Indonesia
Berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS)
Serangan militer Belanda terhadap RI pada tanggal 19 Desember 1948 ternyata tidak memberikan
hasil sebagaimana diharapkan para pemimpin Belanda. Sekalipun serangan mendadak itu secara
militer berhasil merebut Yogyakarta, ibukota Revolusi RI secara cepat, namun kemudian Belanda
tidak dapat memperoleh hasil politik yang diinginkan.
Tujuan politik Belanda adalah menaklukkan Republik Indonesia dan meniadakannya sebagai
kenyataan politik. Sebab selama RI itu ada, Belanda tak dapat menegakkan kembali kekuasaan
penjajahannya atas bumi Indonesia. Padahal Belanda sangat terdesak dalam segi keuangannya, karena
AS sebagai sumber bantuan utama tidak memberikan bantuan keuangan yang cukup bagi Belanda
untuk mengembangkan negaranya dan menguasai kembali Indonesia. Sebab itu di samping Tujuan
Politik Belanda mempunyai Tujuan Ekonomi, yaitu secepat mungkin menguasai Indonesia untuk
menghidupkan kembali usaha perkebunan guna memperoleh pemasukan penting bagi kas negaranya.
Perlawanan Rakyat Indonesia bersama Tentara Nasional Indonesia tidak berhasil dipatahkan Belanda
hanya dengan merebut Yogyakarta dan kota-kota lain di Jawa dan Sumatra. Berkobar perlawanan itu
dan makin merugikan Belanda, baik secara politik maupun militer. Terbukti kebenaran dalil bahwa
gerilya menang selama lawan tak mampu menghabiskannya secara tuntas. Perlawanan itu tidak
memungkinkan Belanda mencapai Tujuan Ekonominya, karena perkebunan-perkebunan tidak dapat
berproduksi dengan baik dan lalu lintas antar-kota sangat terganggu atau bahkan putus sama sekali
akibat perlawanan gerilya TNI bersama Rakyat.
Sejak permulaan serangan Belanda kaum diplomat RI di luar negeri sudah beraksi dan berhasil
mengajak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyalahkan Belanda melakukan serangan 19
Desember 1948. Pada tanggal 26 Januari 1949 Dewan Keamanan (DK) PBB mengeluarkan resolusi
yang mengecam serangan Belanda tersebut, dan menuntut agar kekuasaan RI ditegakkan kembali
serta dilanjutkan perundingan antara pihak RI dan Belanda untuk mencapai penyelesaian damai,
sebagaimana sedang dilakukan sebelum Belanda menyerang.
Atas dasar keputusan itu perundingan antara kedua pihak dibuka kembali dengan Mr. Mohamad
Roem sebagai ketua delegasi RI dan Dr van Roijen sebagai ketua delegasi Belanda. Pada tanggal 6
Juli 1949 diputuskan tegaknya kembali pemerintahan RI. Atas dasar itu Presiden Soekarno serta
Wakil Presiden Mohamad Hatta kembali ke Yogyakarta dari tempat penahanan di Bangka untuk
memegang kembali pimpinan pemerintahan RI.
Dalam persetujuan Roem-Van Roijen juga disepakati bahwa akan diadakan Konferensi Meja Bundar
(KMB) di Belanda untuk proses penyerahan kedaulatan Belanda atas wilayah Indonesia kepada
bangsa Indonesia. Untuk itu harus diadakan penghentian permusuhan terlebih dahulu antara Indonesia
dan Belanda.
Maka pada tanggal 6 Juli 1949 Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta kembali ke
Yogyakarta untuk memimpin kembali pemerintah RI. Panglima Besar Sudirman yang tidak bersedia
turut ditahan Belanda, sekalipun dalam kondisi kurang sehat , selama Perang Kemerdekaan terus
memimpin perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Maka Pak Dirman yang berada di daerah
gerilya di Jawa Timur diminta pulang ke Yogyakarta.
Dalam pertemuan dengan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh Hatta dijelaskan kepada Pak
Dirman bahwa dalam waktu dekat akan diadakan KMB antara RI dan Belanda untuk penyerahan
kedaulatan dari Belanda kepada bangsa Indonesia. Untuk itu harus diadakan penghentian permusuhan
dan diminta kepada Panglima Besar agar mengeluarkan perintah penghentian permusuhan kepada
seluruh pasukan TNI dan rakyat yang melawan.
Pak Dirman menyatakan tidak keberatan ada KMB tetapi jangan telalu cepat. Sebab waktu itu
perlawanan TNI bersama Rakyat sedang memetik banyak keuntungan di mana-mana. Kalau itu
dilanjutkan dulu maka RI akan mempunyai posisi atau leverage yang lebih kuat dalam perundingan.
Akan tetapi Bung Karno menyatakan bahwa KMB harus diadakan dalam tahun 1949 agar pada
permulaan 1950 kedaulatan sudah ada di tangan bangsa Indonesia. Bung Karno dan Bung Hatta minta
dukungan Pak Dirman, dan tanpa itu Dwi Tunggal tidak bersedia melanjutkan kepemimpinan atas
bangsa Indonesia. Dengan sangat berat bahkan dengan meneteskan air mata Pak Dirman menyatakan
dukungannya, karena sadar bahwa kepemimpinan Dwi Tunggal mutlak diperlukan untuk keberhasilan
perjuangan nasional.
Kemudian dikeluarkan perintah penghentian permusuhan yang mengakhiri seluruh perlawanan TNI
bersama Rakyat terhadap Belanda.
Konferensi Meja Bundar (KMB) dilakukan di Den Haag, Belanda pada 23 Agustus hingga 2
November 1949. KMB sebenarnya merupakan satu pertemuan antara delegasi-delegasi Republik
Indonesia (RI) dan Kerajaan Nederland atau Belanda sebagai dua pihak yang bermusuhan. Akan
tetapi di samping dua delegasi itu hadir pula delegasi dari apa yang dinamakan Bijeenkomst voor
Federal Overleg (BFO), yaitu kumpulan negara-negara boneka ciptaan Belanda di Indonesia sejak
tahun 1945.[2]
Ternyata sejak tahun 1946 di pimpinan RI sudah ada persetujuan bahwa negara Indonesia yang
dibentuk setelah pengakuan kedaulatan bangsa adalah satu negara federal yang memberi tempat bagi
negara-negara yang telah dibuat Belanda sejak usahanya menaklukkan RI. Mungkin sekali ini adalah
kompromis yang disetujui pimpinan RI dalam berbagai perundingan antara RI dan Belanda yang
mula-mula ditengahi Inggeris, kemudian dilakukan oleh satu Komisi Tiga Negara (KTN) dengan
Amerika Serikat sebagai ketua dan Australia (yang dipilih RI) dan Kanada (yang dipilih Belanda)
sebagai anggota .
Atas dasar kompromis untuk menerima negara boneka Belanda sebagai bagian negara federal, maka
pada tanggal 31 Juli hingga 2 Agustus 1949 di Yogya diadakan Inter-Indonesian Conference antara
pimpinan RI dan pimpinan negara-negara buatan Belanda itu. Konferensi itu diadakan untuk
menghadapi KMB serta bentuk negara federal yang akan dibentuk.
1. Belanda menyerahkan kedaulatan atas Indonesia kepada negara Republik Indonesia Serikat (RIS),
kecuali Irian Barat.
4. TNI yang menjadi Angkatan Perang RIS menerima semua personil bekas tentara Hindia Belanda
(KNIL) yang tidak turut ke Belanda.
Dengan keputusan itu maka Republik Indonesia (RI) menjadi satu negara bagian dalam RIS yang
statusnya sama dengan negara-negara ciptaan Belanda.
Pada tanggal 27 Desember 1949 di ibukota Belanda Amsterdam diadakan penyerahan kedaulatan dari
Belanda yang diwakili oleh Ratu Juliana kepada Indonesia diwakili Drs Moh Hatta sebagai Ketua
Delegasi RI, sedangkan di Jakarta pada hari sama dilakukan penyerahan kedaulatan itu dengan
menurunkan bendera Belanda depan Istana Merdeka dan Bendera Sang Saka Merah Putih berkibar
sebagai tanda kedaulatan Indonesia. Dalam upacara tersebut Belanda diwakili Wakil Mahkota Agung
Lovink sedangkan Indonesia diwakili Sultan Hamangku Buwono IX.
Dengan acara tersebut RIS berdiri secara resmi, terdiri atas 16 negara bagian dengan Jakarta sebagai
ibukota dan Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara.
Di kalangan para pejuang kemerdekaan TNI ada rasa sedih bercampur marah bahwa perjuangan
bangsa mewujudkan hasil yang jauh dari yang mereka inginkan.
Pertama mereka marah bahwa Republik Indonesia yang mereka bela dan perjuangkan hanya menjadi
negara bagian dari RIS setingkat dengan negara buatan Belanda yang merupakan boneka kehendak
Belanda. Dan bahwa negara Indonesia yang memperoleh kedaulatan itu masih berada di bawah
Mahkota Belanda. Ditambah lagi penyerahan kedaulatan itu tidak meliputi Irian Barat, padahal yang
dimufakati adalah penyerahan kedaulatan atas wilayah bekas Hindia Belanda yang jelas meliputi Irian
Barat.
Kedua, mereka marah bahwa Indonesia harus menanggung semua hutang Hindia Belanda, padahal
biaya itu sebagian besar digunakan untuk memerangi dan menghancurkan RI serta memusnahkan
mereka sebagai pejuang kemerdekaan. Berarti Indonesia membiaya kehancuran dan pemusnahannya
sendiri, satu hal yang amat tidak ada logikanya. Apalagi setelah diketahui bahwa jumlah hutang itu
sebesar 4,8 milyar gulden Belanda, satu jumlah uang yang ketika itu besar sekali.
Ketiga, mereka merasa gusar bahwa sekalipun TNI diakui sebagai Angkatan Perang RIS, tetapi harus
menerima dan mengintegrasikan bekas anggota tentara Belanda (khususnya KNIL) yang tidak turut
kembali ke Belanda., bekas musuhnya yang sering amat kejam kepada Rakyat dan anggota TNI yang
tertawan. Apalagi kemudian mereka melihat bahwa bekas tentara Belanda itu mendapat kenaikan
pangkat yang tidak masuk akal ketika bergabung dengan TNI. Seperti seorang sersan KNIL diberi
pangkat letnan satu, seorang pembantu letnan menjadi kapten, seorang letnan menjadi mayor atau
letnan kolonel.
Maka buat pejuang kemerdekaan KMB bukan satu konferensi yang berhasil bagi Indonesia, sekalipun
terjadi penyerahan dan pengakuan kedaualatan kepada bangsa Indonesia. Mereka harus selalu
mendapat penjelasan atau bujukan bahwa pemerintah RI, jadi termasuk Dwi Tunggal Bung Karno –
Bung Hatta (malahan Bung Hatta yang memimpin delegasi RI di KMB), mau menerima hasil KMB
karena yang paling penting bagi bangsa Indonesia adalah secepat mungkin diakui kemerdekaan dan
kedaulatannya. Para pemimpin RI yakin bahwa setelah menjadi bangsa merdeka dan berdaulat, segala
kekurangan akan dapat diatasi.
Sebenarnya sikap demikian pada para pemimpin yang berkuasa dalam pemerintah RI, yaitu sikap
kompromis, memang berkembang sejak tahun 1945. Di antara pemimpin itu Bung Sutan Syahrir yang
sejak akhir 1945 menjadi Perdana Menteri RI pertama telah secara terang-terangan menyatakan
bahwa Indonesia sebenarnya belum siap untuk merdeka dan perlu lima tahun lagi untuk mencapai
kemerdekaan yang betul, dan ini perlu dilakukan melalui bantuan Belanda.[3] Tidak sekali saja Bung
Syahrir menyatakan bahwa Indonesia masih memerlukan sekitar 5 tahun agar benar-benar bisa
meredeka, termasuk depan mahasiswa di Jakarta.
Selain Bung Syahrir yang jelas sikapnya yang kompromistis adalah Bung Amir Syarifuddin yang
menjadi menteri pertahanan dalam kabinet Syahrir pertama. Bung Amir sejak permulaan diketahui
dekat hubungannya dengan Belanda. Bersama Bung Syahrir , Bung Amir memimpin Partai Sosialis
yang berdiri setelah Indonesia merdeka. Maka ada hubungan dekat dengan pimpinan partai Belanda
berhaluan sosialis, yaitu Partij van de Arbeid (PVDA) dan partai sosialis Inggeris (Labour Party). Para
pemimpin Partai Sosialis yakin bahwa atas dasar solidaritas sosialis kaum sosialis Belanda akan
membantu Indonesia mewujudkan kemerdekaannya.
Sejak permulaan pendudukan Jepang ada persetujuan antara Bung Karno, Bung Hatta dan Bung
Syahrir dalam menghadapi Jepang. Mereka bertiga kuat bersatu dalam perjuangan mencapai
kemerdekaan bangsa dan berusaha memperoleh manfaat maksimal dari pendudukan Jepang. Dalam
nenghadapi Jepang Dwi Tunggal akan bekerja sama dengan Jepang untuk memperoleh hal terbaik
bagi Indonesia dalam kekuasaan Jepang yang keras dan kejam. Sedangkan Bung Syahrir ditetapkan
untuk bergerak bebas dari Jepang untuk liwat gerakan bawah tanah terus menyiapkan bangsa untuk
merdeka. Di samping itu juga mengamankan Dwi Tunggal., khususnya pada saat Jepang kalah, untuk
menghadapi berbagai tuduhan Belanda dan kalangan Sekutu bahwa Dwi Tunggal berkolaborasi
dengan Jepang. Adalah karena intervensi Bung Karno pihak militer Jepang membatalkan
keputusannya menghukum mati Bung Amir Syarifuddin yang oleh kawan-kawannya sendiri
dikhianati telah menerima dana dari Belanda untuk menyusun perlawanan terhadap Jepang.
Sebab itu sejak permulaan para pemimpin RI sama sikapnya dalam menyongsong kemerdekaan dan
ini kemudian termasuk kesediaan untuk berunding dengan Inggeris dan Belanda. Sikap dasar mereka
adalah bahwa Sekutu telah menang perang dan karena itu kuat posisinya. Sedangkan bangsa
Indonesia kurang kuat, juga untuk menghadapi Belanda dengan cara militer. Para pemimpin waktu itu
melihat perlawanan militer dari segi konvensional belaka dan tidak memahami meningkatnya makna
perlawanan gerilya atau non-konvensional. Karena bangsa Indonesia waktu itu kurang mempunyai
kekuatan untuk melakukan perlawanan militer konvensional, maka para pemimpin berpendapat
bahwa usaha menyelamatkan kemerdekaan harus dengan cara perundingan. [4]
Sikap itu memudahkan usaha Lord Killearn dari Inggeris untuk mengajak para pemimpin RI bertemu
dengan pemimpin Belanda untuk merundingkan masa depan Indonesia. Usaha ini menghasilkan
diadakannya Persetujuan Linggarjati pada 11 November 1946.
Persetujuan Linggarjati antara lain menghasilkan hal-hal yang sejak permulaan menunjukkan
kesediaan para pemimpin RI untuk menerima berbagai hasil yang kemudian menjadi hasil KMB.
Seperti pembentukan satu negara federal Republik Indonesia Serikat dengan RI sebagai negara bagian
yang wilayahnya meliputi Jawa, Sumatra dan Madura saja. Juga bahwa RIS akan menjadi bagian
Persemakmuran Belanda dengan dipimpin Mahkota Belanda.
Akan tetapi Belanda setelah tercapai Persetujuan Linggarjati melakukan Aksi Militer ke 1 pada
tanggal 21 Juli 1947, karena Belanda menghadapi keadaan ekonomi yang makin mendesak sehingga
perlu cepat menghidupkan produksi di Indonesia dengan dikuasai Belanda. Bukan karena Belanda
kurang cocok dengan hasil Persetujuan Linggarjati, melainkan merasa perlu cepat menguasai
Indonesia. Nanti hal serupa terjadi ketika melakukan Aksi Militer 2 pada tanggal 19 Desember 1948.
Hal ini menunjukkan kesalahan pendapat para pemimpin kita bahwa Belanda akan tetap pada sikap
berunding atau diplomasi saja. Selain itu kekuatan politik lain di Belanda di luar kalangan sosialisnya,
terutama kalangan militernya, sejak semula tidak rela Indonesia merdeka. Buat mereka perundingan
hanya bermanfaat untuk mengembalikan Indonesia sebagai daerah jajahan Belanda.
Akan tetapi juga di kalangan RI tidak semua pihak setuju dengan sikap kompromis itu. Yang jelas dan
tegas tidak setuju adalah kalangan yang dekat dengan Tan Malaka yang membentuk Persatuan
Perjuangan. Selain itu partai PNI dan Masyumi tidak setuju. Juga termasuk tidak setuju adalah
Panglima Besar Sudirman yang berpendapat bahwa Belanda tak mungkin dapat dipercaya karena
kepentingannya terlalu besar dan luas di Indonesia. Buat Pak Dirman kemerdekaan harus
diperjuangkan dan tak mungkin mengharapkan kebaikan hati Belanda sebagai penjajah. Kemerdekaan
bangsa tak dapat di-kompromis-kan. Sebab itu tidak jarang Pak Dirman menunjukkan sikap dekat
kepada Persatuan Perjuangan dan Tan Malaka.
Itu sebabnya Pak Dirman pada tahun 1949 mula-mula tidak setuju diadakan KMB cepat-cepat, ketika
perlawanan Rakyat bersama TNI memukul Belanda di banyak tempat dan menggagalkan Belanda
mencapai Tujuan Politik dan Ekonominya. Sikap Pak Dirman juga dianut banyak kalangan TNI,
sekalipun ada beberapa orang yang mendukung politik berunding dan kompromis yang dianut para
pemimpin pemerintah RI. Bahwa Pak Dirman akhirnya memberikan persetujuan diadakan
penghentian permusuhan segera untuk memungkinkan berlangsungnya KMB pada tahun 1949, adalah
semata-mata kesadaran beliau bahwa kepemimpinan Dwi Tunggal atas bangsa Indonesia mutlak
diperlukan. Karena Bung Karno menyatakan bahwa beliau dan Bung Hatta tidak bersedia melanjutkan
pimpinan tanpa dukungan Pak Dirman, maka itulah yang membuat Pak Dirman memberikan
persetujuannya. Pak Dirman yakin bahwa bangsa Indonesia harus dipimpin Dwi Tunggal untuk dapat
mencapai kemerdekaan.
Di sini kemudian lahir sikap TNI, yaitu bahwa TNI boleh kritis terhadap rencana dan gagasan
pimpinan negara. Akan tetapi bila pimpinan negara menyatakan keputusannya maka TNI secara loyal
mendukungnya dengan penuh keseungguh-sungguhan, sekalipun keputusan itu berbeda dengan yang
dipikirkan dan diinginkan TNI.
Hasil KMB yang kurang menyenangkan itu juga terjadi karena AS sebagai pihak penengah lebih
dekat kepada Belanda sebagai sekutunya dalam Perang Dunia 2 maupun NATO. Hasil itu
membuktikan kebenaran pendapat Pak Dirman dan para pejuang kemerdekaan TNI yang kurang
setuju dengan berunding saja. Maka setelah KMB tercapai menjadi kewajiban perjuangan bagaimana
membuat hasil itu tidak merugikan perjuangan bangsa Indonesia. Yang utama dan pertama diperlukan
adalah bagaimana meniadakan eksistensi RIS dan konsepsi negara federal yang merupakan senjata
Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Republik Indonesia harus diperjuangkan menjadi satu-
satunya organisasi kenegaraan yang memegang kedaulatan di bumi Indonesia.
Baik lingkungan politik maupun TNI kemudian mengusahakan agar dapat diwujudkan kondisi yang
memungkinkan RIS berakhir tanpa melanggar hasil KMB. Peran TNI pertama adalah usaha untuk
mempengaruhi masyarakat di negara-negara bagian buatan Belanda. Sebab itu secepat mungkin
pasukan-pasukan TNI harus masuk wilayah negara boneka itu.
Belanda dan pimpinan negara boneka yang dekat kepada Belanda juga menyadari itu. Sebab itu
mereka mengusahakan agar Sultan Hamid dari Kalimantan Barat yang bekas perwira Belanda di
KNIL, menjadi menteri pertahanan RIS. Sebaliknya kalangan RI memperjuangkan hal itu tidak
terwujud dan mencalonkan Sultan Hamangku Buwono IX sebagai menteri pertahanan RIS. Akhirnya
Belanda dan BFO tidak dapat mencegah Sultan HB IX yang diangkat menjadi menteri pertahanan
RIS.
Dengan Sri Sultan sebagai menteri pertahanan pimpinan TNI dengan cepat dapat menggerakkan
pasukan-pasukan TNI dari wilayah RI masuk negara boneka. Dalam hal ini yang amat menentukan
adalah wilayah Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatra Timur. Sebab di NIT terdapat wilayah
Menado dan Maluku yang sejak masa penjajahan amat kuat berpihak penjajah Belanda. Sedangkan di
NST terdapat perkebunan-perkebunan yang menjadi incaran kekuasaan Belanda.
Dipindahkannya Kolonel Alex Kawilarang dari komando TNI di Sumatra menjadi panglima TNI di
wilayah NIT (kemudian diberi nama Tentara & Territorium VII atau TT 7) adalah satu tindakan
strategis yang amat tepat dan berhasil. Dengan begitu Sulawesi Utara (Alex Kawilarang adalah putera
Menado) tidak pernah menjadi persoalan bagi RI. Padahal dalam masa penjajahan Belanda sebelum
PD 2 wilayah Manado sering disebut provinsi ke 12 Belanda (negara Belanda di Eropa Barat terdiri
dari 11 provinsi ). Juga dengan kepemimpinan Kawilarang semua perlawanan bekas KNIL di NIT,
seperti pemberontakan Andi Azis dan Republik Maluku Selatan (RMS), dapat diatasi dengan sukses.
Usaha TNI di seluruh wilayah RIS difokuskan kepada usaha territorial, yaitu mempengaruhi rakyat
agar bergabung kepada Republik Indonesia. Pengaruh keberadaan pasukan TNI sebagai dukungan
usaha territorial itu sangat penting, terutama sikap prajurit TNI yang dekat kepada Rakyat dan berbeda
dengan sikap KNIL yang sebagai tentara penjajahan menindas atau sekurang-kurangnya menjauhi
Rakyat.
Usaha territorial TNI makin lama makin menunjukkan hasil. Rakyat negara boneka dapat mendesak
para pemimpinnya yang menjadi anggota dewan perwakilan rakyat negara boneka itu. Makin banyak
anggota DPR negara boneka bersuara agar negaranya bergabung kepada RI. Ketika terjadi
keunggulan suara dalam DPR itu maka pimpinan negara boneka itu mau tidak mau harus menerima
kehendak rakyat dan turut menyatakan kehendaknya agar negaranya bergabung dengan RI. Belanda
dengan sangat mendongkol dan marah melihat proses itu, tetapi tidak dapat mengintervensi karena itu
semua hasil dari proses demokrasi yang selalu oleh Belanda dijadikan ukuran kenegaraan.
Satu per satu negara bagian RIS menyatakan bergabung pada RI. Pada akhir Maret 1950 tinggal ada 4
negara bagian dalam RIS, yaitu RI, Negara Kalimantan Barat, Negara Sumatra Timur dan Negara
Indonesia Timur. Dan pada akhir bulan April 1950 tinggal Republik Indonesia sebagai negara bagian.
Dengan begitu secara de facto RIS sudah tidak ada dan RI satu-satunya negara di Indonesia. Maka
pada tanggal 15 Agustus 1950 diadakan rapat gabungan DPR dan Senat RIS menetapkan berakhirnya
Republik Indonesia Serikat dan menandatangani piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Dan pada tanggal 17 Agustus 1950 Republik Indonesia secara resmi terbentuk
kembali sebagai Negara Kesatuan RI.
Dengan demikian sejarah RIS berakhir dan RI tegak kembali sebagai pemegang kedaulatan bangsa
Indonesia tanpa terjadi pengeluaran satu tembakan pun. Seringkali kemudian ada ucapan lingkungan
politik bahwa hal itu adalah jasa kaum politik. Memang kaum politik RI telah membuat berbagai
usaha untuk mempengaruhi rekannya dari BFO. Akan tetapi itu semua sukar mencapai hasil seperti
yang terjadi tanpa dukungan TNI. Sebab pada tahun 1950 tentara Belanda masih banyak yang ada di
Indonesia sebelum mereka dipulangkan ke Belanda. Mau tidak mau kehadiran kekuatan militer itu
berpengaruh pada pikiran dan perasaan rakyat dan para pemimpinnya, khususnya yang duduk di DPR
negara boneka. Maka nyata sekali peran TNI dalam perubahan yang amat sukses itu bagi perjuangan
kemerdekaan bangsa. Sebab itu keberhasilan perjuangan kemerdekaan untuk mencapai kedaulatan
bangsa dan negara adalah hasil kombinasi perjuangan politik-diplomasi dan perjuangan militer bangsa
Indonesia. Bukan kemenangan politik saja atau militer saja.
Setelah itu langkah demi langkah dibatalkan hasil KMB secara keseluruhan. Dimulai dengan
pernyataan RI yang secara sepihak membatalkan hasil KMB pada tanggal 22 Mei 1956. Itu termasuk
berakhirnya pembayaran hutang Hindia Belanda yang belum dibayar RIS. Dan terakhir adalah
kembalinya Irian Barat ke wilayah nasional Republik Indonesia pada 15 Agustus 1962.
Dengan begitu bangsa Indonesia telah benar-benar berhasil mewujudkan kemerdekaannya. Namun
karena kemerdekaan negara dan bangsa, betapa pun pentingnya bagi bangsa Indonesia, hanya
merupakan jembatan untuk mencapai Tujuan Nasional, yaitu terwujudnya Masyarakat yang Adil dan
Makmur berdasarkan Pancasila, maka perjuangan belum selesai. Sekarang pun 65 tahun setelah
Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Tujuan Nasional itu masih jauh dari kenyataan.
Pancasila masih belum menjadi kenyataan di Bumi Indonesia, Rakyat Indonesia masih diliputi banyak
kemiskinan dan keadilan secara lahir maupun batin masih di awang-awang.
Sebab itu sekalipun Pejuang Kemerdekaan Indonesia sekarang sudah amat lanjut usia, baginya
perjuangan belum selesai. Untuk Pejuang Kemerdekaan tidak ada akhir perjalanan dan perjuangan !
FOR A FIGHTING NATION THERE IS NO JOURNEY’S END.
[1] Makalah ini ditulis untuk Diskusi Panel dalam rangka Hari Veteran RI tanggal 10 Agustus 2010
[2] Sejak kembali ke Indonesia setelah selsainya Perang Dunia 2, Belanda membentuk banyak negara
di Indonesia untuk meruntuhkan Republik Indonesia. Meskipun negera-negara itu hakekatnya
berpihak kepada Belanda, namun pimpinan RI menerima kenyataan itu karena bersedia membentuk
satu negara federal di Indonesia.
[3] Hadidjojo dalam bukunya Ayahku Maroeto Nitimihardjo mengungkap rahasia gerakan
kemerdekaan, Kasta Hasta Pustaka, Jakarta 2009
[4] Hal ini kemudian juga dapat dilihat ketika para pemimpin RI dalam Persetujuan Renville mufakat
pasukan Siliwangi ditarik dari Jawa Barat, padahal mereka berada pada posisi perang gerilya yang
dapat merugikan Belanda. Para pemimpin kita menganggap Jawa Barat telah dikuasai Belanda karena
kota-kota besarnya telah diduduki pasukan Belanda. Para pemimpin kita tidak sadar bahwa gerilya
yang dapat dilakukan pasukan Siliwangi akan amat besar pengaruhnya sebagai leverage yang
menguntungkan RI dalam perundingan dengan Belanda.
berikut adalah artikel saya berdasarkan tugas sejarah, semoga bermanfaat !!!
a. Ekonomi - Keuangan
Untuk merencanakan pembangunan ekonomi, pada tahun 1958 dibentuk undang-undang mengenai
pembentukan Dewan Perancang Nasional. Tugasnya adalah:
1) Mempersiapkan rancangan undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana; (pasal 2)
2) Menilai penyelenggara pembangunan itu (pasal 3)
Selanjutnya pada tanggal 15 Agustus 1959 terbentuklah Dewan Perancang Nasional (Depernas) di
bawah pimpinan Mr. Muh Yamin sebagai Wakil Menteri Pertama yang beranggotakan 80 orang wakil
golongan masyarakat dan daerah. Dalam waktu kurang lebih satu tahun, Depernas berhasil menyusun
suatu “Rancangan Dasar Undang-Undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana tahapan
tahun 1961-1969.” MPRS menyetujui rancangan tersebut.
Pada tahun 1963, Dewan Perancang Nasional diganti dengan Badan Perancang Pembangunan
Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno. Dalam rangka usaha membendung inflasi
maka dikeluarkan kebijakan :
1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 1959 yang mulai berlaku tanggal 25
Agustus 1959. Peraturan itu dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran untuk
kepentingan perbaikan keadaan keuangan dan perekonomian negara. Untuk mencapai tujuan itu nilai
uang kertas pecahan Rp.500,- dan Rp.1000,- yang ada dalam peredaran pada saat berlakunya
peraturan itu diturunkan masing-masing menjadi Rp.50,- dan Rp.100,-.
2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.3 tahun 1959 tentang pembekuan sebagian dari
simpanan pada bank-bank yang dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran,
yang terutama dalam tahun 1957 dan 1958 sangat meningkat jumlahnya.
Peraturan moneter tanggal 25 Agustus 1959 diakhiri dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No.6/1959, yang isi pokoknya ialah ketentuan bahwa bagian uang lembaran seribu
rupiah dan lima ratus rupiah yang masih berlaku (dan yang kini bernilai seratus rupiah dan lima puluh
rupiah) harus ditukar dengan uang kertas bank baru sebelum tanggal 1 Januari 1960. Untuk
menampung akibat-akibat dari tindakan moneter dari bulan Agustus 1959 dibentuklah Panitia
Penampung Operasi Keuangan (P POK). Tugas pokok dari panitia ini ialah menyelenggarakan tindak
lanjut dari tindakan moneter itu, tanpa mengurangi tanggung jawab menteri, departemen, dan jawatan
yang bersangkutan.
Akibat utama dari tindakan moneter yang dilakukan oleh pemerintah ialah terjadinya kesukaran
likuiditas di semua faktor, baik sektor pemerintah maupun sektor swasta. Keadaan ini merupakan
suatu kesempatan yang baik untuk mengadakan penertiban dari segala kegiatan pemerintah dan
swasta yang sebelumnya seolah-olah tidak terkendalikan. Untuk tujuan itu pemerintah
menginstruksikan :
a. Penghematan bagi instansi pemerintah serta memperketat pengawasan atas pelaksanaan anggaran
belanja.
b. Dilakukan penertiban manajemen dan administrasi perusahaan-perusahaan negara, baik yang sudah
lama ada, maupun yang baru diambil alih dari pihak Belanda.
Dengan tindakan moneter tanggal 25 Agustus 1959 itu, pemerintah bertujuan akan dapat
mengendalikan inflasi dan mencapai keseimbangan dan kemantapan moneter dengan menghilangkan
excess liquidity dalam masyarakat. Hal itu diusahakan dengan menyalurkan uang dan kredit baru ke
bidang-bidang usaha yang dipandang penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan. Tetapi
pada akhir tahun 1959 itu juga, jadi hanya 4 bulan lebih sedikit setelah dilakukan tindakan moneter
tersebut, dapat diketahui bahwa pemerintah mengalami kegagalan. Semua tindakan-tindakan moneter
itu tidak mencapai sasarannya karena pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan
diri dalam pengeluaran-pengeluarannya. Misalnya saja menyelenggarakan proyek mercu-suar seperti
Ganefo (Games of the New Emerging Forces) dan Conefo (Conference of The New Emerging
Forces).
Sejak tahun 1961, Indonesia terus-menerus membiayai kekurangan neraca pembayarannya dari
cadangan emas dan devisa. Pada akhir tahun 1965, untuk pertama kali dalam sejarah moneternya,
Indonesia sudah habis membelanjakan cadangan emas dan devisanya, yang memperlihatkan saldo
negatif sebesar US $ 3 juta sebagai akibat politik konfrontasi terus-menerus yang dilakukan. Tingkat
kenaikan harga-harga paling tinggi terjadi dalam tahun 1965 (antara 200%-300% dari harga tahun
1964).
Presiden Sukarno menganggap perlu untuk mengintegrasikan semua Bank Negara ke dalam suatu
organisasi Bank Sentral. Untuk itu dikeluarkan Penetapan Presiden No.7 tahun 1965 tentang
Pendirian Bank Tunggal Milik Negara. Tugas bank tersebut adalah menjalankan aktivitas-aktivitas
bank sirkulasi, bank sentral dan bank umum. Maka kemudian diadakan peleburan bank-bank negara
seperti: Bank Koperasi dan Nelayan (BKTN); Bank Umum Negara; Bank Tabungan Negara; Bank
Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia. Sesudah pengintegrasian Bank Indonesia itu selesai,
barulah dibentuk Bank Negara Indonesia. Bank Negara Indonesia tersebut dibagi dalam beberapa
unit, yang masing-masing unit menjalankan pekerjaannya menurut aturan-aturan pendiriannya.
Keadaan itu berlangsung terus sampai Bank Tunggal itu dibubarkan dengan berlakunya Undang-
undang No.13 Tahun 1968.
b. Perkreditan dan Perdagangan Luar Negeri
Politik luar negeri pada masa Demokrasi Terpimpin di bidang perkreditan dan perdagangan
hakekatnya tidak berbeda sifatnya dari sistem ijon dari petani-petani dan pengusaha-pengusaha kecil,
hanya saja kredit luar negeri ini berskala nasional dan menyangkut hajat hidup seluruh rakyat
Indonesia. Dalih perkreditan luar negeri pada masa ini adalah mengarrangement dan readjustment
dengan negara-negara kreditor. Dan sementara itu masyarakat Indonesia pada umumnya masih
beranggapan bahwa hutang adalah identik dengan penghasilan.
Perdagangan luar negeri antara Indonesia dengan negara lain misalnya dengan negara Cina.
Perdagangan bilateral tersebut dijalin atas dasar Government to Government (G to G). Dalam
perdagangan G to G ini RRC memperoleh keuntungan politik disamping keuntungan ekonomi yang
tidak sedikit. Sebagai contoh perdagangan karet. Transaksi-transaksi karet rakyat Indonesia dengan
RRC pada hakekatnya adalah pembelian bahan baku yang murah oleh RRC, yang kemudian dijual
kembali sebagai barang jadi yang mahal ke Indonesia sebagai yang disebut bantuan luar negeri.
Dalam hubungan ini adakalanya barang-barang yang bercap RRC seperti tekstil yang dikirim sebagai
bantuan ke Indonesia bukan dibuat di RRC sendiri akan tetapi di Hongkong. Dalam hal ini disebut
bantuan pada hakekatnya adalah hasil keuntungan RRC dari pembelian karet rakyat Indonesia. Maka
jelaslah bahwa kebijaksanaan perdagangan dan perkreditan luar negeri yang dilakukan oleh
pemerintah Orde Lama terutama selama 3 tahun terakhir telah membawa Indonesia ke dalam
lingkungan pengaruh politik RRC sampai titik kulminasinya dalam pemberontakan G 30 S/PKI.
Gerakan menabung bagi setiap murid dilakukan pada bank tabungan pos, kantor pos, kantor pos
pembantu. Cara penabungan di atur oleh departemen P dan K bersama dengan Direksi Bank
Tabungan Pos. usaha ini untuk mendidik anak berhemat selain untuk pengumpulan dana masyarakat.
Gerakan koperasi sekolah juga digiatkan. Murid aktif dalam penyelenggaraan koperasi. Kepala
sekolah dan guru sebagai pengawas dan penasehat koperasi.
Suatu kelas masyarakat yang waktu pendidikannya 2 tahun dibentuk untuk menampung lulusan
sekolah rakyat yang karena sesuatu hal tidak dapat melanjutkan sekolah. Mereka dididik dalam kelas
masyarakat ini untuk mendapat ketrampilan.
Sekitar tahun 1960-an dikalangan pendidikan muncul masalah yakni usaha PKI untuk menguasai
organisasi profesi guru “Persatuan Guru Replubik Indonesia” (PGRI). Hal ini menimbulkan
perpecahan dikalangan guru dan PGRI. Perpecahan PGRI bertepatan dengan dilancarkannya system
pendidikan baru oleh menteri PP dan K. system baru itu adalah Pancasila dan Pancawardhana.
Adapun sistem Pancawardhana atau lima pokok penjabarannya :
I. Perkembangan cinta bangsa dan tanah air, moral nasional /internasional/keagamaan
II. Perkembangan intelegensi
III. Perkembangan nasional-artistik atau rasa keharusan dan keindahan lahir dan batin
IV. Perkembangan keprigelan ( kerajinan tangan )
V. Perkembangan jasmani
2. Komunikasi Massa
Surat kabar dan majalah yang tidak seirama dengan Demokrasi Terpimpin, harus menyingkir dan
tersingkir. Persyaratan untuk mendapatkan Surat Ijin Terbit dan Surat Ijin Cetak (SIT) diperketat.
Sejak tahun 1960, semua penerbit wajib mengajukan permohonan SIT dengan dicantumkan 19 pasal
yang mengandung pertanggungjawaban surat kabar/majalah tersebut.
Pedoman resmi untuk penerbitan surat kabar dan majalah diseluruh Indonesia, dikeluarkan pada
tanggal 12 Oktober 1960 yang ditanda tangani oleh Ir. Juanda selaku Pejabat Presiden. Pedoman yang
berisi 19 pasal tersebut mudah digunakan penguasa untuk menindak surat kabar/majalah yang tidak
disenangi. Maka satu demi satu penerbit yang menentang dominasi PKi di cabut SITnya. Yakni,
Harian Pedoman, Nusantara, Keng Po, Pos Indonesia, Star Weekly dan sebagainya. Surat kabar Abadi
lebih memilih menghentikan penerbitan daripada menandatangani persyaratan 19 pasal itu. Dengan
semakin sedikitnya pers Pancasila yangb masih hidup, dapat digambarkan betapa merajalelanya Surat
Kabar PKI seperti Harian Rakyat, Bintang Timur, dan Warta Bhakti.
Melalui Harian Rakyat surat kabar resminya, pimpinan PKI memimpin propaganda untuk
menyingkirkan lawan politiknya. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) satu-satunya organisasi
profesi wartawan yang ada dan diakui pemerintah, didominasi oleh golongan komunis dan satelit-
satelitnya. Karena itu wartawan diluar kubu komunis tidak bisa bergerak karena terkepung. Bahkan
Departemen Penerangan akhirnya dapat digiring kepada sikap mendukung garis yang diajukan PKI.
Sajuti Melik menyebarluaskan ajaran-ajaran Bung Karno yang murni (belum dipengaruhi oleh
komunisme) dalam tulisan-tulisan yang dimuat dalam surat kabar dengan jdul tulisan “Belajar
Memahami Soekarnoisme”. Isi pokok tulisan Sajuti Melik ialah “Tidak setuju Nasakom”, melainkan
setuju Nasasos. Maksudnya ialah untuk mengingatkan berbagai pihak akan ajaran-ajaran Bung Karno
yang semula. Dengan demikian diharapakan untuk membendung penyimpangan-penyimpangan oleh
PKI terhadap ajaran-ajaran itu. Pada mulanya tulisan itu di muat oleh Suluh Indonesia, Koran PNI,
dan dari Koran itu di kutip oleh harian dan majalah lain.
Tapi setelah ada protes keras dari PKI, maka dihentikan pemuatannya oleh Suluh Indonesia.
Berdasarkan tulisan sajuti Melik ini, berdirilah Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). Pengurus
BPS adalah ketua : Adam Malik; Wakil Ketua : B. M. Diah; Ketua Harian : Sumantoro; Wakil Ketua
Harian : Junus Lubis; Sekretaris Umum : Drs. Asnawi Said; Bendahara : Sunaryo Prawiroadinata;
Biro Dalam Negeri : Sugiarso; Biro Luar Negeri : Zain Effendi AI; Penghubung : Adyatman. BPS
terbukti mendapat dukungan luas dalam masyarakat, dilain pihak mendapat tantangan dari PKI.
Melalui surat kabar, rapat-rapat dan demonstrasi PKI menfitnah BPS dengan slogan to kill Soekarno
With Soekarnoisme.
Pemerintah Soekarno pada saat itu mendapat tekanan dari golongan komunis untuk menindak
BPS. Pada akhirnya Presiden Soekarno, selaku pemutus terakhir turun tangan. Keputusan yang di
ambil Presiden Soekarno pada bulan februari 1965 ialah: “ …melarang semua aktivitas BPS dan
mencabut izin terbit Koran-koran penyokong BPS”. Ini berarti BPS bubar.
Akibat dilarangnya Koran pendukung BPS banyak karyawan pers yang dengan itikat baik hendak
menyebarkan ajaran Bung Karno menurut tafsiran yang murni dan bukan tafsiran Komunis.,
kehilangan nafkahnya.
3. Kehidupan Budaya
Sesuai dengan semboyan PKI “ politik adalah panglima” maka seluruh kehidupan masyarakat
diusahakan untuk berada di bawah dominasi politiknya. Kampus diperpolitikkan mahasiswa yang
tidak mau ikut dalam rapat umumnya, appel-appel besarnya dan demonstrasi-demonstrasi
revolusionernya di caci maki dan dirongrong oleh unsur Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia
(CGMI) atau satelit-satelitnya. Wartawan yang ikut BPS dimaki-maki sebagai antek Nekolim atau
agen CIA. Bahkan para budayawan maupun seniman juga tak luput dari raihan tangan mereka.
Realisme sosialis sebagai doktrin komunis dibidang seni dan sastra diusahakan untuk menjadi
doktrin di Indonesia juga. Akan tetapi pelaksanaan doktrin tersebut lebih represif dari pada persuasive
seperti adanya larangan bagi pemusik-pemusik pop untuk memainkan lagu-lagu ala imperialis barat.
Peristiwa yang paling diingat oleh masyarakat pada bidang budaya adalah heboh mengenai Manifes
Kebudayaan dan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI). Sesungguhnya isi dari Manifes
Kebudayaan itu tidaklah baru atau luar biasa. Yang diungkap adalah konsepsi humanisme universal
yang timbul dalam masyarakat liberal yang menekankan kebebasan individu untuk berkarya secara
kreatif. PKI tidak serta merta menyerang manifes tersebut akan tetapi berselang 4 bulan setelah
kemunculannya baru mulai angkat senjata.
Hal ini terjadi karena para sastrawan Pancasilais baik yang mendukung manifes kebudayaan
maupun tidak sedang menyiapkan rencana untuk menyelenggarakan Konferensi Karyawan Pengarang
Indonesia (KKPI). PKI menganggap bahwa sebuah manifest saja bukanlah ancaman bagi mereka akan
tetapi suatu pengelompokan yang terorganisasi merupakan bahaya yang harus segera ditumpas
sebelum berkembang lebih besar. Para sastrawan yang sudah menyiapkan KKPI memiliki
perencanaan yang matang. Mereka sudah melakukan pengaman secukupnya baik berupa konsepsi
maupun dukungan dari pejabat-pejabat dan kekuatan-kekuatan pancasilais.
Setelah kemunculan Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI) barulah PKI mulai
mengadakan kampanye untuk mengidentifikasi KKPI dan PKPIdengan manifest kebudayaan untuk
sama-sama dihancurkan. Serangan terhadap manifest kebudayaan terus dilancarkan melalui tulisan
yang semakin tajam dalam Harian Rakyat, Bintang Timur dan Zaman Baru. PKI menganggap
manifest kebudayaan sebagai bentuk penyelewengan dari revolusi Indonesia yang berporos pada soko
guru tani, buruh dan prajurit. Di lain sisi PKI mendukung penuh gagasan manifest politik karena
dalam ide-ide tersebut terdapat penyesuaian gagasan sikap politik budaya dari perjuangan
komunisme. Manifes kebudayaan dianggap mengesampingkan manifest politik karena memisahkan
antara politik dan kebudayaan. Propaganda PKI yang hebat sedikit banyak telah mempengaruhi
massa, serangan-serangan terhadap pendukung manifest kebudayaan dan KKPI tidak ada hentinya
dalam harian, pidato, tokoh-tokoh PKI maupun aksi politik. Serangan lewat media mass media, aksi
turun kejalanberdemonstrasi dilakukan oleh penyokong PKI. Aksi-aksi tersebut mengundang presiden
Soekarno sehingga pada ulang tahun Departemen Perguruan Tinggi dan ILmu Pengetahuan (PTIP)
yang ke-3 menyampaikan pidato yang mendesak mahasiswa revolusioner dan molotan untuk
menggeser guru-guru besar dan sarjana anti manifest politik. Pidato Presiden Soekarno tentang
Manipol-Usdek yang dimanfaatkan PKI untuk pentrapan bagi konsumsi rakyat. Dalam pidato ini
Presiden soekarno mengecam adanya kebudayaan barat yang diasosiasikan dengancita-cita
imperialism barat. Kekuatan Pki setelah tahun 1963sangat besar dan berpengaruh sekali, Bahkan PKI
dapat keluar masuk istana secara mudah. Sehingga Presiden soekarno mengeeluarkan larangan
terhadap manifest kebudayaan karena manifesto politik republic Indonesia sebagai pancaran
pancasiala telah menjadi garis besar haluan negara tidak mungkin didampingi manifesto lain apalagi
kalau manifesto itu menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap revolusi dan member kesan berdiri
disampingnya. Pernyataan Presiden Soekarno yang menganggap pendukung manifest kebudayaan
bertentangan dengan manipol merupakan suatu tuduhan yang sangat berbahasa pada saat itu. Pencetus
utama manifest kebudayaan H.B Jassin, wiratmo Sukitodan Trisno sumardjo merasakan ahwa mereka
harus membuat suatu pernyataan berkenaan dengan perintah pelarangan dari Presiden soekarno untuk
menjelaskan posisi manifesto kebudayaan, membersihkan diri mereka dari massa yang digerakkkan
PKI. Oleh sebab itu pada tanggal 11 Mei 1964 ketiga tokoh tersebut menanggapi larangan Presiden
Soekarno. Pernyataan ini dibuat agar angka korban yang jatuh akibat dukungan kepada manifest
kebudayaan tidak meningkat.
Pada tanggal 27 Agustus-2 September 1964 PKI mengadakan Konferensi Nasional Sastra dan
Seni Revolusioner (KSSR) di Jakarta. KSSR ini dimaksudkan untuk menandingi KKPI yang diadakan
bulan Maret lalu. KSSR mau membuktikan bahwa suasana kebudayaan berada dibawah kekuasaaan
PKI. Dengan demikian berhasilllah PKI memukul manifest kebudayaan akan tetapi PKPI tidak dapat
mereka hancurkan. Benteng Pancasila tidak dapat ditaklukkan oleh PKI selain itu para sastrawan
Indonesia mendapatkan pelajaran berharga bahwa untuk menghadapi komunisme diperlukan juga
senjata berupa organisasi.
a) Dampak positif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.
¨ Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan
¨ Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan Negara
¨ Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi negara berupa
DPAS yang selama masa Demokrasi Parlemen tertertunda pembentukannya
b) Dampak negatif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.
¨ Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 45 yang harusnya
menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaannya hanya menjadi
slogan-slogan kosong belaka
¨ Memberi kekeuasaan yang besar pada presiden, MPR,dan lembaga tinggi negara. Hal itu terlihat
pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru
¨ Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit, militer terutama
Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin terlihat pada masa Orde
Baru dan tetap terasa sampai sekarang.
Karena perjuangan diplomasi baik bilateral maupun dalam forum PBB belum menunjukkan hasil
sehingga Indonesia meningkatkan perjuangannya dalam bentuk konfrontasi. Konfrontasi dilakukan
tetapi tetap saja melanjutkan diplomasi dalam sidang-sidang PBB. Konfrontasi yang ditempuh yaitu
konfrontasi politik dan ekonomi, serta konfrontasi militer. Konfrontasi militer terpaksa dilakukan
setelah Belanda tidak mau berkompromi dengan Indonesia.
c. Konfrontasi Total
Sesuai dengan perkembangan situasi Trikora diperjelas dengan Instruksi Panglima Besar
Komodor Tertinggi Pembebasan Irian Barat No.1 kepada Panglima Mandala yang isinya sebagai
berikut.
∞ Merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer dengan tujuan
mengembalikan wilayah Irian Barat ke dalam kekuasaan Republik Indonesia
∞ Mengembangkan situasi di Provinsi Irian Barat sesuai dengan perjuangan di bidang diplomasi dan
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya di Wilayah Irian Barat dapat secara de facto diciptakan
daerah-daerah bebas atau ada unsur kekuasaan/ pemerintah daerah Republik Indonesia
Strategi yang disusun oleh Panglima Mandala guna melaksanakan instruksi tersebut.
a. Tahap Infiltrasi (penyusupan) (sampai akhir 1962)
yaitu dengan memasukkan 10 kompi di sekitar sasaran-sasaran tertentu untuk menciptakan daerah
bebas de facto yang kuat sehingga sulit dihancurkan oleh musuh dan mengembangkan pengusaan
wilayah dengan membawa serta rakyat Irian Barat
b. Tahap Eksploitasi (awal 1963)
yaitu mengadakan serangan terbuka terhadap induk militer lawan dan menduduki semua pos-pos
pertahanan musuh yang penting
c. Tahap Konsolidasi (awal 1964)
yaitu dengan menunjukkan kekuasaan dan menegakkan kedaulatan Republik Indonesia secara mutlak
di seluruh Irian Barat
Pelaksanaannya Indonesia menjalankan tahap infiltasi, selanjutnya melaksanakan operasi
Jayawijaya, tetapi sebelum terlaksana pada 18 Agustus 1962 ada sebuah perintah dari presiden untuk
menghentikan tembak-menembak.
d. Akhir Konfrontasi
Surat perintah tersebut dikeluarkan setelah ditandatangani persetujuan antara pemerintah RI
dengan kerajaan Belanda mengenai Irian Barat di Markas Besar PBB di New York pada tanggal 15
Agustus 1962 yang selanjutnya dikenal dengan Perjanjian New York. Delegasi Indonesia dipimpin
oleh Menlu Subandrio sementara itu Belanda dipimpin oleh Van Royen dan Schuurman. Kesepakatan
tersebut berisi.
1) Kekuasaan pemerintah di Irian Barat untuk sementara waktu diserahkan pada UNTEA(United
Nations Temporary Executive Authority)
2) Akan diadakan PERPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) di Irian Barat sebelum tahun 1969
3) Untuk menjamin Keamanan di Irian Barat dibentuklah pasukan penjaga perdamaian PBB yang
disebut UNSF (United Nations Security Force) yang dipimpin oleh Brigadir Jendral Said Udin Khan
dari Pakistan.
Berdasarkan Perjanjian New York proses untuk pengembalian Irian Barat ditempuh melalui
beberapa tahap, yaitu :
1. Antara 1 Oktober -31 Desember 1962 merupakan masa pemerintahan UNTEA bersama Kerajaan
Belanda
2. Antara 1 Januari 1963- 1 Mei 1963 merupakan masa pemerintahan UNTEA bersama RI
3. Sejak 1 Mei 1963, wilayah Irian Barat sepenuhnya berada di bawah kekuasaan RI
4. Tahun 1969 akan diadakan act of free choice, yaitu penentuan pendapat rakyat (Perpera)
Penentuan Pendapat rakyat (Perpera) berarti rakyat diberi kesempatan untuk memilih tetap
bergabung dengan Republik Indonesia atau Merdeka. Perpera mulai dilaksankan pada tanggal 14 Juli
1969 di Merauke sampai dengan 4 Agustus 1969 di Jayapura. Hasil Perpera tersebut adalah mayoritas
rakyat Irian Barat menyatakan tetap berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hasil Perpera
selanjutnya dibawa oleh Diplomat PBB, Ortis Sanz (yang menyaksikan setiap tahap Perpera) untuk
dilaporkan dalam sidang Majelis Umum PBB ke-24. Tanggal 19 November 1969, Sidang Umum PBB
mengesahkan hasil Perpera tersebut.
KESIMPULAN
Latar belakang dicetuskannya sistem Demokrasi Terpimpin oleh Presiden Soekarno yaitu dari
segi keamanan : Banyaknya gerakan sparatis pada masa Demokrasi Liberal, menyebabkan
ketidakstabilan di bidang keamanan. Dari segi perekonomian : Sering terjadinya pergantian kabinet
pada masa Demokrasi Liberal menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet tidak
dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat. Dari segi politik :
Konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950.
Untuk merencanakan pembangunan ekonomi, pada tahun 1958 dibentuk undang-undang
mengenai pembentukan Dewan Perancang Nasional. Tugasnya adalah mempersiapkan rancangan
undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana, menilai penyelenggara pembangunan itu.
Pada massa demokrasi terpimpin Indonesia melakukan kredit luar negeri dan melakukan kerja sama
perdangan dengan Cina yang memberikan keuntungan materi dan politik.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, parlemen sudah tidak mempunyai kekuatan yang nyata.
Partai politik tidak mempunyai peran besar dalam pentas politik nasional dalam tahun-tahun awal
Demokrasi Terpimpin.
Dalam bidang sosial budaya, pendidikan masa demokrasi terpimpin mulai berubah dan
mengalami kemajuan. Perguruan tinggi mulai bermunculan baik swasta maupun negeri. Media massa
ketika demokrasi terpimpin mengalami kemunduran, sebab media massa mulai dibelenggu dengan
aturan-aturan dan izin cetak/siar. Media massa dikendalikan oleh komunis. Bidang budayapun juga
begitu, seni dan sastra dipengaruhi oleh paham komunis.