Anda di halaman 1dari 1

Feminisme: Sebuah Kata hati

Penulis : Gadis Arivia Penerbit : Penerbit Buku Kompas Tebal : xxii + 486 halaman Terbit : 2006

Apa jadinya jika tulisan-tulisan terpilih seorang feminis yang telah malang melintang menggeluti bidangnya terangkum dalam sebuah buku? Tentu saja sarat dengan berbagai isu feminisme. Tapi membaca buku setebal 486 halaman ini tak hanya membuat pembacanya memahami permasalahan perempuan. Lebih dari itu, mencerahkan! Ya, sebagai pencerahan buku ini tak hanya diperuntukkan bagi para feminis, namun dapat juga dinikmati oleh pembaca yang tertarik dan ingin tahu tentang feminisme. Buku ini tak melulu dipadati dengan teori-teori yang menyulitkan pembaca awam untuk memahami, namun juga berbagai tulisan yang sangat dekat dengan keseharian di masyarakat. Jika Anda secara rutin membaca Jurnal Perempuan, mungkin tulisan-tulisan Gadis Arivia dalam buku ini sudah tak asing lagi. Karena memang sebagian besar tulisan yang dikemas dalam buku ini pernah dimuat dalam Jurnal Perempuan, di samping ada pula yang dimuat di beberapa media cetak. Tapi tentu dengan terbitnya buku ini, menjadi sebuah jembatan antara perenungan, pemikiran dan gagasan penulis kepada masyarakat pembaca yang lebih luas. Dalam sebuah alur pemaparan yang runtut, pembaca dimudahkan memahami tulisan ini. Mulai dari sejarah singkat feminisme di dunia, potret gerakan perempuan pada masa Soekarno, pemahaman tentang tubuh, seksualitas dan hak reproduksi perempuan. Gadis pun merangkum berbagai tulisannya yang berkait dengan budaya, sastra dan seni, serta juga politik hukum dan ekonomi. Bahkan pembaca pun dipuaskan dengan kupasan seputar problematika perempuan seperti trafiking dan kekerasan pada perempuan, perempuan dan lingkungan, pendidikan, hingga perkawinan dan keluarga. Pemilihan kata yang digunakan penulis dalam buku ini lugas, apa adanya. Tengoklah tulisannya tentang perkosaan yang dilakukan suami pada istrinya. Penulis secara lugas mengkritik komentar seorang pengacara khusus Wanita dan Keluarga yang menyatakan bahwa seorang istri hendaknya tidak melaporkan suaminya ke pengadilan. Menurut penulis, pernyataan-pernyataan seperti itu sama sekali tidak bertanggungjawab dan amat sangat melecehkan kaum perempuan. Penulis menyayangkan, karena masyarakat termasuk perempuan belum melihat perkawinan sebagai persamaan hak asasi antara perempuan dan laki-laki. Bahkan penulis secara lebih tegas menyatakan, perkawinan bukan hubungan majikan dan pembantu, ada yang dilayani dan ada yang melayani (hal. 186 Namun tak hanya cerita-serita miris tentang perempuan saja yang dipaparkan secara obyektif oleh penulis. Kisah sukses pengarusutamaan gender di Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah pun mewarnai buku ini. Jadi tak ada ungkapan lain, selain buku ini sangat layak Anda baca. Mengarungi samudera feminisme dalam sebuah rangkaian ungkapan kata hati penulis. Kata hati memang tak pernah salah, maka tak berlebihan jika menyebut feminisme adalah kejujuran. Selamat membaca! (runi)

Anda mungkin juga menyukai