Anda di halaman 1dari 7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai dan Bakteri Synechococcus sp.

Tanaman kedelai merupakan suatu komoditas tanaman yang telah banyak diketahui mampu membentuk hubungan atau bersimbiosis dengan makhluk hidup lain seperti Rhizobium sp. dengan mekanisme hidup saling menguntungkan atau yang lebih dikenal dengan simbiosis mutualisme. Simbiosis ini menyebabkan kedelai dapat mendapatkan N bebas dari udara yang difiksasi oleh bakteri Rhizobium pada bintilbintil akar (Suprapto, 2001). Asosiasi yang terjadi antara legume dengan bakteri Rhizobium secara simbiotik ini telah memberikan sejumlah unsur berupa nitrogen (N) dan carbon (C) kepada tanaman yang tidak sedikit), sedangkan untuk bakteri sendiri mendapatkan gula dari tanaman sebagai sumber tenaga bakteri tersebut (Curtis, 1968; Gardner, 1991). Tanaman kedelai merupakan suatu tanaman budidaya yang termasuk tanaman penting karena merupakan sumber protein nabati utama yang terdiri atas akar, batang, daun dan polong. Secara anatomi maupun morfologi daun merupakan organ yang paling banyak terlihat dari keseluruhan tanaman. Daun pada tanaman tingkat tinggi merupakan pabrik atau dapur atau tempat memasak makanan baik itu nantinya disimpan ataupun digunakan oleh tanaman itu sendiri yang sangat dikenal dengan proses fotosintesis. Proses fotosintesis merupakan pembentukan karbohidrat dari air (H2O) dan Karbondioksida (CO2) pada kloroplas dengan bantuan cahaya matahari. Pada proses fotosintesis tanaman kedelai, CO2 difiksasi oleh RuBP (Ribolusa 1,5 diphospat) dengan bantuan enzim rubisco (Baharsjah, 1994). Synechococcus sp. merupakan salah satu bakteri yang masuk dalam kelompok Cyanobakteria yaitu bakteri yang mampu berfotosintesis sendiri dengan memanfaatkan cahaya matahari dengan panjang gelombang yang tidak ditangkap oleh tanaman. Synechococcus sp. juga merupakan bakteri bersel satu yang mampu hidup dan berkoloni di permukaan daun kedelai, baik pada permukaan bagian atas

maupun bawah. Koloni antara bakteri dengan tanaman tersebut disebut dengan asosiasi filosfer atau asosiasi bakteri philoplane (Soedradjad dan Avivi, 2005). Synechococcus sp merupakan bakteri yang mampu mencukupi kebutuhan akan nitrogen seperti nitrat, ammonia dan urea dengan cara fiksasi nitrogen yang disebabkan karena Synechococcus sp memiliki pigmen yang berupa Phycobilisome yang berperanan pada penangkapan cahaya matahari yang tidak mampu diserap oleh tanaman untuk aktivitas fotosintesis (Deisenhover dan Mithcel, 2007). Hasil penelitian Syamsunihar, dkk. (2007), menunjukkan bahwa koloni bakteri Synechococcus sp. lebih banyak terdapat pada permukaan adaxial daun tanaman kedelai daripada di permukaan abaxial yang lebih sedikit, dimana koloni ini tidak ditemukan pada daun tanaman yang tidak diinokulasi bakteri (Gambar 1).

(i)

(ii)

(iii)

Gambar 1. Asosiasi yang terbentuk antara bakteri Synechococcus sp dengan kedelai (i) Permukaan adaxial daun tanaman kedelai yang tidak diinokulasi dengan bakteri, (ii) Permukaan adaxial daun tanaman kedelai 21 hari setelah inokulasi dengan bakteri. Tampak adanya koloni bakteri yang berlimpah, (iii) Permukaan abaxial daun tanaman kedelai 21 hari setelah inokulasi dengan bakteri. Tampak adanya koloni bakteri (Syamsunihar, dkk., 2008).

2.2 Respon Tanaman Kedelai Terhadap Bakteri Synechococcus sp. Menurut Hartaji (2009), inokulasi bakteri Synechococcus sp. secara umum tidak merubah morfologis, tetapi terdapat perubahan fungsional secara anatomis yaitu

penebalan sel epidermis adaxial dan jaringan mesofil. Akibatnya kemampuan sel-sel dalam jaringan untuk menyimpan air meningkat dengan ditunjukkan oleh nilai Relatif Water Content (RWT) sehingga menciptakan relung bagi Synechococcus sp. Apalagi didukung oleh kemampuan dari bakteri synechococcus tersebut yang mampu menambat N bebas di udara agar menjadi N tersedia oleh tanaman. Nitrogen sangat dibutuhkan bagi tanaman, tetapi ketersediaannya di dalam tanah kadang-kadang kekurangan unsur N. Padahal di udara terdapat banyak unsur N namun tanaman tidak bisa menggunakannya secara langsung. Beberapa mikroorganisme mampu menggunakan unsur yang bebas di udara yang disebut BNF (Biological Nitrogen Fixation). Mekanisme yang digunakan oleh bakteri tersebut ialah dengan cara mengubah unsur N menjadi amoniak menggunakan enzim nitrogenase. Bakteri yang mampu melakukan proses tersebut dinamakan diazotrophs. Bakteri diazotrophs terbagi atas dua golongan yaitu kelompok bakteri yang mampu hidup bersimbiosis dan hidup sendiri (bebas). Hardy (1994), menambahkan bahwa bakteri yang hidup sendiri disebut free living yang mampu melakukan fotosintetis dengan menggunakan energy cahaya, dan biasanya menyumbangkan sedikit fiksasi Nitrogen bagi tanaman budidaya. Inokulasi tanaman dengan Synechococcus sp. mampu meningkatkan kandungan nitrogen dalam jaringan tanaman, kandungan klorofil yang keduanya sangat diperlukan dalam proses fotosintesis tanaman (Anas, 2006). Dan lebih jauh lagi bakteri yang berada di atas daun (bakteri filosfer) berpotensi memberikan substansi pertumbuhan pada tanaman inang (Lindow dan Brandl, 2003). Synechococcus sp memiliki heterocyst yang mempunyai hubungan interselular pada sel vegetatif, dan hubungannya berlanjut menuju produk pada penambatan nitrogen yang bergerak dari heterocyst ke sel vegetatif dan hasil fotosintesis yang digerakkan dari sel vegetatif ke heterocyst (Todar, 2004). Asosiasi antara tanaman dan bakteri menunjukkan nitrogen yang ditambat oleh heterocyst tersebut sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman (Vermas, 2004).

Soedradjad, dkk. (2008) menyatakan bahwa asosiasi antara Synechococcus sp. dengan tanaman kedelai memberikan pengaruh nyata berupa peningkatan substansi pertumbuhan seperti kandungan N di dalam daun. Hal tersebut disebabkan karena peningkatan laju serapan nitrogen oleh Synechococcus sp. sehingga meningkatkan kandungan N-total pada daun sebesar 25% (Gambar 2). Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian Prasetya (2005), dimana dia menyimpulkan bahwa aplikasi bakteri Synechococcus sp. mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai seperti luas daun, berat kering brangkasan, jumlah buku produktif, jumlah cabang produktif, berat polong pertanaman, dan berat biji pertanaman. Hal ini diduga terdapat masukan senyawa-senyawa yang bermanfaat bagi tanaman seperti nitrogen, hasil fotosintetis dari bakteri kepada tanaman inang.

(i)

(ii)

Gambar 2. (i) Laju Serapan Nitrogen Harian Tanaman Kedelai (R1 R5), dan (ii) Kandungan N-total Daun Kedelai (Soedradjad, dkk., 2008).

2.3 Fisiologi Tanaman Kedelai Tanaman kedelai termasuk dalam tanaman C3 dimana tanaman ini memiliki ciri-ciri yaitu CO2 terikat pada ikatan 3-C fosforilasi, titik kompensasi CO2 berada dalam kisaran 50-100 ppm dengan suhu 20-250C, laju fotosintesisnya terhambat dan menurun seiring dengan meningkatnya O2 dan menunjukkan terjadinya fotorespirasi (Carelli, et al., 2003).

Fotorespirasi merupakan jalur alternatif untuk memproduksi glyceraldehyde 3-phosphate (G3P) oleh rubisco, enzim utama untuk reaksi terang dalam proses fotosintesis (juga dikenal sebagai siklus calvin atau Primary carbon reduction/PCR siklus). Dalam proses ini salah satu produk yang dihasilkan adalah glycine (gly/C2H5NO2) (Gambar 3).

Gambar 3. Skema Fotorespirasi Tanaman Kedelai Glycine termasuk dalam protein biosintesis dan sebagai prekursor penting dalam proses biosintesis, antara lain sintesis fosfolipid dan formasi purin. Konsentrasi glycine pada setiap tanaman bervariasi (terutama pada tanaman C3) karena tergantung pada proses metabolismenya (fotorespirasi) dan faktior-faktor lainnya yang dapat mempengaruhi pula seperti cahaya dan temperatur (Bourguignon dan Douce, 1999). Berdasasrkan hal tersebut maka pengukuran kandungan glycine dapat menjadi acuan untuk terjadinya fotorespirasi, yaitu dengan asumsi bahwa semakin banyak kandungan glycine tanaman maka semakin tinggi proses fotorespirasi tanaman tersebut. 2.4 Pestisida Pestisida adalah bahan kimia yang digunakan untuk mengendalikan perkembangan/pertumbuhan dari hama, penyakit dan gulma. Secara umum pestisida digolongkan kepada jenis organisme yang akan dikendalikan populasinya. Insektisida, herbisida, fungsida dan nematosida digunakan untuk mengendalikan

hama, gulma, jamur tanaman yang patogen dan nematoda. Jenis pestisida yang lain digunakan untuk mengendalikan hama dari tikus dan siput (Alexander, 1977). Berdasarkan ketahanannya di lingkungan, maka pestisida dapat dikelompokkan atas dua golongan yaitu yang resisten dimana meninggalkan pengaruh terhadap lingkungan dan yang kurang resisten. Pestisida yang termasuk organochlorines termasuk pestisida yang resisten pada lingkungan dan meninggalkan residu yang terlalu lama dan dapat terakumulasi dalam jaringan melalui rantai makanan, contohnya DDT, Cyclodienes, Hexachlorocyclohexane (HCH) dan endrin. Pestisida kelompok organofosfat adalah pestisida yang mempunyai pengaruh yang efektif sesaat saja dan cepat terdegradasi di tanah, contohnya Disulfoton, Parathion, Diazinon, Azodrin, Gophacide, dan lain-lain (Sudarmo, 1991). Aplikasi pestisida secara umum menyebabkan efek samping membunuh sejumlah besar serangga bermanfaat seperti predator dan parasitoid, termasuk menekan berbagai jenis patogen serangga akibat penggunaan jenis fungisida. Pestisida telah merusak keseimbangan alami pada tanah pertanian dan menyebabkan penurunan kelimpahan keanekaragaman hayati (Khan, 2003). Pestisida sintetik yang digunakan dalam penelitian ini merupakan jenis insektisida mengandung bahan aktif Delthamethrin 25 g/l dengan target sasaran yaitu serangga. Insektisida nonsistemik bekerja pada serangga dengan cara kontak dan pencernaan. Menurut Soemirat (2003) insektisida berasal dari bahasa latin insectum yang mempunyai arti potongan, keratan, atau segmen tubuh, seperti segmen yang ada pada tubuh serangga. Insektisida pada umumnya dapat menimbulkan efek terhadap sistem syaraf. Secara umum pengertian insektisida dapat didefinisikan sebagai bahan yang dapat digunakan untuk mengendalikan populasi jasad yang dianggap sebagai vector yang secara langsung ataupun tidak langsung merugikan kepentingan manusia. Menurut Pandit (2006) tingkat keracunan pestisida jenis insektisida dapat dibedakan menjadi 3, yaitu acute poisoning, yaitu keracunan yang terjadi akibat masuknya sejumlah besar pestisida sekaligus ke dalam tubuh. Sub acut poisoning, merupakan keracunan yang ditimbulkan oleh sejumlah kecil pestisida yang masuk ke

dalam tubuh, namun terjadinya secara berulang-ulang. Sementara untuk chronic poisoning, yaitu keracunan akibat masuknya sejumlah kecil pestisida dalam waktu yang lama dan pestisida mengalami kecenderungan untuk terakumulasi di dalam tubuh. Pestisida yang digunakan dalam penilitian ini adalah pestisida jenis insektisida dengan bahan aktif Delthametrin 25 g/L. Insektisida ini merupakan insektisida nonsistemik, yang dapat bekerja dengan cara kontak dan pencernaan. Berikut susunan kimia dari Delthametrin,

Gambar 4. Susunan Kimia Delthamethrin (Danish, 2002). 2.5 Hipotesis Berdasarkan latar belakang masalah, tujuan penelitian dan kajian pustaka dapat dihipotesiskan tanaman kedelai yang berasosiasi dengan bakteri Synechococcus sp. yang juga diberi pestisida dengan beberapa waktu aplikasi akan mempengaruhi respon fisiologis tanaman kedelai tersebut yang ditunjukkan dengan kandungan glycine daun tanaman kedelai tersebut.

Anda mungkin juga menyukai