Anda di halaman 1dari 2

Kepribadian seseorang tidak bisa dibentuk oleh pendidikan formal.

Setidaknya, hal itulah yang


diyakini oleh mereka yang telah merasakan manfaat berorganisasi. Berorganisasi sama dengan
mendidik kita untuk jadi makhluk sosial. Dengan berorganisasi, kita diajari cara menghargai
pendapat dan perbedaan serta cara memimpin yang baik.

Organisasi memiliki jiwa, karakter, jati diri, sejarah, kisah, suka, sedih, cita-cita, harapan dll.
Ada beberapa hal yang harus kita sadari dalam berorganisasi. Bahwa organisasi ini milik banyak
orang, semua anggota, bukan milik pengurus atau ketua. Sedemikian banyak orang yang
memiliki karakter, sifat, bahasa, kebiasaan yang berbeda memberi kita kesempatan belajar jenis-
jenis manusia. Jika organisasi tersebut memang tidak bisa diperbaiki dari dalam, dengan atau
tanpa kehadiran kita, memang sebaiknya kita keluar. Tetapi jika kita berpikir lebih luas karena
organisasi ini dapat memberi manfaat bagi banyak orang, dan Anda merasa mampu
memperbaikinya, sebaiknya Anda tetap bertahan. Seringkali organisasi ditangani secara salah,
dan mungkin Anda orang yang terpilih untuk berperan lebih. Apa yang saya tahu, tidak ada
usaha yang sia-sia. Membangun organisasi, sejatinya juga membangun kepribadian Anda.

Banyak hal yang sebenarnya harus kita pertimbangkan untuk menentukan mana yang lebih
mempunyai sisi kegunaan tinggi. Pada dasarnya, keduanya sama-sama memegang peran penting
untuk masa depan Mahasiswa. Dapat dikatakan keduanya saling menyokong, mendukung dan
melengkapi. Namun terlepas dari masalah sokong-menyokong, dukung-mendukung dan lengkap-
melengkapi, kita sebagai Mahasiswa calon penentu masa hidup kita sendiri khususnya, haruslah
mampu menentukan prioritas utama guna mencapai kualitas hidup di atas rata-rata. Pernyataan
ini mungkinkah terdengar egois, mengapa kita hanya menentukan masa depan hidup kita sendiri
tanpa memikirkan cara mengkualitaskan hidup bangsa?

Saya kira terlalu jauh dan abstrak bila kita memikirkan cara peningkatan kualitas bangsa
sedangkan masa depan kita sendiri belum terarah dan terdesain dengan baik.

Lalu, mana yang harus diprioritaskan oleh Mahasiswa untuk mencapai hidup berkualitas? IPK
tinggi sebagai prioritas utama? atau ilmu organisasilah yang harus didalami?
Kebanyakan Mahasiswa pengejar nilai akan memilih memprioritaskan IPK tinggi, "IPK Tinggi"
biasa dijadikan sebagai alat pamer level kepandaian seseorang.
Tapi apalah arti "IPK Tinggi" jika diperoleh dengan segala macam daya dan upaya yang instant
(Nyontek, plagiat, manipulasi dan seanak cucunya)
Namun, tidak sedikit pula Mahasiswa yang mengejar IPK Tinggi dengan menjunjung tinggi
penguasaan dan penyerapan ilmu-ilmu dalam setiap Mata Kuliah yang diambilnya tanpa
menggunakan cara instant.
"Nilai memuaskan ataupun IPK tinggi akan selalu mengikuti kita-kita yang punya penguasaan
ilmu terhadap bidang yang kita tekuni".
Jadi, tak seharusnya kita khawatir akan pencapaian nilai atau IPK bila ilmu sudah digenggam
tangan.
Dan tak dapat dipungkiri juga bahwa ketentuan IPK Tinggi yang notabene adalah momok
kegagalan sebagian Sarjana yang "Low Competence" untuk dapat bekerja di Perusahaan-
perusahaan tertentu yang membutuhkan Karyawan dengan "High Competence", membuat
mereka para Sarjana yang "Low Competence" harus gigit jari. Ini seharusnya mampu
menggerakkan para Mahasiswa untuk lebih meningkatkan penguasaan ilmu ketimbang
meningkatkan cara pemerolehan nilai.

Demikian juga dengan Organisasi Mahasiswa yang sudah tak diragukan lagi sebagai salah satu
penyebar efek-efek negative terhadap Mahasiswa. Disini Mahasiswa akan dihadapkan dengan
dua pilihan:
"Serap ilmu-ilmu yang ada di Organisasi tersebut untuk pembentukan Soft Skill?" atau "Serap
kebiasaan-kebiasaan buruk para pengikutnya?"
Apa sebenarnya makna dari pilihan kedua?
Sudah pasti kita tahu bahwa sebagian besar Mahasiswa yang masuk dalam suatu organisasi akan
cenderung mudah tertular penyakit-penyakit kronis dari senior-seniornya. Mereka biasanya akan
mulai menyepelekan tugas utamanya sebagai Mahasiswa (Collecting the Knowledge). Dari
sinilah kehancuran dan kebinasaan cita-cita mereka.
Mereka biasa memulainya dari jarangnya mereka hadir dalam kelas, kalaupun hadir mereka akan
terjangkit penyakit "Low Consentration".

Tetapi penyakit-penyakit menular tersebut, tidak akan berarti bagi mereka-mereka yang
mempunyai tujuan jelas dan memiliki benih-benih sifat kepemimpinan, tanggung jawab,
bijaksana, dan sebagainya untuk mengikuti suatu organisasi kemahasiswaan dengan harapan
dapat mengembangkan sifat-sifat tersebut sehingga terbentuklah Soft Skill yang baik. Dengan
bekal Soft Skill inilah, kebanyakan dari mereka lolos dalam seleksi penerimaan karyawan
disuatu perusahaan tertentu yang membutuhkan mereka untuk dipekerjakan secara "Grouping"
yang berinteraksi langsung dengan masyarakat guna mensukseskan perusahaan tersebut.

Satu hal yang terpenting dalam kasus ini adalah kembali kepada individu Mahasiswa itu sendiri.
Apa "Goal" (Tujuan akhir) mereka setelah menempuh "Study" ini? Knowledge/ Soft Skill atau
bahkan kedua-duanya?
Mahasiswa diharapkan mampu mengenal kompetensi yang dimiliki:
- Jika seorang Mahasiswa merasa memiliki "Low motivation in learning his/ her Subject", tetapi
merasa mampu berorganisasi, maka dalamilah ilmu organisasi sebagai bekal hidup bersosial.
- Tetapi jika merasa memiliki "High Competence in Mastery of their Subject" maka focuslah
pada penyerapan ilmu atau materi-materinya untuk mencapai IPK Tinggi.
- Dan jika merasa mempunyai "High Competence in both of that items" maka jalankan keduanya
dengan serasi dan selaras tanpa menjatuhkan salah satu darinya.

Pada dasarnya, antara IPK Tinggi dengan Organisasi Mahasiswa memiliki keterkaitan dan
ketergantungan. IPK Tinggi tanpa diimbangi Soft Skill dan Soft Skill tanpa dibekali IPK Tinggi
akan memberikan pengaruh yang significance terhadap hasil kerja mereka.

Anda mungkin juga menyukai