Anda di halaman 1dari 21

Mendefinisikan Ulang Target Group Program KB: Kompromi Strategis Kepentingan dan Peran Aktor dalam Manajemen Program

KB Nasional menurut Perspektif New Public Service1 Oleh Asep Sopari2

Latar belakang Setidaknya ada empat isu strategis global dan nasional yang menjadi perhatian pemerintah dalam mengelola urusan publik. Keempatnya akan dan sedang diinisiasi bahkan sudah mulai dilaksanakan untuk menjadi bagian integral atau paling tidak mewarnai setiap pembuatan dan proses kebijakan yang menyangkut urusan publik. Keempat isu stragis tersebut dalam analisis kebijakan menurut perspektif Walt dan Gilson (2005, dalam Darwin, 2010) merupakan konteks (context), yaitu kondisi strategis faktual--baik lokal maupun internasional--yang dapat dijadikan acuan bertindak oleh setiap aktor yang memiliki kepentingan terhadap suatu masalahan/isu publik sehingga memutuskan untuk terlibat dalam pembuatan dan proses kebijakan. Keempat isu strategis tersebut adalah: (1) demokrasi/hak asasi manusia (HAM), (2) desentralisasi, (3) transisi demografis dan pengentasan kemiskinan, dan (4) kerusakan lingkungan/pembangunan berkelanjutan. Keempat isu strategis tersebut harus direspons sebagai bagian dari responsiveness (daya tanggap) pengelola program KB Nasional atas perubahan lingkungan strategis dalam mengelola urusan publik yang berhubungan dengan program KB. Dua dari keempat isu strategis tersebut (demokrasi/HAM dan desentralisasi) dalam pengelolaan program KB merupakan prasyarat yang harus ada dan terimplementasikan dalam setiap aspek manajemen program KB Nasional. Sedangkan dua isu strategis yang lainnya (transisi demografis dan pengentasan kemiskinan serta kerusakan lingkungan/pembangunan berkelanjutan) merupakan dampak dan kontrsibusi yang dapat disumbangkan atas pelaksanaan program KB yang sudah mengadopsi dan melaksanakan dua isu strategis sebelumnya. Untuk dapat mengadopsi dan melaksanakan dua isu strategis tersebut maka perlu dilakukan perubahan dalam manajemen program KB Nasional. Salah satu manajemen urusan publik yang sudah mengadopsi isu demokrasi/HAM serta terbuka dan prospektif untuk dilakukan dalam era desentralisasi adalah New Public Service (NPS). Prinsip mendasar yang menjadi pondasi NPS adalah demokratic-citizenship (Denhardt & Denhardt, 2003). Aplikasi

1 2

Tulisan ini adalah makalah tugas akhir mata kuliah Manajemen Publik pada Magister Studi Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Staf pada Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). 1

prinsip tersebut tercermin dalam dua hal. Pertama, NPS memandang publik (pihak yang dilayani) sebagai citizen (warga negara) dengan segala hak dan kewajibannya. Kedua, sebagai implementasi dari demokrasi, NPS membuka ruang bagi citizen dan elemen masyarakat lain (termasuk civil society dan privat sector) yang memiliki kepentingan dengan urusan publik untuk berpartisipasi dalam mengelola urusan tersebut sejak proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Motif utama NPS dalam manajemen urusan publik adalah kualitas pelayanan sebagaimana yang diinginkan publik (yang mengetahui persis masalah yang menyangkut kepentingan publik adalah publik itu sendiri). Mekanisme yang inklusif dan partisipatoris tersebut salah satunya dapat dilakukan dengan melakukan desentralisasi kepada unit-unit pemerintahan yang lebih kecil dalam lingkup daerah (Norton, 1994, dalam Muluk, 2008). Dengan demikian, konsekuensi logis dari implementasi manajemen New Public Service untuk mengadopsi isu strategis demokrasi/HAM serta desentralisasi dalam program KB Nasional yang paling mendasar adalah dengan mendefinisikan ulang kelompok sasaran (target group) program KB dari hanya pasangan usia subur (PUS) menjadi semua warga negara. Hal ini tentu berdampak pada semakin luas dan banyaknya cakupan target group yang menjadi sasaran program dan berimplikasi pada luasnya bidang garapan dan beban anggaran. Untuk itu diperlukan pembahasan tentang urgensi program KB dalam mendukung upaya global dan nasional dalam hal mengentaskan kemiskinan dan meminimalisir dampak ledakan penduduk terhadap kerusakan lingkungan. Upaya tersebut dilakukan untuk menarik interest berbagai pihak terhadap program KB sehingga mau terlibat di dalamnya dengan berbagai kepentingan yang menjadi motivasinya. Langkah selanjutnya adalah

mengkompromikan berbagai kepentingan tersebut dalam pembuatan dan proses kebijakan program KB.

Urgensi Redefinisi Target Group sebagai Respons atas Demokrasi dan HAM terhadap Pelaksanaan Program KB Setelah pelaksanaan Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo tahun 1994, yang diselenggarakan untuk meninjau ulang kebijakan kependudukan dalam kaitannya dengan pembangunan yang diselaraskan dengan gelombang arus global demokrasi dan hak asasi manusia, arah dan kebijakan program KB mengalami perubahan paradigma dari yang semula menekankan pada pengendalian penduduk (population control) menjadi pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual. Perubahan ini berpengaruh pada pelaksanaan program KB dari yang semula terfokus pada pencapaian target
2

demografis (peningkatan partisipasi masyarakat dalam ber-KB untuk meningkatkan CPR dan menurunkan unmet need dalam upaya menurunkan TFR) menjadi lebih ke perluasan akses masyarakat terhadap KB dan peningkatan kualitas pelayanan dengan memperhatikan aspek Hak Asasi Manusia. Salah satu hak individu yang diakui dalam dokumen HAM adalah hak atas kesehatan reproduksi. Yang termasuk dalam hak kesehatan reprduksi adalah hak atas kontrasepsi sebagai rasionalisasi dari hak atas hamil atau tidak hamil (termasuk dalam paya pengaturan kehamilan), hak seksualitas, hak terbebas dari PMS dan HIV serta AIDS, dan hak hidup (terbebas dari kematian yang disebabkan oleh aborsi tidak aman karena kehamilan tidak diinginkan sebagai konsekuensi logis dari tidak adanya akses terhadap kontarasepsi). Dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan sudah disebutkan bahwa kontrasepsi merupakan aspek kesehatan reproduksi sebagai bagian dari upaya pengaturan kehamilan dan kesehatan seksual (pencegahan penularan IMS melalui hubungan seksual). Sehubungan dengan perubahan tersebut, ada beberapa aspek yang secara konseptual harus dilaksanakan dalam operasionalisasi program KB sebagai implementasi diadopsinya demokrasi dan HAM kedalam program KB, yaitu redefinisi target group sebagai implementasi atas pengakuan hak individu, terutama hak atas kesehatan reproduksi dan seksual. Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menyebutkan kontrasepsi sebagai bagian dari keluarga berencana. Penggunaan istilah keluarga berencana (KB) berarti hanya diperuntukkan bagi pasangan usia subur (PUS) sebagai target group program KB karena Keluarga Berencana adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. Dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (bagian ketujuh mengenai keluarga berencana, pasal 78 ayat [1]) disebutkan bahwa Pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana dimaksudkan untuk pengaturan kehamilan bagi pasangan usia subur untuk membentuk generasi penerus yang sehat dan cerdas. Artinya, dalam kebijakannya, negara masih memandang kontrasepsi (hanya) sebagai kebutuhan individu (laki-laki dan perempuan) yang sudah terikat perkawinan (pasangan yang sah). Dengan tidak diakomodirnya (secara eksplisit) individu selain pasangan yang sah dalam kebijakan, meskipun dalam kenyataannya kepada mereka disediakan fasilitas untuk mengakses, secara hukum dapat dikatakan bahwa negara tidak melindungi dan menjamin akses mereka terhadap kontrasepsi.

Jika tetap pada target group pasangan usia subur (PUS), yaitu laki-laki dan perempuan usia reproduksi (15-49) tahun dan sudah menikah atau usia kurang dari 15 tahun tetapi sudah menikah, dengan sendirinya program KB telah mengabaikan hak penduduk lain yang tidak termasuk dalam kategori PUS seperti remaja dan penduduk usia reproduksi tetapi belum menikah untuk mengakses produk program KB, yaitu obat dan alat kontrasepsi (komoditi berupa barang) dan pelayanan kontrasepsi, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, dan konseling kesehatan reproduksi (komoditi berupa jasa) (Soesilo, 1996, dalam Dwiyanto dan Darwin, 1996, dan dalam Juliantoro, 2000). Padahal ketiadaan akses remaja terhadap kontrasepsi, misalnya, menjadi penyebab kehamilan tidak diinginkan (unwanted pregnancy) yang 25 persen dari kasus tersebut diakhiri dengan aborsi tidak aman (unsafe abortion) yang berpotensi menimbulkan kematian. Data menunjukkan bahwa sebanyak 30 persen dari 213.375.287 jiwa (BPS, SUPAS 2005) penduduk Indonesia adalah remaja, yaitu penduduk yang berusia antara 12-24 tahun dan belum menikah (berdasarkan kriteria WHO). Dari sumber data yang sama juga diketahui bahwa laki-laki usia reproduktif 3 mencapai 59.022.964 (55 persen dari total penduduk pria), sementara perempuan usia reproduktif berjumlah 59.646.078 jiwa atau 56 persen dari total penduduk wanita (BPS, SUPAS 2005). Dari total laki-laki usia reproduktif tersebut, hanya 59 persen yang berstatus kawin, dan perempuan yang kawin sebanyak 67 persen dari total perempuan usia reproduktif (Gambar 1dan 2). Dengan demikian, jika pemerintah tetap menjadikan PUS yang menjadi target group kontrasepsi, pemerintah dengan sengaja mengabaikan hak-hak reproduksi 24.227.453 laki-laki dan 19.649.669 wanita usia reproduktif yang tidak/belum kawin, terutama dalam mengakses alat/obat/cara kontrasepsi berikut komoditi jasanya. Jika total perempuan usia reproduktif yang
sumber: BPS, SUPAS 2005 kawin 67% sumber: BPS, SUPAS 2005 belum/tidak kawin 41% Kawin 59%

Gambar 3 Laki-laki Usia Reproduktif Berdasarkan Status Perkawinan (dari total 59.022.964 jiwa atau 55 persen dari total penduduk pria)

Gambar 4 Perempuan Usia Reproduktif Berdasarkan Status Perkawinan (dari total 59.68.078 jiwa atau 56 persen dari total penduduk perempuan)
belum/tidak kawin 33%

menggunakan alat/obat/cara kontrasepsi sebanyak 61,4 persen dari 59.646.078 jiwa (BPS, SDKI 2007), berarti terdapat 38,6 persen wanita usia reproduktif yang tidak menggunakan

Meskipun dalam beberapat literatur disebutkan tidak ada batasan usia laki-laki reproduktif bagi laki-laki. Dengan rasionalisasi, laki-laki mampu menghasilkan sperma sepanjang hidupnya. 4

kontrasepsi, dengan sebaran 40 persen di pedesaan dan 37 persen di perkotaan (BKKBN, dalam Marlina 2008). Sedangkan di antara 59.022.964 laki-laki yang termasuk usia reproduktif dan berstatus menikah hanya sebagian kecil saja yang dapat mengakses alat/obat/cara kontrasepsi, yaitu hanya 1,5 persen (SDKI 2007). Artinya, jumlah laki-laki yang tidak terlayani kontrasepsi jauh lebih banyak. Padahal, data dunia menunjukkan bahwa 85 dari 100 wanita yang aktif secara seksual (catatan: tidak harus terlebih dahulu melalui perkawinan atau dengan pasangan yang sah) dan tidak menggunakan metode kontrasepsi apapun, berpotensi hamil dalam waktu satu tahun (Sjarief, dalam Marlina, 2009). Sumber lain menyebutkan sebanyak 56,5 persen akan hamil pada satu bulan pertama dan 78,9 persen akan hamil pada enam bulan pertama (Alit, dalam Anshor, 2009). Jika 38,6 persen dari 59.646.078 jiwa perempuan usia reproduktif yang tidak menggunakan kontrasepsi dan ia aktif secara seksual dengan tidak menggunakan alat kontrasepsi, sudah dapat dibayangkan jumlah kehamilan dan kelahiran yang akan terjadi. Dengan demikian, secara demografis, implikasi dari kebijakan tidak diakomodirnya akses remaja dan penduduk usia reproduktif lain selain PUS terhadap kontrasepsi karena tidak dimasukkan sebagai target group program KB akan menyebabkan penambahan jumlah penduduk. Hal tersebut menjadi kontraproduktif dengan arah dan kebijakan program KB, terutama dalam upaya mengontrol kelahiran (birth control). Selain itu, kontraproduktif juga dengan sasan pembangunan millenium (menurunkan AKI). Sebab, jika status kehamilan tersebut tidak dikehendaki (unwanted pregnancy), terutama pada remaja yang masih bersekolah atau penduduk usia reproduktif lain yang dalam status bekerja/berkarier, akan lebih membahayakan karena lebih dari 25 persen di antaranya memilih melakukan aborsi. Di pihak lain, pelarangan aborsi (sebagaimana terdapat dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 75) berdampak pada banyaknya kasus aborsi tidak aman (unsafe abortion) yang mengakibatkan kematian. Data WHO menyebutkan, 15-50 persen kematian ibu maternal mortality rate/MMR disebabkan oleh pengguguran kandungan yang tidak aman. Dari 20 juta pengguguran kandungan tidak aman yang dilakukan tiap tahun, ditemukan 70.000 perempuan meninggal dunia. Artinya 1 dari 8 ibu meninggal akibat aborsi yang tidak aman. Bagi remaja, tidak dimasukkannya mereka kedalam target program KB lebih mengkhawatirkan lagi, terutama yang dipicu oleh pengabaian hak mereka atas informasi kesehatan reproduksi dan akses terhadap kontrasepsi. Data SDKI 2007 menunjukkan, hanya 17,1 persen remaja perempuan dan 10,4 persen remaja laki-laki yang mengetahui secara benar tentang masa subur dan risiko kehamilan. Data tersebut juga menunjukkan remaja
5

perempuan dan laki-laki usia 15 24 tahun yang mengetahui kemungkinan hamil dengan hanya sekali berhubungan seks masing-masing berjumlah 55,2 persen (perempuan) dan 52 persen (laki-laki). Hal ini yang kemudian menyebabkan remaja terjerumus pada masalahmasalah seks yang berisiko seperti hubungan seks pra-nikah dan berganti-ganti pasangan yang dilakukan tanpa menggunakan kontrasepsi. Fakta menunjukkan banyak remaja yang telah terinfeksi penyakit menular seksual, kehamilan dini, serta kehamilan yang tidak diinginkan yang berujung aborsi tidak aman (unsafe abortion). Data yang dilansir BKKBN (dalam www.bkkbn.go.id) tahun 2006, sebanyak 15 persen remaja sudah melakukan hubungan seks di luar nikah, sebanyak 46,19 persen dari jumlah penderita HIV/AIDS tahun 2005 adalah remaja (usia 15-29 tahun) dimana 43,5 persen terinfeksi melalui hubungan seks yang tidak aman dan 50 persen tertular lewat jarum suntik. Lebih jauh lagi, hampir semua indikator kesehatan tersebutyang keberhasilannya dipengaruhi oleh kinerja pelaksanaan program KB melalui produk barang dan jasanya masuk dalam indikator pencapaian MDGs (Millenium Development Goals) yang harus dicapai pada tahun 2015.

Peluang Desentralisasi dan Adopsi New Public Service dalam Manajemen Program KB Desentralisasi merupakan proses transfer otoritas dan kewenangan perencanaan, manajemen, dan pengambilan keputusan dari pengendali organisasi di tingkat atas kepada tingkat yang ada di bawahnya (Saltman, dalam Wilopo, 2007). Pentingnya pelaksanaan desentralisasi program KB selain sebagai manifestasi responsibilitas/daya tanggap atas perubahan lingkungan strategis (arus demokratisasi dan HAM serta delegasi kewenangan pemerintahan dalam beberapa bidang), juga sangat penting dalam rangka: (1) mendekatkan pelayanan publik kepada pengguna layanan publik, yaitu warga negara sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan kualitas pelayanan program KB yang bukan hanya sesuai dengan prosedur medis dan operasional lainnya tetapi juga kualitas pelayanan sebagaimana yang dikehendaki publik melalui penciptaan mekanisme dialog/interaksi antara public servant dengan citizen; (2) memeratakan (distribusi) pelayanan program KB sehingga dapat memperkecil kesenjangan akses publik yang berada di daerah tertentu dengan daerah lainnya; (3) memungkinkan diakomodirnya strategi dan cara-cara tetentu dalam operasionalisasi program KB, terutama penggerakkan dalam upaya menciptakan demand terhadap program KB, yang disesuaikan dengan kondisi kesejarahan, kultur, dan geografis setempat; (4) memungkinkan penyelenggaraan program KB yang inklusif dan melibatkan banyak aktor (sektor) sehingga lebih prospektif dalam pencapaian sasaran bersama serta
6

menjadi terintegrasinya program KB dengan program pembangunan lainnya di daerah; (5) efisiensi dalam pendanaan karena operasionalisasi program disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lokal (bottom-up); (6) memperpendek alur birokrasi sehingga mudah dan cepat dalam pengambilan keputusan dan mempermudah dalam manajemen supervisi dan informasi. Desentralisasi program KB sebenarnya telah dimulai sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 103 tahun 2001 yang menyatakan bahwa kewenangan di bidang keluarga berencana diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota. Hal tersebut dilakukan sebagai implementasi desentralisasi dan manifestasi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ketika itu (yang kemudian diperbaharui menjadi UU No. 32 tahun 2004). Undang-undang tersebut memberikan kewenangan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk menentukan program-program pembangunan yang diperlukan daerah sesuai dengan kebutuhan, aspirasi, kemampuan, maupun sumberdaya yang tersedia. Namun permasalahan yang berkembang dalam pelaksanaan program KB pada era desentralisasi adalah menurunnya kapasitas kelembagaan Program KB karena melemahnya komitmen politis dan komitmen operasional di tingkat kabupaten/kota karena KB bukan merupakan urusan wajib di daerah sehingga bentuk institusi yang menangani KB di kabupaten/kota sangat beragam, jumlah institusi KB di tingkat lini lapangan berkurang, dan jumlah serta kualitas tenaga pengelola dan pelaksana program KB di tingkat lapangan menurun karena banyak yang dimutasi dan pensiun, serta dukungan sarana, prasarana, dan anggaran yang kurang memadai. Walaupun kebijakan tersebut diperbarui melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota dan PP No. 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dimana KB sudah menjadi urusan wajib dan kelembagaannya menjadi satu rumpun dengan urusan Pemberdayaan Perempuan, pada kenyataannya kapasitas kelembagaan KB di kabupaten/kota belum optimal. Sampai dengan akhir Juni 2009, sekitar 81,95 persen kelembagaan KB di kabupaten/kota berbentuk badan, 16,08 persen berbentuk kantor, dan 1,96 persen berbentuk dinas. Sedangkan jika dilihat dari utuh/mergernya, sekitar 90,87 persen bergabung (merger) dengan 1 atau 2 bidang lain dan hanya 9,13 persen yang utuh menangani Program KB. Beberapa kabupaten/kota bahkan tidak memiliki institusi untuk melaksanakan program KB. Data lain menunjukkan hingga saat ini hanya 29,8 persen kabupaten/kota yang mempunyai lembaga khusus yang menangani program KB, selebihnya (70,2 persen) tidak memiliki lembaga khusus, melainkan merger/gabung dengan program lainnya (BKKBN, 2009).

Banyak pihak, terutama dari kalangan internal pengelola dan pelaksana program KB, melakukan analisis bahwa kemunduran tersebut karena lemahnya komitmen politis pemerintah daerah yang disebabkan oleh motivasi politisnya dalam melakukan desentralisasi yang lebih menekankan pada ekonomi penganggaran sehingga lebih fokus pada peningkatan PAD (Wilopo, 2010; Syarief, 2010; Sulistyo, 2009; BKKBN, UNFPA, UNICEF, AusAID, 2009). Program KB, menurut analisis tersebut, karena merupakan bagian dari program pembangunan manusia serta dampaknya jangka panjang menjadi kurang diminati karena hanya akan menguras APBD tanpa ada kontribusi pada peningkatan PAD. Padahal, menurut hemat penulis, ada penyebab lain yang sepertinya akan bijak apabila diperhitungkan, yaitu karena desentralisasi program KB kurang diikuti dengan perubahan dalam manajemen program. Sebagian besar konsep dan praktik pengelolaan program KB masih menggunakan manajemen administrasi publik lama, dan hanya sebagian kecil yang sudah mengadopsi New Public Management (NPM). Meskipun untuk yang NPM ini juga masih pada tataran konseptual. Salah satu wujud dari masih digunakannya pola manajemen lama adalah dalam mendefinisikan target group yang masih pada PUS dan masih berlakunya sistem target pencapaian indikator program seperti peningkatan jumlah akseptor baru, penurunan unmet need, penurunan TFR, dll. Pola manajemen tersebut jelas masih menggunakan pola lama karena indikator keberhasilan program ditentukan sepihak oleh pelaksana program (tidak terlebih dulu menggali kebutuhan warga negara atau paling tidak mengkompromikan target capaian tersebut dengan kepentingan publik yang akan dilayani) dan masih memandang warga negara sebagai obyek (sasaran program) yang pasif, padahal desentralisasi menuntut adanya partisipasi masyarakat yang bukan hanya berupa keikutsertaan menjadi akseptor melainkan terlibat dalam menentukan jumlah dan jenis kontrasepsi yang harus disediakan, menentukan jenis dan mekanisme pelayanan yang dibutuhkan, terlibat dalam melakukan sosialisasi dan advokasi (penggerakkan) kepada masyarakat lain yang belum/tidak ikut KB, serta ikut melakukan pengawasan terhadap distribusi kontrasepsi dan kualitas pelayanan yang diberikan. Untuk dapat bangkit dari kemunduran, hal yang harus dilakukan adalah mengubah manajemen program KB lama dengan manajemen baru yang lebih sesuai dengan pelaksanaan desentralisasi program KB yang sudah berjalan hampir sepuluh tahun ini. Salah satu manajemen publik yang sudah mengadopsi isu demokrasi dan hak asasi manusia serta terbuka dan prospektif untuk dilakukan dalam era desentralisasi adalah New Public Service (NPS). Prinsip mendasar yang menjadi pondasi NPS adalah demokratic-citizenship (Denhardt
8

& Denhardt, 2003). Aplikasi prinsip tersebut tercermin dalam dua hal. Pertama, New Public Service memandang publik (pihak yang dilayani) sebagai citizen (warga negara) dengan segala hak dan kewajibannya. Kedua, sebagai implementasi dari demokrasi, New Public Service membuka ruang bagi citizen dan elemen masyarakat lain (termasuk civil society dan privat sector) yang memiliki kepentingan dengan urusan publik untuk berpartisipasi dalam mengelola urusan tersebut sejak proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Karena motif utama manajemen NPS dalam melakukan manajemen urusan publik adalah kualitas pelayanan sebagaimana yang diinginkan publik maka logika yang dipakai adalah bahwa yang mengetahui persis masalah yang menyangkut kepentingan publik adalah publik itu sendiri. Secara ringkas, manajemen publik perspektif NPS dapat dilihat dari beberapa prinsip berikut ini (Denhardt & Denhardt, 2000; Denhardt & Denhardt, 2003; Muluk, 2008). Pertama adalah serve citizens, not customers. NPS memandang publik yang akan dilayani sebagai warga negara dengan segenap hak dan kewajibannya, bukan sebagai pelanggan. Karena publik yang akan dilayani adalah publik sebagai representasi dari warga negara yang banyak (bukan individu), berimplikasi pada cara public servant memaknai pelayanannya yang tidak semata-mata merespons tuntutan pelanggan tetapi justeru memusatkan perhatian untuk membangun kepercayaan dan kolaborasi dengan dan di antara warga negara. Kedua, seek the public interest. Dalam melakukan pelayanan publik, public servant harus berusaha memberikan pelayanan sebagaimana yang dibutuhkan publik sesuai dengan kepentingannya. Untuk itu public servant terlebih dahulu harus mengetahui kebutuhan/kepentingan publik melalui mekanisme dialog. Dengan demikian, kebutuhan/kepentingan publik adalah konsensus antara dirinya dengan publik sehingga kebutuhan/kepentingan publik menjadi kebutuhan/ kepentingan dan tanggungjawab bersama. Ketiga, value citizenship over entrepreneurship. Dalam melakukan pelayanan publik, public servant harus mengedepankan nilai-nilai kewarganegaraan (memaknai dan memahami dirinya dan publik yang dilayani sebagai warga negara). Hal berimplikasi pada cara public servant memandang pelayanan yang diberikannya sebagai bagian dari sumbangsih dirinya kepada warga negara lain, bukan demi uang dan prinsip untung-rugi. Keempat, think strategically, act democratically. Dalam melakukan pelayanan publik, public servant harus berupaya berpikir strategis dengan memperhatikan kondisi dan situasi yang ada melalui upaya kolektif dan proses kolaboratif antara dirinya dengan publik sehingga kebutuhan/kepentingan publik dapat dicapai secara efektif. Kelima, recognize that accountability is not simple. Dalam melakukan pelayanan publik, public servant harus mengakui dan memahami bahwa segala yang dilakukannya harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Oleh karena itu, ia harus memahami dan
9

mematuhi peraturan perundang-undangan, nilai-nilai kemasyarakatan, norma politik, standar profesional, dan kebutuhan/kepentingan warga negara yang akan dilayaninya. Keenam, serve rather than steer. Sebagai pelayan publik, public servant harus memahami bahwa yang dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan/kepentingan bersama dan merupakan hasil dari kesepakatan/konsensus yang diwujudkan dengan pembagian peran bersama. Hal tersebut berarti bahwa public servant berperan untuk memenuhi kebutuhan/kepentingan tersebut, bukan mengontrol atau mengarahkan publik untuk melakukan sesuatu sebagaimana keinginan/kepentingannya (public servant). Ketujuh, value people, not just productivity. Organisasi publik beserta jaringannya lebih memungkinkan mencapai keberhasilan dalam jangka panjang jika dijalankan melalui proses kolaborasi dan kepemimpinan bersama yang didasarkan pada penghargaan kepada semua orang. Dengan demikian, keberhasilan tidak semata dilihat dari produktivitas dengan pencapaian indikator-indikator tertentu sesuai dengan kepentingannya tanpa mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan lainnya. Dari paparan tersebut diketahui bahwa manajemen publik perspektif New Public Service mengedepankan posisi publik sebagai warga negara dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan (Muluk, 2008). Perspektif ini membawa upaya demokratisasi administrasi publik yang selaras dengan isu startegis global dan nasional tentang demokrasi di segala aspek kehidupan. Selain itu, perspektif ini menjadikan penyelenggaraan pemerintahan lebih inklusif sehingga terbuka kesempatan bagi berbagai aktor dengan berbagai kepentingan untuk partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian, perspektif ini mengakui bahkan menuntut adanya partisipasi publik, tidak hanya sebagai partisipan pasif yang hanya menuruti atau menyesuaikan kepentingannya dengan kemauan dan kepentingan pemerintah, tetapi ikut terlibat dalam pembuatan dan proses kebijakan yang menyangkut urusan publik.

Pemetaan Target Group dan Kompromi Strategis Kepentingan dan Peran Aktor Paling tidak terdapat dua tantangan dalam pelaksanaan program KB yang dalam

pelaksanaannya sudah mengimplementasikan isu strategis demokrasi/demokratisasi dan hak asasi manusia serta desentralisasi yang diwujudkan dengan mengubah target group dari semula hanya PUS menjadi semua individu dalam keluarga. Namun, tantangan tersebut dapat diubah menjadi peluang jika pelaksanaan program KB menggunakan manajemen NPS dalam mengimpelementasikan kedua isu stragis tersebut. Kedua tantangan tersebut adalah: (1) semakin luas dan beragamnya cakupan sasaran program KB berimplikasi pada luas dan beragamnya bidang garapan, dan (2) semakin luas dan beragamnya cakupan sasaran dan beragamnya bidang garapan berimplikasi pada semakin besarnya anggaran yang dibutuhkan.
10

Implementasi program KB yang sudah mengadopsi dan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia adalah dengan menjadikan semua individu dalam keluarga menjadi target group program. Prinsip demokrasi dan hak asasi manusia juga menuntut pelayanan program KB dapat diakses oleh semua warga negara tanpa memandang jenis kelamin, usia, status sosial ekonomi, dan kondisi sosiodemografis tempat domisili (termasuk ras, agama, kultur, suku bangsa, dll). Dengan demikian, berdasarkan penggolongan tersebut, target group program KB dapat dipetakan menjadi sebagai berikut.

Tabel 1 Klasifikasi Traget Group Program KB No. 1. Aspek Klasifikasi Jenis kelamin Target Group Laki-laki Subtarget-group Pelayanan umum dan spesifik yang dibutuhkan* Pengetahuan ttg sistem, fungsi, dan proses reproduksi; kontrasepsi pria; pelayanan konseling dan medis kespro SDA, ditambah dengan kontrasepsi wanita; pelayanan konseling dan medis kespro yang lebih kompleks dan beragam dibanding laki-laki Vaksin, imunisasi, pemeriksaan dan pelayanan kesehatan, ASI, Gizi, Pengetahuan ttg sistem, fungsi, dan proses reproduksi; kontrasepsi; pelayanan konseling dan medis kespro (tidak menutup kemungkinan untuk membutuhkan pelayanan medis kespro sebelum kehamilan, selama kehamilan, saat melahirkan, setelah melahirkan), perawatan anak, dll. Pengetahuan ttg sistem, fungsi, dan proses reproduksi; kontrasepsi; pelayanan konseling dan medis kespro (tidak menutup kemungkinan untuk membutuhkan pelayanan medis kespro sebelum kehamilan, selama kehamilan, saat melahirkan, setelah melahirkan), perawatan anak, dll. Pengetahuan ttg sistem, fungsi, dan proses reproduksi terutama tentang gangguan kespro pada Lansia seperti dispareuni, osteoporosis, menopause, andropause,

Perempuan

2.

Usia

Bayi dan anak-anak Remaja

Dewasa

Lansia

11

Tabel 1 Klasifikasi Traget Group Program KB (lanjutan) No. 3. Aspek Klasifikasi Status perkawinan Status sosial ekonomi keluarga Geografis Target Group Kawin Tidak kawin Keluarga Pra sejahtera Keluarga Sejahtera I Keluarga Sejahtera II Keluarga Sejahtera Terpencil/desa Terisolir/perbatasan Perkotaan Subtarget-group Pelayanan umum dan spesifik yang dibutuhkan* Sama dengan remaja dengan penekanan pada hal tertentu SDA SDA SDA SDA SDA SDA SDA SDA SDA

4.

5.

Bantaran kali Pemukiman kumuh dan padat penduduk Sepanjang SDA rel/dilewati rel kereta api *kemungkinan pelayanan yang dibutuhkan. Penentuan tersebut harus melalui mekanisme dialog.

Tantangan tersebut dapat menjadi peluang ketika dalam pelaksanaannya menggunakan manajemen NPS dengan membuka kesempatan kepada warga negara dan aktor lain yang memiliki kepentingan untuk terlibat. Wujud keterlibatan tersebut, sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, adalah partisipasi aktif dalam pembuatan dan proses kebijakan, termasuk dalam hal penganggaran. Namun kunci untuk membuat pihak lain terlibat menjadi aktor dalam pembuatan dan proses kebijakan (termasuk di dalamnya pelaksanaan dan evaluasi) adalah menawarkan prospektif isu publik (dalam hal ini program KB) dalam kontribusinya terhadap aspek yang lebih luas yang memungkinkan di dalamnya terdapat kepentingan aktor lain. Dua isu strategis global dan nasional transisi demografis dalam hubungan dengan pengentasan kemiskinan serta kerusakan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan dapat diadopsi menjadi isu stragis program KB mengingat besarnya kontribusi yang dapat diberikan program KB terhadap kedua isu strategis tersebut. 1. Program KB, Transisi Demografis, dan Pengentasan Kemiskinan Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar tetap dalam bidang ekonomi kependudukan, Sri Moertiningsih Adioetomo menyatakan telah berakhirnya perdebatan setelah lebih dari setengah abad (1950-2000) terjadi pertentangan pemikiran antara penganut faham Malthusian/Neo-Malthusian (aliran tradisional) dan kaum revisionis. Malthusian/NeoMalthusian berpandangan pertumbuhan penduduk yang cepat akan mengurangi tingkat kesejahteraan penduduk dan pada akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi. Kelompok
12

penentangnya berpandangan bahwa pertumbuhan penduduk tidak menjadi sumber maupun penghambat pertumbuhan ekonomi. Menurut Julian Simon (dalam Adioetomo, 2005), salah seorang revisionis, dalam buku The Ultimate Resources, pertumbuhan penduduk justru akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurutnya, apabila sumberdaya alam tidak mampu mencukupi kebutuhan manusia, manusia sendirilah yang akan bergerak mengatasinya dengan segenap akal dan pikirannya menemukan cara untuk mengatasi persoalan hidupnya melalui pendidikan formal, peningkatan pengetahuan, peningkatan pengalaman dan pekerjaan, yang akan mempengaruhi tingkat penguasaan teknologi. Pada pertemuan simposium tentang Population Change and Economic Development di Bellagio pada November 1998, dilakukan evaluasi tentang hubungan antara pertumbuhan penduduk dengan pembangunan ekonomi. Pertanyaan yang dilontarkan dalam evaluasi tersebut tentang dampak penurunan mortalitas, fertilitas, dan perubahan demografi terhadap: (1) pertumbuhan ekonomi, (2) kemiskinan dan ketimpangan, (3) pemakaian sumberdaya alam untuk pertanian dan keberlanjutan, dan (4) implikasi terhadap kebijakan dan program ekonomi, sosial, dan kependudukan. Menjelang tahun 2000, melalui pertemuan ahli ekonomi dan demografer diperoleh kesimpulan bahwa: (1) pertumbuhan penduduk mempunyai hubungan kuat-negatif dan signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi, dan (2) penurunan pesat dari fertilitas memberikan kontribusi yang relevan terhadap penurunan kemiskinan. Dengan demikian, teori Neo-Malthusian (dengan akomodasi kebijakan kontrasepsi sebagai bentuk upaya pencegahan kelahiran/pembatasan pertumbuhan penduduk) terbukti secara empiris. Di negara-negara berkembang, fertilitas yang tinggi merupakan salah satu penyebab kemiskinan yang endemik, baik pada tingkat keluarga maupun makro (Birdsall dan Sinding, 2001), disamping karena adanya ketidakadilan akses dan kesempatan terhadap perempuan (Todaro, 2006). Hasil temuan Kelley dan Schmidt (2001) menunjukan bahwa penurunan fertilitas dan mortalitas telah berkontribusi sebesar 22 persen dalam meningkatkan pertumbuhan output. Variabel penduduk dan ekonomi yang disertakan dalam persamaan Kelley dan Schmidt adalah GDP per kapita (paritas daya beli/PPP), GDP per kapita/persen laju pertumbuhan penduduk, usia harapan hidup, TFR, persen laju pertumbuhan penduduk, persen perubahan jumlah penduduk usia kerja, CBR, CDR, rasio ketergantungan anak muda (youth dependency ratio), rasio ketergantungan lansia (older dependency ratio), kepadatan penduduk, dan jumlah penduduk (Adioetomo, 2005). Pengaruh aspek penduduk dalam pertumbuhan ekonomi ini dimanifestasikan dalam konsep bonus demografi (demographic dividend atau demographic gift). Konsep bonus demografi menjelaskan tentang pengaruh penurunan fertilitas dan mortalitas dalam jangka
13

panjang yang menyebabkan transisi demografi dan perubahan komposisi dan struktur penduduk menjadi penduduk usia kerja (produktif) yang berusia antara 15-64 tahun dan penduduk usia non-produktif, yaitu yang berusia muda (0-14 tahun) dan usia lanjut (usia 65 tahun ke atas): perbandingan di antara keduanya menghasilkan ratio beban ketergantungan (dependency ratio). Asumsinya, penduduk usia produktif adalah penduduk usia kerja yang menghasilkan secara ekonomi, sedangkan penduduk usia non-produktif tidak/belum menghasilkan secara ekonomi. Oleh karena itu, penduduk usia produktif menanggung beban penduduk lain yang tidak produktif. Semakin besar proporsi penduduk usia produktif terhadap usia non-porduktif, akan semakin kecil beban yang harus ditanggung penduduk usia produktif. Konsep bonus demografi tersebut sejalan dengan teori para ekonom tentang tabungan (saving) terhadap peningkatan pendapatan per kapita yang dibuktikan oleh Lee, Mason, dan Miller (2001) melalui Life Cycle Model of Saving Behaviour. Life Cycle model Lee dkk. dipengaruhi oleh perubahan rasio ketergantungan. Besarnya proporsi penduduk usia produktif dibanding usia non-produktif (sebagai akibat dari transisi demografi) akan menyebabkan angka rasio ketergantungan kecil, dan berdampak pada adanya saving (dengan asumsi tingkat suku bunga, return to capital, dan tingkat produktivitas konstan). Dengan demikian, pada akhir masa transisi akan dihasilkan tingkat tabungan dan rasio kekayaan dan pendapatan yang lebih tinggi dibanding dengan awal masa transisi. Ini berakibat pada peningkatan pertumbuhan ekonomi yang stabil dengan tingkat fertilitas dan mortalitas yang rendah. Pada level rumah tangga, jika fertilitas rendah (anak yang dilahirkan sedikit dengan jarak yang cukup: minimal 3 tahun, maksimal 4-5 tahun) sebagai representasi penduduk usia non-produktif yang sedikit, biaya yang dikeluarkan akan lebih sedikit dibanding jika anak yang dilahirkan banyak. Selain itu, kemungkinan segala kebutuhan anak (seperti pangan/gizi, kesehatan, pendidikan, dan rekreasi) akan terpenuhi. Dengan demikian, kelebihan dari

pendapatan dapat disimpan sebagai tabungan yang jika dimanfaatkan untuk hal produktif akan meningkatkan taraf kesejahteraan keluarga. Transisi demografis (sebagai variabel penduduk dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi) dalam jangka panjang berdampak pada: (1) peningkatan jumlah tenaga kerja yang apabila mendapatkan kesempatan kerja yang produktif akan meningkatkan total output; (2) akumulasi kekayaan yang lebih besar apabila ada tabungan masyarakat yang diinvestasikan secara produktif; dan (3) tersedianya modal manusia (human capital) yang jumlahnya lebih besar (dibanding sebelum terjadi transisi) apabila ada kebijakan investasi yang khusus

14

diarahkan untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas sumberdaya manusia (Bongaarts, Birdsall dan Sinding, dalam Adioetomo, 2005). Penjelasan tersebut memberi gambaran pada aktor-aktor tertentu tentang penting dan prospektif kontribusi program KB sehingga mereka berkepentingan untuk ikut terlibat dalam pembuatan dan proses kebijakan program KB. Misalnya perusahaan kontrasepsi dan perusahaan lain yang membutuhkan tenaga terampil yang hanya dapat dipenuhi jika akses terhadap pendidikannya maksimal. Keluarga yang memiliki jumlah anak tertentu yang berpotensi dapat mencukupi kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Bagi pemerintah daerah yang selama ini menganggap jika melaksanakan program KB berarti membatasi jumlah generasi suku tertentu (alasan nasionalisme kesukuan/sempit) padahal mereka memiliki wilayah yang masih luas dan kekayaan alam yang melimpah tetapi penduduknya masih sedikit dengan kualitas kesehatan yang rendah (seperti provinsi/kabupaten/kota di kawasan timur Indonesia) berpotensi untuk berpikir sebaliknya karena program KB tidak hanya mencakup pengendalian kelahiran melainkan juga pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan seksual yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan.

2. Program KB, Kerusakan Lingkungan, dan Pembangunan Berkelanjutan Salah satu kesepakatan yang dihasilkan Deklarasi Rio tahun 1992 adalah mengenai pemaknaan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yaitu sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs. Dengan demikian, secara umum pembangunan berkelanjutan dipahami sebagai proses pembangunan yang berprinsip untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan (Lampiran Peraturan Presiden No. 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 20102014). Lebih spesifik, Wilopo (2010), Tjiptoherijanto (2004), dan Pranandji (2004) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai upaya terencana untuk menjamin kesejahteraan umat manusia secara adil dan merata antara generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Dengan demikian, dalam pelaksanaannya, pembangunan berkelanjutan perlu mempertimbangkan aspek penduduk, sumberdaya, lingkungan, dan pertumbuhan ekonomi. Argumentasi penganut paham revisionis tentang akumulasi modal manusia akan menghasilkan eksternalitas, terutama dengan pendidikan formal, peningkatan pengetahuan, peningkatan pengalaman dan pekerjaan, yang akan mempengaruhi tingkat penguasaan teknologi untuk memperdaya dalam memenuhi kebutuhan manusia pada akhirnya
15

berdampak pada keterbatasan alam. Kondisi saat ini, ketika penduduk dunia bertambah empat kali lipat dalam satu abad (dalam sehari lahir 200.000 jiwa), diikuti dengan peningkatan ekonomi dunia 14 kali lipat, peningkatan hasil industri 40 kali lipat, dan pertambahan luas lahan pertanian menjadi lima kali lipat, tetapi juga diiringi dengan peningkatan pemakaian sumberdaya alam yang juga berlipat seperti mineral, logam, bijih besi, dan energi. Amerika, misalnya, sebagai negara berpenduduk terbesar di dunia (lebih dari 300 juta jiwa) dengan kualitas penduduk yang mumpuni serta pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga diiringi dengan pemakaian energi yang besar. Menurut para pemerhati lingkungan dan penduduk yang tergabung dalam National Geographic Society, saat ini, 23 persen dari total energi dunia dikonsumsi oleh Amerika yang penduduknya hanya 5 persen dari populasi dunia (National Geographic, 2010). Artinya, ketika setiap negara di dunai digenjot untuk maju dengan indikator semata pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi, akan diikuti oleh pola konsumsi terhadap energi yang juga tinggi, padahal ketersediaannya terbatas dan tak terbarukan. Jika 95 persen populasi dunia lainnya akan mengikuti pola konsumsi energi seperti orang Amerika, energi yang dibutuhkan setara dengan energi yang ada pada 5,4 kali bumi: artinya akan terjadi defisit energi. Akibatnya adalah yang mengakibatkan Laporan International Bank for Reconstruction and Development, Bank Dunia, menyebutkan tingkat konsumsi dalam rumah tangga (pada paritas daya beli/PPP tahun 1995) China dan India berada jauh di bawah Amerika, tetapi karena penduduknya yang besar menyebabkan keduanya termasuk dalam peringkat konsumsi (konsumsi total meliputi pangan, barang, dan bahan bakar) 10 besar dunia (National Geographic, 2010). Kebutuhan akan pangan dan pemukiman yang terus meningkat searah dengan peningkatan populasi menyebabkan area hutan disulap jadi area pertanian dan perumahan. Luas Gurun Gobi di Cina bertambah lebih dari 10.000 kilometer persegi per tahun (mengubur area hutan dan pemukiman di sekitarnya) akibat perluasan pertanian dan penggembalaan (aktivitas merumput) ternak yang jumlahnya terus bertambah untuk memenuhi kebutuhan manusia akan protein hewani. Pemanasan global telah menyebabkan peningkatan suhu global, bahkan di bagian utara Alaska terjadi kenaikan sebesar 3 derajat celcius dalam puluhan tahun terakhir yang menyebabkan mencairnya es dan permafrost dan berdampak pada mengganasnya badai, gelombang pasang laut yang tinggi, naiknya permukaan air laut dan menenggelamkan pulau-pulau yang berdataran rendah. Mencairnya permafrost bahkan dapat meluluhlantakkan pondasi rumah (National Geographic, 2010). Fakta tersebut menunjukkan bahwa penduduk yang besar menjadi penyebab tidak langsung dari kerusakan lingkungan. Hal tersebut didukung oleh hasil telaah Algore (dalam
16

film dokumenter monumental tentang kondisi bumi), ada tiga faktor utama penyebab kerusakan lingkungan secara global, yaitu: (1) jumlah penduduk dunia yang terlampau besar akibat pertumbuhan yang juga terlampau cepat; (2) kapasitas teknologi yang melampaui kemampuan manusia sehingga lebih mampu mengeksploitas sumberdaya alam dengan cepat dibanding dengan tanpa teknologi atau dengan teknologi yang sederhana; dan (3) rendahnya kualitas moral manusia sehingga menjadikannya rakus dan eksploitatif tanpa

memperhitungkan akibat jangka panjangnya. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa dunia internasional dan negara-negara maju memandang penting pengendalian pertumbuhan penduduk, tidak hanya penduduk di negaranya melainkan juga di negara-negara berkembang dan miskin. Alasan tersebut setidaknya ada dua. Pertama, efek serius dari dampak pesatnya pertumbuhan penduduk dunia yang salah satunya pemanasan global yang pasti dirasakan seluruh populasi bumi, termasuk mereka. Oleh karenanya mereka berkepentingan untuk mendukung program pengendalian penduduk di negara berkembang yang potensial mengalami ledakan penduduk dan memiliki sesuatu yang dapat memperkecil efek pemanasan global, yakni hutan tropis. Indonesia memiliki hal itu yang tersebar hampir di sebagian besar provinsi. Di sisi lain, bagi negara maju yang memiliki saham di perusahaan tambang di daerah tertentu di Indonesia (seperti Freeport dan Newmont) juga berkepentingan agar lahan yang di dalamnya terdapat kandungan barang tambang tertentu tidak dijadikan area pemukiman sebagai konsekuensi dari pertambahan penduduk. Kedua, dunia internasional dan negara-negara maju berkepentingan untuk memajukan kesejahteraan negara berkembang dan miskin melalui kebijakan pengendalian penduduk untuk menghindari masuknya migran dari negara berkembang yang ingin meningkatkan kualitas hidupnya atau sebagai kompensasi dari eksploitasi sumberdaya alam di negaranya yang telah dikeruk negara maju (Soedjatmoko, 2010). Selain itu sebagai upaya preventif masuknya migran dalam jumlah besar yang disebabkan oleh bencana alam yang disebabkan efek pemanasan global (National Geographic, 2010). Paling tidak ada dua catatan penting yang mengangkat tren migrasi internasional saat ini yang menjadi indikasi kekhawatiran dunia internasional dari efek ledakan penduduk, yaitu (1) laporan UNDP tentang Human Development Report tahun 2009 yang mengangkat topik tentang Human Mobilty and Development sebagai salah satu cara untuk mengatasi rintangan (overcoming barriers) untuk mencapai kemakmuran (kesejahteraan), dan (2) pemerhati populasi yang tergabung dalam National Geographic Society yang dalam salah satu edisinya mengangkat tema Era Migrasi Global pada fenomena kependudukan dan lingkungan global tahun 2010.
17

Namun di sisi lain, bisa jadi terjadi dualisme di antara negara-negara maju, yang bertolak belakang dengan dua kepentingan di atas. Mereka juga berkepentingan untuk tidak mendukung upaya pengendalian penduduk karena untuk kepentingan industri: perspektif kapitalisme memandang populasi yang besar sangat menguntungkan karena tenaga kerja melimpah sehingga dapat dibayar murah serta sebagai konsumen bagi produk-produk mereka. Penjelasan tersebut akan memberi wawasan pada aktor-aktor tertentu tentang prospek kontribusi program KB terhadap beberapa isu global dan nasional seperti pertumbuhan ekonomi, pembangunan manusia, pembangunan berkelanjutan, mengurangi kerusakan lingkungan, mengurangi arus migrasi nasional dan internasional, dan sebagainya. Dari penjelasan tersebut masing-masing aktor menimbang dan mengukur kepentingan dan peran apa yang dapat diberikan dalam pelaksanaan program KB sebagai konsekuensi logis dari realisasi atas kepentingannya tersebut. Namun prinsip demokrasi dari inklusifitas penyelenggaraan pemerintahan harus dipahami oleh masing-masing aktor untuk

mengkompromikan kepentingannya tersebut dengan kepentingan aktor lain. Hal yang pasti dituntut dalam kompromi tersebut, di antaranya, adalah menurunkan ekspektasi/kepentingan/ kebutuhan ideal yang diharapkan dengan yang kemungkinan terealisasi untuk dibagi dengan ekspektasi/kepentingan/kebutuhan aktor lain. Misalnya, pemerintah (dalam hal ini BKKBN) yang berkepentingan untuk mencapai target-target demografis dengan jumlah tertentu, harus bersedia menurunkannya ketika aktor lain (misalnya publik) mengharapkan pelayanan berkualitas dengan menyampaikan kelebihan dan kekekurangan serta efek samping dari masing-masing alat/obat kontrasepsi. Target pemerintah harus diturunkan karena besar kemungkinannya publik untuk tidak memilih salah satu alat/obat/cara KB karena mereka mengetahui kekekurangan dan efek samping kontrasepsi yang ditawarkan tersebut. Demikian seterusnya hingga setiap kebijakan program KB adalah kebijakan bersama yang harus dijalankan secara bersama melalui perannya masing-masing. Perluasan target group dari hanya PUS menjadi semua individu dalam keluarga sebagai implementasi atas demokrasi dan hak asasi manusia menjadi penyelesaian atas kemunduran program KB dalam sepuluh tahun belakangan ini. Kesimpulan Kemunduran (untuk tidak menyebut kegagalan) pelaksanaan program KB nasional di era desentralisasi dinilai banyak pihak sebagai akibat dari lemahnya komitmen politis pemerintah daerah yang disebabkan oleh motivasi politisnya dalam melakukan desentralisasi
18

menekankan pada ekonomi penganggaran sehingga lebih fokus pada peningkatan PAD. Karena program KB merupakan bagian dari program pembangunan manusia serta dampaknya jangka panjang, menjadikannya kurang diminati. Melaksanakan program KB karena hanya akan menguras APBD tanpa ada kontribusi pada peningkatan PAD. Padahal, penyebab lain yang bijak untuk diperhitungkan, di antaranya adalah karena desentralisasi program KB yang dimulai sejak sepuluh tahun lalu itu (sejak terbit Keppres No. 301 tahun 2001) tidak banyak diikuti dengan perubahan dalam manajemen program. Sebagian besar konsep dan praktik pengelolaan program KB masih menggunakan manajemen administrasi publik lama, dan hanya sebagian kecil yang secara konseptual sudah mengadopsi NPM. Salah satu contoh dari masih digunakannya pola manajemen lama adalah dalam mendefinisikan target group yang masih pada PUS dan masih berlakunya sistem pencapaian target indikator demografis tertentu seperti peningkatan jumlah akseptor baru, penurunan unmet need, penurunan TFR, dll. Pola manajemen tersebut dianggap masih menggunakan pola lama karena indikator keberhasilan program ditentukan sepihak oleh pelaksana program (tidak terlebih dulu menggali kebutuhan warga negara atau paling tidak mengkompromikan target capaian tersebut dengan kepentingan publik yang akan dilayani) dan masih memandang warga negara sebagai obyek (sasaran program) yang pasif, padahal desentralisasi menuntut adanya partisipasi masyarakat. Untuk dapat bangkit dari kemunduran, diperlukan perubahan manajemen program KB lama dengan manajemen baru yang lebih sesuai dengan pelaksanaan desentralisasi. Salah satu manajemen publik yang sudah mengadopsi isu demokrasi dan hak asasi manusia serta terbuka dan prospektif untuk dilaksanakan di era desentralisasi adalah New Public Service. Prinsip mendasar yang menjadi pondasi New Public Service adalah demokratic-citizenship. Perubahan target group dari semula hanya PUS menjadi semua individu dalam keluarga menyebabkan semakin luas dan beragamnya cakupan sasaran program KB berimplikasi pada luas dan beragamnya bidang garapan dan semakin besarnya anggaran yang dibutuhkan. Tantangan tersebut dapat menjadi peluang ketika dalam pelaksanaannya menggunakan manajemen New Public Service dengan membuka kesempatan kepada warga negara dan aktor lain yang memiliki kepentingan untuk terlibat. Wujud keterlibatan tersebut, sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, adalah partisipasi aktif dalam pembuatan dan proses kebijakan, termasuk dalam hal penganggaran.

19

Daftar Pustaka Adieotomo, Sri Moertiningsih. 2005. Bonus Demografi: Menjelaskan Hubungan antara Pertumbuhan Penduduk dengan Pertumbuhan Ekonomi (naskah pidato pengukuhan guru besar dalam bidang ekonomi kependudukan pada FEUI. Jakarta: LDUI Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2001. Jaminan dan Pelayanan Keluarga Berencana (Kebijakan Teknis). Jakarta: BKKBN. ----------------------------------------------------------. UNFPA, UNICEF, AusAID. 2009. Analisis Situasi Program KB di Papua dan Papua Barat. Jakarta: UNFPA. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Macro International. 2007. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007. Calverton, Maryland, USA: BPS dan Macro International. --------------------------. 2006. Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2005. Jakarta: BPS Darwin, Muhadjir. 2010. Situasional Analysis of Children (softfile materi kuliah Manajemen Kependudukan pada Magister Studi Kebijakan, UGM) Denhardt, J.V. & Denhardt, R.B. 2000. The New Public Service: Serving Rather than Steering, dalam Jurnal Public Administration Review edisi November/Desember 2000, Vol. 60, No. 6. -------------------------------------2004. The New Public Service: Serving, Not Steering. New York: M.E. Sharpe. Marlina. 2008. Salah Persepsi tentang Kesehatan Reproduksi, dalam Koran Tempo edisi 11 Agustus 2008. Muluk, Khairul. 2008. New Public Service dan Pemerintahan Lokal Partisipatif National Geographic Indonesia edisi spesial Bumi Kita Kini 2010, tahun 2009, Jakarta: Gramedia. National Geographic Indonesia edisi spesial Laporan Khusus tentang Tren Global, tahun 2007. Jakarta: Gramedia. Norton, A. 1994. International Handbook of Local and Regional Government: a Comparative Analysis of Advanced Democracies, dalam Khairul Muluk, 2008, New Public Service dan Pemerintahan Lokal Partisipatif Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014. Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah

20

Pranandji, Tri. 2004. Penduduk dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah, dalam Jurnal Analisis CSIS Vol. 33 No.4, Desember 2004. Soedjatmoko. 2010. Hubungan Kebudayaan Internasional untuk Hari Depan, dalam Andre Hero Triman (ed) Asia Di Mata Soedjatmoko. Jakarta: Kompas. Susilo, Zoemrotin K. 1996. Hak-hak Konsumen KB, dalam Agus Dwiyanto dan Muhadjir Darwin (Ed), 1996, Seksualitas, Kesehatan Reproduksi, dan Ketimpangan Gender, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Susilo, Zoemrotin K. 2000. Hak Konsumen KB, dalam Dadang Juliantoro (Ed), 2000, 30 Tahun Cukup: Keluarga Berencana dan Hak Konsumen, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Tjiptoherijanto, Prijono. Kebijakan Kependudukan dan Pembangunan Berkelanjutan, dalam Jurnal Analisis CSIS Vol. 33 No.4, Desember 2004. Todaro, Michael dan Stephen Smith. 2006. Economic Development (9 edition). United Kingdom: Pearson Education Limited. Undang-Undang RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-Undang RI Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. United Nation Development Programme. 2010. Human Development Report 2009 (Overcoming Barriers: Human Mobility and Development). New York: Palgrave Mcmillan. Wilopo, Siswanto A. 2010. Kependudukan dan Pembangunan Berkelanjutan ------------------------. 2010. Revitalisasi Program KB Nasional di Era Desentralisasi

21

Anda mungkin juga menyukai