Segala puji hanya milik Allah Subhanahu Wataala, Raja Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan. Atas perkenan serta izin Allah Subhanahu Wataala, Disertasi yang mengusung tema Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan, akhirnya selesai disusun. Tema di atas, penulis angkat untuk diteliti dalam rangka penulisan disertasi tatkala negeri ini dihimpit berbagai masalah yang cukup berat. Di antaranya: tatkala penegakan hukum dirasakan orang sangat carut-marut, ketika disiplin orang-orang hanya menjadi harapan, pada saat kejujuran sudah dianggap aneh, tatkala kebenaran tertukar dengan merasa benar, tatkala keadilan hanya menjadi ungkapan, tatkala kehidupan dunia dianggap lebih baik dari kehidupan akhirat, dan tatkala bermegah-megah dengan harta dan pengikut telah melalaikan manusia dari taat kepada Allah. Keadilan hanya menjadi ungkapan memang bukan isapan jempol, karena pengadilan malah dianggap paling pintar dalam memutar-balikan keadilan. Keadaan itu bahkan telah menjadi rahasia publik di negeri ini. Betapa mahalnya harga sebuah keadilan terlebih untuk si miskin. Betapa mengerikannya tatkala hakim harus berlindung di balik kepala putusan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa namun tidak mampu berlaku adil. Dalam kaitan itu pula penelitian serta kajian terhadap pilihan forum arbitrase dalam menyelesaikan sengketa untuk penegakan keadilan menginspirasi penulis untuk menyusun disertasi ini. Kajian ini penulis lakukan karena ternyata forum arbitrase merupakan wahana tersembunyi yang belum banyak dikenal orang namun telah menyediakan diri untuk membantu menyelesaikan sengketa yang sedang dihadapi orang-orang. Di v sini, di forum arbitrase ini, secercah harapan untuk memperolehan keadilan yang di sana-sini semakin susah untuk didapat masih ditunggu banyak orang. Namun sayang, tidak setiap permasalahan orang-orang dapat dihadapkan kepada forum arbitrase untuk meminta keadilan, karena kewenangan arbitrase untuk itu sangat terbatas dan dibatasi. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah memberikan doa restu maupun dukungan motivasi serta aliran dana selama menyusun disertasi ini. Semoga Allah Subhanahu Wataala berkenan membalas kebajikan berbagai pihak itu dengan balasan pahala yang berlipat ganda. Pertama, terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada yang amat terpelajar Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,S.H., yang semasa beliau menjadi Ketua Program Doktor Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Diponegoro, telah berkenan menerima penulis untuk menjadi peserta program S3. Kedua, kepada Prof. Dr. I.S. Susanto, S.H. almarhum yang amat terpelajar yang di sela-sela kesibukan beliau sebagai Sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Diponegoro, beliau berkenan meluangkan waktu untuk membimbing penulis. Kini tatkala disertasi ini selesai disusun dan siap untuk diajukan ke hadapan dewan penguji, pada hari Jumat, 26 September 2003 beliau telah dipanggil menghadap untuk selama- lamanya ke haribaan Allah Yang Maha Kuasa. Penulis hanya mampu memanjatkan doa ke hadirat-NYA, semoga Prof. Dr. I.S. Susanto, S.H., diterima amal-ibadah serta Iman-Islamnya, diampuni segala dosa dan kekhilafannya, serta di alam Baqa beliau mendapat nikmat qubur. Kemudian untuk segenap keluarga beliau, semoga Allah SWT menganugrahkan kesabaran dan keteguhan Iman dalam menerima ujian ini. vi Ketiga, terima kasih ingin disampaikan kepada yang amat terpelajar Prof. Dr. Paulus E. Lotulung, S.H., yang di sela-sela kesibukan beliau sebagai Ketua Muda Mahkamah Agung RI, beliau masih berkenan membimbing dan menerima penulis, baik di Mahkamah Agung maupun di kediaman beliau di Jakarta untuk dapat berkonsultasi mengenai penulisan maupun materi disertasi ini. Keempat, terima kasih penulis sampaikan juga kepada yang amat terpelajar Prof. Dr. Hj. Esmi Warassih Pujirahayu,S.H.,M.S., yang dengan telaten telah membimbing penulis sekaligus memahamkan penulis mengenai seluk beluk metodologi penelitian dan penulisan serta teori-teori ilmu sosial yang berkaitan dengan penulisan disertasi ini. Di tengah-tengah kesibukan beliau sebagai Rektor Universitas Pekalongan, beliau juga masih berkenan menerima penulis di Kantor beliau maupun di kediaman beliau di Pekalongan untuk membimbing dan menerima konsultasi penulis. Demikian pula tatkala beliau memberikan kuliah pada Program Pascasarjana Universitas Islam Bandung, penulis selalu diberi kesempatan untuk dapat berkonsultasi dengan beliau. Banyak hal yang penulis peroleh dari beliau, baik berupa nasihat- nasihat keilmuan serta moral akademik, nasihat tentang ke-Islaman, juga sejumlah literatur yang diperlukan penulis dalam menunjang penulisan disertasi ini. Kelima, terima kasih juga ingin penulis sampaikan kepada yang amat terpelajar Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, MPA yang telah dengan tulus memberikan dasar-dasar teoretis mengenai metodologi penelitian hukum, sehingga memberikan pencerahan kepada penulis dalam membekali penulis untuk melakukan penelitian dalam rangka menulis disertasi ini. Keenam, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, baik yang langsung mengampu mata kuliah yang penulis ikuti selama menjadi peserta vii program studi ilmu hukum, maupun yang memberikan masukan untuk penyempurnaan naskah sejak Ujian Kualifikasi, kemudian ketika Seminar Proposal Penelitian, dan tatkala Seminar Hasil Penelitian Disertasi. Segala bentuk masukan, nasihat, dan kritik beliau telah sangat bermanfaat dalam rangka penyusunan disertasi ini. Oleh karena itu, kepada yang amat terpelajar Prof. Dr. Sri Redjeki Hartono, S.H., Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H., Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, MPA., saya sangat mengucapkan terima kasih. Kepada para Guru Besar yang amat terpelajar yang telah melakukan penelaahan Disertasi penulis pada Ujian Kelayakan Disertasi penulis, yaitu: Yang amat terpelajar Prof. Ronny Hanitijo Soemitro,S.H., Prof. IGN Sugangga,S.H., dan Prof. Dr. Moempeoeni Moelatingsih Martojo, S.H, disampaikan terima kasih atas segala nasihat serta segala impresinya ketika memeriksa Disertasi penulis pada Ujian Kelayakan. Kepada Prof. Dr. Nindyo Pramono,S.H.,M.S. dari Universitas Gadjah Mada sebagai penguji eksternal, penulis menghaturkan terima kasih. Ketujuh, terima kasih hendak penulis sampaikan pula kepada yang amat terpelajar Prof. Ir. H. Eko Budiardjo, M.Sc., Rektor Universitas Diponegoro Semarang beserta seluruh staf dan jajarannya, atas berbagai fasilitas kemudahan yang memungkinkan penulis mengikuti program ini dengan baik dan lancar. Rektor Undip ini sangat piawai berpuisi dengan sambutannya yang kas penuh canda ria namun bermakna amat dalam karena sarat dengan nasihat. Dalam kaitan itu pula penulis mengucapkan terima kasih yang amat dalam kepada beliau atas nasihat yang demikian menyentuh pada sambutan penutupan Ujian Promosi penulis. Kedelapan, ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada yang amat terpelajar Prof. Dr. Soeharjo Hadisaputro, dr., Sp.PD-KT, Direktur Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Demikian pula viii kepada seluruh staf beliau yang telah memberikan pelayanan, kemudahan, dan fasilitas, sehingga memperlancar penulis dalam menyelesaikan studi. Kesembilan, kepada Prof. Dr. Muladi, S.H., yang tatkala penulis memasuki tahap Ujian Pra Promosi, beliau telah dikukuhkan sebagai Ketua Program Doktor Ilmu Hukum, dan ketika penulis mengikuti kuliah beliau mengampu mata kuliah Transformasi Global, penulis ucapkan terima kasih. Juga kepada seluruh jajaran staf Program Doktor Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Diponegoro, sejak kepemimpinan yang amat terpelajar Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,S.H., kemudian dilanjutkan oleh Prof. Dr. I.S. Susanto, S.H. (alm) yang sejak tahun 1999 memfasilitasi penulis dalam menempuh program studi ini. Kepada yang amat terpelajar Prof. Dr. Moempoeni Moelatingsih Martojo,S.H., sebagai Sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, juga seluruh staf Program Doktor Ilmu Hukum, mbak Supadmi, mbak Alvi Rachmawati, mbak Diah Susanto, mas Mintarno, mas Jumadi, dan mas Juli, yang telah dengan cara dan bidangnya masing- masing memberikan layanan administratif dengan ramah, gesit, dan penuh rasa kekeluargaan sehingga penulis dan juga peserta lainnya sangat merasa puas. Boleh jadi selama saya menjadi mahasiswa (S1, S2, dan S3) serta menjadi guru di berbagai perguruan tinggi, baru saya jumpai di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, yang para staf administratif-nya mampu memperlakukan para mahasiswa sebagai raja yang mesti dilayani keperluannya. Sungguh saya sangat terkesan. Kesepuluh, terima kasih juga disampaikan kepada seluruh Staf Program Pascasarjana, Mas Aji, mbak Heni, Ibu Uun dan seluruh staf yang telah membantu kelancaran proses studi penulis pada program Doktor Ilmu Hukum Undip ini. Terutama pada segala bentuk upaya dan perhatian yang sangat intensif tatkala penulis menghadapi Ujian Pra Promosi. Oleh karena itu, dari lubuk hati yang paling dalam, penulis mengucapkan terima kasih ix yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran urusan penulis. Kesebelas, ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kang Uus, staf pada Direktorat Jenderal Pendirikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional dan juga Drs. Encep Sudirjo, S.Pd., M.Pd., Dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, sahabat sekaligus teman diskusi penulis untuk metodologi penelitian. Kepada mereka berdua penulis sangat berterima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan pada awal-awal penulis memasuki program S3 di Universitas Diponegoro. Semoga Allah Yang Maha Pemurah membalas segala kebaikan mereka. Keduabelas, terima kasih secara khusus juga ingin penulis sampaikan kepada Prof. H. Abdullah Himendra Wargahadibrata, dr., Sp An- KIC, Rektor Universitas Padjadjaran Bandung, atas izin dari beliau penulis dapat melanjutkan studi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro ini. Juga kepada Prof. Dr. Tanwir J. Mukawi, dr, SpPA, ketika saya megajukan permohonan izin untuk melanjutkan studi ini beliau sedang memangku jabatan Pembantu Rektor I Universitas Padjadjaran. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. H. Man S. Sastrawidjaja, S.H.,S.U., Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Atas izin dari beliau saya dapat menempuh studi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Last but not least, penghargaan dan rasa hormat tentu saja saya harus sampaikan kepada ayahanda penulis, Almarhum Sueb Nana Suryana, yang telah mengasuh, membimbing, serta mendidik penulis dengan disiplin kuat untuk terus belajar dan atas restu dari beliaulah penulis menerima tawaran Ny. Retnowulan Sutantio,S.H., Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung untuk menjadi asisten beliau di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung pada tahun 1982 yang lalu. Sejak saat itu x sampai sekarang penulis tetap istiqamah mengabdi sebagai seorang guru pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung. Penghargaan dan rasa hormat, penulis sampaikan juga kepada ibunda penulis Ny. Djasiti, yang di hari tua beliau sebagai seorang pensiunan guru tetap menasihati dan mendoakan penulis untuk tetap menjadi orang yang selalu berhati-hati dalam menjalani hidup dan kehidupan ini. Tanpa kasih sayang dan didikan ibunda tentu saja saya tidak akan menjadi orang seperti sekarang ini. Untuk jasa beliau saya berdoa ke hadirat Allah Subhanahu Wataala, semoga beliau senantiasa dianugerahi rasa syukur untuk tetap mampu beribadah dalam keadaan sehat jasmani dan ruhani seraya menapaki hari-hari di usia tuanya sambil mengasuh dan membimbing cucu-cucu dan cicit beliau. Kepada family saya di Negeri Belanda, Keluarga Jose Soehaja di Delft, kemudian Keluarga Tommy S. Patty di Den Haag. Sejak penulis melakukan studi dan Sandwich Programme di Leiden tahun 1990 dan 1997, perhatian dan kasih sayang mereka telah sangat penulis rasakan dan terima. Bahkan atas segala bantuan materiil maupun dorongan moril yang diberikan menjelang penulis menyelesaikan studi Doktor pada PDIH Undip ini. Atas semuanya itu penulis sangat berhutang budi dan mengucapkan terima kasih. Penulis sangat gembira karena keluarga Jose Soehaja dari Delft dapat menghadiri pada waktu Ujian Terbuka Promosi Doktor penulis. Kepada teman-teman Angkatan V Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang diucapkan terima kasih yang setulus- tulusnya atas kehangatan serta persahabatan dalam kebersamaannya, menjalani suka dan duka selama satu tahun di kelas, termasuk ketika tour ke Bali yang sangat mengesankan itu. Ucapan terima kasih secara khusus disampaikan juga kepada sahabat karib penulis, Aang Batara Winarnu Panornari Pardede, S.H. beserta keluarganya, penulis sangat berterima kasih xi yang tak terhingga serta penulis selalu mendoakan semoga mereka tetap sehat dan dikaruniai kebahagiaan selalu oleh Allah Subahanau Wataala. Paling akhir, dengan penuh rasa rasa syukur, ucapan terima kasih serta penghargaan yang tulus ini pun ingin disampaikan kepada isteri penulis tercinta, Dra. Ella Dewi Laraswati, yang dengan segala doa serta daya upayanya tak henti-henti memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan sekolahnya. Terima kasih juga disampaikan kepada kedua anakku tercinta Risa Dewi Angganiawati dan Anggiani Dewi Rahmawati yang dengan penuh pengertian dan caranya masing-masing membantu serta memberi inspirasi kepada ayahnya untuk segera menyelesaikan disertasinya. Oleh karena selama bertahun-tahun mereka terpaksa harus merelakan tersita haknya untuk memperoleh perhatian yang semestinya. Selayaknya ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus ini disampaikan pula kepada ayahanda mertua penulis, Bapak R. Suyud dan ibunda mertua Ny. O. Rochaeni atas doa restu yang selalu menyertai penulis dalam menapaki perjalanan hidup ini. Kepada seluruh karib kerabat, handai taulan, serta relasi yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu, penulis juga mengucapkan terima kasih atas segala doa restu serta dukungannya. Penulis menyadari disertasi ini masih sangat tidak sempurna. Ibarat kata pepatah: tak ada gading yang tak retak; Kalau tak retak maka bukan gading namanya. Oleh sebab itu, saran dan kritik dari berbagai pihak untuk memperbaiki kekurangan disertasi ini, penulis terima dengan senang hati. Bandung, 30 Januari 2004 Penulis, Lman Suparman
PILIHAN FORUM ARBITRASE DALAM SENGKETA KOMERSIAL UNTUK PENEGAKAN KEADILAN
Dr. EMAN SUPARMAN, S.H.,M.H. xix DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................... iv Abstrak .............................................................................................................. xi Abstract.. ........................................................................................................... xii Ringkasan ......................................................................................................... xiii Daftar Isi .......................................................................................................... xix Daftar Ragaan ................................................................................................. xxi Daftar Singkatan .............................................................................................. xxii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan ....................................................... 1 B. Perumusan Masalah ...................................................................... 21 C. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 23 D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................... 62 E. Pendekatan Studi ........................................................................... 66 F. Metode Penelitian ......................................................................... 73 G. Sistematika dan Pertanggungjawaban Penulisan ........................ 89
BAB II PILIHAN FORUM ARBITRASE SEBAGAI TEMPAT PENYELESAIAN SENGKETA BERKEADILAN ............. 105 A. Tujuan Pilihan Forum Arbitrase dan Keadilan .................... 109 B. Konsekuensi Pilihan Forum Arbitrase terhadap Kompetensi Hakim Pengadilan Negeri .............................. 123 C. Pilihan Forum Arbitrase Sebagai Fenomena Penyelesaian sengketa ......................................................... 139
BAB III SUBJEK DAN OBJEK SENGKETA KOMERSIAL DI DALAM FORUM ARBITRASE ................................... 148
A. Pihak-Pihak Berperkara dalam Forum Arbitrase ................... 148 B. Sengketa yang dapat Diklaim Melalui Forum Arbitrase ......... 159 C. Struktur dan Proses Penyelesaian Sengketa lewat Arbitrase .. 164 1. Arbitrase Institusional ....................................................... 173 2. Arbitrase Ad hoc ............................................................... 178 D. Keadilan Menurut Pihak-pihak Bersengketa .......................... 182
xx
BAB IV PILIHAN FORUM ARBITRASE, BUDAYA HUKUM, DAN KEADILAN ................................................................. 195
A. Pilihan Forum Arbitrase dan Budaya Hukum di Indonesia .... 194 B. Faktor Internal Pengadilan Negeri dan Pilihan Forum Arbitrase ................................................................................. 212 C. Kewenangan Eksekutorial Forum Arbitrase untuk Putusan Final dan Mengikat serta Dilema Perolehan Keadilan ........... 228 D. Perspektif Historis dan Futuristik Arbitrase sebagai Model Penyelesaian Sengketa Berkeadilan ....................... 239
BAB V EKSEKUSI PUTUSAN FORUM ARBITRASE GAMBARAN DILEMA PENEGAKAN KEADILAN DI INDONESIA ......... 268
A. Makna dan Kekuatan Putusan Menurut Pengadilan Negeri Serta Para Pihak Bersengketa .................................................... 267 1. Kekuatan Mengikat ............................................................... 276 2. Kekuatan Pembuktian ........................................................... 278 3. Kekuatan Eksekutorial ......................................................... 280 B. Interpretasi, Koreksi, dan Pergeseran Makna Putusan Arbitrase ................................................................................... 283 C. Diskresi Hakim dalam Masalah Eksekuatur Putusan Arbitrase .................................................................................... 291 D. Eksekusi Putusan Arbitrase dalam Penegakan Keadilan .......... 303
BAB VI P E N U T U P ........................................................................... 333
A. Simpulan ................................................................................. 333 B. Rekomendasi ........................................................................... 340
DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 344
xxiii
DAFTAR RAGAAN
1. Three types of law menurut Philippe Nonet & Philip Selznick; 41. 2. Hierarchy of Types of Dispute Resolution menurut Gerald Turkel; 60. 3. Komponen-komponen Analisis Data: Model Interaktif ; 81 4. Prinsip-prinsip dalam Penyelesaian Sengketa melalui Arbitrase; 169. 5. Pemohon tidak hadir dan Upaya perdamaian; 170. 6. Perubahan dan Penambahan Tuntutan & Jangka Waktu Penyelesaian; 171.
7. Pemeriksaan Saksi dan Saksi Ahli; 172.
xxiv
DAFTAR SINGKATAN
AAA American Arbitration Association ADR Alternative Dispute Resolution AFTA ASEAN Free Trade Area AJM Access to Justice Movement APS Alternatif Penyelesaian Sengketa BANI Badan Arbitrase Nasional Indonesia BKPM Badan Koordinasi Penanaman Modal B.W. Burgerlijk Wetboek CLS Critical Legal Studies HAG Hukum Antar Golongan HIR het Herziene Indonesisch Reglement HPI Hukum Perdata Internasional ICC International Chamber of Commerce ICSID International Centre for Settelement of Investment Disputes I.S. Indische Staatsregeling KADIN Kamar Dagang dan Industri KNY Konvensi New York KPN Ketua Pengadilan Negeri KUHP Kitab Undang-undang Hukum Perdata LCIA London Court of International Arbitration MA-RI Mahkamah Agung Republik Indonesia NAFTA North American Free Trade Agreement PERMA PeraturanMahkamah Agung PPA Peraturan Prosedur Arbitrase PPAT Pejabat Pembuat Akte Tanah R.O. Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid Der Justitie in Indonesie RvJ Raad van Justitie S.A. Saksi Ahli SAW Sholallohu Alaihi Wassalam SEC Single European Community SWT Subhanahu Wataala UAR UNCITRAL Arbitration Rules UNCITRAL United Nations Commission on International Trade Law WvK Wetboek van Koophandel
IHWAL PENULIS
Eman Suparman, lahir dan dibesarkan di Kuningan, 23 April 1959. Usai menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri (1970), Sekolah Menengah Pertama Negeri (1973), dan Sekolah Menengah Atas Negeri (1976) kesemuanya di Kuningan Jawa Barat, kemudian melanjutkan studi di Universitas Padjadjaran Bandung. Pendidikan universiternya diperoleh dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, jurusan Hukum Perdata, lulus tahun 1982. Pada tahun 1985 melanjutkan pendidikan S2 pada Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dengan bidang kajian Hukum Acara Perdata, dan lulus sebagai Magister Hukum pada tahun 1988 dengan Tesis Keharusan Mewakilkan Dalam Menunjang Proses Pemeriksaan Perkara yang Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan. Pada tahun 1990/1991 dalam rangka Sandwich Programme memperoleh kesempatan studi lanjutan, penelitian, dan studi perbandingan untuk bidang kajian Hukum Perdata Internasional dan Hukum Arbitrase di Rijksuniversiteit Leiden, The Netherlands. Dilanjutkan sebagai Visiting Scholar for the European Council Session at Strasborough, France (1991). Awal 1997 atas stipend ABWPP & Associates kembali menjadi Visiting Scholar at de Hoge Raad der Nederlanden; The Hague, The Netherlands (March 1997); Visiting Academic and Research Programme, organised by The Departement of Law The University of Nottingham, UK. (April 1997); Visiting at The 7th Annual Writers Festival Prague 97 at Franz Kafka Centre on Pragues Old Town Square, Prague, Czech Republic (April 1997). Tahun 1999, mengikuti S3 pada Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang dan lulus sebagai Doktor Ilmu Hukum pada bulan Februari 2004 dengan Disertasi bertajuk Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan. Pengabdiannya sebagai pendidik pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung diawali sejak tahun 1983 dan mengampu mata kuliah Hukum Acara Perdata, Hukum Perselisihan, dan Praktik Penanganan Perkara Perdata. Di samping melakukan berbagai Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, juga menulis Buku, di antaranya: (1) INTISARI HUKUM WARIS INDONESIA, diterbitkan CV Mandar Maju, Bandung, 1995. (2) HUKUM DAN BIROKRASI (sebagai salah satu penulis), diterbitkan Walisongo Reseach Institute, Semarang, April 2001. Sejak masih mahasiswa kegiatan ilmiah berupa menulis artikel hukum dalam media cetak telah banyak dilakukan. Oleh karena itu, kini sejumlah artikel ilmiah juga telah ditulis dalam Jurnal Terakreditasi Nasional. Dari pernikahannya dengan Dra. Ella Dewi Laraswati dikaruniai 2 (dua) orang putri. (1) Risa Dewi Angganiawati (Sarjana Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung) dan (2) Anggiani Dewi Rahmawati (Mahasiswi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung).
iii
KATA PENGANTAR
Buku yang sedang Anda baca ini pada mulanya adalah sebuah disertasi penulis yang telah berhasil dipertahankan di hadapan Sidang Terbuka Senat Guru Besar Universitas Diponegoro, pada tanggal 16 Februari 2004 dengan wibawa Rektor Universitas Diponegoro Prof. Ir. Eko Budihardjo, M.Sc. Dorongan dari berbagai pihak agar disertasi tersebut dapat dibaca khalayak yang lebih luas, memotivasi penulis untuk mencari serta menghubungi penerbit yang diharapkan berkenan menerima naskah disertasi tersebut untuk diterbitkan. Pilihan jatuh kepada PT. Tatanusa yang penulis kenal. Oleh karena itu, ucapan terima kasih disampaikan kepada PT. Tatanusa yang memberikan sambutan positip dan telah bersedia untuk menerbitkan naskah disertasi tersebut. Bagi para Mahasiswa S1 dan S2 Ilmu Hukum yang sedang mengikuti perkuliahan Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (HKI 615), Hukum Alternatif Penyelesaian Perselisihan (ADR) [HKB 674], dan mata kuliah Arbitrase & Penyelesaian Sengketa Alternatif (S1), disarankan memiliki jurnal yang secara periodik menyajikan mengenai topik tersebut sebagai pendamping buku ini. Demikian pula kepada para Mahasiswa S3 Ilmu Hukum yang sedang mengikuti perkuliahan Hukum Penyelesaian Sengketa Perniagaan (HKD 813) buku ini semoga dapat membantu anda dalam menemukan masalah yang sedang ditelusuri. Kiranya buku ini dapat menjadi salah satu sumbangsih penulis kepada khazanah hukum Indonesia, khususnya bagi perkembangan hukum arbitrase sebagai salah satu forum tempat penyelesaian sengketa yang lebih berkeadilan serta bermartabat. Menyadari sepenuh hati akan segala kekurangan buku ini, untuk itu segala kritik dan saran dari pembaca, insya Allah akan sangat dihargai. Last but not least, kepada semua pihak yang telah memungkinkan diterbitkannya buku ini, penulis mengucapkan terima kasih. Taruna Parahiangan, Bandung, 13 April 2004
Lman Suparman
Ya Allah, tambahkanlah kepadaku Ilmu Pengetahuan (Q.S. 20:JJ4)
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (Q.S. 58: JJ)
Kepada:
Isteri dan anak-anakku tercinta, Llla Dewi Laraswati Risa Dewi Angganiawati Anggiani Dewi Rahmawati
2
Kata-kata Bestari:
Orang yang berbudi pekerti tinggi akan malu untuk menyatakan ketinggian ilmunya, karena ilmu itu sesungguhnya pemberian Allah Subhanahu Wata'ala
Kejujuran membawa Keberkahan Keberkahan membawa Ketenangan Artinya: Kejujuran membawa Ketenangan
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Perkembangan masyarakat serta laju dinamis dunia bisnis saat ini berlangsung demikian pesat. Dinamika dan kepesatan yang terjadi di dalam kegiatan ekonomi dan bisnis itu ternyata telah membawa implikasi yang cukup mendasar terhadap pranata 1 maupun lembaga 2 hukum. Implikasi terhadap pranata hukum disebabkan sangat tidak memadainya perangkat norma untuk mendukung kegiatan ekonomi dan bisnis yang sedemikian pesat. Kondisi tersebut kemudian diupayakan untuk diatasi dengan melakukan reformasi hukum di bidang kegiatan ekonomi. Berbagai upaya
1 Kendati pada dataran perundang-undangan primer kita tidak dapat melihat terjadinya perubahan besar, tetapi pada dataran yang lebih rendah perubahan tersebut berlangsung dengan intensif. Paket-paket deregulasi tidak terjadi melalui undang- undang, melainkan lewat keputusan-keputusan pemerintah. Keadaan tersebut menarik untuk diikuti oleh karena kita tidak tahu sudah sampai seberapa jauh sebenarnya efek dari perkembangan di tingkat bawah itu mempengaruhi penataan hukum nasional. Lihat Satjipto Rahardjo, Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Konteks Situasi Global; dalam Problema Globalisasi Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi, & Agama. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000, h. [3-19] 13. 2 Sementara itu implikasi terhadap lembaga hukum tampak antara lain dari persepsi pihak-pihak pelaku bisnis terhadap lembaga pengadilan yang dianggap kurang mampu memenuhi harapan mereka. Fakta tersebut dapat disimak dari pernyataan berikut ini: Ternyata dalam perkembangnnya, penyelesaian sengketa menggunakan Pengadilan dihinggapi formalitas yang berlebihan, tidak efisien dan efektif, mahal, perilaku hakim yang memihak, dan hasil putusan hakim yang seringkali mengecewakan pencari keadilan. Puncak dari kekecewaan tersebut telah menyebabkan masyarakat tidak menaruh hormat, yang kemudian menimbulkan krisis kewibawaan dan kepercayaan pada pengadilan. Lihat Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi dalam Rangka Pendayagunaan Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis/Hak Kekayaan Intelektual; Disertasi, Semarang: PDIH, 2002, h. 4.
2 dilakukan melalui pembaharuan atas substansi produk-produk hukum yang sudah tertinggal maupun dengan membuat peraturan perundang-undangan baru mengenai bidang-bidang yang menunjang kegiatan ekonomi dan bisnis. 3
Sementara itu, implikasi dari kegiatan bisnis yang pesat terhadap lembaga hukum berakibat juga terhadap pengadilan 4 yang dianggap tidak profesional untuk menangani sengketa-sengketa bisnis, tidak independen, bahkan para hakimnya telah kehilangan integritas moral 5 dalam menjalankan profesinya. Akibatnya, lembaga pengadilan yang secara konkret mengemban
3 Lihat Normin S. Pakpahan, Pembaharuan Hukum di Bidang Kegiatan Ekonomi. Makalah pada Temu Karya Hukum Perseroan dan Arbitrase; Jakarta, 22-23 Januari 1991, h. [29-37] 31. ...Yang disebut hukum nasional dalam era globalisasi di samping mengandung local characteristics seperti Ideologi bangsa, kondisi-kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa, juga harus mengandung kecenderungan- kecenderungan internasional (international trends) yang diakui oleh masyarakat dunia yang beradab. Yang menjadi masalah adalah sampai berapa jauh kecenderungan- kecenderungan internasional ini memberikan warna di dalam kehidupan hukum nasional, baik dalam pembentukan hukum, penegakan hukum, maupun kesadaran hukum. Lihat, Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997, h. 63. 4 Pengadilan yang kadang-kadang juga disebut Badan Peradilan memiliki makna ganda. Pertama, berarti organisasi (lembaga) pengadilan; Kedua, berarti suatu proses kerja dari unsur-unsur yang ada di dalam organisasi pengadilan itu dalam rangka memeriksa dan menjatuhkan putusan hukum. Sedangkan kata Pengadilan (dalam arti: lembaga) juga berarti badan yang oleh penguasa dengan tegas diberi tugas untuk memeriksa pengaduan tentang gangguan hak (hukum) atau memeriksa gugatan dan badan itu memberi putusan hukum. Jadi Pengadilan atau Badan Peradilan adalah badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapa pun untuk pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah eigenrichting. Lihat Sudikno Mertokusumo, Sistem Peradilan di Indonesia; JURNAL HUKUM, No. 9, Vo. 4, 1997, h. [1-8], 2. 5 Secara jujur harus diakui, impresi ihwal buruknya kondisi peradilan di Indonesia sebagian besar disebabkan pengadilan Indonesia yang tidak memiliki independensi, sehingga mengancam integritasnya sebagai penjaga tegaknya rule of law. Jika dipilah- pilah, persoalan tentang independensi peradilan yang dihadapi saat ini, terdiri atas masalah: kemadirian hakim (bebas dari campur tangan eksekutif), integritas (moral 3 tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan ketika menerima, memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan setiap sengketa yang diajukan, dianggap sebagai tempat menyelesaikan sengketa yang tidak efektif dan efisien. 6
Gambaran tentang kondisi pengadilan semacam itulah yang selama ini dipahami oleh kalangan pengusaha, terutama pengusaha asing yang berbisnis di Indonesia. Di samping itu masih ditambah pula dengan kondisi objektif lainnya dari proses penyelesaian sengketa di pengadilan, yaitu bahwa menyelesaikan sengketa melalui pengadilan di Indonesia sesungguhnya merupakan rangkaian yang sangat panjang 7 dari sebuah proses upaya pencarian keadilan. Oleh karena itu, dapat dimengerti apabila kalangan dunia usaha, terutama pengusaha asing, yang senantiasa mengupayakan segala urusan dengan serba cepat, 8 ketika menghadapi sengketa akan berusaha
para hakim), dan profesionalisme. Lihat Mas Achmad Santosa, Independensi Peradilan dan TAP MPR RI No. X/MPR/1998; Kompas, 11 Januari 1999. 6 Adi Sulistiyono, Mengembangkan Op. Cit., h. 4 - dst. 7 Sebagai akibatnya maka proses persidangan dari sebuah perkara hingga terbitnya putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap dapat berlangsung hingga enam tahun. Selain lambat, putusan hakim juga sering dinilai kontradiktif dan tidak jarang putusan hakim itu tidak dapat dieksekusi. Lihat HP Panggabean, Kelambanan Proses Peradilan Dikeluhkan; Kompas, 23 April 1999. 8 Pengadilan terdiri atas berbagai instansi atau tingkatan. Diperolehnya putusan pada tingkat pertama, belum berarti sengketa tersebut selesai, karena pihak yang merasa tidak puas dengan putusan tersebut masih dapat melakukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi. Bahkan bila masih belum merasa puas juga dengan putusan banding, yang bersangkutan masih dapat melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Tak ada jaminan dari pihak mana pun bahwa penyelesaian sengketa pada setiap tingkatan pengadilan itu akan berlangsung dengan cepat. Apabila semua tingkatan peradilan itu dapat selesai ditempuh dalam jangka waktu satu tahun enam bulan (yang berarti: satu instansi enam bulan), maka itu sudah dapat dikatakan sangat cepat. Ditambah lagi dengan sejumlah tunggakan (kongesti) perkara-perkara yang menyebabkan penyelesaian perkara di pengadilan semakin lamban. Lihat R. Subekti, Arbitrase Perdagangan. Bandung: Binacipta, 1981, h. 4. 4 memilih forum penyelesaian sengketa yang menurut kriteria mereka lebih dapat dipercaya dan sesuai dengan budaya bisnis. 9 Forum penyelesaian sengketa dimaksud biasanya memiliki karakteristik: (i) menjamin kerahasiaan materi sengketa; (ii) para pihak yang bersengketa mempunyai kedaulatan untuk menetapkan arbiter, tempat prosedur beracara, dan materi hukum; (iii) melibatkan pakar-pakar (arbiter) yang ahli dalam bidangnya; (iv) prosedurnya sederhana dan cepat; dan (v) putusan forum tersebut merupakan putusan yang terakhir serta mengikat (final and binding). Di samping itu, faktor yang tidak kalah penting adalah putusan dari forum tersebut, baik sengaja maupun tidak sengaja, sama sekali tidak terpublikasikan 10 kepada khalayak secara luas tanpa ijin para pihak yang bersengketa. Adapun forum penyelesaian sengketa yang karakteristiknya semacam itu tidak lain adalah forum arbitrase (arbitration). 11
9 Lihat Adi Sulistiyono, MengembangkanOp. Cit., h. 88. 10 Berbeda dengan asas yang dianut oleh pengadilan dalam memutus sengketa, yakni pemeriksaan perkara dan pembacaan putusan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum, sedangkan pemeriksaan yang dianut oleh forum arbitrase (arbitration institution) menganut asas pintu tertutup, sehingga ICSID (International Centre for Settlement of Investment Disputes) sebagai Badan Arbitrase Bank Dunia di dalam Rules of Procedure for Arbitration Proceedings (Arbitration Rules) pasal 48 ayat (4) menentukan: The Centre shall not publish the award without the consent of the parties. The Centre may, however, include in its publication excerpts of the legal rules applied by the Tribunal. Baca ICSID Basic Documents, Washington DC, 1985, h. 83. 11 Arbitration, is a method for settling controversies or disputes whereby an unofficial third party hears and considers arguments and determines an equitable settlement.; Lihat Peter J. Dorman (eds), Running Press Dictionary of Law. Philadelphia: Running Press, 1976, h. 19. Arbitrase yang di Indonesia diatur dalam Undang-Undang nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Berdasarkan Penjelasan Umum UU Nomor 30 5 Sebagai salah satu cara menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan, forum arbitrase bukan sesuatu yang baru dalam sistem penyelesaian sengketa hukum di Indonesia. Di masa lalu, arbitrase kurang menarik perhatian dan kurang populer walaupun sesungguhnya sudah lama diatur dalam sistem hukum di Indonesia. 12 Bahkan pada kurun awal kemerdekaan Indonesia, arbitrase pun telah lazim dipraktikan di kalangan para usahawan. 13
Dewasa ini, arbitrase dipandang sebagai pranata hukum yang penting sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan. Bahkan meningkatnya peranan arbitrase pun bersamaan dengan
Tahun 1999, Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution atau ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Oleh karena itu, arbitrase menurut UU tersebut bukan merupakan salah satu dari ADR, melainkan sebuah metode penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga di luar pengadilan umum. 12 Meski tidak dijumpai kasus sengketa yang pernah diputus oleh forum arbitrase sebelum Indonesia merdeka, namun kaidah umum tentang arbitrase ketika itu telah merupakan bagian dari Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Raad van Justitie (RvJ) di masa kolonial Belanda, yakni dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) S. 1847 No. 52 jo S. 1849 No. 63. Kaidah tersebut terdapat dalam pasal-pasal 615-651 Rv. Pasal 615 ayat (1) Rv antara lain menentukan: Ieder kan de geschillen omtrent de regter waarover hij de vrije beschikking heeft, aan de uitspraak van scheidsmannen onderwerpen. (Adalah diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat dalam suatu sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuasaannya untuk melepaskannya, untuk menyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada seorang atau beberapa orang wasit). R. Subekti, Loc. Cit., h. 39. 13 Salah satu buktinya adalah ketika itu ada diantara perkumpulan para pedagang yang memiliki panitia arbitrase sendiri. Dapat dikemukakan di sini, misalnya: Panitia Arbitrase dari Organisasi Exporteur Hasil Bumi Indonesia, disingkat O.E.H.I. Nama ini diketahui dari Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1/1959 Pem. Put. Wst. tanggal 5 September 1959, Putusan Wasit dalam perkara antara Indonesia Cotton Trading Co. Ltd. lawan Firma Rayun; dalam Majalah Hukum dan Masyarakat No. 1-2-3 Tahun 1962, hlm. 164. Periksa, Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata. Bandung: Alumni, 1992, h. 71. 6 meningkatnya transaksi niaga, baik nasional maupun internasional. Kompleksitas dan tingginya persaingan di dalam transaksi niaga, baik nasional maupun internasional tersebut sangat berpotensi menimbulkan sengketa. Beragam sengketa yang timbul dari kegiatan bisnis atau aktivitas komersial itu secara umum dapat disebut sebagai sengketa bisnis atau sengketa komersial 14 (selanjutnya disebut dengan sengketa komersial). Demikian luasnya pengertian komersial sehingga meliputi seluruh aspek kegiatan bisnis. Oleh sebab itu, dalam rangka penulisan disertasi ini, sengketa komersial tidak ditetapkan secara spesifik. Sengketa komersial dimaksud diambil secara random (acak) dari kasus yang ada berdasarkan kebututuhan kajian ini. Bahkan sengketa komersial dimaksud tidak ditentukan berdasarkan jenis objek sengketanya maupun ragam kontrak bisnisnya. Sengketa komersial di dalam penulisan disertasi ini semata-mata dikaji berdasarkan perbedaan subjek-subjek sengketanya, sehingga hanya dibedakan atas dua prototipe sengketa komersial. Pertama, sengketa
14 Seperti dapat disimak dari The United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL Arbitration Rules atau disingkat UAR Model Law on International Commercial Arbitration, June 21, 1985) istilah komersial dapat dibaca sebagai berikut: The term commercial should be given a wide interpretation so as to cover matters arising from all relationships of a commercial nature, whether contractual or not. Relationships of a commercial nature include, but are not limited to, the following transactions; any trade transactions for the supply or exchange of goods or services; distribution agreement; commercial representation or agency; factoring; leasing; construction of works; consulting; engineering; licensing; investment; financing; banking; insurance; exploitation agreement or concession; joint venture and other forms of industrial or business co-operation; carriage of goods or passanger by air,sea, rail or road. Periksa, Alan Redfern & Martin Hunter, Law and Practice of International Commercial Arbitration. London: Sweet & Maxwell, 1991, h. 21. 7 komersial domestik, yaitu sengketa yang terjadi antara subjek-subjek atau para pihak orang Indonesia yang melakukan kontrak bisnis satu sama lain, dan objek sengketanya terletak di dalam negeri. Kedua, sengketa komersial internasional (international commercial disputes), 15 yaitu sengketa yang melibatkan pihak-pihak atau subjek-subjek asing, baik individu maupun lembaga swasta yang berlainan kewarganegaraan, sengketa tersebut terjadi dari kontrak 16 bisnis internasional. Berdasarkan perspektif cara yang dipilih untuk menyelesaikan kedua prototipe sengketa tersebut di muka adakalanya juga memiliki perbedaan. Sengketa komersial domestik pada umumnya, bahkan hampir dapat dipastikan subjek-subjek sengketanya cenderung membawa sengketa mereka untuk diselesaikan di pengadilan negeri. Memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa komersial tipe yang pertama belum menjadi bagian
15 International disputes covers not only disputes between states as such, but also other cases that have come within the ambit of international regulation, being certain categories of disputes between states on the one hand, and individuals, bodies corporate, and non-state entities on the other". Jadi suatu sengketa tergolong internasional bilamana menyangkut: (i) negara dengan negara; (ii) negara di satu pihak dengan individu di lain pihak; (iii) negara dengan organisasi atau badan hukum (bodies corporate); dan (iv) antara lembaga swasta atau individu satu sama lain. Semuanya itu sepanjang berada dalam lingkup pengaturan internasional. Atau sepanjang menyangkut pihak-pihak yang berlainan kebangsaannya. Lihat J.G. Starke, Introduction to International Law. Ninth Edition, 1984, h. 463. 16 Kontrak internasional dalam pengertian ini, adalah "... contracts with elements in two or more nation-states. Such contracts may be between states, between a state and a private party, or exclusively between private parties..." Lihat Hans Smit et al., International Contracts. Parker School of Foreign and Comparative Law, Columbia University, Matthew Bender, 1981, h. 4. 8 dari perilaku para pihak domestik. 17 Sementara itu memilih forum arbitrase umumnya dilakukan oleh pihak asing dalam rangka menyelesaikan sengketa komersial internasional. Dari pembacaan beberapa literatur diketahui bahwa praktik pada beberapa negara maju menunjukkan bahwa untuk mempersiapkan penyelesaian sengketa tipe kedua itu hampir setiap kontrak bisnis internasional mencantumkan klausula 18 pemilihan forum arbitrase. Bahkan dalam kaitannya dengan pilihan forum arbitrase ini, A.J. van den Berg secara ekstrim menyebutkan bahwa "...bevat ongeveer 90 % van de internationale contracten een arbitraal beding." 19 Untuk kasus negara- negara lain sinyalemen tersebut mungkin saja benar seperti itu. Namun belum dapat dipastikan apakah keadaan di Indonesia juga semacam itu. Oleh
17 Di Indonesia kehadiran Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) ternyata belum mampu merangsang pelaku bisnis yang bersengketa untuk memberikan kepercayaan pada lembaga arbitrase. Keadaan tersebut dapat disaksikan dari data yang ada di BANI, sejak tahun 1979 sampai dengan tahun 2001 ternyata hanya terdapat 211 kasus yang masuk. Dari 211 kasus tersebut yang berhasil diputus sebanyak 129 kasus. Kemudian yang dicabut atau batal (tanpa diketahui alasannya) sebanyak 58 kasus, dan yang dalam proses administrasi atau ditunda sebanyak 24 kasus. Data di atas diperoleh dari BANI pada tanggal 15 Juli 2002. Bdgk. Adi Sulistiyono, MengembangkanOp. Cit., h. 89. 18 Millions of contracts, insurance policies, leases, franchise and employment agreement, and other business and personal arrangements include arbitration clause. Such clauses bind the parties to arbitrate disputes that may arise over the meaning or application of the language in the contract. Lihat Robert Coulson, Business Arbitration What You Need to Know. (revised third edition), New York: AAA, 1987, h. 9. 19 Lihat A.J. van den Berg et al., Arbitrage Recht. W.E.J. Tjeenk Willink - Zwolle, 1988, h.137; Sudargo Gautama seakan memperkuat sinyalemen di atas dengan menyebutkan: Menurut kenyataan kontrak-kontrak dagang Internasional hampir seluruhnya memuat suatu klausula arbitrase. Arbitrase memang sengaja telah dipilih oleh mereka yang berkecimpung dalam perdagangan internasional karena mereka umumnya kurang mempercayai badan-badan peradilan negara-negara berkembang, termasuk juga sistem hukum dan peradilan di Indonesia. Lihat S. Gautama, Masalah- Masalah Baru HPI. Alumni, 1984, h. 45-46. Cf., The Hon. Mr. Justice KERR, International Arb. v. Litigation; The Journal of Business Law. 1980, h. 165. 9 karena adakalanya juga, kontrak bisnis internasional yang disepakati oleh pengusaha swasta asing dengan pengusaha swasta Indonesia tidak mencantumkan klausula arbitrase sebagaimana lazimnya. Kalau pun pilihan-pilihan untuk menyelesaikan sengketa komersial internasional itu diarahkan kepada forum arbitrase dengan jalan mencantumkan klausula arbitrase di dalam kontrak bisnis, boleh jadi hal itu karena pihak-pihak dihadapkan kepada pilihan yang tidak mudah. 20 Di samping itu, seandainya yang dikehendaki oleh para pihak itu tidak sekedar penyelesaian sengketa melainkan para pihak juga menghendaki adanya putusan yang mengikat dari penyelesaian sengketa tersebut, maka pilihan tentu tidak akan diarahkan kepada penyelesaian sengketa alternatif yang tergolong non-adjudicatory procedures. 21 Oleh karena penyelesaian
20 Sejak zaman Orde Baru, sistem hukum dan peradilan di Indonesia memang dianggap kurang dapat memberikan rasa keadilan kepada pihak-pihak yang bersengketa. Hal demikian sangat dirasakan oleh pihak-pihak terlebih lagi oleh pihak asing manakala berperkara di pengadilan di Indonesia. Kondisi semacam itu ditambah pula oleh informasi yang kurang bertanggung jawab yang sengaja atau tidak disampaikan oleh sejumlah pihak yang memiliki keterkaitan dengan pihak asing yang bersengketa di Indonesia. Bahkan disinyalir ada sejumlah kantor konsultan hukum di Indonesia yang tidak segan-segan memberi advis hukum kepada pengacara di luar negeri dengan membeberkan keadaan yang dianggap kurang memadai dari sistem hukum dan peradilan di Indonesia. Lebih dari itu bahkan ada sementara kantor konsultan hukum yang mengatakan: di Indonesia fihak asing tidak akan mendapatkan peradilan yang baik. Pilihan jurisdiksi peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta dianggap sebagai kurang memberikan kepastian bagi pihak luar negeri. Lihat S.Gautama, Masalah-Masalah Baru Hukum Perdata Internasional. Bandung:Alumni, 1984, h. 46-47. 21 Serupa dengan Negotiation, Mediation, Conciliation, sebagai cara alternatif penyelesaian sengketa, di dalam penyelesaian sengketa internasional juga dikenal cara- cara yang termasuk dalam Non-Adjudicatory procedures diantaranya adalah Enquiry, Good Offices, dan UN involvement. Lihat David H. Ott, Peaceful Settlement of Disputes; dalam Public International Law in the Modern World. London: The Bath Press, 1987, h. 333-335. 10 sengketa alternatif semacam negosiasi, mediasi, dan konsiliasi sudah jelas tidak dapat menghasilkan putusan (award) yang mengikat para pihak. Memang mekanisme penyelesaian sengketa alternatif yang paling sederhana dan biasanya prosesnya juga paling cepat adalah melalui negosiasi 22 di antara para pihak atau para penasihat (adviser) mereka. Bahkan negosiasi di antara para pihak dianggap paling mendekati penyelesaian sengketa secara damai, karena para pihak sendiri yang paling mengetahui kekuatan serta kelemahan dari kasus mereka masing-masing. Apabila mereka memerlukan nasihat mengenai sengketa yang dihadapi, mereka selalu dapat meminta nasihat dari para konsultan hukum (lawyers), para akuntan, para ahli teknik (engineers), maupun ahli-ahli yang lainnya. Namun demikian, negosiasi sangat memerlukan sikap yang netral serta objektif di samping tentu saja kehendak untuk berkompromi. Di samping itu, negosiasi selalu mungkin untuk dilakukan, bahkan setelah metode penyelesaian sengketa yang lain dijalankan.
22 Negosiasi (negotiation), termasuk ke dalam kelompok non-adjudicatory methods of settlement, secara esensial negosiasi berarti pertukaran pendapat dan usul antar pihak sengketa untuk mencari kemungkinan tercapainya penyelesaian sengketa secara damai. Negosiasi tergolong metode yang paling tua yang dikenal di dalam hubungan internasional. Metode ini pun diterima secara universal dan yang paling umum dipakai untuk menyelesaikan sengketa internasional. Negosiasi merupakan suatu proses yang di dalamnya secara eksplisit diajukan usul secara nyata untuk tercapainya suatu persetujuan. Negosiasi melibatkan diskusi langsung antar pihak sengketa. Periksa, Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional. Yogyakarta: Liberty, 1990, h. 108.
11 Namun demikian, meski secara teoretis negosiasi memang tergolong cara penyelesaian sengketa komersial yang dianggap paling sederhana dan paling cepat, akan tetapi seperti dikemukakan di atas, kadang-kadang para pihak menghendaki agar sengketa mereka diputus oleh lembaga yang putusannya mengikat. Oleh karena itu, para pihak biasanya akan menempuh jalan lain, baik melalui pengadilan atau bahkan secara khusus memilih penyelesaian lewat forum arbitrase. Sesungguhnya persoalan penyelesaian sengketa bagi para pelaku bisnis, itu bukan merupakan fokus utama perhatian mereka. Sejak awal tujuan mereka memang berbisnis dan sama sekali bukan untuk bersengketa. Perhatian utama para pelaku bisnis adalah pada pemenuhan prestasi atau pelaksanaan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak dan bukan pada sengketa maupun upaya penyelesaiannya. Akan tetapi, di dalam kehidupan ini, apalagi dalam interaksi bisnis, kadang-kadang sesuatu peristiwa yang tidak diduga terjadi dan sama sekali tidak dapat dihindari. Apabila dari peristiwa itu kemudian berkembang menjadi suatu pertikaian tentang berbagai masalah bisnis dan semakin kompleks, apalagi sudah menyangkut hal-hal yang sangat substansial dalam interaksi mereka, maka perselisihan semacam itu tidak dapat dibiarkan. Oleh karena itu, tatkala timbul keadaan semacam itu sebagai akibat dari pelaksanaan hak dan kewajiban mereka, pada umumnya mereka terlebih 12 dahulu akan membawa hal tersebut untuk dibahas bersama penasihat hukum (lawyer) mereka. Dalam pembicaraan tersebut tentu saja termasuk menentukan di mana sengketa tersebut hendak diselesaikan. Demikian pula ketika awal kesepakatan bisnis dibuat dan kontrak bisnis disepakati, pada umumnya para pelaku bisnis tidak secara khusus memikirkan untuk memilih forum penyelesaian sengketa. Bagi mereka klausula penyelesaian sengketa yang dituangkan di dalam setiap kontrak bisnis, bukanlah sesuatu yang terlalu dipersoalkan, sehingga hal itu seringkali dianggap sebagai sesuatu yang ada secara built-in di dalam setiap kontrak dan tidak harus selalu merupakan kehendak dari para pihak. Anggapan tersebut memperoleh pembenaran dari sejumlah konsultan hukum pengusaha yang dipilih sebagai informan dalam penelitian ini. Bahwa sejak kontrak bisnis disepakati, untuk menentukan klausula penyelesaian sengketa, pelaku bisnis senantiasa menyerahkan kepada konsultan hukumnya. Walaupun hal itu tidak berarti para pelaku usaha tidak memiliki kehendak untuk memilih forum lain sebagai tempat menyelesaikan sengketa selain pengadilan negeri, namun setidaknya merupakan indikasi bahwa terhadap persoalan di luar persoalan bisnis, acapkali para pengusaha tidak hendak terlalu jauh mencampuri. Dengan demikian forum mana pun yang dipilih dan dijadikan sebagai klausula penyelesaian sengketa di dalam kontrak, bagi 13 pihak-pihak materil, 23 dalam hal ini para pengusaha, hampir tidak ada masalah. Yang paling utama bagi mereka sesungguhnya adalah tidak terganggunya kegiatan bisnis oleh berbagai perselisihan di antara mereka. Pada umumnya para pengusaha hanya menghendaki agar sengketa yang dihadapi dengan mitra usahanya tidak menyebabkan terganggunya kegiatan bisnis mereka. Mereka juga tidak ingin bila kasus sengketa yang melibatkan dirinya terbuka luas diketahui pihak-pihak lain yang tidak berkepentingan, sehingga berakibat tidak menguntungkan aktivitas bisnisnya. Mengingat komitmen dan orientasi para pengusaha itu semata-mata terhadap profit dan bukan pada sengketa atau pun proses penyelesaiannya, maka menjadi tugas para konsultannya untuk memberitahu apa yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan. Salah satu tugas yang dilakukan konsultan hukum pengusaha tentu saja memberi informasi tentang berbagai hal kepada kliennya secara baik dan benar. Demikian pula dalam konteks penyelesaian sengketa bisnis yang akan atau sedang dihadapi. Para konsultan tentu akan dan harus berusaha untuk meyakinkan kliennya agar menempuh upaya yang relatif lebih kecil risiko 24 bisnisnya. Bila memilih pengadilan
23 Pihak materiil dalam perkara adalah orang yang mempunyai kepentingan langsung di dalam perkara bersangkutan, baik sebagai claimant (orang yang membuat tuntutan/penggugat) maupun sebagai respondent (orang yang dijadikan sebagai tertuntut/tergugat). Periksa, Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1985 h. 47-48. Bdgk. M. Yahya Harahap, Arbitrase. Jakarta: Sinar Grafika, 2001, h. 132-133. 24 Secara etimologi, risiko adalah akibat yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan. Periksa, Kamus Besar Bahasa 14 sebagai tempat penyelesaian sengketa dianggap oleh para pelaku bisnis memiliki risiko bisnis yang besar, maka memilih arbitrase untuk menyelesaikan sengketa bisnis dianggap memiliki risiko bisnis relatif lebih kecil. Itulah yang kemudian dikenal secara umum bahwa mekanisme penyelesaian sengketa lewat arbitrase dianggap memiliki keunggulan. 25
Namun demikian, memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa bisnis dengan asumsi lebih menguntungkan karena arbitrase memiliki keunggulan dan risiko bisnisnya relatif lebih kecil, faktanya belum tentu selalu demikian. Ambil contoh satu hal saja, berkenaan dengan putusan arbitrase. Sebagaimana diketahui bahwa forum arbitrase tidak memiliki kewenangan publik untuk dapat mengeksekusi sendiri setiap putusan yang dijatuhkannya. Dengan demikian, suatu putusan arbitrase, di mana pun putusan tersebut dijatuhkan, akan selalu tidak memiliki titel
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hlm. 751. Jadi yang dimaksud dengan risiko bisnis dalam konteks pembahasan pilihan forum penyelesaian sengketa di muka adalah: akibat yang merugikan atau membahayakan kegiatan bisnis yang akan dialami oleh pihak-pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung sebagai pelaku bisnis, apabila mereka keliru menentukan pilihan forum dalam rangka menyelesaikan sengketa yang sedang dihadapi. 25 Keunggulan arbitrase di antaranya: (i) para pihak yang bersengketa dapat memilih para arbiternya sendiri yang dipercayai memiliki integritas (integer =utuh/keutuhan pribadi), kejujuran, keahlian, dan profesionalisme di bidangnya masing-masing (namun demikian, sama sekali tidak mewakili pihak yang memilihnya). Artinya, orang tersebut adalah independen dan bukan penasihat hukumnya; (ii) proses pemeriksaan sengketa dalam majelis arbitrase itu konfidensial, sehingga menjamin rahasia serta tidak ada publisitas yang tidak dikehendaki; (iii) tata cara arbitrase lebih informal dibandingkan dengan beracara di pengadilan, sehingga hubungan komersial para pihak di kemudian hari setelah proses penyelesaian sengketa tidak harus terganggu seperti halnya jika penyelesaian sengketa dilakukan lewat pengadilan dengan segala formalitas 15 eksekutorial (executoriale titel) 26 sebelum putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri. 27
Bahkan untuk putusan arbitrase internasional ditentukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan baru dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur (exequatur) 28 dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 29
Berbicara mengenai keterlibatan pengadilan negeri di dalam rangkaian proses arbitrase tidak sekedar menyangkut persoalan eksekuatur untuk kepentingan eksekusi putusan arbitrase. Bahkan pengadilan negeri terlibat di dalam rangkaian proses arbitrase sejak awal sampai dengan pelaksanaan putusan. Artinya kewenangan pengadilan negeri tidak sekedar sebagai penerima pendaftaran dan pemberi eksekuatur, melainkan juga menunjuk arbiter atau majelis arbitrase, 30 apabila para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang
beracaranya. H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Fikahati Aneska-BANI, 2002, h. 63-64. 26 Titel eksekutorial adalah alas hak eksekutorial, tulisan yang memberikan dasar untuk penyitaan dan lelang sita. Putusan yang mempunyai kekuatan pasti (kracht van gewijsde). 27 Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999. 28 Adalah pernyataan dapat dilaksanakan suatu keputusan pengadilan; khusus pernyataan setuju dengan pelaksanaan keputusan (fiat executie), dari Ketua Pengadilan Negeri atas putusan wasit. Lihat N.E. Algra et al., Fockema Andreae Kamus Istilah Hukum. Bandung: Binacipta, 1977, h. 129. 29 Pasal 67 ayat (1) juncto Pasal 66 huruf d UU Nomor 30 Tahun 1999. 30 Pasal 13 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999. 16 dibuat mengenai pengangkatan arbiter. Demikian pula dalam suatu arbitrase ad hoc, setiap ketidaksepakatan dalam penunjukan seorang atau beberapa orang arbiter, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk seorang atau lebih arbiter. 31
Di dalam praktik, pihak yang dikabulkan tuntutannya atau penasihat hukumnya biasanya memasukkan putusan arbitrase untuk didaftarkan berdasarkan surat kuasa dari para arbitrator. Surat kuasa yang memberi kewenangan kepada pihak yang dikabulkan tuntutannya atau penasihat hukumnya untuk mendaftarkan putusan arbitrase itu biasanya sudah termasuk di dalam putusan. Namun demikian, menurut Hukum Indonesia, surat kuasa untuk keperluan tersebut harus berisi kata-kata yang tegas yang menyatakan luas lingkup dari kewenangan yang didelegasikan oleh para arbiter kepada pihak yang menang atau penasihat hukumnya. Apabila pihak yang harus melaksanakan putusan arbitrase tidak bersedia melaksanakannya, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintahkan agar pihak yang bersangkutan melaksanakan putusan arbitrase dimaksud atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. 32
Akan tetapi sebelum Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan untuk melaksanakan putusan, terlebih dahulu memeriksa apakah putusan arbitrase
31 Pasal 13 ayat (2). 32 Pasal 61 UU Nomor 30 tahun 1999. 17 dimaksud memenuhi ketentuan pasal 4 dan pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan ketertiban umum. 33 Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 62 ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan pelaksanaan putusan dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak ada upaya hukum apa pun. 34
Berdasarkan hasil penelitian yang diadakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada bulan Januari 2002 berkenaan dengan putusan arbitrase nasional yang didaftarkan untuk dilaksanakan, menunjukkan bahwa jumlah putusan yang didaftarkan turun dari 19 putusan pada tahun 1999 menjadi hanya enam putusan saja pada tahun 2001, walaupun perintah pelaksanaan diberikan sembilan kali pada tahun 1999 dan tidak ada sama sekali pada tahun 2000 dan 2001. 35 Sebagaimana telah diuraikan di muka, bahwa yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 36
Berkaitan dengan persoalan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase, terutama putusan arbitrase internasional di Indonesia, sejak dahulu
33 Pasal 62 ayat (2). 34 Pasal 62 ayat (3). 35 Mulyana, et al., Indonesias New Framework For International Arbitration: A Critical Assessment of the Law and Its Application by the Court; Mealeys International Arbitration Report. January, 2002, h. (1-32) 23. 36 Pasal 65 UU No. 30/1999. 18 tidak pernah ada kepastian hukum. 37 Padahal sejak Indonesia meratifikasi Konvensi New York 1958, 38 sejak saat itu pula banyak pihak menaruh harapan jika putusan arbitrase asing akan dapat dilaksanakan di Indonesia. Namun faktanya permohonan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing selalu kandas dan ditolak. Putusan berikut ini merupakan salah satu contoh kasus yang permohonan pelaksanaannya ditolak oleh Mahkamah Agung. Secara ringkas, kronologis penolakan tersebut dapat disimak berikut ini: London Arbitration Awards No. 1950, tanggal 12 Juli 1978, kasus antara PT Nizwar Jakarta vs Navigation Maritime Bulgare, varna, Blvd. Chervenoermeiski. Putusan tersebut dimintakan fiat eksekusi melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan dengan penetapan No.2288/1979 P., tanggal 10 Juni 1981 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengabulkan permohonan pemohon. Artinya putusan Arbitrase London itu dapat dieksekusi. Namun demikian PT Nizwar Jakarta selaku termohon eksekusi mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Melalui putusannya Nomor 2944 K/Pdt/1983 Mahkamah Agung menyatakan bahwa putusan arbitrase asing
37 Sejak dasawarsa delapan puluhan, tatkala arbitrase sebagai salah satu forum tempat penyelesaian sengketa, mulai populer digunakan oleh kalangan pengusaha sebagai forum alternatif di luar pengadilan negeri, sampai dengan tahun 1990, tatkala diterbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1990, persoalan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing, keadaannya masih tidak menentu. 38 Dengan instrumen ratifikasi Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1981. 19 seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima. Di antara alasan penolakan Mahkamah Agung, sehingga putusan arbitrase London itu tidak dapat dilaksanakan ketika itu, antara lain karena belum atau tidak ada peraturan pelaksanaan (implementing regulation) untuk Konvensi New York 1958. 39
Bila dibandingkan dengan keadaan di waktu yang lalu, setelah undang-undang arbitrase diundangkan pun, berkenaan dengan mekanisme, serta prosedur pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional tampaknya masih sama saja dengan keadaan tatkala masih berlaku Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1990. 40 Kalau pun ada yang berbeda, sesungguhnya perbedaan itu tidak memiliki arti. Oleh karena itu,
39 Pada dasarnya untuk Konvensi New York 1958 yang disahkan oleh Pemerintah RI dengan instrumen ratifikasi berupa Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada prinsipnya tidak perlu implementing regulation. Namun demikian pertimbangan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2944 K/Pdt/1983 antara lain menyebutkan: Bahwa selanjutnya mengenai Keputusan Presiden RI Nomor 34 Tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981 dan lampirannya tentang mengesahkan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards sesuai dengan praktik hukum yang berlaku masih harus ada peraturan pelaksanaannya tentang apakah permohonan eksekusi putusan hakim arbitrase dapat diajukan langsung pada pengadilan negeri, kepada pengadilan negeri yang mana ataukah permohonan eksekusi diajukan melalui Mahkamah Agung dengan maksud untuk dipertimbangkan apakah putusan tersebut tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia. Lihat S. Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional. Bandung: Alumni, 1986, hlm. 112-113. Bdgk. Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan. Jakarta: Chandra Pratama, 2001, h. 40. 40 Ketika itu berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung PERMA Nomor 1 Tahun 1990, putusan arbitrase asing hanya diakui serta dapat dilaksanakan di dalam wilayah hukum Republik Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (i) dijatuhkan oleh suatu badan arbitrase atau arbiter perorangan di suatu negara yang bersama-sama dengan Indonesia terikat dalam suatu konvensi internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase asing. Pelaksanaannya didasarkan atas asas timbal balik (resiprositas); (ii) putusan-putusan yang menurut hukum Indonesia termasuk dalam 20 seandainya maksud para pihak melakukan pilihan forum arbitrase hanya didasari oleh asumsi karena arbitrase memiliki keunggulan dan terjamin dari publisitas yang kurang menguntungkan, alasan itu saja belum cukup. Fakta di muka cukup membuktikan bahwa, putusan arbitrase belum mandiri, belum final, dan belum mengikat. Bukti bahwa putusan arbitrase belum mandiri, dapat ditengok dari ketentuan mengenai putusan arbitrase terlebih dahulu harus diserahkan dan didaftarkan kepada panitera pengadilan negeri, dengan ancaman sanksi tidak dipenuhinya ketentuan dalam pasal 59 ayat (1) berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. 41 Norma tersebut tidak hanya menjadi bukti bahwa putusan arbitrase belum mandiri, namun sekaligus secara tegas telah mensubordinasikan putusan arbitrase terhadap kewenangan pengadilan negeri. Kemudian, putusan arbitrase juga ternyata masih belum final. Buktinya: Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan secara sukarela, maka putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. 42
Hakikat dari ketentuan itu sebenarnya merupakan upaya hukum yang diberikan kepada pihak yang bersengketa dalam forum arbitrase, tatkala
ruang lingkup Hukum Dagang; (iii) putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum; (iv) setelah memperoleh exequatur dari Mahkamah Agung RI. 41 Pasal 59 ayat (1) juncto ayat (4) UU No. 30 Tahun 1999.
21 pihak lawannya tidak secara sukarela melaksanakan putusan yang telah dijatuhkan. Apalagi bila diperhatikan ketentuan berikutnya, 43 akan tampak sekali betapa putusan arbitrase itu baru dapat dilaksanakan setelah putusan arbitrase itu dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri. Artinya, dalam keadaan salah satu pihak tidak secara sukarela melaksanakan putusan arbitrase, maka forum arbitrase sebagai pemutus sama sekali tidak memiliki kewenangan apa pun untuk dapat memaksakan putusan yang dijatuhkannya agar dapat dilaksanakan oleh pihak yang menolak untuk melaksanakannya. B. Perumusan Masalah Ketika kondisi lembaga peradilan semakin mengalami krisis kepercayaan dan krisis kewibawaan dari masyarakat, kajian tentang pilihan forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa komersial memiliki alasan yang memadai untuk dilakukan. Untuk itu tema studi dalam rangka penyusunan disertasi ini adalah Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan. Terdapat tiga permasalahan yang hendak dikaji melalui penulisan disertasi ini, yaitu: Pertama, apakah benar forum arbitrase dipilih untuk menyelesaikan sengketa komersial oleh kalangan bisnis atas dasar alasan
42 Pasal 61 UU No. 30 Tahun 1999. 43 Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri, dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Lihat, Pasal 64 UU No. 30/1999. 22 agar materi sengketa dan para pihak terjamin kerahasiaannya serta putusannya dianggap lebih memuaskan bila dibandingkan dengan putusan pengadilan? Kedua, benarkah terdapat faktor-faktor internal dari pengadilan negeri yang selama ini dianggap kurang menguntungkan oleh komunitas pelaku bisnis sehingga mereka lebih suka memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa mereka? Ketiga, benarkah putusan forum arbitrase itu bersifat final dan mengikat para pihak karena tidak mengenal upaya hukum banding dan kasasi, sehingga melalui forum arbitrase para pihak dapat lebih cepat memperoleh hak yang dituntutnya bila dibandingkan dengan menuntut hak melalui pengadilan negeri? Bertolak dari ketiga masalah di muka, studi ini dapat diproyeksikan dalam masalah utama sebagai berikut: Mungkinkah forum arbitrase di masa depan dapat dikembangkan sebagai salah satu forum khusus untuk menyelesaikan sengketa-sengketa komersial di luar pengadilan negeri yang memiliki kewenangan publik untuk mengeksekusi putusannya, sehingga putusan arbitrase lebih mencerminkan penegakan keadilan substansial yang bermartabat?
23 C. Kerangka Pemikiran Sebagai suatu fenomena sosial, sengketa atau konflik 44 akan selalu dijumpai dalam kehidupan manusia atau kehidupan bermasyarakat. 45 Dalam setiap masyarakat telah berkembang berbagai tradisi mengenai bagaimana sengketa ditangani. Sengketa tidak hanya dapat diatasi dengan jalan mengajukannya ke forum pengadilan, melainkan terdapat aneka ragam cara yang dapat ditempuh masyarakat untuk menyelesaikan sengketa. 46 Dalam menyelesaikan sengketa, masyarakat dapat menempuh berbagai cara, baik
44 Konflik adalah segala bentuk interaksi yang bersifat oposisi atau suatu interaksi yang bersifat antagonistis (berlawanan, bertentangan atau berseberangan). Konflik terjadi karena perbedaan, kesenjangan, dan kelangkaan kekuasaan, perbedaan atau kelangkaan posisi sosial dan posisi sumberdaya atau disebabkan sistem nilai dan penilaian yang berbeda secara ekstrim." Lihat Kusnadi et al., Teori dan Manajemen Konflik (Tradisional, Kontemporer & Islam). Malang: Taroda, 2001, h. 11. 45 Georg Simmel antara lain mengungkapkan: the individual does not attain the unity of his personality exclusively by an exhaustive harmonization, On the contrary, contradiction and conflict not only precede this unity but are operative in it. Lihat, Valerine J.L.Kriekhoff, Mediasi (Tinjauan dari Segi Antropologi Hukum); dalam T.O. Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993, h. 224. Sementara itu Schuyt memperkenalkan bentuk-bentuk penyelesaian konflik yang terbagi dalam 6 (enam) sub kategori, yaitu: Kelompok Pertama, Penyelesaian sepihak (penyerahan sementara, menghindarkan diri/meninggalkan, penyerahan); Kelompok kedua, Dikelola sendiri (dengan undian, kesepakatan, perundingan); Kelompok ketiga, Pra-juridis (pemakaian jasa penengah, sidang/musyawarah, perdamaian, pengaduan); Kelompok keempat, Juridis normatif (proses pidana, proses perdata, proses administratif, sidang pengadilan, proses singkat, arbitrase); Kelompok kelima, Juridis-politis (bertahap tanpa kekerasan, tindakan politik dan aksi sosial, pembentukan keputusan legislatif, penyelesaian melalui saluran pemerintah); Kelompok keenam, Penyelesaian dengan kekerasan (kekerasan). Lihat dalam Ronny Hanitijo Soemitro, Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik. Masalah-Masalah Hukum No. 2 Tahun 1993, h. 26-30. 46 Kebudayaan manusia untuk menampung, mengatasi atau menyelesaikan sengketa- sengketa dapat terdiri atas: (1) Membiarkan saja (lumping it), (2) Mengelak (avoidance), (3) Paksaan (coercion), (4) Perundingan (negotiation), (5) Mediasi (mediation), (6) Arbitrase (arbitration), (7) Peradilan (adjudication). Periksa T.O. Ihromi, Beberapa Catatan Mengenai Metode Kasus Sengketa yang Digunakan dalam 24 melalui forum formal yang telah disediakan oleh negara, seperti halnya pengadilan, atau melalui forum-forum lain yang tidak resmi disediakan oleh negara. 47 Dalam hubungan dengan aneka ragam cara yang dapat ditempuh manusia untuk menyelesaikan sengketa di atas, terdapat beberapa teori yang dapat digunakan sebagai sarana melakukan kajian berkaitan dengan hal tersebut. Menurut teori voluntaristik dari aksi (voluntaristic theory of action) dari Talcott Parsons, 48 individu selaku aktor memiliki cara-cara tertentu untuk mencapai tujuannya. Aktor mengejar tujuan dalam situasi dimana norma-norma mengarahkannya dalam memilih alternatif cara dan alat untuk mencapai tujuan. Norma-norma itu tidak menetapkan pilihannya terhadap cara atau alat, tetapi ditentukan oleh kemampuan aktor untuk memilih. Kemampuan itulah yang oleh Parsons disebut sebagai voluntarism. Dalam pengertian lain, voluntarism adalah kemampuan individu melakukan tindakan dalam arti menetapkan cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka mencapai tujuannya.
Antropologi Hukum; di dalam T.O. Ihromi (ed), Antropologi HukumIbid., h. 210- 212. 47 Dalam bahasa A.J. van den Berg, pengadilan disebut dengan overheidsrechtspraak (peradilan pemerintah) dan hakimnya disebut overheidsrechter (hakim pemerintah), karena baik lembaga maupun hakimnya secara resmi disediakan oleh negara. Sedangkan forum yang tidak resmi disediakan oleh negara, misalnya forum arbitrase disebut dengan particuliere rechtspraak (peradilan swasta). Lihat A.J. van den Berg, ArbitrageOp. Cit., h. 7. 48 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. (Penyadur: Alimandan), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, h. 48-49. Bdgk. Soerjono Soekanto, Talcott Parsons Fungsionalisme Imperatif. Jakarta: CV Rajawali, 1986, h. 25-27.
25 Berdasarkan pada teori Parsons tersebut, manusia selaku aktor adalah pelaku aktif, kreatif, dan evaluatif serta mempunyai kemampuan menilai dan memilih alternatif tindakan, meskipun kondisi dan norma serta situasi penting lain kesemuanya membatasi kebebasan aktor. Oleh karena itu, tindakan melakukan pilihan forum untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan pemerintah, merupakan ekspresi kemauan bebas dari aktor dalam memilih berbagai alternatif tindakan dalam rangka mencapai tujuannya. Di samping itu, memilih forum untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan pada dasarnya merupakan hasil dari interaksi sosial dalam masyarakat yang terjadi berdasarkan penafsiran fenomenologi, yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan, dan tujuan, bukan didasarkan atas proses mekanik dan otomatik. Selain itu tentu saja pilihan forum penyelesaian sengketa merupakan salah satu bentuk keterlibatan langsung manusia sebagai anggota masyarakat dalam pelaksanaan hukum. Sedangkan keterlibatan manusia dalam pelaksanaan hukum memperlihatkan adanya hubungan antara budaya dan hukum. Budaya hukum inilah yang menentukan sikap, ide-ide, nilai-nilai seseorang terhadap hukum di dalam masyarakat. 49
Budaya hukum adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan perilaku hukum. Jadi budaya hukum
49 Op. Cit., h. 11. 26 menunjukkan tentang pola perilaku individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan (orientasi) yang sama terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan. 50 Budaya hukum sebagai sesuatu yang menjadi buah pikiran dan keyakinan manusia, keadaannya tidak statis melainkan berubah-ubah mengikuti perubahan dalam masyarakat. 51
Dengan demikian yang disebut budaya hukum itu tidak lain adalah keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Oleh karena itu, budaya hukum tidak sekedar berarti himpunan fragmen-fragmen tingkah laku dan pemikiran yang saling terlepas. Akan tetapi diartikan sebagai keseluruhan nilai sosial yang berhubungan dengan hukum, berikut sikap yang mempengaruhi hukum. Jadi termasuk rasa respek atau tidak respek kepada hukum, kesediaan orang untuk menggunakan pengadilan, atau tidak menggunakan pengadilan 52 (karena lebih memilih cara-cara informal untuk menyelesaikan sengketa), dan juga sikap-sikap serta tuntutan-tuntutan
50 Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia. Bandung: Alumni, 1986, h. 51. 51 Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction; Hukum Amerika sebuah Pengantar, (alih bahasa: Wishnu Basuki). Jakarta: Tatanusa, 2001, h. 173. 52 Di negara-negara berkembang, pengadilan adakalanya dianggap perpanjangan tangan kekuasaan, bahkan di beberapa negara pengadilan dianggap tidak bersih, sehingga putusan-putusannya dianggap telah memihak yang mendatangkan ketidakadilan. Alasan-alasan budaya, menyebabkan masyarakat cenderung mengesampingkan pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa yang timbul di antara mereka. Lihat, Erman Rajagukguk, Budaya Hukum dan Penyelesaian Sengketa Perdata di Luar Pengadilan dalam Jurnal Magister Hukum, Vol. 2 No. 4, Okt. 2000, h. 1-15 [1-2]. 27 pada hukum yang diajukan oleh kelompok etnik, ras, agama, dan kelas-kelas sosial yang berbeda. 53
Budaya hukum 54 bukan merupakan budaya pribadi, melainkan budaya menyeluruh dari masyarakat tertentu sebagai satu kesatuan sikap dan perilaku. Untuk itu sebagaimana diutarakan di muka, kesepakatan dalam penyelesaian suatu perselisihan hukum tidak terlepas dari pola orientasi hukum yang umum dalam masyarakat, 55 yang merupakan pencerminan budaya hukum, yaitu pencerminan dari nilai-nilai budaya mengenai hukum dan keadilan yang dirasakan masyarakat, yang dikehendaki, dan dibenarkan oleh masyarakat bersangkutan. 56
Apabila dua orang atau dua pihak bersengketa mengenai sesuatu hal atau sesuatu kepentingan, kemudian mereka mencari penyelesaian melalui
53 Lawrence M. Friedman, On Legal Development. Rutgers Law Review, (alih bahasa: Rachmadi Djoko Soemadio), 1969, h. 27-30. 54 Budaya hukum merupakan kekuatan dalam masyarakat yang pada akhirnya akan menentukan bagaimana hukum itu diterima dan dijalankan di situ. Kekuatan tersebut berakar pada tradisi, pada sistem nilai-nilai yang dianut, yang pada akhirnya menentukan sikap dan perilaku anggota masyarakat dalam kehidupan hukumnya. Lihat dalam Satjipto Rahardjo, Peningkatan Wibawa Hukum Melalui Pembinaan Budaya Hukum; Makalah pada Lokakarya Pembangunan Bidang Hukum Repelita VII. Jakarta BPHN, Juli 1997, h. 1-13, [3]. 55 Masyarakat Timur seperti Cina dan Jepang, secara tradisional tidak suka pada pengadilan. Pengadilan dianggap sebagai tempat orang-orang jahat, yang tidak mematuhi hukum. Secara tradisional orang-orang Cina dan Jepang amat segan untuk membawa sengketa-sengketa perdata mereka ke depan pengadilan. Lihat, Erman Rajagukguk, Op. Cit. h. 1-2. 56 Hilman Hadikusuma, Op. Cit., h. 53. Di samping itu untuk menjaga harmoni serta karena alasan-alasan praktis, penyelesaian sengketa di luar pengadilan seperti arbitrase, dan juga forum non litigasi seperti: negosiasi, mediasi, dan konsiliasi semakin berkembang di Amerika Serikat maupun di Jepang. Lihat, Linda R. Singer, Settling Disputes - Conflict Resolution in Business, Families, and The Legal System. San Fransisco, 1994, dalam Erman Rajagukguk, Op. Cit., h. 2. 28 institusi hukum di luar pengadilan, artinya pihak-pihak bersangkutan memiliki persepsi tertentu terhadap institusi hukum itu. Di samping karena keyakinannya, tuntutannya, serta dorongan kepentingan, masih terdapat faktor-faktor lain, seperti harapan dan juga penilaian positif terhadap institusi yang dipilih tersebut. 57 Oleh karena menyelesaikan sengketa di luar proses pengadilan hasilnya dianggap lebih memenuhi rasa keadilan bagi para pemilihnya, sehingga memilih forum penyelesaian sengketa merupakan asumsi fundamental, yakni apa yang dianggap adil dan tidak oleh masyarakat, sehingga memilih forum merupakan komponen substansif dari budaya hukum. 58
Tercapainya kesepakatan dalam penyelesaian suatu sengketa hukum tidak terlepas dari pola orientasi hukum yang umum dalam masyarakat, yang merupakan pencerminan budaya hukum. Yaitu pencerminan dari nilai-nilai budaya mengenai hukum dan keadilan yang dirasakan masyarakat, yang dikehendaki, dan dibenarkan oleh masyarakat bersangkutan. 59 Oleh karena budaya hukum itu meliputi orientasi pribadi yang berlatar belakang pada pengetahuan dan pengalaman seseorang yang menyebabkan adanya
57 Satjipto Rahardjo, Op. Cit., h. 167. 58 Esmi Warassih, Op. Cit., h. 11-12. Budaya hukum berhubungan dengan sikap dan perilaku. Dapat disaksikan betapa budaya hukum dan perilaku hukum menjadi faktor penentu yang penting, sehingga dapat dikemukakan bahwa ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat atau negara tidak berakar pada hukum dan perundang-undangan, melainkan juga pada perilaku substansial dari warga negara di situ. Lihat, Satjipto Rahardjo, Peningkatan Wibawa Hukum Op. Cit., h. 1-3. 59 Hilman Hadikusuma, Op. Cit., h. 53. 29 penilaian, sehingga ia menyetujui atau menolak, atau mendiamkan peristiwa- peristiwa hukum yang terjadi. Disebabkan hal di atas, penilaian dan persepsi pihak-pihak dalam masyarakat tentang adil atau tidak adil, menguntungkan atau tidak dari proses penyelesaian sengketa lewat pilihan forum merupakan pencerminan budaya hukum masyarakat. Di samping merupakan pencerminan budaya hukum masyarakat, tindakan manusia untuk melakukan pilihan forum penyelesaian sengketa erat kaitannya dengan persoalan perilaku dan keyakinan individu yang melakukannya. Untuk itu masih dalam konteks pilihan forum ini, dapat pula disebutkan teori tindakan beralasan (theory of reason action) dari Icek Ajzen dan Martin Fishbein, yang kemudian dimodifikasi sendiri oleh Ajzen dengan nama teori perilaku terencana (theory of planned behavior). Menurut teori perilaku terencana, di antara berbagai keyakinan yang akhirnya akan menentukan intensi dan perilaku tertentu adalah keyakinan mengenai tersedia tidaknya kesempatan dan sumber yang diperlukan. Keyakinan itu dapat berasal dari pengalaman dengan perilaku yang bersangkutan di masa lalu, dapat juga dipengaruhi oleh informasi tak langsung mengenai perilaku itu umpama melihat pengalaman teman atau orang lain yang pernah melakukannya. 60 Di samping berbagai faktor penting seperti hakikat stimulus itu sendiri, latar belakang pengalaman individu, 30 motivasi, status kepribadian, dan sebagainya, memang sikap individu ikut memegang peranan dalam menentukan bagaimanakah perilaku seseorang di lingkungannya. Pada gilirannya, lingkungan secara timbal balik akan mempengaruhi sikap dan perilaku. Interaksi antara situasi lingkungan dengan sikap, dengan berbagai faktor di dalam maupun di luar diri individu akan membentuk suatu proses kompleks yang akhirnya menentukan bentuk perilaku seseorang. 61
Namun memang, perilaku manusia itu tidaklah sederhana untuk dipahami dan diprediksikan. Begitu banyak faktor, internal dan eksternal dari dimensi masa lalu, saat ini, dan masa datang yang ikut mempengaruhi perilaku manusia. Adapun tampilan teori perilaku terencana di atas dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa pada dasarnya perilaku manusia itu tidak secara mekanik dan deterministik akan tetapi reaksi manusia masih lebih terikat pada hukum-hukum stimulus-respons yang berlaku. 62 Oleh karena itu, teori psikologi mengenai perilaku 63 manusia juga memiliki
60 Saifuddin Azwar, Sikap Manusia - Teori dan Pengukurannya. (edisi kedua), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, h. 11-13. 61 Ibid., h. 14 62 Ibid., h. 14-15. 63 Berkenaan dengan perilaku dan keyakinan manusia dapatlah disimak dasar psikologis dari hukum berikut ini: Dalam diri manusia terdapat tiga hasrat atau nafsu, yaitu hasrat yang individualistis (egoistis atau atomistis), hasrat yang kolektivistis (transpersonal atau organis), dan hasrat yang bersifat mengatur atau menjaga keseimbangan. Hasrat yang individualistis dan hasrat yang kolektivistis selalu saling bertentangan dan bertolak belakang, sehingga hidup ini akan selalu merupakan pertentangan terus menerus yang tajam antara dua hasrat tersebut. Oleh karena itu, dalam diri manusia juga ada hasrat yang bersifat mengatur atau mengkompromikan. Hasrat ketiga itu bersifat mengatur atau menjaga keseimbangan, sehingga kedua hasrat 31 relevansi dalam rangka memahami tindakan manusia untuk melakukan pilihan forum penyelesaian sengketa. Mencarikan penyelesaian sengketa atau konflik di dalam masyarakat, dengan hanya menggunakan pendekatan ilmu hukum semata-mata untuk mengadakan analisis dan evaluasi kerapkali tidak memadai. Untuk itu maka menggunakan pendekatan yang lazim dalam ilmu-ilmu sosial terutama sosiologi diharapkan dapat memberikan penjelasan dan cara pemecahannya. Hal itu disebabkan hukum merupakan abstraksi dari interelasi dan interaksi sosial yang dinamis. 64 Salah satu pendekatan yang relevan dengan konteks penulisan disertasi ini adalah pendekatan konflik. Pandangan para penganut pendekatan konflik bertolak pangkal dari anggapan dasar bahwa konflik merupakan gejala yang melekat pada setiap masyarakat. Sedangkan setiap masyarakat selalu berada dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir. Setiap unsur dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan untuk terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial. Oleh karena itu, menurut penganut pendekatan konflik, dalam setiap masyarakat selalu terdapat konflik antara kepentingan pihak yang memiliki kekuasaan
yang saling bertentangan itu dapat dikendalikan. Hasrat yang bersifat mengatur itu menciptakan keserasian dan bersifat sintetis serta merupakan dasar psikologis dari hukum.Lihat, Sudikno Mertokusumo, Mengenal HukumOp. Cit., h. 27-28. 64 Lihat, Ronny Hanitijo Soemitro, Studi Hukum dan Masyarakat. Bandung: Alumni, 1985, h. 20-37.
32 otoritatif, 65 yaitu kepentingan untuk memelihara dan mengukuhkan status quo pola hubungan kekuasaan yang ada, dengan kepentingan golongan yang tidak memiliki kekuasaan otoritatif. Itulah sebabnya mengapa para penganut pendekatan konflik yakin bahwa konflik merupakan gejala kemasyarakatan yang selalu melekat pada kehidupan setiap masyarakat. Seiring dengan pendekatan konflik di muka, maka salah satu teori sosial yang digunakan sebagai sarana analisis hasil penelitian ini adalah Teori Konflik dari Ralf Dahrendorf. Menurut Teori Konflik, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus di antara unsur-unsurnya. Setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial, 66 sementara itu keteraturan yang terdapat dalam masyarakat hanyalah disebabkan oleh adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan 67 dari atas oleh golongan yang berkuasa. Kekuasaan
65 Pembagian wewenang (authority) yang tidak merata mengakibatkan timbulnya dua kategori sosial di dalam masyarakat, yaitu golongan yang memiliki wewenang dan golongan yang tidak memiliki wewenang. Pembagian wewenang yang bersifat dikotomis demikian itu dianggap oleh para penganut pendekatan konflik menjadi sumber terjadinya konflik-konflik sosial, karena menimbulkan kepentingan- kepentingan yang berlawanan secara substansial maupun berlawanan dalam arahnya. Ronny Hanitijo Soemitro, Loc. Cit., h. 27. 66 Lihat, George Ritzer, Sosiologi.. Op. Cit., h. 25-26. Bdgk. Ralf Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society. London: Routledge & Kegan Paul, 1959. Edisi Indonesia diterjemahkan oleh Ali Mandan, Konflik dan Konflik Dalam Masyarakat Industri. Jakarta: CV Rajawali, 1986, h. 197-198. 67 Kekuasaan dan otoritas merupakan sumber-sumber yang menakutkan dan mereka yang memegangnya memiliki kepentingan untuk mempertahankan status quo. Dahrendorf mengatakan hal itu merupakan kepentingan objektif, yang terbentuk di dalam peran- peran itu sendiri, bersamaan dengan kepentingan atau fungsi dari semua peran dalam mepertahankan organisasi itu sebagai keseluruhan Lihat, Ian Craib, Modern Social Theory: from Parson to Habermas (Teori-Teori Sosial Modern: dari Parson sampai 33 dan wewenang senantiasa menempatkan individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap struktur. Oleh karena itu, Dahrendorf menyebut masyarakat sebagai persekutuan yang terkoordinasi secara paksa (imperatively coordinated association). 68 Dunia sosial karenanya distruktur ke dalam kelompok-kelompok yang secara potensial mengandung konflik. Dahrendorf 69 membedakan golongan yang terlibat konflik itu atas dua tipe. Pertama, Kelompok semu (quasi-group) yaitu kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan. Kedua, Kelompok kepentingan (interest group) terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan, serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan itulah yang menjadi sumber nyata terjadinya konflik di dalam masyarakat. Pada kasus penelitian tentang pilihan forum arbitrase dalam sengketa komersial ini, kedua tipe kelompok yang dibedakan Dahrendorf di muka dipastikan kedua kelompok tersebut merupakan bagian dari adanya konflik. Pertama konflik yang terjadi di antara anggota komunitas kelompok kepentingan (interest group) satu sama lain. Dalam hal ini para pelaku bisnis
Habermas); Penerjemah: Paul S. Baut dan T. Effendi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994, h. 92-94. 68 Ralf Dahrendorf, Konflik dan Konflik...Op. Cit., h. 204. 69 George Ritzer, Sosiologi.. Op. Cit., h. 27.
34 yang memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa komersial, mereka merupakan bagian dari konflik antar kelompok kepentingan yang masing-masing memperjuangkan kepentingan dalam bisnisnya untuk menyelesaikan pertikaian di antara mereka. Selanjutnya ketika putusan arbitrase telah diperoleh dan akan dimohonkan pelaksanaan, potensi konflik terjadi di dalam kelompok semu. Konflik kewenangan terjadi antara badan arbitrase sebagai pemutus sengketa dengan pengadilan negeri sebagai pemberi eksekuatur. Hal itu sulit untuk dihindarkan karena secara normatif eksplisit diatur sebelum putusan badan arbitrase dilaksanakan, terlebih dahulu lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase harus diserahkan dan didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri. Memilih forum arbitrase dalam rangka menegakkan keadilan pada hakikatnya merupakan upaya untuk menegakkan ide-ide serta konsep-konsep yang notabene adalah abstrak. Oleh karena itu, penegakan keadilan adalah mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itu pada dasarnya merupakan hakikat dari penegakan hukum. Apabila berbicara mengenai perwujudan ide-ide yang abstrak menjadi kenyataan, maka sebetulnya sudah memasuki bidang manajemen (management). 70
Dalam suasana yang demikian maka peranan serta kehadiran organisasi 35 dalam penyelenggaraan hukum dewasa ini merupakan keniscayaan. Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Satjipto Rahardjo, 71 problema- problema yang ada sekarang ini tidak bisa disamakan dengan yang terjadi pada 100 tahun yang lalu ketika tingkat perkembangan sosial masih sederhana, kehidupan hukum pun masih bersifat intim, dan lebih personal. Sedangkan sekarang ini, beragam problema sudah menjadi makin besar, melibatkan sejumlah banyak orang, tugas-tugas yang harus dilaksanakan juga semakin menggunung, maka dibutuhkan suatu cara penanganan bersama. Kalau suatu kegiatan sudah melibatkan kompleksitas yang begitu tinggi dan jumlah orang begitu banyak, maka tidak bisa lain kecuali harus menjalankannya dalam konteks organisasi. Apabila sudah berbicara mengenai organisasi, tentu hal pokok yang dipikirkan adalah bagaimana organisasi itu harus berjalan dengan baik. Sebagaimana telah diutarakan di muka, apabila pembicaraan sudah memasuki persoalan menyangkut suatu proses dalam orgaisasi berarti merupakan kegiatan manajemen. Dalam kaitan ini, Schrode & Voich, 72 mengartikan manajemen sebagai seperangkat kegiatan atau suatu proses untuk mengkoordinasi dan mengintegrasikan penggunaan sumber-sumber daya dengan maksud untuk mencapai tujuan
70 Lihat, Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: suatu tinjauan sosiologis. Bandung: Sinar Baru, TT, h. 15. 71 Ibid., h. 16. 72 Satjipto Rahardjo, Loc. Cit.,
36 organisasi melalui orang-orang, teknik-teknik, dan informasi serta dijalankan dalam kerangka suatu struktur organisasi. Begitu pula dalam rangka mewujudkan hukum dan keadilan sebagai ide-ide yang abstrak, ternyata dibutuhkan suatu organisasi yang cukup kompleks. Negara harus campur tangan dalam mewujudkan hukum yang abstrak itu dan harus mengadakan berbagai macam badan untuk keperluan tersebut, sehingga dikenal ada Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Pemasyarakatan, dan juga Badan Perundang-undangan. Melalui organisasi serta proses-proses yang berlangsung di dalamnya, masyarakat menerima perwujudan dari tujuan-tujuan hukum. Keadilan, misalnya, kini tidak lagi merupakan konsep yang abstrak, melainkan benar-benar diberikan kepada anggota masyarakat dalam bentuk pensahan sesuatu aksi tertentu. Demikian pula kepastian hukum dapat terwujud melalui putusan-putusan hakim yang menolak tindakan-tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh anggota masyarakat. Oleh karena itu, membicarakan hukum dalam konteks organisasi membuka pintu bagi pengkajian tentang bagaimana lembaga hukum yang diserahi tugas untuk mewujudkan dan menegakkan hukum itu bekerja. Pertanyaan lebih lanjut: Mengapa pengorganisasian itu demikian penting? Menurut J. Winardi, 73 organisasi efektif, dilaksanakan melalui apa
73 J. Winardi, Teori Organisasi dan Pengorganisasian. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, h. 20-21. 37 yang dinamakan Sinergisme (Synergism), dimana anggota-anggota sesuatu organisasi, mengkombinasikan upaya mereka secara kolektif guna melaksanakan tugas-tugas yang akan jauh melampaui jumlah dari upaya- upaya individual mereka. Sinergi dicapai melalui pengintegrasian tugas- tugas yang terspesialisasi. Atas dasar hal tersebut, maka efektivitas organisasi terjadi bila tujuan yang dibuat oleh organisasi tersebut tercapai dengan memperimbangkan faktor-faktor efisien, keseimbangan hubungan antar organisasi dan lingkungannya, serta kesiapan organisasi itu menghadapi perubahan. 74
Dalam kaitannya dengan pembahasan mengenai organisasi dan pengorganisasian penegakan hukum, pengadilan sebagai salah satu lembaga pemutus konflik dalam perkembangannya hampir tidak mungkin menghindari terjadi konflik kewenangan dengan lembaga pemutus konflik lainnya. Apabila hal tersebut dihubungkan dengan pandangan kontemporer, konflik bukan saja sesuatu hal yang tidak dapat dihindari, melainkan ia merupakan suatu kondisi yang perlu untuk orang-orang dan organisasi- organisasi supaya mereka dapat bersikap adaptif terhadap perubahan. Tingkat perubahan tertentu diperlukan bagi ketahanan dan pertumbuhan keorganisasian, sehingga dalam hubungan ini konflik dapat bermanfaat
74 Ginung Pratidina, Manajemen Konflik dalam Menigkatkan Efektivitas Organisasi; dalam Wawasan Tridharma Nomor 10 Tahun XV Mei 2003, h. 4.
38 sebagai sebuah elemen yang menunjang perubahan tersebut. 75 Mengingat konflik itu pun memiliki peranan yang potensial yang bermanfaat, maka menurut pandangan kontemporer, konflik itu perlu di-manaje. Manajemen konflik (conflict management) mengandung arti bahwa konflik dapat memainkan peranan dalam rangka upaya pencapaian sasaran- sasaran secara efisien serta efektif. Konflik sebaiknya tidak sekedar dihindari, dikurangi atau diatasi, melainkan konflik perlu dimanaje. Memanaje konflik dapat mengandung arti secara aktif mencari konflik, atau menciptakan secara positif kondisi-kondisi yang menyebabkan timbulnya konflik. 76 Marry Parker Follett, 77 seorang pakar manajemen terkenal pada zamannya pernah mengajukan konsep pemikiran tentang tiga macam cara pokok untuk menghadapi dan menangani konflik, yakni melalui: - dominasi (domination); - kompromis (compromise); dan - integrasi (integration).
75 J. Winardi, Teori... Loc. Cit., h. 273.
76 Pandangan demikian cukup banyak penganutnya, di antaranya Stephen Robbins dalam bukunya Managing Organizational Conflict: A Non-Traditional Approach. Prentice Hall, Englewood Cliffs, N.J., 1974; antara lain menyebutkan ...Managing conflict may mean stimulating and creating it as well as diminishing or channeling it. Lihat dalam J. Winardi, Teori... Loc. Cit., h. 275. 77 Lihat dalam J. Winardi, Teori... Loc. Cit., h. 288-289. Bdgk., William Hendricks, How to Manage Conflict; Bagaimana Mengelola Konflik (Penerjemah: Arif Santoso). Jakarta: Bumi Aksara, 2001, h. 54-55.
39 Dominasi merupakan sebuah gaya yang digunakan oleh seorang yang beroperasi dari posisi kekuasaan tertentu. Dewasa ini dominasi dinamakan gaya menang-kalah (the win-lose style), dan gaya ini diakui memiliki kelemahan-kelemahan. Adapun kompromis memiliki makna sebagaimana dikenal dewasa ini. Sedangkan integrasi sangat mendekati pandangan modern tentang manajemen konflik. Konsep pemikiran integrasi selaras dengan apa yang dikenal dewasa ini dengan gaya manajemen konflik menang-menang (win-win conflict management style). 78
Meskipun demikian memilih forum arbitrase yang diyakini sebagai model penyelesaian konflik yang win-win solution dalam praktiknya tidak jarang justru menimbulkan konflik kewenangan antara pengadilan negeri dengan arbitrase. Akan tetapi konflik semacam itu apabila dihubungkan dengan teori manajemen konflik di muka, konflik kewenangan tersebut tidak selalu berdampak negatif. Berdasarkan pemikiran kontemporer tentang manajemen konflik bahwa konflik dapat juga fungsional yang dapat dimanfaatkan, sehingga mengacu pada pemikiran tersebut konflik yang terjadi dalam konteks pilihan forum tentu tidak selamanya berkonotasi
78 Penyelasain konflik menang-menang umumnya dicapai melalui konfrontasi isu dan penggunaan penyelesaian persoalan untuk melakukan rekonsiliasi perbedaan. Jika pihak-pihak yang berkonflik sama-sama sangat kuat dan sangat sulit untuk dijatuhkan dan masing-masing pihak secara terus menerus mempertahankan untuk tidak mau mengalah sedikit pun, maka penyelesaian yang terbaik adalah kedua belah pihak 40 negatif. Bahkan menurut pandangan interaksionis dalam manajemen konflik, konflik tidak selalu bekonotasi negatif karena dalam beberapa kasus kehadiran konflik seringkali menyebabkan perubahan ke arah perbaikan. Konflik yang fungsional dapat dimanfaatkan untuk memprakarsai pencarian cara-cara baru yang lebih baik karena seringkali perubahan yang diinginkan terjadi setelah terlebih dahulu timbul konflik. 79 Untuk itu maka konflik kewenangan antara pengadilan negeri dengan arbitrase berdasarkan teori manajemen konflik harus dipandang sebagai konflik yang fungsional yang diharapkan akan membawa perubahan paradigma dalam penyelesaian sengketa. Perubahan yang diharapkan terutama adalah adanya kesetaraan kompetensi antara berbagai model penyelesaian sengketa yang ada dengan kompetensi yang dimiliki oleh lembaga pengadilan. Pada sisi yang lain, berdasarkan telaah sifat atau karakter produk hukum, pilihan forum untuk menyelesaikan sengketa terjadi tidak semata- mata merupakan refleksi budaya hukum masyarakat serta perilaku dan keyakinan individu anggota masyarakat. Hal itu juga berkaitan cukup erat dengan sifat atau karakter produk hukum sebagaimana dikemukakan oleh Phillippe Nonet dan Philip Selznick. 80 Dalam hubungan ini, Nonet dan
berbagi keinginan yang diharapkan secara proporsional. Lihat Kusnadi et al., Teori dan Manajemen Konflik. Malang: Taroda, 2001, h. 60. 79 Ginung Pratidina, Manajemen Konflik.... Wawasan... Op. Cit., h. 4-5. 80 Philippe Nonet & Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law. New York: Harper & Row, 1978, h. 14-16. 41 Selznick mengajukan suatu teori yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan sistematik dalam hukum dan konfigurasi-konfigurasi khusus dimana hubungan-hubungan dalam hukum itu terjadi. 81 Selengkapnya hal tersebut dapat disimak pada ragaan 1 berikut ini. Ragaan 1 Three Types of Law 82
_________________________________________________________________ Repressive Law Autonomous Law Responsive Law
ENDS OF LAW Order Legitimation Competence LEGITIMACY Social defence and Procedural fairness Substantial justice raison detat RULES Crude and detailed Elaborate; held to bind Subordinated to prin- but only weakly rulers as well as ruled ciple and policy binding on rule makers REASONING Ad hoc; expedient Strict adherence to legal Purposive;enlarge- and particularistic authority; vulnerable to ment of cognitive formalism and legalism competence DISCRETION Pervasive; opportu- Confined by rules; narrow Expanded, but ac- nistic delegation countable to purpose COERCION Extensive; weakly Controlled by legal re- Positive search for restrained straints alternatives, e.g., in- centives, self-sus- taining systems of obligations MORALITY Communal morality; Institutional morality; Civil morality; mo- Legal moralism: i.e., preoccopied with rality of coopera- morality of con- the integrity of legal tion straint process
81 Nonet dan Selznick membedakan tiga keadaan dasar mengenai hukum dalam masyarakat, yaitu: (1) Hukum represif, yaitu hukum sebagai alat kekuasaan represif; (2) Hukum Otonom, yaitu hukum sebagai suatu pranata yang mampu menetralisasikan represi dan melindungi integritas hukum itu sendiri; dan (3) Hukum responsif, yaitu hukum sebagai suatu sarana respon terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi- aspirasi masyarakat. Lihat Ronny Hanitijo Soemitro, Gambaran tentang Fungsi- fungsi Hukum di Dalam Masyarakat, Sebagai Hasil Tinjauan terhadap Hukum dari Beberapa Perspektif; dalam Masalah-Masalah Hukum Nomor 5 Tahun 1991, h. 41-46 [44-45]. 82 Lihat Philippe Nonet & Philip Selznick, Law and Society ...Op. Cit., h. 16.
42 POLITICS Law subordinated Law independent of Legal and political to power politics politics; separation of aspirations inte- powers grated; blending of powers EXPECTATIONS Unconditional; dis- Legally justified rule Disobedience as- OF OBEDIENCE obedience per se departures, e.g., to test sessed in light of punished as defiance validity of statutes of substantive harms; orders perceived as raising issues of legitimacy PARTICIPATION Submissive compli- Access limited by es- Access enlarged by ance; criticism as tablished procedures; integration of legal disloyalty emergence of legal cri- and social advocacy ticism.
Selama beberapa dasawarsa karakter produk hukum represif atau menindas telah menjadi salah satu identitas dari Pemerintahan Orde Baru di Indonesia. Bahkan kondisi tersebut telah menempatkan peran dan fungsi hukum termasuk lembaga peradilan sebagai supporting system untuk tercapainya stabilitas politik dan tujuan pembangunan. Sebagai akibat dari cara pandang atau persepsi yang dominan terhadap peran dan fungsi hakim seperti itu maka lembaga yudikatif bersifat kaku, kurang terbuka, serta kurang tanggap terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat karena secara sepihak hukum merupakan pantulan persepsi sosial dan kepentingan para pengambil kebijakan dan dengan demikian hakim (kekuasaan kehakiman) harus tunduk pada kebijakan semacam itu. Dalam konstelasi seperti itu sulit diharapkan hakim berani untuk mengambil keputusan yang berbeda dari ketentuan yang dicantumkan dalam produk hukum dan perundang- 43 undangan 83 pada saat menghadapi kasus-kasus konkret di pengadilan. Hakim pada dasarnya adalah bagian dari aparatur pemerintahan. Oleh karena itu, fungsi serta peran yang dijalankan kekuasaan kehakiman diorientasikan pada upaya untuk mendukung dan mensukseskan program-program pembangunan yang ditetapkan pemerintah atau eksekutif. 84
Seperti dapat diketahui dari tabel karakteristik hukum yang menindas 85 dan hukum yang otonom, ketertiban merupakan tujuan dari tata hukum, sehingga untuk mempertahankan ketertiban maka tuntutan-tuntutan dan pertimbangan-pertimbangan lain dikesampingkan. Padahal di samping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan, yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya. 86
83 Padahal sesungguhnya penegakan hukum yang baik itu tidak sekedar ditentukan oleh substansi perundang-undangannya, melainkan lebih banyak ditentukan oleh kultur hukum (sebagaimana didefinisikan Lawrence M. Friedman: yakni mencakup opini- opini, kebiasaan-kebiasaan, cara bertindak, dan cara berfikir dari seseorang yang bertalian dengan segala hal yang berbau hukum), warga masyarakat maupun para penegak hukum dan penguasanya. Lihat, Achmad Ali, Bercermin pada Penegakan Hukum Jepang; Kompas, 15 April 2002. 84 Benny K. Harman, Konfigurasi Politik & Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Jakarta: Elsam, 1997, h. 56-57. 85 Nonet dan Selznick mencoba menjelaskan, bagaimana sampai terjadi suatu pemerintah terjatuh kepada pola penggunaan kekuasaan yang bersifat menindas. Bahwa penggunaan kekuasaan yang bersifat menindas terdapat pada masyarakat yang masih berada pada tahap pembentukan suatu tatanan politik tertentu (in the formative stages of political society). Pada saat seperti itu tujuan utama adalah menciptakan ketertiban dalam masyarakat; tujuan yang hendak dicapai dengan usaha apa pun.Philippe Nonet & Philip Selznick, Op. Cit., h. 29-52.
Bdgk. Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Sinar Baru, 1985, h. 75. 86 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional; dalam PADJADJARAN (Majalah Ilmu Hukum & Pengetahuan Masyarakat), Jilid III, Nomor 1, September 1970, h. 5-16 [7].
44 Sedangkan pada karakteristik hukum yang menindas atau represif ketertiban adalah merupakan substansi tujuan, maka ketertiban itulah yang menjadi pokok perhatian, sedangkan persoalan tentang cara-cara untuk mencapainya, terdorong ke belakang. Akibat dari ketertiban sebagai substansi tujuan hukum, maka di masa lalu tampak sekali integrasi yang kuat antara hukum dan politik, sebagaimana disebutkan di dalam ragaan dari Nonet bahwa hukum ditundukkan kepada politik kekuasaan (law subordinated to power politics). 87
Dalam konstelasi dan konstruksi seperti itu, bolehlah secara bebas dikatakan di sini bahwa hukum di Indonesia dalam perkembangannya di akhir abad ke-20 ini benar-benar secara sempurna menjadi government social control dan berfungsi sebagai tool of social engineering. Walhasil, hukum perundang-undangan sepanjang sejarah perkembangan pemerintahan Orde Baru telah menjadi kekuatan kontrol di tangan pemerintah yang terlegitimasi (secara formal-yuridis), dan tidak selamanya merefleksikan konsep keadilan,
87 Namun setelah komunitas politik tersusun dengan baik, maka keleluasaan untuk menggunakan kekuasaan pun menjadi semakin terbatas, karena orang sekarang akan selalu menanyakan dan mempersoalkan alasan dan dasar-dasar penggunaan kekuasaan tersebut. Perburuan legitimasi (the quest for legitimacy) itu menunjukkan ciri-ciri perkembangan ke arah perkembangan hukum yang otonom. Pada saat keadaan seperti itu tercapai, maka dapat dikatakan telah terjadi pemisahan antara hukum dan politik. Politik sekarang tidak lagi mendominasi hukum, dan hukum pun tidak lagi ditundukkan di bawah politik. Lihat, Satjipto Rahardjo, Beberapa PemikiranOp. Cit., h. 78. 45 asas-asas moral, dan wawasan kearifan yang sebenarnya, sebagaimana yang sesungguhnya hidup di dalam kesadaran hukum masyarakat awam. 88
Oleh karena itu, tidak terlalu mengherankan apabila pada masa karakter hukum sedemikian represif serta badan peradilan ditundukkan pada politik kekuasaan, dan tatkala tujuan hukum semata-mata ketertiban, maka muncul fenomena untuk memilih forum lain sebagai alternatif untuk tidak menyelesaikan sengketa lewat pengadilan negeri. Kondisi tersebut kemudian menjadi salah satu indikator bahwa pada kalangan pencari keadilan telah muncul fenomena ketidaksediaan untuk menggunakan pengadilan dalam rangka proses penyelesaian sengketa. Namun demikian, seiring dengan perkembangan dan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat, dewasa ini karakter produk hukum telah bergeser ke arah perkembangan hukum yang otonom (autonomous law). 89
Hukum telah diupayakan untuk bebas dari politik, dalam arti terdapat pemisahan kekuasaan, demikian pula tujuan hukum bukan lagi semata-mata
88 Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, h. 247. 89 Law is institutionally autonomous to the extent that its rules are applied by specialized institutions whose main task is adjudications. Thus, the distinction between state and society is complemented by a contrast within the state itself among legislation, administration, and adjudication. Lihat, Roberto M. Unger, Law in Modern Society Toward a Criticism of Social Theory. London: The Free Press, 1976, h. 53. Hukum yang mandiri berarti hukum itu berlaku bagi pihak yang mengeluarkan hukum itu maupun bagi pihak terhadap siapa hukum itu semula ditujukan. Lihat juga, Charles Himawan, Ekonomi dan Hukum Rintangan Potensial; dalam Kompas, 10-08-2001. 46 ketertiban, melainkan legitimasi. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri kalau hingga saat ini masih dapat dijumpai sisa-sisa produk hukum yang masih berkarakter represif, umpamanya masih didapati adanya undang-undang yang tetap saja mencitrakan bahwa tujuan hukum itu semata-mata ketertiban. Sebagai contoh, norma positif mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan forum arbitrase internasional. Secara eksplisit norma itu masih menentukan,Putusan Arbitrase Internasionalhanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. 90 Sementara itu kriteria dan makna mengenai ketertiban umum itu sendiri sama sekali tidak pernah ditemukan penjelasannya secara rinci. Mengingat tidak adanya pedoman yang jelas dan tegas mengenai kriteria ketertiban umum, maka dalam rangka memperlancar mekanisme dan proses pelaksanaan putusan arbitrase internasional (international arbitration award) agar persoalan ketertiban umum tidak selalu menjadi faktor penghambat (barrier) untuk dieksekusinya putusan arbitrase internasional di Indonesia, sesungguhnya hakim pada pengadilan yang ditunjuk sebagai eksekutor putusan arbitrase tersebut dimungkinkan untuk melakukan tindakan diskresi (discretion). Diskresi yang dimaksud bermakna sebagai: ...Kemerdekaan dan/atau otoritas/kewenangan untuk membuat keputusan serta kemudian mengambil tindakan yang dianggap tepat/sesuai
90 Pasal 66 huruf c UU No. 30/1999. 47 dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, yang dilakukan secara bijaksana dan dengan memperhatikan segala pertimbangan maupun pilihan yang memungkinkan. 91
Sementara itu yang dimaksud dengan diskresi hakim (judicial discretion) menurut Aharon Barak 92 adalah the power the law gives the judge to choose among several alternatives, each of them being lawful or to choose among a number of lawful option. Oleh karena itu, ketika seorang hakim harus mempertimbangkan dalam rangka memutus diberikan tidaknya eksekuatur terhadap suatu putusan arbitrase internasional yang meminta untuk dieksekusi di Indonesia, apakah putusan itu bertentangan dengan ketertiban umum atau tidak berada pada konteks kajian diskresi hakim (judicial discretion). Diskresi hakim untuk kondisi semacam itu, menurut Barak tergolong pada tipe the application of a given norm karena menyangkut the choice among a number of alternative ways of applying a norm to a given set of facts. 93
91 Lihat, Erlyn Indarti, Diskresi Polisi. Semarang: BP-UNDIP, 2000, h. 12. 92 these options may refer to three matters. The first is the fact. Judicial discretion chooses from among the set of facts those that it deems necessary for making a decision in the conflict. The second area is the application of a given norm. Judicial discretion selects from among the different methods of application that the norm provides the one that it finds appropriate. The third area of discretion chooses from among the normative possibilities the option that it deems appropriate. Lihat, Aharon Barak, Judicial Discretion. New York: Yale University Press, 1989, h. 12-13. 93 Frequently, a legal norm gives the judge the power to choose among different courses of action that are fixed in its framework. This grant of authority may be explicit, as when the norm is actually phrased in terms of discretion. The grant may also be implicit, such as when the norm refers to a standard (for example, negligence 48 Berdasarkan pemahaman terhadap hal di atas dan mengingat bahwa norma hukum itu merupakan sesuatu yang abstrak, maka hanya hakim pengadilan yang memiliki otoritas/kewenangan untuk menerjemahkan 94 atau menafsirkan setiap norma hukum yang akan diterapkan pada kasus-kasus yang dihadapkan padanya. Dalam konteks pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia, diskresi hakim muncul dalam hal-hal tatkala Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai pemberi eksekuatur terhadap putusan arbitrase internasional harus mempertimbangkan penerapan norma hukum berkenaan dengan ketertiban umum 95 sebagai salah satu syarat agar putusan arbitrase internasional tersebut dapat dipertimbangkan untuk dilaksanakan di Indonesia. Masih berkaitan dengan konteks pembahasan teori tentang pilihan forum penyelesaian sengketa, H.L.A. Hart mengemukakan teori berkenaan dengan penegakan hukum dan penyelesaian sengketa, yang didasarkan pada pembedaan masyarakat secara dikotomis melalui struktur kehidupan
or reasonableness) or to a goal (such as the defense of the state, public order, the best interests of the child). Ibid., h. 14. 94 Berkaitan dengan persoalan penafsiran atas norma-norma hukum, Justice Sussman mengemukakan sebagaimana dikutip Barak di dalam Bukunya: The law is an abstract norm and only the judgment of the court translates the rule of the legislature into an obligatory act that is enforced on the public. The judge gives the law its real and concrete form. Therefore one can say that the statute ultimately crystallizes in the shape the judge gives it. Aharon Barak, Loc. Cit., h. 14.
95 Periksa Pasal 66 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. 49 normatifnya. Kedua tatanan normatif masyarakat tersebut adalah: Primary rules of obligation dan Secondary rules of obligation. 96
Masyarakat yang berada pada peringkat primary rules of obligation, ditandai dengan kondisi seperti berikut: (1) komuniti kecil, (2) didasarkan pada ikatan kekerabatan, (3) memiliki kepercayaan dan sentimen umum, dan (4) berada di tengah-tengah lingkungan yang stabil. Dalam kondisi seperti itu masyarakatnya tidak mengenal peraturan terperinci, hanya mengenal standar tingkah laku, dan tidak ada diferensiasi dan spesialisasi badan-badan penegak hukum. Penyelesaian sengketa pada masyarakat semacam ini relatif masih sangat sederhana. Hal itu disebabkan masyarakatnya berupa komunitas kecil yang didasarkan atas kekerabatan, sehingga mekanisme kontrol sosial yang ada telah dapat menjalankan fungsinya secara efektif. 97
Sedangkan pada masyarakat dengan peringkat secondary rules of obligation, masyarakatnya mempunyai kehidupan terbuka, luas, dan kompleks. Kondisi tersebut menandai lahirnya dunia hukum dan ditinggalkannya dunia pra hukum, bersamaan dengan munculnya tiga macam kaidah, yaitu: (1) rules of recognition, (2) rules of change, dan (3) rules of adjudication. Masing-masing kaidah (rules) tersebut memegang otoritas
96 H.L.A. Hart, The Concept of Law. London: Oxford University Press, 1972, h. 89-96. Bdgk. Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Bandung: Sinar Baru, TT, h. 43-45. 97 Esmi Warassih Pujirahayu, Peranan Kultur Hukum dalam Penegakan Hukum; dalam Masalah-Masalah Hukum No. 2 Tahun 1995, h. 20. 50 untuk menentukan apa yang merupakan hukum, bagaimana mengubahnya, dan bagaimana menyelesaikan suatu sengketa. Berdasarkan teori yang dikemukakan Hart di muka, maka masyarakat yang berada pada peringkat secondary rules of obligation itu tergolong masyarakat yang modern. 98
Berkaitan dengan teori yang dikemukakan Hart di atas, pada pihak lain, Daniel S. Lev 99 dalam tinjauannya mengenai kultur hukum di Indonesia, memperhatikan bahwa cara-cara penyelesaian konflik mempunyai karakteristiknya sendiri disebabkan adanya dukungan nilai-nilai tertentu. Satuan masyarakat yang kecil-kecil yang di dalamnya hubungan tatap muka lebih menonjol cenderung menekankan pada penyelesaian perselisihan secara kekeluargaan (konsiliasi) dan kompromi (penyelesaian perselisihan melalui jalan tengah). Sebaliknya, hubungan yang tidak akrab menjadikan keputusan pihak ketiga dengan status resmi adalah lebih tepat. Padahal dalam masyarakat manapun sebenarnya banyak sengketa diselesaikan sendiri oleh orang yang bersangkutan dengan bantuan orang-orang yang ada di sekitarnya. 100 Oleh karena itu, dalam suatu masyarakat ada berbagai pilihan
98 Adapun salah satu ciri penegakan hukum dalam masyarakat modern yang dianggap menonjol adalah sifat birokratisnya, sebab penegakan hukum birokratis ini merupakan jawaban masyarakat modern dalam menghadapi tantangan untuk dapat membuat keputusan dengan tingkat rasionalitas maksimal dalam pengambilan keputusan serta efisiensi kerja yang berjalan secara otomatis. Lihat dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat., Bandung: Angkasa, 1981, h. 74. 99 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta: LP3ES, 1990, h. 156. 100 T.O. Ihromi (ed), Antropologi dan HukumOp. Cit., h. 16.
51 yang tersedia bagi orang-orang yang mempunyai keluhan untuk menyelesaikan masalahnya. Jadi, tidak benar semua sengketa dapat diselesaikan dengan satu jenis pemecahan. Bahkan hasil penelitian Gluckman yang meneliti tentang sistem hukum dari orang Lozi di Afrika (kini menjadi Zambia), diketahui bahwa jenis-jenis relasi antara orang-orang bersengketa banyak pengaruhnya pada cara penyelesaian sengketa yang dipilih. 101
Demikian juga pada berbagai masyarakat adat di Indonesia, dapat dijumpai beragam proses penyelesaian sengketa. 102 Di Minangkabau misalnya, terdapat berbagai lembaga yang dapat menangani sengketa yang mendapat kewenangannya dari adat atau suatu sistem aturan Minangkabau yang normatif serta kebiasaan. 103 Jika terjadi sengketa-sengketa antara
101 Hubungan antara orang yang bersengketa bisa saja bersifat apa yang disebut simpleks yaitu mereka yang mempunyai hanya satu jenis hubungan, hubungan majikan pekerja, misalnya, atau bersifat multipleks, yaitu mempunyai hubungan yang beragam-ragam misalnya dengan tetangga, pada saat yang sama juga berhubungan sebagai keluarga. Bila terjadi sengketa maka hubungan yang simpleks, pemecahan yang tidak memungkinkan lagi dilanjutkannya hubungan yang semula dapat saja ditempuh. Pada hubungan yang simpleks, cara adjudikasi misalnya akan dapat ditempuh, karena tidak membahayakan hubungan-hubungan sosial yang lebih luas. Sedangkan pada hubungan yang multipleks pilihan yang pada umumnya akan ditempuh adalah pemecahan masalah yang masih memungkinkan hubungan-hubungan yang multipleks itu berlanjut, misalnya dengan negosiasi, dimana kompromi akan menonjol. Lihat, T.O. Ihromi, Beberapa Catatan Mengenai Metode; dalam T.O. Ihromi (ed) Antropologi Hukum Sebuah Bunga RampaiOp. Cit., h. 194-213 [212]. 102 Di daerah Toraja, warga masyarakat biasanya pertama-tama mengajukan sengketa kepada suatu dewan yang disebut hadat yang sejak dahulu telah berfungsi untuk menyelesaikan sengketa. Lihat, T.O. Ihromi, Antropologi dan Op. Cit., h. 17-18. 103 Keebet von Benda-Beckmann, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat. Jakarta: Grasindo, 2000, h. 64.
52 penduduk pada masyarakat di pedesaan, jarang sekali mereka membawa masalah tersebut ke pengadilan negara untuk diselesaikan. Mereka yang bersengketa dengan senang hati dan lebih suka membawanya ke forum- forum atau lembaga-lembaga yang tersedia pada masyarakat di pedesaan untuk diselesaikan secara damai. 104 Salah satu keuntungan penyelesaian perselisihan oleh pihak-pihak yang berselisih itu sendiri ialah bahwa perhatian pihak ketiga penyelesai perkara yang tidak berpihak (impersonal) dapat diabaikan. Sementara itu, di Jawa dan Bali kecenderungan memilih konsiliasi adalah bersifat memaksa dan merupakan nilai yang merata dalam masyarakat. Dengan perasaan relativisme yang mendalam atau yang menurut istilah Anderson, tenggang rasa (tolerance) 105 gaya penyelesaian perselisihan yang dianjurkan oleh nilai-nilai tersebut adalah gaya yang dalam istilah hukum lebih memperhatikan prosedur daripada substansinya. Bahkan Lev mengakui bahwa kecenderungan budaya untuk berkompromi bila timbul perselisihan pribadi tetap kuat dan sama sekali tidak terbatas pada orang-
104 HMG. Ohorella & H.Aminuddin Salle, Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase pada Masyarakat di Pedesaan Sulawesi Selatan; dalam Felix O. Soebagjo & Erman Rajagukguk (eds), Arbitrase di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995, h. 105- 120 [106]. 105 Orang Jawa cenderung sangat hati-hati dalam hubungan pribadi, menaruh perhatian kepada orang lain, diplomatis, menahan diri, dan hormat kepada kedudukan sosial. Mereka berupaya keras menghindarkan perselisihan pribadi, dan bila hal terjadi, menutupinya dengan cara yang halus dalam hubungan sosial, menunggu didapatkannya penyelesaian yang paling tidak merugikan dan tidak mempermalukan. Lihat, Daniel S. Lev, Hukum danOp. Cit., h. 158-159. 53 orang-orang desa saja. Nilai seperti itu meresap hampir pada semua lapisan masyarakat Jawa. 106
Akan tetapi perubahan besar yang terjadi dalam sejarah peradaban manusia, telah menyebabkan munculnya negara dan hukum modern sekitar dua ratus tahun yang lalu. Akibatnya, hukum modern itulah yang kini mendominasi dan dipakai di dunia termasuk Indonesia. 107 Hukum modern memiliki ciri di antaranya bersifat tertulis, universal, bersifat teritorial, formal, dan rasional. Pola penegakan hukum modern ini antara lain ditandai dengan adanya diferensiasi dan spesialisasi fungsi-fungsi penegakan hukum, yang pada gilirannya menyebabkan dibentuknya badan-badan khusus, seperti kepolisian, pengadilan, dan sebagainya. Keadaan tersebut telah membawa akibat semakin memudarnya nilai-nilai musyawarah yang diyakini masyarakat untuk menyelesaikan sengketa. 108 Dalam kaitan itu Satjipto Rahardjo menyatakan, Memang tak dapat disangkal bahwa musyawarah untuk mufakat itu merupakan sebagian dari kekayaan kebudayaan kita. Namun di dalam konteks masyarakat yang menjadi semakin terbuka dan
106 Daniel S. Lev, Hukum..Loc. Cit., h. 161. 107 Lihat Satjipto Rahardjo, Supremasi Hukum yang Benar; Kompas, 6 Juni 2002; Hukum modern ini mengharuskan adanya struktur, format, dan prosedur yang keras (rigid). Birokratisasi penegakan hukum sebagai ciri dari pola penegakan hukum modern yang menonjol, menyebabkan penegakan hukum lalu merupakan jaringan jabatan-jabatan yang cukup kompleks. Pola penegakan hukum birokratis ini merupakan jawaban masyarakat modern terhadap tantangan untuk mengambil keputusan dengan tingkat rasionalitas maksimal. Lihat pula, Satjipto Rahardjo, Masalah PenegakanOp. Cit., h. 45-46. 108 Adi Sulistiyono, Mengembangkan ParadigmaOp. Cit., h. 19. 54 individualistis serta pengorganisasian masyarakat secara modern rasional, maka pranata tersebut masih membutuhkan penyempurnaan secara kelembagaan serta penghayatan oleh masyarakat Indonesia sendiri. 109
Sementara itu menurut Chambliss & Seidman, 110 terdapat dua unsur yang merupakan faktor yang turut menentukan dalam hubungannya dengan pranata yang dipakai oleh suatu masyarakat untuk menyelesaikan sengketa- sengketa di antara para anggotanya, yaitu: Pertama, tujuan yang hendak dicapai oleh penyelesaian sengketa itu. Bila tujuan yang hendak dicapai adalah untuk merukunkan para pihak sehingga mereka selanjutnya dapat hidup bersama kembali dengan baik sesudah penyelesaian sengketa, maka penekanannya akan lebih diletakan pada cara-cara mediasi dan kompromi. Sebaliknya, bila tujuannya untuk melakukan penerapan peraturan, maka cara penyelesaian yang bersifat birokratis akan lebih banyak dipakai. Kedua, tingkat perlapisan yang terdapat di dalam masyarakat. Semakin tinggi tingkat perlapisan yang terdapat di dalam masyarakat, semakin besar pula perbedaan kepentingan dan nilai-nilai yang terdapat di situ. Dalam keadaan demikian, maka lapisan atau golongan yang dominan
109 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat..Op. Cit., h. 52. 110 William J. Chambliss & Robert B. Seidman, Law, Order and Power. Reading, Massachusetts: Addison-Westley, 1971, h. 33-34, Bdgk. Satjipto Rahardjo, Hukum dan MasyarakatLoc. Cit., h. 52-54.
55 akan mencoba untuk mempertahankan kelebihannya dengan cara memaksakan berlakunya peraturan yang menjamin kedudukannya. Berbeda dengan keadaan pada masyarakat sederhana, yang tingkat pemakaian teknologi dan pembagian kerja di dalamnya masih rendah, kesepakatan nilai- nilai masih mudah dicapai. Dalam keadaan ini, perukunan merupakan pola penyelesaian sengketa yang cocok. Dihubungkan dengan kedua unsur yang dikemukakan Chambliss & Seidman di atas, dapat dikatakan bahwa dewasa ini masyarakat Indonesia telah berada pada tingkat pelapisan yang tinggi dan lebih kompleks, sehingga kecenderungannya ada pada penerapan peraturan-peraturan. Keadaan tersebut menimbulkan perilaku masyarakat untuk melakukan gugat menggugat melalui pengadilan dalam upaya penyelesaian sengketa. Dikaji dari sudut perspektif organisasi, perilaku gugat menggugat melalui pengadilan tersebut memiliki korelasi yang cukup signifikan dengan persoalan beban pekerjaan yang harus diselesaikan oleh pengadilan. 111
Akibatnya terjadi kelambanan proses peradilan, sehingga sejak perkara mulai disidangkan sampai dengan terbitnya putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap dapat berlangsung hingga enam tahun. Bahkan masalahnya
111 Dalam hubungan ini Lawrence M, Friedman mengatakan, bahwa sekalipun persoalan yang dihadapi oleh pengadilan itu bukan merupakan sesuatu yang baru, akan tetapi apabila jumlahnya terlalu banyak, maka lembaga pengadilan akan menghadapi suatu krisis. Lihat Satjipto Rahardjo, Masalah PenegakanOp. Cit., h. 87-88. 56 tidak sampai di situ, selain lambat, putusan hakim juga sering dinilai kontradiktif serta tidak jarang putusan hakim tidak dapat dieksekusi. 112
Berkenaan dengan hal di atas, Friedman 113 mengemukakan beberapa pengaruh yang ditimbulkan akibat meningkatnya jumlah penduduk, kemakmuran, serta industri-industri komersial terhadap pengadilan, sehingga penanganan masalah di luar sidang pengadilan merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh tatkala pengadilan menghadapi krisis kepercayaan dan krisis kewibawaan. Salah satu langkah yang disebutnya adalah pengembangan mekanisme penyelesaian sengketa yang efisien di luar sistem pengadilan yang berlaku. Oleh karena itu, pendekatan penyelesaian sengketa melalui konsiliasi dan arbitrase memiliki sumber dukungan lain di samping kecenderungan budaya. Sejak tahun 1983 upaya ke arah pengadaan pengaturan mengenai arbitrase 114 telah dilakukan, meski baru tahun 1999
112 Sebagai contoh, kasus sengketa tanah Henoch Hebe Ohee melawan Gubernur Irian Jaya sudah berlangsung sejak tahun 1991. Pengadilan Negeri Jayapura telah memutuskan agar Gubernur Irian jaya membayar ganti rugi Rp 18,6 milyar kepada Ohee. Akan tetapi sampai dengan tahun 1999 putusan hakim pada tingkat Peninjauan Kembali (PK) belum bisa dieksekusi. Lihat Kelambanan Proses Peradilan Dikeluhkan; dalam Kompas, 23 April 1999. 113 Lihat Satjipto Rahardjo, Masalah PenegakanOp. Cit., h. 88. 114 Serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Kantor Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Pengawasan Pembangunan, melalui Proyek Pengembangan Hukum Ekonomi dan Penyempurnaan Sistem Pengadaan Proyek ELIPS, sejak tahun 1991 diantaranya dalam rangka melakukan pembaharuan hukum perseroan dan hukum arbitrase dalam rangka mengganti peraturan yang tidak sesuai lagi dengan kemajuan perekonomian masyarakat yang amat pesat. Oleh karena itu, kedua hukum yang sangat dominan dalam menunjang perkembangan perekonomian dalam masyarakat dapat diwujudkan.Lihat, Muhammad Abduh, Serangkaian Pembahasan bagi Pembaharuan Hukum Ekonomi di Indonesia. (Kerjasama antara Kantor Menko Ekuin dan Wasbang bekerjasama dengan Departemen Kehakiman, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 57 dapat disahkan dan diundangkan. 115 Adapun tujuan utama dari Undang- undang arbitrase tersebut adalah menyediakan payung hukum bagi penyelesaian sengketa bisnis di luar forum pengadilan. 116
Namun untuk mengembangkan serta membangun model penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui arbitrase jelas sekali bukan merupakan proses yang mudah. Sejumlah faktor sangat signifikan berpengaruh terhadap pengembangan arbitrase. 117 Oleh karena itu, walaupun diyakini penyelesaian sengketa melalui arbitrase lebih menguntungkan, namun disebabkan faktor- faktor yang berpengaruh itu, maka penyelesaian sengketa melalui arbitrase belum dapat berkembang di Indonesia. Untuk itu perlu upaya-upaya membangun kepercayaan serta minat masyarakat terutama kalangan pengusaha agar bersedia menggunakan forum arbitrase dalam menyelesaikan sengketa bisnis mereka. Membangun kepercayaan berarti mengubah perilaku
Yayasan Pusat Pengkajian Hukum); dalam Temu Karya Hukum Perusahaan dan Arbitrase, Jakarta: 22-23 Januari 1991. 115 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, disahkan dan diundangkan pada tanggal 12 Agustus 1999. 116 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 21, Oktober-November 2002, h. 3. 117 (i) Penyelesaian sengketa lewat arbitrase harus didasarkan pada prinsip solusi menang- menang (win-win solution), bukan menang kalah (win-loose), tanpa sikap tersebut penyelesaian sengketa tidak berarti apa-apa, bahkan dapat gagal; (ii) Pihak yang kalah harus mau secara sukarela untuk mengeksekusi putusan, jika tidak, eksekusi harus melibatkan pengadilan; (iii) Pihak yang kalah pada arbitrase cenderung mengajukan banding ke pengadilan, padahal putusan arbitrase bersifat mengikat dan final; (iv) Pihak yang kalah juga sering meminta pembatalan putusan arbitrase ke pengadilan; (v) Sering pula para pihak yang sebelumnya telah menerima adanya klausula arbitrase di dalam kontrak, tetapi ketika terjadi perselisihan, salah satu pihak mengajukan perkara itu ke pengadilan; dan (vi) Pengadilan sendiri seringkali tidak konsisten menyikapi 58 manusia, dan lebih tinggi lagi mengubah kultur. Mengubah perilaku dan kultur itu merupakan pekerjaan yang berat dan memerlukan waktu yang panjang. 118
Hal tersebut di atas perlu mendapat perhatian, karena perilaku masyarakat bisnis dalam menyelesaikan sengketa acapkali berada di luar bingkai yang dikemukakan oleh sejumlah pakar. 119 Sementara para ahli mengaitkan antara struktur dan pelapisan masyarakat dengan pola penyelesaian sengketa di dalamnya. Dalam konteks semacam itu, mestinya masyarakat bisnis menurut katagori Chambliss & Seidman, terletak pada tingkat pelapisan sosial yang tinggi dan lebih kompleks. Sedangkan menurut tesisnya Hart masyarakat bisnis sejatinya berada pada peringkat secondary rules of obligation, yang ditandai dengan kehidupan masyarakat yang terbuka, luas, dan kompleks. Pada kondisi struktur masyarakat semacam itu semestinya kecenderungan penyelesaian sengketa berada pada penerapan peraturan melalui lembaga pengadilan. Seperti halnya yang dikemukakan Yehezkel Dror, bahwa tindakan-tindakan di dalam masyarakat yang semata- mata bersifat instrumental seperti dalam kegiatan komersial, dengan nyata sekali dapat menerima pengaruh dari peraturan-peraturan hukum yang baru
pilihan forum (jurisdiksi) arbitrase tersebut. Lihat, Editorial, Jurnal Hukum BisnisOp. Cit., h. 4. 118 Satjipto Rahardjo, Mengubah Perilaku dan Kultur Polisi; dalam Kompas, 1-7-2002. 119 Lihat, Adi Sulistiyono, MengembangkanOp. Cit., h. 24.
59 dibandingkan dengan bidang-bidang kehidupan sosial yang erat hubungannya dengan kepercayaan. 120 Akan tetapi pada aras praksis, realitanya terbukti berbeda dengan teorinya. Masyarakat bisnis kadang- kadang tidak menyukai mekanisme penyelesaian sengketa yang terlalu formal, rasional, serta birokratis. Pada masyarakat bisnis yang tergolong masyarakat modern, justru muncul kecenderungan terjadinya privatisasi 121
penyelesaian sengketa yang mengarah pada model win-win solution dan bukan lagi menganut pola win-loose sebagaimana yang berlangsung pada lembaga pengadilan. Mekanisme penyelesaian sengketa pada masyarakat sebagaimana disebutkan di muka bila dianalisis berdasarkan teori struktur masyarakat dari Hart akan mendapatkan gambaran seperti berikut ini. Pada kondisi masyarakat yang telah sampai pada tahap secondary rules of obligation seperti sekarang ini, peranan pengadilan merupakan tumpuan utama, namun demikian ketika pengadilan sedang mengalami krisis dan gagal menjalankan tugas dan fungsinya, maka perangkat-perangkat yang ada pada tahapan primary rules of obligation, seperti mediasi, konsiliasi, atau perangkat yang
120 Satjipto Rahardjo, Hukum dan MasyarakatOp. Cit., h. 121. 121 Lihat Priyatna Abdurrasyid, Pengusaha Indonesia Perlu Meningkatkan Minatnya terhadap Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 21, Oktober-November 2002, h. 5-15, [9].
60 lain akan muncul menjadi alternatif. 122 Sementara itu Gerald Turkel 123
membuat klasifikasi mengenai tipe-tipe penyelesaian sengketa secara hierarki atau berjenjang (Hierarchy of Dispute Resolution). Penjenjangan dibuat dari tipe penyelesaian sengketa yang paling rasional informal dan tidak berdasarkan hukum (the most informal and nonlegally rational type of dispute resolution) sampai dengan tipe yang paling rasional formal dan berdasarkan hukum (the most formal and legally rational type). Hal tersebut dapat disimak pada ragaan 2 berikut ini. Ragaan 2 Hierarchy of Types of Dispute Resolution 124
Informal, Nonlegally Rational Formal, Legally Rational Negotiation Mediation Arbitration Litigation Sumber: Gerald Turkel, Law and Society...(1996:208) Dalam menyelesaikan sengketa, para pihak dapat menggunakan tipe- tipe penyelesaian sebagaimana disebutkan di atas mulai dari tipe yang paling informal sampai dengan tipe yang paling formal rasional. Oleh karena itu, apabila negosiasi tidak berhasil untuk menyelesaikan sengketa, para pihak dapat melanjutkan pada mediasi. Apabila mediasi juga tidak berhasil, mereka
122 Lihat, Adi Sulistiyono, Op. Cit., h. 26. 123 Gerald Turkel, Law and Society: Critical Approaches. Needham Heights: A Simon & Schuster Company, 1996, h. 208. 124 Ibid., h. 208.
61 dapat melanjutkan pada arbitrase. Akhirnya, apabila arbitrase pun tidak berhasil, maka para pihak dapat melanjutkan kepada adjudikasi. Sebagai tahap paling awal dalam hierarki penyelesaian sengketa, negosiasi dan mediasi dilakukan dengan menggunakan metode dan interaksi yang berlangsung secara informal, sukarela, serta didasarkan pada akal sehat. Selanjutnya hierarki penyelesaian sengketa, bergerak ke arah arbitrase dan kemudian litigasi dengan struktur yang lebih formal, baik peran maupun prosedur, tidak berlangsung secara sukarela, dan lebih dibatasi oleh alasan- alasan hukum serta alat-alat pembuktian. Oleh sebab itu, penyelesaian sengketa menjadi lebih bersifat perlawanan, lebih terbuka kepada masyarakat umum, dan semakin diatur oleh kaidah-kaidah hukum. Meskipun arbitrase tergolong lebih formal bila dibandingkan dengan negosiasi dan mediasi, namun Turkel menyatakan bahwa ...Arbitration does not have formal rules of evidence and is not subject to technical legal rules. While the parties play adversarial roles in the arbitration hearing, their communication is not completely formal and controlled by legal procedure. 125
Berdasarkan seluruh uraian di muka, dapatlah dikemukakan bahwa memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa komersial di luar pengadilan ternyata memiliki landasan teoritis serta legitimasi konseptual
125 Gerald Turkel, Law and Society...Loc. Cit., h. 215
62 yang cukup memadai. Terlebih dalam kondisi pengadilan yang dirasakan semakin tidak mampu mendengarkan persoalan bangsanya, sehingga masyarakat kehilangan kepercayaan kepada lembaga pengadilan.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Idealnya setiap sengketa dalam kehidupan masyarakat mendapatkan penyelesaian yang adil dan bermartabat. Namun faktanya tidak selalu demikian, karena tidak setiap upaya manusia untuk menyelesaikan sengketa berakhir dengan hasil yang memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak. Penelitian mengenai pilihan forum dalam menyelesaikan sengketa komersial ini bertujuan antara lain untuk menemukan jawaban atas permasalahan sebagaimana diuraikan di muka, sehingga diharapkan: Pertama, dapat menjelaskan secara rinci dan mendalam mengenai sejumlah alasan serta faktor-faktor yang mendorong munculnya fenomena pilihan forum arbitrase dalam upaya menyelesaikan sengketa komersial, khususnya pada kalangan bisnis. Dipahaminya alasan dan faktor pendorong tersebut akan membantu untuk memahami tentang seberapa jauh putusan forum arbitrase telah memuaskan rasa keadilan pihak-pihak yang bersengketa di dalamnya. 63 Kedua, melalui penelitian ini diharapkan pula dapat menjelaskan kepada publik, baik ilmuwan hukum, kaum praktisi, maupun masyarakat luas lainnya bahwa di dalam lembaga pengadilan itu ada sejumlah faktor internal yang sangat tidak menguntungkan pihak-pihak yang bersengketa di dalamnya. Apalagi bila yang bersengketa itu kalangan masyarakat bisnis yang sangat menghargai waktu, mengutamakan efisiensi, dan tidak menghendaki sejumlah formalitas yang bertele-tele. Faktor-faktor internal dimaksud mungkin sebagai akibat dari hukum acara yang sangat imperatif sehingga tidak mungkin dihindari atau mungkin juga karena sikap mental dari sumberdaya manusia personil lembaga peradilan yang sangat kurang baik dan bermoral rendah. Ketiga, memperoleh sejumlah informasi dari berbagai kepustakaan sumber maupun norma-norma yang menjelaskan bahwa putusan forum arbitrase bersifat final dan mengikat bagi para pihaknya karena tidak mengenal upaya hukum banding maupun kasasi. Berdasarkan informasi tersebut diharapkan di masa depan forum arbitrase dapat dikembangkan menjadi forum khusus untuk menyelesaikan sengketa-sengketa komersial di luar pengadilan. Akan tetapi dengan satu syarat, kepada forum arbitrase itu harus diberikan kewenangan publik, sehingga dapat melakukan eksekusi sendiri putusannya tanpa bantuan pengadilan negeri. Dengan demikian 64 forum arbitrase diharapkan akan mampu menjadi forum yang dapat menegakkan keadilan secara substansial.
2. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini setidaknya memiliki dua kegunaan, yaitu (a) kegunaan keilmuan atau kegunaan teoritis dan (b) kegunaan pragmatis atau kegunaan praktis. (a) Kegunaan keilmuan atau kegunaan teoritis Hasil penelitian ini diharapkan akan memperkaya konsep, metode, maupun teori dalam studi hukum, khususnya bidang hukum penyelesaian sengketa komersial. Pilihan forum arbitrase juga diharapkan mampu menembus dinding pembatas yang selama ini membentuk citra seakan-akan hanya lembaga pengadilan tempat sengketa diselesaikan dan tempat keadilan dapat diperoleh. Hasil penelitian ini pun diharapkan menjadi salah satu sumber informasi ilmiah yang dapat dijadikan bahan rujukan ketika pihak-pihak yang bersengketa hendak melakukan pilihan forum atau pilihan yurisdiksi untuk menyelesaikan sengketa mereka.
65
(b) Kegunaan pragmatis atau kegunaan praktis Walaupun penelitian ini tidak dilakukan dalam rangka menyusun kebijakan eksekutif maupun legislatif untuk menetapkan perundang- undangan, namun hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap upaya semua pihak yang menghendaki agar penyelesaian sengketa komersial dilakukan oleh forum yang berbasis kultural, sehingga pada gilirannya apa pun namanya forum tempat sengketa komersial itu diselesaikan, diharapkan mampu menjawab tuntututan kebutuhan masyarakat serta dapat memuaskan pihak- pihak yang menggunakannya. Untuk itu penelitian tentang pilihan forum arbitrase dalam penyelesaian sengketa komersial diharapkan merupakan salah satu upaya untuk menemukan model alternatif penyelesaian sengketa di luar format yang telah ada namun model tersebut lebih memiliki basis kultural dengan mengutamakan mekanisme perdamaian atau musyawarah ketimbang sebuah pertentangan. Dibukanya peluang untuk melakukan pilihan forum arbitrase bagi sengketa-sengketa komersial, diharapkan akan mengurangi secara signifikan beban menumpuknya perkara yang masuk untuk diputus oleh lembaga peradilan. Bila beban perkara berkurang, pada 66 gilirannya para hakim akan lebih fokus untuk menangani sengketa- sengketa lainnya secara cermat dan bertanggung jawab, sehingga keluarannya berupa putusan yang berkualitas serta dapat memenuhi rasa keadilan substansial untuk para pencarinya.
E. Pendekatan Studi Kajian mengenai pilihan forum arbitrase ini berada pada ranah sosiologi hukum (sociology of law). Di sini hukum bukan dikonsepkan sebagai normatif (rules), melainkan sesuatu yang nomologik atau sebagai regularities yang menekankan pada realitas yang terjadi di alam pengalaman dan/atau sebagaimana yang tersimak di dalam kehidupan sehari-hari. Di sini hukum adalah perilaku-perilaku (atau aksi-aksi dan interaksi) manusia yang secara aktual telah dan/atau yang secara potensial akan terpola. 126 Oleh karena pilihan forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan negeri juga merupakan realitas sosial yang terkonstruksi dari perilaku atau aksi dan interaksi pihak-pihak yang melakukannya, maka pilihan forum merupakan realitas sosial yang terobservasi di alam pengalaman indrawi yang empirik. Untuk itu maka kajian berikut ini hendak
126 Soetandyo Wignjosoebroto, Masalah Metodologik dalam Penelitian Hukum Sehubungan dengan Masalah Keragaman Pendekatan Konseptualnya. Makalah. Semarang, TT, h. 13. 67 menggunakan paradigma 127 konstruktivisme, karena realitas merupakan konstruksi sosial. Melalui pengamatan langsung kepada pelaku sosial dalam setting kehidupan sehari-hari yang alamiah, sehingga mampu memahami dan menafsirkan bagaimana pelaku pilihan forum yang bersangkutan mengelola kepentingan mereka. Secara ontologis, paradigma ini menyatakan bahwa realitas merupakan konstruksi sosial, ada dalam bentuk bermacam-macam konstruksi mental, berdasarkan pengalaman sosial, dan tergantung pada orang yang melakukannya. 128 Sebagai konsekuensi metodologis dari penetapan paradigma tersebut, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Critical Legal Studies (CLS). 129 Adapun yang menjadi pertimbangan sehingga menggunakan pendekatan CLS ini antara lain bertolak dari pemahaman bahwa baik dalam pembentukan hukum positif (in abstracto) maupun dalam penerapannya (in concreto), hukum adalah hasil interpretasi
127 Seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita, baik tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah. Sementara itu, paradigma pencarian ilmu pengetahuan (discipline inquiry paradigm), yaitu suatu keyakinan dasar yang digunakan berbagai kalangan untuk mencari kebenaran realitas menjadi suatu ilmu atau disiplin ilmu pengetahuan tertentu. Lihat, Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (dari Denzin Guba dan Penerapannya). Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001, h. 33-34. 128 Ibid., h. 41. 129 Teori kritis di bidang hukum tersebut sangat relevan dipakai untuk mengkritik praktik hukum di Indonesia. Banyak terjadi keanehan-keanehan dalam yurisprudensi liberal di Indonesia sekarang ini, yang oleh para pemimpin berhati nurani tinggi menyebutnya sebagai tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Praktik hukum liberal di banyak negara sekarang ini sudah meninggalkan filsafat keadilan, baik oleh para yurisnya, para penuntut keadilannya, dan malahan telah digunakan secara semena-mena oleh banyak 68 yang tak pernah selesai dan amat berpotensi untuk mendistorsi (menyimpangi) prosesnya sebagai logika formal. 130 Di samping itu karena konteks kelahiran CLS itu sendiri memang datang dari pengalaman negara- negara (dimana negara berperan secara minimal), tidak dominan seperti Indonesia di masa Orde Baru. Oleh karena itu, tatkala penyelesaian sengketa tidak lagi semata-mata merupakan monopoli institusi negara (baca: pengadilan negeri) melainkan terbuka melalui pilihan forum di luar pengadilan negeri, maka melalui kajian ini terbuka pula suatu opsi untuk melakukan analisis kritis terhadap hukum dan proses penegakannya dengan melihat relasi antara suatu doktrin hukum dengan realitas, dan kemudian mengungkapkan kritiknya. Oleh karena hukum dalam konteks pilihan forum ini dikonsepkan sebagai perilaku-perilaku (atau aksi-aksi dan interaksi) dalam hal ini antara para pihak atau para pelaku bisnis yang menghendaki sengketanya tidak diputus oleh pengadilan negeri, maka teori yang digunakan dalam kajian ini adalah interaksionisme simbolik (symbolic interactionism). Teori tersebut memiliki pandangan bahwa kenyataan sosial mestinya didasarkan pada definisi subjektif individu dan interpretasinya. Tindakan-tindakan individu
pihak. Periksa, H. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000, h. 206. 130 Ifdhal Kasim, Mempertimbangkan Critical Legal Studies dalam Kajian Hukum di Indonesia; Jurnal Ilmu Sosial Transformatif WACANA, Edisi 6 Tahun II 2000, h. 21-33 (25-26). 69 serta pola-pola interaksinya dibimbing atau diarahkan oleh definisi bersama yang serupa, yang dibangun melalui suatu interpretasi. 131 Interaksionisme simbolik menunjuk pada sifat khas dari interaksi antar manusia. Kekhasannya adalah bahwa manusia saling menerjemahkan dan saling mendefinisikan tindakannya. Interaksi antar individu, di antarai oleh penggunaan simbol-simbol, interpretasi atau dengan saling berusaha untuk saling memahami maksud dari tindakan masing-masing. 132 Interaksi simbolik mengejar makna di balik yang sensual, mencari fenomena yang lebih esensial daripada sekedar gejala. Karena itu landasan filosofik dari interaksi simbolik adalah phenomenologi. 133
Penentuan pendekatan CLS dalam konteks pilihan forum arbitrase untuk penyelesaian sengketa oleh kalangan pelaku bisnis, di samping karena pilihan forum merupakan proses aplikasi hukum dalam kasus-kasus konkrit, juga karena kajian hukum tidak lagi terbatas pada materi-materi primer dan
131 H.R. Riyadi Soeprapto, Interaksionisme SimbolikPerspektif Sosiologi Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, h. 88-89. Bdgk. Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia, 2002, h. 65-66. 132 George Ritzer, Sosiologi ... Op. Cit., h. 52. 133 Pada awal perkembangannya interaksi simbolik lebih menekankan studinya tentang perilaku manusia pada hubungan interpersonal, bukan pada keseluruhan masyarakat atau kelompok. Karena itu, sementara ahli menilai bahwa interaksi simbolik hanya tepat diterapkan pada phenomena mikrososiologik atau pada perspektif psikologi sosial. Pada perkembangan selanjutnya interaksi simbolik juga mengembangkan studi pada perspektif sosiologiknya, sehingga kritik tersebut menjadi tidak tepat lagi, karena pendekatan mikrososiologik juga telah diterapkan. Proposisi paling mendasar dari interaksi simbolik adalah: perilaku dan interaksi manusia itu dapat diperbedakan karena ditampilkan lewat simbol dan maknanya. Mencari makna dibalik yang sensual menjadi penting dalam interaksi simbolik. Lihat, H. Noeng Muhadjir, Op. Cit., h. 183-184. 70 sekunder hukum (seperti peraturan perundang-undangan, putusan hakim, dan pendapat ahli hukum) tetapi juga mencakup konteks sosial-politik, ideologi, ekonomi, dan nilai-nilai yang berada di luarnya. 134 Menurut kalangan CLS, hukum bukanlah ranah yang esoterik dari wacana moral, ekonomi, dan politik pada umumnya. Oleh karena itu, melakukan analisis hukum tidak lagi semata-mata bertumpu pada teks, tetapi harus diarahkan pada konteks dimana hukum itu eksis, dan melihat hubungan kausal antara teks (doktrin hukum) dengan realitas. 135
Bertolak dari teori pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, selanjutnya akan dilakukan analisis kausal mengenai doktrin dan institusi legal tentang penyelesaian sengketa dalam hubungannya dengan penegakan keadilan. Persoalan penegakan keadilan, adalah sesuatu yang sangat mendasar. Oleh karena pengadilan negeri sebagai institusi formal milik negara tempat sengketa diperiksa dan diputus, berindikasi tidak mampu menjalankan amanah. 136 Akibatnya, segala proses yang berlangsung di
134 Ifdhal Kasim, Op. Cit., h. 27-29. 135 Ibid., h. 28. Oleh karena itu, dominasi pendidikan hukum dogmatik dalam pandangan pemikir CLS (Studi Hukum Kritis) merupakan ganjalan utama yang harus dibongkar karena telah membelenggu kreativitas individual dalam menghadapi persoalan- persoalan khas negara di masa krisis, seperti Indonesia. Lihat, Anom Surya Putra, Manifesto Hukum Kritis Teori Hukum Kritis, Dogmatika dan Praktik Hukum; dalam Wacana Edisi 6 Tahun II 2000, h. 69-84. 136 Pengertian kata amanah disesuaikan dengan konteksnya dalam ayat-ayat Al Quran yang memuat kata itu. Pertama, kata amanah dikaitkan dengan larangan menyembunyikan kesaksian atau keharusan memberikan kesaksian yang benar; Kedua, kata amanah dikaitkan dengan keadilan atau pelaksanaan hukum secara adil; Ketiga, kata amanah dikaitkan dengan sifat khianat; Keempat, kata amanah dikaitkan dengan salah satu sifat manusia yang mampu memelihara kemantapan (stabil) rohaninya, tidak berkeluh kesah 71 pengadilan dan keluarannya (output) berupa putusan dirasakan telah tidak mampu memenuhi rasa keadilan terhadap para pencarinya. Indikasi tersebut sekurang-kurangnya dapat dipahami melalui dua faktor berikut ini: Pertama, putusan hakim pengadilan tidak mungkin dapat memuaskan kedua belah pihak yang bersengketa, sehingga selalu akan mencerminkan ada pihak yang kalah dan pihak yang menang. 137 Kedua, dalam realitas lembaga pengadilan tidak lagi semata-mata sebagai tempat mencari keadilan tetapi juga menjadi ajang jual beli putusan, sehingga putusan hakim seringkali sulit untuk diramalkan (unpredictable) dan tidak mampu memberikan solusi secara adil pada pihak-pihak yang bersengketa maupun mencerminkan rasa keadilan masyarakat. 138
Terkait erat dengan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yakni Critical Legal Studies (CLS), maka salah satu teori lainnya yang digunakan dalam rangka penyelidikan tentang pilihan forum ini adalah teori kritis. Dari sisi filsafat ilmu, teori kritis termasuk postpositivisme yang
bila ditimpa kesusahan, dan tidak melampaui batas ketika mendapat kesenangan; Kelima, kata amanah dipahami dalam pengertian yang sangat luas, baik sebagai tugas keagamaan maupun tugas kemanusiaan umumnya. Lihat Ensiklopedi Islam 1. Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1994, h. 133-134. 137 Memang ketika seorang hakim hendak menjatuhkan putusan, ia akan selalu berusaha agar putusannya nanti seberapa mungkin dapat diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara. Namun hal itu tidak mungkin terjadi, kecuali dalam hal putusan itu merupakan putusan perdamaian, dimana tidak ada pihak yang dimenangkan atau dikalahkan. Lihat Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Op. Cit., h. 168-169. Lihat pula, Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju, 2000, h. 192. 138 Lihat Adi Sulistiyono, Mengembangkan Op. Cit., h. 20. 72 landasan filsafatnya sebagian phenomenologik dan sebagian lain realisme metaphisik. Patti Lather 139 mengemukakan bahwa pendekatan teori kritis termasuk pendekatan yang mencari makna di balik empirik, dan menolak valuefree. Pendekatan teori kritis mempunyai komitmen yang tinggi kepada tata sosial yang lebih adil. Dua asumsi dasar yang menjadi landasannya, yaitu: pertama, ilmu sosial bukan sekedar memahami ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan dan distribusi resources, melainkan berupaya untuk membantu menciptakan kesamaan dan emansipasi dalam kehidupan; kedua, pendekatan teori kritis memiliki keterikatan moral untuk mengkritik status quo dan membangun masyarakat yang lebih adil. Tatkala banyak pihak menjadikan paradigma pemikiran hukum dinyatakan netral, sedangkan politik memanfaatkannya untuk kepentingan dirinya. Teori hukum liberal menyatakan bahwa hukum itu menggunakan prinsip keputusan objektif, sedangkan politik menggunakan prinsip keputusan subjektif. Oleh karena itu, realitas yang terjadi dalam kehidupan di Indonesia dewasa ini menunjukkan bahwa praktik hukum tidak dapat dipisahkan dari praktik politik. 140
139 H. Noeng Muhadjir, Op. Cit., h. 196-197. Bdgk. Alan Hunt, Kritisi Hukum: Apa yang Kritis dalam Studi Hukum Kritis? dalam Wacana Edisi 6Tahun II 2000, h. 34-53. 140 H. Noeng Muhadjir, Loc. Cit., h. 207. 73 Dari sudut pandang teori kritis, fenomena pilihan forum untuk penyelesaian sengketa yang tumbuh dan berkembang pada komunitas pengusaha, tentu dapat diberi makna sebagai salah satu wujud ketidaksediaan (resistance) mereka terhadap lembaga pengadilan, karena dianggap praktik- praktik hukum di dalamnya tidak sesuai lagi dengan rasa keadilan masyarakat. Maka kajian mengenai fenomena pilihan forum dimaksud, antara lain dilakukan dengan menggunakan pendekatan teori kritis. Oleh karena teori kritis mengkonstruk konsep keadilan setelah mencermati ketidakadilan empirik. 141 Melalui mekanisme pilihan forum di luar pengadilan itulah kemudian pihak-pihak berupaya untuk mencari dan menemukan keadilan yang hilang. Namun demikian, masih perlu dikaji terus menerus, benarkah upaya pencarian dan penegakan keadilan lewat pilihan forum itu dapat direalisasikan di dalam kenyataan? Dalam konteks itu pula teori kritis digunakan sebagai salah satu alat analisis hasil penelitian ini.
F. Metode Penelitian 1. Paradigma Penelitian dan Pendekatannya Sebagaimana telah disebutkan di muka bahwa penelitian mengenai pilihan forum arbitrase dalam sengketa komersial untuk penegakan keadilan termasuk dalam ranah sosiologi hukum (sociology of law) yang
141 Ibid., h. 208. 74 mengkonsepkan hukum bukan sekali-kali normatif sebagai rules, melainkan sesuatu yang nomologik sebagai regularities yang terjadi di alam empirik. Oleh karena itu, untuk keperluan penelitian ini model paradigma (paradigm) 142 yang digunakan adalah naturalistik dengan metode kualitatif. 143
Ada sejumlah pertimbangan, sehingga metode kualitatif dipilih untuk digunakan dalam penelitian ini di antaranya adalah: Pertama, studi tentang pilihan forum 144 arbitrase sumber datanya adalah manusia atau orang-
142 Thomas Kuhn mendefinisikan paradigma (paradigm) sebagai: ...universally recognized scientific achievements that for a time provide model problems and solutions to a community of practitioners. Lihat, Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: The University of Chicago Press, 1970, h. viii. Sedangkan Soetandyo Wignjosoebroto menyebutnya: Hasil pilihan yang tak perlu diperdebatkan lagi kebenarannya inilah yang dalam wacana-wacana akademik disebut paradigma. Lihat, Soetandyo Wignjosoebroto, Teori: Apakah itu? Sebuah Pengantar; Bahan Kuliah Teori Ilmu Hukum. Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 Semarang, 2002, h. 2. Dalam kaitan ini, Satjipto Rahardjo mengemukakan: Paradigma adalah suatu konsep tentang hal-hal yang besar dan mendasar. Seringkali paradigma dipakai sebagai sinonim dari model. Lihat, Satjipto Rahardjo, Paradigma Ilmu Hukum Indonesia dalam Perspektif Sejarah; Makalah dalam Simposium Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia. PDIH Undip, Semarang, 10 Februari 1998, h. 6. Sementara itu Liek Wilardjo mengatakan: ...Paradigma ialah model yang dipakai ilmuwan dalam kegiatan keilmuannya untuk menentukan jenis-jenis persoalan yang perlu digarap, dan dengan metode apa serta melalui prosedur yang bagaimana penggarapan itu harus dilakukan. Lihat, Liek Wilardjo, Peran Paradigma dalam Perkembangan Ilmu; Makalah dalam Simposium Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia. PDIH Undip, Semarang, 10 Februari 1998, h. 1. Masih ada diskusi lain tentang Paradigma, seperti dalam Erlyn Indarti, Paradigma: Jati Diri Cendekia; Makalah Diskusi Ilmiah Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang, 1 Desember 2000. 143 Peneliti kualitatif memilih metode-metode kualitatif karena metode-metode inilah yang lebih mudah diadaptasikan dengan realitas yang beragam dan saling berinteraksi... Lihat A. Chaedar Alwasilah, Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya, 2003, h. 105. 144 Yang dimaksud forum dalam konteks pilihan forum arbitrase, merujuk pada lembaga atau badan, dan bukan pada kewenangannya. Oleh karena masalah kewenangan suatu forum atau lembaga itu terkait erat dengan persoalan jurisdiksi (jurisdiction). Jadi, 75 orang, 145 baik orang-orang yang merupakan pihak materiil maupun pihak formal dalam pilihan forum penyelesaian sengketa, maupun pihak-pihak lain yang dianggap tepat untuk dijadikan sebagai informan 146 berkenaan dengan studi yang dilakukan. Kedua, peneliti menyadari sepenuhnya bahwa kajian tentang pilihan forum untuk penegakan keadilan ini sangat relatif. Artinya, setiap orang dapat melakukan pengamatan maupun penilaian terhadap fenomena tersebut berdasarkan pandangannya masing-masing. Penelitian ini tentu saja tidak dimaksudkan untuk mencari kebenaran yang mutlak. Oleh karena, kebenaran yang dicari melalui penelitian kualitatif bukan kebenaran mutlak. Kebenaran bergantung pada dunia realitas empirik dan konsensus dalam masyarakat ilmuwan. 147 Ketiga, penelitian naturalistik lebih mengutamakan dan menaruh perhatian kepada pandangan responden (mengutamakan perspektif emic). Dengan demikian, peneliti dapat belajar
pilihan forum, berarti pilihan terhadap lembaga atau badan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam rangka mengajukan tuntutan pengembalian hak terhadap pihak yang dianggap telah melanggar dan/atau merugikan hak pihak yang mengajukan tuntutan. 145 Penelitian kualitatif pada hakikatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya. Periksa: S. Nasution, Metode Penelitian Op. Cit., h. 5. Di samping itu ada alasan lain mengapa penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Salah satu pertimbangannya adalah: karena penelitian yang dilakukan bertujuan untuk memahami apa yang tersembunyi di balik fenomena yang kadangkala merupakan sesuatu yang sulit untuk diketahui atau difahami. Lihat, Basrowi & Sukidin, Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia, 2002, h. 8. 146 Dalam penelitian ini orang yang dijadikan sebagai informan adalah para arbiter, para lawyer yang pernah menjadi kuasa hukum pihak-pihak materiil dalam pilihan forum penyelesaian sengketa, atau bahkan pihak-pihak yang mengorganisasikan institusi atau forum arbitrase. 147 S. Nasution, Metode Op. Cit., h. 6. 76 sangat banyak dari segenap pandangan maupun informasi yang diperoleh dari responden dan/atau para informan di lapangan. Untuk mengkaji fenomena pilihan forum penyelesaian sengketa, sejak semula telah disadari bahwa pihak-pihak atau orang-orang yang menjadi subjek utama penelitian tidak mudah untuk dijumpai, sehingga metode kualitatif inilah pilihan yang paling mungkin untuk digunakan. Disebabkan sifat dari subjek penelitian yang sedemikian, maka tidak mungkin menentukan sampel secara ketat, karena tidak mudah pula untuk menentukan populasi pelaku pilihan forum. Kondisi tersebut juga merupakan alasan sehingga memilih metode kualitatif dalam kajian ini. Kebutuhan akan informan sangat bergantung pada tujuan penelitian itu sendiri yang diketahui dan ditentukan oleh peneliti sebagai instrumen utama dalam penelitian. Meskipun demikian, untuk menjamin keabsahan data yang terkumpul dari kemungkinan terkontaminasi oleh faktor-faktor subjektivitas peneliti, dalam penelitian naturalistik dikenal adanya perangkat pengawas yang dinamakan triangulasi 148 atas data yang dikumpulkan.
148 Adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Denzin, membedakan empat macam teknik ini, yaitu: triangulasi dengan sumber, metode, penyidik, dan teori. Periksa, Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung, Remaja Karya, 1989, h. 195. 77
2. Unit Analisis 149
Unit analisis untuk penelitian tentang pilihan forum arbitrase dalam penyelesaian sengketa komersial ini adalah orang-orang atau pihak-pihak dari kalangan pelaku usaha, khususnya orang-orang yang dalam menyelesaikan sengketa komersial mereka melalui forum lain di luar pengadilan. Seperti telah disebutkan di muka bahwa pihak-pihak itu dapat terdiri atas pihak materiil, yakni orang yang berkepentingan langsung dalam perkara, atau pihak formal, yaitu para lawyer atau advokat yang menjadi kuasa hukum pihak materiil, atau mungkin juga para informan yang dianggap kompeten memberikan informasi yang dikumpulkan. Adapun objek penelitian dalam kajian ini adalah pilihan forum penyelesaian sengketa di luar badan pengadilan sebagai suatu interaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak tersebut. Sedangkan sumber data yang dijadikan sebagai sasaran pengumpulan informasi penelitian, selain orang-orang atau pihak-pihak pelaku pilihan forum (sepanjang memungkinkan untuk dilakukan), 150 juga para arbiter, dan para informan lainnya yang dianggap
149 Adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian yang menjadi sasaran pengumpulan data. Periksa, Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 1998, h. 132-133. 150 Perlu diketahui bahwa orang-orang yang termasuk katagori pengusaha atau apa pun profesinya yang pernah menyelesaikan sengketa lewat forum lain di luar pengadilan, mereka tidak mau dihubungi. Alasan mereka, kami memilih forum di luar pengadilan justeru untuk menghindarkan publisitas atas proses penyelesaian sengketa kami kepada 78 memiliki kompetensi untuk ditimba informasinya bagi pengumpulan data dalam penelitian ini.
3. Pengumpulan Data 151
Sebagai instrumen utama dalam penelitian ini, penulis melakukan pengumpulan informasi melalui wawancara dan diskusi mendalam (indepth interview) dengan para responden dan informan yang penentuannya dilakukan melalui sampel bertujuan (purposive sample). Metode pengumpulan data semacam itu dilakukan mengingat sumber datanya adalah human resources, yaitu subjek-subjek sasaran penelitian yang terdiri atas pihak-pihak pelaku pilihan forum dan/atau orang-orang yang memiliki kompetensi berkenaan dengan persoalan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Sementara itu penelusuran informasi dari sumber data yang bukan manusia (non-human resources) juga dilakukan sekadar untuk melengkapi informasi dari subjek-subjek sasaran penelitian. Sumber informasi yang
khalayak yang tidak berkepentingan yang pada akhirnya dapat mengganggu dan merugikan eksistensi hubungan dengan mitra bisnis kami. Demikian informasi yang diperoleh dari pihak-pihak yang dihubungi sebagai informan yang paling tidak pernah mengetahui proses penyelesaian sengketa pihak-pihak dimaksud. Pada tahap ini, peneliti mewawancarai informan (responden) yang menjadi sumber penelitian (menggunakan pedoman wawancara yang telah disiapkan sebelumnya). Lihat, Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999, h. 32-33. 151 Kerja lapangan untuk mengumpulkan data dan informasi dari para informan dilakukan penulis sejak bulan April 2002 sampai dengan akhir Agustus 2002. 79 bukan manusia itu umumnya berupa bahan-bahan hukum primer yang terdiri atas peraturan perundang-undangan dan putusan hakim (yurisprudensi).
4. Instrumen Penelitian Dalam penelitian naturalistik, data dikumpulkan oleh peneliti sendiri secara pribadi. Oleh karena itu, pengumpulan informasi lebih banyak bergantung pada diri peneliti sebagai alat pengumpul data. 152 Namun demikian pada pelaksanaannya, tentu saja peneliti sangat memerlukan alat bantu dalam mengumpulkan informasi yang diperlukan. Alat bantu untuk melakukan wawancara dengan para informan dibuat dalam bentuk protokol wawancara. Alat tersebut dibuat dalam bentuk pertanyaan terbuka atau tidak berstruktur. Model demikian sengaja dipilih dengan beberapa alasan 153
berikut ini: Pertama, penulis menyadari bahwa para responden atau informan yang digali informasinya termasuk katagori orang penting; Meski penulis tidak dapat menemukan penjelasan lebih jauh tentang makna orang penting tersebut, namun dalam pemahaman penulis setiap subjek sasaran penelitian sebagai informan seyogianya diperlakukan sebagai orang penting. Satu dan lain hal karena di samping sifat penelitian kualitatif ini
152 Lexy J. Moleong, Metodologi..Op. Cit., h. 21. Bdgk. S. Nasution, MetodeOp. Cit., h. 54. 153 Lexy J. Moleong, Loc. Cit., h. 152.
80 yang lebih mengutamakan perspektif emic, juga setiap responden yang terpilih tentu dianggap paling memiliki pengetahuan, mendalami situasi, dan mengetahui informasi yang diperlukan oleh peneliti; Kedua, sebagai peneliti, penulis hendak menanyakan perihal pilihan forum arbitrase sebagai forum tempat penyelesaian sengketa secara lebih mendalam kepada seorang informan yang dianggap sangat kompeten untuk mengungkapkan hal tersebut; Ketiga, penulis amat tertarik untuk mengungkapkan maksud atau penjelasan dari para responden yang melakukan pilihan forum di luar pengadilan dalam rangka menyelesaikan sengketa mereka. Sebagai instrumen utama, peneliti merupakan sentral dari seluruh aktivitas penelitian. Di samping sebagai perencana, sekaligus juga pelaksana pengumpulan data atau informasi, yang melakukan analisis data, penafsir data, dan pada akhirnya sebagai pelapor hasil penelitian. Oleh karena itu, peneliti berusaha lebih peka serta sedapat mungkin menyesuaikan diri untuk mampu berinteraksi dengan sumber data. Untuk itu, peneliti berupaya agar lebih mampu memahami konteks data secara holistik, sehingga dapat menemukan hal-hal baru.
81 5. Analisis Data Sebagaimana diketahui bahwa data yang dikumpulkan melalui aneka macam cara dalam penelitian kualitatif (observasi, wawancara, intisari dokumen, pita rekaman) berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka. 154
Oleh karena itu, analisis data kualitatif juga tetap menggunakan kata-kata, yang biasanya disusun ke dalam teks yang diperluas. Menurut Matthew B. Miles & A. Michael Huberman, yang dimaksud dengan analisis itu terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan/verifikasi). Ketiga alur kegiatan tersebut dapat disimak dalam ragaan berikut ini: Ragaan 3 Komponen-komponen Analisis Data: Model Interaktif 155
154 Lihat, Matthew B. Miles & A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif (Penerjemah: Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: UI Press, 1992, h. 15-21. 155 Matthew B. Miles & A. Michael Huberman, Loc Cit., h. 20. Pengumpulan data Reduksi data Penyajian data
Simpulan-simpulan: Penarikan/Verifikasi 82 Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Kegiatan ini berlangsung terus menerus selama kegiatan penelitian kualitatif ini berlangsung. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga simpulan-simpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. Penyajian data, yang dimaksud adalah suatu penyajian sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan simpulan dan pengambilan tindakan. Melalui penyajian itulah kita akan dapat memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan lebih jauh menganalisis ataukah mengambil tindakan berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari penyajian-penyajian tersebut. Menarik simpulan/verifikasi, kegiatan ketiga yang penting adalah menarik simpulan dan verifikasi. Penarikan simpulan merupakan sebagian dari suatu kegiatan dari konfigurasi yang utuh. Simpulan-simpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung. Makna-makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya, yakni yang merupakan validitasnya. Jika tidak demikian, maka akan merupakan sesuatu yang terjadi dan yang tidak jelas kebenaran dan kegunaannya. 83
6. Validitas Data Dalam mengumpulkan informasi berkenaan dengan pilihan forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang subjek-subjeknya terdiri atas pihak-pihak eksklusif para pelaku bisnis, penulis menyadari sepenuhnya bahwa metode kualitatif memiliki sejumlah kelemahan seperti halnya juga metode penelitian yang lainnya. Di antara kelemahan yang acapkali dipersoalkan dalam penelitian kualitatif terutama berkenaan dengan masalah- masalah: validitas 156 (kesahihan), reliabilitas 157 (keandalan), dan objektivitas 158 dari data yang berhasil dikumpulkan dan diperoleh. Ketiga masalah tersebut seringkali diusik persoalan keterpenuhannya. Akibatnya hasil penelitian kualitatif tidak dipandang ilmiah oleh banyak ilmuwan
156 Validitas, berkaitan dengan ukuran bahwa apa yang diamati oleh peneliti sesuai dengan apa yang sesungguhnya ada dalam dunia kenyataan. S. Nasution, Op. Cit., h. 105. Validitas itu memang lebih abstrak dan lebih sulit diukur daripada reliabilitas. Oleh karena itu, untuk mengukur validitas suatu karya ilmiah harus dilakukan dengan memperhatikan beberapa jenis validitas, yaitu: (i) validitas isi (content validity), (ii) validitas konstrak (construct validity), (iii) validitas antar budaya (cross-cultural validity), (iv) validitas internal dan eksternal (internal and external validity), (v) validitas prediktif (predictive validity), dan (vi) validitas muka (face validity). Periksa, Peter Hagul, Reliabilitas dan Validitas; dalam Masri Singarimbun & Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES, 1982, h. 87-102 [96]. 157 Sedangkan reliabilitas berkenaan dengan masalah konsistensi atau ketaatasasan pengukuran dan ukuran yang digunakan. Artinya, apakah penelitian itu dapat diulangi atau direplikasi oleh peneliti lain dan menemukan hasil yang sama bila ia menggunakan metode yang sama, sehingga dapat dipercaya. S. Nasution, Op. Cit., h. 108. Bdgk. Lexy J. Moleong, Op. Cit., h. 188. 158 Masalah objektivitas inilah tampaknya yang paling krusial di dalam penelitian kualitatif. Terdapat anggapan bahwa data hanya dapat dianggap objektif bila diperoleh berdasarkan kesamaan hasil pengamatan sejumlah peneliti dan dapat dicek kebenarannya oleh orang lain. S. Nasution, Loc. Cit., h. 110. 84 sebagai karya ilmiah karena dianggap tidak memenuhi syarat-syarat 159
tersebut di atas. Meskipun demikian, secara metodologis sesungguhnya untuk peneliti dalam penelitian kualitatif telah disediakan piranti teoritis yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut. Peneliti dipandu untuk mengikuti serangkaian teknik metodologis untuk memeriksa keabsahan data, 160 sehingga informasi yang terkumpul pada penelitian kualitatif dapat dibuktikan telah memenuhi syarat-syarat pokok dalam penilaian ilmiah. Selama proses pengumpulan informasi dari sumber-sumber yang ditentukan sebagai subjek sasaran penelitian, setidaknya beberapa teknik telah dilakukan untuk memeriksa keabsahan data yang terkumpul. Satu di antara teknik yang dilakukan adalah triangulasi. Triangulasi dengan sumber, berupa membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan dengan persoalan pilihan forum, selalu penulis lakukan segera setelah data wawancara diperoleh. Kemudian triangulasi dengan metode, juga dilakukan dengan jalan mengecek derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama. Demikian pula triangulasi dengan memanfaatkan peneliti, selama pengumpulan informasi dari sumbernya juga
159 Periksa S. Nasution, Op. Cit., h. 105. 160 Setidaknya terdapat 10 (sepuluh) jenis teknik pemeriksaan keabsahan data yang dapat dilakukan peneliti, yaitu sebagai berikut: (1) perpanjangan keikutsertaan, (2) ketekunan pengamatan, (3) triangulasi, (4) pengecekan sejawat, (5) kecukupan referensial, (6) 85 penulis lakukan dengan jalan meminta bantuan teman penulis (asisten penulis) di fakultas hukum, ia diminta bantuannya untuk melakukan wawancara dengan materi yang serupa kepada para informan yang telah pernah diwawancarai penulis sebelumnya. Penggunaan teknik pemeriksaan sejawat melalui diskusi atau bertukar pikiran dilakukan penulis secara berkala selama pengumpulan informasi. Diskusi, tukar pikiran, dan sejenisnya itu dilakukan dengan rekan-rekan sesama pengajar fakultas hukum, bahkan dengan sesama peserta program meski berbeda kajian. Cara ini dilakukan terutama untuk memperoleh koreksi, kritik, pertanyaan atau masukan dari rekan-rekan sesama pengkaji hukum yang penulis manfaatkan untuk melengkapi informasi yang telah terhimpun. Di samping itu semua, penulis juga melengkapi catatan lapangan pengumpulan informasi dari para subjek sasaran penelitian dengan rekaman wawancara 161 yang dilakukan dalam bentuk cassette recorder (rekaman dalam pita kaset) yang setiap saat dapat penulis putar untuk didengarkan kembali.
kajian kasus negatif, (7) pengecekan anggota, (8) uraian rinci, (9) audit kebergantungan, (10) audit kepastian; Lihat Lexy J. Moleong, Op. Cit., h. 192-206. 161 Mendekati responden dan membina hubungan baik dengan responden untuk melaksanakan wawancara tidaklah mudah. Apabila dilihat secara sepintas, menemui seseorang untuk menanyakan tentang berbagai topik, nampaknya tidak sulit. Namun dalam kenyataannya komunikasi itu tidaklah sederhana. Komunikasi dalam wawancara sangat rumit, karena di sini berinteraksi dua kepribadian yaitu pewawancara dan responden. Karena itu dalam melaksanakan tugas wawancara, pewawancara harus selalu sadar bahwa dialah yang memerlukan dan bukan sebaliknya. Lihat, Irawati 86
7. Sekitar Pengalaman Lapangan Lebih kurang sebelas bulan sejak dilakukannya penelitian pendahuluan, penulis ke sana ke mari dalam rangka mengumpulkan sejumlah informasi berkaitan dengan masalah pilihan forum arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa. Kesulitan dan kemudahan penulis jumpai silih berganti selama pengumpulan informasi di berbagai tempat dan dari berbagai orang yang menjadi sasaran penelitian. Suatu ketika penulis menghadapi persoalan dalam pengumpulan informasi yang ternyata tidak terlalu mudah untuk mengatasinya. Saat itu, tatkala penulis mengetahui bahwa ternyata pihak-pihak materiil 162 dalam penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase sama sekali tidak mungkin dapat ditemui untuk dijadikan sebagai informan utama. Alasannya karena mereka tidak ingin diketahui siapa pun, kecuali pihak-pihak yang menjadi kuasa hukumnya dan para ahli yang diangkat sebagai panel wasit (arbiter) yang ditunjuk untuk menjadi pemutus sengketa mereka.
Singarimbun, Teknik Wawancara; dalam Masri Singarimbun et al., Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES, 1982, h. [145-166] 152-153. 162 Pihak materiil dalam perkara adalah orang yang mempunyai kepentingan langsung di dalam perkara bersangkutan, baik sebagai claimant (orang yang membuat tuntutan/penggugat) maupun sebagai respondent (orang yang dijadikan sebagai tertuntut/tergugat). Periksa Sudikno Mertokusumo, Hukum AcaraOp. Cit., h. 47- 48. Bdgk. M. Yahya Harahap, Arbitrase. Jakarta: Sinar Grafika, 2001, h. 132-133.
87 Atas dasar alasan tidak ingin diketahui siapa pun di antaranya para pihak materiil melakukan pilihan forum di luar pengadilan negeri untuk menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi. Tampaknya dengan cara itu pula pihak-pihak materiil tersebut dapat berlindung di balik alasan confidential untuk tidak diketahui atau dihubungi siapa pun dan bagi kepentingan apa pun, termasuk untuk kepentingan pengumpulan informasi penelitian. Akan tetapi, untuk tidak kehilangan kesempatan dalam memperoleh informasi yang sedang ditelusuri, penulis mencari akal dengan jalan mencari sumber informasi atau subjek-subjek sasaran penelitian penggantinya. Adapun pihak-pihak yang paling mungkin untuk dipilih dan dapat dijadikan pengganti sebagai sasaran penelitian dalam mengumpulkan informasi tentang pilihan forum arbitrase sebagai tempat penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah pihak formal, yaitu para lawyer atau advokat yang pernah menjadi kuasa hukum pihak-pihak materiil, dan juga para ahli yang pernah menjadi panel wasit atau arbiter yang pernah menengahi serta memutuskan sengketa pihak-pihak dimaksud. Dalam praktiknya upaya itu pun tidak terlalu mudah, karena tuntutan kode etik serta kepentingan untuk melindungi kerahasiaan dan hak-hak kliennya, pihak-pihak formal yang dipilih sebagai informan itu pun tidak dapat bahkan tidak diperkenankan untuk menyampaikan informasi yang sifatnya terlalu subjektif mengenai pihak-pihak materiil yang pernah 88 diwakilinya. Sejauh pertanyaan penelitian yang diajukan sifatnya umum berkenaan dengan pilihan forum penyelesaian sengketa, pada prinsipnya para informan tidak keberatan untuk digali informasinya. Demikian pula para informan dari kalangan ahli yang profesinya sebagai wasit atau arbiter. Pada dasarnya mereka tidak berkeberatan menjadi subjek sasaran pengumpulan informasi penelitian, sejauh kepada mereka tidak diajukan pertanyaan mengenai kasus yang sedang atau pernah ditanganinya dan pihak-pihak yang pernah atau sedang bersengketa. Untuk alasan tersebut, penulis memahami posisi mereka para informan, sehingga arah pertanyaan penelitian juga tidak bersifat subjektif tentang pihak-pihak maupun substansi sengketanya. Kepada penulis, para informan yang terpilih dan telah menjadi sumber informasi dalam penelitian ini, berpesan dengan sangat, sebaiknya identitas mereka tidak dimunculkan dalam penulisan laporan penelitian, apalagi di dalam penulisan disertasi. Untuk hal tersebut, sepenuhnya penulis dapat memahami. Di samping itu juga penulis tidak melihat urgensinya, untuk menghadirkan identitas para informan secara jelas. Oleh karena bukan itu pula yang dimaksud dengan paparan tentang keadaan sosial (social setting) dari pihak-pihak pelaku pilihan forum.
89
G. Sistematika dan Pertanggungjawaban Penulisan Penulisan Disertasi ini direncanakan terdiri atas enam bab. Sebagai satu kesatuan gagasan pemikiran, setiap bab diupayakan untuk memiliki keterhubungan satu sama lain, sehingga secara keseluruhan muatan disertasi ini akan merupakan satu jalinan makna yang diupayakan untuk menjadi satu hasil kerja yang komprehensif dan utuh. Bab I, sebagaimana lazimnya bab ini merupakan maket dari suatu disertasi. Di dalamnya diawali oleh paparan mengenai ide dasar yang melatar belakangi munculnya permasalahan sehingga mendorong untuk mengadakan penelitian dalam rangka melakukan penulisan disertasi ini. Seperti telah dipahami banyak pihak bahwa praktik penyelesaian sengketa komersial melalui pengadilan negeri di Indonesia dirasakan sangat tidak menguntungkan bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Banyak faktor yang menjadi penyebab mengapa keadaannya seperti itu. Beberapa diantaranya: (i) Untuk menyelesaikan sengketa melalui lembaga pengadilan harus mengikuti berbagai formalitas beracara yang tidak jarang menyulitkan para pihak yang bersengketa. (ii) Pemeriksaan perkara pada lembaga pengadilan dimungkinkan upaya hukum kepada tingkat peradilan yang lebih tinggi, sehingga untuk mendapatkan putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti (kracht van gewijsde) para pihak dapat menghabiskan waktu bertahun- 90 tahun. (iii) Akibat berlarut-larutnya penyelesaian sengketa semacam itu, upaya para pihak untuk memperoleh keadilan mungkin saja terbengkalai. (iv) Disinyalir banyak pihak bahwa lembaga peradilan di Indonesia dewasa ini semakin tidak amanah. Oleh karena itu, bagi masyarakat yang dalam interaksi sosialnya berpotensi memiliki konflik namun tidak memiliki cukup waktu untuk mengikuti liku-liku beracara pada lembaga pengadilan, kemudian menciptakan budaya penyelesaian sengketa lewat pilihan forum. Budaya penyelesaian sengketa semacam itu kini semakin terbuka peluang maupun kesempatan untuk menggunakannya. Keadaan itu antara lain telah menginspirasi untuk mengangkat tema utama disertasi Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan. Sebagaimana telah diutarakan, paparan awal pada bab sat ini tentang Latar Belakang Permasalahan, menyajikan uraian tentang fakta dan fenomena yang diasumsikan merupakan latar belakang munculnya budaya melakukan pilihan forum arbitrase dalam proses penyelesaian sengketa, khususnya sengketa-sengketa komersial. Disertasi ini mencoba mengangkat tiga permasalahan. Ketiganya terkait erat satu sama lain dan selanjutnya ketiga permasalahan tersebut menjadi pengusung permasalahan utama. Adapun permasalahan utamanya adalah: Mungkinkah forum arbitrase di masa depan dapat dikembangkan sebagai salah satu forum khusus untuk menyelesaikan sengketa-sengketa komersial di luar pengadilan negeri yang memiliki 91 kewenangan publik untuk mengeksekusi putusannya, sehingga putusan arbitrase lebih mencerminkan penegakan keadilan substansial yang bermartabat? Untuk menghindari keleliruan para pembaca disertasi dalam memahami pengertian dari sejumlah istilah yang muncul dalam penulisan disertasi ini, di dalam bab satu ini pun penulis berusaha memberikan penjelasan atas sejumlah istilah. Sebagai contoh, istilah forum, arbitrase (arbitration), komersial, negosiasi, kontrak internasional, international disputes, pengadilan (badan peradilan), risiko, pihak materiil, titel eksekutorial, exequatur, budaya hukum, diskresi (discretion). Penjelasan atas sejumlah istilah tersebut memang tidak dilakukan dalam satu sub bab tersendiri, melainkan dibuat pada catatan kaki. Hal itu dilakukan atas dasar pertimbangan praktis ketika penulisan dan juga membantu mempermudah pembaca ketika menjumpai istilah tersebut dapat langsung menemukan uraiannya di dalam catatan kaki tersebut. Beberapa teori yang digunakan, baik teori hukum maupun teori-teori sosial yang dipinjam dalam rangka melakukan analisis atas temuan informasi hasil penelitian disajikan di dalam bab satu ini. Pada bagian awal ini pula dipaparkan mengenai tujuan serta kegunaan penelitian meski uraian tentang hal ini dirasakan penulis sebagai terlalu ideal. Namun demikian, tanpa bermaksud pesimis, penulis masih tetap memiliki harapan kiranya hasil-hasil penelitian dalam rangka menyusun disertasi ini, kelak dapat bermanfaat dan 92 dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang membawa kemaslahatan, khususnya dalam pengembangan ilmu hukum maupun praktik hukum, terutama hukum penyelesaian sengketa di Indonesia. Uraian mengenai metode penelitian menyajikan paradigma, pendekatan studi dan metode yang digunakan dalam melakukan pengumpulan informasi dari para informan sebagai subjek sasaran penelitian. Menggunakan paradigma naturalistik dengan metode kualitatifnya didasarkan pada pertimbangan sumber data atau informasi yang dikumpulkan adalah sejumlah orang (manusia). Orang-orang itulah yang digali informasi dan pandangannya, sehingga penulis sebagai peneliti sepenuhnya mengutamakan dan menaruh perhatian terhadap apa pun pandangan dan informasi yang diberikan oleh informan di lapangan. Atas pertimbangan serta alasan untuk melakukan kritik terhadap praktik hukum di Indonesia yang telah menunjukkan banyak keanehan-keanehan, sebagai tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Critical Legal Studies (CLS). Bab II, berisi paparan mengenai informasi yang dapat dijadikan titik tolak dalam melakukan pembahasan serta analisis atas sejumlah masalah dalam disertasi ini yang akan diuraikan pada bab-bab berikutnya. Bab ini diberi judul Pilihan Forum Arbitrase Sebagai Tempat Penyelesaian Sengketa Berkeadilan. Uraiannya diawali dengan sub bab mengenai Tujuan Pilihan Forum dan Keadilan. Menyadari sepenuhnya bahwa untuk 93 memahami tujuan pihak-pihak pelaku pilihan forum memang tidak mudah, karena hampir sulit ditemukan dalam literatur hukum mana pun yang secara eksplisit menguraikan hal tersebut. Untuk itu upaya yang dilakukan dalam rangka menemukan jawaban tentang apa yang menjadi tujuan pihak-pihak dalam melakukan pilihan forum antara lain dilakukan melalui penelusuran atas sejumlah asumsi berdasarkan beberapa indikator berikut ini: (i) Para pihak yang bersengketa, terutama pelaku bisnis menghendaki bentuk penyelesaian sengketa yang berlangsung cepat, akurat, namun putusannya lebih mencermikan rasa keadilan. Ekspektansi mengenai hal tersebut sulit dapat diperoleh dari lembaga pengadilan; (ii) Para pelaku bisnis yang menjadi pihak dalam sengketa menghendaki agar penyelesaian sengketanya tidak menghambat atau menyebabkan terganggunya aktivitas bisnis mereka. Oleh karena itu, para pelaku bisnis sangat tidak menyukai proses penyelesaian sengketa yang berlarut-larut; dan (iii) Pelaku bisnis juga tidak menghendaki bila putusan tentang penyelesaian sengketa dipublikasikan secara luas kepada masyarakat. Oleh karena putusan penyelesaian sengketa semacam itu sangat tidak menguntungkan bagi kelangsungan bisnis diantara mereka. Putusan yang adil dan bermartabat dari setiap penyelesaian sengketa merupakan harapan yang ditunggu setiap orang. Smith menyatakan, keadilan adalah syarat niscaya bagi keberadaan dan kelangsungan hidup masyarakat mana pun. Oleh karena itu, keadilan adalah 94 keutamaan moral yang utama dan niscaya, dalam pengertian bahwa masyarakat tidak mungkin ada tanpa keadilan. Mengamati fenomena masyarakat pencari keadilan yang bergelut dengan persoalan penyelesaian sengketa memang menarik dan senantiasa aktual untuk dikaji. Namun yang tak kalah menariknya adalah mengamati fenomena lembaga pengadilan yang dirasakan semakin tidak dapat berbuat banyak untuk mendatangkan keadilan kepada masyarakat (bringing justice to the people). Apabila kondisi sedemikian itu terus berlangsung, dikhawatirkan pengadilan secara perlahan-lahan menjadi lembaga yang disfungsional, yang akan berdampak cukup luas. Dampak serius akan dirasakan apabila para investor asing sama sekali enggan masuk ke Indonesia karena kondisi pengadilan tidak lebih baik. Demikian pula para pengusaha domestik yang berpotensi memiliki konflik sudah enggan untuk berperkara di pengadilan. Keprihatinan terhadap kondisi pengadilan yang telah dianggap tidak reliable and credible itu tidak hanya dirasakan oleh para pengusaha, baik asing maupun domestik, namun masyarakat luas juga sudah mulai banyak kehilangan kepercayaan kepada pengadilan Indonesia. Tidak mengherankan apabila kemudian rakyat pencari keadilan beralih perhatian untuk menyelesaikan konflik mereka tidak melalui pengadilan akan tetapi memilihan forum selain pengadilan. Sub bab selanjutnya berjudul Konsekuensi Pilihan Forum Arbitrase terhadap Kompetensi Hakim 95 Pengadilan Negeri. Di sini disajikan uraian yang menggambarkan bahwa pilihan forum ternyata membawa akibat terciptanya kompetensi pada forum yang dipilih. Artinya apabila forum arbitrase yang dipilih sebagai tempat sengketa diselesaikan, maka sengketa yang timbul akan ditarik keluar dari yurisdiksi hakim pengadilan negeri dan akan menjadi kewenangan forum arbitrase untuk memeriksa dan memutusnya. Sebagai konsekuensinya pengadilan negeri menjadi tidak berwenang untuk menyelesaikan sengketa bersangkutan. Akhirnya, sebagai penutup uraian bab dua disajikan sub bab yang memaparkan mengenai Pilihan Forum Arbitrase sebagai Fenomena Penyelesaian Sengketa. Fakta menunjukkan bahwa lambannya proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan telah mendorong para pihak yang berpotensi memiliki konflik dari interaksi sosialnya, untuk bersepakat melakukan pilihan forum di luar pengadilan dalam rangka menyelesaikan sengketa yang kemungkinan akan timbul di kemudian hari. Pactum de compromittendo dan Acte van compromise (akta kompromis) adalah dua cara yang secara teoretik dikenal dalam konteks pilihan forum arbitrase. Di antara keduanya memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Memilih forum dengan cara pactum de compromittendo bermakna, ketika para pihak bersepakat memilih forum, sama sekali belum terjadi sengketa (disputes). Kesepakatan dibuat dengan asumsi sengketa diantara para pihak benar-benar akan terjadi di kemudian hari. Sedangkan pada akta kompromis, para pihak 96 memilih forum ketika sengketa tersebut benar-benar sudah terjadi. Dengan demikian akta kompromis pada dasarnya merupakan kebalikan dari pactum de compromittendo. Bab III, menggunakan judul Subjek dan Objek Sengketa Komersial di dalam Forum Arbitrase. Pada bab ini dideskripsikan tentang keadaan sosial (social setting) dari subjek-subjek sengketa yaitu pihak-pihak dalam sengketa yang melakukan pilihan forum arbitrase dalam menyelesaikan konflik mereka. Demikian pula objek sengketa komersial yang diselesaikan lewat forum arbitrase. Objek sengketa dalam forum arbitrase yang dimaksud adalah jenis sengketa atau konflik yang dalam praktik biasanya diperiksa dan diputus oleh forum arbitrase. Oleh karena sejauh yang dapat diketahui, tidak setiap jenis sengketa atau perselisihan lazim diperiksa dan diputus oleh forum arbitrase. Ada sejumlah sengketa dalam bidang hukum tertentu yang penyelesaiannya memang tidak lazim kalau pun di Indonesia tidak ada larangan untuk membawa dan menyelesaikannya lewat forum arbitrase. Umpamanya saja, sengketa dalam bidang hukum keluarga dan waris, sengketa tentang perburuhan dan ketenagakerjaan, serta sengketa mengenai perumahan. Ketiga jenis sengketa yang tersebut bukan hanya tidak lazim diselesaikan lewat forum arbitrase, akan tetapi lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa untuk sengketa-sengketa tersebut telah disediakan forum khusus untuk menyelesaikannya. Pengadilan Negeri dan/atau 97 Pengadilan Agama adalah forum yang disediakan untuk sengketa Hukum Keluarga dan Waris; Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat dan/atau Daerah (P4P dan/atau P4D) adalah forum untuk menyelesaian sengketa perburuhan dan ketenagakerjaan; dan sengketa perumahan diselesaikan lewat panitia penyelesaian sengketa perumahan. Oleh karena itu, sejauh dapat diketahui dari informasi yang terkumpul, untuk kasus di Indonesia forum arbitrase hanya lazim menyelesaikan sengketa-sengketa komersial. Seperti yang dinyatakan di dalam Undang-undang Arbitrase dan APS, yaitu: putusan arbitrase ...terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan. (Pasal 66 huruf a dan b UU Nomor 30 Tahun 1999). Kemudian. di dalam sub bab selanjutnya diuraikan tentang Struktur dan Proses Penyelesaian Sengketa lewat Arbitrase. Seperti diketahui struktur kelembagaan pengadilan dan arbitrase sangat berbeda. Demikian pula mekanisme dan proses penyelesaian sengketa di dalamnya tentu saja berlainan. Struktur penyelesaian sengketa pada forum arbitrase maksudnya adalah cara bagaimana penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase itu disusun, dirumuskan, dan dilangsungkan. Sedangkan proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase maksudnya adalah rangkaian tindakan melalui fase-fase yang secara objektif sistematik mesti dilalui oleh para pihak maupun para pemutus sengketa (para wasit/arbiter) sampai dengan diperoleh 98 konklusi untuk menjatuhkan putusan. Dilihat dari struktur kelembagaan badan peradilan negara terdiri atas dua tingkat, yaitu: (i) tingkat pertama (original jurisdiction) dan (ii) tingkat banding (appellate jurisdiction). Sedangkan forum arbitrase berdasarkan strukturnya terdiri atas dua jenis, yaitu: (i) Arbitrase Institusional (arbitrase permanen) dan (ii) Arbitrase Ad hoc (Arbitrase perorangan). Dari sudut mekanisme dan proses penyelesaian sengketanya Laura Nader menyebut penyelesaian sengketa lewat lembaga peradilan sebagai winner takes all yaitu the decision is that one party is right and the other wrong. Dengan kata lain mekanisme dan prosesnya menggunakan pendekatan pertentangan yang mempertaruhkan win-loose. Sedangkan mekanisme dan proses melalui forum arbitrase dalam istilah Laura Nader sebagai give a little, get a little. Atau dengan kata lain mekanisme dan proses arbitrase menggunakan pendekatan konsensus yang mengarah pada posisi win-win. Bab ini diakhiri dengan sub bab yang memaparkan tentang Keadilan Menurut Pihak-pihak Bersengketa. Dalam memaparkan persoalan ini penulis mengutip apa yang dikemukakan Esmi Warassih dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Undip, antara lain: Persoalan keadilan tidak pernah akan selesai secara tuntas dibicarakan orang, bahkan persoalan keadilan semakin mencuat seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri karena tuntutan dan kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan satu sama lain. Persoalan 99 keadilan merupakan masalah yang cukup rumit dan kompleks, sebab menyangkut hubungan antar manusia dari segala aspek kehidupannya. Setiap masyarakat dengan sistem sosial tertentu memiliki tolok ukur atau pedoman yang berlainan satu sama lain dalam menentukan makna keadilan bagi masyarakatnya. Oleh sebab itu, kita sulit menemukan rumusan keadilan yang berlaku secara universal. Begitu pula makna keadilan menurut para pihak yang bersengketa. Masing-masing pihak memiliki tolok ukurnya sendiri-sendiri, sehingga tidak mudah juga untuk menemukan makna keadilan yang dapat diterima kedua belah pihak secara seimbang. Bab IV, mengusung tema Pilihan Forum Arbitrase, Budaya Hukum, dan Keadilan. Sebagian besar substansi bab ini merupakan deskripsi serta analisis hasil penelitian. Diawali dengan sub bab yang memaparkan tentang Pilihan Forum Arbitrase dan Budaya Hukum di Indonesia. Budaya hukum dalam arti keseluruhan nilai sosial yang berhubungan dengan hukum, termasuk di dalamnya rasa respek atau tidak respek kepada hukum, kesediaan orang untuk menggunakan pengadilan atau tidak menggunakan pengadilan. Oleh sebab itu, memilih arbitrase sebagai forum tempat penyelesaian sengketa terkait erat dengan komponen substansif dari budaya hukum yang terdiri atas asumsi-asumsi fundamental mengenai apa yang dianggap adil dan tidak oleh masyarakat. Kondisi semacam itu tidak terlepas dari faktor internal pengadilan sendiri yang selama ini telah dianggap dan 100 dirasakan oleh para pencari keadilan sebagai sangat merugikan upayanya dalam mencari dana menegakan keadilan. Untuk itu maka dalam sub bab berikutnya diuraikan dan dianalisis tentang 'Faktor Internal Pengadilan Negeri dan Pilihan Forum Arbitrase.' Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh informasi yang mengungkapkan bahwa faktor internal pengadilan negeri terkait cukup erat dengan kecenderungan para pelaku bisnis untuk melakukan pilihan forum arbitrase. Tidak hanya menyangkut persoalan integritas, kejujuran, keahlian, dan profesionalisme aparatur pengadilan yang diragukan oleh para pelaku bisnis untuk dapat menyelesaikan sengketa mereka secara adil, tetapi yang paling krusial adalah sinyalemen terjadinya jual beli hukum atau jual beli putusan yang biasa berlangsung di pengadilan. Namun demikian, forum arbitrase tampaknya tetap saja dikondisikan oleh Undang-undang sebagai forum yang tidak memiliki kewenangan publik untuk mengeksekusi putusannya. Untuk menganalisis masalah ini dalam sub bab berikutnya dibahas tentang Kewenangan Eksekutorial Forum Arbitrase untuk Putusan Final dan Mengikat serta Dilema Perolehan Keadilan. Meski secara formal putusan arbitrase dikatagorikan sebagai final dan mengikat (final and binding), namun dalam kenyataannya karena forum arbitrase sama sekali tidak memiliki kewenangan eksekutorial untuk melaksanakan putusannya sendiri, maka pelaksanaan putusan arbitrase baik yang berasal dari dalam negeri (arbitrase 101 nasional) maupun putusan arbitrase internasional masih diperlukan penyerahan dana pendafatran putusan arbitrase kepada Pantera Pengadilan Negeri. Ketentuan itu disertai ancaman sanksi bila penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase itu tidak dilakukan, maka putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, untuk menutup uraian pada bab empat ini, disajikan mengenai Perspektif Historis dan Futuristik Arbitrase sebagai Model Penyelesaian Sengketa Berkeadilan. Maksud dari sub bab ini antara lain hendak menyajikan sejumlah pemikiran tentang kemungkinan-kemungkinan diberikannya kewenangan publik kepada forum arbitrase, sehingga forum tersebut seperti halnya pengadilan dapat melaksanakan putusan yang dijatuhkannya sendiri. Tidak seperti keadaan sekarang dimana forum arbitrase masih bergantung pada exequatur yang diberikan oleh pengadilan negeri. Bab V, hendak menggambarkan betapa eksekusi putusan arbitrase akan mencerminkan tentang kondisi penegakan keadilan di Indonesia. Oleh karenanya, tema yang diangkat dalam bab ini adalah Eksekusi Putusan Forum Arbitrase Gambaran Dilema Penegakan Keadilan di Indonesia. Sub bab yang pertama, menyajikan tentang Makna dan Kekuatan Putusan Menurut Pengadilan Negeri serta Para Pihak Bersengketa. Di sini hendak dipaparkan tentang bagaimana sesungguhnya pengadilan memberikan makna terhadap putusan dan bagaimana pula pihak-pihak bersengketa 102 memberi makna terhadap putusan. Dikhawatirkan selama ini kedua belah pihak, dalam hal ini pengadilan dan pihak-pihak bersengketa memaknai putusan itu berlainan, sehingga terus menerus terjadi divergensi pemaknaan yang tidak pernah akan bertemu pada satu titik persamaan makna. Atau malah terjadi pergeseran makna dan status putusan, sehingga dalam sub bab selanjutnya akan dikaji tentang Interpretasi, Koreksi, dan Pergeseran Makna Putusan Arbitrase. Seandainya memang terjadi pergeseran makna, tentu harus dipahami seberapa jauh hal itu terjadi serta apa saja faktor penyebabnya. Selanjutnya menyangkut persoalan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia salah satu syaratnya putusan arbitrase internasional itu tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Tidak jarang syarat tersebut menjadi barrier bagi putusan arbitrase internasional untuk dapat diakui dan dieksekusi di Indonesia. Oleh karena itu, dalam konteks pembahasan mengenai hal ini, sub bab ketiga dari bab lima ini bertema Diskresi Hakim dalam Masalah Eksekuatur Putusan Arbitrase. Di sini akan diuraikan tentang seberapa jauh kewenangan/otoritas hakim pengadilan negeri pemberi eksekuatur dalam konteks diskresi hakim pada waktu melakukan penafsiran (interpretasi) atas kriteria ketertiban umum yang dipersyaratkan tersebut. Persoalannya apabila pengadilan negeri menolak memberikan eksekuatur terhadap putusan arbitrase internasional, maka putusan dimaksud tidak dapat diakui dan 103 dieksekusi di Indonesia. Persoalan ini erat sekali kaitannya dengan masalah penegakan keadilan. Untuk itu diakhir bab lima ini ditutup dengan sub bab yang mengetengahkan tema Eksekusi Putusan Arbitrase dalam Penegakan Keadilan. Di sini akan diuraikan betapa permohonan eksekusi putusan arbitrase yang ditolak itu sama saja dengan tidak ditegakannya keadilan yang telah diupayakan dengan susah paya oleh para pihak yang bersengketa. Dalam keadaan semacam itu yang dihadapi para pencari keadilan tidak lebih dari sebuah dilema. Dilema dalam penegakan dan perolehan keadilan, karena proses penyelesaian sengketa yang telah ditempuhnya di luar pengadilan harus bermuara kembali di pengadilan. Dalam keadaan seperti ini, pemohon eksekusi boleh jadi menghadapi pilihan yang amat sulit. Posisi tawarnya sangat lemah, upayanya untuk mendapatkan keadilan kembali terbentur pada otoritas pengadilan yang reputasi buruknya sudah amat dikenal, sehingga tidak heran bila para pemohon eksekusi akhirnya bukan memperoleh keadilan melainkan hanya sekedar memperoleh lembaran- lembaran berkas putusan yang tidak memiliki nilai ekonomis apa pun. Beberapa kasus yang sengketanya telah diputus oleh forum arbitrase namun kemudian putusannya menemui hambatan tatkala dimintakan pelaksanaannya di pengadilan negeri juga akan disajikan sekaligus dalam rangka menutup seluruh uraian pada bab lima ini. 104 Bagian terakhir dari disertasi ini adalah Bab VI, sebagai penutup dari keseluruhan substansi disertasi setelah serangkaian pokok bahasan dikaji serta dianalisis. Bab VI Penutup yang terdiri atas Simpulan serta Rekomendasi. Informasi yang disajikan dalam paparan Simpulan akan merupakan jawaban atas sejumlah permasalahan sebagaimana telah dikemukakan pada bagian pertama. Sementara itu uraian tentang Rekomendasi akan ditujukan baik kepada pihak-pihak yang berpotensi memiliki konflik serta lazim menyelesaikan konfliknya pada forum di luar pengadilan, maupun kepada badan peradilan sebagai pemegang otoritas kewenangan publik sekaligus pelaku eksekusi putusan arbitrase. Rekomendasi juga ditujukan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang otoritas dalam melakukan perubahan atau amandemen terhadap undang-undang. Hal itu perlu dilakukan karena ternyata sejumlah pasal di dalam Undang-undang Arbitrase dan APS diketahui masih bersifat ambivalen, sehingga forum arbitrase tercitrakan masih disubordinasikan terhadap kewenangan pengadilan negeri. Bahkan lebih dari itu dijumpai adanya kaidah yang secara tegas memandulkan fungsi dan peran arbitrase sebagai forum tempat penyelesaian sengketa.
105 BAB II PILIHAN FORUM ARBITRASE SEBAGAI TEMPAT PENYELESAIAN SENGKETA BERKEADILAN
Secara etimologi, 163 kata forum memiliki beragam makna. Forum dapat bermakna lembaga atau badan, 164 dapat juga berarti sidang, 165 bahkan dalam konteks yang lain, forum memiliki makna tempat pertemuan untuk bertukar pikiran secara bebas. Menyimak ragam makna istilah forum di atas, dalam kaitannya dengan tema Bab II disertasi ini, kata forum dalam Pilihan Forum Arbitrase sebagai Tempat Penyelesaian Sengketa Berkeadilan, kiranya lebih mendekati makna lembaga atau badan atau dapat pula berarti sidang beserta segenap kewenangan atau kompetensi yang dimilikinya. Sementara itu, membicarakan masalah kewenangan suatu forum atau lembaga terkait erat dengan persoalan jurisdiksi (jurisdiction). 166 Dalam kaitan itu, pilihan forum berarti pilihan terhadap jurisdiksi lembaga atau
163 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Etimologi adalah cabang ilmu bahasa yang menyelidiki asal-usul kata serta perubahan-perubahan dalam bentuk dan makna. 164 A court, specific court in which an action is brought Sementara itu kata action pada pengertian forum di atas berarti A judicial remedy to enforce a right or to punish an offender; a lawsuit. 165 Sidang dapat berarti pertemuan untuk membicarakan sesuatu; atau juga berarti dewan atau majelis. 166 Jurisdiction: The extent of the legitimate authority of the court. The authority of the court. The right to decide a question properly presented to the court. Jurisdiksi adalah kekuasaan atau kompetensi hukum (negara) terhadap orang, benda atau peristiwa (hukum). Jurisdiksi juga meruakan suatu bentuk kedaulatan yang vital dan sentral yang dapat mengubah, menciptakan atau mengakhiri suatu hubungan atau kewajiban hukum. Bdgk., Malcolm Shaw, International Law. London: Butterworths, 1986, h. 342. 106 badan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, baik sendiri- sendiri maupun bersama-sama dalam rangka mengajukan tuntutan pengembalian hak terhadap pihak yang dianggap telah melanggar dan/atau merugikan hak pihak yang mengajukan tuntutan. Pilihan forum atau pilihan hakim (Choice of forum, atau Choice of court) kerapkali dapat dijumpai dalam yurisprudensi Hukum Antar Golongan (HAG) 167 maupun Hukum Perdata Internasional (HPI). Bahkan di dalam HAG, pilihan forum atau pilihan hakim (Choice of court) ini tidak jarang justru disalah-pahamkan dengan pilihan hukum (Choice of law), padahal di antara keduanya memiliki arti serta maksud yang berlainan. Dalam hubungan ini Sudargo Gautama 168 mengemukakan, kesalah-pahaman demikian terjadi karena hubungan yang demikian erat antara pilihan hakim atau pilihan forum (Choice of court, Choice of forum) dengan pilihan hukum (Choice of law). 169 Contoh berikut ini berasal dari cabang HAG yang dapat
167 Cabang Ilmu Hukum Antar Golongan (HAG) ini, pada beberapa Fakultas Hukum merupakan salah satu mata kuliah dengan nama Hukum Perselisihan. Cabang Ilmu Hukum ini adalah khas Indonesia. Dikatakan khas, oleh karena hanya dikenal di Indonesia sebagai salah satu negara bekas jajahan Belanda dan muncul sebagai akibat politik hukum Pemerintah Kolonial Belanda yang ketika itu melakukan pembagian golongan penduduk atau golongan rakyat (bevolkingsgroepen) seperti diketahui dari pasal 131 juncto 163 Indische Staatsregeling (I.S. Stb. 1855 No. 2). Lihat S. Gautama, Hukum Antar Tata Hukum. Bandung: Alumni, 1977, h. 8. 168 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Hukum yang Hidup. Bandung: Alumni, 1983, h. 53. 169 Pilihan hukum (choice of law) sangat erat kaitannya dengan masalah pilihan forum atau pilihan yurisdiksi (choice of forum atau choice of jurisdiction). Kedua kata ini, forum dan yurisdiksi sering disamakan artinya dan penggunaannya sering dipertukarkan. Lihat Setiawan, Kontrak Bisnis Internasional Choice of Law & 107 menggambarkan betapa kesalah-pahaman antara pilihan forum dengan pilihan hukum sangat mudah terjadi: Seseorang yang berasal dari golongan rakyat Bumi Putera (Inlanders) hendak beracara perdata dengan memilih tempat kediaman hukum (domisili) pada kantor Panitera Raad van Justitie (RvJ). 170 Tindakan orang Bumi Putera tersebut telah disalah-pahamkan, sehingga ia dianggap seolah-olah telah melakukan pilihan hukum ke arah hukum yang biasanya sehari-hari diberlakukan oleh Raad van Justitie, yakni hukum perdata tertulis BW (Burgerlijk Wetboek) dan WvK (Wetboek van Koophandel). 171 Padahal berdasarkan ketentuan pasal 131 juncto pasal 163 IS (Indische Staatsregeling), 172 untuk orang-orang Bumi Putera tidak berlaku hukum perdata tertulis BW maupun WvK, melainkan berlaku hukum adatnya masing-masing. 173 Dari contoh kasus di muka tampak jelas
Choice of Jurisdiction; dalam Varia Peradilan, Tahun IX No. 107, Agustus 1994, h. 125-137 [125]. 170 Pada masa Hindia Belanda, Raad van Justitie merupakan lembaga pengadilan atau hakim sehari-hari untuk orang-orang yang berasal dari golongan rakyat Eropa dan Timur Asing. 171 Sebagai contoh, umpamanya seseorang yang berasal dari golongan rakyat Bumi Putera memilih Raad van Justitie untuk keperluan penyelesaian konflik tertentu di antara mereka, maka dalam kasus yang demikian, dianggap orang Bumiputera tersebut secara diam-diam telah menghendaki pula bahwa hukum yang biasanya berlaku untuk golongan rakyat Eropa dan Timur Asing yaitu hukum perdata tertulis (BW dan WvK) adalah hukum yang berlaku terhadap mereka. Lihat Sudargo Gautama, Hukum Perdata InternasionalOp. Cit., h. 52-53. 172 S. 1855 Nomor 2. 173 ...Kebijakan hukum Hindia Belanda pada paruh kedua abad ke 19 di antaranya kebijakan untuk menghormati hak-hak kultural penduduk pribumi. Proyeksinya dalam perkembangan kebijakan hukum kolonial ialah, lebih dipilihnya cara untuk sedapat mungkin mempertimbangkan eksistensi kaidah-kaidah agama serta lembaga dan adat kebiasaan yang (masih) dianut rakyat pribumi, tanpa memandang agama atau kepercayaannya,.... Lihat dalam Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial...Op. Cit., h. 8. 108 betapa tipisnya batas antara pilihan forum dengan pilihan hukum. Bahkan kesalah-pahaman antara pilihan forum dengan pilihan hukum dapat terjadi boleh jadi karena kekeliruan penafsiran yang dilakukan oleh kalangan hukum sendiri; Seperti dalam kasus orang Bumi Putera di atas, pihak RvJ telah keliru membuat penafsiran terhadap maksud dari pihak atau orang Bumi Putera yang telah melakukan pilihan domisili pada Panitera RvJ, padahal belum tentu maksud orang Bumi Putera itu hendak melakukan pilihan hukum terhadap BW atau WvK. Sedangkan di dalam HPI yang dimaksud dengan pilihan hakim atau pilihan forum (Choice of Court, Choice of forum) adalah pemilihan yang dilakukan terhadap instansi peradilan atau instansi lain yang oleh para pihak ditentukan sebagai instansi yang akan menangani sengketa mereka jika terjadi di kemudian hari. 174 Para pihak di dalam HPI dianggap memiliki kebebasan untuk melakukan pilihan forum, sehingga pihak-pihak dapat atau diperkenankan untuk menyimpangi kompetensi relatif 175 badan pengadilan
174 Para pihak di dalam suatu kontrak dapat menyepakati sebuah klausula yang isinya menentukan bahwa, apabila di kemudian hari timbul sengketa dari substansi kontrak yang mereka sepakati tersebut, sengketa dimaksud akan dibawa untuk diselesaikan oleh sebuah lembaga peradilan yang mereka pilih selain pengadilan negeri di Indonesia. Pilihan dapat dilakukan terhadap lembaga tempat penyelesaian sengketa yang ada, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Lihat S. Gautama, Hukum Perdata Internasonal...Op. Cit., h. 53-54. 175 Yaitu kewenangan horisontal yang dimiliki oleh badan pengadilan yang sejenis untuk memeriksa dan memutus perkara gugatan atau tuntutan hak yang diajukan kepadanya berkaitan dengan wilayah hukum tempat tinggal tergugat atau dimana tergugat mempunyai alamat, atau berdomisili. Lihat, Ny. Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju, 1997, h. 11. Bdgk. 109 yang sesungguhnya secara relatif memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa mereka. Di dalam HPI pilihan forum umumnya terbuka untuk perkara-perkara perdata dan/atau perkara dagang yang memiliki karakter internasional (international nature), 176 yang mungkin terjadi di antara para pihak berkenaan dengan suatu hubungan hukum tertentu.
A. Tujuan Pilihan Forum Arbitrase dan Keadilan Sejauh ini belum pernah dijumpai kepustakaan hukum arbitrase yang secara eksplisit menyebut mengenai tujuan orang-orang yang terlibat dalam suatu sengketa bisnis memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketanya. Sebaliknya, yang dijumpai dari sejumlah literatur hukum arbitrase justru alasan mengapa para pelaku bisnis memilih forum arbitrase dan bukan tujuan memilih forum arbitrase. Padahal antara alasan 177 dan tujuan atau maksud sesungguhnya memiliki makna yang sedikit berlainan meskipun nuansanya memang tidak mudah untuk dibedakan
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1985, h. 60. 176 Suatu perkara dianggap memiliki karakter internasional atau international nature, apabila salah satu subjek hukumnya sebagai pihak atau objek hukum dalam perkara tersebut merupakan unsur asing atau unsur luar negeri (foreign element). Baca: S. Gautama, HPI Hukum Yang HidupOp.Cit., h.52. Bdgk. HPI Indonesia (Buku kedelapan). Bandung: Alumni, 1987, h. 233-237. 177 Alasan artinya sesuatu hal yang menjadi pendorong untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Sedangkan tujuan (maksud) adalah kehendak, kemauan, keinginan atau hasrat. 110 secara jelas. Dari pembacaan atas sejumlah kepustakaan hukum abitrase, 178
penulis mendapatkan informasi justru mengenai alasan dari orang-orang memilih forum arbitrase dan sama sekali bukan mengenai tujuan. Berbagai macam alasan mengapa orang-orang memilih forum arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa secara privat di antaranya dapat diketahui sebagai berikut: 179
(i) Kebebasan, Kepercayaan, dan Keamanan; Arbitrase pada umumnya menarik bagi para pengusaha, pedagang, dan investor sebab arbitrase memberikan kebebasan dan otonomi yang sangat luas kepada mereka. (ii) Keahlian (expertise); Para pihak yang bersengketa memiliki kepercayaan yang lebih besar pada keahlian arbiter mengenai persoalan yang disengketakan dibandingkan dengan kepada pengadilan.
(iii) Cepat dan Hemat Biaya;
178 Literatur hukum arbitrase dimaksud dapat disebutkan diantaranya: Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & APS. Jakarta: Fikahati Aneska, 2002; Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan. Jakarta: Chandra Pratama, 2001; M. Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dari: Rv, BANI Rules, ICSID, UNCITRAL Arb. Rules, NY Convention, PERMA 1 Th. 1990. Jakarta: Sinar Grafika, 2001; Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional. Bandung: Alumni, 1986. 179 Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, Fatmah Jatim, Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia; dalam Felix O. Soebagjo & Erman Rajagukguk (eds), Arbitrase di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995, h. 19-42 [19-22]. 111 Sebagai suatu proses, arbitrase tidak terlalu formal sehingga mekanismenya lebih fleksibel 180 dibandingkan dengan prose litigasi di pengadilan. Dengan demikian arbitrase proses pengambilan keputusannya lebih cepat sehingga biaya penyelesaian sengketa relatif lebih murah daripada litigasi, sebab untuk putusan arbitrase tidak ada kemungkinan upaya hukum banding. (iv) Bersifat Rahasia; Oleh karena arbitrase lebih bersifat privat dan tertutup dibandingkan pengadilan, pemeriksaan sengketa di dalam forum arbitrase bersifat rahasia. Sifat itu melindungi para pihak dari publisitas 181 yang merugikan serta segala akibatnya, seperti kehilangan reputasi bisnis. Sementara itu, publisitas dalam penyelesaian sengketa di pengadilan negeri sulit dihindarkan karena pengadilan negeri terikat oleh asas sifat
180 Bahwa forum selain pengadilan dianggap lebih fleksibel didasarkan pada asumsi yang menyebutkan antara lain: (a) menyelesaikan sengketa melalui forum selain pengadilan lebih memberi keleluasaan dan kesempatan kepada para pihak untuk: memilih sendiri hakim (arbiter) yang memiliki kemampuan dan keahlian sesuai dengan jenis sengketa yang hendak diperiksa dan diselesaikan oleh forum dimaksud, sementara di pengadilan biasa memilih hakim sangat tidak mungkin dilakukan; (b) kemampuan serta keahlian arbiter tersebut akan sangat berpangaruh pada kecepatan dalam memahami isu-isu yang menonjol dari suatu sengketa, baik segi fakta maupun hukumnya, sehingga bagi para pihak hal itu akan sangat berpengaruh terhadap kecepatan dalam penyelesaian sengketa mereka. (c) bila demikian adanya maka para pihak dapat menggantungkan harapan terhadap forum tersebut untuk memperoleh putusan yang pantas dan adil (fair and sensible award). Lihat. Alan Redfern & Martin Hunter, Law and Practice of International Commercial Arbitration. London: Sweet & Maxwell, 1991, h. 23. 181 S. Gautama, Arbitrase DagangOp. Cit., h. 197.
112 terbukanya persidangan, yang memungkinkan setiap orang dapat hadir dan mendengarkan pemeriksaan perkara di persidangan. (v) Pertimbangan putusan arbitrase lebih bersifat privat; Dalam mempertimbangkan penyelesaian sengketa privat, pengadilan dan arbitrase sangat berbeda. Pengadilan adalah lembaga publik, sehingga ketika menyelesaikan sengketa privat pun seringkali memanfaatkan momentum penyelesaian sengketa privat untuk mengutamakan kepentingan umum, sementara kepentingan privat menjadi pertimbangan kedua. Sebaliknya, forum arbitrase merupakan lembaga privat, oleh sebab itu para arbiter dalam mempertimbangkan penyelesaian sengketa yang ditanganinya juga lebih bersifat privat daripada bersifat publik/umum. (vi) Kecenderungan yang Modern; Dalam dunia perdagangan internasional, kecenderungan yang terlihat adalah liberalisasi peraturan/undang-undang arbitrase untuk lebih mendorong penggunaan arbitrase daripada penyelesaian sengketa dagang melalui badan peradilan umum. 182
(vii) Putusan Arbitrase Final dan Mengikat;
182 Gary Goodpaster et al, TinjauanOp. Cit., h. 22. Sebagai contoh saja, dalam kontrak- kontrak penting antara pengusaha-pengusaha Indonesia dan pengusaha luar negeri seringkali dicantumkan klausula arbitrase, sebab sebagai pengusaha asing mereka kurang mengenal sistem hukum di Indonesia dan kurang paham akan formalitas acara 113 Sesuai dengan kehendak dan niat dari para pihak pelaku bisnis yang menghendaki putusan penyelesaian sengketa pada forum arbitrase bersifat final dan mengikat (final and binding) kedua belah pihak. Sedangkan putusan pengadilan masih terbuka berbagai upaya hukum, sehingga untuk memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap, memerlukan waktu yang cukup lama. Serangkaian alasan di muka dicoba untuk dipahami dalam kaitannya dengan tujuan pihak-pihak memilih forum arbitrase sebagai jalur penyelesaian sengketa. Diperoleh gambaran kiranya yang menjadi tujuan memilih forum arbitrase antara lain: agar konflik yang sedang dihadapi dapat diselesaikan dengan proses yang cepat, terjamin kerahasiaannya, ditangani oleh arbiter atau wasit yang ahli dalam bidangnya, sehingga sengketanya dapat diputuskan menurut keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono). Pada akhirnya, tujuan memilih forum arbitrase akan bermuara pada tujuan akhir dalam penyelesaian sengketa yakni untuk mendapatkan keadilan substansial yang lebih bermartabat, dan tidak sekadar memperoleh keadilan formal yang tidak memiliki makna apa pun. Namun demikian, berbicara masalah keadilan tidak hanya sangat sukar melainkan juga sangat luas karena keadilan sangat beragam maknanya. Oleh
berperkara di pengadilan negeri di Indonesia. Lihat S. Gautama, Arbitrase DagangOp. Cit., h. 196.
114 karena itu, Majid Khadduri 183 di dalam The Islamic Conception of Justice, membahas keadilan dalam beberapa bab dengan judul-judul: Political Justice, Theological Justice, Philosophical Justice, Legal Justice, Justice among Nations, dan Social Justice. Sementara itu, di dalam Ensiklopedi Hukum Islam, keadilan maknanya lebih dititikberatkan pada pengertian meletakkan sesuatu pada tempatnya. Ibnu Qudamah, mengatakan bahwa keadilan merupakan sesuatu yang tersembunyi, motivasinya semata-mata karena takut kepada Allah Subhanahu Wataala. 184 Adil dalam ajaran Islam ada dua macam. Pertama, adil mutlak, yang tidak terikat. Manusia sangat membutuhkan fungsi akal untuk mengetahui kebaikan atau keadilan itu. Adil dalam konteks ini lebih dekat pada pengertian kebaikan atau kebenaran. Oleh karena tidak terikat (mutlak), adil dalam pengertian ini tidak pernah dihapuskan hukumnya sepanjang masa, dari satu syariat 185 ke syariat yang lain. Pelaksanaannya merupakan kewajiban, sehingga adil ini
183 Secara harfiah kata adl (sebagai kata benda abstrak) berasal dari kata kerja adala yang berarti: Pertama, meluruskan atau jujur; Kedua, menjauh, meninggalkan dari satu jalan salah menuju jalan yang benar; Ketiga, menjadi sama (to be equal or equivalent), menjadi sama atau sesuai (to be equal atau match) atau menyamakan; Keempat, membuat seimbang atau menyeimbangkan (to balance or counter balance) menimbang, atau dalam keadaan seimbang. Lihat Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam Penerapan Syariat Islam dalam Konteks Modernitas. Bandung: Asy Syaamil, 2001, h. 82-83. 184 Ensiklopedi Hukum Islam Buku I, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996, h. 25. 185 Syariat adalah segala tuntunan yang diberikan Allah SWT dan Rasul-Nya melalu perkataan, perbuatan, dan takrir (ketetapan). Tuntunan itu menyangkut baik hubungan yang berkaitan dengan masalah akidah, maupun hukum-hukum perseorangan, hubungan manusia dengan Khalik, hubungan manusia dengan sesamanya, atau hubungan yang bertalian dengan etika pergaulan dan sikap terhadap diri sendiri dan atau orang lain. Lihat dalam Ensiklopedi Islam ; Op. Cit., h. 346. 115 tidak sama dengan balas membalas. Kedua, adil yang hanya diketahui melalui Al-Quran atau Hadis Nabi Muhammad SAW. Adil dalam pengertian ini dalam perjalanan sejarah agama-agama Allah SWT dapat mengalami perubahan atau penghapusan hukum karena ajaran agama yang baru. 186
Adil adalah salah satu sifat yang harus dimiliki oleh manusia dalam rangka menegakkan kebenaran kepada siapa pun tanpa kecuali, walaupun akan merugikan dirinya sendiri. Secara terminologis, adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. 187 Pada sisi yang lain, John Rawls, di dalam A Theory of Justice, mengkonsepkan keadilan sebagai fairness, yang mengandung asas-asas, bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan
186 Suplemen Ensiklopedi Islam 1 A-K, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993, h. 19. 187 Lihat Ensiklopedi Hukum Islam ; Op. Cit., h. 25. Pada bagian lain Esmi Warassih mengemukakan: Persoalan keadilan tidak pernah akan selesai secara tuntas dibicarakan orang, bahkan persoalan keadilan semakin mencuat seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri karena tuntutan dan kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan satu sama lain. Persoalan keadilan yang terjadi dalam masyarakat tradisional akan berbeda dengan masyarakat yang sedang berkembang maupun masyarakat yang telah maju, karena setiap masyarakat dengan sistem sosial tertentu memiliki tolok ukur atau pedoman dalam menentukan keadilan bagi masyarakatnya. Oleh sebab itu, kita sulit menemukan rumusan keadilan yang berlaku secara universal. Lihat dalam Esmi Warassih, Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan Hukum (Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan); PidatoOp. Cit., h. 14. 116 memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpunan yang mereka kehendaki. 188
Teori keadilan Rawls secara khusus merupakan kritik terhadap teori- teori keadilan sebelumnya yang menurutnya telah gagal memberikan suatu konsep keadilan yang tepat bagi kita. Kegagalan teori-teori terdahulu itu disebabkan oleh substansinya yang sangat dipengaruhi oleh utilitarisme maupun intuisionisme. Sebagaimana dapat diketahui dari kata pengantar buku A Theory of Justice, Rawls antara lain mengemukakan: 189 Secara umum utilitarisme mengajarkan bahwa benar salahnya peraturan atau tindakan manusia tergantung pada konsekuensi langsung dari peraturan atau tindakan tertentu yang dilakukan. Oleh karena itu, baik buruknya tindakan manusia secara moral sangat tergantung pada baik buruknya konsekuensi tindakan tersebut bagi manusia. Sebagai teori yang oleh Ronald Dworkin disebut goal-based theory, utilitarisme gagal untuk menjamin keadilan sosial karena lebih mendahulukan asas manfaat (the good) hingga melupakan asas hak (the right) yang merupakan aspek fundamental dari prinsip-prinsip moral, khususnya prinsip keadilan. Agaknya pandangan utilitarisme melalui pendekatan teleologis, 190 berupaya menjembatani jurang
188 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 1986, h. 51. 189 Lihat Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi Telaah Filsafat Politik John Rawls. Yogyakarta: Kanisius, 2001, h. 21. 190 Teori moral teleologis melihat hasil dari tindakan sebagai norma untuk menilai adil tidaknya, atau baik buruknya suatu tindakan dari segi moral. Sedangkan teori moral 117 antara prinsip hak (the right) dan prinsip manfaat (the good), namun dalam praktiknya paham ini gagal memainkan perannya. Oleh karena apabila utilitarisme tetap beranggapan bahwa kesejahteraan sosial dengan sendirinya mengandaikan kesejahteraan anggota masyarakat sebagai individu, maka muncul pertanyaan: Apa jaminannya bahwa peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai keseluruhan akan dengan sendirinya mengangkat tingkat kesejahteraan anggota masyarakat sebagai individu? Bisa saja terjadi, demi manfaat yang lebih besar bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat, hak individu justru sengaja dikorbankan. Apabila demikian, maka utilitarisme gagal menjamin setiap orang untuk mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya. Lebih dari itu, utilitarisme mengancam bahkan menyangkal kebebasan individual, sehingga mengindikasikan bahwa utilitarisme gagal memperlakukan setiap orang sebagai pribadi (person) yang mempunyai hak untuk diperlakukan secara adil dan sama. Akibat kegagalan tersebut maka utilitarisme tidak tepat apabila dijadikan sebagai basis untuk membangun
deontologis mengatakan bahwa kualitas moral tindakan tidak tergantung pada hasil dari tindakan, melainkan pada kualitas tindakan itu sendiri. Suatu tindakan akan dengan sendirinya dianggap baik atau buruk secara moral hanya karena tindakan itu dalam dirinya sendiri memang baik atau buruk secara moral. Jadi, keharusan moral menurut teori etika teleologis tergantung pada konsekuensi dari tindakan, sedangkan keharusan moral bagi etika deontologis ditentukan oleh hakikat dari tindakan itu sendiri. Lihat dalam Andre Ata Ujan, Keadilan dan... Op. Cit., h. 157-158. 118 suatu konsep keadilan, karena tidak dapat memperjuangkan dan menciptakan keadilan sosial. 191
Bagi Rawls sikap dasar utilitarisme sungguh bertolak belakang dengan prinsip keadilan sebagai fairness. Keadilan sebagai fairness menuntut bahwa orang pertama-tama harus menerima prinsip kebebasan yang sama sebagai basis yang melandasi pengaturan kesejahteraan sosial. Dalam kalimat lain, setiap keputusan sosial yang mempunyai akibat bagi semua anggota masyarakat harus dibuat atas dasar hak (right-based weight) daripada atas dasar manfaat (good-based weight). 192 Berdasarkan argumen di muka, Rawls hendak menegaskan bahwa keadilan sebagai fairness bermakna: (i) prinsip hak dan kebebasan setiap orang harus mendapat prioritas dibandingkan dengan prinsip manfaat;
191 Keadilan sosial dalam arti keadilan yang pelaksanaannya tergantung pada struktur proses-proses ekonomis, politis, sosial, budaya, dan ideologis dalam masyarakat. Struktur-struktur itu merupakan struktur-struktur kekuasaan dalam dimensi-dimensi utama kehidupan masyarakat. Susunan struktur-struktur itu menentukan kedudukan masing-masing golongan sosial, apa yang mereka masukkan dan apa yang amereka peroleh dari proses-proses itu. Lihat dalam Franz Magnis-Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia, 1999, h. 332. Bdgk. Henry B. Veatch, Human Rights, Facts or Fancy. Baton Rouge and London: Lousiana State University Press, 1968, h. 55. Andre Ata Ujan, Keadilan dan... Op. Cit., h. 31. 192 Right-based weight adalah pertimbangan yang didasarkan pada hak-hak tertentu, seperti hak atas suara hati yang bebas, sebagai dasar untuk mengambil keputusan, terutama keputusan-keputusan politik yang mempunyai dampak bagi kehidupan orang banyak. Sedangkan good-based weight adalah pertimbangan-pertimbangan yang mengambil sasaran-sasaran tertentu, misalnya manfaat yang sebesar-besarnya bagi jumlah masyarakat yang sebanyak-banyaknya, sebagai basis fundamental untuk mengambil keputusan. Lihat Ronald Dworkin, The Original Position; dalam Reading Rawls, Critical Studies on Rawls A Theory of Justice; Norman Daniels (Ed.), Oxford: Basil Blackwell, 1975, h. 38-43; Sebagaimana dimuat pula dalam Andre Ata Ujan, Keadilan dan... Op. Cit., h. 158. 119 (ii) setiap anggota masyarakat mempunyai hak yang sifatnya tidak dapat diganggu gugat dan secara mendasar dilindungi oleh prinsip keadilan; 193
(iii)hak dan kebebasan individual itu begitu mendasar, sehingga keduanya tidak bisa dikorbankan meskipun pengorbanan seperti itu dianggap penting demi manfaat sosial dan ekonomis yang lebih besar. Sedangkan terhadap teori intuisionisme, Rawls mengkritik karena intuisionisme dianggap tidak memberi tempat memadai pada asas rasionalitas. Dalam konteks keadilan, intuisionisme pada pokoknya beranggapan bahwa kemampuan intuitif dapat membantu kita untuk mengatasi problem keadilan. Pendekatan intuitif bisa menjadi sangat problematis terutama karena beragamnya sudut pandang yang bisa diterapkan dalam melihat suatu masalah. Menghadapi realitas seperti itu, pendekatan intuitif terhadap suatu masalah, khususnya masalah keadilan, pasti bukan jalan keluar yang memadai. 194 Dalam proses pengambilan keputusan (moral), intuisionisme lebih mengandalkan kemampuan intuisi manusia. Oleh karena itu, pandangan ini juga tidak memadai apabila
193 Lihat John Rawls, A Theory of Justice. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1971, h. 28. Bdgk. Andre Ata Ujan, Keadilan dan...Loc.Cit., h. 32. 194 John Rawls, A Theory of...Op. Cit., h. 35-40. Bdgk. Andre Ata Ujan, Keadilan dan... Op. Cit., h. 32.
120 dijadikan pegangan dalam mengambil keputusan, terutama pada waktu terjadi konflik di antara norma-norma moral. Dalam perspektif ini juga, pelbagai generalisasi etis dapat disebut benar meskipun tidak didukung oleh argumen yang sungguh-sungguh dapat dipertanggungjawabkan. Akibatnya pertimbangan-pertimbangan dan keputusan-keputusan moral akan menjadi subjektif atau kehilangan objektivitasnya. 195
Belajar dari kegagalan teori-teori keadilan sebelumnya, Rawls merasa tertantang untuk membangun sebuah teori keadilan yang mampu menegakkan keadilan sosial dan sekaligus dapat dipertanggungjawabkan secara objektif. Oleh karena itu, suatu teori keadilan yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak dalam hal ini prinsip-prinsip keadilan yang dipilih sebagai pegangan bersama sungguh-sungguh merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua person yang bebas, rasional, dan sederajat. Berkaitan dengan hal tersebut di muka, pada Editors Foreword buku Justice as Fairness A Restatement, antara lain diutarakan: According to justice as fairness, the most reasonable principles of justice are those that would be the object of mutual agreement by person under fair condition. Justice as fairness thus develops a theory of justice from the idea of a social
195 Andre Ata Ujan, Keadilan dan... Op. Cit., h. 21.
121 contract. 196 Hanya melalui pendekatan kontrak itulah sebuah teori keadilan mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang. Dalam arti itulah keadilan bagi Rawls adalah fairness. 197 Artinya, tidak hanya mereka yang memiliki talenta dan kemampuan yang lebih baik saja yang berhak menikmati pelbagai manfaat sosial lebih banyak, tetapi keuntungan tersebut juga sekaligus harus membuka peluang bagi mereka yang kurang beruntung untuk meningkatkan prospek hidupnya. Oleh sebab itu, pertanggungjawaban moral atas kelebihan dari mereka yang beruntung juga harus ditempatkan dalam bingkai kepentingan kelompok orang yang kurang atau tidak memiliki talenta dan kemampuan sebaik yang mereka miliki. Dalam arti itu, keadilan sebagai fairness sangat menekankan asas resiprositas, tetapi pasti tidak dalam arti simple reciprocity yang bermakna distribusi kekayaan dilakukan tanpa melihat perbedaan-perbedaan objektif di antara anggota masyarakat. 198
Keadilan adalah ukuran yang kita pakai dalam memberikan perlakuan terhadap objek di luar diri kita. Objek yang ada di luar diri kita ini adalah manusia, sama dengan kita. Oleh karena itu, ukuran tersebut tak dapat dilepaskan dari arti yang kita berikan kepada manusia atau kemanusiaan,
196 John Rawls, Justice as Fairness A Restatement; (Edited by Erin Kelly).Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 2001, h. xi. 197 Andre Ata Ujan, Keadilan dan... Op. Cit., h. 22. 198 Andre Ata Ujan, Loc. Cit., h. 25. 122 tentang konsep kita mengenai manusia. 199 Persoalan keadilan memang merupakan masalah yang cukup rumit dan kompleks, sebab menyangkut hubungan antar manusia dari segala aspek kehidupannya. Pemahaman keadilan menjadi lebih jelas, apabila terlebih dahulu kita memahami hukum. 200 Suatu pendapat mengatakan, bahwa hukum itu merupakan mekanisme yang mengintegrasikan kekuatan-kekuatan dan proses-proses di dalam masyarakat. Dalam hubungannya dengan pendapat ini, maka pengadilan pastilah merupakan lembaga yang terutama sekali menjadi pendukung dari mekanisme itu. Di dalam lembaga itulah sengketa-sengketa yang terdapat dalam masyarakat diselesaikan. 201 Sedangkan pekerjaan untuk mewujudkan ide dan konsep keadilan ke dalam bentuk-bentuk yang konkrit sehingga diterima oleh masyarakat, merupakan pekerjaan penegak hukum terutama para hakim. Hakim diharapkan memiliki kemampuan menerjemahkan nilai-nilai keadilan dalam persoalan-persoalan yang dihadapkan kepadanya melalui putusan-putusannya. 202 Para hakim hendaknya berani melihat undang-undang itu sebagai instrumen untuk merumuskan keadilan bagi masyarakat dan bangsanya. Itu berarti, bahwa hakim hendaknya senantiasa gelisah untuk menguji hukum yang ada, oleh
199 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum...Op. Cit., h. 51. 200 Esmi Warassih, Pemberdayaan.... Op. Cit., h. 16. 201 Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan. Bandung: Alumni, 1980, h. 106. 202 Esmi Warassih, Pemberdayaan... Op. Cit., h. 18. 123 karena hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya. Manakala pengadilan tidak mampu mendengarkan persoalan bangsanya, maka ia akan menjadi suatu anomali, yang menyebabkan masyarakat kehilangan salah satu lembaga yang penting yang menjadi simpul produktivitas proses-proses dalam masyarakat. 203 Oleh karena itu, apabila dikaitkan dengan realitas persoalan penegakan dan perolehan keadilan melalui lembaga pengadilan, tujuan pilihan forum arbitrase dalam rangka penyelesaian sengketa ini memiliki sandaran teoritis maupun praksis yang sangat memadai.
B. Konsekuensi Pilihan Forum Arbitrase terhadap Kompetensi Hakim Pengadilan Negeri
Seperti telah disinggung di muka, bahwa pilihan forum arbitrase memiliki kaitan yang cukup erat dengan ragam aktivitas perniagaan. Bahkan aktivitas perdagangan antar bangsa yang semakin intensif dewasa ini sangat diwarnai oleh semakin banyak kesepakatan yang dibuat dalam bentuk kontrak internasional (international contracts). Menurut Hans Smith, 204
kontrak internasional (international contracts) adalah: "...contracts with
203 Satjipto Rahardjo,Rekonstruksi Strategi Pembangunan Hukum Menuju Pembangunan Pengadilan yang Independen dan Berwibawa; Makalah Seminar pada Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, 28 Maret 2000, h. 2-4. 204 Lihat Hans Smit et al, International Contracts. Parker School of Foreign and Comparative Law, Columbia University, Matthew Bender, 1981, h. 4. Dalam kaitan ini kontrak-kontrak internasional yang dibuat antar negara tidak termasuk di dalam kajian 124 elements in two or more nation-states. Such contracts may be between states, between a state and a private party, or exclusively between private parties." Hukum Indonesia mengartikan kontrak serupa dengan perjanjian atau persetujuan. Namun demikian, kontrak memiliki lingkup pengertian yang lebih sempit karena hanya berarti perjanjian tertulis. 205 Sedangkan perjanjian atau persetujuan meliputi baik yang dibuat secara tertulis maupun lisan. Dalam rangka memelihara sikap taat asas dalam penulisan Disertasi ini, selanjutnya akan digunakan istilah kontrak untuk menyebut perjanjian 206
tertulis. Ada sejumlah alasan dan pertimbangan mengapa istilah kontrak relatif dianggap lebih tepat untuk digunakan apalagi dalam konteks pembicaraan mengenai perjanjian yang melibatkan unsur asing (foreign element) sebagai salah satu pihak di dalamnya. Alasan-alasan dimaksud antara lain sebagai berikut: Baik kaidah hukum nasional maupun hukum internasional, menyebut kontrak untuk perjanjian (agreement) yang dibuat secara tertulis oleh pihak-pihak swasta (private parties);
Disertasi ini. Pembahasan akan dibatasi hanya berkenaan dengan kontrak-kontrak yang dibuat antar pihak-pihak swasta (private parties) satu sama lain. 205 R. Subekti, Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 1979, h. 1. 206 Yaitu suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Lihat R. Subekti, Loc. Cit., 125 Untuk membedakan antara kontrak internasional 207 dengan perjanjian internasional (treaty), 208 karena di antara keduanya memiliki perbedaan makna yang sangat kontras; Merujuk pada rumusan dari Hans Smith, bahwa persetujuan (agreement) antara dua pihak swasta atau lebih (exclusively between private parties), yang berlainan kebangsaan disebut kontrak internasional. Sementara itu, hingga saat ini basis rujukan hukum kontrak di Indonesia adalah Buku Ketiga BW (Burgerlijk Wetboek) atau KUH Perdata tentang Perikatan. Seperti telah dimaklumi bahwa hukum kontrak di dalam BW Indonesia menganut sistem terbuka atau asas kebebasan berkontrak (beginsel der contractsvrijheid). 209 Berdasarkan asas tersebut para pihak diberi kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengadakan kontrak apa saja,
207 "...contracts with elements in two or more nation-states. Such contracts may be between states, between a state and a private party, or exclusively between private parties. Hans Smith et al., International ContractsOp. Cit., h. 4. 208 "Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara negara-negara, perjanjian antara negara dengan organisasi internasional, dan perjanjian antara suatu organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu. Lihat Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Binacipta, 1978, h. 109-116. 209 Lihat R. Subekti, Aneka Perjanjian. Bandung: Alumni 1981, h. 16. Sistem yang dianut BW adalah sistem terbuka. Artinya, para pihak dapat mengadakan persetujuan- persetujuan yang sama sekali tidak diatur dalam BW atau WvK (KUHD) atau Undang- undang lainnya. Namun demikian ketentuan-ketentuan umum BW Buku III titel I sampai dengan IV masih tetap berlaku, misalnya mengenai sahnya perjanjian (Pasal 1320). Lihat dalam Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahakamah Agung Indonesia. Bandung: Alumni, 1999, h. 3. 126 asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. 210 Atas dasar alasan demikian, kaidah hukum di dalam Buku ketiga BW adalah "hukum pelengkap" (optional law). 211 Para pihak dimungkinkan untuk mengesampingkan kaidah-kaidah hukum materiil tentang perikatan sepanjang hal itu disepakati oleh mereka. Persoalan ini merupakan konsekuensi dari pengakuan terhadap prinsip "pacta sunt servanda" 212
(perjanjian harus ditaati). Bahkan di dalam hukum internasional prinsip pacta sunt servanda diakui amat fundamental, sehingga menjadi norma imperatif dalam praktik perjanjian internasional. 213
210 Lihat R. Subekti, Hukum PerjanjianOp. Cit., h. 13. 211 Benar-benar pasal-pasal dari Hukum Perjanjian itu dapat dikatakan melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak lengkap, dan biasanya orang yang mengadakan suatu perjanjian tidak mengatur secara terperinci semua persoalan yang bersangkutan dengan perjanjian itu. Biasanya mereka hanya menyetujui hal-hal yang pokok saja, dengan tidak memikirkan soal-soal lainnya. Lihat R. Subekti, Hukum Perjanjian...Loc.Cit., h. 13. 212 "Pacta" berasal dari sebuah kata bahasa Latin "pactum" yang artinya perjanjian atau persetujuan (agreement). Dari kata pactum itu lahirlah ungkapan pacta sunt servanda yang berkembang dan diangkat menjadi kaidah hukum yang mengandung makna Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, oleh sebab itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik (good faith). Di Indonesia, asas pacta sunt servanda dapat dijumpai dalam kaidah hukum, sebagaimana dapat diketahui dalam Hukum Perjanjian [Buku Ketiga BW Pasal 1338 ayat (1)], yaitu: Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Periksa M. Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dariOp. Cit., h. 87-88. 213 Perjanjian internasional dalam hal ini adalah perjanjian internasional menurut Viena Convention 1969 on The Law of Treaties, Lihat Budiono Kusumohamidjojo, Suatu studi terhadap aspek operasional Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Bandung: Binacipta, 1986, hal. 15. Periksa pula Viena Convention on the law of treaties and international organization or between international organization., dalam International Legal Materials. Volume XXV, Number 3, May 1986, h. 543-592. 127 Pada prinsipnya asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) tidak hanya memberikan kebebasan kepada para pihak untuk mengajukan poin-poin menyangkut pokok kontrak, akan tetapi meliputi pula kebebasan untuk menyepakati langkah penyelesaian sengketa. Oleh karena itu, melakukan pilihan forum atau pilihan jurisdiksi di luar pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin terjadi tergolong dalam ruang lingkup asas kebebasan berkontrak. Pilihan forum atau pilihan jurisdiksi dapat dilakukan dengan cara-cara: (i) mencantumkan suatu klausula atau ketentuan yang merupakan bagian dari substansi kontrak yang berisi kesepakatan tentang pilihan forum arbitrase tertentu yang berwenang menyelesaikan sengketa, atau (ii) para pihak membuat kesepakatan tersendiri dalam suatu akte terpisah dari kontrak utama yang ditandatangani oleh para pihak setelah terjadi sengketa 214 yang berisi kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa melalui forum arbitrase tertentu. Di dalam arbitrase komersial internasional, pilihan forum atau pilihan jurisdiksi sebagai perwujudan dari asas kebebasan berkontrak dinamakan
214 Klausula sebagaimana tersebut dalam poin (i) disebut pactum de compromitendo, sedangkan akte sebagaimana tersebut dalam poin (ii) disebut acta compromis. Bandingkan dengan Pasal 1020 ayat (2) Vierde Boek van Nederland Wetboek van Burgerlijke Rechtsvordering; dalam MOJ de Folter et al., Burgerlijke Rechtsvordering en aanverwante Regelingen. Kluwer-Deventer, 1990, h. 198. 128 perjanjian arbitrase (agreement to arbitrate). Bahkan perjanjian arbitrase itu merupakan dasar yang fundamental bagi para pihak yang menunjukkan kehendaknya untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui forum arbitrase. Oleh karena itu, perjanjian arbitrase seperti halnya perjanjian-perjanjian yang lainnya, harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian. 215 Artinya, kata sepakat 216 dalam perjanjian arbitrase tidak boleh cacat atau tidak sah. Terdapat dua macam perjanjian arbitrase. Pertama, "agreement to submit future disputes to arbitration," atau lazim dinamakan klausula arbitrase (arbitration clause) 217 sebagai bagian tak terpisahkan dari kontrak utama (principal agreement) para pihak. Kedua, "agreement to submit existing disputes to arbitration" atau secara singkat disebut "submission agreement." 218
Bentuk yang pertama yakni klausula arbitrase (arbitration clause), berkenaan dengan sengketa yang baru akan terjadi di kemudian hari. Oleh sebab itu, rumusan klausula arbitrase tidak selalu dapat dibuat secara rinci,
215 Pasal 1320 BW tentang syarat sahnya suatu perjanjian: (i) sepakat mereka yang mengikatkan diri, (ii) kecakapan untuk membuat suatu perikatan, (iii) suatu hal tertentu, dan (iv) suatu sebab yang halal. 216 Kata sepakat dalam perjanjian arbitrase dianggap cacat apabila mengandung unsur- unsur kekeliruan (dwaling), paksaan (dwang), dan/atau adanya penipuan (bedrog); Lihat juga Pasal 1321 BW.
217 ...which deals with disputes which may arise in the future, does not usually go into too much detail, since it is not known what kind of disputes will arise and how they should best be handled. Lihat, Alan Redfern, Law and Practice of... Op. Cit., h. 130. 218 ...deals with an existing dispute and can be tailored exactly to fit the circumstances and to provide in detail how the arbitral tribunal should deal with the dispute. A submission agreement may take the form of a brief agreement to submit an existing 129 karena belum dapat diketahui sengketa apa yang kelak akan terjadi dan belum diketahui pula bagaimana para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut dengan cara yang paling baik. Bentuk ini disebut dengan pactum de compromittendo. Sebaliknya, model yang kedua adalah submission agreement, berkenaan dengan sengketa yang telah terjadi, sehingga rumusan substansi agreement tersebut dapat disusun secara pasti dan rinci sesuai dengan keadaan sengketanya, sekaligus pula dapat dirancang bagaimana lembaga arbitrase akan menyelesaikan sengketa tersebut. Model yang kedua ini dinamakan akta kompromis. 219
Kedua bentuk perjanjian arbitrase (agreement to arbitrate) di muka, baik pactum de compromittendo maupun akta kompromis pada dasarnya memiliki tujuan serta konsekuensi hukum yang sama. Artinya, perjanjian arbitrase akan melahirkan kompetensi absolut 220 atau kewenangan mutlak
dispute to the procedures of an arbitral institution. Lihat, Alan Redfern, Law and... Loc. Cit., h. 130. 219 Adalah perjanjian yang disepakati oleh para pihak bahwa perselisihan yang telah terjadi diantara mereka diselesaikan melalui forum arbitrase. Syarat sahnya diatur dalam Pasal 618 Rv, diantaranya sebagai berikut: (i) pembuatan akta kompromis dilakukan setelah timbul sengketa; (ii) bentuknya harus akta tertulis, tidak boleh dengan persetujuan lisan; (iii) harus ditandatanagani oleh kedua belah pihak. Bila para pihak tidak dapat menandatangani, akta kompromis harus dibuat di depan notaris; (iv) isi akta kompromis harus terdiri atas: a) masalah yang disengketakan; b) nama dan tempat tinggal para pihak; c) nama dan tempat tinggal arbiter; dan d) jumlah arbiter yang ditunjuk, harus ganjil. Lihat dalam M. Yahya Harahap, Abitrase Ditinjau... Op. Cit., h. 66-67. 220 Mahkamah Agung berpendirian bahwa klausula arbitrase dengan sendirinya berbobot kompetensi absolut, sehingga yurisdiksi mengadili sengketa yang timbul dari perjanjian, dengan sendirinya menurut hukum jatuh menjadi kewenangan absolut Mahkamah Arbitrase (arbitral tribunal). Oleh karena itu, setiap pengadilan menghadapi kasus gugatan yang seperti itu, ada atau tidak ada eksepsi, harus tunduk pada ketentuan Pasal 130 forum arbitrase untuk memeriksa sengketa para pihak. Sebagai konsekuensi hukumnya penyelesaian sengketa dimaksud akan ditarik keluar dari yurisdiksi hakim pengadilan negeri dan selanjutnya menjadi kewenangan forum arbitrase yang dipilih oleh para pihak. Sebaliknya pengadilan negeri menjadi tidak berwenang untuk menyelesaikan sengketa bersangkutan. 221
Namun demikian, kompetensi absolut forum arbitrase itu dapat gugur serta beralih kembali menjadi kompetensi pengadilan negeri apabila ternyata memenuhi syarat sebagaimana ditentukan di dalam bagian terakhir artikel II ayat (3) Konvensi New York (KNY). 222 Artikel II ayat (3) KNY selengkapnya dapat disimak berikut ini: "The Court of a Contracting State, when seized of an action in a matter in respect of which the parties have made an agreement within the meaning of this article shall, at the request of one of the parties, refer the parties to arbitration, unless if finds that the said agreement is null and void, inoperative or incapable of being performed.
134 HIR, dan menyatakan dirinya tidak berwenang untuk mengadili. Lihat M. Yahya Harahap, Arbitrase...Op. Cit., h. 87. 221 Lihat Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS. Dari Yurisprudensi MA pada waktu yang lalu, sebelum Indonesia memiliki Undang-undang Arbitrase dapat diberikan contoh antara lain: Putusan Mahkamah Agung Nomor 2424 K/Sip/1981 tanggal 22 Februari 1982 dalam kasus Ahju Forestry Company Ltd.; Putusan Mahkamah Agung Nomor 455 K/Sip/1982 tanggal 27 Januari 1983 dalam kasus PT Asuransi Ramayana; dan juga Putusan Mahkamah Agung Nomor 794 K/Sip/1982 tanggal 27 Januari 1983 dalam kasus PT Asuransi Royal Indrapura; Intermanual Himpunan Putusan Mahkamah Agung tentang Arbitrase. Mahkamah Agung, Proyek Yurisprudensi, 1989. 222 Indonesia mensahkan "Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards" yang ditandatangani di New York tanggal 10 Juni 1958 dan mulai berlaku tanggal 7 Juni 1959, dengan memakai instrumen ratifikasi berupa Keputusan Presiden RI No. 34 Tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981 LNRI Thn. 1981 No. 40. 131 Kompetensi forum arbitrase sebagai akibat adanya pilihan jurisdiksi melalui perjanjian arbitrase (agreement to arbitrate), baik melalui klausula arbitrase (arbitration clause) maupun melalui submission agreement, secara implisit diakui dan dinyatakan dalam artikel II ayat (3) KNY. Bahwa pengadilan dari negara penandatangan konvensi harus merujuk para pihak ke forum arbitrase, menunjukkan betapa akibat adanya pilihan forum pengadilan negeri menjadi tidak berwenang memeriksa sengketa dimaksud, kecuali apabila ternyata dapat dibuktikan bahwa "... the said agreement is "null and void, inoperative or incapable of being performed". 223 Namun demikian kata-kata "the said agreement" dalam artikel II ayat (3) di atas, ternyata tidak ditemukan penjelasannya. Apakah yang dimaksud dengan agreement oleh konvensi adalah kesepakatan para pihak yang dituangkan di dalam kontrak utama (main contract) yang di dalamnya termasuk memuat klausula arbitrase (arbitration clause), ataukah yang dimaksud adalah submission agreement yang dibuat secara terpisah dari kontrak utama. Berdasarkan pembacaan lebih lanjut, tampaknya agreement sebagaimana dimaksud dalam artikel II (3) KNY itu bukan agreement dalam arti kontrak utama (main contract) sebagaimana disepakati para pihak,
223 A.J. van den Berg, menyatakan The last part of Article II (3) provides that a court must refer the parties to arbitration unless the arbitration agreement is "null and void, inoperative or incapable of being performed". Lihat dalam A.J. van den Berg, "The New York Arbitration Convention of 1958 Towards a Uniform Judicial Interpretation. The Hague: TMC Asser Institute, 1981, h. 154. 132 melainkan maksudnya adalah "agreement to arbitrate" atau perjanjian arbitrase. 224 Oleh karena dalam Undang-undang Arbitrase Indonesia yang baru jelas disebutkan bahwa perjanjian arbitrase itu dapat berupa klausula arbitrase (arbitration clause) atau perjanjian tersendiri yang dibuat setelah terjadi sengketa (submission agreement). Atas dasar pemahaman tersebut maka mungkin saja terjadi suatu kontrak utama (main contract) berlaku sah, sedangkan perjanjian arbitrasenya (agreement to arbitrate) "null and void, inoperative or incapable of being performed." Null and void, dapat diinterpretasikan "... where the arbitration agreement is affected by some invalidity right from the beginning. It would then cover matters such as the lack of consent due to misrepresentation, duress, fraud or undue influence". 225 Sebagai contoh tidak adanya kehendak yang bebas untuk menentukan persetujuan antara kedua pihak. Dapat juga terjadi karena adanya unsur paksaan (duress), penipuan (fraud), atau penyalahgunaan keadaan (undue influence). Undue influence atau misbruik van omstandigheden, dapat terdiri atas dua unsur, pertama, menimbulkan kerugian yang sangat besar dan kedua, menyalahgunakan kesempatan. 226
Kata "inoperative", diartikan bilamana "... the arbitration agreement has ceased to have effect. The ceasing of effect of the arbitration agreement
224 Sebagaimana disebutkan di dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 30 Thn. 1999. 225 Lihat A.J. van den Berg, The New York.., Op. Cit., h. 156.
133 may occur for a variety of reasons. One reason may be that the parties have implicitly or explicitly revoked the agreement to arbitrate. 227 Sebagai contoh misalnya, sengketa yang sama di antara pihak-pihak yang sama pula telah diputus oleh arbitrase atau telah diputus oleh suatu pengadilan tertentu (res judicata atau nebis in idem). Oleh karenanya arbitration agreement itu tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat. Sedangkan kata-kata "incapable of being performed", diartikan bilamana "... the arbitration cannot be effectively set into motion. This may happen where the arbitral clause is too vaguely worded, or other terms of the contract contradict the parties intention to arbitrate. 228 Untuk hal ini umpamanya perjanjian arbitrase disusun dalam kata-kata yang tidak jelas atau tidak lengkap. Berbicara mengenai masalah kompetensi atau kewenangan badan peradilan untuk memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, bersangkut- paut dengan norma hukum acara perdata. Persoalan kompetensi mengadili di dalam hukum acara perdata berada pada ruang lingkup pembagian kewenangan memeriksa perkara di antara badan peradilan yang tidak sejenis. Hukum Acara Perdata di Indonesia menetapkan bahwa dalam hal-hal terjadi perselisihan mengenai kewenangan mengadili atas suatu sengketa
226 Lihat Setiawan, Aneka Masalah...Op. Cit., h. 181. 227 A.J. van den Berg, Op. cit., h. 158. 228 Ibid,. h. 159. 134 yang karena sesuatu sebab menjadi tidak masuk kewenangan pengadilan negeri, maka pengadilan harus tunduk pada ketentuan pasal 134 HIR. 229
Karenanya, hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang untuk mengadili. Ini berarti bahwa hakim karena jabatannya (ex officio) dapat menyatakan dirinya tidak berwenang untuk memeriksa sengketa yang diajukan, meskipun tidak ada eksepsi 230 (tangkisan) dari pihak lawan. Namun demikian, keadaan tidak berwenangnya hakim pengadilan negeri untuk memeriksa sengketa yang timbul dari suatu kontrak yang mencantumkan klausula pilihan forum arbitrase tidak mutlak sama sekali. Artinya, pada suatu ketika hakim pengadilan negeri akan kembali berwenang atau berkompeten untuk memeriksa sengketa yang terjadi, dalam hal-hal sebagai berikut: (a) apabila para pihak secara tegas mencabut klausula pilihan forum; (b) apabila sengketa yang timbul nyata-nyata di luar substansi kontrak; 231
229 Pasal 134 HIR menyatakan: "Tetapi dalam hal perselisihan itu mengenai suatu perkara yang tidak masuk kekuasaan pengadilan negeri, maka setiap saat pemeriksaan perkara itu boleh dituntut, supaya hakim mengaku dirinya tidak berhak dan hakim sendiri wajib mengakui itu karena jabatannya." 230 Mengenai eksepsi dan kewenangan hakim dalam mengadili ini secara rinci lebih jauh dapat dibaca di dalam Buku: Hugenholtz/Heemskerk, Hoofdlijnen van Nederlands Burgerlijk Procesrecht - (Vijftiende druk). s-Gravenhage: VUGA Uitgeverij B.V., 1988, h. 169-174. 231 Frans Liemena, Klausula Arbitrase dihubungkan dengan Kompetensi Pengadilan Negeri; dalam Varia Peradilan, Tahun III Nomor 29, Februari 1988, h. 188. Bdgk. Erman Rajagukguk, Keputusan Pengadilan Mengenai Beberapa Masalah Arbitrase; dalam Abdul Rahman Saleh et al., Arbitrase Islam Di Indonesia. Jakarta: BAMUI & Bank Muamalat, 1994, h. 75. 135 (c) putusan yang dijatuhkan di luar kewenangan forum arbitrase atau bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan yang berlaku, sehingga hakim menganggap kausanya tidak halal. Sedangkan apabila sengketa yang timbul itu sehubungan dengan pelaksanaan kontrak, maka forum arbitrase yang dipilih itu tetap akan memiliki kewenangan untuk memeriksa sengketa dimaksud. Berkaitan dengan hal di atas, berikut ini dapat disimak putusan pengadilan yang menggambarkan tentang kompetensi hakim pengadilan negeri dalam kaitannya dengan klausula arbitrase. Putusan yang dimaksud antara lain putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, 232 dalam kasus antara PT Balapan Jaya (penggugat) dengan Ahju Forestry Ltd (tergugat). Di dalam eksepsinya tergugat (Ahju Forestry Ltd.) antara lain menyatakan bahwa: "...karena adanya arbitration clausule yang sudah disetujui kedua belah pihak dan karenanya mengikat mereka sebagai Undang-undang (Pasal 1338 BW), maka sengketa ini tidak dapat diperiksa oleh pengadilan tetapi harus diselesaikan oleh forum arbitrase yang telah dimufakati dalam perjanjian para pihak itu. Atas dasar itu pula Pengadilan Negeri Jakarta Utara harus menyatakan dirinya tidak berwenang untuk memeriksa perkara ini." Akan tetapi di dalam diktum putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara,
232 Tanggal 18 Desember 1980, Nomor 113/1980.G.
136 antara lain disebutkan: "menyatakan eksepsi tergugat, baik tentang kompetensi absolut maupun kompetensi relatif tidak beralasan hukum, karenanya ditolak." Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 18 Desember 1980 Nomor 113/1980.G di atas. Dengan demikian Pengadilan Tinggi Jakarta, 233 juga menolak eksepsi tergugat/pembanding (Ahju Forestry Co.Ltd) mengenai kompetensi absolut forum arbitrase. Sedangkan pada permohonan kasasi, penggugat untuk kasasi dahulu tergugat/pembanding (Ahju Forestry Co.Ltd.), mengajukan keberatan. Di dalam memori kasasinya antara lain menyatakan bahwa: Sesuai dengan pasal 15 Basic Agreement for Joint Venture, para pihak telah mengadakan persetujuan bahwa setiap sengketa yang timbul akan diselesaikan melalui forum arbitrase. Oleh karena itu, putusan judex facti telah melanggar ketentuan mengenai kompetensi absolut. Berdasarkan alasan kasasi tersebut, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung antara lain menyatakan bahwa keberatan pemohon kasasi pada pokoknya dapat dibenarkan, judex facti
233 Tanggal 7 Mei 1981 Nomor 57/1981 P.T. Perdata, dalam Sudargo Gautama, Aneka Masalah Hukum ...Op. Cit., h. 180.
137 telah salah menerapkan hukum, sesuai eksepsi penggugat untuk kasasi/tergugat asal, pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara ini. 234 Mahkamah Agung memutuskan 235 (i) menerima permohonan kasasi dari Ahju Forestry Co.Ltd.; (ii) membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta; dan (iii) menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Utara tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut. Demikian pula halnya dalam kasus PT Maskapai Asuransi Ramayana vs. Sohandi Kawilarang, 236 Mahkamah Agung juga telah membatalkan putusan judex facti (Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Pengadilan Tinggi Jakarta). Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung antara lain menyatakan, bahwa polis asuransi kecelakaan tanggal 10 Agustus 1978 Nomor 210.PA/20.318, di bawah ketentuan umum dicantumkan (sub 7) bahwa "pertikaian berkenaan dengan polis ini, diselesaikan dalam tingkat tertinggi di Jakarta oleh 3 (tiga) orang juru pisah (arbiter)." 237
Dengan demikian pengadilan negeri tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini sesuai dengan ketentuan pasal 3 ayat (1) Undang- Undang Nomor 14 tahun 1970, khususnya memori penjelasan pasal tersebut. Selanjutnya Mahkamah Agung menyatakan bahwa meskipun hal itu tidak
234 Himpunan Putusan MA tentang Arbitrase; Op. Cit., h. 34. 235 Tanggal 22 Februari 1982 Nomor 2924 K/Sip/1981. Ibid., h. 185. 236 PT Asuransi Ramayana sebagai tergugat dalam konvensi pada Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan putusan tanggal 2 Juli 1980 Nomor 333/1979; Putusan Banding Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 18 Nopember 1981 Nomor 236/1980. 138 diajukan sebagai eksepsi oleh pihak tergugat namun berdasarkan pasal 134 HIR, hakim berwenang untuk menambahkan pertimbangan dan alasan hukum secara jabatan. Kemudian putusan yang serupa juga dapat dijumpai pada kasus PT Asuransi Royal Indrapura. 238 Mahkamah Agung di dalam pemeriksaan kasasi terhadap kasus ini mengemukakan alasan antara lain, di dalam polis tanggal 10 Agustus 1978 No. 49/00137/08, pada bagian bawah tentang conditions diuraikan bahwa: All differences arising out of this policy shall be referred to the decision of an arbitrator to be appointed in writing by the parties in difference or if they can not agree upon a single arbitrator". Mahkamah Agung berpendapat, seandainya para pihak hendak menyimpang dari ketentuan polis tersebut, maka harus secara tegas dikemukakan oleh para pihak pada waktu mengajukan gugatan di pengadilan negeri. Dari beberapa putusan Mahkamah Agung di muka, diperoleh suatu gambaran bahwa pada dasarnya Mahkamah Agung menganut prinsip pacta sunt servanda. Artinya, klausula arbitrase mengikat secara mutlak terhadap para pihak yang membuatnya, sehingga klausula arbitrase langsung melahirkan kompetensi absolut forum arbitrase sesuai
237 Putusan tersebut dimuat dalam Yurisprudensi Indonesia 3. Jakarta: Ichtiar Baru Hoeve, 1990, h. 6. 238 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 14 Juli 1980 Nomor 869/1979.G.; Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 4 Nopember 1981 Nomor 225/1980/PT. Perdata; Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Januari 1983, Nomor 794 K/Sip/1982. 139 pilihan para pihak. Sikap Mahkamah Agung semacam itu dinyatakan pada saat memeriksa dan memutus permohonan kasasi dari sengketa kontrak yang gugatannya diajukan kepada pengadilan negeri sedangkan kontrak bersangkutan mencantumkan klausula arbitrase. 239
Sikap Mahkamah Agung yang dalam tingkat kasasi telah membatalkan putusan judex facti yang telah mengabulkan gugatan penggugat, sedangkan kontrak para pihak mencantumkan klausula arbitrase, merupakan bukti bahwa badan peradilan tertinggi di Indonesia itu masih senantiasa mengapresiasi kebebasan para pihak untuk melakukan pilihan forum.
C. Pilihan Forum Arbitrase sebagai Fenomena Penyelesaian Sengketa Arbitrase sesungguhnya tidak termasuk bentuk alternatif penyelesaian sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR) karena arbitrase pada dasarnya tergolong kelompok Adjudicatory methods of settlement atau adjudication, 240 yang terdiri atas dua prototipe yakni litigasi di pengadilan
239 Bandingkan pula putusan Mahkamah Agung dalam perkara PT. Arpeni Pratama Ocean Line melawan PT. Shorea Mas, Nomor 3179 K/Pdt/1984 tanggal 4 Mei 1988; Lihat dalam Yurispudensi Indonesia 3. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1990, h. 103; Putusan tersebut juga mengenai ketidakwenangan pengadilan dalam hal adanya klausula arbitrase. 240 Menurut Goldberg, Sander & Roger, Adjudication is a process in which disputans present proofs and arguments to a neutral third party who has the power to hand down a binding decision, generally based on objective standards. Lihat Christian Buhring Uhle, Arbitration and Mediation in International Business. The Hague: Kluwer Law International, 1996, h. 43. Bdgk. Sofyan Mukhtar, Mekanisme Alternatif Bagi Penyelesaian Sengketa Perdata-Dagang (Dispute Resolution); dalam Varia Peradilan No. 48, 1989, h. 126. 140 (public adjudication) dan arbitrase (private adjudication). Sedangkan metode ADR termasuk dalam kelompok non-adjudicatory methods of settlement, 241 yang meliputi mediasi (mediation) dan konsiliasi (conciliation). 242 Oleh karena itu, berbeda dengan arbitrase, mediasi dan konsiliasi tidak dapat menghasilkan putusan yang mengikat yang dapat dilaksanakan. Mediator tidak dapat memaksa para pihak untuk mencapai penyelesaian; begitu pula konsiliator tidak memiliki kekuasaan untuk menjatuhkan putusannya kepada para pihak. 243
Persoalannya lalu mengapa arbitrase menjadi fenomena 244 dalam penyelesaian sengketa, sehingga orang memilih arbitrase sebagai forum bagi penyelesaian sengketanya? Benarkah karena arbitrase berproses cepat dan
241 Meliputi negosiasi (negotiation), konsiliasi (conciliation), mediasi (mediation), dan lain- lain. Lihat David H. Ott, Public International Law... Op. Cit., h. 333-334. Bdgk. Liem Lei Theng, Court Connected ADR in Singapore; Makalah Seminar Court Connected ADR, Jakarta: Departemen Kehakiman RI, 21 April 1999. Namun demikian penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa (ADR) memang bukan merupakan panacea yang mampu mengatasi semua sengketa. Lihat Arthur Mariot, The Role of ADR in the Settlement of Commercial Disputes; dalam Asia Pacific Law Review, Vol. 1 Summer 1994, h. 1-19. 242 Menurut Hakim Manly O. Hudson, Conciliation is a process of formulating proposals of settlement after an investigation of the facts and an effort to reconcile opposing contentions, the parties to the dispute being left free to accept or reject the proposals formulated. Periksa, J.G. Starke, Introduction...Op. Cit., h. 489 243 Alan Redfern selanjutnya mengemukakan: If the parties are seeking a decision on their dispute, as opposed to a negotiated settlement, then mediation or conciliation is not for them. Parties may try mediation or conciliation first and then, if this fails, resort to arbitration. Nor should the mediator or conciliator change his role and act as an arbitrator. Lihat Alan Redfern et.al., Law and Practice...Op. Cit., h. 27. 244 Fenomena dalam arti fakta atau kenyataan yang dapat disaksikan dengan pancaindera dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia. 141 berbiaya murah? Ternyata bukan itu yang menjadi alasan utama. 245 Yang menjadi andalan pihak-pihak yang memilih arbitrase adalah justru kualitas (quality) dari para arbiter berupa keahlian dalam bidang masing-masing arbiter. Keahlian merupakan salah satu jaminan terhadap kepercayaan. Tanpa ada kepercayaan, forum arbitrase tidak akan dapat berfungsi dengan baik. 246 Demikian pula dengan lembaga pengadilan, sebagai lembaga tempat menyelesaikan beragam sengketa di dalam masyarakat, pengadilan akan dapat menjalankan tugas dengan baik apabila mendapat kepercayaan dari pihak-pihak yang bersengketa. 247 Pengadilan bukanlah diartikan semata- mata sebagai badan untuk mengadili, melainkan sebagai pengertian yang abstrak, yaitu hal memberikan keadilan. Hal memberikan keadilan berarti yang bertalian dengan tugas badan pengadilan atau hakim dalam
245 Banyak proses pemeriksaan arbitrase berlangsung bertahun-tahun lamanya dan tidak perlu diherankan bahwa oleh karenanya memakan biaya yang cukup besar. Lihat Setiawan, Klausula Arbitrase dalam Teori dan Praktek; dalam Varia Peradilan Tahun IX No. 104, Mei 1994, h. 125-139 [127]. 246 Forum arbitrase pada asasnya memiliki fungsi yang sama dengan lembaga peradilan. Keduanya merupakan pihak ketiga yang (seharusnya) tidak memihak. Kedua-duanya bersandar pada satu sendi pokok yang sama, yaitu kepercayaan. Tanpa adanya kepercayaan, kedua lembaga itu tidak akan dapat berfungsi dengan baik. Lihat Setiawan, Kalusula ...Loc Cit., h. 128.
247 Satjipto Rahardjo mengemukakan: warga masyarakat bersedia untuk membawa perkara- perkaranya itu ke pengadilan, karena: (i) Percaya bahwa di tempat itu mereka akan memperoleh keadilan seperti mereka kehendaki; (ii) Percaya bahwa pengadilan merupakan lembaga yang mengekspresikan nilai-nilai kejujuran, mentalitas yang tidak korup, dan nilai-nilai utama lainnya; (iii) Percaya bahwa waktu dan biaya yang mereka keluarkan tidak sia-sia; dan (iv) Percaya bahwa pengadilan merupakan tempat bagi orang untuk benar-benar memperoleh perlindungan hukum. Periksa Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan. Bandung: Alumni, 1980, h. 106-107. Demikian pula Setiawan menyatakan: ...bahwa tiang utama lembaga peradilan adalah prinsip kepercayaan. Para pencari keadilan menyerahkan penyelesaian perkara kepada 142 memberi keadilan, yaitu memberikan kepada yang bersangkutan, konkretnya kepada yang mohon keadilan, apa yang menjadi haknya atau apa hukumnya. 248 Pengadilan berfungsi amat vital dalam menopang ide-ide hukum (das sollen) menjadi kenyataan hukum (das sein). Oleh karena itu, hakim sebagai aktor penegak hukum utama di pengadilan harus benar-benar melakukan konkretisasi hukum dengan tetap memperhitungkan perasaan keadilan masyarakat. Persoalan utama yang dihadapi lembaga peradilan kita adalah cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif- prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. Hakim hanya menangkap apa yang disebut keadilan hukum (legal justice), tetapi gagal menangkap keadilan masyarakat (social justice). 249 Hakim telah meninggalkan pertimbangan hukum yang berkeadilan dalam putusan-putusannya. Akibatnya, kinerja pengadilan sering disoroti karena sebagian besar dari putusan-putusan pengadilan masih menunjukkan lebih kental bau formalisme-prosedural ketimbang kedekatan pada rasa keadilan warga
pengadilan, karena percaya bahwa mereka akan memperoleh keadilan. Lihat, Setiawan, Aneka Masalah Hukum...Op. Cit., h. 370. 248 Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia. Bandung: Kilatmadju, 1971, h. 2. 249 Oleh karena itu, kohesivitas (paduan) antara hukum positif dan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat menjadi conditio sine qua non untuk menghindari keadaan dimana hukum ada di puncak menara gading yang jauh dari jangkauan pemahaman keadilan masyarakat. Lihat, A. Ahsin Thohari, Dari Law Enforcement ke Justice Enforcement, dalam Kompas, Rabu, 3 Juli 2002. 143 masyarakat. 250 Oleh sebab itu, sulit dihindari bila semakin hari semakin berkembang rasa tidak percaya dan sikap sinis masyarakat terhadap institusi pengadilan. 251
Ternyata keluhan terhadap lembaga peradilan tidak hanya menyangkut perolehan keadilan semata sebagaimana diuraikan di muka, melainkan juga berkaitan dengan proses peradilan yang lamban. Diakui oleh seorang hakim agung bahwa sebuah proses persidangan dapat berlangsung hingga enam tahun sampai ada putusan hakim yang berkekuatan tetap. 252 Padahal Mahkamah Agung sendiri sesungguhnya telah menyadari bahwa apabila penyelesaian perkara lambat dapat berakibat: (i) menenggelamkan kebenaran dan keadilan ke dalam lembah yang curam, sehingga sulit diraih oleh masyarakat pencari keadilan; (ii) menimbulkan ketidakpastian (uncertainty) yang berlarut-larut di antara para pihak yang berperkara, yang membuat mereka berada dalam keresahan yang berkepanjangan; (iii) para
250 Achmad Ali, Pengadilan yang yang tak Berkeadilan; dalam Kompas, Jumat, 08 Juni 2001; Berkenaan dengan hal tersebut, Satjipto Rahardjo mengemukakan: Sejak hukum modern memberi peluang besar terhadap berperannya faktor prosedur, atau formalitas, atau tata cara dalam proses hukum, perburuan terhadap keadilan menjadi semakin rumit. Kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modern disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan timbul pertanyaan apakah pengadilan itu tempat mencari keadilan atau kemenangan? Lihat Satjipto Rahardjo,Indonesia Butuh Keadilan yang Progresif; dalam Kompas, Sabtu, 12 Oktober 2002. 251 Masyarakat Indonesia kini cenderung menjadi bad trust society. Konsekuensi logisnya, menyebar dimana-mana perilaku kekerasan dan tindakan main hakim sendiri. Lihat Achmad Ali, Pengadilan yang...Loc. Cit.,. 252 Selain lambat, putusan hakim juga sering dinilai kontradiktif dan tidak jarang putusan hakim itu tidak dapat dieksekusi. Pernyataan dari seorang Hakim Agung HP 144 pihak yang berperkara mengalami kerugian ekonomis yang tidak sedikit, sehingga keadaan semacam itu memberi kesan seolah-olah badan peradilan telah menjadi alat kekuasaan yang berperan menghambat laju perkembangan ekonomi sosial. 253 Namun demikian, kelambatan penyelesaian perkara melalui pengadilan karena proses pemeriksaan yang berbelit dan formalistik, itu bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan merupakan problema yang menyeluruh di semua negara. 254
Oleh karena itu, agar sistem peradilan menjadi baik sehingga memberikan jaminan untuk melahirkan putusan hakim yang benar-benar dapat mentransformasikan ide keadilan, maka menurut Richard Meredith Jackson 255 dalam bukunya yang berjudul The Machinery of Justice in England, ada tiga prasyarat utama bagi suatu (sistem) peradilan yang baik,
Panggabean, Kelambanan Proses Peradilan Dikeluhkan. dalam Kompas, Jumat, 23 April 1999. 253 M. Yahya Harahap, Mencari Sistem Alternatif Penyelesaian Perkara; dalam Varia Peradilan Tahun XI No. 121, Oktober 1995, h. 100-119 [100]. 254 Dicontohkannya, di Jepang yang dianggap sebagaia negara maju, proses penyelesaian perkara di peradilan Jepang sangat lama. Rata-rata memakan waktu 10 sampai dengan 15 tahun. Bahkan di tingkat pertama saja rata-rata 3 sampai 5 tahun. Di Korea Selatan, Hongkong, dan Singapura, proses penyelesaian perkara melalui badan peradilan dianggap lama dan biayanya tinggi. Begitu pula yang terjadi di Amerika Serikat. Di samping proses persidangan memakan waktu lama, kebanyakan masyarakat Amerika berpendapat, penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan perdata terkesan: (i) tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya; (ii) secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk berperkara di pengadilan; Lihat, M. Yahya Harahap, Citra Penegakan Hukum; dalam Varia Peradilan Tahun X Nomor 117, Juni 1995, h. 143-161 [149 - 150]. Pengadilan memang tidak didesain untuk melakukan pekerjaan yang efektif dan efisien. Oleh sebab itu, penyelesaian sengketa dengan cara litigasi bisa bertahun-tahun. Bahkan sampai puluhan tahun. Lihat pula, M. Yahya Harahap, Pengadilan Tak Efektif Selesaikan Perkara; dalam Kompas, 16 Juli 1999. 145 yaitu: ...they have a known procedure, their behaviour is fairly predictable and they are eminently respectable. Akan tetapi ketiga prasyarat untuk sistem peradilan yang baik itu pun mustahil dapat diwujudkan apabila komponen lain dalam proses penegakan hukum tidak menunjang ke arah upaya perbaikan sistem peradilan tersebut. Persoalannya, bukan semata-mata lembaga pengadilan dan hakim yang menyebabkan perilaku dan proses peradilan menjadi unfair serta unpredictable, melainkan juga disebabkan oleh pihak-pihak lain yang langsung maupun tidak langsung bersinggungan dengan proses hukum dan peradilan. 256
Menghadapi realita proses penyelesaian perkara pada badan peradilan sebagaimana diuraikan di atas, maka pencarian dan pelembagaan model- model penyelesaian sengketa yang lain 257 menjadi fenomena pada masyarakat pencari keadilan. Demikian pula penggunaan arbitrase sebagai bentuk lain dalam penyelesaian sengketa komersial pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari realita yang berkembang. Di samping itu juga karena arbitrase telah lebih populer dibandingkan model penyelesaian
255 Setiawan, Putusan Hakim Sebagai Transformasi Ide Keadilan; dalam Varia Peradilan Tahun VII No. 80, Mei 1992, h. 136-146 [146]. 256 Mereka yang langsung bersinggungan misalnya: jaksa, polisi, dan advokat. Sementara pihak-pihak lain yang disinyalir berpotensi memberikan pengaruh seperti pihak militer, pejabat sipil, pengusaha, calo perkara, dan keluarga. Bahwa campur tangan pihak- pihak tersebut telah sedemikian jauh dan besar sehingga bukan mustahil kalau pengaruh jeleknya lebih besar terhadap proses penegakan hukum. LihatLembaga Pengadilan, Toko Hukum, Pasar Hukum. Di dalam Kompas, Senin, 15 Maret 1999. 146 sengketa alternatif lainnya, serta mekanisme arbitrase dengan segala kelemahan dan kelebihannya, paling mendekati proses berperkara di pengadilan. 258 Perbedaan arbitrase dengan proses di pengadilan di antaranya: Pertama, arbitrase bukan berlandaskan yuridis formal tetapi kebenaran dan kepatutan (ex aequo et bono). Kedua, keahlian dan integritas yang dimiliki arbiter yang harus merujuk pada kualitas yang patut dibanggakan, sehingga arbiter dituntut harus mampu meyakinkan pihak-pihak yang berperkara sebagai pihak yang bebas dan tidak memihak. 259 Di sinilah antara lain letak perbedaannya arbitrase dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri. Walaupun penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase bukan suatu hal baru di Indonesia, akan tetapi penggunaan arbitrase sebagai suatu metode penyelesaian sengketa masih terbatas dalam bidang hukum perikatan, khususnya dalam sengketa-sengketa komersial. Sedangkan pada negara-
257 Seperti bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa melalui Mediasi, Mini Trial, Konsiliasi, Adjudication; Lihat M. Yahya Harahap, Citra Penegakan...Op. Cit., h. 152-158. 258 Putusan yang diambil arbitrase langsung final dan mengikat, meski putusan arbitrase harus diserahkan dan didaftarkan kepada panitera pengadilan negeri, namun pada dasarnya putusan arbitrase (arbitral award) terkandung kekuatan eksekutorial. Oleh karena apabila pihak yang kalah tidak menaati dan memenuhi putusan secara sukarela, pihak yang menang dapat meminta eksekusi melalui pengadilan negeri. Sedangkan penyelesaian perkara melalui Mediasi, Mini Trial, Konsiliasi, dan Adjudikasi, tidak dapat meminta eksekusi melalui pengadilan. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, para pihak dapat membuat kesepakatan dalam bentuk klausula, apabila Mediasi, Mini Trial, Konsiliasi, atau Adjudikasi gagal, maka Mediator, Konsiliator, dan Adjudikator, langsung bertindak sebagai Arbitrator. Lihat, M. Yahya Harahap, Citra Penegakan... Loc. Cit., h. 160. 259 Komar Kantaatmadja, Beberapa Permasalahan... Op. Cit., h. 67. 147 negara lain, misalnya di Amerika Serikat, arbitrase telah dipakai sebagai metode alternatif (alternative dispute resolution), 260 dalam berbagai bidang. Robert Coulson dalam bukunya Business Arbitration-What You Need to Know, mengemukakan:Many business disputes are resolved by arbitration. 261 Di dalamnya disebutkan bidang-bidang apa saja yang sengketanya dapat diselesaikan dengan menggunakan forum arbitrase. Umpamanya, bidang industri konstruksi, industri logam, tekstil, asuransi, dan juga perdagangan internasional. Bahkan tidak hanya itu, Coulson masih menegaskan, "... Many thousands of other controversies are also arbitrated...". Sebagai contoh disebutkan, individual employee grievances, partnership and private corporation problems, patent and licensing disputes, and disagreement between author and publishers. Many cases originate from the real estate industry, the securities industry, and from computer disputes. Lebih dari itu, sengketa dalam bidang hukum keluarga seperti halnya perceraian (divorce settlement) juga dapat diselesaikan melalui proses arbitrase. 262
260 Steven C. Nelson, Alternatives to Litigation of International Disputes, dalam The International Lawyer, Vol. 23, No. 1, 1989, h. 187. 261 Lihat Robert Coulson, Business Arbitration-What You Need to Know., New York: American Arbitration Association, 1987, h. 10.
262 Robert Coulson, Business Arbitration... Loc Cit., h. 11.
148 BAB III SUBJEK DAN OBJEK SENGKETA KOMERSIAL DALAM FORUM ARBITRASE
A. Pihak-Pihak Berperkara dalam Forum Arbitrase
Pada dasarnya pihak-pihak berperkara dalam proses arbitrase tidak berbeda dengan pihak-pihak dalam sengketa perdata pada umumnya di pengadilan negeri, yaitu sekurang-kurangnya terdapat dua pihak. Yang berbeda adalah persoalan istilah penyebutan pihak-pihak yang berperkara. Para pihak 263 dalam sengketa perdata pada pengadilan negeri disebut penggugat dan tergugat. Sedangkan dalam proses pemeriksaan sengketa pada forum arbitrase penyebutan pihak-pihak dalam perkara sedikit berbeda. Penyebutan pihak-pihak dalam forum arbitrase telah dibakukan dan standar, baik dalam literatur maupun dalam arbitration rules. Sebutan untuk pihak yang membuat tuntutan adalah claimant 264 sedangkan sebutan untuk
263 Dalam sengketa perdata, sekurang-kurangnya terdapat dua pihak, yaitu pihak penggugat (eiser, plaintiff) yang mengajukan gugatan, dan pihak tergugat (gedaagde, defendant). Dan biasanya orang yang langsung berkepentingan sendirilah yang aktif bertindak sebagai pihak di muka pengadilan, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat, mereka ini merupakan pihak materiil, karena mereka mempunyai kepentingan langsung di dalam perkara yang bersangkutan, tetapi sekaligus juga merupakan pihak formal, karena merekalah yang beracara di muka pengadilan. Mereka bertindak untuk kepentingan dan atas namanya sendiri. Lihat Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara...Op. Cit., h. 47-48. 264 Claimant adalah seseorang yang membuat tuntutan yang lazim disebut penggugat atau plaintiff. Dalam pengertian hukum, claimant sebagaimana disebut dalam Article 3 UNCITRAL Arbitration Rules:The party initiating recourse to arbitration (hereinafter called the claimant) shall give to the other party (hereinafter called the respondent) a notice of arbitration. Lihat Alan Redfern et al, Law and 149 pihak tertuntut adalah respondent. 265 Sementara itu di dalam Peraturan Prosedur Arbitrase (PPA) Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atau dikenal dengan BANI Rules, pihak-pihak yang bersengketa disebut dengan istilah pemohon 266 untuk claimant dan termohon 267 untuk respondent. Sesungguhnya penggunaan istilah-istilah pemohon dan termohon dalam forum arbitrase kurang sejalan dengan sifat penyelesaian perkara dalam forum arbitrase itu sendiri yang tergolong jurisdictio contentiosa. 268 Oleh karena istilah pemohon dan termohon itu lebih tepat digunakan untuk kasus-kasus yang sifatnya tidak mengandung sengketa atau termasuk dalam jurisdictio voluntaria. 269 Walaupun sebenarnya istilah sukarela untuk jurisdictio voluntaria itu pun kurang tepat, karena pada dasarnya peradilan contentiosa pun sesungguhnya bersifat sukarela. Bukankah ada tidaknya suatu perkara yang masuk untuk diperiksa di
Practice...Op. Cit., h. 690. Oleh karena itu, pihak yang mengambil inisiatif mengajukan tuntutan kepada seseorang melalui forum arbitrase dinamakan claimant. Lihat M. Yahya Harahap, Arbitrase...Op. Cit., h. 133. 265 Respondent, adalah orang yang dituntut atau orang yang dijadikan sebagai tertuntut dan lazim disebut tergugat. Dari segi pengertian hukum respondent adalah pihak yang ditarik atau yang dijadikan sebagai tergugat oleh pihak yang menggugat dalam suatu proses pemeriksaan badan yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan dan memutus suatu persengketaan. Lihat, M. Yahya Harahap, Arbitrase...Loc. Cit., h. 133. 266 Lihat Pasal 2 ayat (3) Peraturan Prosedur Arbitrase (PPA) BANI. 267 Lihat Pasal 7 ayat (1) PPA BANI. 268 Jurisdictio contentiosa yaitu peradilan yang menyelesaikan perselisihan antara dua pihak yang bertentangan pendirian dan kepentingan, atau perkara yang mengandung sengketa. Lihat Fockema Andreaes Rechtsgeleerd Handwoordenboek. Bandung: Binacipta, 1983, h. 228. 269 Jurisdictio voluntaria adalah peradilan sukarela yang tidak melakukan pekerjaan menyelesaikan atau memutuskan perkara. Fockema Andreaes...Loc. Cit., h. 228.
150 pengadilan itu pun terserah kepada pihak yang berkepentingan untuk mengajukan atau tidak tuntutan haknya, baik berupa permohonan maupun gugatan ke pengadilan. Artinya, diajukan tidaknya suatu tuntutan hak ke pengadilan sepenuhnya terserah kepada pihak yang berkepentingan. 270
Memang diakui bahwa arbitrase sendiri merupakan badan volunter, karena sebagai lembaga swasta jurisdiksi arbitrase lahir berdasarkan kesepakatan sukarela dari para pihak. Namun demikian, sekalipun kelahiran atau eksistensi arbitrase bersifat volunter, sekali forum arbitrase lahir, forum tersebut formal dan legal sebagai badan kuasa yang berwenang mutlak untuk menyelesaikan dan memutus sengketa. Oleh karena itu, tidak tepat juga untuk mengidentikkan sifat keberadaan volunternya dengan sifat persengketaan. Sifat permasalahan persengketaan tetap saja berbobot contentiosa, tidak berubah menjadi gugat yang berbobot volunter. Demikian pula jika ditinjau dari segi doktrin dan tata tertib beracara, menggunakan istilah pemohon dan termohon untuk menyebut para pihak dalam perkara pada forum arbitrase sangat tidak sesuai. Penyebutan pihak-pihak dengan istilah itu memberi kesan seolah-olah perkara yang diajukan kepada forum arbitrase bersifat volunter dan putusan yang dapat dijatuhkan hanya bersifat
270 Pembedaan peradilan sesungguhnya dengan peradilan volunter disebabkan karena perbuatan hakim dalam peradilan volunter lebih merupakan perbuatan di bidang administratif, sehingga putusannya merupakan satu penetapan (Pasal 236 HIR, 272 Rbg.). Bahwa yang termasuk peradilan volunter adalah semua perkara yang oleh 151 declaratoir. 271 Padahal arbitrase mempunyai wewenang penuh untuk menjatuhkan putusan yang mengandung amar condemnatoir. 272
Faktor lain yang perlu mendapat perhatian dari pihak-pihak dalam forum arbitrase menyangkut masalah kualifikasi cakap 273 menurut hukum. Mengingat forum arbitrase itu terbentuk atas dasar kesepakatan para pihak, baik melalui pactum de compromittendo maupun akta kompromis, maka sebelum menjadi claimant maupun respondent, pihak-pihak yang hendak berperkara di hadapan forum arbitrase tentu saja harus tergolong cakap untuk membuat suatu kontrak. Seseorang yang dianggap cakap menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum apa pun, maka yang
undang-undang ditentukan harus diajukan dengan permohonan, sedang selebihnya termasuk peradilan contentiosa. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara...Op. Cit., h. 4 271 Putusan declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata. Contohnya: putusan yang menyatakan mengenai seorang anak yang menjadi sengketa adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Atau setiap putusan yang bersifat menolak gugatan tergolong putusan declaratoir. Lihat Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara...Loc Cit., h. 189. 272 Putusan condemnatoir yaitu putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Hukuman yang dimaksud di dalam putusan semacam ini hanya terjadi berhubungan dengan perikatan yang bersumber pada persetujuan atau undang-undang, yang prestasinya terdiri atas: memberi, berbuat, dan tidak berbuat. Pada umumnya putusan condemnatoir itu berisi hukuman untuk membayar sejumlah uang. Lihat Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara... Op. Cit., h. 189. Bdgk. M. Yahya Harahap, Arbitrase Op. Cit., h. 133. 273 Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa atau akil baligh dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Hanya orang-orang yang secara eksplisit ditentukan oleh hukum saja yang tidak tergolong cakap menurut hukum, yaitu: (1) orang-orang yang belum dewasa, (2) mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, (3) orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang dan semua orang yang menurut Undang-undang telah dilarang untuk membuat perjanjian tertentu. Lihat Pasal 1330 BW; dalam R. Subekti, Hukum Perjanjian...Op. Cit., h. 17. 152 bersangkutan mutatis mutandis 274 akan tergolong cakap pula untuk menjadi pihak dalam forum arbitrase. 275 Artinya, setiap orang dewasa yang sehat pikirannya serta tidak dikecualikan oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum, maka orang tersebut dapat menjadi pihak di dalam sengketa di depan forum arbitrase. Sama juga dengan pihak-pihak dalam perkara perdata pada pengadilan negeri, di dalam forum arbitrase juga dikenal ada istilah pihak materiil 276 dan pihak formal. 277
Proses penyelesaian sengketa di hadapan forum arbitrase bersifat sangat tertutup dan rahasia, sehingga keberadaan pihak-pihak materiil tidak dapat diketahui oleh orang-orang yang tidak memiliki kepentingan langsung dengan sengketa bersangkutan. Oleh karena itu, ketika proses penelitian ini berlangsung dan pengumpulan informasi sedang dilakukan, pihak materiil tidak pernah dapat dihubungi karena keberadaan mereka sangat rahasia (confidential). Informasi untuk keperluan mendeskripsikan keadaan sosial
274 Mutatis mutandis (Lat): with necessary changes in points of detail. I.e., matters will remain generally the same, with only substitutions of names and the like, such as would not distort anyof the substantive meaning. Lihat Peter J. Dorman, Running Press Dictionary...Op. Cit., h. 115. 275 Parties are allowed to submit to arbitration any right of which they are qualified to dispose, or in other formulas, parties must be qualified to enter a contract, or to make promises, or to make settlements or to sell, or they must not be under some disability under the law. Lihat Rene David, Arbitration in International Trade. Deventer: Kluwer Law Publishers, 1985, h. 174. 276 Adalah pihak-pihak yang mempunyai kepentingan langsung di dalam perkara yang bersangkutan. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara...Op. Cit., h. 48. 277 Yaitu mereka yang beracara langsung di muka pengadilan, biasanya mereka bertindak untuk dan atas nama pihak materiil. Pihak formal ini bisa merangkap juga sebagai pihak materiil, namun biasa juga dia bukan pihak materiil melainkan orang yang menjadi kuasa hukum pihak materiil. 153 (social setting) para pihak materiil yang bersengketa di hadapan forum arbitrase, tidak pernah dapat diperoleh langsung dari pihak materiil. Oleh sebab itu, sejumlah informasi yang diperlukan dari pihak materiil, akhirnya hanya diperoleh dari pihak-pihak yang pernah menjadi pihak formal sebagai kuasa hukum dari pihak materiil yang berkenan dijadikan sebagai informan penelitian. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari para informan itulah kemudian diketahui, tidak hanya subjek-subjek yang bersengketa pada forum arbitrase, melainkan juga jenis sengketa yang lazim dibawa untuk diselesaikan melalui forum arbitrase. Informasi tersebut menjadi salah satu pemandu untuk memahami tentang asal-usul dari pihak-pihak materiil yang bersengketa, sehingga dapat dipastikan kalangan mana saja yang paling sering memanfaatkan arbitrase sebagai tempat menyelesaikan sengketa. Indikator lain yang digunakan untuk memahami pihak-pihak materiil dalam arbitrase adalah nilai atau besaran pokok sengketa. Meski tidak mutlak, nilai atau besaran pokok sengketa dalam beberapa situasi dapat dijadikan sebagai salah satu petunjuk untuk memahami identitas maupun stratifikasi pihak-pihak materiil bersangkutan. Berbekal informasi yang disebutkan di muka, selanjutnya dapat diketahui bahwa jenis sengketa yang lazim dan paling banyak diselesaikan melalui forum arbitrase ternyata adalah sengketa komersial (commercial dispute). 278
154 Mengamati informasi tentang nilai atau besaran pokok sengketa juga telah memberikan gambaran betapa pihak-pihak yang melakukan pilihan forum arbitrase ternyata sangat bervariasi. Pihak-pihak materiil bisa seorang pengusaha besar, bisa juga pengusaha menengah atau bahkan pengusaha kecil. Lebih dari itu, pihak materiil tidak hanya terdiri atas orang perorangan (individu) melainkan bisa juga terdiri atas sekelompok orang atau organisasi, atau badan usaha, dan bahkan negara sebagai badan hukum publik. Sekadar gambaran dalam mendeskripsikan demikian beragamnya pihak-pihak materiil dalam arbitrase, para informan mengilustrasikan bahwa nilai perkara terkecil yang pernah diselesaikan lewat forum arbitrase bernilai 5 (lima) juta rupiah, dan nilai perkara terbesar sebesar 1,3 (satu koma tiga) milyar dollar Amerika Serikat. Informasi tersebut sekaligus menyangkal bahwa pilihan forum arbitrase hanya dapat dilakukan oleh kalangan pengusaha dengan kapital besar. Faktanya tidak demikian, pengusaha-pengusaha dengan kapital
278 The term commercial should be given a wide interpretation so as to cover matters arising from all relationships of a commercial nature, whether contractual or not. Relationships of a commercial nature include, but are not limited to, the following transactions; any trade transactions for the supply or exchange of goods or services; distribution agreement; commercial representation or agency; factoring; leasing; construction of works; consulting; engineering; licensing; investment; financing; banking; insurance; exploitation agreement or concession; joint venture and other forms of industrial or business co-operation; carriage of goods or passanger by air,sea, rail or road. Lihat, Alan Redfern et al., Law and Practice of...Op. Cit., h. 21. Maka yang dimaksud dengan sengketa komersial adalah setiap sengketa atau perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari hubungan yang bersifat komersial (arising from all relationships of a commercial nature). 155 menengah atau bahkan kecil pun ternyata dapat pula memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa. Sebuah contoh dari Jawa Timur, seorang pengusaha pabrik kerupuk di Sidoarjo di dalam suatu kontrak bisnis pernah membuat kesepakatan untuk mencantumkan klausula pilihan forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa bisnis dengan mitranya dari luar negeri. Klausula arbitrase tersebut memilih forum Arbitrase ICC (International Chamber of Commerce) yang berkedudukan di Paris Perancis. Namun demikian, sengketa dagang tersebut akhirnya tidak jadi diperiksa di sana karena faktor biaya yang terlalu mahal. Kasus di atas menjadi salah satu bukti petunjuk, betapa pilihan forum arbitrase dapat dilakukan oleh siapa saja bahkan dari kalangan pengusaha mana saja. Seperti telah disebutkan di muka, tidak hanya para pelaku usaha swasta yang dapat menjadi pihak dalam forum arbitrase, melainkan juga negara sebagai badan hukum publik dapat menjadi pihak di depan forum arbitrase. Arbitrase yang melibatkan negara sebagai pihak, dapat terdiri atas dua kemungkinan, yakni (i) Arbitrase antar negara, yaitu apabila pihak- pihaknya terdiri atas dua negara atau lebih; dan/atau (ii) Arbitrase yang melibatkan negara sebagai salah satu pihaknya. Jenis yang pertama, arbitrase antar negara, yaitu apabila suatu negara berdaulat berhadapan dengan negara berdaulat lainnya sebagai pihak-pihak dalam sengketa di hadapan forum arbitrase. Dalam kasus 156 semacam itu biasanya forum arbitrase bukan dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan yang sifatnya murni sengketa komersial, 279
melainkan lebih merupakan sengketa publik internasional yang tidak dapat diselesaikan melalui perdamaian bilateral. Sedangkan pada jenis yang kedua, yakni arbitrase yang melibatkan negara sebagai salah satu pihak. Biasanya forum arbitrase macam ini dilangsungkan ketika suatu negara berdaulat di satu pihak berhadapan dengan perusahaan swasta 280 di lain pihak (biasanya pihak tersebut adalah perusahaan transnasional) di dalam kasus sengketa penanaman modal. Dalam hal negara berdaulat di satu pihak berhadapan dengan perusahaan transnasional di lain pihak pada forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa
279 Arbitrations between states are not usually concerned with purely commercial disputes. Nevertheless, the practice followed in such arbitrations has had an important influence on the general development of the modern practice of international commercial arbitration. Dalam kasus ini dicontohkan kasus yang terjadi antara Colombia dan Ecuador pada tahun 1907, sengketa yang diselesaikan melalui arbitrase tersebut menyangkut masalah garis perbatasan diantara kedua negara berkenaan dengan keberadaan perjanjian dan perubahan yang ditetapkan oleh konvensi yang ditunjuk oleh para arbitrator. Lihat, Alan Redfern et al., Law and Practice of... Op. Cit., h. 40. 280 Perkara yang cukup terkenal untuk contoh Arbitrase ini adalah kasus antara Amco Asia Corporation, Pan American Development Limited and PT Amco Indonesia vs. Republik Indonesia di hadapan Forum Arbitrase ICSID (International Center for the Settlement of Investment Dispute) di Washington. Kasus ini berkenaan dengan pencabutan lisensi penanaman modal Hotel Kartika Plaza Jakarta oleh Pemerintah Republik Indonesia. Akibat pencabutan lisensi tersebut, kemudian pada tanggal 15 Januari 1981 Pemerintah Indonesia dituntut oleh pihak investor di hadapan Forum Arbitrase ICSID. Pemeriksaan perkara tersebut memakan waktu tidak kurang dari 12 tahun. Sampai akhirnya pada tanggal 3 Desember 1992 dibuat putusan tingkat pemeriksaan keempat, hingga putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum yang pasti. Lihat Sudargo Gautama, Arbitrase Bank Dunia tentang Penanaman Modal Asing di Indonesia dan Jurisprudensi Indonesia dalam Perkara Hukum Perdata. Bandung: Alumni, 1994, h. 1. 157 komersial, muncul permasalahan berkaitan dengan imunitas negara (state immunity). Masalahnya adalah, apakah benar ketika suatu negara bertindak sebagai pihak dalam suatu kontrak komersial, kemudian aktivitas komersial tersebut mengecualikan berlakunya imunitas negara (state immunity)? 281 Sebagai konsekuensi logis dari keadaan itu maka negara berdaulat tersebut dapat dituntut oleh pihak swasta dalam suatu forum arbitrase dalam rangka penyelesaian sengketa komersial dimaksud. Untuk memahami masalah tersebut, berikut ini dapat disimak Article 12 paragrap (1) The European Convention on State Immunity, bukan sebagai kaidah imperatif melaikan sebagai norma hukum internasional yang berlaku umum, meskipun konvensi tersebut sesungguhnya tidak berlaku mengikat untuk Indonesia. Norma tersebut adalah sebagai berikut: Where a Contracting State has agreed in writing to submit to arbitration a dispute which has arisen or may arise out of a civil or commercial matter, that State may not claim immunity from the jurisdiction of a court of another Contracting State on the territory or according to the law of which the arbitration has taken or will take place in respect of any proceedings relating to: (a) the validity or interpretation of the arbitration agreement; (b) the arbitration procedure; (c) the setting aside of the award. Unless the arbitration agreement otherwise provides. 282
Oleh karena itu, tatkala Republik Indonesia menjadi pihak respondent di hadapan forum Arbitrase International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) dengan claimant investor Amco Asia
281 Menurut C. Christoph H. Schreuer, The vast majority of arbitration between States and non-State partners envisaged here will deal with commercial activities. In fact, some of the provisions in the recent codifications treating arbitration as an exception to sovereign immunity explicitly restrict this effect to arbitration dealing with commersial claims.Lihat, C. Christoph H. Schreuer, State Immunity: Some Recent Development. Cambridge: Grotius Publication, 1988, h. 68. 282 Periksa, C. Christoph H. Schreuer, State Immunity...Loc. Cit. h. 65. 158 Corporation, Pan American Development Limited, dan PT Amco Indonesia pada tanggal 15 Januari 1981, 283 pihak Republik Indonesia telah mengemukakan pendirian sebagai berikut: 284
(i) Mengenai consent (persetujuan) yang diberikan oleh suatu negara berdaulat untuk tunduk pada arbitrase menurut Konvensi itu harus ditafsirkan secara restriktif; (ii) Kiranya jurisdiksi dari Dewan Arbitrase ICSID tidak dapat diperluas hingga mencakup suatu Badan Hukum yang mempunyai kewarganegaraan dari Negara peserta Konvensi yang sedang dalam sengketa sekarang ini. Dalam hal ini PT Amco Indonesia, adalah suatu Badan Hukum dan dapat dipandang berkewarganegaraan Indonesia pula secara hukum, hingga tidak dapat diajukan soal ini kepada arbitrase di muka ICSID; Kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa karena foreign control, para pihak telah menyetujui bahwa Badan Hukum ini harus diperlakukan sebagai warga negara dari suatu negara peserta ICSID lain untuk maksud Konvensi ini (Pasal 25 ayat (2) sub b dari ICSID Convention). Pasal 9 dari Aplikasi Investasi yang telah diajukan pada BKPM tidak mengandung persetujuan secara jelas dari pihak RI untuk memperlakukan PT Amco sebagai warga negara dari negara lain; (iii) Juga tidak diketemukan bukti secara formal dan nyata dalam klausula arbitrase berkenaan dengan negara peserta mana para pihak telah menyetujui untuk memperlakukan PT Amco sebagai warga negara asing.
Namun demikian Dewan Arbitrase ICSID ternyata tidak menyetujui pendirian pihak RI. Anggota Panel Arbitrase ICSID menyatakan pendapatnya dengan mendasarkan pada prinsip pacta sunt servanda. Bahwa Konvensi ICSID tidak seharusnya ditafsirkan secara restriktif tetapi harus
283 Sengketa tersebut timbul berkenaan dengan telah dicabutnya lisensi penanaman modal oleh pejabat Ketua BKPM terhadap pihak investor dalam Hotel Kartika Plaza yakni Amco Asia Corporation. Lihat Sudargo Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional. Bandung: Alumni, 1986, h. 1-2. 284 Sudargo Gautama, Indonesia dan... Loc Cit., h. 8-9.
159 secara luas. Harus didasarkan atas prinsip pacta sunt servanda yang dianggap sebagai prinsip yang dianut oleh semua sistem hukum, baik hukum nasional maupun hukum internasional. 285 Di samping itu juga setiap Konvensi untuk mengadakan arbitrase harus ditafsirkan dan dilaksanakan dengan itikad baik (good faith). 286 Ini berarti bahwa semua konsekuensi dan komitmen para pihak yang dianggap secara layak harus diperhatikan dan diperhitungkan terlebih dahulu.
B. Sengketa yang dapat diklaim Melalui Forum Arbitrase
Interaksi antar manusia yang berlangsung secara terus menerus dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidup. Oleh karena itu, menjadi sifat pembawaan setiap manusia untuk selalu hidup dalam masyarakat, sebab manusia tidak mungkin hidup tanpa masyarakat, dan sebaliknya masyarakat juga tidak mungkin ada tanpa manusia. Namun demikian, mengingat kepentingan manusia itu sangat banyak dan beragam, maka di dalam melakukan interaksi satu sama lain, manusia selalu dihadapkan pada potensi-potensi untuk terjadi konflik 287 atau sengketa. Hal
285 Lihat Sudargo Gautama, Indonesia dan Arbitrase...Op. Cit., h. 10. 286 Not infrequently States enter into agreements to arbitrate in much the same way as private parties, especially in the course of commercial dealings. Such agreements with non-State partners create certain expectations of good faith and cooperation. Lihat, C. Christoph H. Schreuer, State Immunity...Op. Cit. h. 63. 287 Conflict might be defined as a situation where the interests of two or more persons are opposed in a manner that makes it impossible for all of the respective interests to be 160 itu dapat terjadi karena kepentingan manusia tidak jarang saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Potensi untuk terjadi konflik atau sengketa antar manusia tentu saja tidak boleh dibiarkan berlangsung terus, melainkan harus dicegah sebab konflik akan mengganggu keseimbangan tatanan masyarakat. Oleh karena itu, ketika konflik terjadi dan menyebabkan keseimbangan tatanan masyarakat terganggu, maka keseimbangan yang terganggu itu harus dipulihkan kembali seperti keadaan semula (restitutio in integrum). 288
Sama seperti kepentingan hidup manusia, sengketa atau konflik juga banyak ragamnya, 289 demikian pula faktor yang menyebabkan terjadinya maupun objek yang disengketakan. Masing-masing sengketa juga memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain, sehingga adakalanya suatu
fully satisfied... Lihat, Christian Buhring Uhle, Arbitration and Mediation...Op. Cit., h. 218. Menurut Paul Wehr, dilihat dari segi proposisi sentral: (i) bahwa konflik merupakan pembawaan sejak lahir di dalam binatang sosial; (ii) bahwa konflik ditimbulkan oleh sifat masyarakat dan cara mereka dibentuk; (iii) bahwa konflik adalah disfungsi dalam sistem sosial dan sebuah gejala ketegangan patologis; (iv) bahwa konflik adalah ciri yang tidak terhindarkan dari kepentingan negara dalam kondisi anarki internasional; (v) bahwa konflik adalah hasil kesalahan persepsi dan komunikasi yang buruk; (vi) bahwa konflik adalah proses alami yang umum bagi semua masyarakat. Lihat Hugh Miall et al., Resolusi Damai Konflik Kontemporer. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, h. 103. 288 Lihat Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty, 1986, h. 4. 289 Berdasarkan pelaku (actors); konflik atau sengketa dibedakan atas (a) sengketa antar dua pihak dan sengketa antar banyak pihak, (b) sengketa antar perorangan dan sengketa antar kelompok, (c) sengketa antar organisasi dan sengketa di dalam organisasi, (d) sengketa yang langsung direct conflicts dan sengketa yang ditengahi oleh perantara atau perwakilan (conflicts mitigated by agents and representatives). Sedangkan berdasarkan kesadaran para pihak (consciousness of the parties) sengketa dapat dibedakan atas: sengketa yang nyata (manifest conflicts) dan sengketa yang tersembunyi (underlying conflicts). Lihat, Christian Buhring Uhle, Arbitration and Mediation...Loc. Cit., 161 sengketa tertentu hanya dapat diselesaikan melalui lembaga tertentu pula. 290
Artinya, tidak semua jenis sengketa dapat diselesaikan melalui satu bentuk penyelesaian sengketa atau melalui lembaga yang sama. Bentuk penyelesaian sengketa yang sangat dikenal dan sudah lama digunakan orang adalah penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Kekuasaan pengadilan untuk menyelesaikan perkara perdata meliputi semua sengketa tentang hak milik atau hak-hak yang timbul karenanya atau hak-hak keperdataan lainnya, 291 kecuali apabila dalam undang-undang ditetapkan pengadilan lain 292 untuk memeriksa dan memutusnya.
290 Sebagai contoh perkara perceraian bagi mereka yang beragama Islam menjadi wewenang Pengadilan Agama (Pasal 14 PP No. 9 Tahun 1975 juncto UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan); Sengketa perburuhan diselesaikan oleh P4D atau P4P; dan Perkara sewa menyewa rumah semula sepenuhnya menjadi wewenang Kepala Kantor Urusan Perumahan (PP 49 Tahun 1963). Kemudian dengan PP Nomor 55 Tahun 1981 tentang Perubahan atas PP Nomor 49 Tahun 1963 tentang hubungan sewa menyewa perumahan, khususnya mengenai penghentian hubungan sewa menyewa perumahan tanpa kata sepakat kedua belah pihak, hanya dapat dilakukan dengan putusan pengadilan negeri. Jadi sengketa khususnya mengenai penghentian sewa menyewa tanpa kata sepakat menjadi wewenang pengadilan negeri. Tetapi sengketa mengenai harga sewa masih tetap menjadi wewenang Panitia Perumahan. Lihat Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara...Op. Cit., h. 58. 291 Pasal 2 ayat (1) Reglement op de Rechterleijke Organisatie en het Beleid Der Justitie in Indonesie (RO) S. 1847 No. 23 jo 1848 No. 57. Selengkapnya Pasal 2 ayat (1) RO dapat disimak berikut ini: De kennisneming en beslissing van alle geschillen over eigendom of daaruit voortspruitende regten, over schuldvorderingen of burgerlijke regten, en de toepassing van alle soort van wettig bepaalde straffen, zijn bij uitsluiting opgedragen aan de regterlijke magt, volgens de verdeelingen van regtsgebied, de regterlijke bevoegdheid, en de wijze bij dit reglement omschreven. 292 Pengadilan lain yang dimaksud adalah bentuk penyelesaian sengketa maupun lembaga atau badan tempat menyelesaikan sengketa perdata selain pengadilan negeri. Seperti telah disebutkan, misalnya Pengadilan Agama untuk sengketa perdata di kalangan umat Islam, P4D atau P4P untuk sengketa perburuhan, dan Panitia Perumahan untuk sengketa mengenai harga sewa. Di samping itu masih ada lembaga lain seperti halnya lembaga arbitrase yang memang dapat dipilih oleh pihak-pihak di luar pengadilan untuk menyelesaikan sengketa perdata atau sengketa dagang (komersial). 162 Arbitrase sebagai bentuk penyelesaian sengketa pada dasarnya serupa dengan penyelesaian sengketa lewat pengadilan negeri. Menyelesaikan sengketa melalui pengadilan maupun melalui arbitrase, kedua bentuk tersebut, merupakan adjudicatory methods dengan pendekatan pertentangan (adversarial). 293 Faktor yang menyebabkan kedua lembaga tersebut berbeda adalah karena unsur yang melahirkan kompetensi dari kedua lembaga itu juga berbeda. Kompetensi pengadilan lahir karena ditentukan oleh undang-undang. Sedangkan kompetensi arbitrase lahir melalui kesepakatan para pihak yang memilih forum arbitrase tersebut. Meskipun demikian, arbitrase tetap dianggap sebagai bentuk lain dari ajudikasi, yakni ajudikasi privat. 294 Meski di antara kedua lembaga penyelesaian sengketa itu memiliki kemiripan, namun tidak semua sengketa perdata yang dapat diselesaikan melalui pengadilan secara otomatis dapat pula diselesaikan melalui arbitrase. Di Indonesia, sengketa yang dapat diperiksa dan diselesaikan melalui arbitrase sangat limitatif. Undang-undang Arbitrase Indonesia yang baru secara eksplisit menentukan jenis sengketa
293 Laura Nader menyebut bentuk ini dengan winner takes all yaitu ...the decision is that one party is right and the other wrong. Lihat, William J. Chambliss & Robert B. Seidman, Law, Order, and...Op. Cit., h. 28. Bdgk. Lon L. Fuller, Sistem Perlawanan; dalam Harold J. Berman, Ceramah-Ceramah Tentang Hukum Amerika Serikat. Jakarta: PT Tatanusa, 1996, h. 27. [27-37]. 294 Para pihak dapat memilih hakim yang mereka inginkan, sehingga dapat menjamin baik kenetralan maupun keahlian yang dianggap perlu dalam sengketa mereka. Para pihak juga dapat memilih hukum yang akan diterapkan pada sengketa tersebut, sehingga tidak perlu merasa takut atau tidak yakin terhadap hukum substantif dari yurisdiksi 163 yang dapat diselesaikan melalui arbitrase, yaitu hanya sengketa di bidang perdagangan (commercial law) dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. 295 Sedangkan sengketa yang menurut undang-undang tidak dapat diadakan perdamaian, tidak dapat diselesaikan melalui forum arbitrase. 296
Berbeda dengan di negara lain, 297 arbitrase telah digunakan untuk menyelesaikan berbagai persengketaan. Tidak hanya sengketa yang terjadi dalam bidang perdagangan atau bidang komersial, melainkan juga sengketa- sengketa lainnya, umpamanya: sengketa dalam bidang industri konstruksi, sengketa klaim asuransi, sengketa dalam bidang industri tekstil dan pakaian, bahkan penyelesaian tentang perceraian (divorce settlement) 298 juga dapat
tertentu. Lihat Gary Goodpaster, Tinjauan terhadap Penyelesaian Sengketa dalam Felix O. Soebagijo et al. (eds), Arbitrase di Indonesia...Op. Cit., h. 7-8. 295 Lihat Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999. 296 Sengketa tersebut umumnya meliputi: hukum keluarga (family law), terutama yang berkenaan dengan status sipil dan kemampuan seseorang; tentang pailit; penyelesaian susunan pengurus dan perubahan permodalan dalam Anggaran Dasar Perseroan. Lihat M. Yahya Harahap, Beberapa Catatan... dalam Jurnal Hukum Bisnis...Op. Cit., h. 27. Lihat pula Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999. 297 Di Amerika Serikat misalnya, The American Arbitration Association (AAA) is a public service to encourage the use of arbitration and other techniques of voluntary dispute settlement. Bahkan menurut Robert Coulson, di Amerika Serikat: Many thousands of cases are arbitrated each year. Arbitration is popular with the American people. Rather than being a system of second-class justice, it is the first choice of many people. Arbitration takes cases out of the courts. It saves public money. It puts the control of dispute settlement into the hands of the parties. Lihat Robert Coulson, Business Arbitration...Op. Cit., h. 9. 298 Marital separation agreements provide another example of the flexibility of arbitration. Lihat, Robert Coulson, Business Arbitration...Op. Cit., h. 11.
164 dilakukan melalui arbitrase. Keadaan tersebut sama sekali tidak dimungkinkan terjadi di Indonesia karena kaidah hukum arbitrase Indonesia membatasi secara limitatif jenis sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase, yaitu hanya sengketa di bidang perdagangan.
C. Struktur dan Proses Penyelesaian Sengketa lewat Arbitrase
Sebagai salah satu bentuk ajudikasi privat yang menggunakan pendekatan pertentangan (adversarial), proses penyelesaian sengketa lewat arbitrase juga memiliki kesamaan dengan proses yang harus ditempuh jika melalui pengadilan. Akan tetapi struktur dalam arti susunan kelembagaan, antara arbitrase dengan pengadilan memang sangat berlainan. Lembaga pengadilan sebagai peradilan umum adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Peradilan umum dilaksanakan oleh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. 299 Sedangkan arbitrase di samping tidak mengenal struktur kelembagaan yang berjenjang semacam pengadilan, arbitrase juga bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan merupakan suatu cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
299 Lihat Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (1 dan 2) Unadang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, LN 1986 Nomor 20. 165 dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 300 Pembedaan arbitrase yang selama ini diketahui semata-mata untuk menunjukkan bahwa secara struktural keberadaan arbitrase itu tidak berjenjang seperti pengadilan melainkan masing-masing arbitrase berbeda bentuk satu sama lain. Oleh karena itu, baik di dalam praktik maupun literatur dapat dijumpai pembedaan bentuk 301 arbitrase, yaitu: (i) arbitrase terlembaga (institutional arbitration) 302 dan (ii) arbitrase ad hoc. 303 Pembedaan bentuk arbitrase tersebut tidak bermakna struktural melainkan lebih bersifat fungsional. Artinya eksistensi kedua bentuk arbitrase itu bukan saja tidak merupakan struktur bertingkat seperti halnya pengadilan, melainkan secara fungsional kedua bentuk arbitrase itu memiliki fungsi masing-masing sesuai dengan tujuan pembentukannya dalam rangka penyelesaian sengketa bidang perdagangan maupun sengketa perdata pada umumnya.
300 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. 301 There are two main forms of arbitration available to the participants of international commerce: Institutional arbitration and ad hoc arbitration. Lihat, Julian D.M. Lew, Applicable Law in International Commercial Arbitration. Oceana Publication Inc. 1978, h. 19. 302 An institutional arbitration is one which is administered by one of the many specialist arbitral institutions: amongst the better known are the American Arbitration Association (AAA), the International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), the London Court of International Arbitration (LCIA), the International Chamber of Commerce (ICC). Lihat, Alan Redfern et. al., Law And ...Op. Cit., h. 13. 303 An ad hoc arbitration is conducted under rules of procedure which are adopted for the purpose of the arbitration, normally after a dispute has arisen. These rules of procedure may be those drawn up by one of the non-commercial international organisations. (The best known example is the UNCITRAL Arbitration Rules). Alan Redfern et. al., Law And...Loc. Cit., Lihat juga Pasal 6 ayat (9) UU No.30 Th. 1999. 166 Sebagaimana telah disebutkan di muka, proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak berbeda dengan berperkara melalui pengadilan. Surat klaim pada forum arbitrase harus diajukan oleh claimant dalam bentuk tertulis seperti halnya gugatan yang diajukan oleh penggugat melalui pengadilan negeri. Bentuk tertulis 304 itu merupakan syarat formal yang harus dipenuhi oleh pihak claimant sebagai pihak materiil maupun kuasa hukumnya sebagai pihak formal pada forum arbitrase. Oleh karena itu, menyelesaikan sengketa pada forum arbitrase mirip dengan sistem procureur (procureur stelling) sebagaimana dianut oleh Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) 305 yang berlaku pada Raad van Justitie (RvJ) pada waktu yang lalu. Setelah Raad van Justitie (RvJ) dihapuskan 306
304 Oleh karena itu, mengajukan klaim secara lisan melalui forum arbitrase sama sekali tidak dimungkinkan. Alasannya sangat logis, karena baik pihak claimant maupun respondent umumnya adalah orang-orang yang berkecimpung dalam dunia bisnis, sehingga dapat dipastikan kedua belah pihak yang bersengketa didukung oleh kemampuan dan kecerdasan yang sangat memadai. Lihat, M. Yahya Harahap, Arbitase...Op. Cit., h. 134. 305 Verplichte procureurstelling merupakan asas pokok dalam beracara pada Raad van Justitie (RvJ) berdasarkan Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv S. 1847 No. 52 jo S 1849 No. 63). Asas tersebut pada pokoknya mengharuskan bahkan mewajibkan para pihak yang berperkara untuk diwakili oleh seorang advokat atau procureur. Lihat, Eman Suparman, Keharusan Mewakilkan dalam Menunjang Proses Pemeriksaan Perkara yang Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan; Tesis S2, Yogyakarta: FPS-UGM, 1988. 306 Berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 1 tahun 1951, LN Nomor 9, antara lain ditetapkan: penghapusan beberapa pengadilan yang tidak lagi sesuai dengan suasana Negara Kesatuan. Penghapusan pada pokoknya bermaksud mengadakan unifikasi itu meliputi: a) Mahkamah Justisi ("Hof van Justitie"); b) Apelraad; c) segala Pengadilan Negara dan Landgerecht gaya baru dan alat penuntut umumnya; d) Segala Pengadilan Magistraat. Setelah penghapusan badan-badan pengadilan tersebut di atas maka hanya Pengadilan Negeri sajalah yang berkuasa memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkat pertama segala perkara perdata dan segala perkara pidana, sehingga 167 terjadilah unifikasi susunan, kekuasaan, dan acara pada pengadilan negeri 307
dan pengadilan tinggi di Indonesia. Akibat penghapusan tersebut, maka hanya pengadilan negeri yang berkuasa memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkat pertama segala perkara perdata dan segala perkara pidana. Demikian pula kemiripan dalam proses antara mengajukan claim melalui arbitrase dengan gugatan melalui pengadilan, terjadi dalam gugatan melalui Raad van Justitie (RvJ) menurut Rv, dan bukan dengan gugatan melalui pengadilan negeri berdasarkan HIR. Oleh karena HIR sebagai hukum acara pada pengadilan negeri sama sekali tidak menganut asas verplichte procureurstelling sebagaimana dianut oleh Rv ketika masih berlaku RvJ. Sama seperti syarat formal suatu gugatan di pengadilan, surat claim atau statement of claim di depan forum arbitrase, selain harus mencantumkan identitas para pihak, juga harus memuat dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan dari gugatan
dengan demikian Pengadilan Negeri adalah hakim sehari-hari biasa untuk seluruh penduduk RI. Lihat Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan...Op. Cit., h. 86-87. 307 Hukum acara yang berlaku pada pengadilan negeri sampai saat ini adalah HIR (het Herziene Indonesisch Reglement). Ketentuan itu memang sudah sangat tua (diumumkan pada S. 1848-16 jo. 57, diumumkan lagi pada S. 1926-559, dan pada S. 1941-44). Sudah pasti dewasa ini tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan keadaan masyarakat Indonesia. Akan tetapi kenyataan menunjukkan demikian, bahkan Konsep Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Acara Perdata Indonesia yang disusun oleh Tim Inti Pembahasan dan Penyusunan RUU Hukum Acara Perdata BPHN- Departemen Kehakiman, sejak 1984 sampai sekarang tidak jelas nasibnya, jangankan menjadi Undang-undang, sedangkan mendapat giliran untuk dibahas pun tidak.
168 (fundamentum petendi atau posita), serta tuntutan atau petitum. Namun terhadap substansi pokok tersebut dapat juga dicantumkan tambahan proposal tentang: (i) jumlah arbiter yang akan ditunjuk (satu atau tiga) orang, apabila mengenai hal ini belum disepakati dalam perjanjian; (ii) penunjukan calon arbiter yang dikehendaki; (iii) atau proposal tentang penyerahan penunjukan arbiter kepada arbitrase institusional yang bersangkutan. Sebagai hukum formal yang memandu pihak-pihak dalam melakukan penyelesaian sengketa pada forum arbitrase adalah Undang- undang tentang Arbitrase dan APS. 308 Untuk itu gambaran tentang struktur dan rangkaian proses penyelesaian sengketa lewat arbitrase berikut ini akan dipaparkan di dalam bentuk ragaan-ragaan. Masing-masing ragaan tersebut yakni: Ragaan 3 prinsip-prinsip dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase; Ragaan 4 pemohon tidak hadir dan upaya perdamaian; Ragaan 5 perubahan dan penambahan tuntutan, serta jangka waktu penyelesaian; Ragaan 6 pemeriksaan saksi dan saksi ahli.
308 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
169
INTERVENSI DIAJUKAN SEWAKTU PROSES PENYELESAIAN BERJALAN Ragaan 4 Prinsip-prinsip dalam Penyelesaian Sengketa YANG DAPAT MELAKUKAN INTERVENSI PEMERIKSAAN SECARA TERTUTUP =PASAL 27= MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA =PASAL 28= AUDI ALTERAM PARTEM =PASAL29= DAPAT DIWAKILI KUASA =PASAL 29 (2)= SYARAT INTERVENSI KEBEBASAN MEMILIH RULE DICANTUMKAN DALAM KLAUSULA ARBITER BERWENANG MEMPERPANJANG JANGKA WAKTU =PASAL33= PASAL 48 MENENTUKAN BATAS WAKTU =TIME LIMIT= APABILA ADA PILIHAN RULE, HARUS MENENTUKAN HAL-HAL BERIKUT Sesuai dengan asas confidential semua proses bersifat : closure, Pemerksaan dan putusan tidak boleh dipublikasikan Prinsip : semua proses dengan bahasa Indonesia, Atas persetujuan arbiter dapat dipilih bahasa lain. Para pihak mempunyai hak dan kesempatan yang sama Must give the same opportunity Pemberian kuasa dalam bentuk surat kuasa khusus. 1) Terdapat unsur kepentingan yang terkait 2) Disepakati oleh para pihak yang bersengketa, 3) Disetujui oleh arbiter atau Majelis Arbitrase. Boleh memilih rule manapun, Asal tidak bertentangan dengan UU ini, Apabila para pihak tidak memilih suatu rule, pemeriksaan tunduk pada UU ini. 1) Time limit = jangka waktu penyelesaian, 2) Principle place = tempat diselenggarakan arbitrase. Bila tidak ada : arbitrase yang menentukan Paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis arbitrasi terbentuk. Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase. a) Apabila diajukan p[ermohonan oleh salah satu pihak mengenai hak khusu tertentu, b) Sebagai akibat ditetapkan putusan provisional, c) Dianggap perlu oleh arbiter =PASAL; 30= MEMBUKA SISTEM INTERVENSI = PASAL 31 = BEBAS MENENTUKAN CARA ARBITRASE BATAS WAKTU PENYELESAIAN BEBERAPA PRINSIP PEMERIKSAAN 170
Ragaan 5 Pemohon tidak hadir dan TERMOHON TIDAK MEMBERI JAWABAN =PASAL 41= TERMOHON DAPAT MENGAJUKAN TUNTUTAN BALASAN =PASAL 42=
TIDAK DATANG MENGHADAP TANPA ALASAN YANG SAH I. PEMOHON TIDAK HADIR : SURAT TUNTUTAN DIGUGURKAN TERMOHON TIDAK HADIR : JATUHKAN PUTUSAN VERSTEK
UU INI TIDAK MENGATUR VERZET TEGEN VERSTEK PARA PIHAK DATANG MENGHADAP PADA HARI YANG DITENTUKAN
UU INI MEMPERKENALKAN PUTUSAN AKTA PERDAMAIAN =PASAL 45= Bila dalam tempo 14 hari termohon tidak menyampaikan jawaban : Termohon dipanggil untuk menghadap persidangan Tuntutan balasan = rekonpensi = counter claim Pengajuan : dalam jawaban, selambat-lambatnya pada sidang pertama, Pemohon : diberi kesempatan untuk menanggapi, Tata cara pemeriksaan : diperiksa dan diputuskan bersama-sama dengan pokok sengketa Lazim disebut : unreasonable default. Pemohon tanpa alasan yang sah tidak datang menghadap : (Ps. 43) Sudah dipanggil dengan patut, tapi tidak datang, Surat tuntutannya dinyatakan gugur, Dan tugas arbiter : dianggap selesai : Apakah ini fakultatif atau imperatif ? Rumusan Ps. 43 bersifat imperatif ! Termohon tanpa alasan yang sah tidak datang menghadap (Ps. 44) Sudah dipanggil secara patut, tetapi tidak datang, Lakukan panggilan sekali lagi, Dalam tempo 10 hari setelah pemanggilan kedua diterima, tanpa alasan yang sah tidak juga datang : Pemeriksaan diteruskan tanpa hadirnya termohon, Dan tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali tuntutan : Tidak beralasan, atau Tidak berdasar hukum. Para pihak datang menghadap : Arbiter lebih dahulu mengusahakan perdamaian, Bila tercapai perdamaian : Arbiter membuat : akta perdamaian. Sifatnya final dan mengikat, Dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut. Bila tidak dilaksanakan dengan sukarela, dapat diminta eksekusi ke PN, Jadi akta perdamaian = enforceable = executable. 171
Ragaan 6 Perubahan dan Penambahan Tuntutan & Jangka Waktu Penyelesaian
= PASAL 46 = TIDAK TERCAPAI PERDAMAIAN PROSES DILANJUTKAN MEMERIKSA POKOK SENGKETA
=PASAL 47= PENCABUTAN PERMOHONAN ARBITRASE SERTA PERUBAHAN DAN PENAMBAHAN TUNTUTAN
=PASAL 48= BATAS JANGKA WAKTU PENYELESAIAN SENGKETA =TIME LIMIT= BILA USAHA PERDAMAIAN TIDAK TERCAPAI : Lanjutkan pemeriksaan pokok perkara, Pada kesempatan terakhir : Diberi hak kepada para pihak menjelaskan pendirian msing-masing = kesimpulan = secara tertulis, Tindakan dn hak itu dietai dengan pengjuabn bukti-bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya, Pengajuan tersebut disampaikan sesuai jangka waktu yang ditetapkan arbiter. Arbiter berhak meminta kepada para pihak : 1. Penjelasan tambahan secara tertulis (additional statement), 2. dokumen atau bukti lain yang dianggap perlu (additional evidence). harus disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan arbiter. Pemohon dapat mencabut permohonan arbitrase dengan syarat sebelum ada jawan dari Termohon, Apabila sudah ada jawan Termohon: Pencabutan harus atas persetujuan Termohon. Perubahan atau penambahan tuntutan. sebelum ada jawaban Termohon: dapat dilakukan Pemohon, sesudah ada jawaban Termohon: hanya dapat diperbolehkan atas persetujuan Termohon. perubahan atau penambahan yang dibolehkan: hanya yang menyangkut: hal-hal yang bersifat fakta saja, tidak boleh menyangkut: dasar-dasar hukum yang menjadi dasar permohonan. Tujuan time limit = untuk menjamin kepastian jangka waktu penyelesaian arbitrase, Batas jangka waktunya = 180 hari dari tanggal pembentukan Majelis Arbitrase. dapat diperpanjang : prolongable. 1. atas persetujuan para pihak, 2. atas kewenangan arbiter atau Majelis Arbitrase berdasar Pasal 33: a. apabila salah satu pihak mengajukan permohonan mengenai hal khusus tertentu (seperti permohonan provisi) b. sebagai akibat dijatuhkan putusan provisi, c. bila dianggap perlu oleh arbiter atau majelis untuk kepentingan pemeriksaan. 172
Ragaan 7 Pemeriksaan Saksi dan Saksi Ahli dapat atas peintah arbiter / Majelis, atau permintaan para pihak, jumlahnya: dapat seorang atau beberapa orang saksi atau saksi ahli. dilakukan pada persidangan yang ditentukan, memberi keterangan secara lisan = oral hearing. sebelum memberi keterangan wajib mengucapkan sumpah. Dibebankan kepada pihak yang berhak! Bagaimana kalau atas perintah arbiter? siapa yang memikul biaya? Sebaiknya: dipikulkan kepada kedua belah pihak. atas perintah arbiter atau majelis arbitrase, atau, atas permintaan para pihak. berbentuk keterangan tertulis, mengenai persoalan khusus yang behubungan dengan pokok sengketa.
Memberikan segala keterangan yang diminta dan diperlukan saksi ahli. Arbiter / majelis: meneruskan salinan keterangan S.A. kepada para pihak, para pihak berhak memberi tanggapan: secara tertulis, untuk disampaikan kepada arbiter. apabila ada hal yang kurang jelas dalam keterangan tersebut, para pihak yang berkepentingan dapat meminta agar saksi ahli yang bersangkutan: didengar keterangannya di muka sidang dihadiri oleh para pihak atau kuasanya. PASAL 49 PEMERIKSA AN SAKSI DAN SAKSI AHLI PASAL 50 TATA CARA PEMBERIAN KETERANG AN SAKSI AHLI SECARA TERTULIS
YANG DAPAT MEMINTA PEMERIKSAAN CARA PEMERIKSAAN BIAYA PEMANGGILAN DAN PERJALANAN
PIHAK YANG DAPAT MEMINTA
CARA PEMBERIAN KETERANGAN
KEWAJIBAN PARA PIHAK PARA PIHAK BERHAK MEMBERI TANGGAPAN SECARA TERTULIS PARA PIHAK BERHAK MEMINTA PENJELASAN SECARA LISAN DI PERSIDANGAN ATAS KETERANGAN TERTULIS SAKSI AHLI 173 1. Arbitrase Institusional Arbitrase institusional adalah suatu badan atau lembaga yang sengaja didirikan secara permanen 309 sebagai sarana penyelesaian sengketa. Lembaga tersebut ada yang didirikan dan merupakan bagian dari organ pemerintah suatu negara tertentu namun ada pula yang sifatnya partikelir. Arbitrase institusional partikelir biasanya didirikan oleh atau atas prakarsa individu warganegara maupun kelompok individu, biasanya kalangan pengusaha swasta. Lembaga arbitrase partikelir sudah tentu bukan merupakan bagian dari organ atau institusi pemerintah, sehingga lembaga tersebut biasanya terlepas dari campur tangan pemerintah suatu negara. Biasanya setiap lembaga arbitrase diorganisasikan dengan manajemen yang teratur oleh para ahli dalam berbagai bidang. Di samping diorganisasikan secara teratur, arbitrase terlembaga ini pun umumnya memiliki perangkat ketentuan hukum formal (set of rules of arbitration) sendiri sebagai hukum acara dalam rangka proses dan prosedur arbitrasenya. Untuk memahami pengertian arbitrase institusional, berikut ini pengertian arbitrase institusional sebagaimana dikemukakan Alan Redfern,
309 Article I ayat (2) Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, menyebut arbitrase institusional ini dengan istilah "permanent arbitral bodies," sebagai kebalikan makna dari arbitrase ad hoc yang disebut dengan 174 sebagai berikut: "An institutional arbitration is one which is administered by one of the many specialist arbitral institutions under its own rules of arbitration." 310
Tujuan pendirian lembaga arbitrase semacam itu biasanya diketahui dari statuta lembaga tersebut. Secara umum tujuan pendirian arbitrase institusional adalah dalam rangka menyediakan sarana penyelesaian sengketa alternatif, di luar sarana penyelesaian sengketa konvensional yang dikenal dengan pengadilan. Badan Arbitrasi Nasional Indonesia (BANI) adalah salah satu contoh arbitrase institusional yang didirikan di Indonesia. Berdasarkan anggaran dasarnya, BANI didirikan dengan tujuan memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul mengenai soal-soal perdagangan, industri, dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional. 311
Di Indonesia, sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase masih berkisar pada bidang hukum perikatan atau hukum kontrak. Sedangkan pada negara-negara lain ternyata tidak hanya sengketa yang termasuk bidang hukum perikatan yang dapat diselesaikan melalui
istilah "arbitrators appointed for each case." Bdgk. M. Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dari:...Op.Cit.," h. 151. 310 Alan Redfern, Law and Practice... Op. Cit., h. 13. 311 Lihat pasal 1 Anggaran Dasar Badan Arbitrasi Nasional Indonesia (BANI); dalam R. Subekti, Arbitrasi Perdagangan. Bandung: Binacipta, 1981, h. 51. 175 arbitrase, melainkan juga sengketa-sengketa di dalam bidang hukum yang lainnya. Seperti dikonstatir oleh Robert Coulson bahwa: "...Marital separation agreements provide another example of the flexibility of arbitration." 312 Hal itu berarti bahwa apabila para pihak menghendaki penyelesaian sengketa di luar pengadilan, maka masalah yang berada di dalam cakupan hukum keluarga sekali pun dapat diselesaikan melalui arbitrase. Di muka telah disebutkan bahwa arbitrase institusional itu suatu lembaga yang didirikan secara permanen.Yang dimaksud dengan permanen di sini adalah selain dikelola dan diorganisasikan secara tetap, keberadaannya juga terus menerus untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Di samping itu keberadaan lembaga tersebut tidak hanya bergantung kepada adanya sengketa. Artinya, apakah ada sengketa yang harus diselesaikan atau tidak ada sengketa yang masuk, lembaga tersebut tetap berdiri dan tidak akan bubar, bahkan setelah sengketa yang ditanganinya telah selesai diputus sekali pun. Seperti halnya suatu pengadilan nasional dari suatu negara, pada dasarnya setiap arbitrase institusional selalu mempunyai hubungan dengan
312 Lihat Robert Coulson, Business Arbitration...Op. Cit., h. 11.
176 jurisdiksi 313 suatu negara tertentu. Artinya, setiap arbitrase institusional memiliki nasionalitas atau status kewarganegaraan dari suatu negara tertentu. Sekurang-kurangnya terdapat tiga faktor mengapa nasionalitas suatu arbitrase institusional penting untuk diketahui. Julian D.M. Lew 314
menyebutkan alasan-alasan tersebut yaitu: Pertama, untuk menentukan lex arbitri, yaitu hukum yang mengatur tentang proses arbitrase dan hukum yang menentukan pokok sengketa apakah yang harus dipertimbangkan oleh para arbiter; Kedua, untuk menentukan pengadilan nasional negara mana yang memiliki jurisdiksi terhadap arbitrase tersebut. Hal itu penting karena pengadilan suatu negara pada dasarnya memiliki kewenangan untuk mengawasi, bahkan bila perlu mencampuri proses arbitrase yang berlangsung pada negara tersebut; 315 dan Ketiga, untuk mengetahui prosedur yang harus diikuti dalam rangka pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase tersebut.
313 Adalah kekuasaan atau kompetensi hukum negara terhadap orang, benda atau peristiwa (hukum). Jurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kesamaan derajat negara, dan prinsip tidak campur tangan. Jurisdiksi juga merupakan suatu bentuk kedaulatan yang vital dan sentral yang dapat mengubah, menciptakan atau mengakhiri suatu hubungan atau kewajiban hukum. Lihat, Shaw, International Law; dalam H. Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Indternasional. Jakarta: Rajawali, 1991, h. 143. 314 Julian D.M. Lew, Applicable Law...Op. Cit., h. 13. 315 Dalam kaitan ini, Dr Johannes Trappe antara lain menyatakan: Beside the fact that the Court appoints an arbitrator for a party who fails to do so the Court may have functions to fulfil during the proceedings. Lihat J. Martin Hunter, Judicial assistance for the arbitrator; dalam Julian DM Lew (ed), Contemporary Problems in International Arbitration. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1987, h. 202. 177 Mengapa hal itu dianggap penting? Oleh karena persoalan yang seringkali terjadi dalam kaitannya dengan yang disebut terakhir itu adalah menyangkut sulitnya pelaksanaan putusan arbitrase terutama putusan arbitrase yang dijatuhkan di luar negeri atau arbitrase internasional. Sudah menjadi citra bahwa putusan arbitrase nasional (domestik) pelaksanaannya relatif lebih mudah, bahkan hampir tidak ada masalah bila dibandingkan dengan eksekusi putusan arbitrase internasional (foreign arbitral awards). 316 Walaupun demikian, untuk menentukan apakah suatu arbitrase itu tergolong arbitrase nasional atau arbitrase internasional tidak selalu mudah. Hal itu disebabkan banyak faktor yang turut menentukan. Sebagai panduan dalam rangka memahami apakah sesuatu forum arbitrase itu tergolong arbitrase nasional atau arbitrase internasional, serta dimana letak perbedaannya, dapat disimak dari pengertian yang diberikan oleh Redfern berikut ini: Domestic arbitrations usually take place between the citizens or residents of the same state, as an alternative to proceedings before the courts of law of that state. 317
Dari rumusan di atas tampak bahwa faktor-faktor kebangsaan atau tempat tinggal para pihak yang bersengketa antara lain menjadi indikasi untuk menentukan apakah suatu arbitrase itu termasuk arbitrase nasional
316 Julian D.M. Lew, Applicable Law...Op. Cit., h. 13. 317 Alan Redfern et al., Law and Practice...Op. Cit., h. 14.
178 atau arbitrase internasional. Beberapa faktor lain yang juga dapat dijadikan indikasi untuk menentukan apakah suatu arbitrase termasuk arbitrase nasional atau internasional antara lain: (i) pokok sengketa, (ii) kebangsaan atau tempat tinggal para pihak dan para arbiternya, (iii) hukum yang digunakan, dan (iv) tempat pemeriksaan arbitrase dilangsungkan. Berkaitan dengan yang disebut terakhir yaitu tempat arbitrase dilangsungkan, ada pendapat bahwa: The arbitration may be totally domestic but for one element, e.g. the place of arbitration. 318
1. Arbitrase Ad Hoc Sebagai bentuk alternatif dari arbitrase institusional adalah arbitrase ad hoc. Dalam pengertian ini yang dimaksud dengan "arbitrase ad hoc adalah arbitrase yang tidak diselenggarakan atau tidak melalui suatu badan atau lembaga arbitrase tertentu (institutional arbitration)." 319
Menurut Alan Redfern, arbitrase ad hoc adalah: "...arbitration without designating any arbitral institution and without referring to any
318 Sebagai contoh umpamanya di dalam the English case International Tank and Pipe SAK v. Kuwait Aviation Fuelling Co. KSC (1975). Para pihak di dalam kontrak tersebut adalah bangsa Kuwait, seluruh kontrak dibuat dan diberlakukan di Kuwait, akan tetapi di dalam kontrak ditetapkan bahwa arbitrase akan diselenggarakan di London berdasarkan ketentuan ICC Arbitration. Ternyata menurut Hukum Inggris (Arbitration Act 1950), pengadilan di Inggris memiliki yurisdiksi untuk melakukan campur tangan atas proses arbitrase tersebut. Lihat Julian D.M. Lew, Applicable Law... Op. Cit., h. 13 dan h. 38, Note No. 19.4. 319 E.J.Cohn, M. Domke, F. Eisemann (eds.), Handbook of Institutional Arbitration in international trade; Preface, h. v; Lihat dalam Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional...Op. Cit., h. 19. 179 particular set of institutional rules." 320 Sebagai bentuk lain dari arbitrase institusional, arbitrase ad hoc adalah arbitrase yang sifatnya tidak permanen. Artinya, keberadaan atau eksistensi arbitrase tersebut sangat bergantung pada kebutuhan pihak-pihak yang bertikai, yang menghendaki penyelesaian sengketa mereka melalui arbitrase ad hoc tersebut. Pada arbitrase ad hoc pihak-pihak yang bersengketa tidak hanya dapat bersepakat untuk menyelesaikan sengketa, melainkan juga para pihak memiliki kewenangan untuk mengendalikan setiap aspek dan prosedur penyelesaian sengketa yang akan dilakukan. Dalam arbitrase ad hoc melakukan pengangkatan arbiter atau para arbiter beserta segala kompetensinya juga merupakan kewenangan pihak-pihak yang bersengketa. Tempat arbitrase dilangsungkan juga dapat ditetapkan berdasarkan kehendak para pihak. Mereka dapat memilih tempat arbitrase dilangsungkan pada tempat tinggal atau tempat kediaman mereka atau dapat juga memilih tempat tinggal arbiternya. Bahkan dapat juga memilih tempat lain yang bukan tempat tinggal para pihak atau arbiter, melainkan tempat dimana asset yang menjadi objek sengketa berada. Demikian pula halnya di dalam menetapkan kaidah hukum yang akan dipakai dalam menyelesaikan sengketa mereka, para pihak dapat
320 .Alan Redfern, Law and Practice...Op. Cit., h. 56.
180 memilih peraturan prosedur arbitrase (rules of arbitral procedure) sesuai dengan yang mereka kehendaki. Artinya, para pihak tidak terikat untuk memakai peraturan prosedur arbitrase dari suatu arbitrase institusional tertentu. Pilihan untuk menggunakan peraturan prosedur arbitrase dapat dilakukan terhadap berbagai kaidah arbitrase. Umpamanya saja, UNCITRAL Arbitration Rules (UAR) sebagai kaidah hukum acara arbitrase mereka. Perangkat kaidah UNCITRAL Arbitration Rules (UAR) tersebut disediakan untuk dipergunakan dalam arbitrase ad hoc, karena UAR sendiri tidak memiliki lembaga arbitrase (arbitral institution) tertentu. Walaupun demikian apabila para pihak menghendaki, arbitrase ad hoc dapat juga dilangsungkan pada salah satu arbitrase institusional tertentu. Dalam hal demikian, para pihak tidak diharuskan memakai perangkat kaidah arbitrase dari lembaga arbitrase tersebut, melainkan dapat juga memilih kaidah arbitrase lain misalnya UNCITRAL Arbitration Rules (UAR) sebagai kaidah hukum acara arbitrasenya. Demikian juga para arbiter tidak memiliki kewajiban untuk memakai perangkat kaidah dari lembaga arbitrase tersebut. Artinya lembaga arbitrase bersangkutan akan mempergunakan kaidah arbitrase UNCITRAL Arbitration Rules (UAR) yang telah dipilih para pihak. Arbitrase semacam itu disebut dengan
181 arbitrase ad hoc yang diadministrasikan oleh lembaga arbitrase yang sudah ada (administered ad hoc arbitration). 321
Satu hal yang tidak dapat dilupakan bahwa kaidah arbitrase UNCITRAL itu sifatnya optional, sehingga tidak ada kewajiban bagi siapa pun yang hendak menyelesaikan sengketa melalui arbitrase untuk memakainya. Oleh karena itu, para pihak yang bersengketa bebas untuk melakukan pilihan, apakah hendak memakai kaidah tersebut atau tidak. Akan tetapi untuk penyelesaian sengketa pada arbitrase ad hoc, memakai kaidah yang sifatnya optional seperti halnya kaidah arbitrase UNCITRAL agaknya lebih tepat. Hal itu seperti juga dikonstatir oleh Alan Redfern, bahwa: However, it is not advisable to try to adopt or adapt institutional rules (such as those of the ICC) for use in an ad hoc arbitration, since such rules make constant reference to the institution concerned and will not work properly or effectively without it. 322 Hal itu disebabkan perangkat ketentuan tersebut pada dasarnya hanya bersangkut-paut dengan arbitrase institusional bersangkutan, sehingga kaidah tersebut belum tentu dapat efektif dan cocok bila dipakai di dalam arbitrase ad hoc. Sebaliknya, apabila para pihak dalam penyelesaian sengketa itu sama sekali tidak melakukan pilihan hukum, maka dewan arbitrase akan memakai hukum
321 Lihat S. Gautama, Arbitrase Dagang...Op. Cit., h. 20. 322 Alan Redfern, Law and Practice...Op. Cit., h. 56. 182 yang telah ditentukan oleh kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional (HPI) yang dianggap berlaku menurut para arbiter. 323
D. Keadilan Menurut Pihak-pihak Bersengketa
Keadilan berasal dari kata adil yang diambil dari Bahasa Arab Adl. 324 Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata adil diberi arti tidak
323 S. Gautama, Perkembangan...Op. cit., h. 46. Bdgk. Art. 28 (2) UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration; as adopted by UNCITRAL on June 21, 1985, dalam Alan Redfern, Law and Practice...Op. Cit., h. 806. Art. 28 (2) antara lain disebutkan: "Failing any designation by the parties, the arbitral tribunal shall apply the law determined by the conflict of laws rules which it considers applicable." 324 Kata adl Bahasa Arab itu maknanya tidak dapat dilepaskan dari kandungan ayat-ayat suci Al Quran. Oleh karena itu meskipun arti keadilan itu beraneka ragam dan memiliki konteks masing-masing yang berbeda satu sama lain, akan tetapi sumber rujukannya sama yakni Al-Quran. Sekurang-kurangnya terdapat enam arti kata adil, seperti yang dapat disimak berikut ini: (i) Adil berarti tebusan, maksud dari tebusan di sini adalah suatu usaha penyeimbang atau upaya menyamakan sesuatu dengan yang lain. Arti tebusan di dalam ayat suci Al Quran (QS 2: 48 & 123 serta QS 6: 70) adalah akibat dari pelanggaran ketentuan hukum di dunia atau sebagai tebusan atas perbuatan manusia yang selama hidup di dunia mengabaikan peringatan Allah SWT. (ii) Adil berarti mempersamakan atau memperlakukan secara jujur, dapat disimak pada (QS 4: 3 & 129 serta QS 42:15). Adil dalam makna persamaan hak terlihat dalam pelaksanaan hukum, sehingga peran hakim menjadi sangat sentral dalam menegakkan keadilan. Al Maraghi seorang mufasir menegaskan Seorang hakim harus menjunjung tinggi keadilan yang merupakan neraca keadilan. Keadilan harus berada di atas hawa nafsu dan kepentingan tertentu, di atas cinta dan permusuhan. Menjauhi keadilan adalah maksiat yang besar dan merusak sistem kemasyarakatan. (iii) Adil berarti benar, dapat dijumpai dalam QS 2: 282 serta QS 4: 58 & 135. Adil dalam makna benar ini maksudnya menempatkan posisi keadilan di atas hak-hak individu maupun kepentingan kelompok, sehingga apa pun strata sosial seseorang, maka tidak boleh terjadi kepentingan pribadi mengorbankan prinsip kebenaran dan keadilan. (iv) Adil berarti seimbang atau sederhana, dalam arti seimbang inilah dimensi keadilan banyak diungkap dalam Al-Quran. Keseimbangan maksudnya baik seimbang lahiriah, yaitu dalam hal penciptaan manusia maupun seimbang dalam penciptaan alam semesta. Adil dalam makna ini dapat dijumpai dalam QS 82:7, QS 55:7, QS 25:67, QS 17:67, QS 6:141. (v) Adil berarti nilai atau harga, dalam pengertian ini nilai atau harga dianggap sebagai unsur penyeimbang yang melengkapi kewajiban manusia, ketika kewajiban itu tidak sempat tertunaikan. Seperti dapat disimak dari QS 5: 95, intinya denda berupa puasa yang jumlah harinya disesuaikan dengan nilai atau harga makanan yang harus diberikan kepada fakir miskin harus ditunaikan oleh seorang muslim yang membunuh 183 berat sebelah (tidak memihak), berpihak kepada kebenaran, berbuat sepatutnya (tidak sewenang-wenang). Membicarakan persoalan keadilan tidak sekadar merupakan persoalan hukum positip 325 dan kajian filsafat, 326 lebih dari itu, masalah keadilan juga sebagai prinsip teologis. 327 Artinya hakikat pembicaraan mengenai keadilan tidak dapat dilepaskan dari sifat-sifat dan dasar-dasar kepercayaan kepada Allah Yang Maha Kuasa. Bahkan Al-Quran sebagai wahyu dan mukjizat memberikan perhatian yang istimewa untuk
binatang ketika sedang ihram. (vi) Adil berarti meng-Esakan Allah, sikap pembenaran dan ketaatan kepada keesaan Allah SWT yang dilakukan seorang hamba sesungguhnya telah berbuat adil. Oleh karena Allah SWT juga telah menuntun manusia untuk berbuat adil, seperti dapat dijumpai dalam QS 16:90. Lihat M. Wildan Yahya, Keadilan dalam Perspektif Al-Quran; dalam Hikmah, Jurnal Ilmu Dakwah, Volume 1 Nomor 2, Juli 2002, h. 156-166. 325 Bahwa setiap orang yang karena kedudukan, fungsi atau perbuatannya memenuhi deskripsi yang dimaksud dalam suatu norma hukum akan diperlakukan menurut norma hukum itu. Sebagai contoh peraturan lalu lintas akan diberlakukan kepada setiap orang karena peraturan lalu lintas menyebut barangsiapa pemakai jalan. Oleh karena itu, siapa saja pemakai jalan akan dikenai aturan lalu lintas. Lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999, h. 81. 326 Di samping keadilan sebagai keutamaan umum (yaitu ketaatan kepada hukum alam dan hukum positip) terdapat juga keadilan sebagai keutamaan moral khusus yang menentukan sikap manusia pada bidang tertentu. Thomas Aquinas membedakan keadilan menjadi tiga, yaitu: (i) keadilan distributif (iustitia distributiva), yaitu hal-hal yang harus dibagi menurut kesamaan geometris. Sebagai contoh hal-hal yang umum, seperti jabatan, pajak, dan sebagainya. (ii) keadilan tukar menukar (iustitia commutativa), ukuran keadilan ini bersifat aritmetris. Di sini berlaku suatu hak yang sungguh-sungguh, yakni hak milik (ius proprietatis). Prinsip dasar dalam keadilan ini adalah jangan merugikan orang, contoh jual beli; dan (iii) keadilan legal (iustitia legalis) ini menuntut supaya orang tunduk pada semua undang-undang, oleh karena undang-undang itu menyatakan kepentingan umum. Lihat Theo Huijbers OSC, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius, 1984, h. 43, 76. 327 Dalam medan pemikiran ilmiah Islam, benang hijau yang menghubungkan munculnya keadilan dalam masyarakat Islam secara ilmiah dan amaliah pertama-tama adalah Al Quran. Sebagai Kitab Agung Al Quran telah menaburkan benih-benih pemikiran keadilan pada sanubari dan jiwa manusia, kemudian menyirami dan menumbuhkannya 184 terpeliharanya prinsip keadilan di dalam hukum relatif dan dalam perundang- undangan. Di dalamnya terdapat penjelasan bahwa tujuan diutusnya para nabi pada dasarnya adalah untuk menegakkan sistem kemanusiaan dan memimpin kehidupan manusia atas dasar keadilan. 328
Hukum sebagaimana diterima dan dijalankan di negara-negara di dunia sekarang ini, pada umumnya termasuk ke dalam kategori hukum yang modern. 329 Karakteristik yang menonjol pada hukum modern adalah dalam cara-cara menerapkan keadilan dalam masyarakat. Pada sistem hukum modern penerapan keadilan sangat menekankan pada struktur yang birokratis. Dalam sistem hukum modern, penerapan keadilan ditandai oleh suatu perubahan yang terjadi secara berangsur-angsur yakni proses pengalihan dari penerapan keadilan secara pribadi berpindah ke tangan negara yang kemudian dilembagakan. Berdasarkan proses semacam itu kemudian muncul istilah law enforcement (pelaksanaan atau penerapan hukum) dan administration of justice (administrasi keadilan). Sesungguhnya pembicaraan mengenai administrasi keadilan memang belum lazim dilakukan di Indonesia, namun biasanya istilah administrasi keadilan dipakai
dalam bentuk pemikiran, filosifis, praktis, dan sosial. Lihat, Mutadha Muthahhari, Keadilan Ilahi...Op. Cit., h. 34-35. 328 Untuk hal ini dapat disimak dari QS 57:25; Mutadha Muthahhari, Loc. Cit., h. 36. 329 Modernitas itu ditandai dengan ciri-ciri: (1) mempunyai bentuk tertulis; (2) hukum itu berlaku untuk seluruh wilayah negara, meskipun tidak selalu demikian karena pada masa-masa yang lalu dalam suatu wilayah negara bisa berlaku berbagai macam hukum dengan otoritas yang bersaing. (3) Hukum merupakan instrumen yang dipakai secara 185 dalam hubungannya dengan pelaksanaan hukum, khususnya yang dilakukan melalui pengadilan. 330 Bekerjanya pengadilan dalam hubungan dengan proses penegakan keadilan, dalam praktik tidak berjalan secara otomatis sebagaimana telah diatur berdasar prosedur-prosedur formal yang telah ditentukan dalam hukum acara. Sejak awal keberadaan pengadilan dirancang sebagai suatu institusi rasional dengan sekalian prosedur dan teknikalitasnya. Hal itu mengandung makna, bagaimana pun seseorang berkeyakinan bahwa suatu perkara serta keadilan ada pada dirinya, namun apabila yang bersangkutan gagal memenuhi dan mengikuti ketentuan dalam proses berperkara, orang tersebut akan dikalahkan oleh pihak lawan yang dengan cerdik mampu memanfaatkan sekalian teknikalitas hukum. 331 Oleh karena itu, untuk memenangkan suatu perkara di depan pengadilan, tidak cukup hanya mengandalkan posisi keadilan, melainkan harus siap bertempur secara hukum. 332 Itu berarti, keadilan tidak secara otomatis akan keluar atau didapat begitu sengketa dimasukkan di pengadilan, melainkan harus diupayakan sedemikian rupa melalui perjuangan panjang dengan tenaga dan uang agar pihak berperkara tidak menjadi korban ketidakadilan. Bahwa keadilan sebagai sebuah konsep belumlah lengkap apabila tugas dan
sadar untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya. Lihat Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 1986, h. 178-179. 330 Satjipto Rahardjo, Loc. Cit., h. 217-218. 331 Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma...Op. Cit., h. 121. 332 Lihat Satjipto Rahardjo, Dengan Determinasi; dalam Kompas, 17 Oktober 1998. 186 kewajiban, baik moral maupun legal konstitusional tidak terliput secara integral. Hal itu penting untuk ditekankan karena stabilitas suatu masyarakat yang ditata dengan baik terletak pada pengakuan dan kepastian pelaksanaan hak dan kewajiban segenap warga secara seimbang. Menurut Rawls, 333 ada dua kewajiban natural yang sangat penting: (1) kewajiban untuk mendukung dan mengembangkan institusi-institusi yang adil; dan (2) kewajiban natural untuk saling menghargai. Keadilan merupakan sebuah nilai primer bagi manusia, maka kewajiban untuk selalu bersikap adil pada pokoknya menuntut bahwa keadilan harus ditegakkan dengan menggunakan cara-cara yang adil pula. Hal penting yang harus diperhatikan dalam kaitan tersebut adalah peringatan Rawls untuk menghindarkan praktik-praktik yang tidak adil, sekalipun dilakukan atas nama keadilan. Tegasnya, keadilan tidak boleh ditegakkan dengan cara-cara yang tidak adil. Cara-cara yang tidak adil, meskipun
333 Lihat John Rawls, A Theory of...Op. Cit., h. 333-342. Sementara itu Andre Ata Ujan memberikan komentar antara lain: ...Ketika berbicara mengenai kewajiban moral, Rawls menggunakan istilah duty dan ketika berbicara mengenai kewajiban konstitusional, menggunakan istilah obligation. Rawls sendiri mengakui bahwa bisa saja ada hubungan antara kedua jenis kewajiban tersebut (kewajiban moral dan kewajiban legal atau konstitusional), namun keduanya tetap harus dibedakan. Hal itu mudah dimengerti karena sifat dasar keduanya memang berbeda, tidak hanya dari segi sumber, tetapi juga prinsip keberlakuannya berbeda. Keberlakuan kewajiban legal atau konstitusional dapat dipaksakan dari luar, sedangkan kewajiban moral tidak dapat diperlakukan seperti itu. Kewajiban moral menjadi kewajiban karena merupakan buah kesadaran dari person yang bersangkutan. Sedangkan kewajiban legal atau konstitusional berhubungan dengan kedudukan seseorang sebagai anggota masyarakat atau warga negara tertentu, dalam arti mengatur interaksi sosial di antara anggota masyarakat baik pada tingkat horizontal maupun vertikal. Lihat Andre Ata Ujan, Keadilan dan...Op. Cit., h. 165. 187 dilakukan atas nama keadilan, tetap saja bertentangan dengan esensi keadilan itu sendiri. Oleh karena itu, kewajiban untuk bersikap adil patut diterima sebagai sebuah tuntutan natural, meskipun tidak berarti adanya kesadaran akan kewajiban natural seperti itu kemudian pelaksanaan hak dan kewajiban akan dengan sendirinya berjalan mulus. Keadilan sebagai fairness tidak akan pernah menjadi kenyataan dalam kehidupan warga apabila tidak ada kesadaran luas akan pentingnya saling menghargai sebagai sebuah nilai moral di antara anggota masyarakat. Oleh sebab itu, sikap saling menghargai harus dapat dilihat juga sebagai suatu kewajiban natural yang pengungkapannya menjadi bukti nyata dari saling pengakuan di antara anggota masyarakat sebagai person moral. Rawls menegaskan bahwa setiap anggota masyarakat harus tunduk pada batasan- batasan institusional, tetapi tidak ada tuntutan moral yang dapat dengan begitu saja muncul dari fakta adanya lembaga-lembaga. Rawls menyadari dengan baik untuk tetap melihat perbedaan antara tuntutan-tuntutan moral di satu pihak dengan tuntutan-tuntutan legal institusional di lain pihak. Oleh karena itu, kendati memberi tekanan yang sangat kuat pada prinsip keadilan dan sikap saling menghargai sebagai prinsip-prinsip moral yang harus ditegakkan demi suatu kerjasama yang saling menguntungkan, namun Rawls tetap percaya bahwa himbauan moral saja tidak mencukupi. Masih dibutuhkan prinsip-prinsip legal institusional yang memang memiliki 188 kekuatan memaksa individu dari luar untuk bisa bersikap adil dan menghargai hak pihak lain. Untuk itu bisa dimengerti mengapa Rawls menyebut dukungan dan kepatuhan pada lembaga-lembaga yang adil sebagai suatu kewajiban natural manusia. 334 Sebagai contoh umpamanya, seorang hakim dapat saja menerapkan prinsip-prinsip keadilan dalam menginterpretasikan hukum, namun tetap harus disadari bahwa apa yang dilakukannya adalah untuk memenuhi tuntutan-tuntutan institusional legal. Yang dilakukan hakim di sini adalah menerapkan hukum, dan sejauh penerapan ini memenuhi prinsip-prinsip keadilan, hakim mempunyai kewajiban moral untuk tunduk pada hukum tersebut. Dalam kaitan ini Rawls menegaskan bahwa seseorang dapat saja baik secara hukum, tetapi belum tentu ia juga baik secara moral. Dari sudut hukum dapat dikatakan bahwa suatu hukum dapat saja berlaku dan pada kenyataannya dijadikan perangkat regulatif bagi warga masyarakat, tetapi hal itu tidaklah berarti bahwa hukum tersebut dengan sendirinya adil. Para peziarah keadilan sekarang harus menemukan kenyataan, bahwa jalan masuk ke rumah keadilan atau access to justice memang telah menjadi semakin sempit. Tidak hanya dalam arti spasial, tetapi juga ekonomis dan intelektual. 335 Sedangkan keadilan merupakan suatu nilai
334 Andre Ata Ujan, Keadilan dan ...Op. Cit., h. 101, 165. 335 Penggunaan sistem peradilan modern sering dianggap sebagai penyebabnya, karena sistem peradilan yang demikian sangat menekankan kepada format, formalitas, 189 yang teramat tinggi kedudukannya dalam masyarakat, oleh karena itu, perlu mendapat pelayanan yang sebaik-baiknya bagi mereka yang mencarinya. 336
Sepenuhnya disadari bahwa keadilan dan pemberian keadilan merupakan masalah yang kompleks dan rumit. Manajemen keadilan yang bijaksana tentu akan menanganinya sesuai dengan kompleksitas tersebut. Oleh sebab itu, model Khadi-justiz sebagaimana disebut oleh Weber adalah suatu istilah teknis yang menunjuk pada suatu bentuk administrasi keadilan yang tidak berorientasi pada peraturan-peraturan hukum formal rasional. Para hakim pada Khadi-justiz memutuskan atas dasar hukum yang substantif-rasional. 337
Namun demikian, administrasi keadilan Khadi-justiz pada dewasa ini telah digantikan oleh suatu lembaga yang diorganisasikan secara rasional. Wewenang, susunan, serta prosedur kerjanya telah ditetapkan secara jelas,
prosedur, dan spesialisasi. Arsitektur pengadilan yang demikian itu menjadikan pengadilan kaku dan lamban karena sarat dengan beban formalitas, prosedur, birokrasi, dan metodologi yang ketat. Orang tidak mempunyai pilihan lain, kecuali tahu hukum untuk dapat memasuki pintu keadilan tersebut. Bagi mereka yang tidak tahu hukum dapat memakai jasa advokat dengan membayar layanan profesi tersebut. Lihat Satjipto Rahardjo, Membangun Keadilan Alternatif; Kompas, Rabu, 5 April 1995. 336 Pada tahun 70-an (tujuh puluhan) dikenal ada gerakan yang bernama Access to Justice Movement (AJM), suatu gerakan yang bertujuan meringankan kerasnya sistem peradilan modern, sehingga pintu keadilan dapat dibuka lebih lebar dan lebih banyak pula orang yang dapat dilayani. Berkaitan dengan hal itu Weber juga menyinggung suatu persoalan yang cukup menarik dalam hubungannya dengan kecenderungan penegakan hukum yang semakin formal-rasional dan birokratis ini, yaitu bahwa perkembangan dari hukum modern juga menunjukkan tendensi yang anti-formalistis. Lihat, Satjipto Rahardjo, Membangun...;Ibid. Bdgk. Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan...Op. Cit., h. 46. 337 Model Khadi-justiz bentuknya informal sehingga dapat menampung proses yang luwes, bertolak dari konsep ekspertis, serta ditangani oleh orang-orang yang punya integrity. Di samping itu, hukum yang substantif-rasional itu terdiri atas postulat-postulat etika, agama, politik, serta sarana-sarana lain yang diterima dan dipakai dalam masyarakat. Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan... Op. Cit., h. 103-104. 190 tegas, dan terinci. Lembaga pengganti yang dimaksud adalah badan peradilan modern. Badan peradilan kini telah merupakan bagian dari suatu birokrasi nasional. Usaha untuk memperoleh keadilan sekarang ini menjadi semakin jauh dari masyarakat umum disebabkan karena persoalan yang bersifat teknis hukum, prosedur, dan sebagainya. Oleh karena itu, akibat berbelit dan berlikunya aturan formal yang harus dilalui di dalam badan peradilan, maka keadilan dan kebenaran yang dicari sering hilang ditelan liku-liku formalitas. Untuk menggambarkan betapa liku-liku formalitas berperkara di dalam ruang sidang pengadilan itu telah menyebabkan terjadi distorsi dalam lembaga peradilan, berikut ini dapat disimak ungkapan novelis Sidney Sheldon 338 antara lain: Forum persidangan tidak ubahnya seperti gelanggang aktor. Jaksa lebih cenderung melontarkan kalimat kebencian dan kejijikan yang hina kepada terdakwa daripada mencari kebenaran dan keadilan. Pembela lebih menutamakan kecerdikan bersilat lidah memutar balik kenyataan yang bersifat menjebak daripada membela dan mempertahankan kebenaran dan keadilan. Sedangkan hakim juga ikut-ikutan bermain aktor, sehingga lupa akan fungsi utamanya untuk mencari,
338 Nyatanya kata kemenangan dalam suatu perkara bukan hanya cermin dalam praktik dan budaya peradilan di Amerika. Di Indonesia juga kata kemenangan dalam berperkara telah membentuk opini dan budaya serta penghayatan kesadaran hukum masyarakat. Tidak hanya pada kalangan masyarakat bawah, melainkan juga di kalangan masyarakat elit. Yang dipertahankan dan diburu oleh masyarakat bukan lagi keadilan, melainkan kemenangan. Lihat M. Yahya Harahap, Dua Sisi Putusan Hakim Tidak Adil Bagi Yang Kalah dan Adil Bagi Yang Menang; dalam Varia Peradilan, Tahun VIII, Nomor 95, Agustus 1993, h. 102-111 [103]. 191 menemukan, dan menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice). Walhasil, kata keadilan sering hanya dihormati dalam pelanggarannya, sementara itu di dalam ruang sidang, baik jaksa penuntut umum maupun pembela tidak mencari keadilan; pokok permainannya adalah untuk menang. Bagi pihak yang menang perkara, merasa puas dan sangat setuju terhadap putusan yang dijatuhkan meskipun putusan mengandung ketidakadilan. Sebaliknya, bagi pihak yang kalah, putusan yang dijatuhkan tetap dituduh tidak benar meskipun putusan yang bersangkutan benar-benar adil. Seperti itulah kira-kira gambaran persepsi tentang keadilan menurut pihak-pihak yang bersengketa. Bahkan gambaran itu pula yang mencerminkan masyarakat pencari keadilan yang dihadapi oleh dunia peradilan di Indonesia. Setiap kemenangan identik dengan keadilan, sementara itu setiap kekalahan yang bagaimana pun adil dan manusiawi tetap saja dianggap zalim dan tidak adil. Meskipun demikian, merupakan tugas seorang hakim setelah memeriksa perkara sengketa selanjutnya harus menjatuhkan putusan yang mempunyai akibat hukum bagi pihak lain. Apa pun yang terjadi, hakim tidak dapat menolak menjatuhkan putusan apabila perkaranya telah diperiksa. Bahkan apabila suatu perkara telah diajukan kepadanya, meski belum
192 diperiksa, seorang hakim tidak wenang untuk menolak perkara tersebut. 339
Dari seorang hakim diharapkan sikap tidak memihak dalam menentukan siapa yang benar dan siapa yang tidak dalam suatu perkara dan mengakhiri sengketa atau perkara. Ketika hendak menjatuhkan putusan, seorang hakim selalu akan berusaha agar putusannya seberapa mungkin dapat diterima oleh masyarakat, setidak-tidaknya berusaha agar lingkungan orang yang akan dapat menerima putusan itu seluas mungkin. 340 Hakim akan merasa lebih lega apabila ia dapat memuaskan semua pihak dengan putusannya. Meskipun demikian hakim jarang sekali dapat memberi putusan yang saling memenangkan dan mengalahkan kedua belah pihak. Oleh karena sudah menjadi kelaziman dalam praktik hukum, hakim harus dan mesti menjatuhkan pilihan dalam bentuk memenangkan salah satu pihak dan dengan sendirinya pula akan mengalahkan pihak yang lain.
339 Periksa Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; L.N. Tahun 1999 Nomor 147. 340 Para pihak yang berperkara tentu saja yang terutama mendapat perhatian dari hakim, karena ia harus menyelesaikan atau memutuskannya. Hakim harus memberi tanggapan terhadap tuntutan para pihak. Ia akan berusaha agar putusannya itu tepat dan tuntas. Secara objektif putusan yang tepat dan tuntas berarti akan dapat diterima bukan hanya oleh penggugat melainkan juga oleh tergugat. Hakim akan lebih puas apabila putusannya memenuhi keinginan dan dapat diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara. Pada umumnya hal itu memang tidak mungkin terjadi, kecuali dalam hal putusan perdamaian, karena dalam putusan semacam itu tidak ada yang dimenangkan atau dikalahkan. Sedangkan pada putusan yang bersifat menghukum (condemnatoir) dimana ada pihak yang dikalahkan dan ada pihak yang dimenangkan, pada umumnya pihak yang dikalahkan akan merasa tidak puas dan menganggap putusan tersebut tidak adil atau tidak tepat. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara...Op. Cit., h. 168-169.
193 Idealnya setiap putusan hakim yang dijatuhkan merupakan putusan yang objektif dan berwibawa. Akan tetapi rasa keadilan pihak-pihak yang bersengketa selalu sebaliknya, yakni sangat subjektif. Oleh karena itu, dalam setiap sengketa yang diputuskan oleh hakim akan selalu dijumpai suatu keadaan dimana yang dikalahkan akan merasa tidak puas dan menganggap putusan tersebut tidak adil atau tidak tepat, dan sebaliknya, hanya pihak yang dimenangkan oleh hakim yang akan merasa putusan tersebut adil dan tepat.
194 BAB IV
PILIHAN FORUM ARBITRASE BUDAYA HUKUM DAN KEADILAN
A. Pilihan Forum Arbitrase dan Budaya Hukum di Indonesia
Seperti telah diutarakan di muka bahwa proses penyelesaian sengketa bisnis yang diupayakan pihak-pihak melalui forum lain di luar pengadilan, merupakan realita perubahan kecenderungan manusia dalam masyarakat yang harus diterima. Apabila selama ini mekanisme penyelesaian sengketa mengikuti pola yang terstruktur melalui pengadilan negeri, maka pilihan forum lebih mengedepankan kebebasan para pihak dalam menetapkan bentuk lain dari proses yang serupa, namun melalui mekanisme yang lebih sederhana dan diharapkan di dalam mekanisme tersebut tidak terjadi distorsi pada penegakan hukum sehingga hasilnya dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Penggunaan sistem peradilan modern sebagai sarana pendistribusi keadilan terbukti menjumpai sangat banyak hambatan. Adapun yang menjadi faktor penyebab adalah karena peradilan modern sarat dengan beban formalitas, prosedur, birokrasi, serta metodologi yang ketat. Oleh karena itu, keadilan yang didistribusikan melalui lembaga peradilan diberikan melalui keputusan birokrasi bagi kepentingan umum karenanya 195 cenderung berupa keadilan yang rasional. Oleh sebab itu, keadilan yang diperoleh masyarakat modern tidak lain adalah keadilan birokratis. 341
Penyelesaian sengketa menggunakan pengadilan telah terbukti banyak menimbulkan ketidakpuasan pada pihak-pihak yang bersengketa maupun masyarakat luas. Ketidakpuasan masyarakat dilontarkan dalam bentuk pandangan sinis, mencemooh, dan menghujat terhadap kinerja pengadilan karena dianggap tidak memanusiakan pihak-pihak yang bersengketa, menjauhkan pihak-pihak bersengketa dari keadilan, tempat terjadinya perdagangan putusan hakim, dan lain-lain hujatan yang ditujukan kepada lembaga peradilan. Kalangan masyarakat bisnis yang memerlukan kepastian hukum serta keamanan di dalam investasi maupun aktivitas perdagangannya tatkala terjadi sengketa menyangkut bisnis mereka, sangat kuatir terhadap kondisi badan peradilan yang dianggap telah carut marut semacam itu. Dilatarbelakangi oleh kondisi semacam itulah, muncul keinginan dari
341 Keadilan birokratis adalah keadilan yang diperoleh melalui keputusan birokrasi yang dirancang untuk melayani kepentingan umum dan didasarkan pada perangkat- perangkat peraturan yang rasional dan pasti. Sedangkan hukum itu sendiri tidak lain hanyalah berisi janji. Janji-janji kepada masyarakat yang diwujudkan melalui keputusan birokrasi. Sementara ide dasar hukum dan ketertiban adalah janji-janji untuk memberikan keadilan, yakni janji untuk memperbaiki mekanisme perubahan melalui hukum - terhadap alokasi ganjaran, struktur-struktur kesempatan, dan jalan masuk pada cara-cara kehidupan kita secara adil. Ini berarti bahwa lembaga peradilan mempunyai kewajiban untuk memberikan dan menjaga terwujudnya janji-janji hukum dan keadilan melalui keputusan-keputusan yang meliputi segala aspek kehidupan. Lihat I.S. Susanto, Lembaga Peradilan dan Demokrasi; Makalah pada Seminar Nasional tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 12-13 Nopember 1996, h. 3. 196 komunitas bisnis khususnya, untuk kemudian berpaling dan memilih model lain dalam penyelesaian sengketa. Meskipun bentuk penyelesaian yang dipilih itu tergolong masih serumpun dengan mekanisme pada badan peradilan, namun forum lain yang dipilih itu dianggap dapat memberikan alternatif serta ruang kebebasan kepada pihak-pihak dalam menentukan penyelesaian sengketa bisnis mereka. Pada gilirannya model yang dipilih tersebut diharapkan lebih memberikan peluang untuk mendapatkan rasa keadilan yang lebih manusiawi dan bermartabat. Mengkritisi keadaan badan peradilan di Indonesia yang sudah seperti itu, Satjipto Rahardjo 342 berpendapat, untuk menyebarkan fora pemberian keadilan tidak semestinya terkonsentrasi pada satu lembaga yang bernama pengadilan. Marc Galanter memberikan tamsil yang sangat bagus, yaitu hendaknya ada justice in many rooms. 343 Gagasan Alternative Dispute Resolution (ADR) sudah tersimpan lama sejak gelombang gerakan Access to Justice Movement (AJM), terutama gelombang ketiga yang menghendaki adanya jalur alternatif di luar pengadilan negara. 344 Masalahnya karena
342 Satjipto Rahardjo, Membangun Keadilan Alternatif... Kompsa Op. Cit., 343 Lihat, Marc Galanter, Keadilan di Berbagai Ruangan: Lembaga Peradilan, Penataan Masyarakat serta Hukum Rakyat: dalam T.O. Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebuah...Op. Cit., h. 94-138. 344 Kita harus mengkaji lembaga paradilan dalam konteks saingan-saingannya dan para mitranya. Untuk dapat melakukan hal itu, maka harus mengesampingkan perspektif sentralisme hukum yang telah biasa kita terapkan, yaitu sebuah gambaran dimana alat-alat perlengkapan negara (dan ajaran-ajaran mereka) menempati titik sentral dari kehidupan hukum dan memiliki kedudukan pengawasan yang hierarkis terhadap penata 197 masyarakat dapat mengalami keadilan atau ketidakadilan bukan saja melalui forum-forum yang disponsori oleh negara, akan tetapi dapat juga melalui lokasi-lokasi kegiatan primer. Lokasi kegiatan primer tersebut dapat berwujud pranata seperti rumah, lingkungan ketetanggaan, tempat bekerja, kesepakatan bisnis, dan sebagainya (termasuk aneka latar penyelesaian khusus yang berakar di lokasi-lokasi tersebut). Keberadaan lembaga peradilan sebagai salah satu pendistribusi keadilan tidak dapat dilepaskan dari penerimaan dan penggunaan hukum modern di Indonesia. Hukum modern di Indonesia diterima dan dijalankan sebagai suatu institusi baru yang didatangkan atau dipaksakan (imposed) dari luar. 345 Padahal secara jujur, dilihat dari optik sosio kultural, hukum modern yang kita pakai tetap merupakan semacam benda asing dalam tubuh kita. Oleh sebab itu, untuk menanggulangi kesulitan yang dialami bangsa Indonesia disebabkan menggunakan hukum modern, adalah menjadikan hukum modern sebagai kaidah positif menjadi kaidah
norma lain yang lebih rendah kedudukannya, seperti misalnya keluarga, korporasi, jaringan bisnis. Kebiasaan bahwa semua fenomena hukum senantiasa dikaitkan dengan negara oleh Griffiths dianggap sebenarnya tidak mutlak ...secara empiris tidak beralasan bahwa negara mempunyai tuntutan yang lebih dari bagian-bagian lain dari sistem untuk menjadi pusat dari seluruh fenomena hukum. Lihat, Marc Galanter, Keadilan di Berbagai Ruangan: Lembaga Peradilan..; Antropologi...Loc. Cit., Bdgk. Satjipto Rahardjo, Membangun Keadilan Alternatif;...Kompas...Loc. Cit., 345 Keadaan atau perkembangan seperti itu tidak hanya dialami oleh bangsa Indonesia, melainkan umumnya negara-negara di luar Eropa dan khususnya di Asia Timur, yang di dalam itu Indonesia termasuk. Keadaan seperti itu terjadi pula di Cina, Korea, Jepang, dan lain-lain. Lihat, Satjipto Rahardjo, Supremasi Hukum dalam Negara Demokrasi dari Kajian Sosio Kultural; dalam Makalah Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Kamis, 27 Juli 2000, h. 5-6. 198 kultural. 346 Persoalannya, karena sistem hukum 347 modern yang liberal itu tidak dirancang untuk memikirkan dan memberikan keadilan yang luas kepada masyarakat, melainkan untuk melindungi kemerdekaan individu. 348
Di samping itu juga, akibat sistem hukum liberal tidak dirancang untuk memberikan keadilan substantif, maka seorang dengan kelebihan materiel akan memperoleh keadilan yang lebih daripada yang tidak. 349
346 Jepang merupakan kasus studi yang sangat menarik karena kemampuannya untuk menggunakan dan menyerap hukum modern dan pada waktu yang sama menjaga kelangsungan tatanan sendiri. Masalahnya, bagaimana pun, hukum modern dan Rule of Law (ROL) mengandung muatan kultural Barat yang sangat kuat. Oleh karena itu, untuk menjadikan hukum modern suatu kaidah kultural bagi bangsa kita, diperlukan usaha terus menerus berupa suatu internal cultural discourse and cross-cultural dialogue. Satjipto Rahardjo, Loc. Cit., 347 Berbicara mengenai sistem hukum, Adi Sulistiyono menguraikan bahwa, yang tertangkap dalam pikiran masyarakat adalah hukum positif yang berlaku di suatu negara, atau para legislator yang membuat undang-undang, atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para pejabat hukum. Padahal sistem hukum tidak hanya berisi materi hukum, tetapi masih ada unsur lain yang selama ini kurang disadari oleh masyarakat. Lihat, Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma,...Op. Cit., h. 46. 348 Pikiran liberal ini berpusat pada kemerdekaan individu dengan menata suatu kehidupan dimana kemerdekaan individu tersebut dijamin keberadaan dan kelanjutan keberadaan tersebut. Nilai liberal, kemerdekaan individu, menjadi paradigma dalam sistem hukum. Hal tersebut memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada kita. Pelajaran itu adalah, bahwa sistem hukum liberal terutama dirancang untuk memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan individu. Lihat, Satjipto Rahardjo, Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era Reformasi; dalam Makalah Seminar Nasional Menggugat Pemikiran Hukum Positivistik di Era Reformasi, PDIH-Undip- Angkatan V, Semarang, Sabtu, 22 Juli 2000, h. 6-7. 349 Satjipto Rahardjo, Ibid., h. 8. Sistem yang lebih mengunggulkan kemerdekaan individu daripada mencari kebenaran dan keadilan memakan banyak korban di Amerika Serikat dan salah satu perkara yang disebut-sebut sebagai perkara abad ini adalah Perkara O.J. Simpson yang diputus not guilty. Lihat, Alan M. Derschowitz, Reasonable Doubts. New York: Simon & Schuster, 1996, h. 42. Bahkan di Indonesia, fenomena orang yang memiliki banyak uang dapat membeli kemenangan di pengadilan telah menjadi rahasia bersama para pencari keadilan. Tawar menawar antara hakim pemutus dengan kuasa hukum pihak-pihak ketika putusan hendak dijatuhkan adalah cerita yang sangat memilukan sekaligus memalukan dalam proses penegakan keadilan. Oleh sebab itu, apa yang dipaparkan Galanter telah menjadi kenyataan di Indonesia. Lihat, Marc Galanter ,Why The Haves Come Out Ahead: Speculations on The Limits of Legal Change; Law and Society, Fall 1974, h. 95-151. 199 Apabila kita terus menerus berpegang kepada doktrin liberal tersebut, maka kita akan tetap berputar-putar dalam pusaran kesulitan untuk mendatangkan atau menciptakan keadilan dalam masyarakat. Dalam rangka melepaskan diri dari doktrin liberal itulah, maka gagasan orang-orang atau pihak-pihak untuk mencari dan menemukan keadilan melalui forum alternatif di luar lembaga pengadilan modern sesungguhnya merupakan upaya penolakan terhadap cara berpikir hukum yang tertutup. 350 Hal itu disebabkan para pencari keadilan masih sangat merasakan, betapa pun tidak sekuat seperti pada abad ke-sembilanbelas, filsafat liberal dalam hukum dewasa ini masih sangat besar memberi saham terhadap kesulitan menegakkan keadilan substansial (substantial justice). 351
Sebagaimana telah diutarakan di muka bahwa hukum modern di Indonesia diterima dan dijalankan sebagai suatu institusi baru yang
350 Praktik hukum kita sekarang pada dasarnya masih didasarkan pada positivisme abad ke-sembilanbelas, sedang filsafat yang ada di belakang adalah liberalisme atau pikiran hukum liberal. Filsafat hukum liberal bertumpu kepada perlindungan kebebasan dan kemerdekaan manusia. Sekalian konstruksi, asas, doktrin, disiapkan untuk menjaga, mengamankan dan melestarikan paradigma nilai tersebut. Persamaan di hadapan hukum menjadi pilar utama. Dalam perumusan secara positif maka tidak boleh ada peraturan yang memuat diskriminasi. Hanya sampai disitulah liberalisme menghantarkan masyarakat memasuki dunia hukum. Proses-proses hukum selanjutnya harus patuh menjunjung persamaan dan non-diskriminasi. Ini menjadi tugas penting dari hukum, tetapi lebih dari itu juga merupakan tugas satu-satunya. Dengan demikian filsafat hukum liberal menganggap bahwa tugasnya sudah selesai apabila sudah berhasil untuk mempertahankan dan menjaga paradigma nilai liberal tersebut. Apabila keadilan menjadi taruhan dalam hukum, maka filsafat hukum liberal beranggapan, bahwa dengan cara demikian itu keadilan sudah diberikan. Lihat, Satjipto Rahardjo, Rekonstruksi... Op. Cit., h. 21-23. 351 Oleh karena itu, Soetandyo Wignjosoebroto antara lain menyatakan: transitional justice merupakan jalan tengah sebuah pendekatan win-win solution, sehingga 200 didatangkan atau dipaksakan (imposed) dari luar, yakni melalui kebijakan kolonial di Hindia-Belanda. 352 Padahal suatu peralihan dari status sebagai bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka sungguh merupakan suatu momentum yang cukup krusial. Dalam kehidupan hukum di masa Hindia- Belanda, bangsa Indonesia tidak mengambil tanggung jawab sepenuhnya dalam masalah penegakan, pembangunan, dan pemeliharaan hukumnya, melainkan hanya sekadar menjadi penonton dan objek kontrol oleh hukum. Sedangkan sejak hari kemerdekaannya, bangsa Indonesia terlibat secara penuh ke dalam sekalian aspek penyelenggaraan hukum, mulai dari pembuatan sampai kepada pelaksanaannya di lapangan. 353
Akibat berlangsungnya transplantasi sistem hukum 354 asing (Eropa) ke tengah tata hukum (legal order) masyarakat pribumi yang otohton
kompromi tidak bisa dihindarkan. Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, Keadilan Komutatif, win-win Solution, dalam Kompas 25 Nopember 2000. 352 Kebijakan itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan de bewuste rechtspolitiek. Kebijakan untuk membina tata hukum kolonial secara sadar ini berefek di satu pihak mengontrol kekuasaan dan kewenangan raja dan aparat eksekutif atas daerah jajahan, dan di lain pihak akan ikut mengupayakan diperolehnya perlindungan hukum yang lebih pasti bagi seluruh lapisan penduduk yang bermukim dan/atau berusaha di daerah jajahan. Kebijakan yang disebut de bewuste rechtspolitiek tersebut khususnya yang bertalian dengan langkah-langkah tindakan yang diambil para politisi eksponennya di bidang perundang-undangan, pemerintahan, dan pengadilan. Lihat, Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial...Op. Cit., h. 19-20. 353 Lihat, Satjipto Rahardjo, Pendayagunaan Sosiologi Hukum untuk Memahami Proses- proses Sosial dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi; Makalah Seminar Nasional Sosiologi Hukum dan Pembentukan Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia. Semarang, 12-13 Nopember 1996, h. 5-7. 354 Istilah transplantasi sistem hukum adalah sebutan yang digunakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto di dalam paparannya mengenai berlangsungnya proses introduksi dan proses perkembangan suatu sistem hukum asing ke/di dalam suatu tata kehidupan dan tata hukum masyarakat pribumi yang otohton. Lihat, Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial...Op. Cit., h. 1-7. 201 tersebut, maka ada konsekuensi yang mesti dipikul bangsa Indonesia ketika harus terlibat penuh dalam penyelenggaraan hukum. Konsekuensi tersebut berupa keniscayaan untuk membangun dan mengembangkan perilaku hukum (legal behavior) 355 baru dan budaya hukum untuk mendukung perubahan status dari jajahan ke kemerdekaan. Dalam kaitan itu, Satjipto Rahardjo 356 menyatakan, tidak mudah untuk mengubah perilaku hukum bangsa Indonesia yang pernah dijajah menjadi bangsa yang merdeka, karena waktu lima puluh tahun belum cukup untuk melakukan perubahan secara sempurna. Membicarakan mengenai perilaku hukum dan budaya hukum tentu tidak dapat menghidarkan diri dari pembicaraan tentang sistem hukum, karena perilaku dan budaya hukum keduanya merupakan unsur dari sistem hukum. Di samping kedua unsur tersebut, Kees Schuit 357 menguraikan unsur-unsur yang termasuk dalam suatu sistem hukum, yaitu: 1. Unsur idiil. Unsur ini terbentuk oleh sistem makna dari hukum, yang terdiri atas aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan asas-asas. Unsur inilah yang oleh para yuris disebut sistem hukum.
355 Perilaku hukum (legal behavior) adalah perilaku yang dipengaruhi oleh aturan, keputusan, perintah, atau undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat dengan wewenang hukum. Lihat, Lawrence M. Friedman, American Law...Op. Cit., h. 280. 356 Satjipto Rahardjo, Pendayagunaan Sosiologi Hukum...Op. Cit., h. 7. 357 Lihat, J.J. H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum; terjemahan Arief Sidharta. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999, h. 140. Sementara itu John Henry Merryman mengungkapkan pengertian A legal system, is an operating set of legal institution, 202 2. Unsur operasional. Unsur ini terdiri atas keseluruhan organisasi- organisasi dan lembaga-lembaga, yang didirikan dalam suatu sistem hukum. Yang termasuk ke dalamnya adalah juga para pengemban jabatan (ambtsdrager), yang berfungsi dalam kerangka suatu organisasi atau lembaga. 3. Unsur aktual. Unsur ini adalah keseluruhan putusan-putusan dan perbuatan-perbuatan konkret yang berkaitan dengan sistem makna dari hukum, baik dari para pengemban jabatan maupun dari para warga masyarakat, yang di dalamnya terdapat sistem hukum itu. Sementara itu L.M. Friedman 358 mengungkapkan tiga komponen dari sistem hukum. Ketiga komponen dimaksud adalah: (1) struktur, (2) substansi, dan (3) kultur atau budaya. Pertama, sistem hukum mempunyai struktur, 359 yaitu kerangka bentuk yang permanen dari sistem hukum yang menjaga proses tetap berada di dalam batas-batasnya. Struktur terdiri atas: jumlah serta ukuran pengadilan, jurisdiksinya (jenis perkara yang diperiksa serta hukum acara yang digunakan), termasuk di dalam struktur ini juga
procedures, and rules." Lihat, dalam The Civil Law Tradition. Stanford University Press, Stanford, California, 1969, h. 1. 358 Lawrence M. Friedman, The Legal System. New York: Russel Sage Foundation, 1975, h. 11-16. Bdgk. L.M. Friedman, American Law...Op. Cit., h. 6-11. 359 Is its skeletal framework; it is the permanent shape, the institutional body of the system, the tough, rigid bones that keep the process flowing within bounds.
203 mengenai penataan badan legislatif. Kedua, substansi, 360 yaitu aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Termasuk ke dalam pengertian substansi ini juga produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Ketiga, adalah kultur 361 atau budaya hukum, yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Budaya hukum ini pun dimaknai sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Selanjutnya Friedman 362 merumuskan budaya hukum sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang ada hubungan dengan hukum dan sistem hukum, berikut sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh baik positif maupun negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum. Demikian juga kesenangan atau ketidak senangan untuk berperkara adalah bagian dari budaya hukum. Oleh karena itu, apa yang disebut dengan budaya hukum itu tidak lain dari keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik
360 The substance is composed of substantive rules and rules about how institutions should behave. 361 Legal culture refers to public knowledge of and attitudes and behavior patterns toward the legal system. Do people feel and act as if courts are fair? When are they willing to use courts? What parts of the law do they consider legitimate? What do they know about the law in general? The term legal culture roughly describes attitudes about law, more or less analogous to the political culture. 362 Lihat, Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma...Op. Cit., h. 47-48. 204 masyarakat umum. Maka secara singkat dapat dikatakan bahwa yang disebut budaya hukum adalah keseluruhan sikap dari warga masyarakat dan sistem nilai yang ada dalam masyarakat yang akan menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Friedman 363 juga membedakan budaya hukum menjadi external and internal legal culture. Menurut Esmi Warassih 364 budaya hukum seorang hakim (internal legal culture) akan berbeda dengan budaya hukum masyarakat (external legal culture). Bahkan perbedaan pendidikan, jenis kelamin, suku, kebangsaan, pendapatan, dan lain-lain dapat merupakan faktor yang mempengaruhi budaya hukum seseorang. Budaya hukum merupakan kunci untuk memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam sistem hukum yang lain. Selanjutnya dikemukakan, penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan masyarakat merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah karena terjadi ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara lain dengan nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri. 365 Mengacu pada pendapat tersebut, tidak ada keraguan kalau penggunaan lembaga pengadilan sebagai tempat
363 The external legal culture is the legal culture of general population; the internal legal culture is the legal culture of those members of society who perform specialized legal task. L.M. Friedman, The Legal...Op. Cit., h. 223. 364 Lihat, Esmi Warassih, Pemberdayaan Masyarakat...Op. Cit., h. 11. 365 Esmi Warassih, Ibid., h. 12. 205 penyelesaian sengketa sesungguhnya tidak cocok dengan nilai-nilai yang hidup dan dihayati masyarakat pribumi Indonesia. Masalahnya, seperti telah diungkapkan di muka dilihat dari optik sosio kultural, hukum modern yang digunakan dewasa ini merupakan hasil transplantasi 366 sistem hukum asing (Eropa) ke tengah tata hukum (legal order) masyarakat pribumi Indonesia, sehingga sangat wajar apabila lembaga pengadilan yang merupakan bagian sekaligus penyangga dari sistem hukum modern itu meski telah dintroduksikan ke dalam sistem hukum Indonesia selama enam dekade 367
sejak tahun 1942, namun tetap saja merupakan semacam benda asing dalam tubuh kita. Bertolak dari serangkaian fakta di muka, tentu harus diakui sebab bagaimana pun seluruh alur perkembangan sistem hukum di Indonesia telah banyak terbangun dan terstruktur secara pasti berdasarkan konfigurasi asas- asas yang telah digariskan sejak lama sebelum kekuasaan kolonial tumbang.
366 Soetandyo Wignjosoebroto, Op. Cit., supra (catatan kaki no. 256). 367 Di zaman pendudukan Jepang sistem peradilan Indonesia mengalami perubahan yang revolusioner, yang pada pokoknya menuju kepada penyederhanaan dan peningkatan kecepatan jalannya peradilan sistem hakim tunggal dan penghapusan dualisme serta sifat koloialistis dari sistem peradilan pada waktu itu. Lihat Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan...Op. Cit., h. 25. Sementara itu Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan, ...Kontribusi paling penting yang diberikan oleh Jepang kepada sistem hukum Indonesia adalah dihapuskannya dualisme dalam tata peradilan. Kini hanya ada satu sistem peradilan saja untuk semua golongan penduduk (kecuali untuk orang-orang Jepang). Badan pengadilan tertinggi adalah Hooggerechtshof yang kini (maksudnya pada masa pendudukan Jepang: pen.) disebut Saikoo Hooin, dan kemudian berturut- turut adalah Raad van Justitie (Kootoo Hooin), Landraad (Tihoo Hooin), Landgerecht (Keizai Hooin), Regentschapsgerecht (Ken Hooin), dan Districtsgerecht (Gun Hooin). Residentiegerecht, yang pada masa kekuasaan Hindia Belanda mempunyai yurisdiksi 206 Sementara itu budaya hukum para yuris yang mendukung beban kewajiban membangun hukum nasional amat sulit untuk menemukan pemikiran- pemikiran yang lateral dan menerobos. 368 Selanjutnya Soetandyo Wignjosoebroto 369 menyatakan: Berguru kepada guru-guru Belanda dalam situasi kolonial, pemikiran para yuris nasional ini pun mau tak mau telah diprakondisi oleh dotrin-doktrin yang telah ada. Para perencana dan para pembina hukum nasional juga sekalipun mereka itu mengaku bersitegak sebagai eksponen hukum adat dan hukum Islam adalah sesungguhnya pakar-pakar yang terlanjur terdidik dalam tradisi hukum Belanda, dan sedikit banyak akan ikut dicondongkan untuk berpikir dan bertindak menurut alur-alur-alur tradisi ini, dan bergerak dengan modal sistem hukum positif peninggalan hukum Hindia Belanda (yang tetap dinyatakan berlaku berdasarkan berbagai aturan peralihan). Padahal hukum yang dibutuhkan oleh dan untuk negeri berkembang yang tengah berubah lewat upaya-upaya pembangunan seperti Indonesia ini adalah hukum yang dapat berfungsi sebagai pembaharu, dan bukan sekadar sebagai pengakomodasi perubahan seperti yang diimplisitkan dalam ajaran
khusus untuk mengadili perkara orang-orang Eropa saja, kemudian dihapuskan. Lihat, Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial...Op. Cit., h. 184. 368 Soetandyo Wignjosoebroto, Ibid., h. 188. 369 Soetandyo Wignjosoebroto, Loc. Cit.,
207 the sociological jurisprudence Roscoe Pound. 370 Ditengarai oleh Robert Seidman bahwa pengalaman hukum yang melahirkan institusi-institusi hukum modern itu sesungguhnya cultural bound dalam konteks tradisi hukum Barat. Hukum yang dibingkai oleh tradisi dan konfigurasi kultural Barat ini nyata-nyata tidak mudah untuk dengan begitu saja dipakai untuk mengatasi permasalahan hukum dan permasalahan pembangunan pada umumnya di negeri-negeri berkembang non-Barat 371 yang memiliki aset- aset sosio-kultural yang berbeda. Inilah kenyataan yang ditengarai oleh Robert B. Seidman sebagai the Law of the Nontransferability of law. 372
370 Ajaran hukum Roscoe Pound tidak hanya mengukuhkan eksistensi the common law system, dan kemudian juga tetap memperkuat pengakuan akan peran dan otonomi profesi hukum (yang mengkonsentrasikan aktivitasnya, di dalam fungsi peradilan yang terlindung dari berbagai kemungkinan intervensi politik). Akan tetapi juga mencabar dan mempertanyakan kemampuan ajaran the analytical jurisprudence atau die Reine Rechtslehre (yang kedua-duanya mendasari civil law system yang dianut di negeri- negeri Eropa Kontinental dan negeri-negeri bekas jajahannya) untuk secara progresif juga memutakhirkan hukum dan fungsinya di tengah-tengah perubahan kehidupan yang terjadi. Lihat, Soetandyo Wignyosoebroto, Sebuah Pengantar ke Arah Perbincangan tentang Pembinaan Penelitian Hukum dalam PJP II; Makalah disampaikan pada Seminar Akbar 50 Tahun Pembinaan Hukum Sebagai Modal Bagi Pembangunan Hukum Nasional Dalam PJP II, BPHN, Jakarta, 10-21 Juli 1995; dimuat dalam Majalah Hukum Trisaksi Edisi Khusus, TT, h. 37-44 [39]. 371 Benturan antara sistem hukum modern dengan nilai-nilai budaya masyarakat semacam ini tidak hanya dialami dan terjadi di Indonesia, melainkan juga dialami oleh India dan juga Jepang. Lihat Marc Galanter, Hukum Hindu dan Perkembangan Sistem Hukum India Modern; dalam AAG Peters & Koesriani Siswosoebroto (eds), Hukum dan Perkembangan Sosial Buku II...Op. Cit., h. 146-191. Untuk kasus Jepang dapat diketahui dari paparan yang dilakukan oleh Dan Fenno Henderson. Lihat dalam Dan Fenno Henderson. Modernisasi Hukum dan Politik di Jepang; dalam AAG Peters & Koesriani Siswosoebroto (eds), Hukum dan Perkembangan Sosial Buku II... Loc. Cit., h. 25-94. 372 Pada dasarnya memang tidak mudah untuk mentransfer begitu saja suatu sistem hukum tertentu, dalam hal ini sistem hukum modern, kepada masyarakat lain yang mempunyai latar belakang budaya yang berlainan. Dalam kaitan ini Robert B. Seidman mengemukakan: ...a rule transferred from one culture to another simply cannot be 208 Melengkapi uraian di muka, Esmi Warassih juga mengemukakan, Secara umum dapat dikatakan bahwa lapisan pengambil keputusan umumnya menjatuhkan pilihannya kepada sistem hukum yang modern rasional, sementara hal tersebut tidak selalu sejalan dengan kesiapan masyarakat di dalam menerima sistem tersebut. Oleh karena itu, dapat dipahami jika penggunaan hukum modern beserta segenap institusi-institusi hukumnya kemudian menimbulkan persoalan yang cukup krusial di dalam masyarakat. Apalagi ketika lembaga pengadilan sebagai pranata dan penyangga sistem hukum modern terbukti tidak mampu menjawab tantangan perubahan yang tengah berlangsung di negara ini terutama dalam tugasnya menegakkan dan mendistribusikan keadilan kepada masyarakat. Pengalaman sesudah kemerdekaan, para pengusaha merasakan betapa pengadilan tidak bersimpati terhadap masalah dan kebutuhan para pengusaha. Menurut Daniel S. Lev 373 perubahan sosial dan ekonomi yang cukup luas juga menyebabkan perubahan dalam budaya hukum masyarakat. Prosedur peradilan menjerakan para pengusaha untuk menggunakan pengadilan. Berkaitan dengan hal itu, dikutipnya secara lengkap komentar seorang advokat yang termasuk angkatan tua dari Bandung, yang
expected to induce the same sort of role-performance as it did in the place of ...origin. Lihat, L.M. Friedman, The Legal System...Op. Cit., h. 195. 373 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik...Op. Cit., h.165.
209 mengatakan: ...Para hakim dewasa ini kurang memahami hukum dan kurang menaruh perhatian. Saya menulis alasan-alasan yang lengkap untuk perkara-perkara saya, tetapi para hakim muda sering marah karena alasan tersebut terlalu panjang untuk dibaca. ...Maka terlepas dari tidak adanya rasa senang saya di pengadilan, tidak ada pentingnya bagi perusahaan yang saya wakili untuk mengajukan perkaranya ke pengadilan kecuali kalau hal itu mutlak perlu. Dan tidak hanya pengadilan yang sulit, tetapi keseluruhan prosesnya pun berliku-liku. Kita harus memberi uang tidak resmi kepada panitera untuk memperoleh dokumen eksekusi bila putusan pada akhirnya sudah dijatuhkan. Terlalu banyak saluran yang harus dilalui agar segala sesuatunya dikerjakan, dan kesemuanya itu perlu biaya. Dalam semua kontrak yang saya tulis untuk perusahaan klien saya, saya masukkan klausula arbitrase sehingga terhindar dari urusan dengan pengadilan. Komentar di atas betapa pun menjukkan bahwa penghindaran penyelesaian peselisihan melalui pengadilan di kalangan pelaku bisnis tampaknya mempunyai sumber dukungan lain di samping kecenderungan budaya. Arbitrase menjadi forum alternatif yang menjadi pilihan dan tumpuan yang dipercaya oleh para pelaku bisnis untuk menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan, karena para pelaku bisnis terutama yang berasal dari negara-negara maju meyakini bahwa arbitrase mempunyai 210 karakteristik yang sesuai dengan budaya bisnis. Seperti dikemukakan oleh Robert Coulson: 374
Business executives are losing patience with judicial solutions that take years to achive results and that leave both parties exhausted by delays and legal expenses. Many people like what alternative dispute resolution can offer. They are finding that commercial arbitration and mediation are sensible ways to resolve business dispute.
Pada dasarnya tidak ada pelaku bisnis yang hendak kehilangan peluang berbisnis hanya karena menghadapi penyelesaian sengketa dengan mitranya yang berlarut-larut di pengadilan. Oleh karena itu, walaupun arbitrase sesungguhnya merupakan institusi penyelesaian sengketa yang menggunakan pendekatan pertentangan (adversarial) dengan hasil win-lose seperti juga pengadilan, 375 akan tetapi arbitrase tetap dianggap berbeda dengan pengadilan. Yang dianggap sebagai perbedaan cukup penting oleh para pelaku bisnis antara arbitrase dengan pengadilan adalah, dalam arbitrase mereka mempunyai kedaulatan untuk menetapkan arbiter yang terdiri atas pakar-pakar yang ahli di bidangnya untuk memeriksa dan
374 Robert Coulson, Business Arbitration...Op. Cit., h. 32. 375 Di dalam literatur, arbitrase dikenal dengan sebutan particuliere rechtspraak; Lihat, A.J. van den Berg et al., Arbitrage recht...Op. Cit., h. 7. Arbitrase adalah suatu bentuk peradilan, yaitu peradilan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak dibebani kewajiban untuk melakukan peradilan oleh undang-undang. Alasan bahwa arbitrase adalah suatu bentuk peradilan karena arbitrase memenuhi ciri-ciri pengadilan sebagaimana dikemukakan oleh F.F. van der Haijden. Dalam tesisnya van der Haijden mengemukakan bahwa peradilan memiliki 4 (empat) ciri, yaitu: (1) there should be a settlement of a conflict; (2) the conflict must be decided on the basis of law; (3) it should be decided by a third party; (4) and the parties to the conflict should be bound by the decision. Lihat, Setiawan, Aneka Masalah Hukum...Op. Cit., h. 4. 211 memutus sengketa mereka. Sedangkan kedaulatan para pihak semacam itu sama sekali tidak mungkin diekspresikan di depan badan peradilan umum. Namun demikian perkembangan dan penggunaan arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan di Indonesia masih terhambat oleh sejumlah faktor. Faktor-faktor penghambat tersebut diungkapkan Adi Sulistiyono, 376 sebagai berikut: (1) ketentuan hukum yang mengatur masalah arbitrase 377 di Indonesia belum banyak diketahui dan dipahami oleh pelaku bisnis; (2) belum ada budaya arbitration minded di kalangan pengusaha Indonesia; (3) banyak di antara mereka yang belum berani membawa sengketa yang dialaminya keluar dari jalur ajudikasi publik (baca: peradilan). Hal itu disebabkan selama ini mereka belum mengetahui keberhasilan arbitrase atau BANI dalam menangani sengketa bisnis; (4) profesionalitas dan kredibilitas arbiter, baik itu selaku pribadi maupun dalam menyelesaikan sengketa di Indonesia belum banyak diketahui oleh para pelaku bisnis; (5) belum banyak konsultan hukum Indonesia yang mau memperkenalkan/mengarahkan kliennya untuk bersengketa melalui arbitrase; (6) tidak mudah membawa dan menyadarkan
376 Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma...Op. Cit., h. 90. 377 Sebagai perangkat normatif untuk memberikan rujukan dalam hal pihak-pihak menghendaki untuk melakukan pilihan forum di luar pengadilan untuk menyelesaikan sengketa, sejak tahun 1999 Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Agustus 1999, LN RI Tahun 1999 Nomor 138.
212 pihak-pihak yang bersengketa agar menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dengan itikad baik. Seringkali pihak-pihak telah sepakat membawa sengketanya ke arbitrase, namun setelah sengketa tersebut diputuskan oleh arbiter, pihak yang merasa kalah tidak mau secara sukarela melaksanakan putusan tersebut; dan (7) hakim-hakim kurang memahami tentang masalah arbitrase, sehingga seringkali suatu sengketa yang berdasarkan klausula arbitrase seharusnya diselesaikan melalui arbitrase, namun pengadilan negeri tetap saja menangani sengketa tersebut. Menyimak tujuh faktor yang disinyalir sebagai penghambat perkembangan arbitrase di Indonesia, maka bagaimana pun juga arbitrase hanya bisa tumbuh dan berkembang apabila didukung oleh kalangan para usahawan itu sendiri. Pembuat Undang-undang telah cukup mengakomodasi perangkat normanya. Pada akhirnya pilihan forum ke arah arbitrase hanya akan bermanfaat dan memberi keuntungan dibandingkan dengan berperkara di pengadilan, seandainya sejak semula sudah dapat ditentukan bahwa pihak yang akan dikalahkan akan dengan sukarela menaati dan melaksanakan putusan arbitrase tersebut.
B. Faktor Internal Pengadilan Negeri dan Pilihan Forum Arbitrase
Pengadilan di sini bukan diartikan semata-mata sebagai badan untuk mengadili, melainkan sebagai pengertian yang abstrak, yaitu hal 213 memberikan keadilan. Hal memberikan keadilan berarti yang bertalian dengan tugas badan pengadilan atau hakim dalam memberi keadilan, yaitu memberikan kepada yang bersangkutan konkritnya kepada yang mohon keadilan apa yang menjadi haknya atau apa hukumnya. 378 Eksistensi pengadilan sebagai lembaga yang berfungsi menyelenggarakan proses peradilan dalam menerima, memeriksa, dan mengadili sengketa masyarakat, tugas-tuganya diwakili oleh hakim. Oleh karena itu, kepercayaan masyarakat terhadap hukum serta institusi peradilan di negara ini ditentukan oleh kredibilitas dan profesionalitas hakim dalam menjalankan tugasnya menyelesaikan sengketa serta menegakkan keadilan. 379
Jadi, para hakim dituntut untuk secara total melibatkan dirinya pada saat membuat putusan, bukan hanya mengandalkan kemahirannya mengenai perundang-undangan. Menurut Roeslan Saleh, 380 seorang hakim diharapkan senantiasa menempatkan dirinya dalam hukum, sehingga hukum baginya merupakan hakekat dari hidupnya. Hakim tidak boleh menganggap hukum sebagai suatu rangkaian dari larangan dan perintah yang akan mengurangi
378 Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan...Op. Cit., h. 2. 379 Kita sebaiknya menjadi lebih mengerti, bahwa teriakan supremasi hukum (the cry for supremacy of law) itu adalah seruan ke arah pengadilan atau hukum yang berkeadilan. Oleh karena itu, sekarang kita tahu, bahwa apabila kita bicara tentang supremasi hukum, maka yang ada dalam pikiran kita adalah keunggulan dari keadilan dan kejujuran. Bukan undang-undang yang kita pikirkan tetapi keadilan itulah. Lihat, Satjipto Rahardjo, Tidak Menjadi Tawanan Undang-undang; Kompas, Rabu, 24 Mei 2000. 380 Roeslan Saleh, Mengadili Sebagai Pergulatan Kemanusiaan. Jakarta: Aksara Baru, 1979, h. 29. 214 kemerdekaannya, melainkan sebaliknya hukum harus menjadi sesuatu yang mengisi kemerdekaannya. Oleh karena hukum itu bukan semata-mata peraturan atau undang-undang, tetapi lebih daripada itu: perilaku. Undang- undang memang penting dalam negara hukum, akan tetapi bukan segalanya dan proses memberi keadilan kepada masyarakat tidak begitu saja berakhir melalui kelahiran pasal-pasal undang-undang. 381
Seperti telah diutarakan di muka, bahwa dalam sistem hukum di mana pun di dunia, keadilan selalu menjadi objek perburuan melalui lembaga pengadilannya. Namun demikian kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modern disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan timbul pertanyaan apakah pengadilan itu tempat mencari keadilan atau kemenangan? 382 Keadilan memang barang yang abstrak dan karena itu perburuan terhadap keadilan merupakan usaha yang berat dan melelahkan. Sementara itu, pengadilan sebagai institusi pendistribusi keadilan telah menjadi institusi modern yang dirancang secara spesifik bersamaan dengan munculnya negara modern sekitar abad ke delapan belas. Oleh karena itu, pekerjaan mengadili tidak lagi hanya bersifat
381 Undang-undang tidak berisi petunjuk absolut yang tinggal dioperasikan oleh manusia, melainkan ia memuat semacam ruang kebebasan yang tidak kecil. Apabila ruang kebebasan itu tidak ada, maka tentu tidak akan berbicara mengenai perilaku. Melalui perilaku inilah pengoperasian undang-undang tidak dijadikan medan dimana manusia menjadi tawanan undang-undang. Lihat, Satjipto Rahardjo, Tidak Menjadi Tawanan Undang-undang; Kompas, Kamis, 25 Mei 2000. 382 Satjipto Rahardjo, Indonesia Butuh Keadilan yang Progresif; Kompas., Sabtu, 12 Oktober 2002...Op. Cit. 215 mengadili secara substansial - seperti pada masa lampau ketika Khadi Justice, yaitu suatu peradilan yang tidak berorientasi kepada fixed rules of formally rational law, melainkan kepada hukum substantif yang bertolak dari postulat-postulat etika, religi, politik, dan lain-lain pertimbangan kemanfaatan. Setelah menjadi institusi modern, pengadilan merupakan penerapan dari prosedur yang ketat. 383
Berdasarkan optik sosiologi hukum yang lebih memperhatikan fungsi dari badan yang menjalankan fungsi mengadili, maka dalam rangka menemukan keadilan serta dimana keadilan diputuskan, faktor lembaga atau badan pemutus keadilan yang diakui menjadi tidak penting. Putusan tentang keadilan dapat dilakukan dimana saja dalam masyarakat, tidak perlu harus di pengadilan. 384 Oleh sebab itu, menegakkan dan menemukan keadilan tidak semata-mata harus dilakukan melalui struktur formal lembaga
383 Menurut Weber, sebelum hadir negara modern, rasionalisasi belum masuk ke dalam pengadilan, sehingga tidak ada perpecahan antara formal justice dengan substantial justice. Sementara itu pengadilan modern mempunyai arsitektur yang demikian formal- rasional sebagai bagian dari karakteristik hukum modern yang disebut tipe legal domination. Oleh karena itu, pengadilan muncul sebagai hasil rancangan artifisial yang rasional seperti yang kita kenal sekarang, sehingga berbicara tentang keadilan, dikenal terdapat dua macam, yaitu (i) keadilan substansial (substantial justice) dan (ii) keadilan formal (formal justice atau legal justice). Sedangkan pada masa lampau, pembedaan keadilan seperti itu tidak ada, oleh karena tidak ada peraturan yang kompleks yang mengatur bagaimana putusan pengadilan diberikan. Pada waktu itu mengadili adalah memberikan putusan secara substansial. Lihat, Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan, Metode, dan Pilihan Masalah. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002, h. 134 -136. 384 Bahkan Jerold S. Auerbach antara lain mengatakan: ...As dissatisfaction with legal institutions increased during the early decades of the twentieth century, there was renewed interest in alternatives to litigation, especially conciliation and arbitration. Both were touted as speedy, inexpensive procedures to dispense with lawyers and 216 pengadilan. Fungsi mengadili dapat dilakukan dan berlangsung di banyak lokasi, sehingga Marc Galanter 385 mengungkapkan dengan sebutan justice in many rooms. Atas dasar hal itu, maka memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis merupakan kecenderungan beralihnya minat masyarakat pencari keadilan dari menggunakan jalur litigasi pada pengadilan kepada jalur lain yang formatnya lebih tidak terstruktur secara formal. Namun demikian, bentuk yang disebut terakhir itu diyakini oleh para penggunanya akan mampu melahirkan keadilan substansial. Padahal selama beberapa dekade masyarakat di sejumlah negara, 386 termasuk di Indonesia memberikan kepercayaan kepada lembaga pengadilan untuk mengelola sengketa yang sedang dihadapi, dengan harapan akan memperoleh keadilan sebagaimana secara normatif dan eksplisit disebutkan dalam ketentuan perundang-undangan. 387 Akan tetapi faktanya lembaga pengadilan telah terbukti tidak mampu memenuhi harapan
reduce the acrimonius, costly delay that suffused litigation. Lihat Jerold S. Auerbach, Justice Without Law? New York: Oxford University Press, 1983, h. 96. 385 Marc Galanter, Justice in Many Rooms; dalam Maurio Cappelletti (ed), Access to Justice and The Welfare State. Italy: European University Institute, 1981, h. 147-182. 386 Kecuali pada masyarakat Jepang, penggunaan cara litigasi telah dicap sebagai salah secara moral, subversif, dan memberontak, karena proses litigasi menghasilkan disorganisasi dari kelompok-kelompok sosial yang tradisional. Dalam proses litigasi kedua belah pihak berusaha untuk membenarkan posisinya berdasarkan standar objektif, dan dibuatnya putusan pengadilan berdasarkan hal itu cenderung untuk mengubah kepentingan situasional ke dalam kepentingan yang diteguhkan dengan kuat dan berdiri sendiri. Lihat, Takeyoshi Kawashima, Penyelesaian Pertikaian di Jepang Kontemporer; dalam AAG Peters & Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan...Buku II...Op. Cit., h. 99. 387 Lihat Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 217 masyarakat pencari keadilan. Banyak faktor yang menyebabkan pengadilan menjadi seperti itu. 388
Adi Andojo Soetjipto, 389 (mantan Ketua Muda Mahkamah Agung) mengungkapkan sejumlah faktor-faktor yang menjadi indikasi betapa kondisi buruk lembaga peradilan di Indonesia diawali oleh terpuruknya moralitas para hakim. Berikut ini serangkaian indikasi dimaksud sebagaimana disarikan dari paparan Adi Andojo dalam tulisannya, antara lain: (i) untuk memperoleh jabatan hakim, seorang calon hakim telah menggunakan jalan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, maka bisa diduga bahwa orang itu kelak setelah menjadi hakim juga akan tidak punya pegangan etika. Kedaan itu akan merusak segala-galanya, baik penegakan hukumnya maupun keadilannya, bahkan sistem peradilannya akan runtuh; (ii) akibat hakim tidak lagi memegang etika, sehingga banyak hakim yang mencari rezeki dari perkara yang ditanganinya; (iii) hakim telah banyak yang lupa bahwa sesungguhnya mereka memiliki pegangan etika yang sangat mendasar sebab dia dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia dalam memberikan keadilan. Faktor ini barangkali merupakan faktor
388 Mardjono Reksodiputro, antara lain menyatakan bahwa ketidakpercayaan masyarakat kepada pengadilan adalah salah satu kendala besar dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum. Lihat Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Sebaiknya dari Pembenahan Peradilan. dalam Kompas, 1 Mei 1999. 389 H. Adi Andojo Soetjipto, Etika Profesi; dalam Varia Peradilan, Tahun VIII, Nomor 95, Agustus 1993, h. 134 141.
218 terpenting karena menyangkut ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Para hakim terikat oleh kewajiban moral kepada Tuhannya karena putusan yang dihasilkannya berjudul Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila hakim mempermainkan keadilan, berarti dia mempermainkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa serta merendahkan kepercayaan yang telah diberikan kepadanya oleh Tuhan, Negara, dan masyarakat. Mencoba bangun dari keterpurukan dalam menegakkan hukum dan keadilan, Satjipto Rahardjo, 390 mengajak untuk menggunakan kecerdasan spiritual. Oleh karena menjalankan hukum di Indonesia kini terancam kedangkalan berpikir. Hal itu disebabkan orang lebih banyak membaca huruf undang-undang daripada berusaha menjangkau makna dan nilai yang lebih dalam. Sudah semestinya hal-hal berikut ini menjadi pemandu aparatur yang terlibat dalam penegakan hukum terutama hakim sebagai ujung tombak pendistribusi keadilan kepada masyarakat. Pertama, berani mencari jalan baru (rule breaking) dan tidak membiarkan diri terkekang cara menjalankan hukum yang lama dan tradisional yang jelas-jelas lebih banyak melukai rasa keadilan; Kedua, kita semua dalam kapasitas masing- masing (sebagai hakim, jaksa, birokrat, advokat, pendidik, dan lain-lain)
390 Lihat, Satjipto Rahardjo, Menjalankan Hukum dengan Kecerdasan Spiritual; dalam Kompas, Senin, 30 Desember 2002. 219 didorong untuk selalu bertanya kepada nurani tentang makna hukum lebih dalam. Apa makna peraturan, prosedur, asas, doktrin, dan lainnya itu? Ketiga, hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan kepedulian dan semangat keterlibatan (compassion) kepada bangsa kita yang sedang menderita. Perasaan kepedulian dan semangat keterlibatan dalam proses penegakan hukum dan keadilan terutama harus dimiliki oleh seorang hakim, karena jabatan hakim menurut John P. Dawson 391 adalah jabatan terhormat, sehingga hakim merupakan anggota masyarakat setempat yang terkemuka dan terhormat. Melekat pada predikatnya sebagai insan yang terhormat, suatu keniscayaan bagi seorang hakim untuk memayungi dirinya dengan etika spiritual dan moral 392 dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil Tuhan di dunia dalam memberikan keadilan. Etika spiritual dan moral ini tercitrakan pada jiwa, semangat, dan nilai mission sacre kemanusiaan.
391 John P. Dawson, Peranan Hakim di Amerika Serikat; dalam Harold J. Berman, Ceramah-Ceramah Tentang Hukum Amerika Serikat. Terjemahan Gregory Churchill. Jakarta: PT Tatanusa, 1996, h. 22. 392 Perspektif etika spiritual dan moral dalam interaksi sosial kemanusiaan menjadi penting, ketika diniscayakan adanya upaya lain untuk merespon realitas dan dinamika kehidupan sosial kemanusiaan yang terus menerus mengalami erosi dan krisis yang berkepanjangan. ...Perspektif ini juga menjadi penting ketika dihadapkan kepada krisis sosial kemanusiaan yang makin serius dan mengemuka dalam berbagai krisis yang kompleks dan multidimensional. Segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan, baik sosial, politik, ekonomi, teknologi, kesehatan, maupun lingkungan hidup. Krisis-krisis tersebut merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual, yang terjadi di mana-mana secara global, dan belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah umat manusia. Lihat, Hj. Ummu Salamah Musaddad, Perspektif Etika 220 Suatu keterpanggilan dan pertanggungjawaban suci dari umat manusia dalam mengaktualisasikan sense of vision dan sense of mission kekhilafahan ilahiyah manusia, yang terindikasikan dalam kehidupan masyarakat yang demokratis (democratization), mampu menegakkan keadilan dan hukum (law enforcement), memiliki kebanggaan diri baik secara individual maupun kolektif (human dignity), toleran, sehingga dapat menerima dan memberi di dalam perbedaan budaya (multicultural), serta mendasarkan diri pada kehidupan beragama. 393
Bertolak dari paparan di muka, maka sulit untuk dibantah ketika hakim tidak lagi menggunakan etika spiritual dan moral sebagai sandaran vertikal sekaligus horizontal dalam pelaksanaan tugasnya, buktinya adalah krisis telah melanda lembaga pengadilan. Akibat dari krisis yang cukup serius yang dialami lembaga pengadilan, konsekuensi ikutan yang tidak kalah seriusnya adalah surutnya kepercayaan dan hilangnya kewibawaan pengadilan di mata masyarakat. Bahkan hasil pengumpulan informasi dari para informan penelitian diketahui bahwa para pengusaha, terutama pengusaha asing telah sedemikian merasa khawatir dan menganggap pengadilan di Indonesia sangat diragukan independensinya dalam memeriksa dan memutus suatu kasus. Mereka beranggapan peran
Spiritual dan Moral dalam Interaksi Sosial Kemanusiaan di Era Globalisasi; dalam Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar FISIP-Unpas, Bandung, 5 April 2003, h. 2-3. 393 Ibid., h. 4. 221 pengadilan di Indonesia tidak lagi sebagai tempat mencari keadilan, melainkan sebagai tempat untuk mencari kemenangan dengan segala cara, dan sebagai tempat jual beli putusan. 394
Keadaan semacam itu disikapi berbeda oleh para pengusaha nasional. Hasil interview dengan para informan diketahui bahwa para pengusaha nasional justru berpikir sebaliknya. Di mata pengusaha nasional beracara di depan pengadilan negeri justru dapat mencari dan menciptakan peluang-peluang untuk memenangkan perkara. Memanfaatkan kondisi seperti itu mereka justru menggunakan kelemahan moralitas petugas, termasuk para hakim yang mengangani sengketa mereka, untuk bermain agar hakim yang memeriksa sengketa tersebut memenangkan sengketa yang sedang diperiksa. Berkaitan dengan sikap pengusaha asing sebagaimana telah diutarakan di muka, para informan juga menjelaskan, sebenarnya sebelum pengusaha asing itu menjalin hubungan bisnis dengan mitranya di Indonesia, pada dasarnya mereka telah memiliki meski sedikit pengetahuan tentang kondisi hukum dan pengadilan di Indonesia. Berbekal pengetahuan mengenai hukum dan lembaga pengadilan di Indonesia yang sedikit itulah
394 Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma...Op. Cit., h. 116.
222 deal bisnis terjadi antar pengusaha asing dan pengusaha nasional. Ketika kontrak bisnis disepakati, giliran menyepakati klausula penyelesaian sengketa seringkali pengusaha asing yang justru memulai mendesakkan keinginan kepada mitranya dari Indonesia agar tidak memilih pengadilan negeri sebagai forum tempat penyelesaian sengketa bisnis mereka seandainya terjadi di kemudian hari. Namun demikian, umumnya mereka tidak mengemukakan alasan yang jelas perihal keinginannya tersebut, sehingga diduga mereka sesungguhnya tidak mengetahui secara pasti apa yang harus dijadikan alasan. Tampaknya hal itu terjadi semata-mata karena pemahaman yang bersifat umum saja terhadap kondisi hukum dan peradilan di Indonesia, kemudian para pengusaha asing itu kurang setuju dan selalu merasa khawatir jika persoalan hukumnya yang timbul dari kontrak bersangkutan akan diputus oleh hakim di Indonesia. Dalam kondisi yang demikian, kemudian mereka lebih menyukai untuk memilih mekanisme penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase di luar negeri daripada harus beracara melalui pengadilan di Indonesia. Lain lagi yang dikemukakan seorang lawyer pengusaha asing sebagai informan. Menurutnya, setelah transaksi bisnis antar pihak-pihak pengusaha nasional dan asing terjadi, dirinya sebagai lawyer mempunyai kewajiban untuk menyampaikan segala sesuatu secara rinci dan benar, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan mekanisme penyelesaian sengketa 223 melalui pengadilan di Indonesia. Terutama bagi pihak asing, yang bersangkutan harus memahami betul seluk beluk berperkara di pengadilan. Oleh karena proses di pengadilan rangkaiannya panjang serta berjenjang. Selesai pada tingkat pengadilan negeri, masih dimungkinkan upaya hukum banding, kasasi, dan/atau kalau mungkin peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Rangkaian proses tersebut memerlukan waktu yang sangat lama, sehingga dapat dipastikan untuk memperoleh keadilan melalui lembaga pengadilan juga memerlukan waktu yang sangat lama. Apalagi jika pihak- pihak yang terlibat dalam sengketa terus menerus menggunakan haknya untuk melakukan upaya hukum yang tersedia. Selain memerlukan waktu yang lama, proses pemeriksaan perkara serta putusan pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum, sehingga seluruh rangkaian pemeriksaan perkara dapat dihadiri oleh masyarakat luas. Setelah kondisi objektif berperkara pada lembaga peradilan disampaikan untuk dipahami, biasanya pihak asing kemudian menyampaikan alasan bahwa dia tidak mungkin membuang waktu berlama- lama hanya untuk urusan penyelesaian pertikaian. Tujuan utama yang bersangkutan adalah berbisnis serta mencari untung, sama sekali tidak untuk bersengketa. Seandainya pun sengketa itu terpaksa terjadi di tengah perjalanan bisnis dia, tentu saja tidak boleh menjadi penghambat aktivitas 224 bisnis, karena siapa pun yang berbisnis termasuk dirinya sama sekali tidak menghendaki terjadinya kerugian. Berdasarkan informasi di muka, dapat dimengerti apabila kalangan dunia usaha selalu menuntut segala sesuatu urusan diselesaikan dengan serba cepat, 395 dan mereka senantiasa berupaya mencari penyelesaian sengketa yang tidak menyebabkan terganggunya aktivitas bisnis bersangkutan. Sebagaimana diketahui forum ajudikasi di luar pengadilan yang prosedur beracaranya lebih sederhana adalah arbitrase (arbitration). 396
Maka tidak heran apabila arbitrase kemudian menjadi salah satu pilihan
395 Pengadilan terdiri atas berbagai instansi atau tingkatan. Diperolehnya putusan pada tingkat pertama, belum berarti sengketa tersebut selesai, karena pihak yang merasa tidak puas dengan putusan tersebut masih dapat melakukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi. Bahkan bila masih belum merasa puas dengan putusan banding, yang bersangkutan masih dapat melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Tak ada jaminan dari pihak mana pun bahwa penyelesaian sengketa pada setiap tingkatan pengadilan itu akan berlangsung dengan cepat. Apabila semua tingkatan peradilan itu dapat selesai ditempuh dalam jangka waktu satu tahun enam bulan (yang berarti: satu instansi enam bulan), maka itu sudah dapat dikatakan sangat cepat. Ditambah lagi dengan sejumlah tunggakan (kongesti) perkara-perkara yang menyebabkan penyelesaian perkara di pengadilan semakin lamban. 396 Arbitration, is a method for settling controversies or disputes whereby an unofficial third party hears and considers arguments and determines an equitable settlement.; Lihat Peter J. Dorman (eds), Running Press Dictionary...Op. Cit., h. 19. Lihat pula, Henry Campbell Black, Blacks Law Dictionary: Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence Ancient and Modern. (Sixth Edition). St. Paul Minn: West Publishing Co., 1990. Arbitrase yang di Indonesia diatur dalam Undang-Undang nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Berdasarkan Penjelasan Umum dari UU No. 30 Th. 1999, Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution atau ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Oleh karena itu, Arbitrase menurut UU tersebut bukan merupakan salah satu dari ADR, melainkan sebuah metode penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga di luar pengadilan umum. 225 para pelaku bisnis untuk menyelesaikan dan memutusi sengketa yang terjadi di antara mereka. Namun demikian, prosedur arbitrase yang sederhana bukan satu- satunya alasan pihak-pihak dalam memilih arbitrase. Masih ada unsur lain yang juga menjadi bahan pertimbangan mereka dalam melakukan pilihan. Di antara pertimbangan tersebut dapat disebutkan umpamanya: Dalam menangani sengketa-sengketa perdata pada umumnya, termasuk sengketa komersial, selama ini banyak pihak merasakan betapa lembaga pengadilan dianggap terlalu sarat dengan prosedur, formalistis, kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu sengketa. Agaknya faktor tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. Sedangkan seyogianya hakim mampu menjadi living interpretator yang mampu menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak terbelenggu oleh kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam suatu peraturan perundang- undangan, karena hakim bukan lagi sekedar la bouche de la loi (corong undang-undang). 397
Faktor yang lebih bersifat internal kelembagaan pengadilan negeri itu, secara teoretis juga tidak dapat dilepaskan dari apa yang dikonsepkan
397 A. Ahsin Thohari, Dari Law Enforcement ke Justice...Kompas, 3-7-2002...Op. Cit., Bdgk. Benny K. Harman, Konfigurasi Politik & Kekuasaan Kehakimandi Indonesia. Jakarta: ELSAM, 1997, h. 54. 226 oleh Nonet dan Selznick 398 mengenai tiga tipe hukum. Seperti diketahui, dalam Tabel mengenai tipe hukum yang represif (represive law), hukum ditempatkan di dalam matriks politik dan pemerintahan (law subsordinated to power politics). Hukum represif memang bertujuan untuk mempertahankan status-quo penguasa, yang kerapkali dikemukakan dengan dalih untuk menjamin ketertiban. Aturan-aturan hukum represif keras dan terperinci akan tetapi lunak dalam mengikat para pembuat peraturan sendiri. Hukum tunduk pada politik kekuasaan, tuntutan untuk patuh bersifat mutlak, dan ketidak-patuhan dianggap sebagai penyimpangan sedangkan kritik terhadap penguasa dianggap sebagai suatu ketidak-setiaan. 399
Pada tipe hukum yang menindas atau represif tampak sekali integrasi yang kuat antara hukum dan politik, dalam bentuk dibawahkannya lembaga-lembaga hukum secara langsung kepada golongan elit pemerintahan. Oleh karena itu, dalam konstelasi sedemikian, akan sangat sulit diharapkan hakim berani untuk mengambil keputusan yang berbeda dari ketentuan yang dicantumkan dalam produk hukum dan perundang- undangan pada saat menghadapi kasus-kasus konkret di pengadilan. Hal itu disebabkan hakim pada dasarnya adalah bagian dari aparatur pemerintahan.
398 Lihat, Philippe Nonet Philip Selznick, Law and Society...Op. Cit., h. 16. 399 Lihat, Ronny Hanitijo Soemitro, Beberapa Perspektif Mengenai Fungsi Hukum di dalam Masyarakat; dalam Masalah-Masalah Hukum, Nomor 10 Tahun 1993, h. 42.
227 Fungsi serta peran yang dijalankan kekuasaan kehakiman diorientasikan pada upaya untuk mendukung dan mensukseskan program-program yang ditetapkan pemerintah atau eksekutif. Realita lembaga pengadilan sebagaimana digambarkan di muka semakin memperkuat alasan serta kecenderungan pihak-pihak yang bersengketa untuk melakukan pilihan forum di luar pengadilan. Telah semakin nyata pula kalau harapan untuk mendapatkan keadilan 400 sangat sulit diperoleh melalui pengadilan. Oleh karena hakim juga tidak memiliki cukup keberanian untuk mengambil keputusan yang berbeda dengan ketentuan normatif undang-undang, sehingga keadilan substansial selalu saja sulit diwujudkan melalui putusan hakim pengadilan, sebab hakim dan lembaga pengadilan hanya akan memberikan keadilan formal. Sementara itu, forum lain di luar pengadilan masih mungkin untuk diharapkan mampu menegakkan keadilan substansial, ketimbang sekedar putusan formal yang secara nyata tidak mampu memenuhi tuntutan rasa keadilan bagi kedua belah pihak.
400 Pada umumnya keadilan merupakan penilaian yang hanya dilihat dari pihak yang menerima perlakauan saja. Para justiciabelen (pencari keadilan) pada umumnya pihak yang dikalahkan dalam perkara perdata, menilai putusan hakim tidak adil. Demikian pula buruh atau karyawan yang diputuskan hubungan kerjanya merasa diperlakukan tidak adil oleh majikannya, juga dalam pencabutan hak atas tanah atau pemungutan pajak warganegara, yang bersangkutan merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintahnya. Jadi penilaian tentang keadilan itu pada umumnya hanya ditinjau dari 228
C. Kewenangan Eksekutorial Forum Arbitrase untuk Putusan Final dan Mengikat serta Dilema Perolehan Keadilan
Kewenangan eksekutorial pada dasarnya merupakan suatu kewenangan yang dimiliki oleh pengadilan negeri untuk melaksanakan atau mengeksekusi suatu putusan hakim. Oleh karena itu, putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara. 401
Dalam bidang hukum perdata eksekusi suatu putusan adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara. Eksekusi merupakan tindakan lanjutan dari keseluruhan proses pemeriksaan perkara dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rangkaian proses beracara pada suatu pengadilan. Hakikat dari eksekusi putusan hakim adalah realisasi dari kewajiban pihak yang ber- sangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum di dalam putusan tersebut. Atau dengan kata lain, eksekusi adalah pelaksanaan isi putusan pengadilan yang dilakukan secara paksa dengan bantuan dari pengadilan, apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakannya secara suka rela. Tidak semua putusan hakim dapat dilaksanakan atau dieksekusi dalam arti kata yang sebenarnya, yaitu secara paksa oleh pengadilan. Pada
satu pihak saja, yaitu pihak yang menerima perlakuan. Lihat, Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty, 1986, h. 58. 401 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata ... Op. Cit., h. 211. 229 asasnya hanya putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti (kracht van gewijsde) yang dapat dieksekusi. Di samping telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, putusan yang perlu dieksekusi hanya putusan-putusan yang bersifat condemnatoir, yaitu putusan hakim yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Adapun prestasi yang wajib dipenuhi dalam rangka pelaksanaan putusan condemnatoir dapat terdiri atas memberi, berbuat, dan tidak berbuat. Pada umumnya juga putusan condemnatoir itu berisi hukuman ter- hadap pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang. 402 Sedangkan putusan hakim jenis lainnya yaitu yang bersifat constitutif dan yang bersifat declaratoir pada umumnya tidak dapat dilaksanakan dalam arti kata seperti tersebut di muka, karena tidak menetapkan hak atas suatu prestasi tertentu. Seiring dengan uraian mengenai kewenangan eksekutorial dari pengadilan negeri di muka, kajian yang hendak dilakukan berikut ini adalah seberapa mungkin forum arbitrase dapat memiliki kewenangan eksekutorial terhadap putusan yang dibuatnya sendiri sebagai suatu putusan yang final dan mengikat. Persoalannya, akibat dari forum arbitrase tidak memiliki kewenangan eksekutoral, perolehan keadilan selalu menjadi dilema yang dihadapi pihak-pihak yang bersengketa.
402 Sudikno Mertokusumo, Loc. Cit., h. 189.
230 Berkaitan dengan pembahasan tentang kewenangan eksekutorial forum arbitrase, hasil pengumpulan informasi dari para informan walau dengan latar belakang mereka berlainan, namun ternyata sudut pandang para informan mengenai hal itu diketahui senada. Menurut mereka, pada dasarnya lembaga arbitrase tidak mungkin memiliki kewenangan untuk mengeksekusi sendiri putusannya, karena forum arbitrase adalah lembaga peradilan swasta, sehingga sejak awal arbitrase tidak pernah dilengkapi dengan petugas yang bernama jurusita seperti halnya pengadilan negeri. Di samping itu, secara normatif ketentuan perundang-undangan juga secara eksplisit telah menetapkan bahwa: Semua peradilan di wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang- undang. 403 Jadi meskipun arbitrase pada dewasa ini telah diatur dalam sebuah undang-undang tersendiri, akan tetapi undang-undang tersebut sama sekali tidak menetapkan lembaga arbitrase sebagai bentuk peradilan negara. 404 Arbitrase hanyalah sebuah cara yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Bahkan sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase itu pun telah secara limitatif disebutkan yaitu hanya sengketa perdata. Oleh karena itu, tidak
403 Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970.
404 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999).
231 semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka. Fakta di muka meneguhkan pemahaman bahwa lembaga peradilan yang ditetapkan sebagai badan peradilan negara juga telah secara eksplisit ditegaskan dalam undang-undang. 405 Atas dasar hal tersebut, maka sudah jelas kiranya bahwa arbitrase hanya merupakan peradilan swasta yang akan menerapkan tata cara hukum negara yang berlaku atau menerapkan tata cara hukum perdamaian yang telah disepakati bersama oleh para pihak untuk sampai pada putusan yang final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Ketidaksejajaran arbitrase dengan pengadilan negeri lebih ditegaskan lagi oleh norma berikut ini yang substansinya antara lain mempersyaratkan dengan akibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan, bahwa setiap putusan arbitrase nasional untuk dapat dieksekusi: Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri. 406
405 Periksa Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970. 406 Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999.
232 Mencermati norma tersebut memberikan kesan demikian kuatnya kepentingan lembaga peradilan negara untuk melakukan pengawasan terhadap putusan arbitrase, bahkan terhadap putusan arbitrase nasional yang hendak dieksekusi. Apalagi ketentuan tentang penyerahan dan pendaftaran lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri itu diikuti dengan ancaman sanksi, apabila tidak dipenuhi, berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. Hal itu menunjukkan betapa forum arbitrase sangat tidak mungkin memiliki kewenangan eksekutorial sekalipun terhadap putusan arbitrase yang bersifat final dan mempunyai kekuatan tetap dan mengikat para pihak. 407
Terhadap masalah ini, para hakim yang dipilih sebagai informan umumnya berpendapat bahwa masalah penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase sebelum dilaksanakan itu semata-mata merupakan bentuk pengintegrasian antara putusan lembaga peradilan swasta terhadap alur kompetensi badan peradilan negara. Bukti tersebut dikuatkan dengan tidak diperiksanya alasan atau pertimbangan putusan arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri agar putusan arbitrase tersebut benar-benar mandiri, final, dan mengikat. 408 Pengintegrasian putusan arbitrase terhadap alur kompetensi badan peradilan negara melalui prosedur yang telah ditetapkan
407 Periksa Pasal 60 UU Nomor 30 Tahun 1999. 408 Periksa Penjelasan Pasal 62 ayat (4) UU Nomor 30 Tahun 1999.
233 dimaksudkan agar output putusan meski berasal dari forum pemutus mana pun, selama putusan tersebut dimintakan untuk dieksekusi di wilayah hukum Indonesia, akan memiliki titel eksekutorial karena telah melewati kewenangan publik yang satu yakni pengadilan negeri sebagai badan peradilan negara. Namun demikian, terhadap ketentuan sanksi manakala penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase itu tidak dilakukan, sehingga berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan, para hakim sebagai informan tidak memberikan tanggapan. Tanggapan justru diberikan oleh kalangan advokat, melalui komentar dengan ekspresi sangat menyesalkan. Mereka berpendapat, sesungguhnya aturan semacam itu dikhawatirkan akan kembali menjadi hambatan terhadap upaya pihak-pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan. Oleh karena pada waktu yang lalu, kaidah semacam itu telah terbukti menjadi kaidah yang sangat kontroversial. 409
409 Kontroversi terjadi tatkala Indonesia belum mensahkan Konvensi New York 1958. Ketika itu pernah ada putusan arbitrase yang meminta untuk dilaksanakan di Indonesia. Putusan tersebut dijatuhkan oleh arbiter di London tanggal 12 Juli 1978, kasus antara Navigation Maritime Bulgare vs. PT Nizwar Jakarta. Pada tingkat pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Ketetapan Nomor 2288/1979 P tanggal 10 Juni 1981, mengabulkan permohonan eksekusi tersebut. Dengan demikian, putusan arbitrase luar negeri itu dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri di Jakarta. Ketetapan pengadilan negeri itu merujuk pada Konvensi Jenewa tahun 1927, walaupun hal itu juga sempat menimbulkan kontroversi. Ternyata sebelum Keppres Nomor 34 tahun 1981 berlaku, sudah ada Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang membenarkan pelaksanaan keputusan arbitrase asing. Akan tetapi Mahkamah Agung tidak sependapat dengan pendirian Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Melalui Putusan MA Nomor 2994K/Pdt/1983 tanggal 29 November 1984, Mahkamah Agung memberikan pertimbangan antara lain sebagai berikut: Bahwa pada asasnya sesuai dengan yurisprudensi di Indonesia putusan pengadilan asing dan putusan arbitrase asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia kecuali kalau antara Republik Indonesia dan Negara Asing yang bersangkutan diadakan perjanjian tentang pelaksanaan putusan pengadilan 234 Ketika itu persoalan eksekuatur menjadi salah satu alat bagi pengadilan untuk menolak sejumlah putusan arbitrase asing (foreign arbitral awards) yang dimohonkan untuk dieksekusi di Indonesia. 410 Akan tetapi, setelah
asing/putusan arbitrase asing. Oleh karena Putusan MA tersebut diucapkan setelah berlakunya Keppres No. 34 Tahun 1981, maka salah satu pertimbangan MA menyebutkan: "selanjutnya mengenai Keppres Nomor 34 tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981 dan lampirannya tentang pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards sesuai dengan praktik hukum yang masih berlaku harus ada peraturan pelaksanaannya tentang apakah permohonan eksekusi putusan hakim Arbitrase dapat diajukan langsung pada pengadilan negeri, kepada pengadilan negeri yang mana, ataukah permohonan eksekusi diajukan melalui Mahkamah Agung dengan maksud untuk dipertimbangkan apakah putusan tersebut tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan ketertiban hukum di Indonesia bahwa berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, permohonan pelaksanaan putusan Arbitrase seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima". 410 Di bawah ini dipaparkan beberapa putusan arbitrase asing yang pernah dimohonkan eksekusi di Indonesia, namun ditolak oleh pengadilan sebagai lembaga pemberi eksekuatur dengan berbagai alasan. Putusan tersebut di antaranya adalah: i) Arbitration Awards dari Federation of Oils, Seed and Fats Associations Limited London, kasus antara PT Bakrie & Brothers vs Trading Corporation of Pakistan Limited, dimintakan fiat eksekusi melalui Pengadilan Jakarta Selatan, akan tetapi dengan Putusan PN Jakarta Selatan Nomor 64/Pdt/G/1984/PN.Jkt.Sel, tanggal 1 November 1984 dinyatakan tidak dapat dilaksanakan. Penolakan PN Jak-Sel itu dikuatkan oleh Putusan PT DKI Jakarta No.512/PDT/1985/PT DKI, tanggal 23 Desember 1985. Kemudian Mahkamah Agung juga menguatkan putusan kedua pengadilan rendahan itu melalui Putusan MA No. 4231 K/Pdt/1986, tanggal 4 Mei 1988. ii) London Arbitration Awards No. 1950, tanggal 12 Juli 1978, kasus antara PT Nizwar Jakarta vs Navigation Maritime Bulgare, varna, Blvd. Chervenoermeiski, dimintakan fiat eksekusi melalui PN Jakarta Pusat dan dengan penetapan No. 2288/1979 P., tanggal 10 Juni 1981 PN Jakarta Pusat telah mengabulkan permohonan pemohon. Artinya, putusan arbitrase London itu dapat dieksekusi. Namun demikian PT Nizwar Jakarta selaku termohon eksekusi mengajukan Kasasi ke MA. Melalui putusannya No.2944 K/Pdt/1983 Mahkamah Agung menyatakan bahwa putusan hakim arbitrase asing seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima. iii) Awards of The Queens Counsel of The English Bar of London, tanggal 17 November 1989, kasus antara Y. Haryanto vs E.D. & F. Man (Sugar) Limited. Melalui Penetapan MA No.1 Pen.Exr/Arb.Int/Pdt/1991, tanggal 1 Maret 1991, Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan exequatur dari E.D. & F. Man (Sugar) Ltd., selaku pemohon. Akan tetapi kemudian Y. Haryanto selaku termohon melakukan gugat balik kepada pihak E.D. & F. Man (Sugar) Ltd., maka dalam putusan Kasasi, MA kemudian meralat penetapannya sendiri dengan menyatakan melalui Putusan Kasasi No.1203 K/Pdt/1990, 235 Undang-undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 berlaku, masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional, masih dibebani syarat-syarat seperti pada waktu yang lalu. Walhasil keadaan serta perlakuan terhadap putusan arbitrase yang dijatuhkan di luar Indonesia sama sekali tidak mengalami perubahan yang berarti dibandingkan dengan sebelum Undang-undang Arbitrase diundangkan. Artinya, untuk dapat diakui dan dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia, putusan arbitrase internasional masih harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999. Di antara syarat-syarat tersebut adalah: Putusan arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 411
Pada dasarnya, baik putusan arbitrase nasional maupun putusan arbitrase internasional telah diakui sebagai putusan yang bersifat final 412 dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak (Pasal 66 UU Nomor 30/1999). Akan tetapi sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh
tanggal 4 Desember 1991, bahwa penetapan Mahkamah Agung RI tanggal 1 Maret 1991 Nomor 1 Pen.Exr/Arb.Int/Pdt/1991 menjadi irrelevant untuk dilaksanakan. 411 Periksa Pasal 66 huruf c dan huruf d UU Nomor 30 Tahun 1999. 412 Penjelasan Pasal 60 UU Nomor 30 Tahun 1999 tegas menyebutkan Putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali.
236 putusan arbitrase internasional untuk dapat diakui serta dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, mencitrakan putusan arbitrase tersubordinasi pada kewenangan pengadilan negeri. Kondisi semacam itulah yang sangat dirasakan tidak adil oleh pihak-pihak yang bersangkutan dalam putusan tersebut. Tidak dimilikinya kewenangan eksekutorial oleh forum arbitrase di Indonesia untuk dapat mengeksekusi putusannya sendiri sangat menjadi dilema dalam memperoleh keadilan. Oleh karena bagi para pencari keadilan selalu saja dihadapkan pada situasi yang sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan. Memilih berperkara pada pengadilan negeri kondisinya sangat sulit diharapkan untuk mendapatkan keadilan secara maksimal. Sementara memilih berperkara pada forum arbitrase juga putusannya masih disubordinasikan terhadap kewenangan pengadilan negeri, terutama apabila para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase tersebut secara sukarela. Persyaratan serupa ditetapkan pula untuk putusan arbitrase nasional yang dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri. Sebelum memberikan perintah pelaksanaan, Ketua Pengadilan Negeri memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Dalam melakukan pemeriksaan atas putusan arbitrase yang dimohonkan oleh 237 salah satu pihak yang bersengketa tersebut Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase. Adapun yang menjadi alasan tidak diperiksanya pertimbangan putusan arbitrase dimaksud adalah agar putusan arbitrase benar-benar mandiri, final, dan mengikat. 413
Sedangkan untuk putusan arbitrase internasional permohonan pelaksanaan putusan dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam hal putusan arbitrase internasional itu menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak, maka putusan tersebut hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Rangkaian keterlibatan kompetensi pengadilan negeri dalam proses pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase, baik putusan arbitrase nasional maupun internasional, sesungguhnya menunjukkan betapa badan peradilan negara masih menunjukkan kekuasaan yang cukup dominan dalam melakukan seleksi terhadap tuntutan pelaksanaan hak yang diperoleh melalui putusan arbitrase. Apabila putusan arbitrase terus menerus disubordinasikan terhadap kompetensi pengadilan negeri, pertanyaan selanjutnya adalah, benarkah putusan arbitrase itu memiliki status mandiri, final, dan mengikat.?
238 Khusus mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional, terkait sangat erat dengan prinsip timbal balik atau resiprositas (reciprocity principle). 414 Prinsip tersebut merupakan hal yang wajib dijunjung tinggi oleh setiap negara dalam hukum perdata internasional. Berkaitan dengan prinsip resiprositas atau timbal balik ini, Pemerintah Republik Indonesia sesungguhnya telah menerima dan menggunakan ketika mengesahkan Kon- vensi New York 1958. Konvensi yang selengkapnya bertajuk Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, ditandatangani di New York tanggal 10 Juni 1958 dan mulai berlaku pada tanggal 7 Juni 1959. Tatkala Pemerintah Indonesia mensahkan Konvensi New York dengan instrumen ratifikasi berupa Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 1981, Indonesia mengajukan dua pensyaratan (reservation) terhadap isi
414 Sebagai suatu doktrin, reciprocity juga merupakan dasar bagi yurisdiksi dalam rangka pelaksanaan putusan hakim asing. Berdasarkan doktrin reciprocity, "... that international law required an equality of treatment in respect of judgments rendered by the enforcing forum and those rendered by the original forum and that the reciprocal need for protection of interests abroad by the nationals of the various countries could be enhanced...".Pada prinsipnya doktrin di atas dapat digambarkan sebagai berikut: Bahwa negara "X" akan mengakui dan melaksanakan putusan hakim yang dibuat atau berasal dari negara "Y", asal saja negara "Y" juga memperlakukan hal yang sama terhadap putusan hakim yang dibuat atau berasal dari negara "X". Di Inggris berlakunya doktrin timbal balik (reciprocity) sebagai dasar yurisdiksi dalam pelaksanaan putusan hakim asing, masih dibatasi. Inggris memberlakukan doktrin itu sebatas menyangkut kasus-kasus matrimonial. Sebagai contoh di dalam kasus Travers v. Holley ternyata pengadilan banding di Inggris telah mengakui putusan hakim tentang perceraian yang dijatuhkan di New South Wales, Australia. Kenyataan tersebut agaknya meyakinkan Caffrey, serta mendukung hasil penelitiannya, sehingga dia menyatakan bahwa "... as a jurisdictional basis to recognition or enforcement of foreign judgment is not really a satisfactory solution to the problem and,... it has in England been restricted to matrimonial causes...". Lihat, Bradford A. Caffrey, Enforcement of Foreign Judgments. Sydney:CCH Australia Limited, 1985, h. 50-53. 239 ketentuan Konvensi New York Article I (3). Dua pensyaratan dimaksud adalah: (i) pensyaratan timbal balik (reciprocity reservation) dan (ii) pensyaratan komersial (commercial-reservation). Sebagai konsekuensi diajukannya pensyaratan yang pertama yaitu reciprocity reservation, bahwa negara yang bersangkutan baru akan menerapkan ketentuan Konvensi apabila keputusan arbitrase tersebut dibuat di negara yang juga adalah anggota Konvensi New York. Apabila keputusan tersebut ternyata dibuat di negara yang bukan anggota, maka negara tersebut tidak akan menerapkan ketentuan Konvensi. Oleh karena itu, ketika Undang- undang Nomor 30 Tahun 1999 masih menetapkan berbagai ketentuan dan persyaratan dalam rangka pelaksanaan (eksekusi) putusan arbitrase internasional, maka tidak mustahil Indonesia akan dianggap melakukan International Wrong serta menyalahi asas Pacta Sunt Servanda karena dianggap tidak mematuhi janjinya sendiri terhadap negara-negara lain sebagai sesama penandatangan Konvensi New York 1958.
D. Perspektif Historis dan Futuristik Arbitrase sebagai Model Penyelesaian Sengketa Berkeadilan
Arbitrase sebagai suatu cara penyelesaian sengketa memiliki perkembangan historis yang cukup panjang. Berdasarkan catatan sejarah hukum, arbitrase telah diterapkan dalam bidang perjanjian sejak zaman 240 purbakala. Para penulis mengkonstatir bahwa perjanjian Lagash-Umma ribuan tahun sebelum Masehi 415 misalnya, telah mengandung suatu klausula arbitrase. Ketika itu arbitrase telah dipakai dalam makna yang serupa dengan penggunaan arbitrase dewasa ini, yaitu dipakai untuk menyelesaikan pertikaian akibat terjadinya pelanggaran perjanjian.Tidak berlebihan kiranya seandainya para penulis mensinyalir bahwa arbitrase dapat menjadi salah satu lembaga yang paling dihormati dalam kehidupan umat manusia. Louis B. Sohn, 416 membuat paparan perkembangan arbitrase dan membagi dalam dua periode zaman, yakni arbitrase zaman Yunani kuno serta abad pertengahan di satu pihak dan arbitrase modern di pihak lain. Fakta sejarah juga mencatat jika arbitrase telah dipraktikkan pada zaman Yunani kuno sebagai cara untuk mencari keadilan. 417 Akan tetapi tentu saja arbitrase ketika itu masih dalam bentuk yang sangat sederhana. Pada periode tersebut arbitrase telah digunakan untuk menghindari terjadinya perang di antara negara-negara kota, berdasarkan kesepakatan pihak-pihak, sengketa
415 Arthur Nussbaum, (Penyadur: Sam Suhaedi), Sejarah Hukum Internasional. h. 3. Bdgk. Komar Kantaatmadja yang menyatakan "...kalau tidak bisa dikatakan bahwa arbitrase bermula dari sejarah terjadinya konflik antar manusia sendiri."; dalam Beberapa Permasalahan Arbitrase Internasional; Makalah Seminar Arbitrase 16 November 1988. 416 Lihat L.B. Sohn, International Arbitration in Historical Perspective: Past and Present; dalam International Arbitration: Past and Prospects, A Symposium to Commemorate the Centenary of the Birth of Prof. J.H.W. Verzijl (1888-1987), Utrecht, October 21, 1988, h. 8. Bdgk. E.K. Nantwi, The Enforcement of Inernational Judicial Decision and Arbitral Awards in Public International Law, Leiden: A.W. Sijthoff, 1966, h. 3. 417 Rene David, Arbitration in...Op. Cit., h. 102.
241 yang timbul diselesaikan melalui arbitrase. Praktik penyelesaian sengketa melalui arbitrase berlangsung pula pada zaman kejayaan Romawi. Bahkan cara-cara demikian kemudian berkembang dan menyebar ke negara-negara lainnya di Eropa. Dalam bentuk yang masih sederhana, arbitrase pada umumnya mempunyai ciri-ciri antara lain sebagai berikut: Pertama, pihak- pihak hanya akan membawa sengketa untuk diselesaikan melalui arbitrase setelah sengketa tersebut terjadi. Sedangkan sebelum sengketa terjadi para pihak tidak melakukan kesepakatan apa pun untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase; Kedua, Arbitrator atau arbiter yang dipilih adalah orang- orang yang benar-benar dipercaya oleh para pihak. Biasanya kriteria yang dipakai untuk menetapkan pilihan didasarkan pada hubungan atau ikatan tertentu, misalnya sebagai sahabat atau karena hubungan dekat lainnya; Ketiga, arbitrase digunakan untuk menyelesaikan sengketa di antara kerabat, tetangga, atau mereka yang hidupnya bersama-sama dan yang berkepentingan agar hubungan mereka terjaga baik. Perkembangan konsep arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa dalam skala yang lebih luas serta dalam lingkup internasional dengan bentuk yang modern sebagaimana dikenal dewasa ini, diakui sejak ditandatangani
242 Jay Treaty pada tahun 1794 antara Inggris dan Amerika Serikat. 418
Kesepakatan yang dicapai oleh kedua negara dalam perjanjian tersebut adalah mengenai penyelesaian sengketa perbatasan antara kedua wilayah negara melalui arbitrase. Sejak periode itu arbitrase telah diupayakan untuk diorganisasikan secara teratur. Sedangkan pada kurun waktu sebelumnya arbitrase memang masih dalam keadaan belum teratur. Selanjutnya dorongan baru ke arah diterimanya secara bertahap sejumlah ketentuan dalam praktik arbitrase modern antara lain dijumpai dalam Alabama Claims Arbitration tahun 1872. Sengketa itu pun berlangsung antara Amerika Serikat dan Inggris. Dalam kasus tersebut pihak Amerika Serikat menuduh bahwa Pemerintah Inggris telah bersalah melakukan berbagai pelanggaran kewajiban untuk bersikap netral terhadap Pemerintah Konfederasi Amerika Serikat selama Perang Sipil di Amerika. Pada mulanya Inggris menolak untuk menyelesaikan kasus tersebut menggunakan arbitrase, akan tetapi melalui Perjanjian Washington tahun 1871, akhirnya Inggris setuju untuk menyelesaikan sengketa itu pada Komisi Tinggi Arbitrase dengan lima orang arbitrator. 419 Kemudian pada tahun 1899/1907 dengan The Hague Convention for the Pacific Settlement of International Disputes, Permanent
418 Starke, Intoduction ...Op. Cit., h. 465. E.K. Nantwi, The Enforcement of...Op. Cit., h. 3-4.; Christine D. Gray, Judicial Remedies in International Law. New York, Oxford University Press, 1987, h. 5. 419 E.K. Nantwi, The Enforcement of...Op. cit., h. 5-6.
243 Court of Arbitration didirikan. 420 Pada perkembangan berikutnya, arbitrase lantas menjadi salah satu cara penyelesaian pertikaian secara damai yang diatur dalam pasal 33 Piagam PBB. 421
Mengamati perkembangan serta penggunaan arbitrase dari masa ke masa di muka, ternyata eksistensi arbitrase sebagai salah satu bentuk ajudikasi yang menggunakan metode pertentangan (adversarial) telah lama digunakan pihak-pihak untuk beragam kepentingan penyelesaian sengketa. Artinya arbitrase terbukti memiliki fleksibilitas serta telah diyakini oleh pihak-pihak yang menggunakannya, baik dalam proses pemeriksaan sengketa maupun dalam cara memutus sengketa yang ditangani. Oleh karena itu, tidak heran apabila Setiawan 422 menyebutkan bahwa arbitrase sangat populer di bidang perdagangan internasional. Dalam menghadapi sengketa yang melibatkan unsur-unsur antar negara, para pedagang umumnya cenderung menyerahkan penyelesaian sengketa kepada badan arbitrase bisnis internasional. Menyerahkan penyelesaian sengketa dagang internasional kepada arbitrase, para usahawan terhindar dari kesulitan-
420 Lihat article 20 The Hague Convention 1899, antara lain menyebutkan: "With the object of facilitating an immediate recourse to arbitration for international differences, which it has not been possible to settle by diplomacy, the signatory Powers undertake to organize a Permanent Court of Arbitration,..."; Lihat, E.K. Nantwi, Loc. Cit., h. 8. 421 Penyelesaian pertikaian secara damai di bawah Pasal 33 Piagam PBB itu pada dasarnya baru dapat ditempuh apabila telah dilakukan pemberitahuan tertulis disertai alasan-alasan kepada pihak lainnya dimana pihak lainnya mengajukan keberatan. Lihat, Yudha Bhakti, Pengertian Jus Cogen dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian; Padjadjaran, Kuartal I No. 1, Januari-Maret 1981, h. 49. 422 Setiawan, Aneka Masalah Hukum...Op. Cit., h. 2. 244 kesulitan yang pada umumnya disebabkan oleh keawaman mereka terhadap sistem hukum dan sistem peradilan suatu negara tertentu. Seiring pula dengan hadirnya fenomena baru dalam hubungan bisnis antar masyarakat bangsa-bangsa dalam bentuk semakin ramainya aktivitas perdagangan internasional. Aktivitas masyarakat dunia dalam bidang perdagangan internasional dewasa ini teridentifikasi dalam dua pola hubungan. Pertama, pola hubungan perdagangan antara masyarakat negara berkembang dengan masyarakat negara-negara industri; dan Kedua, pola hubungan perdagangan diantara masyarakat negara-negara berkembang satu sama lain. 423 Bahkan melengkapi perkembangan pola hubungan perdagangan dan hubungan ekonomi antar negara tersebut di muka, pada dewasa ini pula telah terjadi pengelompokan negara-negara pada setiap kawasan regional. Negara-negara tergabung dalam blok-blok perdagangan, kawasan perdagangan bebas atau pasar tunggal. Umpamanya saja: North American Free Trade Agreement (NAFTA), Single European Community (SEC), ASEAN Free Trade Area (AFTA), dan lain-lain. Perkembangan tersebut juga menyebabkan semakin terbukanya ekonomi bangsa-bangsa
423 Khusus mengenai pola perdagangan antara Indonesia dengan negara-negara di kawasan Asia-Pasifik, dibedakan ke dalam empat pola perdagangan, yakni: a) perdagangan dengan negara-negara industri; b) perdagangan antara negara-negara dalam kelompok ASEAN; c) perdagangan dengan negara-negara komunis; dan d) perdagangan dengan negara-negara berkembang lainnya di kawasan Asia-Pasifik. Lihat Sunarjati Hartono, "Legal Aspect of Indonesian Trade with other Countries in the Asian-Pacific"; dalam Padjadjaran, Special English Edition, 1984, h. 17. 245 dalam hubungan yang saling tergantung (interdependensi), bahkan menjurus kepada integrasi ekonomi dunia. 424 Realitas masyarakat dunia yang cenderung menjadi satu dan terbuka, terutama dalam bidang perdagangan serta aktivitas bisnis pada umumnya merupakan bagian dari fenomena globalisasi 425 yang sedang dialami umat manusia sejak beberapa dekade terakhir ini serta tidak mungkin dibendung. Benturan kepentingan akibat interaksi manusia yang intensitasnya semakin padat tak ayal lagi sulit dihindari. Keadaan semacam itu pun berlangsung dalam lingkungan komunitas pelaku bisnis, sehingga berbagai jenis sengketa dalam bidang komersial pun terjadi serta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas bisnis manusia di abad ini. Dalam kondisi serta keberadaan sengketa antar manusia yang semakin bervariasi seperti sekarang ini, pengadilan tidak lagi dapat diandalkan sebagai satu-
424 .Sambutan Menteri Muda Perdagangan RI pada Simposium Nasional tentang Aspek- aspek Kerjasama Ekonomi antara negara-negara ASEAN dalam rangka AFTA. Bandung, 1 Februari 1993. 425 Globalisasi adalah karakteristik hubungan antara penduduk bumi ini yang melampaui batas-batas konvensioal, seperti bangsa dan negara. Dalam proses tersebut dunia telah dimampatkan (compressed) serta terjadi intensifikasi kesadaran terhadap dunia sebagai satu kesatuan utuh. Lihat Satjipto Rahardjo, Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Konteks Situasi Global; dalam Perspektif, Vol. 2 No. 2, Juli 1997, h. 1. Dalam kaitan ini Djisman S. Simandjuntak mengatakan, ...dalam ekonomi dunia yang semakin terintegrasi ini, ekonomi-ekonomi yang sukses dalam dasawarsa terakhir adalah mereka yang berhasil mendorong dan mempertahankan ekspansi perdagangan yang cepat. Sukses pembangunan akan tetap sangat tergantung pada keberhasilan dalam persaingan di pasar global. Negara niaga kecil seperti Indonesia sangat berkepentingan dalam peletakan dan penerapan asas-asas dan aturan-aturan multilateral yang menjadi hakikat dari proses GATT. Lihat Djisman S. Simandjuntak et al., GATT 1994 Peluang dan Tantangan Dokumen dan Analisis. (Kumpulan Dokumen dan Analisis), Jakarta, 14 Juni 1994, h. 1. 246 satunya sarana penyelesaian sengketa. Sedangkan masyarakat awam masih beranggapan bahwa pengadilan merupakan satu-satunya tempat untuk menyelesaikan sengketa. Bahkan sebagian besar masyarakat masih sangat percaya terhadap pengadilan sebagai satu-satunya tempat untuk mencari dan mendapatkan keadilan. Oleh sebab itu, mungkin juga tidak terlalu banyak anggota masyarakat yang memahami kalau di luar pengadilan masih terdapat cara-cara lain yang dapat dipilih dan dijadikan sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa. Akan tetapi sungguh sangat disesalkan, pemahaman serta kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan tidak sebanding dengan fakta yang disajikan oleh pengadilan kepada masyarakat. Terdapat dugaan bahwa pengadilan pada dewasa ini telah menyimpang dari tugas utamanya dalam memberikan keadilan kepada setiap pencarinya. Pengadilan dianggap bukan lagi semata-mata sebagai tempat mencari keadilan, tetapi juga tempat mencari kemenangan. Keadaan demikian telah menyebabkan pengadilan memperoleh stigma dari masyarakat sebagai lembaga yang mengalami krisis teramat parah. Sehubungan dengan hal itu Adi Sulistiyono 426 menyebutkan beberapa penyebab terjadinya krisis dalam sistem peradilan Indonesia. Penyebab tersebut di antaranya: (i) adanya tekanan dari pihak luar terhadap pengadilan dalam memutus perkara; (ii) rendahnya pengetahuan hakim dalam merespon perkembangan hukum; (iii)
426 Adi Sulistiyono, Mengembangkan...Op. Cit., h. 116. 247 vonis hakim yang tidak bisa dipredisksi dan tidak mencerminkan keadilan masyarakat; (iv) jual beli vonis hakim; (v) korupsi dan kolusi di lingkungan pengadilan; (vi) lamanya pihak-pihak yang bersengketa mendapatkan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Sampai sekarang krisis yang dialami lembaga pengadilan tersebut belum bisa teratasi, bahkan banyak pakar yang kesulitan untuk memberikan solusi karena parahnya krisis yang dialami. Tambahan pula disinyalir sementara kalangan, krisis yang menimpa lembaga pengadilan disebabkan rendahnya moralitas hakim sehingga kolusi dan korupsi berlangsung marak di kalangan hakim. Akibatnya kualitas putusan hakim tidak lagi ditentukan oleh fakta-fakta dan bukti-bukti materiil melainkan oleh besar kecilnya jumlah uang yang dinegosiasikan tatkala putusan hendak dijatuhkan. Keadaan tersebut tentu saja sangat membingungkan dan mencemaskan pihak-pihak pencari keadilan. Menyiasati kondisi lembaga pengadilan semacam itu dalam konstelasi masyarakat global dewasa ini, sebenarnya banyak pilihan-pilihan yang dapat ditempuh oleh masyarakat untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Arbitrase misalnya, merupakan forum yang layak dipilih untuk menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis, karena diyakini merupakan cara yang cepat sekaligus kredibel yang menjamin kerahasiaan pihak-pihak yang
248 bersengketa. Sayangnya, jalur arbitrase kerap dinodai oleh pihak-pihak yang beriktikad buruk, terutama oleh pihak yang dikalahkan. Mereka yang dikalahkan kerap meminta pengadilan untuk campur tangan, terutama saat eksekusi. Padahal, arbitrase idealnya harus dibebaskan dari anasir pengadilan. 427 Masalahnya, seringkali pengadilan malah menganggap arbitrase sebagai saingan yang mengambil lahan ketimbang sebagai mitra. Akibat persepsi yang keliru dari pengadilan terhadap arbitrase semacam itu, pengadilan tidak jarang sampai membatalkan putusan arbitrase. Memang benar, secara normatif pengadilan memiliki kewenangan untuk membatalkan putusan arbitrase. 428 Namun, alasan pembatalan yang ditentukan undang-undang dibatasi secara limitatif serta prosedur tertentu yang harus dipenuhi oleh pengadilan. Memberikan komentar terhadap persoalan pembatalan putusan arbitrase oleh pengadilan, Priyatna Abdurrasyid 429 menyatakan salah satu penyebab mudahnya pengadilan membatalkan putusan arbitrase karena ketidak-mengertian hakim terhadap arbirase itu sendiri. Padahal sesungguhnya lembaga arbitrase memiliki
427 Wawancara Hukumonline_com.htm dengan Priyatna Abdurrasyid: 99,9 % Hakim Tidak Mengerti Arbitrase. Jumat, 10 Januari 2003. 428 Periksa Pasal 70, 71, dan 72 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999. Hal semacam ini pun terjadi juga di negara-negara Arab Timur Tengah. Seperti dapat disimak dari paparan Samir Saleh, bahwa: A Considerable number of national laws relating to the enforcement of foreign awards require a foreign award to be embodied in a judgment. This does not encourage the enforcement of foreign awards. Lihat Samir Saleh, The Recognition and Enforcement of foreign arbitral awards in the states of the Arab Middle East; dalam Julian DM Lew (ed), Contemporary Problems...Op. Cit., h. 351. 429 Wawancara Hukumonline_com.htm,... Op. Cit., 249 peran yang strategis untuk mengurangi tumpukan perkara 430 di pengadilan. Seharusnya, para hakim berusaha untuk memberi nasehat kepada para pencari keadilan agar mereka memilih cara-cara lain untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan, sehingga perkara tidak menumpuk di pengadilan. Meskipun hakim dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif, namun sesungguhnya hakim secara normatif dibebani oleh undang- undang untuk membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan beaya ringan. 431 Bahkan para pihak yang bersengketa memiliki kebebasan untuk mengakhiri sendiri sengketa yang telah diajukan ke pengadilan, baik berupa perdamaian atau pencabutan gugatan. Di samping itu, penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase juga diperbolehkan. 432
430 Berdasarkan angka-angka berikut ini dapat disimak betapa penumpukan perkara yang memerlukan penyelesaian sangat membebani kinerja hakim dan lembaga pengadilan. Perbandingan jumlah perkara masuk dan diputus, sejak tahun 1995-1999 terdapat 71089 perkara perdata yang harus diselesaikan. Jumlah tersebut kurang lebih 4 (empat) kali lebih banyak dari jumlah perkara pidana sebanyak 19258 perkara. Total tumpukan perkara perdata dan pidana sejak tahun 1995 sampai dengan 1999 sebanyak 90347 perkara. Artinya, 71089 perkara perdata (78,7 %) dan 19258 perkara pidana (21,3 %). Terhadap masalah tersebut, Ketua Muda MA, Paulus E. Lotulung mengibaratkan jumlah perkara yang masuk setiap bulan bagaikan deret ukur, sedangkan produktivitas pemutusan perkaranya bagaikan deret hitung. Lihat, J. Danny Zacharias, Kinerja Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) dalam Pemberian Keadilan, Mampukah MARI Keluar dari Masa Kegelapan dan Bencana Berkelanjutan; dalam Seminar Court Management di MA-RI dan Diskusi Buku Fungsi MA dalam Praktik Sehari-hari. Salatiga; FH-UKSW, 2001, h. 7. 431 Lihat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. 432 Periksa Penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999.
250 Memilih menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimana pun sama, hukumnya sama, dan tidak mengenal perbatasan negara. Status para pihak sama, para pihak berhak memilih arbiter, dapat memilih hukum yang akan digunakan, maupun prosedur beracaranya. Sebagai konsekuensi dari pilihan-pilihan tersebut, apabila para pihak telah sepakat untuk memilih cara penyelesaian melalui arbitrase, maka kesepakatan tersebut harus dipenuhi. Oleh karena itu, meminta pembatalan putusan arbitrase kepada pengadilan negeri mengandung arti salah satu pihak melanggar janji. Pihak yang melanggar janji tentu saja diragukan itikad baiknya. Sedangkan prinsip bersengketa di hadapan arbitrase sifatnya itikad baik (good faith), non- konfrontatif, dan kooperatif, sehingga setelah perkara diputus maka kerjasama atau bisnis yang telah ada di antara para pihak dapat dilanjutkan kembali. Menerima permohonan pembatalan 433 putusan arbitrase dari salah satu pihak merupakan kewenangan pengadilan. Namun demikian Undang- undang Arbitrase sama sekali tidak mengatur kewenangan pengadilan untuk
433 Putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan negeri apabila mengandung unsur-unsur sebagaimana disebutkan dalam Pasal 70 UU No. 30/1999, dapat diajukan permohonan pembatalan. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut: (a) surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; (b) setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau (c) putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. 251 membongkar perkara yang telah diputus oleh arbitrase. 434 Oleh sebab itu, kasus pembongkaran putusan arbitrase yang dimintakan pembatalan oleh pihak yang kalah ke pengadilan lebih disebabkan hukum arbitrase kurang dikenal, baik oleh hakim maupun oleh masyarakat. Bahkan di Mahkamah Agung pun, hanya beberapa hakim agung saja yang menguasai arbitrase. Berkenaan dengan hal tersebut, Priyatna Abdurrasyid menyebutkan 99,9 % hakim tidak mengerti mengenai arbitrase, karena itu semestinya para hakim di-upgrade agar mereka memahami arbitrase, sehingga tidak menganggap arbitrase sebagai saingan atau mengambil lahan pengadilan. Berdasarkan uraian tersebut serta merujuk pada Pasal 5 Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, idealnya, upaya untuk menggunakan arbitrase sebagai salah satu cara menyelesaikan sengketa di luar pengadilan juga seharusnya dinasihatkan oleh hakim kepada para pencari keadilan, sehingga perkara tidak menumpuk di pengadilan. Akan tetapi sungguh sangat disesalkan, jangankan menasihati pihak-pihak untuk memilih arbitrase, sedangkan terhadap sengketa gugatan dari perjanjian yang mencantumkan klausula arbitrase saja hakim pengadilan seringkali tidak memperhatikan adanya klausula arbitrase dalam perjanjian. Akibatnya, ketika gugatan diajukan ke pengadilan, hakim
434 Di Indonesia persoalannya berbeda. Putusan arbitrase yang dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak kepada pengadilan, perkaranya kemudian dibongkar. Bahkan ada anggota majelis arbitrase yang dipanggil dan diperiksa oleh pengadilan. Arbiter tersebut setelah putusan keluar, dia tidak berfungsi lagi, tidak mempunyai wewenang apa-apa lagi. Lihat, Hukumonline_com.htm;...Op. Cit. 252 pengadilan merasa berwenang untuk memeriksa perkara tersebut. Padahal kalau suatu perkara diajukan kepada hakim yang secara absolut tidak wenang memeriksa perkara tersebut, maka hakim harus menyatakan dirinya tidak wenang secara ex officio untuk memeriksanya, dan tidak tergantung pada ada atau tidaknya eksepsi dari tergugat tentang ketidakwenangan itu. Setiap saat selama persidangan berlangsung dapat diajukan tangkisan bahwa hakim tidak wenang memeriksa perkara tersebut. 435
Dalam sistem peradilan di Indonesia, kedudukan arbitrase adalah extra judicial atau peradilan semu (quasi judicial), sedangkan pengadilan negeri (state court) berperan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman (judicial power). Oleh karena itu, meskipun undang-undang memberi wewenang kepada arbitrase untuk menyelesaikan sengketa, hal itu tidak mengubah status extra judicial yang melekat pada arbitrase. Akibatnya walaupun ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-undang Arbitrase secara eksplisit mengakui penerapan jurisdiksi arbitrase, tetapi menerapkan akibat hukum (legal effect) yang digariskan Pasal 3 secara absolut, tidak selamanya benar. Menurut M.Yahya Harahap, 436 dalam memahami Pasal 3 Undang- undang Arbitrase ada pendapat yang mengatakan: asal dalam perjanjian
435 Lihat Pasal 134 HIR, Pasal 160 Rbg, Pasal 132 Rv. 436 M. Yahya Harahap, Beberapa Catatan yang Perlu Mendapat Perhatian atas UU No. 30 Tahun 1999; Jurnal Hukum Bisnis Vol. 21, Oktober-November 2002, h. 17.
253 terdapat klausula arbitrase, dengan sendirinya lahir kewenangan absolut arbitrase untuk menyelesaikan segala sengketa yang timbul dari perjanjian, tanpa mempedulikan jangkauan atau ruang lingkup sengketa yang disebut dalam rumusan klausula arbitrase. Pendapat yang bercorak generalisasi dan absolut itu adalah keliru atau tidak selamanya benar. Mengapa demikian? Oleh karena, baik di dalam teori maupun praktik arbitrase dikenal beberapa format isi klausula arbitrase. 437 Isi klausula arbitrase dapat dirumuskan dalam dua bentuk, yaitu: pertama, bersifat umum, 438 atau kedua, secara rinci. 439 Klausula arbitrase yang dirumuskan secara rinci juga dapat disusun dalam dua bentuk yakni (i) terinci sekali secara menyeluruh dan/atau (ii)
437 Yang dimaksud dengan isi klausula arbitrase adalah hal-hal yang boleh dicantumkan dalam perjanjian arbitrase atau sampai sejauhmana rumusan yang dapat dicantumkan dan diperjanjikan. Lihat, M. Yahya Harahap, Arbitrase...Op. Cit., h. 69. 438 Rumusan klausula arbitrase yang bersifat umum biasanya diawali dengan kata-kata segala sengketa atau setiap sengketa (All disputes or all differences atau any dispute or any difference). Isi klausula arbitrase yang bersifat umum juga dapat dirumuskan secara ringkas serta dapat dicantumkan baik dalam perjanjian arbitrase jenis pactum de compromittendo maupun dalam akta kompromis. Lihat, M. Yahya Harahap, Arbitrase...Loc. Cit., h. 70-71. 439 Jenis yang kedua ini, yakni kalusula arbitrase secara terinci, disebut juga bentuk terbatas atau parsial. Tergolong sebagai klausula arbitrase yang terinci sekali atau mendetail, apabila rumusan kalusula arbitrase itu mencantumkan semua aspek perjanjian. Hampir semua aspek dideskripsi satu persatu dalam klausula arbitrase, sengketa apa saja yang menjadi kewenangan arbitrase. Mulai dari masalah perselisihan yang akan terjadi, tentang keabsahan perjanjian, arti perjanjian, hak-hak dan kewajiban para pihak dalam apemenuhan perjanjian. Bentuk semacam ini disebut bercorak enumeratif. Sedangkan klausula secara terinci bentuk yang kedua adalah terinci mengenai pokok-pokoknya saja (terinci seperlunya) atau terbatas sekali, yaitu apabila klausula tersebut hanya merumuskan rincian pokok-pokok saja, seperlunya didasarkan pada ruang lingkup perjanjian pokok. Biasanya klausula hanya menyebut sengketa mengenai perbedaan penafsiran pelaksanaan perjanjian atau hanya terbatas mengenai sengketa pengakhiran perjanjian (temination of contract). M. Yahya Harahap, Arbitrase... Op.Cit., h. 71. Bdgk. M.Yahya Harahap,Beberapa Catatan...; Jurnal Hukum...Op. Cit., h. 17.
254 terinci mengenai pokok-pokoknya saja. Masing-masing rumusan klausula arbitrase tersebut di muka memiliki konsekuensi hukum yang berbeda-beda terhadap lahirnya jurisdiksi arbitrase. Oleh sebab itu, kaidah Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-undang Arbitrase tidak otomatis diterapkan secara generalisasi dan absolut, karena tidak selalu atau belum tentu setiap perjanjian arbitrase akan melahirkan jurisdiksi arbitrase. Semuanya sangat tergantung pada apakah sengketa yang terjadi itu termasuk jenis sengketa yang disebut dalam klausula atau tidak. Apabila sengketa yang terjadi termasuk ruang lingkup yang disebut atau dirinci dalam klausula, maka yang berwenang menyelesaikan adalah arbitrase. Sedangkan sebaliknya, apabila sengketa yang terjadi itu berada di luar ruang lingkup klausula arbitrase, maka yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa tersebut adalah pengadilan negeri. Padahal pemahaman serta opini yang terbentuk di masyarakat selama ini setiap klausula arbitrase otomatis langsung mewujudkan jurisdiksi absolut arbitrase tanpa mempedulikan bentuk klausula yang disepakati. Pemahaman semacam itu tidak hanya terjadi pada masyarakat kebanyakan, melainkan juga melanda praktik pengadilan. Ketika sengketa yang terjadi dan berada di luar ruang lingkup kalusula arbitrase, diajukan ke pengadilan negeri, ternyata pengadilan negeri mengabulkan eksepsi pihak lawan dan menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili sengketa 255 dimaksud, atas alasan para pihak menyepakati klausula arbitrase dalam perjanjian. Kenyataan yang dilukiskan tersebut merupakan bukti bahwa hakim pengadilan negeri pun dapat saja membuat kesimpulan yang kurang akurat terhadap maksud dari ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11. Hal itu kemungkinan karena kedua pasal yang mengatur tentang eksistensi jurisdiksi arbitrase dirumuskan terlalu umum tanpa diberikan penjelasan yang cukup memadai. Oleh sebab itu, agar penerapan jurisdiksi yang lahir karena klausula arbitrase sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 dan Pasal 11 tidak menimbulkan permasalahan hukum, maka perlu diatur serta dijelaskan batas-batas jurisdiksi arbitrase itu sesuai dengan rumusan klausula. Tanpa pengaturan dan penjelasan mengenai batas-batas jurisdiksi sebagaimana dikehendaki oleh kalusula, maka kekeliruan memberikan interpretasi terhadap Pasal 3 dan Pasal 11 akan berlangsung terus. Seperti telah dikemukakan, kedudukan arbitrase dalam sistem peradilan di Indonesia tergolong extra judicial atau peradilan semu, namun tata cara pemeriksaan sengketa pada arbitrase memiliki kemiripan dengan tata cara di pengadilan. Sedangkan faktor yang membedakan adalah, pengadilan mengedepankan metode pertentangan (adversarial), sehingga para pihak yang bertikai bertarung satu sama lain dengan hasil akhir yang kuat yang akan menang. Sedangkan arbitrase lebih mengutamakan itikad baik, non-konfrontatif, serta lebih kooperatif. Pada arbitrase para pihak tidak 256 bertarung melainkan mengajukan argumentasi di hadapan pihak ketiga yang akan bertindak sebagai pemutus sengketa. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kurang sempurnanya pengadilan dalam menjalankan tugasnya, seharusnya hukum tanpa harus mengorbankan nilai keadilan dan kepastian hukum, mampu membuka diri untuk mengaktualisasikan sistemnya dan meningkatkan peranannya untuk membuka lebar-lebar akses keadilan bagi masyarakat bisnis tanpa harus terbelenggu pada aturan normatif yang rigid. 440 Untuk itu, maka model penyelesaian sengketa di luar pengadilan semacam arbitrase seharusnya diberi kompetensi yang lebih luas. Artinya, arbitrase jangan hanya diakui sebagai forum pemutus sengketa, melainkan lebih dari itu, arbitrase juga seharusnya berwenang penuh untuk mengeksekusi putusan yang dibuatnya. Apabila arbitrase hanya diberi kewenangan limitatif semata-mata sebagai pemutus sengketa tanpa memiliki kompetensi melakukan eksekusi terhadap putusan yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang dikalahkan, maka dapat dipastikan forum arbitrase bernasib sama dengan peradilan agama sebelum lahir Undang-undang tentang Peradilan Agama. 441 Padahal sebagai salah
440 Adi Sulistiyono, Mengembangkan...Op. Cit., h. 71. 441 Sebelum Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, status Peradilan Agama tidak sejajar dengan Peradilan Umum, sehingga putusan pengadilan agama sebelum dieksekusi terlebih dahulu harus dikukuhkan atau memperoleh eksekuatur dari Pengadilan Negeri. Oleh karena itu, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 telah menghapuskan hal-hal yang dapat mengurangi kedudukan Peradilan Agama. Kemudian, untuk mematangkan kemandirian Peradilan Agama oleh Undang- 257 satu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, arbitrase telah memperoleh otoritas sebagai forum pemutus sengketa meskipun sangat limitatif, yakni hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. 442
Sebenarnya pendelegasian wewenang untuk menyelesaikan sengketa kepada forum lain di luar pengadilan negeri telah berlangsung dalam berbagai bidang. Hal itu disebabkan lembaga pengadilan selama ini memang bukan satu-satunya institusi yang mampu menampung serta menyelesaikan semua sengketa yang terjadi di dalam masyarakat. Beberapa contoh lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan negeri antara lain: badan penyelesaian sengketa perumahan, 443 badan penyelesaian sengketa pajak, 444
lembaga penyelesaian sengketa lingkungan hidup, 445 lembaga penyelesaian segketa ketenagakerjaan, 446 lembaga untuk menyelesaikan sengketa kepailitan, 447 lembaga penyelesaian sengketa pertanahan, 448 badan
undang itu diadakan Juru Sita, sehingga Pengadilan Agama dapat melaksanakan keputusannya sendiri. Periksa Penjelasan Umum point ke 6 UU No. 7/1989. 442 Periksa Pasal 5 ayat (1) UU No. 30/1999. 443 Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1981, untuk menyelesaikan sengketa tentang harga sewa perumahan menjadi kewenangan Kantor urusan Perumahan. 444 Lihat Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. 445 Periksa Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Periksa juga, PP. No. 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan. 446 Periksa Undang-undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. 447 Lihat, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. 448 Periksa Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan. 258 penyelesaian sengketa konsumen, 449 dan lembaga penyelesaian sengketa di bidang perdagangan/bisnis/komersial. 450
Lembaga-lembaga penyelesaian sengketa pada bidang-bidang tersebut di atas meski keberadaannya tidak sepopuler pengadilan negeri, namun secara resmi lembaga-lembaga itu memiliki otoritas serta diakui oleh hukum dan negara sebagai bagian dari sistem hukum penyelesaian sengketa. Sebagai contoh umpamanya, Penyelesaian Sengketa Pajak dilakukan oleh Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. 451 Bahkan Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan dalam tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. 452
Walaupun hukum telah mendelegasikan wewenang untuk menyelesaikan sengketa kepada lembaga-lembaga selain pengadilan negeri seperti halnya pada penyelesaian sengketa pajak, akan tetapi dalam praktiknya akses masyarakat untuk memanfaatkan lembaga-lembaga semacam itu masih belum optimal. Ada banyak faktor yang kemungkinan menjadi penyebab. Satu di antara faktor penyebab tersebut kemungkinan karena sosialisasi berkenaan dengan keberadaan serta fungsi lembaga-
449 Lihat, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 450 Periksa, Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 451 Lihat Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. 452 Lihat Pasal 33 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2002. 259 lembaga dimaksud tidak cukup memadai. Akibatnya masyarakat tidak cukup mengetahui keberadaan lembaga-lembaga tempat penyelesaian sengketa selain pengadilan negeri. Seperti halnya lembaga-lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang lainnya, arbitrase juga disinyalir kurang dikenal, baik oleh hakim maupun oleh masyarakat. Bahkan, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sendiri yang berdiri sejak tahun 1977 kurang dikenal sebagai alternatif untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. 453
Padahal bersengketa melalui arbitrase sesungguhnya bisa cepat dan murah bila dibandingkan dengan berperkara di pengadilan. Hal itu disebabkan jangka waktu kerja majelis arbitrase dibatasi oleh undang-undang. Secara normatif waktu penyelesaian sengketa juga secara eksplisit dibatasi, yaitu: ...harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. 454 Sedangkan bersengketa pada badan peradilan biasa dapat memakan waktu sampai puluhan tahun, bahkan sampai 20 tahun lebih. Para pengusaha tidak dapat berdiam diri dengan menunggu putusan pengadilan, karena usahanya harus berjalan terus. Apalagi dalam perdagangan internasional, pihak-pihak selalu
453 Salah satu penyebab BANI tidak dikenal karena terdapat kode etik yang melarang BANI memasang iklan untuk menawarkan jasa. Lihat, Wawancara hukumonline_com.htm dengan Priyatna Abdurrasyid, 10 Januari 2003;....Op. Cit.,
454 Lihat, Pasal 48 ayat (1) UU No. 30/1999.
260 menghendaki penyelesaian yang cepat. Mereka tidak dapat berbuat lain kecuali mencari penyelesaian sengketa dengan tidak melalui pengadilan biasa. Mengapa arbitrase? Oleh karena arbitrase tidak terikat berbagai formalitas, walaupun tetap dalam batas-batas kewajaran hukum, kejujuran, kebenaran, keadilan (putusan ex aequo et bono) seraya mampu memberikan putusan yang adil dan dapat diterima oleh para pihak. 455 Untuk kalangan bisnis, fasilitas yang disediakan oleh hukum dan negara untuk menyelesaikan sengketa di antara para pelaku bisnis merupakan faktor yang sangat penting dalam rangka menjamin diperolehnya kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan bagi orang yang mencari keadilan dari tindakan sewenang-wenang, sehingga setiap orang yang mencari keadilan akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkannya. Namun demikian, dalam pemahaman para pelaku bisnis, hukum senantiasa tercitrakan sebagai penghambat untuk terselenggaranya setiap kegiatan ekonomi. Hal itu disebabkan hukum seringkali dinilai kaku dan berbelit-belit, sehingga tidak mampu memenuhi tuntutan kegiatan ekonomi yang serba cepat. Oleh karena itu, untuk mendukung aktivitas para pelaku ekonomi, hukum harus menjadi sarana yang mengarahkan berbagai kegiatan ekonomi dan memasang rambu-rambu, jangan sampai pembangunan
455 Priyatna Abdurrasyid, Pengusaha Indonesia...; dalam Juranl Hukum Bisnis Vol. 21, Oktober-November 2002;...Op. Cit., h. 9. 261 ekonomi menimbulkan hal-hal yang bertentangan dengan keadilan. 456 Oleh karena menurut Smith, 457 keadilan justru mengontrol manusia untuk tidak saling merugikan dan sebaliknya saling membantu. Keadilan adalah prasyarat niscaya bagi berfungsinya relasi bisnis yang baik dan etis dalam sistem ekonomi pasar bebas dan kondisi tersebut menjadi kondisi yang memungkinkan berkembangnya bisnis yang baik. Oleh sebab itu, menurut T.D.Campbell dalam bukunya Adam Smiths Science of Morals, antara lain menyebutkan, teori Smith tidak hanya menyatakan bahwa keadilan adalah syarat niscaya bagi kelangsungan suatu masyarakat khusus tertentu, melainkan bagi kelestarian masyarakat mana pun. 458 Masyarakat mana pun sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum faktor keadilan harus diperhatikan di samping faktor lainnya yakni kepastian hukum dan kemanfaatan. Artinya, penegakan hukum memang harus adil, meskipun hukum tidak identik dengan keadilan, sebab kalau dalam penegakan hukum hanya memperhatikan salah satu unsur saja, misalnya kepastian hukum, maka unsur-unsur lainnya dikorbankan. Demikian pula jika yang diperhatikan hanya kemanfaatan, maka kepastian hukum dan
456 Lihat, Ismail Saleh, Sambutan Menteri Kehakiman RI pada Acara Temu Karya Hukum Perusahaan dan Arbitrase; Jakarta: 22 Januari 1991, h. 6. 457 A. Sonny Keraf, Pasar Bebas Keadilan dan Peran Pemerintah. Yogyakarta: Kanisius, 1996, h. 125. 458 Ibid., h. 125. 262 keadilan dikorbankan, dan demikian selanjutnya. 459 Oleh karena itu, ketiga unsur itu harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Sebagai salah satu sarana penegakan hukum dalam hal terjadi sengketa bisnis, arbitrase mungkin saja telah dapat memenuhi harapan keadilan (melalui putusan ex aequo et bono). Akan tetapi apakah juga putusan arbitrase telah memberikan kemanfaatan dan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa, itu masih merupakan persoalan. Persoalan tersebut akan sangat jelas apabila menyimak tata cara pelaksanaan putusan arbitrase sebagai berikut: 460 (i) arbiter dan kuasanya wajib mendaftarkan asli atau salinan otentik putusan arbitrase di kantor Pengadilan Negeri, dilengkapi asli atau salinan otentik pengangkatan sebagai arbiter; (ii) pelaksanaan putusan arbitrase berdasarkan perintah (exequatur) Ketua Pengadilan Negeri; (iii) sebelum pemberian exequatur Ketua Pengadilan Negeri memeriksa dahulu hal-hal berkaitan dengan: a) ada atau tidaknya perjanjian arbitrase bagi pihak-pihak; dan b) apakah perjanjian arbitrase berada dalam lingkup hukum perdagangan dan mengenai hak yang dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersangkutan. Tidak dipenuhinya ketentuan mengenai penyerahan dan pendaftaran lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri
459 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum...Op. Cit., h. 131. 460 Periksa Pasal-Pasal 59, 61, 62 jo Pasal 4 dan Pasal 5 UU No. 30/1999.
263 berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan [Pasal 59 ayat (4) Undang-undang Arbitrase]. Rangkaian normatif tentang tata cara pelaksanaan putusan yang harus dipenuhi sebelum putusan arbitrase dilaksanakan menunjukkan bahwa sesungguhnya arbitrase masih dianggap tidak mandiri serta tidak sejajar kedudukannya dengan pengadilan negeri, sehingga dianggap tidak matang untuk dapat mengeksekusi putusannya sendiri. Betapa tidak, apabila penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase itu tidak dipenuhi, maka akibatnya putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. Kaidah tersebut pada dasarnya telah mengurangi kedudukan arbitrase seperti halnya kedudukan pengadilan agama sebelum lahir Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. Oleh karena itu, untuk menjamin diperolehnya kepastian hukum bagi para pihak yang bersengketa pada forum arbitrase, norma yang terkesan mensubordinasikan arbitrase dari pengadilan negeri harus dihapuskan dari undang-undang arbitrase. Perubahan atau amandemen terhadap Undang- undang Nomor 30 Tahun 1999 merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Hal itu disebabkan terdapat beberapa pasal di dalam undang- undang tersebut yang dianggap memandulkan 461 peran dan fungsi
461 Paulus E. Lotulung (Ketua Muda Mahkamah Agung) antara lain menunjuk Pasal 70 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 sebagai pasal yang disebutnya sebagai memandulkan forum arbitrase. Pasal tersebut antara lain tentang Pembatalan Putusan Arbitrase. Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur 264 arbitrase. Norma semacam itu tidak bisa lain kecuali harus diubah dan diganti. Oleh karena itu, kondisi ambivalensi normatif yang tercipta dari Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 harus segera diakhiri. Di samping itu, Surat Ketua Mahkamah Agung yang ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan Negeri agar para KPN dapat menghormati putusan arbitrase dalam rangka proses pelaksanaan putusan arbitrase dimaksud. Namun demikian, kebijakan yang ditempuh Ketua MA tersebut sesungguhnya apabila dikaji dari aspek independensi badan peradilan rendahan sesungguhnya merupakan sesuatu yang dapat mengganggu kemandirian para hakim. Akan tetapi upaya yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai otoritas lembaga yudikatif tersebut antara lain agar para ketua pengadilan negeri dapat menghormati serta membantu dalam proses pelaksanaan putusan arbitrase. Selanjutnya, upaya lain yang tidak kalah pentingnya untuk dilakukan adalah sosialisasi tentang eksistensi badan arbitrase sebagai salah satu forum tempat penyelesaian sengketa. Sosialisasi merupakan keniscayaan yang tidak dapat ditunda-tunda. Hal itu disebabkan, selama ini harus diakui bahwa keberadaan forum arbitrase tidak banyak diketahui publik, sehingga
sebagai berikut:. Untuk itu upaya pembatalan yang dilakukan oleh para pihak dalam arbitrase selama ini di dalam praktik telah banyak ditolak oleh Mahkamah Agung. Hal itu dilakukan dalam rangka memberikan tempat dan mengharagai eksistensi forum arbitrase sebagai badan yang telah memutus sengketa para pihak tersebut. 265 upaya penyebarluasan informasi mengenai arbitrase dalam rangka memperkenalkan peran dan fungsi forum tersebut perlu dilakukan lebih gencar serta lebih intensif lagi. Memberikan kompetensi terhadap badan arbitrase dalam melaksanakan putusannya sendiri, sehingga arbitrase menjadi forum yang mandiri, sejajar dengan badan peradilan, matang, dan berkompeten adalah conditio sine qua non apabila hendak menjadikan badan arbitrase di Indonesia sebagai badan penyelesaian sengketa bisnis yang berprospek internasional. Oleh karena pada abad mendatang interaksi bisnis antar bangsa telah dirancang untuk tidak lagi tersekat oleh berbagai rintangan (barrier), baik berupa batas-batas teritorial, norma-norma perdagangan, maupun rintangan berupa tarif. Sebagai konsekuensi dari keadaan semacam itu maka terjadinya konflik antar pelaku bisnis pun akan semakin sulit dihindarkan. Dalam konstelasi dunia bisnis seperti itu maka sangat mendesak untuk memberi status mandiri dan kompeten terhadap badan arbitrase agar dapat melaksanakan putusannya tanpa bantuan pengadilan negeri. Dalam rangka itu semua, yang harus diupayakan adalah melakukan amandemen perubahan terhadap Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terutama berkenaan dengan pelaksanaan putusan arbitrase, baik putusan arbitrase nasional maupun arbitrase internasional. Pemberian status mandiri terhadap arbitrase 266 akan membawa konsekuensi hukum yang amat luas. Arbitrase yang telah memiliki karakter berbeda dengan pengadilan negeri serta prosedur penyelesaian sengketa yang tidak terikat dengan berbagai formalitas, akan menjadi lembaga penyelesaian sengketa komersial yang lebih diminati oleh para pencari keadilan dari kalangan bisnis karena akan lebih mampu memenuhi tuntutan mereka. Lebih-lebih lagi kalangan bisnis atau usaha komersial internasional, karena sampai saat ini tidak ada badan pengadilan yang dapat memeriksa sengketa komersial internasional yang dapat diandalkan dan efektif. 462 Apabila demikian, tidak diragukan kalau lembaga arbitrase di masa-masa yang akan datang akan menjadi model penyelesaian sengketa komersial yang lebih berkeadilan, sekaligus menjamin kepastian hukum, serta betul-betul bermanfaat bagi penggunanya karena prosesnya yang cepat dan beayanya yang murah. Hal itu berarti pula arbitrase sebagai salah satu lembaga pelaksana hukum akan mampu merealisasikan ketiga unsur dalam penegakan hukum yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan secara proporsional seimbang.
462 Lihat Priyatna Abdurrasyid, Pengusaha Indonesia... dalam Jurnal Hukum Bisnis Vol. 21...Op. Cit., h. 9. 267 BAB V EKSEKUSI PUTUSAN FORUM ARBITRASE GAMBARAN DILEMA PENEGAKAN KEADILAN DI INDONESIA
A. Makna dan Kekuatan Putusan Menurut Pengadilan Negeri Serta Para Pihak Bersengketa
Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Setiap perkara perdata yang diajukan oleh pihak yang bersangkutan kepada pengadilan tujuannya untuk mendapatkan penyelesaian. Oleh karena itu, setiap pemeriksaan perkara akan diakhiri dengan suatu putusan. Namun demikian putusan dijatuhkan belum berarti persoalan telah selesai. Putusan atas pemeriksaan perkara perdata selanjutnya harus dapat dilaksanakan (dieksekusi). Hal itu penting, oleh karena suatu putusan tidak memiliki arti sama sekali apabila tidak dapat dilaksanakan. Hakikat dari eksekusi putusan adalah realisasi kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum di dalam putusan tersebut. Eksekusi dengan kata lain berarti pula pelaksanaan isi putusan hakim yang dilakukan secara paksa dengan bantuan pengadilan, apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan tersebut secara sukarela.
268 Akan tetapi tidak semua putusan hakim dapat dilaksanakan dalam arti kata yang sesungguhnya, yaitu secara paksa oleh pengadilan. Pada asasnya hanya putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (kracht van gewijsde) yang dapat dieksekusi. Selain telah memperoleh kekuatan hukum tetap, putusan yang dapat atau perlu dieksekusi hanya putusan- putusan yang bersifat condemnatoir, 463 yaitu putusan hakim yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Sedangkan putusan hakim jenis lain, seperti putusan yang bersifat constitutif 464 dan yang bersifat declaratoir 465 pada umumnya tidak dapat atau tidak perlu dilaksanakan dalam arti seperti putusan yang bersifat condemnatoir, oleh karena kedua putusan di muka tidak menetapkan hak atas suatu prestasi tertentu. Adapun prestasi yang wajib dipenuhi dalam rangka eksekusi putusan yang bersifat condemnatoir dapat terdiri atas memberi, berbuat, dan tidak berbuat. Di samping itu juga pada umumnya putusan condemnatoir berisi hukuman terhadap pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang.
463 Lihat, Ny. Retnowulan Sutantio, Hukum Acara...Op. Cit., h. 122. 464 Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum. Contoh putusan constitutif misalnya: pemutusan perkawinan, pengangkatan wali, pemberian pengampuan, pernyataan pailit, pemutusan perjanjian. Lihat, Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara...Op. Cit., h. 189. 465 Putusan declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah, misalnya bahwa anak yang menjadi sengketa adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Juga tiap putusan yang menolak gugatan merupakan putusan declaratoir. Ibid,. h. 189-190 269 Baik putusan hakim maupun putusan arbitrase pada dasarnya memiliki makna yang tidak jauh berbeda. Putusan hakim adalah pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. 466 Yang disebut putusan bukan hanya yang diucapkan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan. Putusan yang diucapkan secara lisan di persidangan disebut uitspraak, sedangkan yang dituangkan dalam bentuk tertulis disebut vonnis. Pada prinsipnya baik putusan yang diucapkan (uitspraak) maupun yang tertulis (vonnis) satu sama lain substansinya tidak boleh berbeda. Apabila ternyata ada perbedaan antara yang diucapkan dengan yang tertulis, maka yang dianggap sah adalah putusan yang diucapkan. Kedua jenis putusan tersebut di dalam kepustakaan hukum Belanda dikenal dengan sebutan vonnis dan gewijsde. Vonnis merupakan sebutan untuk putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap atau dalam beberapa hal disebut juga voorlopig gewijsde, terhadap putusan semacam ini masih tersedia upaya hukum biasa. Sedangkan gewijsde adalah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang dalam beberapa kepustakaan disebut juga
466 Sudikno Mertokusumo, Loc. cit., h. 172.
270 uiterlijk gewijsde, untuk putusan semacam ini hanya tersedia upaya hukum khusus atau upaya hukum istimewa. 467
Adapun putusan arbitrase atau arbitral awards: Means a final award which disposes of all issues submitted to the arbitral tribunal and any other decision of the arbitral tribunal which finally determines any question of substance or the question of its competence or any other question of procedure but, in the later case, only if the arbitral tribunal terms its decision an award. 468
Baik putusan hakim maupun putusan arbitrase (arbitral awards) kedua jenis putusan itu mengenal yang dinamakan putusan akhir (eindvonnis) dan putusan yang bukan putusan akhir atau putusan sela (tussenvonnis), 469 sering pula disebut putusan antara. Perbedaan prinsipal antara putusan hakim dengan putusan arbitrase terletak pada sifat dan cara-
467 Yaitu upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi dalam suatu putusan-putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti. Jenis upaya hukum ini terdiri atas peninjauan kembali dan perlawanan pihak ketiga (derden verzet). 468 Lihat Alan Redfern et al., Law and Practice...Op. Cit., h. 359. 469 Putusan sela (tussenvonnis) atau putusan antara adalah putusan yang diucapkan di dalam persidangan, namun tidak dibuat secara terpisah melainkan ditulis di dalam berita acara persidangan yang berfungsi untuk memperlancar pemeriksaan perkara. Beberapa jenis putusan sela antara lain sebagai berikut: (i) Putusan praeparatoir yaitu putusan yang diucapkan sebagai persiapan putusan akhir tanpa mempunyai pengaruh atas pokok perkra atau putusan akhir. Contohnya, putusan untuk menggabungkan dua perkara atau putusan untuk menolak diundurkannya pemeriksaan saksi; (ii) Putusan interlocutoir yaitu putusan yang isinya memerintahkan pembuktian, misalnya: perintah untuk pemeriksaan saksi atau pemeriksaan setempat. Namun berbeda dengan putusan praeparatoir yang memiliki sifat tidak mempengaruhi putusan akhir, sedangkan putusan interlocutoir dapat mempengaruhi putusan akhir; (iii) Putusan insidentil adalah putusan yang berhubungan dengan insiden, yaitu suatu peristiwa yang menghentikan prosedur beracara. Umpamanya, putusan yang membolehkan seseorang untuk ikut serta di dalam perkara (baik vrijwaring, voeging, maupun tussenkomst). (iv) Putusan provisionil adalah putusan yang menjawab tuntutan provisionil, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan untuk kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.
271 cara putusan tersebut dibuat. Di samping itu, perbedaan di antara kedua jenis putusan itu disebabkan terdapat perbedaan asas yang dianut oleh masing-masing lembaga tempat kedua putusan tersebut dijatuhkan. Sifat serta asas pemeriksaan sengketa pada arbitrase adalah close-door and confidential, sehingga seluruh rangkaian serta proses pemeriksaan sengketa oleh arbiter sampai dengan putusan diucapkan berlangsung dalam sidang yang bersifat tertutup, karena itu pula putusan arbitrase tidak boleh dipublikasikan (shall be closed to the public). Sedangkan asas yang dianut dalam pemeriksaan perkara di pengadilan adalah terbuka untuk umum, sehingga putusan hakim harus diucapkan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum. Apabila putusan hakim diucapkan dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum, berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum, bahkan dapat berakibat putusan itu batal menurut hukum. Selain sifat dan prosedur menjatuhkan putusan hakim dengan putusan arbitrase itu berlainan, ternyata status serta eksistensi kedua putusan itu pun de jure dan de facto dibedakan. Buktinya, di satu pihak secara normatif (de jure) - undang-undang mengakui putusan arbitrase sebagai putusan yang telah memiliki status dan kekuatan hukum setara dengan putusan hakim. Hal tersebut seperti dapat disaksikan dari kaidah yang 272 mengatur tentang substansi dan sistematika putusan arbitrase, 470 yang menetapkan hal-hal yang harus dimuat dalam putusan arbitrase sama dengan putusan hakim. 471 Namun di lain pihak, kenyataan dalam praktik (de facto), perbedaan perlakuan terhadap putusan arbitrase mulai tampak diketahui ketika putusan arbitrase hendak dieksekusi. Sejumlah syarat normatif yang imperatif masih harus diikuti dalam rangka eksekusi putusan arbitrase. Apalagi dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan tersebut secara sukarela. Padahal disadari atau pun tidak, akibat adanya ketentuan semacam itu, undang-undang arbitrase dapat dianggap mengukuhkan ambivalensi norma, karena terbukti menerapkan standar ganda terhadap putusan arbitrase terutama menyangkut syarat-syarat dan prosedur pelaksanaan putusan. Perlakuan ambivalen terhadap putusan arbitrase seharusnya tidak terjadi apabila secara cermat mengamati substansi Pasal 54 ayat (1) Undang-
470 Pasal 54 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 berisi ketentuan: Putusan arbitrase harus memuat: (a) kepala putusan yang berbunyi Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa; (b) nama lengkap dan alamat para pihak; (c) uraian singkat sengketa; (d) pendirian para pihak; (e) nama lengkap dan alamat arbiter; (f) pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai keseluruhan sengketa; (g) pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis arbitrase; (h) amar putusan; (i) tempat dan tanggal putusan; dan (j) tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase. 471 Lihat ketentuan-ketentuan yang termuat di dalam Pasal-pasal berikut ini: 183, 184, 187 HIR (194, 195, 198 Rbg), Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 23 UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan juga Pasal 61 Rv. Suatu putusan hakim terdiri atas 4 (empat) bagian yaitu: (1) kepala putusan, (2) identitas para pihak, (3) pertimbangan, dan (4) amar atau dictum. Lihat Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara... Op.Cit., h. 182-188. 273 undang Arbitrase. Dari norma tersebut sesungguhnya sudah jelas bahwa tidak ada alasan untuk membedakan putusan arbitrase dengan putusan hakim. Hal itu disebabkan: Pertama, semua unsur yang disyaratkan untuk substansi dan sistematika putusan arbitrase ditetapkan sama dengan unsur- unsur yang disyaratkan juga untuk putusan hakim. Kedua, putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Artinya, putusan arbitrase tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali. 472 Namun pada sisi yang lain, sejumlah norma hukum dalam undang-undang arbitrase masih berisi kaidah yang mencitrakan adanya ketergantungan putusan arbitrase terhadap kewenangan pengadilan negeri. Kesan tersebut demikian kuat, lebih-lebih apabila menelusuri muatan norma dalam Pasal-pasal 59 sampai dengan 64 untuk putusan arbitrase nasional dan Pasal-pasal 65 sampai dengan 69 untuk putusan arbitrase internasional. Bahkan Undang-undang arbitrase telah memberi kewenangan kepada pengadilan negeri sebagai satu-satunya lembaga yang kompeten untuk menerima permohonan dan memutus pembatalan putusan arbitrase yang diajukan oleh para pihak. Kaidah semacam itu tidak dapat dinafikan telah menjadi salah satu indikator yang nyata-nyata menempatkan putusan arbitrase sebagai subordinasi dari kompetensi pengadilan negeri.
472 Lihat Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999 dan Penjelasannya.
274 Berdasarkan fakta tersebut di muka, tidak dapat dipungkiri jika ternyata kaidah hukum arbitrase telah menciptakan prakondisi yang kurang menguntungkan untuk putusan arbitrase. Oleh karena norma hukum arbitrase telah memungkinkan pengadilan negeri dengan pihak-pihak yang bersengketa berbeda sudut pandang atau pemahaman mengenai status serta eksistensi putusan arbitrase. Dari satu segi, para pihak yang bersengketa akan memahami putusan arbitrase sebagai putusan yang bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat mereka. Aturan itu bermakna, dilaksanakan atau tidak putusan arbitrase secara sukarela oleh para pihak, mestinya merupakan urusan mereka yang bersengketa serta forum arbitrase sebagai pemutus. Mestinya tidak harus melibatkan perintah Ketua Pengadilan Negeri. Oleh karena perintah Ketua Pengadilan Negeri sebagai syarat normatif dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, bermakna putusan arbitrase belum final dan belum mengikat para pihak. Sedangkan pada sisi lain, ketentuan mengenai penyerahan dan pendaftaran lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri sebelum putusan dilaksanakan, menjadi salah satu alasan bagi pengadilan negeri untuk tetap merasa memiliki kewenangan dalam pelaksanaan putusan arbitrase. Berdasarkan hal tersebut, pengadilan tetap beranggapan bahwa putusan arbitrase belum memiliki titel 275 eksekutorial. Secara tidak langsung, ketentuan itu pun telah menempatkan putusan arbitrase sebagai putusan yang tidak mandiri. Akibatnya putusan arbitrase dikondisikan sebagai putusan yang berketergantungan terhadap kewenangan pengadilan negeri. Oleh karena itu, ambivalensi normatif yang terjadi dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 sebagaimana dipaparkan di muka, tak ayal lagi membawa dampak pada pemaknaan yang beragam terhadap kaidah hukum arbitrase.Tentu saja melakukan interpretasi terhadap kaidah hukum bukan sesuatu yang dilarang. Namun apabila disebabkan norma yang ambivalen berakibat terjadi ambiguitas terhadap status putusan arbitrase, mestinya hal itu tidak dibiarkan berlangsung terus menerus. Masalahnya, disadari atau pun tidak keadaan tersebut akan membawa konsekuensi terhadap persoalan kepastian hukum serta derajat kepercayaan para pencari keadilan yang hendak menggunakan arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa. Pada dataran teoritis, setiap putusan hakim termasuk di dalamnya putusan arbitrase, pada prinsipnya mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan, yaitu: (1) kekuatan mengikat, (2) kekuatan pembuktian, dan (3) kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk dilaksanakan. Masing-masing kekuatan putusan dimaksud dapat disimak dalam paparan berikut ini.
276
1. Kekuatan Mengikat Setiap putusan, baik putusan hakim maupun putusan arbitrase pada dasarnya merupakan hukum yang mengikat semata-mata terhadap para pihak yang bersangkutan. 473 Artinya, putusan hakim menentukan hukum yang konkret bagi pihak-pihak tertentu dalam suatu peristiwa yang konkret pula. Seperti halnya kaidah hukum, maka suatu putusan hakim yang telah dijatuhkan harus dihormati oleh kedua belah pihak. Salah satu pihak tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan. Oleh karena itu, untuk menaati suatu putusan dapat dipaksakan melalui lembaga eksekusi. Secara teoretis para pihak terikat terhadap putusan memiliki dua arti, yaitu: arti positif dan arti negatif. 474 Arti positif atau het positieve gezag van gewijsde maksudnya, segala apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar, sehingga pembuktian lawan tidak dimungkinkan: res judicata pro veritate habetur. 475 Putusan hakim itu dapat dijadikan sebagai dasar hukum bagi suatu tuntutan lain. 476 Sedangkan arti negatif atau het negatieve gezag van gewijsde dari kekuatan mengikat suatu putusan maksudnya, bahwa hakim
473 Lihat, Pasal 1917 ayat (1) BW juncto Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999. 474 Lihat Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara...Op. Cit., h. 177. 475 An adjudicated matter. A matter decided on its merits by a competent court. The judgment is conclusive unless reversed on appeal. Dictionary of ...Op. Cit., h. 144. 476 Suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang menyatakan umpamanya bahwa seseorang adalah pemilik sah atas rumah sengketa, dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk menuntut pembayaran sewa terhadap orang yang selama ini menempati rumah tersebut. Lihat, Setiawan, Putusan Hakim... dalam Varia Peradilan Th. VII No. 80, Mei 1992, ...Op. Cit., h. 138. 277 tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya antara para pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama. Artinya, putusan hakim (dalam perkara perdata) yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sekali diperoleh menutup kemungkinan bagi para pihak untuk penuntutan selanjutnya. 477
Di muka telah disebutkan bahwa putusan hakim merupakan hukum yang mengikat para pihak, maka putusan hakim senyatanya berfungsi sebagai sumber hukum. Putusan hakim dapat memuat kaidah hukum yang sebelumnya tidak tercantum dalam ketentuan perundang-undangan tertentu. Oleh karena itu, menurut Setiawan, 478 putusan hakim dapat memperluas daya jangkau berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tertentu. Sebaliknya, putusan hakim juga dapat mempersempit daya berlakunya suatu kaidah perundang-undangan tertentu (rechtsverfijning). 479 Dalam menyempitkan hukum dibentuklah pengecualian-pengecualian atau
477 Sedangkan di dalam hukum pidana hal itu dinamakan dengan asas ne bis in idem, sebagaimana dapat diketahui dari Pasal 76 KUHPidana, yaitu: ...Seseorang tidak dapat diadili kedua kalinya dalam perkara yang sama. Lihat Setiawan, Putusan Hakim..; Ibid., h. 137. 478 Lihat, Setiawan, Publikasi Putusan Hakim; dalam Varia Peradilan Tahun VIII Nomor 95, Agustus 1993, h. 116-117. 479 Sebagai contoh penyempitan hukum adalah pengertian perbuatan melawan hukum dalam pasal 1365 BW yang luas lingkupnya dipersempit sehingga menjadi apa yang kita jumpai dalam yurisprudensi antara lain putusan HR 19 Januari 1919 dalam kasus Lindenbaum vs. Cohen. Contoh lain misalnya, bahwa undang-undang tidak menjelaskan apakah kerugian harus diganti juga oleh yang dirugikan yang ikut bersalah menyebabkan kerugian (Pasal 1365 BW). Akan tetapi yurisprudensi menetapkan bahwa kalau ada kesalahan pada yang dirugikan ini hanya dapat menuntut sebagian dari kerugian yang diakibatkan olehnya. Lihat, Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum...Op. Cit., h. 150-151. 278 penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang bersifat umum. Hal itu semua semakin menunjukkan betapa hukum bukanlah suatu hal yang statis, melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Senyatanya hukum itu berkembang di luar kodifikasi, sehingga tatkala suatu peraturan dituangkan dalam bentuk tertulis (kodifikasi), maka pada saat itu pula hukum telah ketinggalan zaman. Oleh sebab itu, suatu undang-undang sebagai kodifikasi hanya dapat dipahami melalui perkembangan dari perubahan maknanya melalui yurisprudensi. Lebih-lebih apabila yang dihadapi adalah undang-undang yang telah berumur puluhan atau bahkan ratusan tahun seperti Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Dalam konteks semacam ini tentu saja menjadi tugas hakim dalam penegakan hukum untuk melakukan interpretasi historis atau penafsiran sejarah, baik dalam pengertian sejarah hukum (rechtshistoris) maupun sejarah undang-undang (wetshistoris).
2. Kekuatan Pembuktian Putusan yang dituangkan dalam bentuk tertulis yang dibuat sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku merupakan akta otentik. 480 Oleh
480 Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap diantara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak dari padanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka; akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari akta. Lihat Pasal 165 HIR, 1868 BW, 285 Rbg.
279 karena itu, putusan memberikan pembuktian terhadap apa yang dinyatakan sebagai peristiwa-peristiwa (feitelijke voorgevallen) dalam putusan tersebut. Di dalam hukum pembuktian, dari suatu putusan bermakna telah diperoleh suatu kepastian hukum tentang sesuatu peristiwa sebagaimana dinyatakan dalam putusan dimaksud. Sebagai akta otentik, putusan dimaksudkan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak. Terhadap pihak ketiga, putusan tidak mempunyai kekuatan mengikat, namun mempunyai kekuatan pembuktian. Selain sebagai akta otentik, suatu putusan dapat juga dianggap sebagai sumber persangkaan (vermoedens) 481 tentang kebenaran materiil dari apa yang diterangkan oleh para saksi atau apa yang diakui oleh para pihak. Putusan merupakan persangkaan bahwa isi putusan itu benar, sebab yang diputus oleh hakim harus dianggap benar (res judicata pro veritate habetur). 482 Sebagai akta otentik putusan merupakan bukti yang cukup atau bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, para ahli warisnya, serta orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka. Namun demikian akta otentik juga masih dapat dilumpuhkan oleh bukti lawan yang kuat. 483 Jadi,
481 Lihat Pasal 1916 ayat (2) no. 3 BW . Persangkaan-persangkaan semacam itu diantaranya: kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak. 482 Lihat Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara...Op. Cit., h. 181. 483 Umpamanya, apabila dalam suatu akta notaris, pada minuut (akta asli) yang disimpan oleh notaris, terdapat tanda tangan palsu dan perihal kepalsuan tanda tangan tersebut dapat dibuktikan, maka gugurlah kekuatan bukti akta notaris tersebut. Lihat Ny. Retnowulan Sutantio, Hukum Acara...Op. Cit., h. 66. 280 para pihak dalam keterikatan pada isi putusan yang telah diperoleh, masih dapat atau masih dimungkinkan untuk mengajukan suatu perkara baru pada forum penyelesaian sengketa mana pun.
3. Kekuatan Eksekutorial Pada dasarnya hanya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap yang dapat dieksekusi. Putusan semacam itulah yang termasuk kategori memiliki kekuatan eksekutorial (executoriale kracht) atau kekuatan untuk dilaksanakan. Oleh karena putusan itu menetapkan dengan tegas hak atau hukumnya untuk kemudian direalisasikan. Masalahnya, kekuatan mengikat suatu putusan belum memiliki arti apa pun bagi pihak- pihak yang bersangkutan apabila putusan tersebut tidak dapat dieksekusi. Eksekusi merupakan tindakan paksa yang dilakukan oleh pengadilan dengan bantuan alat-alat negara dalam rangka menjalankan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Tindakan paksa tersebut baru akan dipilih apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan secara sukarela. Sedangkan apabila pihak yang kalah bersedia menaati isi putusan secara sukarela maka tindakan eksekusi tidak dilakukan. Persoalan selanjutnya adalah, apa yang menjadi persyaratan bagi suatu putusan untuk memperoleh kekuatan eksekutorial (executoriale kracht)? Secara normatif setiap putusan, baik putusan pengadilan maupun 281 arbitrase harus memuat kepala putusan 484 yang berbunyi: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kepala putusan itulah yang memberi kekuatan eksekutorial terhadap putusan. Tidak hanya putusan pengadilan atau putusan arbitrase, bahkan akta notariil seperti halnya grose akta hipotik (grose akta van hypotheek) dan grose akta pengakuan hutang (notarieele schuldbrieven) 485 harus berkepala Demi Keadilan Berdasarkan
484 Untuk putusan pengadilan, periksa Pasal 4 ayat (1) UU No. 35 Tahun 1999. Sedangkan untuk putusan arbitrase, periksa Pasal 54 UU No. 30 Tahun 1999. Untuk akta notariil seperti grose akta hipotik dan grose akta pengakuan hutang diatur di dalam Pasal 224 HIR. 485 Grose akta hipotik dan grose akta pengakuan hutang, kedua jenis akta notariil tersebut memiliki perbedaan pokok serta masing-masing berdiri sendiri dan sama sekali tidak boleh dicampur aduk. Perbedaan diantara keduanya terletak pada hal-hal berikut ini: Pertama, dokumen yang melengkapi keabsahan kedua akta itu berlainan; pada grose akta pengakuan hutang, keabsahan serta sifat asesor dari dokumen yang melengkapi akta ini lebih sederhana dan hanya diperlukan dua jenis dokumen, yaitu: (1) dokumen perjanjian pokok; (2) pernyataan pengakuan hutang oleh pihak debitur yang dituangkan dalam bentuk akta notaris. Sedangkan pada grose akta hipotik diperlukan 4 (empat) atau paling sedikit 3 (tiga) dokumen yang melengkapi keabsahannya. Ketiga dokumen tersebut adalah: (1) dokumen perjanjian pinjaman hutang/kredit sebagai dokumen pokok yang ditandatangani oleh debitur dan kreditur. Bentuk dokumen ini bebas, dapat berbentuk akta otentik atau akta di bawah tangan; (2) perjanjian kuasa memasang hipotik. Perjanjian ini dapat disatukan sekaligus dalam akta perjanjian hutang/kredit apabila bentuknya akta otentik (akta notaris). Sedangkan apabila perjanjian hutang/kredit tidak dituangkan dalam bentuk akta otentik, maka perjanjian kuasa memasang hipotik mutlak harus terpisah dan berdiri sendiri di luar perjanjian hutang. (3) dokumen akta pemasangan hipotik. Sebagai akta resmi (gerechtelijke akte) tentang penetapan hipotik dibuat oleh pejabat yang berwenang. Akta ini pun harus mencantumkan kalimat Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, agar akta pemasangan hipotik sebagai grose akta memiliki kekuatan eksekutorial. Harus dibuat dihadapan PPAT (bisa Camat atau Notaris). Minut atau lembar asli akta hipotik disimpan oleh PPAT, sedangkan lembar kedua berupa salinan (grose) dikeluarkan satu lembar diserahkan kepada pihak kreditur sebagai bukti penetapan hipotik. (4) Sertifikat hipotik; ini melalui proses, akta hipotik, sertifikat hak tanah, dan dokumen lain (akta perjanjian hutang, kuasa memasang hipotik) disampaikan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah/Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kota) yang bersangkutan untuk didaftarkan dan pendaftarannya dalam Buku Tanah. Kedua, Prosedur untuk grose akta pengakuan hutang lebih sederhana, tidak memerlukan pensertifikatan dan pendaftaran di kantor pendaftaran tanah, sedangkan untuk grose akta hipotik harus didaftarkan dalam register umum sebagaimana 282 Ketuhanan Yang Maha Esa. 486 Kepala akta tersebut merupakan syarat yang mesti ada agar akta notariil di muka memiliki nilai kekuatan sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kekuatan eksekutorial selain dimiliki oleh putusan pengadilan dan putusan arbitrase yang telah berkekuatan hukum tetap serta grose akta notariil yang berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, juga dimiliki oleh akta perdamaian. 487 Akta perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 130 ayat (2) HIR yang dibuat di persidangan juga mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan seperti putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kedudukan sejajar antara akta perdamaian dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap ini membawa konsekuensi hukum terhadap akta perdamaian itu sendiri. Konsekuensi tersebut yaitu apabila salah satu pihak ingkar untuk menepati
ditentukan dalam Pasal 1179 BW jo Pasal 22 ayat (3) PP No. 10/1961. Ketiga, berbeda dalam persoalan hak yang melekat atas benda jaminan. Hak hipotik yang diberikan debitur kepada kreditur tetap melekat pada benda yang bersangkutan di tangan siapa pun benda itu berada. Artinya, hak hipotik kreditur tidak lepas/tanggal, sekali pun debitur (pemilik) menjual atau memindahkannya kepada pihak ketiga. Keempat, Berbeda beayanya; Untuk grose akta pengakuan hutang tidak diperlukan beaya pendaftaran akta, hanya ada beaya akta notaris. Sedangkan untuk grose akta hipotik oleh karena dituntut formalitas prosedur pendaftaran, maka diperlukan beaya berupa: materai, honor PPAT, dan beaya pendaftaran. Lihat M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Jakarta: Gramedia, 1988, h. 198- 216. 486 Periksa Pasal 224 HIR (Pasal 258 Rbg). 487 Salah satu bukti bahwa akta perdamaian yang dibuat di dalam sidang memiliki kekuatan seperti putusan hakim, dapat diketahui dari Pasal 1858 ayat (1) BW: Segala perdamaian di antara para pihak mempunyai suatu kekuatan seperti suatu putusan hakim dalam tingkat penghabisan. 283 isi yang dirumuskan dalam akta perdamaian, maka pihak lain dapat mengajukan permintaan eksekusi ke pengadilan.
B. Interpretasi, Koreksi, dan Pergeseran Makna Putusan Arbitrase
Sebagaimana telah diutarakan di muka, bahwa status putusan arbitrase secara normatif sudah jelas yakni bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap, serta mengikat para pihak. 488 Oleh karena itu, putusan arbitrase tidak dapat dimohonkan pemeriksaan banding, 489 kasasi, maupun peninjauan kembali. Akan tetapi di dalam praktik, salah satu pihak dalam sengketa diberi peluang untuk mengajukan permintaan interpretasi (interpretation) 490 serta koreksi (correction) 491 atas putusan arbitrase kepada kepada forum yang menjatuhkan putusan tersebut. Interpretasi putusan arbitrase dapat dimintakan oleh salah satu pihak apabila putusan yang dijatuhkan mengandung ketidakjelasan arti, maksud,
488 Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase. 489 Kecuali menurut ketentuan Pasal 641 Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) S. 1847 No. 52 jo 1849 No. 63. Rv sebagai ketentuan hukum acara perdata yang dahulu berlaku pada Raad van Justitie (RvJ) untuk orang-orang Eropa dan yang dipersamakan dengan orang Eropa, di dalamnya mengatur perihal perwasitan atau arbitrase memperkenankan banding kepada Hooggerechtshof untuk putusan-putusan arbitrase (de uitspraken van scheidsmannen atau putusan-putusan wasit). 490 Seperti dapat dibaca dari Art. 50 (1) ICSID Convention: If any dispute shall arise between the parties as to the meaning or scope of an award, either party may request interpretation of the award by an application in writing addressed to the Secretary- General. Bahkan secara rinci tentang bagaimana permohonan interpretasi, revisi, dan pembatalan putusan arbitrase itu diajukan dapat diketahui dalam Rule 50 ICSID Rules of Procedure for the Institution of Conciliation and Arbitration Proceedings (1965). 491 Many developed systems of national law permit the correction of minor clerical or typographical errors in awards, either at the request of one or both of the parties or 284 atau menimbulkan perbedaan penafsiran di antara para pihak. Permohonan interpretasi harus diajukan secara tertulis kepada secretary-general, 492 serta apabila dimungkinkan permohonan dimasukkan kepada forum arbitrase yang menjatuhkan putusan tersebut. 493 Sedangkan koreksi (correction) atau revisi atas putusan (revision of the award) dapat diminta oleh salah satu pihak yang bersengketa ...on the ground of discovery of some fact of such a nature as decisively to affect the award.... 494 Ketentuan mengenai permintaan koreksi putusan serupa itu dapat pula dijumpai di dalam United Nations Commission on International Trade Law Arbitration Rules (UNCITRAL Arbitration Rules). 495 Masalah koreksi atau revisi putusan arbitrase, sesungguhnya tidak dapat dianggap sepele. Oleh karena mungkin
by the arbitral tribunal on its own initiative. Lihat, Alan Redfern et al., Law and Practice...Op. Cit., h. 373. 492 Lihat, Rule 50 ICSID Rules of Procedure. 493 Lihat, Article 50 (2) ICSID Convention. 494 Lihat, Article 51 (1) ICSID Convention. 495 Article 36 (1) UNCITRAL Arbtration Rules tentang Correction of the Award antara lain menyebutkan: ...either party, with notice to the other party, may request the arbitral tribunal to correct in the award any errors in computation, any clerical or typographical errors, or any errors of similar nature. The arbitral tribunal may within thirty days after the communication of the award make such corrections on its own initiative. Memperhatikan substansi norma tentang koreksi putusan di dalam Art. 51 ICSID dan Art. 36 UNCITRAL Arbitration Rules, dapat dipahami bahwa koreksi atau revisi terhadap putusan arbitrase dapat dimintakan oleh salah satu pihak apabila putusan diketahui mengandung kesalahan atau kekeliruan (error) mengenai: (i) errors in computation (kesalahan perhitungan jumlah atau salah taksir) (ii) any clerical or typographical errors (salah penulisan kata atau salah pengetikan); dan (iii) or any errors of similar nature (atau kesalahan yang sama sifatnya dengan kesalahan yang disebut terdahulu). Bahkan Mahkamah Arbitrase atas inisiatif sendiri memiliki wewenang secara ex officio untuk melakukan koreksi walau tanpa ada permintaan dari salah satu pihak yang bersengketa. Hal itu dapat dilakukan sekiranya Mahkamah Arbitrase menyadari ada kesalahan-kesalahan dimaksud. Lihat, Yahya Harahap, Arbitrase...Op. Cit., h. 268-269. 285 saja terjadi salah satu pihak menemukan kesalahan di dalam putusan yang secara meyakinkan sangat mempengaruhi isi putusan. Dalam keadaan semacam itu salah satu pihak dapat menjadikan kesalahan dalam putusan sebagai dasar untuk mengajukan koreksi. Kaidah hukum arbitrase mengatur tentang permohonan untuk melakukan koreksi putusan yang dapat diajukan kepada arbiter atau majelis arbitrase dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan diterima oleh para pihak. 496 Sedangkan mengenai interpretasi putusan (interpretation of the award), kaidah hukum arbitrase sama sekali tidak mengatur. Berdasarkan penelusuran informasi, diketahui ternyata tidak semua peraturan prosedur arbitrase (rules of arbitral procedure) mengatur mengenai interpretasi putusan. Sebagai contoh Rv, BANI Rules, serta Undang-undang Arbitrase Noor 30 Tahun 1999 tidak mengatur masalah interpretasi putusan. Sedangkan BANI Rules dan Undang-undang Arbitrase juga tidak membuka peluang untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding, kasasi, maupun peninjauan kembali untuk putusan arbitrase. Putusan arbitrase yang bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat para pihak itu apabila ternyata mengandung kesalahan atau kekeliruan (error) diberi jalan keluar melalui permohonan koreksi putusan yang dapat diajukan para pihak. Hal itu amat penting, terutama apabila salah
496 Periksa, Pasal 58 UU No. 30 Tahun 1999. 286 satu pihak yang bersengketa menemukan kesalahan di dalam putusan yang secara meyakinkan sangat mempengaruhi isi putusan. BANI Rules menyediakan norma yang dapat digunakan oleh termohon (respondent) untuk mengajukan perlawanan (request for opposition). 497 Perlawanan dapat diajukan terhadap putusan yang mengabulkan tuntutan pemohon (claimant) yang dijatuhkan dalam pemeriksaan tanpa dihadiri termohon (respondent). Sedangkan Undang- undang Arbitrase selain memberi kesempatan para pihak untuk mengajukan permohonan koreksi terhadap kekeliruan dalam putusan, 498 para pihak juga dimungkinkan untuk mengajukan pembatalan putusan (annulment of an arbitration award). 499 Permohonan pembatalan harus diajukan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri. Terhadap putusan pengadilan negeri mengenai pembatalan putusan arbitrase itulah permohonan banding
497 Perlawanan diajukan dengan cara yang sama seperti yang berlaku untuk mengajukan permohonan untuk mengadakan arbitrase, kecuali bahwa tidak perlu membayar beaya- beaya pendaftaran dan administrasi/pemeriksaan; [Lihat, Pasal 12 ayat (3) BANI Rules]. Perlawanan diajukan termohon dalam waktu empat belas hari setelah putusan diberitahukan kepadanya; [Pasal 12 ayat (2) BANI Rules]. 498 Lihat, Pasal 58 UU No. 30 Tahun 1999. 499 Permohonan pembatalan putusan arbitrase (annulment of an arbitration award) dapat diajukan para pihak, apabila putusan arbitrase diduga mengandung unsur-unsur sebagaimana disebutkan dalam Pasal 70 Undang-undang Arbitrase, yaitu: (a) Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; (b) Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; (c) Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri; [Lihat, Pasal 72 ayat (1) UU Arbitrase].
287 dapat diajukan ke Mahkamah Agung yang akan memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Di samping pengaturan yang memperlakukan putusan arbitrase semacam itu, di dalam praktik berkembang pula bentuk-bentuk pemaknaan atau penafsiran terhadap putusan arbitrase berdasarkan sudut pandang masing-masing pihak. Hal itu berkembang karena tanpa disadari undang- undang arbitrase telah menghadirkan ambiguitas dalam arti pemberian makna atau penafsiran yang lebih dari satu terhadap status putusan arbitrase. Betapa tidak, pada satu sisi putusan arbitrase tegas dinyatakan bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap, dan mengikat para pihak. Susunan serta isi putusan arbitrase pun ditentukan sama dengan susunan dan isi putusan hakim. Bahkan putusan arbitrase pun harus memuat kepala putusan yang berbunyi Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka sebenarnya tidak ada keraguan lagi terhadap putusan arbitrase yang diambil oleh arbiter atau majelis arbitrase berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan, telah mempunyai kekuatan eksekutorial. Berdasarkan unsur-unsur yang disebutkan di muka, tidak dapat dipungkiri kalau putusan arbitrase sesungguhnya telah memiliki kedudukan sejajar serta kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim. Namun demikian, pada sisi lain norma hukum arbitrase juga menganut standar 288 ganda. Putusan arbitrase yang telah jelas kedudukan, status keberadaan, serta kekuatan hukumnya, secara tegas diposisikan sebagai putusan yang masih sangat tergantung pada kewenangan pengadilan negeri. Sejumlah indikasi mengenai hal tersebut sangat mudah dijumpai dalam undang- undang arbitrase. Beberapa diantaranya sebagai berikut. Pertama, putusan arbitrase nasional maupun internasional yang hendak dilaksanakan, disyaratkan terlebih dahulu lembar asli atau salinan otentik putusan tersebut untuk diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri. Khusus untuk putusan arbitrase internasional hal itu harus dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kedua, putusan arbitrase nasional yang tidak memenuhi ketentuan penyerahan dan pendaftaran putusan, berakibat putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan. Ketiga, putusan arbitrase nasional yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak, putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak. Keempat, khusus untuk putusan arbitrase internasional, putusan dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menyimak keempat indikator di muka tidak ada keraguan sama sekali kalau putusan arbitrase secara normatif sesungguhnya telah ditempatkan dalam posisi tidak sejajar dengan putusan hakim. Itu berarti 289 kaidah hukum arbitrase telah mengukuhkan ambivalensi norma. Disadari atau tidak norma semacam itu telah membawa akibat yang cukup serius terhadap status hukum serta eksistensi putusan arbitrase. Oleh karena di satu sisi, para pihak yang bersengketa menganggap putusan arbitrase sebagai putusan yang final, mempunyai kekuatan hukum tetap, dan mengikat mereka. Sangat wajar dan beralasan apabila pihak-pihak menganggap putusan semacam itu telah memiliki kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk dieksekusi. Sedangkan pengadilan negeri menguji putusan arbitrase dengan menggunakan keempat indikator seperti yang diutarakan di muka. Hasilnya, telah dapat diduga, yaitu bahwa putusan arbitrase untuk dapat dieksekusi masih memerlukan keterlibatan kewenangan pengadilan negeri. Perbedaan sudut padang antara pihak-pihak bersengketa dengan pihak pengadilan seperti itu akan terus menerus merupakan suatu divergensi sikap yang tidak pernah akan berakhir. Oleh karena itu, untuk menciptakan kedua kubu pandangan menjadi konvergen, perlu diupayakan solusi terbaik melalui cara-cara normatif pula, sebab kondisi itu pun tercipta sebagai akibat norma yang ambivalen. Upaya yang harus dilakukan dan sekaligus juga harus dipositifkan di dalam undang-undang arbitrase di antaranya: (i) Forum arbitrase harus dikukuhkan kemadirian serta kewenangannya sebagai salah satu lembaga pemeriksa dan pemutus sengketa komersial atau sengketa perdagangan di luar lembaga pengadilan 290 negeri. Akan tetapi upaya tersebut hendaknya tidak dilakukan separuh hati sebagaimana yang telah terjadi. (ii) Berbagai anasir yang dapat mengurangi kedudukan serta wibawa forum arbitrase semestinya dihapuskan. Oleh karena itu, sudah saatnya dependensi forum arbitrase terhadap kompetensi pengadilan negeri dilepaskan sama sekali, sebab hal tersebut langsung atau pun tidak telah berdampak sangat merugikan eksistensi forum arbitrase sendiri. (iii) Terhadap sejumlah pasal di dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 yang telah mencitrakan forum arbitrase tersubordinasikan di bawah kewenangan pengadilan merupakan conditio sine qua non untuk dilakukan perubahan atau amandemen. Demikian pula terhadap pasal yang nyata-nyata telah memandulkan peran dan fungsi forum arbitrase. Pasal-pasal dimaksud antara lain dapat disebutkan berikut ini: Pasal 59 ayat (1 sampai dengan 5), Pasal 61, Pasal 62 ayat (1 sampai dengan 3), Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 huruf d, Pasal 67 ayat (1 dan 2), Pasal 68 ayat (1 sampai dengan 3), Pasal 69 ayat(1), Pasal 70, pasal 71, dan Pasal 72. (iv) Putusan arbitrase yang dijatuhkan dimana pun, baik nasional maupun internasional seyogianya tidak harus didaftarkan dan diserahkan atau dimintakan eksekuatur dari pengadilan negeri. Persoalannya, cara- 291 cara tersebut telah sangat jelas membuktikan bahwa kewenangan pengadilan negeri untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan, terkesan telah mensubordinasikan putusan-putusan arbitrase di bawah kompetensi pengadilan negeri.
C. Diskresi Hakim dalam Masalah Eksekuatur Putusan Arbitrase
Sebagaimana diketahui bahwa diskresi (discretion) adalah suatu istilah dalam konteks pelaksanaan kebijaksanaan (policy) yang memiliki multi makna. Lawrence M. Friedman, 500 antara lain mengemukakan Discretion commonly refers to a case where a person, subject to a rule, has power to choose between alternative courses of action. Oleh karena itu, diskresi merupakan fenomena yang amat penting dan fundamental, terutama di dalam hal implementasi kebijaksanaan pemerintah. Dalam kaitan itu Jeffery Jowell mengatakan:Discretion as the room for decisional manoeuvre possessed by a decision maker. 501
Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman pada prinsipnya adalah anggota birokrasi badan peradilan yang diberi kebebasan dalam
500 Discretion is a term with many meaning. Lihat, Lawrence M. Friedman, The Legal...Op. Cit., h. 32. 501 Lihat, Esmi Warassih, Kegunaan Telaah Kebijaksanaan Publik Terhadap Peranan Hukum di dalam Masyarakat Dewasa ini (Sebuah Pengantar); dalam Masalah- Masalah Hukum No. 11 Tahun 1994, h. 23.
292 mengekspresikan kewenangannya. Namun kebebasan tersebut sifatnya tidak mutlak, karena kekuasaan kehakiman juga dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, sistem politik, sistem ekonomi, dan sebagainya. 502 Di Indonesia, sampai dengan tahun 1999, hakim berada di dalam alur birokrasi peradilan yang secara hirarkis kewenangannya cukup unik. Dikatakan unik karena penanganan kekuasaan kehakiman dilakukan secara dualisme hirarkis. Di satu sisi hirarki badan peradilan berpuncak pada Mahkamah Agung, yang melakukan pembinaan teknis yustisi kepada para hakim pengadilan-pengadilan rendahan. Sedangkan pada sisi lain, tugas pembinaan bidang organisatoris, administratif, dan finansial (keuangan) badan peradilan dilakukan oleh Departemen Kehakiman. Keadaan tersebut secara normatif sekarang telah diubah melalui Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Perubahan tersebut dapat diketahui melalui norma berikut: Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) secara organisatoris, administratif, dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. 503 Itu berarti Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 merupakan tonggak sejarah yang membawa perubahan birokrasi badan peradilan dari
502 Lihat Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum...Op. Cit., h. 113-114. 503 Lihat Pasal 11 ayat (1) UU No. 35 Tahun 1999.
293 sistem hirarki dualisme pada masa yang lalu menuju sistem hirarki monisme di masa mendatang. Akan tetapi perubahan yang cukup mendasar terhadap birokrasi badan peradilan tidak serta merta mengubah status para hakim sebagai bagian dari birokrasi peradilan. Artinya, baik dalam sistem hirarki dualisme maupun hirarki monisme, status hakim tetap merupakan aparat birokrasi. 504
Oleh karena itu, hakim adalah birokrat yang menjalankan tugas-tugas negara dalam organisasi kekuasaan kehakiman. Dalam menjalankan aktivitasnya, para birokrat mempunyai suatu kebebasan untuk membuat kebijaksanaan tertentu yang mengenai aspek yuridis disebut sebagai freies ermessen atau pouvoir discretionnaire. 505 Berkenaan dengan hal tersebut, Francis E. Rauke 506 dalam bukunya Bureaucracy, Politics and Public Policy, menggambarkan bahwa: Discretion refers to the ability of an administrator to choose among alternative to decide in effect law the policies of the government should be implemented in spesific case. Jadi, kewenangan yang dimiliki seorang hakim untuk melakukan pilihan dalam memutuskan berdasarkan kebijaksanaan tertentu ketika menangani kasus-
504 Yahya Muhaimin, dalam bukunya Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru (1990:23), merumuskan birokrasi sebagai keseluruhan aparat pemerintah, sipil maupun militer, yang melakukan tugas membantu pemerintah dan mereka yang menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu. Lihat dalam Akhmad Setiawan, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, h. 144. 505 Esmi Warassih, Kegunaan Telaah...Op. Cit., h. 23. 506 Esmi Warassih, Loc. Cit., 294 kasus yang dihadapkan kepadanya, dinamakan kewenangan diskresioner hakim (diskresi hakim). Kewenangan diskresioner bermakna: Kewenangan untuk membuat keputusan serta kemudian mengambil tindakan yang dianggap tepat atau sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, yang dilakukan secara bijaksana dan dengan memperhatikan segala pertimbangan maupun pilihan yang memungkinkan. 507 Berkaitan dengan pembahasan mengenai diskresi hakim, kemudian muncul pertanyaan, benarkah pemberian eksekuatur terhadap putusan arbitrase internasional tergolong diskresi hakim? Eksekuatur (exequatur) itu sendiri berarti penetapan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri (KPN) yang berisi perintah eksekusi agar putusan arbitrase dapat dilaksanakan. Undang-undang Arbitrase menunjuk KPN Jakarta Pusat sebagai pejabat yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan penetapan eksekuatur terhadap putusan arbitrase internasional yang akan dieksekusi di Indonesia. Berdasarkan makna eksekuatur tersebut, dapat dipahami betapa kewenangan yang diberikan undang-undang kepada KPN demikian besar dalam menentukan suatu putusan arbitrase internasional dapat atau tidak dieksekusi. Bahkan KPN seakan memiliki kewenangan penuh untuk menilai benar atau tidak
507 Erlyn Indarti, Diskresi Polisi. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000, h. 12.
295 suatu putusan arbitrase yang dijatuhkan. Dalam rangka melaksanakan kewenangan, fungsi, serta tanggung jawab semacam itu, maka para hakim, teristimewa KPN Jakarta Pusat sebagai pejabat yang berwenang memberi eksekuatur, dituntut untuk memiliki wawasan serta pemahaman yang komprehensif mengenai ruang lingkup permasalahan hukum arbitrase. Seandainya sinyalemen Priyatna Abdurrasyid bahwa 99,9 persen hakim tidak mengerti mengenai hukum arbitrase itu benar adanya, maka akan sangat berdampak tidak menguntungkan terhadap pihak-pihak yang bersengketa pada forum arbitrase asing. Oleh karena apabila hakim atau KPN kurang atau bahkan tidak menguasai dengan saksama kaidah hukum arbitrase, akan sulit untuk dapat melaksanakan kewenangan diskresioner dalam memberikan eksekuatur. Dampaknya, putusan arbitrase internasional akan sulit memperoleh eksekuatur di Indonesia, sehingga bagi setiap hakim lebih-lebih KPN Jakarta Pusat sebagai pemegang otoritas eksekuatur merupakan conditio sine qua non untuk benar-benar menguasai serta memahami kaidah hukum arbitrase secara utuh menyeluruh. Aharon Barak 508 menyebut kewenangan diskresioner seorang hakim dengan istilah judicial discretion, yaitu the power given to the judge to
508 these options may refer to three matters. The first is the fact. Judicial discretion chooses from among the set of facts those that it deems necessary for making a decision in the conflict. The second area is the application of a given norm. Judicial discretion selects from among the different methods of application that the norm provides the one that it finds appropriate. The third area of discretion chooses from 296 choose from among a number of possibilities, each of them lawful in the context of the system. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa para hakim dalam menjalankan tugas-tugas judicial diberi kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) untuk melakukan pilihan terhadap sejumlah alternatif dalam menerapkan norma di antara berbagai kemungkinan. Selanjutnya Barak 509 mengatakan: the power the law gives the judge to choose among several alternatives, each of them being lawful or to choose among a number of lawful options. Adapun yang dimaksud dengan options dalam pernyataan itu pada prinsipnya merujuk pada tiga persoalan, 510 yaitu: Pertama, Judicial discretion chooses from among the set of facts those that it deems necessary for making a decision in the conflict. Kedua, Judicial discretion selects from among the different methods of application that the norm provides the one that it finds appropriate. Ketiga,Judicial discretion chooses from among the normative possibilities the option that it deems appropriate. Jadi, objek diskresi hakim pada prinsipnya meliputi fakta, kemudian penerapan norma, serta norma itu sendiri. Berdasarkan ketiga faktor di muka, maka
among the normative possibilities the option that it deems appropriate. Lihat, Aharon Barak, Judicial Discretion. New York: Yale University Press, 1989, h. 12-13. 509 Lihat, Aharon Barak, Judicial... Op. Cit., h. 7 & 12. 510 Loc. Cit., h. 13.
297 pemberian eksekuatur terhadap putusan arbitrase termasuk ke dalam opsi kedua yakni berkenaan dengan penerapan norma terhadap fakta. Adapun hakikat pemberian eksekuatur adalah berupa penelitian saksama mengenai putusan arbitrase apakah putusan tersebut sudah benar, tepat, dan tidak mengandung cacat yuridis. Dalam melaksanakan fungsi serta kewenangan tersebut, agar tidak bertindak melampaui batas, otoritas KPN dibatasi oleh rambu-rambu sebagai berikut: 511
1) Bahwa pemberian eksekuatur itu bukan pemeriksaan banding, sehingga KPN tidak memiliki hak atau kewenangan untuk meneliti dan memeriksa ulang sengketa secara keseluruhan; 2) Pemberian eksekuatur juga bukan merupakan tindakan fungsi pengawasan. Dalam kaitan ini, KPN tidak berwenang menilai kecakapan dan kredibilitas anggota arbiter. KPN juga tidak berwenang memberi tafsiran, mengoreksi atau merevisi putusan; 3) Kewenangan penelitian dalam rangka memberikan eksekuatur bersifat formal. Artinya, KPN pada prinsipnya tidak dibenarkan menilai dan meneliti materi putusan yang akan memberi kesan sebagai pemeriksaan banding atau kasasi.
511 Lihat, M. Yahya Harahap, Arbitrase...Op. Cit., h. 306-308.
298 Seperti telah diutarakan bahwa pada prinsipnya dalam pemberian eksekuatur KPN tidak berwenang memeriksa dan menilai benar tidaknya materi putusan arbitrase. Akan tetapi, terhadap prinsip tersebut dikenal ada pengecualian. Setidaknya ada dua hal yang dikecualikan, sehingga dalam rangka melakukan penelitian pemberian eksekuatur KPN Jakarta Pusat boleh menilai segi-segi materi putusan arbitrase. Pertama, apakah materi putusan arbitrase tidak melampaui batas yang dibenarkan hukum dan perundang-undangan. Kedua, apakah putusan arbitrase tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum (public policy). 512
Materi putusan arbitrase dianggap melampaui batas yang dibenarkan hukum dan perundang-undangan apabila forum arbitrase telah memeriksa dan memutus kasus-kasus sengketa yang secara mutlak tidak termasuk jurisdiksi arbitrase. Sedangkan Undang-undang Arbitrase telah secara limitatif menetapkan sengketa yang termasuk dalam jurisdiksi arbitrase. Sengketa tersebut ...hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. 513 Oleh karena itu, di luar jenis
512 Article V (2) New York Convention 1958, antara lain menyebutkan: The recognition and enforcement of an arbitral award may also be refused if the competent authority in the country where recognition and enforcement is sought finds that: (b) The recognition or enforcement of the award would be contrary to the public policy of that country. 513 Periksa Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999. Bandingkan dengan yang ditetapkan dalam Article 1 (1) UNCITRAL Model Law on International Commercial 299 sengketa yang disebutkan dalam undang-undang arbitrase, kewenangan memeriksa dan memutus sengketa tersebut mutlak merupakan jurisdiksi pengadilan. Berikut ini beberapa contoh sengketa yang menurut hukum Indonesia tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase: 514 (i) pembatalan perkawinan, (ii) pemisahan harta kekayaan, (iii) perceraian, (iv) pemisahan meja dan tempat tidur, (v) keabsahan anak, (vi) pembuktian anak sah. Apabila terjadi perjanjian arbitrase menyangkut bidang-bidang tersebut, akibatnya perjanjian arbitrase semacam itu diancam batal demi hukum (null and void). Dalam hal materi putusan arbitrase menyangkut salah satu bidang yang disebutkan di muka, maka dalam rangka pemberian eksekuatur, KPN Jakarta Pusat dapat melakukan penelitian bidang formal sekaligus materiil karena putusan arbitrase dimaksud telah mengandung pelanggaran hukum materiil. Berkaitan dengan persoalan ketertiban umum (public policy), KPN Jakarta Pusat dalam konteks pemberian eksekuatur juga dapat menilai materi putusan arbitrase. Penilaian dilakukan terhadap setiap putusan arbitrase internasional yang dimintakan untuk dieksekusi di Indonesia, apakah putusan tersebut bertentangan dengan ketertiban umum atau tidak.
Arbitration: This Law applies to international commercial arbitration, subject to any agreement to force between this Sate and any other State or States. 514 Pasal-Pasal 85, 186, 207, 233, 250, 261 BW dan Pasal 25 jo Pasal 39 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 22 PP No. 9 Tahun 1975, jo Pasal 66 ayat (1) dan Pasal 75 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989. Lihat, M. Yahya Harahap, Arbitrase...Op. Cit., h. 321. 300 Sebagaimana diketahui istilah ketertiban umum (public policy) memiliki banyak makna. 515 Meskipun ketertiban umum merupakan asas yang bersifat universal tetapi di berbagai negara penyebutannya dikenal dengan berbagai macam istilah. 516 Tidak hanya penyebutan istilah yang beraneka ragam, bahkan ukuran nilai ketertiban umum antara satu bangsa dengan bangsa lain juga sangat bervariasi. Oleh sebab itu, tidak ada makna ketertiban umum yang pasti tetap berlaku untuk segala zaman dan waktu. Melainkan faktor tempat dan waktu juga sangat berpengaruh terhadap konsep ketertiban umum. Berkaitan dengan hal tersebut, Kollewijn 517 dalam disertasinya mengutarakan antara lain sebagai berikut: Zo bleek het ten slotte niet mogelijk het recht van openbare orde te bepalen. Wij konden konstateren wanneer en op welke wijze theoretici en rechters zich op de openbare orde beriepen, maar konden de inhoud der openbare orde niet definieren.
515 Ketertiban umum memiliki makna yang sangat beragam, seperti dapat disimak berikut ini: (i) ketertiban umum diartikan sebagai ketertiban dan kesejahteraan, keamanan; (ii) ketertiban umum sebagai pasangan dari istilah kesusilaan baik (goede zeden) seperti diketahui dari Pasal 1337 BW; (iii) ketertiban umum diartikan pula sebagai ketertiban hukum (rechtsorde); (iv) dalam beberapa hal ketertiban umum juga bermakna keadilan; (v) dan kadang-kadang diartikan pula bahwa hakim diwajibkan mempergunakan pasal-pasal Undang-undang tertentu. Lihat, Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional; (HPI) Buku Ke 4. Bandung: Alumni, 1989, h. 56-57. 516 Belanda menyebut istilah ketertiban umum dengan openbare orde, Perancis memakai istilah ordre public, Jerman menyebut dengan istilah Vorbehaltklausel, sedangkan negara-negara Anglo Saxon memakai istilah public policy, Italia menyebut dengan istilah ordine publico, dan Spanyol memakai istilah orden publico. Baca, Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional (HPI); Buku ke 4... Loc. Cit., h. 3. 517 R.D. Kollewijn, Het beginsel der openbare orde in het international privaatrecht. Dissertasi, Leiden, 1917; dalam Sudargo Gautama, HPI-Buku ke 4...Loc. Cit., h. 138.
301 Adalah tidak mungkin memastikan hukum yang bersifat ketertiban umum. Hanya mungkin untuk mengkonstatir mengenai kapan dan dengan cara bagaimana para sarjana serta para hakim mempergunakan ketertiban umum, sedangkan substansi ketertiban umum itu sendiri tidak dapat dirumuskan. Konsep ketertiban umum itu memang tidak pasti serta latent adanya, selalu berubah-ubah menurut penentuan serta apresiasi hakim yang harus melaksanakannya. Oleh karena itu pula, Kollewijn sebagaimana dikutip Gautama selanjutnya mengatakan bahwa hakim tidak mempergunakan ketertiban umum karena suatu ketentuan hukum dari negaranya bersifat ketertiban umum, melainkan karena ia (hakim) menganggap ketertiban umum harus dipergunakan, maka hakim menyebutkan kaidah bersangkutan bersifat ketertiban umum. 518 Dari konteks pernyataan tersebut tampak sekali betapa peran hakim demikian besar dalam penentuan substansi ketertiban umum. Jadi, kewenangan menilai suatu putusan arbitrase internasional apakah dianggap bertentangan dengan ketertiban umum atau tidak, termasuk dalam kewenangan seorang hakim yang tergolong kewenangan diskresioner
518 S. Gautama mengutip pernyataan Kollewijn antara lain sebagai berikut: Niet omdat een rechtsbepaling van zijn staat van openbare orde was, paste de rechter haar toe, maar omdat hij haar, op welke grond dan ook toepasselijk achtte, noemde hij haar van openbare orde. Lihat, S. Gautama, HPI; Buku ke 4...Op. Cit., h. 137. 302 (judicial discretion). Kewenangan semacam itu menurut Aharon Barak 519
tergolong pada the application of a given norm karena menyangkut the choice among a number of alternative ways of applying a norm to a given set of facts. Hal tersebut disebabkan norma hukum merupakan sesuatu yang abstrak, sehingga hanya hakim pengadilan yang memiliki otoritas atau kewenangan untuk menerjemahkan 520 atau menafsirkan setiap norma yang akan diterapkan pada kasus-kasus yang dihadapkan kepadanya. Maka di dalam menentukan isi dan makna ketertiban umum secara konkret berdasarkan peristiwa demi peristiwa, peran hakim 521 demikian besar. Bahkan dalam menjalankan kewenangan diskresioner tersebut, acapkali kewenangan hakim tidak mudah diduga. Hal itu pernah terjadi dalam kasus pemberian eksekuatur terhadap Putusan Badan Arbitrase Gula The Council of The Refined Sugar Association yang berkedudukan di London dalam sengketa antara Yani Haryanto (importir Indonesia) lawan E.D. & F. MAN
519 Frequently, a legal norm gives the judge the power to choose among different courses of action that are fixed in its framework. This grant of authority may be explicit, as when the norm is actually phrased in terms of discretion. The grant may also be implicit, such as when the norm refers to a stand`ard (for example, negligence or reasonableness) or to a goal (such as the defense of the state, public order, the best interests of the child). Lihat, Aharon Barak, Judicial...Op. Cit., h. 14. 520 Berkaitan dengan persoalan penafsiran atas norma-norma hukum, Justice Sussman mengemukakan sebagaimana dikutip Barak di dalam Bukunya: The law is an abstract norm and only the judgment of the court translates the rule of the legislature into an obligatory act that is enforced on the public. The judge gives the law its real and concrete form. Therefore one can say that the statute ultimately crystallizes in the shape the judge gives it. Aharon Barak, Loc. Cit., h. 14.
521 The judge has wide discretion in this respect... S. Gautama, HPI; Buku ke 4... Op. Cit., h. 140. 303 Sugar Ltd. London. 522 Akan tetapi, penetapan eksekuatur tersebut tidak lama kemudian dibatalkan. Kasus tersebut cukup menarik serta mendapat perhatian karena Mahkamah Agung dinilai tidak konsisten dan Hukum Indonesia gampang bergoyang. 523 Pada awalnya MA mengabulkan permohonan eksekuatur terhadap putusan arbitrase asing dalam kasus kontrak dagang internasional jual beli gula pasir itu, akan tetapi ternyata kemudian melalui putusan kasasi MA membatalkan penetapan tersebut. Majelis Hakim Agung yang menangani kasus tersebut menggunakan alasan ketertiban umum di Indonesia sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase asing dimaksud. Selengkapnya alasan itu dapat disimak berikut ini, ..karena ternyata putusan didasarkan kepada kontrak yang mempunyai causa yang dilarang di Indonesia, sehingga bertentangan dengan Ketertiban Hukum di Indonesia, maka putusan tersebut tidak mempunyai daya mengikat. 524
D. Eksekusi Putusan Arbitrase dalam Penegakan Keadilan
Eksekusi putusan arbitrase merupakan elemen yang amat penting dalam keseluruhan rangkaian proses penyelesaian sengketa melalui forum
522 Selengkapnya kasus posisi dari sengketa ini dapat dibaca dalam Pembatalan Kontrak Dagang Internasional Dewan Arbitrase Dikesampingkan; dalam Varia Peradilan Tahun VII No. 80, Mei 1992, h. 5-43. 523 Mahkamah Agung Meralat Gengsi; dalam Tempo, 21 Maret 1992, h. 28. 524 Pembatalan...; Varia Peradilan...Op. Cit., h. 12. Bdgk. Huala Adolf, Pembatalan Putusan Arbitrase Asing; dalam Kompas, Jumat, 29 Mei 1992. 304 arbitrase. Oleh karena yang lebih penting bagi pencari keadilan bukan sekedar minta putusan yang seadil-adilnya, melainkan putusan tersebut dapat dilaksanakan apabila perkaranya dimenangkan. Apa artinya sebuah putusan bagi seseorang yang dimenangkan, tetapi kemudian tidak dapat dieksekusi. Hanya akan dikatakan menang di atas kertas. Dalam praktik, eksekusi putusan arbitrase, terutama yang dibuat di luar negeri, sejak dahulu selalu menghadapi hambatan. Sejumlah faktor diyakini menjadi penyebab, sehingga permohonan eksekusi putusan arbitrase asing tidak pernah mencerminkan penegakan keadilan. Beranjak dari fenomena tersebut, melakukan kajian mengenai eksekusi putusan arbitrase dalam kerangka penegakan keadilan dipandang masih cukup relevan serta tetap menarik sampai sekarang ini. Analisis mengenai hal itu akan dilakukan melalui tiga pembabakan. Pertama, periode sebelum Indonesia mengesahkan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards. Kemudian Kedua, periode setelah Keputusan Presiden RI Nomor 34 Tahun 1981 tentang pengesahan Konvensi tersebut di atas, disusul dengan keluar Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tatacara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Ketiga, periode sesudah berlaku Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
305 Penyelesaian Sengketa. Mengingat pada periode pertama terkait dengan suatu masa ketika Tata Hukum di Indonesia masih dalam situasi kebijakan hukum kolonial Belanda, maka dalam memaparkan periode itu tentu tidak dapat dihindari akan bersinggungan dengan kaidah hukum yang berasal dari masa Hindia Belanda.
1) Periode Sebelum Mengesahkan Konvensi New York Lembaga arbitrase dikenal di Indonesia sejak masa kolonial Belanda. Pengaturan arbitrase pada masa itu merupakan bagian dari hukum acara perdata untuk Raad van Justitie yang diatur dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv). 525 Akan tetapi Rv sama sekali tidak menyebut tentang arbitrase asing, sehingga tidak dikenal kaidah yang mengatur pelaksanaan (eksekusi) putusan arbitrase asing. Putusan arbitrase asing analog dengan putusan hakim asing. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 436 Rv pada asasnya putusan hakim asing tidak dapat dieksekusi di wilayah Indonesia, sehingga putusan arbitrase asing juga tidak dapat dimohonkan eksekusi di wilayah Indonesia. Pada dekade delapan puluhan pernah terjadi polemik antara Asikin Kusumah Atmadja ketika itu sebagai Ketua Muda MA di satu pihak dengan Sudargo Gautama di lain pihak. Pada
525 Pasal 615 651 RV atau Reglement op de Rechtsvordering, atau judul lengkapnya Reglement op de burgerlijke rechtsvordering voor de raden van justitie op Java en 306 tahun 1927 Pemerintah Belanda menandatangani Konvensi Jenewa tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase luar negeri. Berdasarakan asas konkordansi konvensi tersebut juga berlaku di wilayah Hindia Belanda. Berlakunya konvensi itu setelah Indonesia merdeka kemudian menjadi polemik kedua tokoh di muka. Asikin Kusumah Atmadja mempertanyakan, apakah dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase asing dapat dipakai Voorzieningen voor Indonesie ter uitvoering van het verdrag nopens de tenuitvoerlegging van in het buitenland gewezen scheidsrechterlijke uitspraken van Sept. 1927; (KB van 17 Dec. 1932 No. 82); S. 1933 132 jo 133? Konvensi Jenewa yang berlaku secara nyata pada tanggal 28 April 1933 itu setelah Indonesia merdeka tidak berlaku lagi. Alasannya, Republik Indonesia tidak pernah menyatakan secara tegas dan aktif untuk tetap terikat pada konvensi tersebut. 526 Sedangkan pada pihak lain, Sudargo Gautama berpendapat bahwa Konvensi Jenewa 1927 masih berlaku untuk Indonesia. Argumen yang dikemukakan Sudargo antara lain sebagai berikut: 527
...Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pasal peralihan telah dinyatakan bahwa berkenaan dengan pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada RI dihubungkan dengan Peraturan Presiden Nomor 2 tanggal 10 Oktober 1945 zaman Yogyakarta, maka persetujuan-persetujuan internasional yang berlaku untuk wilayah RI pada saat penyerahan kedaulatan, tetap akan berlaku untuk RI. Dalam
het hooggerechtshof van Indonesie, alsmede voor de residentiegerechten op Java en Madura - S. 1847 52 jo 1849 63. 526 Asikin Kusumah Atmadja, Konvensi/Ratifikasi dan Eksekusi Putusan Arbitrase; Makalah Seminar Sehari. Kerjasama antara ALTRI-KADIN-BANI, Jakarta, 16 Nopember 1988, h. 2-4. 527 Sudargo Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional. Bandung: Alumni, 1986, h. 68. 307 hal ini Konvensi Jenewa yang tercakup dalam Staatsblad 1933 No. 132 juga masih harus dianggap berlaku, kecuali apabila RI telah menyatakan secara tegas untuk tidak berlaku.
Sebagai sintesa dari dua pendapat tokoh di muka, R. Subekti 528
menyatakan: sukar bagi pengadilan kita untuk memberlakukan konvensi dalam soal pelaksanaan putusan arbitrase asing. Alasan beliau didasari oleh adanya pendirian Departemen Luar Negeri RI yang menyebut bahwa perjanjian-perjanjian internasional yang dulu diadakan oleh Pemerintah Hindia Belanda, tidak otomatis beralih kepada RI. Akan tetapi harus secara tegas diperbaharui melalui pernyataan yang tegas (stelsel aktif). Polemik di atas berimplikasi pada dataran praksis. Seperti dapat disimak pada kasus berikut ini: London Arbitration Awards No. 1950, tanggal 12 Juli 1978, kasus antara PT Nizwar Jakarta vs Navigation Maritime Bulgare, varna, Blvd. Chervenoermeiski. Putusan arbitrase tersebut dimintakan fiat eksekusi kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Melalui Penetapan No.2288/1979 P., tanggal 10 Juni 1981 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengabulkan permohonan pemohon. Artinya putusan Arbitrase London itu dapat dieksekusi, sehingga PT Nizwar Jakarta harus melaksanakan Putusan Arbitrase London Nomor 1950, tanggal 12 Juli 1978. Menanggapi penetapan PN Jakarta Pusat itu PT Nizwar selaku
528 R. Subekti, Arbitrase Perdagangan. Bandung: Binacipta, 1981, h. 29.
308 termohon eksekusi mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Meski menolak permohonan kasasi itu karena pemohon tidak mengajukan memori kasasi, namun MA menyatakan bahwa permohonan pelaksanaan putusan arbitrase asing seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima. Pertanyaannya kemudian, mengapa permohonan fiat eksekusi putusan arbitrase London itu dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tetapi kemudian ditolak oleh Mahkamah Agung? Hal itu diduga terjadi di samping karena PN Jakarta Pusat dengan MA berbeda sudut pandang, juga karena kedua institusi pemutus itu merujuk instrumen hukum yang berlainan sebagai landasan pemutus. Ketika Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan penetapan yang mengabulkan permohonan fiat eksekusi pihak Navigation Maritime Bulgare, varna, Blvd. Chervenoermeiski, Indonesia belum mengesahkan Konvensi New York 1958. 529 Maka, salah satu pertimbangan PN Jakarta Pusat menyebutkan Konvensi Jenewa 1927 masih berlaku, sehingga putusan arbitrase yang diucapkan di London 12 Juli 1978 dapat dilaksanakan di Indonesia. Selanjutnya menghukum PT Nizwar Jakarta untuk membayar jumlah tertentu kepada Navigation Maritime Bulgare. Sementara itu, pengesahan Konvensi New York dilakukan oleh Pemerintah RI dengan
529 Penetapan PN Jakarta Pusat yang mengabulkan fiat eksekusi pemohon Navigation Maritime Bulgare, varna, Blvd. Chervenoermeiski, dikeluarkan tanggal 10 Juni 1981. 309 instrumen ratifikasi Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada tanggal 5 Agustus 1981. Sedangkan ketika MA menerima permohonan kasasi PT Nizwar Jakarta yang ditolak karena tidak mengajukan memori kasasi, terjadi setelah Pemerintah RI mengesahkan Konvensi New York. Maka pertimbangan MA dalam putusan Nomor 2944 K/Pdt/1983 tanggal 20 Agustus 1984, MA telah menyebut Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 dan lampirannya tentang pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards masih harus ada peraturan pelaksanaannya. 530 Apabila dihubungkan dengan pendapat Asikin Kusumah Atmadja di muka, sesungguhnya pendirian MA tidak berubah dan tetap konsisten. Sejak semula Asikin Kusumah Atmadja, baik selaku pribadi maupun sebagai Ketua Muda MA telah berpendirian bahwa Konvensi Jenewa 1927 tidak berlaku lagi di Indonesia. Oleh karena itu, putusan arbitrase asing tidak dapat dieksekusi di Indonesia. Jadi, ketika MA menolak permohonan fiat eksekusi tentu saja tidak mengherankan. Kebetulan pula Asikin Kusumah Atmadja ditunjuk sebagai Ketua Sidang Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus kasus tersebut.
530 Lihat, Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam...Op. Cit., h. 287-288.
310
2) Periode setelah Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 Setelah Pemerintah RI mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1981 tentang pengesahan Konvensi New York 1958, banyak pihak menggantungkan harapan dengan disahkan konvensi tersebut putusan arbitrase asing akan dapat dilaksanakan di Indonesia. 531 Harapan tersebut kiranya tidak berlebihan karena konvensi itu tegas menyebutkan bahwa setiap negara penandatangan konvensi akan mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase yang dibuat di negara lain yang bersama- sama Indonesia terikat dalam Konvensi New York 1958. Di samping itu, salah satu pensyaratan (reservation) yang dibuat Pemerintah RI sebagai lampiran Keppres 34/1981 antara lain menyatakan ...The Government of Indonesia declares that it will apply the Convention on the basis of reciprocity, to the recognition and enforcement of awards made only in the territory of another Contracting State.... Oleh karena itu, sesungguhnya telah cukup bagi Indonesia untuk dapat mengakui serta melaksanakan putusan arbitrase asing. Namun demikian, praktik masih menunjukkan sebaliknya. Seperti telah disebutkan di muka, Mahkamah Agung dalam pertimbangan putusan perkara PT Nizwar menyatakan bahwa Keppres
531 ...many people believed that when Indonesia become a party to the New York Convention a foreign arbitral award would be enforceable in Indonesia. Lihat, Mulyana, et al., Indonesias New Framework...; dalam Mealeys International Arbitration Report...Op. Cit., h. 23. 311 34/1981 dan lampirannya tentang pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards masih harus ada peraturan pelaksanaannya. Apakah permohonan eksekusi putusan arbitrase asing itu dapat diajukan langsung pada pengadilan negeri, kepada pengadilan negeri yang mana ataukah diajukan melalui Mahkamah Agung. Maksudnya untuk dipertimbangkan apakah putusan tersebut tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan ketertiban hukum di Indonesia. Tindakan ratifikasi Konvensi New York 1958 belum memberikan jalan keluar dari masalah yang selama ini menghambat pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia. Persoalan tersebut tetap tidak jelas sampai dengan dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tatacara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. 532 Sebagai kaidah hukum acara, Perma No. 1/1990 antara lain menetapkan bahwa yang diberi wewenang yang berhubungan dengan pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase asing adalah Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Artinya, pengadilan negeri yang relatif kompeten menangani masalah tersebut adalah PN Jakarta Pusat. Oleh karena itu, putusan arbitrase asing dapat dimintakan pelaksanaan setelah putusan tersebut dideponir di Kepaniteraan PN Jakarta Pusat. Selanjutnya PN Jakarta Pusat dalam waktu
532 Ditetapkan tanggal 1 Maret 1990. 312 selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterima permohonan tersebut, mengirimkan berkas permohonan eksekusi itu kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung untuk memperoleh exequatur. Setelah MA memberikan exequatur, pelaksanaan selanjutnya diserahkan kepada KPN Jakarta Pusat. Apabila pelaksanaan putusan harus dilakukan di wilayah hukum lain, maka putusan yang telah memperoleh exequatur selanjutnya akan diserahkan kepada pengadilan negeri yang relatif kompeten untuk melaksanakan putusan itu sesuai dengan pasal 195 HIR/206 ayat (2) Rbg. Dalam periode ini juga dapat disaksikan paling tidak ada dua putusan arbitrase asing yang ditolak permohonan eksekuaturnya untuk pelaksanaan putusan tersebut oleh pengadilan negeri di Indonesia. Kedua putusan tersebut adalah (1) Putusan Arbitrase London dalam perkara antara Trading Corporation of Pakistan Ltd, melawan PT Bakrie & Brothers. (2) Putusan Arbitrase London dalam kasus antara E.D. & F.MAN (SUGAR) Ltd., melawan Yani Haryanto. Uraian tentang kasus posisi untuk putusan yang pertama dapat disimak sebagai berikut: 533
533 Uraian serta isi putusan selengkapnya sejak Pengadilan Negeri sampai dengan Mahkamah Agung dapat disimak di dalam Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam...Op. Cit., h. 289-319.
313 Perkara antara Trading Corporation of Pakistan Ltd, pemohon kasasi dahulu terbantah/pembanding melawan PT Bakrie & Brothers, termohon kasasi dahulu pembantah/terbanding. Sengketa antara kedua belah pihak telah diputus oleh Arbitrase dari Federation of Oils, Seeds and Fate Association Ltd London No. 2282 tanggal 8 September 1981. Putusan arbitrase tersebut kemudian oleh terbantah diajukan permohonan eksekusinya melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tanggal 13 Februari 1984 PN Jakarta Selatan mengeluarkan Ketetapan No. 22/48/JS/1983 untuk pendaftaran dan pelaksanaan Award of Arbitration dari Federation of Oils, Seed and Fats Associations Limited No. 2282 tanggal 8 September 1981. Terhadap Ketetapan PN Jakarta Selatan itu pembantah, dalam hal ini PT Bakrie & Brothers telah melakukan bantahan. Inti bantahan didasarkan pada hal-hal antara lain sebagai berikut: (i) dalam kasus ini negara-negara yang bersangkutan (Contracting States) adalah Pakistan dan Indonesia, bukan Inggris dan Indonesia; (ii) prosedur pengambilan putusan oleh badan arbitrase tersebut tidak mengindahkan rasa keadilan dan kepatutan. Pembantah selaku pihak yang disebut pihak penjual tidak didengar dan tidak diberi kesempatan membela diri mengapa pelaksanaan kontrak sampai gagal. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam putusan Nomor 64/Pdt/G/1984/PN.Jkt.Sel, mempertimbangkan antara lain sebagai berikut: 314 (i) majelis menganggap bahwa pembantah telah berhasil membuktikan dalil- dalilnya dan karena itu harus dikabulkan; (ii) karena bantahan dikabulkan, maka putusan Arbitrase London Nomor 2282 tersebut di atas harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum untuk dieksekusi. Putusan PN Jakarta Selatan itu kemudian dimohonkan Banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Dalam putusan Nomor 512/PDT/1985/PT DKI, tanggal 23 Desember 1985 Pengadilan Tinggi DKI menguatkan putusan PN Jakarta Selatan tanggal 1 Nopember 1984 No. 64/Pdt/G/1984/PN.Jkt.Sel yang dibanding tersebut. Terbantah/pembanding, dalam hal ini Trading Corporation of Pakistan Ltd., kemudian mengajukan kasasi atas putusan PT DKI tersebut di atas. Dalam putusan Nomor 4231 K/Pdt/1986 tanggal 4 Mei 1988, Ketua Sidang Majelis Hakim Mahkamah Agung yang memeriksa dan memutus kasus tersebut mempertimbangkan antara lain: bahwa berdasarkan apa yang dipertimbangkan, lagi pula dari sebab tidak ternyata bahwa putusan judex facti dalam perkara ini bertentangan dengan hukum dan/atau undang- undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi: Trading Corporation of Pakistan Limited tersebut harus ditolak. Memperhatikan rangkaian kasus di atas, dapatlah dipahami betapa banyak faktor yang terkait dengan kemungkinan dapat atau tidaknya suatu putusan arbitrase asing dilaksanakan di Indonesia. Oleh sebab itu, ternyata Peraturan 315 Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 sebagai peraturan pelaksanaan dari Keppres 34/1981 dan lampirannya juga belum dapat menciptakan proses dan prosedur yang sederhana dalam rangka pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia. Kasus berikut ini cukup heboh dan terkenal disebabkan oleh dua faktor. Pertama, Mahkamah Agung untuk pertama kalinya memberikan eksekuatur terhadap putusan arbitrase asing sejak MA mengeluarkan PERMA 1/1990. Kedua, dalam waktu yang tidak terlalu lama penetapan MA tentang pemberian eksekuatur itu kemudian dibatalkan sendiri melalui putusan kasasi. Kasus ini dikenal dengan sebutan Kasus Gula karena objek sengketa tersebut memang mengenai jual beli gula. Selengkapnya rangkaian perjalanan permohonan eksekusi putusan arbitrase London dalam perkara antara E.D. & F.MAN (SUGAR) Ltd., melawan Yani Haryanto, dapat disimak berikut ini. Pada tahun 1982 pengusaha Indonesia Yani Haryanto bertindak sebagai pembeli mengadakan perjanjian jual beli gula dengan eksportir Inggris E.D. & F, Man Sugar Ltd. Sugar quay London, sebagai penjual. Perjanjian tersebut dituangkan dalam dua bentuk kontrak dagang, yaitu: 1) Contract for White Sugar No. 7458, tanggal 12 Februari 1982 untuk jual beli gula sebanyak 300.000 metrik ton;
316
2) Contract for White Sugar No. 7527, tanggal 23 Maret 1982 untuk jual beli gula sebanyak 100.000 metrik ton. Kedua kontrak tersebut ditandatangani oleh kedua belah pihak pada bulan Februari dan Maret 1982. Dalam kedua kontrak di atas para pihak bersepakat bahwa segala sengketa yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian jual beli gula ini, kedua belah pihak sepakat diselesaikan oleh suatu Dewan Arbitrase Gula atau yang disebut The Council of the Refened Sugar Association yang berkedudukan di London berdasarkan ketentuan dalam The Rules of the Refened Sugar Association Relating to Arbitration. Pelaksanaan kontrak ternyata mengalami kegagalan karena Yani Haryanto menolak melaksanakan perjanjian jual beli tersebut dengan alasan bahwa import gula itu merupakan kewenangan BULOG (Badan Urusan Logistik). Sedangkan perorangan tidak dibenarkan melakukan import gula. Larangan itu tertuang di dalam (i) Keputusan Presiden (Keppres) No. 43 Tahun 1971, tanggal 14 Juli 1971 tentang Kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang pengadaan beras, gula, dan lain-lain oleh BULOG; (ii) Keppres No. 39 Tahun 1978. Ketika perjanjian disepakati kedua belah pihak tidak mengetahui kedua Keppres tersebut dan baru diketahui setelah perjanjian hendak dilaksanakan. Atas dasar hal itu maka Yani Haryanto membatalkan kedua perjanjian jual beli gula yang telah disepakatinya. 317 Akibat tindakan Yani Haryanto membatalkan perjanjian jual beli yang telah disepakati, maka E.D. & F. Man Sugar Ltd. sebagai pihak eksportir gula di London menuntut ganti kerugian. Sengketa ini di Inggris ditangani oleh The English High Court London. Kemudian The English Court of Appeal London yang memberi putusan bahwa sesuai dengan kontrak yang disepakati, maka yang berwenang menyelesaikan sengketa ini adalah Dewan Arbitrase Gula yang disebut The Council of the Refened Sugar Association di London. Walaupun penyelesaian sengketa itu diperintahkan untuk diajukan kepada Dewan Arbitrase Gula tersebut tetapi tidak sempat diajukan. Pada pihak lain Yani Haryanto (sebagai Penggugat) mengajukan gugatan perdata kepada E.D. & F. Man Sugar Ltd., London (sebagai Tergugat) melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk membatalkan pelaksanaan perjanjian jual beli gula dimaksud. Dalil yang dikemukakan Penggugat di dalam gugatan antara lain: Karena ada larangan dari pemerintah mengenai import gula oleh perorangan, artinya perjanjian jual beli gula tersebut mengandung causa/sebab yang dilarang oleh peraturan, sehingga menjadi batal demi hukum. Setelah melalui rangkaian pemeriksaan dan pembuktian, akhirnya PN Jakarta Pusat dengan Putusan Nomor 499/Pdt/G/VI/1988/PN.JKT.PST. memutuskan memenangkan Yani Haryanto selaku Penggugat dan 318 membatalkan dengan segala akibat hukumnya Contract for White Sugar No. 7458, tanggal 12 Februari 1982 dan Contract for White Sugar No. 7527, tanggal 23 Maret 1982. Dalam tingkat banding Pengadilan Tinggi Jakarta telah menjatuhkan putusan dalam perkara antara E.D. & F. Man Sugar Ltd., London (Pembanding semula Tergugat) melawan Yani Haryanto (Terbanding semula Penggugat). Melalui putusan No. 486/Pdt/1989/PT.DKI, tanggal 14 Oktober 1989 Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan PN Jakarta Pusat tanggal 29 Juni 1989 No. 499/Pdt/G/1988/PN.Jkt.Pst. yang dimohonkan banding tersebut. Tidak puas terhadap kedua putusan pengadilan rendahan sebelumnya, E.D. & F. Man Sugar Ltd., London (Pembanding semula Tergugat) mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada dasarnya Mahkamah Agung memberikan putusan No. 1205 K/Pdt/1990, tanggal 4 Desember 1991 yang intinya menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh E.D. & F. Man Sugar Ltd., London. Penolakan MA terhadap kasasi di atas barangkali tidak terlalu istimewa. Yang menarik untuk dicermati adalah lima pertimbangan putusan tersebut yang diakui sendiri oleh MA pertimbangan dalam perkara ini walaupun berlebihan, antara lain sebagai berikut: 319 Mahkamah Agung mengaitkan masalah ini dengan Penetapan Mahkamah Agung RI No. 1/Pen/Exr/Arb.Int/Pdt/1991, tanggal 1 Maret 1991, yang meskipun dalam perkara ini tidak disinggung, akan tetapi hal tersebut bertalian erat dengan perkara tersebut; Bahwa Penetapan tersebut di atas mengenai mengabulkan permohonan exequatur terhadap putusan The Queens Council of the English Bar di London, 17 November 1989; Bahwa suatu Penetapan exequatur hanya bersifat prima facie, jadi penetapan tersebut tidak merupakan penilaian hukum terhadap isi dari perjanjian yang dibuat; Bahwa suatu Penetapan exequatur ini hanya memberikan titel eksekutorial bagi Putusan Arbitrase Asing tersebut, yang pelaksanaannya tunduk kepada Hukum Acara di Indonesia; Bahwa karena itu, dengan adanya Putusan Mahkamah Agung dalam perkara ini, maka Penetapan Mahkamah Agung RI No. 1/Pen/Exr/Arb.Int/Pdt/1991 tanggal 1 Maret 1991, menjadi irrelevant untuk dilaksanakan. Lima pertimbangan putusan Mahkamah Agung tersebut di atas telah menimbulkan berbagai komentar yang kontroversi pada berbagai kalangan di masyarakat. Kontroversi terjadi terutama disebabkan oleh Penetapan 320 Mahkamah Agung RI No. 1/Pen/Exr/Arb.Int/Pdt/1991, tanggal 1 Maret 1991, yang mengabulkan permohonan exequatur terhadap putusan The Queens Council of the English Bar di London, 17 November 1989. Pada awalnya penetapan itu disambut gembira oleh sejumlah kalangan sebagai sebuah keputusan berani di bidang hukum perdata yang telah diambil oleh Mahkamah Agung. 534 Komentar yang bernada optimis berdatangan ditujukan kepada Mahkamah Agung (MA). Oleh karena dalam catatan sejarah hukum perdata Indonesia, penetapan exequatur dari MA untuk putusan arbitrase asing terhitung yang pertama kalinya. Setidaknya sejak MA membuat peraturan tatacara pelaksanaan putusan arbitrase asing, PERMA 1/1990, tanggal 1 Maret 1990. Menyusul Penetapan Mahkamah Agung RI No. 1/Pen/Exr/Arb.Int/Pdt/1991, tanggal 1 Maret 1991 yang mengabulkan permohonan exequatur, Wakil Ketua MA Purwoto S. Gandasubrata 535 mengemukakan pendapat bahwa, Pelaksanaan putusan arbitrase tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dalam hal ini tata hukum dan kepentingan nasional Indonesia. Bagaimana pun hasilnya nanti, putusan tersebut setidaknya menaikkan citra peradilan Indonesia di
534 Gengsi Baru Mahkamah Agung; dalam Tempo Nomor 2 Tahun XXII, 14 Maret 1992. 535 Tempo...Loc. Cit.,
321 mata internasional. Penetapan itu juga sekaligus menunjukkan keseriusan Indonesia sebagai anggota Konvensi New York 1958. Akan tetapi ternyata tonggak baru MA sekaligus gengsi baru pengadilan Indonesia itu tidak berumur lama. Putusan kasasi dalam kasus E.D. & F. Man Sugar Ltd., London melawan Yani Haryanto di atas telah memupuskan harapan pihak asing untuk dapat memperoleh hak-hak yang telah diperjuangkan berdasarkan prinsip-prinsip kebebasan berkontrak. Oleh sebab itu tak pelak lagi putusan di atas mengundang komentar beragam dan umumnya bernada mengkritik. Umpamanya, Tempo 536 mengulas hal itu dengan headline Mahkamah Agung Meralat Gengsi. Di dalam ulasan Tempo itu bahkan Wakil Ketua BANI, HJR Abubakar 537 juga mengaku tidak habis pikir atas putusan kasasi itu. Beliau mengatakan, kalau sudah dikeluarkan penetapan, berarti MA sudah menilai keputusan arbitrase asing itu bisa dilaksanakan karena tak bertentangan dengan tata hukum Indonesia. Berbeda dengan komentar yang lain, Sudargo Gautama justru berpendapat sebaliknya. Menurut Gautama keputusan itu sudah tepat, sebab kedua kontrak itu memang sudah dibatalkan oleh pengadilan di sini. Lagi pula proses persidangan arbitrase di London tidak memenuhi
536 Mahkamah Agung Meralat Gengsi; dalam Tempo Nomor 3 Tahun XXII, 21 Maret 1992. 537 Tempo,...Loc. Cit.,
322 persyaratan Konvensi New York 1958. Pihak Haryanto tidak pernah diberi kesempatan untuk membela diri. Jadi, memang tidak ada yang dapat dieksekusi. Sebagai Ketua Mahkamah Agung pada waktu itu, Ali Said berpendapat bahwa penetapan exequatur itu menurut kuasa hukum Man mestinya tak bisa dibanding apalagi kasasi tidak berbeda dengan keputusan sela saja. Oleh karena itu, adanya keputusan kasasi dengan sendirinya penetapan exequatur sebelumnya tidak dapat dilaksanakan. 538 Kontroversi mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing itu bagaimana pun telah mencitrakan betapa pilihan forum penyelesaian sengketa melalui arbitrase belum berpihak pada penegakan keadilan. Apabila demikian faktanya, benar apa yang dikatakan Rene David bahwa: It may happen hoewever that the loser does not accept the award which has been rendered. He may contest the validity of the award,... It is then necessary to go to a court; the losing party may go to court to have the award set aside or reformed. 539
Padahal bagi pihak-pihak yang bersengketa tidak terkecuali pihak asing, dapat dilaksanakannya putusan yang telah diperoleh, sama dengan memperoleh jaminan kepastian hukum atas hak-hak yang dituntut. Ini
538 Tempo,...Loc. Cit., 539 Rene David, Arbitration in International Trade. Kluwer Law Taxation Publisher, 1985, h. 361.
323 merupakan masalah esensial, oleh karena bagi siapa pun, memakai metode penyelesaian sengketa apa pun, dan dimana pun sengketa itu diputus, tidak ada artinya sama sekali apabila tidak ada ada jaminan kepastian hukum untuk merealisasikan hak-hak yang diperoleh. Bukan kemenangan semu di atas kertas yang dicari pihak-pihak yang bersengketa, melainkan diperoleh kembali hak yang mereka perjuangkan.
3) Periode sesudah berlaku Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS tentu saja berbeda dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1990 tentang tatacara pelaksanaan putusan arbitrase asing. Akan tetapi dalam beberapa hal substansi UU Arbitrase ternyata masih mengukuhkan materi hukum yang berasal dari PERMA 1/1990. Ketentuan tersebut di antaranya, Pasal 66 UU Abitrase substansinya sama persis dengan Pasal 3 PERMA 1/1990. Kemudian Pasal 67 ayat (2) UU Arbitrase juga sama dengan Pasal 5 ayat (4) PERMA 1/1990. Selebihnya tentu saja UU Arbitrase mengatur lebih luas dan komprehensif, sehingga sangat berbeda dengan PERMA 1/1990. Namun demikian perbedaan prinsipal di antara keduanya tampak pada pengaturan tentang otoritas pemberi eksekuatur. Menurut PERMA 1/1990 yang berwenang memberi eksekuatur adalah Mahkamah Agung, sedangkan di dalam Undang-undang Arbitrase 324 adalah KPN Jakarta Pusat. Dikecualikan apabila Republik Indonesia menjadi salah satu pihak dalam sengketa, maka eksekuatur tetap merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Pengecualian tersebut sama sekali tidak diatur di dalam PERMA 1/1990. Pertanyaan yang muncul adalah: Mengapa pembuat Undang-undang Arbitrase memilih KPN Jakarta Pusat sebagai otoritas pemberi eksekuatur menggantikan Mahkamah Agung? Tidak dijumpai jawaban otentik dari risalah penyusunan Undang-undang mengenai hal itu. Akan tetapi menurut keterangan dari para informan diperoleh informasi yang cukup relevan dalam konteks alasan penunjukan tersebut. Para informan mengemukakan bahwa hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diyakini sebagai figur yang sangat berpengalaman serta memiliki kemampuan handal dalam menangani berbagai kasus yang bernuansa transnasional termasuk dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase asing, bila dibandingkan dengan para hakim di pengadilan lain di Indonesia. 540 Kondisi semacam itu antara lain disebabkan karakter wilayah Jakarta Pusat yang unik sekaligus rumit. Sebagai bagian dari Ibu Kota Negara RI, wilayah Jakarta Pusat memiliki kompleksitas permasalahan, skala aktivitas masyarakat yang sangat bervariasi dan berakselerasi tinggi,
540 Informasi ini diperoleh dari sejumlah informan. Diantaranya kalangan praktisi hukum termasuk mantan hakim dan yang lainnya dari kalangan akademisi yang juga sebagai praktisi hukum) di Jakarta. 325 serta populasi yang multi etnik dengan segala dinamikanya. Alasan itu menurut para informan diperkirakan merupakan salah satu pertimbangan, sehingga pembuat Undang-undang Arbitrase memilih KPN Jakarta Pusat sebagai otoritas pemberi eksekuatur untuk pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing. Sesudah berlaku UU Arbitrase 30/1999, permohonan eksekuatur putusan arbitrase asing ternyata masih menjumpai beberapa hambatan, sehingga hasilnya belum banyak berbeda dengan keadaan sebelumnya. Permohonan eksekuatur di dalam praktik masih tidak mudah untuk dikabulkan. Akibatnya, secara umum pelaksanaan putusan arbitrase baik putusan arbitrase nasional apalagi putusan arbitrase internasional masih sangat jarang terjadi. Hasil penelitian yang diadakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada bulan Januari 2002 berkenaan dengan putusan arbitrase nasional yang didaftarkan untuk dilaksanakan, menunjukkan bahwa jumlah putusan yang didaftarkan turun dari 19 putusan pada tahun 1999 menjadi hanya enam putusan saja pada tahun 2001, walaupun perintah pelaksanaan diberikan sembilan kali pada tahun 1999 dan tidak ada sama sekali pada tahun 2000 dan 2001. 541 Untuk mengetahui betapa susahnya putusan arbitrase asing memperoleh eksekuatur dari pengadilan, paparan berikut ini merupakan salah satu contohnya.
541 Mulyana, Loc. Cit., 326 Kasus antara Bankers Trust Company and Bankers Trust International PLC (together BT) vs. PT Mayora Indah Tbk. (Mayora) 542
mengenaicurrency and interest rate swap transactions based on the International Swaps and Derivatives Association (ISDA) Master Agreement tertanggal 25 April 1997. Sengketa tersebut diputus oleh arbitrator London pada tahun 1999 berdasarkan the Rules of the London Court of International Arbitration (LCIA) dan BT dimenangkan. Putusan tersebut menghukum PT Mayora untuk membayar sejumlah uang kepada BT. Ketika permohonan pelaksanaan putusan arbitrase London diajukan oleh pihak BT, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak untuk melaksanakan putusan tersebut. Alasan penolakan disebutkan karena BT dan PT Mayora dalam sengketa yang sama sedang dalam proses pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Putusan No. 46/Pdt.G/1999 tanggal 9 Desember 1999 yang memenangkan PT Mayora). Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengatakan bahwa dalam praktik pengadilan, acara pelaksanaan dari putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (dalam hal ini putusan arbitrase asing) harus ditunda sampai dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dimaksud mempunyai kekuatan hukum tetap. Selanjutnya, KPN Jakarta Pusat menyatakan bahwa apabila putusan arbitrase yang dibuat di London
542 Ibid., h. 26.
327 dilaksanakan sementara masih menunggu putusan PN Jakarta Selatan, maka hal itu dapat menghapuskan perjanjian pokok para pihak. Berdasarkan fakta tersebut, putusan arbitrase internasional akan membingungkan dan akan bertentangan dengan ketertiban umum. Setelah PT Mayora dimenangkan, BT kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung mengenai penetapan KPN Jakarta Pusat. Penetapan Mahkamah Agung No. 02K/Exr/Arb.Int/Pdt/2000 tanggal 5 September 2000 menguatkan Penetapan KPN Jakarta Pusat tersebut dan menolak untuk melaksanakan putusan arbitrase asing yang dimohonkan oleh BT. Mahkamah Agung menyatakan bahwa pelaksanaan putusan arbitrase asing harus ditunda sampai dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sebaliknya, hal itu akan bertentangan dengan tertib hukum acara. Kesimpulan dari Mahkamah Agung akan dianggap sebagai putusan yang tepat apabila kedua kasus antara pihak-pihak yang sama berkenaan dengan sengketa yang sama dan tunduk pada jurisdiksi pengadilan. Dalam keadaan seperti itu, putusan pengadilan akan mempunyai kekuatan hukum tetap dan harus ditunda sampai dengan putusan pengadilan dalam kasus yang sedang diperiksa juga mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan pada kasus di atas, para pihak membuat perjanjian arbitrase, sehingga pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa sengketa tersebut 328 karena pengadilan tidak memiliki jurisdiksi. Namun demikian, di Indonesia, beracara di depan pengadilan dengan maksud untuk membatalkan perjanjian yang di dalamnya memuat klausula arbitrase sering digunakan sebagai taktik untuk membatalkan proses arbitrase, dan membatalkan pembayaran ganti kerugian atau kompensasi. 543
Berkaitan dengan hal di atas, penelitian yang dilakukan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada bulan Januari 2002 mengenai jumlah putusan arbitrase asing yang didaftarkan untuk dilaksanakan antara tahun 1999-2001 menunjukkan hasil seperti berikut: Pada tahun 1999 enam permohonan pendaftaran putusan arbitrase asing telah diajukan dan tidak satu pun eksekuatur diberikan. Kemudian pada tahun 2000 terdapat dua permohonan pendaftaran yang diajukan hanya satu yang memperoleh eksekuatur. Sedangkan pada tahun 2001 jumlah permohonan pendaftaran bertambah menjadi empat meskipun hanya tiga eksekuatur yang diberikan. 544
Seluruh rangkaian cerita dan fakta mengenai permohonan eksekuatur untuk melaksanakan putusan arbitrase asing, memberi bukti bahwa ternyata hukum arbitrase positif masih menyisakan celah-celah yang memungkinkan
543 Dikemukakan Mulyana, bahwa: ...The attitude of Indonesian courts to entertain such lawsuits has been one of the major concerns of the international community in the operation of the legal system in Indonesia. dalam Mulyana, Loc. Cit., h. 27. 544 Ibid., h. 27.
329 terjadinya konflik. Satu di antara penyebabnya antara lain karena undang- undang arbitrase menganut standar ganda dalam memperlakukan putusan arbitrase. Indikator tersebut dengan mudah dapat diketahui. Pertama, terhadap putusan arbitrase nasional, di satu pihak diakui sebagai putusan yang bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat para pihak. 545 Akan tetapi, untuk melaksanakan putusan arbitrase nasional, undang-undang menentukan sejumlah persyaratan dengan ancaman sanksi bahwa putusan tidak dapat dilaksanakan bila syarat yang ditentukan tidak dipenuhi. Bahkan apabila para pihak tidak melaksanakan putusan secara sukarela, maka putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri. Kedua, untuk putusan arbitrase internasional lebih banyak lagi persyaratan yang ditentukan. Bahkan dari sejumlah syarat tersebut mengesankan putusan arbitrase internasional sama sekali tidak memiliki titel eksekutorial sebelum memperoleh eksekuatur dari KPN Jakarta Pusat. Sedangkan idealnya suatu putusan yang bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap, serta mengikat para pihak, dalam keadaan apa pun harus dapat dieksekusi sendiri tanpa melibatkan institusi lain kecuali lembaga yang menjatuhkan putusan tersebut. Di samping itu, hukum arbitrase terkesan diskriminatif terhadap putusan arbitrase dibandingkan dengan putusan hakim. Oleh karena itu, sesungguhnya
545 Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999.. 330 putusan arbitrase itu belum merupakan putusan final, karena tidak memiliki titel eksekutorial, dan tidak mandiri, sehingga status putusan arbitrase sama sekali tidak sejajar dengan putusan hakim. Kedua persoalan di muka merupakan konsekuensi yang harus diterima sebagai akibat undang-undang arbitrase menentukan keterlibatan pengadilan negeri terhadap proses dan putusan arbitrase yang demikian luas. Suka atau pun tidak, fakta di atas harus diterima karena keterlibatan pengadilan nasional dalam masalah eksekusi putusan arbitrase pada banyak negara juga merupakan keniscayaan. Seperti yang dikemukakan Christoph H. Schreuer 546 bahwa: Perhaps the most important aspect of the supportive role of domestic courts towards arbitration is the enforcement of awards. ...It is only at the last stage, when it comes to enforcement, that the victorious litigant ultimately depends on the authority of domestic courts. Walhasil, hampir tidak mungkin putusan arbitrase internasional dapat diakui serta dieksekusi di Indonesia tanpa memperoleh dukungan kompetensi pengadilan negeri. Dihubungkan dengan teori tentang karakteristik produk hukum dari Nonet, Undang-undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 dapat dikategorikan ke dalam model hukum represif. Bukan tanpa alasan, karena
546 C. Christoph H. Schreuer, State Immunity: Some Recent Developments. Cambridge: Grotius Publications Limited, 1988, h. 75. 331 baik kaidah hukum arbitrase maupun lembaga pengadilan sebagai instrumen dalam pelaksanaan putusan arbitrase masih diarahkan pada tujuan untuk menjamin ketertiban. Bukti tersebut secara eksplisit tampak bahwa Putusan arbitrase internasional ...hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. 547 Kaidah hukum itu juga masih mencitrakan hukum tunduk pada politik kekuasaan, tuntutan untuk patuh bersifat mutlak, dan ketidak-patuhan dianggap sebagai suatu penyimpangan. Bukti lainnya: Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 548
Ketentuan tentang eksekuatur juga merupakan kaidah imperatif atau aturan yang bersifat memaksa (dwingend recht) yang sama sekali tidak mungkin disimpangi. Mengabaikan permohonan eksekuatur berarti putusan arbitrase asing tidak mungkin dapat dieksekusi. Dalam konstelasi serta konstruksi semacam itu secara bebas dapat diungkapkan bahwa norma hukum arbitrase masih menjadi government social control. Hukum perundang-undangan menjadi kekuatan kontrol di tangan pemerintah yang terlegitimasi (secara formal-yuridis) yang tidak merefleksikan konsep keadilan, asas-asas moral, dan wawasan kearifan yang
547 Pasal 66 huruf (c) UU No. 30/1999. 548 Pasal 66 huruf (d) UU No. 30/1999. 332 sebenarnya, sebagaimana yang sesungguhnya hidup di dalam kesadaran hukum masyarakat awam. 549 Ketertiban merupakan tujuan hukum, sehingga untuk mempertahankan ketertiban maka tuntutan-tuntutan dan pertimbangan- pertimbangan lain di kesampingkan. Padahal di samping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan.
549 Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial...Op. Cit., h. 247. 333 BAB VI PENUTUP
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Simpulan Sebagai uraian penutup dari seluruh rangkaian pembahasan yang telah dikemukakan pada bab-bab terdahulu, berikut ini akan diketengahkan simpulan serta rekomendasi. Berdasarkan analisis serta interpretasi terhadap hasil studi yang dilakukan mengenai pilihan forum arbitrase dalam sengketa komersial dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Memilih forum di luar pengadilan negeri untuk menyelesaikan sengketa komersial dalam bidang perdagangan pada dasarnya merupakan bagian dari kebebasan para pihak dalam membuat kesepakatan mengenai berbagai objek perjanjian. Kesepakatan memilih forum dapat dilakukan melalui dua cara. (i) sebelum terjadi sengketa dan dicantumkan dalam perjanjian pokok, dinamakan pactum de compromittendo; atau (ii) sesudah terjadi sengketa, dibuat dalam bentuk tertulis terpisah dari perjanjian pokok, disebut akta kompromis. Akan tetapi, menurut hukum Indonesia, tidak setiap sengketa dapat diselesaikan melalui forum arbitrase yang dipilih para pihak. Sengketa-sengketa di luar sengketa perdagangan atau sengketa komersial bukan merupakan jurisdiksi forum
334 arbitrase. Hal itu yang membedakan dengan keadaan di negara maju seperti Amerika Serikat. Di negara itu, berbagai macam sengketa dengan latar belakang hukum yang berbeda-beda sekalipun pada prinsipnya dapat diselesaikan melalui arbitrase. Walhasil, tidak hanya sengketa bisnis atau komersial yang dapat dibawa ke forum arbitrase. Untuk kalangan pengusaha yang tidak ingin sengketa mereka diketahui banyak orang, memilih forum arbitrase diakui memberikan jaminan kerahasiaan terhadap para pihak, baik selama proses pemeriksaan berlangsung bahkan sampai dengan setelah putusan dijatuhkan. Lebih dari itu, arbitrase diakui sebagai model penyelesaian sengketa yang mengedepankan pencapaian keadilan dengan pendekatan konsensus dan mendasarkan pada kepentingan para pihak dalam rangka mencapai win- win solution. Akan tetapi di balik semua kelebihan arbitrase, ternyata ada satu hal yang sangat tidak memuaskan para pihak dari seluruh rangkaian proses arbitrase. Ketidak-puasan para pihak dalam proses arbitrase terutama pada saat pelaksanaan (eksekusi) putusan. Pelaksanaan putusan arbitrase, baik putusan arbitrase nasional apalagi putusan arbitrase internasional, di Indonesia selalu menghadapi kesulitan dan hambatan. Kesulitan serta hambatan untuk melaksanakan putusan arbitrase disebabkan antara lain karena norma hukum yang ambivalen. Di satu pihak, arbitrase diakui sebagai salah satu model penyelesaian 335 sengketa di luar pengadilan. Akan tetapi di lain pihak, badan peradilan terkesan belum sepenuhnya memberikan kewenangan dalam menyelesaikan sengketa komersial kepada forum arbitrase. Oleh karena itu, peran pengadilan masih sangat dominan dalam keseluruhan proses arbitrase. Sejak penentuan arbiter sampai dengan pelaksanaan putusan arbitrase, jurisdiksi pengadilan sangat menentukan. Jurisdiksi pengadilan semacam itu bahkan dipositifkan melalui aturan yang bersifat imperatif (dwingend recht). Sebagai konsekuensi dari keadaan tersebut, putusan arbitrase dianggap belum memiliki kekuatan hukum yang tetap, tidak mandiri, belum memiliki titel eksekutorial, dan belum merupakan putusan final. Salah satunya tegas dinyatakan dalam penjelasan undang- undang arbitrase bahwa putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi (executoir) dari pengadilan.
2. Sejak beberapa dasawarsa yang lalu pengadilan negeri di Indonesia telah dipercaya dan digunakan oleh masyarakat untuk menyelesaikan sengketa dalam rangka mendapatkan keadilan (keadilan distributif). Pendekatan yang digunakan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa bersifat pertentangan (adversarial), berdasarkan aturan normatif, sangat formal, rasional, serta birokratis, sehingga hasilnya berupa putusan yang 336 menggambarkan win-lose-solution. Meskipun demikian, sebagian besar perkara yang terjadi di masyarakat tetap mengalir ke pengadilan untuk diperiksa dan diputus dalam rangka memperoleh penyelesaian yang adil. Hal itu disebabkan jumlah serta sebaran pengadilan yang hampir merata di seluruh pelosok daerah di tanah air. Akan tetapi seiring perkembangan masyarakat, lalu lintas perdagangan dan dunia usaha nasional maupun internasional, serta perkembangan hukum itu sendiri, rasio jumlah perkara yang harus diselesaikan oleh pengadilan semakin tidak sebanding dengan kapasitas serta kemampuan pengadilan untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara yang masuk. Di samping faktor eksternal semacam itu, ada juga faktor internal pengadilan yang menyebabkan masyarakat menilai pengadilan serta sumberdaya manusianya semakin tidak berpihak kepada tuntutan rasa keadilan masyarakat. Para hakim di Indonesia selama beberapa dekade telah menjadi bagian hegemoni pegawai negeri sipil yang dikondisikan untuk mendukung kepentingan politik pihak yang berkuasa. Bahkan sampai kini disinyalir hakim-hakim di Indonesia masih rentan terhadap upaya penyuapan, sehingga putusan yang dikeluarkan pengadilan sulit diramalkan, acapkali memihak penguasa atau orang kaya yang pada akhirnya bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Pengadilan telah menjadi tempat mencari kemenangan hukum walaupun dengan 337 cara yang bertentangan dengan hukum. Pada gilirannya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengadilan semakin tipis, karena penyelesaian sengketa di pengadilan telah menjauhkan pihak-pihak yang bersengketa dari nilai-nilai keadilan. Kondisi pengadilan semacam itu tentu saja sangat tidak menguntungkan, apalagi bagi kalangan pebisnis yang perfectionist tentu tidak menghendaki aktivitasnya tersita untuk mengurusi sengketa yang penyelesaiannya sulit diprediksi karena prosesnya berlarut-larut tanpa kepastian waktu. Oleh karena itu, apabila pengusaha menghadapi sengketa, tentu saja akan memilih cara-cara yang lebih sederhana prosedurnya serta ditentukan secara limitatif waktu penyelesaiannya. Model semacam itu antara lain adalah arbitrase, meskipun pada waktu putusan arbitrase hendak dieksekusi harus menghadapi birokrasi jurisdiksi pengadilan. Padahal memilih arbitrase pada mulanya untuk menghindari mekanisme penyelesaian sengketa di pengadilan yang memerlukan waktu bertahun-tahun.
3. Putusan arbitrase bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap, dan mengikat para pihak sesungguhnya merupakan konsep normatif yang harus diwujudkan (ius constituendum) dan sama sekali belum merupakan norma yang nyatanya telah terwujud (ius constitutum). Faktanya, putusan arbitrase, baik nasional maupun internasional dalam 338 aras praktik hukum di Indonesia senyatanya belum merupakan putusan final, tidak mempunyai kekuatan eksekutorial, dan tidak mandiri. Jadi, walaupun secara normatif eksplisit ditentukan bahwa putusan arbitrase tidak dapat dimohonkan upaya hukum banding dan kasasi, namun bukan itu indikator penentunya. Idealnya, putusan arbitrase yang dikatakan final dan mengikat itu sekaligus juga memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga putusan tersebut benar-benar mandiri dan tidak dikondisikan dependen terhadap kewenangan pengadilan negeri. Selama putusan arbitrase masih harus dideponir dan digantungkan kepada eksekuatur pengadilan negeri ketika hendak dilaksanakan, maka selama itu pula tidak layak putusan arbitrase disebut sebagai putusan yang final dan mengikat apalagi mandiri. Pengertian itulah yang secara sadar telah disesatkan oleh pembuat undang-undang arbitrase dengan maksud yang tidak dijelaskan. Akibatnya, pihak-pihak yang pada mulanya memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa dengan harapan akan mendapatkan keadilan, akhirnya, malang tak boleh ditolak, mujur tak boleh diraih, keadilan yang digapai pun kandas lagi di pengadilan. Nasib putusan arbitrase internasional bahkan lebih tidak menentu. Tidak hanya disebabkan syarat normatif yang ketat dan kaku dari norma hukum yang masih berkarakter represif, tetapi juga diperparah lagi oleh sikap pihak yang dikalahkan dalam putusan arbitrase internasional tersebut. Dalam 339 hal pihak termohon eksekusi itu warga negara Indonesia, sering melakukan tindakan yang kurang terpuji. Dari kasus-kasus yang dipaparkan pada pembahasan mengenai eksekusi putusan arbitrase di muka, diketahui bahwa pihak warga negara Indonesia yang dikalahkan dalam arbitrase internasional sering mengambil upaya lain. Di antaranya, acara gugatan yang diajukan pihak yang dikalahkan dalam putusan arbitrase internasional melalui pengadilan negeri untuk membatalkan kontrak yang di dalamnya mencantumkan klausula arbitrase, telah sering digunakan sebagai taktik untuk membatalkan proses arbitrase dan menghindari kewajiban membayar ganti kerugian atau kompensasi. Berdasarkan tiga paparan simpulan di muka dapat diproyeksikan seperti berikut ini: Forum arbitrase hanya mungkin menjadi salah satu forum khusus yang mandiri di masa depan untuk menyelesaikan sengketa- sengketa komersial di luar pengadilan, apabila ada kemauan politik dari pemerintah dan pembuat undang-undang. Kemauan politik (political will) dimaksud terutama berupa support atau dukungan terhadap arbitrase dalam maknanya yang luas. Badan peradilan hendaknya tidak hanya melakukan fungsi pengawasan, yang kaku dengan aturan formal yang ketat. Dukungan lembaga peradilan hendaknya lebih diwujudkan dalam bentuk penghormatan dari para hakim terhadap putusan arbitrase 340 sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti, tanpa harus diintegrasikan ke dalam alur lembaga peradilan untuk memperoleh eksekuatur. Agar dengan demikian, forum arbitrase baik de jure maupun de facto menjadi forum yang mandiri serta sejajar dengan pengadilan. Dalam hal para pihak tidak secara sukarela melaksanakan putusan arbitrase dimaksud, seyogianya kewenangan untuk mendesak pihak- pihak agar mau melaksanakan putusan tersebut dikembalikan kepada forum arbitrase yang memutus sengketanya. Demikian pula, untuk putusan arbitrase internasional, kewenangan untuk memberikan perintah pelaksanaan seyogianya dimiliki oleh lembaga arbitrase nasional, bukan lagi oleh pengadilan negeri.
B. Rekomendasi
1. Arbitrase pada dasarnya memiliki perbedaan prinsipal dengan jenis penyelesaian sengketa alternatif. Oleh karena model penyelesaian sengketa alternatif seperti halnya negosiasi, mediasi, dan konsiliasi, tergolong non-adjudicatory procedures, sedangkan arbitrase termasuk dalam kelompok adjudicatory procedures. Pada dasarnya dalam menyelesaikan sengketa, arbitrase menggunakan metode pertentangan (adversarial), sehingga arbitrase diakui sebagai model ajudikasi semu. Untuk membedakan arbitrase dengan model penyelesaian sengketa 341 alternatif, disarankan agar arbitrase tidak disebut sebagai metode alternatif penyelesaian sengketa. Persoalannya, arbitrase sangat berbeda dengan metode penyelesaian sengketa alternatif. Negosiasi, mediasi, dan konsiliasi sebagai metode penyelesaian sengketa alternatif tidak dapat menghasilkan putusan, sedangkan arbitrase sebagai ajudikasi semu di akhir pemeriksaan sengketa menghasilkan suatu putusan (award). Alasan lain yang membedakan adalah, arbitrase dapat berlangsung secara ad hoc dan dapat pula terlembaga (institusional), sedangkan metode penyelesaian sengketa alternatif tidak dapat diformat menjadi terlembaga.
2. Apabila arbitrase hendak dikembangkan sebagai salah satu forum khusus yang mandiri dan berwibawa dalam menyelesaikan sengketa- sengketa komersial di luar pengadilan, disarankan agar keberadaan atau eksistensi forum arbitrase, baik ad hoc maupun institusional perlu dilakukan upaya sosialisasi secara intensif. Tanpa upaya semacam itu sulit diharapkan forum arbitrase dapat dikenal secara luas dalam waktu yang relatif cepat. Hal itu disebabkan keberadaan arbitrase tidak menyebar secara meluas seperti halnya badan peradilan negara. Oleh karena itu, dukungan dari para hakim pengadilan rendahan di seluruh wilayah Indonesia merupakan conditio sine qua non dalam 342 mensosialisasikan forum arbitrase ini. Hendaknya para hakim dibekali pemahaman yang cukup memadai tentang arbitrase, sehingga tidak ada lagi kesan dari para hakim bahwa forum arbitrase merupakan kompetitor bagi pengadilan negeri yang dianggap mengambil lahan dalam penyelesaian sengketa. Sebaliknya, para hakim pengadilan rendahan semestinya membantu para pencari keadilan dengan jalan memberi advis untuk memilih forum arbitrase dalam upaya mendistribusikan penyelesaian sengketa. Upaya demikian diharapkan dapat membawa manfaat, sehingga pada tingkat kasasi diharapkan tidak terjadi kongesti atau timbunan perkara yang harus diselesaikan oleh Mahkamah Agung.
3. Di sadari maupun tidak oleh pembuatnya, Undang-undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 secara nyata di dalamnya terdapat ambivalensi norma. Untuk mengakhiri kondisi semacam itu tidak ada cara lain kecuali terhadap undang-undang tersebut harus dilakukan koreksi dalam bentuk perubahan atau diamandemen. Tanpa melakukan hal itu, sulit kiranya untuk mengupayakan kedudukan forum arbitrase sebagaimana yang diharapkan yakni: mandiri serta kompeten untuk mendesak para pihak dalam memaksakan pelaksanaan putusan.
343
4. Di samping upaya koreksi terhadap Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 dalam bentuk amandemen, perlu pula diatur secara tegas mengenai standar efektivitas penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Oleh karena walalaupun sebenarnya undang-undang tersebut telah secara eksplisit mengatur jangka waktu pemeriksaan sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk; [Pasal 48 ayat (1)]. Akan tetapi faktanya putusan yang telah diperoleh tidak mudah untuk dieksekusi. 5. Hendakanya pada masa-masa yang akan datang, substansi undang- undang tidak lagi memuat rumusan pasal yang tidak konsisten (istiqomah) seperti yang terjadi di dalam undang-undang arbitrase di atas. Tidak konsisten karena, di satu pihak putusan arbitrase dikatakan sebagai bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap, dan mengikat para pihak. Akan tetapi di lain pihak, putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan jika kewajiban mendaftarkan dan menyerahkan putusan ke pengadilan negeri tidak dipenuhi.
344 DAFTAR PUSTAKA
ABDUH, Muhammad, Serangkaian Pembahasan bagi Pembaharuan Hukum Ekonomi di Indonesia. Temu Karya Hukum Perusahaan dan Arbitrase; Kantor Menko Ekuin dan Wasbang bekerjasama dengan Departemen Kehakiman, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta: 22-23 Januari 1991. ABDURRASYID, Priyatna, 99,9 % Hakim Tidak Mengerti Arbitrase. dalam Wawancara Hukumonline_com.htm, Jumat, 10 Januari 2003. ____________, Pengusaha Indonesia Perlu Meningkatkan Minatnya terhadap Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 21, Oktober-November 2002. ____________, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketasuatu pengantar. Jakarta: Fikahati Aneska-BANI, 2002. ADOLF, Huala, Pembatalan Putusan Arbitrase Asing; dalam Kompas, Jumat, 29 Mei 1992. ____________, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional. Jakarta: Rajawali Pres, 1991. ALGRA, N.E., et al., Fockema Andreaes Rechtsgeleerd Handwoordenboek. Bandung: Binacipta, 1983. ALI, Achmad, Pengadilan yang yang tak Berkeadilan; dalam Kompas, Jumat, 08 Juni 2001. ____________, Bercermin pada Penegakan Hukum Jepang; Kompas, 15 April 2002. ALWASILAH, A. Chaedar, Pokoknya Kualitatif; Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Pustaka Jaya, 2003. ARIKUNTO, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 1998. ATMADJA, Asikin Kusumah, Konvensi/Ratifikasi dan Eksekusi Putusan Arbitrase; Makalah Seminar Sehari. Kerjasama antara ALTRI- KADIN-BANI, Jakarta, 16 Nopember 1988. AUERBACH, Jerold S., Justice Without Law? New York: Oxford University Press, 1983. AZWAR, Saifuddin, Sikap Manusia - Teori dan Pengukurannya. (edisi kedua), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. BARAK, Aharon, Judicial Discretion. New York: Yale University Press, 1989. 345 BASROWI & Sukidin, Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia, 2002. BECKMANN, Keebet von Benda, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat. Jakarta: Grasindo, 2000. ___________-F. von Benda, Dari Hukum manusia Primitif sampai ke Penelaahan Sosio-Hukum Masyarakat-masyarakat Kompleks; dalam T.O. Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993. BERNINI, Giorgio & Albert Jan Van den Berg, The enforcement of arbitral awards against a state: the problem of immunity from execution; dalam Julian DM Lew (ed), Contemporary Problems in International Arbitration. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1987. BERG, A. J. van den et al., Arbitrage Recht. W.E.J. Tjeenk Willink - Zwolle, 1988. ____________, "The New York Arbitration Convention of 1958 Towards a Uniform Judicial Interpretation. The Hague: TMC Asser Institute, 1981. BHAKTI, Yudha, Pengertian Jus Cogen dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian; Padjadjaran, Kuartal I No. 1, Januari-Maret 1981. BLACK, Henry Campbell, Blacks Law Dictionary: Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence Ancient and Modern. (Sixth Edition). St. Paul Minn: West Publishing Co., 1990. BLAU, Peter M. & Marshall W. Meyer, Birokrasi dalam Masyarakat Modern. Jakarta: UI Press, 1987. BOCKSTIEGEL, Karl-Heinz, States in international arbitral process; dalam Julian DM Lew (ed), Contemporary Problems in International Arbitration. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1987. _____________, Arbitration and State Enterprises; Survey on the National and International State of Law and Practice. Dordrecht: Kluwer Publishers, 1989. BRUGGINK, J.J.H., Refleksi Tentang Hukum; terjemahan Arief Sidharta. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999. CAFFREY, Bradford A., Enforcement of Foreign Judgments. Sydney:CCH Australia Limited, 1985. CAMPBELL, Tom, Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian, Perbandingan. Yogyakarta: Kanisius, 1994. 346 CHAMBLISS, William J. & Robert B. Seidman, Law, Order and Power. Reading, Massachusetts: Addison-Westley, 1971. COHN, E., M. Domke, F. Eisemann (eds.), Handbook of Institutional Arbitration in international trade; Preface, dalam Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional. Bandung: Alumni, 1986. COULSON, Robert, Business Arbitration What You Need to Know. (revised third edition), New York: American Arbitration Association, 1987. CRAIB, Ian, Modern Social Theory: from Parson to Habermas (Teori- Teori Sosial Modern: dari Parson sampai Habermas); Penerjemah: Paul S. Baut dan T. Effendi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. DAHRENDORF, Ralf, Class and Class Conflict in Industrial Society. London: Routledge & Kegan Paul, 1959. DANIM, Sudarwan, Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia, 2002. DAVID, Rene, Arbitration in International Trade. Deventer: Kluwer Law Publishers, 1985. DAWSON, John P., Peranan Hakim di Amerika Serikat; dalam Harold J. Berman, Ceramah-Ceramah Tentang Hukum Amerika Serikat. Terjemahan Gregory Churchill. Jakarta: PT Tatanusa, 1996. DERSCHOWITZ, Alan M., Reasonable Doubts. New York: Simon & Schuster, 1996, h. 42. Marc Galanter ,Why The Haves Come Out Ahead: Speculations on The Limits of Legal Change; Law and Society, Fall 1974. DJIWANDONO, Sudradjat, Sambutan Menteri Muda Perdagangan RI pada Simposium Nasional tentang Aspek-aspek Kerjasama Ekonomi antara negara-negara ASEAN dalam rangka AFTA. Bandung, 1 Februari 1993. DOBSON, Paul, and Clive M. Schmitthoff, Charlesworths Business Law. London: Sweet & Maxwell, 1991. DORMAN, Peter J.(eds), Running Press Dictionary of Law. Philadelphia: Running Press, 1976. DWORKIN, Ronald, The Original Position; dalam Reading Rawls, Critical Studies on Rawls A Theory of Justice; Norman Daniels (Ed.), Oxford: Basil Blackwell, 1975, dalam Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi Telaah Filsafat Politik John Rawls. Yogyakarta: Kanisius, 2001. 347 ENGELBRECHT, W.A.,et. al., De Wetboeken Wetten en Verordeningen Benevens de Voorlopige Grondwet van de Republiek Indonesie. Leiden: A.W. Sijthoff Uitgeversmij N.V., 1956. FAISAL, Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999. FOLTER, MOJ de, et al., Burgerlijke Rechtsvordering en aanverwante Regelingen. Kluwer-Deventer, 1990. FRIEDMAN, Lawrence M., On Legal Development. Rutgers Law Review, (alih bahasa: Rachmadi Djoko Soemadio), 1969. ____________, American Law an Introduction; Hukum Amerika sebuah Pengantar, (alih bahasa: Wishnu Basuki). Jakarta: Tatanusa, 2001. ____________, The Legal System. New York: Russel Sage Foundation, 1975. FULLER, Lon L., Sistem Perlawanan; dalam Harold J. Berman, Ceramah-Ceramah Tentang Hukum Amerika Serikat. Jakarta: PT Tatanusa, 1996. GALANTER, Marc,Why The Haves Come Out Ahead: Speculations on The Limits of Legal Change; Law and Society, Fall 1974. ____________, Hukum Hindu dan Perkembangan Sistem Hukum India Modern; dalam AAG Peters & Koesriani Siswosoebroto (eds), Hukum dan Perkembangan Sosial Buku II. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988. ____________, Justice in Many Rooms; dalam Maurio Cappelletti (ed), Access to Justice and The Welfare State. Italy: European University Institute, 1981. ____________, Keadilan di Berbagai Ruangan: Lembaga Peradilan, Penataan Masyarakat serta Hukum Rakyat: dalam T.O. Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993. GAUTAMA, Sudargo, Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional. Bandung: Alumni, 1985. ____________, Hukum Perdata Internasional Indonesia (Buku keempat). Bandung: Alumni, 1989. ____________, Hukum Perdata Internasional Indonesia (Buku kedelapan). Bandung: Alumni, 1987. ____________, Arbitrase Dagang Internasional. Bandung: Alumni, 1986. ____________, Hukum Perdata Internasional Hukum yang Hidup. Bandung: Alumni, 1983. 348 ____________, Indonesia dan Arbitrase Internasional. Bandung: Alumni, 1986. ____________, Hukum Antar Tata Hukum. Bandung: Alumni, 1977. ____________, Masalah-Masalah Baru Hukum Perdata Internasional. Bandung:Alumni, 1984. ____________, Arbitrase Bank Dunia tentang Penanaman Modal Asing di Indonesia dan Jurisprudensi Indonesia dalam Perkara Hukum Perdata. Bandung: Alumni, 1994. GOODPASTER, Gary, Tinjauan terhadap Penyelesaian Sengketa dalam Felix O. Soebagijo & Erman Rajagukguk (eds), Arbitrase di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995. GRAY, Christine D., Judicial Remedies in International Law. New York, Oxford University Press, 1987. HADIKUSUMA, Hilman, Antropologi Hukum Indonesia. Bandung: Alumni, 1986. HAGUL, Peter, Reliabilitas dan Validitas; dalam Masri Singarimbun & Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES, 1982. HARAHAP, M. Yahya, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Jakarta: Gramedia, 1988. ____________, Citra Penegakan Hukum; dalam Varia Peradilan Tahun X Nomor 117, Juni 1995. ____________, Pengadilan Tak Efektif Selesaikan Perkara; dalam Kompas, 16 Juli 1999. ____________, Beberapa Catatan yang Perlu Mendapat Perhatian atas UU No. 30 Tahun 1999; Jurnal Hukum Bisnis Vol. 21, Oktober- November 2002. ____________, Dua Sisi Putusan Hakim Tidak Adil Bagi Yang Kalah dan Adil Bagi Yang Menang; dalam Varia Peradilan, Tahun VIII, Nomor 95, Agustus 1993. ____________, Mencari Sistem Alternatif Penyelesaian Perkara; dalam Varia Peradilan Tahun XI No. 121, Oktober 1995. ____________, Arbitrase Ditinjau dari: Rv, BANI Rules, ICSID, UNCITRAL Arb. Rules, NY Convention, PERMA 1 Th. 1990. Jakarta: Sinar Grafika, 2001. ____________, Tempat Arbitrase Islam dalam Hukum Nasional; dalam Abdul Rahman Saleh et al., Arbitrase Islam Di Indonesia. Jakarta: BAMUI & Bank Muamalat, 1994. HARMAN, Benny K., Konfigurasi Politik & Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Jakarta: Elsam, 1997. 349 HART, H.L.A., The Concept of Law. London: Oxford University Press, 1972. HARTONO, Sunarjati, "Legal Aspect of Indonesian Trade with other Countries in the Asian-Pacific"; dalam Padjadjaran, Special English Edition, 1984. _________________, Serba-Serbi tentang Arbitrase Dagang Internasional; dalam Serangkaian Pembahasan bagi Pembaharuan Hukum Ekonomi di Indonesia. Temu Karya Hukum Perusahaan dan Arbitrase; Kantor Menko Ekuin dan Wasbang bekerjasama dengan Departemen Kehakiman, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta: 22-23 Januari 1991. _________________, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke 20. Bandung: Alumni, 1994. HATTA, Sri Gambir Melati, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahakamah Agung Indonesia. Bandung: Alumni, 1999. HENDERSON, Dan Fenno, Modernisasi Hukum dan Politik di Jepang; dalam AAG Peters & Koesriani Siswosoebroto (eds), Hukum dan Perkembangan Sosial Buku. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988. HENDRICKS, William, How to Manage Conflict; Bagaimana Mengelola Konflik (Penerjemah: Arif Santoso). Jakarta: Bumi Aksara, 2001. HIMAWAN, Charles, Ekonomi dan Hukum Rintangan Potensial; dalam Kompas, 10-08-2001. HUIJBERS, Theo OSC, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius, 1984. HUGENHOLTZ/Heemskerk, Hoofdlijnen van Nederlands Burgerlijk Procesrecht - (Vijftiende druk). s-Gravenhage: VUGA Uitgeverij B.V., 1988. HUNT, Alan, Kritisi Hukum: Apa yang Kritis dalam Studi Hukum Kritis? dalam Wacana Edisi 6 Tahun II 2000. HUNTER, J. Martin H., Judicial Assistance for the arbitrator; dalam Julian DM Lew (ed), Contemporary Problems in International Arbitration. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1987. IHROMI, T.O., Beberapa Catatan Mengenai Metode Kasus Sengketa yang Digunakan dalam Antropologi Hukum; dalam T.O. Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993. 350 INDARTI, Erlyn, Diskresi Polisi. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000. ____________, Paradigma: Jati Diri Cendekia; Makalah Diskusi Ilmiah Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang, 1 Desember 2000. IRIANTO, Heru & Burhan Bungin, Pokok-Pokok Penting tentang Wawancara; dalam Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif- Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: Rajawali, 2001. JATIM, Fatmah, Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia; dalam Felix O. Soebagjo & Erman Rajagukguk (eds), Arbitrase di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995. KANTAATMADJA, Komar, Beberapa Permasalahan Arbitrase Internasional; Makalah Seminar Arbitrase 16 November 1988. KASIM., Ifdhal, Mempertimbangkan Critical Legal Studies dalam Kajian Hukum di Indonesia; Jurnal Ilmu Sosial Transformatif WACANA, Edisi 6 Tahun II 2000. KAWASHIMA, Takeyoshi, Penyelesaian Pertikaian di Jepang Kontemporer; dalam AAG Peters & Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial - Buku II. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988. KERAF, A. Sonny, Pasar Bebas Keadilan dan Peran Pemerintah. Yogyakarta: Kanisius, 1996. ________________, Hukum Kodrat dan Teori Hak Milik. Yogyakarta: Kanisius, 1997. KERR, The Hon. Mr. Justice, International Arb. v. Litigation; The Journal of Business Law. 1980. KOLLEWIJN, R.D., Het beginsel der openbare orde in het international privaatrecht. Dissertasi, Leiden, 1917; dalam Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional-Buku ke 4. Bandung: Alumni, 1989. KOENTJARANINGRAT, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993. KRIEKHOFF, Valerine J.L., Mediasi (Tinjauan dari Segi Antropologi Hukum); dalam T.O. Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993. KUHN, Thomas, The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: The University of Chicago Press, 1970. KUSNADI et al., Teori dan Manajemen Konflik (Tradisional, Kontemporer & Islam). Malang: Taroda, 2001. 351 KUSUMAATMADJA, Mochtar, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional; dalam PADJADJARAN (Majalah Ilmu Hukum & Pengetahuan Masyarakat), Jilid III, Nomor 1, September 1970. ____________, Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Binacipta, 1978. KUSUMOHAMIDJOJO, Budiono, Suatu studi terhadap aspek operasional Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Bandung: Binacipta, 1986. LEV, Daniel S., Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta: LP3ES, 1990. ____________, Lembaga Peradilan dan Budaya Hukum di Indonesia; dalam A.A.G.Peters & Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial - Buku II. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988. LEW, Julian D.M., Applicable Law in International Commercial Arbitration. Oceana Publication Inc., 1978. ____________, Contemporary Problems in International Arbitration. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1987. LIEMENA, Frans, Klausula Arbitrase dihubungkan dengan Kompetensi Pengadilan Negeri; dalam Varia Peradilan, Tahun III Nomor 29, Februari 1988. LOMBARD, Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya, jilid 1, 2, dan 3. Jakarta: Gramedia, 1996. LOTULUNG, Paulus Effendie, Kemandirian dan Independensi Peradilan; Makalah Seminar Nasional Reformasi Sistem Peradilan dalam Menanggulangi Mafia Peradilan di Indonesia. Semarang: FH UNDIP, 6 Maret 1999. LUBIS, T. Mulya, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka Mitos atau Realitas; dalam Kompas, 16 Oktober 1989. MANAN, Bagir, Reformasi Mahkamah Agung; dalam Kompas, 14 Nopember 1999. MANDAN, Ali, Konflik dan Konflik Dalam Masyarakat Industri. Jakarta: CV Rajawali, 1986. MARIOT, Arthur, The Role of ADR in the Settlement of Commercial Disputes; dalam Asia Pacific Law Review, Vol. 1 Summer 1994. MEREDITH, Richard Jackson, The Machinery of Justice in England; dalam Setiawan, Putusan Hakim Sebagai Transformasi Ide Keadilan; Varia Peradilan Tahun VII No. 80, Mei 1992 MERILLLS, J.G., International Dispute Settlement. London: Sweet & Maxwell, 1994. 352 MERRYMAN, John Henry, The Civil Law Tradition. Stanford University Press, Stanford, California, 1969. MERTOKUSUMO, Sudikno, Sistem Peradilan di Indonesia; JURNAL HUKUM, No. 9, Vo. 4, 1997. ____________, Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1993. ____________, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia. Bandung: Kilatmadju, 1971. ____________, Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty, 1986. MIALL, Hugh, Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse, Resolusi Damai Konflik Kontemporer. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002. MILES, Matthew B. & A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif; (Penerjemah: Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: UI Press, 1992. MOLEONG, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung, Remaja Karya, 1989. MUHADJIR, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000. MUHAIMIN, Yahya, Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru (1990:23); dalam Akhmad Setiawan, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. MUKHTAR, Sofyan, Mekanisme Alternatif Bagi Penyelesaian Sengketa Perdata-Dagang (Dispute Resolution); dalam Varia Peradilan No. 48, 1989. MULADI, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997. MULYANA, et al., Indonesias New Framework For International Arbitration: A Critical Assessment of the Law and Its Application by the Court; Mealeys International Arbitration Report. January, 2002. MUSADDAD, Hj. Ummu Salamah, Perspektif Etika Spiritual dan Moral dalam Interaksi Sosial Kemanusiaan di Era Globalisasi; dalam Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar FISIP-Unpas, Bandung, 5 April 2003. MUTHAHHARI, Mutadha, Keadilan Ilahi Asas Pandangan Dunia Islam. Bandung: Mizan, 1992. NANTWI, E.K., The Enforcement of Inernational Judicial Decision and Arbitral Awards in Public International Law, Leiden: A.W. Sijthoff, 1966. 353 NASUTION, S., Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito, 1996. NASIKUN, Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000. NELSON, Steven C., Alternatives to Litigation of International Disputes, The International Lawyer, Vol. 23, No. 1, 1989. NONET, Philippe & Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law. New York: Harper & Row, 1978. NUSSBAUM, Arthur, (Penyadur: Sam Suhaedi), Sejarah Hukum Internasional. TT. OHORELLA, HMG. & H.Aminuddin Salle, Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase pada Masyarakat di Pedesaan Sulawesi Selatan; dalam Felix O. Soebagjo & Erman Rajagukguk (eds), Arbitrase di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995. OTT, David H., Peaceful Settlement of Disputes; dalam Public International Law in the Modern World. London: The Bath Press, 1987. PAKPAHAN, Normin S., Pembaharuan Hukum di Bidang Kegiatan Ekonomi. Makalah pada Temu Karya Hukum Perseroan dan Arbitrase; Jakarta, 22-23 Januari 1991. PANGGABEAN, HP, Kelambanan Proses Peradilan Dikeluhkan. dalam Kompas, Jumat, 23 April 1999. PETERS, A.A.G & Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Kebudayaan; dalam A.A.G Peters & Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial - Buku II. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988. PRATIDINA, Ginung, Manajemen Konflik dalam Menigkatkan Efektivitas Organisasi; dalam Wawasan Tridharma Nomor 10 Tahun XV Mei 2003. PUTRA, Anom Surya, Manifesto Hukum Kritis Teori Hukum Kritis, Dogmatika dan Praktik Hukum; dalam Wacana Edisi 6 Tahun II 2000. RAHARDJO, Satjipto, Supremasi Hukum yang Benar; Kompas, 6 Juni 2002. ____________, Dengan Determinasi; dalam Kompas, 17 Oktober 1998. ____________, Hukum dan Masyarakat., Bandung: Angkasa, 1981. ____________, Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 1986. ____________, Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan. Bandung: Alumni, 1980. 354 ____________, Membangun Keadilan Alternatif; Kompas, Rabu, 5 April 1995. ____________, Mengubah Perilaku dan Kultur Polisi; dalam Kompas, 1 Juli 2002. ____________, Menjalankan Hukum dengan Kecerdasan Spiritual; dalam Kompas, Senin, 30 Desember 2002. ____________, Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Konteks Situasi Global; dalam Problema Globalisasi Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi, & Agama. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000. ____________, Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Konteks Situasi Global; dalam Perspektif, Vol. 2 No. 2, Juli 1997. ____________, Pendayagunaan Sosiologi Hukum untuk Memahami Proses-proses Sosial dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi; Makalah Seminar Nasional Sosiologi Hukum dan Pembentukan Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia. Semarang, 12- 13 Nopember 1996. ____________, Peningkatan Wibawa Hukum Melalui Pembinaan Budaya Hukum; Makalah pada Lokakarya Pembangunan Bidang Hukum Repelita VII. Jakarta BPHN, Juli 1997. ____________, Pengadilan dan Publiknya; Forum Keadilan No. 11, 15 September 1994. ____________, Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era Reformasi; dalam Makalah Seminar Nasional Menggugat Pemikiran Hukum Positivistik di Era Reformasi, PDIH-Undip-Angkatan V, Semarang, Sabtu, 22 Juli 2000. ____________, Supremasi Hukum dalam Negara Demokrasi dari Kajian Sosio Kultural; dalam Makalah Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Kamis, 27 Juli 2000. ____________, Tidak Menjadi Tawanan Undang-undang; Kompas, Rabu, 24 Mei 2000. ____________, Tidak Menjadi Tawanan Undang-undang; Kompas, Kamis, 25 Mei 2000. ____________, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Sinar Baru, 1985. ____________, Masalah Penegakan Hukum: suatu tinjauan sosiologis. Bandung: Sinar Baru, TT. ____________, Sosiologi Hukum: Perkembangan, Metode, dan Pilihan Masalah. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002. 355 ____________,Indonesia Butuh Keadilan yang Progresif; dalam Kompas, Sabtu, 12 Oktober 2002. ____________,Rekonstruksi Strategi Pembangunan Hukum Menuju Pembangunan Pengadilan yang Independen dan Berwibawa; Makalah Seminar pada Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, 28 Maret 2000. ____________, Paradigma Ilmu Hukum Indonesia dalam Perspektif Sejarah; Makalah dalam Simposium Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia. PDIH Undip, Semarang, 10 Februari 1998. RAJAGUKGUK, Erman, Keputusan Pengadilan Mengenai Beberapa Masalah Arbitrase; dalam Abdul Rahman Saleh et al., Arbitrase Islam Di Indonesia. Jakarta: BAMUI & Bank Muamalat, 1994. ____________, Budaya Hukum dan Penyelesaian Sengketa Perdata di Luar Pengadilan dalam Jurnal Magister Hukum, Vol. 2 No. 4, Okt. 2000. ____________, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan. Jakarta: Chandra Pratama, 2001. RAWLS, John, A Theory of Justice. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1971. ____________, Justice as Fairness A Restatement; (Edited by Erin Kelly).Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 2001. REDFERN, Alan & Martin Hunter, Law and Practice of International Commercial Arbitration. London: Sweet & Maxwell, 1991. REKSODIPUTRO, Mardjono, Pembaharuan Hukum Sebaiknya dari Pembenahan Peradilan; dalam Kompas, 1 Mei 1999. RITZER, George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Penyadur: Alimandan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. RIVAI, Veithzal, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003. ROBBINS, Stephen, Managing Organizational Conflict: A Non- Traditional Approach. Prentice Hall, Englewood Cliffs, N.J., 1974. SALEH, Ismail, Sambutan Menteri Kehakiman RI pada Acara Temu Karya Hukum Perusahaan dan Arbitrase; Jakarta: 22 Januari 1991. SALEH, Roeslan, Mengadili Sebagai Pergulatan Kemanusiaan. Jakarta: Aksara Baru, 1979. SALEH, Samir, The Recognition and Enforcement of foreign arbitral awards in the states of the Arab Middle East; dalam Julian DM Lew (ed), Contemporary Problems in International Arbitration. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1987. 356 SALIM, Agus, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (dari Denzin Guba dan Penerapannya). Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001. SANTOSA, Mas Achmad, Independensi Peradilan dan TAP MPR RI No. X/MPR/1998; Kompas, 11 Januari 1999. _______________, Court Connected ADR in Indonesia, Urgensi dan Prasyarat Pengembangannya; Makalah Seminar Nasional Court Connected-ADR. Jakarta: Departemen Kehakiman, 21 April 1999. SANTOSO, Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam Penerapan Syariat Islam dalam Konteks Modernitas. Bandung: Asy Syaamil, 2001. SCHREUER, C. Christoph H., State Immunity: Some Recent Development. Cambridge: Grotius Publication, 1988. SCHMITTHOFF, Clive M., Finality of arbitral awards and judicial review; dalam Julian DM Lew (ed), Contemporary Problems in International Arbitration. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1987. SETIAWAN, Klausula Arbitrase dalam Teori dan Praktek; dalam Varia Peradilan Tahun IX No. 104, Mei 1994. ____________, Kontrak Bisnis Internasional Choice of Law & Choice of Jurisdiction; dalam Varia Peradilan, Tahun IX No. 107, Agustus 1994. ____________, Publikasi Putusan Hakim; dalam Varia Peradilan Tahun VIII Nomor 95, Agustus 1993. ____________, Putusan Hakim Sebagai Transformasi Ide Keadilan; dalam Varia Peradilan Tahun VII No. 80, Mei 1992. ____________, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata. Bandung: Alumni, 1992. ____________, Arbitrase Internasional Dalam Yurisprudensi Indonesia Suatu Kajian Prospektif; dalam Serangkaian Pembahasan bagi Pembaharuan Hukum Ekonomi di Indonesia. Temu Karya Hukum Perusahaan dan Arbitrase; Kantor Menko Ekuin dan Wasbang bekerjasama dengan Departemen Kehakiman, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta: 22-23 Januari 1991. ____________, Perdagangan dan Hukum: Beberapa Pemikiran Tentang Reformasi Hukum Bisnis; Makalah Seminar Implikasi Reformasi Hukum Bisnis Terhadap Perekonomian Indonesia. Jakarta: Program Magister Manajemen UI, 21 April 1998. SIDHARTA, Bernard Arief, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju, 2000. 357 __________, Paradigma Ilmu Hukum Indonesia Dalam Perspektif Positivis; Makalah Simposium Nasional Ilmu Hukum tentang Permasalahan Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia. Semarang, 10 Februari 1998. SIMANDJUNTAK, Djisman S. et al., GATT 1994 Peluang dan Tantangan Dokumen dan Analisis. (Kumpulan Dokumen dan Analisis), Jakarta: TP, 14 Juni 1994. SINGARIMBUN, Irawati, Teknik Wawancara; dalam Masri Singarimbun et al., Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES, 1982. SINGER, Linda R., Settling Disputes - Conflict Resolution in Business, Families, and The Legal System. San Fransisco, 1994, dalam Erman Rajagukguk, Budaya Hukum dan Penyelesaian Sengketa Perdata di Luar Pengadilan; dalam Jurnal Magister Hukum, Vol. 2 No. 4, Okt. 2000. SIREGAR, Bismar, Pandangan Hakim terhadap Putusan Arbitrase; dalam Abdul Rahman Saleh et al., Arbitrase Islam Di Indonesia. Jakarta: BAMUI & Bank Muamalat, 1994. SMIT, Hans et al, International Contracts. Parker School of Foreign and Comparative Law, Columbia University, Matthew Bender, 1981. SOEKANTO, Soerjono, Talcott Parsons Fungsionalisme Imperatif. Jakarta: CV Rajawali, 1986. ___________, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali, 1987. ___________, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Rajawali, 1990. SOEMITRO, Ronny Hanitijo, Beberapa Perspektif Mengenai Fungsi Hukum di dalam Masyarakat; dalam Masalah-Masalah Hukum, Nomor 10 Tahun 1993. ____________, Gambaran tentang Fungsi-fungsi Hukum di Dalam Masyarakat, Sebagai Hasil Tinjauan terhadap Hukum dari Beberapa Perspektif; dalam Masalah-Masalah Hukum Nomor 5 Tahun 1991. ____________, Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik. Masalah- Masalah Hukum No. 2 Tahun 1993. ____________, Studi Hukum dan Masyarakat. Bandung: Alumni, 1985. SOEPRAPTO, Riyadi H.R., Interaksionisme SimbolikPerspektif Sosiologi Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. SOETJIPTO, Adi Andojo, Etika Profesi; dalam Varia Peradilan, Tahun VIII, Nomor 95, Agustus 1993. 358 __________, Jumlah 60 Orang Hakim Agung Tidak Rasional; Kompas, 7 April 2000. SOETOPRAWIRO, Koerniatmanto, Pemerintahan & Peradilan di Indonesia (Asal-usul & Perkembangannya). Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994. SOHN, L.B., International Arbitration in Historical Perspective: Past and Present; dalam International Arbitration: Past and Prospects, A Symposium to Commemorate the Centenary of the Birth of Prof. J.H.W. Verzijl (1888-1987), Utrecht, October 21, 1988. STARKE, J.G., Introduction to International Law. Ninth Edition, 1984, SUBEKTI, R., Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 1979. ___________, Aneka Perjanjian. Bandung: Alumni 1981. ___________, Arbitrasi Perdagangan. Bandung: Binacipta, 1981. ___________, Kekuasaan Mahkamah Agung RI. Bandung: Alumni, 1980. SULISTIYONO, Adi, Mengembangkan Paradigma Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi dalam Rangka Pendayagunaan Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis/Hak Kekayaan Intelektual; Disertasi, Semarang: PDIH, 2002. SUPARMAN, Eman, Keharusan Mewakilkan dalam Menunjang Proses Pemeriksaan Perkara yang Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan; Tesis S2, Yogyakarta: FPS-UGM, 1988. SURYABRATA, Sumadi, Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali, 1983. SUSANTO, I.S., Lembaga Peradilan dan Demokrasi; Makalah pada Seminar Nasional tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 12-13 Nopember 1996. SUSENO, Franz Magnis, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999. SUTANTIO, Ny. Retnowulan, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju, 1997. THENG, Liem Lei, Court Connected ADR in Singapore; Makalah Seminar Court Connected ADR, Jakarta: Departemen Kehakiman RI, 21 April 1999. THOHARI, A. Ahsin, Dari Law Enforcement ke Justice Enforcement, dalam Kompas, Rabu, 3 Juli 2002. TSANI, Mohd. Burhan, Hukum dan Hubungan Internasional. Yogyakarta: Liberty, 1990. 359 TURKEL, Gerald, Law and Society: Critical Approaches. Needham Heights: A Simon & Schuster Company, 1996. UHLE, Christian Buhring, Arbitration and Mediation in International Business. The Hague: Kluwer Law International, 1996. UJAN, Andre Ata, Keadilan dan Demokrasi Telaah Filsafat Politik John Rawls. Yogyakarta: Kanisius, 2001. UNGER, Roberto M., Law in Modern Society Toward a Criticism of Social Theory. London: The Free Press, 1976. ______________, Gerakan Studi Hukum Kritis; (Penerjemah: Ifdhal Kasim). Jakarta: ELSAM, 1999. VEATCH, Henry B., Human Rights, Facts or Fancy. Baton Rouge and London: Lousiana State University Press, 1968. WARASSIH, Esmi, Kegunaan Telaah Kebijaksanaan Publik Terhadap Peranan Hukum di dalam Masyarakat Dewasa ini (Sebuah Pengantar); dalam Masalah-Masalah Hukum No. 11 Tahun 1994. ____________, Peranan Kultur Hukum dalam Penegakan Hukum; dalam Masalah-Masalah Hukum No. 2 Tahun 1995. ____________, Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan Hukum (Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan); Pidato Pengukuhan Guru Besar. Fakultas Hukum UNDIP - Semarang, 14 April 2001. WIGNJOSOEBROTO, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. ____________, Masalah Metodologik dalam Penelitian Hukum Sehubungan dengan Masalah Keragaman Pendekatan Konseptualnya. Makalah. Semarang, TT. ____________, Sebuah Pengantar ke Arah Perbincangan tentang Pembinaan Penelitian Hukum dalam PJP II; Makalah disampaikan pada Seminar Akbar 50 Tahun Pembinaan Hukum Sebagai Modal Bagi Pembangunan Hukum Nasional Dalam PJP II, BPHN, Jakarta, 10-21 Juli 1995; dalam Majalah Hukum Trisaksi Edisi Khusus, TT. ____________, Teori: Apakah itu? Sebuah Pengantar; Bahan Kuliah Teori Ilmu Hukum. Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 Semarang, 2002. _____________, Keadilan Komutatif, win-win Solution, dalam Kompas 25 Nopember 2000. _____________, Fenomena Cq Realitas Sosial sebagai Objek Kajian Ilmu (Sains) Sosial; dalam Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif- 360 Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: Rajawali, 2001.
WIJOYANTO, Bambang, Reformasi Hukum di Mahkamah Agung; Kompas, 25 Oktober 1999. WILARDJO, Liek, Peran Paradigma dalam Perkembangan Ilmu; Makalah dalam Simposium Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia. PDIH Undip, Semarang, 10 Februari 1998. WINARDI, J., Teori Organisasi dan Pengorganisasian. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. YAHYA, M. Wildan, Keadilan dalam Perspektif Al-Quran; dalam Hikmah, Jurnal Ilmu Dakwah, Volume 1 Nomor 2, Juli 2002. ZACHARIAS, J. Danny, Kinerja Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) dalam Pemberian Keadilan, Mampukah MARI Keluar dari Masa Kegelapan dan Bencana Berkelanjutan; dalam Seminar Court Management di MA-RI dan Diskusi Buku Fungsi MA dalam Praktik Sehari-hari. Salatiga; FH-UKSW, 2001.
Kompas, Negara Hukum Tanpa Moral dan Tanpa Disiplin. 23 Februari 1996. Kompas, Kerusakan Kehidupan Hukum Sudah Serius. 16 April 1998. Kompas, Wajah Pengadilan Semakin Lebam. 6 Maret 1999. Kompas, Lembaga Pengadilan, Toko Hukum, Pasar Hukum. 15 Maret 1999. Kompas, Kelambanan Proses Peradilan Dikeluhkan. 23 April 1999. Kompas, Pembaharuan hukum Sebaiknya dari Pembenahan Peradilan. 1 Mei 1999. Kompas, Penegakan Hukum Jalan di Tempat. 8 Mei 1999. Kompas,Kualitas Aparat Penegak Hukum Memprihatinkan. 24 Mei 1999. Kompas, Menegakkan Hukum. 14 Juni 1999. Kompas, Ternyata tak Gampang Membersihkan Pengadilan. 15 Juli 1999. Kompas, Sebuah Sandiwara Penegakan Hukum. 13 Oktober 1999. Kompas, Jangan Lagi Jadikan Hukum sebagai Komoditas. 25 Oktober 1999. Kompas, MA Menyimpan Potensi Bahaya. 2 November 1999. Kompas, Mengubah Cara-cara Penyelesaian Hukum. 16 November 1999. Kompas, Mental Tangguh dalam Penegakan Hukum. 9 Desember 1999. 361 Kompas, Pengadilan yang Mengusik Rasa Keadilan. 13 Januari 2000. Kompas, Mahkamah Agung Bukan Menara Gading. 21 Februari 2000. Kompas, Mahkamah Agung di Tengah Arus Reformasi. 7 Maret 2000. Kompas, Sekali Lagi Perihal Membangun Mahkamah Agung yang Berwibawa. 13 Maret 2000. Kompas, Ketika Hukum tidak Lagi Berbunyi. 13 Maret 2000. Kompas, Main Hakim Sendiri dan Budaya Hukum. 19 Juni 2000. Kompas, Menguji Ketajaman Pedang Keadilan. 4 September 2000. Kompas, Terapkan Transitional Justice. 24 Oktober 2000. Kompas, Pembersihan Pengadilan Belum Terwujud. 3 November 2001. Kompas, Rawa-rawa Hukum Indonesia. 15 Juli 2002. Media Indonesia, Terus terang, Sulit Hadapi Mafia Peradilan. 30 Desember 2002 Tempo, Gengsi Baru Mahkamah Agung. Nomor 2 Tahun XXII, 14 Maret 1992. Tempo, Mahkamah Agung Meralat Gengsi. Nomor 3 Tahun XXII, 21 Maret 1992. Jurnal Hukum Bisnis, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Volume 21, Oktober-November 2002. Varia Peradilan, Pembatalan Kontrak Dagang Internasional Dewan Arbitrase Dikesampingkan; Tahun VII No. 80, Mei 1992. Forum Keadilan, Dagang Hukum di Pengadilan. No. 11, 17 September 1992. Majalah Hukum dan Masyarakat, No. 1-2-3 Tahun 1962.
Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering voor de raden van justitie op Java en het hooggerechtshof van Indonesie, alsmede voor de residentiegerechten op Java en Madura (Rv) S. 1847 No. 52 jo 1849 No. 63. Rv sebagai ketentuan hukum acara perdata yang dahulu berlaku pada Raad van Justitie (RvJ) untuk orang-orang Eropa dan yang dipersamakan dengan orang Eropa. ICSID Basic Documents, Washington DC, 1985. Viena Convention on the law of treaties and international organization or between international organization., dalam International Legal Materials. Volume XXV, Number 3, May 1986. Mahkamah Agung RI, Intermanual Himpunan Putusan Mahkamah Agung tentang Arbitrase. Proyek Yurisprudensi, 1989. Mahkamah Agung RI, Yurisprudensi Indonesia 3. Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1990. Suplemen Ensiklopedi Islam 1 A-K, Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1993. Ensiklopedi Islam 1. Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1994. 362 Ensiklopedi Hukum Islam Buku I, Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1996.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan. ________________, Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1981, tentang Sewa Menyewa. ________________,Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanann Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan. ________________,Undang-Undang No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. ________________,Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. ________________,Undang-undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. ________________,Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. ________________,Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. ________________, Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. ________________,Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. ________________, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. ________________, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1981. ________________, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1990.