Anda di halaman 1dari 23

TUGAS KEPEMIMPINAN DAN BERPIKIR

SISTEM KESEHATAN MASYARAKAT

DISUSUN OLEH:

ANGELINE NATASHA PRADEVY

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2022

1. Apa peranan leadership terhadap UHC?


2. Gaya leadership apa yang sesuai dengan ketercapaian UHC?
3. Apa peran pemimpin muda dalam ketercapaian UHC?

Jawab :

1. Peranan Leadership Terhadap UHC :

Indonesia berulang kali menempati peringkat di antara negara-negara yang


tertinggal dalam pencapaian MDGs. Pencapaian MDGs belum melibatkan peran serta
masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat. Masalah dengan pemberdayaan
masyarakat adalah rendahnya kapasitas untuk mengidentifikasi dan mengatasi masalah
kesehatan. Dengan pemikiran ini, Hawe (Yoo et al., 200) mengemukakan bahwa
pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk
mengidentifikasi dan mengatasi masalah kesehatan yang mereka hadapi dalam rangka
meningkatkan kesehatan masyarakat dalam sandangnya. Sementara itu, Rehn (2006)
membangun model pemberdayaan masyarakat yang meliputi partisipasi masyarakat,
kepemimpinan, keterampilan, sumber daya, nilai, sejarah, jaringan, dan pengetahuan
terjaga.

Cakupan Kesehatan Universal atau UHC telah diidentifikasi oleh G20, WHO dan
Majelis Umum PBB sebagai prioritas pembangunan internasional. Karena secara eksplisit
termasuk dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), banyak upaya telah
dilakukan untuk mempromosikan UHC. Di sini kita fokus pada empat bidang di mana,
pada lintasan saat ini, kemajuan yang cukup tidak mungkin dicapai untuk mencapai
tujuan. Ini juga merupakan area di mana G20 dapat membuat dampak yang signifikan:
prinsip “tidak meninggalkan siapa pun”, khususnya di bidang kesehatan migran dan
dukungan nyata untuk perawatan primer. Konsisten dengan ini, Hughes (1999: 118120)
mengemukakan bahwa untuk membedakan keberhasilan atau kegagalan seorang
pemimpin, seseorang tidak melihat perilaku atau atribut yang dimilikinya, melainkan
apakah pengikutnya Melihat apakah dia produktif atau puas. Untuk menjadi pemimpin
yang efektif, seorang pemimpin harus mampu mempengaruhi orang lain dengan
kombinasi kekuatan yang berbeda agar mereka bekerja selaras dengan tujuan organisasi
(Kotter: 1992). Kemampuan mempengaruhi ini akan memberikan dampak yang sangat
signifikan bagi organisasi, karena menunjukkan bahwa pemimpin dapat berperan dalam
mengarahkan, mengarahkan, dan mengoordinasikan berbagai elemen organisasi untuk
meningkatkan kinerja organisasi. Kami memanggil para pemimpin G20 yang akan
bertemu di Osaka pada Juni 2019, untuk mengambil tindakan nyata atas masalah ini.
Sistem perawatan kesehatan primer yang kuat efektif dalam mengurangi
ketidakadilan akses dengan menyediakan layanan lokal dan memfasilitasi perawatan yang
berkesinambungan, komprehensif, dan terkoordinasi. Deklarasi Alma Ata 1978, yang
ditegaskan kembali di Astana pada 2018, mengakui pentingnya perawatan primer dalam
memajukan UHC. Namun demikian, kemajuan bisa sulit. Misalnya, tujuan kebijakan
China untuk memiliki dua hingga tiga dokter perawatan primer untuk setiap 10.000
penduduk pada tahun 2020 telah menghadapi tantangan dalam merekrut, melatih, dan
mempertahankan dokter yang memadai dan memadai. Penelitian Sulaeman (2013)
menyimpulkan bahwa faktor internal komunitas yang berperan dalam pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan adalah kepemimpinan dan modal sosial. Sedangkan faktor
eksternal komunitas yang berperan adalah akses informasi, peran petugas dan fasilitator.
Sementara itu, penelitian Ashwell (2009) menyimpulkan bahwa faktor kunci yang
memengaruhi kesehatan adalah desa dan kabupaten termotivasi dan individu terlatih
sebagai katalis untuk perubahan, kepemimpinan diberdayakan, petunjuk praktis yang
efektif, dan partisipasi kader kesehatan desa yang terlatih. Sedangkan kegagalan program
kesehatan disebabkan pemahaman pemberdayaan masyarakat yang buruk, terbatasnya
informasi, pendekatan top-down dan kepemimpinan masyarakat yang lemah.

WHO membangun tiga dimensi untuk mencapai cakupan global yang


digambarkan dengan kubus. Tiga dimensi cakupan universal WHO adalah (1) proporsi
penduduk yang terjamin; (2) sejauh mana pelayanan dijamin, dan (3) berapa proporsi
biaya langsung yang masih ditanggung oleh penduduk. Dimensi pertama adalah populasi
terjamin. Dimensi kedua menyangkut pelayanan kesehatan yang terjamin, misalnya
hanya pelayanan rawat inap atau rawat jalan. Dimensi ketiga adalah proporsi biaya
pengobatan yang ditanggung. Semakin banyak dana yang tersedia, semakin banyak orang
yang dilayani, semakin lengkap paket layanannya dan semakin rendah proporsi biaya
yang ditanggung oleh penduduk. Alokasi atau pengumpulan dana yang terbatas
mempengaruhi jumlah total layanan yang dijamin dan rasio perawatan/biaya pengobatan
yang dijamin. Misalnya, Inggris menjamin layanan kesehatan yang komprehensif,
termasuk transplantasi organ, untuk seluruh penduduk (tidak hanya warga negara, tetapi
juga penduduk resmi Inggris). . Malaysia memastikan bahwa semua penduduknya
menerima pemeriksaan dan perawatan di rumah sakit, hanya penduduk yang harus
membayar RM3 (sekitar Rp9.000) per hari untuk perawatan. Muangtai telah memastikan
seluruh penduduknya (dimensi I), semua penyakit (dimensi II) gratis untuk rakyat
(dimensi III) dan layanan disediakan di fasilitas kesehatan umum serta fasilitas kesehatan
umum, fasilitas kesehatan swasta.

Leader atau Pemimpin adalah orang yang tugasnya memimpin, sedang


kepemimpinan adalah bakat dan atau sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin. Maka
kepemimpinan adalah kekuasaan untuk memengaruhi seseorang, baik dalam mengerjakan
sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu. Seorang pemimpin yang senantiasa memandang
ke depan berarti akan mampu mendorong apa yang akan terjadi serta selalu waspada
terhadap kemungkinan. Hal ini memberikan jaminan bahwa jalannya proses pekerjaan ke
arah yang dituju akan dapat berlangusng terus menerus tanpa mengalami hambatan dan
penyimpangan yang merugikan. Oleh sebab seorang pemimpin harus peka terhadap
perkembangan situasi baik di dalam maupun diluar organisasi sehingga mampu
mendeteksi hambatan-hambatan yang muncul, baik yang kecil maupun yang besar.

Kepemimpinan adalah kreativitas dalam tindakan atau kemampuan untuk


menciptakan sesuatu yang baru (creativity in action) (Rowitz, 2009). Kepemimpinan
merupakan kemampuan untuk melihat masa saat ini yang berhubungan dengan masa
depan, namun tetap menghargai masa lalu. Kesehatan masayarakat diartikan sebagai ilmu
dan seni terhadap pencegahan penyakit, memperpanjang hidup dan mempromosikan
kesehatan fisik dan effisien melalui upaya masyarakat yang terorganisir. Puskesmas
adalah organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan
masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat dan memberikan pelayanan secara
menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan
pokok (Depkes RI, 1991). Kepemimpinan kesehatan masyarakat mencakup komitmen
terhadap masyarakat dan nilai yang melingkupnya.

Kepemimpinan kesehatan masyarakat juga mencakup komitmen terhadap


keadilan sosial, namun, pemimpin kesehatan masyarakat tidak boleh membiarkan
komitmen tersebut mengurangi kemampuan mereka untuk menjalani agenda kesehatan
masyarakat yang telah disusun dengan baik. Selain itu, pemimpin dalam kesehatan
masyarakat harus bekerja dalam paradigma yang mengatur kesehatan masyarakat, namun
hal tersebut bukan berarti bahwa mereka tidak dapat mengubah paradigma tersebut.
Pemimin mengusulkan paradigma baru ketika paradigma lama kehilangan keefektifannya
(Afifah, 2015).
menyimpulkan terdapat lima aspek kepemimpinan meliputi model the way, yaitu
memberikan contoh dalam pelaksanaan kegiatan; inspire a shared vision, yaitu
memberikan inspirasi pada visi bersama; challenge the process, yaitu melakukan
pembaharuan dalam proses pencapaian tujuan; enable others to act, yaitu meningkatkan
kemampuan staf untuk bertindak melalui kerja sama tim, memberikan kepercayaan, dan
mengembangkan kemampuan staf serta encourage the heart, yaitu memberikan semangat
dan penghargaan Kouzes (2012).

) melaporkan bahwa modal sosial berhubungan positif dengan status kesehatan.


Jaringan sosial merupakan sumber fundamental untuk mencegah penyakit. Individu yang
tinggal di komunitas dengan tingkat modal sosial tinggi melaporkan dirinya lebih sehat
secara jasmani dan rohani dibandingkan individu yang tinggal dalam masyarakat dengan
tingkat modal sosial rendah. Selanjutnya, Nahapiet dkk (2012) menjelaskan peran modal
sosial dalam tiga bentuk, yaitu struktural, relasional, dan kognitif. Dimensi struktural
berhubungan dengan kemampuan individu untuk membuat ikatan yang lemah menjadi
kuat dalam suatu sistem. Dimensi relasional berfokus pada karakter koneksi antara
individu yang berlandaskan kepercayaan dan kerjasama. Dimensi kognitif memfokuskan
pada makna dan pemahaman bersama bahwa individu atau kelompok merasa memiliki
satu dengan yang lain. Macinko (2001

Akses informasi kesehatan adalah kemampuan seseorang dalam mengetahui dan


bertindak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang selayaknya. Akses informasi
kesehatan diakui sebagai deteminan kunci dari kesehatan. Akses informasi adalah
aktivitas warga masyarakat dalam memperoleh informasi melalui pelbagai cara, seperti
melalui penyuluhan, pendidikan dan pelatihan kesehatan, media massa, media
elektronika, dan lain-lain. Sementara itu, menurut Fineberg, akses informasi kesehatan
adalah kemampuan seseorang dalam memperoleh, memproses dan memahami informasi
kesehatan untuk pengambilan keputusan yang tepat dalam mengakses layanan kesehatan
yang dibutuhkan.

Peran petugas kesehatan menurut Kementerian Kesehatan adalah aktif dalam


pengembangan dan penyelenggaraan upaya kesehatan bersumber daya masyarakat
(UKBM) di Desa Siaga (poskesdes, posyandu, dan lainlain), menggerakkan masyarakat
untuk mengelola, menyelenggarakan, dan memanfaatkan UKBM yang ada serta
menyelenggarakan sosialisasi program kesehatan untuk menciptakan Keluarga Sadar Gizi
(Kadarzi) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Sementara itu, peran fasilitator
adalah katalis, yaitu mendorong timbulnya perasaan tidak puas di masyarakat mengenai
hasil pembangunan yang ada; penemu solusi, yaitu memberikan kejelasan gagasan
pembangunan yang direkomendasikan kepada sasaran perubahan; pendamping, yaitu
mendampingi proses penentuan solusi masalah sebagai aplikasi inovasi pembangunan;
perantara, yaitu mempersatukan antara dua kepentingan yakni pembuat kebijakan dan
sasaran pembangunan dengan membuat keputusan terbaik; motivator, yaitu memberikan
dorongan serta memfasilitasi proses pemberdayaan masyarakat.

Peran kepemimpinan sangatlah penting dalam sector kesehatan. Adapun


contohnya, dimana peran pimpinan masyarakat adalah menyebarluaskan informasi
tentang program Desa Siaga kepada masyarakat, memberi contoh perilaku seharihari,
mulai dari keluarga sendiri, dan di fasilitas umum seperti kantor balai desa. Peran tersebut
dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat terhadap program Desa Siaga. Dengan peran
pimpinan tersebut, maka akan timbul partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan dan
kelangsungan program Desa Siaga. Penelitian Adrian menyimpulkan bahwa
kepemimpinan masyarakat berperan untuk mengikutsertakan masyarakat lokal dalam
program pembangunan. Sinergi yang jelas di antara mereka untuk berperan saling
melengkapi. Bukti dampak dari kepemimpinan masyarakat menunjukkan adanya
keikutsertaan masyarakat ke dalam ruang tata kelola masyarakat, dan menekankan
kebutuhan untuk menggerakan kepemimpinan lokal yang kuat.

Penelitian Ferguson memberikan kerangka teoritis untuk memahami cara


masyarakat memandang peluang kepemimpinan dalam lembaga masyarakat serta proses
lembaga mendorong peningkatan keikutsertaan. Empat tema utama yang muncul, yaitu
suara masyarakat dan kepemilikan, keamanan emosional, kekuasaan, dan dukungan
timbal balik. Untuk keberhasilan pemberdayaan masyarakat, perlu ditunjang dengan
pemberdayaan kepemimpinan. Pitts,memformulasikan secara komprehensif definisi dari
pemberdayaan kepemimpinan yang meliputi tujuh dimensi, yaitu kekuasaan, pengambilan
keputusan, informasi, otonomi, inisiatif dan kreativitas, pengetahuan dan keterampilan,
dan pertanggungjawaban. Penelitian Ashwell et al,6 menegaskan bahwa kemandirian
berkelanjutan di bidang kesehatan dapat dicapai melalui kepemimpinan masyarakat dan
mempertahankan aktivitas, menguatkan intervensi pogram dan meningkatkan interaksi
antara masyarakat dan sistem kesehatan serta meningkatkan penggunaan pelayanan
kesehatan oleh masyarakat.
Beberapa negara menganggap perawatan kesehatan sebagai hak fundamental,
atau komoditas. Selama lebih dari satu abad, UHC telah mewakili mimpi yang menjadi
kenyataan di sebagian besar negara maju, meskipun masih merupakan tujuan yang harus
dicapai di negara berkembang. Pemantapan jaminan kesehatan semesta secara langsung
berkaitan dengan berbagai faktor kompleks internal dan eksternal sistem kesehatan,
termasuk aspek ekonomi, sosial, politik, etika, dan hukum. Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia tahun 1948 menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas standar hidup yang
memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk makanan,
pakaian, perumahan dan perawatan medis dan pelayanan sosial yang diperlukan. , dan
hak atas jaminan pada saat menganggur, sakit, cacat, menjanda, lanjut usia, atau
kekurangan nafkah lainnya karena keadaan di luar kekuasaannya”.

Menurut Carissa Etienne, Direktur Pan American Health Organization (PAHO),


pemerintah memiliki kewajiban moral untuk mencari cara untuk meningkatkan
kesetaraan dan mempromosikan kesehatan dan pembangunan, dan cakupan universal
adalah cara untuk mencapai itu. Dalam konteks ini, ada dua alasan yang jelas untuk
komitmen terhadap UHC: pertama terkait dengan hak setiap individu atas kesehatan dan
perawatan kesehatan, dan yang kedua mengacu pada refleksi masalah kesehatan individu
bagi masyarakat, dan negara berkembang untuk negara maju. Secara keseluruhan,
masyarakat global karena itu memiliki kepentingan dalam meningkatkan akses ke UHC
di negara-negara berkembang. Dalam praktiknya, terlepas dari komitmen pemerintah,
akses efektif ke perawatan kesehatan sangat bergantung pada kondisi ekonomi dan sosial
negara-negara yang terlibat. Dengan demikian, cakupan kesehatan universal didefinisikan
oleh akses ke promosi intervensi kunci, pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi untuk
semua, dengan biaya yang terjangkau, dalam mengejar pemerataan akses. Oleh karena
itu, tujuan dari jaminan kesehatan universal adalah untuk memastikan bahwa semua orang
memiliki perawatan kesehatan yang mereka butuhkan, tanpa batasan keuangan. Definisi
ini selaras dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh konsep Kesehatan
untuk Semua dan Pelayanan Kesehatan Primer.

UHC didasarkan pada landasan yang disepakati dalam Konstitusi Organisasi


Kesehatan Dunia, pada tahun 1948, yang menyatakan kesehatan sebagai hak dasar setiap
manusia, serta agenda yang ditetapkan dalam Alma Ata pada tahun 1978. UHC memiliki
dampak langsung pada kesehatan masyarakat karena akses ke layanan merupakan
komponen penting untuk pembangunan berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan, dan
elemen kunci untuk mengurangi kesenjangan sosial. Oleh karena itu, ia harus
mengintegrasikan komitmen negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Empat
publikasi berikut dihasilkan dari diskusi di berbagai forum global: Laporan WHO 2010
Pembiayaan Sistem Kesehatan: Jalan Menuju UHC; Pernyataan Bangkok tentang UHC,
pada Januari 2012; Deklarasi Politik Mexico City tentang UHC, diadopsi pada April 2012
dan Deklarasi Tunis tentang Nilai Uang, Keberlanjutan, dan Akuntabilitas di Sektor
Kesehatan, disetujui pada Juli 2012. Mereka mencapai puncaknya dengan persetujuan
PBB tentang UHC pada 12 Desember 2012 , dengan demikian mengakui peran kesehatan
dalam mencapai tujuan pembangunan internasional dan mendesak negara-negara,
masyarakat sipil dan organisasi internasional untuk memasukkan UHC dalam agenda
pembangunan global. Resolusi tersebut menegaskan kembali kepemimpinan WHO dalam
mendukung negara-negara untuk menjawab tantangan proses penerapan UHC dengan
mempertimbangkan kesehatan sebagai prasyarat, hasil, dan indikator dari tiga dimensi
pembangunan berkelanjutan. Menurut Margaret Chan, Direktur Jenderal WHO, setelah
rilis 2010 Report (WHO), lebih dari 60 negara berkembang meminta konsultasi dari
World Health Organization (WHO) untuk penerapan UHC dalam sistem kesehatan
mereka. Para ahli menyarankan bahwa paket minimum intervensi dasar untuk cakupan
perawatan kesehatan universal ditetapkan, memprioritaskan tindakan konkrit berbiaya
rendah untuk menangani masalah kesehatan tertentu di setiap lokasi, sesuai dengan
kekhususannya. Juga, dalam diskusi tentang Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs),
para pendukung jaminan kesehatan universal membayangkan kesempatan untuk
memasukkan pandangan mereka tentang sistem kesehatan yang lebih solid dan adil dalam
konteks agenda pembangunan pasca-2015. Dengan demikian, proposal Kelompok Kerja
Terbuka untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) memasukkan UHC dalam
proyek pra-MDGsnya.

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan oleh negara-negara untuk mencapai target UHC,
antara lain (5):

a. Sistem pelayanan kesehatan yang efisien yang mencapai prioritas kebutuhan


kesehatan melalui perhatian masyarakat yang terpadu dan terfokus untuk: mendorong
masyarakat menjadi sehat dan mencegah penyakit dengan memfasilitasi akses
informasi kesehatan; mendiagnosis kondisi kesehatan sejak dini, memiliki
kemampuan untuk mengobati penyakit dan membantu orang dalam rehabilitasi;
b. Keterjangkauan dan akses ke obat-obatan dan teknologi untuk mengatasi masalah
kesehatan;
c. Pengakuan saling ketergantungan kesehatan dengan determinan sosial lainnya;
d. Sumber daya manusia yang terlatih dan termotivasi untuk memberikan layanan yang
memenuhi kebutuhan pasien berdasarkan bukti terbaik.

Dari perspektif ini, cakupan kesehatan universal tidak semata-mata merupakan


jaminan efisiensi dan efektivitas perawatan. Selain kemauan politik, jaminan kesehatan
universal membutuhkan orang-orang yang termotivasi yang memiliki sumber daya yang
memadai untuk pencegahan, diagnosis, pengobatan dan pengembangan profesional,
mempromosikan konsolidasi budaya pemerintahan yang baik, tercermin dalam sikap dan
sikap profesional kesehatan.

Kompetensi kepemimpinan harus dikembangkan bagi pemimpin untuk


mengembangkan keterampilan untuk memastikan kontribusi terhadap jaminan kesehatan
universal. Oleh karena itu, penting untuk memastikan partisipasi pemimpin dalam
penetapan kebijakan, strategi, dan tujuan yang jelas untuk akses ke jaminan kesehatan,
sebagai pendukung hak individu dan sosial penduduk, yang bertujuan untuk melindungi
risiko ekonomi dan sosial. Keahlian teknis pemimpin, ukuran kontingennya dan terutama
kedekatannya dengan pengguna layanan kesehatan, yang setiap hari mengalami
kebutuhan, kekuatan dan kelemahan mereka, melegitimasi keharusan partisipasi ini.
Kepemimpinan dilaksanakan melalui sistem pendukung yang mempromosikan bahwa
perawat diizinkan untuk melakukan dengan kemampuan penuh mereka, kontribusi
mereka untuk meningkatkan hasil kesehatan, partisipasi mereka dalam pengembangan
profesional mereka sendiri, kepuasan dan pengakuan atas pekerjaan yang mereka
lakukan. Kepemimpinan di bidang kesehatan juga diwujudkan dengan cara berinovasi
berdasarkan hasil penelitian, dan kegiatan kewirausahaan menuju kelarutan layanan.

Pemimpin itu penting, tetapi kepemimpinan lebih dari itu: seorang pemimpin
tunggal dapat membuat perbedaan dan menghasilkan hasil yang lebih baik dari yang
diharapkan, tetapi kepemimpinan kolektif menyatukan para pemimpin di semua tingkat
organisasi melalui tindakan bersama dan berkelanjutan. Dengan berkembangnya para
pemimpin, organisasi mereka juga berkembang, menjadi lebih mampu mempertahankan
perubahan yang dibutuhkan oleh mereka. Ini adalah komitmen permanen dengan
perubahan pribadi dan budaya kultivasi kepemimpinan yang mempengaruhi semua
pemimpin organisasi, oleh karena itu, keberlanjutan kepemimpinan. Pemimpin yang
berkomitmen pada kebijakan saat ini mencari perbaikan diri yang konstan dan
keterlibatan pemimpin lain, diakui sebagai pemimpin dalam sistem perawatan kesehatan,
dengan memikul tanggung jawab untuk kepemimpinan yang berkelanjutan. Pemimpin
yang baik diyakini menjadi lebih baik ketika mereka sadar dan yakin akan perubahan
yang mereka tahu perlu mereka buat. Oleh karena itu, perawat perlu berkomitmen
terhadap pelaksanaan program yang berkontribusi pada pemantapan jaminan kesehatan
semesta.

Data dari WHO menunjukkan bahwa, meskipun proses telah tercapai, cakupan
layanan kesehatan dan perlindungan terhadap risiko keuangan masih jauh dari tujuan
UHC, karena beberapa faktor, termasuk kesulitan memahami hubungan antara cakupan
layanan dan kesehatan. Kesenjangan ini dapat diisi melalui pengembangan penelitian
tentang topik tersebut. Oleh karena itu, disarankan agar perawat mengembangkan
penelitian yang berfokus pada peningkatan cakupan layanan kesehatan, perlindungan
terhadap risiko keuangan dan dalam menguraikan indikator untuk pembuatan data untuk
memantau kemajuan dalam kebijakan cakupan universal. Singkatnya, penelitian harus
fokus pada tindakan keperawatan untuk mencapai UHC dan efek dari intervensi ini.
UHC merupakan sarana untuk meningkatkan kondisi kesehatan masyarakat dan promosi
pembangunan mereka.

Kader kesehatan masyarakat merupakan perwujudan dari usaha-usaha secara


sadar dan terencana untuk menumbuhkan prakarsa dan partisipasi masyarakat untuk
meningkatkan derajat kesehatannya. Dalam usaha ini, para kader diberikan keterampilan-
keterampilan tertentu agar tujuan pembentukan kader untuk menumbuhkan prakarsa dan
partisipasi dapat tercapai (Andreas, 2000). Hal ini berarti bahwa kepada kader kesehatan
masyarakat harus diberikan kepercayaan untuk ikut terlibat dalam proses pengambilan
keputusan. Keterlibatan ini selanjutnya akan meningkatkan kualitas dari prakarsa dan
partisipasi kader. Sehinggga selaniutnya mereka akan dapat menggali dan rnemanfaatkan
secara optimal potensi masyarakat itu sendiri untuk meningkatkan derajat kesehatannya.
Kader kesehatan masyarakat akan menjadi agent of change yang akan membawa norma-
norma baru yang sesuai dengan nilai tradisional mereka dan yang akan menggali segi-
segi positif yang ada pada norma-norma tradisional mereka (Andreas, 2000).
Tugas - tugas seorang kader kesehatan masyarakat ini amat bervariasi dan
berbeda- beda antara satu tempat dibanding tempat lainnya atau antara satu negara
dibandingkan dengan negara lainnya. Namun secara umum tugas - tugas kader kesehatan
rnasyarakat meliputi pelayanan kesehatan dan pembangunan masyarakat, tetapi yang
harus mereka lakukan terbatas pada bidang – bidang atau tugas – tugas yang pernah
diaiarkan pada mereka. Mereka harus benar-benar menyadari tentang keterbatasan yang
mereka miliki. Mereka tidak dapat diharapkan mampu menyelesaikan semua masalah-
masalah dihadapinya. Namun benar-benar diharapkan bahwa mereka akan mampu
menyelesaikan masalah-masalah umum yang terjadi di masyarakat dan amat mendesak
untuk diselesaikan.

Kepemimpinan kesehatan masyarakat terhadap UHC berbeda dengan


kepemimpinan dalam sektor bisnis. Adapun peranan pemimpin terhadap UHC sebagai
berikut:

a. Infastruktur kesehatan masyarakat harus diperkuat oleh penggunaan fungsi inti dan
layanan esensial kesehatan masyarakat sebagai pedoman untuk perubahan yang
harus terjadi. Pemimpin kesehatan masyarakat memiliki peranan untuk
mengevaluasi status kesehatan masyarakat, mengevaluasi kapasitas masyarakat
untuk memenuhi prioritas kesehatannya, dan mengimplementasikan tindakan
preventif untuk mengurangi dampak atau bahkan menghindari krisis kesehatan
masyarakat.
b. Tujuan kesehatan masyarakat adalah meningkatkan status kesehatan setiap individu
dalam masyarakat. Pemimpin kesehatan masyarakat memiliki peranan untuk
mempromosikan kesehatan dan pencegahan penyakit. Berkaitan dengan hal ini,
kesehatan masyarakat berbeda dengan sistem layanan medis, yang menekankan pada
pengobatan dan rehabilitasi. Setiap individu harus mempelajari manfaat kesehatan
masyarakat dan bagaiman kualitas hidup dapat ditingkatkan secara optimal jika
aturan tertentu di ikuti.
c. Koalisi masyarakat harus dibentuk untuk memenuhi kebutuhan kesehatan
masyarakat dalam komunis. Kesehatan masyarakat merupakan tanggung jawab
komunis dan aktivitasnya berbasis populasi. Ini berarti bahwa peranan kesehatan
masyarakat adalah bekerja dengan semua kelompok dalam komunitas untuk
meningkatkan kesehatan seluruh anggotanya.
d. Pemimpin kesehatan masyarakat lokal dan negara bagian harus bekerjasama untuk
berperan melindungi kesehatan setiap individu tanpa menghiraukan status gender,
ras, etnik, atau sosial ekonomi. Pemimpin kesehatan masyarakat benar-benar
percaya pada prinsip bahwa semua manusia diciptakan sama.
e. Perencanaan kesehatan masyarakat yang rasional membutuhkan kolaborasi antara
pemimpin lembaga kesehatan masyarakat, dewan kesehatan lokal (jika dewan
tersebut ada), serta dewan lokal, dan daerah yang lain. Sehingga, pemimpin disini
berperan sebagai jembatan antara warga dan pemimpin suatu lembaga dalam
menyelesaikan suatu isu kesehatan, khususnya UHC.
f. Pemimpin kesehatan masyarakat yang baru harus berperan dalam mempelajari
tehknik dan praktik kepemimpinan dari pemimpin kesehatan masyarakat yang
berpengalaman.
g. Pemimpin kesehatan masyarakat harus berperan dalam mengembangkan
keterampilan kepemimpinan mereka secara kontinu karena seorang pemimpin tidak
pernah berhenti belajar.
h. Pemimpin tidak hanya harus berkomitmen pada pembelajaran sepanjang hidup,
namun juga pada perkembangan dirinya. Harga diri merupakan faktor utama dalam
pengembangan diri dan penting untuk konpentesi personal yang dibutuhkan untuk
menghadapi tantangan kehidupan.
i. Infastruktur kesehatan masyarakat harus berdasarkan pondasi proteksi kesehatan
untuk semua, nilai dan prinsip demokrasi, serta penghargaan terhadap struktur sosial
masyarakat.
j. Pemimpin kesehatan masyarakat harus berpikir secara lokal namun bertindak secara
local dan harus harus menjadi manajer yang baik.
k. Pemimpin harus berhubungan dengan manajer dan staf lain dalam organisasi,
pemimpin harus menjadi pengarah dan motivator kegiatan dalam organisasi,
pemimpin harus mempengaruhi semua fase kerja dalam organisasi, dan pemimpin
harus mengantisipasi masa depan dan mengembangkan organisasi dengan cara
mempertimbangkan masa depan tersebut.
l. Pemimpin kesehatan masyarakat harus proktif dan tidak reaktif.
m. Setiap tingkat sistem kesehatan masyarakat membutuhkan pemimpin. Faktanya,
pemimpin tidak harus memiliki posisi resmi untuk menjadi pemimpin dan sepertinya
kekuatan menjadi semakin tinggi.
n. Pemimpin kesehatan masyarakat mempraktikkan keahlian mereka pada tingkat
komunitas dan harus memahami apa yang di maksud dengan komunitas.
o. Pemimpin kesehatan masyarakat harus mempraktikkan apa yang mereka ajarkan.

2. Gaya Leadership yang Sesuai Dengan Ketercapaian UHC :


Pemimpin adalah seseorang yang membantu orang lain untuk memperoleh
hasilhasil yang diinginkan. Pemimpin bertindak dengan cara-cara yang memperlancar
produktivitas, moral terpuji, respons yang bersemangat, kerja berkualitas, komitmen
yang jelas dan tegas, efisien dalam bertindak, sedikit kelemahan, kepuasan, kehadiran,
dan kesinambungan dalam organisasi. Kemudian terkait dengan gaya leadership yang
sesuai, menurut saya secara personal gaya semua orang punya gaya kepemimpinannya
masing-masing. Tidak ada patokan gaya kepemimpinan mana yang paling benar ataupun
gaya kepemimpinan mana yang seharusnya diterapkan oleh semua orang karena sifat
juga pola pikir manusia berbeda satu sama lainnya. Apalagi menyangkut UHC, seorang
pemimpin harus menyesuaikan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan jati diri dan
kondisi lingkungan sekitarnya. Banyak sekali gaya kepemimpinan yang dapat diterapkan
antara lain adalah sebagai berikut;
a. Kepemimpinan Otokratis
Pemimpin sangat dominan dalam setiap pengambilan keputusan dan
setiap kebijakan, peraturan, prosedur diambil dari idenya
sendiri.Kepemimpinan jenis ini memusatkan kekuasaan pada dirinya sendiri.
Ia membatasi inisiatif dan daya pikir dari para anggotanya.Pemimpin yang
otoriter tidak akan memperhatikan kebutuhan dari bawahannya dan cenderung
berkomunikasi satu arah yaitu dari atas (pemimpin) ke bawah (anggota).Jenis
kepemimpinan ini biasanya dapat kita temukan di akademi kemiliteran dan
kepolisian.

b. Kepemimpinan Birokrasi
Gaya kepemimpinan ini biasa diterapkan dalam sebuah perusahaan dan
akan efektif apabila setiap karyawan mengikuti setiap alur prosedur dan
melakukan tanggung jawab rutin setiap hari.Tetap saja dalam gaya
kepemimpinan ini tidak ada ruang bagi para anggota untuk melakukan inovasi
karena semuanya sudah diatur dalam sebuah tatanan prosedur yang harus
dipatuhi oleh setiap lapisan.
c. Kepemimpinan Partisipatif
Dalam gaya kepemimpinan partisipatif, ide dapat mengalir dari bawah
(anggota) karena posisi kontrol atas pemecahan suatu masalah dan pembuatan
keputusan dipegang secara bergantian.Pemimpin memberikan ruang gerak
bagi para bawahan untuk dapat berpartisipasi dalam pembuatan suatu
keputusan.

d. Kepemimpinan Delegatif
Gaya kepemimpinan ini biasa disebut Laissezfaire dimana pemimpin
memberikan kebebasan secara mutlak kepada para anggota untuk melakukan
tujuan dan cara mereka masing-masing. Pemimpin cenderung membiarkan
keputusan dibuat oleh siapa saja dalam kelompok sehingga terkadang
membuat semangat kerja tim pada umumnya menjadi rendah. Jenis
kepemimpinan ini akan sangat merugikan apabila para anggota belum cukup
matang dalam melaksanakan tanggung jawabnya dan memiliki motivasi tinggi
terhadap pekerjaan.Namun sebaliknya dapat menjadi boomerang bagi
perusahaan bila memiliki karyawan yang bertolak belakang dari pernyataan
sebelumnya.

e. Kepemimpinan Transaksional
Kepemimpinan jenis ini cenderung terdapat aksi transaksi antara
pemimpin dan bawahan dimana pemimpin akan memberikan reward ketika
bawahan berhasil melaksanakan tugas yang telah diselesaikan sesuai
kesepakatan. Pemimpin dan bawahan memiliki tujuan, kebutuhan dan
kepentingan masing-masing.

f. Kepemimpinan Transformasional
Gaya kepemimpinan transformasional dapat menginspirasi perubahan
positif pada mereka (anggota) yang mengikuti. Para pemimpin jenis ini
memperhatikan dan terlibat langsung dalam proses termasuk dalam hal
membantu para anggota kelompok untuk berhasil menyelesaikan tugas
mereka. Gaya kepemimpinan transformasional adalah sebuah gaya
kepemimpinan dimana kepala sekolah mampu melakukan perubahan dalam
diri individu untuk mencapai performa terbaik melalui kharisma, pemberian
stimulasi intelektual, motivasi, dan perhatian pada individu. Gaya
kepemimpinan ini diyakini mampu memberikan dampak baik terhadap
manajemen dan pengelolaan sekolah. Hanya saja, fakta awal menunjukkan
bahwa belum semua kepala sekolah di SMKS kelompok bisnis manajemen ini
yang mampu menunjukkan secara optimal gaya kepemimpinan
transformasional yang dimaksud pada sekolah mereka masing-masing.

g. Kepemimpinan Melayani (Servant)


Hubungan yang terjalin antara pemimpin yang melayani dengan para
anggota berorientasi pada sifat melayani dengan standar moral spiritual.
Pemimpin yang melayani lebih mengutamakan kebutuhan, kepentingan dan
aspirasi dari para anggota daripada kepentingan pribadinya.

h. Kepemimpinan Karismatik
Pemimpin yang karismatik memiliki pengaruh yang kuat atas para
pengikut oleh karena karisma dan kepercayaan diri yang ditampilkan.Para
pengikut cenderung mengikuti pemimpin karismatik karena kagum dan secara
emosional percaya dan ingin berkontribusi bersama dengan pemimpin
karismatik. Karisma tersebut timbul dari setiap kemampuan yang mempesona
yang ia miliki terutama dalam meyakinkan setiap anggotanya untuk mengikuti
setiap arahan yang ia inginkan.

i. Kepemimpinan Situasional
Pemimpin yang menerapkan jenis kepemimpinan situasional lebih sering
menyesuaikan setiap gaya kepemimpinan yang ada dengan tahap
perkembangan para anggota yakni sejauh mana kesiapan dari para anggota
melaksanakan setiap tugas.

Adapun gaya kepemimpinan yang berasal dari teori-teori kepemimpinan, yakni ;

a. Gaya pengalah (impoverished style)


Gaya ini ditandai oleh kurangnya perhatian terhadap produksi. Bila
terjadi konflik, pemimpin jenis ini tetap netral dan berdiri di luar masalah.
b. Gaya pemimpin pertengahan (middle-ofthe-road style)
Gaya ini ditandai oleh perhatian yang seimbang terhadap produksi dan
manusia. Pemimpin dengan gaya ini berusaha untuk jujur tetapi tegas dan
mencari pemecahan yang tidak memihak dan berusaha untuk mempertahankan
keadaan tetap baik.
c. Gaya tim (team style)
Gaya ini ditandai oleh perhatian yang tinggi terhadap tugas dan manusia.
Pemimpin tim amat menghargai keputusan yang logis dan kreatif sebagai hasil
dari pengertian dan kesepakatan anggota organisasi. Bila terjadi konflik,
pemimpin tim mencoba memeriksa alasan-alasan timbulnya perbedaan dan
mencari penyebab utamanya. Pemimpin tim mampu menunjukkan kebutuhan
akan saling mempercayai dan saling menghargai di antara sesama anggota tim,
juga menghargai pekerjaan.
d. Gaya santai (country club style).
Gaya ini ditandai oleh rendahnya perhatian terhadap tugas dan perhatian
yang tinggi terhadap manusia. Ia menghindari terjadinya konflik, tapi bila ini
tidak dapat dihindari, ia mencoba untuk melunakkan perasaan orang, dan
menjaga agar mereka tetap bekerja sama. Pemimpin ini lebih banyak bersikap
menolong daripada memimpin.
e. Gaya kerja (task style).
Gaya ini ditandai oleh perhatian yang tinggi terhadap pelaksanaan kerja
tetapi amat kurang memperhatikan manusianya. Bila timbul konflik,
pemimpin jenis ini cenderung menghentikannya atau memenangkan posisinya
dengan cara membela diri, bekerja pada pendiriannya, atau mengulangi
konflik dengan sejumlah argumentasi baru.

Dikarenakan pemikiran saya yang mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan itu


boleh saja disesuaikan sesuai kondisi masing-masing, maka timbullah satu pemikiran
baru di benak saya. Apakah gaya kepemimpinan seharusnya hanya satu dan konsisten
ataukah dapat berubah sesuai kondisi dengan syarat-syarat tertentu. Oleh karena itu
setelah saya pertimbangkan, logika gaya kepemimpinan terbaik-tunggal (one-best
leadership style), jika dibandingkan dengan gaya kepemimpinan terbaik-bersyarat
(conditional-best leadership style) berdasarkan pada asumsi tentang sifat pengaruh. Dari
sudut pandang gaya terbaik-tunggal, dikemukakan bahwa orientasi dan keahlian orang
yang mempengaruhi menghasilkan perbedaan. Gaya kepemimpinan terbaik-bersyarat
adalah gaya kepemimpinan yang menggunakan kombinasi perilaku komunikatif yang
berbeda ketika menanggapi keadaan sekelilingnya; dalam keadaan tersebut pemimpin
berusaha membantu yang lainnya untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Intinya pemimpin juga harus bisa melihat, memahami, dan menindaklanjuti


situasi kondisi yang dihadapi organisasi di lingkungan kerja. Dengan demikian, apabila
seorang pemimpin melakukan hal tersebut, komunikasi yang terbuka pada semua pihak,
maka harmonisasi kerja diharapkan meningkat dan terjaga. Hal ini terjadi karena dengan
adanya komunikasi yang terbuka, anggota organisasi (karyawan) akan mendapatkan
informasi yang lengkap dalam melaksanakan pekerjaan sehingga akan berpengaruh pada
peningkatan produktivitas anggota dan membuahkan harmonisasi kinerja di lingkungan
organisasinya, khususnya dalam hal ini organisasi kesehatan dalam menegakkan UHC
bagi seluruh masyarakat Indonesia.

3. Peranan Pemimpin Muda Dalam Ketercapaian UHC :

Para pemimpin global baru-baru ini menegaskan kembali komitmen mereka


terhadap prinsip universal health coverage (UHC). Pengalaman Tujuan Pembangunan
Milenium (MDGs) terkait kesehatan telah mengajarkan kita, bagaimanapun, bahwa
untuk menerjemahkan prinsip seperti itu menjadi kenyataan, sistem kesehatan harus
diperkuat. Kunci untuk penguatan tersebut dan untuk meningkatkan cakupan layanan
kesehatan dan hasil kesehatan adalah ketersediaan tenaga kerja yang cukup, merata,
terampil dan termotivasi. Namun di banyak negara kekurangan tenaga kerja kesehatan
dan distribusi pekerja yang buruk, pelatihan dan kinerja menghambat pencapaian MDGs
dan UHC terkait kesehatan.

Tantangan Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDM) sangat kompleks dan sangat
dibutuhkan, terutama bagi generasi muda. Solusi sedikit demi sedikit, seperti inisiatif
pelatihan in-service jangka pendek, berlimpah. Namun, strategi untuk mengatasi masalah
sumber daya manusia yang mengakar secara sistematis memerlukan perspektif dan
kolaborasi jangka panjang di antara banyak pemangku kepentingan dan konstituen, yang
ditengahi dan dipimpin oleh pemerintah nasional. Beberapa jalur berbeda untuk
memperkuat tenaga kerja kesehatan dimungkinkan, seperti yang diilustrasikan pada
contoh berikut. Di Brasil, Sistem Kesehatan Terpadu, yang didasarkan pada konstitusi
nasional, telah meningkatkan pembuatan kebijakan dan manajemen SDM. Dibutuhkan
kerjasama lintas sektor dan antar lembaga untuk mengamankan daya dorong dan sumber
daya yang dibutuhkan. Tidak ada satu pun rencana SDM untuk kesehatan atau Human
Resources of Health atau tenaga kesehatan yang dikembangkan, namun Brasil berhasil
mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan dan distribusi pekerja yang lebih adil. Antara
tahun 1990 dan 2007 kepadatan dokter meningkat dari 1,17 menjadi 1,74 per 1000
penduduk dan tim kesehatan keluarga dikerahkan ke daerah pedesaan.

Di Indonesia, agenda tenaga kesehatan didukung oleh reformasi desentralisasi


tahun 1999, dimana hampir 2,4 juta PNS pemerintah pusat berhasil dipindahkan ke
pemerintah daerah. Untuk mengatasi pekerja gigih. kekurangan, maldistribusi dan
praktik ganda, pemerintah telah memberlakukan langkah-langkah untuk meningkatkan
pendidikan tenaga kesehatan, penyebaran dan kinerja yang adil. Sistem informasi tenaga
kesehatan telah diperkuat. Koordinasi pemangku kepentingan nasional telah meningkat
dan alokasi sumber daya dari sumber domestik dan internasional meningkat.

Dalam pemberian layanan kesehatan, sumber daya manusia bisa dibilang


merupakan komponen yang paling penting, di samping produk farmasi, sistem informasi,
dan mekanisme pembiayaan yang adil. Kelemahan pada salah satu komponen yang
saling bergantung ini dapat menggagalkan upaya untuk mencapai UHC dan merusak
efektivitas pelayanan kesehatan. Tanpa tenaga kesehatan yang memadai, UHC tidak
dapat tercapai.

Perilaku sistem adaptif kompleks juga menunjukkan efek nonlinier seperti (1)
perubahan asin (pergeseran seperti panggung) – perubahan kecil pada titik kritis dapat
memiliki dampak yang sangat besar pada perilaku secara keseluruhan; (2) sensitivitas
hasil pada kondisi awal; (3) multi-finalitas – kondisi awal yang sama dapat memiliki
beberapa hasil klinis; (4) equi-finality – kondisi awal yang berbeda dapat menghasilkan
hasil yang sama; dan (5) fokus pada variasi adaptif dan inisiatif lokal. Ringkasnya,
sistem adaptif kompleks juga memberikan gambaran yang paling inklusif dari sifat-sifat
konteks di mana kepemimpinan untuk SDGs harus muncul.

Pertanyaan logis kemudian adalah, apa peran pemimpin dan kepemimpinan


dalam konteks sistem adaptif kompleks (Complex Adaptive System)? Dampak pemimpin
dan kepemimpinan terhadap sistem adaptif kompleks cenderung tidak langsung,
terbentuk terutama melalui identitas organisasi (kolektif), dan penciptaan gerakan sosial
(Schneider, Somers 2006). Peran pemimpin adalah untuk menyemai dan menumbuhkan
identitas kolektif, dan untuk mengaktifkan gerakan sosial yang melalui berbagai jalur
mengarah pada efek yang ditentukan oleh SGD. Efeknya juga ditentukan oleh kondisi
awal, yang bila menyangkut seorang pemimpin dan kepemimpinan, ditentukan oleh
tatanan kesadaran. Dua individu dapat membangun makna yang berbeda dari peristiwa
yang identik, tergantung pada urutan kesadaran masing-masing (Scharmer, 2009). Urutan
kesadaran paling baik ditangkap oleh tahap perkembangan orang dewasa neo-Piagetian.
Mereka menunjukkan cara yang berbeda di mana orang cenderung membangun rasa diri
mereka dan atribut makna peristiwa (Kegan, 1982, 1994).

“Youth and Truth” adalah gerakan ketiga yang diciptakan oleh Sadhguru yang
bertujuan untuk memberdayakan kaum muda di India dengan kejelasan dan perspektif
yang diperlukan dan untuk memungkinkan mereka mewujudkan potensi penuh mereka.
Gerakan ini dihidupkan kembali setelah serangkaian acara perguruan tinggi selama
sebulan di seluruh India yang mencakup berbagai lembaga pendidikan seperti IIM-A, IIT
Bombay, JNU, Universitas Hukum NALSAR, dan lainnya. Media massa dan amplifikasi
digital mengiringi kegiatan mahasiswa di lapangan ini. Ada juga serangkaian acara
informal di lokasi yang berorientasi pada pemuda. Semua acara ini adalah sesi interaktif
dan jujur antara Sadhguru dan siswa, di mana siswa dapat mencari kejelasan tentang
topik apa pun yang mereka pilih, baik itu karier, orang tua, kecanduan, stres, hubungan,
atau seksualitas – tidak ada yang terlarang. Youth And Truth kemudian berubah menjadi
gerakan global untuk menginspirasi dan memberdayakan kaum muda di seluruh dunia.
Kami mengklaim bahwa gerakan ini secara langsung berkontribusi pada SDG.

Program pengembangan kepemimpinan harus mengakui bahwa satu-satunya


prediktabilitas masa depan adalah "ketidakpastian" yang berasal dari restrukturisasi
pengaturan sosial utama di lingkungan global, termasuk: arena sosial (yaitu, tempat kerja
yang beruban, generasi Y/Z, tenaga kerja yang diberdayakan, dipimpin sendiri, tanpa
pemimpin, munculnya pekerja berketerampilan lunak, spesialisasi keterampilan,
kebutuhan akan budaya yang kuat, psikologi kerja), teknologi (yaitu, bio-mesin, robot
yang lebih cerdas, internet hal-hal, informasi kelebihan dan data besar, teknologi yang
mengganggu, manufaktur terdistribusi), ekonomi (yaitu, VUCA, perubahan siklus hidup
bisnis, dampak sosial bisnis, munculnya kolaborasi, prosumer, perubahan struktur
penghargaan, kebutuhan untuk antisipasi, wirausahawan dan wirausahawan ), lingkungan
(yaitu, gerakan lingkungan, reklamasi lingkungan, krisis lingkungan), dan politik (yaitu,
tanggung jawab sosial perusahaan, pasca-kapita masyarakat daftar, nilai pluralisme)
(Suderman, Foster, 2015).
Revolusi fundamental Industri 4.0 secara mengakibatkan berubahnya cara
manusia berpikir, hidup, dan berhubungan satu dengan yang lain. Era ini akan
mendisrupsi berbagai aktivitas manusia dalam berbagai bidang, tidak hanya dalam
bidang teknologi saja, namun juga bidang yang lain seperti ekonomi, sosial, politik, dan
khususnya dalam hal ini terkait aspek kesehatan. Indonesia sudah menapaki era Industri
4.0 sejak tahun 2010, yang antara lain ditandai dengan serba digitalisasi dan otomatis.
Contohnya adalah munculnya aplikasi pemantau status kesehatan ataupun registrasi dan
pendataan sistem informasi kesehatan yang menggunakan jejaring internet. Menurut
Bappenas (2018) penduduk Indonesia akan mencapai kondisi 'bonus' demografi pada
tahun 2030 mendatang, dimana diperkirakan jumlah penduduk lansia atau 60 tahun
keatas hanya mencapai 19,85%, selebihnya adalah penduduk pada usia muda dan
produktif (Kemenristek DIKTI, 2018).

Revolusi Industri 4.0 dan bonus demografi memberi peluang bagi Indonesia
untuk berkembang menjadi negara maju, asalkan generasi muda, yang menjadi modal
utama bangsa untuk mencapai kejayaan dipersiapkan untuk menghadapi kedua fenomena
ini. Generasi muda tidak bisa hanya menjadi penonton dalam arus persaingan global.
Generasi muda harus kreatif, inovatif, produktif dan berperan aktif agar dapat bertahan
menghadapi disrupsi yang muncul dalam era revolusi industri (YBB, 2018). Berpikir
didefinisikan kritis sebagai dapat kemampuan memecahkan masalah, bernalar secara
efektif, atau membuat penilaian yang tepat dan keputusan yang benar (Zhe GUO 2016;
OECD, 2018). Berpikir kritis merupakan keterampilan penting bagi para pemimpin di
era revolusi industri 4.0 karena adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah penting
dengan hanya sedikit informasi atau sebaliknya dari informasi yang sangat besar.
Teknologi telah meningkatkan akses ke informasi tetapi pada saat yang sama, teknologi
secara signifikan mengikis kesabaran manusia untuk memecahan masalah. Selain
keterampilan berpikir kritis, keterampilan komunikasi juga diperlukan untuk mencapai
keberhasilan. Keterampilan komunikasi mencakup kemampuan memahami apa yang
untuk sedang dikomunikasikan dan mengekspresikan ide atau konsep secara efektif (Zhe
GUO 2016; OECD, 2018). Komunikasi adalah keterampilan yang penting karena
pemimpin harus mampu untuk berhubungan dengan rekan kerja melalui empati,
penjelasan, dan negosiasi.

Salah satu yang menurut saya dapat dilakukan dalam melatih kepemimpinan
generasi muda ialah dengan adanya pelatihan kader, khususnya dalam hal ini kesehatan
dengan pemberdayaan masyarakat. Karena kader yang ada di masyarakat dapat
membantu petugas kesehatan. Kader kesehatan inilah yang menjadi motor penggerak dan
pengelola upaya kesehatan primer ditingkat keluarga dan masyarakat. Kader diharapkan
mampu menggerakkan masyarakat untuk melakukan kegiatan swadaya dalam upaya
peningkatan derajat kesehatan. Melalui keterampilan ini secara bertahap kader akan akan
mengembangkan citra dirinya sebagai seorang yang dapat dipercaya. Disinilah peran
tenaga kesehatan masyarakat dapat membantu dan memfasilitasi kader dalam
memperoleh kredibitasnya, jika antara petugas kesehatan masyarakat dan kader dapat
tercipta suatu interaksi yang bersifat kemitraan dan supervisi. Adanya kader sebagai
mitra, dapat membantu pemerintah dalam mengatasi masalah kesehatan yang ada di
masyarakat terutama perihal UHC, karena pemerintah tidak mungkin mangatasi masalah
ini tanpa bantuan dari masyarakat. Apapun peranan petugas kesehatan masyarakat dalam
meningkatkan kesehatan masyarakat secara mandiri tidak dapat berjalan lancar tanpa
adanya partisipasi aktif dari kader dan masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya adalah cara untuk menumbuhkan dan


mengembangkan norma yang membuat ma syarakat mampu untuk berprilaku hidup
bersih dan sehat. Pemberdayaan masyarakat juga bertujuan agar rakyat lebih mampu,
proaktif, dan aspiratif. Pemberdayaan masyarakat tenaga kesehatan baik medis maupun
non medis pada dasarnya mengajak ma syarakat untuk terampil dalam menentukan
masalah, merencanakan alternatif pemecahan masalahnya, melaksanakan serta menilai
usaha–usaha pemecahan yang akan dilaksanakan. Tenaga kesehatan masyarakat berperan
aktif dalam menggalakkan kegiatan pemberdayaan masyarakat dibidang kesehatan,
kegiatan ini dibantu oleh kader kesehatan yang bersumber dari masyarakat setempat
yang dipilih dengan sukarela.

Upaya kesehatan primer yang dilakukan oleh kader kesehatan semestinya


mendapat tanggapan yang positif dari masyarakat, karena mempunyai kredibilitas
kemampuan. Kredibilitas kemampuan kader diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan
kesehatan, sehingga seorang kader mampu memberikan penyuluhan dan pelatihan
kesehatan, sehingga seorang mampu memberi nasihat dan penyuluhan kesehatan. Akan
terjadi sebaliknya jika kader hanya diperlakukan sebagai perpanjangan tangan maka
kader akan kehilangan kredibilitasnya dimasyarakat. Peran petugas kesehatan
masyarakat dalam pemberdayaan kader sangat penting. Upaya dalam penurunan angka
kematian ibu, bayi dan anak, petugas kesehatan wajib bermitra dengan kader, karena
kader yang berada dan dikenal oleh ma syarakat setempat. Pembinaan dan pengemba
ngan kader diperlukannya unsur kesukarelaan, karena kader bertgas secara sosial. Akan
tetapi tidak berarti seorang kader tidak memerlukan penghargaan baik yang bersifat non-
material ataupun yang bersifat material.

Oleh karena itu, perlu dikembangkan suatu sistem penghargaan, di mana fungsi
sebagai kader merupakan sesuatu yang menimbulkan kebanggaan dan kepuasan.
Pemberdayaan masyarakat telah diakui oleh Departemen Kesehatan untuk mendorong
kemandirian masyarakat agar hidup sehat, menge tahui dan cepat tanggap terhadap
permasalahan kesehatan yang ada dimasyarakat, walaupun kader belum sepenuhnya
menggunakan tujuh prinsip pemberdayaan masyarakat sebagai upaya pemberdayaan
masyarakat. Kader dalam melakukan kegiatan pemberdayaan lebih berupa upaya
peningkatan pengetahuan, bukan pada cepat dalam mengambil keputusan dan
memudahkan akses terhadap pelayanan kesehatan. Jadi, tenaga kesehatan perlu
memberikan advokasi dalam meningkatkan pemberdayaan masyarakat untuk melakukan
pemasaran sosial tentang bagaimana menjaga kesehatan selama masa kehamilan, secara
periodik sehingga kader lebih percaya diri dalam pemberdayaan masyarakat, khususnya
generasi muda.

Berdasarkan penjelasan juga contoh diatas, peranan pemimpin muda yang


dibutuhkan dalam ketercapaian UHC adalah kemampuan untuk berpikir kritis (critical
thinking), berkomunikasi dengan baik (communication), bekerja sama dengan tim dari
berbagai latar belakang budaya (collaboration), kreatif dalam bekerja (creativity), dan
mampu menyikapi dampak negatif dari teknologi secara bijak (care for others/empathy),
sehingga derajat kesehatan masyarakat Indonesia dapat mengalami kenaikan di masa
yang akan datang.

Daftar Pustaka :

Rant, M. B. (2020). Sustainable development goals (SDGs), leadership, and Sadhguru:


SELF-TRANSFORMATION becoming the aim of leadership development. The
International Journal of Management Education, 18(3), 100426.
Umar, T. (2011). Pengaruh outbond training terhadap peningkatan rasa percaya diri
kepemimpinan dan kerjasama tim. Jurnal Ilmiah SPIRIT, 11(3).
Chasanah, S. U. (2017). Peran petugas kesehatan masyarakat dalam upaya penurunan angka
kematian ibu pasca MDGs 2015. Jurnal kesehatan masyarakat Andalas, 9(2), 73-79.
Sulaeman, E. S., Murti, B., & Waryana, W. (2015). Peran Kepemimpinan, Modal Sosial,
Akses Informasi serta Petugas dan Fasilitator Kesehatan dalam Pemberdayaan
Masyarakat Bidang Kesehatan. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional
(National Public Health Journal), 9(4), 353-361.
de Habich, M. (2019). Leadership politics and the evolution of the universal health insurance
reform in Peru. Health Systems & Reform, 5(3), 244-249.
Rifa’i, Muhammad, dan Fadhli, Muhammad, Manajemen Organisasi, Bandung, Cita Pustaka,
2013.
Bloom, G., Katsuma, Y., Rao, K. D., Makimoto, S., Yin, J. D., & Leung, G. M. (2019). Next
steps towards universal health coverage call for global leadership. BMJ, 365.
Irawan, I. K. A. (2019, July). Persona Pemimpin Muda Di Era Revolusi Industri 4.0.
In Prosiding Seminar Nasional IAHN-TP Palangka Raya (No. 1, pp. 1-10).
Solihat, M. (2015). KEPEMIMPINAN DAN GAYA KOMUNIKASI. JIPSI-Jurnal Ilmu
Politik dan Komunikasi UNIKOM, 4.
Mendes, I. A. C., Ventura, C. A. A., Trevizan, M. A., Marchi-Alves, L. M., & Souza-Junior,
V. D. D. (2016). Education, leadership and partnerships: nursing potential for Universal
Health Coverage. Revista latino-americana de enfermagem, 24.
Padilha, A., Kasonde, J., Mukti, G., Crisp, N., Takemi, K., & Buch, E. (2013). Human
resources for universal health coverage: leadership needed. Bulletin of the World Health
Organization, 91, 800-800A.
Yudiaatmaja, F. (2013). Kepemimpinan: Konsep, Teori Dan Karakternya. Media Komunikasi
FPIPS, 12(2).

Anda mungkin juga menyukai