‬

“Jika memandangnya, membuat suami senang.” (HR. Abu Dawud. Al Hakim berkata
bahwa sanad hadits ini shahih)

Oleh karena itu, Islam menetapkan adanya nazhor, yaitu melihat wanita yang yang
hendak dilamar. Sehingga sang lelaki dapat mempertimbangkan wanita yang yang
hendak dilamarnya dari segi fisik. Sebagaimana ketika ada seorang sahabat
mengabarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia akan melamar
seorang wanita Anshar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫أنظرت إليها قال ل قال فاذهب فانظر إليها فإن في أعين النصار شيئا‬

“Sudahkah engkau melihatnya?” Sahabat tersebut berkata, “Belum.” Beliau lalu


bersabda, “Pergilah kepadanya dan lihatlah ia, sebab pada mata orang-orang Anshar
terdapat sesuatu.” (HR. Muslim)

4. Subur (mampu menghasilkan keturunan)

Di antara hikmah dari pernikahan adalah untuk meneruskan keturunan dan


memperbanyak jumlah kaum muslimin dan memperkuat izzah (kemuliaan) kaum
muslimin. Karena dari pernikahan diharapkan lahirlah anak-anak kaum muslimin
yang nantinya menjadi orang-orang yang shalih yang mendakwahkan Islam. Oleh
karena itulah, Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih
calon istri yang subur,

‫تزوجوا الودود الولود فاني مكاثر بكم المم‬

“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku berbangga dengan
banyaknya ummatku.” (HR. An Nasa’I, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al Albani dalam
Misykatul Mashabih)

Karena alasan ini juga sebagian fuqoha (para pakar fiqih) berpendapat bolehnya fas-
khu an nikah (membatalkan pernikahan) karena diketahui suami memiliki impotensi
yang parah. As Sa’di berkata: “Jika seorang istri setelah pernikahan mendapati
suaminya ternyata impoten, maka diberi waktu selama 1 tahun, jika masih dalam
keadaan demikian, maka pernikahan dibatalkan (oleh penguasa)” (Lihat Manhajus
Salikin, Bab ‘Uyub fin Nikah hal. 202)

Kriteria Khusus untuk Memilih Calon Suami

Khusus bagi seorang muslimah yang hendak memilih calon pendamping, ada satu
kriteria yang penting untuk diperhatikan. Yaitu calon suami memiliki kemampuan
untuk memberi nafkah. Karena memberi nafkah merupakan kewajiban seorang
suami. Islam telah menjadikan sikap menyia-nyiakan hak istri, anak-anak serta
kedua orang tua dalam nafkah termasuk dalam kategori dosa besar. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫كفى بالمرء إثما أن يضيع من يقوت‬

“Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi


tanggungannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud. Al Hakim berkata bahwa sanad hadits ini
shahih).

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membolehkan bahkan
menganjurkan menimbang faktor kemampuan memberi nafkah dalam memilih
suami. Seperti kisah pelamaran Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha:

‫ إن أبا الجهم ومعاوية خطباني؟ فقال رسول ال‬:‫ فقلت‬،‫ أتيت النبي صلى ال عليه وسلم‬:‫عن فاطمة بنت قيس رضي ال عنها قالت‬
‫ فل يضع العصا عن عاتقه‬،‫ وأما أبوالجهم‬، ‫ فصعلوك ل مال له‬،‫”أما معاوية‬:‫صلى ال عليه وسلم‬

“Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, ia berkata: ‘Aku mendatangi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku berkata, “Sesungguhnya Abul Jahm dan
Mu’awiyah telah melamarku”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Adapun Mu’awiyah adalah orang fakir, ia tidak mempunyai harta. Adapun Abul
Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya”.” (HR. Bukhari-Muslim)

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasikan


Muawiyah radhiyallahu ‘anhu karena miskin. Maka ini menunjukkan bahwa masalah
kemampuan memberi nafkah perlu diperhatikan.

Namun kebutuhan akan nafkah ini jangan sampai dijadikan kriteria dan tujuan
utama. Jika sang calon suami dapat memberi nafkah yang dapat menegakkan tulang
punggungnya dan keluarganya kelak itu sudah mencukupi. Karena Allah dan Rasul-
Nya mengajarkan akhlak zuhud (sederhana) dan qana’ah (menyukuri apa yang
dikarunai Allah) serta mencela penghamba dan pengumpul harta. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ وإن لم يعط لم يرض‬،‫ إن أعطي رضي‬،‫ والخميصة‬،‫ والقطيفة‬،‫ والدرهم‬،‫تعس عبد الدينار‬

“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah dan
celakalah hamba khamilah. Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah.”
(HR. Bukhari).

Selain itu, bukan juga berarti calon suami harus kaya raya. Karena Allah pun
menjanjikan kepada para lelaki yang miskin yang ingin menjaga kehormatannya
dengan menikah untuk diberi rizki.

‫ضِلِه‬
ْ ‫ل ِمن َف‬
ُّ ‫عَباِدُكْم َوِإَماِئُكْم ِإن َيُكوُنوا ُفَقَراء ُيْغِنِهُم ا‬
ِ ‫ن‬
ْ ‫ن ِم‬
َ ‫حي‬
ِ ‫صاِل‬
ّ ‫لَياَمى ِمنُكْم َوال‬
َْ ‫حوا ا‬
ُ ‫َوَأنِك‬

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kalian. Jika mereka
miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS.
An Nur: 32)

Kriteria Khusus untuk Memilih Istri

Salah satu bukti bahwa wanita memiliki kedudukan yang mulia dalam Islam adalah
bahwa terdapat anjuran untuk memilih calon istri dengan lebih selektif. Yaitu dengan
adanya beberapa kriteria khusus untuk memilih calon istri. Di antara kriteria tersebut
adalah:

1. Bersedia taat kepada suami

Seorang suami adalah pemimpin dalam rumah tangga. Sebagaimana firman Allah
Ta’ala,

‫ساء‬
َ ‫عَلى الّن‬
َ ‫ن‬
َ ‫ل َقّواُمو‬
ُ ‫جا‬
َ ‫الّر‬

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. An Nisa: 34)

Sudah sepatutnya seorang pemimpin untuk ditaati. Ketika ketaatan ditinggalkan


maka hancurlah ‘organisasi’ rumah tangga yang dijalankan. Oleh karena itulah, Allah
dan Rasul-Nya dalam banyak dalil memerintahkan seorang istri untuk taat kepada
suaminya, kecuali dalam perkara yang diharamkan. Meninggalkan ketaatan kepada
suami merupakan dosa besar, sebaliknya ketaatan kepadanya diganjar dengan
pahala yang sangat besar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ْ ‫شاَء‬
‫ت‬ َ ‫جّنِة‬
َ ‫ب اْل‬
ِ ‫ي َأْبَوا‬
ّ ‫ن َأ‬
ْ ‫ت ِم‬
ْ ‫خَل‬
َ ‫ َد‬،‫ت َبْعَلَها‬
ْ ‫ع‬
َ ‫طا‬
َ ‫ َوَأ‬،‫جَها‬
َ ‫ت َفْر‬
ْ ‫صَن‬
َ ‫ح‬
َ ‫ َو‬،‫شْهَرَها‬
َ ‫ت‬
ْ ‫صاَم‬
َ ‫ َو‬،‫سَها‬
َ ‫خْم‬
َ ‫ت اْلَمْرَأُة‬
ِ ‫صَل‬
َ ‫ِإَذا‬
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di
bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan
masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.” (HR. Ibnu Hibban. Dishahihkan
oleh Al Albani)

Maka seorang muslim hendaknya memilih wanita calon pasangan hidupnya yang
telah menyadari akan kewajiban ini.

2. Menjaga auratnya dan tidak memamerkan kecantikannya kecuali kepada


suaminya

Berbusana muslimah yang benar dan syar’i adalah kewajiban setiap muslimah.
Seorang muslimah yang shalihah tentunya tidak akan melanggar ketentuan ini. Allah
Ta’ala berfirman,

‫حيمًا‬
ِ ‫غُفورًا ّر‬
َ ‫ل‬
ُّ ‫ن ا‬
َ ‫ن َوَكا‬
َ ‫ل ُيْؤَذْي‬
َ ‫ن َف‬
َ ‫ك َأْدَنى َأن ُيْعَرْف‬
َ ‫ن َذِل‬
ّ ‫لِبيِبِه‬
َ‫ج‬َ ‫ن ِمن‬
ّ ‫عَلْيِه‬
َ ‫ن‬
َ ‫ن ُيْدِني‬
َ ‫ساء اْلُمْؤِمِني‬
َ ‫ك َوِن‬
َ ‫ك َوَبَناِت‬
َ‫ج‬
ِ ‫لْزَوا‬
َّ ‫ي ُقل‬
ّ ‫َيا َأّيَها الّنِب‬

“Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri


orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka.’” (QS. Al Ahzab: 59)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengabarkan dua kaum yang kepedihan
siksaannya belum pernah beliau lihat, salah satunya adalah wanita yang
memamerkan auratnya dan tidak berbusana yang syar’i. Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫نساء كاسيات عاريات مميلت مائلت رؤسهن كأسنة البخت المائلة ل يدخلن الجنة ول يجدن ريحها وإن ريحها ليوجد من مسيرة كذا‬
‫وكذا‬

“Wanita yang berpakaian namun (pada hakikatnya) telanjang yang berjalan


melenggang, kepala mereka bergoyang bak punuk unta. Mereka tidak akan masuk
surga dan bahkan mencium wanginya pun tidak. Padahal wanginya surga dapat
tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)

Berdasarkan dalil-dalil yang ada, para ulama merumuskan syarat-syarat busana


muslimah yang syar’i di antaranya: menutup aurat dengan sempurna, tidak ketat,
tidak transparan, bukan untuk memamerkan kecantikan di depan lelaki non-
mahram, tidak meniru ciri khas busana non-muslim, tidak meniru ciri khas busana
laki-laki, dll.

Maka pilihlah calon istri yang menyadari dan memahami hal ini, yaitu para muslimah
yang berbusana muslimah yang syar’i.

3. Gadis lebih diutamakan dari janda

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar menikahi wanita yang


masih gadis. Karena secara umum wanita yang masih gadis memiliki kelebihan
dalam hal kemesraan dan dalam hal pemenuhan kebutuhan biologis. Sehingga
sejalan dengan salah satu tujuan menikah, yaitu menjaga dari penyaluran syahawat
kepada yang haram. Wanita yang masih gadis juga biasanya lebih nrimo jika sang
suami berpenghasilan sedikit. Hal ini semua dapat menambah kebahagiaan dalam
pernikahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ فإنهن أعذب أفواها و أنتق أرحاما و أرضى باليسير‬، ‫عليكم بالبكار‬

“Menikahlah dengan gadis, sebab mulut mereka lebih jernih, rahimnya lebih cepat
hamil, dan lebih rela pada pemberian yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah. Dishahihkan
oleh Al Albani)

Namun tidak mengapa menikah dengan seorang janda jika melihat maslahat yang
besar. Seperti sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu yang menikah dengan
janda karena ia memiliki 8 orang adik yang masih kecil sehingga membutuhkan istri
yang pandai merawat anak kecil, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun menyetujuinya (HR. Bukhari-Muslim)

4. Nasab-nya baik

Dianjurkan kepada seseorang yang hendak meminang seorang wanita untuk mencari
tahu tentang nasab (silsilah keturunan)-nya.

Alasan pertama, keluarga memiliki peran besar dalam mempengaruhi ilmu, akhlak
dan keimanan seseorang. Seorang wanita yang tumbuh dalam keluarga yang baik
lagi Islami biasanya menjadi seorang wanita yang shalihah.

Alasan kedua, di masyarakat kita yang masih awam terdapat permasalahan pelik
berkaitan dengan status anak zina. Mereka menganggap bahwa jika dua orang
berzina, cukup dengan menikahkan keduanya maka selesailah permasalahan.
Padahal tidak demikian. Karena dalam ketentuan Islam, anak yang dilahirkan dari
hasil zina tidak di-nasab-kan kepada si lelaki pezina, namun di-nasab-kan kepada
ibunya. Berdasarkan hadits,

‫جُر‬
ْ‫ح‬َ ‫ َوِلْلَعاِهِر اْل‬، ‫ش‬
ِ ‫الَوَلُد ِلْلِفَرا‬

“Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum.” (HR.
Bukhari)

Dalam hadits yang mulia ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menetapkan
anak tersebut di-nasab-kan kepada orang yang berstatus suami dari si wanita. Me-
nasab-kan anak zina tersebut kepada lelaki pezina menyelisihi tuntutan hadits ini.

Konsekuensinya, anak yang lahir dari hasil zina, apabila ia perempuan maka suami
dari ibunya tidak boleh menjadi wali dalam pernikahannya. Jika ia menjadi wali maka
pernikahannya tidak sah, jika pernikahan tidak sah lalu berhubungan intim, maka
sama dengan perzinaan. Iyyadzan billah, kita berlindung kepada Allah dari kejadian
ini.

Oleh karena itulah, seorang lelaki yang hendak meminang wanita terkadang perlu
untuk mengecek nasab dari calon pasangan.

Demikian beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan oleh seorang muslim yang
hendak menapaki tangga pernikahan. Nasehat kami, selain melakukan usaha untuk
memilih pasangan, jangan lupa bahwa hasil akhir dari segala usaha ada di tangan
Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka sepatutnya jangan meninggalkan doa kepada Allah Ta’ala
agar dipilihkan calon pasangan yang baik. Salah satu doa yang bisa dilakukan adalah
dengan melakukan shalat Istikharah. Sebagaimana hadits dari Jabir radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
‫ ” اللهم إني أستخيرك بعلمك‬: ‫ل ركعتين ثم ليقل‬
ّ ‫”…إذا هم أحدكم بأمر فليص‬

“Jika kalian merasa gelisah terhadap suatu perkara, maka shalatlah dua raka’at
kemudian berdoalah: ‘Ya Allah, aku beristikharah kepadamu dengan ilmu-Mu’…
(dst)” (HR. Bukhari)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shaalihat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina


Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.

Maraji’:

1. Al Wajiz Fil Fiqhi As Sunnah Wal Kitab Al Aziz Bab An Nikah, Syaikh Abdul Azhim
Badawi Al Khalafi, Cetakan ke-3 tahun 2001M, Dar Ibnu Rajab, Mesir
2. Panduan Lengkap Nikah dari A sampai Z, terjemahan dari kitab Isyratun Nisaa
Minal Alif ilal Ya, Usamah Bin Kamal bin Abdir Razzaq, Cetakan ke-7 tahun 2007,
Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
3. Bekal-Bekal Menuju Pelaminan Mengikuti Sunnah, terjemahan dari kitab Al
Insyirah Fi Adabin Nikah, Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini, Cetakan ke-4 tahun 2002,
Pustaka At Tibyan, Solo
4. Manhajus Salikin Wa Taudhihul Fiqhi fid Diin, Syaikh Abdurrahman Bin Nashir As
Sa’di, Cetakan pertama tahun 1421H, Darul Wathan, Riyadh
5. Az Zawaj (e-book), Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin,
http://attasmeem.com
6. Artikel “Status Anak Zina“, Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. ,
http://ustadzkholid.com/fiqih/status-anak-zina/

***

Penulis: Yulian Purnama


Muroja’ah: Ustadz Kholid Syamhudi. Lc.
Artikel www.muslim.or.id
http://forantum.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai