Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH MIKROBIOLOGI

INTERAKSI MIKROBA DENGAN TUMBUHAN DAN HEWAN

DISUSUN OLEH:
ARIKA FEBRIANI AMINAH

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN
UNIVERSITAS RIAU
2019
KATA PENGANTAR

TOLONG DITULIS YA :*

Pekanbaru, Oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Isi Hal
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Penulisan

1.4 Manfaat Penulisan


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Macam Macam Interaksi

Dalam suatu lingkungan yang kompleks yang berisi berbagai macam organisme,
aktivitas metabolisme suatu organisme akan berpengaruh terhadap lingkungannya.
Mikroorganisme seperti halnya organisme lain yang berada dalam lingkungan yang komplek
senantiasa berhubungan baik dengan pengaruh faktor abiotik dan pengaruh faktor biotik.
Sedikit sekali di alam ada suatu jenis mikroorganisme yang hidup secara individual.
Sekalipun suatu biakan mikroorganisme murni yang tumbuh dalam suatu medium, tetap akan
beruhubungan dengan pengaruh faktor lingkungan secara terbatas.

Mikroorganisme umumnya hidup dalam bentuk asosiasi membentuk suatu konsorsium


laksana suatu “Orkestra” yang satu dengan lainnya bekerja sama. Hubungan mikroorganisme
dapat terjadi baik dengan sesama mikroorganisme, dengan hewan dan dengan tumbuhan.
Hubungan ini membentuk suatu pola interaksi yang spesifik yang dikenal dengan simbiosis
(sym = bersama, bios = hidup). Interaksi antar mikroorganisme yang menempati suatu habitat
yang sama akan memberikan pengaruh positif, saling menguntungkan dan pengaruh negatif;
saling merugikan dan netral; tidak ada pengaruh yang berarti.

Interaksi yang “netral” sebenarnya jarang terjadi hanya dapat terjadi dalam keadaan
dorman seperti endospora. Jumlah populasi mikroorganisme dalam suatu komunitas supaya
dapat mencapai jumlah yang optimal, maka mikroorganisme berinteraksi dan mempengaruhi
organisme lain. Mikroorganisme harus berkompetisi dengan organisme lain dalam
memperoleh nutrisi dari lingkungannya, sehingga dapat terus “lulus hidup” dan dapat
berkembangbiak dengan sukses.

2.1.1 Komensalisme
Interaksi antara mikroorganisme dengan organisme lain dimana satu jenis dapat
diuntungkan dan jenis lain tidak dirugikan, hubungan interaksi semacam ini disebut
komensalisme atau metabiosis. Interaksi bentuk komensalisme antar mikroorganisme
biasanya berhubungan dalam proses metabolisme, satu jenis mikroorganisme
memberikan kondisi yang cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme lain. Sebagai
contoh dalam saluran pencernaan manusia mikroorganisme anaerob obligat
merupakan mikroorganisme yang berlimpah dan tumbuh dengan optimal. Bakteri
asam asetat dan khamir terjadi hubungan komensalisme selama proses fermentasi
asam asetat, dimana sel khamir menyediakan substrat alkohol bagi pertumbuhan
bakteri asam asetat.

2.1.2 Mutualisme
Interaksi antar mikroorganisme dapat saling menguntungkan, interaksi semacam
ini disebut mutualisme. Hubungan interaksi mutualisme dapat terjadi antar
mikroorganisme yang berkerjasama dalam proses metabolisme. Biasanya satu jenis
mikroorganisme menyediakan nutrisi bagi mikroorganisme lain begitupula sebaliknya.
Contohnya: Streptococcus faecalis dan Lactobacillus arabinosis yang bisanya tidak
dapat tumbuh pada medium tanpa glukosa. S. faecalis membutuhkan asam folat yang
dihasilkan oleh L. arabinosus sebaliknya L. arabinosus membutuhkan fenilalanin yang
dihasilkan oleh S. faecalis. Ketika kedua baiakan mikroorganisme ditumbuhkan dalam
medium yangsama, maka mereka mendapatkan nutrisi yang lengkap. Contoh lain
antara bakteri Escherichia coli dan Proteus vulgaris, dimana E.coli menghidroslisis
laktosa bagi Proteus vulgaris, sementara itu P. vulgaris menguraikan urea yang
melepaskan sumber Nitrogen bagi pertumbuhan E.coli

2.1.3 Antagonisme
Hubungan antara mikroorganisme dengan organisme lain yang saling menekan
pertumbuhannya disebut antagonisme. Bentuk interaksi ini merupakan suatu hubungan
asosial. Biasanya Spesies yang satu menghasilkan suatu senyawa kimia yang dapat
meracuni spesies lain yang menyebabkan pertumbuhan spesies lain tersebut terganggu.
Senyawa kimia yang dihasilkan dapat berupa sekret atau metabolit sekunder. Contoh
dari antagonisme antara lain Streptococcus lactis dengan Bacillus subtilis. Pertumbuhan
B. subtilis akan terhambat karena asam laktat yang dihasilkan oleh S. lactis. Interaksi
antagonisme disebut juga antibiois. Bentuk lain dari interaksi antagonisme di alam
dapat berupa kompetisi, parasitisme, amensalaisme dan predasi. Biasanya bentuk
interaksi ini muncul karena ada beberapa jenis miktororganisme yang menempati ruang
dan waktu yang sama, sehingga mereka harus memperebutkan nutrisi untuk tetap dapat
tumbuh dan berkembangbiak. Akhirnya dari interaksi semacam ini memberikan efek
beberapa mikroorganisme tumbuh dengan optimal, sementara mikroorganisme lain
tertekan pertumbuhannnya.
2.2 Interaksi Mikroorganisme Dengan Tumbuhan

Simbiosis di antara bakteri Rhizobium dengan akar kacang-kacangan dibahas dalam


ilmu tersendiri yang dinamakan Rhizobiologi. Karena simbiosis ini sudah merupakan bisnis
tersendiri. Sehingga berbagai inokulan (preparat hidup bakteri Rhizobium) banyak
diperdagangkan, terutama hasil industri-bioteknologi di Amerika Serikat. Tahap-tahap
pembentukan nodul. Tahap-tahap dalam infeksi dan perkembangan nodul akar, saat ini
sudah diketahui dengan baik, antara lain :
1) Pengenalan pasangan yang sesuai pada tumbuhan dan bakteri dan penempelan
bakteri terhadap akar tumbuhan Di sekitar bulu-bulu akar kacang-kacangan
terkumpul sejumlah besar bakteri Rhizobium baik secara alami (misal pada
ladang kacangkacangan) ataupun secara buatan (penambahan inokulan). Akibat
terkumpulnya bakteri tersebut, bulu akar akan mengeluarkan triftopan, yang
oleh bakteri diubah menjadi indol asetat Kehadiran indol asetat menyebabkan
bulu akar menjadi berkerut dan bakteri juga menghasilkan enzim yang dapat
melarutkan senyawa pektat yang terdapat di dalam fibril (selulosa) kulit bulu
akar, sehingga bakteri dapat menempel pada buluh akar;
2) Invasi bakteri ke dalam buluh akar dan terjadi ancaman infeksi. Akibat adanya
larutan pektat, bakteri Rhizobium kemudian berubah menjadi bulat dan kecil-
kecil serta dapat bergerak.. Senyawa pektat dapat berikatan dengan selulosa,
sehingga dinding bulu akar menjadi tipis hingga dapat ditembus oleh bakteri
Rhizobium;
3) Berjalan sepanjang akar utama melalui tempat infeksi.;
4) Pembentukan bakteroid (sel bakteri perusak) dalam sel tumbuhan dan terjadi
perkembangan ke keadaan penambatan-nitrogen Di dalam bulu akar bakteri
memperbanyak diri, kemudian memasuki bagian akar dengan membentuk
benanginfeksi, hingga koloni bakteri didapatkan pada setiap sel akar;
5) Berlangsungnya pembelahan bakteri dan sel tumbuhan, maka terbentuk nodul
akar matur.
Penambatan/fiksasi nitrogen udara oleh bakteri Rhizobium cukup penting di dalam
bidang pertanian. Rata-rata nitrogen yang terikat (kg) per hektar luas per tahun cukup tinggi,
terutama untuk tanaman seperti semanggi (Trifolium spp.). Lupin (Lupinus sp.), dan kacang
kedele (Glycine max).
Sehingga tidak mengherankan kalau di dalam sistem pertanian moderen yang banyak
dilakukan di Eropa dan Amerika, penggunaan kacang-kacangan sebagai pupukhijau banyak
dilakukan mengingat hasilnya yang cukup baik. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara
yaitu :
a. Penambahan nitrogen ke dalam tanah secara biologi.
b. Mempertahankan sifat fisik tanah dengan banyaknya jatuhan daun dan batang
kacangkacangan yang ditanam
c. Beberapa jenis Rhizobium mempunyai kemampuan pula untuk mengurai residu
pestisida sehingga menjadi senyawa yang tidak berbahaya, hal ini dapat digunakan
sebagai cara biologis di dalam pengendalian pencemaran tanah pertanian.
d. Daun kacang-kacangan selain untuk pupuk hijau juga merupakan makanan ternak
berkualitas tinggi, terutama kandungan protein dan vitamin.
e. Buah kacang-kacangan tertentu, dapat dijadikan sumber protein.

2.2.1 Area Terjadinya Interaksi

A. Bagian tanaman di atas permukaan tanah dengan mikroba udara

Area terjadinya interaksi antara mikroba udara (aerial microbes) dengan bagian
tanaman yang terletak di atas permukaan tanah diberi istilah filosfir (phyllosphere).
Menurut Wikipedia filosfir merupakan habitat yang disediakan oleh bagian tanaman di
atas permukaan tanah (above ground) yang mampu menyokong komunitas mikroba
yang besar dan kompleks. Pengetahuan kita mengenai populasi mikroba filosfir baik
susunan komunitas maupun peranannya belum semaju pengetahuan kita tentang
rizosfir.
Permukaan tanaman yang mengalami kontak dengan udara memuat berbagai
macam mikroba, sebagian diantaranya mungkin berpotensi sebagai pengganggu
tanaman, namun sebagian lainnya merupakan mikroba yang menguntungkan. Beberapa
spesies dapat diisolasi dari bagian jaringan dalam tanaman namun umumnya ditemukan
pada permukaan tanaman. Secara terperinci, Lindow and Brandl (2012) membagi dua
mikroba yang mengkoloni filosfir yaitu mikroba filosfir dan mikroba efifit. Mikroba
filosfir merupakan koloni mikroba udara (aerial) yang ditemukan pada permukaan
tanaman (daun, kulit batang, dsb) sedang mikroba yang ditemukan pada jaringan bagian
dalam tanaman disebut mikroba efifit.
Filosfir umumnya dikoloni oleh berbagai mikroba dari kelompok bakteri, , dan
fungi (Lindow and Brandl, 2012). Sedangkan hasil penelitian Andrews and Harris
(2000) menjumpai berbagai kelompok mikroba yang mengkoloni daun seperti berbagai
genera bakteri, ,algae, dan kadang-kadang protozoa dan nematoda. merupakan
penghuni sementara pada permukaan daun karena umumnya mereka segera membentuk
spora, adapun merupakan penghuni yang lebih aktif. Andrews and Harris (2000) juga
menemukan koloni beberapa jenis mikroba pada tunas dan bagian bunga, namun
sebagian besar ilmuwan terfokus pada daun atau bagian lain tanaman yang langsung
memiliki kontak dengan udara. Bakteri merupakan kelompok yang paling banyak
ditemukan mengkoloni daun, jumlahnya berkisar antara 10 -10 koloni/cm (kira-kira 10
koloni/g) daun (Beattie and Lindow, 1995; Hirano and Upper, 2000).
Beberapa peneliti telah membuat suatu model estimasi populasi bakteri yang
mengkoloni daun. Menurut hasil estimasi total luas daun di seluruh daratan bumi yang
dikoloni oleh mikroba kira-kira sebesar 6,4 × 10 km (Morris and Kinkel, 2002),
sehingga total populasi bakteri filosfir di seluruh planet ini diperkirakan sejumlah 10
koloni (Morris and Kinkel, 2002). Jumlah tersebut diperkirakan mencukupi untuk
berbagai proses yang penting yang diperlukan untuk membantu pertumbuhan tanaman
lebih optimal.

B. Bagian tanaman dalam tanah dengan mikroba tanah

Daerah dalam tanah yang ditempati bagian dari tanaman (akar) yang berinteraksi
dengan mikroba secara umum dikenal sebagai rizosfir (rhizosphere). Menurut Lines-
Kelly (2005) rizosfir merupakan lingkungan dalam tanah di sekeliling akar suatu
tanaman dimana aktivitas kimia dan biologinya dipengaruhi oleh akar secara langsung.
Jadi aktivitas kimia dan biologi pada area tersebut secara intensif dipengaruhi oleh
senyawa kimia yang dihasilkan oleh akar dan oleh mikroorganisme yang menghuni
daerah tersebut. Wikipedia mendefinisikan rizosfir sebagai suatu area mikroekologi
yang secara langsung bersentuhan dengan akar tanaman. Sehingga rizosfir merupakan
suatu area dimana terjadi suatu saling ketergantungan antara akar tanaman dengan
mikroba yang berasosiasi di sekitarnya. Oleh karena itu rizosfir merupakan suatu satuan
ekologi yang sangat kecil (hanya pada lingkungan akar suatu tanaman)tetapi
merupakan sistem yang lebih sibuk, lebih cepat terjadi perpindahan nutrisi dan
merupakan lingkungan yang lebih kompetitif dibandingkan lingkungan di sekitarnya.
Sejalan dengan pertumbuhan akar tanaman mensekresikan senyawa yang mudah
larut dalam air misalnya asam amino, gula dan asam-asam organik yang akan
menyediakan makanan bagi mikroba. Adanya suplai makanan tersebut mengakibatkan
aktivitas mikroba di rizosfir jauh lebih tinggi disbanding lingkungan tanah yang jauh
dari akar tanaman. Sebaliknya adanya aktivitas mikroba yang tinggi akan membantu
menyediakan nutrisi bagi tanaman. Karena tingginya aktivitas di rizosfir, Lines-Kelly
(2005) menyebut rizosfir sebagai suatu lingkungan yang sangat dinamis di dalam tanah.
Di lingkungan rizosfir terdapat area pada epidermis akar dan korteks luar di mana
partikel tanah, bakteri dan hifa fungi melekat (bersentuhan secara langsung) disebut
rizoplen (rhizoplane) (Singer, 2006; Sylvia, 2005). Dalam rizoplen terdapat lebih
banyak mikroba dibandingkan dengan bagian rizosfir lain yang tidak bersentuhan
dengan akar tanaman. Mikroba lebih banyak terdapat pada akar yang lebih tua daripada
yang lebih muda karena pada akar yang lebih tua terdapat selain eksudat akar juga sel-
sel yang sudah mati. Kalau pada bagian atas tanaman mikroba dibedakan menjadi
filosfir dan efifit, pada bagian bawah tanaman bakteri dan fungi yang terdapat di dalam
sel sel akar tidak termasuk rizoplen tetapi disebut endofit (Sylvia, 2005).

2.2.2 Peranan Tanaman Dan Mikroba


A. Mikroba Aerial (Filosfir) Berinteraksi dengan Tanaman
Permukaan daun sudah lama dikenal sebagai lingkungan yang dapat dikoloni oleh
banyak genera bakteri. Hal ini karena pada permukaan daun melekat partikel-partikel
debu dan air. Debu berasal dari lapisan atas permukaan tanah yang diterbangkan oleh
angin dan melekat pada permukaan daun sehingga mengandung unsur-unsur hara
terbatas yang diperlukan oleh mikroba. Adapun air datang dari embun dan hujan akan
dapat memelihara suhu dan kelembaban yang sesuai bagi pertumbuhan mikroba.
Bakteri merupakan kelompok mikroba yang paling dominan di filosfir. Perbedaan
ukuran populasi disebabkan oleh adanya fluktuasi yang besar pada kondisi fisik dan
nutrisi di filosfir. Hal ini karena lingkungan filosfir sangat terpengaruh oleh angin dan
hujan sehingga nutrisi yang melekat pada daun akan tergantung oleh kecepatan angin
dan curah hujan. Di samping itu, jenis tanaman diduga juga mempengaruhi daya
dukung daun terhadap mikroba (microbial carrying capacity ). Hasil isolasi mikroba dari
tumbuhan berdaun lebar seperti ketimun dan kacang polong memiliki total populasi
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang diisolasi dari rumput-rumputan atau
tumbuhan berdaun lebar yang memiliki lapisan lilin tebal (Kinkel et al., 2000).
Cahaya matahari juga menentukan populasi mikroba filosfir sehingga komposisi
populasinya berbeda dengan mikroba di dalam rizosfir (Jacobs and Sundin, 2001).
Misalnya bakteri berpigmen yang sangat jarang ditemukan di rizosfir mendominasi
permukaan daun (Fokkema and Schipper, 1986). Beberapa mikroba yang umum
berasosiasi dengan akar tanaman ketika gagal membangun asosiasi di akar ditemukan
menjadi penghuni daun, misalnya Rhizobium (O'Brien and Lindow, 1989) and
Azospirillum (Sundin and Jacobs, 1999).
Thompson et al. (1991) menganalisis sebanyak 1.236 strain bakteri dari daun
muda, daun dewasa (aktif fotosintesis) dan daun yang menguning pada gula bit,
menunjukkan bahwa strain-strain tersebut termasuk ke dalam 78 genera bakteri. Data
yang diperoleh menunjukkan bahwa pada daun yang muda memiliki jumlah genera
(lebih beragam) dibandingkan dengan daun yang tua. Menurunnya jumlah taxa tersebut
menurut Thompson et al. (1991) karena lingkungan alami (angin, hujan, cahaya
matahari) di filosfir melakukan seleksi terhadap mikroba yang mengkoloni daun.
B. Mikroba RizosfirMempengaruhi Sifat Kimia dan Fisik Rizosfir
Interaksi antara tanaman dan mikroba di rizosfir diinisiasi oleh tanaman dengan
cara mensekresikan eksudat akar sehingga mengundang mikroba datang ke rizosfir.
Mikroba yang mengkoloni rizosfir mengakibatkan terjadinya modifikasi lingkungan
fisik dan kimia tanah di sekitar rizosfir yang akan mempengaruhi pertumbuhan
tanaman.
Perubahan kimia dapat terjadi sebagai akibat dari adanya humifikasi bahan
organik, di samping itu, pada rizosfir juga terjadi mineralisasi berbagai bahan organik
(P, S dan N) menjadi bentuk yang siap diserap tanaman oleh aktivitas mikroba. Di
rizosfir juga dikoloni oleh mikroba yang mampu melakukan fiksasi nitrogen bebas
menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Akar tanaman juga
membangun interaksi berupa simbiosis mutualisme dengan fungi membentuk asosiasi
yang biasa dikenal sebagai mikoriza. Simbiosis ini menyebabkan meluasnya sistem
perakaran sehingga memperluas cakupan akar dalam menyerap unsur hara. Mikroba di
rizosfir juga dapat melepaskan senyawa-senyawa yang disebut plant growth regulators .
Perubahan fisik rizosfir oleh kehadiran mikroba terutama terjadi karena mikroba
memproduksi senyawa polimerik ekstraseluler (extracellular polymeric substances)
seperti polisakarida dan glomlin yang akan memperbaiki agregasi dan struktur tanah.
Adanya mucigel di daerah rizoplen sangat penting dalam hubungan antara air dengan
tanaman, senyawa ini dapat mencegah desikasi dengan memelihara ketinggian kolom
air ketika tanaman menghadapi cekaman air (Sylvia, 2005)
C. Tanaman Menentukan Sifat Kimia dan Biologi Rizosfir
Faktor-faktor yang menentukan sifat suatu rizosfir adalah properti tanah, jenis
tanaman dan populasi mikroba yang mengkoloni rizosfir. Diantara ketiganya, tanaman
memegang peranan yang penting dalam menentukan keanekaragaman mikroba di
rizosfir. Akar tanaman menyebabkan perubahan fisik dan kimia rizosfir yang akan
mempengaruhi diversitas mikroba di dalam dan di sekitar rizosfir. Eksudat akar akan
menyeleksi untuk mengundang atau melawan populasi mikroba tertentu. Banyak
tanaman memiliki sifat genetik untuk toleran atau resisten terhadap serangan mikroba
di rizosfir, varietas tanaman akan menentukan keanekaragaman komunitas mikroba
rizosfir.
Kemampuan tanaman dalam membangun hubungan simbiosis dengan mikroba
tanah juga menentukan komunitas mikroba di rizosfir. Umur tanaman dan tingkat
kesehatan tanaman juga memainkan peranan penting dalam menentukan dinamika
komunitas mikroba di rizosfir. Kadang-kadang tanaman akan berkompetisi dengan
mikroba dalam memanfaatkan air dan unsur hara tertentu (Sylvia, 2005). Ketika
tanaman membangun interaksi simbiotis, tanaman biasanya menyediakan sumber
karbon bagi bakteri atau fungi simbionnya. Banyak percobaan fiksasi nitrogen biologis
menunjukkan bahwa ketersediaan karbon di rizosfir merupakan faktor pembatas,
sehingga asosiasi simbiotik secara tidak langsung akan mengundang kompetitor dalam
memanfaatkan karbon antara tanaman, simbion dengan mikroba lain di rizosfir. Namun
demikian, biasanya bakteri menghasilkan senyawa leghemoglobin untuk mengaktivasi
ensim nitrogenase dan tidak memerlukan kompetisi dengan mikroba rizosfir lainnya
dalam memanfaatkan karbon (Sylvia, 2005).

2.3 Interaksi Mikroogragnisme Dengan Hewan


2.3.1 Interaksi Bakteri Bioluminesensi dengan ikan
Berbagai keanekaragaman makhluk hidup yang ada merupakan salah satu tanda dari
keagungan Tuhan atas semua ciptaan-Nya yang ada di alam raya. Semua mekhluk
yang diciptakan Tuhan pastilah memiliki keunikan atau karakteristik tersendiri yang
membedakan dari organisme lainnya. Karakteristik tersebut berfungsi untuk
kelestarian dan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dari suatu organisme.
Keunikan tersebut dapat berupa kemapuan merubah diri atau berkamuflase ataupun
ada organ tambahan, seperti labirin ataupun antena.
Samudera merupakan salah satu habitat dari organisme. Ada oganisme yang
hidup di permukaan samudera, dan ada yang hidup pada kedalaman samudera.
Keadaan kedalaman samudera dingin, gelap, dan tenang. Tidak ada tumbuhan yang
dapat tumbuh disana, sehingga hewan memakan hewan lain atau tumbuhan mati dan
hewan yang tenggelam perlahan-lahan dari permukaan. Hewan yang tinggal di laut
yang dalam dilengkapi dengan organ tamabahan yang unik. Organ ini berfungsi
sebagai penunjang kelangsungan hewan tersebut untuk hidup di kedalaman laut.
Umumnya ikan yang hidup di perairan laut dalam memiliki kemampuan
menghasilkan pendaran cahaya. Cahaya yang dikeluarkan tersebut
dinamakanbioluminescens, yang umumnya bewarna biru atau biru kehijau-hijauan.
Terdapat dua sumber cahaya yang dikeluarkan oleh ikan dan keduanya terdapat pada
kulit, yaitu warna yang dikeluarkan oleh bakteri yang bersimbiosis dengan ikan dan
cahaya yang dikeluarkan oleh ikan itu sendiri. Ikan-ikan yang dapat mengeluaran
cahaya umumnya tinggal di bagian laut dalam dan hanya sedikit yang hidup
diperairan dangkal.Bioluminesensi adalah emisi cahaya yang dihasilkan oleh makhluk
hidup karena adanya reaksi kimia tertentu.
Bakteri bioluminesensi (bakteri sumber cahaya)
Bakteri bercahaya telah ditemukan di laut, pesisir, dan lingkungan terestrial.
Ada sembilan jenis bakteri laut penghasil cahaya yaitu: Photobacterium
phosphoreum, Photobacterium leiognathi, Alteromonas hanedai, Vibrio logei, Vibrio
fischeri, Vibrio harveyi, Vibrio splendidus, Vibrio orientalis, dan Vibrio vulnificus.
Bakteri Terestrial adalah luminescens Photorhabdus dan Vibrio cholerae biotipe
albensis.
Bakteri bercahaya terestrial terutama ditemukan dalam hubungan simbiotik
dengan nematoda bertindak sebagai parasit untuk ulat. Jamur juga dapat menerangi
malam. Jamur bercahaya menghasilkan cahaya kontinyu (tidak berdenyut) dalam
tubuh buah dan miselium dari beberapa agarics. Contohnya adalah Armillaria
mellea danMycena spp.
Hal ini diyakini bahwa jamur bercahaya menggunakan cahaya mereka untuk
menarik serangga yang akan menyebarkan spora fungis untuk meningkatkan
reproduksi.
Bakteri bercahaya adalah pemancar cahaya yang paling banyak didistribusikan
organisme dengan mayoritas yang ada dalam air laut dan sisanya tinggal di
lingkungan darat atau air tawar. Sementara sebagian besar spesies bakteri bercahaya
mampu hidup bebas, sebagian besar ditemukan di alam terkait dalam simbiosis
dengan organisme host yaitu: ikan, cumi, kepiting, nematoda, dll
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik dan merupakan oksidasi senyawa
riboflavin fosfat (FMNH2) atau (lusiferin bakteri) serta rantai
panjang aldehida lemak hingga menghasilkan emisi cahaya hijau-biru yang dikatalisis
oleh enzim lusiferase. Luciferase adalah suatu enzim heterodimer berukuran 77 kDa
yang terdiri dari dua subunit, yaitu subunit alfa (α) dan subunit beta (β). Subunit α
(~40 kDa) disandikan oleh gen luxA, sedangkan subunit β (~37 kDa) disandikan oleh
gen luxB. Selainluciferase, masih terdapat beberapa enzim lain yang terlibat dalam
keseluruhan reaksi ini dan ekspresi enzim-enzim tersebut diatur oleh
suatu operon yang disebut operonlux.
3.3.1 Bioluminesensi pada ikan
Cahaya yang dikeluarkan oleh mahluk hidup dinamakan bioluminescens, yang
umumnya bewarna biru atau biru kehijau-hijauan. Terdapat dua sumber cahaya yang
dikeluarkan oleh ikan dan keduanya terdapat pada kulit, yaitu warna yang dikeluarkan
oleh bakteri yang bersimbiosis dengan ikan dan cahaya yang dikeluarkan oleh ikan itu
sendiri. Ikan-ikan yang dapat mengeluaran cahaya umumnya tinggal di bagian laut
dalam dan hanya sedikit yang hidup diperairan dangkal. Sebagian dari padanya
bergerak ke permukaan untuk ruaya makanan.
Di laut dalam terletak antara 300 – 1000 meter dibawah permukaan laut. Sel
pada kulit ikan yang dapat mengeluarkan cahaya disebut sel cahaya atau photophore
(photocyt). Ini biasanya terdapat pada golongan Elasmobranchii (Sphinax,
Etmopterus, Bathobathis moresbyi) dan Teleostei (Stomiatidae, Hyctophiformes,
Batrachoididae).
Cahaya yang dikeluarkan oleh bakteri yang hidup bersimbiosis dengan ikan,
misalnya terdapat pada ikan-ikan dari famili Macroridae, Gadidae, Honcentridae,
Anomalopodidae, Leiognathidae, Serranidae, dan Saccopharyngidae.
Di Laut Banda ikan leweri batu (Photoblepharon palpebatrus) dan leweri air
(Anomalops katoptron), yang keduanya termaksud kedalam famili
Anomalopodidae,mempunyai bakteri cahaya yang terletak dibawah matanya.
Kedua ikan tersebut hidup di perairan dangkal. Anomalops mengeluarkan cahaya
yang berkedap-kedip secara teratur yang dikendalikan oleh organ cahaya yang keluar
masuk suatu kantong pigmen hitam dibawah mata. Photoblepharon menunujukan
suatu cahaya yang menyala terus, tetapi dapat pula dipadamkan oleh suatu
lipatan jaringan hitam yang menutupi organ cahayanya.
Bakteri yang dapat mengeluarkan cahaya terdapat didalam kantung kelenjar di
epidermis. Pemantulan cahaya yang dikeluarkan oleh bakteri diatur oleh jaringan
yang berfungsi sebagai lensa.
Pada bagian yang berlawanan dengan lensa banyak pigmen yang berfungsi
sebagai pemantul. Ada juga kelenjar yang berisi bakteri itu dikelilingi oleh sel-sel
pigmen itu seluruhnya. Pemencaran cahaya yang dikeluarkan oleh bakteri diatur oleh
konstraksi pigmen yang berfungsi sebagai iris mata. Pada ikan Malacochepalus (yang
hidup di laut dalam), pengeluaran cahayanya mempunyai peranan dalam
pemijahan.Kekuatan cahayanya dapat menerangi sampai sejauh 10 meter dengan
panjang gelombang 410 – 600 mμ. Pada musim pemijahan, bila ikan jantan bertemu
dengan ikan betina, maka si jantan akan membimbing betinanya untuk mencari
tempat yang baik untuk berpijah. Cahaya yang dikeluarkan oleh ikan jantan dipakai
sebagai isyarat untuk diikuti oleh si betina. Angler fish (Linophyrin bravibarbis) yang
terdapat di dasar laut mempunyai tentakel yang bercahaya. Diduga ikan ini
mempunyai kultur bakteri yang terdapat pada kulitnya
Tentakel yang ujungnya mempunyai jaringan yang membesar itu digerakan
diatas kultur bakteri tersebut, sehingga bakteri yang bercahaya terbawa oleh tentakel
untuk menarik perhatian mangsanya.
Antenna ikan angler yang dapat mengeluarkan cajaya di kegelapan merupakan
peristiwa bioluminense. Bioluminesen merupakan pancaran sinar oleh organisme
sebagai hasil dari oksidasi dari berbagai substrat dalam memproduksi enzim. Susunan
substrat yang sangat stabil disebut dengan lusiferin, dan enzim yang sangat sensitive
sebagai katalisator oksidasi disebut lusiferase.
4.3.1 Bioluminesen dapat diproduksi oleh bakteri, jamur, ataupun binatang
invertebrate lain. Dari sekian banyak hewan bertulang belakang, hanya kelas Pisces
yang mampu memproduksi sinar. Ikan menghasilkan bioluminesen dengan dua cara,
yaitu dihasilka oleh pori-pori yang bercahaya ataupun organ yang mampu bersimbiose
dengan bakteri atau organisme lain penghasil sinar. Sehingga, cahaya yang terdapat
pada antenna ikan angler sebenarnya berasal dari organ yang bersimbiosis dengan
jutaan bakteri yang mengeluarkan cahanya sendiri.
5.3.1 Fungsi dari antenna ikan angler yang bercahaya yaitu digunakan untuk
menaksir kedalaman laut dimana ikan tersebut tinggal. Fungsi lain yaitu untuk
menarik dan mengecoh perhatian mangsanya, serta untuk menyinari ligkungan
sekitarnya. Antenna bercahaya pada ikan angler juga dapat menyala atau mati,
sehingga mengecoh ikan-ikan kecil ataupun mangsa yang lain untuk mendekat,
sehingga dengan mudah ikan angler dapat menangkap mangsanya. Organ cahaya pada
ikan ialah sebagai tanda pengenal individu ikan sejenis, untuk memikat mangsa,
menerangi lingkungan sekitarnya, mengejutkan musuh dan melarikan diri, sebagi
penyesuaian terhadap ketiadaan sinar di laut dalam dan diduga sebagai ciri ikan
beracun. Ikan angler tidak banyak melakukan gerakan, bahkan cenderung pasif. Hal
tersebut bertujuan untuk menghemat energy dikarenakan makanan yang tersedian di
kedalaman laut sangat sedikit.
6.3.1 Antenna yang bercahaya hanya terdapat pada antenna ikan angler betina.
Ukuran ikan angler betina lebih besar dengan panjang sekitar 8 cm, sedangkan ukuran
ikan angler jantan lebih kecil dengan panjang hanya sekitar 3 cm. sehingga yang
menarik pasangan adalah ikan betina. Antenna yang berada pada ikan angler betina
berfungsi untuk menarik lawan jenis. Ikan jantan yang berukuran lebih kecil akan
menempelkan organ perekatnya pada bagian sirip ikan betina, sehigga ikan jantan
mengikuti kemanapun ikan betina bergerak. Ikan jantan juga mendapatkan makanan
dari ikan betina. Sehingga dapat dikatakan ikan angler jantan seperti parasit pada ikan
betina, namun dari simbiose tersebut, ikan angler jantan secara permanen menjadi
pasangan serasi bagi ikan betina.
DAFTAR PUSTAKA

Lindow, S.E. and M.T. Brandl. 2012. Microbiology of the Phyllosphere. Tersedia di:
http://intl-AEM.asm.org
Andrews, J.H. and R.F. Harris. 2000. The Ecology And Biogeography Of Microorganisms
On Plant Surfaces.Annu. Rev. Phytopathol. 38:145-180.
Beattie, G.A. and S.E. Lindow. 1995. The Secret Life Of Foliar Bacterial Pathogens on
Leaves.Annu. Rev. Phytopathol. 33:145-172.
Hirano, S.S. and C.D. Upper. 2000. Bacteria in the Leaf Ecosystem with Emphasis on
Pseudomonas syringaea Pathogen, Ice Nucleus, and Epiphyte. Microbiol. Mol. Biol. Rev.
64:624-653.
Morris, C.E. and L.L. Kinkel. 2002. FiftyYears of Phylosphere Microbiology: Significant
Contributions To Research In Related Fields, p. 365-375. In S.E. Lindow, E.I. Hecht-
Poinar, and V. Elliott (ed.). Phyllosphere Microbiology.APSPress, St. Paul, Minn.
Lines-Kelly, R. 2005. Defend the Rhizosphere and Root Against Pathogenic Microorganisms.
http://ice.agric.uwa.edu.au/soils/soilhealth
Singer, Michael J. and Donald N. Munns. 2006. Soils: an Introduction. Pearson Education
Inc. New Jersey.
Sylvia, D., Fuhrmann, J., Hartel, P. and Zuberer, D. 2005. Principles and Applications of Soil
Microbiology. Pearson Education Inc.NewJersey.
Kinkel, L.L., M.Wilson, and S.E. Lindow. 2000. Plant Species and Plant Incubation Conditions
Influence Variability in Epiphytic Bacterial Population Size. Microb. Ecol. 39:1-11.
Jacobs, J.L., and G.W. Sundin. 2001. Effect of Solar UV-B Radiation on a Phyllosphere Bacterial
Community.Appl. Environ. Microbiol. 67:5488-5496.
Fokkema, N.J. and B. Schippers. 1986. Phyllosphere vs Rhizosphere As Environments For
Saprophytic Colonization. p. 137-159. In N. J. Fokkema and J. Van den Heuvel (ed.).
Microbiology of the phyllosphere. Cambridge University Press. London. United Kingdom.
O'Brien, R.D. and S.E. Lindow. 1989. Effect of Plant Species and Environmental Conditions on
Epiphytic Population Sizes of Pseudomonas syringae and other Bacteria. Phytopathology
79:619-627.
Thompson, I.P., M.J. Bailey, J.S. Fenlon, T.R. Fermor, A.K. Lilley, J.M. Lynch, P.J. McCormack,
M.P. McQuilken, and K.J. Purdy. 1993. Quantitative and Qualitative Seasonal Changes in the
Microbial Community from the Phyllosphere of Sugar Beet (Beta vulgaris ). Plant Soil
150:177-191.

Anda mungkin juga menyukai