Anda di halaman 1dari 14

Sulit dibayangkan, betapa dari ibu kota ini, Kerajaan Belanda pernah mengatur dan

menguasai jajahannya, paling sedikit sepuluh kali lebih luas dari wilayah Belanda, yang
kemudian menjadi Indonesia.

Justru, karena keengganannya untuk melepaskan seluruh Hindia Belanda sebagai jajahannya
menjelang akhir 1949, meskipun Den Haag tidak sanggup lagi menghadapi tekanan-tekanan
politik militer, maka timbullah konflik antara Republik Indonesia (RI) dan Belanda tentang
status wilayah yang disebut Irian Barat. Dan, asal mula konflik itu lahir di ibu kota ini.

Sekilas sejarah diplomatik ini, saya sampaikan kepada sejumlah diplomat muda Indonesia
yang dikirim oleh Departemen Luar Negeri ke pusat masalah internasional Klingendaal, di
luar Den Haag, untuk dibekali penambahan pengetahuan dan peluasan wawasan mereka
selama tiga bulan.

Saudara Mulya Wirana yang bertugas sebagai Kuasa Usaha ad interim pada Kamis malam, 6
April lalu, menyelenggarakan pertemuan dengan para diplomat Indonesia tersebut. Mereka
telah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pendidikan Luar Negeri. Delapan belas orang
sebagai pilihan unggul mendapat kesempatan mengikuti program khusus di Klingendaal.
Wajah-wajah mereka serba cerdas kelihatannya. Saya tekankan betapa pentingnya
mempelajari sejarah diplomatik RI.

"Tahukah Anda, bahwa apa yang dikenal sebagai masalah Irian (Papua) berasal mula di ibu
kota Den Haag ini?" Mereka kelihatannya ingin tahu.

Setelah Belanda melancarkan serangan umum terhadap RI pada bulan Desember 1948 yang
hanya menguasai wilayah "selebar daun lontar" (istilah Jenderal Sudirman, panglima besar
TNI), ia berhasil menduduki ibu kota perjuangan Yogyakarta dan menangkap pimpinan
republik, khususnya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden/Perdana Menteri Moh Hatta serta
sejumlah anggota kabinet.

Namun Jenderal Sudirman, meskipun baru mengalami operasi paru-paru, dan para perwira
lainnya masih sempat meninggalkan Yogyakarta. Maka, dilancarkanlah suatu perang rakyat
terhadap kekuatan militer Belanda yang modern itu.

Serangan Belanda itu, juga telah mencetuskan reaksi sengit di kalangan internasional. Dewan
Keamanan PBB bersidang di Paris dan mengutuk tindakan Belanda yang dianggap telah
melanggar norma hukum internasional karena perundingan antara RI dan Belanda masih
berlangsung.

Serangan Belanda itu, juga telah merubah pandangan para pemimpin negara-negara federal
yang sementara itu telah didirikan Belanda di wilayah yang berhasil diduduki secara militer.
Para tokoh-tokoh yang biasanya dianggap sebagai antek-antek Belanda, mulai bersikap lebih
simpatik pada perjuangan para pemimpin RI.

Kombinasi tekanan-tekanan inilah: perjuangan gerilya TNI bersama rakyat, perubahan sikap
tokoh- tokoh Indonesia yang disponsori Belanda di daerah pendudukannya, dan desakan
Dewan Keamanan PBB dengan dorongan India dan Australia, telah memaksa Belanda untuk
mengakui kegagalan jalan militer yang ditempuhnya.
Den Haag menugaskan seorang diplomat ulung Dr J H Van Royen untuk membuka
perundingan dengan pimpinan RI yang resminya adalah tawanan politik mereka di Pulau
Bangka. Belanda menyatakan bersedia mengakui kedaulatan Indonesia Merdeka dengan
beberapa persyaratan. Yogyakarta sebagai ibu kota RI dan kesultanan Yogyakarta sebagai
wilayah RI dipulihkan.

Langkah berikut adalah menempa suatu kesepakatan menyeluruh untuk mengatur


berakhirnya kolonialisme Belanda dan berkuasanya Indonesia Merdeka. Suatu perundingan
perdamaian digelar yang dikenal sebagai Konperensi Meja Bundar. Itu berlangsung di Den
Haag dari pertengahan Agustus sampai awal November 1949.

Tiga delegasi berpartisipasi: delegasi Kerajaan Belanda dan dua delegasi dari Indonesia.
Yang satu adalah delegasi RI dipimpin oleh Moh Hatta dan, yang satu lagi, delegasi negara-
negara federal yang awalnya didirikan Belanda tapi sudah berpihak pada RI. Dalam delegasi
RI duduk seorang wakil TNI Kol TB Simatupang yang membawa tim sendiri (Letkol Daan
Yahya, Mayor Haryono, Mayor Sasraprawira, Kol Laut Subyakto, dan kemudian, Komodor
AURI Suryadarma).

Des Alwi pernah cerita betapa kota Den Haag ramai dengan tokoh- tokoh delegasi dari
Indonesia bersama anggota sekretariat dan para wartawan Indonesia, al Rosihan Anwar. Des
Alwi pada waktu itu mahasiswa di London dan datang untuk menjumpai "Oom" Hatta. Ia
secara bercanda menyebut tim TNI yang dipimpin Kol TB Simatupang sebagai tentara
pendudukan RI di Den Haag.

Berminggu-minggu lamanya perundingan KMB berlangsung. Melalui diplomasi, Belanda


ingin meredusir kekalahannya (yakni, meninggalkan jajahannya) dan mengamankan
kepentingannya.

Di bidang finansial-ekonomi, delegasi-delegasi Indonesia mengalah. Sebagian besar hutang-


hutang Belanda diwarisi oleh Republik Indonesia Serikat, suatu tatanan kenegaraan yang
merupakan syarat Belanda. Juga investasi Belanda dijamin dengan kebebasan mentransfer
keuntungannya. Di bidang militer, setelah perundingan yang alot, Belanda mengakui bahwa
TNI adalah satu-satunya organisasi militer di Indonesia. Dan tentara Hindia Belanda (KNIL)
dibubarkan, enam bulan setelah upacara pengalihan kedaulatan pada akhir Desember 1949.
Tapi ada satu masalah yang hampir menyebabkan kegagalan KMB. Sampai akhir konperensi
yang telah ditetapkan oleh Bung Hatta harus berakhir pada awal November 1949, Belanda
ngotot bahwa pengalihan kedaulatan atas wilayah Hindia-Belanda tidak berlaku untuk
"residensi Nieuw Guinea" (Irian Barat, Irian Jaya kemudian Papua).

Pada saat-saat terakhir yang serba tegang menjelang 2 November 1949, Komisi PBB yang
ikut hadir menyampaikan usul kompromi; "Wilayah itu tetap dibawah administrasi Belanda
tapi selama setahun melalui perundingan akan dicarikan jalan keluar tentang status masa
depannya."

Yang paling gigih menolak kompromi dalam bentuk apapun sebenarnya adalah Anak Agung
Gde Agung, tokoh delegasi negara-negara federal.

Bung Hatta sebagai pemimpin delegasi RI menghadapi dilema. Menolak usul kompromi
Komisi PBB berarti pulang ke Yogya dengan tangan hampa. Menerimanya, dapat
menimbulkan keretakan di dalam negeri karena Presiden Sukarno telah menyatakan kepada
Dr Van Royen yang berkunjung ke Yogyakarta untuk pamit bahwa dia adalah "seorang
fanatikus" untuk mempertahankan wilayah paling timur itu.

Akhirnya dengan hati berat Bung Hatta menerima usul kompromi Komisi PBB itu. Kol
Simatupang menyampaikan di rapat delegasi, kalau setelah setahun tidak dicapai
penyelesaian, maka akan timbul konflik antara dua negara berdaulat. Dan Indonesia sebagai
negara berdaulat, kalau terpaksa, akan menerapkan TNI sebagai kekuatan militer yang telah
diakui. Pada akhirnya "Irian Barat" sebagai masalah antar negara baru diselesaikan setelah 12
tahun, bukan setahun seperti disepakati oleh Konferensi Meja Bundar.

Ada beberapa catatan yang dapat disimpulkan tentang masalah Irian Barat yang mungkin ada
relevansinya untuk memahami kompleksitas situasi Papua sekarang.

Pertama, jangan biarkan sebuah konflik diplomatik ngambang dengan perumusan


kesepakatan yang tidak konkrit implementasinya. Pasal 2 dari Protokol Penyerahan
Kedaulatan yang mengatakan bahwa status "residensi Niew Guinea" akan ditentukan melalui
perundingan selama setahun terlalu fleksibel yang membuka peluang bagi Belanda untuk
tetap bertahan di Irian Barat.

Kedua, selama 12 tahun beberapa variasi dinamika politik telah berlangsung yang dampaknya
mungkin terasa sampai sekarang. Selama 12 tahun telah berlangsung radikalisasi dalam
dinamika politik Indonesia. Presiden Soekarno berhasil mengkonsentrasikan kekuasaan pada
dirinya melalui Demokrasi Terpimpin. Dan dalam periode ini PKI muncul sebagai kekuatan
politik yang menonjol. Sedangkan di Irian Barat, Belanda kecuali mendorong pembangunan
infrastruktur dan pendidikan, bereksperimen dengan model negara merdeka. Satu generasi
angkatan muda Papua pernah berkenalan dengan propaganda politik Belanda ini.

Ketiga, berbagai pendekatan Indonesia di PBB pada pihak Belanda untuk mencari
penyelesaian akhirnya gagal maka diputuskanlah untuk menempuh jalan militer. Dan
persiapan ekspedisi militer di bawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto (kemudian menjadi
Presiden RI) dilakukan secara besar-besaran. Kalau sampai berlangsung, maka Operasi
Mandala merupakan ekspedisi gabungan militer yang terbesar dalam sejarah RI. Namun pada
saat terakhir Operasi Mandala dibatalkan, karena pada 15 Agustus 1962 telah tercapai suatu
paket persetujuan dengan pihak Belanda di gedung PBB di New York. Agaknya dapat diduga
bahwa suatu mentalitas tentara pendudukan sulit dihindarkan, ketika Irian Jaya kembali
dibawah naungan kedaulatan RI.

Mentalitas "tentara pendudukan " mungkin tanpa disadari melekat pada sementara pejabat-
pejabat yang kemudian ditugaskan dari Jakarta.

Mungkin juga Presiden Soeharto sendiri sebagai mantan Panglima Operasi Merdeka
cenderung menangani propinsi Irian Jaya dari sudut pandang seorang panglima sebuah
tentara pendudukan.

Karena itu, amatlah penting bahwa Undang-Undang Otonomi Khusus untuk Papua (UU No
21 Tahun 2003) dilaksanakan secara utuh dan tulus. Justru karena produk hukum itu ikut
dipersiapkan oleh para intelektual Papua yang bertekad supaya masyarakat Papua tetap
menjadi bagian dari nasion Indonesia, maka pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf
Kalla patut mendorong pelaksanaan otonomi khusus di Papua.

*http://www.suarapembaruan.com/News/2006/04/15/Editor/edit02.htm

Status Sosial dan Kepribadian Masyarakat Bugis


Tradisional
Posted by Fawwaz Mughny on May - 2 - 2011

Setidak-tidaknya menjelang akhir abad kesembilan belas, ciri-ciri pribadi merupakan suatu
pertimbangan penting, tidak hanya dalam penunjukan para penguasa dan pemimpin,
melainkan juga dalam pengabsahan status sosial lewat perkawinan. Kedudukan sosial
seseorang ditetapkan oleh siapa yang bisa dikawini olehnya sendiri ataupun oleh anak
lelakinya. Di beberapa kerajaan, terutama Wajo, seseorang yang kedudukan kelasnya secara
formal tidak cukup tinggi dapat membeli (lewat pembayaran kepada keluarga pengantin
wanita) derajat kemurnian darah untuk memungkinkan dilangsungkannya perkawinan.
Apabila dimiliki keluwesan semacam itu, tidak hanya keturunan tetapi kualitas pribadi orang
tersebut tentu bakal dipertimbangkan, khususnya kedudukan dan kekayaannya. Dikatakan
bahwa anak-anak perempuan bangsawan dapat saja kawin dengan cendekiawan, orang kaya,
pahlawan (serdadu), atau ulama, sebab dalam keadaan bahaya raja toh membutuhkan
kebijaksanaan dari kaum cendekiawan, kekayaan dari orang kaya, keberanian dari para
serdadu, dan doa dari alim ulama.

Jadi, itu bukan suatu sistem kelas yang sama sekali tertutup. Secara relatif adalah mudah bagi
seorang perempuan untuk menaikkan derajatnya lewat perkawinan (dan keluarganya ikut
menikmati kenaikan prestise ini sampai batas tertentu), tetapi seorang laki-laki dapat
meningkatkan statusnya hanya dengan mendapatkan kedudukan atau kekayaan lewat
usahanya sendiri. Kompetisi, yang merupakan ciri khas dari suatu masyarakat yang
berorientasikan prestasi, dengan demikian ternyata hadir juga dalam apa yang secara sepintas
lalu tampak sebagai suatu masyarakat yang dihubungkan dengan status. Orientasi pada
prestasi ini dicerminkan dalam karakterisasi kepribadian pria yang dikehendaki yaitu bercita-
cita tinggi, mempunyai daya saing, agresif, bangga, berani, dan sadar akan status. Orang
semacam itu dipandang mampu untuk berhasil dalam masyarakat dan untuk meningkatkan
prestise dan kedudukannya sendiri serta kelompok keluarganya.

Usaha seorang laki-laki untuk meningkatkan status sosialnya akan terancam oleh setiap
penurunan status dari seorang sanak keluarga wanita, misalnya kalau seorang saudara
perempuannya kawin dengan seseorang di bawahnya. Dengan demikian, perkawinan sudah
diatur dengan seseorang yang sesuai yaitu ketika sang gadis masih sangat muda, seringkali
malah baru berumur tiga belas atau empat belas tahun. Gadis diharapkan bersikap halus,
pemalu dan penurut. Mereka dilindungi terhadap hubungan dengan orang lak-laki di luar
keluarga dekatnya. Juga, dianggap tidak layak bagi seorang perempuan untuk berada sendiri
dengan seorang laki-laki yang bukan keluarga dekatnya. Kejadian semacam itu membawa
malu kepada keluarga, dan kalau orang perempuan itu bermartabat, dianggap membawa
bencana bagi kerajaan. Kemudian menjadi kewajiban orang laki-laki yang terhina, khususnya
saudara laki-lakinya, untuk membalas dengan membunuh orang yang bersalah itu. Kalau
perempuan tersebut belum kawin, rasa malu dapat dihindari hanya kalau pasangan itu dapat
dikawinkan secara resmi. Suatu upacara perdamaian dengan keluarga pihak wanita dapat
diselenggarakan, sebelum pasangan yang malang itu tertangkap dan dibunuh.

Dalam suasana persaingan dan balas dendam ini, tidak mengherankan kalau orang-orang
Bugis dan Makassar seringkali digambarkan berwatak panas, keras kepala, sombong, dan
sukar diatur.

Sistem Pemerintahan Tradisional Masyarakat Bugis


Makassar
Posted by Fawwaz Mughny on May - 2 - 2011

Masyarakat dibagi menjadi tiga kelas besar yaitu aristokrasi, orang merdeka, dan budak.
Orang-orang merdeka merupakan bagian terbesar penduduk, Sembilan puluh persen lebih.
Adapun budak, baik secara turun temurun maupun orang-orang yang terikat utang,
merupakan satu kelompok kecil di bagian masyarakat paling bawah, sedangkan bangsawan
merupakan lapisan masyarakat sangat tipis di atas. Namun, golongan bangsawanlah yang
menguasai tanah dan memegang posisi monopoli atas kekuasaan. Golongan ini memisahkan
diri dari golongan masyarakat lainnya lewat diberlakukannya peraturan pengeluaran yang
ketat, penggunaan sebutan-sebutan khusus seperti Andi, Karaeng, Arung, Datu dan
sebagainya, dan larangan keras terhadap para putri bangsawan untuk kawin dengan pria dari
lapisan bawahannya. Larangan ini, bersama-sama dengan peraturan bahwa semua anak dari
pria bangsawan termasuk kelas itu, memastikan bahwa keturunan yang diakui dari kaum
bangsawan adalah orang bangsawan juga. Pekerjaan utama bangsawan adalah bidang
pemerintahan, khususnya mengatur penggunaan tanah dan menyelesaikan persengketaan.
Baik kedudukan politik maupun kekuasaan ekonomi berkaitan erat dengan status kelas,
karena pada umumnya diterima bahwa tidak ada orang yang dapat memaksakan kekuasaan
atas orang lain yang berpangkat lebih tinggi daripada dia sendiri.

Dilihat dari bawah, para anggota bangsawan semuanya dianggap sebagai ana’ karaeng (anak
raja), tetapi di kalangan bangsawan sendiri dilakukan pembedaan yang sangat teliti. Unsure
patrilinier dan matrilinier kedua-duanya berlaku. Setiap anak yang ayahnya bangsawan
adalah bangsawan juga, apapun kelas ibunya, akan tetapi, di kalangan bangsawan tinggi
tingkatan ditentukan oleh kelas sang ibu. Tingkatan tertinggi, ana’ matola atau anak patola,
adalah anak-anak perempuan keturunan bangsawan asli. Tingkatan terendah di kalangan
bangsawan adalah anak-anak yang ibunya adalah orang bebas, atau budak, mereka dikenal
sebagai ana’ cera’. Di antara kedua tingkatan itu, dalam keanekaragaman peringkat yang
hamper tidak terhitung, adalah anak-anak yang kedua orangtuanya dari kalangan bangsawan
akan tetapi salah seorang, atau kedua-duanya bukan ana’ matola. Raja dan kepala-kepala
yang penting lainnya dapat saja laki-laki atau perempuan, tetapi haruslah ana’ matola.

Para pemimpin utama kerajaan seringkali adalah sanak keluarga dekat raja, yang
tingkatannya sama tinggi atau hamper sama tinggi dengan sang penguasa sendiri. Dalam
beberapa hal mereka ini adalah penguasan bagian wilayah kerajaan atau kerajaan bawahan,
dalam hal lain mereka tampak mempunyai fungsi riil sebagai bagian dari kelompok kerajaan.
Para pemimpin senior ini merupakan hadat, yaitu dewan yang fungsi utamanya ialah member
nasehat kepada raja dan membantunya dalam memecahkan persengketaan, tetapi juga
mempunyai kekuasaan besar dalam pemilihan dan penurunan seorang raja.
Sekalipun raja yang sedang memerintah mempunyai pengaruh besar dalam menetapkan
seorang pengganti, hadat inilah yang secara formal menegaskan pilihan tersebut. Menurut
tradisi, sifat-sifat seorang raja yang dikehendaki adalah bahwa ia (laki-laki atau perempuan)
haruslah jujur, mampu, murah hati dan berani. Ada kepercayaan umum bahwa sifat-sifat
semacam itu diwarisi, dan dengan demikian didapati terutama sekali di kalangan kaum
bangsawan tertinggi, golongan ana’ matola, sekalipun hadat mengakui bahwa ada raja
kemungkinan determinisme genetika mereka salah dalam menilai kualitas kepemimpinan.
Tentulah seorang calon dari keturunan murni akan mendapat perhatian utama, karena
kewibawaan orang semacam itu akan kurang dipertanyakan jika dibanding dengan
kewibawaan seseorang yang berderajat lebih rendah, betapapun bijaksana atau beraninya.

Seseorang yang berhak menjadi raja karena keturunan, yang ditunjuk demikian oleh penguasa
sebelumnya, dan yang memperlihatkan sifat-sifat kepemimpinan yang diharapkan, dapat
memusatkan perhatian pada pengembangan kekayaan, wilayah, dan kekuasaan kerajaan.
Seseorang yang kekurangan satu di antara persyaratan ini mungkin sekali harus memusatkan
diri pada usaha mempertahankan kedudukannya terhadap orang lain yang berdarah lebih
murni, atau lebih bersemangat, yang juga menyatakan berhak atas tahta.

Bagaimanapun, keberhasilan akan bergantung untuk sebagian besar pada hubungan penguasa
dengan para pemimpin bawahan atau pada kemampuannya menghimpun jumlah pengikut
yang cukup besar, yang kesetiaannya dapat diandalkan oleh penguasa tersebut. Dalam
beberapa kejadian kelompok keluarga penguasa merupakan inti dari pengikut. Akan tetapi
karena ada persaingan untuk kedudukan dalam kelompok keluarga tersebut, para anggota
yang dipandang berstatus hampir sama dan karena perluasan kekuatan memerlukan jumlah
pengikut yang lebih besar, maka seorang penguasa karena kebutuhan akan berpaling ke luar
lingkungan keluarga. Salah satu cara untuk mendapatkan pengikuti yang setia adalah
memberi tanah kedudukan.

Teknik-teknik kepemimpinan tradisional lain yang dikenal, yang dapat digunakan baik untuk
menghimpun pengikut maupun dalam proses memerintah yang sebenarnya, digambarkan
sebagai: bujuk, justai, dan pukul. Bujuk atau pujian, harus yang pertama-tama dicoba, kalau
ini gagal, berikan janji, mungkin kedudukan tinggi boleh ditawarkan tetapi tidak perlu
dipenuhi. Dan akhirnya, bagi mereka yang menolak bujukan, kekerasan dapat diterapkan untk
mendatangkan hasil yang diingini. Tetapi yang tersebut belakangan harus diterapkan dengan
hati-hati, sebab seorang lawan yang terdesak sampai ke satu sudut akan lebih menyukai
kematian daripada kompromi, ini karena menyerah dipandang sebagai aib yang tidak
tertanggungkan.

Kaum bangsawan dari tingkatan lebih rendah memerintah satuan-satuan bawahan kerajaan,
atau menjadi anggota pengikut pribadi penguasa. Ada keluwesan yang cukup besar dalam
komposisi wilayah kerajaan. Sekalipun batas-batas satuan tertentu, atau “wilayah inti”,
mungkin ditetapkan cukup tepat, para pemimpin wilayah bawahan ini, terutama yang terletak
di perbatasan antara kerajaan-kerajaan besar, mungkin saja mengalihkan kesetiaan mereka
kepada penguasa lainnya yang menurut anggapan mereka lebih mampu memberikan
kedamaian bahkan perlindungan, atau kesempatan untuk mengumpulkan kekayaan dan
petualangan. Karena kekeluargaan diperhitungkan secara bilateral, dan karena terjadi banyak
hubungan perkawinan di kalangan bangsawan Sulawesi Selatan, kebanyakan pemimpin
sedikit banyak bersaudara satu sama lain, dan juga dengan para pemimpin yang lebih tinggi
dan yang lebih rendah. Hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain, dengan pemimpin bawahan
atau dengan para pengikut, seringkali diperkuat dengan perkawinan, dan perkawinan itu
sendiri merupakan ungkapan formal dari hubungan yang sederajat atau lebih rendah dari
pihak-pihak yang terlibat.

Hierarki para pemimpin dan kerajaan ini berada di atas masyarakat desa, dan dianggap telah
berkembang daripadanya. Desa-desa tampaknya mula-mula dihuni oleh para anggota dari
satu kelompok keluarga, yang bersama memuja suatu hiasan, atau barang, yang dipandang
mengandung kekuatan gaib dan diwarisi dari para leluhur yang mula-mula memilikinya.
Kepercayaan pada kekuatan gaib pusaka keluarga itu merupakan suatu pusat pemersatu untuk
kelompok keluarga itu. Dan kepercayaan pada kekuatan gaib tempat-tempat tertentu seperti
gua, pegunungan, puncak gunung, pohon, telaga memberikan kohesi spiritual kepada
masyarakat desa itu ketika orang-orang yang bukan keluarga pindah ke daerah tersebut.
Tampaknya, telah terjadi migrasi intern yang cukup besar dalam daerah Bugis dan Makassar,
dan tidak hanya orang-orang asing masuk ke dalam desa yang sudah ada, melainkan
kelompok-kelompok penduduk desa akan memisahkan diri dari permukiman induk dan
mendirikan desa bawahan di dekatnya. Setiap masyarakat desa memilih pemimpinnya
sendiri, biasanya dari keturunan pendiri desa. Hubungan dipertahankan antara permukiman
asal dan permukiman yang kemudian timbul daripadanya, secara keseluruhan hal ini kelak
mungkin merupakan inti suatu kerajaan kecil.

Mungkin mula-mula sebagai sarana untuk menyelesaikan persengketaan antara satuan-satuan


yang berdekatan, atau sebagai pertahanan terhadap gangguan dari kelompok-kelompok yang
lebih jauh dan lebih kuat, maka para pemimpin satuan lalu membentuk suatu dewan yang
berkuasa, yaitu hadat dan selanjutnya para pemimpin ini memilih di antara mereka seorang
penguasa konfederasi. Tiap satuan tetap mempunyai otonomi cukup besar dalam mengatur
urusan mereka sendiri, dan kekuasaan kepala federasi itu sangat bergantung pada
hubungannya dengan para pemimpin bawahan dan pada kewibawaan pribadinya.

Hubungan berdasar perjanjian antara penguasa dan rakyat ditandai dengan sumpah yang
diambil dalam upacara penobatan, atau dalam upacara-upacara yang lebih sering untuk masa
tanam dan masa panen. Dalam upacara penobatan, hadat biasanya bertindak sebagai wakil
rakyat. Pada pokoknya, penguasa berjanji untuk memberikan keadilan dan perlindungan
terhadap lawan dan kelaparan, yakni sebagai imbalan bagi kesetiaan rakyat dan atas
kesediaan mereka membajak dan memanen tanahnya.

Kata kunci untuk artikel ini:

I Lagaligo

Bisa dibilang I Lagaligo Putra Sawerigading merupakan perpaduan antara mitos dan sejarah.
Namun demikian, I Lagaligo sudah terlanjur melegenda baik di tanah Bugis maupun di
daerah lain bahkan menjadi legenda dunia yang dibicarakan banyak orang. Dari  sekian versi
tentang Sejarah Bugis I Lagaligo PUtra Sawerigading dapat kami paparkan secara ringkas di
sini.

Epik ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada
Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga
dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat
keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge’ langi’ menjadi Raja Alekawa
(Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge’ langi’ kemudian menikah dengan
sepupunya We Nyili’timo’, anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara
Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40
malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu’, sebuah daerah di Luwu’,
sekarang wilaya Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.

Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara
Lattu’. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma’dukelleng
atau Sawerigading (Putera Ware’) dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng.
Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We
Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya.
Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu’ dan bersumpah tidak akan kembali
lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan
termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia
menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.

Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat
yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima
atau Sumbawa), Jawa Rilau’ dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau’ dan
Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan
melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya
dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang
aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.

Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga
seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira
yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri.
Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja.

Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta’ adalah yang terakhir di dalam epik itu yang
dinobatkan di Luwu’.

Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini
dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di
muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak
berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para
bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi
sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran
pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar
cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak
berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan
kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan
muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka
diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.

 Rumpun bugis  Pajaga Makkunrai (seni pertunjukan tradisional Bugis)


 Pajoge Angkong ( tari pajaga makkunrai)
 Sere Bissu maggiri ( upacara adat di Kab. Pangkep oleh parra bissu)
 Maddoja Bine (mitos sangiangseri dan meong palo di Kab. Barru)
 Pajaga Bone Balla (tari bangsawan  diistana kerajaan Luwu)
 Salonreng (Tari petua Kerajaan dipakai diberbagai upacara Kerajaan Gowa)
 Paddekko ( pertunjukan rakyat menyamput panen)
 Sere jaga (hulu dari pertujukan Pakarena)
 Dengka Tulembang (permainan Rakyat menyambut panen)
 Kondo Buleng (teater rakyat makassar)
 Gandrang Bulo (permainan anak-anak makassar dangan nyanyian-nyanyian jenaka)
 Pasempa ( permainan rakyat masyarakat Balangloe Kab. Jeneponto)
 Rumpun Mandar Tudduq Sarabadang (ragam tudduq tari dari daerah Mandar)
 Pallake (Sandra Tari, bisa dipentaskan diberbagai upacara atau pelantikan Raja)
 Mappande Banua (Upacara adat 7 hari 7 malam )
 Sayyang Pattudu (Upacara adat Rumpun Mandar)
 Pangayo (tari tradisional pangayo)
 Paranding ( tarian perang rumpun toraja)
 Pagellu (tari bangsawan rumpun toraja)
 Ma`badong (pada upacara kematian Rambu solo)
 Burake (tari penyembahan ats kepercayaan Alu todolo)
 Ma`papangan (Ritual atau upacara adat Rumpun Toraja)
 Kaliao ( prisai yang digunakan perang)
 Pasere ( tari peninggalan Kerajaan Tondong dan Bulo-bulo Kab. Sinjai)
 Mappadendang Ogi ( upacara menjelang tanam dan sesudah panen padi, serta
menyambut pasang dan sesudah surut air danau tempe)

Alat-alatt Musik Tradisional Sulawesi Selatan

 Genrang Ogi (gendang Bugis)


 Gandang Simbuang (gendang toraja)
 Suling lembang (suling toraja)
 Suling Bulatta (suling bugis)
 Gesong Kesong (keso-keso `dipakai oleh pasinrilik)
 Bacing Pacing (menyerupai pui-pui, terbuat dari bambu berukuran 10 cm dan terdapat
lidah sebagai sumber getar bunyi)
 Appo, Anak Bacing.
 kacaping,Gandrang Mangkasarak

Tradisi dan kepercayaan Masyarakat Islam Bugis Makassar


Sumber : http://pangkep.go.id/
1. Tradisi Pembacaan Kitab Barzanji

Seperti diketahui. Agama islam masuk di Sulawesi Selatan dengan cara yang sangat santun
terhadap kebudayaan dan tradisi masyarakat Bugis Makassar. Bukti nyata terhadap
kesantunan Islam terhadap budaya dan tradisi Bugis Makassar dapat dilihat dalam tradisi-
tradisi keislaman yang berkembang di Sulawesi Selatan hingga kini.

Seperti tradisi mabbarazanji, yakni tradisi pembacaan Barzanji. Sebuah kitab yang berisi
sejarah. Nabi Muhammad SAW dalam setiap hajatan dan acara doa-doa selamatan, bahkan
ketika membeli kendaraan baru, dan lain sebagainya. Tradisi Mabbarazanji ini merupakan
bukti terjadinya asimilasi damai antara budaya Bugis Makassar.

Sebelum kedatangan Islam di Sulawesi Selatan, setiap ada acara atau ritual adat maka
seringkali diisi acara pembacaan naskah I La Galigo dan Meongpalo KarellaE. Tampaknya
para penyebar agama Islam tidak berusaha mematikan kreatifitas tradisional orang Bugis
Makasar, tapi mengislamkanya dengan jalan mengganti bacaan sejarah kehidupan Rasullullah
muhammad SAW.

Bukti lain adanya kenyataan bahwa Islam yang berkembang di Sulawesi Selatan adalah islam
mistik, Konon ketiga penyiar islam. Datuk Ditiro, Datuk Patimang, Datuk ri Bandang,
memang sengaja diutus ke Sulawesi Selatan untuk menyiarkan islam, karena ketiganya
adalah penganut islam yang kuat di bidang sufistik (tasawuf). Hal ini dimaksudkan untuk
mensinergikan pengetahuan mistik masyarakan Bugis Makassar, yang notabene mereka
pelajari dari naskah I La Galigo da Lontara-lontara peninggalan nenek moyang mereka.

Begitu pula pembacaan barzanji (mabbarazanji/akbarazanji) pada setiap perayaan siklud


hidup, sebut saja midalnya perayaan : alahere (kelahiran anak), aqeqah (aqiqah),

Appasunna(khitanan), appatamma (menamatkan pendidikan atau bacaan al-quran),


appabunting (perkawinan), menre bola (naik rumah), naik ri makkah (akan berangkat ke
tanah suci menunaikan ibadah haji), ammateang (kematian), dan lain sebagainya. Pasal
perayaan-perayaan tersebut diatas sangat sarat dengan simbol-simbol “kepercayaan lama”

2. Tradisi Perayaan Mulid Nabi, “Ammaudhu”

Dalam masyarakat Bugis makassar, masih sangat kental perayaan-perayaan hari-hari besar
islam dengan nuansa dan warna sinkretisme, seperti perayaan Maulid nabi muhammas SAW
dengan rentetan acaranya sebagai berikut:

* Appakaramula
* Ammone baku
* Ammode baku
* Angngantara kanre maudu
* Pannarimang kanre maudu
* A’rate (assikkiri)
* Pammacang salawa
* Pattoanang
* Pabbageang kanre maudu

Perayaan hari – hari besar islam juga menghadirkan pembacaan :"zikiri Barazanji”, selain
maulid nabi adalah : Isra Mi’raj, sepuluh muharram, bahkan pada hari raya Idul Fitri dan Idul
Adha, masih banyak masyarakat menyelenggarakan barzanji atau mengundang “pabaca
doank” (pembaca doa, biasanya imam kampung atau anrong guru) kerumahnya untuk
membacakan segala jenis dan rupa makanan, yang diiringi bau asap kemenyan.

3. Tradisi Berziarah

Tradisi berziarah biasanya dilaksanakan usai pelaksanaan acara penting dalam hidup
seseorang, seperti usai melaksanakan acara perkawinan maka kedua mempelai mengunjungi
kuburan (berziarah) ke makam keluarga dan nenek moyangnya.

Tradisi berziarah umum dilaksanakan masyarakat usai melaksanakan sholat Idul Fitri.
Sehabis dari masjid atau lapangan langsung menuju ke kuburan umum untuk menziarahi
kuburan keluarganya. Disana mereka menabur bunga seraya memanjatkan doa keselamatan
keluarga yang telah mendahuluinya serta keselamatan dan berkah bagi yang hidup.

4. Tradisi Memulai Mengaji dan Nipatamma

Tradisi ini berkenaan dengan permulaan mengaji bagi anak-anak di kampong yang “mengaji
kampong”.Biasanya dipersyaratkan sebelum memulai mengaji di tuan guru atau pada “guru
pangngaji”. Membawa pisang beberapa sisir kerumah sang guru. Pisang itu nantinya “di
baca” dirumah sang guru. Sekarang ini, hantaran pisang adapula yang menggantinya dengan
barang kebutuhan sembako, seperti beras atau gula untuk sang guru.

Berbesa halnya dengan guru TK/TPA yang umum dikenal sekarang ini, sang guru mengaji
(guru panggaji) ini biasanya tidak digaji tapi cukup di balas dengan keharusa anak – anak
mengaji ini mengangkat kan air untuk kebutuhan sehari-hari sampai penuh tempat air
(baranneng) sang guru. Dalam melakukan tugas ini, anak-anak mengaji saling berganti satu
sama lain memenuhi air baranneng tersebut.

Setelah anak-anak mengaji ini menamatkan qur-an kecil (Dzuz amma) atau qur-an besar (30
djuz) maka dipersyaratkan untuk”Nipatamma”, yaitu tradisi mengakhiri suatu kumpulan
bacaan dengan hantaran makanan berupa pisang beberapa sisir, makanan sokko’ (beras
ketan), yag didalamnya terdapat ayam,telur dan lain sebagainya yang dibaca dalam satu
“kappara”(wadah makanan yang disajikan).

5. Tridisi Maleppe (Lebaran)

Tradisi ini bertepatan dengan perayaan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Secara umum,
tradisi dikenal dengan istilah “lebaran” atau “Maleppe”. Sesuai melaksanakan sholat idul fitri
atau idul adha. Masyarakat berbondong-bondong saling mengunjungi satu sama lain sesame
kerabat handai taulan. Kegiatan kunjung – mengunjung ini di sebut “assiara” (silaturahmi).

Biasa pada rumah-rumah penduduk, umum disajikan makanan khas lebaran, seperti burasa,
mandura atau ketupat(ketupat) serta sajian makanan ayam dan ikan bandeng. Pada
masyarakat yang masih berbekas kepercayaan lamanya, sajian makanan lebaran tersebut
terlebih dahulu harus “dibaca”oleh puang anre guru atau daeng imam (pemuka agama/imam).

6. Tradisi Perayaan 10 muharram (asyura)


Tradisi ini biasanya ditandai dengan ramainya masyarakat Bugis Makassar pada daerah-
daerah pedalaman membuat bubur yang di sebut “jepe syura”. Bubur tersebut dihiasi dengan
berbagai macam potongan-potongan panjang telur dadar warna-warni, tumpi-tumpi kecil,
ikan, udang, dan lain sebagainya.

7. Tradisi Je’ne – je’ne Sappara

8. Kepercayaan masyarakat Tentang makhluk Halus

Meski dalam islam,hanya umum dikenal syetan dan jin sebagai penggoda manusia dalam
berbuat amal kebajikan, amun bagi orang Bugis Makassar, terkadang lebih takut kepasa
“mahkluk halus” yang dianggap suka mengganggu dan menimbulkan malapetaka bagi
manusia, seperti poppo (peppo), parakang, kalimpao, dan dongga(longga).

Orang-orang tua Bugis Makasar juga terkadang menanamkan kepercayaan itu pada anaknya
dengan berusaha menakuti-akutinya bahwa di suatu tempat, ada popponya, ada parakangnya
dan lain sebagainya.Parakang sebenarnya berwujud manusia, tetapi dalam mencari
mangsanya ia berubah wujud menjadi binatang, kerbau, sapi, atau anjing.

Orang yang menjadi “Parakang” biasanya tidak mengetahui bahwa dirinya parakang sebab
yang berubah hanyalah rohnya. Parakang mengganggu mangsanya dengan memakan dan
menyedot organ tubuh bagian dalam seprti hati, usus, dan jantung.(Ahmad Saransi,2003).

Itulah sebabnya seperti lazin kita dengar, “parakkang paiso pallo”. Saat ini sudah jarang kita
dengar orang memperbincangkan parakang ini. Terakhir kali penulis mendengarnya dari
cerita penduduk pangkep sekitar tahun 1980-an.Tidak pernah juga ada keterangan mengenai
orang yang mempunyai “ilmu parakan” itu. Cerita tentang parakan ini umumnya berkembang
dari mulut ke mulut di daerah-daerah pedalaman. Karena itu, bisa jadi cerita tentang parakang
ini hanya cerita rekayasa atau strategi orang-orang tua dulu untuk menentramkan anaknya
agar tidak menangis atau dengan maksud lain.

9. Kepercayaan Masyarakat Mengenai “Allo Nakasa”

Masyarakat Bugis Makasar pangkep juga memiliki kepercayaan mengenai hari-hari


pantangan, yang lazim disebut “allo nakasa”. Hari-hari nakasa merupakan hari-hari yang
dianggap terlarang melakukan berbagai macam kegiatan dan tindakan, terutama tindakan
yang menentukan dalam hidup manusia, seperti penentuan hari menikah, memulai usaha
dagang, memulai tanam padi (turun sawah),merantau atau bepergian jauh dan melakukan
upacara-upacara adat.

Nakasa terbagi 2 yaitu Nakasa tahunan dan nakada bualanan. Nakasa tahun nan jatuh pada
tanggal satu syura (Muharram) dan dalam sepanjang tahun hari tanggal jatuhnya satu
muharram itu dianggap “hari Nakasa”. Sementara , nakasa bulanan dilihat berdasarkan
perhitunga tertentu, seperti perhitungan esso sibokoreng dan waktu hari pasar.
0

Share10
Manusia Bugis, Tradisi, Seni dan Religi
Senin, 23 Agustus 2010
 
Hampir semua jenis kesenian tradisional di Sulawesi Selatan - selalu terkait antara
religi, tradisi, dan seni. Kenyataan ini memperlihatkan kepada kita betapa
kompleksnya kesenian tradisional yang ternyata tidaklah sesederhana seperti yang
dibayangkan, di dalamnya terdapat inner power yang bersangkut paut dengan
sukma pemilik kesenian itu. Karena itu, manakala seseorang ingin mengusung
sebuah kesenian sakral di luar konteksnya tanpa memperhitungkan kesakralannya
dan perasaan pendukungnya, maka sukma ini kehilangan auranya, dan yang
tertinggal adalah sebuah onggokan kreativitas yang tak berjiwa.

Dalam  Bugis Religion yang terdapat dalam The Encyclopedia of Religion, Mircea
Eliade antara lain menulis bahwa meskipun orang-orang Bugis telah menjadi Islam
dan beriman, tapi mereka masih memelihara sejumlah tradisi yang bersumber dari
elemen-elemen pra-Islam, seperti bissu dan kitab suci La Galigo.. Berbagai ajaran
Islam dan Bugis yang mengandung spirit dan unsur-unsur yang sama diadaptasikan
dan didialogkan yang kemudian memunculkan warna-warni kebudayaan Islam
dengan wajah Bugis, atau kebudayaan Bugis dengan wajah Islam.

Patotoqé sebagai Dewata Séuawaé (dewata yang tunggal) yang diadopsi dari
konsep Allah yang Maha Esa - padahal di dalam La Galigo, Dewa tidaklah tunggal,
ia beranak-pinak - atau sebaliknya, kita menemukan konsep siriq yang kemudian
diadaptasikan dengan konsep jihad. Puncak dari semua itu adalah dikukuhkannya
Islam dalam sistem Pangngaderreng di Sulawesi Selatan yang merupakan falsafah
hidup manusia Bugis, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Ada 5 unsur yang saling mengukuhkan dalam konsep Pangngaderreng ini yaitu, 1)
wariq (sistem protokoler kerajaan), 2) adeq (adat-istiadat), 3) bicara (sistem hukum),
4) rapang (pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan), dan 5) saraq
(syariat Islam). Empat dari yang pertama dipegang oleh Pampawa Adeq (pelaksana
adat), sedangkan yang terakhir dipegang oleh Paréwa Saraq (perangkat syariat).

La Galigo sebagai kitab suci dan sumber religi bagi penganut agama To ri Olo orang
Bugis mewariskan sejumlah tradisi yang saling kait-mengait dengan berbagai
upacara suci dan sakral. Dalam upacara suci dan sakral itu selalu diiringi dengan
pemotongan hewan dan pembacaan sureq La Galigo. Itulah kemudian yang dikenal
dengan upacara: mappano bine (upacara menidurkan benih padi) menjelang tanam
padi.; maccéraq tasiq upacara 
persembahan dewa laut, ménréq baruga upacara peresmian balairung tempat
berlangsungnya upacara keduniaan berlangsung; mattemu taung mengunjungi dan
menziarahi kuburan leluhur mereka, dan masih banyak lagi. Semua upacara itu
dibarengi berbagai kesenian dan pembacaan episode-episode La Galigo yang
episodenya disesuaikan dengan isi dan upacara yang berlangsung. Kesenian yang
mengiringinya antara lain séré bissu (joget bissu) maggiriq (para bissu menari sambil
menusuk badannya dengan badik) massureq (membaca La galigo), maggenrang
(bermain gendang), massuling lontaraq (meniup suling diiringi nyanyian La Galigo),
mallae-lae, dan sebagainya.
Seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakan oleh tiga komponen yang saling
melengkapi, yaitu: 1) Pendeta Bissu, pendeta banci yang bertugas memimpin
upacara ritual, 2) sanro, praktisi di belakang layar yang bertugas menyiapkan
seluruh perlengkapan upacara, dan 3) passureq, pembaca dan penembang La
Galigo.

Karena itu, Bissu, sanro, passureq, dan para dewan adat adalah empat warga Bugis
yang merupakan pemelihara dan pengawal La Galigo yang berada di garda paling
depan yang siap mempertaruhkan apa saja demi kesucian ajaran La Galigo. Mereka
pernah ditangkap bahkan dibunuh pada zaman DI-TII berkecamuk di Sulawesi
Selatan, mereka pernah dipaksa menjadi Hindu atau dirazia melalui “operasi tobat”
di zaman Orde Baru. Mereka tidak bergeming sedikitpun.

Ini memperlihatkan bahwa religi, tradisi, dan seni dalam La Galigo di Sulawesi
Selatan memperlihatkan suatu rangkaian sistem yang merupakan satu kesatuan
struktural dan fungsional. Karya La Galigo itu sendiri sebagai teks yang berbentuk
sastra tak perlu lagi diperdebatkan, konvensi sastranya yang 5 suku kata pada
setiap larik yang mencapai ribuan bait, alurnya yang datar, kilas balik dan
pembayangan, kompleksitas karakter tokohnya, dan kemasan temanya yang rumit
membuat orang susah memahami bagaimana sebuah karya sastra lama ini memiliki
semua dimensi sastra modern. Itulah yang menempatkannya sebagai warga sastra
dunia.

Sumangeq dan ininnawa begitulah orang Bugis menyebut “sukma” dan “hati nurani”
dari prinsip-prinsip hidup yang diwarisinya dari La Galigo. Dengan sumangeq dan
ininnawa itulah mereka mengarungi seribu dunia dan menerjemahkannyanya ke
dalam kehidupan dunia kekinian.

Anda mungkin juga menyukai