Anda di halaman 1dari 12

pembangunan di bidang kesehatan merupakan salah satu bagian yang penting dari

pembangunan nasional. Tujuan utama dari pembangunan di bidang kesehatan adalah untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, dengan memberikan pelayanan kesehatan
yang lebih luas, merata dan dapat terjangkau, baik oleh masyarakat perkotaan maupun
masyarakat pedesaan. Derajat kesehatan yang tinggi, diharapkan akan meningkatkan
kualitas sumber daya manusia itu sendiri.
Dalam mewujudkan tujuan pelayanan kesehatan tersebut, rumah sakit merupakan salah
satu sarana yang dapat menunjang pembangunan kesehatan. Rumah sakit memiliki peran
yang sangat strategis dalam upaya mempercepat peningkatan derajat kesehatan
masyarakat. Adapun pelayanan jasa kesehatan yang disediakan rumah sakit antara lain
dalam bentuk pemeriksaan, perawatan, pengobatan, tindakan medis maupun tindakan
diagnostik lainnya yang dibutuhkan oleh pasien.
dalam format manajemen lama (sebetulnya lebih tepat disebut administrasi saja), bukan
hanya lembaga layanan Kesehatan seperti rumah sakit saja yang dinilai gagal oleh
masyarakat, tapi hampir semua organisasi publik lainnya juga menunjukkan kinerja yang
cenderung buruk. Gelombang reformasi kemudian menggiring hampir semua aspek
pelayanan masyarakat kepada otonomi dan desentralisasi.
Reformasi keuangan rumah sakit, layaknya reformasi keuangan daerah berhubungan
dengan banyak dimensi seperti berikut ini (Mardiasmo, 2004):
a. Reformasi sistem pembiayaan (financing re form)
b. Reformasi sistem penganggaran (budgeting re form)
c. Reformasi sistem akuntansi (accounting re form)
d. Reformasi sistem pemeriksaan (audit reform)
e. Reformasi sistem manajemen keuangan (financial management reform)
Reformasi berbagai aspek ini kemudian juga diikuti oleh beberapa fenomena lain seperti
good governance, performance budget, dan pembentukan badan layanan umum (BLU)
sebagai konsekuensi logis pengimplementasian dari reformasi tersebut.

B. GOOD GOVERNANCE
Good govenrnance secara sederhana dapat kita artikan sebagai tata kelola yang
baik. Tata kelola, dalam hal ini adalah suatu penyelenggaraan manajemen yang solid dan
bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien,
penghindaran salah satu alokasi dan investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik
maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political
framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha. Artinya pemerintah mutlak harus memiliki
kemampuan mengelola sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan pembangunan
masyarakat.
seperti dikatakan Max Weber, bapak sosiologi modern bahwa pemerintah memiliki peranan
sangat penting dalam manajemen modern, unit pemerintahan harus profesional, akuntabel
dan transparan. Ditinjau dari mechanic view pemerintah sebagai regulator dan sebagai
administrator, sedangkan dari organic view pemerintah berfungsi sebagai public service
agency dan sebagai investor. Peran sebagai regulator dan administrator erat sekali
kaitannya dengan birokrasi sedangkan sebagai agen pelayanan masyarakat dan sebagai
investor harus dinamis dan dapat ditransformasikan menjadi unit yang otonom. Pola
transformasi fungsi tersebut dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu rightsizing (cut the
goverment), corporatization dan privatization.
Good governance adalah buah dari New Public Management yang juga diterapkan dalam
berbagai organisasi bisnis maupun nonbisnis. United Development Program (UNDP)
mendefinisikan governance sebagai “the exercise of political, economic, and administrative
authority to manage a nation’s affair al all levels’”. Artinya UNDP lebih menekankan pada
aspek politik, political governance yang mengacu pada proses pembuatan kebijakan
(policy/strategy formulation). Sementara economic governance mengacu pada proses
pembuatan keputusan di bidang ekonomi yang berimplikasi pada masalah pemerataan,
penurunan kemiskinan, dan peningkatan kualitas hidup. Sedangkan administrative
governance mengacu pada sistem implementasi kebijakan. Dengan demikian berarti
pemimpin suatu instansi otonom tidak hanya sekedar menjalankan fungsi administratif
semata.
Good governance jelas akan merubah paradigma lama. Paling tidak terdapat sembilan
aspek yang memungkin bertolak belakang dengan paradigma pemerintah di zaman orde
baru, yaitu (1) participation, yaitu keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan
publik baik secara langsung maupun tidak langsung yang dibangun atas dasar kebebasan
berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. (2) Rule of law, yaitu
adanya kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu. (3) transparency,
yaitu kebebasan stake holder dalam memperoleh semua informasi yang berkaitan dengan
kepentingan publik. (4) Responsiveness, dapat diartikan bahwa lembaga-lembaga publik
harus cepat dan tanggap dalam melayani stakeholder. (5) Consensus orientation, yaitu
kebijakan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas. (6) Equity, setiap
masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan
keadilan. (7) Efficiency and efeectiveness, yakni pengelolaan sumber daya publik dilakukan
secara berdaya guna dan berhasil guna. (8) Accountability, yaitu pertanggungjawaban
kepada publik atas setiap aktivitas serta dana publik yang dikelola oleh pemerintah daerah
dan yang terakhir (9) Strategic vision, yaitu penyelenggara pemerintah daerah harus
memiliki visi jauh kedepan sesuai dengan konsep pentahapan pembangunan yang baik.
Dalam kontek good governance, dimanakah peran pemerintah dalam sektor Kesehatan.
Kovner (1995) menyatakan bahwa peran pemerintah ada tiga, yaitu (1) regulator, (2)
pemberi dana, dan (3) pelaksana kegiatan.
Rumah sakit sebagai suatu organisasi pelayanan kesehatan, apabila ingin tetap mampu
menjalankan fungsinya secara optimal perlu melakukan perubahan dalam kerangka berfikir
sebuah organisasi, terutama perubahan dalam kerangka berfikir sebuah suasana organisasi
yang kondusif, memiliki cisi dan misi yang jelas sebagai pedoman dalam kegiatan ke masa
depan, menetapkan strategi konkrit, dan juga perubahan struktur yang mendukung tujuan
visi organisasi.
Sementara itu, clinical governance merupakan bagian dari suatu pendekatan untuk
menjamin terlaksananya pelayanan kesehatan yang bermutu pada semua lapisan
masyarakat, atau the best care for every patients every where. secara umum clinical
governance adalah kegiatan yang merupakan mekanisme ampuh, baru dan terpadu untuk
menjamin terlaksananya pelayanan klinik bermutu dengan standar yang tinggi dan kualitas
pelayanan tersebut akan terus-menerus diperbaiki.
Clinical governance juga merupakan suatu sistem untuk memperbaiki standar pelayanan
klinik sehari-hari. sementara itu, tujuan utama pendekatan Clinical Governance ini adalah
menjamin akses pelayanan yang memadai bagi seluruh populasi, memberikan pelayanan
terbaik untuk pasien dimanapun berada dan memperbaiki standar pelayanan, seklaigus
melindungi masyarakat dari risiko efek samping dengan adanya pelayanan dimaksud. Paling
tidak terdapat tiga aspek yang harus dapat dikendalikan dalam pendekatan clinical
governance, yaitu patient development, professional development dan organizational
development.
Untuk dapat melaksanakan semua komponen itu maka diperlukan pula tiga element utama,
satu diantaranya adalah terwujudnya Standar Kualitas Nasional (National Quality Standar)
yang digunakan sebagai pegangan, yang tentunya telah dibuat dengan mengikuti kaidah
evidence based medicine (kedokteran berbasis bukti).
tercapainya standar dalam penanganan penyakit ini juga sangat diperlukan dalam
perkembangan mutu pelayanan dunia kedokteran sekrang ini, untuk mampu menjamin
pelayanan bermutu kepada pasien dengan dasar ilmiah yang kuat. Standar nasional ini juga
harus di up-date dari waktu ke waktu, karena ilmu pengetahuan memang terus berkembang,
dan kita harus terus mampu menguasai perekembangan ini.

C. DESENTRALISASI RUMAH SAKIT


Dalam artian luas, desentralisasi dapat didefinisikan sebagai pemindahan
kewenangan, kekuasaan, perencanaan pemerintahan, dan pengambilan Keputusan dari
Tingkat pemerintahan lebih tinggi ke tingkat yang lebih rendah (Mills, dkk, 1989).
Desentralisasi dalam arti umum juga dapat didefinisikan sebgai pemindahan kewenangan,
atau pembagian kekuasaan kekuasaan dalam perencanaan pemerintahan, manajemen dan
pengambilan Keputusan dari Tingkat nasional ke Tingkat daerah (Rondinelli, 1981).
Sementara itu Poeng P. Poerwanto dalam bukunya Reformation: The Renewal of Thinking
pattern menyatakan bahwa reformasi adalah suatu perubahan atau restrukturisasi terhadap
konsep, strategi atau kebijakan yang berkaitan dengan berbagai dimensi dari kehidupan
bangsa dan negara, yang mengacu kepada tata nilai, norma, budaya, falsafah dan
paradigma yang mempertimbangkan ancaman dan peluang maupun perkembangan zaman
yang harus dihadapi oleh bangsa.
Secara sederhana, desentralisasi Kesehatan dapat diartikan sebagai penyerahan urusan
Kesehatan ke pemerintahan daerah. Dalam hal ini dinas Kesehatan di dalam struktur
pemerintahan daerah menjadi Lembaga tertinggi yang mengurus sektor Kesehatan
daerahnya.
Dalam prakteknya, terdapat empat jenis desentralisasi yang umum dijumpai, yaitu
dekonsentrasi, develolusi, delegasi dan privatisasi (Rondinelli, 1983). Perbedaan antara
keempat jenis desentralisasi tersebut di atas pada prinsipnya berdasar atas status kekuatan
hukumnya (Mills, dkk, 1989).
Istilah dekonsentrasi dipakai untuk menggambarkan pemindahan beberapa kekuasaan
administratif ke kantor-kantor daerah dari pemerintah pusat. Dalam prakteknya, sebelum era
otonomi daerah, Indonesia sudah menerapkan dekonsentrasi, yaitu dengan adanya Kantor
Wilayah Departemen di Provinsi. Karena dekonsentrasi melibatkan pemindahan fungsi
administratif, bukan fungsi politis, maka dekonsentrasi merupakan bentuk desentralisasi
yang paling lemah. Dalam hal ini, Kantor Wilayah Departemen Kesehatan hanya merupakan
perpanjangan tangan pemerintah pusat, karena secara faktual tanggung jawab tetap berada
pada pemerintah pusat.
Devolusi merupakan kebijakan untuk membentuk atau memperkuat pemerintahan Tingkat
pemerintahan daerah yang benar-benar independen dari Tingkat pusat dalam beberapa
fungsi secara jelas. Otoritas daerah memiliki status hukum yang jelas, sejumlah fungsi yang
harus dikerjakan, dan kewenangan untuk mencari sumber pembiayaan serta
pembelanjaannya.
Pemerintah Indonesia, telah mempraktekan devolusi, yaitu dengan adanya Kantor Dinas di
Kabupaten/ Kota. Walaupun pihak dinas Kabupaten/ Kota diberi kewenangan untuk mencari
sumber dana sendiri, namun dalam prakteknya bagian terbesar pembiayaan masih berasar
dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat, secara kuat, masih memegang kewenangan
dalam hal penentuan kebijakan di daerah.
Sedangkan “delegasi” berkaitan dengan pemindahan tanggung jawab manajerial untuk
tugas tertentu ke organisasi tertentu di luar struktur pemerintah pusat, tetapi
pelaksanaannya, secara tidak langsung, masih dikontrol pemerintah pusat. Pemerintah
pusat memandang pendelegasian tanggung jawab sebgai suatu cara untuk menghindari
ketidakefisienan operasional, penghematan biaya pengawasan, dan untuk Menyusun suatu
organisasi yang lebih responsif dan fleksibel. Tanggung jawab terakhir masih ditangan
pemerintah pusat, tetapi pelaksananya mempunyai kewenangan luas untuk melaksanakan
tugas-tugas kewenangan dan kewajiban yang sudah ditentukan. Pengadaan dokter pegawai
tidak tetap (dokter PTT) adalah contoh delegasi di Indonesia. Pengadaan dokter PTT
merupakan kebijakan pemerintah pusat (termasuk penggajian), sedangkan pengelolaannya
(penugasan) merupakan kewenangan pemerintah daerah melalui dinas Kesehatan.
Privatisasi merupakan pemindahan tugas pengelolaan ke organisasi-organisasi sukarela
atau Perusahaan swasta, baik yang mencari untung Maupun tidak. Dalam bidang
Kesehatan, beberapa jenis pelayanan tealh diserahkan kepada Perusahaan swasta, seperti
pengelolaan rumah sakit dan industry farmasi. Namun penting untuk diketahui bahwa
dengan adanya privatisasi tidak berarti pemerintah terlepas dari system pengelolaan
pelayanan Kesehatan secara keseluruhan. Sebuah badan pengatur (misalnya badan
pengawasan obat dan makanan) dibutuhkan untuk mengawasi penyediaan dan mutu obat
dan makanan.
Desentralisasi Kesehatan di Indonesia secara yuridis formal dilaksanakan setelah
dikeluarkannya UU no. 22 Tahun 1999, disusul oleh PP No. 25 tahun 2000, sebagai payung
hukum, serta SE Menkes No. 1107/Menkes/E/VII/2000. UU No. 22 tahun 1999 pasal 1 ayat
h menyebutkan “otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan Masyarakat setempat (termasuk bidang Kesehatan), menurut
Prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi Masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang belaku”.
Sesungguhnya desentralisasi bidang Kesehatan di Indonesia menganut semua jenis
desentralisasi diatas (dekonsentrasi, devolusi, delegasi, privatisasi). Hal ini terlihat dari
masih adanya kewenangan pemerintah pusat yang didekonsentrasikan di daerah provinsi
melalui Dinas Kesehatan Provinsi. Selain itu, berdasarkan SE Menkes/E/VII/2000
disebutkan beberapa tugas yang mungkin tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah
kabupaten/ Kota dapat diserahkan ketingkat yang lebih tinggi.
Sebelum kebijakan desentralisasi diterapkan peran dinas Kesehatan kabupaten/ Kota
hanyalah sebatas sebagai pelaksana pusat. Kondisi tersebut berubah sesuai dengan
dinamika perkembangan lingkungan. Mulai diterapkannya kebijakan desentralisasi yang
mengakibatkan terjadinya perubahan besar dalam hal peran di Lembaga pemerintahan yaitu
menjadi peran pelaksana, pemberi biaya dan regulator.

D. ANGGARAN BERBASIS KINERJA


Salah satu agenda reformasi keuangan negara adalah adanya pergeseran dari
penganggaran tradisional menjadi penganggaran berbasis kinerja. Sebelum berlakunya
system anggaran berbasis kinerja, metode penganggaran yang digunakan adalah metode
tradisional atau item line budget. Cara penyususan anggaran ini tidak didasarkan pada
Analisa rangkaian kegiatan yang harus dihubungkan dengan tujuan yang telah ditentukan,
namun lebih dititikberatkan pada kebutuhan untuk belanja/ pengeluaran dan system
pertanggungjawaban tidak diperiksa dan diteliti apakah dana tersebut telah digunakan
secara efektif dan efisien atau tidak.
Tolok ukur keberhasilan hanya ditunjukkan dengan adanya keseimbangan anggaran antara
pendapatan dan belanja namun jika anggaran tersebut defisit atau surplus berarti
pelaksanaan anggaran tersebut gagal. Dalam perkembangannya, muncullah sistematika
anggaran berbasis kinerja yang diartikan sebagai suatu bentuk anggaran yang sumber-
sumbernya selalu dihubungkan dengan hasil dari pelayanan.
Anggaran berbasis kinerja mencerminkan beberapa hal. Pertama maksud dan tujuan
permintaan dana. Kedua, biaya dari program-program yang diusulkan dalam mencapai
tujuan ini. Dan yang ketiga, data kuantitatif yang dapat mengukur pencapaian serta
pekerjaan yang dilaksanakan untuk tiap-tiap program. Penganggaran dengan pendekatan
kinerja ini berfokus pada efisiensi penyelenggaraan suatu aktivitas. Efisiensi itu sendiri
adalah perbandingan antara output dengan input. Suatu aktivitas dikatakan efisien, apabila
output yang dihasilkan lebih besar dengan input yang sama, atau output yang dihasilkan
adalah sama dengan input yang lebih sedikit. Anggaran ini tidak hanya didasarkan pada apa
yang dibelanjakan saja, seperti yang terjadi pada sistem anggaran tradisional tetapi juga
didasarkan pada tujuan/rencana tertentu yang pelaksanaannya perlu disusun atau didukung
oleh suatu anggaran biaya yang cukup dan penggunaan biaya tersebut harus efisien dan
efektif. Berbeda dengan penganggaran yang menggunakan pendekatan tradisional,
penganggaran dengan pendekatan kinerja ini disusun dengan orientasi output. Jadi, apabila
kita menyusun anggaran dengan pendekatan kinerja, maka kerangka pikir kita harus fokus
pada apa yang ingin dicapai. Kalau fokus ke output, berarti pemikiran tentang tujuan
kegiatan harus sudah tercakup di setiap langkah ketika menyusun anggaran. Sistem ini
menitikberatkan pada segi pelaksanaan sehingga selain efisiensi penggunaan dana, juga
hasil pengalokasiannya diperiksa.
Jadi, tolok ukur keberhasilan sistem anggaran ini adalah performance atau prestasi dari
tujuan atau hasil anggaran dengan menggunakan dana secara efisien. Dengan membangun
suatu sistem penganggaran yang dapat memadukan perencanaan kinerja dengan anggaran
tahunan akan terlihat adanya keterkaitan antara dana yang tersedia dengan hasil yang
diharapkan.
Paradigma baru tentang pengelolaan keuangan negara sesuai dengan paket peraturan
perundang-undangan di bidang keuangan negara meliputi undang-undang nomor 17 tahun
2003 tentang keuangan negara, undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang
perbendaharaan negara, PP nomor 23 tahun 2005 tentang BLU dan PP nomor 24 tahun
2005 tentang standar akuntansi pemerintahan, setidaknya mengandung tiga kaidah
manajemen keuangan negara yaitu: orientasi pada hasil (mutu layanan), profesionalisme
serta akuntabilitas dan transparansi.
Program pembangunan kesehatan tidak lagi top-down tetapi benar-benar berasal dari
aspirasi masyarakat (daerah). Dengan desentralisasi, pemerintah daerah memiliki
kewenangan menyusun sistem kesehatannya sendiri menentukan anggaran pembangunan
kesehatan, memilih prioritas pembangunan, mendayagunakan sumber daya kesehatan,
menentukan tarif pelayanan kesehatan, dan membuat kebijakan sistem pembiayaan
kesehatan di daerahnya.
Mewiraswastakan pemerintah (enterprising The government) adalah paradigma yang
memberi arah yang tepat bagi keuangan sektor publik. Dalam kaitan ini undang-undang
nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, yang menekankan basis kinerja dalam
penganggaran, memberi landasan yang penting bagi orientasi baru tersebut di Indonesia.
Selanjutnya, undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara
membuka koridor baru bagi penerapan basis kinerja ini di lingkungan pemerintahan. Dengan
pasal 68 dan pasal 69 dari undang-undang tersebut, instansi pemerintah yang tugas pokok
dan fungsinya memberi pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan
keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas.
Peluang ini secara khusus disediakan kesempatannya bagi satuan-satuan kerja pemerintah
yang melaksanakan tugas operasional pelayanan publik (seperti layanan kesehatan,
pendidikan, pengelolaan kawasan, dan lisensi) untuk membedakannya dari fungsi
pemerintah sebagai regulator dan penentu kebijakan. instansi demikian, dengan sebutan
umum sebagai badan layanan umum (BLU), diharapkan menjadi contoh konkrit yang
menonjol dari penerapan manajemen keuangan berbasis pada hasil (kinerja).
Praktik ini telah berkembang luas di luar negeri berupa upaya pengagenan (agencification)
aktivitas yang tidak harus dilakukan oleh lembaga birokrasi murni tetapi diselenggarakan
oleh instansi yang dikelola ala bisnis (business like) sehingga pemberian layanan kepada
masyarakat menjadi lebih efisien dan efektif.

E. BADAN LAYANAN UMUM (BLU)

Sesuai dengan pasal 1 butir 23 Undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang


perbendaharaan negara disebutkan: badan layanan umum adalah instansi di lingkungan pemerintah
yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan
kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

Prinsip-prinsip pokok yang tertuang dalam undang-undang tersebut menjadi dasar penetapan
instansi pemerintah untuk menerapkan pengelolaan keuangan badan layanan umum (BLU). Proses
penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik dalam rangka
pemberian layanan yang bermutu dan berkesinambungan. Sehingga blu bersangkutan melakukan
pembaharuan manajemen keuangan demi meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat
apabila dikelompokkan menurut jenisnya badan layanan umum terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:

1. BLU yang kegiatannya menyediakan barang atau jasa meliputi rumah sakit, lembaga
pendidikan, pelayanan lisensi, penyiaran, dan lain-lain
2. BLU yang kegiatannya mengelola wilayah atau kawasan meliputi otoritas pengembangan
wilayah dan kawasan ekonomi terpadu (Kapet)
3. BLU yang kegiatannya mengelola dana khusus meliputi pengelola dana bergulir, dana UKM,
penerusan pinjaman dan tabungan pegawai.

a. Aspek Pelaporan Keuangan


Nilai lebih dari rumah sakit pemerintah menjadi badan layanan umum ditinjau dari isi
pelaporan keuangan adalah rumah sakit harus mengikuti ketentuan untuk pelaporan
keuangan organisasi nirlaba dan menyanggupi untuk laporan keuangan tersebut di audit oleh
auditor independence. Organisasi BLU cenderung sebagai organisasi nirlaba ke pemerintahan
sesuai dengan PP nomor 23 tahun 2005 pasal 26 menyebutkan bahwa akuntansi dan laporan
keuangan diselenggarakan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang diterbitkan
oleh Asosiasi Profesi Akuntansi. Ketentuan ini mengakibatkan ketidakkonsistenan yaitu
bahwa organisasi BLU yang cenderung sebagai organisasi kepemerintahan tetapi pelaporan
akuntansi menggunakan PSAK (standar akuntansi keuangan) dari Ikatan Akuntan Indonesia
(IAI), bukan menggunakan PSAP (Standar Akuntansi Pemerintahan).
Organisasi pemerintahan sebagai organisasi yang nirlaba semestinya menggunakan SAP
bukan SAK. Oleh karena itu jika rumah sakit pemerintah sebagai badan layanan umum
semestinya juga menggunakan SAP bukan SAK, namun dalam PP disebutkan badan layanan
umum sebagai institusi yang nirlaba menggunakan SAK. Dalam hal ini SAK yang tepat adalah
PSAK nomor 45 yaitu standar akuntansi keuangan untuk organisasi nirlaba. Perbedaan antara
keduanya dapat dilihat pada tabel 1.1 di bawah ini:
Tabel Perbedaan PSAK 45 dan SAP.

PSAK 45 SAP
Badan penerbit IAI Badan penerbit KSAP
Laporan keuangan: Laporan Keuangan:
 Laporan aktivitas  Laporan realisasi anggaran
 Laporan posisi keuangan  Neraca
 Laporan arus kas  Laporan arus kas
 Catatan atas laporan keuangan  Catatan atas laporan keuangan
Organisasi bisnis (organisasi non Organisasi kepemerintahan
kepemerintahan)
Pengguna: Pengguna:
 Masyarakat  Masyarakat
 Lembaga donor  Wakil rakyat/pengawas/pemeriksa
 Pemerintah  Pemerintah

Laporan keuangan rumah sakit merupakan laporan yang disusun oleh manajemen sebagai
media penyampaian laporan keuangan suatu entitas. Laporan keuangan rumah sakit
merupakan penyampaian informasi kepada stakeholder terhadap entitas tersebut. Laporan
keuangan rumah sakit sebagai BLU yang disusun harus menyediakan informasi untuk:
i. Mengukur jasa atau manfaat entitas nirlaba
ii. Pertanggungjawaban manajemen entitas rumah sakit, (disajikan dalam
bentuk laporan aktivitas dan laporan arus kas).
iii. Mengetahui kontinuitas pemberian jasa, (disajikan dalam bentuk laporan
posisi keuangan).
iv. Mengetahui perubahan aktiva bersih, (disajikan dalam bentuk laporan
aktivitas).
Dengan demikian, secara implisit diketahui bahwa laporan keuangan rumah sakit pemerintah
akan mencakup:
i. Laporan posisi keuangan (aktiva, utang dan aktiva bersih, tidak disebut neraca).
Klasifikasi aktiva dan kewajiban sesuai dengan perusahaan pada umumnya.
Sedangkan aktiva bersih diklasifikasikan aktiva bersih tidak terikat terikat
kontemporer dan terikat permanen. Yang dimaksud pembatasan permanen adalah
pembatasan penggunaan sumber daya yang ditetapkan oleh penyumbang atau
donatur. Sedangkan pembatasan temporer adalah pembatasan penggunaan sumber
daya oleh penyumbang yang menetapkan agar sumber daya tersebut dipertahankan
sampai pada periode tertentu atau sampai dengan terpenuhinya keadaan tertentu.
ii. Laporan aktivitas, (yaitu penghasilan, beban dan kerugian dan perubahan dalam
aktiva bersih).
iii. Laporan arus kas yang mencakup arus kas dari aktivitas operasi aktivitas investasi
dan aktivitas pendanaan.
iv. Catatan atas laporan keuangan, antara lain sifat dan jumlah pembatasan permanen
atau temporer, dan perubahan klasifikasi aktiva bersih

b. Aspek Teknis Keuangan


Adanya isu desentralisasi dan perundangan yang berlaku yaitu UU nomor 22 dan UU nomor
25 tahun 1999 (UU nomor 33 dan 36 tahun 2004) tentang perimbangan keuangan pusat dan
daerah, serta kepmendagri nomor 29 tahun 2002 tentang pedoman umum penyusunan
APBD UU nomor 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah, UU nomor 25 tahun 2004 tentang
perencanaan pembangunan nasional, PP nomor 23 tahun 2005 tentang badan layanan
umum PP nomor 24 tahun 2005 tentang standar akuntansi pemerintah, membuat rumah
sakit harus melakukan banyak penyesuaian khususnya dalam hal pengelolaan teknis
keuangan maupun pelanggarannya. Dalam pengelolaannya rumah sakit pemerintah memiliki
peraturan pendukung yang terkait dengan pengelolaan keuangan yang fleksibel. Berdasarkan
PP nomor 23 tahun 2005 tersebut rumah sakit pemerintah yang telah mengalami perubahan
sebagai badan layanan umum berimbas pada pertanggungjawaban keuangannya bukan lagi
kepada departemen kesehatan tetapi kepada departemen keuangan.
Sebagaimana telah diuraikan di atas dari aspek pelaporan keuangan yang harus mengikuti
standar akuntansi keuangan, maka dalam pengelolaan anggaran pun rumah sakit pemerintah
juga harus mengacu pada anggaran berbasis kinerja (sesuai dengan kepmendagri nomor 29
tahun 2002).
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, aspek teknis keuangan perlu didukung adanya
hubungan yang baik dan berkelanjutan antara rumah sakit dengan pemerintah dan dengan
para stakeholder, khususnya dalam penentuan biaya pelayanan kesehatan yang mencakup
unit cost, efisiensi dan kualitas pelayanan.
Audit atau pemeriksaan bukan saja dari pihak independen terhadap pelaporan keuangan
tetapi juga perlu di audit klinik. Dengan berubahnya kelembagaan sebagai BLU tentu saja
aspek teknis sangat berhubungan erat dengan basis kinerja. Sesuai dengan syarat-syarat BLU
bahwa yang dimaksud dengan persyaratan substantif persyaratan teknis dan persyaratan
administratif adalah berkaitan dengan standar layanan, penentuan tarif layanan, pengelolaan
keuangan tata kelola semuanya harus berbasis kinerja.
Hal-hal yang harus dipersiapkan bagi rumah sakit untuk menjadi BLU dalam aspek teknis
keuangan adalah:
i. Penentuan tarif harus berdasarkan unit cost dan mutu layanan. Dengan demikian
rumah sakit pemerintah harus mampu melakukan penelusuran (cost tracing)
terhadap penentuan segala macam tarif yang ditetapkan dalam layanan. selama ini,
hasil jasa sarana jasa pelayanan aspek pasar, ability to pay, pendapatan asli daerah
(PAD), usulan tarif pemilik/pemda/DPR. Aspek penentuan tarif masih berbasis
anggaran ataupun subsidi pemerintah sehingga masih terdapat suatu cost culture
yang tidak mendukung untuk peningkatan kinerja atau mutu layanan. Tarif tersebut
diharapkan dapat menutupi semua biaya, di luar subsidi yang diharapkan. Usulan
tarif jangan berbasis pada prosentase tertentu namun berdasarkan pada kajian yang
dapat dipertanggungjawabkan. Secara umum tahapan penentuan tarif harus melalui
mekanisme usulan dari setiap divisi dalam rumah sakit dan aspek pasar dan
dilanjutkan kepada pemilik.
ii. Penyusunan anggaran harus berbasis akuntansi biaya bukan hanya berbasis subsidi
dari pemerintah. Dengan demikian penyusunan anggaran harus didasari dari
indikator input indikator proses dan indikator output.
iii. Menyusun laporan keuangan sesuai dengan PSAK 45 yang disusun oleh organisasi
profesi akuntan dan siap di audit oleh kantor akuntan independen bukan di audit dari
inspektorat (pemerintah).
Sistem remunerasi yang berbasis indikator dan berbasis evidence based. Dalam penyusunan
sistem remunerasi rumah sakit perlu memiliki dasar pemikiran bahwa tingkat pemberian
remunerasi didasari pada tingkatan, yaitu tingkatan satu adalah basic salary yang merupakan
alat jaminan safety bagi karyawan. Basic salary tidak dipengaruhi oleh pendapatan rumah
sakit. Tingkat 2 adalah insentif yaitu sebagai alat pemberian motivasi bagi karyawan.
Pemberian insentif ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan rumah sakit. Tingkatan ketiga
adalah bonus sebagai alat pemberian reward kepada karyawan. Pemberian bonus ini sangat
dipengaruhi oleh tingkat keuntungan rumah sakit. Implementasi aspek teknis keuangan bagi
rumah sakit ini akan menjadi nilai plus dalam upayanya untuk peningkatan kualitas jasa
layanan dan praktik tata kelola yang transparan. Perhitungan dan penelusuran terhadap unit
cost memerlukan persyaratan sebagai berikut:
i. Menuntut adanya dukungan dari para stakeholder,
ii. Memiliki keinginan yang kuat dari rumah sakit untuk berbenah tanpa meninggalkan
misi layanan sosial tetapi harus tetap mengunggulkan rumah sakit sebagai alat
bargaining position,
iii. Kesanggupan untuk mewujudkan desakan akuntabilitas dari publik kepada rumah
sakit, khususnya mengenai pola penentuan tarif,
iv. Dukungan dari seluruh tim ahli baik ahli medis, komite medis, sistem informasi
rumah sakit, keuangan, akuntansi dan costing.

Dengan demikian implementasi perubahan kelembagaan menjadi badan layanan umum


dalam aspek teknis keuangan diharapkan rumah sakit akan memberi kepastian mutu dan
kepastian biaya menuju pada pelayanan kesehatan yang lebih baik.

c. Aspek Perpajakan
Rumah sakit yang dimiliki oleh pemerintah (RSU ataupun RSUD) di danai dari APBN dan
APBD maka rumah sakit tidak memiliki kewajiban PPh terhadap diri sendiri. Dengan kata lain,
rumah sakit pemerintah tidak perlu melaporkan PPh 25 maupun PPh 29 (SPT tahunan)
karena bukan subjek pajak. Namun untuk 12 kategori sebagai unit pemerintah dan bukan
subjek pajak, dalam undang-undang pajak penghasilan terdapat empat kriteria yang harus
dipenuhi rumah sakit yaitu:
a. Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
b. Dibiayai dengan dana yang bersumber APBN dan APBD,
c. Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran,
d. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawas fungsional negara

Dengan demikian karena RSU/RSUD mendapatkan pembiayaan dari luar APBN / APBD atau
tidak seluruh penerimaan dan pembiayaan tercatat dalam APBN/APBD maka kewajiban
menghitung pajak sendiri (PPh 25/29) disamakan dengan badan swasta lain.
Berkaitan dengan PP nomor 23 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan BLU, apabila RSU
atau RSUD (rumah sakit pemerintah) sudah mendapatkan penetapan sebagai BLU, karena
seluruh penerimaan dan pembelanjaan masuk APBN/APD, maka rumah sakit pemerintah
tersebut bukan merupakan subjek pajak sehingga tidak memiliki kewajiban membayar PPh
badan (pasal 25 dan PPh 29). Namun demikian rumah sakit pemerintah memiliki kewajiban
sebagai pemungut pajak PPh pasal 21, 23, 26 dan pasal 4 ayat 2 berkaitan dengan aktivitas
pembayaran gaji, honor, jasa sewa dan lain-lain kepada karyawan dari pihak ketiga.
Ketentuan khusus bagi organisasi sejenis yayasan yang bergerak di bidang rumah sakit
berdasarkan SE-34/PJ.4/1995 adalah:
1. Objek pajak, yang menjadi objek pajak adalah semua penghasilan yang diterima atau
diperoleh sesuai dengan ketentuan dalam UU nomor 17 tahun 2000, antara lain:
a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari usaha pekerjaan kegiatan atau
jasa
b. Bunga deposito, bunga obligasi, diskonto sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan
bunga lainnya,
c. Sewa dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta
d. Keuntungan pengalihan harta
e. Pembagian keuntungan dari kerjasama usaha
2. Jenis-jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan usaha/kegiatan
yang dilakukan yayasan atau organisasi sejenis yang bergerak di bidang pelayanan rumah
sakit meliputi:
a. Uang pendaftaran untuk pelayanan kesehatan
b. Sewa kamar/ruangan di rumah sakit poliklinik, pusat pelayanan kesehatan,
c. Penghasilan dari perawatan kesehatan seperti uang pemeriksaan dokter operasi,
rontgen, scanning, pemeriksaan laboratorium, MRI (magnetic resonance imaging)
d. Uang pemeriksaan kesehatan termasuk general check up
e. Penghasilan dari penyewaan alat kesehatan,
f. Penghasilan dari penjualan obat
g. Penghasilan lainnya sehubungan dengan pelayanan kesehatan.

Berkaitan dengan transaksi yang berhubungan dengan PPh 21 di rumah sakit terdapat
ketentuan khusus bagi rumah sakit, yaitu:
1. Tenaga dokter berdasarkan status hubungan kerja digolongkan menjadi:
a. Dokter yang menjabat sebagai pimpinan rumah sakit
b. Dokter sebagai pegawai tetap atau honorer rumah sakit
c. Dokter tetap yaitu dokter yang mempunyai jadwal praktek tetap tetapi bukan
sebagai pegawai tetap rumah sakit
d. Dokter tamu yaitu dokter yang merawat atau menitipkan pasiennya untuk dirawat di
rumah sakit
e. Dokter yang menyewa ruangan di rumah sakit untuk praktek
Sedangkan untuk penghasilan dokter dapat dibedakan menjadi:
a. Penghasilan yang bersumber dari keuangan rumah sakit atau dari imbalan lain yang
diterima oleh para dokter
b. Penghasilan yang berasal dari pasien yang diterima oleh para dokter

d. Pengurangan Penghasilan
Dalam ketentuan perhitungan pajak penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan
kena pajak adalah:
a. Biaya-biaya yang berhubungan langsung dengan usaha pekerjaan kegiatan atau pemberian
jasa untuk mendapatkan, menagih, dan pemeliharaan penghasilan atau biaya yang
berhubungan langsung dengan operasional penyelenggaraan rumah sakit.
b. Penyusutan atau amortisasi atau pengeluaran untuk memperoleh harta yang mempunyai
manfaat lebih dari satu tahun,
(c) subsidi yang diberikan kepada pasien yang tidak mampu ataupun biaya pelayanan
kesehatan yang kurang mampu yang dipikul oleh yayasan atau organisasi sejenis yang tidak
bergerak di bidang pelayanan kesehatan.

perlakuan pembukuan atas subsidi atau pembebanan biaya bagi pasien yang tidak mampu
adalah (a). Sejumlah bagian yang benar-benar dibayar oleh pasien merupakan penghasilan
dan biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan kotor adalah biaya-biaya yang
dikeluarkan sehubungan dengan tagihan kepada pasien, (b). Sejumlah yang seharusnya
diterima atau diperoleh rumah sakit merupakan penghasilan dan sejumlah subsidi (selisih
antara yang seharusnya diterima rumah sakit dengan yang benar-benar dibayar oleh pasien)
merupakan tambahan biaya.
Apabila yayasan atau organisasi yang sejenis memberikan subsidi sebagian atau seluruh
biaya pelayanan kesehatan kepada pasien yang kurang mampu yang dirawat di rumah sakit
di bawah yayasan lain maka pengeluaran subsidi dimaksud dapat ditambahkan sebagai biaya
oleh yayasan atau rumah sakit yang memberikan subsidi tersebut.

F. URGENSI MANAJEMEN KEUANGAN


Apa yang menarik dari penjelasan perubahan paradigma di atas? Reformasi/desentralisasi
rumah sakit, good governance, anggaran berbasis kinerja, dan yang terakhir badan layanan
umum, semuanya menunjukkan tentang perubahan tata cara pengelolaan organisasi publik
dan semuanya akan bermuara pada perubahan paradigma pengelolaan keuangan.
Pengelolaan keuangan sebuah rumah sakit selalu berkembang sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran. perubahan itu pun akan
menyebabkan perubahan struktur pendanaan, biaya, dan ukuran kinerja.
Rumah sakit yang bersifat padat karya pada umumnya membutuhkan biaya operasional yang
besar antara lain untuk obat dan bahan-bahan. Tapi di pihak lain, rumah sakit tidak
mempunyai keleluasaan untuk meningkatkan pendapatan, kalaupun dapat meningkatkan
pendapatan maka hasil tersebut tak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh rumah sakit.
Manajemen rumah sakit sebagai suatu lembaga yang nirlaba/nonprofit harus dikembangkan
dengan perencanaan yang sebaik-baiknya untuk menyediakan pelayanan yang bermutu,
tetapi dengan biaya yang seoptimal mungkin dan didapatkan sisa hasil usaha (SHU).
Penyusunan rencana keuangan dimulai dengan menetapkan Renstra yang menjelaskan visi
misi dan tujuan dari unit kerja serta pendefinisian program yang hendak dilaksanakan
beserta kegiatan-kegiatan yang mendukung program tersebut. Selanjutnya ditetapkan
rencana kinerja tahunan yang mencakup tujuan/sasaran, program kegiatan, indikator dan
target yang ingin dicapai dalam waktu 1 tahun. Penetapan target kinerja pada program
terlihat dari indikator outcome sedangkan penetapan target kinerja kegiatan terlihat dari
indikator outputnya. Kegiatan-kegiatan tersebut mencakup kegiatan tugas pokok dan fungsi
(pelayanan, pemeliharaan, administrasi umum) dan kegiatan dalam rangka belanja investasi.
Perhitungan besarnya alokasi anggaran pada setiap kegiatan dimulai dengan menganalisis
beban kerja pada setiap kegiatan. Analisis beban kerja dan perhitungan biaya per unit
menggunakan indikator efisiensi dan input sebagai dasar dari perhitungan standar biaya.
Perencanaan seperti ini adalah alat untuk meningkatkan kinerja pelayanan melalui
penerapan manajemen keuangan berbasis pada hasil, dan bukanlah semata-mata sarana
untuk mengejar fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan. Sehingga untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat/publik dengan tarif/harga layanan yang terjangkau masyarakat
dengan kualitas layanan yang baik, cepat, efisien, dan efektif dapat diterapkan.
Sehubungan dengan karakteristik yang spesifik tersebut. Rumah sakit yang menjadi badan
layanan umum (BLU) dihadapkan pada peraturan yang spesifik pula, berbeda dengan entitas
yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan seperti BUMN atau BUMD. Perbedaan
tersebut terletak pada hal-hal sebagai berikut:
a. Kekayaan BLU merupakan bagian dari kekayaan negara/daerah yang tidak
dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan
kegiatan BLU yang bersangkutan.
b. Pembinaan keuangan BLU instansi pemerintah daerah dilakukan oleh pejabat
pengelola keuangan daerah dan pembinaan teknis dilakukan oleh kepala satuan
kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang
bersangkutan.
c. Setiap BLU wajib menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan rencana kerja dan
anggaran RKA serta laporan keuangan dan laporan kinerja BLU disusun dan disajikan
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari RKA serta laporan keuangan dan laporan
kinerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah.
d. Pendapatan yang diperoleh BLU sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan
merupakan pendapatan negara/ daerah, tapi pendapatan tersebut dapat digunakan
langsung untuk membiayai kebutuhan
e. BLU dapat menerima hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan lain.

Beberapa bentuk keistimewaan atau privilege atau pengecualian dalam hal fleksibilitas
pengelolaan keuangan BLU penuh tersebut antara lain:
a. Pendapatan operasional dapat digunakan langsung sesuai rencana bisnis dan
anggaran tanpa terlebih dahulu disodorkan ke rekening kas negara. Namun
demikian, seluruh pendapatan tersebut merupakan PNBP sehingga wajib
dilaporkan dalam laporan realisasi anggaran. (Contoh penggunaan PNBP dapat
dilihat di lampiran peraturan direktur jenderal tentang petunjuk pelaksanaan
pengelolaan PNBP oleh instansi yang menerapkan PK BLU).
b. Anggaran belanja BLU merupakan anggaran fleksibel berdasarkan kesetaraan
antara volume kegiatan pelayanan dengan jumlah pengeluaran atau dengan kata
lain, belanja dapat bertambah atau berkurang dari yang dianggarkan sepanjang
pendapatan terkait bertambah atau berkurang setidaknya proporsional.
c. Dalam rangka pengelolaan kas BLU menyelenggarakan hal-hal sebagai berikut:
merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas; melakukan pemungutan
pendapatan atau tagihan; menyimpan kas dan mengelola rekening bank;
melakukan pembayaran; mendapatkan sumber dana untuk menutup defisit
jangka pendek; memanfaatkan kas yang menganggur (idle cash) jangka pendek
untuk memperoleh pendapatan tambahan.
d. BLU dapat mengelola piutang, sepanjang dikelola dan diselesaikan secara tertib
efisien ekonomis transparan, dan bertanggung jawab serta memberikan nilai
tambah, sesuai praktik bisnis yang sehat dan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
f. BLU dapat mengelola utang sepanjang dikelola dan diselesaikan secara tertib
efisien ekonomis, transparan dan bertanggung jawab serta memberikan nilai
tambah sesuai praktik bisnis yang sehat. Pembayaran kembali utang BLU
merupakan tanggung jawab BLU.
g. BLU dapat melakukan investasi jangka pendek maupun jangka panjang. khusus
investasi jangka panjang, harus mendapat persetujuan menteri
keuangan/gubernur/bupati/walikota.
h. Pengadaan barang/jasa BLU yang sumber dananya berasal dari pendapatan
operasional hibah tidak terikat, hasil kerjasama pendapatan operasional, hibah
tidak terikat, hasil kerjasama dengan pihak lainnya dapat dilaksanakan
berdasarkan ketentuan pengadaan barang/jasa yang ditetapkan pimpinan BLU
dengan mengikuti prinsip-prinsip transparansi, adil/tidak diskriminatif, akuntabel
dan praktik bisnis yang sehat. Dengan kata lain, dapat tidak mengikuti ketentuan
Keppres nomor 80 tahun 2003 beserta seluruh perubahannya.
a. BLU dapat mengembangkan kebijakan, sistem dan prosedur pengelolaan
keuangan.
b. Dalam mengembangkan sistem akuntansinya, BLU mengacu pada standar
akuntansi keuangan yang berlaku sesuai jenis layanannya atau mengembangkan
kebijakan akuntansi, jika belum ada SAK yang sesuai jenis industrinya dapat
ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota sesuai
kewenangannya.
i. BLU dapat mempekerjakan tenaga profesional non PNS.
j. Pejabat pengelola, dewan pengawas dan pegawai BLU dapat diberikan
remunerasi berdasarkan tingkat tanggung jawab dan tuntutan profesionalisme
yang diperlukan, setelah ditetapkan berdasarkan peraturan menteri
keuangan/gubernur/bupati/walikota atas usulan menteri/pimpinan
lembaga/kepala satuan kerja pemerintah daerah sesuai kewenangannya.
Dengan adanya beberapa perubahan paradigma seperti dijabarkan di muka maka sekarang
menjadi terang lah betapa pentingnya penerapan konsep-konsep manajemen keuangan di
sebuah rumah sakit yang selama ini dianggap sederhana dan tidak urgen.

Anda mungkin juga menyukai